8 BAB II LANDASAN TEORI A. PERKEMBANGAN ANAK PERTUMBUHAN

Download Berdasarkan pendapat para ahli diatas mengenai pengertian perkembangan dapat disimpulkan bahwa ... pada tingkat usia lain. Berdasarkan hal ...

0 downloads 710 Views 412KB Size
BAB II LANDASAN TEORI

A. Perkembangan Anak Pertumbuhan dan perkembangan merupakan dua istilah yang berbeda tapi keduanya saling berkaitan satu dengan yang lain. Para ahli memiliki pendapat yang berbeda-beda mengenai arti dari pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan berkaitan dengan perubahan fisiologis yang bersifat kuantitatif, yang mengacu pada jumlah, besar serta luas yang bersifat konkrit yang biasanya menyangkut ukuran dan struktur biologis sebagai hasil dari proses kematangan fungsi fisik yang berlagsung secara normal dalam perjalanan waktu tertentu. Perkembangan

berasal

dari

terjemahan

kata

Development

yang

mengandung pengertian perubahan yang bersifat psikis/mental yang berlangsung secara bertahap sepanjang manusia hidup untuk menyempurnakan fungsi psikologis yang diwujudkan dalam kematangan organ jasmani dari kemampuan yang sederhana menjadi kemampuan yang lebih kompleks, misalnya kecerdasan, sikap, dan tingkah laku (Susanto, 2011:21). Menurut Poerwanti (2005:2) ”perkembangan merupakan proses perubahan kualitatif yang mengacu pada kualitas fungsi organ-organ jasmaniah, dan bukan pada organ jasmaniahnya, sehingga penekanan arti perkembangan terletak pada penyempurnaan fungsi psikologis yang termanifestasi pada kemampuan organ fisiologis”. Perkembangan berkaitan dengan perubahan kualitatif dan kuantitatif atau dapat didefinisikan sebagai deretan kemajuan dari perubahan yang teratur dan koheren. Kemajuan yang dimaksud disini adalah bahwa perubahan yang terjadi

8

9

bersifat terarah untuk maju menjadi lebih baik, sedangkan teratur dan koheren menunjukkan bahwa setiap perubahan yang sedang terjadi dan yang akan terjadi atau telah terjadi saling berhubungan (Hurlock, 1978:23). Menurut Reni Akbar Hawadi (dalam Desmita, 2014:9) perkembangan secara luas diartikan sebagai keseluruhan proses perubahan potensi yang dimiliki individu yang diwujudkan dalam bentuk kualitas kemampuan, sifat, ciri-ciri yang baru. Perkembangan juga mencakup konsep usia, yang dimulai saat terjadinya pembuahan dan akan berakhir dengan kematian. Berdasarkan pendapat para ahli diatas mengenai pengertian perkembangan dapat disimpulkan bahwa perkembangan anak adalah sebuah proses perubahan pada diri seorang anak menuju tahap pendewasaan/kematangan fungsi fisik dan psikologis yang terjadi dalam periode waktu tertentu, perkembangan bersifat kualitatif atau tidak dapat dinyatakan dengan angka.

1. Hukum dan Prinsip Perkembangan Hukum perkembangan dan prinsip perkembangan pada dasarnya merupakan dua istilah dengan makna yang sama, hanya penggunaannya saja yang berbeda. Sebagian ahli psikologi lebih sering menggunakan istilah prinsip perkembangan sedangkan di Indonesia lebih dikenal istilah hukum perkembangan, perbedaan kedua istilah tersebut tidak memberikan pengaruh fundamental terhadap makna dasar yang dikandungnya yakni patokan. Hukum atau prinsip perkembangan inilah yang akan dijadikan sebagai patokan atau tolak ukur apakah proses perkembangan anak sudah berjalan sebagaimana mestinya seperti anakanak lain pada umumnya.

10

a. Hukum Perkembangan Hukum

perkembangan

adalah

prinsip-prinsip

yang

mendasari

perkembangan fisik maupun psikis individu. Menurut Crow and Crow (dalam Hidayah, 2009:9) menyebutkan bahwa hukum perkembangan

meliputi:

Perkembangan tidak dapat dinyatakan dalam angka/kualitatif ; Perkembangan sangat dipengaruhi oleh hasil belajar; Usia anak mempengaruhi perkembangan; Setiap anak memiliki tempo perkembangan yang berbeda; Dalam keseluruhan periode perkembangan setiap anak mengikuti pola perkembangan umum yang sama; Perkembangan dipengaruhi faktor hereditas dan faktor lingkungan; Perkembangan yang lambat dapat dipercepat; Perkembangan meliputi proses anakalisasi dan integrasi. b. Prinsip Perkembangan Menurut Para Ahli Hukum perkembangan dan prinsip perkembangan merupakan dua istilah yang memiliki makna yang sama, hanya saja istilah prinsip perkembangan lebih sering digunakan dalam ranah psikologi. Berikut ini adalah prinsip-prinsip yang disampaikan oleh para ahli: 1) Prinsip pertumbuhan dan Perkembangan menurut Witherington Witherington

menjelaskan

tentang

prinsip

pertumbuhan

dan

perkembangan yang dikutip oleh Hidayah (2009:9) yaitu: a) Maturity (kematangan); b) Pertumbuhan dan perkembangan lebih cepat pada tahun-tahun awal (perkembangan aspek fisik dan psikis lebih cepat berkembang pada tahap awal dari pada tahap berikutnya); c) Setiap anak memiliki tempo perkembangan masing-masing, ada yang cepat ada yang lambat dan gelombang perkembangan juga tidak selalu sama; d) Setiap anak mengikuti periode perkembangan umum

11

walaupun ada perbedaan antar tiap individu; e) Pengaruh hereditas dan lingkungan sama-sama penting bagi proses pertumbuhan dan perkembangan; f) Pertumbuhan anak

dapat terhambat/terlambat dan dapat dipercepat;

g) Kapasitas anak yang dibawa sejak lahir tidak mungkin dapat dicapai dengan maksimal tanpa adanya proses belajar; h) Setiap umur kronologis, anak perempuan lebih cepat terlihat dewasa pada saat memasuki usia remaja dibanding dengan anak laki-laki. 2) Prinsip Perkembangan menurut Hurlock Hurlock

(1978:23-40)

menjelaskan

mengenai

prinsip-prinsip

perkembangan anak yang ditulis dalam bukunya, prinsip tersebut adalah: a) Perkembangan melibatkan adanya perubahan Perkembangan selalu ditandai adanya perubahan yang bersifat progresif, yang bertujuan agar manusia dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungan dengan cara realisasi diri dan pencapaian kemampuan genetik. Perubahan yang dimaksudkan disini termasuk perubahan ukuran tubuh, bentuk tubuh dan kemampuan, serta hilangnya ciri-ciri lama untuk diganti dengan ciri-ciri baru. b) Perkembangan awal lebih kritis dari perkembagan selanjutnya Perkembangan merupakan proses yang berkelanjutan (continue), dimana perkembangan sebelumnya mempengaruhi perkembangan selanjutnya, maka kesalahan atau gagguan pada awal perkembangan akan terus mempengaruhi perkembangan-perkembangan berikutnya. c) Perkembangan merupakan hasil proses kematangan dan belajar Dalam kehidupan sering sulit dibedakan antara perubahan yang merupakan hasil belajar dengan perubahan karena kematangan, hal ini dikarenakan hasil

12

antara keduanya sering terintegrasi. Hanya dapat ditandai bahwa perubahan karena belajar diperoleh melalui usaha sadar atau latihan. d) Pola perkembangan dapat diramalkan Pola perkembangan manusia mengikuti pola umum oleh karena itu dengan melakukan pengamatan longitudianal yakni sejak awal perkembangan anak maka akan dapat diramalkan pola perkembangan berikutnya, baik yang menyangkut perkembangan fisik maupun psikis. e) Pola perkembangan memiliki karakteristik yang dapat diramalkan Tidak hanya pola perkembangan saja yang dapat diramalkan, tetapi karakteristik tertentu dari tingkat perkembangan juga dapat diramalkan, baik dalam hal ukuran, dan kapan kematangan atau kapan masa peka (masa yang paling tepat untuk mengembangkan kemampuan tertentu). Apabila masa peka anak dapat terpenuhi dan mendapat penangan yang tepat maka anak akan berkembang dengan baik pula. f) Dalam perkembangan ditemui perbedaan individual Perkembangan manusia menikuti pola umum, tetapi tempo dan irama perkembangan bersifat individual, dalam pengertian kecepatan, urutan perkembangan, serta kualitas kemampuan yang dapat dicapai setiap individu tidak akan ada yang sama. Orangtua diharapkan mampu memberikan perlakuan sesuai dengan perkembangan anaknya. g) Setiap periode perkembangan mengandung harapan sosial Manusia dapat mempelajari pola perilalu dan keterampilan tertentu dengan lebih baik dan berhasil pada usia tertentu dibanding pada tingkat usia lain. Berdasarkan hal tersebut, kelompok sosial tertentu berharap setiap individu

13

dalam kelompoknya dapat bersikap sama dan mempunyai kemampuan khusus yang sama pada tahap perkembangan tertentu, itulah yang disebut sebagai harapan sosial. Harapan sosial merupakan kriteria yang digunakan oleh masyarkat

untuk

menetapkan

apakah

perkembangan

anak

termasuk

perkembangan normal atau tidak. h) Setiap bidang perkembangan mengandung bahaya sosial Umumnya pola perkembangan anak berjalan normal namun orangtua harus selalu mewaspadai adanya gangguan baik yang berasal dari diri anak ataupun lingkungan. Gangguan dapat mempengaruhi penyesuaian fisik, psikologis maupun sosial, hal tersebut secara tidak langsung mengakibatkan berubahnya pola perkembangan anak. i) Kebahagiaan bervariasi pada berbagai fase perkembangan Kebahagiaan merupakan hal yang bersifat subyektif sehingga setiap individu akan berbeda tingkat rasa bahagianya, penyebab munculnya rasa bahagia, serta waktunya. Membahagiakan seseorang pada tahap tertentu belum tentu membuatnya merasa bahagia pada tahap perkembangan selanjutnya. Semua pendapat ahli mengenai prinsip perkembangan memiliki inti yang sama yakni setiap anak akan mengalami proses perkembangan selama perjalanan kehidupan msebagai penanda kematangan individu. Masa anak-anak merupakan masa dimana proses perkembangan akan berjalan dengan sangat pesat, oleh sebab itu dengan memahami prinsip perkembangan pada anak maka diharapkan orangtua bisa memberikan pelayanan sesuai dengan ciri perkembangan anak pada tahap tertentu. Pelayanan yang tepat sesuai kondisi anak maka akan sangat

14

membantu anak menyelesaikan tugas perkembangannya dan menyiapkan diri untuk tugas perkembangan selanjutnya.

2. Tahap Perkembangan Anak Tahap perkembangan dapat diartikan sebagai fase atau periode perjalanan kehidupan anak yang diwarnai dengan ciri khusus atau pola tingkah laku tertentu. Secara umum menurut Papalia, Olds & Feldman yang dikutip oleh Dariyo (2007:37-42) membagi perkembangan manusia menjadi sembilan tahapan yang akan dijelaskan sebagai berikut: a. Masa Pra-natal Masa pra-natal atau lebih dikenal dengan masa sebelum lahir, ditandai dengan proses pembentukan sistem jaringan dan struktur organ-organ fisik. Pertumbuhan dan perkembangan dimulai sejak terjadinya pertemuan sel sperma dengan sel telur yang bakal menjadi calon manusia. Proses perubahan tersebut berlangsung secara cepat yakni 9 bulan 10 hari atau 42-43 minggu. Pertumbuhan dan perkembangan janin pada masa pra-natal ini sangat dipengaruhi oleh kondisi ibu dan lingkungannya. b. Masa Bayi dan Anak Tiga Tahun Pertama (Atitama/Toddler) Saat janin berusia 9 bulan 10 hari seluruh organ fisiknya telah matang (mature) dan bayi siap dilahirkan ke dunia, setelah dilahirkan bayi segera menangis sebagai tanda berfungsinya perasaan dan panca-indra dalam menghadapi penyesuaian diri dengan lingkungan hidupnya yang baru. Bayi akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan dibawah pengasuhan dan bimbingan

15

orangtua, pada masa ini anak akan belajar mengembangkan kemampuan motoriknya dengan cara merangkak, berjalan, bahkan berlari. c. Masa Anak-anak Awal (Early Childhood) Secara kronologis usia yang tergolong masa anak-anak awal (early childhood) saat anak berusia 4 tahun-5 tahun 11 bulan. Anak-anak pada masa ini masih memfokuskan diri pada hubungan dengan orangtua atau keluarga, masa anak-anak awal ditandai dengan kemandirian, kemampuan mengontrol diri (self control) serta keinginan untuk memperluas pergaulan melalui kegiatan bermain sendiri atau bermain dengan teman sebayanya. Manfaat permaianan pada masa anak-anak awal adalah mengembangkan kepribadian, bermain juga berguna untuk mengembangkan kemampuan motorik halus dan kasar anak. d. Masa Anak-anak Tengah (Middle Childhoood) Masa anak-anak tengah dialami oleh anak-anak usia 7-9 tahun, atau secara akademis anak-anak yang duduk di kelas awal SD (kelas 1, 2, dan 3). Kehidupan sosial anak pada masa ini diwarnai dengan kekompakan kelompok teman sebaya yang berjenis kelamin sejenis (homogen). Anak-anak mulai mengembangkan kepribadian seperti pembentukan konsep diri fisik, sosial, dan akademis untuk mendukung perkembangan harga diri, percaya diri dan efikasi diri. e. Masa Anak Akhir (Late Childhood) Masa anak-anak akhir (late childhood) berlangsung pada anak dengan usia 10-12 tahun atau pada anak yang sedang duduk di SD kelas atas (kelas 4, 5, dan 6) masa ini sering juga disebut sebagai masa bermain. Ciri-ciri anak pada masa ini adalah memiliki dorongan untuk masuk dalam kelompok sebaya, dengan kata lain pada

usia ini anak-anak mulai membentuk geng karena anak-anak merasa

16

nyaman berada dalam lingkungan sebayanya. Menurut Piaget pada masa ini cara berpikir anak masuk tahap konkrit. f. Masa Remaja (Adolescence) Masa remaja berlangsung antara usia 12-21 tahun, perkembangan anak pada masa ini sangat labil karena masa ini merupakan masa peralihan dari masa anak-anak menuju ke masa dewasa. Ciri-ciri seorang anak telah memasuki masa remaja adalah pertumbuhan fisik relatif cepat, organ-organ fisik telah mencapai taraf kematangan yang memungkinkan berfungsinya sistem reproduksi dengan sempurna. g. Masa Dewasa Muda (Young Adulthood) Umumnya seseorang digolongkan sebagai dewasa muda saat individu berusia 22-40 tahun. Segala aspek perkembangan pada usia ini bisa dikatakan telah matang, tapi pada organ-organ tertentu masih tetap tumbuh dan berkembang walupun berjalan dengan sangat lambat. h. Masa Dewasa Tengah (Middle Adulthood) Masa dewasa tengah merupakan masa yang penuh tantangan karena kondisi fisik individu sudah mulai mengalami penurunan, untuk wanita ditandai dengan mulai terjadinya menopause. Masa dewasa tengah umumnya terjadi pada usia 40-60 tahun, pada beberapa orang tertentu pada masa ini muncul puber kedua dimana individu suka berdandan bahkan mungkin jatuh cinta lagi. i. Masa Dewasa Akhir (Late Adulthood) Masa dewasa akhir lebih sering disebut sebagai masa tua, dimana masa ini merupakan masa terakhir dalam kehidupan manusia. Umumnya seseorang dikatakan sudah tua saat berusia lebih dari 60 tahun. Masa ini ditandai dengan

17

semakin menurunnya berbagai fungsi fisik dan organ-organ tubuh, melemahnya otot-otot tubuh sehingga akan merasa cepat lelah dan semakin sering mendapat keluhan penyakit, selain itu fungsi ingatan juga semakin melemah atau sering disebut pikun. Berdasarkan penjelasan di atas mengenai tahap perkembangan manusia diharapkan orangtua mampu memahami bahwa tahap perkembangan merupakan suatu proses yang berjalan berurutan dan tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Melalui pembagian tahapan perkembangan ini orangtua akan lebih mudah memahami perkembangan anak sesuai dengan usianya.

3. Aspek Perkembangan Anak Aspek perkembangan pada anak terdiri dari perrkembangan fisik, perkembangan intelegtual/kognitif, perkembangan emosi, serta perkembangan psikososial. Keempat aspek tersebut sangat penting bagi perkembangan anak, karena aspek-aspek tersebut saling terkait satu dengan yang lain sehingga semua aspek perkembangan tersebut harus mendapat perhatian yang sama. Berikut ini merupakan penjelasan mengenai aspek perkembangan yang dilalui setiap anak. a. Perkembangan Fisik Perkembangan fisik adalah perubahan struktur tubuh manusia yang terjadi sejak individu berada dalm kandungan hingga ia dewasa. Perkembangan fisik merupakan hal yang mendasar bagi kemajuan perkembangan aspek lainnya, jika fisik berkembang dengan baik maka anak akan lebih bisa mengembangkan keterampilan fisiknya, mengeksplor lingkungannya tanpa bantuan orang lain. Perkembangan fisik anak ditandai dengan berkembangnya kemampuan motorik

18

halus maupun kemampuan motorik kasar, makan yang bergizi akan sangat mempengaruhi perkembangan fisik anak dengan terpenuhinya gizi maka perkembangan fisik tidak akan terganggu dan dapat berjalan sesuai dengan umurnya (Susanto, 2011:33). b. Perkembangan Kognitif Perkembangan kognitif merupakan kemampuan individu untuk berpikir lebih kompleks yang meliputi perkembangan kemampuan berpikir (thinking), memecahkan masalah (problem solving), mengambil keputusan (decision making), kecerdasan (intellegence), bakat (aptittude). Semakin berkembangnya kemamapuan kognitif akan memudahkan anak menguasai pengetahuan yang lebih luas, sehingga anak mampu menyelesaikan tugas perkembangannya dengan baik, serta mampu berinteraksi dengan masyarakat dan lingkunganya dengan semestinya. Optimalisasi perkembangan kognitif sangat dipengaruhi oleh kematangan fisiologis sehingga perkembangan kognitif dapat berjalan dengan baik dan koordinatif (Dariyo, 2007:43). c. Perkembangan Sosial Perkembangan sosial merupakan pencapaian suatu kemampuan untuk berperilaku/bersikap sesuai dengan harapan sosial yang berlaku di lingkungan sosialnya. Individu dikatakan sesuai dengan harapan sosial jika mencakup paling tidak tiga komponen, yaitu belajar berperilaku dengan cara yang disetujui secara sosial, bermain dalam peranan yang disetuji secara sosial, dan pengembangan sikap social. Hurlock menyatakan indikator dari perilaku sosial dinyatakan sukses adalah adanya kerjasama, persaingan yang sehat, keamauan berbagi (sharing),

19

minat untuk diterima, simpati, empati, ketergantungan, persahabatan, keinginan permanfaat, imitasi, dan perilaku lekat (Hartinah, 2010: 37). d. Perkembangan Emosi Emosi merupakan gejala perasaan disertai dengan perubahan perilaku fisik sebagai respon dari hal-hal terjadi /dirasakan individu pada waktu tertentu seperti marah ditunjukkan dengan teriakan suara keras, atau gembira ditunjukkan dengan tertawa dan melonjak kegirangan. Kemampuan bereaksi secara emosional sudah dimiliki anak sejak lahir, namun perkembangan emosional berikutnya tidak berjalan dengan sendirinya tetapi sangat dipengaruhi oleh peran pematangan dan peran proses belajar (Poerwanti, 2002:42).

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Anak Proses pertumbuhan dan perkembangan anak seharusnya sama pada setiap individu, namun pada kenyataannya tidak semua individu berkembang seperti anak-anak lainnya. Banyak hal menjadi faktor penyebab perkembangan anak tidak sama seperti anak lain pada umumnya. Para ahli memiliki beberapa pendapat mengenai faktor yang mempengaruhi perkembangan. Berikut ini merupakan aliran-aliran yang dijadikan sebagai pedoman para ahli mengenai faktor yang mempengaruhi perkembangan (Hidayah, 2009:3) : a. Aliran Nativisme Para ahli

yang mengikuti aliran nativisme berpendapat bahwa,

perkembangan individu semata-mata ditentukan oleh faktor-faktor yang dibawa sejak lahir atau keturunan. Menurut aliran ini berbagai keistimewaan orangtua akan secara otomatis diwariskan kepada anaknya tanpa melalui pendidikan atau

20

proses belajar, dengan kata lain aliran ini pesimis terhadap hasil pendidikan dan lingkungan

dalam

menentukan

perkembangan

anak.

Aliran

ini

tidak

dipertahankan karena kurang bisa dipertanggung jawabkan, tokoh utama aliran ini adalah Schopenhauer. b. Aliran Empirisme Aliran empirisme menyatakan bahwa perkembangan manusia sepenuhnya dipengaruhi oleh lingkungan atau pendidikan yang diperoleh, anak-anak akan berkembang dengan maksimal bila lingkungannya menyediakan kondisi-kondisi yang merangsang perkembangan. Aliran ini sangat optimis terhadap usaha pendidikan dalam mempengaruhi perkembangan anak, anak seperti ketas putih yang dapat diisi apa saja dengan belajar dan pengalaman yang diperolehnya, tokoh yang terkenal menganut aliran ini adalah John Locke. c. Aliran Konvergensi Aliran konvergensi ini berpendapat bahwa didalam perkembangan individu dipengaruhi oleh faktor bawaan dan lingkungan yang saling berintegrasi. Faktor bawaan tidak akan ada artinya bila tidak didukung adanya pengalaman, kesempatan, dan usaha belajar, sebaliknya lingkungan juga tidak akan berpengaruh bila individu tidak membawa kecenderungan yang potensial untuk dikembangkan. Tokoh aliran ini adalah William Stern (Poerwanti, 2002:56). Berdasarkan ketiga aliran yang dijelaskan oleh para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi kualitas perkembangan anak ditentukan oleh:

21

1) Faktor Intern (Alami) Faktor intern adalah faktor yang mempengaruhi perkembangan yang berasal dari dalam individu itu sendiri. Berikut ini merupakan beberapa hal yang diduga sebagai faktor intern yang mempengaruhi proses perkembangan: a) Genetika/Hereditas (Keturunan) Pertumbuhan dan perkembangan anak sangat dipengaruhi oleh faktor keturunan/genetik yang didapat dari orangtuanya. Faktor genetik lebih menekankan pada aspek fisiologis dan psikologis yang yang dibawa melalui alian darah dalam kromosom sehingga faktor ini bersifat statis, misalnya bentuk fisik, kesehatan, sifat, kepribadian, minat, bakat, kecerdasan. b) Hormon Pengaruh hormon sudah terjadi sejak masa prenatal, yaitu saat janin berumur 4 bulan, pada saat itu terjadi pertumbuhan yang cepat. Beberapa hormon yang berpengaruh dalam proses tumbuh kembang anak adalah hormon pertumbuhan somatotropin, sedangkan hormon estrogen dan progesteron merupakan hormon seksual yang berguna saat anak mulai memasuki usia remaja sebagai salah satu penanda kematangan individu. 2) Faktor Ekstern (Lingkungan) Faktor ekstern merupakan faktor yang mempengaruhi perkembangan anak yang berasal dari luar individu/lingkungan, baik dalam bentuk lingkungan fisik yang berupa kondisi rumah, gizi, kesehatan lingkungan, dan sebagainya. Sedangkan lingkungan psikis berupa faktor kebudayaan, sikap, keyakinan, nilainilai yang dianut dan sebagainya.

22

a) Keluarga Keluarga merupakan lingkungan pertama yang dikenal anak, keluarga memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap proses tumbuh kembang anak. Dukungan dan bimbingan yang tepat dari keluarga akan memaksimalkan pertumbuhan dan perkembangan anak, sehingga anak akan banyak belajar dari orangtuanya. b) Kelompok Teman Sebaya Saat anak sudah memasuki usia sekolah, teman sebaya akan sangat berpengaruh pada perkembangan anak hal ini dikarenakan anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu bersama dengan temannya. Saat bersama temantemannya anak akan mempelajari apa yang tidak didapatkan dikeluarga misalnya saja tentang persaingan, kerjasama, saling menghormati perbedaan, dan hal-hal lain yang akan sangat berguna dalam proses perkembangan. c) Pengalaman hidup Pengalaman hidup dan proses pembelajaran menjadikan anak berkembang dengan cara mengaplikasikan apa yang telah dipelajari pada kebutuhan yang perlu dipelajari. Semakin banyak pengalaman hidup yang dipelajari maka akan sangat membantu anak untuk menyelesaikan tugas perkembangannya. d) Kesehatan Lingkungan Tingkat kesehatan mempengaruhi respon anak terhadap lingkungan dan respon orang lain pada anak tersebut, sehingga proses pekembangan dapat terganggu bila kesehatan lingkungan tidak kondusif. Sakit atau luka berpotensi mengganggu

pertumbuhan

dan

perkembangan.

Sakit

atau

cidera

23

berkepanjangan bisa menyebabkan ketidakmampuan untuk mengatasi dan menjawab kebutuhan dan tugas tahap perkembangan

B. Perkembangan Sosial Perkembangan sosial merupakan salah satu aspek yang penting dalam proses perkembangan anak. Manusia merupakan mahluk sosial dimana manusia akan berada di lingkungan sosial dan melakukan interaksi sosial sesuai dengan norma sosial yang berlaku di lingkungannya. Hurlock (1978:250) berpendapat bahwa perkembangan sosial berarti “perolehan kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial”. Menurut Susanto (2011:40) ”perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial”. Perkembangan sosial dapat juga diartikan sebagai proses belajar individu untuk menyesuaikan diri terhadap norma, moral, tradisi yang berlaku di kelompok sosialnya, meleburkan diri menjadi satu kesatuan dan saling berkomunikasi dan bekerja sama agar individu tersebut diterima sebagai anggota. Perkembangan sosial menurut Soemantri (2006:34) mengandung arti “tercapainya kemampuan bertingkah laku sesuai dengan tuntutan-tuntutan masyarakat”. Proses menuju kesesuaian tersebut paling tidak mencakup tiga komponen, yaitu belajar berperilaku dengan cara yang disetujui secara soisal, bermain dalam peranan yang disetujui secara sosial, dan perkembangan sikap sosial. Masa kanak-kanak merupakan awal kehidupan sosial yang berpengaruh bagi anak, dimana anak akan belajar mengenal dan menyukai orang lain melalui aktifitas sosial. Apabila pada masa kanak-kanak ini anak mampu melakukan hubungan sosial dengan baik akan memudahkan bagi anak dalam melakukan

24

penyesuaian sosial dengan baik dan anak akan lebih mudah diterima sebagai anggota kelompok sosial dilingkungannya. Berdasarkan pengertian-pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa perkembangan sosial adalah tahapan kematangan anak berperilaku sosial sesuai dengan nilai, norma, serta tradisi yang berlaku di lingkungan sosialnya sehingga anak dapat diterima sebagai anggota dan melakukan hubungan sosial dengan baik.

1. Pola Perilaku Sosial Anak Perkembangan sosial mengikuti suatu pola, yaitu suatu urutan perilaku sosial yang terartur, dan pola ini sama pada semua anak. Pola perilaku sosial anak merupakan suatu urutan tingkah laku sosial yang mempunyai aturan tertentu yang merupa gambaran umum mengenai perilaku sosial atau tindakan-tindakan sosial yang biasanya dilakukan oleh anak pada kelompok umur tertentu (Soemantri, 2006:40). Pada umumnya perilaku sosial seseorang dibagi menjadi dua yakni perilaku sosial yang bersifat positif dan perilaku sosial yang bersifat negatif. Secara spesifik, Hurlock (1978:262) mengklasifikasikan pola perilaku sosial pada anak usia dini ke dalam pola-pola perilaku sebagai berikut: a. Meniru, yaitu agar sama dengan kelompok. Anak meniru sikap dan perilaku orang yang sangat dikagumi, anak mampu meniru perilaku guru yang diperagakan sesuai dengan tema pembelajaran. b. Persaingan, yaitu keinginan untuk mengungguli dan mengalahkan orang lain. Persaingan ini biasanya sudah tampak pada usia empat tahun. Anak bersaing dengan teman untuk meraih prestasi seperti berlomba-lomba dalam

25

memperoleh juara dalam suatu permainan, menunjukkan antusiasme dalam mengerjakan sesuatu sendiri. c. Kerjasama, mulai usia tahun ketiga akhir, anak mulai bermain secara bersama dan kooperatif, serta kegiatan kelompok mulai berkembang dan meningkat baik frekuensi maupun lamanya berlangsung, bersamaan dengan meningkatnya kesempatan untuk bermain dengan anak lain. d. Simpati, kemungkinann untuk terpengaruh oleh keadaaan emosional orang lain, hal ini dimungkinkan karena adanya kemampuan anak untuk membayangkan

dirinya

berada

pada

posisi

orang

lain.

Anak-anak

menunjukkan rasa simpatinya dalam bentuk menolong, melindungi, atau menjauhkan orang dari hal-hal yang mengganggu. e. Empati, yaitu kemampuan menempatkan diri pada posisi orang lain dan menghayati kondisi orang tersebut, hal ini akan tampak pada anak yang mampu memahami ekspresi wajah atau maksud pembicaraan orang lain, misalnya saat ada yang menceritakan cerita yang mengharukan sampai anak ikut menangis. f. Ketergantungan: keinginan untuk mendapat bantuan dari orang lain untuk mengerjakan hal-hal yang dianggap tidak bisa dikerjakan sendiri. Awalnya anak menunjukkan ketergantungannya pada orangtua, kemudian beralih pada saudara, kemudian berganti pada teman sebayanya. g. Kemurahan hati/membagi, kecenderungan anak untuk mengesampingkan dirinya sendiri demi kepentingan orang/kelompok. Semakin bertambahnya usia maka sifat egosentris anak akan semakin berkurang, anak mengetahui bahwa salah satu cara untuk memperoleh penerimaan sosial adalah membagi

26

miliknya, anak rela membagi makanan kepada temannya untuk mempererat pertemanan dan menunjukkan keakraban dalam hubungan. h. Perilaku akrab/persahabatan: anak-anak menunjukkan persahabatan baik dengan anak-anak seusianya atau dengan orang yang lebih dewasa sebagai bentuk kontak sosial. Anak-anak mengungkapkan persahabatan dalam bentuk fisik seperti memeluk, menggandeng, semakin bertambahnya usia maka perhabatan diungkapkan dalam bentuk verbal. i. Perilaku kelekatan (attachment behavior): perilaku ini muncul karena telah ditanamkan sejak anak usia dini dan akan terus dimiliki misalnya saja jika sejak kecil orangtua telah menanamkan rasa kasih sayang maka anak akan melakukan hal itu juga saat anak menjalin hubungan dengan orang lain/bersahabat. j.

Sikap tidak mementingkan diri sendiri: anak-anak yang terbiasa untuk mau berbagi dengan orang lain dan tidak selalu menjadi pusat perhatian membuat anak-anak belajar untuk tidak egois dan mau memperhatikan kepentingan orang lain. Selain pola perilaku sosial yang dikemukakan Hurlock di atas, pola perilaku sosial lainnya yang perlu diajarkan atau dikembangkan pada anak usia dini adalah pola perilaku seperti anak mampu menghargai teman, baik menghargai milik, pendapat, hasil karya teman, atau kondisi-kondisi pada teman. Mengahargai kondisi orang lain, misalnya anak tidak mengejek atau mengisolasi anak lain yang kurang sempurna anggota tubuhnya, cacat, terdapat kekurangan pada fisik atau psikisnya. Pengembangan perilaku sosial juga bisa diarahkan untuk mengajarkan anak mau membantu kepada orang lain (helping other), tidak egois, sikap

27

kebersamaan, sikap kesederhanaan, dan kemandirian, yang saat ini sikap-sikap ini sudah mulai hilang dari perhatian peserta didik, baik pada tingkat pendidikan kanak-kanak, maupun tingkat pendidikan yang lebih tinggi (Susanto, 2011:140). Kehidupan gang berpengaruh terhadap perkembangan sosial anak, walaupun demikian kontak sosial yang lebih luas dengan anak-anak lain yang lebih besar juga ikut menentukan pola tingkah laku pada masa kanak-kanak akhir yakni: 1) Kepekaan terhadap penerimaan dan penolakan sosial. 2) Kepekaan yang berlebihan: kencenderungan untuk mudah tersinggung dan menganggap bahwa perkataan dan perbuatan orang lain sebagai ungkapan kebencian. 3) Sugestibilitas: mudah dipengaruhi orang lain yang bersumber dari keinginan untuk mendapat perhatian dan penerimaan lingkungannya. 4) Kontrasugestibilitas: kecenderungan untuk berfikir dan bertindak bertentangan dengan saran orang lain. Dalam hal ini anak menunjukkan pemberontakan terhadap orang dewasa dengan cara menunjukkan perbedaan/pertentangan dengan orang dewasa tersebut. 5) Persaingan: persaingan pada masa kanak-kanak dibagi menjadi tiga bentuk yakni, persaingan di antara anggota kelompok untuk memperoleh pengakuan dari kelompoknya, konflik di antara gang dengan gang saingannya, konflik di antara gang dengan pihak masyarakat yang terorganisasi. 6) Kesportifan: kemampuan anak untuk melaksanakan kegiatan sesuai dengan aturan permainan yang berlaku, misalnya bekerja sama dengan anak-anak lain

28

dengan cara mengesampingkan kepentingan individu dan lebih mementingkan semangat kebersamaan kelompok. 7) Tanggung jawab: keinginan untuk ikut berpartisipasi memikul beban. Anakanak pada awalnya menunjukkan ketergantungannya pada orang lain, namun dengan berkembangnya kemampuan motorik dan verbalnya anak-anak mulai belajar untuk menyelesaikan masalah-masalahnya sendiri serta masalahmasalah kelompok. 8) Insight sosial: kemampuan untuk mengambil dan memahami arti situasi sosial dan orang-orang yang terlibat dalam situasi sosial tersebut. Kemampuan memperoleh Insight sosial dipengaruhi oleh perbedaan jenis kelamin dimana anak perempuan akan lebih cepat matang dibanding anak laki-laki, kecerdasan, status anak dalam kelompok, dan kepribadian anak. perkembangan kemampuan Insight sosial berkaitan dengan perkembangan rasa simpati dan empati anak pada masa kanak-kanak awal. 9) Diskriminasi sosial: kecenderungan untuk mengklasifikasikan semua orang termasuk

kelompok

lain

sebagai

orang

yang

lebih

rendah

dan

memperlakukannya sesuai dengan pandangan tersebut. Perbedaan ini disebabkan oleh agama, ras, taraf sisoal, ekonomi, dan sebagainya. 10) Prasangka: prasangka terbentuk melalui beberapa cara antara lain karena pengalaman yang tidak menyenangkan saat berinteraksi dengan suatu kelompok, nilai-nilai kultur yang diterima begitu saja, imitasi/meniru dari orangtua, guru, atau orang dewasa lainnya mengenai prasangka tertentu (Soemantri, 2006:47-49).

29

Anak-anak tidak hanya mewujudkan perilaku sosial dalam bentuk positif, dalam perkembangannya menuju kematangan sosial anak juga mewujudkan perilaku

antisosial atau dalam bentuk interaksi sosial yang bersifat negatif

diantaranya: a) Pembangkangan (Negativisme): Pembangkangan terjadi sebagai reaksi terhadap penerapan disiplin atau tuntutan orangtua atau lingkungan yang tidak sesuai dengan kehendak anak. Pembangkangan pada anak umumnya diungkapkan dalam bentuk fisik dan verbal seperti membandel/bura-pura tidak mendengar, tindakan destruktif/bersifat merusak (temper-tantrum), berbohong, dan mengeluh. b) Agresi (Agression): tindakan nyata dan mengancam sebagai ungkapan rasa benci. Keagresifan anak diungkapkan dalam berbagai bentuk tingkah laku antara lain: agresi fisik berupa serangan langsung terhadap objek agresi (memukul, menendang, mencubit), ledakan agresi berupa tingkah laku yang tidak

terkontrol

(temper-tantrum),

agresi

verbal

(berbohong,

marah,

mengancam), agresi tidak langsung berupa tindakan merusak barang milik orang lain yang menjadi objek agresi. c) Berselisih/bertengkar: terjadi bila anak tersinggung atau terganggu oleh sikap atau perilaku anak lain. d) Menggoda (Teasing): bentuk lain dari sikap agresif,yang merupakan serangan mental dalam bentuk verbal (kata-kata ejekan atau cemoohan) yang menimbulkan marah pada orang yang digoda.

30

e) Persaingan (Rivaly): keinginan untuk melebihi orang lain dan selalau didorong oleh orang lain. Mulai terlihat pada usia empat tahun yaitu persaingan prestice dan usia enam tahun semangat bersaing ini akan semakin baik. f) Tingkah laku berkuasa (Ascendant behavior): tingkah laku menguasai situasi sosial, mendominasi , bersikap bossiness; wujudnya adalah memaksa, meminta, menyuruh, mengancam dsb. Jika diarahkan secara tepat hal ini akan memunculkan sifat kepemimpinan pada anak. g) Mementingkan diri sendiri (Selffishness): sikap egosentris dalam memenuhi interest atau keinginananya. h) Prasangka: perilaku ini muncul karena adanya perasaan berbeda dengan orang lain baik berupa perilaku atau tampilan yang diberikan oleh anggota kelompoknya. i) Antagonisme jenis kelamin/perbedaan gender: pada masa anak-anak akhir anak akan lebih menjaga jarak dengan teman lain jenis, seta menghindari permainan-permainan yang biasanya dimainkan anak perempuan (Hurlock, 1978:263). Semua tindakan yang telah disebutkan diatas baik pola perilaku sosial yang bersifat positif atau negatif harus dimiliki dalam diri seorang anak. Dengan mengetahui pola perilaku sosial pada anak, diharapkan orangtua mampu mengetahui apakah perkembangan anaknya normal sesuai dengan tingkatan umurnya sehingga orangtua, guru dan orang dewasa lainnya tidak langsung menganggap anak tersebut lambat, terlalu cepat matang, atau antisosial. Manfaat lainnya adalah orangtua, guru, atau pihak lain mampu membantu anak

31

mengembangkan keterampilan dan sikap sosial yang diharapkan oleh kelompok, sehingga anak dapat diterima dengan baik di kelompok tersebut.

2. Ciri Perkembangan Sosial Anak Anak-anak yang sudah memasuki usia sekolah umumnya sudah sangat siap untuk melakukan interaksi dengan lingkungan sosialnya, anak lebih sering berinteraksi dengan tean-temannya dibanding menghabiskan waktu bersama keluarga. Perkembangan sosial anak SD kelas bawah (kelas 1,2,3) masuk pada masa kanak-kanak tengah “pra-gang”, pada masa ini hubungan yang dilakukan anak dengan anak-anak lain semakin meningkat, minat anak pada teman sepermaian yang sebaya semakin bertambah, umumnya anak-anak membentuk kelompok yang terdiri dari 2-3 yang tinggal di tempat yang berdekatan. Melalui kegiatan bermain anak-anak belajar menyesuaikan diri, bekerja sama serta berkompetisi dengan anggota kelompoknya, anak-anak semakin menunjukkan jarak pada perbedaan jenis kelamin, selain itu anak-anak juga belajar untuk mandiri agar mendapat pengakuan sosial dari kelompoknya. Pada anak-anak SD kelas atas (kelas 4, 5, dan 6) anak masuk masa kanakkanak akhir “usia gang”. Pada masa transisi dari usia pragang ke usia gang, anakanak akan beralih dari satu kelompok ke kelompok lain atau dari aktivitas kelompok menjadi aktivitas individu karena permainan kelompok membutuhkan banyak teman bermain, lingkungan pergaulan anak yang lebih tua semakin bertambah luas. Keinginan anak untuk bergaul dan diterima oleh anak-anak di luar rumah bertambah, perilaku anak banyak dipengaruhi oleh kelompok teman sebaya, anggota gang terdiri dari satu jenis kelamin, anggota gang dipilih karena

32

persamaan minat/kegiatan yang populer. Gang mengajarkan anak untuk bersifat demokratis

karena

harus

menyesuaikan

keinginan/perbuatannya

dengan

kelompok, melalui gang anak belajar bekerjasama, mengembangkan keterampilan yang dimiliki, menghilangkan sifat mementingkan diri sendiri/egois (Hurlock, 1978:261-275) Setelah mengetahui ciri-ciri perkembangan sosial anak diharapkan orangtua, atau bahkan guru bisa terus mengawasi dan membimbing anak agar perilaku sosialnya sesuai dengan harapan sosial dan bisa diterima dalam lingkungan sosialnya. Apabila perilaku anak autis tidak sesuai dengan harapan sosial maka akan mengakibatkan hilangnya kesempatan anak untuk belajar sosial, sehingga kemampuan bersosialisasi anak semakin jauh lebih rendah dibanding dengan teman sebayanya hal ini menyebabkan anak dinilai kurang baik .

3. Tahap Perkembangan Sosial Anak Perkembangan sosial pada anak dimulai sejak bayi menunjukkan tingkah laku sosial yang ditandai dengan bayi bisa membedakan antara manusia dengan benda, serta memberikan respon yang berbeda terhap manusia dan benda. Berikut ini merupakan tahapan perkembangan sosial anak yakni: a. Perkembangan Sosial Masa Bayi Usia 2-3 bayi dapat membedakan antara suara manusia dan benda lainnya sehingga bayi akan memalingkan muka pada sumber suara berasal, selain itu bayi akan tersenyum, menggerakkan kaki, atau melambaikan tangan sebagai ungkapan kegembiraan terhadap kedangan orang lain. Usia 4-5 bulan bayi akan lebih memperhatikan wajah siapa saja yang mendekatinya, bayi akan memberikan

33

reaksi berbeda pada orang yang baru dikenal atau sudah dikenal misalnya bayi akan tersenyum pada orang yang sudah dikenalnya serta akan terlihat ketakutan/menangis jika ada orang yang baru dikenalnya. Bayi mencoba menarik perhatian bayi lain dengan cara menangis atau tertawa serta memainkan ludah. Usia 6-7 bulan bayi semakin agresif misalnya akan menjambak atau meraba wajah orang yang menggendongnya. Bayi tersenyum kepada bayi lain untuk menunjukkan perhatian. Usia 8-9 bulan bayi mulai bisa menirukan katakata, isyarat, atau bahkan gerakan-gerakan sederhana orang lain. Bayi mulai melakukan interaksi dengan bayi lain melalui kegiatan bermain walaupun dia akan bingung saat melihat maiannya diambil temannya. Usia 12 bulan bayi mulai bisa menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu sebagai reaksi dari kata “jangan”. Bayi melakukan kerjasama dengan cara saling berbagi maian saat bermain. Usia 16-18 bulan bayi mulai menunjukkan perilaku negativisme dalam bentuk keras kepala atau tidak mau menuruti perintah atau permintaan dari orang dewasa yang diungkapkan dengan ledakan amarah. Usia 20-24 bulan bayi mulai bisa diajak berinteraksi/bekerjasama pada aktivitas sederhana misalnya membantu saat mandi, memakai baju, atau membereskan mainannya. Bayi lebih berminat untuk bermain dengan bayi sebagai bentuk hubungan sosial (Hurlock, 1997:89). b. Perkembangan Sosial Masa Anak-anak Awal Sejak usia 2 tahun sampai 6 tahun, anak-anak belajar melakukan interaksi sosial dan bergaul dengan orang-orang diluar lingkungan rumah, terutama dengan anak-anak yang seumuran. Masa kanak-kanal awal biasanya disebut dengan masa pra-gang (pregang age). Anak belajar untuk menyesuaikan diri dan bekerja sama

34

dalam kegiatan bermain. Minat anak untuk bermain dengan orang dewasa semakin berkurang digantikan dengan minat untuk bermain dengan teman sebaya. Keinginan untuk bebas yang semakin berkembang menyebabkan anak melawan aturan orangtua, walaupun ingin mandiri namun anak-anak juga masih berusaha memperoleh perhatian dan penerimaan orang dewasa. Pada usia 2 tahun, anak-anak bermain sendiri-sendiri walaupun sedang berkumpul di tempat yang sama, interaksi sosial sangat sedikit hanya berbentuk saling melihat dan meniru anak lain. Pada usia 3 tahun, anak mulai bermain bersama dalam kelompok, berbicara satu sama lain, bersama-sama menentukan kegiatan apa yang akan dilakukan, pada usia ini anak mulai menunjukkan interaksi yang baik pada teman-temannya (Hurlock, 1978:261-262). c. Perkembangan Sosial Pada Masa Kanak-kanak Akhir Saat anak mulai sekolah dan melakukan hubungan lebih banyak dengan anak-anak lain seusianya, otomatis minat untuk berkumpul dengan keluarga berkurang. Keinginan untuk menjadi anggota kelompok semakin meningkat dan anak tidak puas jika tidak berada dalam kelompoknya. Pada masa ini anak-anak akan menjadi anggota suatu kelompok (gang) yang beranggotakan anak-anak sejenis dan seumuran serta memiliki minat yang sama. Kepemimpinan dalam kelompok bergantian dari satu anak ke anak yang lain tergantung ide siapa untuk melakukan aktifitas selanjutnya, pertengkaran singkat sering terjadi tetapi hal ini tidak menimbulkan pengaruh terhadap susunan kelompok. Kelompok membantu anak belajar untuk beradaptasi dengan teman sebayanya dan belajar bertingkah laku sesuai dengan aturan yang berlaku di masyarakat, anak belajar untuk mandiri dan tidak bergantung pada orang lain,

35

selain itu anak juga belajar untuk demokratis dalam menyesuaikan keinginan individu dengan kelompok. Gang membantu anak mengembangkan pemahaman yang bersifat rasional untuk menggantikan pemahaman nilai dan norma yang diperoleh anak dari orangtua yang dianggap bersifat otoriter. Selain itu melalui kelompok-kelompok inilah anak-anak akan belajar banyak hal mengenai persaiangan, saling menghormati, kerjasama, kemandirian, dan banyak hal lainnya yang tidak diperoleh di keluarga (Hurlock, 1978:264-265). d. Perkembangan Sosial Pada Masa Remaja Masa remaja anak perempuan dimulai pada usia 11 tahun, sedangan pada anak laki-laki terjadi pada umur 12 tahun. Tingkah laku antisosial paling terlihat pada 6-12 bulan menjelang kematangan seksual. Saat anak mengalami tahap pubertas atau memasuki usia remaja, mulai timbul perubahan pada sikap sosial anak, kemunduran minat terhadap aktivitas kelompok, dan cenderung menyendiri. Pada masa puber kemajuan dan kecepatan perubahan meningkat, serta sikap dan perilaku sosial semakin meningkat ke arah antisosial. Pada masa ini pola perkembangan sosial anak terganggu, anak-anak cenderung sering melakukan hal-hal yang tidak diharapkan oleh masyarakat, misalnya saja remaja tahu kalau mengganggu anak kecil itu tidak sportif namun tetap melakukannya. Pada masa remaja minat yang dibawa dari masa kanak-kanak akhir cenderung berkurang dan berganti minat yang lebih matang, semakin bertambah usia semakin besar pula tanggung jawab yang harus dibawa menyebabkan berkurangnya waktu remaja untuk bersenang-senang/rekreasi (Hurlock, 1997:213-217).

36

4. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Sosial Sama seperti perkembangan-perkembangan lain pada umumnya yang memiliki

faktor-faktor

tertentu

yang

dapat

mempengaruhi

proses

perkembangannya. Hurlock (1978:256-257) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan sosial anak bisa berasal dari faktor keluarga dan faktor dari luar keluarga: a. Faktor Keluarga 1) Hubungan antara anak dengan anggota keluarga Hubungan anak dengan orangtua ataupun saudara yang terjalin dengan baik dan dilandasi kasih sayang akan menimbulkan perasaan nyaman, dimana anak akan lebih terbuka dalam melakukan interaksi karena terjalinnya hubungan baik yang ditunjang oleh komunikasi yang tepat. Peran orangtua akan membimbing anak untuk mengenal lingkungan sekitar tempat tinggalnya. 2) Urutan anak dalam keluarga (sulung/tengah/bungsu) Urutan posisi anak dalam keluarga berpengaruh pada anak misalnya anak tersebut merupakan anak terakhir maka dipastikan anak akan selalu bergantung pada orangtua dan saudaranya. Jika hal ini terjadi dalam jangka waktu yang lama maka akan berpengaruh pada tingkat kemandirian anak tersebut. 3) Jumlah Keluarga Pada dasarnya jumlah anggota yang besar berbeda dengan jumlah anggota yang sedikit. Jika dalam suatu keluarga mempunyai anak yang sedikit, maka perhatian, waktu, kasih sayang akan lebih banyak tercurahkan, dimana segala bentuk aktifitas dapat ditemani ataupun dibantu, hal ini pasti akan berbeda dengan anak dengan jumlah keluarga yang besar.

37

4) Perlakuan keluarga terhadap anak Adanya perlakuan keluarga terhadap anak prasekolah secara langsung memengaruhi pribadi dan gerakan anak, dimana dalam keluarga tertanam rasa saling perhatian, tidak kasar dan selalu merespon setiap kegiatan anak, maka dapat berpengaruh terhadap perkembangan anak yang lebih baik dan terarah. 5) Harapan orangtua terhadap anak Setiap orangtua memiliki harapan mempunyai anak yang baik, cerdas, dan terarah masa depannya. Harapan orangtua adalah mempunyai anak dengan perkembangan

yang

sesuai

dengan

pertumbuhannya.

Artinya

bahwa

perkembangan anak prasekolah yang sekolah bertujuan mempunyai arah sesuai perkembangannya. b. Faktor dari luar keluarga 1) Interaksi dengan teman sebaya Setiap anak jika mempunyai perkembangan yang baik, maka secara alami dapat berinteraksi dengan temannya tanpa harus disuruh atau ditemani keluarga karena anak memiliki arahan yang jelas. 2) Hubungan dengan orang dewasa di luar rumah Jika seorang anak selalu diperkenalkan dengan lingkungan luar dan diberi arahan bergaul dengan siapa saja maka anak dapat menyesuaikan lingkungan orang dewasa dimana anak tanpa malu-malu berinteraksi dengan orang yang lebih dewasa darinya.

38

C. Perkembangan Emosi Anak Menurut Goleman istilah emosi berasal dari bahasa Latin movere, berarti menggerakkan atau bergerak, berdasarkan asal kata tersebut emosi dapat diartikan sebagai dorongan untuk bertindak (Mashar, 2011:16). Emosi merupakan gejala perasaan yang disertai dengan perubahan perilaku fisik sebagai respon dari hal-hal terjadi /dirasakan individu pada waktu tertentu seperti marah ditunjukkan dengan teriakan suara keras, atau gembira ditunjukkan dengan tertawa dan melonjak kegirangan. Kemampuan bereaksi secara emosional sudah dimiliki anak sejak lahir, namun perkembangan emosional berikutnya tidak berjalan dengan sendirinya tetapi sangat dipengaruhi oleh peran pematangan dan peran proses belajar (Poerwanti, 2002:42). Sukmadinata (Susanto, 2011:35) mendifinisikan emosi sebagai gabungan dari beberapa perasaan yang mendominasi dan menimbulkan gejolak suasana hati seperti marah, bahagia, sedih, dan sebagainya. Menurut Sarlito Wirawan Sartono berpendapat bahwa emosi merupakan “setiap keadaan pada diri seseorang yang disertai warna afektif baik pada tingkat rendah (dangkal) maupun pada tingkat luas (mendalam)". Warna efektif ini adalah perasaan-perasaan tertentu yang dirasakan oleh individu saat menghadapi suatu situasi tertentu contohnya: gembira, bahagia, takut dan lain-lain (Yusuf, 2012:115). Emosi memainkan peranan yang sangat penting dalam perilaku individu, selain itu kehidupan emosi pada awal perkembangan individu sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan selanjutnya. Emosi terejadi secara alami pada individu sejak dilahirkan dan berkembang hinggá mencapai kedewasaan. Berkembangnya emosi merupakan suatu proses pembelajaran dan kematangan

39

individu serta munculnya disebabkan karena adanya stimulasi karena itu rangsangan (stimulasi) sangat penting bagi reaksi emosi pada perkembangan anak. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas menegenai pengertian emosi pada anak maka dapat disimpulkan bahwa perkembangan emosi anak adalah tahap kematangan anak dalam mengekspresikan keadaan biologis ataupun psikologis yang dialami anak pada situasi tertentu dalam bentuk tindakan untuk mewakili perasaannya, misalnya rasa takut, gembira, amarah, dll.

1. Pola Emosi Anak Pada dasarnya setiap individu memiliki karekter serta cara masing-masing dalam mengekspresikan apa yang sedang dirasakan, namun ternyata saat diperhatikan lebih seksama terdapat beberapa persamaan ekspresi yang diberikan anak dalam situasi-situasi tertentu atau lebih dikenal dengan istilah pola emosi anak. Pola emosi pada anak merupakan gambaran secara umum mengenai cara anak mengekspresikan perasaan yang sedang dirasakan dalam bentuk emosi. Berikut ini merupakan penjelasan beberapa ahli mengenai pola emosi yang dialami oleh anak. Menurut Hurlock (1978:215-228) anak-anak memiliki pola emosi sendiri, yakni sebagai berikut: a. Rasa takut Takut merupakan perasaan terancam oleh suatu objek yang dianggap membahayakan. Umumnya rasa takut anak terhadap sesuatu berlangsung melalui tahapan: Mula-mula tidak takut, karena anak belum melihat kemungkinan apa

40

yang terdapat pada objek; Rasa takut muncul setelah anak mengenal/mengetahui bahaya; Rasa takut akan hilang setelah anak mengetahui cara menghindari bahaya. b. Rasa malu Rasa malu merupakan bentuk ketakutan yang ditandai dengan penarikan diri dari hubungan dengan orang lain yang tidak dikenal atau tidak sering berjumpa. Rasa malu pada diri anak sebenarya wajar-wajar saja, namun apabila terlalu berlebih maka akan membuat anak sulit berinteraksi dengan lingkungannya terutama pada lingkungan yang baru dikenalnya. c. Rasa canggung Seperti halnya rasa malu, rasa canggung adalah reaksi takut terhadap manusia, bukan pada obyek atau situasi. Rasa canggung berbeda dengan rasa malu, kecanggungan tidak disebabkan karena adanya orang yang tidak dikenal atau orang yang sudah dikenal, tetapi lebih disebabkan oleh keraguan-raguan terhadap penilaian orang lain terhadap dirinya. Oleh sebab itu, rasa canggung merupakan keadaan khawatir yang menyangkut kesadaran-diri (self-conscious distress). d. Rasa Khawatir Rasa khawatir merupakan bayangan ketakutan atau gelisah tanpa alasan. Tidak seperti ketakutan yang nyata, rasa khawatir tidak langsung ditimbulkan oleh rangsangan dalam lingkungan, tetapi merupakan hasil pikiran anak itu sendiri. Rasa khawatir timbul karena membayangkan situasi berbahaya yang mungkin akan meningkat, rasa kekhawatiran normal ada pada masa kanak-kanak, bahkan pada anak-anak yang penyesuaiannya paling baik sekalipun.

41

e. Rasa cemas Rasa cemas adalah keadaan mental yang tidak enak berkenaan dengan sakit yang mengancam atau yang dibayangkan. Rasa cemas ditandai oleh kekhwatiran, ketidakenakan, dan merasa berada dalam kondisi yang sangat tidak baik serta tidak dapat dihindari siapapun karena merasa tidak ada solusinya. f. Rasa marah Rasa marah adalah ekspresi yang lebih sering diungkapkan pada masa kanak-kanak jika dibandingkan dengan rasa takut, alasanya adalah karena rangsangan yang menimbulkan rasa marah lebih banyak, dan pada usia dini dimana anak-anak mengetahui bahwa kemarahan merupakan cara yang efektif untuk memperoleh perhatian atau memenuhi keinginannya. g. Rasa cemburu Rasa cemburu adalah reaksi normal terhadap kehilangan kasih sayang yang nyata, dibayangkan, atau ancaman kehilangan kasih sayang. Hal ini sering ditemui pada anak yang akan memiliki adik, dia akan cemburu terhadap adik bayinya karena merasa tidak disayang lagi oleh kedua orangtuanya sejak memiliki adik. h. Duka cita Duka cita adalah ungkapan trauma psikis, suatu kesengsaraan emosional yang disebabkan oleh hilangnya sesuatu yang dicintai. i. Keingintahuan Rangsangan yang menimbulkan keingintahuan anak-anak sangat banyak karena anak-anak memiliki minat terhadap segala sesuatu di lingkungannya termasuk diri sendiri.

42

j. Kegembiraan Kegembiraan adalah emosi yang menyenangkan yang juga dikenal dengan keriangan, kesenangan, atau kebahagian. Setiap anak berbeda-beda intensitas kegembiraan dan jumlah kegembiraannya serta cara mengepresikannya sampai batas-batas tertentu dapat diramalkan. Sebagai contoh ada kecenderungan umur yang dapat diramalkan, yaitu anak-anak yang lebih muda merasa gembira dalam bentuk yang lebih menyolok dari pada anak-anak yang lebih tua. k. Kasih sayang Kasih sayang merupakan reaksi emosional pada seseorang, binatang, atau bahkan benda. Reaksi ini menunjukkan perhatian yang ditunjukkan dalam bentuk fisik maupun verbal. Pola emosi pada anak berbeda-beda, banyak anak yang mampu mengekspresikan perasaan yang dirasakan dengan tepat, namun ternyata ada juga anak yang sampai pada umur tertentu masih belum mampu mengatur emosinya dengan tepat. Hal tersebut akan sangat berpengaruh pada kondisi psikologis anak.

2. Jenis-jenis Emosi Pada Anak Lazarus (Mashar, 2011:31) mengelompokkan kondisi emosi dalam dua kategori yakni emosi negatif yang berasal dari hubungan yang mengancam atau kondisi yang menyakitkan, serta emosi positif yang berasal dari kondisi yang menguntungkan. Reaksi emosi negatif terdiri dari marah, kecemasan, rasa malu atau bersalah, kesedihan, kecemburuan, dan rasa jijik. Reaksi emosi positif terdiri dari kebahagiaan, rasa senang, bangga, cinta pengharapan, dan peraaan haru atau belas kasihan.

43

Syamsu Yusuf menjelaskan dalam bukunya bahwa emosi dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian yakni sebagai berikut (Yusuf, 2012:117) : a. Emosi Sensoris, yaitu emosi yang ditimbulkan oleh rangsangan dari luar terhadap tubuh, seperti rasa dingin, manis, sakit, lelah, kenyang dan lapar. b. Emosi Psikis, yaitu emosi yang mempunyai alasan–alasan kejiwaan, yang termasuk emosi jenis ini diantaranya adalah : 1) Perasaan Intelektual, yaitu perasaan yang berhubungan dengan ruang lingkup kebenaran. Perasaan ini diwujudkan dalam bentuk : rasa yakin dan tidak yakin terhadap suatu hasil karya ilmiah, rasa gembira karena mendapat suatu kebenaran, rasa puas karena dapat menyelesaikan persoalan–persoalan ilmiah yang harus dipecahkan. 2) Perasaan Sosial, yaitu perasaan yang menyangkut hubungan individu dengan orang lain, baik bersifat perorangan maupun kelompok. Wujud perasaan ini seperti : rasa solidaritas, persaudaraan (ukhuwah), simpati, kasih sayang, dan sebagainya 3) Perasaan Susila, yaitu perasaan yang berhubungan dengan nilai–nilai baik dan buruk atau etika (moral) yang berlaku di masyarakat. Contohnya : rasa tanggung jawab (responsibility), rasa bersalah apabila melanggar norma, rasa tentram dalam mentaati norma 4) Perasaan Keindahan (estetis), yaitu perasaan yang berkaitan erat dengan keindahan dari sesuatu, baik bersifat kebendaan ataupun kerohanian. 5) Perasaan Ketuhanan, yaitu perasaan yang dimiliki oleh manusia untuk mengenal Tuhan. Hal ini merupakan kelebihan manusia sebagai makluk Tuhan, dengan kata lain hanya manusia yang dianugerahi insting religius

44

(naluri beragama) oleh karena itu manusia di juluki sebagai “Homo Divinans” dan “Homo Religius” atau makluk yang berke-Tuhan-an atau makhluk beragama.

3. Ciri Emosi Pada Anak Emosi pada anak-anak memiliki ciri tersendiri yang membedakannya dengan ciri emosi orang dewasa, menurut Elizabeth B. Hurlock (1978:216) emosi anak memiliki karakteristik- karakteristik sebagai berikut : a. Emosi yang Kuat Anak akan memberikan respon/reaksi pada suatu kejadian dengan dengan intensitas emosi yang sama, baik terhadap situasi yang remeh maupun yang sulit. Semakin bertambahnya usia, kemampuan anak untuk menunjukkan reaksi emosional juga semakin baik. b. Emosi Sering Kali Tampak Anak-anak seringkali tidak mampu menahan emosinya, sehingga anak akan menunjukkan emosinya kapanpun diinginkan walaupun tanpa ada sebab yang jelas. Semakin bertambahnya usia kematangan emosi anak juga semakin bertambah sehingga anak mampu mengontrol dan menentukan reaksi emosi yang sesuai dan dapat diterima lingkungannya. c. Emosi Bersifat Sementara Emosi anak cenderung lebih bersifat sementara, artinya dalam waktu yang relatif singkat emosi anak dapat berubah dari marah kemudian tersenyum, dari ceria berubah menjadi murung. Hal ini disebabkan karena tiga faktor yaitu: kemampuan merubah sistem emosi yang terpendam menjadi emosi yang terus

45

terang,

kurang

sempurnanya

pemahaman

terhadap

situasi

karena

ketidakmatangan intelektual dan pengalaman yang terbatas, dan rentang perhatian yang pendek sehingga perhatian anak mudah teralihkan. d. Reaksi emosi mencerminkan individualitas Setiap anak mempunya reaksi emosi masing-masing walaupun peristiwa penyebab emosinya sama. Hal ini berkaitan dengan faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi anak terutama pengalaman-pengalaman yang dialami anak di lingkungannya. e. Emosi berubah kekuatannya Semakin bertambahnya usia, emosi anak pada usia tertentu berubah kekuatannya. Emosi anak yang tadinya kuat berubah menjadi lemah, sementara yang tadinya lemah berubah menjadi emosi yang kuat. Hal ini disebabkan karena adanya perubahan dorongan, perkembangan intelektual dan perubahan minat dan sistem nilai. f. Emosi dapat diketahui melalui gejala perilaku Anak-anak sering mengalami kesulitan untuk mengungkapkan emosi secara langsung dalam bentuk verbal, sehingga anak-anak menunjukkan emosi secara tidak langsung seperti menggigit kuku, mondar-mandir, atau menangis saat merasa gugup. Pemahaman mengenai ciri-ciri emosi pada anak akan sangat membantu orangtua dan guru dalam memberikan rangsangan dan respon yang tepat bagi anak. jika orangtua atau guru tidak mampu memberikan respon yang tepat sesuai dengan tahap perkembangannya maka sangat dimungkinkan anak mendapat label negatif, hal ini akan mempengaruhi perkembangan emosi anak selanjutnya.

46

4. Tahap Perkembangan Emosi Anak Sama seperti perkembangan-perkembangan lain, perkembangan emosi pada anak juga memiliki tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh setiap anak pada umur tertentu. Syamsu Yusuf (Mashar, 2011:27-28) berpendapat bahwa perkembangan emosi anak dibagi menjadi lima fase yaitu: a. Fase bayi (0-2 tahun) 1) Usia 0-8 minggu Kehidupan bayi sangat dikuasai oleh emosi. Emosi anak sangat berkaitan dengan kondisi fisik dan kualitas perasaan: senang dan tidak senang, misalnya: anak tidur pulas atau tersenyum bila anak merasa kenyang, hangat dan nyaman, serta menangis karena lapar, haus, kedinginan, atau sakit. 2) Usia 8 minggu-1 tahun Pada masa ini perasaan psikis sudah mulai berkembang, anak merasa senang atau tesenyum bila melihat maianan yang tergantung di depan matanya. Tidak senang (menangis) terhadap benda asing atau orang asing. Pada masa ini perasaan anak mengalami diferensiasi (penguraian), yaitu dari perasaan senang jasmaniah menjadi tidak senang, marah, takut, dan kerkejut. 3) Usia 1-3 tahun Pada masa ini perasaan emosi anak sudah mulai terarah pada objek tertentu (orang, benda atau makhluk lain). Sejajar dengan perkembangan bahasa yang sudah dimulai pada usia 2 tahun, maka anak dapat menyatakan perasaannya dengan menggunakan bahasa dan emosi. Pada fase ini anak bersifat mudah berubah dan mudah terpengaruh tapi dalam waktu yang singkat.

47

b. Fase Prasekolah (4-6 tahun) Pada usia anak mulai menyadari bahwa dirinya berbeda dengan orang lain ataupun benda. Kesadaran ini diperoleh dari pengalaman, bahwa tidak setiap keinginannya dipenuhi oleh orang lain atau benda lain. Anak menyadari bahwa kenginannya berhadapan dengan keinginan orang lain, sehingga orang lain tidak

selamanya

memenuhi

keinginannnya.

Bersamaan

dengan

itu,

berkembang pula perasaan harga diri yang menuntut pengakuan dari lingkungannya. Jika lingkungannya (terutama orang tuanya) tidak mengakui harga diri anak, seperti memperlakukan anak secara keras atau kurang menyayangi maka pada diri anak akan muncul sikap keras kepala/menentang, menyerah jadi penurut yang diliputi kurangnya rasa percaya diri dan sifat pemalu. c. Fase Anak Sekolah (Sekolah Dasar/6-12 tahun) Masa ramaja adalah masa puncak emosionalitas, yaitu perkembangan emosi yang tinggi. Pada masa remaja awal, perkembangan emosinya menunjukkan sifat yang sensitif dan reaktif yang sangat kuat terhadap berbagai peristiwa atau situasi sosial. Pada masa kanak-kanak ledakan emosi lebih banyak disebabkan oleh hal-hal yang bersifat konkret sedangkan pada masa remaja penyebabnya bersifat abstrak, misalnya remaja akan marah jika disebut anak-anak. Emosinya bersifat negatif dan temperamental (mudah tersinggung/marah atau mudah sedih/murung), cara anak melampiskan emosi juga lebih bersifat gerak tubuh ekspresif seperti tidak mau bicara atau menyampaikan kritik pada penyebab emosinya.

48

d. Fase Dewasa Fase ini adalah fase dimana seseorang sudah harus mampu mengenali perasaan yang ada pada dirinya, dan tahu bagaimana harus melampiaskan emosi yang tepat dan sesuai dengan norma yang berlaku di lingkungan sosialnya. Selain pendapat-pendapat diatas mengenai tahapan perkembangan emosi pada anak, masih ada pendapat lain yang menjelaskan mengenai fase-fase perkembangan emosi anak sebagai berikut: a. Pada bayi hingga 18 bulan 1) Pada fase ini, bayi butuh belajar dan mengetahui bahwa lingkungan di sekitarnya aman dan familier. Perlakuan yang diterima pada fase ini berperan dalam membentuk rasa percaya diri, cara pandangnya terhadap orang lain serta interaksi dengan orang lain. Contoh ibu yang memberikan ASI secara teratur memberikan rasa aman pada bayi. 2) Pada minggu ketiga atau keempat bayi mulai tersenyum jika merasa nyaman dan tenang. Minggu ke delapan bayi mulai tersenyum jika melihat wajah dan suara orang di sekitarnya. 3) Pada bulan keempat sampai kedelapan bayi mulai belajar mengekspresikan emosi seperti gembira, terkejut, marah dan takut. Pada bulan ke-12 sampai 15, ketergantungan bayi pada orang yang merawatnya akan semakin besar. bayi akan gelisah jika dihampiri orang asing yang belum dikenalnya. Pada umur 18 bulan bayi mulai mengamati dan meniru reaksi emosi yang di tunjukan orang-orang yang berada di sekitar dalam merespon kejadian tertentu.

49

b. 18 bulan – 3 tahun 1) Pada fase ini, anak mulai mencari-cari aturan dan batasan yang berlaku di lingkungannya. Anak mulai melihat akibat perilaku dan perbuatannya yang akan banyak mempengaruhi perasaan dalam menyikapi posisinya di lingkungan. Fase ini anak belajar membedakan cara benar dan salah dalam mewujudkan keinginannya. 2) Pada anak usia dua tahun belum mampu menggunakan banyak kata untuk mengekspresikan emosinya. Namun anak akan memahami keterkaitan ekspresi wajah dengan emosi dan perasaan. Pada fase ini orang tua dapat membantu anak mengekspresikan emosi dengan bahasa verbal. Caranya orang tua menerjemahkan mimik dan ekspresi wajah dengan bahasa verbal. 3) Pada usia antara 2 sampai 3 tahun anak mulai mampu mengekspresikan emosinya dengan bahasa verbal. Anak mulai beradaptasi dengan kegagalan, anak mulai mengendalikan prilaku dan menguasai diri. c. 3 tahun – 5 tahun 1) Pada fase ini anak mulai mempelajari kemampuan untuk mengambil inisiatif sendiri. Anak mulai belajar dan menjalin hubungan pertemanan yang baik dengan anak lain, bergurau dan melucu serta mulai mampu merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. 2) Pada fase ini untuk pertama kali anak mampu memahami bahwa satu peristiwa bisa menimbulkan reaksi emosional yang berbeda pada beberapa orang. Misalnya suatu perlombaan akan membuat pemenang merasa senang, sementara yang kalah akan sedih.

50

d. 5 tahun – 12 tahun 1) Pada usia 5-6 anak mulai mempelajari kaidah dan aturan yang berlaku. Anak mempelajari konsep keadilan dan rahasia. Anak

mulai mampu

menjaga rahasia. Ini adalah keterampilan yang menuntut kemampuan untuk menyembunyikan informasi- informasi secara aman. 2) Anak usia 7-8 tahun perkembangan emosi pada masa ini anak telah menginternalisasikan rasa malu dan bangga. Anak dapat menverbalsasikan konflik emosi yang dialaminya. Semakin bertambah usia anak, anak semakin menyadari perasaan diri dan orang lain. 3) Anak usia 9-10 tahun anak dapat mengatur ekspresi emosi dalam situasi sosial dan dapat berespon terhadap distress emosional yang terjadi pada orang lain. Selain itu dapat mengontrol emosi negatif seperti takut dan sedih. Anak belajar apa yang membuat dirinya sedih, marah atau takut sehingga belajar beradaptasi agar emosi tersebut dapat dikontrol. 4) Pada masa usia 11-12 tahun, pengertian anak tentang baik-buruk, tentang norma-norma aturan serta nilai-nilai yang berlaku di lingkungannya menjadi bertambah dan juga lebih fleksibel, tidak sekaku saat di usia kanak-kanak awal. Anak-anak mulai memahami bahwa penilaian baik-buruk atau aturanaturan dapat diubah tergantung dari keadaan/situasi munculnya perilaku tersebut, reaksi emosinya juga semakin beragam (Desmita, 2014:112). Berdasarkan tahapan-tahapan perkembangan yang telah dijelaskan oleh para ahli dapat kita ketahui bahwa ternyata perkembangan emosi pada anak dimulai sejak anak masih bayi, walaupun bentuk ungkapan emosinya masih sangat sederhana dengan cara menangis. Namun seiring bertambahnya usia

51

perkembangan emosi anak juga mengalami peningkatan, bentuk ungkapan emosi anak juga semakin beragam mulai dari rasa senang, sedih, malu, marah, dan perasaan-perasaan lain yang dianggap mampu mewakili apa yang sedang anak rasakan

5. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Emosi Anak Banyak faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan perkembangan emosi antara satu anak dengan anak yang lain. Berikut ini merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi pada anak: a. Keadaan anak Keadaan individu pada anak, misalnya cacat tubuh ataupun kekurangan pada diri anak akan sangat mempengaruhi perkembangan emosional, bahkan akan berdampak lebih jauh pada kepribadian anak. Misalnya: rendah diri, mudah tersinggung, atau menarik diri dari lingkunganya. b. Faktor belajar Pengalaman belajar anak akan menentukan reaksi potensial mana yang digunakan untuk mengungkapkan emosinya. Pengalaman belajar yang menunjang perkembangan emosi antara lain: 1) Belajar dengan coba-coba (trial and error) Belajar dengan cara ini terutama melibatkan aspek reaksi. Anak belajar dengan coba-coba untuk mengekspresikan emosinya dalam bentuk perilaku yang memberikan pemuasan terbesar kepadanya dan menolak perilaku yang memberikan pemuasan sedikit atau sama sekali tidak memberi kepuasan.

52

2) Belajar dengan meniru (learning by imitation) Belajar dengan cara meniru akan mempengaruhi aspek rangsangan dan reaksi. Dengan cara meniru dan mengamati hal-hal yang membangkitkan emosi orang lain, anak bereaksi dengan emosi dan metode yang sama dengan orang-orang yang diamati. 3) Belajar dengan mempersamakan diri (learning by identification) Anak meniru reaksi emosional orang lain yang tergugah oleh rangsangan yang sama dengan rangsangan yang telah membangkitkan emosi orang yang ditiru. Perbedaan cara ini dengan meniru adalah disini anak hanya meniru orang yang dikagumi dan mempunyai ikatan emosional yang kuat dengannya. 4) Belajar melalui pengondisian (condition) Dengan metode ini objek, situasi yang mulanya gagal memancing reaksi emosional kemudian berhasil dengan cara asosiasi. Cara belajar ini berhubungan dengan aspek rangsangan bukan aspek reaksi. Pengondisian terjadi dengan mudah dan cepat pada awal-awal kehidupan karena anak kecil kurang menalar, mengenal betapa tidak rasionalnya reaksi tersebut. 5) Belajar dengan bimbingan dan pengawasan (training) Anak diajarkan cara bereaksi yang dapat diterima jika suatu emosi terangsang. Dengan pelatihan, anak-anak dirangsang untuk bereaksi terhadap rangsangan yang biasanya membangkitkan emosi yang menyenangkan dan dicegah agar tidak bereaksi secara emosional terhadap rangsangan yang membangkitkan emosi yang tidak menyenangkan. Cara belajar ini terbatas pada aspek reaksi.

53

c. Konflik – konflik dalam proses perkembangan Setiap anak melalui berbagai konflik dalam menjalani fase-fase perkembangan yang pada umumnya dapat dilalui dengan sukses. Namun jika anak tidak dapat mengamati konflik-konflik tersebut, biasanya mengalami gangguangangguan emosi. d. Lingkungan keluarga Salah satu fungsi keluarga adalah sosialisasi nilai keluarga mengenai bagaimana anak bersikap dan berperilaku. Keluarga adalah lembaga yang pertama kali mengajarkan individu (melalui contoh yang diberikan orang tua) bagaimana individu

mengeksplorasi

emosinya.

Keluarga

sangat

berfungsi

dalam

menanamkan dasar-dasar pengalaman emosi, karena disanalah pengalaman pertama didapatkan oleh anak. Disamping faktor-faktor yang telah disebutkan ternyata gaya pengasuhan keluarga akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan emosi anak. Apabila anak dikembangkan dalam lingkungan keluarga yang emosinya positif, maka perkembangan emosi anak akan menjadi positif. Akan tetapi, apabila kebiasaan orangtua dalam mengekspresikan emosinya negatif seperti, melampiaskan kemarahan dengan sikap agresif, mudah marah, kecewa dan pesimis dalam menghadapi masalah, maka perkembangan emosi anak akan menjadi negatif (Hurlock, 1978:212). Cara yang digunakan orang tua untuk menangani masalah anaknya memberikan pelajaran yang membekas pada perkembangan emosi anak. Gaya mendidik orang tua yang mengabaikan perasaan anak, yang tercermin pada persepsi negatif orang tua terhadap emosi, emosi anak dilihat sebagai gangguan

54

atau sesuatu yang selalu direspon orang tua dengan penolakan. Pada masa dewasa, anak tersebut tidak akan menghargai emosinya sendiri yang menimbulkan keterbatasan dalam mengungkapkan emosinya. Sebaliknya keluarga yang menghargai emosi anak yang dibuktikan dengan penerimaan orang tua terhadap ungkapan emosi anak, pada masa dewasa nanti anak akan menghargai emosinya sendiri sehingga ia mampu mengungkapkan emosinya pada orang lain dengan cara yang baik (Yusuf, 2012:104).

D. Autisme Istilah autisme berasal dari bahaya Yunani, terdiri dari kata autos yang berarti diri sendiri dan isme yang berarti aliran. Autisme berarti sebuah sikap individu yang cenderung lebih suka menyendiri karena terlalu asyik dengan dunianya sendiri (Wiyani, 2014:187). Menurut Laksita (2010:14) autisme adalah gangguan perkembangan yang sangat kompleks pada anak yang gejalanya telah timbul sebelum anak itu mencapai usia tiga tahun. Menurut Depdiknas (2002) autisme merupakan gangguan perkembangan yang kompleks menyangkut komunikasi, interaksi sosial, dan aktivitas imajinasi dan anak autis ialah anak yang memiliki masalah atau gangguan bidang komunikasi, interaksi sosial, gangguan sensori, pola bermain, perilaku, dan emosi (Hadis, 2006:43). Autisme atau bisa disebut dengan ASD (Autistic Spectrum Disoder) merupakan suatu kumpulan sindrom yang mengganggu saraf yang mana diagnosisnya diketahui dari gejala-gejala yang tampak dan ditujukan dengan adanya penyimpangan perkembangan (Lakshita, 2013:13). Menurut Treatment

55

and Educational of Autistik and Communication Handicapped Children Program (TEACCH) dalam Zager (2013:6) dituliskan: “Autisme is neurodevelopmental disorder of communication, behavior, and cognition”. Autisme diartikan sebagai “gangguan perkembangan neurobiologis yang sangat kompleks/berat dalam kehidupan yang panjang, yang meliputi gangguan pada aspek komunikasi, perilaku, dan pemahaman”. Gangguan yang terjadi pada anak autis juga terjadi pada interaksi sosial, dan bahasa, dan perilaku serta gangguan emosi dan persepsi sensori bahkan pada aspek motoriknya. Gangguan tersebut mempengaruhi bagaimana anak belajar, berkomunikasi, keberadaan anak dalam lingkungan dan hubungan anak dengan orang lain. Berdasarkan beberapa pengertian autisme di atas dapat disimpulkan bahwa autisme merupakan kumpulan sindrom yang mengganggu saraf sehingga menyebabkan terjadinya gangguan perkembangan yang bersifat kompleks dan berat (pervasive) yang mulai terlihat pada anak sebelum anak mencapai usia 3 tahun, dimana gangguan ini meliputi gangguan komunikasi, interaksi sosial, emosi, imajinasi, bahkan kemampuan motorik anak.

1. Gejala Autisme Gejala autis sangat bervariasi sebagian anak berperilaku hiperaktif dan agresif atau menyakiti diri sendiri, tapi ada pula yang pasif. Anak autis cenderung sangat sulit mengendalikan emosi dan sering tempertantrum (menangis dan mengamuk). Kadang-kadang anak autis menangis, tertawa, atau marah-marah tanpa sebab yang jelas. Gejala yang sangat menonjol dari seorang anak yang menderita autis adalah sikap anak yang cenderung tidak memperdulikan

56

lingkungan dan orang-orang di sekitarnya, seolah-olah menolak berkomunikasi dan berinteraksi, serta seakan hidup dalam dunianya sendiri (Laksita, 2003:33). Menurut Wiyani (2014:194-195) gejala autis akan tampak semakin jelas setelah anak mencapai usia tiga tahun, yaitu berupa : a. Gangguan dalam bidang komunikasi verbal/non-verbal Telambat bicara; Meracau dengan bahasa yang tidak dapat dimengerti orang lain; Bicara tidak digunakan untuk berkomunikasi; Banyak meniru/membeo (echolalia); Tidak memiliki keinginan/usaha untuk mengimbangi komunikasi dengan cara lain selain bicara; Bila menginginkan sesuatu anak autis akan menarik tangan yang terdekat dan mengharapkan tangan tersebut melakukan sesuatu untuknya. b. Gangguan dalam bidang interaksi sosial Cuek terhadap lingkungan; Menolak atau menghindar untuk bertatapan mata; Tidak ada usaha untuk melakukan interaksi dengan orang lain; Ekspresi wajah kurang; Tidak mau bermain dengan teman sebayanya, Suka bermain dengan dirinya sendiri; Cara bermain kurang variatif/beragam; kurang imajinatif; c. Gangguan dalam bidang perilaku Pada anak autis akan terlihat adanya perilaku berlebihan dan kekurangan; Adanya perilaku yang berlebihan, seperti hiperaktivitas tidak bisa diam, lari kesana-kesini tak terarah, melompat-lompat, berputar-putar, memukul-mukul meja atau pintu, mengulang-ulang suatu gerakan tertentu; Adanya perilaku yang kekurangan seperti duduk diam termangu dengan tatapan kosong, Tertarik pada berda yang berputar/bergerak; Melakukan rutinitas/gerakan yang aneh dan diulang-ulang.

57

d. Gangguan dalam bidang perasaan/emosi Sering mengamuk tak terkendali (tempertantrum) terutama bila tidak mendapat apa yang diinginkannya; Tidak adanya/kurang rasa empati, seperti ketika melihat temannya menangis ia tidak merasa kasihan melainkan merasa terganggu sehingga anak yang sedang menangis tadi akan didatangi dan dipukulnya; Tertawa sendiri, menangis/marah tanpa sebab yang nyata. e. Gangguan dalam persepsi sensori Mencium, menggigit atau menjilat mainan atau benda apa saja; Bila mendengar suara keras ia akan langsung menutup telinga; Merasa sangat tidak nyaman jika memakai pakaian dari bahan yang kasar. Para orangtua, keluarga, guru, atau pihak-pihak lain diharapkan memiliki kepekaan terhadap anak, apabila terlihat gejala-gejala seperti yang telah disebutkan di atas maka patut dilakukan tindakan sedini mungkin. Misalnya saja observasi atau pemeriksaan medis maupun psikologis, karena patut dicurigai anak menderita gangguan autisme. Hal ini dimaksudkan agar anak mendapatkan penanganan sedini mungkin agar gangguan autisnya tidak mengganggu perkembangan anak.

2. Jenis-jenis Autisme Banyak orang mengetahui tentang gangguan autisme pada anak, namun tidak mengetahui bahwa ternyata autisme ini memiliki berbagai macam jenis, jika dilihat dari waktu sejak kapan anak tersebut dinyatakan mengalami gangguan autisme, Wiyani (2014:188) mengatakan bahwa autisme dibagi menjadi dua tipe yakni:

58

a. Autisme Klasik (Infantil) Autisme tipe ini terjadi saat pre-natal (selama kehamilan), yaitu pada saat usia kehamilan 3-6 bulan yang menyebabkan 70%-80% anak yang dilahirkan akan mengalami retardasi mental, penyebabnya adalah adanya kelainan genetik. b. Autisme Regresif Autisme tipe ini terjadi pasca natal (setelah kelahiran) yaitu pada saat anak berusia 15-18 bulan, dimana pada awalnya anak tersebut perkembangannya normal namun pada bulan ke 15-18 terjadi banyak kemunduran dan kelainan biologis yang memerlukan intervensi medis. Biasanya penyebabnya selain memiliki predisposisi genetic yang lemah juga dipengaruhi oleh faktor pencetus yang sangat bervariasi, misalnya adalah makanan, zat adictif serta logam timbal. Klasifikasi autisme menurut ICD (International Classification of Diseases) dan DSM–IV APA (American Psychiatric Association) dalam Lakshita (2013:1617) dikelompokkan menjadi 5 jenis yakni: a. Chilhood Autisme (Autisme masa kanak-kanak) Chilhood Autisme yaitu gangguan perkembangan yang gejalanya tampak sebelum anak mencapai usia 3 tahun. Ciri-ciri gangguan autisme masa kanakkanak, gangguan komunikasi, antara lain: Perkembangan bicara terlambat, bahasa stereotip (diulang-ulang), tidak mampu bermain imajinatif. Gangguan Interaksi sosial, antara lain: Kegagalan untuk bertatap muka, ketidakmampuan untuk berempati, kegagalan membina hubungan sosial dengan teman sebaya. Gangguan perilaku, antara lain: Adanya gerakan-gerakan motorik aneh yang diulang, Menunjukkan emosi yang tidak wajar, Adanya preokupasi yang terbatas pada perilaku yang abnormal.

59

b. Pervasive developmental disorder not otherwise specified (PDD-NOS) PDD-NOS yaitu gangguan autis yang tidak umum dan terdapat ketidakmampuan pada beberapa perilaku. Ciri-ciri PDD-NOS, yaitu: Masih dapat bertatap mata, Ekspresi fascial tidak terlalu datar, Masih bisa diajak bergurau. c. Rett’s Syndrome (Sindrom Rett) Sindrom Rett yaitu gangguan perkembangan yang hanya dialami oleh anak perempuan. Ciri-ciri sindrom rett, yaitu: pada masa kehamilan sampai saat melahiran normal dan lingkar kepala normal saat lahir, Perkembangan mengalami kemunduran pada usia 6 bulan, Pertumbuhan kepala berkurang pada usia 5 bulan sampai 4 tahun, Gerakan yang terarah hilang dan disertai dengan gangguan komunikasi serta penarikan diri secara sosial. d. Childhoom disintegrative disorder (gangguan disintegratif masa kanak-kanak) Childhoom disintegrative disorder yaitu gangguan perkembangan yang sangat baik selama beberapa tahun sebelum terjadi kemunduran yang hebat. Ciriciri CDD, yaitu: Bicara mendadak berhenti, Mulai menarik diri, Perilaku stereotip. e. Asperger Syndrome (AS) Sindrom asperger yaitu gangguan perkembangan yang dialami pada masa anak-anak dan lebih banyak terdapat pada anak laki-laki daripada wanita. Ciri-ciri AS, yaitu: Mengalami gangguan dalam komunikasi, interaksi sosial perilaku, Pandai bicara tetapi agak terlambat, Komunikasi hanya berjalan searah, Memiliki otak yang cerdas dan daya ingat yang kuat, Memiliki sifat yang kaku dan sulit dalam belajar bersosialisasi.

.

60

3. Karakteristik Penderita Autisme Menurut Power yang dikutip oleh Laksita (2013:13) karakteristik anak dengan autis adalah adanya enam gangguan dalam bidang yaitu interaksi sosial, komunikasi (bahasa dan bicara), perilaku-emosi, pola bermain, gangguan sensorik dan motorik, perkembangan lambat atau tidak normal. Karakteristik anak dikatakan autis, yang didefinisikan oleh World Health Organization, yang terdapat dalam ICD (International Classification Of Disease), edisi ke-10 dan The DSM – IV (Diagnostic Atatistical Manual), edisi ke-4, dikembangkan oleh American Psychiatric Association (Lakshita, 2013:34-37). Definisi gangguan autistik dalam DSM – IV sebagai berikut: Terdapat paling sedikit enam pokok dari kelompok 1, 2, dan 3 yang meliputi paling sedikit 2 pokok dari kelompok 1, paling sedikit 1 dari kelompok 2 dan paling sedikit 1 pokok dari kelompok 3 yaitu: a. Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang ditunjukkan oleh paling sedikit 2 diantara yang berikut ini: 1) Ciri gangguan yang jelas dalam penggunaan berbagai perilaku non verbal, seperti kontak mata, ekspresi wajah, gestur dan gerak isyarat untuk melakukan interaksi sosial. 2) Ketidakmampuan mengembangkan hubungan pertemanan sebaya. 3) Ketidakmampuan merasakan kegembiraan oarang lain. 4) Kekurangmampuan dalam hubungan emosional. b. Gangguan kualitatif dalam berkomunikasi yang ditunjukkan oleh paling sedikit 1 dari yang berikut ini: 1) Keterlambatan dalam berbicara.

61

2) Ketidakmampuan untuk memulai atau melanjutkan percakapan. 3) Penggunaan bahasa yang repetitik (diulang-ulang). 4) Kurang beragamnya spontanitas. c. Pola minat perilaku yang terbatas, repetitik, destereotif seperti yang ditunjukkan oleh paling tidak satu dari yang berikut ini: 1) Keasyikan pada satu atau lebih pada minat yang terbatas. 2) Kepatuhan yang didorong oleh rutinitas yang spesifik. 3) Perilaku gerakan stereotip dan repetitik. 4) Keasyikan terus-menerus pada bagian dan sebuah benda. Perkembangan abnormal atau terganggu sebelum usia 3 tahun seperti yang ditunjukkan oleh keterlambatan atau fungsi yang abnormal dan paling terbatas. Karakteristik-karakteristik yang disebutakan diatas merupakan ciri khusus yang dimiliki oleh anak yang mengalami gangguan autis, karakteristik tersebut yang membedakan antara anak autis dengan anak-anak berkebutuhan khusus lainnya. Dengan melihat karakteristik anak autis diharapkan orangtua atau guru bisa mengidentifikasi sedini mungkin bila ada keanehan perilaku pada anak yang diduga mengalami gangguan autisme, serta memberikan pelayanan yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan anak autis tersebut.

4. Faktor Penyebab Autisme Sampai saat ini sebenarnya penyebab autis masih terus dicari dan masih dalam penelitian para ahli. Widyawati mengemukakan bahwa ada berbagai teori tentang penyebab autisme yaitu teori psikososial, teori biologis, dan teori imunologi. Teori biologi menjelaskan bahwa ada hubungan yang erat antara

62

reterdasi mental (75-80 %) dengan gangguan autisme, serta adanya beberapa kondisi medis dan genetik yang mempunyai hubungan dengan ganguan autisme. Teori imunologi menjelaskan ditemukannya penurunan respon dari sistem imun pada beberapa anak autis. Ditemukannya antibodi beberapa ibu terhadap antigen lekosit anaknya yang autis memperkuat dugaan ini karena ternyata antigen lekosit tersebut juga ditemukan pada sel-sel otak janin sehingga antibodi ibu dapat secara langsung merusak jaringan syaraf otak janin yang menjadi penyebab terjadinya autisme (Hadis, 2006:44 - 46). Beberapa teori lain mengatakan bahwa gangguan autisme pada anak disebabkan oleh virus seperti rubella, toxo, herpes, jamur, nutrisi buruk, pendarahan, dan keracunan makanan disaat ibu hamil. Hal tersebut dapat menghambat pertumbuhan sel otak pada bayi sehingga fungsi otaknya terganggu, terutama fungsi pemahaman, interaksi, dan komunikasi (Wiyani, 2014:199). Gangguan autisme biasanya muncul saat anak berusia dibawah tiga tahun, pada usia ini perkembangan anak harusnya berjalan dengan sangat pesat, tapi tibatiba perkembangan tersebut mengalami kemunduran atau bahkan terhenti, gangguan perkembangan inilah yang menyebabkan anak mengalami gangguan autisme. Seperti yang telah diketahui bahwa penyebab autisme belum diketahui secara pasti namun berikut ini ada beberapa faktor yang diduga merupakan penyebab autisme pada anak: a. Gangguan Susunan Syaraf Pusat Ditemukan adanya gangguan susunan syaraf pusat pada otak anak dengan gangguan autisme. Terdapat pengurangan jumlah sel purkinje di dalam otak yang menyebabkan produksi serotonin kurang, akibatnya proses penyaluran

63

informasi antar otak menjadi kacau. Selain itu ditemukan juga kelainan struktur pada pusat emosi di dalam otak sehingga emosi anak yang mengalami gangguan autisme sering terganggu (Wiyani, 2014:197). b. Gangguan Metabolisme (Sistem Pencernaan) Ternyata ada hubungannya antara gangguan pencernaan dengan gangguan autisme, inilah yang menyebabkan anak autis sering mengalami kesulitan makan. Kesulitan makan ini misalnya anak tidak mau atau menolak untuk makan, kesulitan mengkonsumsi makanan atau minuman dengan jenis dan jumlah sesuai dengan usia secara fisiologis (alamiah atau wajar) mulai dari membuka mulut tanpa paksaan, mengunyah, menelan hingga sampai terserap di pencernaan secara baik tanpa paksaan dan tanpa pemberian vitamin atau obat tertentu. c. Peradangan Dinding Usus Pada sejumlah anak dengan gangguan autisme umumnya memiliki masalah dengan pencernaan dan ditemukan adanya peradangan usus. Peradangan usus ini diduga disebabkan oleh virus seperti virus campak, inilah yang menyebabkan banyak orangtua menolak imunisasi MMR (measles, mumps, rubela) karena diduga menjadi penyebab gangguan autisme pada anak (Wiyani, 2014:197). d. Faktor Genetik Faktor genetik merupakan penyebab umum dari gangguan autisme pada anak. ada

beberapa

gen

yang

terkait

autisme,

secara

umum

para

ahli

mengidentitifikasi 20 gen yang menyebabkan gangguan autisme, gen tersebut berperan penting dalam perkembangan otak, pertumbuhan otak, dan cara sel-

64

sel otak berkomunikasi. Menurut National Institute of Health keluarga yang memiliki satu anak autis memiliki peluang 1-20 kali lebih besar melahirkan anak yang autis juga. Selain itu ditemukan adanya hubungan antara autisme dengan sindrom fragile-X, yaitu suatu keadaan abnormal dari kromosom X dimana gejalanya seperti reterdasi mental ringan sampai berat, daya ingat jangka pendek buruk, kejang, dan hiper-refleksi. Keadaan abnormal pada kromosom X inilah yang menyebabkan perbandingan antara laki-laki dan perempuan yang mengalami gangguan autisme adalah 1:4 (Hadis, 2006:45). e. Keracunan Logam Berat Saat ini banyak ditemukan makan, minuman serta mainan anak-anak yang mengandung bahan logam berat. Kandungan logam berat tersebut diduga sebagai penyebab kerusakan otak pada anak autis dengan ditemukannya kandungan logam berat dan beracun pada banyak anak dengan gangguan autisme. Hal ini dikarenakan terjadi sekresi logam berat dari tubuh terganggu secara genetik, beberapa logam berat seperti arsenik (As), anti-moni (Sb), kadmium (Cd), air raksa (Hg) dan timbal (Pb) menjadi racun otak yang sangat kuat (Wiyani, 2014:198).

E. Perkembangan Sosio-Emosional Anak Autis Perkembangan sosial dan emosional merupakan dua aspek yang belainan, namun dalam kenyataannya keduanya sangat erat hubungannya dan saling mempengaruhi, walaupun masing-masing memiliki kekhususannya. Dasar utama pengembangan perilaku sosial dan emosional adalah mengarahkan pribadi anak agar sesuai dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam masyarkat oleh karena

65

itu munculah istilah perkembangan sosio-emosional. Perkembangan sosioemosional adalah pola gerakan atau perubahan yang meliputi perubahan pada hubungan individu dengan orang lain, perubahan pada emosi dan perubahan kepribadian. Selama periode ini anak-anak belajar mandiri dan menjaga diri sendiri, mengembangkan keterampilan kesiapan bersekolah (mengikuti perintah, mengidentifikasi huruf) dan meluangkan waktu bermain bersama dengan temanteman sebayanya (Hapsari, 2016:280). Perkembangan sosio-emosional terbentuk sebagai hasil dari interaksi individu dalam berbagai situasi sepanjang waktu. Pola emosi membantu membentuk konsep diri pada anak yang menentukan bagaimana anak melihat dirinya sendiri. Perkembangan emosi anak juga berhubungan dengan bagaimana anak mengekspresikan perasaan secara verbal maupun non verbal serta kemampuannya menyatakan atau memperlihatkan kepekaan dan empatinya terhadap orang lain. Jadi perkembangan sosio-emosional merupakan suatu perubahan pada hubungan anak dengan orang lain, baik emosinya maupun kepribadiannya yang akan mempengaruhi proses penyesuaian dirinya dan memperoleh kemampuan untuk berperilaku sesuai dengan tuntutan sosial. Proses sosial-emosi (socioemotional proces) melibatkan perubahan dalam hubungan seseorang dengan orang lain, perubahan emosi, dan perubahan dalam kepribadian. Pada masa kanak-kanak awal perkembangan sosio-emosional lebih menekankan pada bagaimana anak mengidentifikasi dan memahami perasaannya sendiri,

memahami

kondisi

emosi

orang

lain,

mengelola

emosi

dan

mengekspresikan dalam bentuk yang lebih baik, mengatur perilaku sendiri, membangunkan empati pada orang lain, serta menjalin dan memelihara hubungan

66

dengan orang lain (Soetjiningsih, 2014:213). Perkembangan sosio-emosional anak pada masa kanak-kanak akhir diharapkan anak mampu berinteraksi dengan teman sebaya, orang lain, dan lingkungannya lebih luar, egosentrisme sudah berkurang, tetapi melihat kenyataan masih berdasarkan informasi yang terbatas, memiliki keinginan kuat untuk menjadi anggota kelompok, penyesuaian terhadap berbagai nilai, norma dan kebiasaan yang berlaku di dalam suatu kelompok, lebih bisa mengontrol emosi sehingga emosi lebih tenang dan cara mengungkapkannya dalam bertuk verbal, anak masih suka bermain tapi waktunya sudah mulai berkurang (Soetjiningsih, 2014:266). Anak autis memiliki gangguan pada beberapa aspek diantaranya adalah gangguan yang berkaitan dengan perkembangan sosio-emosional anak autis hal inilah yang menyebabkan perkembangan sosial dan emosionalnya jauh tertinggal dari

anak-anak

seusianya

yang

normal.

Menurut

Hadis

(2006:83)

mengkategorikan hambatan dalam perkembangan sosio-emosional kedalam tiga area: Sosiabilitas; ketertarikan dan keinginan untuk berada bersama orang lain, Kelekatan; pemahaman dan ekspresi emosi, ditambah satu kategori dari perkembangan normal yaitu perilaku yang berhubungan dengan keberhasilan sosial (seperti bermain dan keterampilan adaptif). Anak autis akan mengalami gangguan sosio-emosional dalam bentuk interaksi sosial yang tidak memadai, tidak bisa bemain dengan teman sebaya, tidak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain, serta kurangnya hubungan sosial dan emosional yang timbal balik. Terkadang anak-anak normal juga ada yang penyendiri atau tidak banyak bergaul dengan orang lain, namun anak normal tetap menyadari kehadiran orang

67

lain di sekitarnya yang hidup dalam suatu lingkungan yang di dalamnya terdapat norma-norma dan aturan yang harus di taati agar dapat diterima dalam lingkungan tersebut. Berbeda dengan anak-anak autis yang tidak mempunyai kesadaran akan hal-hal tersebut. Anak autis tidak mempunyai ketertarikan, perhatian dan motivasi sosial. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya atau sedikitnya kontak mata atau input auditori, tidak memiliki keinginan untuk melakukan interaksi sosial sama sekali, serta tidak berusaha mencari perhatian dari orang lain. Hal inilah yang menyebabkan perkembangan sosio-emosional pada anak autis harus mendapat perhatian dan penanganan yang sesuai sehingga kalaupun dia tidak bisa sembuh dari gangguan sosio-emosionalnya, setidaknya anak autis bisa belajar untuk melakukan interaksi sosial secara timbal balik dan mengendalikan emosinya. Hal ini akan sangat berguna bagi perkembangan anak autis ke depannya karena dengan ikut berinterasiksi sosial maka seiring berjalannya waktu anak autis akan terbiasa untuk keluar dari dunianya sendiri.

F. Kajian Penelitian yang Relevan Analisis perkembangan sosio-emosional anak autis juga didukung oleh penelitian yang relevan, yakni penelitian dalam bentuk deskriptif yang dilakukan oleh Natalia Yessi Chirtianawati (2008) judul skripsi “Peran Ayah Terhadap Perkembangan Sosio-Emosional Anak Autis”. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa ayah memiliki peran yang begitu penting dalam perkembangan sosio-emosional anak yang mengalami gangguan autisme. Ayah selain berkewajiban mencari nafkah juga berperan dalam proses perkembangan anak yakni sebagai penyedia dan pemberi fasilitas, pemberi

68

pengasuhan dan perlindungan, pembuat keputusan penyelesaian masalah, pendidik dan pendisiplin anak yang menjadikan anak sosial, perencana masa depan anak, serta berperan sebagai teman bermain dan berdialog anak. ketiga subjek penelitian (KL, AV, dan NV) telah melakukan peran sebagai ayah dengan sangat baik, walaupun dibutuhkan kesabaran yang lebih untuk melihat hasil dari perkembangan sosio-emosional anaknya yang mengalami gangguan autisme. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti terdahulu dengan peneliti mempunyai beberapa kesamaan. Pertama dari segi jenis penelitian sama-sama menggunakan penelitian deskriptif. Kedua teknik pengumpulan data yaitu samasama menggunakan observasi, wawancara, dan dokumentasi. Ketiga tema penelitian yang digunakan sama-sama mengenai perkembangan sosio-emosional anak autis. Penelitian ini selain memiliki persamaan, juga memiliki perbedaan. Pertama dari segi fokus masalah, peneliti terdahulu memfokuskan peran ayah dalam

perkembangan

sosio-emosional

anak

autis,

sedangkan

peneliti

memfokuskan masalah pada perkembangan sosio-emosional anak autis. Kedua dari segi subjek penelitian, peneliti terdahulu menggunakan subyek penelitian ayah dari anak yang autis, sedangkan peneliti menggunakan subyek anak/peserta didik dengan gangguan autis. Ketiga dari segi tempat pelaksanaan penelitian, peneliti terdahulu melakukan penelitian di kabupaten Kajen kota Pekalongan, sedangkan peneliti melakukan penelitian di di SDN Sumbersari 2 Malang.

69

G. Kerangka Pikir Perkembangan sosio-emosional merupakan suatu perubahan pada hubungan anak dengan orang lain, baik emosinya maupun kepribadiannya yang akan mempengaruhi proses penyesuaian dirinya dan memperoleh kemampuan untuk berperilaku sesuai dengan tuntutan sosial. Observasi Awal Pada observasi awal inilah peneliti melihat bahwa terdapat tiga anak autis di SDN Sumbersari 2 Malang. Ketiga siswa autis tersebut kurang bisa mengontrol emosinya, bahkan kadang anak autis terlihat menyendiri tidak ikut bermain dengan teman-teman sebayanya saat waktu istirahat.

1. Bagaimana pola perilaku sosial dan emosi anak autis di SDN Sumbersari 2 Malang? 2. Bagaimana perkembangan sosio-emosional yang dialami anak autis di SDN Sumbersari 2 Malang? 3. Bagaimana tindakan guru/sekolah untuk mengoptimalkan perkembangan sosio-emosional anak autis di SDN Sumbersari 2 Malang?

Melakukan penelitian, dengan teknik pengumpulan data: Wawancara, Observasi, Dokumentasi

Mendeskripsikan pola perilaku sosial dan emosi anak autis di SDN Sumbersari 2 Malang. Mendiskripsikan perkembangan sosio-emosional anak autis di SDN Sumbersari

2

Malang.

Mendiskripsikan

tindakan

guru/sekolah

untuk

mengoptimalkan perkembangan sosio-emosional anak autis di SDN Sumbersari

2 Malang.