53 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. PERBEDAAN

Download Konsep fundamental Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional adalah berbeda. Konsep fundamental yang diulas adalah pengertian atau definis...

0 downloads 450 Views 459KB Size
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Perbedaan Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian Perbedaan Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah menurut Novi Puspitasari (2011: 39-46) dikaji dalam tiga bagian yaitu perbedaan konsep fundamental, perbedaan pengelolaan risiko, dan perbedaan prinsipprinsip. Perbedaan 1. Perbedaan

Asuransi Konvensional konsep Perjanjian jual-beli

fundamental 2. Perbedaan

Asuransi Syariah Kegiatan

tolong-

menolong Mengalihkan risiko

Berbagi risiko

pengelolaan risiko 3. Perbedaann prinsip- a. Insurable Interest prinsip

b. Utmost Good Faith

a. Prinsip Tauhid b. Prinsip Keadilan

(Kejujuran

c. Prinsip Tolong

Sempurna)

Menolong

c. Indemnity

d. Prinsip Amanah

d. Subrogation

e. Prinsip Saling

e. Contribution

Ridha (‘An

(Kontribusi) f. Proximate Cause (Kausa Proksimal)

Taradhin) f. Prinsip Menghindari Riba g. Prinsip Menghindari Maysir h. Prinsip Menghindari Gharar

53

54

i. Prinsip Menghindari Risywah j. Berserah Diri dan Ikhtiar k. Saling Bertanggung Jawab l. Saling Melindungi dan Berbagi Kesusahan

Konsep fundamental Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional adalah berbeda. Konsep fundamental yang diulas adalah pengertian atau definisi dan sistem pengelolaan risiko dari kedua jenis Asuransi tersebut. Dalam Fatwa DSN-MUI No. 21/DSNMUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah, konsep fundamental Asuransi Syariah adalah kegiatan tolong-menolong di antara Peserta Asuransi Syariah dan tidak bertujuan komersil. Sementara itu, konsep dasar Asuransi Konvensional adalah jual beli antara Peserta dan perusahaan sebagaimana dijelaskan dalam UndangUndang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, konsep fundamental Asuransi Konvensional adalah jual beli antara Peserta dengan perusahaan Asuransi (Novi Puspitasari, 2011: 39-40). Sehingga dalam perbedaan konsep fundamental ini, Asuransi Syariah menggunakan prinsip tolong-menolong yang bersifat sosial daripada komersil, sedangkan Asuransi Konvensional menggunakan prinsip jual beli yang bersifat komersil saja. Perbedaan

konsep

dasar

Asuransi

Syariah

dengan

Asuransi

Konvensional ini berakibat pada perbedaan prinsip pengelolaan risiko. Prinsip pengelolan risiko Asuransi Syariah adalah berbagi risiko (risk sharing), yaitu risiko ditanggung bersama sesama Peserta asuransi. Sementara itu prinsip pengelolaan risiko Asuransi Konvensional adalah transfer risiko (risk transfer) yaitu prinsip risiko dengan cara mentransfer atau

55

memindahkan risiko Peserta Asuransi ke perusahaan asuransi. Hal ini sesuai dengan pendapat Sumanto, dkk (2009) yang menyatakan bahwa Asuransi Konvensional pada dasarnya merupakan konsep pengelolaan risiko dengan cara mengalihkan risiko yang mungkin timbul dari peristiwa tertentu yang tidak diharapkan kepada orang lain yang sanggup mengganti kerugian yang diderita dengan imbalan premi (Novi Puspitasari, 2011: 40-41). Dalam perbedaan pengelolaan risiko, dapat diketahui bahwa Asuransi Syariah mengelola risiko dengan cara membagi risiko karena atas dasar prinsip tolong-menolong, sedangkan Asuransi Syariah mengelola risiko dengan cara membagi risiko karena memang bertujuan untuk mencari keuntungan. Pengelolaan Asuransi Syariah menggunakan prinsip-prinsip sebagai berikut (Novi Puspitasari, 2011: 41-45): a. Prinsip Tauhid b. Prinsip Keadilan c. Prinsip Tolong-Menolong d. Prinsip Amanah e. Prinsip Saling Ridha (‘An Taradhin) f. Prinsip Menghindari Riba g. Prinsip Menghindari Maysir h. Prinsip Menghindari Gharar i. Prinsip Menghindari Risywah j. Berserah Diri dan Ikhtiar k. Saling Bertanggung Jawab l. Saling Melindungi dan Berbagi Kesusahan Sementara itu, pengelolaan Asuransi Konvensional menggunakan prinsip-prinsip sebagai berikut (Novi Puspitasari, 2011: 45-46): a. Insurable Interest b. Utmost Good Faith (Kejujuran Sempurna) c. Indemnity d. Subrogation e. Contribution (Kontribusi)

56

f. Proximate Cause (Kausa Proksimal) Berdasarkan perbedaan prinsip-prinsip tersebut, dapat disimpulkan bahwa Asuransi Konvensional bersifat untuk mencari keuntungan semata dengan pemberian ganti rugi dari Penanggung terhadap suatu kerugian yang diderita oleh Tertanggung. Sedangkan Asuransi Syariah bersifat sosial, tauhid dan tolong-menolong terhadap sesama serta menghindari perbuatan yang dilarang dalam syariah yaitu riba, maysir, gharar, dan risywah. Adapun perbedaan antara Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah menurut Muhammad Syakir Sula (2004: 326-328) adalah sebagai berikut: No. 1.

Asuransi Konvensional Dalam

konsep

Asuransi

Asuransi Syariah

konvensional, Dalam konsep Islam, Asuransi

adalah

perjanjian adalah sekumpulan orang-orang

antara dua pihak atau lebih, yang saling membantu, saling dengan mana pihak Penanggung menjamin, dan bekerja sama, mengikatkan

diri

kepada dengan

cara

masing-masing

Tertanggung, dengan menerima mengeluarkan dana tabarru’. premi

asuransi,

untuk

memberikan pergantian kepada Tertanggung. 2.

Asuransi Konvensional berasal Asuransi Syariah berasal dari aldari masyarakat Babilonia 4000- `aqilah, kebiasaan suku Arab 3000 SM yang dikenal dengan jauh perjanjian

Hammurabi.

sebelum

Pada Kemudian

tahun 1668 M di Coffe House Rasulullah London

berdirilah

London

sebagai

Lloyd

Islam disahkan

menjadi

datang. oleh hukum

of Islam, bahkan telah dituangkan

cikal-bakal dalam konstitusi pertama di

Asuransi Konvensional.

dunia (Konstitusi Madinah) yang dibuat langsung oleh Rasulullah.

3.

Asuransi

Konvensional Asurnasi

syariah

bersumber

57

bersumber dari pikiran manusia tidak dan

kebudayaan.

hanya

Asuransi dibuat manusia atau

Konvensional berdasarkan pada positif,

akan

hukum positif, hukum alam, dan berdasarkan contoh-contoh

peraturan

yang hukum

tetapi

pada

juga

Al-Quran,

ada Hadist, Ijma’, dan Qiyas.

yang

sebelumnya. Misalnya, UndangUndang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 4.

Asuransi Konvensional tidak

Asuransi Syariah bersih dari

selaras dengan syariah Islam

adanya maysir, gharar, dan riba.

karena adanya maysir, gharar, dan riba yang diharamkan dalam mu’amalah. 5.

Asuransi

Konvensional

tidak Diawasi

oleh

diawasi oleh Dewan Pengawas berfungsi

untuk

Syariah (DPS), sehingga dalam pelaksanaan

DPS

yang

mengawasi operasional

praktiknya ditemukan hal-hal perusahaan agar terbebas dari yang

bertentangan

dengan praktik-praktik muamalah yang

prinsip-prinsip syariah.

bertentangan

dengan

prinsip-

prinsip syariah. 6.

Asuransi

Konvensional Asuransi Syariah terdiri atas dua

menggunakan akad jual-beli.

akad yaitu akad tabarru’ dan akad tijari.

7.

Dari

segi

Asuransi

jaminan

(risk), Asuransi Syariah menggunakan

Konvensional sharing of risk, di mana terjadi

menggunakan transfer of risk, di proses mana terjadi transfer risiko dari antara Tertanggung

saling satu

menanggung

Peserta

dengan

kepada Peserta lainnya (ta`awun).

Penanggung. 8.

Dari segi pengelolaan, dalam Asuransi Syariah pada produk-

58

Asuransi Konvensional tidak ada produk

saving

(life)

terjadi

pemisahan dana, yang berakibat pemisahan dana,

yaitu dana

pada terjadinya dana hangus tabarru’,

dan

(untuk produk saving-life).

derma

Peserta,

sehingga

dana tidak

mengenal istilah dana hangus. Untuk term insurance (life) dan general

insurance

semuanya

bersifat tabarru’. 9.

Asuransi Konvensional bebas Asuransi Syariah, investasi dapat melakukan

investasi

batas-batas

dalam dilakukan

dengan

ketentuan ketentuan perundang-undangan,

perundang-undangan, dan tidak sepanjang terbatasi

sesuai

pada

halal

tidak

bertentangan

dan dengan prinsip-prinsip syariah

haramnya obyek atau sistem Islam. Di samping itu, dalam investasi yang digunakan.

melakukan investasi, Asuransi bebas dari riba dan tempattempat investasi yang terlarang.

10.

Asuransi yang

Konvensional,

terkumpul

Peserta

dari

seluruhnya

dana Asuransi Syariah, dana yang premi terkumpul dari Peserta dalam

menjadi bentuk iuran atau kontribusi,

milik perusahaan. Perusahaan merupakan bebas

menggunakan

milik

Peserta,

dan Asuransi Syariah hanya sebagai

menginvestasikan ke mana saja.

pemegang

amanah

dalam

mengelola dana tersebut 11.

Asuransi Konvensional, unsur Asuransi Syariah, iuran atau premi terdiri dari tabel mortalita kontribusi (mortality

tables),

terdiri

dari unsur

bunga tabarru’ dan tabungan (yang

(interest), biaya-biaya Asuransi tidak mengandung unsur riba). (cost of insurance). 12.

Loading

pada

Asuransi Pada sebagian Asuransi Syariah,

59

Konvensional terutama

cukup

besar loading (komisi agen) tidak

diperuntukkan

bagi dibebankan pada Peserta tetapi

komisi agen, bisa menyerap dari dana pemegang saham. premi tahun pertama dan kedua. Akan

tetapi,

Karena itu, nilai tunai pada lainnya tahun biasanya

pertama

dan

belum

ada

sebagian

yang

mengambilkan

dari

kedua sekitar 20-30% saja dari premi (masih tahun

hangus),

pertama.

demikian,

nilai

Dengan tunai

tahun

pertama sudah terbentuk. 13.

Asuransi Konvensional, sumber Asuransi

Syariah,

sumber

biaya klaim adalah dari rekening pembiayaan klaim diperoleh dari tabarru’,

perusahaan, sebagai konsekuensi rekening Penanggung

di

mana

terhadap Peserta saling menanggung. Jika

Tertanggung. Dari praktiknya salah satu Peserta mendapat tampak benar bahwa Asuransi musibah, Peserta lainnya ikut Konvensional merupakan bisnis menanggung

bersama

risiko

murni dan tidak ada nuansa tersebut. spiritualnya. 14.

Sistem akuntansi yang dianut Asuransi

Syariah

menganut

Asuransi Konvensional adalah konsep akuntansi cash basis, konsep akuntansi accrual basis, mengakui apa yang benar-benar yaitu

proses

akuntasi

yang telah ada, sedangkan accrual

mengakui terjadinya peristiwa basis atau

keadaan

nonkas.

dianggap

bertentangan

Di dengan syariah karena mengakui

samping Asuransi Konvensional adanya pendapatan, harta, beban juga

mengakui

peningkatan

aset,

pendapatan, atau utang yang akan terjadi di expenses, masa

yang

akan

datang.

leabilities dalam jumlah tertentu Sementara apakah itu benaryang baru akan diterima dalam benar dapat terjadi hanya Allah waktu yang akan datang.

yang tahu.

60

15.

Asuransi

Konvensional, Asuransi Syariah, profit yang

keuntungan yang diperoleh dari diperoleh surplus

underwriting,

dari

surplus

komisi underwriting, komisi reAsuransi

reasuransi, dan hasil investasi dan

hasil

investasi,

bukan

seluruhnya adalah keuntungan seluruhnya

menjadi

milik

perusahaan.

tetapi

perusahaan,

dilakukan

bagi hasil dengan Peserta. 16.

Secara garis besar misi utama Adapun misi yang diemban oleh Asuransi Konvensional adalah Asuransi misi ekonomi.

akidah, ekonomi,

Islam misi

adalah

misi

ibadah,

misi

dan

misi

pemberdayaan umat.

Berdasarkan pendapat Novi Puspitasari dan juga Muhammad Syakir Sula mengenai perbedaan Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah memang hampir terdapat kesamaan walaupun menurut pendapat Muhammad Syakir Sula perbedaannya lebih banyak. Oleh karena itu, penulis dapat menyimpulkan bahwa: 1. Asuransi Konvensional berdasarkan hukum positif saja. Sedangkan Asuransi Syariah tidak hanya hukum positif, akan tetapi juga menggunakan prinsip syariah. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Ahmad Musadad (2012: 93) bahwa dalam Asuransi Syariah selain menggunakan hukum positif, tetapi juga menggunakan Fatwa DSNMUI yang keputusannya berdasarkan pada Al-Quran, Hadist, Ijma’, dan Qiyas; 2. Asuransi Konvensional berasal dari masyarakat Babilonia 4000-3000 SM yang dikenal dengan perjanjian Hammurabi. Sedangkan Asuransi Syariah berasal dari al-`aqilah, kebiasaan suku Arab jauh sebelum Islam datang; 3. Asuransi Konvensional tidak selaras dengan syariah Islam karena adanya maysir, gharar, riba, dan riswah yang diharamkan dalam

61

mu’amalah. Asuransi Syariah bersih dari adanya maysir, gharar, riba, dan riswah; 4. Asuransi Konvensional menggunakan konsep perjanjian jual-beli yang bersifat komersil. Sedangkan Asuransi Syariah menggunakan kegiatan tolong-menolong yang bersifat sosial dan ibadah daripada komersil. Hal ini seperti pendapat Hafidz Abdurrahman dan Yahya Abdurrahman (2014: 151-155), aqad dalam Asuransi Syariah adalah aqad tolongmenolong dan saling menanggung, yaitu semua peserta Asuransi Syariah menjadi penjamin satu sama lainya. Bila salah satu meninggal yang lain menanggungnya, dan seterusnya. Sedangkan Asuransi Konvensional aqad-nya berkaitan dengan perjanjian atas jaminan pertanggungan; 5. Asuransi Konvensional dalam pengelolaan risiko dengan cara mengalihkan risiko. Sedangkan Asuransi Syariah dengan cara berbagi risiko; 6. Asuransi Konvensional tidak diawasi oleh DPS sehingga dalam praktiknya ditemukan hal-hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Sedangkan Asuransi Syariah diawasi oleh DPS yang berfungsi untuk mengawasi pelaksanaan operasional perusahaan agar terbebas dari praktik-praktik muamalah yang bertentangan dengan prinsipprinsip syariah. Hal tersebut juga sesuai dengan pendapat Ahmad Musadad (2012: 98) bahwa Asuransi Konvensional hanya diawasi oleh OJK dan tidak diawasi oleh DPS. Sedangkan Asuransi Syariah selain diawasi oleh OJK, juga diawasi oleh DPS. 7. Asuransi Konvensional bebas melakukan investasi dalam batas-batas ketentuan perundang-undangan, dan tidak terbatasi pada halal dan haramnya obyek atau sistem investasi yang digunakan, sehingga hal ini bertentangan dengan prinsip syariah. Sedangkan Asuransi Syariah, investasi dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan perundangundangan, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah

62

Islam. Di samping itu, dalam melakukan investasi, Asuransi Syariah bebas dari riba dan tempat-tempat investasi yang terlarang. 8. Terdapat perbedaan prinsip-prinsip yaitu dalam Asuransi Konvensional menggunakan prinsip insurable interest, utmost good faith, indemnity, subrogation, contribution, proximate cause. sedangkan Asuransi Syariah mengunakan prinsip tauhid, prinsip keadilan, prinsip tolong menolong, prinsip amanah, prinsip saling ridha, prinsip menghindari riba maysir, gharar, dan risywah, berserah diri dan ikhtiar, saling bertanggung jawab, serta saling melindungi dan berbagi kesusahan. Prinsip Asuransi Syariah tersebut seperti pendapat yang ditulis oleh Mohamad Abdul Hamid, dkk dalam International Journal of Advances in Management and Economics

mengenai prinsip syariah sebagai

berikut: In principle, takaful is a financial transaction based on the principles of cooperation, responsibility, assurance, protection and assistance between groups of participants, which represent a form of mutual insurance. Under the takaful scheme, takaful participant (also known as policy holders in insurance) contributes a certain proportion of the full amount of his contribution as tabarru’. The donations from all participants are accumulated into a common fund called tabarru’ fund or risk fund, from which compensation or indemnification is given to participants suffering a defined loss. It is a policy of mutual cooperation, solidarity and brotherhood against unpredicted risk or catastrophes, in which the parties involved, are expected to contribute genuinely. Terjemahan bebas: Pada prinsipnya, takaful adalah transaksi keuangan berdasarkan prinsip-prinsip kerjasama, tanggung jawab, jaminan, perlindungan dan bantuan antara kelompok Peserta, yang mewakili bentuk Asuransi mutual. Di bawah skema takaful, Peserta takaful (juga dikenal sebagai pemegang polis asuransi) memberikan kontribusi proporsi tertentu dari jumlah penuh dari kontribusinya sebagai tabarru'. Sumbangan dari seluruh Peserta diakumulasi ke dalam dana umum yang disebut dana tabarru 'atau dana risiko, dari mana kompensasi atau ganti rugi diberikan kepada Peserta menderita kerugian didefinisikan. Ini adalah kebijakan saling kerjasama, solidaritas dan persaudaraan

63

terhadap risiko yang tidak diperkirakan atau bencana, di mana pihak yang terlibat, diharapkan dapat memberikan kontribusi benar. 9. Selain itu, dalam Asuransi Konvensional tidak ada zakat, infaq, dan shodaqoh. Sedangkan dalam Asuransi Syariah, perusahaan wajib mengeluarkan zakat dari keuntungannya, dan dianjurkan untuk mengeluarkan dana infaq dan shodaqoh (Ahmad Musadad, 2012: 96). Peraturan perundang-undangan mengenai Asuransi yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian telah disahkan pada tanggal 17 Oktober 2014. Undang-undang baru tersebut, menggantikan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Usaha Perasuransian yang dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan industri perasuransian. Terdapat beberapa perubahan pokok dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian ini dengan undang-undang yang lama, yaitu perubahan judul, dari semula Usaha Perasuransian menjadi Perasuransian. Selain nama yang berubah, ada penambahan bab dan pasal yang cukup banyak, yaitu dari semula 28 pasal menjadi 92 pasal. Untuk bab, dari semula 13 bab menjadi 18 bab. Untuk pengaturan teknis dari pelaksanaannya akan dituangkan dalam bentuk POJK (Peraturan Otoritas Jasa Keuangan) (http://aaui.or.id/index.php/news-event/seminar-hari-kedua-di-indonesia-ren dezvous/120-undang-undang-nomor-40-tahun-2014, diakses pada 19 April 2016). Meningkatnya jumlah bab dan pasal tersebut lantaran terdapat pengaturan

baru

di

sektor

Asuransi

yang

menyesuaikan

dengan

perkembangan industri perasuransian saat ini. Pada undang-undang yang lama, bentuk badan hukum usaha perasuransian adalah perusahaan perseroan (Persero), koperasi, perseroan terbatas (PT) dan usaha bersama. Selain itu, pada undang-undang yang lama, usaha konsultan aktuaria merupakan salah satu bidang usaha perasuransian yang izin usahanya didirikan oleh menteri. Sedangkan di undang-undang yang baru, konsultan aktuaria tidak lagi merupakan usaha perasuransian, tetapi merupakan salah satu profesi penyedia jasa bagi perusahaan

64

perasuransian. Konsultas aktuaria harus terdaftar di OJK. Perbedaan lainnya berkaitan dengan bentuk badan hukum. Terkait kepemilikan perusahaan perasuransian, pada undang-undang yang lama, untuk perusahaan perasuransian yang didirikan oleh warga negara Indonesia (WNI) dan/atau badan hukum Indonesia, tidak diatur kepemilikan dari badan hukum Indonesia menjadi pendiri perusahaan perasuransian. Untuk perusahaan perasuransian patungan, juga tidak diatur kriteria perusahaan asing yang menjadi induk dari perusahaan perasuransian patungan tersebut. Selain itu, juga tidak diatur kepemilikan warga negara asing yang menjadi pemilik dari perusahaan Asuransi patungan tersebut. Selain perbedaan yang disebutkan di atas, perbedaan yang paling mencolok adalah dalam undang-undang yang baru terdapat aturan-aturan mengenai Asuransi Syariah. Sehingga terdapat beberapa versi mengenai pengertian Asuransi tersebut. Dari berbagai pengertian mengenai asuransi, terdapat perbedaan yang menonjol di antaranya adalah pengertian yang terdapat pada Pasal 246 KUHD dan Pasal 1174 KUHPerdata hanya tertuju pada Asuransi Konvensional yang hanya berorientasi pada profit semata, selain itu aspek gharar dan maysir sangat terlihat jelas. Karena dalam redaksinya terdapat klausul mengenai perjanjian untung-untungan. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian dalam Pasal 1 angka 1 juga tidak jauh berbeda dengan pengertian Asuransi yang ada pada Pasal 246 KUHD dan Pasal 1174 KUHPerdata. Pengertian Asuransi dalam undang-undang yang lama mewakili pengertian Asuransi Konvensional. Dalam redaksinya menyebutkan Penanggungan dilakukan terhadap kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan. Klausul mengenai keuntungan yang diharapkan memiliki makna lain bahwa keuntungan tersebut masih belum berwujud. Hal inilah yang sangat identik dengan gharar. Seperti pendapat Hafidz Abdurrahman dan Yahya Abdurrahman (2014: 155-156), dalam hal menyangkut gharar, Asuransi Konvensional

65

terdapat gharar dalam hal sumber dana pembayaran klaim. Peserta tidak mengetahui dari mana dana pertanggungan berasal manakala ia meninggal atau mendapat musibah sebelum premi yang harus dibayarkan terpenuhi. Masyarakat mengetahui bahwa dana diperoleh dari sebagian bunga dari penyimpanan uang premi di bank konvensional. Dapat dikatakan, bahwa dalam Asuransi Konvensional selain gharar juga terdapat riba. Selain itu, unsur maysir dalam praktek Asuransi Konvensional adalah bila Tertanggung mengundurkan diri sebelum jangka waktu pertanggungan habis, tidak akan mendapat apa-apa karena uang premi hangus. Kalaupun bisa diambil hanyalah sedikit, sehingga merugikan Tertanggung. Sedangkan dalam Asuransi Syariah, sejak awal nasabah diberitahu darimana dana yang diterimanya bila meninggal atau mendapat musibah, dan jika peserta meninggal sebelum masa jatuh temponya habis, kekurangan pertanggungan akan diambil dari rekening khusus atau tabarru’. Coba lihat contoh di bawah ini. Misal: Waktu pertanggungan 10 tahun; Premi 1 juta per tahun; Dua persen (2%) dimasukkan ke rekening khusus (tabarru’) yaitu 2% x Rp 1 juta = 20 ribu, sehingga rekening peserta menjadi Rp 980 ribu setahun. Maka, dalam 10 tahun terkumpul Rp 9,8 juta. Karena dititipkan ke perusahaan asuransi, peserta berhak mendapat keuntungan bagi hasil, misalnya 70:30, 70 persen untuk peserta dan 30 persen untuk perusahaan asuransi. Apabila peserta meninggal dunia pada tahun kelima, maka dana pertanggungannya sebagai berikut: Rekening peserta selama lima tahun = 5 x Rp 980 ribu =

Rp 4,9 juta

Dana bagi hasil, misalnya

Rp 400 ribu

Sisa premi yang belum dibayar 5 x Rp 1 juta

Rp 5 juta

Sisa premi diambil dari dana tabarru’

66

Sehingga jika peserta mengundurkan diri pada tahun kelima, ia akan mendapat kembali uang sebesar Rp 5,3 juta yang terdiri dari rekening peserta Rp 4,9 juta dan bagi hasil selama 5 tahun Rp 400 ribu. Hadirnya

Undang-Undang

Nomor

40

Tahun

2014

tentang

Perasuransian memuat pengertian Asuransi Syariah maupun Asuransi Konvensional yang memiliki kesamaan. Hal yang membedakan lebih kepada aturan-aturan tambahan dalam Asuransi Syariah yaitu Asuransi Syariah selain menggunakan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian juga harus menggunakan Fatwa DSN-MUI sebagai pijakan hukum. Selain itu, aspek yang ditonjolkan dalam Asuransi Syariah adalah aspek tolongmenolong dan perlindungan. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian dibuat untuk mengakomodir perkembangan industri perasuransian di Indonesia. Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, selain mengatur Asuransi Konvensional diatur pula Asuransi Syariah. Maka dari itu, penulis ingin menjabarkan serta membandingkan pengaturan Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Penjabaran akan dibuat dengan tabel seperti berikut:

No. 1.

Asuransi Konvensional Pasal 1 angka 1 Asuransi antara

Pasal 1 angka 2

adalah dua

perusahaan

Asuransi Syariah

perjanjian Asuransi

pihak, Asuransi

yaitu kumpulan

dasar bagi penerimaan premi dan perusahaan

sebagai imbalan untuk:

adalah

perjanjian,

yang

dan terdiri atas perjanjian antara

pemegang polis, yang menjadi perusahaan

oleh

Syariah

Asuransi

pemegang

Asuransi perjanjian

di

Syariah

polis

dan

antara

para

pemegang polis, dalam rangka

a. memberikan penggantian pengelolaan

kontribusi

kepada Tertanggung atau berdasarkan prinsip syariah guna

67

pemegang

polis

karena saling menolong dan melindungi

kerugian, kerusakan, biaya dengan cara: yang timbul, kehilangan

a. memberikan

keuntungan, atau tanggung

kepada

jawab

hukum

kepada

pemegang

pihak

ketiga

yang

mungkin

diderita

Tertanggung pemegang

polis

Peserta

yang

polis

timbul,

karena

kehilangan

atau

keuntungan, atau tanggung

karena

jawab hukum kepada pihak ketiga

yang tidak pasti; atau

diderita

b. memberikan pembayaran didasarkan

atau

kerugian, kerusakan, biaya

terjadinya suatu peristiwa

yang

penggantian

pada

meninggalnya

yang

mungkin

Peserta

pemegang

atau

polis

karena

terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau

Tertanggung

atau

pembayaran

yang

b. memberikan yang

pembayaran

didasarkan

pada

didasarkan pada hidupnya

meninggalnya Peserta atau

Tertanggung

pembayaran

manfaat

dengan

yang

besarnya

yang

didasarkan pada hidupnya

telah ditetapkan dan/atau

Peserta

dengan

didasarkan

yang

besarnya

pada

pengelolaan dana.

hasil

ditetapkan didasarkan

manfaat telah dan/atau

pada

hasil

pengelolaan dana. 2.

Tidak syariah

menggunakan

prinsip Pasal 1 angka 3 Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perasuransian berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang

memiliki

kewenangan

dalam penetapan fatwa di bidang

68

syariah. 3.

Pasal 1 angka 5

Pasal 1 angka 8

Usaha Asuransi Umum adalah Usaha Asuransi Umum Syariah usaha jasa pertanggungan risiko adalah usaha pengelolaan risiko yang memberikan penggantian berdasarkan kepada

Tertanggung

pemegang

atau guna

polis

Prinsip

saling

Syariah

menolong

dan

karena melindungi dengan memberikan

kerugian, kerusakan, biaya yang penggantian kepada Peserta atau timbul, kehilangan keuntungan, pemegang pas karena kerugian, atau tanggung jawab hukum kerusakan, biaya yang timbul, kepada

pihak

ketiga

yang kehilangan

keuntungan,

atau

mungkin diderita Tertanggung tanggung jawab hukum kepada atau pemegang polis karena pihak

ketiga

yang

mungkin

terjadinya suatu peristiwa yang diderita Peserta atau pemegang tidak pasti.

polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti.

4.

Pasal 1 angka 6

Pasal 1 angka 9

Usaha Asuransi Jiwa adalah Usaha Asuransi Jiwa Syariah usaha yang menyelenggarakan adalah usaha pengelolaan risiko jasa

penanggulangan

risiko berdasarkan

yang memberikan pembayaran guna saling kepada

pemegang

berhak

Syariah

menolong dan

polis, melindungi dengan memberikan

Tertanggung, atau pihak lain pembayaran yang

Prinsip

dalam

yang

didasarkan

hal pada meninggal atau hidupnya

Tertanggung meninggal dunia Peserta, atau pembayaran lain atau

tetap

pembayaran

hidup, lain

atau kepada Peserta atau pihak lain kepada yang berhak pada waktu tertentu

pemegang polis, Tertanggung, yang diatur dalam perjanjian, atau pihak lain yang berhak yang besarnya telah ditetapkan

69

pada waktu tertentu yang diatur dan/atau didasarkan pada hasil dalam

perjanjian,

besarnya

telah

yang pengelolaan dana.

ditetapkan

dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana. 5.

Pasal 1 angka 7

Pasal 1 angka 10

Usaha ReAsuransi adalah usaha Usaha jasa

pertanggungan

ReAsuransi

Syariah

ulang adalah usaha pengelolaan risiko

terhadap risiko yang dihadapi berdasarkan Prinsip Syariah atas oleh

perusahaan

asuransi, risiko

yang

dihadapi

oleh

perusahaan penjaminan, atau perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reAsuransi lainnya.

perusahaan penjaminan syariah, atau

perusahaan

ReAsuransi

Syariah lainnya. 6.

Pasal 1 angka 15 Perusahaan

Pasal 1 angka 16

Asuransi

adalah Perusahaan

perusahaan Asuransi umum dan adalah perusahaan Asuransi jiwa.

Asuransi

perusahaan

Syariah Asuransi

umum syariah dan perusahaan Asuransi jiwa syariah.

7.

Pasal 1 angka 20 Dana

Pasal 1 angka 21

Asuransi

adalah Dana Tabarru' adalah kumpulan

kumpulan dana yang berasal dana yang berasal dari kontribusi dari premi yang dibentuk untuk para Peserta, yang mekanisme memenuhi timbul

kewajiban dari

diterbitkan

atau

polis dari

yang penggunaannya sesuai dengan yang perjanjian Asuransi Syariah atau klaim perjanjian ReAsuransi Syariah.

asuransi. 8.

Pasal 1 angka 23

Pasal 1 angka 24

Tertanggung adalah Pihak yang Peserta

adalah

Pihak

yang

menghadapi risiko sebagaimana menghadapi risiko sebagaimana

70

diatur

dalam

Asuransi

9.

perjanjian diatur dalam perjanjian Asuransi

atau

perjanjian Syariah

atau

reasuransi.

ReAsuransi Syariah.

Pasal 1 angka 29

Pasal 1 angka 30

perjanjian

Premi adalah sejumlah uang Kontribusi adalah sejumlah uang yang

ditetapkan

oleh yang ditetapkan oleh Perusahaan

Perusahaan

Asuransi

perusahaan

reAsuransi

atau Asuransi

Syariah

atau

dan perusahaan ReAsuransi Syariah

disetujui oleh Pemegang Polis dan disetujui oleh Pemegang untuk dibayarkan berdasarkan Polis perjanjian

Asuransi

perjanjian

reasuransi,

untuk

atau berdasarkan perjanjian Asuransi atau Syariah

atau

sejumlah uang yang ditetapkan ReAsuransi berdasarkan

dibayarkan

perjanjian

Syariah

untuk

ketentuan memperoleh manfaat dari. Dana

peraturan perundang-undangan Tabarru' dan/atau dana investasi yang

mendasari

Asuransi

program Peserta dan untuk membayar

wajib

untuk biaya pengelolaan atau sejumlah

memperoleh manfaat.

uang

yang

ditetapkan

berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan mendasari wajib

program untuk

yang Asuransi

memperoleh

manfaat. 10.

Pasal 2

Pasal 3

(1) Perusahaan Asuransi umum

(1) Perusahaan Asuransi umum

hanya

dapat

menyelenggarakan:

lini

hanya

dapat

menyelenggarakan:

a. Usaha Asuransi Umum, termasuk

syariah

usaha

a. Usaha

Asuransi

Umum

Syariah,

71

Asuransi kesehatan dan

termasuk lini usaha

lini

Asuransi

usaha

Asuransi

kecelakaan diri; dan b. Usaha

berdasarkan

ReAsuransi

Asuransi

Asuransi Umum lain.

diri

(2) Perusahaan Asuransi jiwa dapat

menyelenggarakan

Prinsip

Syariah dan lini usaha

untuk risiko Perusahaan

hanya

kesehatan

kecelakaan berdasarkan

Prinsip Syariah; dan b. Usaha

ReAsuransi

Usaha

Syariah untuk risiko

Asuransi Jiwa termasuk lini

Perusahaan Asuransi

usaha anuitas, lini usaha

Umum Syariah lain.

Asuransi kesehatan, dan lini

(2) Perusahaan Asuransi jiwa

usaha Asuransi kecelakaan

syariah

diri.

menyelenggarakan

(3) Perusahaan

reAsuransi

hanya menyelenggarakan Reasuransi.

dapat Usaha

Asuransi

hanya

Jiwa

dapat Usaha Syariah

termasuk lini usaha anuitas berdasarkan

Prinsip

Syariah, lini usaha Asuransi kesehatan

berdasarkan

Prinsip Syariah, dan lini usaha Asuransi kecelakaan diri

berdasarkan

Prinsip

Syariah. (3) Perusahaan Syariah

ReAsuransi hanya

dapat

menyelenggarakan

Usaha

ReAsuransi Syariah.

Berdasarkan penjabaran pengaturan Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian di dalam tabel diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa:

72

1. Asuransi Konvensional adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan Asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi. Sedangkan Asuransi Syariah adalah kumpulan perjanjian, yang terdiri atas perjanjian antara perusahaan Asuransi Syariah dan pemegang polis dan perjanjian di antara para pemegang polis, dalam rangka pengelolaan kontribusi berdasarkan prinsip syariah guna saling menolong. Dalam hal ini, Asuransi Syariah menggunakan prinsip tolong-menolong, sedangkan Asuransi Konvensional hanya terdapat perjanjian antara perusahaan Asuransi dan pemegang polis. 2. Asuransi Konvensional tidak menggunakan prinsip syariah, sedangkan Asuransi Syariah menggunakan prinsip syariah. Sehingga dalam praktiknya, Asuransi Konvensional bertentangan dengan prinsip syariah seperti gharar, riba dan maysir. Sedangkan Asuransi Syariah terbebas dari hal tersebut. 3. Jenis usaha Asuransi Konvensional baik Asuransi umum, Asuransi jiwa, dan reAsuransi tidak menggunakan prinsip syariah dan prinsip tolong-menolong. Sedangkan dalam jenis usaha Asuransi Syariah baik Asuransi umum syariah, Asuransi jiwa syariah, dan ReAsuransi Syariah menggunakan prinsip syariah dan prinsip tolong-menolong. 4. Penyebutan mengenai pihak yang menghadapi risiko, dalam Asuransi Konvensional disebut Tertanggung, sedangkan dalam Asuransi Syariah disebut Peserta. 5. Penyebutan mengenai jumlah uang yang harus disetor ke perusahaan asuransi, dalam Asuransi Konvensional disebut premi, sedangkan dalam Asuransi Syariah disebut kontribusi. 6. Penyebutan mengenai kumpulan dana yang berasal dari premi dan/atau kontribusi, dalam Asuransi Konvensional disebut dana asuransi, sedangkan dalam Asuransi Syariah disebut dana tabarru’.

73

Selain hal tersebut di atas, dalam hal suatu perusahaan Asuransi atau perusahaan reAsuransi yang memiliki unit syariah maka harus berdasarkan Pasal 87 Undang-Undang Nomor 40 Tentang Perasuransian, yaitu: (1)

Dalam hal Perusahaan Asuransi atau perusahaan reAsuransi memiliki unit syariah dengan nilai Dana Tabarru' dan dana investasi Peserta telah mencapai paling sedikit 50% (lima puluh %) dari total nilai Dana Asuransi, Dana Tabarru', dan dana investasi Peserta pada perusahaan induknya atau 10 (sepuluh) tahun sejak diundangkannya Undang-Undang ini, Perusahaan Asuransi atau perusahaan reAsuransi tersebut wajib melakukan pemisahan unit syariah tersebut menjadi Perusahaan Asuransi Syariah atau perusahaan ReAsuransi Syariah; (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemisahan unit syariah dan sanksi bagi Perusahaan Asuransi dan; (3) perusahaan reAsuransi yang tidak melakukan pemisahan unit syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Sehingga berdasarkan ketentuan tersebut, perusahaan Asuransi maupun perusahaan reAsuransi yang memiliki unit syariah diharapkan segera melakukan pemisahan unit syariah tersebut menjadi perusahaan Asuransi Syariah maupun perusahaan ReAsuransi Syariah yang berdiri sendiri. Berdasarkan data di atas, penulis menyimpulkan bahwa, pengaturan Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian masih memiliki kekurangan yakni: 1. Pengaturan Asuransi Syariah masih hampir sama dengan Asuransi Konvensional, hanya

yang membedakan adalah

Asuransi Syariah ditambah dengan penggunaan prinsip syariah dan prinsip tolong- menolong, bahkan asas-asas maupun prinsipprinsip pelaksanaan Asuransi baik yang konvensional maupun syariah belum diatur dalam undang-undang tersebut; 2. Pengaturan Asuransi Syariah masih di dalam satu undang-undang dan tidak dipisah tersendiri dalam undang-undang khusus. Oleh sebab itu, Asuransi Syariah perkembangannya menjadi lebih

74

lambat daripada Asuransi Konvensional. Padalah sebagai salah satu sistem Asuransi nasional memerlukan berbagai sarana pendukung agar dapat memberikan kontribusi yang maksimum bagi pengembangan ekonomi maksimum. Salah satu sarana pendukung utamanya adalah adanya pengaturan yang memadai dan sesuai dengan karakteristik Asuransi Syariah yakni dengan dibentuknya undang-undang khusus Asuransi Syariah: dan 3. Selain hal itu, dalam undang-undang tersebut belum menyebutkan lembaga pengawas bagi Asuransi Syariah yakni Dewan Pengawas Syariah (DPS). Namun, hanya menyebutkan bahwa baik Asuransi Konvensional

dan

Asuransi

Syariah

sama-sama

dibawah

pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagaimana diatur dalam Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.

B. Faktor-Faktor yang Mendorong Perkembangan Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah di Indonesia Memang Allah telah menyiapkan bahan mentah, namun bukan bahan matang. Manusia masih perlu mengolah, mencari, dan mengikhtiarkannya. Dalam hal ini manusia ditugaskan hanya mengatur bagaimana cara mengelola kehidupannya agar mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Adapun salah satu caranya adalah dengan menyiapkan bekal (proteksi) untuk kepentingan di masa yang akan datang agar segala sesuatu yang bernilai negatif, baik dalam bentuk musibah, kecelakaan, kebakaran ataupun kematian, dapat diminimalisir kerugiannya. Hal ini semacam dicontohkan oleh Nabi Yusuf secara jelas dalam menakwilkan mimpi Raja Mesir tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus. Apa yang dilakukan oleh Nabi Yusuf tersebut merupakan pelajaran berharga bagi manusia pada saat ini yang secara ekonomi dituntun untuk mengadakan persiapan secara matang untuk menghadapi masa-masa yang sulit jikalau menimpanya pada waktu yang akan datang. Praktik Asuransi

75

ataupun bisnis pertanggungjawaban dewasa ini mengadopsi nilai-nilai dari nilai-nilai Nabi Yusuf tersebut dan juga penjelasan Al-Qur’an dan Al-Hadist. Orang yang melibatkan diri ke dalam Asuransi ini adalah merupakan salah satu ikhtiar untuk menghadapi masa depan dan masa tua (Khusniati Rofiah, 2013: 150). Apabila

ditelusuri

dari

buku-buku

klasik

asuransi,

Asuransi

Konvensional berasal dari kebiasaan masyarakat Babylonia (4000-3000 SM), yang dikenal dengan Perjanjian Hammurabi, yang dikumpulkan oleh raja Babylonia dalam 282 ketentuan (Code of Hammurabi) pada tahun 2250 SM. Perjanjian ini kemudian berkembang menjadi praktik Perjanjian Bottomry (Bottomry Contract) sekitar tahun 1600-1000 SM yang dipraktikkan di masyarakat Yunani. Praktik perjanjian ini kemudian berkembang di Roma, India, Italia, Eropa, dan Amerika (Muhammad Syakir Sula, 2004: 296). Lembaga Asuransi Syariah sendiri pun sebenarnya juga sudah ada sejak awal Islam, namun praktik dan pengembangannya baru dilakukan akhirakhir ini. Pada saat ini kajian tentang Asuransi Syariah dan praktiknya terusmenerus dilakukan di berbagai negara, termasuk di Indonesia, dengan harapan masyarakat dunia khususnya umat Islam dapat memahami dengan baik praktik Asuransi yang berdasarkan syariah Islam. Perkembangan perusahaan Asuransi berlandaskan Islam di Indonesia terkait dengan beroperasinya bank syariah sehingga diperlukan kehadiran jasa Asuransi Syariah. (Novi Puspitasari, 2011: 39). Industri Asuransi di Indonesia saat ini pun mengalami pertumbuhan yang cukup pesat dalam beberapa tahun terakhir ini. Hal ini dibuktikan dengan jumlah perusahaan Asuransi baik yang konvensional maupun syariah mengalami peningkatan. Berdasarkan Laporan OJK per 31 Desember 2015, jumlah perusahaan Asuransi Konvensional yang meliputi Asuransi jiwa sejumlah 50 perusahaan, Asuransi umum sejumlah 76 perusahaan, reAsuransi sejumlah 6 perusahaan, Asuransi wajib sejumlah 3 perusahaan, dan Asuransi sosial sejumlah 2 perusahaan (http://www.ojk.go.id/id/kanal/iknb/berita-dankegiatan/publikasi/Pages/Daftar-Perusahaan-Asuransi-Umum,-Jiwa,-Reasu

76

ransi,-Asuransi-Wajib-Dan-Asuransi-Sosial.aspx, diakses tanggal 20 April 2016). Sedangkan Asuransi Syariah yang meliputi Asuransi Jiwa Syariah sejumlah 5 perusahaan, Asuransi Umum Syariah sejumlah 3 perusahaan, Unit Usaha Syariah Asuransi Jiwa sejumlah 19 perusahaan, Unit Usaha Syariah Asuransi Umum sejumlah 25 perusahaan, dan Unit Syariah ReAsuransi sejumlah 3 perusahaan. (http://www.ojk.go.id/id/kanal/ iknb/berita-dankegiatan/publikasi/Pages/Daftar-Perusahaan-Asuransi-Umum-Jiwa-dan-Rea suransi-dengan-Prinsip-Syariah.aspx, diakses tanggal 20 April 2016). Berdasarkan data tersebut, jumlah total perusahaan Asuransi Konvensional sejumlah 137 perusahaan dan perusahaan Asuransi Syariah sejumlah 55 perusahaan. Jumlah perusahaan keduanya terdapat selisih yang sangat jauh, yaitu

sejumlah

82

perusahaan

lebih

banyak

perusahaan

Asuransi

Konvensional. Sehingga dapat dikatakan bahwa jumlah perusahaan Asuransi Syariah

tidak

sampai

setengah

dari

jumlah

perusahaan

Asuransi

Konvensional. Penulis dapat menyimpulkan bahwa Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah sama-sama mengalami peningkatan dalam hal jumlah perusahaan yang telah ada. Namun, jumlah perusahaan Asuransi Syariah masih kalah jauh dari jumlah perusahaan Asuransi Konvensional. Hal ini membuktikan bahwa perkembangan Asuransi Syariah masih lambat daripada Asuransi Konvensional. Kondisi tersebut tentu dipengaruhi oleh beberapa faktor yang menyebabkan pertumbuhan Asuransi Syariah lebih lambat daripada pertumbuhan Asuransi Konvensional. Hasil analisis terhadap berbagai data dan prediksi pertumbuhan industri Asuransi menjelaskan bahwa industri Asuransi di Indonesia sebetulnya mengalami perkembangan yang signifikan dari tahun ke tahun. Namun, industri tersebut harus ditingkatkan karena penetrasinya masih rendah. Asuransi Syariah juga mengalami pertumbuhan yang tinggi. Masyarakat makin banyak memiliki pilihan Asuransi yang sesuai dengan kebutuhannya. Hasil analisis dan elaborasi berbagai data perkembangan industri Asuransi di Indonesia menunjukkan bahwa pertumbuhan Asuransi

77

secara natural didorong oleh perkembangan Pendapatan Domestik Bruto (PDB), struktur demografi serta pendidikan masyarakat (Hendrisman Rahim, 2013: 16). Selain tiga faktor tersebut juga masih terdapat faktor pendorong lainnya yang dapat mendorong perkembangan industri Asuransi di Indonesia. Faktor-faktor yang dapat mendorong perkembangan Asuransi di Indonesia baik yang konvensional dan syariah dapat dilihat dalam Tabel 4. di bawah ini.

Tabel 4. Faktor-Faktor Pendorong Asuransi di Indonesia

No. 1.

Faktor Pendorong Regulasi

Asuransi Konvensional Peraturan

Asuransi Syariah

Perundang- Al-Quran,

undangan.

Hadist,

Fatwa DSN-MUI, dan Peraturan

Perundang-

undangan. 2.

PDB

Ekonomi Indonesia pada tahun 2015 tumbuh 4,79%.

Pertumbuhan

ini

menurun

bila

dibandingkan dengan tahun 2014 sebesar 5,02%. Namun, dari sisi produksi, pertumbuhan tertinggi dicapai oleh Lapangan Usaha Jasa Keuangan dan Asuransi sebesar 12,52%. 3.

Demografi

Penduduk miskin pada bulan September 2015

dalam

sebanyak 28,51 juta orang (11,13%). Jumlah

Pendapatan per tersebut Kapita

menurun

0,08

juta

orang

bila

dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2015 yang sebesar 28,59 juta orang (11,22%).

4.

Rasio

Rasio ketergantungan tahun 1971 sebesar 86,8 dan

Ketergantungan tahun 2014 kondisinya semakin membaik dengan rasio ketergantungan sebesar 48,9.

78

5.

Tingkat

Masyarakat yang berpendidikan hingga perguruan

Pendidikan

tinggi

dari

2009

hingga

2013

mengalami

peningkatan. Penduduk yang berpendidikan hingga perguruan tinggi pada tahun 2009 sebesar 6,40%, dan tahun 2013 sebesar 6,9%. 6.

Pandangan

Berprinsip

untuk Berprinsip

Masyarakat

mengalihkan risiko.

syariah

sesuai dengan ajaran agama Islam dan untuk saling tolong-menolong sesama manusia, serta mencari keuntungan.

7.

Pendirian

Lebih dulu ada sebelum Ada setelah Asuransi Asuransi Syariah, yaitu Konvensional, pada tahun 1853.

yaitu

pada tahun 1994.

Sumber: 1. BPS (2016) 2. Hendrisman Rahim (2013)

Berdasarkan tabel di atas, akan penulis jelaskan lebih lanjut sebagai berikut: 1. Regulasi Faktor yang menjadi pendorong tingkat pertumbuhan industri perasuransian adalah faktor regulasi dan kebijakan pemerintah. Regulasi adalah sesuatu yang tidak bebas nilai karena di dalam proses pembuatannya pasti terdapat tarik menarik kepentingan yang kuat antara kepentingan publik, pemilik modal dan pemerintah. UndangUndang sebagai produk hukum tidak berada di “ruang hampa”. Ia merupakan hasil dari proses politik dan ekonomi sehingga karakternya diwarnai konfigurasi kekuatan politik dan ekonomi yang melahirkannya (Masduki, 2007:49). Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah diatur dalam suatu peraturan perundangan-undangan yakni Undang-Undang Nomor 40

79

Tahun 2014 tentang Perasuransian. Namun, untuk Asuransi Syariah juga berlandaskan Al-Quran, Al-Hadist, dan Fatwa DSN-MUI. Pada hakikatnya Asuransi Syariah adalah saling bertanggung jawab, saling bekerjasama dan saling melindungi satu sama lain, sebagaimana dalam Surat Al-Maidah (5) ayat 2 dan QS. Al-Baqarah (2) ayat 177. Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah dari segi hukum positif, sebelum hadirnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian mendasarkan legalitasnya pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Namun, undangundang ini kurang mengakomodir Asuransi Syariah di Indonesia karena tidak mengatur keberadaan Asuransi berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Kemudian dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) yaitu Fatwa DSN-MUI Nomor: 21/DSNMUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah. Tetapi Fatwa DSN-MUI tersebut tidak memiliki kekuatan hukum dalam Hukum Nasional karena tidak termasuk dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia (Suyanto, 2010: 88). Terkait proyeksi pertumbuhan industri Asuransi ke depannya, terdapat beberapa regulasi baru yang mempengaruhi, meliputi: a. Semenjak bulan Januari 2013, seluruh industri keuangan di Indonesia, termasuk dengan sektor Asuransi berada dibawah lembaga Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Lembaga ini bertugas untuk melakukan pengawasan terhadap transparansi keuangan dan kegiatan operasional seluruh lembaga keuangan,

mempertahankan

dan

memelihara

kestabilan

perekonomian, serta melindungi kepentingan Tertanggung dan masyarakat (Hendrisman Rahim, 2013: 15); b. Untuk mengakomodasi Asuransi Syariah di Indonesia dalam suatu undang-undang, maka pada tahun 2014 telah disahkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian

80

yang menggantikan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Perasuransian sebagai dasar hukum Asuransi Syariah di Indonesia (Hendri Tanjung, 2014: 287). Hadirnya undangundang Asuransi yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian yang menggantikan UndangUndang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian yang sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan jaman. Dengan lahirnya undang-undang baru yang mengatur tentang Asuransi di Indonesia, maka diharapkan dapat mengakomodir Asuransi baik konvensional dan syariah sesuai dengan perkembangan industri Asuransi Indonesia saat ini. Penulis menyimpulkan bahwa regulasi yang ada sangat mempengaruhi perkembangan industri Asuransi di Indonesia. Asuransi sebelum hadirnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian masih mendasarkan legalitasnya pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Undang-undang tersebut kurang mengakomodir Asuransi Syariah. Namun, sebelum ada undang-undang baru yang mengaturnya, Asuransi Syariah tetap mendasarkan legalitasnya pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Oleh karena itu, dalam menjalankan usaha Asuransi Syariah menggunakan pedoman yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) yaitu Fatwa DSN-MUI Nomor: 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah. Tetapi Fatwa DSN-MUI tersebut tidak memiliki kekuatan hukum dalam Hukum Nasional karena tidak termasuk dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Peraturan perundang-undangan yang mengatur Asuransi Syariah baru dibuat pada tahun 2014 yaitu dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. perkembangan

Oleh

karena

Asuransi

itu,

Syariah

sebelum berjalan

tahun

2014

lambat

tentu

daripada

81

perkembangan Asuransi Konvensional karena undang-undang yang mengaturnya baru ada pada tahun 2014. Hadirnya undang-undang Asuransi yang baru, baik Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah dapat berkembang lebih pesat lagi. Tetapi, Asuransi Syariah perkembangannya tetap masih jauh daripada Asuransi Konvensional setelah adanya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Menurut pakar Asuransi Syariah, Dr. Jafril Khalil, bahwa meskipun sudah keluar undang-undang Asuransi yang terbaru pada 2014 yaitu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, yang sudah mengakomodir kebutuhan industri Asuransi Syariah di tanah air. Namun demikian, masyarakat

pelaku

industri

Asuransi

Syariah

masih

sangat

membutuhkan undang-undang Asuransi Syariah yang tersendiri. Undang-Undang Asuransi Syariah tetap sangat dibutuhkan. Karena dengan adanya undang-undang tersebut kita akan bisa dengan baik menata industri Asuransi Syariah ini dengan jauh lebih baik dan optimal. Menurut Jafril, di negara-negara tetangga seperti Malaysia, Brunei dan bahkan juga Singapura, mereka sudah mempunyai undangundang khusus Asuransi Syariah tersebut. Menurut Jafril, di negaranegara tersebut Asuransi Syariah bisa maju, karena terdorong atau terdukung

dengan

undang-undang

tersebut

(http://keuangansyariah.mysharing.com/industri-asuransi-syariahsangat-membutuhkan-undang-undang-asuransi-syariah/ diakses tanggal 27 Mei 2016). Seperti halnya faktor pendorong perkembangan Perbankan Syariah karena adanya pengesahan produk perundangan yang memberikan kepastian hukum dan meningkatkan aktivitas pasar perbankan

syariah yakni Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008

tentang Perbankan Syariah (Halim Alamsyah, 2012: 3). Sehingga diperlukan undang-undang yang mengatur secara khusus Asuransi Syariah sama halnya undang-undang khusus Perbankan Syariah, agar industri Asuransi Syariah dapat berkembang secara optimal. Namun,

82

belum adanya undang-undang khusus yang mengatur tentang Asuransi Syariah, sehingga Asuransi Syariah tetap belum bisa bersaing secara optimal dengan Asuransi Konvensional. Apabila ada undang-undang Asuransi Syariah tersendiri, dimungkinkan Asuransi dapat lebih berkembang dan sejajar dengan konvensional. 2. Produk Domestik Bruto (PDB) Pentingnya peran PDB terhadap peningkatan permintaan Asuransi jiwa berkaitan dengan indikator kesejahteraan penduduk dan perkembangan kegiatan perekonomian makro. PDB menggambarkan tingkat pengeluaran seluruh komponen yang terdapat dalam kegiatan perekonomian

makro,

seperti

konsumsi,

investasi, pengeluaran

pemerintah, serta sektor ekspor dan impor. Semakin tinggi tingkat pengeluaran dan konsumsi yang dilakukan penduduk, maka akan mendorong peningkatan pendapatan per kapita . Kemudian selanjutnya peningkatan pendapatan per kapita akan berpengaruh terhadap fungsi permintaan Asuransi jiwa. Hal ini disebabkan karena tumbuhnya tingkat pendapatan per kapita akan memberikan keleluasaan penduduk untuk

mengatur

dan

mengelola

risiko.

Sehingga

peningkatan

pendapatan per kapita secara berkesinambungan akan menggeser fungsi permintaan Asuransi jiwa, kemudian selanjutnya akan meningkatkan jumlah premi Asuransi jiwa, serta pada akhirnya tingkat penetrasi premi Asuransi jiwa terhadap PDB (life insurance penetration) akan meningkat (Hendrisman Rahim, 2013: 16). Tingkat pertumbuhan PDB Indonesia menurut laporan Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2016, menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan Indonesia dalam tiga tahun terakhir (periode 2013-2015) cenderung untuk menurun. Lihat Grafik 1.

83

Grafik 1. Pertumbuhan PDB 2013-2015 5,8

PERSENTASE

5,6 5,4 5,2 5 4,8 4,6 4,4 2013

2014

2015

TAHUN

Sumber: BPS Berdasarkan data tersebut, laju pertumbuhan PDB dari tahun 2013 hingga tahun 2015 terlihat menurun. Laju pertumbuhan PDB pada tahun 2013 adalah sebesar 5,56%, tahun 2014 sebesar 5,02%, serta tahun 2015 sebesar 4,79%. Perekonomian Indonesia tahun 2015 yang diukur berdasarkan PDB atas dasar harga berlaku mencapai Rp11.540,8 triliun dan PDB perkapita mencapai Rp45,2 juta atau US$3,377.1. Ekonomi Indonesia pada tahun 2015 tumbuh 4,79% melambat bila dibanding tahun 2014 sebesar 5,02%. Walaupun laju pertumbuhan PDB agak menurun, namun pertumbuhan Asuransi masih tumbuh dengan jumlah tertinggi dilihat dari PDB sisi produksi. Bila dilihat dari sisi produksi, pertumbuhan tertinggi dicapai oleh Lapangan Usaha Jasa Keuangan dan Asuransi sebesar 12,52%. Struktur ekonomi Indonesia secara spasial Tahun 2015 didominasi oleh kelompok provinsi di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Kelompok provinsi di Pulau Jawa memberikan kontribusi terbesar terhadap PDB, yakni sebesar 58,29%, diikuti oleh Pulau Sumatera sebesar 22,21%, dan Pulau

Kalimantan

8,15%

https://www.bps.go.id/website/

pdf_publikasi/Laporan-Bulanan-Data-Sosial-Ekonomi-April-2016.pdf,

84

diakses tanggal 3 Mei 2016. Hal ini menununjukkan bahwa Asuransi mempunyai

peranan

yang

cukup

besar

dalam

pertumbuhan

perekonomian di Indonesia. Pertumbuhan Asuransi yang cukup tinggi, membuktikan bahwa industri Asuransi di Indonesia terus mengalami perkembangan dari tahun ke tahun. 3. Demografi dan Pendapatan per Kapita Faktor lain yang juga berperan dalam peningkatan bisnis di industri Asuransi adalah komposisi dan demografi penduduk, terutama pada ukuran pendapatan per kapita. Menurut Thobary (2009), peningkatan perekonomian makro ini telah mendorong perubahan struktur penghasilan masyarakat, sehingga sebagian masyarakat Indonesia sudah masuk dalam kategori kelas menengah dengan penghasilan per hari per individu antara US$ 2 (Sekitar Rp 18.000) hingga US$ 20 (sekitar Rp. 180.000). (Hendrisman Rahim, 2013: 1718). Dengan meningkatnya masyarakat kategori kelas menengah dapat mendorong masyarakat untuk melakukan investasi di bidang keuangan termasuk asuransi. Berdasarkan data BPS (2016) menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin pada September 2015 sebanyak 28,51 juta orang (11,13%), menurun 0,08 juta orang dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2015 yang sebesar 28,59 juta orang (11,22%) Selama periode Maret 2015–September 2015, jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan menurun sebanyak 0,03 juta orang (dari 10,65 juta orang pada Maret 2015 menjadi 10,62 juta orang pada September 2015). Hal yang sama juga terjadi di daerah perdesaan, jumlah penduduk miskin menurun sebanyak 0,05 juta orang (dari 17,94 juta orang pada Maret 2015 menjadi 17,89 juta orang pada September 2015) (https://www.bps.go.id/website/pdf_publikasi/Laporan-Bulanan-DataSosial-Ekonomi-April-2016.pdf, diakses tanggal 3 Mei 2016). Jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh Garis Kemiskinan, karena penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki

85

rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan. Selama periode Maret 2015–September 2015, Garis Kemiskinan naik sebesar 4,24 persen, yaitu dari Rp330.776,- per kapita per bulan pada Maret 2015 menjadi Rp344.809,- per kapita per bulan pada September 2015. Garis Kemiskinan (GK), terdiri dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM). Peranan GKM terhadap GK sangat dominan, yaitu mencapai 73,07 persen pada bulan

September

2015

(https://www.bps.go.id/website/pdf_publi

kasi/Laporan-Bulanan-Data-Sosial-Ekonomi-April-2016.pdf,

diakses

tanggal 3 Mei 2016). Berdasarkan data tersebut, penulis dapat simpulkan bahwa penduduk miskin mengalami penurunan, sehingga penduduk menengah Indonesia mengalami pertumbuhan. Hal ini menunjukkan tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia yang mengalami peningkatan. Kondisi ini merupakan peluang sekaligus tantangan bagi industri Asuransi untuk dapat meningkatkan market share (dalam konteks jumlah Tertanggung) dan akumulasi premi per tahunnya. Salah satu alternatif pasar sasaran yang potensial untuk dielaborasi dan dikembangkan adalah penduduk yang masuk dalam kategori kelas menengah, dengan melalui berbagai kegiatan sosialisasi tentang manfaat pengelolaan risiko melalui perusahaan asuransi, serta modifikasi dan pembuatan produk Asuransi yang lebih menarik. 4. Rasio Ketergantungan (Dependency Ratio) Faktor lain yang juga berpengaruh siginifikan terhadap pertumbuhan

Asuransi

adalah

tingkat

ketergantungan.

Rasio

ketergantungan merupakan perbandingan antara usia penduduk non produktif (penduduk 0-14 tahun dan 64 tahun ke atas) terhadap penduduk usia produktif (15-64 tahun). Menurut beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa tingginya tingkat rasio ketergantungan masyarakat akan menurunkan fungsi permintaan asuransi. Pengaruh negatif tingkat rasio ketergantungan disebabkan karena adanya tingkat

86

ketergantungan dalam satu keluarga. Semakin banyak jumlah anggota keluarga yang tidak bekerja dalam satu keluarga, akan menurunkan kemampuan keluarga tersebut untuk melakukan berbagai konsumsi barang dan jasa yang tergolong sekunder dan tersier. Selain itu, tingginya tingkat rasio ketergantungan akan membatasi kemampuan keluarga tersebut untuk melakukan kegiatan saving dan investasi (Hendrisman Rahim, 2013: 18). Data BPS (2016), jumlah penduduk (2010) 238,519 juta dan (2014) 252,165 juta, dengan laju pertumbuhan penduduk 2010-2014 sebesar

1,40%,

kepadatan

penduduk

132

jiwa/km2,

rasio

ketergantungan 48,9% dengan penduduk lansia sebesar 8,2%. Tingkat dependency ratio penduduk Indonesia pada tahun 2014 masih tergolong tinggi yaitu sebesar 48.9%. Angka ini mengandung makna bahwa setiap 100 orang usia produktif menanggung penduduk usia non produktif sekitar 48-49 orang. Dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, rasio ketergantungan penduduk Indonesia memiliki tren yang menurun. Jika pada tahun 1971 rasio ketergantungan sebesar 86,8, maka pada tahun 2014 kondisinya semakin membaik dengan rasio ketergantungan sebesar 48,9. Hal ini juga menunjukkan bahwa Indonesia telah memasuki era bonus demografi, dimana kelebihan penduduk usia produktif bisa dimanfaatkan untuk peningkatan pembangunan. Era bonus demografi akan mencapai puncaknya pada periode 2025-2030. Pulau dengan rasio ketergantungan tertinggi adalah Bali dan Nusa Tenggara (56,0), dan yang terendah Pulau Jawa (46,3). Tiga provinsi dengan rasio ketergantungan tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (67,5), Sulawesi Tenggara (61,0), dan Maluku (60,4). Sedangkan tiga provinsi dengan rasio ketergantungan terendah adalah DKI Jakarta (39,3),

Jawa

Timur

(44,5),

dan

Yogyakarta

(45,1)

(https://www.bps.go.id/website/pdf_publi kasi/Laporan-Bulanan-DataSosial-Ekonomi-April-2016.pdf, diakses tanggal 3 Mei 2016).

87

Berdasarkan data tersebut, masyarakat berpenghasilan di kelas menengah yang cenderung selalu meningkat pada setiap tahun, serta penurunan angka rasio ketergantungan yang semakin menurun, maka penetrasi industri Asuransi diperoyeksikan akan semakin meningkat dalam beberapa tahun mendatang. Tingkat rasio ketergantungan masyarakat yang menurun akan meningkatkan fungsi permintaan asuransi. Selain itu, tingkat rasio ketergantungan yang menurun akan membuat kemampuan keluarga untuk melakukan kegiatan saving dan investasi asuransi. 5. Tingkat Pendidikan Pendidikan merupakan komponen yang sangat penting dalam pembangunan ekonomi terutama dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi, karena selain berfungsi meningkatkan produktifitas kerja juga mampu menyerap penggunaan teknologi yang dibutuhkan melalui proses pendidikan itu sendiri. Indonesia sebagai negara yang masih berkembang, dimana yang masih menjadi tolak ukur dalam pendidikan adalah persentase penduduk yang menyelesaikan pendidikan sampai ke jenjang sekolah menengah, karena tahap sekolah menengah dianggap telah mencapai standar pendidikan formal sesuai standar nasional. Walaupun tak jarang juga ada yang menamatkan pendidikan hingga perguruan tinggi. Semakin

tinggi

tingkat

pendidikan

akan

memperluas

kesempatan dan menambah tingkat produktivitasnya dalam membantu keluarga, sehingga akan menurunkan tingkat dependency ratio. Sehingga

semakin

tinggi

tingkat

pendidikan

penduduk

akan

meningkatkan kesadaran dan persepsi masyarakat terhadap konsep benefit dan risiko, serta manfaat dan peran Asuransi jiwa. Indikator level pendidikan dalam satu negara dinyatakan dengan tingkat partisipasi pendidikan, yang dihitung dengan prosentase pada setiap tingkatan pendidikan, yaitu pendidikan dasar, menengah, atas dan pendidikan tinggi (Hendrisman Rahim, 2013: 19).

88

Menurut BPS (2015) menunjukkan bahwa persentase penduduk berumur 15 tahun ke atas menurut jenjang pendidikan tertinggi yang ditamatkan selama 2009-2013, menunjukkan bahwa persentase penduduk yang berpendidikan hingga perguruan tinggi pada tahun 2009 sebesar 6,40%, tahun 2010 sebesar 6,8%, tahun 2011 sebesar 6,7%, tahun 2012 sebesar 7,1%, dan tahun 2013 sebesar 6,9%. Tingkat partisipasi pendidikan yang tinggi hanya pada level pendidikan dasar yang

mencapai

28,18%

pada

tahun

2013.

(https://www.bps.go.id/website/tabelExcelIndo/indo_40_10.xls, diakses tanggal 3 Mei 2016). Berdasarkan data tersebut, masyarakat yang berpendidikan hingga

perguruan

tinggi

dari

2009

hingga

2013

mengalami

peningkatan, walaupun pada tahun 2013 sedikit menurun 0,2% dari tahun sebelumnya. Masyarakat sudah sadar akan pentingnya pendidikan hingga perguruan tinggi. Namun, pertumbuhan masyarakat yang berpendidikan tinggi masih tergolong rendah, yakni masih kurang dari 10%. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia yang dapat menikmati pendidikan di tingkat perguruan tinggi masih sangat kurang yaitu 10% dari seluruh jumlah populasi. Salah satu faktor penyebab rendahnya level pendidikan tinggi masyarakat berkaitan dengan besarnya investasi (biaya pendidikan yang mahal) untuk menempuh pendidikan tinggi. Kondisi ini memberikan peluang dan tantangan kepada industri Asuransi untuk melakukan pengembangan desain produk baru dengan karakteristik tertentu sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam bidang pendidikan. 6. Pandangan Masyarakat Banyaknya lembaga Asuransi Syariah di Indonesia dikarenakan Indonesia adalah negara yang mayoritas beragama Islam, apalagi ekonomi syariah sekarang semakin berkembang dan memiliki peluang bisnis yang prospektif seiring dengan potensi yang cukup besar. Hal tersebut diawali oleh bank-bank konvensional yang membuka cabang

89

bank Asuransi Syariah, kini pun Asuransi Konvensional membuka cabang Asuransi Syariah (Zainudin Ali, 2008: 13). Masyarakat yang mayoritas Islam ini lebih memilih Asuransi Syariah karena pelaksanaannya sesuai dengan ajaran Islam. Mereka ingin melakukan kegiatan yang sesuai ajaran Islam dan agar terhindar dari sifat riba’, maysir dan gharar. Sedangkan Asuransi Konvensional mengandung sifat riba’, maysir dan gharar. Selain itu, masyarakat dapat menolong sesama dalam Asuransi Syariah ini, tidak seperti dalam Asuransi Konvensional yang ada hanya sebatas aspek jual beli. Karena pada dasarnya dalam ajaran Islam telah terdapat referensi yang jelas tentang adanya semangat untuk melakukan tolong-menolong (ta’awun) antara sesama manusia sebagaimana dalam QS. Al-Maidah (5): 2. Semangat tolong-menolong inilah yang mendasari lahirnya Asuransi Syariah atau Takaful sebagai alternatif dari Asuransi Konvensional. Asuransi Syariah harus dibangun atas dasar ta’awun (kerja sama), tolong menolong, saling menjamin, tidak berorentasi bisnis atau keuntungan materi semata. Asuransi Syariah tidak bersifat mu’awadhah

sebagaimana

pada

Asuransi

Konvensional,

tetapi

menggunakan akad tabarru’ atau mudharabah. Sumbangan (tabarru’) sama dengan hibah (pemberian), oleh karena itu haram hukumnya ditarik kembali. Kalau terjadi peristiwa, maka diselesaikan menurut syariat Islam. Setiap anggota yang menyetor uangnya menurut jumlah yang telah ditentukan, harus disertai dengan niat membantu demi menegakan prinsip ukhuwah. Kemudian dari uang yang terkumpul itu diambilah sejumlah uang guna membantu orang yang sangat memerlukan (Khusniati Rofiah, 2013: 152). Sehingga masyarakat muslim yang ingin menolong sesamanya sesuai prinsip syariah dapat menggunakan Asuransi Syariah. Selain ingin menolong sesama melalui Asuransi Syariah, masyarakat yang menggunakan Asuransi Syariah juga mengharapkan adanya keuntungan. Keuntungan tersebut adalah masyarakat yang pada

90

dasarnya seorang Peserta Asuransi Syariah dalam keputusannya menjadi

Peserta

asuransi,

karena

mereka

ingin

mendapatkan

penjaminan atas kerugian resiko yang dihadapi. Selain itu, return atau klaim yang tinggi menjadi salah satu alasan mengapa Peserta Asuransi memilih perusahaan Asuransi Syariah. Klaim yang tinggi dan kompetitif dalam hal ini contohnya adalah cepatnya pembayaran klaim oleh perusahaan Asuransi kepada Peserta asuransi, juga menjadi alasan Peserta Asuransi Syariah memilih perusahaan Asuransi Syariah (Cony Marta W., 2015: 13-14). Sehingga dapat dikatakan bahwa harga berpengaruh terhadap loyalitas Peserta Asuransi Syariah yaitu semakin tinggi nisbah bagi hasil yang dalam hal ini dapat dikategorikan sebagai return, maka semakin banyak nasabah yang menjaga loyalitasnya kepada perusahaan Asuransi Syariah. 7. Pendirian Pada saat ini perkembangan Asuransi Syariah di berbagai negara termasuk di Indonesia memang cukup pesat. Keberadaan usaha Asuransi Syariah tidak lepas dari keberadaan usaha Asuransi Konvensional yang telah ada sejak lama. Sebelum terwujud usaha perasuransian syariah sudah terdapat berbagai macam perusahaan Asuransi Konvensional yang telah lama berkembang. Atas dasar keyakinan umat Islam dunia dan manfaat yang diperoleh melalui konsep Asuransi Syariah, maka lahirlah berbagai perusahaan Asuransi yang menjalankan usaha perasuransian berlandaskan prinsip syariah. Perusahaan ini bukan saja dimiliki orang Islam, namun juga berbagai perusahaan milik non muslim. Selain itu juga terdapat perusahaan induk dengan konsep konvensional ikut memberikan layanan Asuransi Syariah dengan membuka kantor cabang atau unit usaha syariah (Novi Puspitasari, 2011: 39). Asuransi masuk ke Indonesia pada waktu penjajahan Belanda yang dipicu oleh sektor perkebunan dan perdagangan. Masuknya Asuransi ke Indonesia adalah setelah berdirinya sebuah perusahaan

91

Asuransi Belanda yaitu De Nederlanden Van 1845. Di Indonesia, oleh orang Belanda didirikan sebuah perusahaan Asuransi jiwa pertama dengan nama Nederlandsh Indisch Leven Verzekering En Liefrente Maatschappij (NILMIY) dimana perusahaan ini terakhir diambil alih oleh Pemerintah Indonesia dan berubah menjadi PT. Asuransi Jiwasraya. Pada tahun 1853 terdapat perusahaan Asuransi kerugian pertama di Indonesia yaitu Bataviasche Zee End Brand Asrantie Maatschappij. Pada tahun 1912 didirikan perusahaan Asuransi jiwa bernama Asuransi Jiwa Boemi Poetra 1912. Pada tahun 1973 Perusahaan Negara Asuransi Bendasraya digabungkan dengan PT Umum Internasional Underwriter menjadi PT. Asuransi Jasindo. Untuk kesejahtraan rakyat, pemerintah juga mendirikan perusahaan Asuransi sosial

yang

melaksanakan

kegiatannya

berdasarkan

ketentuan

perundang-undangan, yaitu Asuransi Jasa Rahardja untuk Asuransi kecelakaan lalu lintas; Perum Taspen untuk Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri; Perum Asabri untuk anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia; dan Jamsostek, yaitu Asuransi kecelakaan tenaga kerja perusahaan swasta (https://www.asura.co.id/blog/sejarah-danperkembangan-asuransi-di-indonesia, diakses pada tanggal 21 Juli 2016). Asuransi Syariah di Indonesia lahir pertama kali dengan berdirinya Asuransi Takaful Indonesia pada tanggal 25 Agustus 1994 melalui

Surat

Keputusan

Menteri

Keuangan

No.

Kep-

385/KMK.017/1994. Pendirian Asuransi Takaful Indonesia diprakarsai oleh Tim Pembentuk Asuransi Takaful Indonesia (TEPATI) yang dipelopori oleh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) melalui Yayasan Abdi Bangsa, Bank Muamalat Indonesia, Asuransi Jiwa Tugu Mandiri, Pejabat dari Departemen Keuangan, dan Pengusaha Muslim Indonesia (Training and Development Departement PT Asuransi Takaful Keluarga, 2002: 2). Karena pendirian Asuransi Syariah hadir belakangan, maka Asuransi Syariah dalam perkembangannya belum

92

dapat mengejar perkembangan Asuransi Konvensional yang lebih dulu hadir jauh sebelum Asuransi Syariah ada.

Disisi lain, terdapat pula faktor penghambat yang mempengaruhi kurang berkembangnya industri Asuransi di Indonesia yaitu masyarakat merasa enggan berurusan dengan Asuransi karena beberapa alasan sebagai berikut

(http://www.kompasiana.com/empuratu/apa-yang-menarik-dari-

asuransi-syariah_54f5d9e3a33311fd518b468b, diakses tanggal 27 Mei 2016): 1. Lembaga Keuangan yang rawan korupsi. Memang beberapa kasus yang melibatkan oknum perusahaan membawa kabur uang Tertanggung. Ketika para Tertanggung menuntut haknya, para pimpinan justru melarikan diri dan saling melempar tanggung jawab. Ini membuktikan lemahnya ketahanan perusahaan Asuransi tersebut. 2. Proses klaim

yang berbelit-belit, seakan

sengaja menyulitkan

Tertanggung agar tidak jadi menuntut haknya. 3. Tidak terjadi hubungan simbiosis mutualisme, dimana kedua pihak sama-sama mendapat untung. Kebanyakan Asuransi justru merugikan Tertanggung. Walau telah membayar iuran dalam kurun waktu tertentu, Tertanggung tidak bisa menarik uangnya karena ia tidak mengalami 'musibah'. 4. Terlalu pasrah dengan mengatakan semua yang dialami adalah takdir.

Khusus untuk Asuransi Syariah juga terdapat beberapa faktor yang menghambat lancarnya bisnis Asuransi Syariah di Indonesia, yaitu: Pertama, Kultur budaya; masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang kompleks dan heterogen. Dalam kultur budaya jawa misalnya cenderung menerima apa adanya atas segala macam masalah dan musibah. Mereka tidak mau nekoneko, sehingga mereka beranggapan bahwa mengasuransikan jiwa atau rumah misalnya sebagai sebuah tindakan yang menyalahi perilaku leluhur dan bertentangan dengan filisofi jawa. Belum lagi sebagian besar mereka masih awam, kurang pendidikan dan tinggal di pedesaan. Maka solusi yang harus

93

diupayakan walau butuh waktu lama dan dana besar adalah dengan merubah masyarakat Indonesia dari pola pikir yang kuno dan tradisional pada pola pikir modern dan rasional lewat jalur pendidikan formal atau non formal, seperti penyuluhan dan pengajian di majelis-majelis taklim. Atau minimal pemerintah dan industri-industri Asuransi sering bersosialisasi ke masyarakat terutama kalangan menengah ke bawah dan pedesaan. Kedua, pemahaman masyarakat tentang agama, khususnya agama Islam yang belum lengkap dan sepotong-potong tentang hukum asuransi. Dalam opini masyarakat masih tertanam bahwa hukum Asuransi haram secara mutlak. Sebagian dari mereka belum mengenal adanya Asuransi Syariah. Maka solusinya adalah bagaimana merubah sebuah dogma haram tentang Asuransi yang sudah mengeras dalam keyakinan sebagian besar umat Islam Indonesia ini. Para ulama yang berbeda pendapat ini secara terbuka di hadapan masyarakat luas dan MUI yang di Pusat sebagai pembawa aspirasi umat Islam Indonesia, hendaknya mensosialisasikan tentang fatwa hukum asuransi, agar umat Islam di Indonesia mempunyai pandangan dan pegangan yang lebih mantap terhadap asuransi. Ketiga, adanya keterbatasan sumber daya manusia yang andal dan betul-betul memahami secara mendalam tentang praktik Asuransi Syariah, baik berkenaan dengan operasional sebuah perusahaan Asuransi ataupun pemahaman terhadap landasan hukum syariahnya bagi produk-produk yang dikeluarkan oleh sebuah perusahaan Asuransi Syariah (Khusniati Rofiah, 2013: 155-156). Berdasarkan uraian di atas, dapat penulis simpulkan bahwa perkembangan Asuransi tidak hanya dipengaruhi oleh faktor pendorongnya saja, tetapi juga faktor penghambatnya. Industri Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah sama-sama didorong oleh perubahan regulasi yaitu dibentuknya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian yang menggantikan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Asuransi, namun perbedaannya Asuransi Syariah juga menggunakan Fatwa DSN-MUI yang berdasarkan Al-Quran, Hadist, Ijma, dan Qiyas. Persamaan lainnya adalah Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah juga didorong

94

oleh faktor PDB dari sisi produksi, pertumbuhan tertinggi dicapai oleh Lapangan Usaha Jasa Keuangan dan Asuransi sebesar 12,52%; rasio ketergantungan masyarakat yang menurun;

demografi penduduk yang

berjumlah miskin berkurang, sehingga penduduk kelas menengah meningkat; masyarakat yang berpendidikan hingga perguruan tinggi yang mengalami peningkatan; tentu hal tersebut dapat mempengaruhi pertumbuhan industri Asuransi di Indonesia. Selain itu, perkembangan Asuransi Konvensional lebih cepat daripada Asuransi Syariah karena pendirian Asuransi Konvensional lebih dulu sebelum Asuransi Syariah. Disisi lain, yang menghambat Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah adalah masyarakat tidakpercaya terhadap lembaga asuransi, tidak menguntungkan, klaim yang rumit, dan pasrah terhadap takdir. Sedangkan khusus untuk Asuransi Syariah adalah masyarakat belum paham mengenai Asuransi Syariah, kurang sosialisasi, kurangnya sumber daya manusia yang paham mengenai Asuransi Syariah. Oleh karena, itu diperlukan pelaku Asuransi yang aktif, kreatif, dan inovatif baik dari segi pelayanan, promosi atau sosialisasi maupun pengembangan produk-produk serta meyakinkan kepada masyarakat luas tentang fungsi dan manfaat Asuransi dalam kehidupan agar dapat menarik minat masyarakat sehingga industri Asuransi baik Asuransi Konvensional maupun Asuransi Syariah dapat terus tumbuh berkembang dan menguntungkan bagi ekonomi di Indonesia.