ANALISIS HUKUM TERHADAP RENDAHNYA TINGKAT ASSET RECOVERY

PKPU berdasarkan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Kedua ... prosedur pengajuan permohonan pernyataan pailit dan pelaksanaa...

27 downloads 396 Views 851KB Size
ANALISIS HUKUM TERHADAP RENDAHNYA TINGKAT ASSET RECOVERY DALAM PELAKSANAAN PUTUSAN PAILIT Studi Kasus Kepailitan PT. Panca Overseas Finance Tbk Ryan Austra L. Tampubolon Hening Hapsari, S.H., M.H. Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia ABSTRAKSI Jurnal ini membahas penyebab rendahnya asset recovery dalam pelaksanaan putusan pailit. Untuk itu penelitian ini fokus membahas tiga hal. Pertama, pembahasan mengenai pengaturan pengurusan dan pemberesan harta pailit dan pelaksanaan proses perdamaian dalam rangka PKPU berdasarkan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Kedua, skripsi ini membahas bagaimana hambatan-hambatan yang timbul selama pelaksanaan putusan pailit mulai dari penulusuran aset (asset tracing) dan pemberesan harta pailit (likuidasi) mengakibatkan rendahnya tingkat pengembalian aset. Terakhir, penelitian ini membahas kasus kepailitan PT Panca Overseas Finance Tbk. dimana pembahasan ini fokus menganalisis bagaimana Sindikasi Kredit Harvest Hero International yang merupakan kreditor fiktif dapat masuk menjadi kreditor yang diakui. Penulisan penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dimana data penelitian ini sebagian besar diperoleh dari studi kepustakaan. Hasil penelitian ini melihat bahwa PT Panca Overseas Finance Tbk. mengajukan permohonan PKPU sebagai counter atas permohonan pailit International Finance Corporation Ltd. untuk mempersiapkan Kreditor Fiktif dengan tujuan agar dapat mencapai perdamaian yang diinginkan. Masuknya kreditor fiktif diakibatkan karena tidak telitinya Pengurus dan Hakim Pengawas dalam proses pencocokan piutang serta Majelis Hakim yang memeriksa dalam sidang pengesahan perdamaian, mengabaikan indikasi adanya kreditor fiktif dengan pertimbangan belum adanya putusan dari Hakim Pidana terkait kasus kreditor fiktif tersebut. ABSTRACT This thesis will mainly be discussing on the cause the low rate of asset recovery in execution of Commercial Court decision on declaration of bankruptcy. Hence, this study will be discussing three problems. First, discussion regarding the regulation of management and liquidation of bankruptcy estate and composition procedure related to the actions following declaration of suspension of obligation for payment of debts under Law Number 34 of 2004. Second, this thesis will be discussing about issues which emerges during the execution of court decision on declaration of bankruptcy, ranging from asset tracing until asset recovery phase. Third, discussion about PT Panca Overseas Finance Tbk bankruptcy case whereby it focuses on how Harvest Hero International Syndicated Loan, a fictitious creditor, has become an lawful creditor. This research is a normative juridicial research, which some of the data are based on the related literatures. The result of this study shows that PT Panca Overseas Finance Tbk had taken action due to International Finance Corporation Ltd 1 Analisis hukum...Ryan Austra L. Tampubolon, FH-UI, 2013

petition for declaration of bankruptcy by filing a suspension of obligation for payment of debt to prepare a fictitious creditor. The admittance of Harvest Hero International Syndicated Loan as a lawful creditor was resulted out of the administrator lack of during the indebtness verification process. This is further axcacerbaated by the fact that the Commercial Court panel of judges overlooked the indication of fictitious creditor on the ground of absence of criminal verdict. KEYWORD: Bankruptcy; Suspension of Obligation for Payment of Debts; Execution of Decision on Declaring of Bankruptcy; Fictitious Creditor

PENDAHULUAN Latar Belakang Utang merupakan setiap kewajiban debitor yang berupa kewajiban untuk membayar sejumlah uang kepada kreditor, baik kewajiban itu timbul karena perjanjian apapun (tidak terbatas kepada perjanjian utang-piutang saja), maupun timbul karena ketentuan undangundang, dan timbul karena putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Dilihat dari perspektif kreditor, kewajiban membayar debitor tersebut merupakan “hak untuk memperoleh pembayaran sejumlah uang” atau rights to payment.1 Setiawan dalam lontoh dkk., memberikan penjelasan yang lebih rinci mengenai utang yang timbul dari perjanjian. Kewajiban untuk membayar utang tidak saja muncul dari perjanjian pinjam meminjam. Utang seyogianya diberi arti luas; baik dalam arti kewajiban membayar sejumlah uang tertentu yang timbul karena adanya perjanjian utang-piutang (dimana debitor telah menerima sejumlah uang tertentu dari kreditornya), maupun kewajiban pembayaran sejumlah uang tertentu yang timbul dari perjanjian atau kontrak lain yang menyebabkan debitor harus membayar sejumlah uang tertentu. Dengan perkataan lain, yang dimaksud dengan utang bukan hanya kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu yang disebabkan karena debitor telah menerima sejumlah uang tertentu karena perjanjian kredit, tetapi juga kewajiban membayar debitor yang timbul dari perjanjian-perjanjian lain. 2 Kegiatan ekonomi yang saat ini semakin kompleks menyebabkan munculnya berbagai bentuk yang memiliki akibat adanya kewajiban untuk membayar sejumlah uang atau right to payment seperti yang dijelaskan di atas. Dalam prakteknya, tidak semua debitor dapat melaksanakan kewajibannya untuk membayar utangnya kepada kreditor. Utang debitor yang 1

Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan, (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2009) hal. 89-90 2 Setiawan, dalam Lontoh dkk., Penyelesaian Utang-piutang: Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: Penerbit Alumni, 2001) hal. 117.

2 Analisis hukum...Ryan Austra L. Tampubolon, FH-UI, 2013

merupakan “hak untuk memperoleh pembayaran” atau right to payment (utang dalam arti luas) mungkin tidak dapat diselesaikan atau dilunasi karena terkait dengan situasi ekonomi yang sulit atau keadaan terpaksa yang sedang dialami oleh debitor. Maka untuk menyelesaikan sengketa utang-piutang tersebut kreditor atau debitor dapat menggunakan sarana hukum kepailitan. Kepailitan merupakan suatu lembaga hukum perdata sebagai realisasi atas dua asas pokok yang terkandung dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Pasal 1131 Kitab Undang-undang Hukum Perdata3 menyebutkan ketentuan sebagai berikut: “Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan” Pasal 1132 Kitab Undang-undang Hukum Perdata4 “Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu di bagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar-kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.” Kedua pasal tersebut di atas memberikan jaminan kepastian kepada Kreditor bahwa kewajiban Debitor kepada Kreditor akan tetap dipenuhi dengan jaminan dari kekayaan Debitor baik yang sudah ada maupun yang akan ada dikemudian hari. Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas. 5 Dengan demikian Debitor (individu, usaha bersama, atau badan hukum) yang telah dinyatakan pailit oleh pengadilan berubah status hukumnya menjadi tidak cakap melakukan perbuatan hukum, menguasai, dan mengurus harta kekayaannya. Pengurusan harta Debitor Pailit beralih kepada kurator dimana kemudian kurator melakukan pemberesan harta pailit tersebut dengan tujuan membagikan harta tersebut untuk melunasi utang-utang Debitor Pailit tersebut kepada para Kreditornya secara pari passu pro rata parte atau secara proporsional, kecuali ada kreditor yang memiliki hak istimewa untuk didahulukan. Proses kepailitan terhadap debitor 3

Indonesia (a), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, cet. 29, (Jakarta: PradnyaParamita, 1999), Pasal 1131. 4 Ibid., Pasal 1132. 5 Indonesia (b), Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, UU No. 37 Tahun 2004, LN No. 131 Tahun 2004, TLN No. 443, Pasal 1 butir 1.

3 Analisis hukum...Ryan Austra L. Tampubolon, FH-UI, 2013

merupakan salah satu upaya mengatasi dan menyelesaikan masalah utang-piutang dalam dunia usaha secara adil dan efektif. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Theresia Endang R. dalam Kajian terhadap Proses Penyelesaian Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menunjukkan bahwa sejak berlakunya Undang-Undang Kepailitan pada Tahun 1998, permohonan kepailitan yang masuk ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat sebanyak 31 perkara dan meningkat menjadi 100 perkara pada Tahun 1999 kemudian angka permohonan yang masuk menurun hingga 38 perkara pada Tahun 2003. Pada Tahun 2004, ketika Undang-Undang Kepailitan diperbaharui, jumlah permohonan kepailitan yang masuk menjadi 52 permohonan dan sampai tahun 2006 turun menjadi 36 perkara. Rendahnya jumlah perkara permohonan kepailitan yang masuk ke Pengadilan Niaga disebabkan karena terdapat permasalahan dalam pelaksanaan putusan pailit yang menyebabkan rendahnya asset recovery dan lamanya pelaksanaan putusan pailit. Kreditorkreditor tentu mengharapkan proses pelaksanaan putusan pailit dapat mempercepat hasil penyelesaian utang-piutang dengan hasil asset recovery yang maksimal. Hasil penelitian terhadap asset recovery dan jangka waktu penyelesaian proses kepailitan yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Hukum menunjukkan data sebagai berikut 6: a. Rata-rata persentasi asset recovery dalam kepailitan berdasarkan data dari kurator yang menjadi responden. 1) Asset recovery yang diterima kreditor konkuren:  18,17% untuk kasus kepailitan yang berakhir dengan pembagian penutup dan likuidasi aset.  19,71% untuk kasus kepailitan yang berakhir dengan penyelesaian diluar pemberesan, pemberesan masih berjalan dan atau kepailitan yang berakhir dengan pencabutan kepailitan karena aset tidak cukup. 2) Asset recovery yang diterima kreditor separatis: Meskipun kreditor separatis memiliki agunan berupa aset tapi dari hasil penelitian asset recovery yang diperoleh hanya 23,35%. b. Jangka waktu proses kepailitan. 6

Theresia Endang Ratnawati, “Kajian terhadap Proses Penyelesaian Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat”, Jurnal Dinamika Hukum9 (Mei 2009): hal. 148.

4 Analisis hukum...Ryan Austra L. Tampubolon, FH-UI, 2013

1) Rata-rata jangka waktu proses kepailitan sampai dengan adanya pembagian penutup adalah 37,25 bulan atau 3 tahun 1 bulan. 2) Rata-rata jangka waktu proses kepailitan sampai kepailitan diangkat karena tidak ada aset adalah 10 bulan. 3) Rata-rata jangka waktu proses kepailitan sampai dengan perdamaian 11 bulan. Dari data di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat permasalahan yang cukup besar dalam proses pelaksanaan eksekusi kepailitan sehingga dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap kecilnya tingkat asset recovery dan lamanya proses pelaksanaan pemberesan harta pailit oleh kurator. Oleh karena itu, penulis melakukan kajian mengenai faktor penghambat yang menyebabkan rendahnya tingkat asset recovery dan lamanya proses pelaksanaan putusan kepailitan di Indonesia. Permasalahan 1. Bagaimana prosedur pelaksanaan putusan pailit berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan apa saja faktor penghambat dalam eksekusi putusan pailit sehingga menyebabkan lamanya jangka waktu eksekusi putusan pailit? 2. Bagaimana bentuk faktor-faktor penghambat yang terdapat dalam proses pelaksanaan putusan pailit sehingga menyebabkan rendahnya tingkat asset recovery yang diterima para kreditor? 3. Bagaimanakah penyelesaian kasus kepailitan PT Panca Overseas Finance Tbk. ditinjau dari Undang-Undang Kepailitan dan PKPU? Tujuan Penelitian Dalam penelitian hukum ini secara umum memiliki tujuan untuk agar memberikan pengetahuan dan pemahaman mengenai pengertian utang, kreditor, debitor dalam kepailitan, syarat-syarat kepailitan, prosedur pengajuan permohonan pernyataan pailit dan pelaksanaan putusan pailit berdasarkan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU.

5 Analisis hukum...Ryan Austra L. Tampubolon, FH-UI, 2013

Tujuan khusus dari penelitian hukum ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui prosedur pelaksanaan putusan pailit berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan mengetahui faktor penghambat dalam eksekusi putusan pailit sehingga menyebabkan lamanya jangka waktu eksekusi putusan pailit. 2. Mengetahui hambatan dan permasalahan yang menyebabkan rendahnya tingkat asset recovery dalam pelaksanaan putusan pailit. 3. Mengetahui penyelesaian kasus kepailitan PT Panca Overseas Finance Tbk. ditinjau dari Undang-Undang Kepailitan dan PKPU.

PEMBAHASAN Pengertian Kepailitan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang pada Pasal 1 angka 1 7, kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas. Berdasarkan pengertian kepailitan di atas maka terdapat beberapa unsur kepailitan sebagai berikut : Pertama, unsur sita umum yang dimaksud dalam pengertian kepailitan adalah penyitaan atau pembeslahan terhadap seluruh harta Debitor Pailit. Pengertian sita umum ini di dalam Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak didapatkan, tetapi istilah sita umum ini diberikan untuk membedakan dengan istilah sita-sita yang lain seperti sita marital (marital beslag), sita revindikatoir, sita jaminan dan sita eksekusi atau sita atas hak tanggungan. 8 Kedua, kekayaan Debitor Pailit yang dimaksud dalam pengertian kepailitan di atas adalah meliputi seluruh kekayaan Debitor pada saat putusan pernyataan paili diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan9 kecuali: a. Benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh Debitor sehubungan dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis yang dipergunakan untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang dipergunakan oleh Debitor dan 7

Indonesia (b), op.cit., Pasal 1 angka 1. Bravika Bunga Ramadhani, op.cit., hal. 53. 9 Indonesia (b), op.cit., Pasal 21. 8

6 Analisis hukum...Ryan Austra L. Tampubolon, FH-UI, 2013

keluarganya, dan bahan makanan untuk 30 (tiga puluh) hari bagi Debitor dan keluarganya, yang terdapat ditempat itu; b. Segala sesuatu yang diperoleh Debitor dari pekerjaannya sendiri sebagai penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun, uang tunggu atau uang tunjangan, sejauh yang ditentukan oleh Hakim Pengawas, atau c. Uang yang diberikan kepada Debitor untuk memenuhi suatu kewajiban memberi nafkah menurut undang-undang. d. Benda yang tidak diperlukan untuk meneruskan perusahaan dalam hal perusahaan Debitor Pailit tetap dilanjutkan di bawah kepengurusan Kurator.10 Selain harta kekayaan debitor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU tersebut, mengingat hak separatis yang dimiliki oleh kreditor pemegang hak jaminan, harta kekayaan debitor yang telah dibebani dengan suatu hak jaminan, yaitu hak tanggungan, hipotek, gadai, dan fidusia dikecualikan pula dari harta pailit. 11 Pengertian yang dimaksudkan dengan “selama berlangsungnya kepailitan” dalam Pasal 21 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU adalah sejak putusan pailit diucapkan oleh majelis hakim pengadilan niaga sampai dengan selesainya tindakan pemberesan atau likuidasi oleh kurator sepanjang putusan pengadilan niaga itu tidak diubah sebagai akibat upaya hukum berupa kasasi atau peninjauan kembali. 12 Ketiga, unsur pengurusan dan pemberesan yang dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas. Hal ini juga tertera dalam Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU yang menyebutkan “Tugas Kurator adalah melakukan pengurusan dan atau pemberesan harta pailit”. Namun tidak dapat ditemukan penjelasan dari “pengurusan harta pailit” maupun “pemberesan harta pailit” dalam penjelasan dari pasal tersebut. Profesor Sutan Remy dalam bukunya Hukum Kepailitan, pemberesan harta pailit (likuidasi) adalah tindakan yang dilakukan oleh Kurator yaitu menjual harta pailit yang

dinyatakan

dalam

keadaan

insolvensi.

Atas

hasil

likuidasi

itu,

Kurator

mendistribusikannya kepada masing-masing Kreditor dalam rangka melunasi utang-utang Debitor kepada masing-masing Kreditor yang piutang-piutangnya telah diakui dalam proses

10

Ibid., Pasal 22. Sutan Remy Sjahdeini, op.cit., hal.181. 12 Ibid., hal. 179. 11

7 Analisis hukum...Ryan Austra L. Tampubolon, FH-UI, 2013

pencocokan atau verifikasi utang-piutang. Distribusi tersebut dilakukan sesuai dengan urutan tingkat masing-masing piutang mereka sebagaimana ditentukan oleh undang-undang.13 Syarat Kepailitan Syarat permohonan pernyataan pailit harus dipenuhi agar permohonan tersebut dikabulkan oleh pengadilan niaga. Adapun syarat pernyataan pailit diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU sebagai berikut: “Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.” 14 Profesor Sutan Remy menyimpulkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) tersebut menjadi 3 syarat yang harus dipenuhi agar seorang debitor dapat dimohonkan untuk dinyatakan pailit. Syarat-syarat tersebut sebagai berikut: a. Debitor terhadap siapa permohonan itu diajukan harus paling sedikit mempunyai dua kreditor; atau dengan kata lain harus memiliki lebih dari satu kreditor. b. Debitor tidak membayar lunas sedikitnya satu utang kepada salah satu kreditornya. c. Utang yang tidak dibayar itu harus telah jatuh waktu dan dapat ditagih (due and payable).15 Prosedur Permohonan Pernyataan Pailit Permohonan pernyataan pailit harus ditujukan ke Pengadilan Niaga oleh pihak-pihak yang berwenang mengajukan permohonan pernyataan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan. Pihak-pihak yang berwenang mengajukan permohonan pernyataan pailit sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Kepailitan adalah permohonan sendiri yaitu debitor maupun satu atau lebih kreditornya. Selanjutnya permohonan juga dapat diajukan oleh kejaksaan untuk kepentingan umum, Bank Indonesia dalam hal debitor adalah bank, Badan Pengawas Pasar Modal dalam hal debitor adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, dan dapat diajukan oleh Menteri Keuangan dalam hal debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik 13

Ibid., hal. 279. Indonesia (b), op.cit., Pasal 2 ayat (1). 15 Sutan Remy Sjahdeini, op.cit., hal. 57. 14

8 Analisis hukum...Ryan Austra L. Tampubolon, FH-UI, 2013

Negara yang bergerak di kepentingan publik. Sidang pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 ayat (6) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU. Debitor Pailit selain mengajukan rencana perdamaian setelah putusan pailit untuk menghindari proses pemberesan (likuidasi) atas harta bendanya dapat menempuh cara lain. Cara tersebut adalah mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“PKPU”) pada saat sidang pertama pemeriksaan permohonan pernyataan pailit. Pasal 229 ayat (3) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU menentukan: “Apabila permohonan pernyataan pailit dan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang diperiksa pada saat yang bersamaan, permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang harus diputuskan lebih dahulu.”16 Dengan demikian, PKPU dapat diajukan pada saat sebelum adanya pengajuan permohonan pernyataan pailit atau sesudah diajukannya permohonan pernyataan pailit, namun permohonan PKPU tidak dapat diajukan jika sudah terdapat putusan pernyataan pailit. Sesuai dengan ketentuan Pasal 229 ayat (3) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU di atas, maka pengajuan PKPU mengakibatkan proses pemeriksaan permohonan pernyataan pailit harus dihentikan dan Hakim harus memutus permohonan PKPU terlebih dahulu. Oleh karena itu, dengan mengajukan permohonan PKPU maka Debitor dapat terhindar dari kepailitan jika dalam pelaksanaan PKPU tercapai perdamaian. Jika tidak terdapat permohonan PKPU pada sidang pertama pemeriksaan permohonan pernyataan pailit, maka majelis hakim langsung memeriksa perkara kepailitan. Menurut Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi. 17 Proses Eksekusi/Pelaksanaan Putusan Pailit Pada dasarnya pelaksanaan putusan atau eksekusi merupakan suatu pelaksanaan terhadap suatu putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap yang dilakukan dengan bantuan pengadilan. Pelaksana putusan pailit adalah Kurator bersama Hakim Pengawas yang bertugas untuk mengawasi jalannya proses pengurusan dan pemberesan harta pailit. Hakim Pengawas 16 17

Ibid., Pasal 229 ayat (3). Ibid., Pasal 8 ayat (4).

9 Analisis hukum...Ryan Austra L. Tampubolon, FH-UI, 2013

juga memiliki kewenangan untuk memimpin rapat kreditor, menerima keterangan saksi-saksi dan menunjuk ahli untuk menyelidiki agar memperoleh kejelasan mengenai kepailitan. a. Penelusuran Aset dan Pencocokan Piutang Sesuai dengan ketentuan Pasal 98 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, sejak mula pengangkatannya, Kurator harus melaksanakan semua upaya untuk mengamankan harta pailit dan menyimpan semua surat, dokumen, uang, perhiasan, efek, dan surat berharga lainnya dengan memberikan tanda terima 18. Kemudian, jika dirasa perlu, ketentuan Pasal 99 Undangundang Kepailitan dan PKPU memberikan kemungkinan bagi Kurator untuk meminta penyegelan harta pailit kepada Pengadilan berdasarkan alasan untuk mengamankan harta pailit, melalui Hakim Pengawas. 19 Terhadap harta pailit yang sudah diamankan tersebut, Kurator harus membuat pencatatan harta pailit paling lambat 2 (dua) hari setelah menerima surat putusan pengangkatannya sebagai Kurator20. Setelah itu, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 102 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, Kurator harus membuat daftar yang menyatakan sifat, jumlah piutang dan utang harta pailit, nama dan temapat tinggal Kreditor beserta jumlah piutang masing-masing Kreditor, segera setelah dibuat pencatatan harta pailit. 21 Tugas kurator selama proses penyerahan piutang sampai dengan dilaksanakannya rapat pencocokan piutang adalah mencocokkan perhitungan piutang yang diserahkan oleh Kreditor dengan catatan yang telah dibuat sebelumnya dan keterangan Debitor Pailit atau berunding dengan Kreditor jika terdapat keberatan terhadap penagihan yang diterima. Kurator berhak meminta kepada Kreditor agar memasukkan surat yang diserahkan, termasuk memperlihatkan catatan dan surat bukti asli. (Pasal 116 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU.

22

Selanjutnya, jika Kurator menyetujui suatu piutang, maka

berdasarkan Pasal 117 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, kurator wajib memasukkan piutang tersebut kedalam daftar piutang sementara, sedangkan piutang yang dibantah termasuk alasannya dimasukkan ke dalam daftar tersendiri. 23 b. Perdamaian Berdasarkan ketentuan Pasal 144 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, Debitor Pailit berhak untuk menawarkan suatu perdamaian kepada semua kreditor. Berdasarkan

18

Ibid., Pasal 98. Ibid., Pasal 99. 20 Ibid., Pasal 100 ayat (1). 21 Ibid., Pasal 102. 22 Ibid., Pasal 116 ayat (1), (2). 23 Ibid., Pasal 117. 19

10 Analisis hukum...Ryan Austra L. Tampubolon, FH-UI, 2013

ketentuan Pasal 144 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, Debitor Pailit berhak untuk menawarkan suatu perdamaian kepada semua kreditor. Debitor Pailit berhak memberikan keterangan mengenai rencana perdamaian dan memberlanya serta berhak mengubah rencana perdamaian tersebut selama berlangsungnya perundingan. 24 Kuorum sahnya keputusan tentang rencana perdamaian ditentukan dengan cara pemungutan suara sebanyak dua kali. Pasal 152 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU menentukan, apabila lebih dari setengah jumlah Kreditor yang hadir pada rapat Kreditor dan mewakili paling sedikit setengah dari jumlah piutang Kreditor yang mempunyai hak suara menyetujui untuk menerima rencana perdamaian maka dalam jangka waktu 8 (delapan) hari setelah pemungutan suara pertama diadakan, diselenggarakan pemungutan suara kedua, tanpa perlu dilakukan pemanggilan. 25 Pada pemungutan suara kedua, Kreditor tidak terikat pada suara yang dikeluarkan pada pemungutan suara pertama. Perubahan yang terjadi kemudian, baik mengenai jumlah Kreditor maupun jumlah piutang, tidak mempengaruhi sahnya penerimaan atau penolakan perdamaian. Debitor Pailit berhak memberikan keterangan mengenai rencana perdamaian dan membelanya serta berhak mengubah rencana perdamaian tersebut selama berlangsungnya perundingan. Selanjutnya jika perdamaian tercapai maka Hakim Pengawas akan menentukan tanggal sidang untuk pengesahan perdamaian (homologasi). Jika dalam sidang tersebut, majelis hakim mengesahkan perdamaian, maka kepailitan berakhir. Namun, jika perdamaian ditolak maka Debitor dinyatakan insolven dan selanjutnya dilakukan pemberesan harta pailit (likuidasi). c. Pemberesan Harta Pailit Pemberesan harta pailit adalah tindakan penjualan harta pailit oleh kurator ketika harta pailit tersebut sudah berada dalam keadaan insolvensi (tindakan likuidasi). Berdasarkan Pasal 178 ayat (1) Undang-undang Kepailitan dan PKPU, keadaan insolvensi dapat terpenuhi melalui beberapa syarat yaitu jika dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan rencana perdamaian, rencana perdamaian yang ditawarkan tidak diterima, atau pengesahan perdamaian ditolak berdasarkan putusan yang telah berkekuatan tetap. Selanjutnya, atas hasil likuidasi itu kurator mendistribusikannya kepada masingmasing kreditor dalam rangka melunasi utang-utang debitor kepada mesing-masing kreditor yang piutangnnya telah diakui dalam proses pencocokan atau verifikasi utang-piutang.

24 25

Ibid.,Pasal 150. Ibid., Pasal 152 ayat (1).

11 Analisis hukum...Ryan Austra L. Tampubolon, FH-UI, 2013

Distribusi tersebut dilakukan sesuai dengan urutang tingkat masing-masing piutang mereka sebagaimana sitentukan oleh undang-undang. 26 Kendala Kurator dalam Melakukan Asset Tracing sampai saat ini masih terdapat Debitor yang tidak menghormati “status sita umum” dan tidak kooperatif terhadap Kurator dengan cara-cara antara lain27: a. harta pailit sudah dialihkan sebelum putusan; b. harta pailit tumpang tindih kepemilikannya, sengaja dipindahtangankan, disewakan atau dijadikan jaminan hutang; c. dokumennya kadang-kadang cacat hukum sehinga sulit dilakukan eksekusi; dan/atau d. sikap manajemen yang tidak kooperatif dalam penyerahan harta pailit dengan melakukan perlawanan terhadap Kurator dengan cara: - menghalangi Kurator untuk tidak menyentuh atau mengambil harta pailit; atau - menghalangi Kurator memasuki area perusahaan pailit dengan cara antara lain menutup akses, mengancam Kurator baik langsung atau dengan menggunakan oknum-oknum, kadang pula menjaga lokasi tersebut dengan pengawalan baik dengan pengawalan orang maupun hewan. Kendala Kurator melakukan Asset Recovery. Permasalahan dalam proses pemberesan harta pailit tidak saja berhenti pada masalah penulusuran dan pengamanan aset pailit. Dalam melaksanakan pemberesan, Kurator juga masih harus berhadapan dengan kendala-kendala yang menyebabkan sedikit sekali nilai jumlah asset yang dapat dilikuidasi dan selanjutnya dibayarkan sebagai pelunasan kepada para Kreditor. Kendala-kendala tersebut berkaitan dengan proses lelang, ketidakpastian hukum penyelesaian perkara-perkara yang berkaitan dengan kepailitan, dan actio pauliana. a. Sistem Lelang tidak Efektif

Sebagaimana diatur dalam Pasal 184 juncto Pasal 185 ayat (1) Undang-Undang tentang Kepailitan dan PKPU, dengan memperhatikan ketentuan Pasal 15 ayat (1), Kurator harus memulai pemberesan dan menjual semua harta pailit jika pengurusan terhadap perusahaan tidak dilakukan atau jika dilakukan pengurusan , maka hanya benda yang termasuk harta pailit yang tidak diperlukan untuk meneruskan perusahaan yang dijual. Semua benda harus dijual di muka umum sesuai dengan tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-

26 27

Sutan Remy Sjahdeini, op.cit., hal. 279. Yan Apul, op.cit., hal. 37-38.

12 Analisis hukum...Ryan Austra L. Tampubolon, FH-UI, 2013

undangan. 28 Sistem lelang yang ada saat ini harus benar-benar diperbaiki, karena penjualan dengan cara lelang ternyata dapat memberikan hasil yang maksimal. Hasil penjualan barang yang berhasil dilelang biasanya di bawah 1% dari harga limit, kurang lebih antara Rp. 1.000.000,- atau Rp. 3.000.000,-. Kendala yang muncul adalah pada penentuan harga limit, apabila kurator menentukan harga limit yang tinggi, barang tersebut juga tidak akan laku terjual, karena biasanya calon pembeli akan menunggu lelang kedua yang harganya pasti diturunkan dari waktu lelang pertama. Banyak sekali calon peserta lelang yang terdaftar dan memberikan uang jaminan hanya supaya memperoleh uang mundur dari calon pembeli yang memang benar-benar berminat. Hal nyata, yang pernah terjadi dalam praktek, dalam suatu lelang, ada peserta yang telah membayar uang jaminan sampai dengan 200 orang, namun pada saat dilaksanakan lelang, ternyata yang menawar hanya 1 atau 2 orang, dan itu pun sudah disepakati diantara mereka, yaitu harga penawaran hanya dilebihkan Rp. 1.000.000 atau malahan pas pada harta limit. Selanjutnya mereka akan melakukan lelang sendiri di tempat lain antara mereka. Selisih harga lelang resmi dengan harga lelang intern mereka dibagi diantara mereka. b. Ketidakpastian Hukum Terkait Pasal 3 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004

Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 204 tersebut pada dasar menyatakan bahwa seluruh permasalahan yang muncul sehubungan dengan proses pengurusan dan pemberesan harta pailit hanya dapat diperiksa dan diputuskan di Pengadilan Niaga. Esensinya, pasal ini hendak mensinkronkan seluruh proses pemeriksaan perkara kepailitan dan segala bentuk-bentuk perkara yang terlibat di dalamnya dalam satu atap, agar dapat diperiksa dengan irama yang sama, cepat, efisien, tranparan dan adil. Akan tetapi, yang sangat dilupakan oleh pembuat undang-undang dalam memasukkan pasal ini adalah Pengadilan Niaga mempunyai keterbatasan dalam melakukan kewenagannya. Dengan pengertian lain, paling tidak berdasarkan Pasal 8 ayat (4) Pengadilan Niaga hanya mempunyai kewenangan memutuskan perkara yang proses pembuktiannya sederhana, dan time frame penyelesaiannya harus dilakukan dengan sangat cepat. Lebih jauh, jikapun kewenangan yang dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) tersebut ingin diwujudkan, maka berdasarkan Pasal 300 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan haruslah kewengan

28

Indonesia (b), op.cit., Pasal 184, Pasal 185.

13 Analisis hukum...Ryan Austra L. Tampubolon, FH-UI, 2013

tersebut dilaksanakan dengan tata cara pemeriksaan perkara yang terpisah dari ketentuan yang terdapat dalam UU Kepailitan tersebut. Ketidakpastian hukum terhadap pelaksanaan Pasal 3 ayat (1) beberapa kali terjadi dalam proses pengurusan dan pemberesan harta pailit. Misalnya, dalam hal terdapat laporan yang menduga bahwa debitor telah memasukkan kreditor fiktif dalam data-data permohonan perdamaian yang diajukannya untuk tujuan memenangkan voting right, Pengadilan Niaga pada dasarnya hampir tidak pernah secara serius menindaklanjutinya. Kemungkinan besar tindakan tersebut karena Pengadilan Niaga kebingungan dalam menentukan pengadilan mana yang sebenarnya berwenang dan memutuskan pengaduan dugaan kreditor fiktif tersebut. Mengingat bahwa dugaan penggunaan kreditor fiktif tersebut dapat dikatagorikan sebagai perbuatan pidana, maka seharusnyalah lebih dahulu dugaan tersebut dilaporkan ke pihak kepolisian sebagai lembaga yang secara hukum berwenang untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap bukti-bukti telah terjadi atau tidaknya dugaan tindak pidana tersebut. Sama halnya terhadap dugaan pelanggaran Pasal 396 sampai dengan Pasal 402 KUHP, tentunya jelas bukan kewenangan Pengadilan Niaga untuk mengadilinya. Akan tetapi, sebaliknya, jika dilakukan dengan lebih dahulu melakukan laporan ke Polisi, maka besar kemungkinan penganganan dugaan penggunaan kreditor fiktif tersebut akan menjadi kewenangan Pengadilan Negeri dengan tata cara pemeriksaan sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana. Bila hal tersebut terjadi, maka akan terjadi ketidaksinkronan penggunaan waktu dalam proses pemeriksaan dugaan penggunaan kreditor fiktif tersebut dengan proses pengurusan dan pemberesan harta pailit yang pada dasarnya harus dilakukan secepat mungkin. c. Actio Pauliana

Konsep actio pauliana di Indonesia di Indonesia sudah lama dikenal, baik yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maupun yang diatur dalam Undang-Undang Kepailitan (Faillissements-Verordening, Stb. 1905-217 jo Stb. 1906 No. 348). Undang-Undang Kepailitan dan PKPU dalam Pasal 41 menyebutkan: “Untuk kepentingan harta pailit, kepada Pengadilan dapat dimintakan pembatalan segala perbuatan hukum Debitor yang telah dinyatakan pailit yang merugikan

14 Analisis hukum...Ryan Austra L. Tampubolon, FH-UI, 2013

kepentingan Kreditor, diucapkan29.”

yang

dilakukan sebelum

putusan

pernyataan

pailit

Menurut Kamus Hukum yang disusun oleh Prof. Subekti, S.H. dan Tjitrosoedibio, Actio Pauliana adalah gugatan untuk membatalkan atau menyatakan batal segala perbuatan debitor yang secara curang dilakukan untuk merugikan para kreditor30. Untuk dapat membatalkan suatu perbuatan hukum yang telah dilakukan oleh debitor pailit dengan pihak ketiga sebelum pernyataan pailit diucapkan, yang merugikan harta pailit, Undang-Undang kepailitan dan PKPU dalam Pasal 41 ayat (2) menentukan syarat bahwa pembatalan hanya dapat dilakukan apabila dapat dibuktikan bahwa pada saat perbuatan hukum dilakukan, debitor dan dengan pihak siapa perbuatan hukum tersebut dilakukan menegetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi Kreditor, dikecualikan dalam ayat (2) pada pasal yang sama, jika perbuatan hukum tersebut wajib dilakukan oleh Debitor berdasarkan perjanjian dan/atau karena undang-undang31. Actio Pauliana sebenarnya juga merupakan salah satu cara asset recovery yang bisa meningkatkan harta pailit. Namun, hal ini ternyata masih sangat tidak efektif. Sudah 10 (sepuluh) tahun Pengadilan Niaga didirikan, ternyata masih juga belum jelas apakah Pengadilan Niaga berwenang mengadili perkara Actio Pauliana. Belum lama ini ada putusan dari Mahkamah Agung RI di tingkat kasasi yang menyatakan bahwa actio pauliana bukan kewenangan Pengadilan Niaga karena pembuktian dalam actio pauliana tidak sederhana. Salah satu syarat dalam actio pauliana adalah “debitur dan pihak dengan siapa perbuatan hukum itu dilakukan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan menimbulkan kerugian bagi kreditur”. Menurut majelis hakim, syarat tersebut mengakibatkan pembuktian tidak mungkin dilakukan secara sederhana, sehingga Pengadilan Niaga tidak berwenang mengadili perkara actio pauliana.32 d. Hak Panitia Kreditur vs Kewenangan Kurator

Bagus Irawan, Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengungkapkan, perbedaan kepentingan yang muncul di antara para kreditor merupakan 29

Indonesia(b), op.cit., Pasal 41. Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1972), hal. 9., dikutip dari Andriani Nurdin, “Masalah Seputar Actio Pauliana”, Kepailitan dan Transfer Aset secara Melawan HukuI, Prosiding, (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005), hal. 262. 31 Indonesia (b), op.cit., Pasal 41 ayat (2), (3). 32 Yan Apul, op.cit., hal. 41. 30

15 Analisis hukum...Ryan Austra L. Tampubolon, FH-UI, 2013

salah satu kendala yang kerap kali muncul dalam proses pengurusan dan pemberesan harta pailit. Kendala ini menurut Bagus Irawan merupakan salah satu penyebab lamanya proses pengurusan dan pemberesan harta pailit. Salah satu contoh yang diungkapkan dalam wawancara peneliti mengenai perbedaan kepentingan antara para kreditor adalah sebagai berikut: Ketika suatu perusahaan yang bergerak di bidang jasa konstruksi atau juga biasa disebut developer dinyatakan pailit, para kreditor dari perusahaan konstruksi pailit tersebut muncul dari berbagai macam hubungan kerjasama selama perusahaan konstruksi tersebut menjalankan usahanya. Misalnya kreditor yang muncul akibat perjanjian utang-piutang untuk penambahan modal kerja perusahaan misalnya bank, kemudian ada lagi para kreditor yang muncul akibat perjanjian kerjasama dalam memasok bahan baku untuk pekerjaan konstruksi bangunan. Ketika perusahaan konstruksi tersebut dinyatakan dalam keadaan pailit, maka biasanya munculah benturan kepentingan di antara para kreditor tersebut. Benturan kepentingan tersebut diuraikan sebagai berikut. Kreditor yang muncul akibat perjanjian utang-piutang tentu ingin perusahaan konstruksi pailit tersebut segera dinyatakan insolven dan selanjutnya harta pailit perusahaan konstruksi itu di lakukan pemberesan karena biasanya bank memiliki jaminan atas perjanjian utang-piutang tersebut. Sementara disisi lain, kreditor yang muncul akibat perjanjian kerjasama untuk memasok bahan baku (material) bangunan ingin dilakukannya perjanjian perdamaian saja mengingat jika perusahaan konstruksi terebut berhenti berusaha maka sebenarnya mereka kehilangan konsumen sehingga secara tidak langsung para kreditor yang pemasok bahan baku tersebut mengalami penurunan omset penjualan. Salah satu alasan lain adalah karena perjanjian jual-beli bahan baku antara kreditor dengan perusahaan konstruksi tadi sudah berjalan dalam kurun waktu yang lama dan secara stabil perusahaan konstruksi tadi membayar tagihan-tagihan atas pembelian bahan baku tersebut. Para kreditor yang muncul dari perjanjian jual-beli bahan bangunan itu berharap jika perusahaan konstruksi tersebut tetap berjalan dan dilakukan penundaan pembayaran utang, perusahaan konstruksi itu dapat melunasi utangnya setelah proyek-proyek pembangunan mereka selesai. Uraian contoh kasus di atas merupakan kendala yang sering dialami oleh Kurator. Kurator kerap kali terpaksa harus mengadakan rapat kreditor untuk menentukan tindakan apa

16 Analisis hukum...Ryan Austra L. Tampubolon, FH-UI, 2013

yang selanjutnya dilakukan terhadap debitor pailit tersebut. Dengan demikian, proses eksekusi putusan pailit menjadi lama dan berbelit-belit 33. Kasus Kepailitan PT Panca Overseas Finance Tbk a. Kasus Posisi PT. PANCA OVERSEAS FINANCE Tbk. adalah suatu perusahan publik yang menjalankan kegiatan usaha sebagai lembaga pembiayaan yang meliputi kegiatan dalam bidang sewa guna usaha, anjak piutang, kartu kredit dan pembiayaan konsumen. Berdasarkan izin usaha Menteri Keuangan Republik Indonesia, berdasarkan surat keputusan No. 556/KMK/013/1990 tanggal 20 Mei 1990 No. 699/KMK.013/1992 tanggal 6 Juli 1992, yang telah diperbaharui dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 688/KMK.017/1993 tanggal 14 Juni 1993. Dalam menjalankan kegiatan usahanya tersebut, PT. PANCA OVERSEAS FINANCE Tbk. Memiliki kewajiban senilai US$ 14.000.000,(empat belas juta Dollar Amerika Serikat) kepada INTERNATIONAL FINANCE CORPORATION yang berkantor di 2121 Pennsylvania Avenue, N.W. Washington DC 20433, Amerika Serikat. Oleh karena itu pada tanggal 6 September 2000, INTERNATIONAL FINANCE CORPORATION mengajukan permohonan pernyataan pailit ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan register No. 065/PAILIT/2000/PN.NIAGA/JKT.PUSAT. Kemudian pada tanggal 27 September 2000, PT. PANCA OVERSEAS FINANCE Tbk. (Pemohon) Mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Pemohon PKPU) . Setelah melakukan pemeriksaan, Majelis Hakim telah mendapatkan, meneliti, dan menilai bukti-bukti surat yang diajukan di atas dan selanjutnya Majelis Hakim berpendapat syaratsyarat permohonan PKPU Pemohon sudah terpenuhi dan terbukti, oleh karena itu selanjutnya Majelis

Hakim

dalam

putusannya

No.16/PKPU/2000/PN.NIAGA/

No.

JKT.PST

65/PAILIT/2000/PN.NIAGA/JKT.PST

tertanggal

2

Oktober

2000

Jo

memutuskan

mengabulkan pemohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dari Pemohon PT. PANCA OVERSEAS FINANCE Tbk. untuk sementara yakni selama 45 (empat puluh lima) hari terhitung setelah putusan diucapkan. Bahwa terhadap putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sementara (PKPUS) tersebut, Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri

33

Berdasarkan wawancara dengan Bpk. Bagus Irawan, S.H., M.H., Hakim Niaga Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, tanggal 17 Oktober 2012.

17 Analisis hukum...Ryan Austra L. Tampubolon, FH-UI, 2013

Jakarta Pusat telah mengambil Putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Tetap selama 45 (empat puluh lima) hari pada tanggal 23 November 2000. Bahwa selanjutnya Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, telah mengabulkan permohonan perpanjangan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Tetap (PKPUT) dan memberikan putusan perpanjangan PKPUT selama 30 (tiga puluh) hari pada tanggal 8 januari 2001. Bahwa terhadap permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Tetap tersebut, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat telah mengambil putusan Pengesahan Perdamaian yaitu putusan tanggal 30 Januari 2001 No. 16/PKPU/ 2000/ PN.NIAGA/JKT.PST. Jo. No. 65/PAILIT/2000/PN.NIAGA/JKT.PST. yang amarnya berbunyi sebagai berikut: Menyatakan sah Perjanjian Perdamaian tanggal 23 Januari 2001 yang dibuat dan ditandatangani oleh Debitor/Pemohon PT. PANCA OVERSEAS FINANCE, Tbk. dengan Para Kreditor lainnya: Harvest Hero International Finance Limited Hongkong; Marvellous Investment Ltd., Western Samoa; Highmead Ltd, Western Samoa; Comfort Group Ltd, Bahamas; Gemmy Investment Ltd, Bahamas; Candid Enterprise Ltd, Bahamas; Kenya Services Ltd, Bahamas; Parkway Trading Ltd, Bahamas; Gingo Investment Ltd, Bahamas; Militer Management Ltd., Bahamas; Enhating Properties Ltd., Bahamas; Minto Trading Ltd., Bahamas; Winstor Trading Ltd., Bahamas; John Azis & Associates; Irwan Herwana; Hasanuddi Halim; dan Kan Marisa Darmawati. Sebelumnya Pihak International Finance Corporation Ltd. telah mengajukan sebanyak 5 (lima) kali bantahan ketika Pengurus mengakui Sindikasi Harvest International sebagai Kreditor dari PT Panca Overseas Finance Tbk. Bantahan tersebut dikemukakan karena adanya dugaan bahwa Sindikasi Harvest Hero merupakan kreditor fiktif. Beberapa fakta penting yang mengindikasikan bahwa Sindikasi Harvest Hero merupakan kreditor fiktif adalah sebagai berikut:  Menurut peraturan yang berlaku di Hong Kong yaitu Chapter 163 atau Money, Lenders Ordinance (Ordinasi Pemberi Pinjaman), semua perusahaan Hong Kong yang hendak menjalankan usaha dibidang peminjaman uang harus memperoleh persetujuan dari Hong Kong Company Registry Money Lender Section (Bagian Pemberi Pinjaman di Daftar Pencatatan Perusahaan Hong Kong). Menurut informasi, Harvest Hero tidak ada didaftar tersebut. Oleh karena itu, bagaimana mungkin perusahaan dengan keadaan yang demikian dapat meminjamkan kepada 18 Analisis hukum...Ryan Austra L. Tampubolon, FH-UI, 2013

badan hukum di Indonesia. Selain itu, ke-13 anggota Sindikasi Harvest Hero lainnya juga tidak tercatat di negara nya masing-masing sebagai usaha yang bergerak dalam bidang pembiayaan internasional. Beberapa diantara para anggota Sindikasi Harvest hero telah tercatat tidak aktif menjalankan kegiatan usahanya dan beru dalam beberapa bulan terakhir mengaktifkan kembali pendaftaran perusahaan mereka. Dengan demikian, fakta ini mendukung persangkaanpersanglaan di atas, yaitu bahwa transaksi dengan Sindikasi Harvest Hero dilakukan denga tujuan untuk mendapatkan hak suara mayoritas Kreditor yang diharapkan dalam pemungutan suara atas rencana perdamaian Termohon Kasasi. Dalam sidang pengesahan perjanjian perdamaian, Pihak International Finance Corporation Ltd telah mengajukan dalil bahwa perjanjian perdamaian ini dicapai karena adanya upaya-upaya tidak jujur yaitu kreditor fiktif.

menyebutkan bahwa alasan-alasan

tersebut harus dikesampingkan karena tentang adanya penipuan, atau persekongkolan atau upaya-upaya lain yang tidak jujur yang dilakukan Debitor dan atau pihak lain harus terbukti dengan adanya putusan (Hakim Pidana) yang telah berkekuatan hukum tetap. Oleh karena putusan tersebut tidak ada, dan Pengadilan Niaga tidak berwenang melakukan pemeriksaan mengenai ada/tidaknya tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam perkara ini, maka tidak ada alasan untuk menolak mengesahkan perdamaian. b. Analisis Kasus Pada dasarnya, jika melihat ketentuan dalam Undang-undang Kepailitan mengenai pencocokan tagihan dalam rangka perdamaian PKPU, beban untuk memastikan Kreditor yang nantinya diakui dan memiliki suara untuk pemungutan suara rencana perdamaian ditanggung oleh Pengurus. Pasal 270 UU Kepailitan dan PKPU mengatur seperti berikut: (1) “Tagihan harus diajukan kepada pengurus dengan cara menyerahkan surat tagihan atau bukti tertulis lainnya yang menyebutkan sifat dan jumlah tagihan disertai bukti yang mendukung atau salinan bukti tersebut. (2) Terhadap tagihan yang diajukan kepada Pengurus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Kreditor dapat meminta tanda terima dari Pengurus.” Selanjutnya, semua perhitungan yang telah dimasukkan oleh Pengurus harus dicocokkan dengan catatan dan laporan dari Debitor. Proses pencocokkan piutang terakhir sesuai dengan Pasal 272 UU Kepailitan dan PKPU/ Pasal 254 UU Kepailitan Lama adalah Pengurus membuat daftar piutang yang memuat nama, tempat tinggal Kreditor, jumlah piutang masingmasing, penjelasan piutang, dan apakah piutang tersebut diakui atau dibantah Pengurus. 19 Analisis hukum...Ryan Austra L. Tampubolon, FH-UI, 2013

Berangkat dari ketentuan tersebut maka jelas ketelitian dan kehati-hatian Pengurus sangat penting dalam proses pembuatan daftar tagihan, jangan sampai kreditor fiktif masuk dan merugikan Kreditor sah. Namun, dalam kasus antara International Finance Corporation Ltd. melawan PT. Panca Overseas Finance Tbk. Pengurus tidak melakukan tindakan untuk menyelidiki keabsahan Sindikasi Harvest Hero sebagai Kreditor yang sebenarnya sangat ganjil dan mencurigakan. Hal ini semakin parah ketika ternyata Majelis Hakim berpendapat pada tingkat Kasasi: “Bahwa masuknya Hero Harvest International Limited telah melalui rapat verifikasi, oleh karena itu Harvest Hero International Limited adalah sebagai Kreditor yang sah.” Selanjutnya, International Finance Corporation, Ltd. dalam persidangan pengesahan perjanjian perdamaian juga telah menyampaikan alasan yang menyebabkan ia menolak perdamaian tersebut. Alasan yang dikemukakan dalam sidang pengesahan perdamaian tertanggal 30 Januari 2001 No. 16/PKPU/ 2000/ PN.NIAGA/JKT.PST. Jo. No. 65/PAILIT/2000/PN.NIAGA/JKT.PST. adalah berdasarkan Pasal 285 ayat (2) huruf c yaitu: “Pengadilan wajib menolak untuk mengesahkan perdamaian apabila perdamaian itu dicapai karena penipuan, atau persenkongkolan dengan satu atau lebih lebih Kreditor, atau karena pemakaian upaya lain yang tidak jujur dan tanpa menghiraukan apakah Debitor atau pihak lain bekerja sama untuk mencapai hal ini” Untuk mendukung dalilnya, Pihak International Finance Corporation Ltd.

telah

menyerahkan bukti-bukti diantaranya keadaan perusahaan Harvest Hero International Ltd yang tidak terdaftar dalam Hong Kong Company Registry Money Lender Section (Bagian Pemberi Pinjaman di Daftar Pencatatan Perusahaan Hong Kong) serta surat dari MABES POLRI tertanggal 22 Desember 2000 yang menyatakan bahwa terdapat indikasi tindak pidana dalam pembuatan syndicated loan agreement tertanggal 10 Juli 200 tersebut. Namun Pengadilan Niaga dalam pertimbangannya atas dalil tersebut sebagai berikut: “alasan-alasan tersebut harus dikesampingkan karena tentang adanya penipuan, atau persekongkolan atau upaya-upaya lain yang tidak jujur yang dilakukan Debitor dan atau pihak lain harus terbukti dengan adanya putusan (Hakim Pidana) yang telah berkekuatan hukum tetap. Oleh karena putusan tersebut tidak ada, dan Pengadilan Niaga tidak berwenang melakukan pemeriksaan mengenai ada/tidaknya tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam perkara ini, maka tidak ada alasan untuk menolak mengesahkan perdamaian.” Dengan demikian jelas dapat disimpulkan bahwa jika Majelis Hakim dalam sidang pengesahan perjanjian perdamaian berpendirian dengan pendapat yang demikian, maka sekali lagi Kreditor fiktif lolos dan perjanjian perdamaian yang tercipta karena ada upaya yang tidak 20 Analisis hukum...Ryan Austra L. Tampubolon, FH-UI, 2013

jujur tersebut menghasilkan kerugian yang besar bagi para Kreditor yang sah. Dalam kasus ini, jika majelis hakim berpendapat harus terdapat terlebih dahulu putusan Hakim Pidana maka pada dasarnya tidak mungkin dapat dilakukan. Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya pada BAB III, jangka waktu penyelesaian perkara kepailitan dan PKPU dirancang jauh lebih cepat dibandingkan dengan penyelesaian kasus pidana. Dari kasus posisi dapat dilihat bahwa mulai dari Pemohon Pailit/Termohon PKPU mengetahui keberadaan Sindikasi Kredit Harvest Hero yaitu pada 2 November 2000 sampai dengan terselenggaranya sidang pengesahan perdamaian dalam rangka PKPU yaitu pada 30 Januari 2001, hanya terdapat waktu kurang dari 2 (dua) bulan untuk melaporkan dugaan tindak pidana ke polisi sampai dengan pengucapan putusan atas dugaan tindak pidana dalam pembuatan Syndicated Loan Agreement 10 Juli 2000. Hal ini jelas sangat tidak mungkin tercapai mengingat penyidikan yang dilakukan sangat rumit terkait perusahaan-perusahaan yang dinyatakan menjadi kreditor dalam sindikasi Harvest Hero semuanya berada di luar negeri. Sementara, Majelis Hakim Pengadilan Niaga yang memeriksa mengabaikan permohonan pihak Pemohon Pailit/Termohon PKPU untuk menunda persidangan sampai adanya putusan dari Hakim Pidana. Maka dapat disimpulkan bahwa Majelis Hakim dalam sidang pengeseahan perjanjian perdamaian telah terburu-buru dan mengabaikan indikasi kuat adanya kreditor fiktif. Undangundang Kepailitan dan PKPU sendiri memang tidak mengatur ketentuan mengenai sidang pengesahan perdamaian secara rinci terutama terkait pembuktian perdamaian yang dicapai karena penipuan atau upaya-upaya tidak jujur. Pada akhirnya, bukti kuat yang diperlukan untuk membuktikan dalil International Finance Corporation Ltd. bahwa perdamaian itu dicapai karena adanya penyeludupan kreditor fiktif di dalamnya baru didapatkan ketika pihak International Finance Corporation Ltd. sudah tidak dapat melakukan upaya hukum apapun lagi. Dengan demikian akibatnya dalam perkara ini, Kreditor yang sah salah satunya International Finance Corporation Ltd. mengalami kerugian yang sangat besar. PENUTUP a. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan-pembahasan yang telah diuraikan tim peneliti dalam babbab sebelumnya, tim peneliti dapat menyimpulkan hal-hal yang menjawab pokok permasalahan penulisan penelitain ini. Kesimpulan-kesimpulan tersebut adalah: 1. a.

Prosedur pelaksanaan putusan pailit adalah mulai dari pengucapan putusan pengabulan permohonan pernyataan pailit sampai dengan selesainya pemberesan 21 Analisis hukum...Ryan Austra L. Tampubolon, FH-UI, 2013

harta pailit atau tercapainya perdamaian. Pelaksanaan putusan pailit dilaksanakan oleh Kurator diawasi oleh Hakim Pengawas. Pelaksanaan putusan pailit meliputi pengumuman putusan pernyataan pailit, penelusuran dan pengamanan aset, pencocokan atau verifikasi piutang-piutang para kreditor, proses pemungutan suara jika terdapat upaya perdamaian, dan pemberesan harta pailit yang diakhiri dengan pembagian hasil likuidasi harta pailit kepada para Kreditor sesuai dengan urutan prioritasnya. b. Pelaksanaan putusan pailit menjadi sangat lama dan berlarut-larut yang disebabkan oleh para kreditor yang saling mementingkan dirinya sendiri sementara tidak ada batasan waktu berakhirnya kepailitan. Undang-Undang Kepailitan memiliki time-frame proses pengajuan permohonan pernyataan pailit, pemeriksaan, putusan, dan upaya hukum yang cepat. Namun tujuan utama hukum kepailitan Indonesia itu tidak tercapai pada saat pelaksanaan eksekusi putusan yaitu pelaksanaan pengurusan dan pemberesan harta pailit. 2. Beberapa kendala dalam pelaksanaan putusan pailit yang menyebabkan lamanya pelaksanaan putusan pailit tersebut dan rendahnya tingkat asset recovery, adalah sebagai berikut: a) Budaya Debitor pailit yang tidak kooperatif dan tunduk pada ketentuan hukum. Debitor kerap melakukan transfer aset melawan hukum, menghalanghalangi Kurator untuk melakukan pengamanan aset serta memunculkan kreditor fiktif. Sementara hukum kepailitan di Indonesia belum secara maksimal untuk mengatasi kendala tersebut dimana sebenarnya sudah ada sarana dan ketentuan hukum yang tersedia untuk mengatasi hal tersebut yaitu lembaga paksa badan dan pemidanaan terhadap perbuatan kriminal Debitor berkaitan dengan kepailitan. b) Pelaksanaan penjualan di muka umum (lelang) yang tidak efesien. Kurator kerap kali kesusahan dalam menjual aset melalui lelang disebabkan karena sedikit sekali penawar yang datang ke tempat pelelangan dan adanya mafia lelang. c) Ketentuan-ketentuan mengenai pelaksanaan pemberesan harta pailit tidak memberikan batasan waktu yang jelas terkait berakhirnya kepailitan dan para Kreditor yang selalu ingin mengutamakan kepentingan dirinya sendiri yang mengakibatkan berlarut-larutnya pelaksanaan eksekusi putusan pailit.

22 Analisis hukum...Ryan Austra L. Tampubolon, FH-UI, 2013

d) Undang-Undang Kepailitan masih memiliki masalah terkait kreditor fiktif, terutama ketentuan mengenai PKPU. Masalah ini terletak pada sinkronisasi jalannya pemeriksaan perkara terkait kreditor fiktif pada Pengadilan Niaga dengan pemeriksaan pada Pengadilan Umum perkara pidana. Undang-Undang Kepailitan dan PKPU menggunakan prosedur yang jauh lebih cepat dibanding waktu yang diperlukan untuk memeriksa dan memutus suatu perkara pada Pengadilan Negeri (perkara pidana). Sehingga dengan demikian ketika mengajukan dalil adanya penggunaan upaya tidak jujur dalam mencapai perdamaian misalnya kreditor fiktif, dalil tersebut akan dimentahkan dengan alasan belum ada putusan dari hakim pidana karena Pengadilan Niaga tidak berwenang untuk memeriksa suatu perkara pidana. 3. Penyelesaian Perkara Kepailitan PT Panca Overseas Finance Tbk menggambarkan bagaimana Undang-Undang Kepailitan dan PKPU belum memiliki aturan yang rinci agar mencegah masuknya kreditor fiktif sebagai kreditor yang diakui. Pembuktian Sindikasi Kredit Harvest Hero ternyata dilimpahkan ke Pengadilan Negeri sementara hakim yang memeriksa tidak memiliki instrumen apakah harus menunda persidangan pengesahan perdamaian atau langsung mengesahkan perdamaian karena belum ada putusan dari Pengadilan Negeri yang mendukung dalil adanya kreditor fiktif dalam tercapainya perdamaian tersebut. Dapat disimpulkan bahwa ternyata dengan tata cara pemeriksaan suatu perkara yang lebih cepat dan menggunakan cara pembuktian yang sederhana, Pengadilan Niaga justru tidak dapat menyelesaikan suatu perkara yang berkaitan dengan kepailitan dan PKPU dengan adil dan efektif ketika ternyata berhadapan dengan suatu perkara yang memiliki unsur pidana, misalnya kreditor fiktif. Kasus kreditor fiktif dalam PKPU PT Pance Overseas Finance Tbk menggambarkan bagaimana Undang-Undang Kepailitan dan PKPU belum memiliki aturan yang rinci agar mencegah masuknya kreditor fiktif sebagai kreditor yang diakui. Pembuktian Sindikasi Kredit Harvest Hero ternyata dilimpahkan ke Pengadilan Negeri sementara hakim yang memeriksa tidak memiliki instrumen apakah harus menunda persidangan pengesahan perdamaian atau langsung mengesahkan perdamaian karena belum ada putusan dari Pengadilan Negeri yang mendukung dalil adanya kreditor fiktif dalam tercapainya perdamaian tersebut. b. Saran 1. Perlu diadakan penyempurnaan terhadap ketentuan-ketentuan hukum kepailitan agar proses eksekusi putusan pailit berjalan dengan cepat dan tidak berlarut-larut. Pertama 23 Analisis hukum...Ryan Austra L. Tampubolon, FH-UI, 2013

ketentuan yang menciptakan dorongan bagi Debitor agar kooperatif seperti yang dilakukan oleh Thailand yaitu adanya hak Debitor pailit untuk mengajukan permohonan pencabutan kepailitan jika dia koperatif dan 50% asetnya sudah dibayarkan kepada para Kreditor. Kedua, perlu diberlakukannya ketentuan mengenai batas waktu berlangsungnya kepailitan sehingga dalam pelaksanaan eksekusi putusan pailit agar para pihak terkait, terutama para kreditor dipaksa untuk kooperatif dan tidak mementingkan diri sendiri. 2. Terkait hambatan dalam proses penjualan harta pailit melalui lelang dimana rendahnya animo masyarakat untuk melakukan pembelian melalui lelang dan adanya mafia hukum, sebaiknya KPKNL lebih berperan aktif untuk melakukan sosialisasi terhadap masyarakat mengenai pelaksanaan lelang dan keuntungan-keuntungan yang didapat melakukan pembelian melalui lelang. KPKNL lebih aktif memberikan informasi mengenai barang-barang yang akan dilelang, waktu dan tempat pelaksanaan lelang ke masyarakat contohnya seperti iklan melalui media sosial, televisi dan membuat situs web yang berisi informasi secara lengkap. Dengan demikian akan banyak orang yang ikut menjadi peserta lelang dan dengan sendirinya mafia lelang akan tidak dapat beroperasi. Selanjutnya agar Pemerintah segera mengeluarkan peraturan mengenai pelaksanaan lembaga paksa badan sehingga Debitor yang tidak jujur dapat bekerjasama dan mematuhi status kepailitannya. 3. Dengan tidak sinkronnya ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Kepailitan dan PKPU dengan pelaksanaan pemeriksaan perkara pidana di Pengadilan Negeri maka perlu ada perubahan terhadap ketentuan mengenai proses perdamaian terutama mengenai sidang pengesahan perdamaian. Perubahan ketentuan tersebut diperlukan agar ketika terdapat pengajuan alasan oleh Kreditor mengenai perdamaian yang tercapai akibat upaya memasukkan kreditor fiktif, proses pengesahan perdamaian tersebut ditunda sampai adanya putusan mengenai kreditor fiktif tersebut dari Pengadilan Negeri (Hakim Pidana). Dengan demikian dapat dicapai tujuan utama Undang-Undang Kepailitan dan PKPU yaitu menyelesaikan masalah utang-piutang secara adil, cepat, terbuka, dan efektif.

24 Analisis hukum...Ryan Austra L. Tampubolon, FH-UI, 2013

Daftar Pustaka A. Buku Adi, Rianto. Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum. ed. 1. Jakarta: Granit, 2004. Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja. Seri Hukum Bisnis Kepailitan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa, 2002. Apul, Yan. “Permasalahan terhadap Kendala Efektifitas Undang-Undang Kepailitan dan Pemecahannya dari Sudut Pandang Kurator”, Prosiding Seminar Nasional Kepailitan tentang Antisipasi Krisis Keuangan Kedua, Sudah Siapkah Pranata Hukum Kepailitan Indonesia?, Jakarta, 29 Oktober 2008. Ed. Muhammad Faid Aziz. Hoff, Jerry. Undang-Undang Kepailitan di Indonesia. Trans. Kartini Muljadi. Jakarta: PT. Tatanusa, 2000. Trans. Of Indonesian Bankruptcy Law, 2000. Linnan, David K. “Indonesian Insolvency Law.” Insolvency Law in East Asia. Ed. Roman Tomasic. Hampshire: Ashgate Publishing Limited, 2006 Sjahdeini, Sutan Remy. Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2009. B. Artikel dan Jurnal Erma Defiana dan Tata Wijayanta, “Kajian Hukum tentang Penerapan Pembuktian Sederhana dalam Perkara Kepailitan Asuransi”, Mimbar Hukum 22. Oktober 2010 Novita, Tri Reni. “Proses Pengurusan dan Pemberesan Harta Perusahaan Pailit”, Kultura Vol. 12. Juni 2011. Simanjuntak, Ricardo. “Ektifitas UU Kepailitan dalam Perspektif Kurator Dikaitkan dengan Pemberesan Harta Pailit Perseroan Terbatas”, Jurnal Hukum Bisnis. Juli 2008. C. Peraturan Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, cet. 29. ________. Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR). Bogor: Politeia, 1995. ________. Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan menjadi Undang-Undang. Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, LN No. 135 Tahun 1998. ________. Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, UU No. 37 Tahun 2004, LN No. 131 Tahun 2004, TLN No. 443 25 Analisis hukum...Ryan Austra L. Tampubolon, FH-UI, 2013