ANALISIS EKONOMI PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA SAMPAH

Download Pembangkit Listrik Tenaga Sampah dan Manfaat Reduksi Emisi Karbon di. Tempat Pengolahan ... Skripsi ini mengangkat kajian mengenai pengolah...

5 downloads 370 Views 28MB Size
ANALISIS EKONOMI PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA SAMPAH DAN MANFAAT REDUKSI EMISI KARBON DI TEMPAT PENGOLAHAN SAMPAH TERPADU BANTARGEBANG

LARASATI ALIFFIA SYAIFFHANAYA WIDYAPUTRI

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

ABSTRAK LARASATI ALIFFIA SYAIFFHANAYA WIDYAPUTRI. Analisis Ekonomi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah dan Manfaat Reduksi Emisi Karbon di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bantargebang. Dibimbing oleh YUSMAN SYAUKAT. Aktivitas perekonomian membutuhkan listrik sebagai penunjang produktivitas. Permintaan yang tinggi terhadap listrik masih belum tersedia oleh Perusahaan Listrik Negara. Hal itu menyebabkan timbul fenomena kelebihan permintaan padahal Indonesia memiliki potensi besar dalam penyediaan energi seperti solar, angin, mikro hidro, serta biomass. Salah satu sumber energi biomass adalah sampah. Mayoritas Tempat Pembuangan Akhir di Indonesia masih beroperasi dengan sistem open landfill tanpa perlakuan lanjutan apapun. TPST Bantargebang dapat menjadi role model yang mengaplikasikan pengolahan sampah berkelanjutan terintegrasi dengan PLTSa.Tujuan penelitian ini yaitu: 1) Mengidentifikasi sistem pengelolaan sampah di TPST Bantargebang; 2) Mengevaluasi manfaat ekonomi yang mungkin dihasilkan melalui reduksi emisi karbon dari kegiatan PLTSa. 3) Mengevaluasi secara ekonomi terhadap proyek PLTSa di TPST Bantargebang.Total manfaat ekonomi dari reduksi emisi CO2 yaitu Rp 39.128.386.541 dari reduksi emisi CO2 sebanyak 115.219,04 ton. Kriteria kelayakan didapatkan nilai NPV Ekonomi sebesar Rp 1.141.704.311.213 dan NPV Finansial Rp 486.089.097.250. Net B/C Ekonomi sebesar 5,51 dan Net B/C Finansial sebesar 2,64. IRR Ekonomi mencapai 22%, sedangkan IRR Finansial hanya mencapai 11%. PP finansial yaitu 5 tahun 3 bulan, sedangkan PP ekonomi membutuhkan 1 tahun 4 bulan masa pengembalian. Nilai-nilai tersebut menunjukkan proyek PLTSa Bantargebang memenuhi kelayakan untuk dilaksanakan baik secara finansial maupun ekonomi. Kata kunci: analisis biaya manfaat, emisi gas rumah kaca, LandGEM, pengelolaan sampah berkelanjutan.

ABSTRACT LARASATI ALIFFIA SYAIFFHANAYA WIDYAPUTRI. Economic Analysis of Waste-based Power Plant and Carbon Emission Reduction in Bantargebang Landfill. Supervised by YUSMAN SYAUKAT. Economic activities need electricity as productivity underpinning. High demand trend of Indonesia electricity is unadequately exist by Local Electricity Company. It caused excess demand whereas Indonesia had a large possibility provided alternative energy resources such as wind, hydro power, and biomass. Waste is one of biomass energy contributor. Majority landfill in Indonesia still adopted open landfill system without any kind of treatment. Bantargebang Landfill could be a role model which applied integrated landfill with municipal waste power plant. The aims of this research are: 1) System analysis of waste treatment in Bantargebang Landfill; and 2) Measuring economic benefits of waste-based power plant; and 3) Economic analysis of Bantargebang waste-based power plant. The waste treatment identificated by descriptive analysis about operational process of carrying waste from the site; and how to process landfill waste to compost, recycled plastics and electricity. Total economic benefits of CO2 emission reduction is USD 2,650,740.46 from tighten emission about 93,665.74 tonnes of CO2 by integrated waste treatment. NPV USD 95,964,440.11; Net B/C 5.51; IRR 22% and PP on years 1st year 4 months. Refering to the economic analysis, this waste-based power plant is economically feasible. Research results would be a reference to Indonesia Government about waste management and treatment that enable to apply in the others landfill. Both government and private companies also had financial highlight of sustainable landfill should be. Keywords: benefit-cost analysis, landfill gasses, LandGEM, waste management, waste to energy.

iii

ANALISIS EKONOMI PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA SAMPAH DAN MANFAAT REDUKSI EMISI KARBON DI TEMPAT PENGOLAHAN SAMPAH TERPADU BANTARGEBANG

LARASATI ALIFFIA SYAIFFHANAYA WIDYAPUTRI

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Ekonomi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah dan Manfaat Reduksi Emisi Karbon di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bantargebang adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2014

Larasati Aliffia Syaiffhanaya Widyaputri NIM H44100088

PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan berkahNya sehingga penulis dapat merampungkan penyusunan skripsi sebagai persyaratan memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini mengangkat kajian mengenai pengolahan sampah secara berkelanjutan di DKI Jakarta, berjudul “Analisis Ekonomi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah dan Manfaat Reduksi Emisi Karbon di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bantargebang”. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi rekomendasi mengenai perlunya mereplikasi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Sampah yang terintegrasi dengan Tempat Pembuangan Akhir setempat. Selain memberi nilai ekonomi yang besar bagi pengelola, aktivitas pengolahan sampah berkelanjutan juga memberi dampak positif lainnya seperti mampu menyerap tenaga kerja, mengurangi polusi bau serta tentu saja mengurangi jumlah sampah yang menumpuk. Terima kasih penulis ucapkan kepada kedua orang tua penulis tercinta, Ir. Kasmita Widodo dan Anita Rosyana, A.Md; adik tersayang Gita Dwilaksmi Ramadhani, Ryandhika Yudhistira, Arjuna Lintang Samudera; Oma Titin, Papi Munadji, almh. Mbah Sarwi, serta seluruh keluarga atas dukungan, do’a, nasihat serta kasih sayang yang telah diberikan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Yusman Syaukat, M. Ec sebagai dosen pembimbing skripsi dan akademik yang telah meluangkan waktu untuk memberi motivasi, bimbingan serta saran dengan penuh kesabaran juga membuka wawasan hingga skripsi ini selesai. Terima kasih kepada dosen penguji utama dan dosen penguji Departemen ESL yang telah memberikan saran, terima kasih kepada dosen pengajar dan staff departemen ESL serta dosen KPM telah banyak membantu proses pembelajaran selama studi. Terima kasih kepada pihak Dinas Kebersihan DKI Jakarta, pengelola TPST Bantargebang, dan masyarakat Kecamatan Bantargebang yang telah bersedia membantu penulis dalam mengumpulkan data serta informasi terkait penelitian. Terima kasih kepada kawan-kawan 9ers, Forum for Scientific Studies (Forces) IPB, Pak Nur, keluarga ESL 47, TPB A20, seluruh sahabat, yang senantiasa memberi pemahaman kepada penulis: hidup adalah perjalanan dan pembelajaran tentang kerendahan hati, to infinity and beyond. Bogor, Agustus 2014

Larasati Aliffia Syaiffhanaya Widyaputri NIM H44100088

iii

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .................................................................................

viii

DAFTAR GAMBAR .............................................................................

ix

DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................

ix

I.

PENDAHULUAN ...........................................................................

1

1.1 Latar Belakang .......................................................................... 1.2 Perumusan Masalah .................................................................. 1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................... 1.4 Manfaat Penelitian .................................................................... 1.5 Ruang Lingkup Penelitian .........................................................

1 5 8 8 9

II. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................

10

2.1 Economics of Waste Management ............................................ 2.2 Konsep Sumberdaya dan Hak Kepemilikan ............................. 2.3 Model Pengelolaan Sampah Kota ............................................. 2.4 Manfaat Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang ............................................................................ 2.4.1 Manfaat Ekonomi Energi Ramah Lingkungan ............... 2.4.2 Manfaat Ekonomi Reduksi Emisi Karbon ...................... 2.5 Penelitian Terdahulu ................................................................

10 12 14

III. KERANGKA PEMIKIRAN ............................................................

22

IV. METODE PENELITIAN .................................................................

26

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................... 4.2 Jenis dan Sumber Data ............................................................. 4.3 Identifikasi Sistem Pengolahan Sampah di TPST Bantargebang ............................................................................ 4.4 Teknik Analisis Data ................................................................ 4.4.1 Penilaian Manfaat Ekonomi Reduksi Emisi Karbon 4.4.2 Analisis Ekonomi Proyek PLTSa Bantargebang.............

26 26 28 28 28 32

V. GAMBARAN UMUM ......................................................................

36

5.1 Gambaran Umum Provinsi DKI Jakarta.................................... 5.2 Gambaran Umum Kecamatan Bantargebang Kota Bekasi........ 5.3 Gambaran Umum TPST Bantargebang......................................

36 38 39

VI. SISTEM PENGOLAHAN SAMPAH DI TPST BANTARGEBANG 6.1 Unit Pengolahan Kompos............................................................ 6.1.1 Proses Penimbunan............................................................

15 17 18 19

43 44 45

6.1.2 Pembuatan Kompos Bubuk................................................. 6.1.3 Pembuatan Kompos Granul................................................ 6.2 Unit Daur Ulang Plastik................................................................ 6.3 Power House PLTSa Bantargebang..............................................

46 47 49 52

VII. MANFAAT EKONOMI REDUKSI EMISI KARBON....................

55

7.1 Reduksi Timbulan Sampah di TPST Bantargebang...................... 55 7.2 Manfaat Ekonomi Reduksi Emisi Karbon di TPST Bantargebang 57 VIII. ANALISIS EKONOMI PROYEK PLTSa BANTARGEBANG...... 8.1 Evaluasi Aspek Kelayakan Usaha PLTSa Bantargebang............... 8.1.1 Aspek Teknis......................................................................... 8.1.2 Aspek Institusional................................................................ 8.1.3 Aspek Sosial.......................................................................... 8.2 Identifikasi Manfaat Proyek PLTSa................................................ 8.2.1 Manfaat Langsung................................................................. 8.2.2 Manfaat Tidak Langsung....................................................... 8.3 Identifikasi Biaya Proyek PLTSa..................................................... 8.3.1 Biaya Investasi....................................................................... 8.3.2 Biaya Operasional.................................................................. 8.4 Analisis Kelayakan Ekonomi...........................................................

60 59 59 60 62 62 62 64 66 66 69 71

XI. SIMPULAN DAN SARAN.................................................................... 74 9.1 Simpulan........................................................................................... 74 9.2 Saran................................................................................................. 75 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 76 LAMPIRAN.............................................................................................80 RIWAYAT HIDUP........................................................................................ 86

1

DAFTAR TABEL Nomor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22

Halaman

Overview Kerjasama Pengelolaan TPST Bantargebang..................... Matriks Metode Analisis Data sesuai Tujuan Penelitian.................... Identifikasi Benefit and Cost Proyek PLTSa...................................... Proyeksi Social Cost of Carbon 2008-2023........................................ Jumlah Penduduk Provinsi DKI Jakarta Menurut Jenis Kelamin Tahun 2008-2012................................................................................. Rekapitulasi Timbulan Sampah DKI Jakarta Tahun 2000-2011........ Jumlah infrastruktur Kecamatan Bantargebang tahun 2009............... Kepadatan Penduduk Kelurahan Ciketing Udik, Kelurahan Cikiwul dan Kelurahan Sumur Batu Periode Februari 2014............... Data Aset Tak Bergerak TPST Bantargebang...................................... Luas Zona dan Sub-zona TPST Bantargebang..................................... Proyeksi Reduksi Timbulan Sampah di TPST Bantargebang melalui Pengolahan Produk Lanjutan 2009-2023................................. Proyeksi Reduksi Emisi CO2 dari Produk Olahan Sampah di TPST Bantargebang 2009-2023........................................................ Manfaat Ekonomi Produksi Listrik PLTSa Bantargebang.................... Proyeksi Manfaat Ekonomi dari Tipping Fee bagi PLTSa Bantargebang......................................................................................... Proyeksi Manfaat Ekonomi Reduksi Emisi CO2 dari Produksi Listrik di TPST Bantargebang 2009-2023............................................. Biaya Investasi Transmisi Listrik PLTSa.............................................. Biaya Investasi Mesin dan Sistem Operasi PLTSa............................... Biaya Pra-investasi Proyek PLTSa........................................................ Biaya Re-investasi Proyek PLTSa......................................................... Biaya Tetap Tenaga Kerja Proyek PLTSa............................................. Biaya Variabel Pengolahan Sampah PLTSa.......................................... Analisis Kelayakan Ekonomi Proyek PLTSa........................................

16 27 29 32 36 37 39 40 41 42 55 57 62 63 64 65 66 67 67 68 70 71

2

DAFTAR GAMBAR Nomor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

Halaman

Sumber Energi Primer PLN tahun 2012 ............................................ 1 Jumlah Sroduksi Sampah Provinsi DKI Jakarta 1995-2015............... 3 Positive Benefits dari Suatu Proyek ................................................... 17 Diagram Operasional Penelitian......................................................... 25 Pola Pengangkutan Sampah di DKI Jakarta....................................... 38 Peta Lokasi TPST Bantargebang........................................................ 40 Mekanisme Pengolahan Sampah di TPST Bantargebang................... 43 Open Windrow Composting............................................................... 45 Proses Penimbunan Sampah di Composting Area.............................. 46 Proses Pengayakan Kompos Bubuk..................................................... 47 Pengemasan Kompos Granul................................................................ 49 Proses Daur Ulang Plastik di TPST Bantargebang.............................. 49 Alat Pembersih dan Pemotong............................................................. 50 Biji Plastik Hasil Daur Ulang dan Kemasan Biji Plastik........................ 51 Proses Produksi Listrik di PLTSa Bantargebang................................. 52 Soil covering dan Pelapisan Geomembran............................................ 53

DAFTAR LAMPIRAN Nomor 1 2 3 4 5

Halaman

Denah TPST Bantargebang................................................................. Biaya Investasi Konstruksi.................................................................. Biaya Tetap Overhead Pabrik dan Kantor PLTSa.............................. Cashflow Finansial............................................................................... Cashflow Ekonomi...............................................................................

79 80 81 82 83

1

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Konsumsi energi di Indonesia terus mengalami peningkatan. Pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu faktor penyebabnya. Gaya hidup masyarakat semakin tergantung terhadap energi seperti sektor industri, rumah tangga, transportasi, komersial dan lain-lain. Penelitian oleh Kuncoro dan Salimy (2011) menunjukkan total permintaan energi nasional pada tahun 2008 mencapai 134,91 GW dari sektor tersebut. Permintaan diprediksi akan mengalami peningkatan pesat pada tahun 2050 mencapai 1.086,97 GW. Krisis energi terlihat pada pemenuhan kebutuhan listrik nasional. Purwanto (2011) meneliti bahwa pada tahun 2009, ketersediaan listrik sebesar 29.705 MW. Dari pasokan tersebut terdapat 11,68% yang hilang akibat pemakaian listrik ilegal (free rider) maupun rusaknya transmitor listrik sehingga pasokan bersih tersisa 26.235 MW. Permintaan terhadap listrik sebesar 30.943 MW menunjukkan terjadi kelebihan permintaan (excess demand) atau mengalami defisit sebesar 15,22%.

Sumber: PLN, 2012

Gambar 1 Sumber energi primer PLN tahun 2012 Secara lebih jelas, proporsi sumber energi dapat dilihat pada Gambar 1. Jika dibandingkan tahun sebelumnya, sumber dari gas alam dan batubara mengalami peningkatan, sedangkan air dan panas bumi relatif konstan. Berdasarkan data yang dirilis oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) tersebut,

2

pada tahun 2012 lalu presentase energi listrik produksi sendiri per jenis energi primer yaitu gas alam 39.108,56 GWh (26,12%), batubara 66.920,80 GWh (44,69%), minyak 29.640,59 GWh (19,79%), tenaga air 10.524,61 GWh (7,03%), dan 3.557,54 GWh (2,38%) berasal dari panas bumi. Gambar 1 juga menunjukkan bahwa minyak bumi, gas bumi serta batu bara menjadi tiga sumber energi terbesar PLN. Jenis energi tersebut merupakan energi fosil yang bersifat tak terbarukan (non-renewable). Hal ini cukup mengkhawatirkan karena sumberdaya tersebut kelak akan berada pada titik kelangkaan (scarcity) sehingga harga jualnya kelak semakin tinggi. Terlebih tanpa adanya penemuan cadangan minyak baru atau pengembangan teknologi energi alternatif, maka diperkirakan akan habis dalam 23 tahun mendatang (Kuncoro dan Salimy, 2011). Keberlanjutan sumber energi di Indonesia menjadi sangat rawan jika terus-menerus bergantung pada energi tak terbarukan. Oleh karena itu, perlu ada komitmen dalam pengelolaan energi alternatif serta keberagaman energi (energy mix). Indonesia berpotensi besar untuk menghasilkan energi terbarukan (renewable energy) yang beragam. Rilis dari Rencana Induk Pengembangan Energi

Baru

Terbarukan

(RIPEBAT)1

oleh

Kementerian

ESDM

menginformasikan potensi energi dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dalam skala besar maupun kecil kurang lebih sebesar 75.670 MW. Potensi tersebut sangat besar namun sampai 2008 baru dimanfaatkan sebanyak 4.200 MW atau 5,6 persen. Indonesia pun memiliki potensi untuk memproduksi energi listrik berbasis tenaga surya karena tingginya instensitas radiasi matahari mencapai 4,8 kWh/m2 seperti yang diteliti oleh Rahardjo dan Fitriana (2006). Dalam penelitian tersebut diperkirakan pada rentang waktu 2010-2030 proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) mencapai kondisi yang mungkin untuk diinvestasikan secara ekonomi (economically feasible). Sumber energi lain yang melimpah di tanah air yaitu biomassa, energi yang berasal dari material biologis seperti tanaman ataupun hewan. Korhalliler (2010) menjelaskan bahwa biomassa memproduksi panas sehingga dapat

1

http://www.esdm.go.id/berita/40-migas/3746-pedoman-pengusahaan-cbm-acuan-teknisoperasional-pengembangancbm.html Akses 4 Februari 2014.

3

digunakan menjadi bahan bakar transportasi bahkan memiliki feasibility tinggi sebagai substituen energi fosil. Menurut data Kementerian ESDM, secara nasional biomassa berpotensi menghasilkan listrik 49.810 MW, termasuk dari sampah kota. Saat ini, kapasitas terpasang untuk energi biomassa baru sebanyak 445 MW atau 0,89 % dari total potensi tenaga listrik energi ramah lingkungan. Sumber energi biomassa Indonesia mayoritas berasal dari sektor kehutanan (didukung oleh adanya hutan hujan tropis), perkebunan, tanaman pertanian dan limbah pemukiman perkotaan (Japan Institute of Energy, 2012). Kuantitas sampah di Indonesia terus meningkat seiring dengan melonjaknya jumlah penduduk terutama pada daerah perkotaan. Pemenuhan kebutuhan hidup mendorong peningkatan permintaan terhadap produksi dan konsumsi yang menghasilkan hasil buangan berupa sampah. TPST Bantargebang telah berdiri sejak tahun 1987 dengan daya tampung sebanyak 1.500 – 2.000 ton per hari. Namun, Dinas Kebersihan DKI Jakarta mengungkapkan ada 5.000-6.000 ton sampah per hari yang masuk pada tahun 2013 sehingga sangat diperlukan pengelolaan secara berkelanjutan agar kuantitas tersebut dapat berkurang.

Sumber: Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 2009 Keterangan: Tahun 2007-2015 masih berupa proyeksi berdasarkan produksi kurun waktu 1995-2006

Gambar 2 Jumlah produksi sampah Provinsi DKI Jakarta 1995-2015* Dinas Kebersihan DKI Jakarta (2009) menunjukkan jumlah sampah yang dihasilkan oleh penduduk DKI Jakarta cenderung fluktuatif, namun jumlahnya terus meningkat setiap tahun seiring dengan peningkatan jumlah penduduk per

4

tahun. Secara jelas proyeksi data tersebut dapat dilihat pada Gambar 2. Potensi sampah perkotaan yang terus bertambah seiring meningkatnya aktivitas pemukiman seringkali tidak diimbangi oleh pengolahan yang baik. Meningkatnya jumlah penduduk serta aktivitas perekonomian di Jakarta mempertegas peningkatan kuantitas sampah tersebut. Jika masalah peningkatan volume sampah tak segera ditangani dengan baik, maka akan membutuhkan lahan lebih luas untuk menampungnya. Masalah lain juga berpotensi mencuat dalam aspek sosial, ekonomi dan lingkungan. Sampah merupakan kontributor penghasil emisi gas rumah kaca yang berasal dari gas metan (CH4). Sebanyak satu ton sampah padat diperkirakan menghasilkan 50 kg gas metan. Jika dikalkulasikan dengan buangan sampah dari Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2011 sebanyak 5.000-6.000 ton per hari menghasilkan 250.000-300.000 kg gas metan per hari. Gas metan 20 kali lebih potensial dibandingkan karbon dioksida sebagai penangkap panas di atmosfer sehingga berkontribusi dalam pemanasan global. Meskipun gas metan tak beracun, tapi dapat mematikan jika tercampur dengan kandungan gas lainnya. Gas metan juga sangat berbahaya karena mudah meledak2. Kasus ledakan dan longsor pada beberapa TPA di Indonesia diperkirakan disebabkan oleh tingginya kandungan gas tersebut. Oleh karena itu, penanganan lebih lanjut terhadap gas metan di TPA perlu dilakukan. Komposisi terbanyak dari sampah yang masuk ke TPST Bantargebang adalah sampah organik, yaitu mencapai 55%. Persentase sampah organik yang cukup dominan berpotensi menghasilkan gas metan untuk diolah lebih lanjut menjadi listrik. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mendistribusikan sampah ke Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi dengan biaya insentif sebesar Rp 123.000/ton (Navigat Organic Energy Indonesia, 2010). Sebanyak 20% dari biaya tersebut dimasukkan ke kas Pemerintah Kota Bekasi sebagai kompensasi atas penggunaan lahan di Bekasi untuk dijadikan tempat pembuangan. Sebesar 80% dari biaya tersebut digunakan untuk biaya operasional TPST seperti akses masuk dari jalan utama ke zona pembuangan, penerangan jalan di areal TPST, serta perlakuan soil cover. Soil cover adalah penumpukan 2

http://ehow.com/about_5377204_dangers-methane-gas.html Akses 9 September 2013

5

tanah pada seluruh permukaan sampah yang menggunung. Tindakan ini dilakukan untuk meminimalisir bau yang keluar dari gunung sampah. Sampah kemudian akan melalui berbagai perlakuan (treatment) seperti pemilahan, pengolahan menjadi pupuk organik ataupun menjadi listrik. PT Godang Tua Jaya (GTJ) dan PT Navigat Organic Energy Indonesia (NOEI) sejak Januari 2009 bekerjasama dalam mengoperasikan proyek TPST Bantargebang. GTJ berperan dalam mengolah sampah menjadi pupuk kompos serta daur ulang plastik menjadi biji plastik. NOEI berfokus pada konversi sampah menjadi energi biogas. Proyek yang dikelola NOEI tersebut berjalan dalam kurun waktu 15 tahun mulai dari tahun 2008 hingga 2023 dengan skema Build Operate Transfer (BOT). Skema ini menjadi pilihan bagi pemerintah untuk melakukan pembangunan proyek dengan dana yang besar sehingga bekerjasama dengan pihak swasta dalam kurun waktu tertentu. Perusahaan akan membangun dan menggunakan fasilitas, sedangkan pemerintah hanyak menyediakan lahan. Setelah jangka waktu habis, maka proyek atau fasilitas akan menjadi milik pemerintah kembali. Sampai awal tahun 2014, TPST Bantargebang telah memiliki pembangkit listrik dengan kapasitas 14,4 MW. Produksi listrik yang dihasilkan sebesar 98 MW-182 MW per hari. Listrik yang dihasilkan oleh PLTSa Bantargebang dibeli oleh PT PLN dengan harga Rp 860/kwh dan didistribusikan dalam sistem listrik Jawa-Bali. Selain dapat mengurangi kuantitas sampah di TPST Bantargebang, adanya proyek Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) tersebut juga memberikan manfaat seperti menyerap tenaga kerja, mengurangi potensi penyebaran bakteri berbahaya, mengurangi bau tak sedap, memperluas potensi ketahanan energi tanah air, serta mengurangi emisi karbon.

1.2 Perumusan Masalah Pengolahan sampah dengan sistem open dumping merupakan cara yang mayoritas digunakan oleh negara berkembang dikarenakan pengoperasian yang mudah dan alokasi dana cukup murah. Pada sistem ini, sampah yang masuk hanya akan ditumpuk di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) tanpa melalui proses lainnnya. Sistem ini berbahaya untuk diterapkan karena dapat menyebabkan

6

terlepasnya zat beracun ke udara maupun sumber air serta meningkatkan potensi tumbuhnya bakteri yang berbahaya untuk kesehatan (Environmental Protection Agency, 2010a). Amerika Serikat melalui Resource Conservation and Recovery Act (RCRA) bahkan sudah melarang penerapan sistem ini dalam mengolah sampah di negaranya. Ramke (2009) meneliti bahwa sistem open dumping yang pernah diterapkan di Jerman juga berbahaya bagi lingkungan karena dapat merusak sumber air tanah (groundwater) serta air permukaan (surface water), merusak rantai makanan (food chain), dan meningkatkan akumulasi gas rumah kaca (greenhouse gases) di atmosfer. TPA Bantargebang beroperasi sejak tahun 1989 melalui surat keputusan Gubernur Jawa Barat No.593.82/SK/282.P/AGK/DA/86 tanggal 25 January 1986. Pada surat keputusan tersebut Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mendapatkan kewenangan untuk mengelola dan memanfaatkan TPA Bantargebang dengan sistem open dumping. Sejak beroperasi, cukup banyak pihak yang pro-kontra terhadap keberadaan TPA Bantargebang. Kontra yang terjadi dikarenakan polusi udara yang menyengat bahkan dalam radius 15 kilometer 3, pencemaran air tanah yang digunakan oleh warga sekitar4, dan lain-lain. Mulai tahun 2008, Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang mengubah sistem menjadi sanitary landfill. Hal itu dilakukan seiring dengan regulasi dari UU No. 18/2008 mengenai Pengelolaan Sampah. Pada UU tersebut tidak ada definisi mengenai TPA, melainkan tentang Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST). Selanjutnya, TPA Bantargebang berganti menjadi TPST Bantargebang yang menjalankan sistem sanitary landfill yaitu sampah akan melalui kegiatan pengumpulan, pemilahan, penggunaan ulang, pendauran ulang, pengolahan, dan pemrosesan akhir sampah. Keputusan perubahan sistem tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menciptakan pengolahan sampah yang berkelanjutan, mengingat kuantitas sampah yang terus meningkat. Kelayakan sebuah usaha perlu dinilai secara finansial maupun ekonomi untuk mengidentifikasi arus pemasukan dan arus pengeluaran perusahaan. Kebermanfaatan proyek secara moneter dapat dinilai dan dianalisis lebih lanjut. 3

http://www.indosiar.com/fokus/tpa-bantar-gebang-yang-menuai-protes_54695.html Akses 8 Desember 2013 4 http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=213194 Akses 8 Desember 2013

7

Adanya analisis terhadap teknologi dan mekanisme pengolahan sampah tersebut dapat mendorong pihak pemerintah maupun investor yang tertarik untuk menerapkan sistem serupa di TPA/TPST lainnya karena dapat mengetahui keuntungan dan biaya untuk melakukan replikasi. Karbon dioksida (CO2), metana (CH4) dan nitrogen dioksida (NO2) merupakan beberapa gas berbahaya yang dilepaskan oleh TPA dengan sistem open dumping. Gas-gas tersebut akan mengendap di atmosfer dalam kurun waktu 13 hingga 100 tahun dan menangkap panas matahari. Reaksi tersebut menyebabkan bumi menjadi kian panas karena sinar matahari yang masuk terperangkap dan mengendap di bumi. Fenomena ini dikenal dengan pemanasan global (global warming) yang dampaknya mulai terasa. Pergeseran musim di berbagai belahan dunia, naiknya permukaan air laut, terancamnya habitat flora dan fauna merupakan beberapa efek dari pemanasan global. Keberadaan proyek PLTSa menjadi salah satu upaya untuk memanfaatkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) tersebut agar tak terlepas ke udara. Penghitungan terhadap potensi emisi GRK (carbon accounting) penting untuk dilakukan oleh proyek karena memiliki banyak manfaat. Keuntungan yang didapatkan melalui carbon accounting bukan hanya mengenai peluang perdagangan karbon. Dwijayanti (2011) meneliti bahwa carbon accounting dapat mendorong respon positif bagi stakeholder perusahaan karena mengindikasikan kepedulian perusahaan terhadap lingkungan. Hal ini menjadi penting karena mulai banyak bank, investor maupun kreditor yang memperhitungkan aspek ramah lingkungan untuk pembiayaan proyek suatu perusahaan. Permasalahan persampahan memang sebaiknya diteliti lebih lanjut untuk menemukan solusi tepat. Pengelolaan sampah secara berkelanjutan penting untuk dilakukan karena dapat meminimalisir bahaya kesehatan yang dihasilkan, meningkatkan nilai ekonomi dari sampah, dan menyerap tenaga kerja. Pengelolaan sampah yang tak baik dapat beresiko menimbulkan biaya (cost) yang tinggi serta berpotensi mencuatkan masalah lainnya. Kelayakan usaha dari TPST Bantargebang perlu dievaluasi secara ekonomi untuk meninjau berdasarkan kriteria kelayakan. Hasil analisis kelayakan tersebut dapat menjadi pedoman bagi perusahaan untuk mencapai efisiensi dalam produksi, bagi pengelola TPA/TPST

8

lain untuk menerapkan sistem sejenis, ataupun bagi pemerintah untuk menjalankan program pengelolaan sampah yang bermanfaat bagi masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan penelitian mengenai pengelolaan sampah di TPST Bantargebang untuk menjadi salah satu literatur dalam optimalisasi manfaat bagi pihak terkait seperti Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Pemerintah Kota Bekasi, perusahaan swasta serta warga sekitar. Berdasarkan uraian tersebut, terdapat beberapa permasalahan yang akan dianalisis dalam penelitian yaitu: 1.

Bagaimana sistem pengolahan sampah di TPST Bantargebang?

2.

Bagaimana manfaat (benefit) ekonomi yang mungkin dihasilkan melalui reduksi emisi karbon dari kegiatan PLTSa?

3.

Bagaimana evaluasi ekonomi dari proyek Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di TPST Bantargebang?

1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu: 1.

Mengidentifikasi sistem pengolahan sampah di TPST Bantargebang.

2.

Mengevaluasi manfaat (benefit) ekonomi yang mungkin dihasilkan melalui reduksi emisi karbon dari kegiatan PLTSa.

3.

Mengevaluasi secara ekonomi terhadap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di TPST Bantargebang.

1.4 Manfaat Penelitian 1.

Bagi peneliti dan akademisi, penelitian ini dapat menjadi kajian mengenai pemanfaatan dan pengelolaan sampah sebagai sumber energi terbarukan yang potensial.

2.

Bagi pemerintah, tinjauan manfaat ekonomi TPST Bantargebang merupakan acuan dan gambaran untuk menerapkan sistem pengolahan sampah sejenis di TPST lainnya sehingga dapat menjadi pendapatan daerah, menyerap tenaga kerja, dan mendorong kesejahteraan masyarakat melalui aktivitas ekonomi yang membutuhkan listrik.

9

3.

Bagi perusahaan, penelitian ini dapat menarik investor ataupun kreditor untuk berkecimpung dalam bisnis pemanfaatan sampah menjadi energi karena nilai ekonomi yang didapatkan juga cukup menjanjikan dan berpotensi untuk dikembangkan.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup pada penelitian ini dibatasi untuk berfokus pada pemanfaatan sampah menjadi listrik di TPST Bantargebang. Identifikasi terhadap pengolahan sampah di TPST Bantargebang akan ditinjau melalui skema dan proses treatment terhadap sampah. Analisis ekonomi proyek PLTSa TPST Bantargebang akan dinilai melalui aspek biaya (cost) dan manfaat (benefit). Manfaat proyek dalam penelitian ini mencakup manfaat langsung proyek (listrik dan tipping fee) serta manfaat tidak langsung proyek (reduksi emisi karbon). Penyerapan gas karbon sebagai input produksi listrik akan dinilai untuk mengestimasi manfaat ekonomi reduksi emisi karbon.

10

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Economics of Waste Management Beberapa

regulasi

untuk

mengatur

penanganan

sampah

secara

berkelanjutan telah dikeluarkan dalam bentuk formal oleh pemerintah. UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah salah satunya memuat redefinisi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) menjadi Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST). Redefinisi tersebut secara tidak langsung menegaskan seluruh TPA di Indonesia untuk mengubah sistem pengelolaan sampah sesuai asas tanggung jawab, berkelanjutan, manfaat, keadilan, kesadaran, kebersamaan, keselamatan dan nilai ekonomi. UU tersebut mengemukakan sampah sebagai sumber daya yang berperan untuk ditangani lebih lanjut. Pengelolaan sampah bukan hanya kegiatan untuk mengurangi jumlah sampah di lokasi pembuangan, tapi juga bertujuan meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan. Bentuk regulasi lain yang mendukung perubahan sistem TPA menjadi TPST di Indonesia yaitu UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah. Pada peraturan ini terdapat penekanan paradigma baru dalam mengelola sampah lingkup daerah yaitu dengan adanya kegiatan yang sistematis, menyeluruh dan berkesinambungan meliputi pengurangan dan penanganan sampah. Pengolahan sampah pada tingkat daerah dimaksudkan untuk mengurangi jumlah sampah, disamping memanfaatkan nilai yang masih terkandung dalam sampah (bahan daur ulang, produk lain, dan energi). Kajian oleh Dewi (2008) mengungkapkan bahwa biaya operasional pengelolaan menjadi tinggi dan sulitnya menyediakan ruang yang pantas serta cukup untuk pembuangan. Pengelolaan sampah oleh swasta menjadi salah satu problem solver untuk menekan biaya operasional karena swasta cenderung efisien menjalankan proyek. Konsep ekonomi memiliki salah satu teori yang disebut Pareto Optimal. Teori Pareto dipopulerkan oleh Vilfredo Pareto untuk memunculkan pemahaman “kesejahteraan yang setara” ketika terjadi konflik kepemilikan tanah oleh kaum elit Italia pada tahun 1909. Pareto Optimal terkait dengan kondisi saat suatu aktivitas ekonomi tak mampu lagi memberi peningkatan kesejahteraan (better off) bagi individu/kelompok tanpa mengakibatkan penurunan kesejahteraan (worse

11

off) pelaku ekonomi lainnya. Hal ini juga mengenai kriteria dasar ekonomi yaitu ketika suatu pihak ingin mendapatkan kepuasan (utility) tertinggi, maka harus mencapai kondisi yang memberikan manfaat pada individu atau kelompok tanpa merugikan pihak lain (Azis, 1991). Poernomo (1994) menjelaskan bahwa pada posisi optimal tersebut output produksi memiliki nilai lebih tinggi daripada alternatif output lain yang dapat diproduksi dengan faktor produksi yang tersedia. Aktivitas perekonomian memiliki pengaruh terhadap kondisi better off dan worse

off

tersebut

karena

menghasilkan

eksternalitas.

Fauzi

(2004)

mendefinisikan eksternalitas sebagai dampak (positif atau negatif) atau dapat disebut juga net cost atau benefit dari tindakan yang ditimbulkan satu pihak terhadap pihak lain. Eksternalitas positif berupa manfaat proyek seperti penyerapan tenaga kerja dan output proyek. Eksternalitas negatif terkait dengan pengaruh merugikan seperti limbah yang merusak lingkungan. Studi ekonomi lingkungan menjelaskan bahwa untuk mencapai kondisi Pareto Optimal, eksternalitas positif proyek seharusnya lebih tinggi dibanding eksternalitas negatif proyek tersebut. Jika dalam suatu proyek menyebabkan eksternalitas negatif menjadi lebih tinggi, maka pelaku proyek tersebut harus memberi kompensasi untuk mengganti nilai kerugian (Dewi, 2008). Pengelolaan sampah menjadi output berupa listrik merupakan salah satu alternatif terbaik, mengubah paradigma sampah sebagai masalah menjadi sumberdaya yang bernilai ekonomi. Konsumen bersedia mengeluarkan biaya untuk komoditi yang diproduksi oleh produsen karena listrik merupakan barang yang mereka butuhkan. Kegiatan produksi ini juga mampu mengurangi volume sampah di lokasi pembuangan. Ramke (2009) mengemukakan bahwa pengelolaan sampah perkotaan secara berkelanjutan dapat memberi eksternalitas positif bagi pihak terkait melalui adanya output bernilai lebih (produk daur ulang, pupuk kompos, listrik), penciptaan lapangan pekerjaan baru, pemerataan pendapatan, dan lain-lain. Namun, jika pasar dan pemerintah tak mampu memberi kontrol yang baik terhadap pengelolaan sampah maka akan terjadi kegagalan pasar (market failure). Efek lanjutan dari market failure yaitu adanya dampak negatif seperti pencemaran lingkungan, meningkatnya biaya kesehatan (cost of illness) warga setempat, serta masalah sosial lainnya. Oleh karena itu, manajemen sampah kota

12

perlu diperhatikan agar dapat memberi manfaat ekonomi bagi seluruh pihak terkait. Kontrol terhadap sampah sebagai sumberdaya menjadi penting untuk mencegah terjadinya market failure. Pemberian hak kepemilikan (property right) yang jelas menjadi salah satu alat yang efektif dalam mengontrol sumberdaya.

2.2 Konsep Sumberdaya dan Hak Kepemilikan Barrow (2006) mengemukakan ketersediaan sumberdaya tergantung pada pemahaman subjek (individu atau kelompok) terhadap improvisasi teknologi dan pandangan sosial dalam mengelolanya. Jika diklasifikasikan lebih lanjut, terdapat beberapa jenis sumberdaya yaitu: 1) sumberdaya tak terbarukan (non-renewable resources) yang terbatas atau akan habis jika digunakan; 2) sumberdaya terbarukan (renewable resources) yang kebaruannya dapat terus dimanfaatkan jika dikelola secara bijak; serta 3) inexhaustible resources atau sumberdaya yang bersifat sangat alami sehingga disebut sebagai a trully gift of nature (anugrah alam) karena dapat dimanfaatkan siapapun dalam jangka waktu lama seperti sinar matahari, gaya gravitasi, tenaga angin dan lain-lain. Prinsip pembangunan berkelanjutan mencuat dengan paradigma bahwa kebutuhan terhadap sumberdaya saat ini dapat terpenuhi tanpa membahayakan pemenuhan kebutuhan generasi yang akan datang (Harris, 2000). Pemanfaatan tak bijak terhadap sumberdaya saat ini bahkan memungkinkan berubahnya sifat renewable menjadi non-renewable bagi sumberdaya tersebut pada masa mendatang. Hal ini terjadi pada Sungai Pasig di Filipina yang tercemar oleh aktivitas industri dan ekonomi sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) sehingga tak memungkinkan lagi untuk dimanfaatkan. Pemerintah setempat pun perlu mengeluarkan biaya rehabilitasi cukup besar untuk recovery fungsi sungai. Oleh karena itu,

kontrol terhadap sumberdaya menjadi penting untuk menjaga

keberlanjutan manfaatnya. Hak kepemilikan (property rights) dapat menjadi salah satu alat kontrol sumberdaya. Property rights adalah pemberian hak secara legal kepada individu ataupun swasta untuk memanfaatkan sumberdaya (Pindyck dan Rubinfield, 2009). Kepemilikan atas suatu sumberdaya menjadi penting untuk mengontrol penggunaan agar tak berlebihan dan menghilangkan esensi dari kebermanfaatan

13

sumberdaya tersebut. Bromley dan Cornea (1989) memiliki pandangan bahwa terdapat empat macam property rights terhadap sumberdaya yaitu milik pribadi (private property), milik negara (state property), milik umum atau bersama (common property) serta tak bertuan (public goods). Masalah yang biasa mencuat dalam isu property rights yaitu cara penegakan dalam memanfaatkan sumberdaya. Perlu adanya sistem hukum formal dan aturan yang berlaku dalam masyarakat (Taylor, 1990). Jika alokasi sumberdaya memiliki tujuan efisiensi dengan pengoperasioan melalui sistem pasar (market economy), maka privatisasi sumberdaya dapat menjadi win win solution. Hal tersebut dijelaskan oleh Taylor (1990) dikarenakan private property memenuhi seluruh sifat berikut: 1)

Hak-hak dalam akses sumberdaya dapat didefinisikan secara jelas dan lengkap (completeness);

2)

Seluruh manfaat dan biaya yang dikeluarkan dari sumberdaya secara eksklusif menjadi tanggungan pemegang hak (exclusivity);

3)

Hak dapat dipindahtangankan (transferable) secara jual-beli maupun parsial (sewa-gadai);

4)

Hak-hak tersebut dapat ditegakkan (enforceability) melalui formal procedure maupun norma masyarakat (social customs). Keterlibatan swasta dalam mengelola sumberdaya dapat menjadi investasi

yang mendorong pertumbuhan dan produktivitas ekonomi karena adanya sistem pasar untuk menjual produk lanjutan dari sumberdaya tersebut. Masalah manajemen sampah sudah menjadi masalah sosial. Mencuatnya permasalahan tersebut perlu ada lingkaran hukum untuk tetap mengontrol laju pemanfaatan sumberdaya agar tak merugikan masyarakat. Pengelolaan sampah di TPST Bantargebang bekerjasama dengan perusahaan swasta yang notabene efisien dalam menjalankan proyek. Pemerintah menjadi kontrol agar pengelolaan itu tetap memberi kesejahteraan bagi masyarakat. Model pengelolaan yang tepat perlu diterapkan sesuai kondisi buangan sampah dan lokasi pembuangan yang tersedia. Lahan perkotaan seperti DKI Jakarta sangat terbatas karena telah digunakan oleh pemukiman dan pusat perekonomian, sehingga TPST Bantargebang perlu diterapkan model pengolahan sampah berkelanjutan.

14

2.3 Model Pengelolaan Sampah Kota Hampir pada setiap daerah di Indonesia memiliki model pengelolaan sampah yang tak berbeda. Model yang digunakan secara sederhana dan tak mengeluarkan dana cukup banyak. Secara umum, Sudrajat (2006) menjelaskan bahwa Indonesia menerapkan dua macam model yaitu urugan dan tumpukan. Model urugan (open landfill) adalah cara sangat sederhana karena sampah hanya dibuang pada suatu cekungan atau lembah tanpa memberi perlakuan lebih lanjut. Model ini biasanya diterapkan di kota yang memiliki volume sampah tak terlalu besar. Model kedua yang biasa diterapkan di Indonesia yaitu model tumpukan (controlled landfill atau sanitary landfill). Pada model ini perlu ada kelengkapan lain seperti unit saluran air buangan, pembakaran ekses gas metan (flare), pengolahan air buangan (leachate), dan biasanya terdapat pula perlakuan menutup sampah dengan tanah (soil cover). Jika kelengkapan tersebut sudah tersedia, maka model telah memenuhi prasyarat kesehatan lingkungan. Namun, mayoritas daerah di Indonesia belum menyediakan kelengkapan tersebut karena tergantung pada kondisi keuangan daerah serta kepedulian pihak setempat akan pengelolaan sampah. Adapun aplikasi model pengelolaan sampah kota pada beberapa daerah di Indonesia menurut Sudrajat (2006) yaitu: a)

Surabaya (TPA Sukolilo) menerapkan model urugan. Masyarakat sering melakukan protes akibat polusi bau. Pihak TPA mengatasi masalah tersebut dengan mendatangkan 1 unit pembakar (incinerator) dari Inggris. Namun, kadar air dalam sampah sangat tinggi (>80%) sehingga penggunaan alat tersebut tidak efektif karena menyebabkan biaya pembakaran melonjak serta adanya polusi lain berupa asap dan debu.

b)

Solo (TPA Mojosongo) mengolah sampah dengan metode cukup menarik serta bermanfaat secara sosial dan ekonomi. Meskipun pengolahan sampah dilakukan dengan cara tumpukan seperti di daerah lainnya, TPA ini memproduksi kompos yang kemudian dibagikan secara gratis kepada masyarakat setempat. Sistem ini mendorong pertanian organik di wilayah sekitarnya. Warga yang awalnya berprofesi sebagai pemulung kini memiliki peternakan sapi. Sapi tersebut dilepas secara liar pada areal TPA

15

untuk mencari makan. Pihak WHO sempat meneliti kandungan susu sapi dan hasilnya aman untuk dikonsumsi. c)

Bogor (TPA Galuga) melakukan pengelolaan sampah dengan model tumpukan. Tingginya curah hujan menyebabkan sampah perlu waktu lama untuk membusuk. TPA ini telah memiliki pabrik pupuk organik yang dikelola oleh warga setempat yang bergabung dalam Paguyuban Tumaritis. Pabrik tersebut khusus mengelola sampah dari beberapa lokasi pasar di Kabupaten Bogor. Mayoritas negara kawasan Asia Tenggara memang masih kesulitan dalam

menyediakan dan mengelola TPA. Namun, pemerintah setempat mulai tegas terhadap warga agar peduli akan kebersihan lingkungan. Seluruh pusat perbelanjaan seperti mall di Filipina sudah melarang penggunaan plastik sebagai pembungkus barang belanjaan. Tempat sampah telah disediakan pada tempat yang strategis serta dipisahkan sesuai jenis sampah. Truk sampah bekerja pada malam hari agar polusi bau tidak mengganggu aktivitas. Pengelolaan sampah di luar negeri telah cukup maju. Umumnya, mayoritas negara di Eropa telah melakukan pengelolaan sampah yang baik mulai dari sektor rumah tangga hingga lokasi pembuangan akhir. Sampah di TPA tersebut dijadikan pupuk organik lalu dijual kepada perusahaan pertanian maupun perkebunan yang telah memiliki kontrak dengan pihak TPA. Sampah anorganik yang masih dapat didaur ulang akan diproses lebih lanjut, contohnya dijadikan botol wine pada lokasi pengolahan sampah di London.

2.4 Manfaat Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang TPA Bantargebang sejak tahun 1989 hingga berganti menjadi TPST Bantargebang pada 2008 telah menjalin bermacam kerjasama dalam teknis operasional. Skema kerjasama dalam beberapa periode tersebut berubah-ubah sesuai kendala yang dihadapi di lapangan. Juliansah (2010) menguraikan hasil studi lapang terhadap pola kerjasama di TPA/TPST Bantargebang pada Tabel 1. Ketidakmampuan Pemprov DKI Jakarta dalam menangani permasalahan sampah mendorong pengalihan operator TPA Bantargebang untuk swasta mulai tahun 2004. Saat itu PT Patriot Bangkit Bekasi (PBB) bertugas mengelola

16

pengangkutan sampah dari sumber ke lokasi TPA, melakukan evaluasi terhadap Instalasi Pengolahan Air Sampah (IPAS) setiap 6 bulan, serta mengelola zona pembuangan. Namun, kerjasama tersebut dihentikan karena pengolahan TPA menjadi semakin buruk (banyak sampah yang tak terangkut dan air lindi yang kian mencemari sungai).

Tabel 1 Overview Kerjasama Pengelolaan TPST Bantargebang Tahun Kerjasama

Pihak-pihak yang Terkait

Operator Lapangan

Bentuk Kerjasama

1989-1999

Pemkot Bekasi Pemprov DKI Jakarta

Pemrov DKI Jakarta

2000-2004

Pemkot Bekasi Pemprov DKI Jakarta

Pemrov DKI Jakarta

Pemprov DKI Jakarta bertanggungjawab atas infastruktur (akses jalan & sarana kesehatan) serta memberi kompensasi berupa dana tunai ke Pemkot Bekasi. Karena gejolak politik, bentuk kerjasama pada kurun waktu ini dikaji ulang namun operasional tetap berjalan.

2004-2006

Pemkot Bekasi Pemprov DKI Jakarta - Swasta (PT. PBB)

Swasta (PT. PBB)

Tipping fee dibayarkan oleh Pemprov DKI Jakarta (80% untuk PT. PBB dan 20% untuk Pemkot Bekasi).

2007-2008

Pemkot Bekasi Pemprov DKI Jakarta

Pemrov DKI Jakarta

Tipping fee dibayarkan oleh Pemprov DKI Jakarta (80% untuk operasional dan 20% untuk Pemkot Bekasi).

2008 Sekarang

Pemkot Bekasi Pemprov DKI Jakarta - Swasta (PT. GTJ joint operation PT NOEI)

Swasta (PT. GTJ joint operation PT NOEI)

Tipping fee dibayarkan oleh Pemprov DKI Jakarta (80% untuk Swasta dan 20% untuk Pemkot Bekasi).

Sumber: Juliansah, 2010

Mulai tahun 2008, operasional TPST Bantargebang dipercayakan kepada PT Godang Tua Jaya (GTJ) dan PT Navigat Organic Energy Indonesia (NOEI). Hingga saat ini TPST menerapkan pengolahan produk kompos dan biji plastik (ranah kerja PT GTJ) dan PLTSa oleh PT NOEI. Aktivitas produksi tersebut

17

memungkinkan manfaat ekonomi yang lebih tinggi terutama pada PLTSa karena menghasilkan energi ramah lingkungan serta mereduksi emisi karbon dari timbulan sampah TPST.

2.4.1 Manfaat Ekonomi Energi Ramah Lingkungan Environmental Protection Agency (EPA) pada tahun 2010 merilis hasil penelitian mengenai banyaknya manfaat yang didapatkan melalui penerapan energi ramah lingkungan. Beberapa diantaranya yaitu meningkatkan pendapatan, penyerapan tenaga kerja, efisiensi pengeluaran (outflow), serta ekspansi pasar karena sekaligus melakukan program efisiensi energi. Teknologi energi fosil seperti minyak dan batu bara membutuhkan insentif modal dan alat yang cukup banyak sehingga ekstraksi energi sangat bergantung secara teknik. Oleh karena itu, proyek energi fosil merupakan usaha padat modal. Ekstraksi energi dari sampah merupakan proyek padat karya karena industri membutuhkan lebih banyak pekerja jika dibandingkan dengan energi fosil. Hal ini memberi dampak positif bagi negara berkembang yang memiliki proyek PLTSa untuk menyerap tenaga kerja dari populasi penduduk yang padat.

Sumber: Pindyck dan Rubenfield, 2009

Gambar 3 Positive Benefits dari Suatu Proyek Konsep eksternalitas positif dari Pindyck dan Rubenfield (2009) pada Gambar 3 dapat dikaitkan dengan proyek energi ramah lingkungan. Ketika suatu kegiatan atau proyek memberikan eksternalitas positif, maka marginal social benefits (MSB) menjadi lebih besar dari permintaan yang ada (D). MSB

18

merupakan kalkulasi dari manfaat yang didapatkan oleh private dengan manfaat eksternal yang didapatkan masyarakat atau marginal externality benefits (MEB). Perpindahan dari titik A ke titik B diakibatkan oleh terjadinya eksternalitas negatif dari energi tidak terbarukan.

Kondisi pada titik A terjadi ketika perusahaan

menetukan harga produk sesuai Marginal Cost atau harga yang dapat memberi profit maksimal namun sebenarnya ada biaya yang harus ditanggung perusahaan akibat eksternalitas negatif. Oleh karena itu, perlu dimasukkan biaya sosial dalam produksi yaitu ketika Marginal Social Cost berada pada garis Demand perusahaan. Biaya sosial dapat berupa insentif perusahaan untuk menggunakan teknologi dalam mengelola energi terbarukan. Tingkat produksi pun akan mencapai titik optimum pada titik B dan harga akan naik dari Po menuju P* dan kuantitas produksi akan berkurang secara optimal dari Qo menjadi Q*. Industri energi ramah lingkungan juga memiliki manfaat dalam jangka panjang dapat menstabilkan harga energi di masa depan. Penggunaan energi ramah lingkungan yang beragam dapat menurunkan harga maupun permintaan dari gas bumi dan minyak yang mendominasi persediaan energi. Hal ini dapat melindungi konsumen ketika harga energi fosil melonjak karena faktor kelangkaan (scarcity).

2.4.2 Manfaat Ekonomi Reduksi Emisi Karbon Isu perdagangan karbon menjadi populer karena adanya Protokol Kyoto pada tahun 1997 yang merupakan kesepakatan dalam pengurangan emisi gas rumah kaca (greenhouse gases). Protokol tersebut yang diratifikasi oleh 187 negara pada awal tahun 2005. Sebanyak 37 negara industri (disebut sebagai Annex I) berkewajiban mengurangi greenhouse gases sampai 5,2% dari tingkat emisi tahun 1990. Saat itu harga karbon internasional sangat tinggi hingga kesepakatan berakhir pada tahun 2012. Emisi karbon yang dihasilkan oleh suatu proyek perlu dinilai karena memiliki banyak manfaat. Pada perusahaan, penilaian emisi karbon dapat menjadi salah satu bentuk kepedulian terhadap lingkungan. Hal ini dapat membawa insentif untuk mereduksi polusi proyek serta memperbaiki kesehatan masyarakat di area proyek. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dwijayanti (2011)

19

menunjukkan bahwa penerapan penilaian emisi karbon pada proyek dapat memberi keuntungan bagi perusahaan, masyarakat maupun pemerintah. Konsep ekonomi lingkungan sepakat bahwa pengukuran ekonomi secara tradisional melalui Gross National Product (GNP) tak memperhitungkan penurunan

stok

sumberdaya

alam

dan

lingkungan.

GNP

juga

tidak

mengikutsertakan penilaian terhadap nilai non-guna (non-market value) dari suatu sumberdaya.

Valuasi

ekonomi

diperlukan

untuk

mempertimbangkan

keberlanjutan sumberdaya agar kesejahteraan dicapai secara optimal. Proses produksi yang menyerap karbon memberi nilai lebih bagi proyek. Emisi karbon yang hilang akibat penyerapan biogas sebagai penggerak generator listrik termasuk sebagai nilai manfaat dari keberadaan proyek PLTSa. Proyek ramah lingkungan berpotensi mendapatkan keuntungan (profit gain) dari emisi karbon pada proses produksinya. Keuntungan tersebut dianalisis dengan membandingkan penerimaan bersih proyek saat ini atau Net Present Value (NPV) dengan emisi karbon rata-rata yang berhasil diserap oleh proyek. Penilaian terhadap emisi karbon (carbon accounting) memberi manfaat bagi perusahaan karena dapat meningkatkan penjualan produk, menarik minat investor dan kreditor untuk mendanai proyek, serta melakukan ekspansi pasar. Pemerintah juga diuntungkan sebagai bagian dari program pengurangan polusi di Indonesia dengan langkah yang konkrit. Keberlanjutan sumberdaya pun menjadi lebih terjamin sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam jangka panjang. Keuntungan lain yang mungkin didapatkan oleh masyarakat yaitu berkurangnya potensi bencana alam, mendatangkan peluang lapangan pekerjaan baru, serta kondisi lingkungan areal proyek yang semakin membaik karena audit terhadap emisi karbon tersebut. Oleh karena itu, carbon accounting penting untuk diberlakukan juga pada sektor industri.

2.5 Penelitian Terdahulu Penelitian terkait sampah telah dilakukan dengan mengkaji beragam aspek. Dewi (2008) melakukan penelitian mengenai Evaluasi Ekonomi dan Sosial Unit Pengolahan Sampah (UPS) Kota Depok. Tujuan dari penelitian tersebut yaitu 1) mengestimasi nilai ekonomi sampah domestik Kota Depok yang dapat

20

dihasilkan UPS jika adanya penanganan lebih lanjut; 2) membandingkan manfaat dan biaya pengelolaan sampah Kota Depok melalui sistem UPS dengan lokasi yang tidak menerapkan sistem UPS; 3) mengevaluasi dampak sosial keberadaan UPS terhadap masyarakat. Adapun metode analisis yang digunakan untuk estimasi nilai ekonomi yaitu konsep total economic value (use value), net benefit, avoided transportation cost, Benefit Cost Analysis (BCA), uji non-parametrik McNemar serta tabulasi deskriptif persepsi responden. Fatimah (2009) meneliti dengan topik Analisis Kelayakan Usaha Pengolahan Sampah menjadi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Kota Bogor. Penelitian tersebut mencantumkan skenario pendirian proyek PLTSa di Kota Bogor dengan kondisi berdasarkan hasil studi PLTSa Kota dan Kabupaten Bandung. Tujuan dari penelitian ini yaitu 1) Menganalisis kelayakan proyek PLTSa ditinjau dari aspek teknis, aspek pasar dan aspek manajemen; 2) Menganalisis kelayakan proyek PLTSa ditinjau dari aspek finansial; 3) Menganalisis kepekaan proyek PLTSa yang mempengaruhi kondisi kelayakan. Metode yang digunakan untuk mengkaji tujuan tersebut adalah Analisis Aspek Teknis, Pasar, Manajemen dan Finansial (kriteria berupa NPV, IRR, Net B/C, Payback Period, Switching Value) serta Analisis Kelayakan Usaha. Hapsari (2011) mengkaji tentang Studi Emisi Karbondioksida (CO2) dan Metana (CH4) dari Kegiatan Reduksi Sampah di Wilayah Surabaya Bagian Selatan. Tujuan dari penelitian tersebut yaitu 1) Menghitung jumlah emisi gas karbondioksida dan metan dari timbulan sampah di Surabaya; 2) Menghitung jumlah emisi gas karbondioksida dan metan yang dihasilkan dari kegiatan reduksi sampah di wilayah Surabaya bagian Selatan; 3) Menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat untuk melakukan kegiatan reduksi sampah di wilayah Surabaya bagian Selatan. Adapun alat analisis yang digunakan dalam penelitian tersebut menggunakan Minitab dan SPSS meninjau faktor perilaku masyarakat; metode dari Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) digunakan untuk menilai emisi karbon dari pembuatan kompos serta metode dari United States Environmental Protection Agency (U.S. EPA) digunakan untuk menilai emisi karbon dari kegiatan reduksi sampah.

21

Persamaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu yaitu berfokus pada analisis kelayakan proyek pengelolaan sampah. Kelayakan proyek akan dievaluasi untuk menjadi acuan ataupun gambaran dalam menerapkan sistem sejenis pada TPST/TPA lainnya. Faktor-faktor yang berbeda dengan penelitian lain yaitu sistem pengelolaan sampah, aspek penelitian serta lokasi penelitian. Sistem pengelolaan sampah di TPST Bantargebang telah menggunakan sanitary landfill yang cukup baik. Kegiatan proyek PLTSa juga memiliki manfaat ekonomi berupa reduksi emisi karbon dari tumpukan sampah yang kian hari memenuhi TPST. Lokasi penelitian pada TPST Bantargebang dipilih untuk menjadi salah satu bahan kajian penanganan sampah yang berasal dari aktivitas perekonomian kota.

22

III.

Aktivitas

KERANGKA PEMIKIRAN

perekonomian

membutuhkan

listrik

sebagai

penunjang

produktivitas. Permintaan (demand) yang tinggi terhadap listrik masih belum tersedia oleh PT PLN secara keseluruhan. Hal itu menyebabkan timbul fenomena kelebihan permintaan (excess demand) padahal Indonesia memiliki potensi besar dalam penyediaan energi seperti solar, angin, mikro hidro, serta biomass. Salah satu sumber energi biomass adalah sampah. Provinsi DKI Jakarta sebagai ibu kota Indonesia menjadi pusat perekonomian yang menghasilkan residu berupa sampah. Sejak 1986, sampah yang berasal dari DKI Jakarta dibuang ke TPA Bantargebang. Pada tahun 2010 jumlah sampah yang terangkut sebanyak 5.000-6.000 ton/hari. Angka tersebut sudah melebih daya tampung TPA Bantargebang yang hanya mampu menampung 1.500-2.000 ton/hari. Pemerintah memberlakukan UU No. 18 Tahun 2008 mengenai Pengolahan Sampah dan secara tegas mengharuskan adanya perlakuan lebih lanjut terhadap sampah di TPA/TPST seluruh Indonesia. Proyek PLTSa TPST Bantargebang menjadi salah satu win win solution treatment terhadap manajemen sampah kota secara berkelanjutan serta penyediaan energi ramah lingkungan. Tahap pertama yang akan dilakukan dalam penelitian ini yaitu meninjau sistem pengolahan sampah di TPST Bantargebang. Hasil tinjauan akan dianalisis melalui Analisis Deskriptif sehingga dapat menjadi literatur pengelolaan sampah di tempat lain secara umum. Guinard (2006) menjelaskan bahwa Analisis Deskriptif merupakan metode terkait identifikasi, deskripsi terhadap aspek kualitatif suatu produk, dan dapat juga berupa pemberian skala kuantitatif terhadap aspek tersebut. Analisis Deskriptif digunakan untuk memperoleh deskripsi detail mengenai suatu produk ataupun jasa. Sistem yang akan dideskripsikan pada penelitian ini mengenai proses operasional pengangkutan sampah dari sumber (rumah tangga, pasar, maupun industri), proses pembuangan sampah ke TPST Bantargebang, perlakuan terhadap sampah yang menumpuk hingga menjadi produk olahan berupa pupuk kompos, biji plastik serta listrik.

23

Tahap kedua yang akan diteliti yaitu mengenai output proyek PT NOEI berupa listrik. Listrik mermiliki nilai manfaat nyata (tangible value) yang dapat digunakan oleh manusia dari keberadaan sampah di TPST Bantargebang. Listrik dihasilkan melalui penyerapan gas karbon dan metana sampah. Output berupa listrik memberi nilai ekonomi dari sampah yang selama ini dianggap masalah. Produk listrik yang dihasilkan PLTSa akan dianalisis menggunakan Analisis Biaya-Manfaat atau Cost-Benefit Analysis (CBA). Gray et al. (1992) menjelaskan bahwa penilaian benefit dan biaya proyek dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu analisis finansial dan analisis ekonomi. Analisis finansial dilakukan pada proyek yang berorientasi pada maksimisasi profit individu atau badan swasta sebagai investor proyek. Jika proyek berkaitan dengan kepentingan pemerintah (tujuan untuk kesejahteraan masyarakat), maka evaluasi proyek menggunakan analisis ekonomi. Hanley (2000) mengemukakan bahwa CBA adalah alat analisis yang sering digunakan untuk mengevaluasi proyek maupun kebijakan. Keunggulan CBA yaitu dapat menggambarkan secara jelas mengenai dampak proyek dikaitkan dengan isu lingkungan sehingga menjadi rekomendasi bagi pembuat kebijakan. CBA juga fokus terhadap suatu perbandingan dari pengorbanan biaya dan keuntungan (gain and losses) dalam menjalankan proyek sesuai jenisnya. Terdapat beberapa tahap dalam melakukan CBA menurut Hanley and Spash (1993) berikut. 1)

Definisi proyek Pada tahap ini, definisi proyek mencakup beberapa hal: orientasi/alokasi proyek dalam memanfaatkan sumberdaya (untuk kesejahteraan rakyat atau untuk profit gain); serta jenis proyek (proyek fisik atau proyek pembuatan kebijakan). Beberapa aspek yang perlu didefinisikan juga dalam proyek seperti waktu, lokasi, stakeholder terkait, serta hubungan proyek dengan program ataupun kebijakan yang ada.

2)

Deskripsi input-output proyek secara kuantitatif Proyek pengelolaan sumberdaya dengan prinspi ramah lingkungan biasanya memerlukan waktu yang cukup panjang, oleh karena itu faktor waktu sangat penting untuk diperhitungkan. Spesifikasi terhadap input-

24

output proyek perlu memperkirakan kejadian yang mungkin terjadi seperti pola pertumbuhan ekonomi di masa depan, perubahan teknologi maupun perubahan preferensi konsumen, dan lain-lain. 3)

Estimasi biaya-manfaat dari input-output tersebut Peneliti perlu mendefinisikan secara jelas mengenai nilai nyata (tangible) maupun nilai tak nyata (intangible) dari suatu proyek. Hal ini penting karena seluruh biaya dan manfaat harus dikonversi dalam bentuk moneter saat melakukan CBA. Tangible merupakan sumberdaya yang memiliki nilai pasar, dalam proyek ini berupa listrik dan karbon. Sumberdaya intangible tak memiliki nilai pasar, seperti manfaat kegiatan proyek PLTSa yang secara tidak langsung menghentikan eksternalitas negatif TPST berupa pencemaran air lindi di Sungai Kali Asem.

4)

Membandingkan benefit dan cost untuk evaluasi kelayakan proyek Perbandingan dilakukan untuk menilai kelayakan proyek sesuai kriteria. Dalam penelitian ini kriteria yang digunakan yaitu NPV, Net B/C, IRR, dan Payback Period. Proyek PLTSa juga memiliki nilai tangible lain dari penyerapan gas

karbon menjadi listrik. Sampah yang menumpuk pada 5 zona pembuangan di TPST menghasilkan 0,20-0,27 m3 metana per ton sampah (Suprihatin et al., 2008). Emisi karbon yang hilang tersebut termasuk sebagai nilai tangible proyek karena tersedia harga pasar untuk karbon serta perubahan produksi karbon dapat terukur. Organization for Economic Co-operation and Development atau OECD (2006) menegaskan pentingnya menilai manfaat ekonomi dari suatu proyek atau regulasi yang menambah nilai aset sumberdaya. Oleh karena itu, tahap terakhir penelitian ini adalah menilai manfaat ekonomi dari emisi yang hilang sebagai salah satu manfaat ekonomi yang didapatkan selain listrik. Penilaian reduksi emisi karbon menggunakan Landfill Gas Emission (LandGEM), yaitu alat analisis yang digunakan oleh U.S. EPA untuk menilai emisi GRK dari banyaknya methane yang dilepaskan sebagai manfaat pengolahan sampah berkelanjutan. Secara lebih jelas keseluruhan operasional penelitian yang akan dilakukan diuraikan pada Gambar 4.

25

Peningkatan aktivitas ekonomi di Provinsi DKI Jakarta sebagai salah satu kota besar di Indonesia

Excess demand terhadap listrik meningkat untuk menunjang perekonomian

Hasil buangan berupa sampah yang melebihi daya tampung TPA Bantargebang

Penyediaan sumber energi alternatif pendukung energy mix

UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengolahan Sampah UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah

Proyek TPST Bantargebang: Analisis Deskriptif terkait Mekanisme Pengolahan Sampah

PT NOEI - Output proyek berupa listrik: Cost-Benefit Analysis - Reduksi karbon (jumlah karbon terserap): Landfill Gas Emission (LandGEM)

PT GTJ Output proyek berupa pupuk kompos dan biji plastik

Rekomendasi pengolahan sampah berkelanjutan

Keterangan: - - - - = cakupan penelitian Gambar 4 Diagram Operasional Penelitian

26

IV. METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada lokasi Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang yang terletak pada 3 kelurahan yaitu Kelurahan Cikiwul, Kelurahan Ciketing Udik dan Kelurahan Sumur Batu. Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja (purposive) karena sebagai tempat pembuangan dari salah satu kota penghasil sampah terbanyak di Indonesia yaitu Provinsi DKI Jakarta. Pengambilan data pendukung penelitian ini dilakukan pada kurun waktu Maret-Mei 2014.

4.2 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang didapatkan melalui hasil wawancara langsung dengan responden seperti pihak joint operation TPST BantargebangDinas Kebersihan DKI Jakarta, pihak PT Navigat Organic Energy Indonesia (NOEI), dan pihak PT Godang Tua Jaya (GTJ). Data primer juga diperoleh dari observasi langsung di lokasi penelitian. Data sekunder berupa inflow-outflow didapatkan melalui laporan keuangan TPST Bantargebang dan PT NOEI. Hasil studi literatur terhadap buku, jurnal penelitian serta artikel terkait penelitian juga menjadi referensi data sekunder dalam penelitian ini. Data primer maupun sekunder yang telah diperoleh akan dianalisis dengan metode kualitatif dan metode kuantitatif. Metode kualitatif digunakan untuk mengidentifikasi pengelolaan sampah di TPST Bantargebang. Metode kuantitatif dibutuhkan dalam mengolah data sekunder seperti cashflow perusahaan serta data emisi karbon. Pengolahan data kuantitatif dapat menggunakan Microsoft Excel 2010 dan disajikan dalam bentuk tabel untuk diinterpretasikan selanjutnya. Adapun cara analisis data sesuai tujuan penelitian diuraikan dalam Tabel 2.

27

Tabel 2 Matriks Metode Analisis Data sesuai Tujuan Penelitian No. Tujuan Penelitian 1. Mengidentifikasi sistem pengelolaan sampah di TPST Bantargebang.

Data dan Sumber Data Data sumber sampah berasal (industri, pasar, rumah tangga); data kuantitas sampah yang dibuang ke TPST, observasi lapang proses perlakuan terhadap sampah di TPST. Sumber data: Dinas Kebersihan DKI Jakarta, dan pihak joint operation (PT NOEI dan PT GTJ).

Metode Analisis Analisis Deskriptif

2.

Mengevaluasi manfaat (benefit) ekonomi yang mungkin dihasilkan melalui reduksi emisi karbon dari kegiatan PLTSa.

Data serapan karbon untuk generator listrik dari zona sampah di TPST, data jenis serta komposisi sampah yang diangkut ke TPST. Sumber data: PT NOEI dan PT GTJ.

LandGEM U.S. EPA

3.

Mengevaluasi secara Data biaya tetap, biaya ekonomi terhadap variabel, data penjualan listrik, proyek Pembangkit data serapan emisi karbon. Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di TPST Bantargebang.

Cost-Benefit Analysis

Secara detail, rincian jenis data yang dibutuhkan sebagai berikut. 1.

Data teknis pengolahan sampah di TPST Bantargebang - Jumlah / volume sampah sesuai sumber sampah berasal (industri, pasar, rumah tangga); - Kuantitas sampah yang dibuang ke TPST Bantargebang; - Sistem operasi pengolahan sampah di TPST Bantargebang hingga menjadi produk seperti biji plastik, pupuk kompos dan listrik.

2.

Cashflow PLTSa Bantargebang - Data peralatan dan bangunan PLTSa; - Data kapasitas produksi listrik PLTSa;

3.

Data penyerapan karbon oleh generator PLTSa

28

- Jumlah karbon berjenis metana (CH4) yang terserap untuk kegiatan PLTSa; - Data komposisi sampah yang masuk ke TPST Bantargebang.

4.3 Identifikasi Sistem Pengolahan Sampah di TPST Bantargebang Metode analisis deskriptif akan digunakan untuk mengidentifikasi pengolahan sampah di TPST Bantargebang melalui wawancara pihak joint operation Dinas Kebersihan DKI Jakarta serta observasi lapang. Sistem yang akan diobservasi terkait proses pengangkutan sampah dari sumber (rumah tangga, pasar, maupun industri), proses pembuangan sampah ke TPST Bantargebang, perlakuan (treatment) terhadap sampah yang menumpuk hingga menjadi produk olahan berupa pupuk kompos, biji plastik serta listrik. Nida (1949) mengemukakan prinsip umum dalam melakukan analisis deskriptif. Penjabaran interpretasi harus tepat sesuai fakta yang terdapat dalam observasi dengan didukung pendapat pihak tertentu. Deskripsi dihasilkan melalui kombinasi fenomena yang terjadi dengan data-data lapangan sesuai tema pertanyaan yang diajukan.

4.4 Teknik Analisis Data Penelitian menggunakan Landfill Gas Emission untuk menilai manfaat ekonomi reduksi emisi karbon. Cost-Benefit Analysis (CBA) akan digunakan untuk mengevaluasi proyek secara ekonomi. Data kuantitatif yang telah didapatkan kemudian akan diolah melalui alat bantu software Microsoft Excel 2010.

4.4.1 Penilaian Manfaat Ekonomi Reduksi Emisi Karbon Potensi nilai ekonomi reduksi emisi karbon proyek PLTSa Bantargebang akan diestimasi berdasarkan nilai pasar. Hal tersebut dilakukan karena kini karbon dapat dianggap sebagai manfaat tidak langsung (indirect benefit), meski bersifat tangible karena terdapat harga standar yang berlaku di pasar internasional maupun nasional. Proyek PLTSa Bantargebang perlu diidentifikasi terlebih dahulu untuk

29

mengetahui manfaat proyek berdasarkan nilai nyata (tangible value) dan nilai tak nyata (intangible value). Barang tangible merupakan sumberdaya yang dapat dinilai dengan nilai pasar, sedangkan barang intangible adalah barang atau jasa lingkungan yang perlu pendekatan khusus untuk menilainya. Secara lebih jelas konsep tersebut dikaitkan sesuai penelitian tercantum pada Tabel 3. Tabel 3 Identifikasi Benefit and Cost Proyek PLTSa Identifikasi Direct Indirect Benefit Listrik* Reduksi emisi karbon.* Tipping fee* Penyerapan tenaga kerja. Pencegah eksternalitas negatif berupa pencemaran air lindi di Sungai Kali Asem. Perubahan paradigma cara pengolahan sampah di TPA. Cost

Direct project costs (upah tenaga kerja, infrastruktur kantor)* Acquisition costs (pembelian atau pembuatan teknologi)* Implementation costs (produktivitas yang hilang)* Whole of life ownership costs (biaya operasional, pemeliharaan, penggantian fasilitas, pelatihan). *

Dampak regulasi jika gagal diterapkan (adanya market failure). Biaya untuk memperbaiki pengetahuan manajemen perusahaan yang lemah. Penurunan produktivitas organisasi perusahaan

Keterangan: (*) cakupan penelitian Sumber: Disadur dari Sydney Technical and Further Education Comission, 1991

Produk utama dari PLTSa adalah listrik. Proyeksi manfaat ekonomi listrik dilakukan dengan menyesuaikan kapasitas produksi listrik PLTSa Bantargebang per tahun dengan harga listrik yang diberlakukan oleh PLN sebagai pembeli. Secara lebih jelas, penilaian manfaat ekonomi produksi listrik (B) tersebut sesuai dengan persamaan (4.1).

(4.1)

30

Estimasi terhadap emisi GRK akan dinilai menggunakan Landfill Gas Emission (LandGEM) versi 3.02, yaitu aplikasi yang digunakan oleh EPA untuk memperkirakan kandungan GRK. LandGEM V03.02 dioperasikan dengan mengadopsi sistem Software Microsoft Excel 2010. Keunggulan LandGEM V3.02 ini yaitu mudah untuk digunakan dan dapat memproyeksikan kandungan GRK hingga kurun waktu 60 tahun. Fitur utama yang disediakan oleh LandGEM yaitu User Inputs, Pollutants, Input Review, Methane dan Results. Tahap-tahap dalam mengoperasikan LandGEM V03.02 sebagai berikut: User Inputs Pada sheet ini dibutuhkan data mengenai tahun pembukaan TPST, jumlah sampah yang masuk ke TPST, pemilihan parameter kandungan methane, potensi kapasitas methane, konsentrasi kandungan gas non-methane serta volume methane. dibutuhkan data tonase sampah yang masuk ke Bantargebang. Data kondisi riil pada tahun 1990 hingga 2011 menjadi acuan untuk proyeksi sampah yang akan masuk pada tahun 2012-2023. Karakteristik sampah diasumsikan mengandung 55,6% sampah orgnaik (Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 2011). Pollutants Pada sheet ini telah tersedia model parameter berdasarkan konsentrasi polutan sesuai jenisnya (bilangan baku). Model parameter itu menggunakan konstanta terbaru dari Environmental Protection Agency (EPA) tahun 2014. Penentuan konstanta methane generation rate sebesar 0,05 year-1 berdasarkan pada pembuangan sampah yang masih conventional open landfill, artinya tak ada pemilahan jenis sampah berupa plastik, alumunium, botol kaca, dedanunan dan lain-lain. Penggunaan asumsi conventional open landfill juga menentukan konstanta kapasitas potensi methane yaitu sebesar 170 m3/Mg. Perkiraan konsentrasi gas non-methane ditentukan sebesar 4.000 ppmv karena tak melalui bermacam perlakuan pengolahan sampah di Tempat Penampungan Sementara (TPS) sebelum dibawa ke TPST Bantargebang. Input Review Untuk menghindari kesalahan dalam memperkirakan emisi terkait listrik di TPST, pada tahap ini LandGEM V03.02 menampilan seluruh data yang telah kita input agar dapat dilakukan pengecekan lagi.

31

Methane Pada sheet ini data mengenai jumlah emisi methane yang dihasilkan oleh input sampah telah otomatis dikalkulasikan. Kandungan methane menjadi patokan untuk melakukan penghitungan kandungan zat lainnya. Persamaan untuk melakukan kalkulasi tersebut sebagai berikut.

(4.2)

Keterangan: QCH4 = jumlah metana yang diproduksi setiap tahun i = tambahan 1 tahun kenaikan n = jumlah tahun kalkulasi dimulai-tahun awal sampah diterima k = rate produksi metana (0,050 year-1) L0 = potensi kapasitas produksi metana (170 m3/Mg) Mi = massa jenis dari sampah yang diterima pada tahun ke-i (Mg) Results and Social Cost of Carbon Langkah terakhir dalam LandGEM ini menampilkan jumlah methane dan kandungan zat lainnya sesuai yang user ingin proyeksikan. Jumlah emisi CO2 tersebut kemudian dinilai berdasarkan market value. EPA memiliki kajian yang menarik mengenai market value of carbon pricing. Harga karbon yang dikenakan oleh EPA adalah Social Cost of Carbon (SCC). Nilai SCC mencakup kepada kerugian yang harus ditanggung masyarakat secara global terkait penurunan produktivitas pertanian, kesehatan, kerusakan akibat meningkatnya intensitas banjir, dan berkurangnya nilai dari jasa lingkungan (EPA, 2010b). SCC telah dikaji oleh EPA untuk memproyeksikan harga karbon hingga tahun 2050. SCC tersebut memperkirakan terjadinya peningkatan harga karbon 0,4-0,5 USD/ton CO2, atau sekitar Rp 4.800 hingga Rp 6.000/ton CO2 seperti yang disajikan pada Tabel 4.

32

Tabel 4 Proyeksi Social Cost of Carbon 2008-2023 Tahun Social Cost of Carbon (Rp*/ton CO2) 2008 247.200 2009 252.000 2010 256.800 2011 262.800 2012 268.800 2013 273.600 2014 279.600 2015 285.600 2016 291.600 2017 297.600 2018 303.600 2019 309.600 2020 315.600 2021 324.000 2022 331.200 2023 339.600 Sumber: EPA, 2010b (Diolah), Keterangan: *Kurs Rp 12.000/USD

4.4.2 Analisis Ekonomi Proyek PLTSa Bantargebang Analisis Biaya dan Manfaat atau Cost-Benefit Analysis (CBA) digunakan untuk mengkaji biaya dan manfaat yang ada selama proyek PLTSa Bantargebang berjalan. Terdapat beberapa komponen untuk menyusun cash flow proyek agar nilai ekonomi dapat diestimasi. Komponen tersebut dapat dikelompokkan menjadi biaya investasi, dan biaya operasional (variabel dan tetap). Biaya investasi dikeluarkan pada awal proyek didirikan, contohnya biaya yang dikeluarkan untuk pembebasan lahan, sewa ataupun biaya mendirikan bangunan proyek. Biaya operasional merupakan biaya yang dikeluarkan setiap proses produksi dilakukan seperti biaya tenaga kerja. Upah tenaga kerja dalam analisis ekonomi dinilai berbeda jika pekerja tersebut merupakan pekerja terdidik atau tak terdidik. Biaya lain yang termasuk dalam biaya operasional yaitu bahan baku, pajak, dan reinvestasi. Biaya-biaya tersebut merupakan biaya yang harus dikeluarkan selama proyek berjalan. Biaya akan dijabarkan melalui arus pengeluaran dan pemasukan perusahaan (cash flow) untuk mengetahui bagaimana manfaat yang dihasilkan

33

dari biaya tersebut. Setelah cash flow disusun melalui komponen biaya yang tersedia, maka selanjutnya dilakukan kajian terhadap kelayakan investasi proyek. Beberapa kriteria yang diperlukan untuk menilai kelayakan investasi proyek yaitu Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR),

Net

Benefit Cost (Net B/C) dan Payback Period. NPV merupakan metode untuk mengetahui kelayakan proyek dengan prinsip bahwa proyek layak untuk dijalankan jika jumlah keseluruhan manfaat yang diterima melebihi atau setidaknya sama dengan biaya investasi yang telah dikeluarkan (NPV ≥ 0). Adapun perhitungan NPV menurut Gittinger (1986) sebagai berikut. (4.3) Keterangan: Bt = Penerimaan yang diperoleh proyek pada tahun ke-t Ct = Biaya yang dikeluarkan proyek pada tahun ke-t n = Umur ekonomis proyek i = Tingkat suku bunga (%) t = Tahun investasi proyek (t=0,1,2...n) Hasil perhitungan NPV kemudian dinilai sesuai kriteria berikut: 1)

NPV < 0, menunjukkan bahwa proyek tidak layak untuk dilaksanakan secara finansial karena manfaat (benefit) yang diperoleh kurang dari biaya investasi yang telah dikeluarkan.

2)

NPV = 0, menunjukkan bahwa proyek layak untuk dilaksanakan namun mengalami kesulitan karena manfaat yang diperoleh hanya akan cukup untuk mengganti atau menutupi biaya investasi.

3)

NPV > 0, menunjukkan bahwa proyek layak untuk dilaksanakan karena benefit yang didapatkan lebih besar dari biaya investasi yang telah dikeluarkan. Gray et al. (1992) menjabarkan IRR adalah tingkat rendemen (kelebihan

atau keuntungan perusahaan) atau rate of return atas investasi netto. IRR merupakan tingkat i yang memenuhi tiga syarat sebagai berikut:

34

1)

Rendemen implisit dalam tiap tahun sama dengan hasil i kali nilai investasi pada akhir tahun sebelumnya, yaitu: Rt = iFt-1

2)

Nilai investasi pada akhir tahun (t) sama dengan nilai pada akhir tahun sebelumnya dikalkulasikan dengan sisa pengurangan benefit netto dari rendemen implisit.

3)

Benefit netto ketika akhir umur proyek (tahun n) merupakan jumlah nilai investasi yang masih berlaku pada akhir tahun sebelumnya, ditambah rendemen implisit. Maka, nilai investasi ketika akhir tahun n menjadi nol. Dalam analisis IRR, hal utama yang akan dicari yaitu pada tingkat bunga

berapa (discount rate) akan dihasilkan NPV = 0. Persamaan untuk menghitung IRR adalah sebagai berikut. (4.4)

Keterangan : Bt dan Ct = Penerimaan dan biaya bruto yang diperoleh proyek pada tahun ke t; Bt - Ct

= Benefit netto dalam tahun t, nilai negatif merupakan investasi;

n

= Umur ekonomis proyek;

Ft

= Nilai investasi yang belum dikembalikan sampai akhir tahun t, setelah realisasi benefit /biaya yang terjadi dalam tahun itu;

Rt

= Rendemen implisit tahun t, dapat dibayarkan (agar diterima oleh penyelenggara proyek) atau tidak dibayarkan.

i

= IRR

Melalui persamaan tersebut dapat disimpulkan bahwa IRR adalah nilai discount rate (i) yang membuat NPV proyek sama dengan nol. Contohnya, terdapat suatu proyek dengan IRR yang dihitung 25% dan biaya dana proyek sebesar 15%. Nilai IRR tersebut lebih besar daripada biaya dana proyek sehingga dapat dikatakan menarik secara finansial. Konsep lain untuk mengetahui kelayakan investasi yaitu Net B/C ratio, yaitu perbandingan antara nilai arus manfaat (inflow) saat ini dibagi dengan nilai

35

arus biaya (outflow) saat ini. Gittinger (1986) menjelaskan bahwa Net B/C berfungsi menunjukkan besarnya manfaat yang didapatkan setiap tambahan biaya sebesar satu satuan uang. Proyek layak untuk dilaksanakan jika memiliki nilai Net B/C lebih dari atau setidaknya sama dengan satu (Net B/C ≥ 1). Perhitungan yang digunakan sebagai berikut:

Net B/C =

(4.5)

Keterangan : Bt = Benefit (penerimaan) proyek yang diperoleh tahun ke-t Ct = Cost (biaya) proyek yang dikeluarkan pada tahun ke-t n = Umur ekonomis proyek i = Tingkat suku bunga (%) t = Tahun investasi (t=0,1,2...n)

Perlu jangka waktu tertentu untuk mengembalikan biaya yang dikeluarkan dalam investasi proyek. Proyek yang baik adalah proyek yang memiliki jangka waktu cepat dalam pengembalian biaya investasi. Untuk mengetahui waktu yang dibutuhkan suatu proyek menutupi modal tersebut, dapat menggunakan konsep Payback Period (PP). Persamaan umum PP yaitu:

(4.6)

Keterangan : P = Jangka waktu yang diperlukan proyek untuk pengembalian investasi I = Biaya investasi Ab = Manfaat bersih setiap tahun

36

V. GAMBARAN UMUM

5.1 Gambaran Umum Provinsi DKI Jakarta Provinsi DKI Jakarta memiliki luas wilayah administratif 7.660,03 km2. Luas tersebut mencakup daratan 662,53 km2 dan lautan 6.997,5 km2 dengan pulau sebanyak 110 buah (tersebar di Kepulauan Seribu). Sebagai ibu kota negara Indonesia, aktivitas perekonomian DKI Jakarta menjadi magnet bagi penduduk. BPS pada tahun 2013 merilis jumlah penduduk DKI Jakarta yang terus meningkat selama 5 tahun terakhir. Secara lebih jelas data tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Jumlah Penduduk Provinsi DKI Jakarta Menurut Jenis Kelamin Tahun 2008-2012 Tahun

Jumlah Penduduk Sesuai Jenis Kelamin (Jiwa) Laki-laki Perempuan

2008

3.945.994

2009

Jumlah Total (Jiwa)

Rasio Jenis Kelamin

3.670.844

7.616.838

107,49

4.651.846

3.871.311

8.523.157

120,16

2010

4.651.073

3.873.079

8.524.152

120,09

2011

5.252.767

4.934.828

10.187.595

106,44

2012

5.026.389

4.735.018

9.761.407

106,15

Sumber: BPS Jakarta, 2013 (diolah)

Berdasarkan Tabel 5, dapat dilihat pertambahan penduduk yang cenderung meningkat. Pada tahun 2008, jumlah total penduduk DKI Jakarta 7.616.838 jiwa. Angka ini sempat mengalami peningkatan pesat menjadi 10.187.595 jiwa pada tahun 2011, meskipun pada tahun 2012 jumlah tersebut menurun menjadi 9.761.407 jiwa. Fluktuasi jumlah penduduk tersebut tentunya mempengaruhi berbagai aktivitas perekonomian. Sektor rumah tangga, industri hingga pusat perbelanjaan pun menghasilkan buangan berupa sampah. Secara parsial, rekapitulasi timbulan sampah dan sampah terangkut di DKI Jakarta disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 menunjukkan fluktuasi timbulan sampah di DKI Jakarta beserta sampah yang terangkut setiap hari. Mekanisme pengangkutan sampah dibedakan

37

berdasarkan Area Pengangkutan Sampah (sesuai kota administrasi). Terdapat lima Suku Dinas Kebersihan di DKI Jakarta, yaitu Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Barat, Jakarta Selatan dan Jakarta Timur. Tabel 6 Rekapitulasi Timbulan Sampah DKI Jakarta Tahun 2000-2011

Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Sampah (ton/hari) Sisa (ton/hari) Timbulan Terangkut 5.142,10 4.496,80 645,30 5.129,00 4.439,20 689,80 5.035,20 4.832,40 202,80 5.137,40 4.935,00 202,40 5.393,20 5.185,00 208,20 5.252,80 5.089,20 163,60 5.288,80 5.180,80 108,00 5.593,20 5.392,40 200,80 5.843,40 5.551,20 292,20 5.657,20 4.864,40 792,80 6.139,33 5.062,13 1.077,20 5.597,87 5.263,91 333,96

Persentase (%) 87,45 86,55 95,97 96,06 96,14 96,89 97,96 96,41 95,00 85,99 82,45 94,03

Sumber: Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 2014 (diolah)

Kelima lembaga Suku Dinas berada di bawah Dinas Kebersihan DKI Jakarta, masing-masing melakukan pengangkutan sampah dengan moda angkutan yang berbeda. Setiap pengangkutan dari sumber sampah akan dibuang ke Tempat Penampungan Sementara (TPS) seperti dipo, transito, bak beton, gerobak sampah, serta truk kontainer. Sampai tahun 2011, terdapat 1.038 unit TPS di DKI Jakarta (Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 2014). Setelah terkumpul di TPS, kemudian sampah diangkut dengan dump truck dan atau truck arm-roll. menuju TPST Bantargebang yang terletak di Kecamatan Bantargebang, Kota Bekasi. Secara lebih ringkas mengenai pola pengangkutan sampah seperti yang telah diuraikan dapat dilihat pada Gambar 5.

38

TPST

Sumber sampah Pengumpulan sementara

Distribusi ke TPST Bantargebang

Sumber: Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 2012

Gambar 5 Pola Pengangkutan Sampah di DKI Jakarta

5.2 Gambaran Umum Kecamatan Bantargebang, Kota Bekasi Penelitian dilakukan di TPST Bantargebang yang terletak pada Kecamatan Bantargebang, Kota Bekasi. Secara keseluruhan, luas wilayah Kecamatan Bantargebang 2.033,56 Ha. Luas tersebut meliputi 8 kelurahan: Kelurahan Bantargebang, Kelurahan Ciketing Udik, Kelurahan Cikiwul, Kelurahan Cimuning, Kelurahan Mustika Jaya, Kelurahan Mustika Sari, Kelurahan Padurenan serta Kelurahan Sumur Batu. Berdasarkan registrasi yang dilakukan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Bekasi, pada tahun 2009 jumlah penduduk Kecamatan Bantargebang secara keseluruhan mencapai 104.720 jiwa. Kecamatan Bantargebang menjadi daerah dengan akses strategis karena dapat dijangkau melalui Tol Cikampek dan Tol Jakarta-Bogor-Ciawi (Jagorawi). Industrialisasi mendorong banyaknya aktivitas perekonomian warga seperti kedai makan dan warung kelontong. Industri pengolahan sampah di TPST Bantargebang juga menjadi salah satu kegiatan yang menarik manfaat ekonomi bagi masyarakat setempat maupun pendatang. BPS Kota Bekasi (2012) mencatat adanya migrasi sebanyak 63,27 %. Artinya, setiap 100 orang penduduk Kota Bekasi terdapat 64 orang yang merupakan pendatang. Hal ini mendorong pertumbuhan saranaprasarana di Kota Bekasi. Secara khusus, keberadaan infrastruktur di Kecamatan Bantargebang cukup lengkap mencakup sarana dalam bidang pendidikan, kesehatan, industri dan perdagangan. Secara lebih detail, data tersebut dapat dilihat pada Tabel 7.

39

Tabel 7 Jumlah infrastruktur Kecamatan Bantargebang tahun 2009 Jenis Sarana SD SLTP SLTA TK Lembaga keterampilan Posyandu Rumah Sakit Poliklinik Puskesmas Praktek dokter Praktek bidan Perusahaan Kedai Restoran Hotel Minimarket Warung kelontong Kantor pos Total

Jumlah (unit) 39 15 14 35 18 42 2 8 4 8 14 84 100 10 1 8 592 1 995

Sumber: Statistik Kecamatan Bantargebang, 2010 (diolah)

5.3 Gambaran Umum TPST Bantargebang TPST Bantargebang berlokasi pada tiga kelurahan yaitu Kelurahan Ciketing Udik, Kelurahan Cikiwul dan Kelurahan Sumur Batu. Berdasarkan rilis dari Sekretariat Kependudukan Kecamatan Bantargebang (2014), kepadatan penduduk tertinggi terdapat pada Kelurahan Sumur Batu yaitu 41 (jiwa/km2). Penduduk terbanyak berlokasi di Kelurahan Ciketing Udik sebanyak 19.545 jiwa. Secara lebih lengkap, detail mengenai kependudukan tersebut dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Kepadatan Penduduk Kelurahan Ciketing Udik, Kelurahan Cikiwul dan Kelurahan Sumur Batu Periode Februari 2014 Penduduk (jiwa) Luas Kepadatan Kelurahan 2 L P Jumlah (km ) (jiwa/km2) Ciketing Udik 10.074 9.471 19.545 343.340 18 Sumur Batu 7.059 6.753 13.812 568.955 41 Cikiwul 9.562 8.914 18.476 525.351 28 Sumber: Sekretariat Kependudukan Kecamatan Bantargebang, 2014

40

Sekretariat Kependudukan Kecamatan Bantargebang mengungkapkan adanya efek dari pendatang yang kemudian berprofesi sebagai pemulung di TPST Bantargebang. Pengelola TPST pun merekrut cukup banyak pemulung sebagai pekerja di unit pengolahan daur ulang plastik dan kompos, mencapai 350 orang pemulung. Jarak TPST dari Provinsi DKI Jakarta adalah 40 km, 20 km dari perbatasan antara Jakarta dan Kota Bekasi, dan 2 km dari Jalan Raya Cileungsi. Lokasi ini termasuk cukup strategis karena berbatasan dengan Kabupaten Bogor pada sisi utara serta Jakarta pada sisi barat. Untuk mencapai TPST, armada truk sampah melalui Jalan Alternatif Cibubur, Jalan Raya Cileungsi serta Jalan Raya Narogong. Peta lokasi TPST Bantargebang dapat dilihat pada Gambar 6.

Sumber: Citra Google Earth Bantargebang, 2013

Gambar 6 Peta Lokasi TPST Bantargebang Akses jalan di TPST berupa beton (precast), telah cukup baik untuk dilalui armada truk sampah. Bau memang masih tercium antara jalan raya utama hingga jembatan penimbang. Namun, ketika memasuki komplek TPST dimana kantor dan power house berada, bau tersebut sudah menghilang. Meskipun terdapat 5 gunung sampah pada lokasi dengan jarak yang berbeda, polusi bau dapat diatasi berkat perlakuan soil cover. Jika berdiri pada jarak 2-3 meter dari zona, maka bau

41

sampah pada umumnya tidak tercium lagi. Hal itu dikarenakan gas methan yang menimbulkan bau telah diserap dalam saluran pipa menuju sarana power house. Sarana-prasarana TPST sebagai pendukung operasional pengelolaan sampah dapat dikelompokkan yaitu (1) jalan utama; (2) jembatan penimbang; (3) jalan berbeton (precast) sebagai akses menuju zona; (4) saluran; (5) gedung kantor; (6) workshop; (7) lokasi pencucian armada; (8) bangunan IPAS; (9) pagar akron; (10) lokasi power house untuk pengolahan listrik (11) buffer zone. Rincian luas setiap sarana dan prasarana tersebut diuraikan dalam Tabel 9. Tabel 9 Data Aset Tak Bergerak TPST Bantargebang Jenis Bangunan Ukuran Kantor 350 m2 Parkir kantor 500 m2 Bangunan mess 700 m2 Bengkel 432 m2 Parkir alat berat 1.000 m2 Pos jaga 60 m2 Fasilitas penimbangan sampah 300 m2 Pagar pengamanan 7.573 m Jalan operasional 6 x 9.000 m Saluran 13.602 m IPAS I 17.680 m2 IPAS II 10.998 m2 IPAS III 12.500 m2 IPAS IV 12.000 m2 Kabel penerangan jalan 1.050 m Sumber: Rilis PT. GTJ, 2009

Luas TPST Bantargebang adalah 108 ha, terbagi atas zonasi titik buang (81,91 ha) serta sarana-prasarana (26,09 ha). Pengoperasian pada 5 zona pembuangan dengan luas dan jarak yang berbeda-beda dari pintu masuk TPST. Dari kelima zona tersebut, hanya 2 zona yang diberi perlakuan untuk diolah menjadi listrik yaitu zona I dan II. Hal itu berdasarkan pertimbangan jarak yang cukup dekat dengan power house sehingga menekan biaya untuk penyambungan pipa saluran gas. Adapun secara lebih jelas mengenai luas dan tahun aktivasi zona serta pembagian sub-zona dapat dilihat pada Tabel 10.

42

Tabel 10 Luas Zona dan Sub-zona TPST Bantargebang Tahun Aktivasi Zona Luas (Ha) IA 6,8 IB 6,5 1989 IC 5,0 Luas Zona I 18,3 IIA 4,3 IIB 6,5 1992 IIC 7,0 Luas Zona II 17,7 IIIA 3,9 IIIB1 3,0 IIIB2 3,4 1995 IIIB3 3,2 IIIC1 3,9 IIIC2 8,0 Luas Zona III 25,4 IV A1 4,0 IV A2 1,0 IV B1 4,5 2001 IV B2 1,0 IV C 0,5 Luas Zona IV 11,0 VA 6,4 VB 0,8 2002 VC 2,3 Luas Zona V 9,5 Total Luas Zona TPST 81,9 Sumber: KA ANDAL PT. GTJ JO PT. NOEI, 2009

Zona dan sarana-prasarana menjadi pendukung optimalisasi pengelolaan sampah agar sampah yang menumpuk tidak lagi menimbulkan masalah sosial dan lingkungan. Sampah di TPST kini dapat diolah menjadi produk lanjutan berupa biji plastik, kompos dan listrik yang memberi nilai ekonomi. Proses pengolahan tersebut akan dibahas pada bab selanjutnya.

43

VI. SISTEM PENGOLAHAN SAMPAH DI TPST BANTARGEBANG

Sampah yang telah dikumpulkan pada setiap TPS di DKI Jakarta, kemudian diangkut menggunakan berbagai moda angkutan menuju TPST Bantargebang. Mekanisme pengolahan sampah dapat dilihat pada Gambar 7. Saat memasuki area TPST, angkutan berupa dump truck maupun arm-roll truck harus melewati fasilitas penimbang sampah yang terletak di pintu masuk TPST. Tonase sampah kemudian dicatat untuk direkap. Adapun pencatatan itu untuk merekapitulasi besaran tipping fee yang dibayarkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pada tahun 2009, tipping fee yang berlaku sebesar Rp 103.000/ton sampah. Sesuai kontrak, biaya tipping fee tersebut mengalami kenaikan sebesar 8% setiap 2 tahun. Penimbangan muatan dump truck di fasilitas penimbangan

Pembuangan sesuai sumber sampah

Sampah Non-Pasar

Sampah Pasar

Titik pemilahan plastik: distribusi ke unit daur ulang plastik

15-25 ton sampah: Produksi biji plastik

Zona I – III: Soil covering dan pelapisan geomembran

750 – 1000 ton sampah: Produksi listrik

Sampah pasar : Receiving composting area

550 ton sampah: Produksi kompos

Gambar 7 Mekanisme pengolahan sampah di TPST Bantargebang

44

Setelah penimbangan tonase dilakukan, sampah kemudian dibawa menuju zona sampah yang ditunjuk. Sampah hanya dibedakan berdasarkan sumber sampah, yaitu sampah non-pasar dan sampah pasar. Sampah non-pasar dibuang ke Zona I-III. Pada awal 2014, Zona IV dan V tidak digunakan karena sampah telah memenuhi kapasitas lahan dan terletak jauh dari PLTSa sehingga tak memungkinkan untuk diolah. Setiap ketinggian 2 meter tumpukan sampah di Zona I-III, maka dilakukan penimbunan tanah dengan tebal 1 meter. Perlakuan ini disebut dengan soil covering, dilakukan hingga ketinggian zona mencapai 20 meter. Lalu, zona sampah tersebut akan dilapisi dengan geo membran sebagai upaya untuk menahan air lindi serta menyerap sinar matahari agar mempercepat proses pembusukan. Sampah ditimbun pada zona menjadi sumber gas metan untuk diolah lebih lanjut menjadi listrik. Sampah pasar dibawa oleh truk menuju lokasi unit pengolahan kompos dan titik pemilahan sampah plastik untuk didaur ulang.

6.1 Unit Pengolahan Kompos Beragam jenis sampah yang masuk ke TPST Bantargebang akan diolah untuk menjadi produk lanjutan. Tujuan pengolahan tersebut untuk mengurangi tumpukan kelima zona sampah, serta menjadi insentif tersendiri bagi perusahaan. Salah satu produk hasil pengolahan sampah di TPST Bantargebang adalah pupuk kompos. Sampah organik menjadi jenis yang mendominasi kompisisi sampah masuk ke TPST Bantargebang, yaitu sebanyak 55,6 %. Input berupa sampah organik bersumber dari Perusahaan Daerah (PD) Pasar Jaya DKI Jakarta, dengan jumlah sebanyak 550 ton/hari. Sampah tersebut setiap hari diangkut oleh dump truck setelah melalui jembatan timbang kemudian menuju Receiving Composting Area yang terletak di dalam area TPST Bantargebang. Adapun Composting Area tersebut mencakup lahan seluas 13 ha termasuk luas bangunan 9 ha. Lokasi ini berseberangan dengan Zona I dan berdekatan dengan area Plastic Recycling. Secara keseluruhan, pengomposan yang dilakukan di TPST Bantargebang menggunakan teknik Open Windrow Composting.

45

Setelah memasuki area tersebut, jika diperlukan maka dilakukan sortasi sampah. Namun, sortasi sampah pasar jarang dilakukan karena memang mayoritas komposisi berupa sampah organik. Sampah kemudian ditumpuk hingga mencapai tinggi 2 meter dengan panjang 30-40 meter. Setelah mencapai ukuran tersebut, maka sampah siap untuk diproses lebih lanjut seperti yang tercantum pada Gambar 8. 550 ton sampah pasar per hari

Penimbunan (21 hari): a) Dekomposisi b) Pembalikan, pemindahan dan penyiraman

Kompos Organic Soil Treatment (OST) Kompos Granul Murni Kompos Granul Plus

Pembuatan kompos bubuk (1-3 hari): a) Pemilahan sampah anorganik b) Pencacahan dan pengayakan

Pembuatan kompos granul (710 hari): a) Pencampuran b) Pembuatan butiran granul c) Pengeringan 1 d) Penyaringan granul e) Pengeringan 2 f) Pengemasan

Gambar 8 Open Windrow Composting 6.1.1 Proses Penimbunan Dekomposisi Sampah yang telah menumpuk hingga ketinggian tertentu kemudian diberikan bakteri dekomposer dengan dicampurkan bersama air lalu disiram ke tumpukan sampah. Kandungan bakteri dekomposer berupa Actinomycetes sp., Bacillus sp., dan Lactobacillus sp. Adapun perbandingan pencampuran air dengan bakteri dekomposer adalah sekitar 1:3. Perlakuan ini bertujuan untuk menjaga kelembaban sampah.

46

Pembalikan, Pemindahan dan Penyiraman Penyiraman dilakukan sebelum pemindahan atau pembalikan, yaitu selama 20 menit/hari menggunakan selang yang terhubung dengan drum. Setelah itu, tumpukan sampah dipindahkan. Proses ini dilakukan secara berulang setiap 3 hari dalam kurun waktu 21 hari. Alat berat seperti excavator dan buldozer diperlukan untuk mendistribusikan sampah dan mikroorganisme agar merata. Tumpukan sampah akan didorong dan dipindahkan sebanyak 7 hingga 8 kali pengulangan. Perlakuan ini bertujuan untuk mempercepat proses penyusutan tumpukan sampah. Rangkaian perlakuan dekomposisi hingga penyiraman membutuhkan waktu 21 hari.

Sumber: Dokumentasi PT GTJ, 2013

Gambar 9 Proses penimbunan sampah di Composting Area 6.1.2 Pembuatan Kompos Bubuk Proses Pemilahan Sampah Anorganik Setelah proses pengadukan atau pembalikan selesai maka perlakuan selanjutnya yaitu memilah beberapa jenis sampah anorganik yang masih terdapat pada timbunan sampah. Jenis sampah anorganik yang dipilah seperti sampah batu, kayu, plastik, pecahan botol dan lain-lain. Pemilahan ini dilakukan secara manual oleh pekerja kompos sebelum sampah memasuki mesin pencacah. Tujuan dari pemilahan untuk memudahkan proses selanjutnya agar kandungan dan tekstur kompos menjadi lebih bagus.

47

Pencacahan dan Pengayakan Sampah yang telah terpilah siap untuk diproses pada tahap selanjutnya. Sampah organik tersebut dibawa oleh mesin Conveyor Fider menuju mesin pencacah dan diproses hingga hancur. Hasil dari proses pencacahan kemudian dibawa kembali oleh Conveyor Fider ke mesin Screening. Penyaringan ini dilakukan agar sampah anorganik yang masih terdapat dalam olahan dapat tersaring. Buangan sampah anorganik tersebut secara otomatis jatuh ke lubang buangan. Jika masih terdapat sampah plastik dan kayu berukuran besar dari hasil saringan tersebut, maka dijual oleh pekerja kompos ke pengepul sampah yang terdapat di pinggiran Zona I. Namun, sampah plastik kecil yang masih tersisa akan dibuang ke Zona sampah atau ke demplot (lahan pertanaman) yang terdapat di Composting Area. Terdapat beberapa sayuran, buah tropis dan tanaman hias yang ditanam pada lahan ini, seperti pohon kamboja, jambu biji, mangga, pepaya, cabai, tomat dan lain-lain. Bahan sampah yang telah tersaring dari material organik kemudian didistribusikan lagi oleh Conveyor Fider menuju Vibrator Machine agar hasil olahan menjadi lebih halus.

Sumber: Dokumentasi Penulis, 2014

Gambar 10 Proses pengayakan kompos bubuk 6.1.3 Pembuatan Kompos Granul Proses pencampuran Kompos bubuk yang telah dihasilkan dari proses sebelumnya kemudian dicampurkan dengan bahan penambah. Bahan campuran tersebut berupa KCl,

48

tepung fosfat dan atau tepung ikan. Komposisi pencampuran bahan dengan pupuk kompos berbeda-bedai tergantung jenis kompos granul yang dipasarkan. PT GTJ memproduksi 3 jenis kompos granul yaitu Granul Murni, Granul Plus dan Organic Soil Treatment (OST). Granul Murni tidak membutuhkan penambahan bahan, hanya berupa bubuk kompos dari proses sebelumnya. Kompos OST Granul diproduksi dengan pencampuran ketiga bahan tersebut, sedangkan Kompos Granul Plus hanya memerlukan penambahan tepung fosfat dan tepung ikan. Pembuatan Butiran Granul Setelah pencampuran dengan bahan yang dibutuhkan maka kompos kemudian dimasukkan dalam Pan Granulator untuk menghasilkan butiran granul. Kapasitas mesin dalam berproduksi mencapai sebanyak 2,5 ton/jam. Mesin ini diputar oleh Gunt Spray, bertujuan untuk memberi perekat berupa cairan molase dan BioTriba seperti Trichoderma sp. dan Bacillus sp. Campuran cairan tersebut telah tersedia dalam drum dengan perbandingan konsentrasi air dan campuran bahan sebanyak 1:25 dalam 1 ton granul. Cairan perekat itu disalurkan oleh Gunt Spray perlahan untuk membentuk granul. Pengeringan I Granul yang telah diolah oleh Pan Granulator biasanya masih mengandung kadar air cukup tinggi sehingga perlu dikeringkan. Pengeringan kemudian dilakukan dengan penjemuran di bawah sinar matahari atau menggunakan mesin pengering (Rotary Driver). Proses pengeringan oleh sinar matahari memang murah, namun sangat bergantung dengan cuaca sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, penggunaan Rotary Driver membuat pengeringan menjadi lebih cepat dengan kapasitas mencapai 2,5 ton/jam pada suhu 80oC. Penyaringan Granul Hasil pengeringan I granul kemudian dibawa ke mesin Vibrator Granul untuk disaring dan dipilah. Granul yang belum memenuhi ukuran standar (masih kasar, tak berbentuk butiran, ukuran terlalu besar) ditampung untuk kembali diolah hingga halus. Granul yang telah sesuai dengan ukuran standar akan dihamparkan di beberapa titik area produksi.

49

Pengeringan II Kompos granul yang telah dihamparkan akan dibiarkan selama 1 minggu untuk dikeringkan dan menurunkan kadar air karena penguapan. Pada proses ini juga dilakukan pemberian mikroorganisme dengan mesin semprot. Pengemasan Setelah kurun waktu 1 minggu dihamparkan pada area produksi, granul diaduk dengan cangkul kemudian dimasukkan ke dalam karung per 40 kg. Kualitas kompos telah diuji pada tahun 2011 lalu di Balai Penelitian Tanah Bogor dan Seameo Biotrop. Harga jual kompos tersebut yaitu Rp 550/kg, dengan kapasitas produksi maksimal 82,5 ton/hari. Kompos yang telah dikemas dengan merek Green Botane ini kemudian dipasarkan ke beberapa konsumen di Jawa Barat, Jawa Tengah, Lampung Tengah, Lampung Selatan, Pekanbaru. Secara keseluruhan, rangkaian produksi membutuhkan waktu ideal 30 hari. Lama waktu produksi tersebut bervariasi, dapat lebih cepat atau lambat tergantung kondisi sampah sebagai bahan baku kompos serta cuaca.

Sumber: Dokumentasi PT GTJ, 2013

Gambar 11 Pengemasan kompos granul 6.2 Unit Daur Ulang Plastik Muatan sampah yang dibawa oleh dump truck atau arm-roll truck tidak hanya dibuang pada zona pembuangan. Terdapat satu titik khusus yang disediakan oleh PT GTJ untuk pemilahan sampah plastik. Sampah di titik ini hanya dikhususkan untuk pemulung yang direkrut PT GTJ. Terdapat 300 pemulung yang dipekerjakan, bertugas menyetor sampah plastik dengan kisaran sejumlah 15-25

50

ton/hari. Sampah plastik yang sudah terpilah kemudian dibawa ke area daur ulang untuk menjalani proses selanjutnya. Diagram proses pengolahan tersebut secara lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 12. 15-25 ton sampah / hari

-

Pra-produksi: Pembersihan I Pemotongan I Pembersihan II Pemotongan II Pembersihan III Pengeringan

4 ton biji plastik / hari

Produksi: - Pemanasan I & II - Pemotongan & pengemasan

Gambar 12 Proses Daur Ulang Plastik di TPST Bantargebang Pembersihan I dan Pemotongan I

Gambar 13 Alat Pembersih dan Pemotong Sampah plastik yang telah berada di area produksi kemudian dimasukkan ke dalam Mesin Gibrig. Perlakuan ini bertujuan untuk membersihkan plastik dengan air. Plastik yang telah dibersihkan pada Mesin Gibrig kemudian dibawa secara otomatis menuju Mesin Pencacah. Hasil pencacahan berupa potongan plastik yang masih berukuran sedang, dengan panjang dan lebar sekitar 15-20 cm. Pembersihan II Plastik berukuran sedang selanjutnya dibawa ke Kolam I untuk dibilas menggunakan campuran air dan sabun alkyl benzene sulfolat (ABS). Pencampuran ini berfungsi untuk menghilangkan kotoran dan lemak pada plastik.

51

Pemotongan II dan Pembersihan III Pada proses ini plastik dipotong lagi hingga mencapai ukuran kecil sekitar 5-10 cm. Setelah itu, plastik yang telah berukuran kecil kemudian dibersihkan lagi dalam kolam yang berbeda, yakni Kolam II. Pencucian secara berulang ini dilakukan agar plastik bersih dan steril. Pemerasan dan pengeringan Plastik yang telah dicuci kemudian dibawa oleh mesin memasuki Mesin Sentrik I. Plastik yang masih dalam kondisi basah tersebut diperas di dalam mesin untuk meminimalisir kandungan air bekas pencucian. Selanjutnya, plastik dimasukkan ke Mesin Sentrik II untuk dikeringkan. Plastik yang telah dikeringkan kemudian didistribusikan ke sebuah corong besar untuk ditampung. Pemanasan I dan II Plastik yang telah ditampung di corong besar kemudian perlahan dipanaskan sebanyak 2 kali pemanasan. Pada pemanasan kedua, terbentuk lembaran plastik panjang (mian) yang kemudian didinginkan dengan air dalam wadah persegi panjang. Pemotongan dan pengemasan Mian yang telah didinginkan kemudian akan dikaitkan dengan mesin pemotong secara otomatis. Mian tersebut dipotong hingga menjadi biji plastik. Pengemasan biji plastik kemudian dilakukan dengan berat 30 kg/karung dengan harga jual Rp 7.500/kg. Produksi biji plastik ini mencapai 4 ton/hari untuk kemudian didistribusikan ke produsen furniture yang berada di Bandung.

Gambar 14 Biji plastik hasil daur ulang dan kemasan biji plastik

52

6.3 Power House PLTSa Bantargebang 350-700 ton sampah / hari

-

Produksi gas metan: Soil covering & waste reprofilling Penyerapan gas metan Penyaluran gas metan Pengecekan kadar gas metan Gasses compresing

98 – 196 MW disalurkan ke PLN Jawa-Bali

Gas metan masuk ke mesin pembangkit

Gambar 15 Proses Produksi Listrik di PLTSa Bantargebang Pengolahan sampah di TPST Bantargebang memang cukup kompleks, namun usaha pengolahan tersebut memang bertujuan untuk mereduksi tumpukan sampah pada setiap zona TPST serta memberi added value bagi sampah. Selain memproduksi kompos dan biji plastik, TPST Bantargebang juga memiliki power house untuk menghasilkan listrik dari sampah. Beberapa rangkaian aktivitas produksi yang diperlukan dalam memproduksi gas metan yaitu soil covering, waste reprofilling, penyerapan gas metan, penyaluran gas metan, pengecekan kadar gas metan, dan gasses compressing. Tahapan tersebut dilakukan secara berkesinambungan dalam produksi listrik, seperti yang terdapat pada Gambar 15. Soil Covering dan Waste Reprofilling

Sumber: Dokumentasi PT NOEI, 2010 dan dokumentasi penulis, 2014

Gambar 16 Soil covering dan pelapisan geomembran Ketika timbunan sampah telah mencapai ketinggian tertentu, zona sampah kemudian diberi perlakuan pelapisan dengan tanah (soil covering). Selain itu, zona tersebut juga akan dibentuk menyerupai piramida berundak atau disebut

53

perlakuan waste reprofilling. Zona tersebut kemudian dilapisi dengan plastik untuk menahan gas metan agar tidak terlepas ke udara. Penyerapan Gas Metan Proses selanjutnya yaitu pembuatan sumur gas. Saat ini telah dibangun sekitar 70 sumur gas di zona sampah TPST. Sumur gas berfungsi untuk menyerap gas di lapisan zona sampah melalui pori-pori pada permukaan pipa. Pipa tersebut berbahan polyethylene (PE), berfungsi menyisihkan air lindi yang terbawa ketika blower menyedot gas dari landfill. Air lindi tersebut disalurkan untuk dibuang ke Instalasi Pengolahan Air Sampah (IPAS). Penyaluran Gas Metan Gas yang telah disisihkan dari kandungan air lindi kemudian diserap oleh blower untuk dibawa ke mesin generator. Pipa yang terbenam di lapisan zona sengaja dibuat dengan berpori untuk tetap dapat menyerap gas di dalam timbunan sampah. Penyerapan gas ini memang selalu berpotensi terdapat komponen ikutan berupa air lindi. Oleh karena itu, pipa-pipa dibuat sedemikian rupa agar berbentuk horizontal. Hal ini memudahkan gas untuk menuju mesin pembangkit listrik yang terletak di power house area, air yang terbawa pun akan otomatis terjatuh ke bawah tanpa ikut masuk ke blower. Pengecekan Kadar Gas Metan Kadar gas yang terserap oleh blower selalu dikontrol oleh sebuah alat yang disebut Gas Analyzer. Alat ini berfungsi untuk mengecek kadar gas pada setiap titik yang ditentukan. Jika pada suatu titik terdeteksi hanya terdapat sedikit kandungan metan, maka pipa pada titik tersebut akan ditutup untuk mengehntikan aliran. Hal ini bertujuan untuk mencegah gas selain metan agar tak ikut mengalir menuju mesin generator. Kadar oksigen yang melebihi 2% kandungan gas metan pada aliran tersebut berpotensi mengubah metan menjadi karbondioksida dan uap air sehingga menyebabkan kerusakan pada mesin pembangkit listrik. Gasses Compressing Gas yang disalurkan dari zona sampah memiliki suhu sebesar 50-700C sehingga perlu didinginkan di dalam sebuah mesin pendingin (chiller). Suhu gas setelah proses pendinginan tersebut mencapai kisaran 180C. Selanjutnya, gas ditekan (compressed) hingga padat, sekitar 110 milibar. Gas padat tersebut

54

kemudian didistribusikan ke dalam mesin sehingga listrik dapat dihasilkan untuk disalurkan ke jaringan transmisi PLN Jawa – Bali. Setiap rangkaian kegiatan produksi lanjutan dari sampah yang telah dijelaskan sebelumnya memiliki manfaat positif. Selain mendapatkan pemasukan dari hasil penjualan produk, perusahaan juga mampu menyerap tenaga kerja. Dampak positif lainnya dari aktivitas tersebut yaitu mengurangi emisi karbon. Secara lebih dalam, manfaat ekonomi reduksi emisi karbon akan dikaji pada bahasan selanjutnya.

55

VII. MANFAAT EKONOMI REDUKSI EMISI KARBON

7.1. Reduksi Timbulan Sampah di TPST Bantargebang Jumlah emisi CO2 tergantung dari banyaknya sampah yang terangkut dari sumber ke TPST Bantargebang. Sebelum melakukan evaluasi terhadap manfaat ekonomi reduksi emisi karbon, perlu estimasi terhadap jumlah sampah yang masuk ke TPST Bantargebang dan berapa jumlah sampah yang diolah menjadi produk berupa kompos, biji plastik maupun listrik. Penggunaan sampah sebagai input produksi kompos diperkirakan konstan setiap tahun yaitu 198.000 ton/tahun atau 550 ton/hari karena telah mencapai kapasitas produksi maksimum. Namun, kapasitas produksi biji plastik dan listrik diperkirakan akan meningkat hampir setiap tahun. Kapasitas produksi biji plastik yang dihasilkan memang masih sangat kecil jika dibandingkan kapasitas produksi kompos maupun listrik. Setiap hari, terdapat 14,92% sampah plastik yang dibuang ke TPST Bantargebang. Dari 14,92% sampah plastik tersebut hanya sekitar 4% sampai 4,2% (15-25 ton sampah) yang saat ini mampu didaur ulang menjadi biji plastik. Kecilnya kapasitas produksi tersebut mendorong pihak pengelola untuk menambah jumlah sampah yang diolah pada kisaran 1.500 ton/tahun hingga proyek berakhir tahun 2023. Untuk produksi listrik, TPST memang berinsentif untuk menambah kapasitas produksi yang pada tahun 2009-2013 masih terpaut pada kisaran 96-198 MW/hari dari 350-700 ton sampah/hari. Pada tahun 2017-2023, diperkirakan PLTSa telah mampu mencapai kapasitas produksi sebesar 380 MW/hari dari 1.000 ton sampah/hari. Proyeksi mengenai jumlah sampah di TPST Bantargebang yang mampu direduksi melalui pengolahan produk lanjutan dapat dilakukan dengan beberapa tahapan. Pertama, dibutuhkan data sampah masuk ke TPST dengan asumsi bahwa sampah tidak diolah lebih lanjut menjadi produk. Sampah dibiarkan menumpuk di TPST tanpa aktivitas produksi sampah menjadi kompos, biji plastik dan listrik. Selanjutnya, akan diestimasi berapa banyak sampah yang mampu dikurangi dari tumpukan tersebut melalui olahan menjadi ketiga produk tersebut seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Secara lebih jelas, proyeksi jumlah sampah yang

56

mampu direduksi melalui pengolahan sampah secara berkelanjutan di TPST dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Proyeksi Reduksi Timbulan Sampah di TPST Bantargebang melalui Pengolahan Produk Lanjutan 2009-2023 Sampah Sampah Jumlah Sampah Sampah  Jumlah yang Diolah yang Diolah Masuk di TPST yang Diolah Sampah di TPST menjadi untuk Bantargebang menjadi Biji setelah Diolah Tahun Kompos Produksi (ton) Plastik (ton) (ton) (ton) Listrik (ton) (1) (2) (3) (4) (1)-[(2)+(3)+(4)] 2009 1.751.184,00 198.000 2.999,52 127.750 1.422.434,48 2010 1.822.366,80 198.000 4.499,64 164.250 1.455.617,16 2011 1.895.007,60 198.000 5.999,76 200.750 1.490.257,84 2012 2.171.836,70 198.000 7.499,88 219.000 1.747.336,82 2013 2.259.508,45 198.000 9.000,00 237.250 1.815.258,45 2014 2.352.172,52 198.000 10.512,00 273.750 1.869.910,52 2015 2.450.113,21 198.000 12.024,00 310.250 1.929.839,21 2016 2.609.497,03 198.000 13.536,00 346.750 2.051.211,03 2017 2.752.352,21 198.000 15.048,00 360.000 2.179.304,21 2018 2.878.637,13 198.000 16.560,00 360.000 2.304.077,13 2019 2.988.612,64 198.000 18.072,00 360.000 2.412.540,64 2020 3.082.949,00 198.000 19.584,00 360.000 2.505.365,00 2021 3.162.588,50 198.000 21.096,00 360.000 2.583.492,50 2022 3.228.574,58 198.000 22.608,00 360.000 2.647.966,58 2023 3.282.132,82 198.000 24.120,00 360.000 2.700.012,82 31.114.624,40 ∑Jumlah Sampah di TPST Bantargebang (ton) dengan pengolahan Sampah 38.687.533,20 ∑Jumlah Sampah di TPST Bantargebang (ton) tanpa pengolahan sampah (1) Sumber: Penulis, 2014 (Diolah)

Tabel 11 menunjukkan bahwa secara keseluruhan pada kurun waktu 20092023, ketiga produk olahan tersebut berkontribusi mengurangi jumlah sampah di TPST menjadi 31.114.624,4 ton dari total jumlah sampah tanpa pengolahan apapun sebanyak 38.687.533,2 ton. Artinya, proyek pengolahan sampah terpadu di TPST Bantargebang mampu mengurangi sampah sebanyak 7.572.908,8 ton selama proyek beroperasi pada tahun 2009-2023. Berkurangnya jumlah sampah tersebut tentu berkontribusi pula dalam mengurangi emisi CO2 akibat adanya

57

tumpukan sampah di TPST Bantargebang. Analisis mendalam mengenai hal tersebut akan dibahas pada sub-bab berikutnya.

7.2 Manfaat Ekonomi Reduksi Emisi Karbon di TPST Bantargebang Ketiga aktivitas produksi di TPST Bantargebang secara total mampu mereduksi emisi CO2 dalam jumlah yang cukup besar. EPA (2014) melalui LandGEM versi 3.02 mengasumsikan bahwa 1 ton sampah dapat menghasilkan 0,0152 ton CO2. Jumlah reduksi emisi CO2 melalui pengolahan sampah terpadu secara tidak langsung menunjukkan berkurangnya kerugian yang dapat diterima masyarakat. Estimasi kerugian akibat emisi CO2 dari tumpukan sampah di TPST Bantargebang dapat dinilai menggunakan Social Cost of Carbon (SCC) seperti yang telah dijelaskan pada Tabel 4. Nilai SCC berdasarkan kepada kerugian yang harus ditanggung masyarakat secara global terkait penurunan produktivitas pertanian, kesehatan, kerusakan akibat meningkatnya intensitas banjir, dan berkurangnya nilai dari jasa lingkungan (EPA, 2010b). Setelah melakukan tahaptahap penilaian seperti yang telah disebutkan pada bahasan pada Bab 4, maka dapat dianalisis kerugian yang disebabkan sampah yang menumpuk di TPST Bantargebang. Secara total, emisi CO2 yang dapat direduksi melalui ketiga pengolahan sampah di TPST Bantargebang dapat dilihat pada Tabel 12. Proyeksi pada Tabel 12 menunjukkan bahwa aktivitas pengolahan sampah secara terpadu di TPST Bantargebang dalam kurun waktu 2009-2023 menghasilkan emisi CO2 sebanyak 5.815.338,46 ton. Jika merujuk Tabel 12, tumpukan sampah di TPST Bantargebang tanpa pengolahan apapun menghasilkan total emisi CO2 sebanyak

5.930.557,50 ton. Artinya, total manfaat ekonomi

sebesar Rp 39.128.386.541 dari reduksi emisi CO2 sebanyak 115.219,04 ton. Nilai tersebut berdasarkan nilai SSC pada tahun 2023 yang diperkirakan menyentuh 28,3 USD/ton atau Rp 339.600/ton.

58

Tabel 12 Proyeksi Reduksi Emisi CO2 dari Produk Olahan Sampah di TPST Bantargebang 2009-2023 Tahun Potensi Reduksi Reduksi Reduksi Emisi CO2 Jumlah Emisi CO2 Emisi CO2 Emisi CO2 (ton) Emisi CO2 oleh Produksi oleh Daur oleh di TPST Kompos (ton) Ulang Produksi (ton) Plastik (ton) Listrik (ton) (1) (2) (3) (4) (1)-[(2)+(3)+(4)] 2009 291.752,70 3.012,50 45,64 1.943,67 286.750,90 2010

301.694,44

3.012,50

68,46

2.499,00

296.114,48

2011

314.707,28

3.012,50

91,28

3.054,34

308.549,16

2012

328.190,67

3.012,50

114,11

3.332,01

321.732,06

2013

342.161,37

3.012,50

136,93

3.609,67

335.402,26

2014

356.660,79

3.012,50

159,94

4.165,01

349.323,35

2015

371.732,06

3.012,50

182,94

4.720,34

363.816,28

2016

387.420,13

3.012,50

205,95

5.275,67

378.926,01

2017

404.542,97

3.012,50

228,95

5.477,27

395.824,25

2018

422.802,47

3.012,50

251,95

5.477,27

414.060,75

2019

441.914,50

3.012,50

274,96

5.477,27

433.149,77

2020

461.612,35

3.012,50

297,96

5.477,27

452.824,62

2021

481.651,61

3.012,50

320,97

5.477,27

472.840,87

2022

501.812,76

3.012,50

343,97

5.477,27

492.979,02

2023

521.901,41

3.012,50

366,98

5.477,27

513.044,67

∑Emisi CO2 (ton) dengan pengolahan sampah (5) ∑Emisi CO2 (ton) tanpa pengolahan sampah (1) Manfaat Ekonomi Reduksi Emisi Karbon (Rp) [(5)-(1)]*Rp 339.600/ton

5.815.338,46 5.930.557,50 39.128.386.541

Ket.: *Kurs Rp 12.000/USD, harga CO2 berdasarkan SCC pada Tabel 4 (EPA, 2010b)

Sejak awal didirikan, proyek PLTSa Bantargebang telah menargetkan penerimaan dari reduksi emisi karbon. Pengelola PLTSa telah melakukan registrasi Certified Emission Reduction (CER) pada pertengahan 2012 agar

59

reduksi tersebut bersifat tradeable. Namun, mengingat skema karbon Protokol Kyoto (2006-2012) yang tak berjalan dengan efektif, proyek PLTSa masih belum mendapatkan pihak investor yang berminat membeli CER. Meskipun begitu, proyek tetap dapat berjalan dengan mendapatkan penerimaan berupa penjualan listrik ke PLN Jamali serta tipping fee dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Kajian mendalam mengenai evaluasi ekonomi proyek tersebut akan menjadi pembahasan selanjutnya.

60

VIII. ANALISIS EKONOMI PROYEK PLTSa BANTARGEBANG

8.1 Evaluasi Aspek Kelayakan Usaha PLTSa Bantargebang 8.1.1 Aspek Teknis Pemilihan Lokasi Lokasi power house PLTSa terletak di dalam lingkup TPST Bantargebang, berjarak 35 meter dari jembatan timbang, serta 20 meter berseberangan dengan lokasi zona II. Penentuan lokasi tersebut dengan mempertimbangkan letak yang strategis untuk menjangkau zona I dan II, agar lebih mudah menyalurkan gas dari zona ke Integrated Waste Treatment Plant. Saat ini, sampah di zona IV dan V masih tidak memungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai listrik karena terletak sangat jauh serta berkapasitas sedikit. Lokasi yang jauh tentu saja akan berdampak pada biaya operasional disebabkan kebutuhan pipa penyalur gas yang lebih panjang. Secara lebih jelas, denah lokasi power house PLTSa dapat dilihat pada Lampiran 1. Produk Listrik dan CO2 PLTSa Bantargebang menghasilkan produk listrik sebanyak 182 MW/hari dari 700 ton sampah/hari pada tahun 2013. Hasil proyeksi juga menunjukkan bahwa kapasitas produksi dapat terus bertambah hingga tahun 2017, yaitu ketika mencapai 308 MW/hari dari 1.000 ton sampah/hari. Kapasitas produksi tetap bertahan pada angka tersebut dikarenakan telah sesuai dengan perjanjian proyek Dinas Kebersihan DKI Jakarta. Produk listrik yang telah dihasilkan akan terpakai untuk kebutuhan di power house sebanyak 10% dari output. Sisanya sebanyak 90% kemudian disalurkan ke jaringan PLN Jawa-Bali dengan transmisi yang telah dibangun di PLTSa. Adapun produk berupa karbon seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, baru mulai menyerap emisi karbon pada tahun 2009. Proyek PLTSa telah memiliki Certified of Emission Reduction (CER) dan terdaftar sebagai proyek berbasis Clean Development Mechanism di United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) sejak Juni 2012.

61

Harga Produk Saat tahun ke-1, produk listrik dibeli oleh PLN dengan harga Rp 800/kwh. Harga tersebut mengalami kenaikan mulai tahun ke-3 hingga tahun ke-4, yaitu Rp 850/kwh. Pada tahun ke-4 hingga tahun ke-15, harga diasumsikan sama yaitu Rp 1.000/kwh sesuai peraturan yang dikeluarkan Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konvensi Energi (EBTKE) pada Juni 2014. Penjualan karbon umumnya mengikuti skema CER proyek dengan fee level seharga

Rp 1.594.354.761 untuk mereduksi CO2 sebanyak 677.129

ton/tahun dalam periode 7 tahun. Namun, masih belum ada kreditor yang melakukan kontrak dengan proyek untuk membeli CER tersebut. Oleh karena itu, manfaat ekonomi reduksi emisi karbon diasumsikan seharga dengan biaya sosial karbon atau Social Cost of Carbon (SSC) seperti yang telah dibahas pada Tabel 11 sebelumnya. Kurs terhadap Rupiah diasumsikan konstan Rp 12.000/USD. Skema penjualan ini diasumsikan sama dengan skema kontrak yang dilakukan oleh TPA Sumur Batu Bekasi dimana Bank Dunia bertindak sebagai kreditor. Bank Dunia menjadi pihak yang akan membeli setiap ton karbon dari reduksi emisi produksi listrik tersebut.

8.1.2 Aspek Institusional TPST Bantargebang dikelola oleh PT NOEI joint operation dengan PT GTJ. PT NOEI berperan sebagai pelaksana dalam produksi listrik di PLTSa, sedangkan PT GTJ berfungsi secara langsung sebagai pelaku operasional Unit Daur Ulang Plastik dan Unit Pengolahan Kompos. Skema ini berbasis build operate transfer (BOT). Pengelolaan ini dimulai pada tahun 2008 hingga berakhir pada tahun 2023. Setelah tahun 2023, TPST Bantargebang akan dimiliki oleh Pemprov DKI Jakarta. Skema tersebut telah sesuai dengan Peraturan Presiden (PP) No. 67 tahun 2005 tentang Pengadaan Badan Usaha dalam Penyediaan Inftastruktur Kerja sama Pemerintah – Swasta (KPS). Secara hukum, sistem manajemen proyek telah sesuai dan layak.

62

8.1.3 Aspek Sosial Pengelolaan sampah secara terpadu di TPST Bantargebang kini menghasilkan berbagai manfaat positif. Adanya perlakuan soil cover dan waste re-profilling awalnya hanya ditujukan untuk menahan kelembaban sampah agar tak terkena sinar matahari. Perlakuan tersebut memudahkan penyerapan gas metana untuk diolah menjadi listrik. Di sisi lain, hal tersebut mencegah polusi bau yang timbul. Kini, jika berdekatan dengan zona sampah tidak lagi terasa bau yang mengganggu. Gunung sampah pada setiap zona pun menjadi terlihat lebih teratur. Dampak positif lain yang dirasakan melalui proyek PLTSa ini yaitu mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 51 orang mulai dari posisi General Manager hingga Office Boy.

8.2 Identifikasi Manfaat Proyek PLTSa 8.2.1 Manfaat Langsung Proyek PLTSa Bantargebang mendapatkan manfaat langsung dari produksi listrik. Penerimaan dari produksi listrik baru didapatkan mulai tahun 2009, ketika proyek telah mampu menghasilkan listrik sebesar 98 MW/hari. Penerimaan yang didapatkan pada tahun ke-1 tersebut yaitu sebesar Rp 25.754.400.000. Setiap output produk akan dikurangi sebesar 10% sebagai penggunaan beban listrik untuk aktivitas produksi. Jumlah output yang telah dikurangi tersebut kemudian dijual ke PLN Jawa – Bali sesuai harga yang berlaku. Setiap 1 ton sampah diasumsikan dapat menghasilkan 280 kwh listrik dengan kandungan metana sebanyak 55% (Evans dan Barker, 2009). Persamaan (4.1) digunakan untuk mengestimasi manfaat ekonomi produk listrik PLTSa. Kapasitas produksi terus bertambah setiap tahun hingga tahun ke-9, yaitu ketika mampu menggunakan input sampah sebanyak 1.000 ton/hari sebagai persyaratan dalam kontrak proyek dengan Dinas Kebersihan DKI Jakarta. Adapun proyeksi manfaat ekonomi produksi listrik tersebut seperti yang tercantum pada Tabel 13.

63

Tabel 13 Manfaat Ekonomi Produksi Listrik PLTSa Bantargebang Konsumsi Harga Listrik Manfaat Ekonomi Tahun Jual Pabrik (Rp) (Rp/kwh) (kwh/hari) 1 350 98.000 9.800 800 25.754.400.000 2 450 126.000 12.600 800 33.112.800.000 3 550 154.000 15.400 850 43.000.650.000 4 600 168.000 16.800 860 46.909.800.000 5 650 182.000 18.200 860 50.818.950.000 6 750 210.000 21.000 1.000 68.985.000.000 7 850 238.000 23.800 1.000 78.183.000.000 8 950 266.000 26.600 1.000 87.381.000.000 9 1.000 280.000 28.000 1.000 91.980.000.000 10 1.000 280.000 28.000 1.000 96.888.148.087 11 1.000 280.000 28.000 1.000 99.879.762.121 12 1.000 280.000 28.000 1.000 102.058.200.041 13 1.000 280.000 28.000 1.000 103.780.594.828 14 1.000 280.000 28.000 1.000 105.209.449.699 Total Penerimaan Penjualan Listrik (Rp) 1.033.941.754.776 Input Sampah (ton/hari)

Output Listrik (kwh/hari)

Sumber: Penulis, 2014 (Diolah)

Selain mendapatkan manfaat ekonomi dari listrik, PLTSa juga menerima insentif berupa tipping fee yang dibayarkan oleh Pemprov DKI Jakarta. Meskipun terbilang besar, pihak Dinas Kebersihan DKI Jakarta mengungkapkan bahwa hal itu sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk melakukan pelayanan demi kepentingan masyarakat. Sesuai ketentuan yang tercantum pada proyek, besar tipping fee akan mengalami pertambahan sebesar 8% setiap dua tahun sekali. Tarif tipping fee ditetapkan per ton sampah yang masuk ke TPST Bantargebang. Sebesar 20% dari total tipping fee akan dibayarkan ke Pemkot Bekasi sebagai insentif dampak sosial TPST Bantargebang, sebesar 2% dipotong pajak, sedangkan 78% sisanya akan dibagi untuk operasional ketiga produk lanjutan sampah di TPST Bantargebang, yaitu kompos, biji plastik dan listrik. Masingmasing unit pengolahan mendapatkan penerimaan sebesar 26% dari tipping fee tersebut. Secara lebih jelas, proyeksi penerimaan tipping fee oleh PLTSa dapat dilihat pada Tabel 14.

64

Tabel 14 Proyeksi Manfaat Ekonomi dari Tipping Fee bagi PLTSa Bantargebang Sampah Masuk ke Tipping Fee TPST Bantargebang (Rp/ton sampah) (ton) 1.775.506 103.000 1.847.677 103.000 1.921.327 111.240 2.202.001 111.240 2.290.891 120.139 2.384.842 120.139 2.484.143 129.750 2.645.740 129.750 2.790.579 140.130 2.918.618 140.130 3.030.121 151.341 3.125.768 151.341 3.206.513 163.448 3.273.416 163.448 Total Penerimaan Tipping Fee (Rp)

Tahun

Manfaat Ekonomi (Rp)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

47.791.886.837 59.391.743.953 61.759.139.910 82.290.248.946 85.612.105.563 101.587.891.989 84.232.523.941 89.711.985.909 102.193.065.532 106.881.943.235 119.842.484.312 123.625.344.326 136.964.373.820 139.822.078.143 1.341.706.816.415

Sumber: Penulis, 2014 (Diolah)

Berdasarkan data riil Dinas Kebersihan DKI Jakarta (2009), anggaran yang dikeluarkan untuk pengelolaan sampah sebesar Rp 588.495.680.203 pada tahun ke-1. Artinya, pada tahun ke-1 tipping fee untuk PLTSa menyedot biaya anggaran sebesar 8,12% yaitu mencapai Rp 47.791.886.837. Jika anggaran dipertahankan pada angka tersebut memang tetap dapat menutupi biaya tipping fee untuk PLTSa hingga tahun ke-15 saat proyek berakhir. Namun, biaya tersebut tidaklah kecil sehingga tentu saja tetap membebani Pemprov DKI Jakarta. Terlebih Pemprov DKI Jakarta juga harus menanggung biaya transportasi sampah dari sumber hingga TPST Bantargebang yaitu sebesar Rp 300.000/ton sampah pada tahun 2013 (Indonesia Solid Waste Association, 2013). Hal ini mengindikasikan adanya pemborosan anggaran yang dilakukan oleh Dinas Kebersihan DKI Jakarta.

8.2.2 Manfaat Tidak Langsung Manfaat

tidak

langsung

yang

didapatkan

oleh

proyek

PLTSa

Bantargebang yaitu berupa reduksi emisi karbon. Seperti yang telah dibahas pada

65

Bab sebelumnya, proyeksi jumlah emisi karbon dilakukan berdasarkan jumlah sampah yang digunakan sebagai input produksi listrik. Setelah dihasilkan jumlahnya, maka akan diestimasi lebih lanjut dengan mengkonversi nilai tersebut berdasarkan biaya sosial karbon atau Social Cost of Carbon (SSC) seperti yang telah dibahas pada Tabel 4 sebelumnya. Data mengenai manfaat ekonomi reduksi emisi karbon melalui aktivitas proyek PLTSa dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15 Proyeksi Manfaat Ekonomi Reduksi Emisi CO2 dari Produksi Listrik di TPST Bantargebang 2009-2023 Jumlah Sampah Tahun Reduksi Emisi CO2 Manfaat Ekonomi Reduksi yang Diolah (ton) oleh Produksi Emisi CO2 oleh Produksi Listrik (ton) Listrik (Rp)* 2009 127.750 1.943,67 489.804.738 2010 164.250 2.499,00 641.744.166 2011 200.750 3.054,34 802.680.009 2012 219.000 3.332,01 895.642.949 2013 237.250 3.609,67 987.606.287 2014 273.750 4.165,01 1.164.535.754 2015 310.250 4.720,34 1.348.129.230 2016 346.750 5.275,67 1.538.386.717 2017 360.000 5.477,27 1.630.035.112 2018 360.000 5.477,27 1.662.898.723 2019 360.000 5.477,27 1.695.762.334 2020 360.000 5.477,27 1.728.625.946 2021 360.000 5.477,27 1.774.635.001 2022 360.000 5.477,27 1.814.071.335 2023 360.000 5.477,27 1.860.080.390 Total Manfaat Ekonomi Reduksi 20.034.638.690 Emisi CO2 (Rp) Sumber: Penulis, 2014 (Diolah) Ket.: *Kurs Rp 12.000/USD, harga CO2 berdasarkan SCC pada Tabel 4 (EPA, 2010b)

Tabel 15 menunjukkan bahwa pada tahun 2009, proyek PLTSa mampu mereduksi emisi CO2 sebanyak 1.943,67 ton dari olahan 127.750 ton sampah. Aktivitas produksi tersebut menghasilkan manfaat ekonomi sebesar Rp 489.804.738. Saat tahun 2017 hingga proyek berakhir tahun 2023, proyek PLTSa diperkirakan dapat mereduksi emisi CO2 sebanyak 5.477,27 ton dari 360.000 ton sampah yang diproduksi menjadi listrik. Adapun total manfaat ekonomi reduksi emisi CO2 pada kurun waktu 2008-2023 yaitu sebesar Rp 20.034.638.690.

66

8.3 Identifikasi Biaya Proyek PLTSa 8.3.1 Biaya Investasi Investasi Konstruksi dan Transmisi Proyek PLTSa Bantargebang pada awal tahun 2008 mulai didirikan dengan melakukan investasi konstruksi dan transmisi. Untuk menyalurkan listrik dari power house menuju jaringan listrik PLN maka diperlukan fasilitas berupa transmisi. Biaya yang diperlukan dalam pembuatan transmisi terdiri dari biaya pembuatan tiang awal, tiang pondasi, tiang tumpu ganda, guy set tiang bulat, konduktor, pengganti kabel PLN, kabel tertanam dan kabel transmisi serta pemasangan Saluran Udara Tegangan Menengah (SUTM). Total biaya investasi transmisi listrik sebesar Rp 399.309.000. Detail mengenai biaya tersebut dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Biaya Investasi Transmisi Listrik PLTSa

Tiang awal - TM - 11B Tiang pondasi Tiang tumpu ganda Guy set tiang bulat Konduktor Pengganti kabel PLN Kabel tertanam Kabel transmisi

set set set set m m m set

3 15 3 15 900 300 300 3

19.500.000 3.900.000 5.200.000 1.250.000 30.000 30.000 596.530 6.000.000

Total Biaya (Rp / tahun) 58.500.000 58.500.000 15.600.000 18.750.000 27.000.000 9.000.000 178.959.000 18.000.000

Pemasangan SUTM

set

3

5.000.000

15.000.000

Uraian

Satuan

Jumlah

Harga/satuan

Total Biaya Investasi Transmisi (Rp)

399.309.000

Sumber: Penulis, 2014 (Diolah)

Konstruksi terdiri dari bangunan utama, bangunan pendingin, cerobong, IPAS, pipa dan blower, serta fasilitas penunjang berupa drainase dan pagar pembatas.

Total

biaya

investasi

konstruksi

PLTSa

yaitu

sebesar

Rp

49.030.903.333. Rincian mengenai biaya investasi kontruksi dapat dilihat pada Lampiran 2. Investasi Mesin dan Sistem Operasi Setelah pembangunan konstruksi dan pemasangan transmisi, tahap selanjutnya yaitu pembelian mesin serta sistem operasi PLTSa. Mesin dan sistem

67

menjadi faktor yang penting dalam operasional PLTSa. Pada tahap ini, beberapa kapital yang perlu dilengkapi adalah boiler machine, turbine machine, generator, balance of power plant, fuel handling, supply water system, system testing, control management system, pengolahan gas buang serta sertifikasi sistem. Rincian biaya secara lebih detail dapat dilihat pada Tabel 17. Total biaya investasi mesin dan sistem operasi pada tahap ini sebesar Rp 39.262.000.000. Tabel 17 Biaya Investasi Mesin dan Sistem Operasi PLTSa Uraian

Unit

Harga/Unit

Boiler Machine Turbine Machine Generator Balance of Power Plant

1 1 7 1

12.720.000.000 6.342.000.000 800.000.000 3.000.000.000

Umur Ekonomis (tahun) 15 15 10 15

Pengolahan Gas 1 2.300.000.000 15 Buang Fuel Handling 2 1.800.000.000 15 Supply Water 1 1.000.000.000 10 System System Testing 1 3.500.000.000 15 Control 1 1.000.000.000 5 Management System Sertifikasi Sistem 1 200.000.000 5 Total Biaya Investasi Mesin dan Sistem Operasi (Rp)

Total Investasi 12.720.000.000 6.342.000.000 5.600.000.000 3.000.000.000 2.300.000.000 3.600.000.000 1.000.000.000 3.500.000.000 1.000.000.000

200.000.000 39.262.000.000

Sumber: Penulis, 2014 (Diolah)

Biaya Pra-Investasi Setelah pembangunan konstruksi dan pemasangan transmisi, pembelian mesin serta sistem operasi PLTSa, masih ada biaya yang perlu dikeluarkan untuk mendukung legalitas proyek seperti perizinan usaha dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Proyek juga memerlukan manajerial yang baik sehingga sebelum proyek berlangsung perlu ada konsultasi terlebih dahulu dengan jasa konsultan. Modal minimum pun diperlukan sebagai balance awal dalam memulai proyek. Pemenuhan ketiga aspek tersebut memerlukan biaya total hingga Rp Secara rinci, mengenai biaya pra-investasi dapat dilihat pada Tabel 18.

68

Uraian Konsultasi Manajemen

Tabel 18 Biaya Pra-investasi Proyek PLTSa Unit Harga/Unit Umur Ekonomis Total Investasi (tahun) 1 1.500.000.000 5 1.500.000.000

Perizinan, AMDAL, dll

1

500.000.000

5

500.000.000

Modal Operasional

1

1.000.000.000

15

1.000.000.000

Total Biaya Pra-Investasi (Rp)

3.000.000.000

Sumber: Penulis, 2014 (Diolah)

Biaya Re-Investasi Tabel 19 Biaya Re-investasi Proyek PLTSa Periode Investasi Umur (Tahun Ke-, Rp juta) Uraian Ekonomis (tahun) 6 11 Generator 10 0 5.600 Control Management System 5 1.000 1.000 Supply Water System 10 0 3.000 Pipa vertikal 5 2.308,6 0 Pipa horizontal 5 2.641,17 0 Mesin penyambung 10 0 1.120 Sertifikasi Sistem 5 600 600 Drainase 5 750 750 Pagar Pembatas 5 35 35 Konsultasi Manajemen 10 0 1.500 Perizinan, AMDAL, dll 5 500 500 Total Biaya Tahun ke- (Rp juta) 7.835 14.105 Total Biaya Reinvestasi (Rp) 21.939.770.000 Sumber: Penulis, 2014 (Diolah)

Setiap rangkaian alat, mesin dan bangunan yang diinvestasikan memiliki umur ekonomis. Ketika umur ekonomis tersebut berakhir, artinya perusahaan perlu melakukan investasi kembali agar proyek dapat terus berjalan. Estimasi biaya re-investasi menjadi penting untuk memperkirakan besaran biaya yang dibutuhkan pada tahun tertentu. Rincian biaya re-investasi dapat dilihat pada Tabel 19. Proyek PLTSa Bantargebang diperkirakan memerlukan re-investasi pada tahun ke-6 dan tahun ke-11 sejak proyek dimulai. Total biaya reinvestasi yang

69

diperlukan tahun ke-6 adalah sebesar Rp 7.835.000.000 dan pada tahun ke-11 sebesar Rp 14.105.000.000. Total biaya reinvestasi yang diperlukan selama proyek berlangsung yaitu Rp 21.939.770.000.

8.3.2 Biaya Operasional Biaya Tetap Memasuki tahun ke-1 artinya proyek memerlukan biaya operasional yang terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap berkaitan dengan biaya tenaga kerja dan biaya yang dibutuhkan untuk overhead pabrik. Dalam analisis ekonomi, biaya tenaga kerja dibedakan antara terdidik dan tak terdidik. Perbedaan biaya tersebut secara jelas dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20 Biaya Tetap Tenaga Kerja Proyek PLTSa Jumlah Harga Total Biaya Uraian (satuan/bulan) (Rp/satuan) (Rp/tahun) General Manager 1 7.700.000 92.400.000 Asisstant Manager 1 5.400.000 64.800.000 Supervisor 3 3.500.000 126.000.000 Administrasi Keuangan dan 1 2.500.000 30.000.000 Umum Teknisi dan Operator 6 2.500.000 180.000.000 Driver 10 2.100.000 252.000.000 Security 3 2.441.954 87.910.344 Tenaga Tukang Listrik 25 2.100.000 25.200.000 Office Boy 1 1.000.000 12.000.000 Total Biaya Tenaga Kerja (Rp) 870.310.344 Sumber: Penulis, 2014 (Diolah)

Pada proyek PLTSa ini, tenaga kerja terdidik terdiri dari jabatan General Manager (GM), Asisstant Manager, Supervisor, Administrasi Keuangan dan Umum, Teknisi dan Operator, Driver, Security dan tenaga tukang listrik. Biaya tenaga kerja bagi pekerja terdidik berada pada rentang Rp 2.100.000/bulan hingga Rp 7.700-000/bulan. Terdidik tersebut artinya pekerja memerlukan pelatihan atau pendidikan khusus untuk dapat bekerja sesuai bidangnya. Misalnya, posisi GM dapat dikerjakan oleh pekerja yang mengayomi jenjang pendidikan Strata 1. Posisi driver dan security juga memerlukan keterampilan khusus yang didukung dengan legalitas berupa Surat Izin Mengemudi (SIM) atau sertifikat sebagai

70

security guard. Biaya yang lebih rendah dikeluarkan untuk posisi office boy, yaitu sebesar Rp 1.000.000/bulan. Secara keseluruhan, total biaya tenaga kerja yang dibutuhkan setiap tahun yaitu sebesar Rp 870.310.344. Selain biaya tenaga kerja, dalam komponen biaya tetap juga termasuk dalam biaya overhead yang dibutuhkan oleh pabrik dan kantor PLTSa. Biaya ini dikeluarkan setiap tahun untuk mendukung administrasi serta operasional kantor maupun pabrik. Rincian mengenai biaya overhead pabrik setiap tahun dapat dilihat pada Lampiran 3. Total biaya yang dibutuhkan untuk overhead pabrik adalah sebesar Rp 28.127.505.584. Secara total, biaya tetap yang dibutuhkan dari pengeluaran biaya tenaga kerja dan biaya overhead pabrik yaitu sebesar Rp 28.972.615.928/tahun. Biaya ini dikeluarkan mulai tahun ke-1 hingga tahun ke-15 proyek. Selain biaya tetap, komponen lain dalam biaya operasional adalah biaya variabel. Pembahasan lebih lanjut pada sub-bab berikutnya.

Biaya Variabel Untuk membuat sampah hingga dapat menghasilkan gas metan, perlu dilakukan pengolahan secara kontinu pada Zona I dan II. Beberapa bahan yang diperlukan untuk proses tersebut yaitu CaO, Asetilen, Karbon aktif, serta tanah merah. Perlakuan selanjutnya adalah dengan melakukan compacting terhadap bahan tersebut di setiap zona menggunakan alat berat sebanyak 5 unit/hari. Oleh karena itu, perlu Bahan Bakar Minyak (BBM) berupa solar untuk memenuhi operasional alat berat. Harga solar pada tahun 2009-2012 Rp 4.500/liter, sedangkan pada tahun 2013-2023 Rp 5.500 menyesuaikan dengan peningkatan harga yang telah ditetapkan. Total biaya variabel yang dibutuhkan setiap tahun yaitu sebesar Rp 62.060.400.000 pada 2009-2012, serta Rp 65.775.600.000 pada 2013-2023. Secara lebih jelas, rincian biaya variabel tersebut dapat dilihat paada Tabel 23. Setelah melakukan estimasi biaya tetap dan biaya variabel, selanjutnya bisa didapatkan total biaya operasional dari kalkulasi dua komponen biaya tersebut. Maka, total biaya yang dibutuhkan untuk operasional PLTSa mulai tahun ke-1 hingga tahun ke-15 adalah Rp 93.236.215.928.

71

Tabel 21 Biaya Variabel Pengolahan Sampah PLTSa

Uraian

CaO

Asetilen

Karbon aktif Tanah merah BBM Alat Berat

Kebutuhan 2,5kg/ton sampah per hari x 4500 ton x 30 hari x 12 bulan 0,05 m3/jam x 4500 ton x 30 hari x 12 bulan 21 kg/ton x 250 ton x 30 hari x 12 bulan 360.000 m3

240 liter/hari x 43 unit 5 unit x 7 jam Sewa Alat x 30 hari x 12 Berat bulan Total Biaya Variabel Pengolahan Sampah PLTSa Bantargebang (Rp/tahun)

2009 - 2012 Harga/ Total Biaya Unit Variabel (Rp) (Rp/tahun)

2013-2023 Harga/ Total Biaya Unit Variabel (Rp) (Rp/tahun)

600

810.000.000

600

810.000.000

50.000

1.350.000.000

50.000

1.350.000.000

9.000

5.670.000.000

9.000

5.670.000.000

100.000

36.000.000.000

100.000

36.000.000.000

4.500

16.718.400.000

5.500

20.433.600.000

120.000

1.512.000.000

120.000

1.512.000.000

2009-2012

2013-2023

62.060.400.000

65.775.600.000

Sumber: Penulis, 2014 (Diolah)

8.4 Analisis Kelayakan Ekonomi Tabel 22 Analisis Kelayakan Ekonomi Proyek PLTSa Kriteria Kelayakan Finansial Ekonomi NPV (Rp) 486.089.097.250 1.141.704.311.213 Net B/C 2,64 5,51 IRR (%) 11% 22% Payback Period 5 tahun 3 bulan 1 tahun 4 bulan

Kelayakan Layak Layak Layak Layak

Sumber: Penulis, 2014 (Diolah)

Penilaian kelayakan ekonomi dilakukan setelah seluruh komponen penerimaan dan pengeluaran (biaya investasi dan operasional) dapat dilengkapi. Beberapa kriteria kelayakan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu NPV, Net B/C, IRR dan PP. Hasil penilaian dapat dilihat pada Tabel 22.

72

Berdasarkan hasil penilaian pada Tabel 22, didapatkan nilai NPV Finansial sebesar Rp 486.089.097.250. Secara ekonomi, NPV yang dihasilkan oleh proyek lebih besar yaitu mencapai Rp

1.141.704.311.213. Meskipun begitu, proyek

dikatakan layak baik secara fnansial maupun ekonomi karena telah memenuhi kriteria kelayakan NPV > 0. Artinya, proyek PLTSa ini layak dijalankan karena jumlah keseluruhan manfaat yang diterima lebih besar dari biaya investasi yang telah dikeluarkan. Adapun kriteria kelayakan selanjutnya berupa Net B/C yang secara finansial menunjukkan nilai 2,64. Artinya, setiap tambahan biaya sebesar Rp 1.000.000 maka proyek akan mendapatkan manfaat sebesar Rp 2.640.000. Nilai Net B/C ekonomi yang dihasilkan lebih besar yaitu mencapai nilai 5,51. Artinya, setiap tambahan biaya sebesar Rp 1.000.000 maka akan menghasilkan manfaat sebesar Rp 5.510.000. Proyek dinyatakan layak secara finansial dan ekonomi karena telah memenuhi kriteria kelayakan nilai Net B/C lebih dari satu atau setidaknya sama dengan satu (Net B/C ≥ 1). Kriteria kelayakan proyek lainnya yaitu IRR. Pada analisis finansial, nilai IRR yang didapatkan sebesar 11%. Artinya, NPV proyek akan berada pada kondisi sama dengan nol ketika nilai discount rate (i) sebesar 11%. IRR pada analisis ekonomi lebih besar daripada IRR finansial, yaitu mencapai 22%. Artinya, nilai i sebesar 22% akan membuat NPV proyek sama dengan nol. Kedua nilai tersebut menunjukkan IRR lebih besar daripada biaya dana proyek sehingga dapat disimpulkan bahwa proyek menarik baik secara finansial maupun ekonomi. Nilai Payback Period menunjukkan waktu yang dibutuhkan perusahaan untuk mengembalikan biaya yang dikeluarkan dalam investasi proyek. PP finansial membutuhkan waktu pengembalian yaitu 5 tahun 3 bulan, sedangkan PP ekonomi membutuhkan 1 tahun 4 bulan masa pengembalian. Proyek yang baik adalah proyek yang memiliki jangka waktu kurang dari umur proyek dalam pengembalian biaya investasi. Umur proyek PLTSa Bantargebang adalah 15 tahun, artinya proyek layak secara finansial maupun ekonomi jika meninjau nilai PP tersebut. Nilai PP ekonomi lebih cepat dibandingkan PP finansial. Hal tersebut dikarenakan adanya penilaian terhadap manfaat tidak langsung berupa reduksi emisi karbon.

73

Berdasarkan analisis tersebut, proyek PLTSa Bantargebang dikatakan layak karena telah memenuhi empat kriteria kelayakan NPV, Net B/C, IRR dan PP. Pelaksanaan proyek dikatakan mendatangkan keuntungan lebih besar jika dijalankan secara ekonomi. Hal itu didasarkan pada kriteria kelayakan proyek PLTSa yang selalu lebih besar jika dibandingkan secara finansial.

74

IX. SIMPULAN DAN SARAN 9.1 Simpulan Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu: 1.

TPST Bantargebang memiliki beberapa produk lanjutan berupa biji plastik, kompos dan listrik. Jumlah sampah yang diolah setiap hari pada tahun 2014 yaitu 15-25 ton/hari untuk produksi biji plastik, 550 ton/hari untuk produksi sampah, dan 750-1.000 ton/hari untuk produksi listrik. Dampak positif dari aktivitas tersebut yaitu penyerapan tenaga kerja pada setiap rangkaian aktivitas produksi; pengurangan polusi bau melalui perlakuan sampah berupa soil cover, waste re-profilling dan penyerapan gas metan untuk listrik; pengurangan jumlah sampah di zona pembuangan karena dimanfaatkan menjadi produk, serta memberi pemasukkan bagi pengelola.

2.

Jumlah sampah di TPST Bantargebang tanpa pengolahan sampah lebih lanjut mencapai 38.687.533,2 ton sampah pada kurun waktu 2009-2023. Adanya pengolahan sampah menjadi produk berupa kompos, biji plastik dan listrik mampu mengurangi jumlah tersebut menjadi 31.114.624,4 ton sampah. Hal tersebut membuktikan bahwa dalam kurun waktu 15 tahun operasional proyek TPST Bantargebang diperkirakan mampu mengurangi sampah sebanyak 7.572.908,8 ton. Artinya, secara umum masyarakat mendapatkan total manfaat ekonomi sebesar Rp 39.128.386.541 dari reduksi emisi CO2 sebanyak 115.219,04 ton melalui kegiatan pengolahan sampah berkelanjutan.

3.

Hasil analisis ekonomi menunjukkan bahwa proyek PLTSa Bantargebang layak dilaksanakan berdasarkan aspek teknis, institusional dan sosial. Kriteria kelayakan didapatkan nilai NPV Ekonomi sebesar Rp 1.141.704.311.213 dan NPV Finansial Rp 486.089.097.250. Net B/C Ekonomi sebesar 5,51 dan Net B/C Finansial sebesar 2,64. IRR Ekonomi mencapai 22%, sedangkan IRR Finansial hanya mencapai 11%. PP finansial yaitu 5 tahun 3 bulan, sedangkan PP ekonomi membutuhkan 1 tahun 4 bulan masa pengembalian. Nilai-nilai tersebut menunjukkan proyek PLTSa Bantargebang memenuhi kelayakan untuk dilaksanakan baik secara finansial maupun ekonomi.

75

9.2 Saran Beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait keberlanjutan proyek yaitu. 1. Pelaksanaan dan pembagian peran pengelola pada proyek PLTSa Bantargebang perlu dibuat dengan mekanisme yang lebih jelas. Hal ini dimaksudkan agar saat proyek beroperasi dan menemukan kendala di lapangan dapat diselesaikan secara lebih cepat dan tepat, contohnya ketika terdapat masalah dalam mengolah sampah di zona setiap hari dikarenakan faktor cuaca, kenaikan biaya variabel, dan sebagainya. 2. Dinas Kebersihan DKI Jakarta masih menanggung penuh biaya transportasi sampah menuju TPST dan tipping fee atas tonase sampah tersebut. Hal ini mengindikasikan

adanya

pemborosan

anggaran,

padahal

pengelola

merupakan pihak yang sangat membutuhkan sampah sebagai input produksi. Oleh karena itu, sebaiknya pihak pengelola juga bertindak sebagai pengangkut sampah mulai dari sumber (rumah tangga, industri dan pasar) hingga masuk ke TPST Bantargebang. Ini dapat menjadi solusi alternatif untuk menekan biaya yang harus dikeluarkan Pemprov DKI Jakarta. 3. Harga jual listrik yang dihasilkan oleh PLTSa Bantargebang masih rendah jika dibandingkan dengan produk listrik dari pembangkit lain yang tak ramah lingkungan dikarenakan pembangkit yang berasal dari sumberdaya fosil merupakan industri padat modal sekaligus padat karya. Pemerintah terutama Kementerian ESDM perlu memberi insentif terkait harga jual listrik ini yaitu dengan memberlakukan kebijakan one price policy untuk seluruh pembangkit listrik. Hal ini dapat mendorong investor tertarik untuk mengembangkan bisnis energi bersih dan ramah lingkungan seperti PLTSa yang terintegrasi dengan TPA setempat. Semakin banyak PLTSa yang beroperasi di Indonesia, berarti semakin banyak sampah yang mampu diolah secara berkelanjutan dan memberi manfaat ekonomi yang lebih besar. 4. Sistem pengolahan sampah menjadi produk lanjutan di proyek PLTSa dan TPST Bantargebang dapat diterapkan di TPA lainnya. Penanganan sampah yang baik dari hulu hingga hilir tentu dapat mengurangi masalah dari sampah yang menumpuk serta memberi manfaat ekonomi untuk pengelola, pemerintah, maupun masyarakat.

76

DAFTAR PUSTAKA

Azis, Iwan Jaya. 1991. Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan dalam Konsep Pembangunan Berkelanjutan. Jurnal PRISMA edisi Januari 1991. Jakarta: LP3ES. Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta. 2013. Statistik Daerah Provinsi DKI Jakarta 2013. Jakarta: BPS Provinsi DKI Jakarta. Barrow, C.J. 2006. Environmental Management for Sustainable Development. USA dan Kanada: Routledge. Bromley, D.W.; M. M. Cornea. 1989. Management of Common Property Natural Resources: Some Conceptual and Operational Fallacies. Discussion Paper 57. World Bank. Dewi, Rahma Sari. 2008. Evaluasi Ekonomi dan Sosial Unit Pengolahan Sampah (UPS) Kota Depok. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Dinas Kebersihan DKI Jakarta. 2009. Studi Komposisi dan Karakteristik Sampah di DKI Jakarta. Laporan Akhir. Jakarta: Dinas Kebersihan DKI Jakarta. __________________________. 2011. Surat Rilis Komposisi dan Volume Sampah DKI Jakarta 2011. Jakarta: Dinas Kebersihan DKI Jakarta. __________________________. 2014. Surat Rilis Timbulan Sampah DKI Jakarta. Jakarta: Dinas Kebersihan DKI Jakarta. Dwijayanti, Patricia Febrina S. 2011. Manfaat Penerapan Carbon Accounting di Indonesia. Surabaya: Jurnal Akuntansi Kontemporer, Vol.3 No. 1, Januari 2011. Hal. 79-92. Environmental Protection Agency. 2010a. Assessing the Multiple Benefits of Clean Energy: A Resource for States. United States: EPA. ____________________________. 2010b. Social Cost of Carbon for Regulatory Impact Analysis. United States: EPA. ____________________________.2014. Landfill Gas Emission. United States: EPA.

77

Evans, Louise; Nick Barker. 2009. Evaluation of Opportunities for Converting Indigenous UK Wastes to Fuels and Energy (Report). UK: National NonFood Crops Centre. Fatimah, S. A. 2009. Analisis Kelayakan Usaha Pengolahan Sampah menjadi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Kota Bogor. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Fauzi, Akhmad. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Gittinger, J.P. 1986. Analisa Ekonomi Proyek – Proyek Pertanian. Edisi Kedua. UI Press. Jakarta. Gray, Clive, Payman Simanjuntak et al. 1992. Pengantar Evaluasi Proyek. Edisi Kedua. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Guinard, Jean-Xavier. 2006. Sensory Evaluation Methods. California: The Regents of University of California. Hanley, Nick; Clive L. Spash. 1993. Cost-Benefit Analysis and the Environment. UK: Edward Elgar Publishing Limited. Hanley, Nick. 2000. Principles of Environmental and Resources Economics. Cheltenham and Northampton: Edward Elgar. Hapsari, Chrismalia. 2011. Studi Emisi Karbondioksida (CO2) dan Metana (CH4) dari Kegiatan Reduksi Sampah di Wilayah Surabaya Bagian Selatan. Skripsi. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya. Harris, Jonathan M. 2000. Basic Principles of Sustainable Development. G-DAE Working Paper No. 00-04. United States: Tuffs University. Indonesia Solid Waste Association (InSWA). 2013. Pergub Insentif Pengelolaan Sampah DKI Jakarta. Jakarta: InSWA. Japan Institute of Energy (JIE). 2012. Asia Biomass Handbook. Jepang: JIE. Juliansah, Marthin Hadi. 2010. Analisis Keberadaan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang Bekasi. Skripsi. Depok: Universitas Indonesia.

78

Korhaliller, S. 2010. The UK’s Biomass Energy Development Path. UK: International. Institute for Environment and Development (IIED). Kuncoro, Arief H. dan Djati H. Salimy. 2011. Studi Proyeksi Permintaan Energi Jangka Panjang dengan Program MAED. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir IV. Jakarta: Badan Tenaga Nuklir Nasional. Kuncoro, Kukuh Siwi. 2011. Studi Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah 10 Mwe di Kota Medan ditinjau dari Aspek Teknis, Ekonomi dan Lingkungan. Jurnal. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh November. Navigat Organic Energy Indonesia (NOEI). 2010. Pemanfaatan Biogas Sampah untuk Pembangkit Listrik. Materi Presentasi Seminar. (Diunduh 1 Maret 2013) Nida, Eugene A. 1949. Morphology: The Descriptive Analysis of Words. Second Edition. Michigan: University of Michigan. Organization for Economic Co-operation and Development. 2006. Executive Summary of Cost-Benefit Analysis and The Environment: Recent Developments. Pindyck, Robert dan Daniel Rubinfield. 2009. Microeconomics. Seventh Edition. Pearson Education, Inc. Poernomo, Iswardono S. 1994. Teori Ekonomi Mikro. Jakarta: Penerbit Gunadarma. Purwanto. 2011. Analisis Finansial dan Ekonomi Pembangkit Listrik Mikrohidro di Berapa Lokasi, Propinsi Jawa Tengah, Indonesia. JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 8 No. 4 Desember 2011,. Ramke, Hans-Günter et al. 2009. Hydrothermal Carbonization of Organic Waste. Prosiding Seminar “Twelfth International Waste Management and Landfill Symposium”. Italy: CISA Publisher. Rahardjo, Irawan; Ira Fitriana. 2010. Analisis Potensi Pembangkit Listrik Tenaga Surya di Indonesia.Prosiding Seminar “Strategi Penyediaan Listrik Nasional dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN, dan Energi Terbarukan”. Hal. 43-52.

79

Perusahaan Listrik Negara (PLN). 2012. Statistik PLN 2012. Jakarta: Sekretariat PT PLN (Persero). Sudrajat. H. R., 2006. Mengelola Sampah Kota. Jakarta: Penebar Swadaya. Statistik Kecamatan Bantargebang. 2010. Data Infrastruktur Kecamatan Bantargebang Tahun 2009. Bekasi: Kantor Kecamatan Bantargebang. Suprihatin; Nastiti Siswi Indrasti; Muhammad Romli. 2008. Potensi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca melalui Pengomposan Sampah. Jurnal Teknologi Industri Pertanian Volume 18, No. 1. Hal. 53-59. Taylor, Lance; Helen Saphiro. 1990. The state and industrial strategy. World Development Journal Volume 18, Issue 6. Hal. 861-878.

80

LAMPIRAN

81

Lampiran 1 Denah TPST Bantargebang

D E

A

B

C

Keterangan : A: Landfill Zone I B: Lanfill Zone II C: Lanfill Zone III D: Landfill Zone IV E: Landfill Zone V

82

Lampiran 2 Biaya Investasi Konstruksi

Jumlah

Satuan

Harga/satuan

Umur ekonomis (tahun)

1500

m3

1.500.000

15

2.250.000.000

Pile cap pondasi K-350

4500

m

3

1.500.000

15

6.750.000.000

Pondasi bored pile K-350

6000

m3

1.500.000

15

9.000.000.000

Ruang bongkar muat + struktur atap bungker Ruang pembakaran

3000

m2

2.500.000

15

7.500.000.000

3000

m2

2.500.000

15

7.500.000.000

Bangunan Pendingin Bangunan pengolahan air Bangunan struktur atas

3 300

set m2

100.000 2.500.000

15 15 15

300.000 750.000.000

Pile cap pondasi K-350

90

m3

1.500.000

15

135.000.000

m

3

1.500.000

15

2.250.000.000

m

2

2.500.000

15 15

1.875.000.000

3

1.500.000

15

270.000.000

Uraian Bangunan Utama Bungker k-350

Pondasi bored pile K-350 Cerobong Bangunan cerobong

1500

750

Total Investasi

Pile cap pondasi K-350

180

m

Pondasi bored pile K-350

1260

m3

1.500.000

15

1.890.000.000

IPAS Lapisan geomembran

10000

m2

75.000

5

750.000.000

Fill clay compacted

10000

m

3

35.000

5

350.000.000

Batu kali

1350

m3

350.000

5

472.500.000

970.000 628.850 16.000.000 6.190.476

5 5 10 10

2.308.600.000 2.641.170.000 1.120.000.000 433.333.333

125.000 35.000

5 5

750.000.000 35.000.000 49.030.903.333

Pipa dan Blower Pipa vertikal 2380 m Pipa horizontal 4200 m Mesin penyambung 70 unit Blower 70 unit Fasilitas Penunjang Drainase 6000 m Pagar pembatas 1000 m Total Biaya Investasi Konstruksi (Rp)

83

Lampiran 3 Biaya Tetap Overhead Pabrik dan Kantor PLTSa Harga Uraian Unit Jumlah (Rp/satuan) ATK Paket /bulan 3 2.000.000 Telepon dan paket/bulan 3 6.000.000 Fax Transportasi

paket/bulan

3

Spare Part

Paket

Pemeliharaan Prasarana

Total Biaya (Rp/tahun) 6.000.000 18.000.000

10.000.000

30.000.000

4% x 70% x Investasi Peralatan

39.262.000.000

1.099.336.000

Paket

0,5% x 30% x Investasi Bangunan

49.030.903.333

73.546.355

Gas Analyzer

Paket

1

8.823.529

8.823.529

Water Boiler

m3

8,1 m3 per jam x 24 jam x 30 hari x 12 bulan

4.000

279.936.000

Pembinaan Manajemen

paket/bulan

2

1.500.000

3.000.000

Asuransi Mesin dan Konstruksi

paket/bulan

0,3% dari total investasi

88.692.212.333 26.607.663.700

Pemeliharaan paket/bulan 1 100.000 1.200.000 Kendaraan Total Biaya Overhead Pabrik dan Kantor (Rp) 28.127.505.584

84 86

RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Cikarang, Bekasi pada tanggal 22 Oktober 1992, sebagai anak pertama dari empat bersaudara pasangan Ir. Kasmita Widodo dan Anita Rosyana Munadji, A.Md. Penulis memulai pendidikan di TK El-Hurriyah dan lulus pada tahun 1998, kemudian melanjutkan ke Sekolah Dasar Negeri Karang Asih 12 dan lulus pada tahun 2004. Penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Cikarang Utara dan lulus pada tahun 2007, kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Cikarang Utara dan lulus tahun 2010. Jalur pendidikan tinggi dijalani oleh penulis sebagai mahasiswa Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Seleksi Mahasiswa IPB (USMI). Selain aktif dalam kegiatan perkuliahan di IPB, penulis juga aktif mengikuti organisasi seperti Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Forum for Scientific Studies (Forces) periode 2010-2014 dan International Association of students in Agricultural and related Sciences (IAAS) periode 2010-2011 serta aktif sebagai pegiat LSM Edukasi Gizi tahun 2013 hingga saat ini. Berbagai kepanitiaan juga sempat diikuti oleh penulis, yaitu Forum Pelajar Indonesia 2010 serta Pekan Inovasi Mahasiswa Pertanian Indonesia (PIMPI) 2012. Penulis juga senang mengikuti kompetisi berbagai bidang baik nasional dan internasional. Penulis sempat menjadi fasilitator pada program pengabdian masyarakat Preserving Our World with Eco-friendly Resolution AIESEC Ateneo de Manila University Philippines pada awal 2013, menerima dana hibah dari Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi atas Program Kreativitas Mahasiswa-Kewirausahaan tahun 2013-2014, serta lolos dalam Program Mahasiswa Wirausaha CDA IPB 2014. Penulis adalah pengagum B. J. Habibie, Hans C. Andersen, dan Marie Curie, senang mengisi waktu luang dengan blog-walking dan membaca berita maupun mendengarkan cerita.

85

86