ANALISIS HUBUNGAN PERSEPSI KEGEMUKAN DENGAN

Download Konsumsi Pangan dan Aktivitas Fisik Mahasiswi Tingkat Persiapan Bersama. Institut Pertanian Bogor. .... penulis dinyatakan diterima di Inst...

0 downloads 285 Views 792KB Size
 

ANALISIS HUBUNGAN PERSEPSI KEGEMUKAN DENGAN POLA KONSUMSI PANGAN DAN AKTIVITAS FISIK MAHASISWI TINGKAT PERSIAPAN BERSAMA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

STEFANY PASANEA

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

   

 

ABSTRACT Stefany Pasanea. Analysis of the Relationship between Perception of Overweight with Food Consumption Pattern and Physical Activity of Female University Students in Dormitory of Bogor Agricultural University. Under the guidance of Ali Khomsan and Yayat Heryatno. Teenagers who have excessive fear of overweight and have less acceptance of their body will go on a diet for a long time. This study aims to analyze the relationship between the perception of overweight with the pattern of food consumption and physical activity level of female university students in dormitory of Bogor Agriculture University. The cross sectional study was used in this study to elaborate overweight perception, nutritional knowledge, food consumption pattern and physical activity level of students. A total of 79 students were chosen randomly as samples. Primary data consisted of indvidual student characteristics, socioeconomic family conditions, nutritional knowledge, perception of overweight, physical activity (on college days and holidays), food frequency, eating habits and recall of food consumption (2 x 24 hr). Secondary data consists of an overview of Bogor Agriculture University’s dormitory. The results showed there were relationships between perception of overweight with nutritional status and level of income. Keywords

: nutritional status, perceptions of overweight, nutritional knowledge, food consumption, physical activity

 

   

 

RINGKASAN STEFANY PASANEA. Analisis Hubungan Persepsi Kegemukan dengan Pola Konsumsi Pangan dan Aktivitas Fisik Mahasiswi Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor. Dibimbing oleh Ali Khomsan dan Yayat Heryatno. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara persepsi kegemukan dengan pola konsumsi pangan dan aktivitas fisik mahasiswi Tingkat Persiapan Bersama (TPB) Institut Pertanian Bogor. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk 1) mengidentifikasi karakteristik individu dan kondisi sosial ekonomi keluarga mahasiswi, 2) mempelajari pengetahuan gizi dan persepsi mahasiswi terkait kegemukan, 3) mempelajari pola konsumsi pangan yang meliputi kebiasaan makan, frekuensi pangan, tingkat kecukupan energi dan protein mahasiswi, 4) mempelajari aktivitas fisik sehari-hari mahasiswi, 5) menganalisis hubungan antara status gizi dengan persepsi kegemukan, persepsi kegemukan dengan pengetahuan gizi, persepsi kegemukan dengan pola konsumsi pangan dan persepsi kegemukan dengan aktivitas fisik mahasiswi TPB. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study yang dilakukan di Asrama Putri Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive. Pengumpulan data primer dilakukan selama bulan Mei hingga Juni 2011. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah mahasiswi TPB-IPB yang berusia 19-21 tahun, dalam kondisi sehat, bersedia untuk diwawancarai dan mengisi kuesioner penelitian serta sedang berada di Asrama TPB-IPB ketika penelitian dilakukan. Adapun jumlah contoh dalam penelitian ini adalah 79 mahasiswa yang dipilih secara acak. Data yang diperoleh dari kuesioner adalah data karakteristik individu dan keluarga, data pengetahuan gizi, data persepsi tentang kegemukan, data kebiasaan makan, frekuensi konsumsi pangan konsumsi pangan serta data aktivitas fisik. Untuk mengetahui hubungan antar variabel digunakan uji korelasi Moment Pearson dan Rank Spearman. Sebagian besar mahasiswi berusia 19 tahun (87.3%) dan sisanya sebesar 12.7% mahasiswi berusia 20 tahun. Sebagian besar mahasiswi dalam penelitian ini memiliki status gizi yang termasuk dalam kategori normal (60.8%), gemuk (30.8%), dan kurus (8.9%). Besar keluarga mahasiswi tersebar pada kelompok keluarga kecil (35%) dan sedang (56%). Sebagian besar ayah mahasiswi berpendidikan perguruan tinggi (48.1%) dan SMA/Sederajat (35.4%). Sebagian besar ayah mahasiswi bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (44.3%) dan Wiraswasta. Sebesar 30.4% ayah mahasiswi memiliki pendapatan < Rp 2.000.000,00 per bulan dan hanya sekitar 19.0% ayah mahasiswi yang memiliki pendapatan > 5 juta rupiah/bulan sisanya sebesar 50.7% ayah mahasiswi memiliki pendapatan yang berada pada kisaran 2 – 5 juta per bulan. Pengetahuan gizi mahasiswi sebagian besar berada pada kategori baik (88.6%) dan memiliki persepsi kegemukan yang berada dalam kategori sedang (50.6%) atau cenderung netral terhadap kegemukan. Hanya sebagian kecil mahasiswi menyatakan puas dengan tubuh aktualnya akan tetapi sebagian besar mahasiswi percaya diri dengan kondisi tubuh aktualnya. Sebagian besar mahasiswi menyatakan takut mengalami kegemukan. Lebih dari separuh mengalami distorsi penilaian tubuhnya. Sebagian besar mahasiswi mengaku takut kurang leluasa bergaul dan sulit mengikuti mode pakaian serta takut menderita penyakit degeneratif bila menjadi gemuk. Sebagian besar mahasiswi mengaku berdiet untuk menurunkan berat badan.    

iv   Sebagian besar mahasiswi memiliki skor kebiasaan makan yang termasuk dalam kategori sedang dengan rata-rata skor keseluruhan sebesar 76.2 dengan standar deviasi 9.7. Makanan yang paling sering dikonsumsi oleh mahasiswi adalah nasi, telur ayam, tempe, sop kol dan wortel, mangga dan gorengan. Lebih dari separuh tingkat kecukupan energi dan protein mahasiswi tergolong defisit berat, hal ini karena sebesar 91.7% mahasiswi gemuk mengaku mengurangi asupan makanan mereka dengan cara diet yang berbeda-beda Sebagian besar mahasiswi memiliki tingkat aktivitas ringan (97.5%). Hal ini dikarenakan aktivitas mahasiswi sebagian besar merupakan rutinitas. Sebagian besar mahasiswi juga mengaku hanya berolahraga ketika sedang mendapat mata kuliah olahraga. Berdasarkan uji korelasi Spearman, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara usia dan asal daerah mahasiswi serta besar keluarga dan tingkat pendidikan ayah mahasiswi dengan persepsi kegemukan. Namun demikian terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi dengan persepsi kegemukan hal bermakna bahwa semakin besar nilai IMT maka semakin baik persepsi mahasisiwi mengenai kegemukan, selain itu juga terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pendapatan ayah dengan persepsi kegemukan mahasiswi (rs= 0.235, p=0.037), hal ini bermakna bahwa semakin tinggi pendapatan ayah mahasiswi maka semakin baik persepsi kegemukan mahasiswi. Berdasarkan uji korelasi Spearman, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan gizi mahasiswi dengan persepsi kegemukan (rs= 0.158; p= 0.165). Berdasarkan uji korelasi Pearson tidak terdapat hubungan antara persepsi kegemukan dengan kebiasaan makan mahasiswi (r=0.011; p= 0.938), hal ini bermakna semakin besar ketakutan atau penolakan mahasiswi terhadap kegemukan belum tentu mahasiswi tersebut menerapkan kebiasaan makan yang baik. Hal ini menunjukkan persepsi bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi kebiasaan makan. Berdasarkan hasil uji korelasi Pearson, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi kegemukan dengan tingkat kecukupan energi (r=-0.055; p= 0.630) dan tingkat kecukupan protein (r=-0.203; p= 0.073), semakin baik persepsi kegemukan mahasiswi belum tentu semakin baik tingkat kecukupan energi dan proteinnya. Tidak ada hubungan yang signifikan antara persepsi tentang kegemukan terhadap aktivitas fisik mahasiswi (r=-0.012; p= 0.919). Artinya, walaupun mahasiswi memiliki persepi kegemukan yang baik akan tetapi mahasiswi tidak meningkatkan aktivitas fisiknya untuk menanggulangi dan atau mencegah kegemukan. Saran yang dapat diberikan adalah sebaiknya mahasiswi memiliki kebiasaan makan seperti tidak makan makanan utama secara teratur dan tidak melakukan meal skipping, selain itu sebaiknya pihak asrama mengadakan kegiatan-kegiatan olahraga guna meningkatkan kesehatan mahasiswi TPB-IPB.

 

ANALISIS HUBUNGAN PERSEPSI KEGEMUKAN DENGAN POLA KONSUMSI PANGAN DAN AKTIVITAS FISIK MAHASISWI TINGKAT PERSIAPAN BERSAMA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

STEFANY PASANEA

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

   

 

LEMBAR PENGESAHAN Judul Penelitian

: Analisis Hubungan Persepsi Kegemukan dengan Aktivitas Fisik dan Pola Konsumsi Pangan Mahasiswi Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor

Nama

: STEFANY PASANEA

NIM

: I14070074

Menyetujui, Pembimbing I

Pembimbing II

Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS

Yayat Heryatno, SP.MPS

NIP. 19600202 198403 1 001

NIP.19690112 199601 1 003

Mengetahui Ketua Departemen

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP. 19621218 198703 1 001

Tanggal disetujui :    

 

PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas anugerah,

pertolongan

dan

penyertaanNya

sehingga

penulis

mampu

menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik. Penyusunan tugas ahkir penulis yang berjudul “Analisis Hubungan Persepsi Kegemukan dengan Pola Konsumsi Pangan dan Aktivitas Fisik Mahasiswi Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor” dilakukan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Gizi pada Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penulis pada kesempatan ini ingin mengucapkan terimakasih kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS selaku dosen pembimbing skripsi pertama dan dosen pembimbing akademik serta Yayat Heryatno, SP, MPS selaku dosen pembimbing skripsi kedua yang dengan penuh kesabaran telah meluangkan waktu dan pikirannya, memberikan arahan, masukan, kritikan dan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan tugas ahkir ini. 2. dr. Mira Dewi, MSi selaku dosen pemandu seminar dan dosen penguji skripsi serta atas saran dan masukan yang diberikan. 3. Papa dan Mama tercinta serta kakakku (Connie) atas doa dan dukungannya selama ini yang memotivasi dan menguatkan penulis melalui proses ini. 4. Kepada Dr. Ir. Irmansyach selaku Kepala Badan Pengelola Asrama yang telah memberikan izin serta para Senior Residence terutama temanku Eka Praditya dan Merita yang membantu penelitian ini serta mahasiswi TPB IPB periode 2010/2011 yang telah bersedia ikut serta dalam penelitian ini. 5. Ka Deni (GM 42) atas saran dan motivasinya selama penulis melakukan penyelesain tugas ahkir ini serta Mas Arif dan Mba Pera atas ketulusannya dalam membimbing penulis mengolah data statistik. Mba Wiwi yang senantiasa memberi semangat kepada penulis, serta kepada Mas Hendra dan Mba Suci sahabatku di perpustakaan Gizi. 6. Bensa Saragih atas doa, dukungan dan semangat yang diberikan kepada penulis terutama saat melalui masa-masa sulit penyelesaian tugas ahkir 7. Teman-temanku seperjuangan di Departemen Gizi Masyarakat Krisna dan Melda, Diaspora 44 Rico, Guntur, Afrian dan Yus, pondok bocah    

viii   Sisca, Windy, Dita, Ira, Nova, Tyas dll. Nufi, Memey,Nonly,Tyen,Mahmud, Khusnul dan Imam atas dukungannya selama ini serta teman-teman Luminaire yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu kelancaran penyelesaian tugas ahkir ini. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat dan informasi bagi semuanya. Bogor, Agustus 2011

Stefany Pasanea

 

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Makasar pada tanggal 23 September 1989. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara keluarga Bapak Freddy Pasanea dan Ibu Rica Medy Sofie. Tahun 2001 penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Karang Baru 04. Penulis melanjutkan studinya di SLTP Negeri 1 Cikarang Barat dan lulus pada tahun 2004. Selanjutnya penulis melanjutkan sekolah di SMA Negeri 1 Cikarang Utara dan lulus pada tahun 2007. Bulan Juni 2007, penulis dinyatakan diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI) di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2010 penulis menjalani Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Kabupaten Pelalawan Riau dan mengikuti Internship Dietetik di RSAB Harapan Kita Jakarta. Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis cukup aktif di organisasi kemahasiswaan. Penulis pernah menjabat sebagai Sekretaris Komisi Diaspora (2009-2010) dan Kelompok Pra-Alumni (2010-2011) Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB. Penulis pernah menjadi panitia pada acara Masa Perkenalan Departemen Gizi Masyarakat, Seminar Senzasional, Gizi Bakti Masyarakat, Kebaktian Awal Tahun (KATA), Retreat dan Camping Diaspora dan lain-lain.

   

 

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .............................................................................................

xii

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................

xiv

DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................

1

PENDAHULUAN ............................................................................................ Latar Belakang ..................................................................................... Tujuan .................................................................................................. Tujuan Umum Tujuan Khusus Hipotesis .............................................................................................. Kegunaan Penelitian ............................................................................

1 1 2 2 3 3 3

TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................... 5 Kegemukan .......................................................................................... 5 Remaja ................................................................................................. 8 Persepsi Kegemukan ........................................................................... 9 Konsumsi Pangan dan Angka Kecukupan Zat Gizi Remaja Putri ........ 11 Kebiasaan Makan ................................................................................ 12 Aktifitas Fisik ........................................................................................ 16 Besar Keluarga ..............................................................................................     16 Pengetahuan Gizi................................................................................. 16 Status Gizi ............................................................................................ 17 METODOLOGI ............................................................................................... Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ................................................ Jumlah dan Cara Penarikan Contoh .................................................... Jenis dan Cara Pengumpulan Data ..................................................... Pengolahan Data dan Analisis .............................................................

21 21 21 21 23

Definisi Operasional .......................................................................................

29

HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................... Gambaran Umum Asrama TPB IPB .................................................... Karakteristik Individu ............................................................................ Kondisi Sosial Ekonomi Keluarga Contoh............................................ Besar Keluarga ............................................................................. Tingkat Pendidikan Ayah .............................................................. Tingkat Pendapatan Ayah ............................................................ Tingkat Pengetahuan Gizi .................................................................... Persepsi terhadap Kegemukan ............................................................ Kepuasan Mahasiswi terhadap Bentuk Tubuh aktual ................... Tingkat Kepercayaan Diri ............................................................. Tingkat Ketakutan Mengalami Kegemukan .................................. Persepsi terhadap Tubuh Aktual .................................................. Harapan Bentuk Tubuh ................................................................. Persepsi Gambar Bentuk Tubuh Ideal pada Remaja ................... Hal-hal yang Ditakuti Mahasiswi Bila Menjadi Gemuk .................. Upaya Menurunkan Berat Badan dengan Berdiet ........................ Kebiasaan Makan ................................................................................ Frekuensi Konsumsi Pangan ...............................................................

31 31 32 33 33 34 35 35 38 39 40 41 42 42 43 44 46 49 58  

 

xi   Tingkat Kecukupan Konsumsi Gizi ..................................................... 62 Tingkat Kecukupan Energi ............................................................ 63 Tingkat Kecukupan Protein ........................................................... 64 KESIMPULAN DAN SARAN ..........................................................................

31

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................

68

 

DAFTAR TABEL Tabel

Halaman

Tabel 1 Angka kecukupan zat gizi (AKG) untuk remaja putri .......................

12 

Tabel 2 Klasifikasi indeks massa tubuh ........................................................

17 

Tabel 3 Cara pengumpulan data primer .......................................................

22 

Tabel 4 Nilai Physical Activity Ratio (PAR) setiap kegiatan ..........................

27 

Tabel 5 Jenis dan kategori variabel ..............................................................

28 

Tabel 6 Sebaran mahasiswi berdasarkan karakteristik individu ...................

32 

Tabel 7 Sebaran mahasiswi berdasarkan karakteristik sosial ekonomi keluarga mahasiswi ................................................

34 

Tabel 8 Sebaran mahasiswi berdasarkan item pertanyaan yang dijawab dengan benar .....................................................................

37 

Tabel 9 Sebaran mahasiswi berdasarkan tingkat pengetahuan gizi ............

38 

Tabel 10 Sebaran mahasiswi berdasarkan skor persepsi kegemukan ..........

39 

Tabel 11 Sebaran mahasiswi berdasarkan tingkat kepuasaan terhadap bentuk tubuh aktual .......................................

40 

Tabel 12 Sebaran mahasiswi berdasarkan tingkat kepercayaan diri mahasiswi terhadap tubuh aktual ...............................................................................................

40 

Tabel 13 Sebaran mahasiswi berdasarkan ketakutan mengalami kegemukan ......................................................................................

41 

Tabel 14 Sebaran mahasiswi berdasarkan status gizi dan persepsi terhadap tubuh aktual ......................................................................

42 

Tabel 15 Sebaran mahasiswi berdasarkan harapan bentuk tubuh ................

43 

Tabel 16 Sebaran mahasiswi berdasarkan upaya untuk menurunkan berat badan .....................................................................................

46 

Tabel 17 Sebaran mahasiswi berdasarkan jenis-jenis diet yang diterapkan oleh mahasiswi ..............................................................

46 

Tabel 18 Sebaran mahasiswi berdasarkan status gizi dan aktivitas fisik ..................................................................................................

48 

Tabel 19 Sebaran mahasiswi berdasarkan aktivitas fisik ...............................

49 

Tabel 20 Sebaran mahasiswi berdasarkan skor kebiasaan makan ...............

50 

Tabel 21 Sebaran mahasiswi berdasarkan kebiasaan sarapan, kebiasaan makan malam, frekuensi makan, jenis pengolahan makanan yang disukai dan konsumsi air putih ............

51 

Tabel 22 Sebaran Mahasiswi berdasarkan Kebiasaan mengonsumsi sayuran dan buah-buahan ...............................................................

53 

   

xiii   Tabel 23 Sebaran mahasiswi berdasarkan kebiasaan mengonsumsi camilan, jenis camilan yang dikonsumsi dan kebiasaan jajan di kampus ..............................................................................

55 

Tabel 24 Sebaran Mahasiswi berdasarkan Kebiasaan Mengonsumsi Fast food dan Soft drink .................................................................

57 

Tabel 25 Rata-rata frekuensi konsumsi dan asupan mahasiswi ...................

59 

Tabel 26 Rata-rata konsumsi, kecukupan dan tingkat kecukupan energi dan zat ................................................................................

63 

Tabel 27 Sebaran mahasiswi berdasarkan tingkat kecukupan energi ..........

64 

Tabel 28 Sebaran mahasiswi menurut tingkat kecukupan protein ................

65 

 

DAFTAR GAMBAR Gambar

Halaman

Gambar 1 Analisis Hubungan Persepsi Kegemukan dengan Pola Konsumsi Pangan dan Aktivitas Fisik Mahasiswi TPB-IPB ..........

20 

Gambar 2 Siluet tubuh manusia ....................................................................

43 

Gambar 3 Sebaran mahasiswi berdasarkan gambar bentuk tubuh ideal remaja ..................................................................................

44 

Gambar 4 Sebaran mahasiswi berdasarkan Gambar Bentuk Tubuh Gemuk pada Remaja ....................................................................

44 

Gambar 5 Sebaran mahasiswi berdasarkan ketakutan terhadap kegemukan ...................................................................................

45 

   

 

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran

Halaman

Lampiran 1 Kuesioner Penelitian ................................................................

74 

 

   

 

PENDAHULUAN Latar Belakang Kegemukan

merupakan

suatu

masalah

yang

cukup

merisaukan

khususnya bagi kalangan remaja putri, karena keinginan untuk tampil sempurna yang seringkali diartikan dengan memiliki tubuh ramping, langsing dan proporsional. Kegemukan dapat menjadi masalah yang penting bagi siklus perkembangan remaja. Menurut Conger & Peterson dalam Sarafino (1998), pada masa remaja biasanya remaja mulai bersibuk diri terhadap penampilan fisiknya dan ingin mengubah penampilan mereka dengan memberikan perhatian yang lebih terhadap masalah-masalah kulit, ingin memiliki tubuh yang ideal, ingin lebih tinggi atau pendek dan tentu saja memiliki berat badan yang ideal. Keinginan ini disebabkan karena remaja sering merasa tidak puas terhadap penampilan dirinya. Ketidakpuasan ini akhirnya membuat remaja merasa tidak percaya diri dan menganggap penampilannya sebagai sesuatu yang menakutkan. Kegemukan adalah dampak dari konsumsi energi yang berlebihan, dimana energi disimpan dalam tubuh sebagai lemak, sehingga akibatnya dari waktu ke waktu badan menjadi bertambah berat (Muchtadi 1996). Salah-satu kelompok usia yang rentan terhadap kegemukan adalah kelompok remaja (Tsiros et al. 2008). Masa remaja adalah tahap terahkir dari proses pertumbuhan dan perkembangan manusia. Kondisi seseorang pada masa dewasa banyak ditentukan oleh keadaan gizi dan kesehatan pada masa remaja (Husaini 1991). Data dari dua survai di Amerika yang dilakukan oleh Lembaga Survai Gizi dan Kesehatan Nasional (NHANES) pada periode 1976-1980 dan 2007-2008 menunjukkan bahwa prevalensi kegemukan terus meningkat secara nyata pada beberapa kelompok usia salah-satunya usia remaja, yakni pada kelompok 12-19 tahun prevalensinya meningkat dari 5% menjadi 18.1% (Odgen et al. 2009). Berdasarkan Riskesdas 2010, status gizi pada kelompok usia di atas 18 tahun didominasi dengan masalah obesitas dan kegemukan. Angka obesitas dan kegemukan pada perempuan cenderung lebih tinggi dibanding laki-laki. Seorang remaja yang mengalami kegemukan cenderung tidak percaya diri dan tidak puas terhadap bentuk tubuhnya serta memaksa tubuhnya untuk menjadi kurus, dan hal inilah yang mempengaruhi eating disorders seseorang (Hill & William 1998 dalam Kindes 2006). Pada umumnya remaja putri lebih tidak puas dengan keadaan tubuhnya dan memiliki lebih banyak citra diri negatif dibandingkan remaja putra (Maulana 2009).    

2   Di lain pihak remaja putri cenderung membatasi asupan makanan karena ingin tampak langsing. Pengaruh lingkungan yang menganggap tubuh kurus adalah cantik telah mempengaruhi persepsi remaja terhadap bentuk tubuh ideal. Kegemukan seringkali diidentikan dengan ketidakcantikan, ketidakmenarikan dan ketidakluwesan dalam beraktivitas (Wirakusumah 1994). Emelina diacu dalam Bani (2002) mengungkapkan berdasarkan Psychology Today’s 1997 Body Image Survey, terdapat 15% mahasiswi yang menyatakan siap menyerahkan lima tahun hidup mereka untuk ditukarkan dengan kemampuan untuk mencapai berat badan yang diinginkan. Para mahasiswi tersebut sangat berharap dapat mencapai kondisi ukuran tubuh yang ideal tergantung pada ukuran tubuh aktual yang mereka miliki sekarang. Menurut Khomsan (2003), persepsi seseorang terhadap bentuk tubuhnya akan berpengaruh terhadap perilaku makannya. Ketakutan akan kegemukan menjadikan contoh lebih berhati-hati dalam memilih makanannya (Siswanti 2007). Power dan Erickson (1989) menyatakan bahwa seseorang yang mengalami ketakutan berlebihan terhadap kegemukan dan kurang menerima bentuk tubuhnya akan melakukan diet dalam waktu lama, mengalami kelainan makan, ketergantungan akan latihan atau olahraga, dan menyalahgunakan stereoid yang digunakan untuk membentuk bagian-bagian tubuh tertentu. Penelitian yang dilakukan selama 3 tahun melaporkan bahwa remaja putri yang melakukan diet ketat ternyata memiliki kemungkinan 18 kali besar untuk menderita gangguan makan dibandingkan remaja putri yang tidak berdiet (Patton et al. 1999). Gibney et al. (2004), menyatakan bahwa diet ketat yang dilakukan pada masa remaja dapat menimbulkan defisiensi energi dan zat-zat gizi yang mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan. Melihat dampak yang dapat ditimbulkan karena masalah persepsi tentang kegemukan yang negatif khususnya dikalangan remaja, peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Analisis Hubungan Persepsi tentang Kegemukan terhadap Pola Konsumsi Pangan dan Aktivitas Fisik Mahasiswi Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor. Tujuan Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara karakteristik individu, kondisi sosial ekonomi keluarga, pengetahuan gizi dan kegemukan, serta persepsi mengenai kegemukan dengan pola konsumsi

3   pangan dan aktivitas fisik mahasiswi Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor (TPB-IPB). Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi karakteristik individu yang terdiri dari umur, status gizi (Indeks Massa Tubuh) asal daerah dan kondisi sosial ekonomi keluarga yang terdiri dari besar keluarga, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, serta pendapatan orang tua. 2. Mempelajari persepsi dan pengetahuan gizi mahasiswi TPB-IPB terkait dengan kegemukan. 3. Mempelajari konsumsi pangan yang meliputi kebiasaan makan (kebiasaan sarapan, kebiasaan makan malam, frekuensi makan, konsumsi sayur dan buah, konsumsi fast food dan soft drink, serta konsumsi camilan) dan tingkat kecukupan energi dan protein mahasiswi TPB-IPB. 4. Mempelajari aktivitas fisik sehari-hari mahasiswi TPB-IPB. 5. Menganalisis hubungan antara karakteristik individu, kondisi sosial ekonomi keluarga, persepsi tentang kegemukan, pengetahuan gizi, pola aktivitas fisik ,konsumsi pangan mahasiswi TPB-IPB. Hipotesis Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Terdapat hubungan antara karakteristik individu dan kondisi sosial ekonomi keluarga dengan persepsi mahasiswi TPB-IPB mengenai kegemukan. 2. Terdapat hubungan antara pengetahuan gizi dengan persepsi mahasiswi mengenai kegemukan. 3. Terdapat

hubungan

antara

persepsi

mahasiswi

mengenai

kegemukan dengan pola konsumsi pangan mahasiswi TPB-IPB. 4. Terdapat

hubungan

antara

persepsi

mahasiswi

mengenai

kegemukan dengan aktivitas fisik mahasiswi TPB-IPB. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah keilmuan mengenai persepsi kegemukan, pengetahuan gizi, konsumsi pangan, aktivitas fisik,

4   pengetahuan gizi dan status gizi mahasiswi TPB dalam rangka meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat khususnya mahasiswi di Institut Pertanian Bogor. Selain itu, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan melalui penyuluhan untuk mahasiswi agar memiliki persepsi terhadap kegemukan  yang baik sehingga dapat mencegah kegemukan sejak masa remaja dengan menerapkan pola hidup yang sehat dan pola makan yang beragam serta tidak melakukan diet-diet ketat yang membahayakan tubuh.

 

TINJAUAN PUSTAKA Kegemukan Kegemukan terjadi karena ketidakseimbangan antara asupan energi yang relatif berlebih ataupun karena asupan lemak yang berlebih. Diet tinggi lemak biasanya padat energi dan memberikan rasa yang lezat, maka diet dengan mengonsumsi makanan yang relatif banyak mengandung lemak biasanya akan menimbulkan peningkatan pasif asupan energi (Gibney et al. 2004). The World Health Organization (WHO) dan The U.S. National Institut of Health (NIH) mendefinisikan kegemukan jika BMI seseorang berada pada kisaran 25 – 29.9 kg/m2 (Robinson & Thomas 2006). Selain itu, menurut Suitor dan Hunter diacu dalam Gibney et al. (2004) yang dimaksud dengan kelebihan berat badan (kegemukan) adalah kelebihan berat badan di atas 20% dari berat normal. Beberapa faktor utama penyebab kegemukan adalah genetik, fisiologis, makanan, dan gaya hidup (Jequire & Tappy 1999). Dua faktor terahkir dapat dimodifikasi untuk menurunkan berat tubuh. Santrock (1999) mengemukakan beberapa penyebab terjadinya kegemukan, yaitu (a) faktor genetis; (b) faktor taraf metabolisme dasar dalam tubuh; (c) faktor sosial ekonomi. Faktor Genetis Seorang individu yang memiliki berat badan gemuk (kegemukan) menurut pandangan genetis ini, dikarenakan keturunan kondisi orang tua yang juga memiliki badan gemuk. Dalam penelitian yang dilakukan Bouchard dalam Santrock (1999), terbukti sebanyak 25-75% orang yang gemuk karena orang tuanya yang berbadan gemuk. Leptin adalah salah-satu faktor genetik yang menyebabkan terjadinya kegemukan. Leptin adalah protein yang dihasilkan oleh sel adipose. Leptin yang dihasilkan ini dialirkan dalam darah menuju hipotalamus untuk mengontrol penyimpanan lemak atau bekerja dalam hal keseimbangan energi (Wiseman 2002). Jika leptin dalam darah meningkat maka kadar insulin menurun sehingga akan mengurangi nafsu makan. Pada orang kegemukan atau mengalami kelebihan berat badan, kadar leptin dalam darahnya rendah sekali (Stewart & Mann 2007). Rendahnya kadar leptin inilah yang menyebabkan seseorang lama kelamaan menjadi obes, karena tidak ada yang mengontrol nafsu makan individu tersebut. Rusaknya leptin, salah-satunya disebabkan oleh faktor genetik.

   

6  

 

 

Menurut D’Adamo (2009), seseorang yang mengalami kelebihan berat badan, kadar leptin dalam tubuhnya akan meningkat, tetapi fungsinya terhambat. Pada penderita obesitas kadar leptin meningkat seiring dengan meningkatnya kadar insulin, hal inilah yang membuat para peneliti percaya bahwa resistensi leptin merupakan pemicu resistensi insulin. Leptin merupakan hormon yang berhubungan denga gen obesitas. Leptin mempengaruhi kerja hipotalamus dalam mengatur jumlah lemak tubuh, kemampuan membakar lemak menjadi energi dan rasa kenyang (rasa setelah cukup makan). Leptin adalah hormon yang berfungsi untuk menurunkan nafsu makan dan memicu tubuh untuk menggunakan energi lebih banyak. Pada keadaan leptin resisten tubuh menjadi tidak peka terhadap rangsangan hormon leptin sehingga fungsi hormon menjadi tidak optimal yang mendorong terjadinya obesitas dan gangguan metabolisme tubuh yang lain. Leptin juga turut membantu kerja hormon insulin yaitu hormon yang berfungsi merangsang sel-sel tubuh untuk menurunkan gula darah (D’Adamo 2009). Metabolisme dalam Tubuh Seorang individu yang cenderung banyak beristirahat dan kurang melakukan aktifitas, berarti energi yang tersimpan dalam tubuh semakin banyak, sebab penggunanan energi tersebut tergolong rendah. Sementara itu, ia harus menerima input makan secara wajar setiap hari. Dengan demikian, tidak ada keseimbangan antara input dengan outputnya. Akibatnya, terjadilah penumpukan energi, ini berarti terjadi proses pembesaran sel-sel adiposa. Dengan demikian individu mengalami kegemukan. Pada tingkat kegemukan, kapasitas dan efisiensi kerja menurun, juga daya tahan tubuh menurun, yang tampak pada morbiditas serta mortalitas yang meningkat. Seseorang yang menderita kegemukan lebih cepat menjadi lelah. Lama hidup (life span) orang gemuk juga lebih pendek dibandingkan dengan jangka hidup orang yang mempunyai berat badan ideal. Orang yang mengalami kegemukan akan lebih cepat merasa kepanasan badannya dan cepat berkeringat (Suhardjo 2000). Pada orang yang gemuk, tempat-tempat penimbunan cadangan zat gizi sudah penuh, atau tidak dapat menampung lagi simpanan, dan kelebihan za gizi yang masih tersisa disimpan di tempat-tempat lain yang tidak biasa. Terjadi penimbunan lemak di sekitar organ-organ dalam yang vital, seperti jantung, ginjal

7  

 

 

dan hati. Keadaan ini akan menghambat fungsi dari organ-organ penting tersebut (Suhardjo 2000). Faktor Sosial Ekonomi Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak, dan anggota keluarga lain yang hidup dari pengelolaan sumberdaya

yang

sama.

Besar

keluarga

dapat

mempengaruhi

tingkat

pengeluaran rumah tangga. Besar keluarga dapat mempengaruhi jumlah pangan yang dikonsumsi dan pembagian ragam yang dikonsumsi dalam keluarga. Kualitas maupun kuantitas pangan secara langsung akan menentukan status gizi keluarga dan individu. Menurut Suhardjo (1994), semakin banyak anggota keluarga, maka makanan untuk setiap orang akan berkurang. Pendapatan keluarga atau pendapatan orang tua adalah jumlah semua hasil perolehan yang didapat oleh anggota keluarga dalam bentuk uang sebagai hasil pekeerjaan yang dinyatakan dalam pendapatan per kapita. Pendapatan menentukan daya beli terhadap pangan dan fasilitas lain, seperti pendidikan, perumahn, kesehatan, dan lain-lain (Hardinsyah 1997). Hukum Bennet menyatakan bahwa semakin meningkat pendapatan seseorang maka konsumsi pangan akan bergeser kearah konsumsi pangan dengan harga kalori yang lebih mahal seperti pangan hewani yang kandungan proteinnya lebih tinggi (Holman 1987). Pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang pertumbuhan anak karena orang tua dapat menyediakan semua kebutuhan baik primer maupun sekunder (Soetjiningsih 1994). Besar pendapatan yang diterima oleh individu akan dipengaruhi oleh jenis pekerjaan yang dilakukan. Tingkat pendidikan akan berhubungan dengan jenis pekerjaan seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan semakin besar (Suhardjo 1989). Santrock (1999) mencatat bahwa remaja perempuan yang berasal dari status sosial ekonomi yang rendah cenderung memilki berat badan yang gemuk dibandingkan dengan remaja perempuan yang berasal dari status ekonomi tinggi. Santrock tidak menyebutkan alasan dasar yang menjadi penyebab kegemukan tersebut. Kemungkinan timbulnya kegemukan tersebut disebabkan seberapa intesitas perhatian individu terhadap perawatan fisiknya. Mereka yang mapan secara ekonomis, lebih memiliki perhatian yang tinggi. Mereka mungkin akan merasa cemas jika berat badannya mengalami kenaikan secara cepat, oleh

8  

 

 

karena itu, mereka segera melakukan perawatan intensif dengan bantuan tenaga profesional (ahli gizi, dokter, fitness trainer) serta membeli bahan-bahan untuk merampingkan tubuhnya. Pola Konsumsi Penellitian yang dilakukan oleh Levitsky dan Trisha (2004) pada mahasiswa tingkat I di Cornell University menunjukkan semakin banyak makanan yang disediakan, semakin banyak mereka mengalami kelebihan makanan. Hal ini perlu diwaspadai oleh masyarakat Indonesia yang makan dalam jumlah banyak sehari-harinya, atau keluarga-keluarga yang memenuhi kulkasnya dengan segala macam makanan, terutama makanan yang dikenal dengan istilah junk food (Harahap 2009). Remaja Istilah remaja atau aldolescence berasal dari bahasa latin aldolescere yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa” (Hurlock 1994). Gunarsa dan Gunarsa (1990) berpendapat tahap perkembangan remaja umumnya disebut pancaroba atau masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju kedewasaan. Menurut Sarwono (2003), berdasarkan tahap perkembangan masa remaja dapat dibagi menjadi dua tahap yaitu remaja awal (14-17 tahun untuk laki-laki dan 1317 tahun untuk remaja perempuan) dan tahap remaja ahkir (19-21 tahun untuk laki-laki dan remaja perempuan). Ciri-ciri tahap remaja awal yaitu terjadi perubahan fisik dan kejiwaan yang pesat. Perubahan kejiwaan menyebabkan perubahan sikap terhadap diri sendiri maupun orang lain sedangkan pertumbuhan fisik pada tahap ini terjadi sangat pesat dibandingkan tahap ahkir, masa peningkatan emosi, masa tidak stabil (cepat bosan, sulit berkonsentrasi dan lain-lain), merasa banyak masalah. Ciri-ciri remaja tahap ahkir yaitu lebih stabil dalam emosi, minat, konsentrasi dan cara berpikir, bertambah realistis, bertambah kemampuan untuk memecahkan masalah, tidak terganggu lagi dengan perhatian orang tua yang kurang, dan pertumbuhhan fisik pada tahap ini lambat. Adapun dalam masa pertumbuhan, status gizi remaja tidak hanya dipengaruhi faktor ekonomi tetapi juga dipengaruhi oleh faktor budaya seperti kebiasaan makan. Kebiasaan makan yang

buruk pada waktu remaja

memungkinkan terjadinya gizi kurang atau obesitas (Alexander 1994). Menurut Hurlock (1991), selama masa remaja terjadi perubahan dalam tinggi badan, berat

9  

 

 

badan, proporsi tubuh, organ seks, dan perkembangan ciri-ciri seks sekunder seperti payudara, suara, rambut, dan sebagainya. Perubahan internal tubuh yang terjadi pada masa remaja meliputi perkembangan sistem pencernaan, sistem peredaran darah, sistem pernafasan, sistem endokrin, dan jaringan tubuh terutama otot. Persepsi Tentang Kegemukan Kotler

(2000)

menjelaskan

persepsi

sebagai

proses

bagaimana

seseorang menyeleksi, mengatur dan menginterpretasikan masukan-masukan informasi untuk menciptakan gambaran keseluruhan yang berarti. Mangkunegara diacu dalam Arindita (2002) berpendapat bahwa persepsi adalah suatu proses pemberian arti atau makna terhadap lingkungan. Dalam hal ini persepsi mencakup penafsiran obyek, penerimaan stimulus (input), pengorganisasian stimulus, dan penafsiran terhadap stimulus yang telah diorganisasikan dengan cara mempengaruhi perilaku dan pembentukan sikap. Walgito (1993) mengemukakan bahwa persepsi seseorang merupakan proses aktif yang memegang peranan, bukan hanya stimulus yang mengenainya tetapi juga individu sebagai satu kesatuan dengan pengalaman-pengalamannya, motivasi serta sikapnya yang relevan dalam menanggapi stimulus. Individu dalam hubungannya dengan dunia luar selalu melakukan pengamatan untuk dapat mengartikan rangsangan yang diterima dan alat indera dipergunakan sebagai penghubungan antara individu dengan dunia luar. Agar proses pengamatan itu terjadi, maka diperlukan objek yang diamati alat indera yang cukup baik dan perhatian merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam mengadakan pengamatan. Leavitt diacu dalam Rosyadi (2001) membedakan persepsi menjadi dua pandangan, yaitu pandangan secara sempit dan luas. Pandangan yang sempit mengartikan persepsi sebagai penglihatan, bagaimana seseorang melihat sesuatu. pandangan yang luas mengartikannya sebagai bagaimana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu. Sebagian besar dari individu menyadari bahwa dunia yang sebagaimana dilihat tidak selalu sama dengan kenyataan, jadi berbeda dengan pendekatan sempit, tidak hanya sekedar melihat sesuatu tapi lebih pada pengertiannya terhadap sesuatu tersebut. Walgito diacu dalam Hamka (2002) menyatakan bahwa terjadinya persepsi merupakan suatu yang terjadi dalam tahap-tahap berikut. Tahap pertama, merupakan tahap yang dikenal dengan nama proses kealaman atau

10  

 

 

proses fisik, merupakan proses ditangkapnya suatu stimulus oleh alat indera manusia. Tahap kedua, merupakan tahap yang dikenal dengan proses fisiologis, merupakan proses diteruskannya stimulus yang diterima oleh reseptor (alat indera) melalui saraf-saraf sensoris. Tahap ketiga, merupakan tahap yang dikenal dengan nama proses psikologik, merupakan proses timbulnya kesadaran individu tentang stimulus yang diterima reseptor. Tahap ke empat, merupakan hasil yang diperoleh dari proses persepsi yaitu berupa tanggapan dan perilaku. Menurut Newcomb diacu dalam Arindita (2003), ada beberapa sifat yang menyertai proses persepsi, yaitu Konstansi (menetap) dimana individu mempersepsikan seseorang sebagai orang itu sendiri walaupun perilaku yang ditampilkan berbeda-beda. Selektif adalah persepsi dipengaruhi oleh keadaan psikologis si perseptor. Dalam arti bahwa banyaknya informasi dalam waktu yang bersamaan dan keterbatasan kemampuan perseptor dalam mengelola dan menyerap informasi tersebut, sehingga hanya informasi tertentu saja yang diterima dan diserap. Proses organisasi yang selektif adalah beberapa kumpulan informasi yang sama dapat disusun ke dalam pola-pola menurut cara yang berbeda-beda. Oskamp diacu dalam Hamka (2002) membagi empat karakteristik penting dari faktor-faktor pribadi dan sosial yang terdapat dalam persepsi, yaitu faktor-faktor ciri dari objek stimulus. Kedua adalah faktor-faktor pribadi seperti intelegensi, minat. Ketiga faktor-faktor pengaruh kelompok. Keempat adalah faktor-faktor perbedaan latar belakang kultural. Pada hakekatnya sikap adalah merupakan suatu interelasi dari berbagai komponen, dimana komponen-komponen tersebut menurut Allport (dalam Mar'at, 1991) ada tiga yaitu, komponen kognitif yaitu komponen yang tersusun atas dasar pengetahuan atau informasi yang dimiliki seseorang tentang obyek sikapnya. Melalui pengetahuan ini kemudian akan terbentuk suatu keyakinan tertentu tentang obyek sikap tersebut. Kedua adalah komponen Afektif, komponen ini berhubungan dengan rasa senang dan tidak senang, sehingga sifatnya evaluatif yang berhubungan erat dengan nilai-nilai kebudayaan atau sistem nilai-nilai yang dimilikinya. Ketiga merupakan Komponen Konatif yaitu merupakan komponen kesiapan seseorang untuk bertingkah laku. Komponen ini menunjukkan intensitas sikap, yaitu menunjukkan besar kecilnya kecenderungan bertindak atau berperilaku seseorang terhadap objek sikap. Sikap merupakan predisposing untuk merespons, untuk berperilaku Rokeach (Walgito 2003).

11  

 

 

Penelitian di kota Bogor menunjukkan sekitar 20% remaja perempuan yang memiliki status gizi yang normal beranggapan dirinya gemuk (Hardinsyah 1998 diacu dalam Hardinsyah 2007). Sedangkan data survey IMT yang dilakukan oleh Depkes (2003) dalam Hardinsyah (2007) menunjukkan bahwa seperenam jumlah perempuan yang bergizi baik takut mengalami kegemukan. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kekhawatiran mengalami kegemukan dan ada usaha untuk mencegah peningkatan prevalensi kegemukan. Perempuan yang mengalami kegemukan atau obesitas kebanyakan merasa tidak puas terhadap bentuk tubuhnya (Foster et al.1997 diacu dalam Sarwer, Foster, dan Wadden 2004). Ketidakpuasaan ini seringkali berimplikasi pada sikap yang merugikan. Seorang remaja putri berpikir untuk melakukan diet untuk membentuk tubuhnya seperti para model. Kondisi ini membuat remaja tersebut melakukan diet yang berarti membatasi dengan cermat konsumsi kalori atau jenis makanan tertentu yang bisa membuat berat badan berkurang dan tubuh tetap sehat atau sebalikya membahayakan diri sendiri (Notoatmodjo 2007). Selain

itu,

persepsi

seseorang

terhadap

bentuk

tubuhnya

akan

berpengaruh terhadap perilaku makannya. Ketakutan yang berlebihan terhadap kegemukan akan mendorong seseorang untuk melakukan diet. Diet yang terlalu keras akan mengakibatkan seseorang menderita anoreksia dan bulimia. Menurut Khomsan (2003), penderita bulimia mengonsumsi makanan dalam jumlah yang wajar atau bahkan memiliki nafsu makan seperti orang yang obesitas namun setelah semua makanan itu masuk, mereka berusaha mengeluarkannya kembali melalui mulut atau dibantu dengan obat pencahar. Penderita anoreksia cenderung melakukan pembatasan konsumsi makanan yang tidak wajar, sehingga berat badan mereka cenderung kurus. Konsumsi Pangan dan Angka Kecukupan Zat Gizi Remaja Putri Pangan merupakan istilah umum yang digunakan untuk semua bahan yang dapat dijadikan makanan, sedangkan makanan ialah bahan selain obat yang mengandung zat-zat gizi yang berguna bagi tubuh. Makanan sehari-hari yang dipilih dengan baik akan memberikan semua zat gizi yang dan dibutuhkan untuk fungsi normal tubuh. Sebaliknya bila makanan tidak dipilih dengan baik, tubuh akan mengalami kekurangan zat-zat gizi essensial yang merupakan zat gizi yang harus diperoleh dari makanan (Almatsier 2002).

12  

 

 

Menurut Hardinsyah dan Martianto (1992), konsumsi pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang dimakan seseorang atau sekelompok orang (keluarga atau rumah tangga) pada waktu tetentu. Manusia memerlukan sejumlah zat gizi agar dapat hidup sehat dan mempertahankan hidupnya. Oleh karena itu, jumlah zat gizi ynag diperoleh melalui konsumsi pangan harus mencukupi kebutuhan tubuh untuk melakukan kegiatan (internal dan eksternal), pemeliharaan tubuh, dan pertumbuhan bagi orang dewasa dan lansia. Angka kecukupan gizi adalah jumlah masing-masing zat gizi yang sebaiknya dipenuhi seseorang menurut golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, dan aktifitas agar hamper semua orang sehat. Angka kecukupan zat gizi yang dianjurkan untuk remaja putri dengan berat badan 50 kg menurut WKNPG 2004 adalah sebagai berikut: Tabel 1 Angka kecukupan zat gizi (AKG) untuk remaja putri Zat gizi Energi (Kal) Protein (g)

AKG (16-18 tahun)

AKG (19-21 tahun)

2200 50

1900 50

Sumber: Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi Kebiasaan Makan Kebiasaan makan pada remaja saat ini lebih sering diamati dibandingkan kebiasaan makan pada orang dewasa ataupun pada usia lain. Hal ini dikarenakan pada remaja seringkali ditemui kebiasaan makan yang tidak biasa seperti konsumsi camilan yang berlebihan, seringnya makan di luar rumah khususnya konsumsi fast food, penerapan diet yang salah, dan meal skipping (Stang 2000 ). Banyak faktor yang mempengaruhi hal ini, antara lain adalah berkurangnya pengaruh dari keluarga dan meningkatnya pengaruh lingkungan dalam hal pemilihan makanan dan kesehatan, peningkatan iklan-iklan makanan di media, dan lain sebagainya. Sebagian besar remaja sadar akan pentingnya mempertimbangkan faktor gizi dan kesehatan dalam melakukan pemilihan makanan, akan tetapi banyak aspek yang mempengaruhi mereka dalam memilih makanan dan minuman (Story et al. 2002b). Menurut Sztainer et al. (1999), selera, waktu, dan kenyamanan merupakan faktor utama yang mempengaruhi remaja dalam memilih makanan dan minuman.

13  

 

 

Remaja mempunyai kecenderungan untuk mengonsumsi makanan di luar rumah, memilih makanan yang dianggap popular dan meningkatkan gengsi, serta mempunyai kebiasaan makan yang tidak teratur (Bourne 1979). Kebiasaan makan yang kurang baik pada remaja dan keinginan untuk terlihat langsing, khususnya remaja putri seringkali menimbulkan gangguan makan atau eating disorders (Bruess 1989). Kebiasaan makan merupakan tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi kebutuhannya akan makan yang meliputi sikap, kepercayaan dan pemilihan makanan. Sikap orang terhadap makanan dapat bersikap positif atau negatif. Menurut Suhardjo (1994), kebiasaan makan merupakam cara individu atau kelompok individu memilih pangan dan mengonsumsi sebagai reaksi terhadap pengaruh psikologi, fisiologi, budaya, dan sosial. Kebiasaan Sarapan Pagi Meal skipping merupakan kebiasaan makan yang sering dilakukan oleh remaja. Salah-satu waktu makan yang sering dilewatkan oleh remaja adalah sarapan pagi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Story et al. (2002) ditemukan bahwa sarapan merupakan waktu makan yang paling sering dilewatkan oleh remaja khususnya remaja perempuan. Berdasarkan data nasional di Amerika 24% remaja perempuan melewatkan waktu sarapan setiap harinya (Lin et al. 1996). Adapun alasan remaja melewatkan waktu sarapannya bermacam-macam mulai dari sibuk, untuk mencegah rasa kantuk saat sekolah/kuliah, serta menurunkan berat badan dengan membatasi asupan kalori. Menurut Gleason et al. (2001), sarapan dilewatkan oleh 15% remaja berumur 9-13 tahun, 34% oleh remaja perempuan berusia 14-19 tahun. Melewatkan sarapan dihubungkan dengan status kesehatan yang kurang baik termasuk indeks massa tubuh yang tinggi, penurunan konsentrasi belajar, peningkatan resiko kekurangan zat gizi terutama kalsium dan serat (Affenito et al. 2005). Salah-satu kebiasaan makan yang sehat adalah membiasakan diri untuk sarapan pagi dan mengonsumsi makanan sehat. Menurut Radita (2007), seseorang yang tidak sarapan akan merasa lebih lapar pada siang dan malam hari daripada mereka yang sarapan, sehingga memacu mereka untuk mengonsumsi lebih banyak makanan pada siang hari dan malam hari. Mengonsumsi makanan yang banyak pada malam hari akan berakibat pada

14  

 

 

meningkatnya glukosa yang akan disimpan sebagai glikogen, karena aktivitas pada malam hari rendah. Konsumsi Buah dan Sayur Menurut (Drapeau et al. 2004), konsumsi buah dan sayuran dapat mencegah kejadian kegemukan karena dapat mengurangi rasa lapar dan tidak menimbulkan kelebihan lemak dan sebagainya. Buah dan sayur dapat menjadi makanan selingan yang sangat baik karena mengenyangkan,rendah lemak, serta kaya akan vitamin yang diperlukan oleh tubuh (Pratiwi 2010). Menurut Hui (1985), sayur dan buah dapat mencegah kejadian obesitas karena dapat mengurangi rasa lapar namun tidak menimbulkan kelebihan lemak, kolesterol, dan sebagainya. Sayur dan buah umumnya mengandung serat kasar yang dapat membantu melancarkan pencernaan dan mencegah konstipasi. Banyak orang yang kurang menyukai sayuran dalam menu makanan dengan alasan karena rasanya yang kurang enak. Pola makan keluarga tertentu yang tidak mengutamakan sayuran dan buah dalam menu makanan utama menambah parah kurangnya asupan sayuran. Frekuensi Makan Menurut Khomsan (2003) bahwa frekuensi makan yang baik adalah 3 kali dalam sehari untuk menghindarkan kekosongan lambung. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Priyanto (2007) terbukti bahwa kelebihan frekuensi makan makanan utama dan kelebihan asupan energi merupakan faktor risiko kejadian kegemukan. Frekuensi makan yang tidak teratur dan jarak antara waktu makan yang terlalu panjang menyebabkan adanya kecenderungan untuk makan yang lebih banyak dan melebihi kebutuhan (Wirakusumah 1994). Menurut Gunawan (1997), untuk memperoleh tubuh yang langsing dan menarik banyak remaja putri yang tidak mau makan pagi, mengurangi frekuensi makan, dan melakukan diet yang berlebihan. Fast Food dan Soft Drink Kegemukan terutama berkaitan dengan pola makan. Fast food (makanan cepat saji), snack, dan soft drink termasuk makanan dan minuman tidak sehat yang dapat memicu kegemukan. Fast food adalah makanan yang mengandung gula dan lemak tinggi, tetapi kandungan seratnya rendah. Hal yang sama juga

15  

 

 

dikemukakan oleh Kestler (1995) bahwa sebagian besar fast food tinggi kandungan kalori, lemak, garam, dan gulanya, akan tetapi rendah kandungan gizinya. Kebiasaan mengonsumsi fast food yang berlebihan dan tidak dikombinasikan dengan buah dan sayuran segar sebagai sumber serat telah memicu berbagai macam penyakit (Wirakusumah 2007). Fast food yang popular saat ini adalah hamburger, kentang goreng (french fries), pizza, doughnuts, fried chicken, dan hot dogs. Menurut Stang (2000), alasan remaja banyak mengonsumsi fast food adalah harganya yang murah, jarak restoran fast food yang dekat dengan kampus/sekolah mereka, kenyamanan, serta rasa dari fast food yang cocok dengan selera remaja. Nilai kunjungan tertinggi remaja ke restoran fast food yaitu pada waktu pulang sekolah, kemudian saat ahkir pekan dan pada saat makan malam. Minuman ringan (soft drink) memiliki kandungan gula yang tinggi sehingga berat badan akan cepat bertambah bila mengonsumsi minuman ini. Kegemukan

dapat

dicegah

sejak

dini.

Kegemukan

pada

anak

dapat

berkelanjutan hingga dewasa dan sulit diatasi (Aini 2008). Konsumsi Camilan Menurut Wirakusumah (1994), kebiasaan mengonsumsi camilan dapat berdampak baik dan buruk. Camilan yang sehat adalah camilan yang jika dikonsumsi dapat menyumbangkan sejumlah zat gizi yang signifikan tanpa menurunkan selera makan seperti cracker gandum, buah-buahan, dan lain-lain,. Namun apabila camilan yang dikonsumsi tinggi lemak, tinggi gula namum rendah zat gizi, maka akan berakibat buruk salah-satunya adalah risiko terjadinya kegemukan. Konsumsi camilan tidak hanya dilakukan pada saat santai akan tetapi juga dilakukan saat seseorang mengalami stres. Menurut Khomsan (2002) diacu dalam Sugiharti (2003), stres akan merangsang dihasilkannya hormon adrenalin secara berlebihan dan menyebabkan jantung berdebar cepat. Produksi hormon adrenalin ini akan membutuhkan zat gizi seperti vitamin-vitamin B, mineral Zn, kalium, dan kalsium. Oleh karena itu, stres yang berkepanjangan tidaklah menguntungkan, sebab zat-zat gizi untuk memproduksi hormon adrenalin akan semakin terkuras. Ketika seseorang mengalami tekanan psikologis terjadi penurunan kadar glukosa darah yang menyebabkan rasa lapar (Wirakusumah 2001).

16  

 

 

Aktifitas Fisik Aktifitas fisik menentukan kondisi kesehatan seseorang. Aktifitas fisik adalah gerakan yang dilakukan otot-otot tubuh dan sistem penunjangnya. Selama melakukan aktifitas fisik, otot membutuhkan energi untuk menghantarkan zat-zat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh dan mengeluarkan sisa-sisa tubuh. Banyaknya energi yang dibutuhkan tergantung pada berapa banyak otot yang bergerak, berapa lama dan berapa berat pekerjaan yang dilakukan (Almatsier 2002). Kategori tingkat aktifitas Physical Activity Level (PAL) dibedakan menjadi tiga, yaitu aktifitas ringan, sedang dan berat. Aktifitas fisik ringan memiliki nilai PAL antara 1.40-1.69. Seseorang yang mempunyai aktifitas fisik yang ringan menggunakan kendaraan untuk transportasi, tidak berolahraga, dan cenderung meluangkan waktu hanya untuk kegiatan yang dilakukan dengan duduk dan berdiri, dengan sedikit gerakan tubuh. Aktifitas fisik sedang memiliki nilai PAL 1.70-1.99. Seseorang yang mempunyai tingkat aktifitas fisik sedang tidak memerlukan energi yang besar, namun kebutuhan energi pada kegiatan ini lebih tinggi daripada kegiatan aktifiats ringan. Aktifitas fisik berat memiliki nilai PAL 2.00-2.39. Aktifitas berat dilakukan oleh seseorang yang melakukan kerja berat dalam waktu yang lama (FAO/WHO/UNU 2001). Pengetahuan Gizi Faktor yang mempengaruhi gaya hidup seseorang adalah kondisi sosial ekonomi dan pengetahuan gizi yang diperoleh individu tersebut. Pengetahuan gizi adalah pemahaman seseorang tentang ilmu gizi, zat gizi terhadap status gizi dan kesehatan. Pengetahuan gizi yang baik dapat menghindarkan seseorang dari kebiasaan makan yang tidak sehat. Pengetahuan gizi dapat diperoleh melalui pendidikan formal ataupun informal. Selain itu, pengetahuan gizi juga dapat diperoleh dengan melihat, mendengar sendiri atau melalui alat-alat komunikasi, seperti membaca surat kabar dan majalah, mendengar siaran radio dan menyaksikan siaran televisi ataupun penyuluhan gizi. Perilaku makan seseorang dapat dipengaruhi oleh pengetahuan gizi yang dimilikinya. Menurut Burn, George, dan Caterson diacu dalam Yusra (1998) menyatakan

bahwa

seseorang

yang

memiliki

pengetahuan

gizi

akan

mempraktekkan pengetahuan yang mereka miliki melalui perilaku gizi yang baik. Salah-satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan gizi seseorang atau masyarakat adalah dengan pendidikan gizi (Berg 1986).

17  

 

 

Pendidikan gizi banyak berpengaruh dalam mengatasi masalah gizi dan kesehatan. Pendidikan formal yang tinggi, jika tidak disertai dengan pengetahuan gizi yang memadai akan memberikan dampak negatif terhadap masalah gizi (Hanum 1989). Hasil penelitian Andriani (1998) memperlihatkan semakin baik pengetahuan seseorang, akan semakin positif sikapnya terhadap gizi. Menurut Harper, Deaton, dan Driskel (1988), pengetahuan gizi dapat mempengaruhi seseorang dalam jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Status Gizi Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan dan penggunaan zat gizi makanan (Sunarti 2004). Status gizi merupakan tanda-tanda atau penampilan seseorang akibat keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran yang berasal dari pangan yang dikonsumsi. Status gizi seseorang, pada dasarnya merupakan gambaran kesehatan sebagai refleksi dari konsumsi pangan dan penggunaannya oleh tubuh. Penentuan status gizi dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu pengukuran antropometri, pemeriksaan biokimia, pemeriksaan klinis, dan pengukuran dietary intake. Metode yang paling sering digunakan adalah pengukuran antropometri. Indikator antropometri antara lain adalah IMT atau Indeks Massa Tubuh (IMT=BMI, Body Mass Index). IMT merupakan pembagian berat badan (dalam kilogram) terhadap kuadrat tinggi badan (dalam M) (Sunarti 2004). Klasifikasi berat badan berdasarkan IMT pada penduduk Asia dewasa dapat dilihat pada Tabel 2 dibawah ini. Tabel 2 Klasifikasi indeks massa tubuh Klasifikasi IMT Kurus <18.5 Normal 18.5-24.9 Gemuk 25-30 Obes ≥30 Sumber: WHO (2003) diacu dalam Sunarti (2004)

 

KERANGKA PEMIKIRAN Kegemukan bagi remaja putri merupakan permasalahan yang cukup berat, karena remaja putri berkeinginan untuk tampil sempurna yang seringkali diartikan dengan memiliki tubuh ramping, langsing dan proporsional. Kegemukan dapat menjadi masalah yang penting bagi siklus perkembangan remaja. Seorang remaja yang mengalami kegemukan cenderung tidak percaya diri dan tidak puas terhadap bentuk tubuhnya serta memaksa tubuhnya untuk menjadi kurus, dan hal inilah yang mempengaruhi eating disorders seseorang (Hill & William 1998 dalam Kindes 2006). Pada umumnya remaja perempuan lebih tidak puas dengan keadaan tubuhnya dan memiliki lebih banyak citra diri negatif dibandingkan remaja pria (Maulana 2009). Di lain pihak remaja putri cenderung membatasi asupan makanan karena ingin tampak langsing. Pengaruh lingkungan yang menganggap tubuh kurus adalah cantik telah mempengaruhi persepsi remaja terhadap bentuk tubuh ideal. Adapaun faktor-faktor yang merupakan input bagi terbentuknya perilaku seseorang dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu faktor intrinsik (faktor yang berasal dari dalam diri seseorang) dan faktor ekstrinsik (faktor yang berasal dari luar diri seseorang). Faktor intrinsik terdiri dari status gizi, umur dan asal daerah. Sedangkan faktor ekstrinsik terdiri dari besar keluarga, pendidikan, pekerjaan serta pendapatan ayah. Kedua faktor tersebut mempengaruhi perilaku seseorang, perilaku yang dipelajari dalam penelitian ini adalah pola konsumsi pangan dan aktivitas fisik. Adapun aktifitas fisik meliputi aktifitas sehari-hari yang dilakukan oleh mahasiswi. Kebiasaan makan merupakan cara individu atau kelompok individu memilih pangan dan mengonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologik, psikologik, sosial dan budaya (Soehardjo 1989). Aspek kebiasaan makan yang diteliti dalam penelitian ini adalah frekuensi makan, kebiasaan megonsumsi buah dan sayuran, kebiasaan mengonsumsi fast food dan soft drink, serta kebiasaan mengonsumsi camilan. Persepsi dan pengetahuan gizi yang terkait dengan kegemukan menentukan status gizi dan kesehatan seseorang. Status gizi dan kesehatan seseorang sangat berkaitan dengan seberapa jauh pola kebiasaan perilaku orang tersebut. Kebiasaan perilaku yang sehat akan memberi pengaruh positif pada kesehatannya, sebaliknya kebiasaan yang salah cenderung memberi dampak negatif. Status gizi tergantung dari tingkat konsumsi. Tingkat konsumsi    

19  

 

 

ditentukan oleh kualitas serta kuantitas hidangan (Suhardjo 2000). Adapun status gizi yang diteliti dalam penelitian ini adalah IMT (Indeks Massa Tubuh) mahasiswi TPB-IPB.

 

KERANGKA PEMIKIRAN

-

Faktor Intrinsik Umur Status gizi Asal daerah

Pengetahuan Gizi dan Kegemukan

-

Persepsi tentang kegemukan

Teman sebaya

Aktivitas fisik Hari kuliah dan hari libur

Faktor ekstrinsik Keadaan sosial ekonomi Besar keluarga Pendidikan Ayah Pekerjaan Ayah Pendapatan Ayah

-

Pola Konsumsi Pangan Kebiasaan makan Konsumsi Pangan Frekuensi Konsumsi Pangan

Media komunikasi

Gaya hidup - Kebiasaan merokok - Konsumsi alkohol

Tingkat Kecukupan Energi dan Protein

Gambar 1 Analisis Hubungan Persepsi Kegemukan dengan Pola Konsumsi Pangan dan Aktivitas Fisik Mahasiswi TPB-IPB : Variabel yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti : Hubungan yang diteliti : Hubungan yang tidak diteliti

   

 

METODOLOGI Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai Analisis Hubungan Persepsi tentang Kegemukan dengan Pola Konsumsi Pangan dan Aktivitas Fisik Mahasiswi Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor ini menggunakan desain cross sectional study. Penelitian ini dilakukan di Asrama Putri mahasiswi Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor. Pemilihan lokasi ini dilakukan secara purposive, dengan pertimbangan kemudahan akses dan birokrasi. Pengumpulan data primer dilakukan selama bulan Mei hingga Juni 2011. Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Contoh penelitian adalah mahasiswi tingkat pertama yang tinggal di asrama putri TPB-IPB. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah mahasiswi TPB-IPB yang termasuk kelompok remaja ahkir dengan kisaran umur 19-21 tahun (Sarwono 2003), dalam kondisi sehat, bersedia untuk diwawancarai dan mengisi

kuesioner

penelitian

serta

berada

di

Asrama

saat

penelitian

dilaksanakan. Metode yang digunakan dalam penarikan contoh adalah secara random sampling. Adapun jumlah contoh ditentukan menggunakan rumus: n

=

Z2(1-α/2) x σ2 ε2 x φ2

n

=

1.962 x 1.32 0.012912 x 22.22

n

= 79 mahasiswi

Keterangan: / (1.96) =simpang baku status gizi (IMT) remaja putri 19-21 tahun (1.3) (Wijaya 2010)  = error (1.291%) =rata-rata status gizi (IMT) remaja putri 19-21 tahun (22.2) (Wijaya 2010) α = 5% (0.05) pada derajat kepercayaan 95%

Z = nilai z pada derajat kepercayaan

Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang diambil dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer yang meliputi karakteristik mahasiswi yang terdiri dari nama, usia, indeks massa tubuh, sedangkan data kondisi sosial ekonomi keluarga

terdiri

jumlah

anggota

keluarga,

pendidikan,

pekerjaan

serta

pendapatan ayah mahasiswi. Data primer lain adalah kebiasaan makan, recall 1    

22  

 

 

x 24 jam (2 hari), food frequency, aktivitas fisik, pengetahuan gizi dan persepsi kegemukan dengan melakukan wawancara dengan menggunakan kuesioner. Tabel 3 Cara pengumpulan data primer Variabel

Data yang dikumpulkan

Karakteristik contoh :

- Umur - Asal daerah - Status gizi (berat dan tinggi badan)

Kondisi sosial ekonomi keluarga

Pengetahuan gizi

-

Persepsi kegemukan

-

-

-

Hal-hal terkait kegemukan

-

Kebiasaan makan

-

Tingkat konsumsi pangan

-

Aktivitas fisik

-

Pekerjaan orang tua Pendidikan orang tua Pendapatan orang tua Jumlah keluarga Pengetahuan gizi secara umum Pengetahuan mengenai kegemukan Persepsi terhadap kondisi tubuh aktual Harapan dan tingkat kepuasaan dan kepercayaan diri contoh Ketakutan terhadap kegemukan dan halhal yang ditakuti bila menjadi gemuk Upaya yang dilakukan untuk mencegah dan atau mengatasi kegemukan Persepsi terhadap gambar bentuk tubuh ideal dan gemuk Frekuensi makan Kebiasaan sarapan Kebiasaan makan malam Konsumsi sayur dan buah Konsumsi fast food dan soft drink, kebiasaan mengonsumsi camilan Jumlah dan jenis makanan yang dimakan Kegiatan sehari-hari mahasiswi (hari kuliah dan hari libur)

Cara pengumpulan data Kuesioner Pengukuran dengan microtoise dan timbangan bathroom scale Kuesioner

Kuesioner

Kuesioner Kuesioner

Kuesioner

Kuesioner

Kuesioner (gambar 2 siluet tubuh Stunkard) Kuesioner dan Wawancara (Food frequency)

Kuesioner dan Wawancara (food Recall 1x 24 jam 2 hari) Kuesioner Recall 1x 24 jam

23  

 

 

Pengetahuan gizi contoh diukur dengan memberikan 20 buah pertanyaan pilihan berganda yang memiliki satu jawaban yang paling benar (correct-answer multiple choice). Pertanyaan yang diajukan berkaitan zat gizi dan fungsinya secara umum serta segala sesuatu yang berkaitan dengan kegemukan. Penilaian persepsi mahasiswi mengenai kegemukan diukur dengan memberikan pertanyaan persepsi kegemukan yang diberi skor terdiri dari 10 pertanyaan yaitu kepuasaan dan kepercayaan diri terhadap tubuh aktual, distorsi penilaian tubuh, ketakutan mengalami stroke, diabetes, hipertensi, penyakit jantung, sulit mengikuti mode pakaian dan sulit bergaul jika menjadi gemuk serta adakah upaya pencegahan dan atau penanggulangan terhadap kegemukan (Flynn 1997) dan (Allon 1979). Pengumpulan data primer menggunakan kuesioner dan pengukuran antropometri dilakukan pada malam hari dengan pertimbangan mahasiswi sedang berada di asrama atau tidak sedang kuliah. Pengukuran antopometri dilakukan

untuk

mengetahui

BMI

(Body

Mass

Index)

yang

kemudian

dibandingkan dengan standar dari WHO 2003. Untuk menentukan nilai BMI diperlukan data berat dan tinggi badan mahasiswi. Pengukuran berat badan orang dewasa dilakukan dengan cara mahasiswi berdiri di atas timbangan (bathroom scale) dengan ketelitian 0.5 kg dengan cara melepaskan sepatu dan barang-barang yang ada di dalam saku dengan tetap menggunakan pakaian. Pengukuran tinggi badan dilakukan dengan menggunakan alat pengukur tinggi badan microtoise dengan ketelitian 0.1 cm dengan cara melepaskan sepatu dan mahasiswi berdiri dilantai yang rata dengan kaki sejajar, leher, bokong, punggung, dan belakang kepala menyentuh dinding tegak lurus, tangan lurus ke bawah di sisi badan secara wajar (Jellife & Jellife 1989). Data mengenai kebiasaan makan diukur melalui pengisian kuesioner dengan mengajukan pertanyaan mengenai kebiasaan sarapan, kebiasaan makan malam atau sore, frekuensi makan, konsumsi sayur dan buah, preferensi terhadap sayur bersantan atau tidak bersantan, kebiasaan mengonsumsi camilan berlebihan saat stres, kebiasaan konsumsi fast food dan soft drink, kebisaan jajan di kampus, kebiasaan minum air putih serta konsumsi camilan. Tujuan pengumpulan data ini adalah untuk melihat kebiasaan makan mahasiswi selama sebulan terahkir, yaitu setiap hari, 3-4 kali/minggu, 1-2 kali/minggu, dan jarang (<1-2 kali/seminggu). Data dikumpulkan menggunakan kuesioner yang telah diberi keterangan lengkap beserta contoh pengisian untuk diisi oleh mahasiswi.

24  

 

 

Selain itu, food frequency quetionaire merupakan kuesioner yang menggambarkan frekuensi responden dalam mengonsumsi beberapa jenis dan makanan dan minuman. Frekuensi konsumsi makanan dapat dilihat dalam satu hari, minggu, dan bulan. Kuesioner terdiri dari daftar jenis makanan-makanan yang berpontensi menyebabkan kegemukan jika dikonsumsi berlebihan. Makanan tersebut terdiri dari makanan pokok, pangan hewani, pangan nabati, sayuran, buah-buahan, dan makanan jajanan. Persepsi mahasiswi mengenai kegemukan diukur dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan

mengenai

penilaian

mahasiswi

terhadap

bentuk

tubuhnya dan pendapatnya mengenai kegemukan. Persepsi kegemukan ini terdiri dari 10 pertanyaan yang terdiri dari kepuasaan dan kepercayaan diri terhadap bentuk tubuh aktual, ketakutan terhadap kegemukan dan hal-hal yang ditakuti bila menjadi gemuk dan usaha diet yang dilakukan untuk menangani dan atau mencegah kegemukan. Data konsumsi pangan diperoleh dengan cara food recall 1 x 24 jam (2 hari), yaitu dengan meminta mahasiswi untuk menyebutkan makanan yang dimakan selama 2 hari. Makanan yang dimakan termasuk makanan utama, makanan selingan, waktu makan, jenis pangan dan jumlah yang dikonsumsi dalam bentuk matang, kemudian dikonversikan kedalam bentuk bahan pangan mentah dan dihitung kandungan zat gizi energi, protein, lemak, dan karbohidrat dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM). Data sekunder yang diambil dalam penelitian ini adalah gambaran umum mengenai asrama TPB-IPB Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh dari kuesioner diolah dan dianalisis secara deskriptif dan inferensia statistik dengan menggunakan alat bantu program komputer Microsoft Excel dan SPSS version 16.0. for Windows. Karakteristik contoh dianalisis secara deskriptif. Usia contoh dikategorikan menjadi satu kategori yaitu usia 19 - 21 tahun (remaja ahkir). Asal daerah mahasiwi dikategorikan menjadi Jabodetabek dan Luar Jabodetabek. Penilaian status gizi contoh berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT). Secara sederhana contoh dinilai status gizinya berdasarkan nilai IMT dengan rumus: IMT = Berat badan (kg)/ Tinggi badan (m2)

25  

 

 

Kondisi sosial ekonomi keluarga contoh terdiri dari besar keluarga, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan ayah contoh. Besar keluarga contoh dibagi menjadi keluarga kecil (≤ 4 orang), keluarga sedang (5-7 orang) dan keluarga besar (≥8 orang) (Hurlock 1994). Adapun pendidikan ayah contoh dikategorikan menjadi SD/ Sederajat, SMP/ Sederajat, SMA/ Sederajat, Perguruan Tinggi/ Sederajat. Pekerjaan ayah contoh dikategorikan menjadi Pegawai

Negeri

Sipil,

Wiraswasta,

Pegawai

Swasta,

Polisi/ABRI,

Petani/Peternak dan lain-lain. Pendapatan orang tua dibagi menjadi lima kategori yaitu < Rp 2.000.000, Rp 2.000.000-Rp 3.000.000, 3.000.000-5.000.000, dan > Rp 5.000.000. Penilaian pengetahuan gizi dengan cara memberika skor terhadap setiap jawaban. Data pengetahuan gizi contoh diberi skor 1 jika jawaban terhadap benar dan 0 jika salah, sehingga total skor jika semua jawaban benar adalah 20. Pengetahuan gizi dinilai dengan menjumlahkan skor yang diperoleh kemudian dikategorikan baik, sedang, dan kurang. Pengetahuan gizi dikategorikan baik apabila skor yang diperoleh lebih dari 80% dari total skor, kategori sedang apabila skor yang diperoleh kurang dari 60% dari total skor (Khomsan 2000). Penilaian persepsi mahasiswi mengenai kegemukan dilakukan dengan cara memberikan skor terhadap setiap jawaban. Data persepsi kegemukan mahasiswi diberi skor 1 jika jawaban terhadap benar dan 0 jika salah, sehingga total skor jika semua jawaban benar adalah 10. Penilaian persepsi mahasiswi mengenai kegemukan dikelompokkan menjadi persepsi yang baik (skor persepsi >80%), sedang (skor persepsi 60%-<80%) dan kurang (skor persepsi <60%). Dalam penelitian ini dilakukan skoring kebiasaan makan (Maxitelia 2005). Scoring dilakukan pada pertanyaan-pertanyaan mengenai kebiasaan makan yang sudah memiliki acuan, sebagai contoh frekuensi makan mengacu pada Khomsan (2003), bahwa frekuensi makan yang baik adalah 3 kali dalam sehari sehingga contoh yang memiliki frekuensi makan makanan utama kurang dari atau lebih dari 3 kali diberi nilai 0, sedangkan untuk contoh yang frekuensi makan makanan utama 3 kali diberi nilai 1. Adapun kebiasaan makan yang diberi skor dalam penelitian ini adalah kebiasaan sarapan, frekuensi makan, kebiasaan mengonsumsi sayur dan buah, kebiasaan mengonsumsi camilan, kebiasaan mengonsumsi camilan berlebihan saat sedang stress, preferensi terhadap sayur bersantan dan tidak bersantan, kebiasaan jajan di kampus, kebiasaan mengonsumsi fast food dan soft drink. Skor tertinggi kebiasaan makan adalah

26  

 

 

100 dan skor terendahnya 0. Semakin tinggi skor kebiasaan makan maka semakin baik kebiasaan makan yang diterapkan contoh. Recall konsumsi pangan juga digunakan untuk melihat konsumsi makanan yang memenuhi kecukupan energi. Data konsumsi pangan diolah menggunakan aplikasi konsumsi pangan. Jumlah makanan dalam bentuk gram/URT kemudian dikonversi menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan dan kemudian dilakukan perhitungan angka konsumsi gizi untuk energi dan protein. Angka kecukupan energi dihitung berdasarkan pengeluaran energi contoh sedangkan angka kecukupan protein mengacu pada angka kecukupan gizi hasil Widyakarya Naional Pangan dan Gizi VIII tahun 2004. Adapun rumus umum yang digunakan untuk mengetahui kandungan zat gizi makanan yang dikonsumsi adalah: KGij = (Bj/100) x Gij x (BDDj/100) Keterangan: KGij

= Penjumlahan zat gizi i dari setiap bahan makanan/pangan yang dikonsumsi

Bj

= Berat bahan makanan j (gram)

Gij

= Kandungan zat gizi I dari bahan makanan j

BDDj

= Persen bahan makanan j yang dapat dimakan

(Sumber: Hardinsyah & Briawan 1994)

Tingkat kecukupan konsumsi merupakan persentase intake contoh. Menurut Depkes Kesehatan (1996), tingkat konsumsi energi dan protein diklasifikasikan menjadi lima tingkatan, yaitu defisit tingkat berat (< 70% AKG), defisit tingkat sedang (70-79% AKG), defisit tingkat ringan (80-89% AKG), Normal (90-119% AKG), Kelebihan (≥ 120% AKG). Secara umum tingkat kecukupan zat gizi dapat dirumuskan sebagai berikut: TGi = (Ki/AKGi) x 100% Keterangan:

TGi

= Tingkat kecukupan zat gizi i

Ki

= Konsumsi zat gizi i

AKGi = Kecukupan zat gizi I yang dianjurkan Data mengenai aktivitas fisik dikumpulkan dengan cara meminta mahasiswi mengisi kuesioner penelitian berupa aktivitas-aktivitas yang dilakukan

27  

 

 

pada hari kuliah dan hari libur disertai dengan alokasi waktu untuk melakukan aktivitas-aktivitas tersebut. Aktivitas tersebut kemudian ditentukan nilai Physical Activity Ratio dengan menggunakan acuan dari WHO/FAO/UNO 2001 untuk mendapatkan nilai Physical Activity Level. Berikut adalah Tabel 4 yang menunjukkan nilai PAR dari beberapa kegiatan. Tabel 4 Nilai Physical Activity Ratio (PAR) setiap kegiatan Kegiatan Aktifitas Ringan (Sedentary/Light Activity Lifestyle) - Tidur - Perawatan diri (mandi dan berpakaian) - Makan - Memasak - Kegiatan yang dilakukan dengan duduk - Pekerjaan Rumahtangga - Mengenderai kendaraan - Berjalan - Kegiatan Ringan (Menonton TV) Aktifitas Sedang (Active or Moderately Active Lifestyle) - Tidur - Perawatan diri (mandi dan berpakaian) - Makan - Kegiatan yang dilakukan dengan berdiri - Transportasi kerja dengan bus - Berjalan - Olahraga Ringan - Kegiatan Ringan (Menonton TV) Aktifitas berat (Viogorous or vigorously Active Lifestyle) Tidur - Perawatan diri (mandi dan berpakaian) - Makan - Masak - Kegiatan pertanian tanpa menggunakan alat Mengambil air - Pekerjaan Rumahtangga yang berat - Berjalan - Kegiatan Ringan Sumber: FAO/WHO/UNU 2001

PAR 1 2.3 1.5 2.1 1.5 2.8 2.0 3.2 1.4 1 2.3 1.5 2.2 1.2 3.2 4.2 1.4 1 2.3 1.4 2.1 4.1 4.4 2.3 3.2 1.4

Keterangan: PAR= Physical Activity Ratio (Rasio Aktivitas Fisik) Secara sederhana, rumus untuk menghitung nilai PAL adalah sebagai berikut: Physical Activity Level (PAL) = ∑ (Lama melakukan aktifitas x PAR) 24 Jam

Adapun Tingkat aktifitas dikategorikan menjadi tiga tingkatan mengacu pada WHO/FAO/UNO (2001), yaitu aktivitas ringan (1.40 ≤ PAL≤ 1.69),

aktivitas

28  

 

 

sedang (1.70 ≤ PAL ≤ 1.99), dan aktivitas berat (2.00 ≤ PAL ≤ 2.39). Berikut adalah Tabel 5 yang menunjukkan jenis dan kategori variabel. Tabel 5 Jenis dan kategori variabel No

Variabel

Kategori

Sumber/ Keterangan Sarwono 2003

1

Usia

-

19-21 tahun (Remaja ahkir)

2

Asal daerah

-

Jabodetabek Luar Jabodetabek

3

Status gizi

-

Kurus (IMT < 18.5) Normal (IMT 18.5-22.9) Gemuk 23-24.9 Obes (IMT > 25)

4

Pendidikan ayah

-

SD/Sederajat SMP/Sederajat SMA/Sederajat Perguruan Tinggi/Sederajat

5

Pekerjaan ayah

6

Pendapatan Orangtua

7

Besar keluarga

-

Pegawai Negeri Sipil Wiraswasta Pegawai swasta Polisi/ABRI Petani/Peternak Lain-lain < Rp 2.000.000 Rp 2.000.000 – Rp < Rp 3.000.000 Rp 3.000.000 - < Rp 5.000.000 Rp > 5.000.000 Keluarga kecil (≤4 orang) Keluarga sedang (5-7 orang) Keluarga besar (≥8 orang)

8

Kebiasaan sarapan

-

Setiap hari 3-5 kali/minggiu 1-2 kali /minggu Tidak pernah

Sebaran contoh

9

Frekuensi makan sehari

-

1-2 kali 3-4 kali > 4 kali

Sebaran contoh

10

Frekuensi konsumsi sayur dan buah

-

1-2 kali 3-4 kali > 4 kali

Sebaran contoh

11

Frekuensi fast food dan soft drink

-

Setiap hari 3-5 kali/minggiu 1-2 kali /minggu Tidak pernah

Sebaran contoh

12

Frekuensi mengemil dalam sehari

-

Setiap hari 3-5 kali/minggiu 1-2 kali /minggu Tidak pernah

Sebaran contoh

Sebaran contoh WHO 2003 diacu dalam Sunarti 2004 Strata Pendidikan Formal BKKBN 1996

Sebaran contoh

Hurlock 1994

29  

  Tabel 5 (Lanjutan) No

Variabel

Kategori

13

Aktivitas seharihari

- Ringan (PAL 1.40-1.69) - Sedang (PAL 1.70-1.99) - Berat (PAL 2.00-2.39)

14

Persepsi tentang kegemukan

15

Pengetahuan gizi

-

16

17

  Sumber/ Keterangan WHO/FAO/UNO 2001

Baik (≥ 80%) Sedang (60-80%) Kurang (<60%) Baik (≥ 80%) Sedang (60-80%) Kurang (<60%)

Khomsan 2000

Kebiasaan makan

- Baik (≥ 80%) - Sedang (60-80%) - Kurang (<60%)

Sebaran contoh

Tingkat kecukupan energi dan protein

-

Khomsan 2000

Defisit berat (< 70% AKG) Defisit sedang (70-79% AKG) Defisit ringan (80-89% AKG) Normal (90-119% AKG) Kelebihan (≥ 120% AKG)

Depkes 1996

Hubungan antar variabel dianalisis dengan menggunakan uji korelasi Rank Spearman dan Moment Pearson. Uji korelasi Pearson digunakan untuk mengetahui hubungan antara persepsi kegemukan dengam status gizi, pendapatan ayah mahasiswi, skor kebiasaan makan, dan tingkat kecukupan energi dan protein mahasiswi. Uji korelasi Spearman digunakan untuk mengetahui mengetahui hubungan antara aspek-aspek kebiasaan makan seperti kebiasaan sarapan, frekuensi makan, kebiasaan makan malam dan lain-lain. Selain itu uji korelasi Spearmen juga digunakan untuk mengetahui persepsi kegemukan dengan pengetahuan gizi dan aktivitas fisik mahasiswi. Definisi Operasional Kegemukan adalah keadaan tubuh dimana berat badan melebihi berat badan ideal sebesar 20%. Remaja ahkir adalah remaja yang berada dalam masa pertumbuhan tahap ahkir menjelang dewasa dan berada pada kisaran umur 19-21 tahun. Persepsi

kegemukan

adalah

penolakan

seorang

mahasiswi

terhadap

kegemukan yang sesuai dengan ilmu pengetahuan serta tidak mengalami distorsi penilaian tubuh dan puas serta percaya diri terhadap tubuh aktualnya. Semakin baik nilai persepsi tentang kegemukan maka semakin baik penolakan mahasiswi terhadap kegemukan begitu pula sebaliknya. Pola konsumsi pangan adalah perilaku seseorang dalam mengonsumsi makanan sehari-hari yang terkait dengan kebiasaan sarapan, konsumsi

30  

 

 

sayur dan buah, konsumsi fast food dan soft drink, frekuensi makan, serta kebiasaan mengonsumsi camilan . Frekuensi makan adalah tingkat keseringan seseorang dalam mengonsumsi makanan utama yang diukur dengan satuan kali per hari serta kuantitas dari makanan tersebut (gram). Fast food adalah makanan cepat saji yang umumnya mengandung kalori dan lemak yang tinggi seperti ayam goreng, hamburger, pizza dan hotdog. Soft drink adalah minuman ringan (soft drink) adalah minuman yang tidak mengandung alkohol, merupakan minuman olahan dalam bentuk bubur atau cair yang mengandung bahan makanan atau bahan tambahan lainnya baik alami maupun sintetik yang dikemas dalam kemasan siap untuk dikonsumsi. Aktivitas fisik adalah segala jenis kegiatan fisik yang dilakukan remaja yang digolongkan menjadi 3 jenis yaitu aktivitas ringan, sedang dan berat. Pengetahuan gizi adalah pemahaman remaja terhadap hal-hal yang berkaitan dengan gizi dan kesehatan khususnya terkait dengan kegemukan yang diukur dengan menggunakan kuesioner. Pengetahuan gizi dikategorikan kurang jika <60% jawaban benar, sedang jika jawaban benar antara 6080%, dan baik jika jawaban benar >80% jawaban benar (Khomsan 2000).

 

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Asrama TPB IPB Asrama mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor (TPB IPB) terdiri atas asrama putra dan dan asrama putri. Asrama putra terdiri dari empat gedung, yaitu gedung C1, C2, C3 dan C4 (Asrama Sylvalestari). Adapun asrama putri terdiri dari lima gedung, yaitu A1, A2, A3 dan A4 serta A5 (Asrama Sylvasari). Setiap gedung asrama berbentuk hampir sama (kecuali A4, Sylvasari, dan Sylvalestari yang merupakan gedung tambahan). Setiap gedung terbagi atas beberapa lorong yang dikepalai oleh seorang Senior Recidence (SR) untuk mempermudah pengawasan dan pengelolaan. Satu lorong terdiri dari sekurang-kurangnya 40 orang (10 kamar, masing-masing kamar diisi oleh empat orang). Fasilitas kamar tidur asrama TPB IPB memiliki ukuran 16 m2 (4mx4m). dalam setiap kamar tersedia dua ranjang tidur bertingkat, empat buah lemari, empat buah meja belajar (lengkap dengan lampu), kapstok, tempat sampah, bantal, dan lain-lain. Satu kamar diisi oleh empat orang (kecuali Asrama Sylvalestari dan Sylvasari, setiap kamar diisi oleh 3 orang). Disetiap lorong asrama disediakan toilet, ruang setrika, dan pantry. Tempat cuci tidak disediakan di setiap lorong. Disediakan satu buah dispenser di pantry yang letaknya satu ruangan dengan ruangan setrika. Adapun air yang digunakan di toilet asrama adalah air tanah yang telah melalui proses penjernihan terlebih dahulu. Kantin asrama putra berada di dalam masing-masing gedung, sedangkan kantin asrama putri berada diluar gedung. Di dalam lingkungan asrama putri juga terdapat toko koperasi dan jasa fotocopi yang menginduk kepada Koperasi Mahasiswa IPB. Di luar gedung, tidak jauh dari asrama putri, terdapat minimarket dengan nama Agrimart IPB yang menyediakan produk-produk makanan, minuman, kecantikan, peralatan mandi, detergen dan produk-produk IPB seperti teh Rozelt, susu Fapet, nugget dan bakso Fapet dan lain-lain. Melalui Agrimart IPB ini mahasiswa TPB-IPB akan lebih mudahuntuk mendapatkan barangbarangyang dibutuhkan tanpa harus keluar terlalu jauh dari lingkungan asrama. Mahasiswa TPB-IPB menjalani perkuliahan selama satu tahun di Tingkat Persiapan Bersama. Pada jangka waktu satu tahun ini mahasiswa wajib mengikuti 36 sks mata kuliah dasar TPB seperti pengantar matematika, kalkulus, biologi, kimia, fisika dan lain-lain. Mahasiswa TPB IPB menjalani perkuliahan di sembilan Fakultas di berbagai wilayah kampus Dramaga dengan lokasi yang    

32  

 

 

berbeda-beda. IPB menyediakan bus IPB untuk mempermudah akses ke lokasilokasi perkuliahan. Bus IPB akan menjemput dan mengantar mahasiswa ke halte-halte terdekat dengan lokasi perkuliahan. Bus ini tidak memungut biaya dari mahasiswa. Selain bus kampus, disediakan juga sepeda sebagai alternatif transportasi dalam area kampus. Fasilitas lainnya adalah ambulance asrama yang selalu siap selama 24 jam. Karakteristik Individu Karakteristik individu yang diamati dalam penelitian ini adalah usia, status gizi (Indeks Massa Tubuh), serta asal daerah mahasiswi. Tabel 6 menjelaskan karakteristik individu mahasiswi. Karakteristik individu yang diamati meliputi umur, status gizi dan daerah asal. Tabel 6 Sebaran mahasiswi berdasarkan karakteristik individu Karakteristik Individu

n

%

Usia -

19 tahun

69

87.3

-

20 tahun

10

12.7

79

100

Total Status gizi -

Kurus

7

8.9

-

Normal

48

60.8

-

Gemuk

24

30.4

-

Obes

0

0.0

79

100

Total Asal daerah -

Jabodetabek

20

25.3

-

Luar Jabodetabek

59

74.7

79

100

Total

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar mahasiswi berusia 19 tahun (87.3%) dan sisanya berusia 20 tahun (12.7%). Mengacu pada Sarwono (2003), maka mahasiswi dalam penelitian ini termasuk ke dalam kategori remaja ahkir. Berdasarkan uji korelasi Spearman tidak terdapat hubungan yang signifikan antara usia mahasiswi dengan persepsi kegemukan (r= 0.049; p= 0.669), hal ini bermakna bahwa semakin tinggi usia mahasiswi belum tentu persepsi kegemukannya semakin baik. Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan dan penggunaan zat gizi makanan

33  

 

 

(Sunarti 2004). Sebagian besar mahasiswi dalam penelitian ini memiliki status gizi yang termasuk dalam kategori normal (60.8%), gemuk (30.8%) dan kurus (8.9%). Tidak ada mahasiswi yang status gizinya termasuk dalam kategori obes. Berdasarkan uji korelasi Pearson, terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi dengan persepsi kegemukan (r=0.244; p=0.031), hal ini bermakna bahwa semakin besar nilai IMT maka makin besar pula ketakutan mahasiswi terhadap kegemukan. Hal ini diduga dikarenakan seseorang yang mengalami kegemukan akan lebih perhatian terhadap kegemukan dan berusaha mencari informasi dan pengetahuan yang terkait dengan kegemukan. Sebagian besar mahasiswi berasal dari luar jabodetabek (74.7%) dan sisanya sebesar 25.3% berasal dari wilayah jabodetabek. Berdasarkan uji korelasi Spearman tidak terdapat hubungan yang signifikan antara asal daerah dengan persepsi kegemukan (r=0.018; r= 0.878), hal ini bermakna asal daerah seseorang belum tentu menjamin persepsi kegemukannya semakin baik. Kondisi Sosial Ekonomi Keluarga Mahasiswi Besar Keluarga Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak, dan anggota keluarga lain yang hidup dari pengelolaan sumberdaya yang sama (Suhardjo 2000). Besar keluarga dapat mempengaruhi tingkat pengeluaran rumah tangga. Besar keluarga dapat mempengaruhi jumlah pangan yang dikonsumsi dan pembagian ragam yang dikonsumsi dalam keluarga. Menurut Hurlock (1994) besar keluarga dibagi menjadi keluarga kecil jika jumlah anggota keluarga ≤ 4 orang, sedang jika 5-7 orang, dan besar jika ≥ 8 orang. Besar keluarga mahasiswi tersebar pada kelompok keluarga kecil dan sedang. Berdasarkan kriteria tersebut sebanyak 55.7% mahasiswi termasuk dalam kategori keluarga sedang, 35.4% mahasiswi termasuk dalam kategori keluarga sedang, dan sisanya 8.9% mahasiswi berasal dari keluarga besar. Berdasarkan uji korelasi Spearman tidak terdapat hubungan yang siginifikan antara besar keluarga dengan persepsi kegemukan (r= -0.018; p= 0.878), hal ini bermakna bahwa semakin kecil jumlah anggota keluarga belum tentu persepsi kegemukannya semakin baik.

34  

 

 

Tingkat Pendidikan Ayah Menurut Suhardjo (1996), tingkat pendidikan orangtua yang baik akan memungkinkan orangtua dapat memantau dan menerima informasi tentang kesehatan anaknya. Tingkat pendidikan akan berpengaruh terhadap pangan yang dipilih untuk dikonsumsi sehari-hari (Soetjiningsih 1994). Sebagian besar orangtua mahasiswi berpendidikan perguruan tinggi (48.1%) dan SMA/Sederajat (35.4%).

Hanya

sedikit

dari

orangtua

mahasiswi

yang

berpendidikan

SD/Sederajat (11.4%) dan SMP/Sederajat (5.1%). Tabel 7 Sebaran mahasiswi berdasarkan karakteristik sosial ekonomi keluarga mahasiswi Kondisi Sosial Ekonomi Keluarga Mahasiswi

n

%

Besar Keluarga - Kecil (≤ 4 orang ) - Sedang (5 – 7 orang ) - Besar (≥ 8 orang)

28 44 7

35.4 55.7 8.9

Total

79

100.0

Tingkat Pendidikan Ayah - SD/Sederajat - SMP/Sederajat - SMA/Sederajat - Perguruan Tinggi/Sederajat

9 4 28 38

11.4 5.1 35.4 48.1

Total

79

100.0

Pekerjaan Ayah - PNS - Pegawai Swasta - Wiraswasta - Polisi/ABRI - Petani/peternak

35 18 19 2 5

44.3 22.8 24.1 2.5 6.3

Total

79

100.0

Tingkat Pendapatan Ayah - < Rp. 2.000.000,00 - Rp. 2.000.000,00 - Rp. 5.000.000,00

24 21 19 15

30.4 26.6 24.1 19.0

Total

79

100.0

35  

 

 

Berdasarkan uji korelasi Spearman tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan orangtua dengan persepsi kegemukan (r=0.023; p= 0.840), hal ini bermakna bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan orangtua mahasiswi belum tentu persepsi kegemukan mahasiswi semakin baik. Tingkat Pendapatan Ayah Pekerjaan memiliki hubungan yang erat dengan pendapatan. Tingkat pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan terhadap kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Rendahnya pendapatan menyebabkan daya beli terhadap makanan menjadi rendah dan konsumsi pangan keluarga akan berkurang. Kondisi ini akhirnya akan mempengaruhi kesehatan dan status gizi keluarga (Riyadi et al. 1990). Tingkat pendapatan orangtua mahasiswi dalam penelitian ini cukup beragam. Sebesar 30.4% orangtua mahasiswi memiliki pendapatan < Rp. 2.000.000,00 per bulan dan hanya sekitar 19.0% orangtua mahasiswi yang memiliki pendapatan > Rp. 5.000.000,00, per bulan sisanya sebesar 50.7% orangtua mahasiswi memiliki pendapatan yang berada pada kisaran Rp. 2.000.000,00-Rp.5.000.000,00 per bulannya. Berdasarkan uji korelasi Spearman terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan orangtua dengan persepsi kegemukan (r=0.235; p= 0.037), hal ini bermakna bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan orangtua mahasiswi maka persepsi kegemukan mahasiswi semakin baik. Santrock (1999) mencatat bahwa seseorang yang mapan secara ekonomis, lebih memiliki perhatian yang tinggi. Mereka mungkin akan merasa cemas jika berat badannya mengalami kenaikan secara cepat. Oleh karena itu, mereka segera melakukan perawatan intesif dengan bantuan tenaga profesional (ahli gizi, dokter, fitness trainer) serta membeli bahan-bahan untuk merampingkan tubuhnya.  

Hal ini juga diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh O’Dea

& Caputi (2001) diacu dalam Gibney et al. (2004) bahwa remaja yang berasal dari sosial ekonomi yang rendah terhadap peningkatan berat badan dan kurang kontrol sewaktu berat badan naik, tidak melakukan diet, mempunyai citra tubuh yang rendah, dan pola makan yang tidak teratur hal disebabkan kurangnya informasi tentang kesehatan.

36  

 

 

Tingkat Pengetahuan Gizi Pengetahuan gizi adalah kemampuan kognitif serta pemahaman mahasiswi tentang gizi. Pengetahuan gizi diukur dari kemampuan mahasiswi dalam menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan gizi secara umum dan mengenai kegemukan yang disiapkan dalam kuesioner. Pengetahuan gizi yang dimiliki seseorang dapat memberikan informasi yang memadai tentang persepsnya mengenai kegemukan serta pilihan makanan yang sesuai dengan kondisi tubuhnya. Hal ini dapat membuat orang tersebut mengubah jenis makanan yang biasa dikonsumsi dan memperbaiki kebiasaan makan yang selama ini ia jalani, sehingga ia mampu melakukan diet secara bijak dan hati-hati ketika ingin menjadikan tubuhnya berukuran ideal (Bender 1997). Terdapat 20 buah pertanyaan pilihan berganda dengan memilih jawaban yang paling benar (Correct-Answer Mulitiple Choice). Tabel 8 menjelaskan mengenai persentase jawaban dari setiap pertanyaan yang dapat dijawab dengan benar oleh mahasiswi. Pertanyaan mengenai gizi secara umum sebagian besar dapat dijawab benar oleh mahasiswi. Pertanyaan yang tidak dapat dijawab benar oleh sebagian mahasiswi adalah mengenai pengertian dari Fast food yaitu sebesar 77.2%, hal ini dikarenakan sebagian mahasiswi menjawab Fast food adalah makanan rendah kalori dan rendah serat. Pertanyaan mengenai kegemukan dari 14 pertanyaan hanya 11 pertanyaan yang bisa dijawab dengan benar oleh sebagian besar mahasiswi. Pertanyaan mengenai kegemukan yang tidak dapat dijawab oleh sebagian besar mahasiswi adalah pada golongan usia berapa gangguan kegemukan dapat terjadi (63.3%), karena banyak dari mahasiswi mengira bahwa gangguan kegemukan hanya terjadi pada remaja dan dewasa saja tidak termasuk Balita. Selain itu pertanyaan lain yang tidak dapat dijawab oleh sebagian besar mahasiswi adalah bahaya yang ditimbulkan kegemukan (75.9%) karena sebagian besar mahasiswi menjawab tidak tahu atau tidak bebas bergerak. Pertanyaan yang sebagian besar mahasiswi tidak dapat menjawab dengan benar adalah mengenai jenis kelamin yang lebih sering mengalami kegemukan (78.5%), hal ini dikarenakan sebagian besar mahasiswi menganggap kejadian kegemukan sering terjadi baik pada laki-laki maupun perempuan. Sebagian besar pertanyaan tentang kegemukan dapat dijawab dengan benar oleh sebagian besar mahasiswi diduga karena mahasiswi sudah memahami dan

37  

 

 

mengenal tentang kegemukan dengan baik. Hal ini didukung dengan skor pengetahuan gizi mahasiswi yang cukup tinggi. Tabel 8 Sebaran mahasiswi berdasarkan item pertanyaan yang dijawab dengan benar mahasiswi No

Kategori Soal

n

%

Pangan yang termasuk sumber karbohidrat adalah nasi Pangan yang termasuk sumber protein adalah telur Fungsi utama protein di dalam tubuh adalah mengganti bagian tubuh yang rusak Konsumsi energi yang berlebih akan disimpan dalam bentuk lemak Jenis makanan sumber lemak adalah daging Pengertian Fast food adalah makanan tinggi kalori dan rendah serat Kegemukan Pada dasarnya kegemukan dapat diatasi dengan pengurangan konsumsi energi yaitu dengan membatasi makanan berlemak Pengertian overweight adalah kondisi badan terlalu gemuk Sebagian besar kegemukan timbul karena faktor pola konsumsi makan sehari-hari Kegemukan dapat terjadi pada balita, remaja dan dewasa Menu yang baik untuk penderita kegemukan adalah rendah kalori dan gizi seimbang Penderita kegemukan disarankan untuk memperbanyak konsumsi buah-buahan dan sayur-sayuran Gaya hidup yang dapat menyebabkan seseorang mengalami kegemukan adalah kurang berolahraga Penyakit yang bukan diakibatkan oleh kegemukan adalah malaria Keberhasilan seseorang menurunkan berat badan pada penderita kegemukan lebih banyak dipengaruhi oleh motivasi untuk hidup lebih sehat Kegemukan menjadi berbahaya karena mendorong munculnya penyakit degenerative Salah-satu penyakit yang ditimbulkan oleh kegemukan adalah hipertensi Kegemukan banyak diderita masyarakat dengan pola konsumsi sehari-hari yang tinggi karbohidrat dan tinggi lemak Cara efektif mengatasi kegemukan adalah mengatur pola makan dan olahraga Kejadian kegemukan lebih banyak terjadi pada perempuan

79 79 70

100.0 100.0 88.6

77

97.5

77 61

97.5 77.2

78

98.7

79 78

100.0 98.7

57 77

72.2 97.5

78

98.7

79

100.0

74

93.7

76

96.2

60

75.9

66

83.5

68

86.1

79

100.0

61

77.2

Gizi Umum 1 2 3 4 5 6

7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

Skor pengetahuan gizi diperoleh dengan cara setiap jawaban yang benar dari pertanyaan tentang pengetahuan gizi diberikan skor 1 dan jika jawaban mahasiswi tidak tahu atau salah diberikan nilai 0, sehingga total skor adalah 20. Pengetahuan gizi mahasiswi dikategorikan rendah jika kurang dari 60% jawaban benar, sedang jika antara 60-80% jawaban benar dan tinggi jika lebih dari 80%

38  

 

 

jawaban benar (Khomsan 2000). Penelitian ini menunjukkan bahwa mahasiswi yang memiliki tingkat pengetahuan gizi yang baik adalah sebanyak 88.6%. Sebanyak 11.4% memiliki tingkat pengetahuan gizi yang sedang. Adapun sebaran mahasiswi berdasarkan skor pengetahuan gizi dapat dilihat pada tabel 9 berikut ini. Tabel 9 Sebaran mahasiswi berdasarkan tingkat pengetahuan gizi Pengetahuan Gizi Mahasiswi

n

%

Baik (> 80%) Sedang (60-80%) Kurang (≤ 60%)

70 9 0

88.6 11.4 0.0

Total Rata-rata ± SD

79

100 91.5 ± 7.4

Pengetahuan gizi mahasiswi yang sebagian besar berada pada kategori baik (88.6%) dengan rata-rata skor 91.5, dapat disebabkan oleh tingkat pendidikan

mahasiswi

yang

didominasi

tamatan

SMA/Sederajat

serta

memadainya akses terhadap informasi gizi dan kesehatan melalui media massa dan layanan internet. Pengetahuan gizi seseorang dapat diperoleh melalui pendidikan formal maupun non formal serta melalui media massa (Engle, Menon & Haddad 1997). Berdasarkan uji korelasi Pearson, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan gizi mahasiswi dengan persepsi kegemukan (r= 0.158; p= 0.165). Hal ini bermakna bahwa semakin baik pengetahuan gizi mahasiswi belum tentu semakin baik persepsi mahasiswi mengenai kegemukan. Persepsi Tentang Kegemukan Persepsi merupakan proses memilih, menerima, mengorganisasikan, dan mengintepretasikan informasi dan lingkungannya (Schermerhorn, Hunt, dan Osborn 1991). Hasil intepretasi tersebut dapat berbeda-beda antara seseorang dengan orang yang lain (Gregory 1997 diacu dalam Tosi, Rizzo & Carrol 1990). Adapun persepsi terhadap kegemukan merupakan suatu istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan penolakan terhadap kegemukan yang disertai dengan upaya menurunkan berat badan yang sesuai dengan pengetahuan (Flynn 1997). Hal ini diperkuat dengan pendapat Walgito (2004), yang menyatakan bahwa idealnya, pengetahuan akan berhubungan positif dengan persepsi karena persepsi merupakan hasil pemaknaan terhadap pengetahuan yang didapatkan melalui stimuli tertentu. Oleh sebab itu, persepsi yang benar dipandang sebagai

39  

 

 

sebuah persepsi yang sesuai dengan pengetahuan yang juga terbukti kebenarannya. Mengacu pada pendapat Flynn (1997) dan Walgito (2004), semakin besar skor persepsi maka penolakan seseorang terhadap kegemukan semakin besar begitu juga sebaliknya. Persepsi kegemukan dalam penelitian ini diukur dengan memberi skor pada pertanyaan mengenai kepuasan dan kepercayaan diri mahasiswi terhadap tubuh aktualnya, ketakutan terhadap kegemukan, hal-hal yang ditakuti bila menjadi gemuk yang kaitannya dengan penyakit degeneratif, sulit bergaul dan mengikuti mode pakaian. Skor yang diberikan 1 jika jawabannya positif skor 0 jika jawabannya negatif, total skor adalah 10 karena terdiri dari 10 pertanyaan tertutup. Berikut adalah Tabel 10 yaitu tabel sebaran mahasiswi berdasarkan skor persepsi kegemukan. Tabel 10 Sebaran mahasiswi berdasarkan skor persepsi kegemukan Skor persepsi tentang kegemukan

n

%

< 60% (Kurang) 60-80% (Sedang) >80% (Baik)

11 40 28

13.9 50.6 35.4

Total

79

100.0

Rata-rata ± SD

77 ± 18.6

Berdasarkan Tabel di atas dapat dilihat bahwa, sebagian besar mahasiswi memiliki persepsi kegemukan yang berada dalam kategori sedang (50.6%) atau cenderung netral terhadap kegemukan, sebesar 35.4% mahasiswi memiliki persepsi kegemukan yang berada dalam kategori baik atau dengan kata lain memiliki penolakan kegemukan yang sesuai dengan pengetahuan dan terbukti

secara

ilmiah,

sedangkan

13.9%

mahasiswi

memiliki

persepsi

kegemukan yang berada dalam kategori kurang atau cenderung memiliki penolakan terhadap kegemukan yang kecil dengan kata lain. Berikut adalah komponen-komponen persepsi kegemukan. Tingkat Kepuasan Menurut Khomsan (2003), remaja adalah golongan individu yang sedang mencari identitas diri. Banyak remaja sering merasa tidak puas dengan penampilan dirinya sendiri, mereka ingin mempunyai postur tubuh sempurna seperti bintang film, penyanyi, peragawati atau olahragawan. Kepuasan dan ketidakpuasan pada diri individu dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu berat badan dan persepsi derajat kegemukan serta kekurusan, budaya, siklus hidup,

40  

 

 

masa kehamilan, sosialisasi, konsep diri, peran gender dan distorsi citra tubuh (Thompson 1994). Tabel 11 Sebaran mahasiswi berdasarkan tingkat kepuasaan terhadap bentuk tubuh aktual Tingkat kepuasan

n

%

Puas Tidak puas

19 60

24.1 75.9

Total

79

100.0

Berdasarkan

tingkat

kepuasan,

hanya

sekitar

24.1%

mahasiswi

menyatakan puas dengan kondisi tubuhnya saat ini. Sedangkan sisanya menyatakan tidak puas dengan kondisi tubuh aktualnya. Mahasiswi yang menyatakan tidak puas sebagian besar memiliki IMT yang tergolong gemuk (91.7%), Flynn diacu dalam Gibney (2004), berpendapat bahwa seorang remaja yang tidak puas terhadap bentuk tubuhnya cenderung akan mengalami fobia terhadap kegemukan dan melakukan diet yang ketat untuk mencapai bentuk tubuh idealnya. Tingkat Kepercayaan Diri Menurut Conger & Peterson dalam Sarafino (1998), pada masa remaja, remaja mulai memberikan perhatian yang lebih terhadap masalah-masalah kulit, ingin memiliki tubuh yang ideal, ingin lebih tinggi atau pendek dan tentu saja memiliki berat badan yang ideal. Keinginan ini disebabkan karena remaja sering merasa tidak puas terhadap penampilan dirinya. Ketidakpuasan ini akhirnya membuat remaja merasa tidak percaya diri dan menganggap penampilannya sebagai sesuatu yang menakutkan. Berikut adalah Tabel 12 yaitu tabel yang menunjukkan tingkat kepercayaan diri mahasiswi terhadap bentuk tubuh aktualnya. Tabel 12 Sebaran mahasiswi berdasarkan tingkat kepercayaan diri mahasiswi terhadap tubuh aktual Tingkat Kepercayaan diri mahasiswi

n

%

Percaya diri Tidak percaya diri

53 26

67.1 32.9

Total

79

100.0

41  

 

 

Berbeda dengan tingkat kepuasaan, sebagian besar mahasiswi mengaku bahwa mereka percaya diri dengan kondisi tubuh aktual saat ini (67.1%), sisanya sebesar 32.9% mahasiswi mengaku tidak percaya diri dengan kondisi tubuh aktualnya saat ini. Mahasiswi yang menyatakan percaya diri sebagian besar memiliki IMT yang tergolong normal (77.1%), sedangkan mahasiswi yang menyatakan tidak percaya diri sebagian besar memiliki IMT yang tergolong kurus (57.1%). Rendahnya rasa percaya diri bagi sebagian besar remaja hanya menyebabkan rasa tidak nyaman secara emosional yang bersifat sementara (Damon 1991 diacu dalam Santrock 2003). Tetapi bagi beberapa remaja, rendahnya rasa percaya diri dapat menimbulkan banyak masalah. Rendahnya rasa percaya diri bisa menyebabkan depresi, anoreksia nervosa, bunuh diri, dan masalah penyesuaian diri lainnya (Damon & Hart 1988 diacu dalam Santrock 2003). Ketakutan Mengalami Kegemukan Pandangan negatif yang mengakar terhadap remaja putri yang memiliki berat badan berlebih pada masyarakat merupakan pemicu kuat untuk terjadinya ketakutan terhadap kegemukan (Flynn diacu dalam Gibney 2004). Ketakutan terhadap kegemukan ini muncul sebagai akibat dari distribusi lemak ditubuh remaja putri pada saat pertumbuhan meningkat serta tuntutan penyesuain diri terhadap perubahan bentuk tubuhnya khususnya bagi remaja-remaja putri yang tinggal dalam lingkungan yang masyarakat yang sangat menghargai bentuk tubuh yang langsing (Flynn diacu dalam Gibney 2004). Tabel 13 Sebaran mahasiswi berdasarkan ketakutan mengalami kegemukan Ketakutan mengalami kegemukan

n

%

Ya Tidak

59 20

74.7 25.3

Total

79

100.0

Berdasarkan tingkat ketakutan terhadap kegemukan, sebagian besar mahasiswi menyatakan takut mengalami kegemukan, sisanya sebesar 25.3% mahasiswi menyatakan tidak takut mengalami kegemukan. Ketakutan mengalami kegemukan ini banyak dirasakan oleh mahasiswi yang memiliki IMT gemuk (91.7%) dan normal (70.8%), sedangkan mahasiswi kurus sebagian besar tidak takut mengalami kegemukan (57.1%).

42  

 

 

Persepsi Terhadap Tubuh Aktual Persepsi terhadap tubuh aktual adalah Cara pandang individu terhadap tubuhnya sendiri. Seseorang yang memiliki persepsi terhadap tubuh aktual yang positif mencerminkan tingginya penerimaan jati diri, rasa percaya diri dan kepeduliannya terhadap kondisi badan dan kesehatan. (Thompson, 1996). Pada kondisi yang ekstrim, seseorang dengan persepsi terhadap tubuh aktual yang negatif akan mengalami distorsi dalam menilai realitas. Informasi yang ada di pikirannya tentang tubuhnya akan jauh lebih buruk daripada kenyataan. Dampak psikologisnya adalah perasaan tidak puas yang mendalam sehingga berujung pada ketidakbahagiaan (Savitri 2008). Tabel 14 Sebaran mahasiswi berdasarkan status gizi dan persepsi terhadap tubuh aktual Persepsi terhadap tubuh aktual Status gizi Kurus Normal Gemuk

Kurus

Ideal

Gemuk

Total

N

%

n

%

n

%

n

%

3 4 0

42.9 8.3 0.0

2 21 1

28.6 43.8 4.2

2 23 23

8.3 47.9 95.8

7 48 24

100 100 100

Berdasarkan penilaian mahasiswi terhadap bentuk tubuhnya sendiri, sebesar 42.9% mahasiswi kurus, 43.8% mahasiswi normal, dan 95.8% mahasiswi gemuk memiliki persepsi terhadap bentuk tubuh aktual yang positif, artinya mahasiswi tersebut tidak mengalami distorsi dalam menilai bentuk tubuh sesuai dengan status gizinya. Akan tetapi, sebesar 8.3% mahasiswi kurus dan 47.9% mahasiswi normal mengalami distorsi penilaian tubuhnya. Mahasiswimahasiswi tersebut menganggap tubuh mereka termasuk gemuk. Hal ini sejalan dengan yang ditunjukkan oleh hasil studi di Amerika Serikat yang diacu dalam Januar & Putri (2007), bahwa 45% remaja putri dalam kisaran berat badan yang sehat merasa memiliki kelebihan berat badan. Sekitar 20% dari berat badan wanita yang berpikir bahwa mereka kelebihan berat badan melakukan diet untuk menurunkan berat badan. Harapan Bentuk tubuh Pengaruh lingkungan yang menganggap tubuh kurus adalah cantik telah mempengaruhi persepsi remaja putri terhadap bentuk tubuh ideal. Kegemukan seringkali

diidentikan

dengan

ketidakcantikan,

ketidakmenarikan

dan

43  

 

 

ketidakluwesan dalam beraktivitas (Wirakusumah 1994). Berikut adalah Tabel 15 yang menunjukkan sebaran mahasiswi berdasarkan harapan bentuk tubuh. Tabel 15 Sebaran mahasiswi berdasarkan harapan bentuk tubuh Harapan bentuk tubuh

n

%

Kurus Ideal Gemuk

5 74 0

6.3 93.7 0.0

Total

79

100.0

Sebagian besar mahasiswi menyatakan bentuk tubuh yang mereka harapkan adalah bentuk tubuh ideal (93.7%), sedangkan sisanya sebesar 6.3% mahasiswi menyatakan bentuk tubuh yang mereka harapkan adalah bentuk tubuh yang kurus. Tidak ada mahasiswi yang memiliki harapan untuk memiliki bentuk tubuh yang gemuk. Mahasiswi yang memiiliki harapan untuk bertubuh kurus sebagian besar adalah mahasiswi kurus (28.6%) dan mahasiswi normal (10.4%). Terlihat bahwa mahasiswi yang berstatus gizi normal juga ada yang memiliki harapan untuk bertubuh kurus. Hal ini sesuai dengan pendapat Rodin, Sillbersteun & Moore (1984), yang menyatakan bahwa tubuh yang kurus, bagi wanita, tidak hanya menunjukkan wanita yang aktif, tetapi juga menyimbolkan kesuksesan dan satus ekonomi yang tinggi. Persepsi Gambar Bentuk Tubuh Ideal pada Remaja Remaja putri pada umumnya menginginkan tubuh yang langsing, dan merasa tidak bahagia dengan bentuk tubuhnya dan berusaha menurunkan berat badannya meskipun mereka sudah memiliki badan yang ideal (Rodin, Sillbersteun & Moore 1984). Persepsi gambar bentuk tubuh ideal dan gemuk diketahui dengan menggunakan gambar sembilan siluet tubuh manusia (Gambar 2) yang dikembangkan oleh Stunkard (1983) dalam Bulik et al (2001).

Gambar 2 Siluet tubuh manusia

44  

 

 

Dalam penelitian ini, sebagian besar memilih gambar nomor tiga adalah gambar yang mencerminkan tubuh ideal remaja, sebesar 25.3% mahasiswi memilih gambar nomor dua adalah gambar yang mencerminkan tubuh ideal remaja. 60.0 50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 0.0 Persentase contoh

1 2.5

2 25.3

3 50.6

4 20.3

5 1.3

Gambar 3 Sebaran mahasiswi berdasarkan gambar bentuk tubuh ideal remaja

Persepsi Gambar Bentuk Tubuh Gemuk pada Remaja Persepsi gambar bentuk tubuh gemuk diketahui dengan menggunakan gambar sembilan siluet tubuh manusia (Gambar 2). Berdasarkan gambar siluet tubuh, sebanyak 39.2% mahasiswi memilih gambar nomor lima adalah gambar yang mencerminkan remaja gemuk, sebesar 20.3% mahasiswi memilih gambar nomor 4 adalah gambar yang mencerminkan remaja gemuk. Sebesar 2.5% mahasiswi

bahkan

memilih

gambar

nomor

tiga

adalah

gambar

yang

mencerminkan remaja gemuk. Berikut adalah gambar yang menunjukkan sebaran mahasiswi berdasarkan persepsi terhadap gambar bentuk tubuh gemuk. 40.0 30.0 20.0 10.0 0.0

 

Persentase contoh (%)

3 2.5

4 20.3

5 39.2

6 13.9

7 12.7

8 2.5

9 8.9

Gambar 4 Sebaran mahasiswi berdasarkan Gambar Bentuk Tubuh Gemuk pada Remaja

Hal-hal yang Ditakuti Mahasiswi bila Menjadi Gemuk Menurut Flynn (1997), pada masa kanak-kanak kegemukan dipandang sebagai lambang “egois”, “buruk rupa”, “bodoh” serta “malas”. Hal inilah yang

45  

 

 

menyebabkan sebelum mencapai usia remaja, anak-anak sudah memiliki kesan yang jelas bahwa menjadi gemuk tidak dapat diterima dalam pergaulan sosial, sehingga bukan sesuatu yang mengherankan jika salah-satu ketakutan seorang remaja jika menjadi gemuk adalah kurang leluasa dalam bergaul.

91.1 93.7 91.1 96.2

Takut terserang stroke Takut terserang diabetes Takut terserang  hipertensi Takut terserang penyakit jantung

74.7

Sulit mengikuti mode pakaian

58.2

Kurang leluasa bergaul

0.0

50.0

100.0

Persentase contoh (%) Gambar 5 Sebaran mahasiswi berdasarkan ketakutan terhadap kegemukan

Berdasarkan penelitian ini, sebesar 58.2% mahasiswi mengaku takut kurang leluasa bergaul jika memiliki tubuh yan gemuk. Mahasiswi yang menyatakan takut kurang leluaswa bergaul jika mengalami gemuk adalah mahasiswi yang memiliki IMT kurus (71.4%) dan mahasiswi normal (60.0%). Hanya 50.0% mahasiswi gemuk yang takut kurang leluasa bergaul jika bertubuh gemuk. Hal ini dikarenakan sebagian dari mahasiswi gemuk merasa mereka tetap nyaman bergaul walaupun dengan kondisi gemuk. Menurut Karina (2010), salah-satu kekurangan dar kegemukan adalah keindahan tubuh sukar dipertahankan dan sulit mengikuti mode pakaian mutakhir. Sebesar 74.7% mahasiswi dalam penelitian ini mengaku takut menjadi gemuk karena sulit mengikuti mode pakaian. Hal ini menunjukkan sebagian besar mahasiswi sangat perhatian terhadap penampilan fisik terutama dalam hal mengikuti mode pakaian. Masalah kegemukan tidak hanya mempengaruhi penampilan akan tetapi juga mempengaruhi kesehatan seseorang. Menurut (Robinson & Thomas 2006) kegemukan merupakan faktor resiko terjadinya penyakit kronik seperti penyakit kardiovaskuler, diabetes mellitus tipe 2, penyakit pernafasan, osteoatritis, penyakit kandung empedu, kanker dan lain-lain. Berdasarkan

ketakutan

mahasiswi

terhadap

penyakit

degeneratif,

sebesar 96.2% mahasiswi menyatakan takut terserang penyakit jantung, sebesar 91.1% mahasiswi menyatakan takut terserang penyakit hipertensi, sebesar

46  

 

 

93.7% mahasiswi menyatakan takut terserang penyakit diabetes, dan sebesar 91.1% mahasiswi menyatakan terserang penyakit stroke. Upaya Menurunkan Berat Badan dengan Berdiet Kelebihan atau kekurangan makan selama masa remaja menimbulkan masalah khusus. Pada saat remaja mengalami peningkatan berat badan dan penyimpanan lemak sebagai bagian dari ledakan pertumbuhan yang normal, remaja putri sering memaksakan diri untuk melakukan diet. Keinginan untuk menjadi ramping dan takut gemuk mendorong remaja putri untuk melakukan tindakan menurunkan asupan yang secara gizi tidak adekuat, mengakibatkan mereka kehabisan energi dan kekurangan zat gizi essensial bagi pertumbuhan tubuhnya (Wong et al. 2008). Berikut adalah Tabel yang menunjukkan sebaran mahasiswi berdasarkan upaya menurunkan berat badan. Tabel 16 Sebaran mahasiswi berdasarkan upaya untuk menurunkan berat badan Upaya menurunkan berat badan

n

%

Ya Tidak Total

48 31 79

60.8 39.2 100.0

Berdasarkan hasil wawancara, sebagian besar mahasiswi mengaku berdiet untuk menurunkan berat badan (60.8%), sedangkan sisanya sebesar 39.2% mahasiswi mengaku tidak melakukan diet menurunkan berat badan. Diet yang dilakukan oleh sebagian besar mahasiswi inilah yang mempengaruhi tingkat konsumsi energi dan zat gizi yang akan dibahas lebih lanjut pada tingkat kecukupan zat gizi mahasiswi. Berikut adalah Tabel 17 yang menunjukkan jenisjenis diet yang diterapkan oleh mahasiswi. Tabel 17 Sebaran mahasiswi berdasarkan jenis-jenis diet yang diterapkan oleh mahasiswi Jenis diet yang dilakukan

n

%

Mengurangi makanan berlemak Mengurangi makanan berkarbohidrat Mengurangi porsi makan Memperbanyak konsumsi buah dan sayur Meal Skipping Lainnya

7 12 7 6 12 4

14.6 25.0 14.6 12.5 25.0 8.3

Total

48

100.0

47  

 

 

Jenis-jenis diet yang diterapkan oleh mahasiswi cukup beragam. Mahasiswi mengaku cara diet yang diterapkan diketahui oleh media massa khususnya melalui jaringan informasi melalui internet. Menurut Flynn (1997), diet ketat yang dilakukan pada masa remaja dapat menghambat pertumbuhan yang tengah berlangsung karena pada masa remaja kebutuhan terhadap zat gizi cukup tinggi. Diet yang paling banyak diterapkan oleh mahasiswi adalah mengurangi makanan karbohidrat (25.0%) dan meal skipping (25.0%). Meal skipping merupakan kebiasaan makan yang sering dilakukan oleh remaja. Menurut Gleason et al. (2001), Melewatkan waktu makan dihubungkan dengan status kesehatan yang kurang baik termasuk indeks massa tubuh yang tinggi, penurunan konsentrasi belajar, peningkatan resiko kekurangan zat gizi terutama kalsium dan serat (Affenito et al. 2005). Mengurangi

asupan

karbohidrat

dilakukan

oleh

mahasiswi

untuk

menurunkan berat badan adan atau mencegah kegemukan. Mengurangi karbohidrat dilakukan mahasiswi dengan mengurangi porsi nasi di setiap waktu makan. Hal inilah yang berdampak pada tingkat kecukupan energi mahasiswi. Diet yang sehat juga dilakukan oleh mahasiswi sebesar 12.5% yaitu dengan memperbanyak konsumsi buah dan sayur, akan tetapi beberapa mahasiswi juga menggunakan obat dan susu pelangsing untuk menurunkan berat badan (8.3%). Aktivitas Fisik Mahasiswi Aktifitas fisik menentukan kondisi kesehatan seseorang. Aktifitas fisik adalah gerakan yang dilakukan otot-otot tubuh dan sistem penunjangnya. Selama melakukan aktifitas fisik, otot membutuhkan energi untuk menghantarkan zat-zat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh dan mengeluarkan sisa-sisa tubuh. Banyaknya energi yang dibutuhkan tergantung pada berapa banyak otot yang bergerak, berapa lama dan berapa berat pekerjaan yang dilakukan (Almatsier 2002). Aktivitas fisik yang kurang atau tidak memadai dan zat gizi yang tidak mencukupi karena hanya konsumsi pangan padat kalori diakui sebagai mekanisme utama iyang mendasari peningkatan dalam berat badan berlebih. Aktifitas fisik menentukan kondisi kesehatan seseorang. Tabel 18 menguraikan sebaran jenis aktivitas mahasiswi. Aktivitas mahasiswi yang diamati adalah adalah aktivitas mahasiswi pada hari kuliah dan hari libur/weekend. Berdasarkan Tabel tersebut diketahui bahwa sebagian besar waktu yang dimiliki oleh mahasiswi dihabiskan untuk kuliah dan tidur. Pada hari kuliah rata-rata lama tidur mahasiswi adalah sebesar 6.5 ± 1.1 jam sedangkan

48  

 

 

pada hari libur rata-rata lama tidur mahasiswi adalah sebesar 8.6 ± 1.4 jam. Hal ini dikarenakan pada hari libur sebagian besar mahasiswi menghabiskan waktu untuk beristirahat. Waktu libur dimanfaatkan mahasiswi untuk tidur dan jalanjalan serta belajar. Hal inilah yang mengakibatkan sebagian besar aktivitas mahasiswi tergolong ke dalam aktivitas ringan. Tabel 18 Sebaran mahasiswi berdasarkan status gizi dan aktivitas fisik Waktu

Hari Kuliah

Hari Libur

Jenis Aktivitas Tidur Kebersihan diri Makan Ibadah Membaca Naik mobil/bus berjalan tanpa beban Nonton tv Duduk/istirahat Ngobrol/diskusi Tidur kebersihan diri Makan ke pasar/warung Ibadah/sholat mencuci baju Menyapu

Rata-rata+SD (jam/hari) 6.5 ± 1.1 0.9 ± 0.1 1.1 ± 0.2 0.6 ± 0.3 3.6 ± 0.8 0.2 ± 0.1 0.5 ± 0.0 1.7 ± 0.4 6.0 ± 0.6 1.6 ± 0.4 8.6 ± 1.4 1.0 ± 0.1 1.0 ± 0.1 1.0 ± 0.1 0.5 ± 0.1 0.5 ± 0.1 0.3 ± 0.1

Naik mobil/bus berjalan tanpa beban nonton tv Mengetik Duduk Membaca

0.3 ± 0.5 ± 1.3 ± 1.8 ± 3.2 ± 2.0 ±

0.2 0.1 0.5 0.7 0.9 1.0

Berdasarkan Tabel 19, dapat dilihat bahwa, sebagian besar mahasiswi baik memiliki tingkat aktivitas ringan dengan persentase sebesar 97.5 %. Aktivitas mahasiswi tergolong ringan dikarenakan sebagian besar waktu mahasiswi dihabiskan untuk kuliah dan tidur, sebagian besar mahasiswi juga tidak mencuci pakaiannya sendiri melainkan menggunakan jasa orang lain dan jasa

laundry.

Untuk

berangkat

kuliah

pun

sebagian

besar

mahasiswi

menggunakan fasilitas asrama yaitu bus IPB yang mengantarkan mahasiswi ke halte-halte terdekat dengan lokasi perkuliahan. Tidak ada mahasiswi yang memasak untuk meyiapkan makanan karena makanan diperoleh dari pembelian di warung makan di sekitar asrama atau kampus. Hal inilah yang diduga menyebabkan aktivitas fisik mahasiswi sebagian besar tergolong ringan.

49  

 

 

Tabel 19 Sebaran mahasiswi berdasarkan aktivitas fisik PAL

n

%

Ringan

Kategori Kegiatan

1,40-1,69

77

97.5

Sedang

1,70-1,99

2

2.5

Berat

2,00-2,39

0

0

79

100

Total

Jika dihubungkan dengan persepsi terhadap kegemukan hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara persepsi tentang kegemukan terhadap aktivitas fisik mahasiswi (r= -0.012, p=0.919). Hal ini bermakna, walaupun mahasiswi semakin takut terhadap kegemukan akan tetapi mahasiswi tidak meningkatkan aktivitas fisiknya untuk menanggulangi dan atau mencegah kegemukan. Hal ini dikarenakan aktivitas mahasiswi sebagian besar merupakan rutinitas dan sebagian besar mahasiswi mengaku hanya berolahraga ketika sedang mendapat mata kuliah olahraga. Kebiasaan Makan Kebiasaan makan merupakan tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi kebutuhannya akan makan yang meliputi sikap, kepercayaan dan pemilihan makanan. Persepsi seseorang terhadap bentuk tubuhnya dan terhadap kegemukan akan berpengaruh terhadap perilaku makannya. Dalam penelitian ini dilakukan scoring kebiasaan makan, semakin besar skor kebiasaan makan maka semakin baik kebiasaan makan orang tersebut (Maxitelia 2005). Adapun kebiasaan makan yang diberi skor dalam penelitian ini adalah kebiasaan sarapan, frekuensi makan, kebiasaan mengonsumsi sayur dan buah, kebiasaan mengonsumsi camilan, kebiasaan mengonsumsi camilan berlebihan saat sedang stress, preferensi terhadap sayur bersantan dan tidak bersantan, kebiasaan jajan di kampus, kebiasaan mengonsumsi fast food dan soft drink. Skor tertinggi kebiasaan makan adalah 100 dan skor terendahnya 0. Semakin tinggi skor kebiasaan makan maka semakin baik kebiasaan makan yang diterapkan contoh. Berikut adalah Tabel 20 yang menunjukkan sebaran mahasiswi berdasarkan skor kebiasaan makan.

50  

 

 

Tabel 20 Sebaran mahasiswi berdasarkan skor kebiasaan makan Skor kebiasaan makan

n

%

Tinggi (> 80%)

32

40.5

Sedang (60-80%)

44

55.7

Rendah (≤ 60%) Total Rata-rata ± SD

3 79

3.8 100.0 76.2 ± 9.7

Berdasarkan Tabel 20 di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar mahasiswi memiliki skor kebiasaan makan yang termasuk dalam kategori sedang dengan rata-rata skor keseluruhan sebesar 76.2 dengan standar deviasi 9.7. Hal ini dikarenakan sebagian besar dari mahasiswi masih sering melewatkan sarapan sehingga hanya memiliki frekuensi makan makanan utama sebanyak 12 kali/hari. Selain itu mahasiswi juga sebagian besar menyukai camilan gurih dan gorengan serta memiliki kebiasaan mengomsumsi soft drink. Tabel 21 menunjukkan sebaran mahasiswi berdasarkan kebiasaan mahasiswi dalam sarapan, makan malam, frekuensi makan, pengolahan makanan yang disukai dan frekuensi konsumsi air putih setiap harinya. Lebih dari 40% mahasiswi terbiasa melakukan sarapan sebelum berangkat kuliah. Persentase terkecil mahasiswi yang melakukan sarapan setiap hari adalah pada mahasiswi gemuk yaitu sebesar 25%. Menurut Gleason et al. (2001), sarapan dilewatkan oleh 34% remaja perempuan berusia 14-19 tahun. Melewatkan sarapan dihubungkan dengan status kesehatan yang kurang baik termasuk indeks massa tubuh yang tinggi, penurunan konsentrasi belajar, peningkatan resiko kekurangan zat gizi terutama kalsium dan serat (Affenito et al. 2005). Berdasarkan uji korelasi Spearman, tidak terdapat hubungan antara persepsi terhadap kegemukan dengan kebiasaan sarapan mahasiswi (r= -0.219; p= 0.052), hal ini bermakna bahwa semakin besar ketakutan mahasiswi terhadap kegemukan maka belum tentu mahasiswi tersebut melewatkan waktu sarapan. Hal ini dikarenakan 94.9% mahasiswi tetap melakukan sarapan walaupun dengan frekuensi yang berbeda-beda. Selain itu, sebesar 5.1% mahasiswi yang tersebar pada mahasiswi normal dan gemuk mengaku tidak pernah melakukan sarapan. Hal ini senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Story et al. (2002) ditemukan bahwa sarapan merupakan waktu makan yang paling sering dilewatkan oleh remaja khususnya remaja perempuan. Adapun alasan remaja melewatkan waktu

51  

 

 

sarapannya bermacam-macam mulai dari sibuk, untuk mencegah rasa kantuk saat sekolah/kuliah, serta menurunkan berat badan dengan membatasi asupan kalori (Lin et al. 1996). Pada penelitian ini sebagian besar alasan mahasiswi melewatkan sarapan adalah karena tidak sempat sarapan (sibuk kuliah) dan untuk mengurangi asupan kalori (diet). Tabel 21 Sebaran mahasiswi berdasarkan kebiasaan sarapan, kebiasaan makan malam, frekuensi makan, jenis pengolahan makanan yang disukai dan konsumsi air putih Kebiasaan Makan

n

%

32 30 13 4

40.5 38.0 16.5 5.1

79

100.0

64 15

81.0 19.0

79

100.0

45 34 0

57.0 43.0 0.0

79

100.0

58 12 9

73.4 15.2 11.4

79

100.0

7 65 7

8.9 82.2 8.9

79

100

Kebiasaan sarapan -

Setiap hari 3-5 kali/minggu 1-2 kali/minggu Tidak pernah

Total Kebiasaan makan sore/malam -

Ya Tidak

Total Frekuensi makan sehari -

1-2 kali/hari 3-4 kali/hari > 4 kali/hari

Total Jenis pengolahan makanan yang paling disukai -

Digoreng Dipanggang Direbus

Total Jumlah air putih yang biasa diminum setiap hari Total

3 gelas 3-8 gelas >8 gelas

Sebagian besar mahasiswi terbiasa makan pada sore atau malam hari dengan persentase sebesar 81.0%, sedangkan sisanya 19.0% mengaku tidak makan pada sore atau malam hari yang tersebar pada mahasiswi normal dan gemuk, dengan alasan untuk mengurangi asupan kalori. Dalam penelitian ini, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi kegemukan dengan kebiasaan makan malam mahasiswi (r= -0.320; p= 0.040), hal ini menunjukkan

52  

 

 

bahwa semakin baik persepsi mahasiswi mengenai kegemukan belum tentu mahasiswi tidak makan pada malam hari. Adapun sebagian besar mahasiswi terbiasa makan dengan frekuensi 1-2 kali/hari yaitu dengan persentase sebesar 57.0%, dan sisanya sebesar 43.0% terbiasa makan dengan frekuensi 3-4 kali/hari. Menurut Khomsan (2003) bahwa frekuensi makan yang baik adalah 3 kali dalam sehari untuk menghindarkan kekosongan lambung. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Priyanto (2007) terbukti bahwa kelebihan frekuensi makan makanan utama dan kelebihan asupan energi merupakan faktor risiko kejadian kegemukan. Akan tetapi dalam penelitian ini frekuensi makan mahasiswi gemuk sebagian besar berada pada frekuensi 1-2 kali/hari yaitu sebesar 54.2%. Hal ini disebabkan sebagian besar dari mereka mengurangi frekuensi makan dengan tujuan untuk membatasi asupan kalori. Dalam penelitian ini, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi kegemukan dengan frekuensi makan mahasiswi (r=-0.164; p= 0.148), hal ini menunjukkan bahwa semakin baik persepsi mahasiswi mengenai kegemukan belum tentu frekuensi makan mahasiswi semakin baik atau sesuai dengan pedoman gizi. Sebagian besar mahasiswi memiliki kebiasaan mengonsumsi air putih 3-8 gelas setiap harinya dengan persentase sebesar 82.3%. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi kegemukan dengan kebiasaan minum air putih (r= -0.151; p= 0.184), hal ini menunjukkan bahwa semakin baik persepsi mahasiswi mengenai kegemukan belum tentu semakin banyak mahasiswi mengonsumsi

air

putih.

Selain

kebiasaan

makan

di

atas,

kebiasaan

mengonsumsi sayur dan buah-buahan juga diteliti dalam penelitian ini. Berikut adalah Tabel yang menunjukkan kebiasaan mahasiswi mengonsumsi sayur dan buah serta frekuensinya. Sebagian besar mahasiswi menyatakan suka mengonsumsi sayur yaitu dengan persentase sebesar 81.0%, sisanya sebesar 19.0% mahasiswi menyatakan tidak suka mengonsumsi sayur. Alasan mahasiswi yang tidak menyukai sayur dikarenakan menurut mereka rasa sayur tidak enak dan terkadang pahit. Persentase mahasiswi yang paling sering mengonsumsi sayur adalah mahasiswi kurus yaitu dengan nilai sebesar 57.1 %. Menurut (Drapeau et al. 2004), konsumsi buah dan sayuran dapat mencegah kejadian kegemukan karena dapat mengurangi rasa lapar dan tidak menimbulkan kelebihan lemak dan sebagainya.

53  

 

 

Tabel 22 Sebaran Mahasiswi berdasarkan Kebiasaan mengonsumsi sayuran dan buah-buahan Kebiasaan Makan

n

%

Kesukaan terhadap sayur - Ya - Tidak

64 15

81.0 19.0

Total

79

100.0

Kebiasaan makan sayur - 1-2 kali/hari - 3-4 kali/hari - >4 kali/hari

60 15 4

75.9 19.0 5.1

Total

79

100.0

Preferensi terhadap sayuran bersantan atau tidak bersantan - Sayur bersantan - Sayur tidak bersantan

26 53

32.9 67.1

Total

79

100.0

Kesukaan terhadap buah - Ya - Tidak

71 8

89.9 10.1

Total

79

100.0

Kebiasaan makan buah - 1-2 kali/minggu - 3-4 kali/minggu - >4 kali/minggu

29 18 32

36.7 22.8 40.5

Total

79

100.0

Adapun sebesar 67.1% mahasiswi menyukai sayur yang tidak bersantan, sisanya sebesar 32.9% menyukai sayur bersantan. Persentase mahasiswi terbesar yang menyukai sayur bersantan adalah mahasiswi normal (30.9%), sedangkan persentase mahasiswi terkecil yang menyukai sayur bersantan adalah mahasiswi gemuk (20.8%), hal ini dikarenakan sebagian besar mahasiswi gemuk mulai menghindari makanan-makanan sumber lemak dan karbohidrat untuk mengurangi kelebihan berat badan yang mereka alami. Mengacu pada DKBM (2010) diketahui bahwa santan kelapa merupakan penyumbang energi dan lemak yang cukup besar, setiap 100 gramnya santan kelapa mengandung energi sebesar 324 Kalori dan lemak sebesar 34.3 gram. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi kegemukan dengan kebiasaan konsumsi sayur (r= 0.074; p= 0.524), hal ini menunjukkan bahwa semakin baik persepsi mahasiswi mengenai kegemukan belum tentu semakin banyak mahasiswi mengonsumsi sayur.

54  

 

 

Sebagian besar mahasiswi menyukai buah dengan persentase sebesar 89.9%, sisanya 10.1% tidak menyukai buah. Semua mahasiswi gemuk dalam penelitian ini mengaku menyukai buah. Mahasiswi dengan persentase terbesar mengonsumsi buah lebih dari 4 kali/hari adalah mahasiswi gemuk (54.2%). Hal ini dikarenakan sebagian mahasiswi gemuk mengganti makan malam mereka dengan mengonsumsi buah-buahan seperti pepaya dan pisang. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi kegemukan dengan kebiasaan konsumsi buah (r= -0.007; p= 0.950), hal ini menunjukkan bahwa semakin baik persepsi mahasiswi mengenai kegemukan belum tentu semakin banyak mahasiswi mengonsumsi buah. Selain kebiasaan mengonsumsi sayur dan buah-buahan. Kebiasaan mengonsumsi camilan, camilan yang sering dikonsumsi juga diteliti dalam penelitian ini. Camilan atau makanan ringan atau snack adalah istilah bagi makanan yang bukan merupakan menu utama (makan pagi, makan siang atau makan malam). Tabel 23 menguraikan sebaran mahasiswi berdasarkan kebiasaan mengonsumsi camilan, kesukaan terhadap camilan gurih dan gorengan, kebisaan mengonsumsi camilan saat stres, camilan yang sering dikonsumsi ketika stres serta kebiasaan jajan di kampus. Sebagian besar mahasiswi mengonsumsi camilan dengan frekuensi sebanyak 3-5 kali/minggu dengan persentase sebesar 48.1%. Adapun persentase mahasiswi tertinggi yang mengonsumsi camilan setiap hari adalah pada mahasiswi normal yaitu sebesar 29.2% kemudian diikuti dengan mahasiswi gemuk dengan persentase sebesar 16.7%. Adapun sebagian besar mahasiswi pada penelitian ini menyukai camilan yang rasanya gurih (92.4%) dan camilan gorengan (75.9%) dengan persentase tertinggi pada mahasiswi kurus. Hal ini disebabkan mahasiswi kurus dalam penelitian ini ingin menambah berat badannya dengan mengonsumsi makanan yang banyak mengandung karbohidrat dan lemak. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi kegemukan dengan kebiasaan konsumsi camilan gurih (r= 0.121; p= 0.290) dan gorengan (r= -0.045; p= 0.696), hal ini menunjukkan bahwa semakin besar ketakutan mahasiswi terhadap kegemukan belum tentu semakin sedikit mahasiswi mengonsumsi camilan yang gurih dan gorengan.

55  

 

 

Tabel 23 Sebaran mahasiswi berdasarkan kebiasaan mengonsumsi camilan, jenis camilan yang dikonsumsi dan kebiasaan jajan di kampus Kebiasaan Makan

n

%

Kebiasaan mengonsumsi camilan - Setiap hari - 3-5 kali/minggu - 1-2 kali/minggu - Tidak pernah

18 38 22 1

22.8 48.1 27.8 1.3

Total

79

100.0

Kesukaan terhadap camilan (snack) yang rasanya gurih - Ya - Tidak

73 6

92.4 7.6

Total

79

100.0

Kesukaan terhadap camilan (snack) gorengan - Ya - Tidak

60 19

75.9 24.1

Total

79

100.0

Kebiasaan makan berlebihan ketika stress - Ya - Tidak

49 30

62.0 38.0

Total

79

100.0

Jenis makanan yang dikonsumsi saat stress - Coklat - Gorengan - Biskuit - Mie ayam - Lainnya

23 9 4 4 9

46.9 18.4 8.2 8.2 18.4

Total

49

100.0

Kebiasaan jajan dikampus - Setiap hari - 3-5 kali/minggu - 1-2 kali/minggu - Tidak pernah

24 29 24 2

30.4 36.7 30.4 2.5

Total

79

100.0

Stres adalah reaksi non-spesifik manusia terhadap rangsangan atau tekanan (stimulus stresor). Stres merupakan suatu reaksi adaptif, bersifat sangat individual, sehingga suatu stres bagi seseorang belum tentu sama tanggapannya bagi orang lain. Hal ini sangat dipengaruhi oleh tingkat kematangan berpikir, tingkat pendidikan, dan kemampuan adaptasi seseorang terhadap lingkungannya (Hartono 2007).

56  

 

 

Sebesar 62.0% mahasiswi menyatakan mengonsumsi camilan berlebihan saat sedang mengalami stres. Adapun kondisi-kondisi yang membuat mereka stres antara lain saat ujian, saat sedang banyak tugas ataupun sedang mengalami masalah keluarga atau percintaan. Dari beberapa jenis camilan yang dikonsumsi saat stres, coklat merupakan camilan yang paling banyak dikonsumsi mahasiswi saat sedang stres yaitu dengan persentase sebesar 46.9%. Hal ini dikarenakan sebagian besar mahasiswi meyakini coklat yang rasanya manis dapat mengurangi stres yang mereka alami. Tidak terdapat hubungan yang signifikan

antara

persepsi

kegemukan

dengan

mengonsumsi

camilan

berlebihaan saat stres (r= 0.070, p= 0.541), hal ini menunjukkan bahwa semakin baik persepsi mahasiswi mengenai kegemukan belum tentu semakin sedikit mahasiswi mengonsumsi camilan yang berlebihan saat stres. Adapun sebesar 34.0% mahasiswi menyatakan setiap hari membeli dan mengonsumsi jajanan di kampus. Sebagian besar dari mereka mengaku bahwa camilan yang sering dibeli saat jajan di kampus adalah gorengan dan makanan ringan untuk mengisi perut sementara waktu di antara waktu perkuliahan. Kebiasaan makan yang juga diteliti dalam penelitian ini adalah kebiasaan mahasiswi dalam mengonsumsi fast food dan soft drink. Menurut (Khomsan 2004), fast food adalah makanan yang bergizi tinggi. Tetapi fast food umumnya juga ‘miskin sayur’ akan sayur. Kalaupun ada, sayurnya terbatas pasa salada yang tidak banyak mengandung vitamin dan mineral. Fast food yang berasal dari pangan hewani ternak sebagai menu utama juga merupakan pangan sumber lemak dan kolesterol cukup tinggi. Lemak dan kolesterol memang dibutuhkan tubuh, namun bila dikonsumsi berlebihan akan mendatangkan gangguan kesehatan seperti terjadinya penyumbatan pembuluh darah. Dalam mengonsumsi

penelitian

ini,

sebagian

besar

mahasiswi

tidak

pernah

fast food dalam seminggu yaitu dengan persentase sebesar

57.0%. Adapun sebesar 40.5% mahasiswi menyatakan mengonsumsi fast food 1-2 kali/minggu, dengan persentase tertinggi pada mahasiswi normal dan gemuk (41.7%). Fast Food yang paling sering dikonsumsi oleh sebagian besar mahasiswi adalah KFC (Kentucky Fried Chicken). Menurut Khomsan et al. (1998), kandungan energi dan lemak Fried Chicken per porsi pada bagian dada, masing-masing sebesar 346 Kal dan 22.79 gram. Berdasarkan uji korelasi Spearman, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi kegemukan dengan kebiasaan mahasiswi mengonsumsi fast food (r= 0.019; p= 0.869). Hal

57  

 

 

ini berarti bahwa, semakin baik persepsi mahasiswi mengenai kegemukan belum tentu mahasiswi mengurangi konsumsi fast food. Tabel 24 Sebaran Mahasiswi berdasarkan Kebiasaan Mengonsumsi Fast food dan Soft drink Kebiasaan Makan

n

%

Kebiasaan konsumsi Fast Food - Setiap hari - 3-5 kali/minggu - 1-2 kali/minggu - Tidak pernah

0 2 32 45

0.0 2.5 40.5 57.0

Total

79

100.0

Kebiasaan konsumsi Soft Drink - Setiap hari - 3-5 kali/minggu - 1-2 kali/minggu - Tidak pernah

1 13 50 15

1.3 16.5 63.3 19.0

Total

79

100.0

Minuman ringan (soft drink) adalah minuman yang tidak mengandung alkohol, merupakan minuman olahan dalam bentuk bubur atau cair yang mengandung bahan makanan atau bahan tambahan lainnya baik alami maupun sintetik yang dikemas dalam kemasan siap untuk dikonsumsi. Menurut Thonner dan Hezberg (1978), minuman ringan dibagi menjadi tiga kategori yaitu : 1. Minuman bergas (carbonated), yaitu jenis minuman yang mengandung gula, asam, flavor dan konsentrat. 2. Minuman tidak bergas (non carbonated), yaitu jenis minuman yang meliputi sari buah dan teh. 3. Minuman gas yang tidak mengandung gula, asam, atau essence (sparkling water) seperti air soda. Dalam penelitian ini kelompok minuman bergas yang diteliti meliputi Coca cola/Fanta/Sprite, sedangkan minuman tidak bergas meliputi Teh botol, Frestea, U’R tea, Teh poci dan Teh Upet. Sebagian besar mahasiswi menyatakan mengonsumsi soft drink 1-2 kali/minggu, dengan persenatase terbesar pada mahasiswi

gemuk (70.8%). Soft drink yang paling sering dikonsumsi oleh

mahasiswi adalah U’R tea yang merupakan es teh manis yang disajikan di dalam gelas plastik, soft drink ini dijual di Agrimart IPB. Tinggi konsumsi U’R tea ini diduga karena harganya yang terjangkau dan kemudahan akses mahasiswi membelinya karena dijual di sekitar asrama putri TPB IPB. Berdasarkan uji

58  

 

 

korelasi Spearman, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi terhadap kegemukan dengan kebiasaan mahasiswi mengonsumsi soft drink (r= 0.021; p= 0.852). Hal ini bermakna bahwa semakin baik persepsi mahasiswi mengenai kegemukan tidak menentukan semakin sedikit soft drink yang dikonsumsi untuk menghindari kegemukan. Hal ini dikarenakan sebagian besar mahasiswi masih mengonsumsi soft drink (81.0%) sehari-hari. Frekuensi Konsumsi Pangan  

Menurut (Riyadi 1996), faktor-faktor dasar yang mempengaruhi jumlah

dan jenis pangan yang dikonsumsi oleh seseorang adalah rasa lapar atau kenyang, selera atau reaksi cita rasa, motivasi, ketersediaan pangan, suku bangsa, status sosial ekonomi dan pendidikan. Frekuensi makan diukur dalam satuan kali per hari, kali per minggu maupun kali per bulan. Frekuensi makan pada orang yang kondisi sosial ekonomi mampu lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang kondisi ekonominya lemah. Hal ini disebabkan karena orang yang memiliki kemampuan ekonomi yang tinggi memiliki daya beli yang tinggi sehingga dapat mengonsumsi makanan dengan frekuensi yang lebih tinggi (Khomsan et al. 1998). Data ukuran dan frekuensi yang dikumpulkan meliputi pangan sumber karbohidrat (nasi, mie dan roti), pangan sumber protein hewani (daging ayam, daging sapi, telur ayam, sosis, nugget, dan susu), pangan sumber protein nabati (kacang hijau, kacang tanah, kacang kedelai, tempe dan tahu), pangan sumber vitamin dan mineral yaitu buah (mangga, alpukat dan durian) serta sayur (bayam, kangkung, sop kol dan wortel, dan daun singkong), dan pangan jajanan (bakso, mie ayam, siomay, gorengan, kue basah, dan kue kering). Pemilihan pangan-pangan ini mempertimbangkan potensi panganpangan tersebut apabila dikonsumsi dalam jumlah banyak dapat menyebabkan kegemukan. Data ukuran dan frekuensi konsumsi selama 1 bulan terahkir dikumpulkan dengan menggunakan Food Frequency Questionnaire (Gibson 1990). Berdasarkan Tabel 25 dapat dilihat bahwa, makanan pokok yang paling sering dikonsumsi oleh mahasiswi adalah nasi dengan rata-rata frekuensi sebesar 16.8 kali/minggu, dengan rata-rata konsumsi sebesar 2444.0 setiap minggunya, atau dengan kata lain mahasiswi mengonsumsi nasi 2-3 kali per hari dan sebanyak 400-600 gram per harinya. Jika dibandingkan dengan mahasiswi lain, mahasiswi gemuk lebih sedikit mengonsumsi nasi, hal ini dikarenakan

59  

 

 

sebagian besar mahasiswi gemuk melakukan pembatasan terhadap makanan sumber karbohidrat yaitu nasi dengan mengurangi porsi makan atau bahkan melewatkan sarapan dan atau makan malam (meal skipping). Tabel 25 Rata-rata konsumsi dan asupan pangan mahasiswi Bahan pangan Makanan pokok - Nasi - Mie - Roti

frekuensi (kali/minggu)

Asupan (gram/minggu)

16.8 1.7 2.1

2444.0 136.8 154.8

Pangan hewani - Daging ayam - Daging sapi - Telur ayam - Sosis - Nugget - Susu

3.4 0.5 4.4 0.6 0.5 3.1

239.0 24.4 292.5 29.4 10.5 129.4

Pangan nabati - Kacang hijau - Kacang tanah - Kacang kedelai - Tempe - Tahu

0.4 0.3 0.1 5.9 0.4

8.9 8.2 1.7 410.0 28.0

Buah - Mangga - Alpukat - Durian

1.5 0.9 0.1

75.0 56.1 33.4

Sayuran - Bayam - Kangkung - Sop kol dan wortel - Daun singkong

1.2 1.6 2.3 0.9

121.7 109.2 162.9 72.2

Pan an jajanan - Bakso - Mie ayam - Siomay - Gorengan - Kue basah - Kue kering

0.8 1.0 0.7 2.4 1.3 1.6

100.9 119.5 81.2 209.1 72.7 80.3

Roti merupakan makanan sumber karbohidrat kedua yang tersering dikonsumsi oleh mahasiswi dengan rata-rata frekuensi 2 kali/minggu dan ratarata konsumsi sebesar 154.8 gram setiap minggunya atau sekitar 75 gram setiap

60  

 

 

kali makan. Roti yang sering dikonsumsi oleh mahasiswi adalah roti tawar dan roti merk GS. Mie dikonsumsi oleh mahasiswi dengan rata-rata frekuensi sebesar 1.7 kali/minggu, dengan rata-rata konsumsi sebesar 136.8 gram. Jenis mie yang sering dikonsumsi oleh mahasiswi adalah mie instan rebus dan goreng. Telur ayam adalah jenis bahan pangan sumber protein hewani yang paling banyak dikonsumsi oleh mahasiswi. Mahasiswi mengonsumsi telur dengan rata-rata frekuensi sebesar 4.4 kali/minggu dan rata-rata ukuran yang dikonsumsi adalah sebesar 292.5 gram/minggu. Telur menjadi pangan hewani yang paling sering dikonsumsi mahasiswi diduga karena harga telur lebih murah jika dibandingkan dengan pangan hewani lain. Mengacu pada DKBM (2010), satu butir telur ayam mengandung energi sebesar 162.0 Kal, protein 12.8 gram, lemak 11.5 gram dan karbohidrat 0.7 gram. Daging ayam adalah jenis bahan pangan sumber protein hewani kedua tersering yang pernah dikonsumsi satu bulan yang lalu oleh mahasiswi. Mahasiswi mengonsumsi daging ayam dengan rata-rata frekuensi sebesar 3.4 kali/minggu dan rata-rata ukuran daging ayam yang dikonsumsi selama seminggu sebesar 239.0 gram. Susu adalah bahan pangan sumber protein hewani ketiga tersering yang dikonsumsi mahasiswi. Mahasiswi yang paling sering mengonsumsi susu adalah mahasiswi berstatus gizi normal dengan ratarata frekuensi 3.5 kali/minggu. Susu yang paling banyak dkonsumsi oleh mahasiswi adalah susu kental manis dan susu ultra coklat yang diminum saat sarapan dan atau sebelum tidur. Bahan pangan sumber protein nabati yang paling sering dikonsumsi oleh mahasiswi adalah tempe. Mahasiswi mengonsumsi tempe dengan rata-rata frekuensi 5.9 kali/minggu dan rata-rata ukuran yang dikonsumsi per minggunya sebesar 410.0 gram. Sebagian besar mahasiswi mengonsumsi tempe dalam bentuk tempe goreng biasa ataupun tempe goreng tepung (gorengan) yang dikonsumsi saat makan utama dan atau sebagai selingan. Kacang hijau adalah bahan pangan sumber protein nabati kedua terbanyak yang dikonsumsi oleh mahasiswi. Adapun mahasiswi yang paling sering dan banyak mengonsumsi kacang hijau adalah mahasiswi normal dengan rata-rata frekuensi sebesar 1 kali/2 minggu dan rata-rata ukuran yang dikonsumsi per minggunya sebesar 10.9 gram. Sebagian besar mahasiswi mengonsumsi kacang hijau dalam bentuk bubur kacang hijau, yang sering dikonsumsi oleh mahasiswi sebagai alternatif menu sarapan.

61  

 

 

Berdasarkan Tabel di atas buah yang paling sering dikonsumsi mahasiswi adalah buah mangga dengan frekuensi tertinggi pada mahasiswi normal. Baik pada mahasiswi kurus, normal, dan gemuk jarang mengonsumsi alpukat dan durian. Adapun diluar dari buah-buah di atas buah yang biasa dikonsumsi mahasiswi adalah semangka, pisang dan melon. Hal ini diduga karena di lingkungan asrama (kantin agrimart dan babakan raya) buah yang banyak dijual adalah semangka, pisang dan melon serta harga ketiga buah tersebut lebih terjangkau dibandingkan dengan buah lain karena pembeliaannya per potong. Kelompok sayur-sayuran, sayuran yang paling sering dikonsumsi adalah sop kol dan wortel. Mahasiswi mengonsumsi sop kol dan wortel adalah dengan rata-rata frekuensi per minggu sebesar 2.2 kali/minggu dengan rata-rata ukuran yang dikonsumsi selama seminggu sebesar 162.9 gram. Berdasarkan data kebiasaan makan mahasiswi sebesar 15% mahasiswi menyatakan tidak suka mengonsumsi sayur-sayuran dikarenakan rasa sayur yang menurut mereka tidak enak karena cenderung pahit rasanya. Menurut

Keputusan

Menteri

Kesehatan

Republik

Indonesia

No.

942/MENKES/SK/VII/2003, makanan jajanan adalah makanan dan minuman yang diolah oleh pengrajin makanan di tempat penjualan dan atau disajikan sebagai makanan siap santap untuk dijual bagi umum selain yang disajikan jasa boga, rumah makan atau restoran, dan hotel. Pangan jajanan termasuk dalam kategori pangan siap saji yaitu makanan dan minuman yang dijual untuk langsung dikonsumsi tanpa proses pengolahan lebih lanjut. Ragam pangan jajanan antara lain: bakso, mie goreng, nasi goreng, ayam goreng, burger, cakue, cireng, cilok, cimol, tahu, gulali, es jepit, es lilin dan ragam pangan jajanan lainnya (Direktorat Perlindungan Konsumen 2006). Dalam penelitian ini, pangan jajanan terdiri dari bakso, mie ayam, siomay, gorengan, kue basah dan kue kering. Pangan jajanan yang paling sering dikonsumsi oleh mahasiswi adalah gorengan dengan rata-rata frekuensi konsumsi sebanyak 2.4 kali/minggu dengan rata-rata konsumsi per minggu sebesar 209.1 gram. Jika dianalisis lebih lanjut, berbeda dengan mahasiswi yang lain, mahasiswi gemuk paling jarang mengonsumsi gorengan dengan rata-rata frekuensi mengonsumsi gorengan hanya 0.4 kali/minggu. Hal ini dikarenakan sebagian besar mahasiswi gemuk mulai mengurangi konsumsi gorengan yang menurut mereka merupakan sumber lemak yang dapat membuat mereka bertambah gemuk.

62  

 

 

Kue kering adalah pangan jajanan kedua terbanyak yang dikonsumsi oleh mahasiswi. Dengan rata-rata frekuensi 1.6 kali/mimggu dengan rata-rata konsumsi sebesar 80.3 gram setiap minggu. Berbeda dengan konsumsi gorengan, konsumsi kue kering paling banyak dilakukan oleh mahasiswi gemuk dengan rata-rata frekuensi 1.8 kali/minggu dengan rata-rata ukuran per minggu sebesar 87.9 gram. Jenis kue kering yang paling sering dikonsumsi oleh mahasiswi adalah kue kiloan yang banyak dijajakan di babakan raya sekitar kampus IPB. Intik Konsumsi dan Tingkat Kecukupan Gizi Konsumsi pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang dimakan seseorang atau sekelompok orang (keluarga atau rumah tangga) pada waktu tertentu. Manusia memerlukan sejumlah zat gizi agar dapat hidup sehat dan mempertahankan hidupnya. Oleh karena itu, jumlah zat gizi yang diperoleh melalui konsumsi pangan harus mencukupi kebutuhan tubuh untuk melakukan kegiatan (internal dan eksternal), pemeliharaan tubuh, dan pertumbuhan bagi orang dewasa dan lansia (Hardinsyah dan Martianto 1992). Menurut Khomsan (2003), persepsi seseorang terhadap tubuhnya akan mempengaruhi perilaku makannya, hal ini diperkuat oleh hasil penelitian yang dilakukan Siswannti (2007), bahwa mahasiswi TPB yang memiliki ketakutan terhadap kegemukan akan lebih berhati-hati dalam memilih makanannya. Konsumsi pangan keluarga, individu maupun golongan tertentu dapat diketahui dengan melakukan survai konsumsi pangan secara kualitatif dan kuantitatif (Suhardjo 1989). Secara kuantitatif yang paling sering digunakan diantaranya adalah metode recall (mengingat) (Riyadi 1996). Konsumsi pangan seseorang dapat dipengaruhi oleh ketersediaan bahan pangan, tingkat pendapatan keluarga, jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu, serta selera sebagian besar keluarga (Suhardjo 1989). Frekuensi konsumsi mahasiswi ditampilkan untuk melihat pola kebiasaan makan dan dilakukan dengan metode recall 2x24 jam. Apabila pengukuran hanya dilakukan 1 kali (1x24 jam), maka data yang diperoleh kurang representatif untuk

menggambarkan

kebiasan

makan

individu.

Beberapa

penelitian

menunjukkan bahwa minimal 2 kali recall 24 jam tanpa berturut-turut,dapat menghasilkan gambaran asupan gizi lebih optimal dan memberikan variasi yang lebih besar tentang intik harian individu (Sanjur 1997 diacu dalam Supariasa et al. 2001).

63  

 

 

Tabel 26 menguraikan rata-rata konsumsi energi dan zat gizi mahasiswi. Rata-rata asupan energi mahasiswi adalah 1578 Kalori dan rata-rata asupan protein mahasiswi adalah sebesar 43.0 g. Jika dibandingkan dengan angka kecukupan energi dan zat gizi berdasarkan WNPG (2004), maka diperoleh ratarata Tingkat Kecukupan Gizi (TKG) energi sebesar 83.0% dan protein sebesar 86.0% pada mahasiswi. Tabel 26 Rata-rata konsumsi, kecukupan dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi Energi Protein -

Energi dan zat gizi

Rata-rata

Konsumsi Kecukupan Tingkat Konsumsi Berdasarkan Kecukupan (%)

1578 1900 83.0

Konsumsi Kecukupan Tingkat Konsumsi Berdasarkan Kecukupan (%)

43.0 50.0 86.0

Keterangan : E = energi (Kal); P = Protein (gram) 

Tingkat Kecukupan Energi Penentuan tingkat kecukupan energi dan protein mengacu pada Departemen Kesehatan (1996) yang mengklasifikasikan tingkat kecukupan energi dan protein dalam lima tingkatan yaitu : (1) defisit tingkat berat (<70% AKG), (2) defisit tingkat sedang (70-79%), (3) defisit tingkat ringan (80-89% AKG), (4) Normal (90-119% AKG) dan (5) Kelebihan (≥ 120% AKG). Berikut adalah Tabel 27 yang menguraikan sebaran mahasiswi menurut tingkat kecukupan energi. Sebagian besar mahasiswi termasuk dalam kategori defisit berat dengan persentase sebesar 29.1%. Sebagian besar mahasiswi yang termasuk dalam kategori defisit berat adalah mahasiswi yang memiliki IMT normal (33.3%) dan mahasiswi gemuk (20.8%), hal ini dikarenakan sebesar 52.1% mahasiswi normal dan 87.5% mahasiswi gemuk mengaku mengurangi asupan makanan mereka dengan cara diet yang berbeda-beda yang dapat dilihat pada Tabel 17. Sebesar 1.3% mahasiswi memiliki tingkat kecukupan energi yang tergolong dalam kategori berlebih. Mahasiswi yang asupan makanannya melebihi kebutuhan ini adalah mahasiswi dengan IMT normal.

64  

 

 

Tabel 27 Sebaran mahasiswi berdasarkan tingkat kecukupan energi Tingkat kecukupan energi n % Defisit tingkat berat 23 29.1 Defisit tingkat sedang 14 17.7 Defisit tingkat ringan 20 25.3 Normal 21 26.6 Kelebihan 1 1.3 Total 79 100.0 Konsumsi energi yang masih kurang dari angka kecukupan selain diduga disebabkan karena mahasiswi, terutama mahasiswi gemuk membatasi asupan makanannya (diet) terutama pangan sumber energi dan karbohidrat. Hal ini terlihat pada Tabel 17 yang menunjukkan beberapa perilaku diet mahasiswi. Selain itu, hal ini diduga juga disebabkan oleh beberapa kesalahan yang terjadi dalam pengukuran konsumsi pangan. Kesalahan-kesalahan tersebut antara lain bisa disebabkan oleh responden dan enumerator, lupa, kesalahan dalam menduga ukuran porsi dan The Flat Slope Syndrome. The Flat Slope Syndrome adalah suatu kecenderungan dimana responden akan melaporkan lebih pada konsumsi yang sedikit (overestimate low intakes) atau melaporkan sedikit pada konsumsi yang berlebihan (underestimate highintakes) (Gibson 1990). Menurut Kusharto dan Sa’diyyah (2003), metode recall konsumsi yang digunakan dalam penelitian memiliki kekurangan yaitu data yang dihasilkan kurang akurat karena mengandalkan keterbatasan daya ingat seseorangdan tergantung dari keahlian tenaga pencatat dalam mengonversi ukuran rumah tangga (urt) kedalam satuan berat, serta adanya variasi intepretasi besarnya ukuran antar responden. Berdasarkan hasil uji korelasi Pearson, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi kegemukan dengan tingkat kecukupan energi (r= 0.055; p= 0.630), hal ini menunjukkan bahwa semakin baik persepsi kegemukan mahasiswi belum tentu tingkat kecukupan energinya semakin baik. Hal ini dikarenakan mahasiswi yang memiliki persepsi kegemukan yang baik sekalipun ada yang masih membatasi makanan yang dikonsumsi dengan mengurangi porsi makan terutama porsi nasi. Tingkat Kecukupan Protein Berdasarkan tingkat kecukupan protein, sebagian besar mahasiswi termasuk dalam kategori defisit berat (40.5%). Hal ini cukup memprihatinkan mengingat fungsi protein yang sangat penting bagi pertumbuhan khususnya

65  

 

 

untuk remaja. Sebagian besar mahasiswi yang tingkat kecukupan proteinnya tergolong defisit berat adalah mahasiswi dengan IMT kurus (42.9%) dan gemuk (41.7%). Hal ini dikarenakan mahasiswi kurus sedikit mengonsumsi pangan hewani dan nabati, serta mahasiswi gemuk melakukan pembatasan makanan untuk menurunkan berat badan dengan mengurangi porsi makan termasuk juga porsi pangan sumber hewani yang mereka yakini sebagai makanan penyumbang lemak yang cukup besar. Hanya sebesar 27.8% mahasiswi yang tingkat kecukupan proteinnya tergolong normal. Mahasiswi yang tingkat kecukupan proteinnya tergolong normal didominasi oleh mahasiswi dengan IMT normal (29.2%). Terdapat tingkat kecukupan protein yang berlebih pada mahasiswi normal dikarenakan, sebagian besar mahasiswi normal tidak melakukan pembatasan pangan sumber protein baik pangan nabati maupun hewani. Tabel 26 menunjukkan sebaran mahasiswi menurut tingkat kecukupan protein. Tabel 28 Sebaran mahasiswi menurut tingkat kecukupan protein Tingkat kecukupan protein

n

%

Defisit tingkat berat Defisit tingkat sedang Defisit tingkat ringan Normal Kelebihan

32 10 7 22 8

40.5 12.7 8.9 27.8 10.1

Total

79

100

Berdasarkan hasil uji korelasi Pearson, Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi kegemukan dengan tingkat kecukupan protein (r= 0.101; p= 0.375), hal ini menunjukkan semakin baik persepsi kegemukan mahasiswi belum tentu semakin baik tingkat kecukupan proteinnya. Hal ini dikarenakan tidak jarang ditemui mahasiswi yang memiliki persepsi kegemukan yang baik tetapi menghindari pangan hewani yang mereka anggap sebagai sumber lemak. Dapat dilihat bahwa persepsi kegemukan mahasisiwi tidak berhubungan dengan pola konsumsi pangan mahasiswi baik dalam hal kebiasaan makan dan konsumsi pangan (tingkat kecukupan energi dan ptrotein).

 

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Sebagian besar mahasiswi dalam penelitian ini berusia 19 tahun dengan status gizi yang normal. Besar keluarga mahasiswi tersebar pada kelompok keluarga kecil dan sedang. Sebagian besar orangtua mahasiswi berpendidikan perguruan tinggi dan SMA/Sederajat serta memiliki pendapatan pada kisaran 2 – 5 juta/bulan. Pengetahuan gizi mahasiswi sebagian besar berada pada kategori tinggi dan memiliki persepsi kegemukan yang berada dalam kategori sedang atau cenderung netral terhadap kegemukan. Hanya sebagian kecil mahasiswi menyatakan puas dengan tubuh aktualnya akan tetapi sebagian besar mahasiswi percaya diri dengan kondisi tubuh aktualnya. Sebagian besar mahasiswi menyatakan takut mengalami kegemukan. Lebih dari separuh mengalami distorsi penilaian tubuhnya. Sebagian besar mahasiswi mengaku takut kurang leluasa bergaul dan sulit mengikuti mode pakaian serta takut menderita penyakit degeneratif bila menjadi gemuk. Sebagian besar mahasiswi mengaku berdiet untuk menurunkan berat badan. Sebagian besar mahasiswi memiliki skor kebiasaan makan yang termasuk dalam kategori sedang dengan rata-rata skor keseluruhan sebesar 76.2. Makanan yang paling sering dikonsumsi oleh mahasiswi adalah nasi, telur ayam, tempe, sop kol dan wortel, mangga dan gorengan. Sebagian besar tingkat kecukupan energi dan protein mahasiswi tergolong defisit berat, hal ini karena sebesar 60.8% mahasiswi mengaku mengurangi asupan makanan mereka dengan cara diet yang berbeda-beda Sebagian besar mahasiswi memiliki tingkat aktivitas ringan (97.5%). Hal ini dikarenakan aktivitas mahasiswi sebagian besar merupakan rutinitas. Sebagian besar mahasiswi juga mengaku hanya berolahraga ketika sedang mendapat mata kuliah olahraga. Terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi dan tingkat pendapatan ayah dengan persepsi kegemukan mahasiswi. Namun tidak terdapat hubungan yang signifikan antara usia, asal daerah, besar keluarga dan tingkat pendidikan terhadap persepsi kegemukan mahasiswi. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan gizi dengan persepsi kegemukan. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi kegemukan dengan kebiasaan makan, aktivitas fisik, dan tingkat kecukupan energi serta protein mahasiswi.

   

67  

 

 

Saran Mahasiswi sebaiknya memiliki persepsi terhadap kegemukan yang positif sehingga tidak melakukan diet-diet ketat yang menyebabkan defisiensi energi dan zat-zat gizi. Diet menurunkan berat badan hendaknya dikonsultasikan kepada ahli gizi atau Badan Konsultasi Gizi serta membaca literatur-literatur gizi terkait dengan diet menurunkan berat badan yang aman agar tidak membahayakan kesehatan contoh. Selain itu kebiasaan makan mahasiswi juga perlu diperbaiki terutama dalam hal frekuensi makan dan meal skipping. Pihak asrama hendaknya menjadwalkan kegiatan-kegiatan olahraga bersama agar dapat meningkatkan kesehatan mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama Insititut Pertanian Bogor.

68  

 

 

DAFTAR PUSTAKA Affenito SG et al. 2005. Breakfast consumption by African-American and White Adolenscent girls correlates positively with calcium and fiber intake and negatively with body mass index. Journal of American Diet Association 105 (6): 938. Alexander L. 1994. Nutritional Behaviour and Weight Management in Adolenscene. Di dalam Nutrituon Association. Proceeding of the first Asian Jakarta, 2-5 Oktober 1994. Jakarta: Indonesian Nutrition Association him104-106. Allon N. 1979. Self- Perception of the Stigma of Overweight in Relationship to Weight-Losing Patterns1. The American Journal Clinical of Nutrition 32: 470-480. Almatsier. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. . 2005. Penuntun Diet. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Aini N. 2008. Pengendalian Pola Makan untuk Mencegah Kegemukan. Kulinologi Indonesia. http://kulinologi.biz/preview.php?view&id=169. [5 Febuari 2011].. Bani A. 2002. Studi tentang persepsi mahasiswa terhadap tubuh ideal dan hubungannya dengan upaya pencapaiannya [skripsi]. Bogor. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Berg A. 1986. Peranan Gizi dalam Pembangunan. Jakarta: CV Rajawali. Bourne GH. 1979. World Review of Nutrition and Dietetics. West India: S. Karger. Bruess CE, Richardson GE. 1989. Decision for Helalth. Ed ke-2. Iowa: WM.C Brown Publishers. D’Adamo J Peter & Whitney C. 2009. Diabetes [penerjemah: Setyandhini ET]. Jakarta. PT Bentang Pustaka. [Depkes] Departemen Kesehatan RI. 1996. Buku Pedoman Petugas Gizi dan Puskesmas. Jakarta: Depkes. _________. 2003. Pedoman Umum Gizi Seimbang. Jakarta: Depkes. _________. 2011.Riset Kesehatan Dasar 2010. Jakarta: Depkes. Daftar Komposisi Bahan Makanan. 2008. Persatuan Ahli Gizi Indonesia. Jakarta. Engle PL, Menon P, Haddad L. 1997. Care and Nutrition: Concept and Measurement. Washington DC: International Food Policy Research Institute. Flynn MAT. 1997. Fear of fatness and adolescent girls: implications for obesity prevention. Department of Biological Sciences, Dublin Institute of Technology 56: 305-317. Foster CE., Wadden TA, Sarwer DB et al. A comparison of weight histories in women with Class III vs. Class I-II obesity.Obes. 2006;14:63S-69S.

69  

 

 

Gibney JM, Margetts MB, Kearney MJ, Arab L. 2004. Gizi Kesehatan Masyarkat. Hartono A, penerjemah; Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.Terjemahan dari : Public Health Nutrition. Gunarsa JSD, SD Gunarsa. 1990. Psikologi Remaja. Jakarta: BPK Gunung Mulia.   Gunawan. 1997. Masalah Obesitas di Kalangan Remaja Sekolah Umum di Kodya Jogyakarta. Tesis Master yang Tidak Dipublikasikan . IPB. Hanum L. 1989. Konsumsi pangan dan kegemukan pada ibu-ibu rumah tangga di perkotaan [tesis]. Bogor: Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Harahap H. 2009. Pengaruh diet penurunan berat badan dan tekanan darah pada penderita prahipertensi yang kegemukan [disertasi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Hardinsyah, Martianto D. 1992. Gizi Terapan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Diretorat Jendral Pendidikan Tinggi. Bogor. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Hardinsyah & Briawan D. 1994. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hardinsyah. 1997. Ekonomi Gizi. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Harper LJ, Deaton B.J, Driskel J. A.1986. Pangan, Gizi dan Pertanian. Suhardjo, penerjemah. Jakarta: UI Press. Terjemahan dari: Food, Nutrition, and Agriculture. Holman. 1987. Essentials of Nutrition for The Health Professions. J.B Lipinneatt. Philadelphia. Hurlock EB. 1991. Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga. Hurlock EB. 1994. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga. Husaini MA. 1991. Tumbuh kembang dan gizi remaja. Buletin Gizi Prima (27). Bogor. Persatuan Ahli Gizi. Jequire E, Tappy L. 1999. Regulation of bodyweight in human. Physiological Reviews. Vol 79:451-480. Karina. 2010. Diet untuk penderita Obesitas. [skripsi].Universitas Muhamadiyah Malang. Kestler D. 1995. Nutrition and Fitness Macmilan Health Encylopedia. Simon and Schuster Macmilan. New York. Kindes VM. 2006. Body Images. New York. Nova Science Publishers, Inc. Khomsan A, Hardinsyah, Sumarwan U dan Faisal A. 1998. Potensi Pengembangan Makanan Tradisional dalam Rangka Mendukung ACMI. Kerjasama Kantor

70  

 

 

Menteri Negara Urusan Pangan dan Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi (PSKPG) Lembaga Penelitian IPB. Khomsan A. 2000. Tehnik Pengukuran Pengetahuan Gizi. Diktat Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. . 2002. Hindari Defisiensi Gizi Akibat Stres. http://www.depkes.co.id . 2003. Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. Jakarta. Rajagrafindo Persada. , Anwar F, Sukandar D, Riyadi H, Mudjajanto ES. 2007. Studi Implementasi Program Gizi; Pemanfaatan, Cakupan, Keefektifan dan Dampak terhadap Status Gizi. Bogor: Depatemen Gizi Masyarakat, Fakulats Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Kotler P. 2000. Marketing Manajemen: Analysis, Planning, implementation, and Control 9th Edition, Prentice Hall International, Int, New Yersey Kusharto CM, Sa’diyyah NY. 2003. Penilaian Konsumsi Pangan. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Mar’at, 1991. Sikap Manusia Perubahan Serta Pengukurannya. Jakarta: Ghalia Indonesia. Levitsky DA, Trisha Y. 2004. The more food young adult are served, the more they overeat. J. Nutrition; 134: 2546-2549. Moore DC. 1993. Body image and eating behavior in adolescents. Journal of The American Colllege of Nutrition 12:505-510. Muchtadi D. 1996. Pencegahan Gizi Lebih dan Penyakit Kronis melalui Perbaikan Pola Konsumsi Pangan. Orasi Ilmiah Guru Besar tetap Ilmu Metabolisme Zat Gizi. Fateta. IPB. Notoatmodjo S. 2007. Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Andi Ofset. Odgen C, Carrol M, Catherine F, Johnson IC. 2009. Prevalence of Obesity Among Children and Adolescents: United States, Trends 1963–1965 Through 2007–2008. The Journal of the American Medical Association Vol 288 (14): 1728-1732. Riyadi H. 1996. Gizi dan Kesehatan dalam Pembangunan Pertanian (Khomsan A dan A Sulaeman, Editor). Bogor : IPB-Press. Robinson KM, Thomas A. 2006. Obesity and Cardiovascular Disease. London. Taylor & Francis Group. Priyanto R. 2007. besar risiko frekuensi makan, asupan energi, lemak, serat dan aktivitas fisik terhadap kejadian kegemukan pada remaja sekolah menengah pertama (SMP) [tesis]. Semarang: Program Studi Ilmu Gizi S1 fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Radita DA. 2007. Karakteristik Kegemukan pada Anak Sekolah dan Remaja di Medan dan Jakarta Selatan [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

71  

 

 

Sanjur D. 1982. Social and Cultural Perspective in Nutrition. Englowood Cliffs Prentice-Hall, New Jersey. Santrock JW. 1999. Life Span Development .Boston: Mac Graw Hill Companies. Sarwono SW. 2003. Psikologi Remaja. Jakarta: Rajawali Press. Schermerhorn Jr, Hunt GJ, Osborn NR. 1991. Organizational Behavior, (2nd Edition). New York. Jhon Willey & Sons Inc. Sediaoetomo AD. 2006. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi. Jakarta: Dian Rakyat. Soetjiningsih. 1994. Tumbuh Kembang Anak di Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Stang J. 2002. Assesment of nutritional status and motivation to make behavior changes among adolenscent. Journal American Diet Association 102 (3 suppl): S13. Story M et al. editors. 2002. Bright futures in practice: nutrition, Arlington, Va, National Center for Education in Maternal and Child Healtha. Story M et al. 2002. Individual and environmental influences on adolescent eating behaviour. Journal American Diet Association 102 (3 suppl): S40b. Sugiharti T. 2003. Perubahan berat badan dan status gizi mahasiswa putri jalur USMI tahun 2002 pada empat bulan pertama di IPB. [skripsi]. Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, PAU Pangan dan Gizi, IPB. Bogor. Suhardjo. 1996. Berbagai Cara Pendidikan Gizi. Jakarta : Bumi Aksara. _______. 2003. Berbagai Cara Pendidikan Gizi Edisi 1 Cetakan Kedua. Jakarta: Bumi Aksara dan Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Supariasa IDN, Bakri B & Fajar I. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Sztainer ND, Wall M, Story M, Berg PVD. 2008. Accurate Parental Classification of Overweight Adolescents’ Weight Status: Does It Matter?.American Academy of Pediatrics. 121:e1495–e1502. Tsiros DM et al. 2008. Cognitive behavioral therapy improves diet and body composition in overweight and obese adolescents1–3. The American Journal Clinical Nutrtition 87:1134–40. Walgito

B.

2003.

Pengantar

Psikologi

Umum.

Yogyakarta.

Andi

Offset

WHO. 1998. Obesity: Preventing and Managing the Global Epidemic. Geneva. Wirakusumah ES. 1994. Cara Aman dan Efektif Menurunkan Berat Badan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

72  

 

 

. 2001. Cara Aman dan Efektif Menurunkan Berat Badan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. . 2007. 202 Jus Buah dan Sayuran untuk Menjaga Kesehatan dan Kebugaran. Jakarta: Penebar Plus+. Wiseman. 2002. Nutrition and Health. London: Taylor and Francis. WNPG.

2004. Ketahanan Pangan Globalisasi.Jakarta.LIPI1.

dan

Gizi

di

Era

Otonomi

Daerah

dan

. .2004. Prosiding Angka Kecukupan Gizi dan Acuan Label Gizi. Jakarta: Direktorat Standardisasi Produk Pangan2. Yusra. 1998. Pengetahuan, siakp dan Praktek Pasangan Usia Subur tentang Pesan-pesan Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS) serta Implikasinya pada Pemasaran Sosial. Tesis tidak Dipublikasikan. Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor,Bogor.

   

   

74  

 

 

Lampiran 1 Kuesioner Penelitian Kuesioner Penelitian ANALISIS HUBUNGAN PERSEPSI KEGEMUKAN DENGAN POLA KONSUMSI PANGAN DAN AKTIVITAS FISIK MAHASISWI TINGKAT PERSIAPAN BERSAMA INSTITUT PERTANIAN BOGOR Penelitian ini dilaksanakan untuk mengumpulkan informasi dan data secara langsung dari mahasiswi TPB-IPB di wilayah Bogor. Demi kelancaran penelitian ini dukungan anda sangat saya harapkan. Terimakasih

1. Nama Mahasiswi

:

2. Status gizi

:

3. Asrama/No kamar

:

4. No. HP

:

5. Alamat asal

:

6. Enumerator

:

7. Tanggal Wawancara

:

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

75  

  I.

 

Karakteristik Mahasiswi dan Sosial Ekonomi Keluarga

Indentitas Mahasiswi

Keterangan

Koding

Nama Jumlah anggota keluarga

…………….orang

Umur

…………….tahun

Tanggal lahir

Tgl…./…..Bln/……….Thn

Pekerjaan Orang tua

1. PNS

2. Pegawai swasta 4. Polisi/ABRI

Pendidikan Orang tua

1. SD 3. SMA/STM

5.Petani, Peternak, Nelayan 6.Lainnya sebutkan…………….. 2. SMP 4. PT

Pendapatan per bulan keluarga (Orang tua)?

1.

Rp < 2.000.0000

2.

Rp2.000.000-Rp3.000.000

3.

Rp3.000.000-< Rp5.000.000

4.

Rp≥5.000.000

3. Wiraswasta

Pengukuran BB = …………..kg TB = …………..cm Status Gizi = II. Kebiasaan Makan Responden (Berikan tanda silang “x” pada satu jawaban yang Anda pilih dan isilah titik-titik sesuai dengan pertanyaan yang diberikan) 1. Apakah Anda biasa sarapan pagi? a. Ya, setiap hari b. Ya, 3-5 kali/minggu c. Ya, 1-2 kali/minggu d. Tidak pernah 2.

Apakah Anda selalu makan malam/sore? a. Ya

b. Tidak

3. Berapa kali Anda makan dalam sehari? a. 1-2 kali 4.

b. 3-4 kali

c. >4 kali

Apakah Anda suka ngemil (keripik singkong, wafer, kue-kue kering dll)? a. Ya, setiap hari b. Ya, kira-kira 3-5 kali/minggu c.

Ya, kira-kira 1-2 kali/minggu

d. Tidak pernah 5. Cemilan apa yang biasanya Anda konsumsi? Sebutkan jenisnya

1)………………………………………………. 2)……………………………………………….

6. Apakah Anda suka makan sayur? a. Ya

b. Tidak

7. Berapa kali Anda makan sayur dalam sehari? a.

1-2 kali

b. 3-4 kali

c. >4 kali

76  

 

 

6. Apakah Anda suka makan buah? a.Ya

b. Tidak

7. Berapa kali Anda makan sayur dalam sehari? a. 1-2 kali

b. 3-4 kali

c. >4 kali

8. Berapa kali sehari atau minggu Anda makan buah? a.

………x/hari

b. ………x/minggu

9. Antara sayur bersantan dan tidak bersantan, mana yang lebih Anda sukai? a.

Sayur bersantan

b. Sayur tidak bersantan

10. Apakah Anda menyukai cemilan (snack) yang rasanya gurih? a.

Ya

b. Tidak

11. Apakah Anda menyukai cemilan/snack gorengan? a.Ya

b. Tidak

12. Apakah Anda sering makan berlebihan ketika sedang strees? a. Ya b. Tidak 13. Jika ya, jenis makanan apa yang Anda makan saat stres? Sebutkan………………………………………………………………………………. 14. Apakah ada makanan yang menjadi pantangan? a. Ya

b. Tidak

Jika Ya, apa jenis makanan itu?....................................................... 15. Cara pengolaan makanan yang paling disukai? a. Digoreng

b. Dipanggang

c. Direbus

16. Jenis makanan kesukaan Anda?....................................................... 17. Jenis makanan yang tidak Anda sukai?............................................ Alasan:……………………………………………………………………….. 18. Apakah Anda biasa jajan di kampus? a. Ya, setiap hari b. Ya, kira-kira 3-5 kali/minggu c.

Ya, kira-kira 1-2 kali/minggu

d. Tidak pernah 19. Dalam seminggu berapa kali Anda makan fast food (KFC, McD, Pizza Hut, Hoka-hoka bento, Burger dll)? a. Ya, setiap hari b. Ya, kira-kira 3-5 kali/minggu c.

Ya, kira-kira 1-2 kali/minggu

d. Tidak pernah 20. Dalam seminggu berapa kali Anda minum soft drink (coca cola, fanta, sprite, teh kotak, teh botol, dll) a. Ya, setiap hari b. Ya, kira-kira 3-5 kali/minggu c.

Ya, kira-kira 1-2 kali/minggu

d. Tidak pernah

77  

 

 

Food Frequency Quetionaire

No

Jenis Pangan

1.

3.

Karbohidrat Nasi Mie Roti Protein hewani Daging ayam Daging sapi Telur Susu Buah

4.

Sayur

5.

Jajanan Bakso Mie ayam Siomay Gorengan (Jenisnya apa) Makanan kemasan

Sekarang Frekuensi (x/…..) Hari

2.

Minggu

Rata-rata/ konsumsi Bulan

URT

Gram

A. Aktivitas dalam Sehari Petunjuk pengisian Daftar aktivitas fisik ini adalah perincian seluruh aktivitas yang dilakukan dalam 24 jam. Hal ini dirincikan pada dua hari yang berbeda yaitu satu hari kuliah dan satu hari lain (weekend, atau hari besar). Kolom yang diisi adalah kolom lama (dalam satuan jam) dan keterangan (bila ada). Contoh pengisian No 1. 2. 3. 4. 5.

Waktu 22.00-06.00 06.00-06.15 06.15-06.30 06.30-06.45 06.45-07.15 Dst

Kegiatan Tidur Mandi Dandan Sarapan Berangkat kuliah

Keterangan

Naik bus IPB

78  

 

 

Tabel 2. Daftar aktivitas hari kuliah No

Waktu

Kegiatan

Keterangan

Tabel 3. Daftar aktivitas hari sabtu/minggu/tanggal merah No

Waktu

Kegiatan

Keterangan

79  

 

 

FOOD RECALL 1X 24 JAM (2 HARI) Hari/tanggal:…………………………………………………………….. Jumlah yang dimakan Waktu

Nama Makanan URT (ukuran)

Pagi

Selingan

Siang

Selingan

Malam

Gram

Asal

80  

 

 

Hari/tanggal:…………………………………………………………….. Jumlah yang dimakan Waktu

Nama Makanan URT (ukuran)

Pagi

Selingan

Siang

Selingan

Malam

Gram

Asal

81  

No 1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

 

 

VI. Pengetahuan Gizi (Berikan tanda silang “x” pada satu jawaban yang anda pilih) Pertanyaan Pilihan jawaban Pangan yang termasuk sumber a. Ikan karbohidrat adalah: b. Nasi c. Sayur-sayuran d. Tidak tahu Pangan yang termasuk sumber a. Telur protein adalah: b. Singkong c. Kangkung d. Tidak tahu Fungsi utama protein di dalam a. Sumber energi tubuh adalah: utama b. Mengganti bagian tubuh yang rusak c. Menjaga kesehatan mata d. Tidak tahu Konsumsi energi yang berlebih a. Tenaga akan disimpan dalam bentuk: b. Energi c. Lemak d. Tidak tahu Jenis makanan sumber lemak a. Roti adalah: b. Bayam c. Daging d. Tidak tahu Fast food adalah: a. Makanan tinggi kalori, tinggi zat gizi b. Makanan tinggi kalori, rendah zat gizi c. Makanan rendah kalori, rendah zat gizi d. Tidak tahu Pada dasarnya overweight dapat a. Membatasi konsumsi makanan diatasi dengan pengurangan berlemak konsumsi energi yaitu melalui: b. Membatasi konsumsi protein c. Membatasi konsumsi sayuran d. Tidak tahu Overweight adalah: a. Penyakit infeksi b. Kondisi badan berotot c. Kondisi badan terlalu gemuk d. Tidak tahu Sebagian besar overweight timbul a. Usia semakin bertambah karena faktor: b. Genetik c. Pola konsumsi makan sehari d. Tidak tahu Gangguan overweight dapat terjadi a. Balita, remaja pada: b. Remaja, dewasa c. Balita, remaja, dewasa d. Tidak tahu Menu yang baik untuk penderita a. Rendah kalori dan tinggi lemak overweight adalah b. Rendah kalori dan gizi seimbang c. Rendah kalori dan rendah protein d. Tidak tahu Penderita overweight disarankan a. Nasi dan susu untuk memeperbanyak konsumsi: b. Daging, telur, susu c. Buah-buahan dan sayur-sayuran d. Tidak tahu Gaya hidup yang dapat a. Kekurangan olahraga menyebabkan seseorang b. Kekurangan konsumsi makanan overweight adalah: c. Kebanyakan bekerja d. Tidak tahu

Skor

82  

 

14.

Penyakit yang bukan merupakan penyakit yang disebabkan oleh overweight adalah:

15.

Keberhasilan menurunkan berat badan pada penderita overweight lebih banyak dipengaruhi oleh:

16.

Overweight menjadi berbahaya karena:

17.

Salah-satu penyakit ditimbulkan akibat overweight:

18

Tekanan darah manusia yang normal adalah:

19.

Mengatasi overweight yang efektif adalah dengan cara:

20.

Kejadian kegemukan lebih banyak terjadi pada:

a. b. c. d. a. b. c. d. a. b. c. d. a. b. c. d. a. b. c. d. a. b. c. d. a. b. c. d.

  Darah tinggi Malaria Diabetes mellitus Tidak tahu Faktor ekonomi Faktor usia Motivasi untuk hidup lebih sehat Tidak tahu Tidak bebas begerak Tubuh mudah terkena infeksi Mendorong munculnya penyakit degeneratif Tidak tahu Hipertensi Marasmus Kwashiorkor Tidak tahu < 100/60 mmHg 120/80 mmHg 180/100 mmHg Tidak tahu Mengatur pola makan dan olahraga Mengurangi aktivitas fisik Mengonsumsi jamu dan obat pelangsing Tidak tahu Perempuan Laki-laki Perempuan dan laki-laki Tidak tahu

VII. Persepsi mengenai Kegemukan (Berikan tanda silang “x” pada satu jawaban yang anda pilih) 1. Seberapa pentingnya memperhatikan bentuk tubuh bagi anda? a. Tidak penting b. Cukup penting c. Sangat penting 2. Bagaimana pendapat anda mengenai overweight (kegemukan) bagi penampilan remaja perempuan? a. Tidak baik b. Biasa saja c. Baik 3. Menurut anda, bagaimana tubuh anda sekarang? a. Kurus b. Ideal c. Gemuk 4. Apakah bentuk tubuh anda saat ini sesuai dengan harapan anda? a. Ya b. Tidak 5. Apakah anda percaya diri dengan kondisi tubuh anda sekarang? a. Ya b. Tidak 6. Bentuk tubuh seperti apa yang anda harapkan saat ini? a. Kurus b. Ideal c. Gemuk

83  

 

 

7. Pernakah anda merasa gemuk? a. Ya b. Tidak 8. Apakah anda takut mengalami kegemukan? a. Ya b. Tidak 9. Pernakah ada mengalami kegemukan? a. Ya (kapan waktunya sebutkan……………………..) b. Tidak 10. Apakah dengan dengan kondisi tubuh (kurus, ideal, gemuk) anda saat ini, mempengaruhi kebisaan makan anda? a. Ya b. Tidak 11. Apakah anda pernah mencoba untuk berdiet? a. Ya b. Tidak 12. Apakah sekarang anda sedang berdiet? a. Ya b. Tidak 13. Jenis makanan yang anda hindari saat diet adalah…………….................................. Alasannya?.......................................................................................................... Gunakan Gambar untuk menjawab pertanyaan no 13 – 20 14. Menurut Anda, bentuk tubuh yang ideal bagi remaja ada pada no…………….. 15. Menurut Anda, bentuk tubuh kurus bagi remaja ada pada no………………….. 16. Menurut Anda, bentuk tubuh gemuk pada remaja ada pada no……………….. 17. Bentuk tubuh yang Anda harapkan ada pada no…………….. 18. Bentuk tubuh yang diharapkan oleh keluarga Anda ada pada no……………… 19. Bentuk tubuh yang diharapkan oleh teman-teman Anda ada pada no………… 20. Menurut Anda, bentuk tubuh Anda saat ini ada pada no………….

 

     

ABSTRACT Stefany Pasanea. Analysis of the Relationship between Perception of Overweight with Food Consumption Pattern and Physical Activity of Female University Students in Dormitory of Bogor Agricultural University. Under the guidance of Ali Khomsan and Yayat Heryatno. Teenagers who have excessive fear of overweight and have less acceptance of their body will go on a diet for a long time. This study aims to analyze the relationship between the perception of overweight with the pattern of food consumption and physical activity level of female university students in dormitory of Bogor Agriculture University. The cross sectional study was used in this study to elaborate overweight perception, nutritional knowledge, food consumption pattern and physical activity level of students. A total of 79 students were chosen randomly as samples. Primary data consisted of indvidual student characteristics, socioeconomic family conditions, nutritional knowledge, perception of overweight, physical activity (on college days and holidays), food frequency, eating habits and recall of food consumption (2 x 24 hr). Secondary data consists of an overview of Bogor Agriculture University’s dormitory. The results showed there were relationships between perception of overweight with nutritional status and level of income. Keywords    

: nutritional status, perceptions of overweight, nutritional knowledge, food consumption, physical activity