ANALISIS LANSKAP KAJIAN NEGARA INDONESIA

Download 6 Sep 2010 ... Suatu analisis situasi gizi mengungkapkan bahwa meskipun prevalensi anak ... stunting. Cakupan program gizi yang ada mungkin...

0 downloads 359 Views 2MB Size
Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia Laporan Final 6 September 2010

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Analisis Lanskap – Kajian Negara Indonesia

Daftar Isi Ringkasan Eksekutif .................................................................................................. 4 1. Pendahuluan .......................................................................................................... 6 2. Analisis Lanskap Proses Kajian Negara ................................................................. 8 3. Situasi Gizi di Indonesia ..................................................................................... 10 Situasi Gizi dan Kesehatan Anak di Indonesia ..................................................... 10 Situasi Gizi dan Kesehatan Ibu di Indonesia ........................................................ 13 Pemberian Makanan pada Kehamlan dan Anak dan Anak Usia Dini di Indonesia 16 4. Temuan pada Analisis Lanskap Kajian Negara dan analisis ................................ 22 Persepsi permasalahan ......................................................................................... 22 Kebijakan mengenai gizi dan kegiatan yang kini dipraktikkan ............................. 24 Koordinasi Gizi ................................................................................................... 26 Sumber Daya Manusia bagi Gizi ......................................................................... 27 Perencanaan, Anggaran dan Pembiayaan ............................................................. 29 System Informasi Gizi ......................................................................................... 30 Ringkasan Temuan .............................................................................................. 31 5. Rekomendasi ....................................................................................................... 32 Tujuan Keseluruhan............................................................................................. 32 Koordinasi Gizi dan Pertanggungjawaban ........................................................... 32 Anggaran dan Pembiayaan .................................................................................. 33 Perencanaan dan desain Program ......................................................................... 34 Sumber Daya Manusia ......................................................................................... 35 Pengadaan Jasa .................................................................................................... 37 Sistem Informasi Gizi .......................................................................................... 37 6. Langkah Berikutnya ........................................................................................... 40 Lampiran 1. Metodology Kajian Negara .................................................................. 42 Lampiran 2. Program Gizi Indonesia berorientasi pengentasan kemiskinan ................ Klaster 1 – Bantuan Sosial dan Program Perlindungan ............................................. Program Raskin .................................................................................................. Transfer Uang Tunai ............................................................................................ Asuransi Kesehatan ............................................................................................. Klaster 2 – Program Pemberdayaan Masyarakat ...................................................... PNPM Mandiri (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) .......................... PNPM Generasi (Transfer Uang Tunai untuk Kesehatan dan Generasi Cerdas) .... Pemberdayaan Usaha Micro dan Kecil ............................................................117 Lampiran 3. Rangka Kerja Kebijakan dan Program Intervensi Gizi Esensial................ Lampiran 4. Keamanan Pangan dan Pemetaan Kerawanan dari WFP ..........................

2

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Gambar dan Tabel Gambar 1: Penempatan waktu kegagalan pertumbuhan anak balita di negara sedang berkembang ............................................................................................................... 6 Gambar 2: Rangka Kerja Konseptual Gizi UNICEF ................................................. 8 Gambar 3: Fungsi Sistem Gizi yang membantu mendefinisikan Komitmen dan Kapasitas ................................................................................................................. 10 Gambar 4: Prevalensi bobot kurang pada anak balita di Indonesia ........................... 11 Gambar 5: Stunting dan penyiaan (wasting) berdasarkan Propinsi di Indonesia (Riskesdas 2007) ..................................................................................................... 12 Tabel 1: Cakupan Intervensi Gizi Lancet di Indonesia ............................................. 20

3

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Ringkasan Eksekutif Meski pendapatan nasional brutto telah tumbuh kelipatan lima sejak tahun delapan puluhan, kemajuan dalam nutrisi telah terbatas pada 37% anak Indonesia yang masih menderita stunting. Kepedulian mengenai situasi stunting dan dibutuhkannya untuk suatu pengkajian yang memadai mengenai kapasitas sistem gizi pemerintah di dalam administrasi desentralisasi yang baru, Badan Perencanaan Nasional dan Kementrian Kesehatan Pemerintah Indonesia telah memutuskan untuk melaksanakan proses Pengkajian Negara Analisis Lanskap agar mengkaji “kesiapan” mereka untuk bertindak untuk mempercepat pengurangan kehamilan dan kurang gizi. Suatu analisis situasi gizi mengungkapkan bahwa meskipun prevalensi anak kurang bobot telah berkurang di Indonesia dan telah dicapainya Tujuan Pembangunan Jangka Menengah dan Tujuan Pembangunan Milenium untuk pengurangan kelaparan, Indonesia tetap mempunyai permasalahan serius mengenai stunting dan wasting pada anak muda. Masih terdapat banyak kehamilan kurang gizi, yang berkontribusi terhadap bobot kelahiran rendah yang relatif tinggi demikian pula yang menderita stunting. Cakupan program gizi yang ada mungkin wajar untuk beberapa kegiatan, namun cakupan lebih besar perlu dicapai terhadap intervensi nutrisi esensial yang lebih preventif yang dapat membantu pengurangan kehamilan kurang gizi dan kurang gizi itu sendiri, termasuk promosi dan memberikan nasihat mengenai pemberian asi dan pemberian makanan komplementer, pemberian suplemen zat besi-folat kepada ibu, menghilangkan penyakit cacingan dari ibu dan anak, pemberian suplemen protein dan energi kepada ibu hamil yang miskin, perawatan diare dengan zat seng, dan cakupan fortifikasi makanan dan program fortifikasi di tempat tinggal. Temuan dari Pengkajian Negara adalah bahwa meskipun komitmen untuk bertindak bagi gizi cukup kuat, kemampuan untuk bertindak bagi gizi masih perlu diperkuat. Komitmen kuat yang ada untuk bertindak bagi gizi adalah salah arah dalam berupaya untuk mengatasi permasalahan gizi yang akut daripada meletakkan sistem dan intervensi pada tempatnya untuk mencegah anak dan ibu kekurangan gizi, yang sebagian besar karena yang hal yang disebutkan terakhir itu secara umum tidak dipandang sebagai suatu permasalahan. Komitmen untuk mengatasi permasalahan mengenai stunting makin tumbuh pada tingkat nasional, namun di tingkat propinsi dan kabupaten dimana semua tindakan diputuskan dan dilaksanakan, permasalahan gizi masih besar disamakan dengan gizi buruk dan/atau kepada kurangnya makanan. Mekanisme untuk koordinasi kebijakan, identifikasi prioritas dan mengatur tujuan dan sasaran adalah lemah atau bahkan tidak ada di semua tingkatan. Kemampuan untuk bertindak bagi gizi perlu diperkuat kalau pengurangan stunting harus tercapai. Pengadaan jasa sebagian besar berkisar mengenai pemantauan pertumbuhan anak dan salah arah terhadap balita daripada terpusat pada anak dibawah usia dua tahun dimana intervensi gizi dapat mempunyai efek yang lebih besar. Prioritas kurang diberikan kepada kegiatan pencegahan yang terkait dengan pemberian nasihat kepada ibu mengenai anak usia dini dan anak muda daripada memberikan fungsi penyembuhan dalam mendeteksi dan merawat penyakit wasting. Koordinasi antar sector mengenai pelaksanaan perlu diperkuat. Meskipun ahli gizi yang cukup banyak sedang diberikan pelatihan, kurikulumnya sudah kedaluarsa atau tidak lengkap. Mereka kurang mendapatkan pekerjaan di dalam sistem tersebut, dan terutama dalam pelaksanaan pemberian jasa. Sedikit ataupun samasekali tidak terjadinya pelatihan mengenai gizi 4

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

ditempat kerja. Penggunaan data pemantauan untuk membuat keputusan atau data evaluasi untuk belajar dari pengalaman program adalah hal yang tidak biasa. Rekomendasi dibuat mengenai bidang : Koordinasi dan Tanggungjawab Gizi; Anggaran dan Pembiayaan; Perencanaan dan Disain Program; Sumber Daya Manusia; Pengadaan Pelayanan; Sistem Informasi Gizi. Sebagai ringkasan, prioritas harus diberikan untuk menciptakan mekanisme yang mempromosikan pengembangan Rencana Tindakan Gizi yang seirama di tingkat Propinsi dan Kabupaten berdasarkan rencana nasional, keputusan dan arah kebijakan, demikian pula untuk mengembangkan mekanisme koordinasi antar sector untuk pengawasan dan pemantauan pelaksanaannya. Agar meningkatkan pembiayaan yang efektif, pengarahan dan insentif harus diberikan kepada kabupaten agar diprioritaskan pada intervensi berdasarkan pembuktian terhadap kelompok rawan pra-hamil, ibu hamil dan menyusui dan anak dibawah usia dua tahun. Ukuran panjangnya anak dibawah usia dua tahun dan anemia dalam kehamilan harus diberikan tekanan dan prioritas yang meningkat untuk mengukur keefektifan gizi demikian juga program pengentasan kemiskinan pada semua tingkatan. Secara bersamaan dengan hal ini, deskripsi pekerjaan perlu dimutakhirkan untuk mencerminkan arahan program baru (misalnya, pengukuran stunting dan kesehatan/anemia kehamilan) bagi semua staf yang terlibat di dalam gizi di semua tingkatan dalam system. Suatu peta sumber daya manusia bagi ahli gizi dan pekerja kesehatan lainnya harus dikembangkan agar dapat mengindentifikasi kesenjangan dalam penugasan serta kompetensi, dan mengembangkan rencana nasional untuk suatu pendekatan pelatihan untuk mengajar kompetensi gizi bagi sukarelawan, perawat dan bidan, dan untuk memberikan pemutakhiran teknis bagi dokter dalam ilmu pengetahuan. Sejalan dengan ini, skala pelaksanaan (sesuai tergantung kondisi lokal), dari paket Intervensi Gizi Esensial (ENI) harus secara progresif dilaksanakan dimulai dengan beberapa kabupaten dan propinsi dan secara bertahap memperluas sehingga dalam waktu lima tahun sebagian besar ibu dan anak tercakup oleh ENI sebagai suatu kelanjutan perawatan dari masa pre-konsepsi, konsepsi sampai usia dua tahun. Panduan pemantauan dan evaluasi harus dimodifikasi untuk mencerminkan fokus program baru dan indikator yang terkait.

5

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

1. Pendahuluan Sementara ekonomi Indonesia telah tumbuh secara mengesankan selama empat dekade, tingkat kurang gizi anak meskipun berkurang, masih tetap bertahan tinggi. Pendapatan Nasional Bruto telah tumbuh lima kali lipat sejak tahun delapan puluhan, tetapi tingkat anak kurang bobot sedikit lebih dari separoh pada periode yang sama, dan 18% anak Indonesia masih mengalami hal ini. Mungkin aspek yang sangat menghawatirkan dalam hal ini, bahwa 37% anak Indonesia masih mengalami stunting. Stunting pada anak diterima secara luas sebagai salah satu alat prediksi mengenai modal sumber daya manusia, mempengaruhi kinerja akademik potensial dan kemampuan memperoleh pendapatan sebagai suatu bangsa 1. Stunting sama juga disebabkan oleh defisiensi dalam lingkungan intra-uterin dari janin demikian juga kesehatan dan gizi anak selama kehidupan pasca natal dini. Seperti dapat dilihat pada Gambar 1 dibawah ini, di Negara yang terkena oleh kurang gizi dalam kehamilan dan anak, kegagalan pertumbuhan panjangnya sudah dapat ditentukan pada saat kelahiran dan terjadi setiap sejak kelahiran sampai usia dua tahun2. Setelah usia dua tahun, anak dari semua Negara mempunyai pertumbuhan yang sama, sedemikian pada ukuran tinggi pada usia dua tahun banyak menentukan tingginya nanti pada saat dewasa 3.

Gambar 1: Penempatan waktu gagal-tumbuh pada anak balita di negara sedang berkembang

Pada dekade terakhir Indonesia telah diubah dari pemerintahan yang paling sentralistik menjadi pemerintah yang paling terdesentralisasi di dunia. Desentralisasi telah tercapai dengan beberapa urutan peraturan yang diberlakukan di tahun 2001 dan dialihkannya tanggungjawab penyampaian pelayanan umum kepada kabupaten atau pemerintahan daerah. Undang-undang desentralisasi Indonesia tahun 1999 Victora CG, Adair L, Fall C, Hallal PC, Martorell M, Richter L, Sachdev HS for the Maternal and Child Undernutrition Study Group (2008) Maternal and child undernutrition: consequences for adult health and human capital. The Lancet 37: 340-357 2 Victora CG, de Onis M, Hallal PC, Blössner M, Shrimpton R. 2010 Worldwide timing of growth faltering: revisiting implications for interventions. Pediatrics. 125(3):e473-80. 3 Cole T. 2000. Secular trends in growth. Proc. Nut Soc. 59:317-324. 1

6

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

memperkenankan pembagian propinsi, kabupaten dan kabupaten kota menjadi unit yang lebih kecil demi kepentingan penyampaian pelayanan yang lebih baik, distribusi sumber daya yang lebih merata dan pemerintahan yang lebih terwakili. Dengan adanya desentralisasi jumlah kabupaten telah dilaporkan meningkat dari 292 dalam tahun 1998 sampai 497 pada awal tahun 2009 dan masih terus meningkat. Area kompetensi yang dipertahankan pada tingkat pusat termasuk Urusan Luar Negeri, Pertahanan, Fiskal dan Moneter, Peradilan dan Agama. Untuk yang lain termasuk Kesehatan, Pertanian dan Pendidikan, peranan pemerintahan di tingkat pusat terbatas pada pengaturan standard dan norma, pemantauan dan evaluasi dan pengendalian, sementara pemerintah propinsi mempunyai peran pengawasan dan pemberian fasilitas4. Selanjutnya terlihat bahwa kurangnya perbaikan terhadap kurang gizi anak sejak perputaran abad, yang terkait awalnya dengan krisis ekonomi, telah dihubungkan dengan makin hancurnya kemampuan pemberian pelayanan dalam program gizi yang disebabkan oleh desentralisasi. Antara tahun 1995 dan 2006, jumlah penyedia kesehatan seperti dokter dan spesialis, bidan dan perawat telah meningkat secara signifikan namun fokusnya terhadap peningkatan jumlah pekerja, dengan kurangnya perhatian terhadap kualitas. Hasil awal dari laporan WHO/RI mengenai kajian rumah sakit terhadap kualitas perawatan anak yang dilakukan di enam propinsi5 menunjukkan bahwa prosentase standard keberhasilan kasus pengelolaan kurang gizi adalah rerata 30% atau kurang dari 60%, merupakan suatu angka jelas yang secara kuat menyarankan dibutuhkannya perbaikan. Hasil terendah diamati di Jawa Timur (23%) dan keberhasilan tertinggi dicapai di NTT (43%). Suatu analisis kausal mengenai angka ini dibutuhkan untuk mengungkapkan sejauh mana dan sifat dari defisiensi tersebut, demikian pula untuk mengkaji pengetahuan dan praktik terhadap perawatan gizi oleh ahli kesehatan dan gizi professional di masyarakat. Sebagaimana pemerintahan kabupaten berupaya untuk menyamakan keterampilan sumber daya manusianya dengan kekuasaan yang baru diperoleh, demikian pula perencana dan pembuat keputusan ditingkat pusat dan propinsi menghadapi tantangan baru dalam koordinasi, pemantauan dan standardisasi. Hasil akhir adalah bahwa kurangnya kapasitas gizi pada tingkat kabupaten digabung dengan tantangan untuk koordinasi dan kepemimpinan pada tingkat pusat dan propinsi telah berakibat hancurnya program gizi secara umum. 6 Kepedulian mengenai situasi stunting dan dibutuhkannya pengkajian yang memadai mengenai kapasitas sistem gizi pemerintah dalam administrasi desentralisasi yang baru, Badan Perencanaan Nasional dan Departemen Kesehatan Republic Indonesia telah memutuskan untuk menjalankan proses Analisis Lanskap Pengkajian Negara yang telah dikembangkan oleh PBB dan badan internasional lainnya dibawah

Suwandi M 2001. Pendekatan Top down dibandingkan bottom up approaches terhadap desentralisasi (pengalaman Indonesian). Jakarta: Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah. 5 Kajian dilakukan di tiga rumah sakit masing di Jambi, Sulawesi Tenggara, Jawa Timur, NTT, Maluku Utara dan Kalimantan Tengah. Hasil menunjukkan bahwa pengelolaan kasus diare, demam dan batuk/sulit bernapas adalah dibawah 60% (WHO, 2009. Laporan kajian rumah sakit mengenai kualitas perawatan kesehatan anak di 6 propinsi, Februariy) 6 Friedman J, Heywood PF, Marks G, Saaday F, Choi Y. 2006.Desentralisasi Sektor Kesehatan dan Program Gizi Indonesia: Peluang dan Tantangan. Report No. 39690-IND. Washington: World Bank. 4

7

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

kepemimpinan WHO7. Kajian Negara tersebut (CA) mempunyai sasaran untuk membantu negara untuk mengkaji “kesiapan” mereka bertindak untuk mempercepat pengurangan kurang gizi kehamilan dan anak. Kesiapan diakui sebagai fungsi “komitmen” dan “kapasitas” dan dipengaruhi faktor yang beroperasi pada semua tingkatan penyebab seperti tertera pada Rangka Kerja Konseptual Gizi UNICEF (UNICEF Nutrition Conceptual Framework – Lihat Gambar 2 dibawah). Komitmen dapat diukur dengan adanya kebijakan dan besarnya sumber daya yang diterapkan pada masalah tersebut, sedangkan kapasitas tercermin pada tingkat dasarnya dalam arti kecukupan dalam penyampaian pelayanan.

Gambar 2: Rangka Kerja Konseptual Gizi UNICEF

2. Proses Analisis Lanskap Kajian Negara (CA) Tujuan keseluruhan dari CA adalah untuk membantu menciptakan kapasitas dan komitmen lebih besar untuk meningkatkan situasi gizi agar mempercepat berkurangnya kurang gizi anak dan dalam kehamilan. Untuk tujuan ini, dengan dukungan yang diberikan badan PBB terutama yang terlibat, suatu tim nasional telah dibentuk dengan perwakilan dari Kementrian Kesehatan demikian juga dari BAPPENAS bersama dengan perwakilan tingkat propinsi dari kantor dinas perencanaan dan kesehatan dari tiga propinsi dimana CA dilakukan. Inisiatif Mikronutrien, Helen Keller International, dan institusi akademis termasuk Universitas Indonesia juga terlibat. Metodologi secara penuh bersama dengan kuestioner, jadwal wawancara dan orang yang diwawancarai terdapat dalam Lampiran 1, dan prosesnya diringkas lebih lanjut disini.

Nishida, N Shrimpton R, Darnton-Hill I 2009. Analisis Lanskap terhadap kesiapan Negara untuk mempercepat aksi dalam gizi. SCN News 37: 4-9. Geneva: SCN. 7

8

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Panduan rasional keseluruhan proses CA diturunkan dari pengertian yang disetujui pada Sesi ke 35 UN Standing Committee on Nutrition.8. Telah diakui bahwa sasaran efektif terhadap ibu dan anak dari masa konsepsi sampai usia dua tahun ( ‘jendela kesempatan’) dari suatu perangkat intervensi yang datang dari Lancet Nutrition Series (LNS)9 mengenai bagaimana untuk mempercepat pengurangan kurang gizi anak dan dalam masa kehamilan dapat mencegah paling sedikit seperempat kematian anak dibawah usia 36 bulan dan mengurangi prevalensi stunting sebesar sepertiga pada masa jangka pendek. Metodologi pengkajian yang digunakan untuk CA Indonesia bersifat kualitatif. Kuesioner yang diturunkan dari yang disediakan oleh WHO Geneva diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia dan selanjutnya disempurnakan oleh tim nasional untuk memenuhi persyaratan Indonesia bagi pembuatan keputusan pada tingkat nasional, propinsi dan kabupaten. Pemangku kepentingan yang diwawancarai pada tingkat pusat termasuk pejabat dari kementerian yang terkait dengan perencanaan, kesehatan, urusan dalam negeri, industri, pertanian, pendidikan, kesejahteraan sosial, demikian juga perwakilan dari parlemen, badan donor, lembaga swadaya masyarakat internasional dan nasional serta unversitas. Tim wawancara nasional telah dibagi untuk mengunjungi tiga propinsi, dan termasuk anggota yang datang dari kantor dalam negeri propinsi, kesehatan, pertanian, berbagai kantor negara lainnya dan LSM. Pemangku kepentingan yang diwawancarai pada tingkat propinsi sama dengan tingkat nasional, namun pada tingkat kabupaten, kepala pusat kesehatan dan ahli gizi demikian juga bidan desa dan kader posyandu juga termasuk. Penempatan waktu berbagai kegiatan Analisis Lanskap adalah sebagai berikut:  11 – 13 Maret: Persiapan logistic berbagai kunjungan lapangan demikian pula pelatihan pewawancara dalam penggunaan kuesioner;  13 Maret: Peluncuran Nasional dari Analisis Lanskap Kajian Negara;  15 Maret: Peluncuran tingkat propinsi dan wawancara dengan pemangku kepentingan di Aceh, Jawa Tengah dan NTT;  16 – 18 Maret: Pertemuan dan wawancara dengan pemangku kepentingan tingkat Kabupaten di Aceh Timur, Aceh Besar, Kota Semarang, Banyumas, Sikka dan Belu;  19 Maret: Sesi umpan balik tingkat propinsi;  22 – 23 Maret: Wawancara tingkat nasional;  24 Maret: Konsolidasi hasil wawancara dari tingkat kabupaten, propinsi dan nasional;  25 Maret: Pengembangan konsep temuan dan rekomendasi;  26 Maret: Presentasi dan diskusi mengenai konsep temuan dan rekomendasi dengan pemangku kepentingan tingkat nasional. Langkah pertama dalam analisis kuesioner adalah untuk meringkas tanggapan dari wawancara tingkat nasional, propinsi dan kabpaten dengan menggunakan judul yang mengelompokkan berbagai pertanyaan. Suatu matriks analitik, yang diturunkan dari SCN 2008. Rekomendasi dari Sesi 35th : "MEMPERCEPAT PENGURANGAN KURANG GIZI MASA KEHAMILAN DAN ANAK" tersedia pada http://www.unscn.org/Publications/AnnualMeeting/SCN35/35th_Session_Recommendations.pdf (Accessed 09/07/09) 9 The Lancet Series on Maternal and Child Undernutrition 2008. Available at URL: http://www.theLancet.com/series/maternal-and-child-undernutrition (Accessed 05/11/09) 8

9

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

yang digunakan dalam Kajian Negara lainnya 10, menunjukkan berbagai indikator mengenai “komitmen” demikian pula “kapasitas” untuk dapat bertindak, juga digunakan untuk membantu lebih lanjut dalam meringkas hasil kuesioner. Matriks ini termasuk empat unsur sistem nutrisi/gizi seperti diusulkan dalam Lancet Nutrition Series (LNS)11 (lihat Gambar 3 dibawah), dimana “Komitmen untuk Bertindak” terkait dengan Pengurusan dan Fungsi Sumber Daya dan ”Kapasitas untuk Bertindak” terkait dengan fungsi Kapasitas dan Penyediaan Pelayanan.

COMMITTMENT ---------------------------------------------------------------------------------------------------

CAPACITY

Gambar 3: Fungsi Sistem Gizi yang membantu mendefinisikan Komitmen dan Kapasitas

Tidak semua empat fungsi ini beroperasi secara penuh pada semua tingkatan. Fungsi Penyediaan Pelayanan hanya terdapat pada tingkat kabupaten, dimana Pengurusan dan fungsi Kapasitas lebih dilaksanakan pada tingkat nasional dan propinsi. Sumber daya pada dasarnya penting diterapkan pada semua tingkat, meskipun pengendaliannya di Indonesia sekarang secara dominan terdapat pada tingkat kabupaten.

3. Situasi Gizi di Indonesia12 Situasi Gizi dan Kesehatan Anak di Indonesia Situasi gizi anak di Indonesia, seperti terukur oleh bobot kurang, telah membaik secara signifikan. Di tahun 1989 prevalensinya 31% dan data terakhir dari 200713 menunjukkan angka sekarang adalah 18.4%. Ini adalah suatu penurunan hampir 13% Chopra M, Pelletier D, Witten C, Dietrich M. 2009. Assessing countries’ readiness: Methodology for in-depth country assessment. SCN News 37:17-22 11 Morris SS, Cogill B, Uauy R, et al Effective international action against undernutrition: why has it proven so difficult and what can be done to accelerate progress? Lancet. 371(9612):608-21. 12 Data tersedia dari yang terkini digunakan dalam seluruh pembahasan ini, yang di sebagian besar kasus berasal dari survaiRiskesdas 2007. 13 1989 data dari Susenas dan data 2007 dari Riskesdas, semua dalam standard WHO. 10

10

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

selama 18 tahun; sekitar 0.7% poin per tahun. Seperti terlihat pada Gambar 4 mengenai prevalensi bobot kurang dibawah ini, penurunan khusus ditandai pada tahun 1990an, dimana saat itu telah turun (jatuh) sekitar 10%. Namun, terjadi suatu periode stagnasi, meski terdapat sedikit kenaikan prevalensi antara tahun 2000 dan 2005. Antara tahun 2005 dan 2007 terdapat penurunan cepat yang sedikit lebih dari 6% poin. Penurunan dramatis bobot kurang ini dapat mencerminkan suatu pengurangan sesungguhnya dalam prevalensi bobot kurang atau perbedaan dalam metodologi survai antara Susenas 2005 dan Riskesdas 2007, meski kedua survai tersebut menggunakan rangka pengambilan sampel yang sama. Sasaran MDG sebesar 18.5% telah tercapai oleh RISKESDAS di tahun 2007 oleh karena sasarannya adalah pengurangan 50% dari 37.5 % bobot kurang di tahun 1989. Sasaran rencana pembangunan jangka menengah juga telah tercapai.

Trend in Underweight Prevalence of Under Five Children 40,0

37,5 35,5 31,6

31,2

29,5

30,0

28,3

27,3

26,4

27,5

28,2

28,0

Target RPJM 2009

26,1

Percent

24,6

20,0

20,0

19,0

19,8

19,3

18,3

19,2

19,6

19,2

18,4

20

17,1

18,5

13,0

11,6

10,0 6,3

7,2

10,5 8,1

8,0

7,5

8,3

8,6

8,8

6,3

Target MDG 2015

5,4

0,0 1989 1992 1995 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2007 2009 2012 2015 Severe Maln.

Moderate Maln

Malnourished

Target

Source : Susenas(1989-2005), Riskesdas 2007 (WHO standard)

Gambar 4: Prevalensi bobot kurang pada anak balita di Indonesia

Sebagai kontras, kurang gizi anak terukur oleh penderita stunting dan wasting anak tetap, menjadi suatu permasalahan yang signifkan. Data perwakilan mengenai stunting anak terbatas, dengan Susenas 1995 yang melaporkan prevalensi stunting sebesar 46.9% berdasarkan acuan pertumbuhan NCHS. Dalam tahun 2007, RISKESDAS menemukan 36.8% dari semua anak balita di Indonesia mengalami stunting dengan menggunakan standard pertumbuhan WHO sebagai acuan dan selanjutnya 13.6% mengalami wasting. Data nasional ini mencerminkan variasi propinsi yang signifikan sebagamana ditunjukkan pada Gambar 5 dibawah ini untuk stunting dan wasting berdasarkan Propinsi.

11

Papua W Papua N Maluku Maluku W Sulawesi Gorontalo SE Sulawesi S Sulawesi C Sulawesi N Sulawesi E Kalimantan S Kalimantan C Kalimantan W Kalimantan E Nusa Tenggara W Nusa Tenggara Bali Banten E Java DI Yogyakarta C Java W Java DKI Jakarta Kepulauan Riau Bangka Lampung Bengkulu S Sumatra Jambi Riau W Sumatra N Sumatra Aceh

0

Stunting Wasting 25 %

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Stunting and Wasting by Province in Indonesia (Riskesdas 2007) 50

45

40

35

30

20

15

10

5

Gambar 5: Stunting dan wasting berdasarkan propinsi di Indonesia (Riskesdas 2007)

12

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah propinsi dengan tingkat prevalensi tertinggi mengenai stunting di Indonesia dengan angka 46.7%, dan terdapat Sembilan propinsi dengan prevalensi stunting melebihi 40%, yang dikategorikan oleh WHO sebagai “sangat tinggi”. Tingkat wasting juga tinggi, oleh karena prevalensinya lebih dari 15%, dianggap situasi darurat denga persyaratan untuk program pemberian makanan suplemen. Delapanbelas dari 33 propinsi di Indonesia mempunyai prevalensi wasting diatas 15%. Lebih lajut secara nasional, 6.2% anak menderita wasting ini sangat serius yang meletakkan mereka pada risiko tinggi kematian. Penyakit pada anak tetap menjadi masalah yang berpengaruh terhadap status gizi di Indonesia. Diare dan ARI tetap menjadi penyebab utama kematian anak usia dini dan anak balita.14 Prevalensi penyakit ini juga tinggi. 11% dan 31% anak telah menderita ARI dan demam dalam dua minggu mengawali DHS 2007 dan hanya untuk 65.9% dilakukan perawatan atau diperoleh saran dari suatu fasilitas atau penyedia kesehatan. 13.7% dari anak menderita diare dalam dua minggu sebelum DHS dan 60.9% telah menerima suatu bentuk rehydrasi oral. Tingkat imunisasi juga rendah – hanya 46.2% anak berusia 12-23 bulan ditemukan telah lengkap vaksinasinya (Riskesdas 2007). Kelihatan kecenderungan bahwa tingkat tinggi penyakit infeksi akan berkontribusi terhadap tingkat tingginya wasting pada anak muda, dan kemungkinan besar merupakan cerminan praktik pemberian makan kepada anak yang kurang baik dan kondisi higiene yang didiskusikan lebih lanjut. Dengan demikian secara keseluruhan, sementara prevalensi bobot kurang telah dapat dikurangi di Indonesia dan Pembangunan Jangka Menengah dan Tujuan Pembangunan Milenium telah tercapai, Indonesia tetap mempunyai permasalahan stunting dan wasting yang serius, dengan hampir dua lipat prebedaan prevalensi yang terlihat diantara propinsi. Tingkat stunting dan wasting diikuti oleh tingginya tingkat penyakit infeksi diantara anak balita.

Situasi Gizi dan Kesehatan Ibu di Indonesia WHO mencatat bahwa bobot anak pada saat lahir terpengaruh secara langsung oleh tingkat kesehatan dan gizi ibu secara umum sebelum dan selama kehamilan 15, dan bahwa kelahiran prematur adalah penyebab utama bobot kurang pada kelahiran di masyarakat industri, di negara sedang berkembang hal ini secara predominan disebabkan oleh hambatan pertumbuhan intra-uterin16. Riskesdas 2007 data menunjukkan bahwa 13.6% ibu mempunyai defisiensi energi kronis sebagaimana dapat terukur dari lingkaran lengan bagian atas yang <23.5 cm. Hal ini merupakan penurunan prevalensi dari tingkat tahun 2003 sebesar 16.7%. Namun, prevalensi tetap lebih besar dari 15% di delapan propinsi. Menurut WHO17, suatu prevalensi antara 10-19% dianggap sebagai prevalensi menengah yang menunjukkan situasi gizi yang buruk. 14

Riskesdas 2007 Kramer M 1987. Determinants of low birth weight: methodological assessment and meta-analysis. Bulletin of the World Health Organization 65: 663-737 16 Villar J and Belizan JM. 1982. The relative contribution of prematurity and foetal growth retardation to low birth weight in developing and developed societies. Am J Obstetrics & Gynaecology 143: 793798 17 Physical status: the use and interpretation of anthropometry. Report of a WHO Expert Committee. Technical Report Series No. 854. 1995. URL: http://www.who.int/childgrowth/publications/physical_status/en/index.html. (accessed 17 June 2010) 15

13

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Data mengenai bobot diwaktu lahir meskipun terbatas tentu menunjukkan adanya suatu permasalahan. Meskipun hanya separoh bayi ditimbang pada saat kelahiran, 11.5% dari jumlah tersebut mempunyai bobot kelahiran dibawah 2.5kg18. Meskipun data dari DHS 2007 menunjukkan proporsi lebih rendah bobot lahir anak (5.5%), kelihatannya sekitar 35% dari bobot anak baru lahir telah dikumpulkan dari kartu kesehatan anak selama DHS, sementara kartu tersebut digunakan sebagai sumber informasi sekitar 50% anak selama Riskesdas 2007. Dapat dicatat bahwa menurut DHS 2007 lebih dari 90% ibu telah dipantau berat badannya selama masa kehamilan, meskipun tidak jelas bila dukungan tertentu dan nashat diberikan untuk memastikan bahwa ibu memperoleh peningkatan bobot yang cukup selama masa kehamilan. Total penambahan bobot selama masa kehamilan ditemukan kurang memadai disekitar 80% ibu dalam study berdasarkan populasi di pedesaan di Jawa Tengah19, yang menunjukkan bahwa lebih banyak dapat dilakukan untuk meningkatkan penambahan bobot. Percobaan pemberian makanan suplemen selama masa kehamilan di Jawa, selain meningkatkan bobot kelahiran, seterusnya menuju kepada pengurangan 20% penderita stunting pada anak balita20. Meskipun perwakilan data anemia secara nasional pada kaum ibu terbatas dan diberi tanggal, anemia masih menjadi permasalahan. Survai Kesehatan Rumah Tangga Nasional di tahun 2001 menunjukkan bahwa 27.9% dari ibu dalam masa reproduktif dan 40.1% ibu hamil menderita anemia. Data Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa di perkotaan 19.7% ibu dalam masa reproduktif menderita anemia, dan 24.5% menderita anemia diwaktu masa kehamilan. Terdapat pembuktian lain bahwa status zat besi adalah terbatas, sedemikian sehingga selama waktu krisis financial 1997/8 kaum ibu adalah yang pertama untuk menunjukkan tanda kurang gizi sebagaimana tercermin pada peningkatan penderita wasting dan tingkat anemia yang terkait dengan pengurangan konsumsi makanan berkualitas tinggi21. Suatu studi yang terkini telah mengusulkan bahwa 20% dari kematian neonatal di Indonesia dapat disebabkan oleh kekurangan suplemen zat besi dan asam folat selama masa kehamilan 22. Banyak informasi terdapat mengenai praktik kesehatan kehamilan selama masa kehamilan dan sekitar waktu kelahiran, yang jauh dari keterbatasan dalam kontennya. Riskesdas 2007 telah melaporkan bahwa 84.5% kaum ibu telah menerima suatu pemeriksaan kehamilan, dan bahkan di pedesaan dan diantara lingkungan yang ekonominya paling buruk, hampir 80% kaum ibu mendapatkan pemeriksaan kehamilan. 97.1% dari kaum ibu ini melaporkan menerima tiga atau lebih intervensi selama kunjungan mereka. Mayoritas kaum ibu menerima pengukuran tekanan darah, pemeriksaan ketinggian fundal, imunisasi tetanus toxoid dan pengukuran bobot. Namun hanya 33.8% menerima tes hemoglobin dan hanya 36.4% mendapatkan tes urine. DHS 2007 juga mempunyai data mengenai jenis rawatan ibu hamil selama Riskesdas 2007 Winkvist A, Stenlund H, Hakimi M, Nurdiati DS, and Dibley MJ. 2002. Weight-gain patterns from prepregnancy until delivery among women in Central Java, Indonesia. Am J Clin Nutr 75:1072–7. 20 Kusin JA, Kardjati S, Houtkooper JM, Renqvist UH. 1992. Energy supplementation during pregnancy and postnatal growth. Lancet 340(8820):623-6. 21 Block SA , Kiess L, Webb P, Kosen S, et al. 2004. Macro shocks and micro-outcomes: child nutrition during Indonesias crisis. Ecn Hum Biol 2(1):21-24. 22Titaley CR, Dibley MJ, Roberts CL, Hall J & Aghod K 2009. Iron and folic acid supplements and reduced early neonatal deaths in Indonesia. Bull World Health Organ 87: 1–23. 18 19

14

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

masa kehamilan: 93.3% dari kaum ibu menerima ANC dari penyedia yang terlatih dan 75.3% kaum ibu mendapatkan kunjungan ANC yang pertama, kurang dari empat bulan, dengan hasil bahwa rerata selama kehamilan dari kunjungan pertama berlangsung 2.7 bulan. 81.5% kaum ibu mendapatkan total lebih dari empat kali kunjungan dan hanya 4.2% kaum ibu tidak mendapatkan kunjungan. 46.1% dari kaum ibu melaksanakan kelahiran dalam fasilitas kesehatan, mayoritas dalam fasilitas pribadi, dan 53% kaum ibu melaksanakan kelahiran di rumah. 79.4% kelahiran dibantu oleh penyedia yang terampil, mayoritas oleh seorang perawat, bidan atau bidan desa. Namun demikian mortalitas kehamilan ibu tetap tinggi di Indonesia dan tidak makin baik. Meski cakupan ANC yang tinggi terhadap perawatan anemia selam masa kehamilan, rupanya tidak begitu efektif. Meskipun sebagian kaum ibu menerma suplemen, mereka tidak mengkonsumsi jumlah yang cukup. Riskesdas 2007 telah temukan bahwa 92.2% kaum ibu menerima suplemen zat besi dan asam folat selama kehamilan yang terakhir yang sedikit berbeda dari DHS 2007 yang melaporkan bahwa hanya 79.3% kaum ibu telah menerima suplemen zat besi selama masa kehamilan. Lebih penting lagi adalah bahwa Riskesdas melaporkan bahwa hanya 29.2% kaum ibu telah mengkonsumsi 90+ tablet selama masa kehamilan yang terakhir sesuai yang direkomendasikan23, Kesuburan di Indonesia telah jatuh pada 2.6 kelahiran per ibu meski tetap lebih tinggi secara signifikan di beberapa propinsi seperti NTT dan Maluku. Usia menengah pada kelahiran pertama adalah 21.5 tahun dengan sedikit variasi, meskipun hal ini sedikit lebih rendah di daerah pedesaan (20.6 yrs), diantara mereka tanpa pendidkan (19.6 tahun) dan mereka dari tingkat kekayan terendah (20.7 yrs). Sebagai akibat, prosentase remaja yang telah mulai mempunyai anak (15-19 tahun) secara relatif rendah pada tingkat 8.5%. Tingkat kesuburan yang rendah paling tidak disebabkan pada fakta bahwa 61% dari ibu yang saat ini telah menikah sedang menggunakan suatu bentuk keluarga berencana (57.4% menggunakan metode modern) pada saat koleksi data24 dengan kebutuhan yang tak terpenuhi terhadap keluarga berencana hanya sebesar 9.1% diantara ibu yang saat ini telah menikah. Dapat disimpulkan bahwa meskipun terbatasnya informasi yang tersedia, terdapat cukup banyak kurang gizi masa kehamilan yang kemungkinan cenderung berkontribusi terhadap bobot kelahiran rendah yang relatif tingkat tinggi demikian juga untuk stunting. Sementara kelihatan bahwa kaum ibu mendapatkan rawat kesehatan yang wajar selama masa kehamilan dan kelahiran jika diukur dalam istilah penempatan waktu kunjungan pertama, frekwensi kunjungan dan kelahiran oleh petugas terampil, intervensi berorientasi nutrisi/gizi dapat diperbaiki. Kunjungan lebih awal dalam trimester pertama lebih menjadi pilihan, demikian pula tes darah lebih dan tes urine dilakukan untuk identifikasi faktor risiko seperti anemia dan infeksi urine. Juga terlalu sedikit kaum ibu mengkonsumsi jumlah tablet zat folat yang disyaratkan dalam kehamilan untuk melindungi terhadap anemia.

23 24

Riskesdas 2007 DHS 2007

15

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Pemberian makanan pada Ibu dan Anak usia dini dan Anak muda di Indonesia Praktik pemberian makanan anak usia dini dan anak muda di Indonesia adalah jauh dari kecukupan. Menurut DHS 2007, hanya 32.4% anak usia kurang dari enam bulan diberi asi eksklusif. Hal ini merpakan net pengurangan dari tingkat 40% di tahun 2002 dan tentunya disebabkan oleh peningkatan tajam dari praktik pemberian makanan dengan botol dari 17% sampai 28% dantara anak dibawah usia enam bulan selama periode yang sama. Data Susenas menunjukkan kecenderungan yang sama mengenai praktik pemberian asi. Dalam propinsi yang keadaannya paling buruk (misalnya, Kepulauan Riau, Jakarta dan Bali) pemberian asi eksklusif bermanfaat kepada kurang dari 15% anak. Oleh karena susu ibu adalah sumber optimal nutrisi untuk anak, hal ini meletakkan anak kepada posisi sangat tidak beruntung secara nutrisi dan untuk pencegahan penyakit. Sebagai tambahan adalah fakta bahwa hanya 43.9% anak mulai makan asi dalam satu jam setelah kelahiran dan 64.6% menerima makanan pre-lakteal. Anak muda di Indonesia juga menerima makanan pelengkap terlalu dini: pada usia 45 bulan lebih dari separoh (52.9%) menerima makanan bentuk padat atau semi padat, dan dibawah dua bulan, 33.4% menerima formula untuk anak. Pemberian makanan pelengkap harus dimulai dari sekitar enam bulan dan anak harus menerima tiga atau lebih kelompok makanan suatu jumlah minimum menurut kelompok usia selain asi. Data DHS 2007 menunjukkan bahwa hanya 52.5% diberi makanan secara optimal dengan cara ini. Area utama kelemahan pada anak usia dini dan anak muda adalah frekwensi pemberian makanan (hanya 67% menawarkan makanan pelengkap minimum per kelompok usia per hari sebagai tambahan selain asi) tetapi hanya 75% mengkonsumsi jumlah kelompok makanan yang cukup, misalnya, diet yang diversifikasi. 25 Praktik pemberian makanan yang buruk: pemberian asi kurang cukup, penggunaan formula anak secara berlebihan, pemberian makanan pelengkap secara dini dan kualitas buruk dan frekwensi pemberian makanan pelengkap setelah enam bulan, tidak disangsikan lagi adalah berkontribusi kepada wasting dan stunting. Praktik pemberian makanan secara buruk juga berkontribusi terhadap kekurangan atau defisiensi mikronutrien. Hanya 87.4% dan 69.7% dari anak usia 6-35 bulan dilaporkan menerima vitamin A dan makanan kaya akan zat besi dalam 24 jam terakhir, menurut DHS (2007). Sedikit data tersedia mengenai konsumsi makanan bagi ibu hamil kecuali data DHS 2007, yang melaporkan bahwa sekitar 75% kaum ibu dengan anak dibawah usia tiga tahun telah menyantap daging atau ikan dalam 24 jam terakhir ini; konsumsi makanan kaya zat besi adalah serupa. Rekomendasi nasional untuk konsumsi karbohidrat dan protein, diterbitkan tahun 2004 untuk penduduk secara umum oleh National Workshop on Food and Nutrition VIII (WKNPG), adalah untuk sebanyak 2,000 kilo-kalori per kapita per hari untuk karbohidrat dan 52 gram per kapita per hari untuk protein. Pada tingkat nasional 1,735 kilokalori dari karbohidrat dan 55.5 gram protein dikonsumsi per hari perkapita26. Hanya Jawa Timur yang memenuhi rekomendasi nasional untuk konsumsi karbohidrat pada tingkat propinsi. Namun, semua kecuali enam propinsi

25 26

DHS 2007 Table 14.5, page 176 Riskesdas 2007

16

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

memenuhi atau melebihi persyaratan nasional untuk protein, yang menunjukkan, secara umum, suatu lingkungan makanan yang aman untuk kaum ibu dan anak. Konsumsi buah-buahan dan sayuran dianggap tidak mencukupi untuk penduduk secara umum. Riskesdas telah temukan 93.6% penduduk tidak konsumsi buahbuahan dan sayuran yang ‘mencukupi’, misalnya, mereka mengkonsumsikan kurang dari lima porsi sehari. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi buah-buahan dan sayuran tentu dibawah 400 g per hari yang direkomendasikan oleh WHO27 untuk pencegahan penyakit kronis yang terkait diet atau kebiasaan yang dimakan seperti obesitas, diabetes, penyakit kardio-vaskular dan kanker. Sebagai kesimpulan, praktik pemberian makanan untuk kaum ibu hamil dan anak usia dini serta anak muda secara umum buruk, dengan pemberian asi eksklusif bertingkat rendah dalam enam bulan pertama dan pemberian makanan pelengkap yang kurang memadai diantara anak muda. Sementara konsumsi makanan dari penduduk secara umum sangat cukup dari perspektif kuantitatif, tapi secara kualitatif buruk. Praktik pemberian makanan yang buruk, termasuk jumlah makanan padat-nutrien diantara kaum ibu dan anaknya berkontribsi terhadap konsumsi diet karena kekurangan mikronutrien.

Gizi dan Program terkait Gizi di Indonesia Gizi adalah komponen penting dari program pemerintah Pusat. Total anggaran untuk gizi komunitas masyarakat adalah Rupiah 244 milyar (sekitar US$ 26 juta) dari pemerintah Pusat dan tambahan Rp 148 milyar tersedia dari pendanaan khusus termasuk pinjaman. 60% dari pendanaan ini dipertahankan di tingkat Pusat dan sisanya disediakan bagi propinsi sebagai anggaran de-sentralisasi berdasarkan jumlah penduduk dan prevalensi bobot kurang.28 Pada tingkat kabupaten, pendanaan untuk gizi datang dari pendanaan kabupaten (APBD II), kantor kesehatan propinsi – dari anggaran propinsi (APBD II) dan pendanaan peralihan dari tingkat pusat (APBN) – dan hibah khusus. Proposal diajukan untuk kegiatan dimana pendanaan dibutuhkan tetapi process pembahasan dari proposal tersebut sangat panjang dan berbelit dan kegiatan gizi dapat saja dihilangkan dari perencanaan kabupaen karena keterbatasan anggaran atau apabila perwakilan Kantor Kesehatan Kabupaten tidak dapat membenarkannya kepada pembuat keputusan mengenai anggaran kabupaten – Bappeda, DPRD dan Kantor Kesehatan Kabupaten. Suatu proses serupa juga terjadi pada tingkat propinsi. Sejak desentralisasi diadopsi di tahun 1999, tanggungjawab untuk pemberian pelayanan kesehatan umum telah berpindah pada tingkat kabupaten. Namun Standard Pelayanan Umum (SPM) telah diterbitkan dibawah Peraturan Departemen Dalam Negeri mengenai Panduan Teknis dalam Memformulasikan dan Menetapkan Standard Pelayanan Minimum yang diperuntukkan Departemen Pemerintah. SPM memastikan bahwa pemerintah daerah menyediakan pelayanan dasar dan memastikan konsistensi antar kabupaten. Peraturan Menteri Dalam Negeri tahun 2008 mengenai Standard Pelayanan Minimum Wajib mensyaratkan pelayanan dasar berikut ini dan 27

WHO, 2002. Diet, Nutrition and the prevention of chronic diseases. Report of a joint WHO/FAO expert consultation. Geneva. 28 Pangaribuan R. 2010 Deskripsi Penyampaian Sistem Kesehatan dan Kebijakan Gizi, Program dan Inisiatif dalam Persiapan Analisis Lanskap. Laporan disiapkan untuk UNICEF Jakarta

17

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

mensyaratkan pihak yang berwenang setempat untuk memantau apakah standard tersebut dipenuhi.  Cakupan ANC untuk ibu hamil (sedikitnya empat kunjungan), termasuk suplemen zat besi dan asam folat: 95% pada tahun 2015  Cakupan pelayanan kesehatan postpartum, termasuk suplemen vitamin A : 90% pada tahun 2015  Imunisasi anak universal: 100% pada tahun 2010  Cakupan pelayanan kesehatan anak usia dini, termasuk suplemen vitamin A : sasaran 90% pada tahun 2010  Cakupan pelayanan kesehatan anak, termasuk suplemen vitamin A dan untuk pertumbuhan dan pemantauan perkembangan: sasaran 90% pada tahun 2010  Cakupan pemberian makanan suplemen dari anak usia 6-24 bulan dari keluarga miskin: 100% pada tahun 2010  Cakupan perawatan anak yang gizi sangat buruk: 100% by 2010 Berdasarkan SPM diatas dan tradisi intervensi gizi di Indonesia, intervensi utama yang dilaksanakan untuk menjawab kurang gizi tingkat tinggi adalah pemantauan pertumbuhan berdasarkan komunitas (dibanding fasilitas) di pos kesehatan – posyandu. Kebijakannya adalah bahwa semua anak balita harus secara teratur ditimbang di posyandu, lebih baik sekali sebulan29, bahwa bobot gambarkan pada “Kartu Menuju Sehat atau KMS” gambar pertumbuhan atau gambar di buku KIA (kesehatan ibu dan anak) dan bahwa ibu dari anak yang menderita makin lemah harus diberi nasihat. Sebagai tambahan, anak dari keluarga miskin diberikan makanan suplemen di posyandu dalam bentuk makanan fortifikasi bagi usia 6-11 bulan dan biskuit fortifikasi untuk yang berusia 12-23 bulan. Jika seorang anak belum meningkat bobotnya dalam dua bulan berturut-turut atau telah jatuh dibawah – 3SD (jatuh dibawah garis merah) anak tersebut harus dirujuk ke fasilitas kesehatan setempat. Fasilitas kesehatan tersebut harus menyediakan pemeriksaan lebih lanjut, termasuk kajian bobot-tinggi untuk memastikan kurang gizi buruk akut dan pemeriksaan kesehatan. Berdasarkan kepada hasilnya, anak tersebut harus diberikan perawatan : apakah dengan pemberian makanan suplemen atau pemberian makanan terapi. Namun dalam kenyataannya, di tahun 2007 hanya 45.4% anak balita ditimbang sedikitnya 4 kali dalam enam bulan sebelumnya 30. Di beberapa propinsi seperti NTT dan Yogyakarta prosentase lebih tinggi (misalnya, diatas 65%) tetapi di lainnya seperti Sumatera Utara dan Jambi adalah 30% atau kurang. 25.5% anak balita tidak ditimbang dalam enam bulan terakhir. Selanjutnya, telah diamati bahwa sedikit sekali kaum ibu yang anaknya gagal dalam pertumbuhan menerima pemberian nasihat. Pada tingkat terbaiknya, pendekatan pemantauan berdasarkan komunitas adalah lebih menyembuhkan daripada pencegahan. Sebagaimana dipraktikkan di Indonesia, fokus terbesar pada masalah menimbang dan tidak mengenai intervensi pencegahan dan dukungan yang dimaksudkan untuk sebenarnya menjawab masalah kurang gizi.

29

According to the Nutrition Plan of Action at Central Level (Rencana aksi pembinaan gizi masyarakat, 2010-2014), 80% of all preschoolers are to be weighed at Posyandu. 30 Riskesdas 2007

18

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Suatu intervensi utama lainnya adalah suplemen vitamin A. Dibawah desentralisasi, semua kabupaten diharapkan untuk mengadakan pasokan suplemen vitamin A yang memadai untuk anak usia 6-59 bulan dan ibu post partum. Suplemen untuk anak dimaksudkan untuk didistribusikan melalui posyandu di bulan Februari dan Agustus dengan kegiatan mobilisasi dan sosialisasi yang diperlukan untuk dilaksanakan sebelum distribusi untuk memberi semangat agar hadir pada hari distribusi. Anak yang tidak hadir akan dilanjutkan kegiatannya ke rumahnya. Menurut DHS 2007 hanya 68.5% dilaporkan menerima kapsul vitamin A dalam enam bulan terakhir. Riskesdas 2007 telah melaporkan angka yang serupa of 71.5%. Kaum ibu menerima suplemen vitamin A setelah melahirkan selama kunjungan post partum atau ketika mereka membawa anak baru lahir mereka untuk imunisasi. Namun, DHS 2007 temukan bahwa hanya 44.6% kaum ibu yang telah menerima suplemen. Intervensi utama gizi masa kehamilan adalah suplemen zat besi dan asam folat untuk ibu hamil. Namun sebagaimana dilaporkan diatas, hanya sekitar 30% kaum ibu menerima 90+ tablet sebagaimana dimaksudkan; pemenuhan tidak direkam. Beberapa intervensi lainnya yang terkait dengan kesehatan masa kehamilan dan kesehatan anak memberi dampak terhadap status gizi, seperti juga, misalnya, akses ke air dan sanitasi dan keamanan makanan. Indonesia juga mengoperasikan beberapa program pengentasan kemiskinan utama yang dapat diharapkan untuk mempunyai dampak yang signifikan terhadap kurang gizi anak dan masa kehamilan. Misalnya, suatu program yang bernama RASKIN mendistribusikan beras subsidi kepada kaum miskin dan suatu program transfer uang tunai bersyarat (PKH – Program Keluarga Harapan) mempunyai sasaran untuk mengurangi mortalitas masa kehamilan dan anak dengan menyediakan transfer uang tunai kepada keluarga dengan syarat mengakses pelayanan seperti perawatan antenatal dan postnatal, suplemen zat besi kehamilan, bantuan kelahiran, imunisasi anak, pemantauan pertumbuhan dan pemberian suplemen vitamin A. PKH juga bekerjasama dengan program lain Generasi PNPM yang menyediakan hibah block kepada orang pedesaan untuk membantu mereka meningkatkan akses terhadap pelayanan kesehatan dan pendidikan. Suatu deskripsi lebih lengkap mengenai program pengentasan kemiskinan yang berorientasi kepada gizi terdapat dalam Lampiran 2. Di tahun 2008 suatu analisis utama oleh Lancet31 telah identifikasi 14 intervensi layak dan efektif dimana terdapat cukup bukti dalam pelaksanaan di semua 36 negara dengan 90% anak penderita stunting, termasuk Indonesia. Lancet juga telah identifikasi 10 intervensi lanjut, dimana terdapat cukup bukti untuk pelaksanaan dalam konteks spesifik dan situasional. Tabel 1 berikut ini meringkas cakupan di Indonesia dari ‘intervensi gizi esensial’. Analisis lebih rinci yang menunjukkan kebjakan dan legislasi kini untuk setiap intervensi tersebut, termasuk dalam Lampiran 3. Data menunjukkan bahwa terdapat beberapa promosi dan pemberian nasihat mengenai pemberian asi dan pemberian makanan pelengkap, suplemen zat besi folat bagi kaum ibu, perawatan penyakit cacingan pada ibu dan anak, suplemen protein dan energi pada ibu hamil miskin, perawatan penyakit diare dengan zat seng, dan cakupan yang lebih baik mengenai fortifikasi makanan dan program fortifikasi di rumah.

The Lancet Series on Maternal and Child Undernutrition 2008. Available at URL: http://www.theLancet.com/series/maternal-and-child-undernutrition (Accessed 05/11/09) 31

19

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Lancet merekomendasikan suatu suplemen zat besi folat dan suplemen mikronutrien ganda, tanpa menunjukkan yang mana untuk dipergunakan di dalam paket intervensinya. Kebijakan nasional Indonesia adalah untuk menyediakan suplemen zat besi folat kepada semua ibu hamil, tetapi mikronutrien ganda di program pilotkan kepada dua propinsi. Percobaan dari mikronutrien ganda tersebut dibandingkan dengan suplemen zat besi folat yang dijalankan di Indonesia telah menunjukkan seefektif sebagaimana zat besi folat tersebut dalam memperbaiki status anemia 32 dan untuk mengurangi mortalitas anak usia dini 90-hari hampir sebesar 20% dibandingkan suplemen zat besi folat 33. Tabel 1: Cakupan Intervensi Gizi Lancet di Indonesia

Intervensi dengan cukup bukti untuk pelaksanaan di semua 36 negara Cakupan Intervensi terkini di Acuan dan Catatan Indonesia Hasil masa kehamilan dan kelahiran DHS 2007- 90+ hari Suplemen zat besi folat 29.2% Suplemen mikronutrien masa kehamilan Yodium masa kehamilan melalui garam beryodium Intervensi untuk mengurangi konsumsi tembakau dan polusi udara dalam Gedung Bayi baru lahir Promosi pemberian asi (pemberian nasihat untuk individual dan kelompok) Anak usia dini dan anak Promosi pemberian asi (pemberian nasihat untuk individual dan kelompok) Komunikasi perobahan perilaku untuk pemberi makanan pelengkap yang lebih baik Zat Seng dalam pengelolaan diare Suplementasi Vitamin A Garam beryodium universal

0%

62.8%

97%

Kebijakan di Indonesia adalah untuk memberikan zat besi folat selam kehamilan. MNS sedang di proyek pilotkan di dua propinsi dengan dukungan UNICEF. Riskesdas – jumlah rumahtangga yang konsumsi garam beryodium cukup (titrasi) DHS - % kaum ibu yang tidak gunakan tembakau. Namun 87.8% pria gunakan tembakau. Data mengenai polusi udara dalam Gedung tidak tersedia (N/A)

N/A

N/A

N/A N/A 68.5% - 71.5%. 62.8%

Hal ini adalah kebijakan namun data tidak tersedia mengenai cakupan. DHS 2007 dan Riskesdas 2007 Riskesdas – jumlah rumah tangga

Sunawang, Utomo B, Hidayat A, Kusharisupeni, Subarkah. 2009. Preventing low birthweight through maternal multiple micronutrient supplementation: a cluster-randomized, controlled trial in Indramayu, West Java. Food Nutr Bull. 30 (4 Suppl):S488-95 33 Supplementation with Multiple Micronutrients Intervention Trial (SUMMIT) Study Group, Shankar AH, Jahari AB, Sebayang SK, Aditiawarman, Apriatni M, Harefa B, Muadz H, Soesbandoro SD, Tjiong R, Fachry A, Shankar AV, Atmarita, Prihatini S, Sofia G. 2008. Effect of maternal multiple micronutrient supplementation on fetal loss and infant death in Indonesia: a double-blind cluster-randomised trial. Lancet. 371(9608):215-27. 32

20

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Cuci tangan atau intervensi hygiene

23.2% dan 71.1%

yang konsumsi cukup garam beryodium (titrasi) Riskesdas - % penduduk usia lebih dari 10 tahun dengan perilaku yang benar dalam mencuci tangan dan buang air besar

Perawatan kurang gizi buruk akut N/A Intervensi dengan cukup bukti untuk pelaksanaan dalam konteks spesifik dan situasional Hasil masa kehamilan dan kelahiran Suplemen energi dan protein yang Bukan kebijakan di Indonesia 0% seimbang pada masa kehamilan** Perawatan cacingan pada masa kehamilan

0%

Suplemen calcium masa kehamilan

N/A

Intermittent preventative treatment of malaria*

N/A

Kelambu yang diberi insektisida*

2.3%

Kebijakan Indonesia tidak memperkenankan perawatan cacingan secara massal dalam masa kehamilan. Tidak ada kebijakan meski terdapat adanya beberapa pelaksanaan Planned in the new Mid-Term Development Plan but not yet implemented DHS - % ibu hamil yang tidur dibawah kelambu yang diberi insektisida tidur semalam sebelum survai

Bayi baru lahir Suplemen vitamin A neonatal Penjepitan usus ari-ari (korda umbilicus) Anak usia dini dan anak Program transfer tunai bersyarat (dengan pendidikan nutrisi)**

0%

Belum menjadi rekomendasi WHO dan tidak ada kebijakan di Indonesia

0%

Tidak ada kebijakan di Indonesia

0.1%

Perawatan Cacingan***

0%

Program fortifikasi dan suplementasi***

100%

Kelambu yang diberi insektisida*

3.3%

Di tahun 2009 program transfer tunai bersyarat mencakup 72,000 rumah tangga. Kebijakan nasional merekomendasikan perawatan cacingan untuk anak usia dua sampai lima tahun dan anak usia sekolah tergantung dari prevalensinya:: >50% -- perawatan cacingan massal 2x/tahun 20 – 50% -- perawatan cacingan massal 1x/tahun <20% -- perawatan cacingan tersasar Namun, data cakupan, jarang ada. Fortifikasi tepung terigu dengan zat besi adalah wajib di Indonesia dan mendekati 100% dari semua tepung terigu difortifikasi meskipun tidak diketahui berapa banyak tepung terigu yang dikonsumsikan anak. DHS - % anak balita yang tidur dibawah kelambu yang diberi insektisida semalaman sebelum survai.

*Di area dengan keberadaan malaria ** Untuk kaum ibu dan anak dari keluarga miskin 21

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

*** Di area dengan keberadaan infestasi cacing tinggi dan/atau anemia Sebagai kesimpulan meskipun prevalensi anak berbobot kurang telah dikurangi di Indonesia dan Pembangunan Jamgka Menengah dan Tujuan Pembangunan Milenium telah tercapai, Indonesia tetap mempunyai permasalahan yang serius dengan stunting dan wasting pada anak muda. Terdapat banyak kurang gizi pada masa kehamilan yang cenderung berkontribusi terhadap bobot kurang pada kelahiran yang relatif cukup tinggi demikian juga untuk stunting. Cakupan program menunjukkan bahwa cakupan lebih tinggi perlu dicapai mengenai intervensi gizi esensial yang dapat membantu mempercepat pengurangan kurang gizi masa kehamilan dan anak, termasuk promosi dan pemberian nasihat mengenai pemberian asi dan pemberian makanan pelengkap, suplementasi zat besi folat bagi kaum ibu, perawatan cacingan kaum ibu dan anak, suplementasi protein dan energi bagi ibu hamil yang miskin, perawatan diare dengan zat seng, dan cakupan yang lebih baik mengenai fortifikasi makanan dan program fortifikasi di rumah.

4. Temuan dari Analisis Lanskap Kajian Negara dan analisis 34

Persepsi permasalahan Persepsi umum di propinsi dan kabupaten adalah bahwa masalah gizi berupa penyakit wasting yang buruk. Sedikit sekali pengakuan mengenai stunting atau kurang gizi masa kehamilan sebagai permasalahan. Pada tingkat nasional terdapat lebih besar serta meluasnya tumbuhnya pengertian mengenai permasalahan stunting. Pada tingkat sub-nasional, stunting yang mempunyai status kecil umumnya disebabkan karena masalah genetika karena mempengaruhi sebagian besar penduduk. Persepsi in dapat dimengerti: selama dua dekade terakhir, kesadaran dan advokasi mengenai gizi terutama telah terfokus kepada penyakit wasting buruk. Advokasi secara nasional di tahun 1998 selama krisis ekonomi Asia telah berdampak terhadap program lanjutan mengenai pengelolaan kurang gizi akut pada semua tingkat. Konsep ini telah dimajukan selama bertahun-tahun sebagaimana tercermin dalam kebijakan dan strategi gizi yang ada sekarang: Keputusan Presiden No. 741 yang terbit tahun 2008, yang memberikan panduan mengenai standard pelayanan kesehatan minimum 35 (SPM) untuk dicapai di tahun 2015, yang memberikan rehabilitasi 100% anak yang menderita bobot kurang yang serius sebagai salah satu sasaran gizi utama bagi kabupaten. Panduan ini tercermin dalam tujuan dari program kesehatan dan gizi sekarang ini dari beberapa propinsi (RPJMD 2009-2013) demikian sehingg NTT yang terdapat tujuan mengenai eliminasi kelaparan serius. Dalam kaitan terhadap gizi masa kehamilan, Keputusan No. 741 merekomendasikan bahwa 95% dari ibu hamil untuk dicakup dengan 4 kali kunjungan perawatan antenatal, termasuk 90+ tablet zat besi folat. SPM tidak termasuk persyaratan untuk pencegahan kurang gizi anak dan masa 34

Temuan terkait terutama pada tiga propinsi yang dikunjungi yang meskipun memberikan bahasan representative dari tiga lingkungan dan situasi berbeda, tidak dapat dipandang sebagai mewakili diversitas sepenuhnya dari Indonesia. 35 SPM adalah acuan yang digunakan untuk definisikan sasaran perencanaan program pada tingkat kabupaten dan kota.

22

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

kehamilan secara umum seperti pemberian nasihat mengenai pemberian makanan anak usia dini atau gizi selama masa kehamilan. Terdapat suatu perjanjian pada tingkat nasional bahwa ketersediaan makanan bukanlah suatu penyebab utama dari kurang gizi, meskipun banyak orang berpikir bahwa kemiskinan menghambat akses terhadap makanan cukup, berkualitas di beberapa komunitas masyarakat. Atlas Keamanan Makanan dan Kerawanan Indonesia menunjukkan bahwa ketersediaan makanan36 adalah sebenarnya hanya suatu defisit di Papua, Maluku, Riau, Jambi, Bangka Belitung, West Sumatera dan Kalimantan Tengah. Sebaliknya ketika akses diperhitungkan, disebabkan kemiskinan atau kurang infrastruktur misalnya, kerawanan terhadap keamanan pangan meningkat secara signifikan. Secara keseluruhan, dengan mengambil ketersediaan makanan, akses dan pemanfaatan diperhitungkan, analisis tersebut telah identifikasi 100 kabupaten, dari 346 dimana terdapat data, sebagaimana menjadi prioritas tinggi (prioritas 1, 2 dan 3). 100 kabupaten ini adalah rumah bagi sejumlah 25 juta penduduk. 20 kabupaten prioritas 1 terkonsentrasi di Papua, NTT dan Papua Barat. Sehingga, sementara orang sering menyatakan penyebab kurang gizi karena keamanan pangan, terutama pada tingkat kabupaten, dalam kenyataan, akses pangan disebabkan kemiskinan adalah lebih sering kali menjadi penyebabnya, daripada defisit sebenarnya pada ketersediaan pangan. Suatu diskusi lebih rinci mengenai Keamanan Pangan dan pengawasannya dijelaskan dalam Lampiran 4. Defisiensi mikronutrien tidak begitu dikenal baik oleh responden diluar tingkat nasional. Hal ini memberi dampak, misalnya, terhadap alokasi anggaran kabupaten untuk membeli kapsul vitamin A untuk anak muda. Namun, meskipun hal ini tidak disebutkan secara khusus sebagai permasalahan gizi utama oleh yang diwawancarai, defisiensi zat besi diakui sebagai kepentingan umum oleh beberapa pemangku kepentingan pada tingkat sub nasional/propinsi. Selama Kajian Negara (CA), tablet zat besi/asam folat ditemukan di sebagian besar puskesmas yang dikunjungi. Misalnya, di propinsi Aceh, semua puskesmas dan posyandu yang dikunjungi selama LA sudah mempunyai stok tablet zat besi folat. Di tingkat puskesmas, makanan suplemen mikronutrien fortifikasi juga ditemukan. Defisiensi yodium telah diberikan sedikit perhatian selama beberapa tahun terakhir diluar tingkat nasional yang kemungkinan besar masyarakat menganggap bahwa Indonesia telah mencapai tingkat garam beryodium universal. Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa suatu estimasi sebesar 92% rumah tangga mengkonsumsi garam beryodium. Namun, hanya 63% mengkonsumsi garam beryodium yang cukup (>15ppm yodium). Obesitas tidak dipandang sebagai suatu permasalahan pada tingkat manapun yang mencerminkan fakta bahwa bobot lebih dan obesitas hanya muncul baru-baru ini di Indonesia. Sementara, dalam Rencana Nasional mengenai Pangan dan Gizi (20062010), terdapat pilar mengenai perbaikan berkehidupan sehat yang termasuk kegiatan untuk membahas bobot lebih dan obesitas. Pelaksanaan kegiatan yang terkait dengan komponen tersebut terbatas.

36

As measured by ratio of per capita normative consumption to net cereal production. Map 2.1. Page 35. GOI and WFP. A Food Security and Vulnerability Atlas of Indonesia, 2009

23

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Kebijakan gizi dan kegiatan yang kini dipraktikkan Kegiatan gizi difokuskan kepada pemantauan pertumbuhan (untuk identifikasi gagal tumbuh), perawatan kurang gizi atau Gizi Buruk, dan, terhadap yang kurang dari itu, yaitu mengenai pemberian makanan suplemen. Temuan ini diharapkan untuk memberi panduan yang disediakan oleh Keputusan Presiden No 741 yang disebutkan diatas mengenai standard minimal untuk pelayanan kesehatan (SPM); hanya terdapat daftar suplemen mikronutrien, pemantauan pertumbuhan, pemberian makanan suplemen dan perawatan anak berkesehatan sangat buruk sebagai pelayanan dasar bagi gizi. Salah satu pelayanan dasar yang disyaratkan adalah cakupan pelayanan kesehatan, termasuk suplementasi vitamin A dan pemantauan pertumbuhan dan pengembangan. Data yang digunakan untuk melaporkan indicator ini (misalnya, proporsi anak yang menerima pelayanan kesehatan) tidak perlu untuk mencerminkan pelaksanaan semua komponen. Agar dapat menghitung cakupan pelayanan kesehatan anak balita (anak usia 12-59 bulan), seorang hanya perlu mengukur jumlah total anak yang telah menghadiri pemantauan pertumbuhan paling tidak delapan kali selama suatu waktu tertentu di satu area dan membagi angka tersebut oleh total jumlah bayi yang lahir selama periode yang sama. Dengan demikian, pelaksanaan terbatas (atau tidak sama sekali) dari beberapa intervensi gizi seperti pendidikan gizi atau pemberian nasihat dapat disebabkan kepada kenyataan bahwa tidak perlu secara khusus melaporkannya. Jika tidak diukur ataupun dilaporkan, bisa dianggap sebagai tidak esensial atau perlu untuk dilaksanakan. Departemen Kesehatan (DepKes)) adalah penanggungjawab tunggal bagi suplementasi mikronutrien (misalnya, zat besi folat untuk ibu hamil dan suplementasi vitamin A untuk anak usia 6-59 bulan dan ibu post-partum) dan pemberian makanan pelengkap. Namun DepKes membagi tanggung jawab untuk intervensi gizi lainnya yang terkait bersama kementerian lainnya sebagai berikut: fortifikasi makanan – Departemen Dalam Negeri/DepDagri, BPOM, MoI); pendidikan gizi -MoE, MONE, MWE dan lainnya; promosi asi eksklusif – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Program Pangan - DepDagri dan Departemen Sosial. Posyandu itu sendiri dibawah Departemen Dalam Negeri. Dengan demikian, banyak “kegiatan gizi” dilaksanakan atau dikendalikan diluar sektor kesehatan dan aspek penentuan sasaran, pelaksanaan dan koordinasi mungkin tidak terjadi secara optimal agar mencapai hasil gizi yang terbaik. Konsep “paket intervensi” dan suatu “kelanjutan perawatan” dari konsepsi sampai usia dua tahun tidak begitu dimengerti dengan baik meski fakta bahwa standard minimum dan panduan teknis merupakan upaya yang berharga untuk menyediakan panduan dan pengetahuan demikian di arah itu. Panduan tersebut memberikan indikasi pelayanan kesehatan untuk diberikan selam masa kehamilan, periode neonatal, tahun pertama kehidupan dan periode dari 12-59 bulan. Ha ini mempunyai kecenderungan bahwa rasio untuk standard minimum dan panduan teknis tidak dimengerti secara penuh oleh pengguna potensial. Hal ini dapat menjelaskan mengapa tidak dilaksanakan sepenuhnya, meskipun kebijakan, protokol, buku petunjuk dan panduan untuk pelaksanaan intervensi gizi sudah tersedia di struktur kesehatan seperti puskesmas, Terdapat upaya baru untuk memasukkan kelanjutan perawatan untuk ibu dan anak kedalam ‘Buku KIA’, yang digunakan di posyandu dan puskesmas, tetapi kelihatannya penggunaan buku tersebut tidak optimal.

24

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Suatu hambatan lainnya terhadap pelaksanaan paket intervensi gizi efektif melalui konsep lanjutan perawatan kelihatannya adalah kurangnya kesadaran dari penyedia kesehatan mengenai pentingnya dan keefektifannya. (Sumber daya manusia akan didiskusikan di seksi lain) Anak yang menderita penyakit wasting sangat buruk atau bahkan anak yang sangat berbobot kurang. Sebagai contoh, pemberian makanan suplemen diberikan untuk suatu periode waktu tertentu, biasanya 90 hari, tanpa memperhatikan apakah status gizi anak sudah cukup meningkat atau tidak. Kelihatan juga sedikit sekali pengertian mengenai perbedaan dalam pentingnya, penyebabnya serta perawatan dari bobot kurang dan penyakit wasting yang buruk. Rencana Nasional untuk Pembangunan 2010-2014 (RPJMN) terfokus kepada stunting dan paket Intervensi Gizi Esensial dari Lancet Nutrition Series. Meskipun rencana propinsi dan kabupaten seharusnya mengacu pada RPJMN ketika mendefinisikan rencana mereka sendiri, terdapat putus hubungan antara proses perencanaan pada tingkat pusat dan tingkat sub-nasional. Sebagai kelanjutannya, meskipun beberapa sasaran didefinisikan di dalam RPJMN yang baru atau bahkan di dalam Keputusan Menteri baru ini No. 741 mengenai SPM dan Keputusan Menteri No. 838 di dalam panduan teknis, dengan dinyatakannya periode perencanaan yang berbeda antara pusat (2010-2014) dan tingkat sub-nasional (2009-2013 untuk NTT; 2007-2012 untuk Aceh; 2008-2013 untuk Jawa Tengah), sasaran dan indicator yang terpasang pada tingkat pusat, propinsi atau kabupaten mungkin berbeda. Misalnya, dalam RPJMN yang kini, satu tujuannya adalah mengurangi bobot kurang dari 18% sampai kurang dari 15% di tahun 2015. Di dalam RPJMD NTT, sasarannya adalah untuk mencapai 13% di tahun 2013, sementara kurang dari 15% di tahun 2012 di RPJMD Aceh. Selanjutnya, RPJMD Jawa Tengah tidak termasuk sasaran untuk bobot kurang dan memfokus hanya kepada pengurangan penyakit wasting buruk sampai kurang dari 0.82% . Contoh lainnya terkait dengan panduan teknis mengenai pelaksanaan standard pelayanan kesehatan minimum. Dalam dokumen tersebut, dinyatakan bahwa 95% ibu hamil akan menerima empat kali kunjungan antenatal sampai pada tahun 2015. Oleh karena hal ini termasuk suplementasi zat besi folat, seorang dapat menganggap bahwa cakupan suplemen juga akan diatur pada 95%. Sementara, sasaran NTT untuk cakupan zat besi folat adalah 90% pada tahun 2013 37 dimana sasarannya diatur pada 85%38 di Aceh dan 80% di Jawa Tengah39. Rencana Aksi Nasional untuk Pangan dan Gizi (RANPG) selama periode lima tahun 2011-2015 kini dalam pengembangan. Hal ini akan didasarkan pada RPJMN Nasional yang sebenarnya pada tingkat national maupun propinsi. Tujuan utamanya adalah untuk mengurangi stunting sebesar lima persen dalam lima tahun yang berikutnya (dari 37% sampai 32%). Dengan jelas, telah ada banyak komitmen politis mengenai gizi pada tingkat nasional di Indonesia selama beberapa dekade yang lalu, sebagaimana terbukti dalam dokumen kebijakan seperti RPJMN yang kini berlaku. Rencana program gizi dan terkait gizi pada tingkat kabupaten juga ditemukan sebagai bagian dari Rencana Propinsi Jangka Menengah Daerah (RPJMD 2009-2013 dari propinsi NTT, RPJMD 2007-2012 dari 37

RPJMD NTT 2009-2013 RPJMD Aceh 2008-2012, Bab II 39 Rencana Strategi Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah 2008-2013 38

25

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

propinsi Aceh, RPJMD 2008-2013 Jawa Tengah)termasuk kesehatan, pendidikan dan pertanian. Namun, meski adanya rencana nasional dan propinsi, program gizi skala besar pada tingkat propinsi dan kabupaten pada Rencana Strategi Kesehatan (Renstra) tidak dibiayai dengan cukup.Sebagaimana disebutkan sebelumnya, kurangnya pengetahuan mengenai perencana sektor mengenai penyebab dan implikasi dari kurang gizi dan pentingnya sebagai penentu tentu dapat menjadi hambatan. Pemeriksaan semua program yang terkait gizi di-negara sendiri juga menunjukkan bahwa banyak kegiatan terkait gizi yang dijalankan oleh sektor non-kesehatan. Misalnya, sector pendidikan mendistribusikan pangan kepada anak pra-sekolah sebagai bagian dari program pengembangan perawatan anak usia dini (PAUD). Badan Keamanan Pangan mempunyai program pemberian pangan pelengkap di beberapa tapak proyeknya di NTT. Makanan kecil di sekolah (PMT-AS) disediakan untuk meningkatkan pendaftaran dan mencegah putus sekolah dari perempuan khususnya, dan meningkatkan proses pembelajaran. Terdapat komitmen kuat dari pemerintah nasional untuk meningkatkan cakupan dan dampak dari program ini. Program seperti program transfer tunai tak bersyarat (PKH) dan program pro-miskin lainnya mempunyai potensial untuk memperbaiki gizi secara signifikan. Program ini dapat menjadi sangat synergik dengan intervensi gizi langsung, apabila dilaksanakan dalam cara terkoordinasi, dengan tujuan dan indikator yang umum. Namun, apabila terjadi pemutusan hubungan dapat terjadi risiko menghamburkan sumber daya keuangan yang dapat digunakan lebih efektif jika sasaran diarahkan kepada akar penyebab permasalahan gizi di negaranya. Misalnya, jika program RASKIN bisa lebih diarahkan kesasaran kepada mereka dengan ketersediaan pangan nyata dan permasalahan akses , beberapa kurang gizi yang disebabkan oleh kerawanan pangan, dapat dibahas. Dengan cara serupa, jika program transfer tunai bersyarat mewajibkan keluarga untuk mengakses pelayanan dan mempraktikkan perilaku yang telah diidentifikasikan sebagai intervensi esensial oleh RANPG, dan bila sistem telah terpasang untuk menjamin kondisi yang perlu terpenuhi sebelum transfer tunai dilakukan, cakupan intervensi esensial tentu akan meningkat secara signifikan. Pada saat yang sama, DepKes harus berkolaborasi dengan program PKH untuk menjamin bahwa pelayanan yang disyaratkan dalam PKH tersedia dengan kualitas yang tinggi di area program.

Koordinasi Gizi Terdapat perasaan kuat dan meluas bahwa koordinasi mempunyai kekurangan dalam memperbaiki gizi lintas sektor, didalam sektor, di semua tingkat pemerintahan, dan di PBB. Pada tingkat pemerintah, mungkin hal ini disebabkan kenyataan bahwa gizi dibawah urusan kesehatan dan telah diberikan prioritas lebih rendah dalam istilah koordinasi. Pada tingkat nasional koordinasi dibutuhkan untuk pengembangan strategi dan kebijakan, sementara pada tingkat sub-nasional (kabupaten dan sub-kabupaten) koordinasi dibutuhkan untuk pelaksanaan. Pada tingkat pusat, BAPPENAS memberikan banyak upaya untuk menjamin koordinasi program kesehatan dan gizi melalui pendirian Direktorat Kesehatan dan Gizi yang mengawasi kegiatan dibawah kerjasama UNICEF-RI.Terdapat juga suatu Dewan Keamanan Pangan yang diketuai oleh Presiden Republic Indonesia (RI) dengan menteri dari kementerian terkait sebagai anggota. Suatu Badan serupa terdapat pada tingkat sub-nasional yang diketuai oleh Gubernur dan Bupati. Selanjutnya, 26

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

beberapa Task Force/Komite telah diciptakan untuk maksud memperbaiki koordinasi. Demikian juga, terdapat task force gizi dibawah Dewan Keamanan Pangan pada tingkat pusat, propinsi dan kabupaten. Namun, kelihatannya bahwa tidak terdapat suatu definisi yang jelas mengenai peranan dan tanggungjawab diantara berbagai badan ini. Ketidak adanya suatu rencana kerja menciptakan suatu tantangan yang membatasi efisiensinya. Hal ini berkontras terhadap kolaborasi baik antara pemerintah local dan LSM/LSMI yang bekerja dalam kegiatan nutrisi pada semua tingkat. Pada tingkat kabupaten, dirasakan adanya vakum dalam kepemimpinan gizi lokal dan pemerintahan. Meskipun upaya yang berbeda telah dibuat, kelihatannya terdapat mekanisme koordinasi yang tidak kuat untuk meningkatkan koordinasi kegiatan dari sektor dan mitra yang menuju kepada fragmentasi kegiatan dan akibat. Misalnya, meskipun 79.4% kelahiran dibantu oleh petugas kelahiran yang terampil, inisiasi dini pemberian asi eksklusif dipraktikkan oleh kaum ibu dalam 44% kasus. Selanjutnya, hanya 45% dari ibu post-partum yang menerima kapsul vitamin A selama 42 hari pertama setelah melahirkan. Meskipun DepKes dilihat mempunyai peranan utama dalam gizi, pertanyaan telah dikemukakan apakah harus atau tidak menjadi koordinatornya. Hal ini mungkin karena kenyataan bahwa masalah gizi masih dipandang oleh banyak orang sebagai hal yang terkait dengan kekurangan pangan. Dari perspektif ini, kementerian lainnya (misalnya Kementerian Pertanian berwenang terhadap keamanan pangan) dilihat sebagai yang mempunyai peran lebih besar untuk dimainkan dengan demikian menghilangkan wewenang relative dari Departemen Kesehatan sebagai koordinator. Hal ini juga sering sulit untuk satu sector untuk ‘mengkordinasikan’ yang lain; peran ini mungkin perlu diambil oleh seseorang ‘diatas’ sektor secara individual. Rencana Aksi Pangan daGizi propinsi atau kabupaten tidak terdapat disetiap propinsi dan kabupaten; demikian pula tidak adanya sasaran gizi yang konsisten dalam Rencana yang ada. Terdapat pengecualian: di propinsi NTT demikian juga di Kabupaten Belu, kegiatan gizi dan sasaran terdapat rencana strategis kesehatan yang mencakup periode 2009-2013; Program propinsi Aceh mengenai gizi mempunyai sasaran gizi seperti dapat disebutkan yaitu pengurangan prevalensi bobot kurang dan perbaikan pemberian asi eksklusif. Rencana strategis propinsi Jawa Tengah mempunyai sasaran untuk pengurangan IDD, anemia diantara ibu hamil dan postpartum, wasting sangat buruk, dan kurang gizi energi diantara ibu hamil. Terdapat kecenderungan bahwa upaya untuk memperbaiki gizi melalui kemitraan yang sedang berlangsung antara UNICEF, badan lainnya dan LSM dengan Pemerintah dalam propinsi ini (dan di beberapa kabupaten) telah terjadi dampak terhadap perencanaan dan anggaran untuk gizi.

Sumber Daya Manusia untuk Gizi Meski data menyarankan bahwa sejumlah ahli gizi yang cukup dilatih di Indonesia, mereka tidak dipekerjakan ataupun di tugaskan secara efektif, terutama ‘di lapangan’ : dengan demikian hanya 30% puskesmas atau pusat kesehatan mempunyai ahli gizi Diploma 3-tahun (D3). Sebagian besar ahli gizi dilatih oleh salah satu dari 33 Akademi Gizi yang terakreditasi yang tersebar diseluruh negeri dan diawasi oleh Pemerintah. Berdasarkan tahunan, lebih dari seribu ahli gizi lulus dari akademi ini. Sebagai tambahan terhadap lulusan Akademi, dokter dapat juga menjalankan pelatihan Gizi (2-4 tahun tambahan terhadap kurikulumnya) untuk menjadi ahli gizi klinik atau ahli diet komunitas. Setelah pelatihan pra-layanan, ahli gizi dan ahli diet 27

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

melamar pekerjaan kemana saja yang diinginkan. Seperti di Negara lain, sebagian besar memilih bekerja di daerah perkotaan karena kondisi kehidupan yang lebih baik di daerah itu. Sebagai konsekwensinya, distribusi ahli gizi tidak merata di Indonesia. Di tahun 2007, terdapat 1.7 ahli gizi per puskesmas di Yogyakarta sementara di Papua dan NTT, rasio adalah masing 0.2 dan 0.5 berturutan per puskesmas. Selanjutnya, sebagaimana ditunjukkan oleh Bank Dunia 40, pendekatan sebenarnya untuk alokasi staf pada tingkat kabupaten berdasarkan standard nasional untuk menentukan anggota staf yang tidak harus cocok dengan kebutuhan yang ketat. Ahli gizi sering kali bertanggungjawab atas program lain. Tentunya bahwa kurangnya kejelasan deskripsi pekerjaannya (Deskripsi pekerjaan untuk ahli gizi di puskesmas dikembangkan lebih dari satu dekade yang lalu) menuju kepada ahli gizi yang mempunyai kesulitan dalam menterjemahkan pekerjaan mereka atau memprioritaskan tanggungjawab mereka. Lebih lanjut, meskipun beberapa kegiatan gizi akan dilaksanakan pada tingkat kabupaten sebagaimana ditunjukkan oleh SPM, patut dicatat bahwa ahli gizi jarang disebut bertanggungjawab atas pelaksanaan intervensi gizi, yang justeru sebaliknya yang terjadi pada bidan dan dokter. Bahkan, praktiknya adalah untuk merujuk kepada ahli gizi hanya bila menghadapi masalah yang terkait dengan rehabilitasi anak yang menderita kurang gizi buruk, untuk pemberian makanan suplemen bagi anak dari keluarga miskin, dan pengelolaan pengadaan pasokan gizi. Tidak disebutkan perlunya untuk merujuk kepada ahli gizi untuk meminta nasihat mengenai pemberian asi dan pemberian makanan pelengkap atau untuk suplemen mikronutrien bagi anak dan ibu. Hal ini dapat menjelaskan mengapa professional kesehatan lainnya seperti bidan dan perawat mempunyai lebih banyak tanggungjawab dalam istilah intervensi gizi meskipun mereka mungkin kurang dalam pengetahuan dan keahlian teknis yang relevan. Misalnya, kurikulum pelatihan pra-layanan untuk bidan di Aceh termasuk 12 jam yang didedikasikan pada “gizi anak yang seimbang” (usia pra dan sekolah). Sebagai tambahan, enam jam dihabiskan pada perawatan post-partum, yang temasuk pemberian asi eksklusif, gizi umum, suplementasi vitamin A, dan hygiene bayi. Hal ini adalah pelatihan yang tidak memadai, meskipun menuju kepada pertanyaan mengenai gunanya merekrut ahli gizi di lapangan atau menugaskan ahli gizi sama bertanggungjawab terhadap program. Tentu juga menjelaskan mengapa Petugas Dinas Kesehatan Kabupaten sering berjuang untuk meyakinkan Bupati untuk mempekerjakan ahli gizi. Dengan ditambahkannya kepada permasalahan dengan penugasan ahli gizi, adalah tantangan bagi ahli gizi yang kurang cukup berkualifikasi meski diantara yang sudah terlatih. Kualitas pelatihan gizi pra-layanan (D3) tidak konsisten di semua Akademi. Terdapat beberapa yang masih menggunakan kurikulum 1997 yang menekankan teori dibandingkan kurikulum 2003 yang mempunyai komponen lebih kuat pada praktik. Di tahun 2009, kurikulum telah dimutakhirkan tetapi masih belum secara konsisten digunakan untuk pelatihan pra-layanan. Berdasarkan pembahasan kurikulum Akademi Gizi di Aceh, kelihatannya tidak terdapat komponen khusus mengenai praktik pemberian makanan anak usia dini dan anak muda ataupun gizi masa kehamilan. Sebenarnya, sekitar 70% isi dari kurikulum Akademi telah distandardisasi, yang 40

World Bank/GoI, 2009. Indonesia’s doctors, midwives and nurses: Current stock, increasing needs, future challenges and options. January, World Bank, Jakarta, Indonesia.

28

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

menyisakan pengenalan topik baru seperti praktik pemberian makanan anak usia dini dan anak muda kepada diskresi setiap institusi untuk memenuhi yang tinggal 30%. Pusat pelatihan propinsi Aceh untuk pekerja kesehatan akan menjadi yang pertama untuk menambahkan IYCF kedalam kurikulum gizi. Selain Akademi, terdapat institusi swasta yang dapat melaksanakan kurikulum baru. Kualitas dari latihan pralayanan di dalam institusi ini bervariasi, meski belum pernah dilakukan pengkajian. Selanjutnya, sebagai contoh mengenai kualitas pelatihan ahli gizi, meskipun puskesmas mempunyai seorang ahli gizi, prevalensi kurang gizi mungkin masih menjadi perhatian dan hal ini, meski kuantitasnya stafnya memadai. Misalnya, di kota Semarang sebagian besar puskesmas (14/18) mempunyai seorang ahli gizi, tetapi indikator gizi masih buruk, misalnya 38% menderita stunting. Akhirnya, seperti dijelaskan diatas, faktor lain seperti pengetahuan terbatas mengenai gizi diantara professional kesehatan lainnya dan distribusi ahli gizi secara geografis tidak merata juga berkontribusi kepada kurangnya sumber daya manusia yang cukup berkualifikasi dalam bidang gizi, khsusnya didaerah terpencil. Selain kelemahan yang dijelaskan dalam pelatihan pra-layanan, Kajian Negara juga temukan bahwa pelatihan dalam-layanan (in-service) mengenai gizi tidak mencukupi. Sebagian besar staf yang diwawancarai selama CA mengakui bahwa mereka tidak menerima pelatihan dalam-layanan selama dua tahun terakhir. Terdapat semangat diantara pejabat kabupaten yang berwenang untuk lebih banyak kelibatan relawan masyarakat. Lebih dari dua juta relawan atau “kader” yang melayani 260.000 posyandu di 480 kabupaten. Kader adalah anggota organisasi PKK (Pemberdayaan Keluarga untuk Kesejahteraan), yaitu organisasi perempuan yang terkenal di Indonesia. Kemampuan dan kompetensi dari relawan ini bervariasi dan tergantung terhadap perhatian dari pemerintah setempat untuk pelathan dan pelathan kembali. Kurangnya pemantauan dan pengawasan juga membahayakan motivasi sumber daya manusia dan kualitas pelayanan. Akhirnya, mengenai professional kesehatan lainnya seperti bidan dan perawat, proses akreditasi ahli gizi mungkin tidak seiring dengan kemandirian standard internasional, kredibilitas dan keterbukaan terhadap publik, yang juga berdampak terhadap kualitas anggota staf.

Perencanaan, Anggaran dan Pembiayaan Seperti disorot dalam bagian sebelumnya mengenai gizi dan program/kegiatan terkait gizi, terdapat sumber daya yang signifikan dialokasikan untuk gizi dan kegiatan terkait gizi pada tingkat Pusat, termasuk pengentasan kemiskinan dan program jaringan keselamatan. Namun, sebagian besar sumber daya ini bukan dibawah wewenang Departemen Kesehatan. Banyak sumber pembiayaan tersedia untuk kegiatan terkait pangan dan gizi pada tingkat kabupaten tetapi rumit karena keterbatasan dan kendala waktu. Sebagai tambahan, proses kompleks antara alokasi anggaran, persetujuan dan pelaksanaan karena pembatasan birokrasi serta seleksi skala prioritas seringkali menghambat pelaksanaan intervensi gizi. Meski adanya potensial dalam ketersediaan dana, sangat sedikit pendanaan yang kenyataanya menjadi termasuk dalam anggaran gizi pada tingkat sub-nasional dan apa 29

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

yang ada kemungkinan tidak memadai bagi sasaran gizi yang termasuk dalam rencana kerja Propinsi dan Kabupaten. Misalnya, di kabpaten Belu di propinsi NTT, salah satu tujuan rencana kerja adalah untuk mengurangi prevalensi kurang gizi dari 40% di tahun 2008 sampai 20% di tahun 2012, namun hanya 18% dari anggaran kesehatan kabupaten yang digunakan untuk kegiatan gizi. Selanjutnya, khususnya pada tingkat lebih rendah, sebagian besar anggaran digunakan untuk administrasi (gaji) dan infrastruktur, dengan dana sangat terbatas untuk kegiatan program: di NTT 70% dari anggaran 2009 (APBD II)digunakan untuk gaji dan tunjangan—sisanya 30% digunakan untuk semua sektor dengan 8% kepada kesehatan dan separohnya untuk infrastruktur. Dalam anggaran salah satu kabupaten di propinsi Aceh, dari total Rp 53.120.000.000 yang digunakan untuk kesehatan, hanya 0.2% adalah untuk gizi. Alokasi rendah untuk gizi jelas terhubung kepada persepsi bahwa gizi bukan menjadi masalah utama. Selanjutnya, lebih dari 65% (dari 0.2% ini) dialokasikan untuk pangan bagi Wanita hamil dan anak balita dan kepada rehabilitasi anak yang kesehatannya sangat buruk. Suatu alokasi rendah untuk gizi juga telah diamati di Kota Semarang di Jawa Tengah, dimana gizi hanya mencakup 2% dari total anggaran kesehatan. Sebagian besar dana dibelanjakan pada pemberian makanan suplemen dan perawatan penyakit wasting buruk. Di kabupaten Banyumas, anggaran kabupaten teah menderita suatu pemotongan efektif sebesar 70% disebabkan oleh peningkatan mendadak posisi gaji, karena anggota staf yang sebelumnya bersifat honorer, kemudian diangkat menjadi pegawai tetap dengan gaji resmi. Hal ini hampir tidak menyisakan anggaran untuk program kesehatan dan gizi. Putus hubungan tersebut antara perencanaan dan persetujuan anggaran dan alokasi diamati pada semua tingkat. Terdapat suatu budaya umum dengan perencanaan berdasar anggaran dari pada perencanaan berdasar cakupan/hasil. Ketersediaan pembiayaan tidak dialokasikan kepada intervensi yang paling efektif. Perencanaan, anggaran dan pembiayaan program dan kegiatan gizi sejalan dengan persepsi permasalahan gizi demikian juga dengan isi kebijakan, strategi dan panduan yang ada untuk menjawab situasi dan proses perencanaan saat kini. Dengan diberikannya pengertian yang makin tumbuh dan meluas mengenai gizi (termasuk masalah stunting pada tingkat nasional) hal ini juga menjelaskan mengapa lebih banyak sunber daya dialokasikan pada tingkat nasional daripada tingkat sub-nasional mengenai gizi dan kegiatan terkait gizi, termasuk pengentasan kemiskinan yang utama dan program jaringan keselamatan. Hal ini juga menyoroti putus hubungan dengan kegiatan gizi pada tingkat Kabupaten. Program gizi seperti untuk vitamin A dipandang menjadi tanggungjawab tingkat Pusat. Sebagai konsekwensinya, anggaran untuk pengadaan kapsul vitamin A tidak selalu dimasukan dalam anggaran subnasional. Demikian juga dimana mitra pembangunan yang mendanai berbagai program gizi, dana tidak selalu dibelanjakan pada intervensi yang paling efektif.

Sistem Informasi Gizi Jumlah besar data tersedia, termasuk yang berasal dari laporan rutin dan survai nasional. Namun, informasi mengenai indikator dasar tertentu tidak tersedia secara teratur, demikian juga data tersedia tidak selalu lengkap dan akurat (misalnya, data anemia ibu hamil tidak secara teratur dikumpulkan ataupun dilaporkan). Data SKDN (S=anak balita yang ada di posyandu, K=bagi yang mempunyai kartu pertumbuhan, D=bagi yang datang untuk ditimbang bulan sebelumnya, dan N=bagi 30

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

yang tumbuh) dikumpulkan secara rutin di tingkat posyandu dan dikirim keatas. Meskipun jumlah banyak waktu staf yang kelihatannya dihabiskan untuk mengumpulkan informasi ini dan melaporkannya ke atas, jarang sekali digunakan untuk program peningkatan, menentukan sasaran, evaluasi, dsb. Satu alasan adalah bahwa denominator seringkali tidak dilaporkan bersam numerator. Hal lain adalah bahwa tidak terdapat pemicu untuk tindakan (misalnya, mengambil tindakan jika prevalensi melebihi x%) dan hal ini tidak jelas tindakan apa harus diambil berdasarkan data. Data mengenai pemberian asi, konsumsi garam beryodium, suplementasi vitamin A dan status gizi diantara “keluarga sadar gizi” dikumpulkan melalui Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi atau SKPG (Sistem pengawasan pangan dan gizi). Data mengenai suplemen zat besi/folat pada ibu hamil juga dikumpulkan. Perangkat data ini dikirimkan ke Puskesmas berdasarkan setiap bulan. Namun, hal ini tidak jelas mengenai bagaimana semua data digunakan untuk pembuatan keputusan dan/atau dalam pembahasan pengawasan. Data survai digunakan secara cukup baik untk advokasi pada tingkat nasional dan propinsi. Sebagai contoh, dengan diberikan prevalensi stunting tinggi seperti ditunjukkan oleh Riskesdas 2007 dan dengan diberikannya dampak yang diakui mengenai pemgembangan, pemerintah telah memutuskan untuk membahas masalah ini selama lima tahun berikut ini. Sedemikian, pengurangan prevalensi stunting telah menjadi sasaran penting dari RPJMN 2010-2015 dan tujuan utama dari Perencanaan Nasional mengenai Pangan dan Gizi 2011-2015. SPM dimaksudkan menuntun kabupaten mengenai intervensi dasar apa yang mereka harus sediakan dan untuk memberikan sasaran yang harus mereka capai dan laporkan. Untuk bagian besarnya, indikator SPM tidak dgunakan untk pemantauan. Namun , terdapat pengecualian. Di Jawa Tengah, SPM dipergunakan secara penuh. Hal ini termasuk indikator mengenai (i) Kasus kurang gizi buruk yang akut yang dirawat, (ii) cakupan distribusi dan penggunaan MP-ASI, (iii) cakupan vitamin A, dan (iv) cakupan zat besi / folat. Namun, keterbatasan dalam pemantauan hanya empat indikator ini adalah bahwa penekanan program nutrisi kabupaten adalah hanya mengenai intervensi yang terkait. Terdapat jumlah program evaluasi yang kurang memadai; terdapat data yang kurang memadai untuk menunjukkan apakah upaya yang dilakukan mendapatkan dampak yang diharapkan – misalnya suplemen zat besi folat yang sedang dikonsumsikan dan bila demikian, apakah hal ini memperbaiki status zat besi pada ibu hamil atau apakah fortifikasi tepung terigu mengkontribusikan terhadap peningkatan status mikronutrien. Pembiayaan untuk pemantauan dan evaluasi adalah tugas dan tanggungjawab pemerintah setempat yang berwenang terhadap anggaran. Kelihatannya prioritas rendah diberikan terhadap pengawasan, pemantauan dan evaluasi program gizi.

Ringkasan Temuan Komitmen untuk bertindak bagi gizi cukup kuat, tetapi salah arah dalam mencoba untuk mengatasi masalah gizi akut dari pada meletakkan system dan intervensi untuk mencegah anak dan kaum ibu terhadap penyakit kurang gizi. Komitmen untuk mengatasi masalah stunting makin bertumbuh pada tingkat nasional, tetapi pada tingkat propinsi dan kabupaten dimana semua tindakan diputuskan dan dilaksanakan, 31

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

permasalahan gizi dipersamakan dengan gizi buruk dan/atau terhadap kurang makanan. Di beberapa kabupaten (misalnya, di Aceh dan Jawa Tengah) gizi tidak lagi dipandang sebagai masalah yang berat. Banyak sumber daya kelihatannya dikeluarkan terhadap distribusi pangan disebabkan kebingungan mengenai sejauh mana ketersediaan pangan dan untuk menjawab kemiskinan. Dalam realitas distribusi pangan mungkin merupakan intervensi yang biasa karena secara politis tidak popular, daripada menjawab masalah aktual kemiskinan, ketersediaan pangan dan gizi. Mekanisme untuk koordinasi kebijakan, identifikasi prioritas dan pengaturan tujuan dan sasaran adalah lemah atau tidak ada samasekali pada tingkat nasional. Kapasitas untuk bertindak bagi kebutuhan gizi perlu diperkuat. Penyediaan pelayanan sebagian besar berkisar sekitar pemantauan pertumbuhan anak dan disalah arahkan kepada anak balita daripada terfokus kepada anak usia dibawah dua tahun dimana intervensi gizi dapat mempunyai efek lebih besar.Prioritas lebih rendah diberikan pada kegiatan pencegahan yang terkait dengan pemberian nasihat pada kaum ibu mengenai pemberian makanan pada anak daripada fungsi penyembuhan dalam mendeteksi dan merawat penyakit wasting. Ketika pemberian nasihat (counseling), hal ini dilakukan oleh kader posyandu berdasarkan komunitas terlatih minimal. Perhatian terhadap gizi masa kehamilan terbatas pada distribusi tablet zat besi/folat dengan sedikit prioritas atau promosi. Koordinasi antar sector mengenai pelaksanaan perlu untuk diperkuat. Meskipun ahli gizi berjumlah cukup sedang dilatih, kurikulumnya sudah kedaluarsa atau tidak lengkap. Mereka tidak cukup dipekerjakan dalam system, dan khususnya dalam pelaksanaan pelayanan. Sedikit ataupun tidak terjadinya pelatihan ditempat pelayanan dibidang gizi. Penggunaan data pemantauan untuk membuat keputusan atau data evaluasi untuk belajar dari pengalaman program adalah hal yang biasa.

5. Rekomendasi41 Tujuan Keseluruhan Untuk mempercepat pengurangan kurang gizi masa kehamilan dan anak dan berkontribusi terhadap pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium 1, 4, 5, dan 6. Bagian pertama dbawah menyampaikan rekomendasi yang dapat diprioritaskan dalam pelaksanaan selama beberapa tahun berikutnya. Rekomendasi lainnya yang dapat juga dilaksanakan tetapi tidak dianggap sebagai prioritas juga disarankan dalam bagian kedua. Rekomendasi dengan huruf ditebalkan dianggap sebagai inovasi. Untuk semua rekomendasi, suatu rangka waktu disarankan. Rekomendasi yang disarankan untuk diproritaskan pada Jangka Menengah

Koordinasi Gizi & Tanggungjawab

41

Rekomendasi diprioritaskan dibawah setiap judul sehingga yang diberikan terlebih dahulu (dalam huruf tebal) adalah yang terpenting, dan harusdipertimbangkan untuk pelaksanaan segera. (Dalam kasus Sumber Daya manusia, dua yang pertama diprioritaskan.) Rekomendasi kedua dan ketiga juga penting, dan harus dilaksanakaneSecond and thir di jangka menengah atau jangka panjang.

32

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

1. Pada tingkat Sub-nasional: Harmonisasikan Rencana Aksi Pangan dan Gizi di tingkat Propinsi dan Kabupaten berdasarkan rencana nasional, keputusan dan panduan, serta mengembangkan mekanisme koordinasi antar sector untuk mengawasi dan memantau pelaksanaannya.  Hal ini melengkapi struktur desemtralisasi mengenai pembuatan keputusan di Propinsis dan Kabupaten, sementara pada saat yang sama mempertahankan penyatuan tujuan dan strategi keseluruhan yang dipresentasikan dalam Rencana Nasional. Masukan antar sector dibutuhkan untuk mencerminkan dan mengorganisir masukan dari berbagai pemangku kepentingan dalam keamanan gizi. 2. Pada tingkat Nasional : Menetujui Peraturan Pemerintah, yang memberlakukan prinsip Hukum Internasional pada Pemasaran Pengganti ASI dan mengembangkan suatu mekanisme untuk pemantauan dan penegakan.  Pengendalian pemasaran pengganti asi membutuhkan upaya nasional karena pentingnya masalah dan lingkup sumber daya yang disalurkan kedalam pemasaran formula instan dan pengganti lainnya. Rekomendasi ini menarik perhatian terhadap penurunan yang menghawatirkan pada tingkat EBF, dan mendorong perlunya mendefinisikan cara untuk memantau dan menegakkan Peraturan.

Anggaran dan Pembiayaan 1. Pada semua tingkat: Meningkatkan keefektifan biaya pembiayaan dengan memilih intervensi berdasar bukti yang diberi sasaran pada kelompok rawan pre-hamil, hamil dan ibu menyusui serta anak dibawah usia dua tahum. Data mutakhir dari kalkulasi Bank Dunia42 megenai biaya gizi efektif dan intervensi kesehatan dapat tentunya digunakan sebagai acuan untuk hal tersebut. Selanjutnya, dana penyerta tingkat Pusat dengan panduan yang jelas dan wajib mengenai bagaimana untuk menggunakannya.  Dalam teta mengikuti strategi Lancet Nutrition Series,hal ini adalah untuk mendukung pembuat keputusan setempat yang ingin ‘melakukan hal yang benar’ dan berhenti membayar untuk intervensi lain yang tanpa bukti keefektifan. Dengan menentukan sasaran kepada kelompokrawan (misalnya, ibu pra-hamil, hamil dan menyusui, serta anak dibawah usia dua ahun) akan meningkatkan dampak pembiayaan oleh karena kelompok ini adalah yang paling tertinggi tingkat kurang gizinya.. 2. Pada tingkat pusat: Bekerja dengan DepKes dan BAPPENAS untuk mengatur panduan untuk kalkulasi proporsi anggaran yang didedikasikan kepada nutrisi berdasarkan definisi baru ‘Indeks Kurang Gizi Masa Kehamilan dan Anak’ (misalnya, menggunakan stunting dan anemia pada ib hamil sebagai indikator).  Rekomendasi ini mengakui bahwa masalah utama membiayai intervensi terkait gizi adalah tanpa kehadiran atau kurangnya sumber daya financial yang cukup, tetapi alokasinya di tingkat Propinsi dan 42

Horton, S., Shekar, M., McDonald, C., Mahal, A., brooks, J.K. 2010. Scaling up nutrition: What will it cost? The World Bank. Washington, D.C., USA.

33

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Kabupaten. Pengembangan suatu ‘indeks’, dengan menggunakan nilai bagi dua indicator kunci, akan memperkenankan pemerintah setempat untuk membuat keputusan yang diinformasikan mengenai dimana untuk mengalokasikan dana ke area dengan kebutuhan terbesar untuk dampak yang terbesar. Hal ini juga memfokus perhatian pada masalah stunting dan anemia yang saat ini menerima pengakuan yang tidak cukup.

Perencanaan dan Disain Program 1. Pada semua tingkat: Mengukur panjang semua anak <2 tahun usia setiap enam bulan selama bulan distribusi vitamin A; Mengukur anemia pada ibu hamil sebagai bagian dari ANC; Melanjutkan mengukur bobot anak sebagai kegiatan regular dari posyandu tetapi memprioritaskan menimbang anak dibawah usia dua tahun.  Panjang tidak perlu diukur sesering bobot oleh karena inkremen perobahan adalah kurang dan kurang begitu terlihat pada dasar dari bulan ke buan. Acara pengukuran komunitas harus dilakukan secara periodic (setiap enam bulan) yang membuatnya layak ubagi suatu tim terlatih dar puskesmas untuk melakukan pengukuran dan mengurangi ketidak telitian. Jika terdapat sosialisasi sebelumnya, ini harus termask semua anak, terutama karena akan dihubungkan dengan distribusi vitamin A. Datanya akan memeberikan bukti yang kat mengenai sukses dari intervensi berdasarkan komunitas yang ditujukan kepada pengurangan stunting.  Anemia dalam kehamilan adalah indkator status gizi ibu, aksesnya kepada perawatan kesehatan berkualitas (misalnya, infeksi antar-arus sepertiinfeksi saluran urine, tuberkulosis, parasite usus-perut, atau malaria dapat juga menyebabkan anemia), dan statusnya dalam keluarga dan komunitas sebagai cerminan bagaimana baiknya ia dirawat. Hal ini harus dilakukan pada setiap kehamilan.  Penimbangan anak dapat berlanjut sebagai suatu bagian yang popular dan penting dari kegiatan posyandu tetapi kader harus memusatkan perhatian pada anak <2 tahun usia karena ini adalah usia dimana sebagian besar gagal tumbuh terjadi. 2. Pada tingkat Nasional: Sasaran program gizi terhadap semua ibu hamil dan anak usia dini dan anak usia 0 – 2 tahun agar dapat (i) fokus pada ‘jendela kesempatan’, (ii) menggunakan lebih sedikit sumber daya secara lebih efisien, dan (iii) meningkatkan waktu pemberian nasihat kepada ibu dan anak muda dan ibu hamil.  Pergeseran menentukan sasaran pada anak usia dibawah dua tahun dan ibu hamil selama masa kehamilan akan membebaskan waktu pengukuran anak yang lebih tua (dimana potensial dampak gizi adalah kurang) dan memperkenankan petugas kesehatan untuk memfokus lebih banyak terhadap pengajaran dan pemberian nasihat ibu danperempuan, terutama ibu hami dan bagi mereka yang merencanakan kehamilan, di Puskesmas dan posyandu.

34

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

3. Pada semua tingkat: Mengembangkan materi advokasi untuk anggota sector nonkesehatan mengenai pentingnya gizi untuk pengembangan aspek sosial, ekonomi, kognitif, dan pengembangan fisik. DepKes/DepDagri untuk mengembangkan bahan advokasi gizi untuk mempengaruhi kampanye Bupati yang ikut pilkada.  Terdapat banyak sector non-kesehatan yang terkibat dalam gizi tetapi tidak semua terinformasi dengan lenkap mengenai dampak intervensi berdasar bukti, atau penting sepenuhnya dari perbaikan gizi. Selanjutnya, Bupati kadang terkendala oleh janji kampanye untuk mendukung kegiatan yang diluar gizi. Dengan memastikan bahwa tujuan nutris menjadi bagian dari kampanye Bupati, terdapat lebih besar kemungkinan bahwa tujuan ini akan dikejar setelah pemilihan.

Sumber Daya Manusia 1. Pemutakhiran deskripsi pekerjaan yang ada dan termasuk arah program baru (misalnya pengukuran stunting dan kesehatan/anemia masa kehamilan) untuk semua staf yang terkibat dalam gizi disetiap kementerian/departemen.  Deskripsi pekerjaan, dimana adanya, sudah kedaluarsa dan tidak selalu mencerminkan ketrampilan dan praktik yang perlu dalam lingkungan yang berubah-ubah. Pengaturan pekerjaan ahli gizi adalah untuk memenuhi tujuan gizi baru dan intervensi diperlukan. 2. Mengembankan suatu peta sumber daya manusia untuk ahli gizi dan petugas kesehatan lainnya agar dapat identifikasi kesenjangan penugasan dan kompetensi. Peta ini untuk digunakan bagi advokasi dengan pembuat keputusan tingkat senior. (misalya, Presiden, Gubernur, Bupati) dan Kementerian (misalnya, PAN). Gunakanlah pet sumber daya ini untuk mengembangkan rencana nasional untuk suatu pendekatan pelatihan untuk mengajar kompetensi gizi bagi Relawan, Perawat dan Bidan, dan untuk menyediakan pemutakhiran teknis bagi dokter dalam ilmu pengetahuan gizi.  Sebagaiman disebutkan dalam Kajian Negara (CA), banyak posisi gizi di Kabupaten tidak diisi oleh ahli gizi yang berkualifikasi (D3). Dengan mengetahui bahwa sumber daya dibutuhkan adalah langkah pertama dalam mengisi kesenjangan tersebut. Sementara kesenjangan geografis sedang dikaji, upaya harus dilakukan untuk memastikan kesenjangan kompetensijuga. Semua pekerja/petugas keseatan harus dimasukkan dalam kajian ini. 3. Insentif harus diperluas yang sekarang ditawarkan kepada dokter untuk juga termasuk ahli gizi yang bekerja di area yang tak terlayani.  Anggota staf perlu insentif untuk bekerja di lingkungan yang lebih menantang; hal ini diakui dalam penempatan dokter. Dalam mengakui pentingnya gizi bagi kesehatan dan pengembangan, insentif yang sama perlu untuk menarik dan mempertahankan staf gizi yang berkualitas di area yang bertantangan, yang seringkali menjadi yang paling membutuhkan. 4. Mendirikan persyaratan dan prosedur akreditasi (termasuk kualifikasi pelatihan untuk ahli gizi disemua tingkat) untuk dikenal dan dilaksanakan oleh Asosiasi Ahli Gizi (PERSAGI) dengan pengakuan dari asosiasi professional lainnya. 35

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

 Hal ini menghubungkan deskripsi pekerjaan yang direvisi dan dimutakhirkan (disebutkan diatas) sebagai cara untuk meningkakan profil professional dari ahli gizi dan standardisasi pengetahuan dan kinerja merekasekitar intervensi berdasar bukti yang di gariskan didalam literaturnya. 5. Akademi dan Universitas Gizi agar menstandardisasi dan memutakhirkan kurikulumnya, kompetensi dan akreditasi untuk pra-layanan dan pelatihan dalam layanan terhadap ahli gizi kesehatan umum, termasuk penekanan program baru mengenai stunting dan nutrisi masa kehamilan; menambahkan atau memperkuat gizi pada pelatihan pra-layanan mengenai gizi kepada semua Dokter, Bidan, Perawat;  Pendidikan gizi perlu dimutakhirkan dan diperluas untuk memasukkan konsep baru dan riset baru ini dalam pelatihan pra-layanan dari semua prefesional kesehatan dangizi; lembaga akademis juga penting dalam menyediakan pelatihan dalam-layanan. 6. Menjamin penyediaan kelanjutan perawatan kesehatan dan gizi dari konsepsi sampai usia dua tahun, melalui penyampaian layanan berdasar fasilitas terorganisir secara baik, jangkauan secara periodic dan berdasar komunitas. 43.  Stuntingadalah contoh sempurna dari suatu hasil gizi yang tak dikehendaki yang setara hasilnya dengan defisiensi dalam kehidupan intra-uterin dan kondisi post-natal. Gagal dalam mendekati permasalahan dari kelanjutan perspektif perawatan tidak akan mengurangi stunting yang nyata dari sifat bertahannya selama decade yang lalu yang mencerminkan pendekatan yang memberi sasaran pada anak ketika mereka sudah menderita stunting; tidak ada perhatian yang diberikan kepada penyebab intra-uterin dari permaslahannya. Selanjutnya, jika ibu hamil menjadi sasaran dalam trimester pertama, perhatian harus diberikan kepada perempuan muda sebelum dia menjadi hamil, (dan terhadap perempuan muda yang pertumbuhannya sendiri harus dilindungi dari kehamilan yang prematur).

Sistem Informasi Gizi 1. Pemutakhiran SPM untuk mencerminkan fokus program baru dan indicator relevan.  Indikator standard harus sejalan dengan tujuan program terkini jika kemajuan harus dibuat dan diukur menuju kepada tujuan baru seperti stunting dan gizi masa kehamilan.. 2. NIS untuk mengukur indikator yang terdaftar di Rencana Aksi Pangan dan Gizi yang dapat digunakan untuk mengkaji kinerja dan untuk pengawasan.  Indikator harus diukur dan digunakan dalam pembuatan keputusan lebih besar daripada yang dipraktikkan saat ini. Pengukuran keluaran dan hasil praktik dilapangan akan memperkenankan Kerber KJ, de Graft-Johnson JE, Bhutta ZA, Okong P, Starrs A, Lawn JE. 2007 Continuum of care for maternal, newborn, and child health: from slogan to service delivery. Lancet 370: 1358–69 43

36

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

pengawas untuk identifikasi individual dan fasilitas yang melakukan pekerjaan berkualitas tinggi. Fasilitas ini akan memenuhi syarat bagi hadiah kinerja. Bagi mereka yang tidak berkinerja baik dapat diarahkan untuk berpartisipasi dalam kelas pendidikan yang berkelanjutan untuk meningkakan ketrampilan, pengetahuan, dan praktk.. Rekomendasi yang disarankan untuk diprioritaskan pada jangka panjang

Penyediaan Pelayanan 1. Pelaksananaan dengan skala (sebagaimana sesuai tergantung kondisi lokal), paket Intervensi Gizi Esensial (ENI) yang sasaran efektifnya adalah terhadap ibu dan anak sejak dari konsepsi sampai usia dua tahun.  Pemaketan intervensi kunci menjamin bahwa semua komponen yang perlu untuk suatu kehidupan yang sehat dan bergizi sedang disediakan pada waktu yang sama dan dalam tempat yang sama dengan cara yang dapat menuju kepada hasil terbaik. Pelaksanaan intervensi individual secara terpisah dan tempat yang berbeda (misalnya, memberikan Vitamin A tanpa memberikan tablet untuk penyakit cacingan) adalah sia-sia demikian juga tidak efektif oleh karena keduanya tidak akan seefektif bila dipergunakan sendiri masingmasing. Pelaksanaan paket ini dapat mencegah paling tidak seperempat kematian anak dibawah usia 36 bulan, dan mengurangi prevalensi stunting sebesar sepertiga dalam jangka pendek44 45.

Sistem Informasi Gizi 1. Sebagai tujuan jangka lebih panjang, menciptakan kelompok kerja, diketuai oleh BPS, untuk mempertimbangkan berapa jumlah survai nasional (misalnya RISKESDAS, DHS, IFLS) dapat dikurangi dan dirasionalisasikan.  Kegiatan survai sangat mahal meski biayanya seringkali dibesarkan bila dipergunakan untuk keputusan kritis dalam focus program pembuatan keputusan, sasaran terhadap penduduk, dan sebagainya. Namun terdapat juga sejumlah besar survai nasional yang mengumpulkan data yang kadangkala bersifat duplikasi. Hal ini harus dirasionalisasikan sehingga hanya satu atau dua survai dibutuhkan untuk menyediakan semua informasi yang dibutuhkan pembuat keputusan untuk meningkatkan kinerja program. Langkah pertama dalam melakukan hal ini adalah untuk mendefinisikan keputusan sebenarnya yang perlu diambil, data yang diperlukan untuk membuat keputusan, sumber data tersebut, dan metode pengumpulannya. Rekomendasi lainnya yang dapat dilaksanakan pada jangka menengah The Lancet Series on Maternal and Child Undernutrition 2008. Available at URL: http://www.theLancet.com/series/maternal-and-child-undernutrition (Accessed 31/03/10) 44

SCN 2008. Recommendations from the SCN 35th Session: "ACCELERATING THE REDUCTION OF MATERNAL AND CHILD UNDERNUTRITION" Available at http://www.unscn.org/Publications/AnnualMeeting/SCN35/35th_Session_Recommendations.pdf (Accessed 09/07/0) 45

37

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Koordinasi & Tanggungjawab Gizi 1. Pada tingkat Nasional: Menciptakan mekanisme koordinasi tingkat nasional untuk mengawasi dan koordinasi pelaksanaan Rencana Aksi Pangan dan Gizi Nasional dengan mengubah nama dari Dewan Keamanan Pangan Nasional menjadi Dewan Pangan dan Gizi Nasional, atau menciptakan suatu badan baru dengan tanggung jawab koordinasi gizi nasional.  Dengan menambahkan kata “…dan Gizi”, Keamanan Pangan dikenal sebagai bagian vital dari tujuan lebih besar dari Keamanan Gizi. Dewan kemudian diberi mandat untuk melaksanakan Rencana Pangan dan Gizi Nasional, yang mempunyai sasaran mencapai Keamanan Gizi melalui berbagai pendekatan, yang satunya adalah Keamanan Pangan. Dewan ini dengan demikian akan memenuhi peran yang sangat diperlukan yaitu mengkoordinasikan tindakan keamanan nutrisi yang keberadaannya kini sangat dipertanyakan. NB, jika lingkup dari Dewan diperluas untuk memasukkan juga keamanan gizi, mungkin perlu untuk menempatkan Dewan dibawah kantor Presiden untuk diketahui karena lingkupnya yang lebih besar.

Perencanaan dan Desain Program 1. Pada tingkat Nasional: Mengembangkan dan melaksanakan strategi untuk menjangkau perempuan pra-hamil dalam kelompok usia 18-24 tahun dengan paket pelayanan kesehatan dan gizi dengan bekerja bersama staf yang terlibat dalam keluarga berencana dan tokoh agama komunitas selama kunjungan pra-perkawinan, dsb. Mendirikan suatu pengawasan atau sistem pemantauan untuk memantau cakupan perempuan pra-hamil dengan paket ini.  Trimester pertama sekarang dikenal sebagai suatu kunci kepentingan untuk pertumbuhan janin dalam panjangnya dan pertumbuhan otak, dan status mikronutrien sekitar konsepsi adalah kunci untuk mencegah terjadinya beberapa cacat pada kelahiran. Dengan demikian untuk memastikan bahwa protein, energi dan mikronutrien mereka cukup dan bahwa mereka terbebas dari penyakit yang bersaing terhadap nutrien pada trimester pertama, mereka perlu dijangkau sebelum menjadi hamil atau sedini mungkin setelah konsepsi. 2. Pada tingkat Nasional: Memperkuat program fortifikasi pangan nasional dengan memutakhirkan standard fortifkas untuk gandum, membuat fortifikasi minyak menjadi wajib, dan memperbaiki penegakan undang-undang fortifikasi garam.  Program fortifikasi pangan nasional merupakan cara efektif, biaya efektif dan cara penting untuk menambah status mikronutrien dari penduduk yang mengkonsumsi kendaraan pengan. Hal ini dapat meningkatkan konsumsi dari kaum perempuan sebelum mereka menjadi hamil, pada anak dibawah umur dan pada kaum pria; semua kelompok yang umumnya bukan sasaran atau dapat terjangkau oleh intervensi mikronutrien lainnya seperti suplementasi. Keefektifan program fortifikasi tepung terigu perlu ditingkatkan dengan pemutakhiran SNI sejalan dengan rekomendasi WHO secara global, fortifikasi minyak sedang terjadi tetapi membutuhkan untuk dibuat 38

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

wajib agar mendapatkan dampak optimal terhadap kesehatan umum dan penegakan hokum fortifikasi garam untuk menjamin semua garam diberi yodium dan sistem jaminan mutu ditingkatkan.

Sumber Daya Manusia 1. Menggunakan keberhasilan tinggi untuk mengurangi stunting, anemia dalam kehamilan, dan perbaikan pada pemberian asi secara dini dan eksklusif sebagai dasar bagi tambahan hadiah kinerja kepada puskesmas dan posyandu.  Insentif kinerja dapat dalam bentuk hadiah financial ataunon-finansial. Jika dihadiahkan kepada fasilitas yang berkinerja baik (bukan terhadap individu) hal ini dapat menyemangati kerja tim yang lebih baik, efisiensi, dan pelayanan komunitas. Rekomendasi lain yang dapat dilaksanakan di jangka panjang

Anggaran dan Pembiayaan 1. Pada semua tingkat: Melaksanakan proses untuk identifikasi cara untuk memperkuat program pengentasan kemiskinan bagi dampak yang ditingkatkan terhadap kurang gizi anak dan masa kehamilan.  Dibawah naungan “Tim Nasional untuk Mempercepat Pengentasan Kemiskinan” (TNP2K), diketuai oleh Wakil Presiden, inisiasi proses untuk membahas setiap program pengentasan kemiskinan untuk identifikasi bagaimana hal itu dapat diadaptasi untuk berkontribusi terhadap peningkatan dalam prioritas dan intervensi utrisi yang sejalan dengan Rencana Pembangunan Jamgka Menengah Nasional dan Rencana Pangan dan Gizi Nasional. Melaksanakan perobahan ini melalui TNP2K pada tingkat propinsi dan kabupaten. Bilamana belum juga, untuk memasukkan indikator gizi seperti prevalensi stunting anak sebagai indikator dampak pada program sebagai adanya pengakuan dekatnya hubungan antara kemiskinan dengan gizi anak.

Perencanaa dan Desain Program 1. Memfokus tujuan program pemberian makanan pada peningkatan pendaftaran sekolah dan retensi, dan, jika sumber daya merupakan factor yang membatasi, memprioritaskan program pada sekolah menengah pertama di area yang lebih miskin sebagai insentif untuk perempuan tetap disekolah..  Anak usia sekolah bukanlah yang paling rawan gizi; sehingga mereka tidak mendapat manfaat secara signifikan dari program pemberian makanan di sekolah. Pemberian makanan di sekolah dapat menyediakan insentif, dalam keadaan tertentu, untuk meningkatkan pendaftaran sekolah dan retensi anak di sekolah. Dimana hal ini menjadi kepentingan besar adalah pada anak perempuan dibawah umur yangakan ditekan untuk berhenti sekolah secara prematur, khususnya dalam keluarga yang tidak mempunyai keadaan financial yang mencukupi.Dalam kasus demikian, pangan menjadi lebih kepada suplemen ekonomi dan bukan yang bersifat nutrisi saja, meskipun dampak gizi akan terasa jika perempuan tetap disekolah lebih lama 39

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

oleh karena hal ini terkait dengan usia perkawinan nanti, dan usia selanjutnay (melebihi anak dibawah umur) pada kehamilan yang pertama.

Sumber Daya Manusia 1.Menyediakan bantuan teknis dalam pengembangan modul pembelajaran jarak jauh untuk pelatihan dalam layanan dari staf gizi yang terkait dengan akreditasi dan hadiah kinerja untuk selesainya pelatihan secara sukses dan pencapaian nilai yang lebih tinggi.  Pembelajaran jarak jauh dengan pemberian hadiah memberikan cara yang lebih murah untuk mempertahankan pelatihan dan pengetahuan staf dilapangan. Teknik baru yang menjamin kerahasiaan dan memantau partisipasi memperkenankan kursus untuk dilakukan secara tidak mahal dalam lingkungan aman.

6. Langkah Berikutnya    

 





Mendapatkan persetujuan final dari laporan LA dari DepKes pada tingkat Pusat dan, khususnya, dari Departemen Gizi Masyarakat. Terjemahan dari laporan LA dalam Bahasa Indonesia Mendesain dan mencetak laporan LA dalam dua bahasa (Inggris dan Bahasa Indonesia) Mengatur pertemuan di DepKes pada tingkat Pusat antar semua departemen terkait terutama Komunitas Gizi, Kesehatan Masa Kehamilan dan Kesehatan Anak untuk diseminasikan laporan LA. Pertemuan ini dapat diorganisir oleh Direktur General Kesehatan Masyarakat di DepKes. Disseminasi laporan LA oleh DepKes/Bappenas pada tingkat Pusat kepada semua mitra yang relevan termasuk donor, kementerian, badan PBB, LSM, dsb. Integrasi rekomendasi prioritas dalam Rencana Aksi Pangan dan Gizi Nasional 2011-2015. Hal ini dapat dilakukan melalui proses pengembangan rencana Nasional yang akan berlanut sampai Desember 210. Selanjutnya, dengan menggunakan rekomendasi prioritas dari Analisis Lanskap Kajian Negara, mengidentifikasi aksi jangka pendek yang dapat dilaksanakan untuk 2011, dan kegiatan lebih lama yang akan membutuhkan undang-undang dan peraturan baru, dsb. Mempresentasikan hasil Anaisis Lanskap Kajian Negara pada tingkat propinsi. Menggunakan kesempatan ini untuk mulai proses harmonisasi mengenai tujuan dan sasaran atara tingkat nasional dan sub-nasional demikian juga untuk advokasi lebih banyak anggaran nutrisi pada tingkat sub-nasional. Menginisiasi pelaksanaan Rencana Aksi Pangan dan Gizi Nasional di satu (atau dua) kabupaten disetiap tiga propinsi dan selanjutnya menyempurnakan dan memfokus sistem posyandu mengikuti rekomendasinya. Hal ini akan termasuk Bidan dan Kader yang bekerja lebih banyak dengan kelompok ibu yang menyiapkan mereka untuk menjadi hamil tanpa anemia, dsb. Hal ini akan termasuk melengkapi 40

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

puskesmas untuk melakukan pengukuran yang perlu dan bekerja terhadap prosedur, dsb, mengembangkan materi IEC, dsb. Sebagai ringkasan, rekomendasi dibuat mengenai area : Kordinasi Gizi & Tanggungjawab; Anggaran dan Pembiayaan; Perencanaan dan Desain Program; Sumber Daya Manusia; Penyediaan Pelayanan; Sistem Informasi Gizi. Prioritas harus diberikan untuk menciptakan Mekanisme yang mempromosikan pengembangan Rencan Aksi Pangan dan Gizi yang harmonis pada tingkat Propinsi dan Kabupaten berdasarkan rencana, keputusan dan panduan nasional, demikian pula untuk mengembangkan Mekanisme koordinasi antar sector untuk mengawasi dan memantau pelaksanaannya. Agar meningkatkan efektif biaya dalam pembiayaan, panduan dan insentif harus disediakan kepada kabupaten agar mereka dapat memberi prioritas pada intervensi berdasar bukti yang diberi sasaran pada kelompok rawan pra-hamil, ibu hamil dan menyusui dan anak usia dibawah dua tahun. Panjang anak dibawah dua tahun dan anemia masa kehamilan harus diberikan penekanan yang meningkat dan diprioritaskan untuk pengukuran keefektifan dari program gizi dan pengentasan kemiskinan pada semua tingkat. Secara bersamaan terhadap pekerjaan ini, deskripsi pekerjaan perlu dimutakhirkan untuk mencerminkan arah program baru (misalnya, pengukuran stunting dan kesehatan/anemia masa kehamilan) untuk semua staf yang terlibat dalam gizi pada semua tingkat dalam sistem. Suatu peta sumber daya manusia untuk ahli gizi dan pekerja kesehatan lainnya harus dekembangkan agar dapat identifikasi kesenjangan penugasan dan kompetensi, dan mengembangkan rencana nasional untukpendekatan pelatihan untuk mengajar kompetensi gizi bagi relawan, perawat dan bidan, serta menyediakan pemutakhiran teknis bagi dokter dalam bidang ilmu pengetahuan gizi. Secara bersamaan dengan hal ini pelaksanaan pada skala (sebagaimana sesuai tergantung kondisi local), dari paket Intervensi Gizi Esensial (ENI) harus secara progresif dilaksanakan mulai di beberapa kabupaten dan propinsi dan secara bertahap meluas sehingga dalam lima tahun sebagian kaum ibu dan anak tercakup oleh ENI sebagai perawatan kelanjutan dari sejak konsepsi sampai usia dua tahun. Panduan pemantauan dan evaluasi harus dimodifikasi untuk mencerminkan fokus program baru dan indikator yang relevan.

41

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Lampiran 1. Metodologi Kajian Negara Lingkup Kajian Negara dari analisis lanskap

Visi Keselurhan: Pemerintah dan petugas kesehatan Kabupaten yang berwenang mempunyai komitmen dan kapasitas untuk menjamin cakupan tinggi intervensi gizi efektif agar mempercepat pengurangan kurang gizi masa kehamilan dan anak. Intervensi gizi efektif adalah yang diidentifikasi oleh Lancet Nutrition Series. Komitmen dan kapasitas pemerintah kabupaten akan dijamin panduan dari tingkat Pusat ke pemerintah dan pejabat kesehatan kabupaten mengenai intervensi gizi efektif dan membangun kapasitas mereka untuk melaksanakan perencanaan mikro untuk mencapai cakupan tinggi dan pelaksanaan berkualitas. Pemerintah dan pejabat kesehatan propinsi akan menyediakan pengawasan dan dukungan jaminan kualitas. Intervensi gizi efektif akan dilaksanakan melalui sistem kesehatan yang ada dan akan didukung oleh dan secara sinergi dengan kebijakan dan inisiatif nasional mengenai kesehatan, gizi, pengembangan pertanian, pengentasan kemiskinan dan jaringan keselamatan, yang secara berhasil disebarkan pada tingkat setempat. Pada semua tingkat, Kajian Negara (CA) akan focus pada mengidentifikasi kelemahan dan kesempatan untuk memperbaiki tujuh tantangan yang teridentifikasi oleh Lancet Series berikut ini: 1. Meletakkan gizi di agenda nasional, 2. Melakukan hal yang benar, 3. Tidak melakukan hal yang salah, 4. Melakukan hal berdasarkan skala, 5. Menjangkau kepada yang membutuhkan, 6. Menggunakan data bagi pembuatan keputusan untuk gizi, 7. Membangun kapasitas strategi dan operasional. Pada tingkat kabupaten, Kajian Negara (CA) akan focus pada berikut ini: 1. Bagaimana untuk meningkatkan kapasitas kabupaten terhadap rencana mikro dan melaksanakan intervensi gizi esensial 2. Bagaimana kebijakan dan panduan nasional disampaikan kepada dan digunakan oleh kabupaten 3. Bagaimana pelaksanaan kabupaten mengenai intervensi gizi esensial dapat difasilitasi dan didukung oleh pejabat propinsi yang berwenang 4. Bagaimana Mekanisme pembiayaan dan sumber daya dapat lebih baik diakses untuk meningkatkan cakupan dan kualitas intervensi gizi esensial 5. Bagaimana program dan inisiatif nasional termasuk jaringan keselamatan dan program pro-miskin dapat menjadi lebih sinergi dengan dan lebih mendukung pelaksanaan kabupaten terhadap intervensi gizi esensial. 6. Data apa yang dibutuhkan dan bagaimana dapat lebih baik digunakannya pada tingkat kabupaten untuk memfasiltasi pelaksanaan berkualitas pada cakupan yang tinggi dari intervensi gizi esensial.

42

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Daftar anggota tim untuk kajian Negara (CA) disetiap propinsi dan kabupaten

Propinsi Aceh Roger Shrimpton Sonia Blaney (UNICEF) Rufina Pardosi (UNICEF) Rachmi Untoro (Ahli MoH) Darmiati (Bappeda) Setyawati, SKM, MPH Arifin Ahmad (Poltekkes Gizi) Sugeng Irianto (WHO) Eko Prihastono (MoH) Mardewi (FKM-UI)

Aceh Besar Roger Rufina Arifin Mardewi

Aceh Timur Sonia Setyawati Darmiati Eko

Wawancara Propinsi Rachmi Untoro Sugeng

Propinsi Jawa Tengah Stephen Atwood Anna Winoto (UNICEF) Armunanto (UNICEF) Ineu (MoH) Yazid (PHO) Budi Setiana (Bappeda) Diah Utari (FKM-UI) Elviyanti Martini (HKI) Yosi Tresnawati (Bappenas) Bariadi (MoH) Wawancara Kabupaten Kota Semarang Banyumas Anna Steve Elvi Armunanto Yazid Budi Setiana Ineu Bariadi Wawancara Propinsi Yosi Diah

Propinsi NTT Karen Codling Ninik Sukotjo (UNICEF) Helena S Ndolu (UNICEF) Dini Latief (Ahli MoH ) Henny Tomasoa (PHO) Djoese (Bappeda) Maria Catharina (WFP) Rosnani (konsultan local) Eman Sumarna (MoH) Ichwan Arbie (MoH)

Sikka Rosnani Helena Henny Arbie

Belu Karen Codling Ninik Djoese Maria

Wawancara Propinsi Dini Latief Eman Sumarna

43

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Jadwal pelaksanaan “Landscape Analysis” atau Kajian dan Analisa Pemetaan Program Gizi dan Program Terkait Lainnya 11 s/d 26 Maret 2010 Hari pertama: Jakarta, 11 Maret 2010 Venue: Jasmine Room, Intercontinental Hotel 08.30 – 08.35 Sambutan Depkes 08.35 – 08.50

08.50 – 09.10 09.10 – 09.30 09.30 – 10.00 10.00 – 10.30 10.30 – 10.45 10.45 – 11.00 11.00 – 11.45 11.45 – 12.15 12.15 – 13.15 13.15 – 14.00 14.00 – 14.30 14.30 – 15.15 15.15 – 15.30 15.30 – 16.00 16.00 – 17.00

 

Latar belakang Pengalaman pelaksanaan LA di negara lain Rencana pelaksanaan Landscape Analysis di Indonesia  Metodologi  Analisa/pelaporan Hasil telaah awal Diskusi/Tanya jawab Rehat kopi Pembagian kelompok (berdasarkan daerah) Review kuesioner 1 & 2 (diskusi kelompok) Diskusi pleno Makan siang Review kuesioner 3 & 4 (diskusi kelompok) Diskusi pleno Review kuesioner 5 & 6 (diskusi kelompok) Rehat kopi Diskusi pleno Finalisasi kuesioner

DR Minarto, Direktur Bina Gizi Masyarakat Roger Shrimpton, UNICEF

DR Minarto, Direktur Bina Gizi Masyarakat Roger Shrimpton, UNICEF Rosnani Pangaribuan

International team

International team

International team

Hari ke-2: Jakarta, 12 Maret 2010 Venue: Jasmine Room, Hotel Intercontinental 08.30 – 09.00 Registrasi 09.00 – 09.05 Sambutan UNICEF 09.05 – 09.20

Pengarahan dan pembukaan

09.20 – 09.35

Prioritas program gizi dalam RPJMN 20102014 Kebijakan program gizi di Indonesia

09.35 – 09.45 09.45 – 10.15 10.15 –10.30 10.30 – 11.15

Latar belakang dan pengalaman pelaksanaan Landscape Analysis di negara lain Rehat kopi Diskusi & tanya jawab

11.15 – 11.30

Penutupan

Kepala Perwakilan UNICEF Indonesia Direktur Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Depkes Deputi SDM dan Kebudayaan, Bappenas Direktur Bina Gizi Masyarakat, Depkes Roger Shrimpton UNICEF

Moderator: Direktur Bina Gizi Masyarakat Direktur Bina Gizi Masyarakat

44

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

11.30 – 13.00 13.00 – 17.00

Makan siang Review kuesioner Hari ke-3: Jakarta, 13 Maret 2010

Venue: Jasmine Room, Hotel Intercontinental 08.30 – 09.30 Pelaksanaan pengumpulan data di lapangan 09.30 – 12.00 Praktek wawancara 12.00 – 13.00 Makan siang 13.00 – 17.00 Persiapan akhir untuk kunjungan lapangan

Rosnani Pangaribuan Ninik Sukotjo Anna Winoto

Hari ke-4-10: Kunjungan Lapangan, 14 – 20 Maret 2010 Hari ke-4 (14 Maret) Hari ke-5 (15 Maret)

Hari ke-6 (16 Maret) Hari ke-7 - 8 (17-18 Maret) Hari ke-9 (19 Maret) Hari 10 (20 Maret)

Perjalanan tim ke propinsi terpilih Pertemuan propinsi dengan seluruh stakeholders (termasuk kabupaten) untuk mempresentasikan tujuan kajian; dilanjutkan dengan wawancara kepada stakeholder di tingkat propinsi Perjalanan ke Kabupaten

Propinsi

Pelaksanaan Wawancara di tingkat Kabupaten; dan konsolidasi hasil wawancara- hari terakhir Perjalanan kembali ke Propinsi; Pertemuan Propinsi untuk diseminasi draft hasil kajian Perjalanan tim Pusat ke Jakarta

Kabupaten

Propinsi

Hari ke-12 - 16: Jakarta, 22 – 26 Maret 2010 Hari 12-13 (22-23 Maret)

Wawancara Stakeholders di tingkat Pusat

Hari 14 (24 Maret)

Konsolidasi hasil wawancara/kajian di tiga propinsi di tingkat pusat, penyusunan kesimpulan dan rekomendasi awal oleh tim kecil Tim Kecil menyusun draft awal dan presentasi power point Diseminasi hasil Kajian dan Analisa Pemetaan Program Gizi dan Program Terkait Lainnya yang dihadiri oleh seluruh tim Pusat dan Propinsi dan Kabupaten terpilih

Hari 15 (25 Maret) Hari 16 (26 Maret)

Tim akan berkumpul di kantor UNICEF pada pukul 08.00 setiap pagi sebelum melaksanakan wawancara (Alamat: Wisma Metropolitan II Lt. 12) Kantor UNICEF Wisma Metropolitan II Lt. 12

Kantor UNICEF Wisma Metropolitan II Lt. 12 Jasmine Room, Intercontinental Hotel

45

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

LA interviews Schedule at Central Level 22 March 20010

23 March 2010

46

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

List of interviewees

Aceh province, Aceh Timur and Aceh Besar Districts No

Name 1 Jamil Rusaleh

Title Bidang Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Staf Pelayanan Anak Kasie KIA dan Gizi Kabid Pembinaan Kesehatan Kepala Dinas Kabid Pendidikan Dasar Sekretaris Fraksi Komisi F Kabid Industri Kimia Agro

Institution Dinas Sosial Aceh

Remarks Province

Dinas Sosial Aceh Dinas Kesehatan Aceh Dinas Kesehatan Aceh Dinas Kesehatan Aceh Dinas Pendidikan Aceh DPRA Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi & UKM Aceh

Province Province Province Province Province Province Province

Kasie Kimia Afro

Dinas Perindustrian, Perdagangan, Province Koperasi & UKM Aceh

10 Isnaidi

Kasie Logam Mesin

Dinas Perindustrian, Perdagangan, Province Koperasi & UKM Aceh

11 Parabi

Kabid Anak

Badan Pemberdayaan Perempuan Province dan Perlindungan Anak Aceh

12 M. Nur

Kabid Ketahanan Pangan Mukim dan Gampong Kasubbid Motivasi dan Swadaya

Dinas Pemberdayaan Masyarakat Aceh Dinas Pemberdayaan Masyarakat Aceh Dinas Pemberdayaan Masyarakat Aceh Poltekes NAD Badan Ketahanan Pangan Aceh

2 3 4 5 6 7 8

Khairani dr. Hasnani drg. Efi Syafrida dr.Yani Azhari M. Yunus Ilyas, SE, M.Si Nasir

9 Dewi Mutia

13 Ellya 14 Buchari

Province Province Province

19

Kasubbid Pengembangan Sumber Daya Tradisi dan Budaya Kajur Gizi Poltekes Aceh Kepala Bidang Konsumsi & Keamaanan Pangan Kepala Bidang Distribusi Badan Ketahanan Pangan Aceh Bagian Keanekaragaman Konsumsi Badan Ketahanan Pangan Aceh Pangan Kabid Tanaman Pangan Dinas Pertanian Aceh Besar

20

Sekretaris

Dinas Pertanian Aceh Besar

District Aceh Besar

21

Kasie Tanaman Pangan

Dinas Pertanian Aceh Besar

District Aceh Besar

22

Kepala Bidang Penguatan Kelembagaan Masyarakat

Badan Pemberdayaan Masyarakat District Aceh Besar dan Gampong Aceh Besar

23

Kepala Badan

24

Kabid Ketahanan Pangan

25

Sekretaris

26

Kepala

Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Aceh Besar Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Aceh Besar Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Aceh Besar Bappeda Aceh Besar

15 Aripin Ahmad 16 Ir. Rusli 17 Cut Sumarni 18 Erisna

Province Province Province Province District Aceh Besar

District Aceh Besar District Aceh Besar District Aceh Besar District Aceh Besar

47

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

27 Hasanudin

Bappeda Aceh Besar

District Aceh Besar

28

Kasubbid Pengembangan SDM & Keistimewaan Aceh Kepala Dinas

Dinas Kesehatan Aceh Besar

District Aceh Besar

29

Program Officer KIA

Dinas Kesehatan Aceh Besar

District Aceh Besar

30

Program Officer P2P

Dinas Kesehatan Aceh Besar

District Aceh Besar

31

Komisi E

DPRK Aceh Besar

District Aceh Besar

32

Kepala Puskesmas

Puskesmas Indrapuri

District Aceh Besar

33

Tenaga Pelaksana Gizi

Puskesmas Indrapuri

District Aceh Besar

34

Bidan Koordinator

Puskesmas Indrapuri

District Aceh Besar

35

Bidan Desa

Puskesmas Indrapuri

District Aceh Besar

36

Kader Posyandu

Puskesmas Indrapuri

District Aceh Besar

37

Kepala Puskesmas

District Aceh Besar

38

Tenaga Pelaksana Gizi

39

Bidan Desa Lheu Blang

40

Kader Posyandu Lheu Blang

41

Kepala bidang BPMG (Badan Pemberdayaan Masyarakat Gampong) DPRK, Komisi E

Puskesmas Darul Imarah Aceh Besar Puskesmas Darul Imarah Aceh Besar Puskesmas Darul Imarah Aceh Besar Puskesmas Darul Imarah Aceh Besar Kantor BPM-PKS

Kantor DPRK

District Aceh Timur

42 43 Dr Hambali, Agustina and Marlita 44 Bupati Aceh Timur dan Bpk. Syanfanmur 45 Ir. Irham, MT 46 47 Ayubi, SKM dan Amir, SKM 48 49 50

51 52

District Aceh Besar District Aceh Besar District Aceh Besar District Aceh Timur

Kepala Puskesmas, TPG dan Bidan Puskesmas Bireum Bayeun Koordinator Bupati dan Sekretaris Kantor Bupati

District Aceh Timur

Kepala Bappeda Bidan Desa dan Kader Kepala Dinas Kesehatan, Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Kabid Hortikultura Badan Ketahanan Pangan BPM-PKS Kepala Pemberdayaan Masy, Perempuan & Keluarga Sejahtera Bidan Desa dan Kader

Kantor Bappeda Posyandu of Desa Alue Buloh Dinas Kesehatan

District AcehTimur District Aceh Timur District Aceh Timur

Dinas Pertanian Kantor Ketahanan Pangan Kantor BPM-PKS

District Aceh Timur District Aceh Timur District Aceh Timur

Distritc Aceh Timur

Posyandu Camar Laut-Desa Blang District Aceh Timur Qlumpang Kepala Puskesmas, TPG dan Bidan Puskesmas Idi Rayeuk District Aceh Timur Koordinator

48

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Central Java province, Kota Semarang and Banyumas district No

Name, Title Institution Remarks 1 Bambang Setyobudi (Kabid), Dwi Arminingsih (staf), Bidang Ratna Kesra Widyarini (staf) Province 2 Dr. Mardiyatmo, SP RAD (Kepala Dinas) Dinas Kesehatan Province 3 Dr. Retno Budiastuti (Kasubdit Yankes) Dinas Kesehatan Province 4 Dr. Djoko Mardijanto, Mkes (Kabid. P2PL) Dinas Kesehatan Province 5 Dr. Yuswanti (Kasie Kesga Gizi) Dinas Kesehatan Province 6 Achmad Syaifudin (Ka.Perencanaan) Dinas Kesehatan Province 7 Dr. Messy Widiastuti, MARS (Komisi E) DPRD Province 8 Ir. Suyatno, Mkes (Wadek III, staf Jur. Gizi) FKM Undip bagian gizi Province 9 Ir. Basuki Sigit (Ka. Jur) Poltekkes Gizi Province 10 Surati Dinas Pendidikan Province 11 Drs. Ali Yahya, MPd Bapermas Province 12 Mery Zuliana (anggota Pokja IV) PKK Province 13 Munawir, SH (Bid. Kemandirian Pangan, bid. Ketersediaan Badan Ketahanan Pangan) Pangan Province 14 Hari Sutjahyo (Sie. Industri Kimia Bid. Industri Agro Dinas Kimia Perindag dan Hasil Hutan) Province 15 F. Himawan E.W. (Kasie. Pengembangan SDM &Dinas Kelembagaan) Pertanian Province 16 Moch Junaedi (Kasie. Potensi Sumber Kesejahteraan Dinas Sosial) Sosial Province 17 Dra. Diana Susilowati (Kasubid. Perlindungan Anak BP3AKB bid. Kesejahteraan dan Perlindungan ProvinceAnak) 18 Dyah Siti Sundari (Diklat) BKKBN Province 19 Hernowo Budi Luhur (Kabid Perencanaan Sosbud)Bidang Sosbud Kota Semarang 20 Dr. Tatik Suyarti (Kadinkes) Dinas Kesehatan Kota Semarang 21 Dr Susi Herawati (Kasubdit Kesga) Dinas Kesehatan Kota Semarang 22 Dr Widoyono (Kabid P2ML) Dinas Kesehatan Kota Semarang 23 Purwanti (Kasie Gizi) Dinas Kesehatan Kota Semarang 24 Drg Lusi Suryani (Kasie Perencanaan Subbag) Dinas Kesehatan Kota Semarang 25 Tenaga Gizi Puskesmas Pandanaran Kota Semarang 26 Retno (bidan) Posyandu Setialsulu Kota Semarang 27 Ismoyowati, Ani (kader) Posyandu Setiasulu Kota Semarang 28 Kepala Puskesmas Puskesmas Srondol Kota Semarang 29 Bidan Puskesmas Srondol Kota Semarang 30 Ahli gizi Puskesmas Srondol Kota Semarang 31 Drs Hidayatullah (Kasie TS SD) Dinas Pendidikan Kota Semarang 32 Dra. Hayu & Lilik Haryanto Bapermas Kota Semarang 33 Dra. Wijayanti (Pokja IV) TP PKK Kota Semarang 34 S. Kiswanti (Kasie Konsumen & Ketahanan Pangan) Badan & Diana Ketahanan Hidayati Pangan (staff) Kota Semarang 35 Agus Guntoro (Seksi Agro Kimia & Hasil Hutan) Dinas Perindag Kota Semarang 36 Ir Komara Irawati (Kasie Agroindustri Pangan & Hortikultura) Dinas Pertanian Kota Semarang 37 Dra Dahlia Gombiarti MSI (Kabid PMKS) Dinas Sosial Kota Semarang 38 Mardjoko (Bupati) Bupati Kab Banyumas 39 Ir Wahyu Budi Saptono M.Si (Kepala) Bappeda Kab Banyumas 40 Ir Achmad Wahyudi (Kabid Pemb.) Bappeda Kab Banyumas 41 Bagus Abimanyu (Kasubid Kesmas) Bappeda Kab Banyumas 42 dr Widayanto (Kadinkes) Dinas Kesehatan Kab Banyumas 43 dr Supraptini (Kabid Yankes) Dinas Kesehatan Kab Banyumas 44 Baharudin SKM (Seksi Gizi) Dinas Kesehatan Kab Banyumas 45 Suwanseno (Kasie Palawija) Dinas Pertanian Kab Banyumas 46 Puji Rahardjo (Seksi pengendalian mutu) Dinas Pendidikan Kab Banyumas 47 Suwarno (Kasie Bappeluh) Badan Ketahanan Pangan Kab Banyumas 48 Suharyanto (Bidang kelembagaan) Bapermades Kab Banyumas

49

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

NTT province, Sikka and Belu districts No

Title

Institution

1 Representative 2 Representative 3 Representative 4 Representative 5 Representative 6 Representative 7 Representative 8 Representative 9 Representative 10 Representative 11 Representative 12 Representative 13 Bupati 14 Representative 13 Head of Office 14 Head of social politic unit 15 Head of survey 16 Vice Bupati

DPRD Dinas Sosial Badan Ketahanan Pangan and Penyuluhan BPMPD AusAid - AIPMNH project Bappeda Lembage Perlindungan Anak Dinas Kesehatan Dinas Pendidikan, Permuda and Olahraga Dinas Perindustrian and Perdagangan Dinas Pertanian and Perkebunan Biro Pemberdayaan Perempuan Kabupaten DPRD BAPPEDA SIKKA

18 Kepala

Badan Pemberdayaan Masyarakat Daerah (BPMD) Community Empowerment Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB (BP2&KB) Women Empowerment and Family Planning

District Government of Sikka

19 Kepala 20 Kepala of Family planning unit 21 Kepala of family welfare unit 22 Kepala of women empowerment and child protection 23 Staff of planning section Education 24 Kepala Trade and Industry 25 Secretary Social and work force 26 Kepala Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan 27 Kepala District Health Office Puskesmas Waipare 28 Staff of Puskesmas 29 Village Midwife and BF Counselor Village Midwife Post of Geliting - Puskesmas Waipare 30 Acting head of Puskesmas Puskesmas Kopeta 31 Village Midwife and BF Counselor Village Midwife Post of Nangamarang - Puskesmas Kopeta 32 Bupati District Government of Belu 33 Representative Dinas Sosial 34 Representative Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan 35 Representative BPMPD 36 Representative LSM Lokal (PPSE and Yaspem) 37 Representative Bappeda 38 Representative Lembaga Perlindungan Anak 39 Representative Dinas Kesehatan 40 Representative Dinas Pendidikan, Pemuda and Olahraga 41 Representative Dinas Perindustrian and Perdagangan 42 Representative Dinas Pertanian and Perkebunan

Remarks Province Province Province Province Province Province Province Province Province Province Province Province District Sikka District Sikka Sikka District Sikka District Sikka District Sikka District Sikka District Sikka District Sikka District Sikka District Sikka District Sikka District Sikka District Sikka District Sikka District Sikka District Sikka District Sikka District Sikka District Sikka District Belu District Belu District Belu District Belu District Belu District Belu District Belu District Belu District Belu District Belu District Belu District

50

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Questionnaires

Preface Overview of the Landscape Country Assessment Tool

The Landscape Analysis Country Assessment Tool consists of eight main questionnaires and checklists for assessing commitment and capacity to accelerate actions to reduce maternal and child undernutrition at national and various subnational levels. In Indonesia, only questionnaires 1 to 6 were used for the country assessment. Questionnaire 2 was used for the NGOs interviews instead of questionnaires 7 and 8. Core package of questionnaires and checklists includes: Level

Existing tools:

National

1. Semi-structured interview tool for national level stakeholders (government agencies and other stakeholders such as UN agencies, donors and NGOs)

Regional / Provincial

2. Semi-structured interview tool for provincial level stakeholders (provincial government agencies and regional based NGOs and other organizations)

District

3. Semi-structured interview tool for district level management staff

Facility

4. Semi-structured interview tool for the facility manager and nutrition responsible 5. Facility checklist 6. Structured questionnaire for health workers in posyandu, puskesmas and polindes

Field

7. Semi-structured interview tool for manager of implementing NGOs 8. Semi-structured interview tool for nutrition coordinator in NGOs

The original tools were have been developed by the Medical Research Council of Cape Town, South Africa for the WHO Department of Nutrition for Health and Development and adapted throughout the first six Landscape Assessments in Madagascar, Burkina Faso, Ghana, Guatemala, Peru and South Africa. Each of these countries has further enhanced the tools, adapting them to their respective national situations. A major revamp was done by the South African country team to allow a nation-wide large scale assessment where a total of almost 1,000 questionnaires were completed. To facilitate computer based analysis of this amount of questionnaires, coding fields were added. Due to the high focus on nutrition and HIV in South Africa, an additional set of tools were developed for use in the ARV clinics (Forms 9 and 10). Preparations

As part of the preparations for the Landscape Analysis Country Assessment, the country team has reviewed the tools, select which ones to use and adapt them to the 51

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

national situation. The country team also determined the scope of the assessment, including scheduling interviews and planning field visits. The Word document questionnaires can be obtained from WHO Department of Nutrition for Health and Development, by contacting [email protected].

52

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Form 1. Pemangku Kepentingan Tingkat Pusat

ID:___

Wawancara semi terstruktur untuk instansi pemerintah dan pemangku kepentingan yang lain (misalnya: Badan-badan PBB, Donor, LSM) di tingkat pusat Tanggal kunjungan Tgl

Bln

Thn

Diisi oleh: Kode

Nasional: Kode

Instansi: Kode

Responden: Nama:

Kode

Jabatan:

Nama:

Kode

Jabatan:

Nama:

Kode

Jabatan:

53

ID:___

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Bagian 1. Situasi dan Prioritas Gizi 1.1

Menurut pandangan anda, apa saja tiga masalah utama dalam hal gizi di Indonesia? (Tuliskan berdasarkan urutan dari yang paling utama)

1.2

1.

Kode

2.

Kode

3.

Kode

Apakah anda merasa bahwa masalah yang teridentifikasi mendapat perhatian dan ditangani secara memadai dalam rencana aksi, strategi dan kebijakan gizi nasional? 1 Ya Jelaskan alasan anda:

1.3

0 Tidak

99 Tidak tahu

Kode

Menurut pandangan anda, apa yang menyebabkan timbulnya masalah gizi ini? (Tuliskan berdasarkan urutan dari yang paling utama)

1.4

1.

Kode

2.

Kode

3.

Kode

Menurut pandangan anda, apa yang menjadi kendala utama dalam meningkatkan skala program gizi (atau yang terkait masalah gizi)? (Tuliskan berdasarkan urutan dari yang paling utama) 1.

Kode

2.

Kode

3.

Kode

54

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

1.5

Menurut pandangan anda, peluang (opportunity) utama apa saja yang dapat digunakan untuk meningkatkan skala program aksi gizi? (Tuliskan berdasarkan urutan dari yang paling utama)

1.

Kode

2.

Kode

3.

Kode

Bagian 2. Sistem Koordinasi Gizi 2.1

2.2

Menurut pandangan anda, apa kekuatan/di dalam yang ada saat ini dalam hal koordinasi program gizi di Indonesia? (Tuliskan berdasarkan urutan dari yang paling utama)

1.

Kode

2.

Kode

3.

Kode

4.

Kode

5.

Kode

Menurut pandangan anda, aspek-aspek utama apakah yang perlu ditingkatkan dalam hal koordinasi program gizi atau terkait gizi lainnya? (Tuliskan berdasarkan urutan dari yang paling utama)

1.

Kode

2.

Kode

3.

Kode

4.

Kode

55

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

5.

Kode

Bagian 3. Kebijakan dan kegiatan Gizi di Instansi 3.1

Program/kegiatan spesifik apa, bila ada, yang dilakukan oleh instansi anda berkenaan dengan program yang terkati dengan gizi? Kode

3.2

Jelaskan bentuk kegiatan / dukungan yang diberikan oleh instansi anda di berbagai tingkatan sebagai berikut: Tingkat Nasional

Tindakan dan dukungan

Kode

Propinsi

Komunitas

3.3

Di instansi anda, apakah ada kebijakan yang mendukung program/kegiatan ini? 1 Ya

0 Tidak

99 Tidak tahu

Kode

Bila ya, jelaskan.

3.4

Menurut anda, strategi dan program gizi apa yang sekiranya menjadi prioritas untuk ditingkatkan skala programnya? Kode

3.5

Bagaimana/seberapa jauh instansi anda memberikan dukungan pada program gizi atau terkait gizi ? Kode

56

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Bagian 4. Anggaran dan pendanaan 4.1

4.2

4.3

Berapakah kira-kira anggaran tahunan di instansi anda yang dialokasikan untuk program gizi atau yang terkait dengan gizi?

Tahun ini:

Kode

Tahun lalu:

Kode

Menurut anda, kira-kira berapa persen dari seluruh total anggaran yang dialokasikan untuk program gizi (atau terkait gizi) di instansi anda? Tahun ini:

Kode

Tahun lalu:

Kode

Berasal dari mana saja sumber dana untuk program gizi (atau terkait gizi) di instansi anda? 1

Kode %

2

Kode %

3

Kode %

4

Kode %

5

Kode %

4.4

Menurut pendapat anda apakah terdapat cukup dana untuk menangani masalah gizi? Jelaskan alasannya. Kode

4.5

Bila tidak, menurut anda apa yang perlu dilakukan untuk meningkatkan anggaran/pendanaan tersebut? Kode

57

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Bagian 5. Sumber daya manusia untuk Gizi 5.1

Menurut anda apakah terdapat cukup staf yang bertanggung jawab untuk program gizi di instansi anda? Kode

5.2

Bila tidak, apa yang menurut anda sebaiknya dilakukan untuk meningkatkan jumlah di bidang gizi di Indonesia? Kode

5.3

Apakah instansi anda memiliki staf yang ditempatkan khusus atau bertanggung-jawab untuk melaksanakan kegiatan program gizi? 1 Ya

5.3.1

99 Tidak tahu

Kode

Bila ya, sebutkan berapa orang: dan perkiraan jumlah staf paruh waktu atau purna waktu di berbagai tingkatan yang berbeda? Tingkat Propinsi

5.3.2

0 Tidak

Purna waktu

Kode

Paruh waktu

Kode

Berapa dari mereka yang memiliki gelar minimum D3 Gizi? Kode

5.4

Menurut anda apakah terdapat cukup petugas yang bertanggung jawab untuk program gizi di Indonesia? Kode

5.5

Bila tidak, apa yang menurut anda sebaiknya dilakukan untuk meningkatkan jumlah petugas gizi di Indonesia? Kode

58

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

5.4

Apa saja pelatihan jangka pendek, jangka panjang dan program magang yang telah diikuti oleh staf anda dalam dua tahun terakhir terkait dengan gizi? Tingkat Internasional

Jumlah staf yang dilatih

Topik Pelatihan

Kode

Nasional

5.5

Bila tidak ada staf yang telah mengikuti pelatihan terkait dengan program gizi dalam dua tahun terakhir, mengapa? Kode

Bagian 6. 6.1

Sistem Informasi Gizi

Jenis data gizi apa saja yang anda gunakan secara rutin? Kode

6.2

Bagaimana dan siapa yang mengambil dan mengumpulkan data-data tersebut di atas? Gali lebih dalam: survei, monitoring/laporan rutin, evaluasi/penelitian, dll. Kode

6.3

Bagaimana instansi anda menggunakan data-data tersebut dan bagaimana anda menyebarluaskan hasil tersebut? Kode

Bagian 7. Gizi dan krisis harga pangan 7.1

Sebutkan tiga kelompok (misalnya pedesaan vs perkotaan; konsumen vs produsen; wilayah propinsi, dll.) yang anda anggap paling terkena imbas kenaikan harga pangan di propinsi anda?

59

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Kode

1. 2. 3.

7.2

Tindakan-tindakan apakah yang diambil oleh pemerintah propinsi untuk meringankan imbas dari krisis itu? Kode

Bagian 8. 8.1

Gizi dalam keadaan darurat (bencana alam)

Kelompok manakah yang menurut anda paling parah terkena imbas bencana alam? Kode

1. 2. 3.

8.2

Tindakan-tindakan apa yang diambil oleh pemerintah propinsi anda untuk meringankan efek/ imbas dari keadaan darurat untuk kelompok tsb? (berhubungan dgn pangan & gizi) Kode

Bagian 9. Advokasi dan Peningkatan Skala 9.1

Dari pengalaman anda, informasi atau pesan khusus apakah yang dapat memudahkan kerjasama di kalangan mitra gizi (Stakeholders) di propinsi anda? Kode

9.2

Apakah anda telah menggunakan indikator pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (MDG) dalam program gizi ini? 1 Ya Bila ya, jelaskan:

0 Tidak

99 Tidak tahu

Kode

60

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

9.3

Apakah anda telah mengacu pada UU 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam upaya ini? 1 Ya Bila ya, jelaskan:

9.4

9.6

99 Tidak tahu

Kode

99 Tidak tahu

Kode

Apakah anda telah menggunakan perangkat advokasi? 1 Ya Bila ya, jelaskan:

9.5

0 Tidak

0 Tidak

Apa intervensi atau dukungan yang dapat dilakukan oleh instansi/ Departemen/ unit untuk peningkatan cakupan program gizi? 1.

Kode

2.

Kode

3.

Kode

Bila instansi/Departemen/ unit anda hanya dapat melaksanakan satu hal dalam meningkatkan skala untuk peningkatan cakupan program gizi—apakah itu? Kode

Bagian 10. Pertanyaan penutup 10.1 Menurut pendapat anda, apa tiga prioritas utama kebutuhan dalam rangka mempercepat penurunan gizi kurang pada ibu & baduta (anak di bawah dua tahun)? Jangan mengarahkan (Prompt) ke opsi berikut; buat peringkat sebagaimana disebutkan oleh responden atau pihak yang diwawancara. Peringkat 2, 3)

(1, Kode

61

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Sumber daya manusia (lebih banyak staf, gaji yang lebih baik, pergantian staf yang sering) Pelatihan (lebih banyak pelatihan, modul pelatihan atau trainer yang lebih baik) Persediaan barang (obat dan sistem logistik yang lebih baik) Infrastruktur (ruangan yang lebih luas, peralatan/fasilitas yang lebih baik)

Sumber daya keuangan (anggaran yang lebih besar, pendanaan eksternal/dari luar yang lebih banyak) Lain-lain

10.2 Apakah ada hal lain yang ingin anda sampaikan agar kami memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai situasi gizi di Indonesia? Kode

62

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Form 2. Pemangku Kepentingan Tingkat Propinsi

Wawancara semi terstruktur untuk instansi pemerintah dan pemangku kepentingan yang lain (misalnya: Badan-badan PBB, Donor, LSM) di tingkat propinsi Tanggal kunjungan Tgl

Bln

Thn

Diisi oleh: Kode

Propinsi: Kode

Instansi: Kode

Responden: Nama:

Kode

Jabatan:

Nama:

Kode

Jabatan:

Nama:

Kode

Jabatan:

63

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Bagian 1. Situasi dan Prioritas Gizi 1.1

Menurut pandangan anda, apa saja tiga masalah utama dalam hal gizi di Propinsi anda? (Tuliskan berdasarkan urutan dari yang paling utama)

1.2

1.

Kode

2.

Kode

3.

Kode

Apakah anda merasa bahwa masalah yang teridentifikasi mendapat perhatian dan ditangani secara memadai dalam rencana aksi, strategi dan kebijakan gizi nasional atau propinsi? 1 Ya Jelaskan alasan anda:

1.3

0 Tidak

99 Tidak tahu

Kode

Menurut pandangan anda, apa yang menyebabkan timbulnya masalah gizi ini? (Tuliskan berdasarkan urutan dari yang paling utama)

1.4

1.

Kode

2.

Kode

3.

Kode

Menurut pandangan anda, apa yang menjadi kendala utama dalam meningkatkan skala program gizi (atau yang terkait masalah gizi) di propinsi anda? (Tuliskan berdasarkan urutan dari yang paling utama)

1.

Kode

2.

Kode

3.

Kode

64

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

1.5

Menurut pandangan anda, peluang (opportunity) utama apa saja yang dapat digunakan untuk meningkatkan skala program aksi gizi? (Tuliskan berdasarkan urutan dari yang paling utama)

1.

Kode

2.

Kode

3.

Kode

Bagian 2. Sistem Koordinasi Gizi 2.1

2.2

Menurut pandangan anda, apa kekuatan/di dalam yang ada saat ini dalam hal koordinasi program gizi di Indonesia? (Tuliskan berdasarkan urutan dari yang paling utama)

1.

Kode

2.

Kode

3.

Kode

4.

Kode

5.

Kode

Menurut pandangan anda, aspek-aspek utama apakah yang perlu ditingkatkan dalam hal koordinasi program gizi atau terkait gizi lainnya? (Tuliskan berdasarkan urutan dari yang paling utama)

1.

Kode

2.

Kode

3.

Kode

4.

Kode

65

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

5.

Kode

Bagian 3. Kebijakan dan kegiatan Gizi di Instansi 3.1

Program/kegiatan spesifik apa, bila ada, yang dilakukan oleh instansi anda berkenaan dengan program yang terkati dengan gizi? Kode

3.2

Jelaskan bentuk kegiatan / dukungan yang diberikan oleh instansi anda di berbagai tingkatan sebagai berikut: Tingkat Propinsi

Tindakan dan dukungan

Kode

Kabupaten/ Kota Komunitas

3.3

Di instansi anda, apakah ada kebijakan yang mendukung program/kegiatan ini? 1 Ya

0 Tidak

99 Tidak tahu

Kode

Bila ya, jelaskan.

3.4

Menurut anda, strategi dan program gizi apa yang sekiranya menjadi prioritas untuk ditingkatkan skala programnya? Kode

3.5

Bagaimana/seberapa jauh instansi anda memberikan dukungan pada program gizi atau terkait gizi ? Kode

66

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Bagian 4. Anggaran dan pendanaan 4.1

4.2

4.3

Berapakah kira-kira anggaran tahunan di instansi anda yang dialokasikan untuk programgizi atau yang terkait dengan gizi?

Tahun ini:

Kode

Tahun lalu:

Kode

Menurut anda, kira-kira berapa persen dari seluruh total anggaran yang dialokasikan untuk program gizi (atau terkait gizi) di instansi anda? Tahun ini:

Kode

Tahun lalu:

Kode

Berasal dari mana saja sumber dana untuk program gizi (atau terkait gizi) di instansi anda? 1

Kode %

2

Kode %

3

Kode %

4

Kode %

5

Kode %

4.4

Menurut pendapat anda apakah terdapat cukup dana untuk menangani masalah gizi di propinsi anda Jelaskan alasannya. Kode

4.5

Bila tidak, menurut anda apa yang perlu dilakukan untuk meningkatkan anggaran/pendanaan tersebut? Kode

67

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Bagian 5. Sumber daya manusia untuk Gizi 5.1

Menurut anda apakah terdapat cukup staf yang bertanggung jawab untuk program gizi di instansi anda? Kode

5.2

Bila tidak, apa yang menurut anda sebaiknya dilakukan untuk meningkatkan jumlah di bidang gizi di Indonesia? Kode

5.3

Apakah instansi anda memiliki staf yang ditempatkan khusus atau bertanggung-jawab untuk melaksanakan kegiatan program gizi? 1 Ya

5.3.1

99 Tidak tahu

Kode

Bila ya, sebutkan berapa orang: dan perkiraan jumlah staf paruh waktu atau purna waktu di berbagai tingkatan yang berbeda? Tingkat Propinsi

5.3.2

0 Tidak

Purna waktu

Kode

Paruh waktu

Kode

Berapa dari mereka yang memiliki gelar minimum D3 Gizi? Kode

5.4

Menurut anda apakah terdapat cukup petugas yang bertanggung jawab untuk program gizi di seluruh propinsi anda? Kode

5.5

Bila tidak, apa yang menurut anda sebaiknya dilakukan untuk meningkatkan jumlah petugas gizi di propinsi anda? Kode

68

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

5.4

Apa saja pelatihan jangka pendek, jangka panjang dan program magang yang telah diikuti oleh staf anda dalam dua tahun terakhir terkait dengan gizi? Tingkat Internasional

Jumlah staf yang dilatih

Topik Pelatihan

Kode

Nasional propinsi

5.5

Bila tidak ada staf yang telah mengikuti pelatihan terkait dengan program gizi dalam dua tahun terakhir, mengapa? Kode

Bagian 6. 6.1

Sistem Informasi Gizi

Jenis data gizi apa saja yang anda gunakan secara rutin? Kode

6.2

Bagaimana dan siapa yang mengambil dan mengumpulkan data-data tersebut di atas? Gali lebih dalam: survei, monitoring/laporan rutin, evaluasi/penelitian, dll. Kode

6.3

Bagaimana instansi anda menggunakan data-data tersebut dan bagaimana anda menyebarluaskan hasil tersebut ke tingkat pusat, propinsi dan kabupaten/kota dan pemangku kepentingan yang lain di bidang gizi? Kode

69

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Bagian 7. Gizi dan krisis harga pangan 7.1

Sebutkan tiga kelompok (misalnya pedesaan vs perkotaan; konsumen vs produsen; wilayah propinsi, dll.) yang anda anggap paling terkena imbas kenaikan harga pangan di propinsi anda? Kode

1. 2. 3.

7.2

Tindakan-tindakan apakah yang diambil oleh pemerintah propinsi untuk meringankan imbas dari krisis itu? Kode

Bagian 8. 8.1

Gizi dalam keadaan darurat (bencana alam)

Kelompok manakah yang menurut anda paling parah terkena imbas bencana alam? 1.

Kode

2. 3.

8.2

Tindakan-tindakan apa yang diambil oleh pemerintah propinsi anda untuk meringankan efek/ imbas dari keadaan darurat untuk kelompok tsb? (berhubungan dgn pangan & gizi) Kode

Bagian 9. Advokasi dan Peningkatan Skala 9.1

Dari pengalaman anda, informasi atau pesan khusus apakah yang dapat memudahkan kerjasama di kalangan mitra gizi (Stakeholders) di propinsi anda? Kode

70

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

9.2

Apakah anda telah menggunakan indikator pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (MDG) dalam program gizi ini? 1 Ya Bila ya, jelaskan:

9.3

9.6

Kode

0 Tidak

99 Tidak tahu

Kode

99 Tidak tahu

Kode

Apakah anda telah menggunakan perangkat advokasi? 1 Ya Bila ya, jelaskan:

9.5

99 Tidak tahu

Apakah anda telah mengacu pada UU 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam upaya ini? 1 Ya Bila ya, jelaskan:

9.4

0 Tidak

0 Tidak

Apa intervensi atau dukungan yang dapat dilakukan oleh instansi/ Departemen/ unit untuk peningkatan cakupan program gizi? 1.

Kode

2.

Kode

3.

Kode

Bila instansi/Departemen/ unit anda hanya dapat melaksanakan satu hal dalam meningkatkan skala untuk peningkatan cakupan program gizi—apakah itu? Kode

71

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Bagian 10. Pertanyaan penutup 10.1 Menurut pendapat anda, apa tiga prioritas utama kebutuhan propinsi dalam rangka mempercepat penurunan gizi kurang pada ibu & baduta (anak di bawah dua tahun)? Jangan mengarahkan (Prompt) ke opsi berikut; buat peringkat sebagaimana disebutkan oleh responden atau pihak yang diwawancara. Peringkat 2, 3)

(1, Kode

Sumber daya manusia (lebih banyak staf, gaji yang lebih baik, pergantian staf yang sering) Pelatihan (lebih banyak pelatihan, modul pelatihan atau trainer yang lebih baik) Persediaan barang (obat dan sistem logistik yang lebih baik) Infrastruktur (ruangan yang lebih luas, peralatan/fasilitas yang lebih baik)

Sumber daya keuangan (anggaran yang lebih besar, pendanaan eksternal/dari luar yang lebih banyak) Lain-lain

10.2 Apakah ada hal lain yang ingin anda sampaikan agar kami memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai situasi gizi di propinsi anda? Kode

72

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Form 3. Staf Manajemen di tingkat Kabupaten/ Kota

ID:___

Wawancara semi terstruktur

Tanggal kunjungan Tgl

Bln

Thn

Dilengkapi oleh: Kode

Propinsi: Kode

Kabupaten: Kode

Dinas di kabupaten: 1 Dinas Kesehatan 2 Dinas Pertanian 3 Badan Ketahanan Pangan 4 Bappeda 5 6 7 8 9 77 Lain-lain:

Kode

Responden: 1 Kepala 2 Program officer bagian gizi 3 Program officer Kesehatan Ibu dan Anak 4 Pekerja kesehatan masyarakat 5 Relawan/ pendamping non profesi 77 Lain-lain: _____________________________

Kode

73

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Bagian 1 1.1

Kegiatan dan Program Gizi

Apa saja kegiatan utama yang paling penting di bidang gizi yang tercakup dalam rencana aksi kabupaten saat ini? Kode

1.2

Apa saja kegiatan gizi berbasis masyarakat yang dipromosikan untuk dilaksanakan di kabupaten anda? Bacakan satu persatu di bawah ini dan tanyakan kegiatan apa saja yang dilakukan 1.2.1 Gizi ibu:

Kode

1.2.2 Pemberian ASI:

Kode

1.2.3 Pemberian MP ASI:

Kode

1.2.4 Pencegahan kekurangan gizi mikro:

Kode

1.2.5 Penurunan prevalensi anak pendek (stunting)

Kode

1.2.5 Identifikasi dan manajemen gizi buruk dan gizi kurang:

1.2.6 Pencegahan dan Penanggulangan Diare pada anak:

1.2.7 Pemberian ASI oleh ibu yang menderita HIV/AIDS:

1.2.8 Pola makan dan kegiatan fisik (olah raga) untuk mencegah kelebihan berat badan:

74

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

1.2.9 Pencegahann kecacingan pada anak dan ibu hamil (PHBS, dan program pencegahan kecacingan

1.2.11 Pencegahan malaria pada anak-anak dan ibu hamil (mis, intermittent treatment, distribusi kelambu)

1.2.12 Pencegahan penyakit menular untuk balita dan ibu (WUS?) (mis. Imunisasi)

1.2.13 Keluarga Berencana

1.2.14 Lain-lain

1.3

Sebutkan tiga kelompok (pedesaan vs perkotaan; konsumen vs produsen; wilayah tertentu, dll.) yang anda anggap paling terkena imbas kenaikan harga pangan di kabupaten anda? 1.

Kode

2. 3.

1.4

Tindakan-tindakan apakah yang diambil oleh pemerintah pusat, propinsi/ kabupaten untuk meringankan imbas dari krisis di kabupaten anda? Kode

1.5

Dengan cara apa kabupaten memberlakukan Kode Internasional Pemasaran PASI (Produk Pengganti ASI) atau International Code of Marketing of Breast-milk Substitutes? Kode

1.6

Berapa jumlah fasilitas kesehatan di kabupaten anda yang mendapatkan sertifikat Rumah Sakit Sayang Bayi atau Baby-Friendly Hospital Initiative (BFHI)? Kode

1.7

Berapa jumlah fasilitas kesehatan yang dalam proses -menjadi Rumah Sakit Sayang Bayi?

75

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Kode

1.8

Menurut anda, apakah pesan-pesan gizi yang dikomunikasikan di tingkat masyarakat? Bila Ya, bagaimana pesanpesan itu dikomunikasikan?

Kode

1.8.1 Penurunan Anemia Ibu

1 Ya

0 Tdk

1.8.2 Pemberian ASI eksklusif

1 Ya

0 Tdk

Pemberian MP ASI yang optimal Suplementasi Zink untuk penanganan diare Suplementasi Vitamin A untuk balita Suplementasi Vitamin A untuk ibu nifas Konsumsi garam beryodium Penurunan angka anak pendek Penanganan gizi buruk dan gizi kurang Pencegahan dan perawatan diare pada anak Pemberian ASI dalam konteks HIV/AIDS Pola makan sehat dan kegiatan fisik/olah raga untuk mencegah kelebihan berat badan

1 Ya

0 Tdk

1 Ya

0 Tdk

1 Ya

0 Tdk

1 Ya

0 Tidak

1 Ya

0 Tdk

1 Ya

0 Tdk

1 Ya

0 Tdk

1 Ya

0 Tdk

1 Ya

0 Tdk

1 Ya

0 Tdk

1.8.1 Lain-lain: _____________ 3

1 Ya

0 Tdk

1.8.3 1.8.4 1.8.5 1.8.6 1.8.7 1.8.8 1.8.9 1.8.1 0 1.8.1 1 1.8.1 2

Bagian 2. Tanggung Jawab dan Koordinasi 2.1

Dalam tim kabupaten/ Kota, siapa yang memiliki tanggung jawab utama untuk program gizi? Kode 1 Kepala Dinas

1 Ya

0 Tdk

99 Tdk Tahu

1 Ya 1 Ya

0 Tdk 0 Tdk

99 Tdk Tahu 99 Tdk Tahu

2 Kepala bidang ____________________ 3 Kepala Seksi _____________________ 77 Lain-lain:______________________________

76

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

77 Lain-lain:______________________________

2.2

1 Ya

0 Tdk

99 Tdk Tahu

Pelatihan apakah yang telah diikuti oleh penanggung jawab utama (di atas) yang berkaitan dengan gizi ? Kode

2.3

Bila ada, tanggung jawab terkait non-gizi apakah yang dimiliki oleh orang tersebut? Kode

2.3

Dalam kalangan pemerintah, apakah ada pihak lain yang mengurus masalah gizi di kabupaten anda? Siapa? Sebutkan kegiatan gizi yang telah mereka laksanakan Kode

2.4

Bagaimana kegiatan gizi dikoordinasikan di kabupaten? Bagaimana susunan kelembagaan yang ada dan seberapa sering pertemuan/ rapat diselenggarakan? Kode

2.5

Siapa yang menyusun dan mengembangkan rencana dan strategi gizi di kabupaten, dan apakah ini sudah disusun? Kode

Bagian 3. Anggaran dan Pendanaan 3.1

Dapatkan anda memperkirakan berapa anggaran tahunan di instansi anda yang dialokasikan untuk program gizi ini? Tahun ini:

Kode

77

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Tahun lalu:

3.2

Kode

Menurut perkiraan, jumlah yang dianggarkan ini berapa persen dari keseluruhan total anggaran? Tahun ini:

%

Tahun lalu:

%

Kode Kode

3.3

Sumber pendanaan kegiatan gizi apa dan dari mana saja yang diimplementasikan oleh instansi anda untuk kegiatan gizi? 1

Kode %

2

Kode %

3

Kode %

4

Kode %

5

Kode %

3.4

Menurut pendapat anda, apakah terdapat cukup pendanaan untuk menangani keadaan gizi di kabupaten anda? Jelaskan alasan anda. Kode

3.5

Bila tidak, apakah anda mempunyai rencana atau gagasan untuk meningkatkan pendanaan? Kode

Bagian 4. Sumber daya manusia untuk Gizi 4.1

Menurut anda apakah terdapat cukup staf yang bertanggung jawab untuk program gizi di instansi anda? Kode

78

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

4.2

Bila tidak, apa yang menurut anda sebaiknya dilakukan untuk meningkatkan jumlah di bidang gizi di Indonesia? Kode

4.3

Apakah instansi anda memiliki staf yang ditempatkan khusus atau bertanggung-jawab untuk melaksanakan kegiatan program gizi? 1 Ya

4.3.1

99 Tidak tahu

Kode

Bila ya, sebutkan berapa orang: dan perkiraan jumlah staf paruh waktu atau purna waktu di berbagai tingkatan yang berbeda? Tingkat Propinsi

4.3.2

0 Tidak

Purna waktu

Kode

Paruh waktu

Kode

Berapa dari mereka yang memiliki gelar minimum D3 Gizi? Kode

4.4

Menurut anda apakah terdapat cukup petugas yang bertanggung jawab untuk program gizi di seluruh propinsi anda? Kode

4.5

Bila tidak, apa yang menurut anda sebaiknya dilakukan untuk meningkatkan jumlah petugas gizi di propinsi anda? Kode

4.6

Apa saja pelatihan jangka pendek, jangka panjang dan program magang yang telah diikuti oleh staf anda dalam dua tahun terakhir terkait dengan gizi? Tingkat Internasional

Jumlah staf yang dilatih

Topik Pelatihan

Kode

Nasional propinsi

4.7

Bila tidak ada staf yang telah mengikuti pelatihan terkait dengan program gizi dalam dua tahun terakhir, mengapa? Kode

79

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Bagian 5. Pelatihan 5.1

Pelatihan mengenai gizi apa saja yang telah ada / dilaksanakan di kabupaten anda dalam dua tahun terakhir? A. Pelatihan (Judul, organisasi penyelenggara)

5.2

B. Partisipan (jumlah peserta dan asal instansi)

Kode

Bagaimana pelatihan dipantau dan ditindaklanjuti? Gali juga informasi mengenai keberadaan pelatihan penyegaran dan pelatihan di lokasi. Uraikan:

Kode

Bagian 6. Sistem Manajemen Informasi 6.1

Data/laporan gizi paling penting apakah yang secara rutin dikumpulkan di tingkat kabupaten/kota? Kode

6.2

Bagaimana anda menggunakan laporan ini? Kode

80

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

6.3

Apakah anda pernah menerima umpan balik mengenai laporan gizi yang anda kirimkan ke tingkat propinsi atau nasional ? 1 Ya

6.4

0 Tidak

99 Tidak Tahu

Kode

Bila ya, apakah umpan balik tersebut berguna? Dan bagaimana anda menggunakan umpan balik ini? Kode

Bagian 7. Sistem Manajemen, Supervisi dan dukungan 7.1

Seberapa sering orang yang bertanggung jawab atas gizi mengunjungi fasilitas kesehatan dan/atau masyarakat untuk memberikan dukungan program gizi? 1 Setiap hari

7.2

7.3

2 Setiap minggu

3 Setiap bulan

4 Tidak terlalu sering

Kode

Dalam kaitannya dengan kegiatan gizi, bagaimana caranya pemerintah daerah berkomunikasi 7.2.1 dengan Mitra (pemerintah dan non pemerintah) di kabupaten:

Kode

7.2.2 dengan kantor di tingkat propinsi dan di pusat

Kode

Dukungan apa yang telah diterima oleh kabupaten anda selama dua tahun terakhir agar tim gizi mampu melaksanakan pembuatan program, perencanaan gizi dan implementasinya? Untuk pelatihan, dukungan anggaran, penelitian dan kunjungan lapangan, gali lebih dalam. Kode

81

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Bagian 8. Pertanyaan Penutup 8.1

Menurut pendapat anda, apa tiga prioritas utama kebutuhan kabupaten dalam rangka mempercepat penurunan kekurangan gizi? Jangan mengarahkan ke opsi berikut, buat peringkat sebagaimana disebutkan oleh responden atau pihak yang diwawancara. Peringkat 2, 3)

(1, Kode

Sumber daya manusia (lebih banyak staf, gaji yang lebih baik, minimalnya pergantian staf) Pelatihan (lebih banyak pelatihan, modul pelatihan atau trainer yang lebih baik) Persediaan barang (obat dan sistem logistik yang lebih baik) Infrastruktur (ruangan yang lebih luas, peralatan yang lebih baik)

Sumber daya keuangan (anggaran yang lebih besar, pendanaan eksternal yang lebih banyak) Lain-lain

8.2

Apakah ada hal lain yang ingin anda sampaikan agar kami memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai situasi gizi di kabupaten anda? Kode

82

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

ID:___

Form 4. Manajer Fasilitas Kesehatan dan Pengelola dan Penanggung jawab Program Gizi Wawancara Kelompok semi terstruktur

Tanggal kunjungan Tgl

Bln

Thn

Dilengkapi oleh: Kode

Propinsi: Kode

Kabupaten: Kode

Fasilitas Kesehatan: Kode 1 Pusat Kesehatan Masyarakat 77 Lain-lain: Unit: 1 Unit Rawat Jalan 2 Unit bersalin/ kebidanan 3 Bangsal Anak 4 Rawat Inap 5 Management 77 Lain-lain: Responden : 1) Manajer Fasilitas 2) Penanggung jawab program gizi

1 Ada Hadir: 1 Kepala Puskesmas 2 Dokter/Dokter Gigi 3 Perawat 4 Perawat pembantu 5 Bidan 6 Ahli gizi/ Ahli Diet 7 Petugas Gizi/ Penasihat /Penyuluh

Kode

0 Tidak ada 0 Tidak ada

Kode Kode

83

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Gizi/Pembantu Ahli Gizi 8 Petugas kesehatan masyarakat (Jurim/Sanitarian) 9 Relawan/ Honorer 10 Petugas administrasi/ karyawan 77 Lainlain:________________________

Bagian 1 Kegiatan Gizi dan Pengintegrasian ke Program Lain 1.1

Kegiatan utama terkait gizi apa saja yang dilaksanakan di puskesmas ini?

Kode

1.2

Apakah puskesmas anda melaksanakan kegiatan gizi berikut ini di masyarakat? (Bacakan/tanyakan sesuai list di bawah ini) Kode

1.2.1. Suplementasi tablet besi folat bagi ibu hamil 1.2.2. Suplementasi multivitamin dan mineral bagi ibu hamil 1.2.3. Suplementasi tablet kalsium bagi Ibu hamil

1 Ya

0 Tdk

99 Tdk Tahu

1 Ya

0 Tdk

99 Tdk Tahu

1 Ya

0 Tdk

99 Tdk Tahu

1.2.4. Promosi Pemberian ASI

1 Ya

0 Tdk

99 Tdk Tahu

1.2.5. Promosi pemberian makanan pendamping ASI lokal 1.2.6. Suplementasi kapsul Vitamin A bagi balita 1.2.7. Suplementasi Vitamin A bagi ibu nifas 1.2.8. Suplementasi tabur gizi (Vitalita/Mix Met/Taburia) untuk balita 1.2.9. Distribusi makanan tambahan (mis. bubur/biskuit berfortifikasi, dll) untuk balita 1.2.10. Distribusi makanan tambahan (mis Mie berfortifikasi) untuk ibu hamil 1.2.11. Suplementasi tablet zink untuk balita (bagian dari penanganan diare)

1 Ya

0 Tdk

99 Tdk Tahu

1 Ya

0 Tdk

99 Tdk Tahu

1 Ya

0 Tdk

99 Tdk Tahu

1 Ya

0 Tdk

99 Tdk Tahu

1 Ya

0 Tdk

99 Tdk Tahu

1 Ya

0 Tdk

99 Tdk Tahu

1 Ya

0 Tdk

99 Tdk Tahu

1.2.12. Promosi garam beryodium

1 Ya

0 Tdk

99 Tdk Tahu

1.2.13. Promosi dan pemantauan tumbuh kembang anak

1 Ya

0 Tdk

99 Tdk Tahu

84

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

1.3

1.2.14. Penanganan gizi kurang pada balita

1 Ya

0 Tdk

99 Tdk Tahu

1.2.15. Penanganan gizi buruk pada balita

1 Ya

0 Tdk

99 Tdk Tahu

1.2.16. Penyuluhan/promosi pemberian makan bagi anak sakit

1 Ya

0 Tdk

99 Tdk Tahu

1.2.17. Promosi cuci tangan dengan sabun

1 Ya

0 Tdk

99 Tdk Tahu

1.2.18. Promosi Pemberian tablet cacing (untuk anak dan ibu hamil)

1 Ya

0 Tdk

99 Tdk Tahu

1.2.19. Promosi kelambu berobat

1 Ya

0 Tdk

99 Tdk Tahu

1.2.20. Pengobatan malaria pada saat kehamilan 1.2.21. Pemberian ASI dalam konteks` HIV/AIDS 1.2.22.Pola hidup sehat dan gizi seimbang untuk mencegah kelebihan berat badan

1 Ya

0 Tdk

99 Tdk Tahu

1 Ya

0 Tdk

99 Tdk Tahu

1 Ya

0 Tdk

99 Tdk Tahu

1.2.23 Keluarga Berencana

1 Ya

0 Tdk

99 Tdk Tahu

1.2.24. Lain-lain: __________________________

1 Ya

0 Tdk

99 Tdk Tahu

Bagaimana gizi diintegrasikan ke program atau kegiatan pelayanan kesehatan dasar? Untuk menggali lebih dalam: Bagaimana gizi diintegrasikan ke dalam MTBS (Management Terpadu Balita Sakit), Kesehatan ibu, kesehatan remaja, HIV/AIDS dll.

Kode

1.4

Jelaskan bagaimana penyuluhan dan konseling gizi dijalankan di puskesmas ini. Untuk menggali lebih dalam: Siapa yang bertanggung jawab, kapan dan dimana kegiatan itu dilangsungkan. materi yang diberikan

Kode

1.5

Bagaimana pendapat bapak/ibu terhadap program dan pelayanan gizi di puskesmas ini?

Kode

1.6

Siapa yang biasanya memberikan pelayanan gizi di fasilitas kesehatan ini? (Jangan dibacakan list di bawah ini)

Kode 85

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

1. Kepala Puskesmas

1 Ya

0 Tdk

99 Tidak Tahu

2. Dokter/Dokter Gizi

1 Ya

0 Tdk

99 Tidak Tahu

3. Perawat

1 Ya

0 Tdk

99 Tidak Tahu

4. Perawat pembantu

1 Ya

0 Tdk

99 Tidak Tahu

5. Bidan

1 Ya

0 Tdk

99 Tidak Tahu

6. Ahli gizi/ ahli diet

1 Ya

0 Tdk

99 Tidak Tahu

7. Penyuluh / Petugas Gizi /Pembantu Ahli Gizi

1 Ya

0 Tdk

99 Tidak Tahu

8. Petugas program lain

1 Ya

0 Tdk

99 Tidak Tahu

9. Petugas kesehatan masyarakat

1 Ya

0 Tdk

99 Tidak Tahu

10. Relawan/ Honorer

1 Ya

0 Tdk

99 Tidak Tahu

11. Petugas administrasi

1 Ya

0 Tdk

99 Tidak Tahu

77. Lainlain:________________________

1 Ya

0 Tdk

99 Tidak Tahu

86

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Bagian 2. Pelatihan, Bahan dan Sumber daya 2.1

Di puskesmas ini, siapa saja yang telah mendapatkan menerima pelatihan terkait gizi dua tahun terakhir? (Jangan Bacakan List di bawah ini)

Kod e

2.2

1. Kepala Puskesmas

1 Ya

0 Tdk

99 Tidak Tahu

2. Dokter/Dokter Gigi

1 Ya

0 Tdk

99 Tidak Tahu

3. Perawat

1 Ya

0 Tdk

99 Tidak Tahu

4. Perawat pembantu

1 Ya

0 Tdk

99 Tidak Tahu

5. Bidan

1 Ya

0 Tdk

99 Tidak Tahu

6. Ahli gizi/ ahli diet

1 Ya

0 Tdk

99 Tidak Tahu

7. Penyuluh / Petugas Gizi

1 Ya

0 Tdk

99 Tidak Tahu

8. Petugas program lain

1 Ya

0 Tdk

99 Tidak Tahu

9. Pekerja kesehatan masyarakat

1 Ya

0 Tdk

99 Tidak Tahu

10. Relawan/ penyuluh non profesi

1 Ya

0 Tdk

99 Tidak Tahu

11. Petugas administrasi

1 Ya

0 Tdk

99 Tidak Tahu

77. Lainlain:________________________

1 Ya

0 Tdk

99 Tidak Tahu

Berapa banyak dari staf di atas yang telah menerima pelatihan gizi itu masih bekerja di sini?

1 Semua

2.3

2 Sebagian besar

3 Beberapa

4 Tdk ada

77 Lain-lain

99

Kode

Tdk tahu

Untuk masing-masing bidang berikut, apakah ada dari staf puskesman yang telah menerima pelatihan dan /atau memberikan pelatihan ke pihak lainnya?

Kode 2.3.1 2.3.2 2.3.3 2.3.4 2.3.5

Gizi ibu

1 Menerima

2 Memberi

3 Keduanya

Konseling Pemberian ASI Pelatihan (dukungan dan manajemen Pemberian ASI) Konseling pemberian MP-ASI Suplementasi Zink untuk penanganan diare

1 Menerima

2 Memberi

3 Keduanya

1 Menerima

2 Memberi

3 Keduanya

1 Menerima

2 Memberi

3 Keduanya

1 Menerima

2 Memberi

3 Keduanya

0 Tidak sama sekali 0 Tidak sama sekali 0 Tidak sama sekali 0 Tidak sama sekali 0 Tidak sama sekali

87

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

0 Tidak sama sekali 0 Tidak sama sekali

Suplementasi Kapsul Vitamin A bagi balita Suplementasi Kapsul 2.3.7 Vitamin A bagi bufas Pemberian tabur gizi (vitalita/Mix 2.3.8 Me/Taburia) untuk balita Pemberian tablet multi2.3.9 vitamin dan mineral untuk bumil dan bufas Pemantauan dan 2.3.10 promosi tumbuh kembang

1 Menerima

2 Memberi

3 Keduanya

1 Menerima

2 Memberi

3 Keduanya

1 Menerima

2 Memberi

3 Keduanya

0 Tidak sama sekali

1 Menerima

2 Memberi

3 Keduanya

0 Tidak sama sekali

1 Menerima

2 Memberi

3 Keduanya

0 Tidak sama sekali

2.3.11 Penanganan gizi kurang

1 Menerima

2 Memberi

3 Keduanya

2.3.12 Penanganan Gizi buruk

1 Menerima

2 Memberi

3 Keduanya

Pencegahan dan 2.3.13 perawatan untuk anak diare

1 Menerima

2 Memberi

3 Keduanya

0 Tidak sama sekali

1 Menerima

2 Memberi

3 Keduanya

0 Tidak sama sekali

1 Menerima

2 Memberi

3 Keduanya

0 Tidak sama sekali

1 Menerima

2 Memberi

3 Keduanya

0 Tidak sama sekali

1 Menerima

2 Memberi

3 Keduanya

0 Tidak sama sekali

1 Menerima

2 Memberi

3 Keduanya

0 Tidak sama sekali

2.3.6

Pemberian ASI dalam

2.3.14 konteks Konseling HIV/ AIDS

Kegiatan fisik dan makan sehat untuk 2.3.15 mencegah kelebihan berat badan. Pencegahan 2.3.16 Kecacingan Pencegahan Penyakit Menular lainnya. Sebutkan___________ 2.3.17 __ ___________________ _

0 Tidak sama sekali 0 Tidak sama sekali

2.3.18 Keluarga Berencana Pencegahan Malaria pada ibu hamil Lain-lain: 2.3.20 __________________ 2.3.19

2.4

Apakah ada pemantauan atau tindak lanjut dari kegiatan pelatihan gizi yang dilakukan dalam dua tahun terakhir di puskesmas ini.

1 Ya

0 Tdk

Kode

88

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Bila Ya, jelaskan:

Bagian 3. 3.1

Dukungan Masyarakat

Bagaimana puskesmas bekerjasama/melibatkan dengan masyarakat untuk meningkatkan: (Dibacakan Satu Persatu) Pertanyaan untuk menggali: peran kader, suami, dukun, tokoh agama/ masyarakat dll.

3.1.1 Gizi Ibu

Kode

3.1.2 Pemberian ASI:

Kode

3.1.3 Pemberian Makanan Pendamping ASI lokal

Kode

3.1.4 Pencegahan Kekurangan Gizi Mikro (misalnya Vitamin A untuk balita dan Ibu Nifas, supplementasi multivitamin & mineral untuk Ibu Hamil, tabur gizi balita, garam beryodium):

Kode

3.1.5 Identifikasi dan penanganan gizi kurang

Kode

3.1.6 Pengidentifikasian dan penanganan gizi buruk

Kode

3.1.7 Pencegahan dan perawatan balita diare

Kode

89

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

3.1.8 Pemberian ASI (Menyusui) dalam konteks HIV/AIDS

Kode

3.1.9 Pola hidup sehat (Kegiatan fisik dan gizi seimbang) untuk mencegah kelebihan berat badan

Kode

3.1.10 Pencegahan Kecacingan

Kode

3.1.11 Pencegahan Malaria (Pengobatan, dan distribusi kelambu)

3.1.12 Pemberian Imunisasi

3.1.13 Keluarga Berencana

Lain-Lain, Sebutkan:

3.2

Selain posyandu, apakah ada kegiatan sosmob (mobilisasi masyarakat) terkait gizi yang sudah diprakarsai oleh puskesmas dalam dua tahun terakhir?

Kode

3.3

Menurut pendapat bapak/ibu, bagaimana agar masyarakat dapat mendukung pemberian ASI (eksklusif dilanjutkan hingga dua tahun dengan makanan pendamping) secara lebih baik? Pertanyaan untuk menggali: peran relawan, suami, Bidan, pemuka masyarakat, tokoh agama dll.

Kode

90

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Bagian 4. 4.1

Dukungan

Seberapa sering pertemuan/rapat formal diadakan dengan staf gizi kabupaten?

1 Setiap hari 4.2

3 Setiap bulan

4 Jarang

5 Tidak Pernah

Kode

Seberapa sering pertemuan/rapat diadakan dengan staf gizi propinsi setahun terakhir?

1 Setiap hari

4.3

2 Setiap minggu

2 Setiap minggu

3 Setiap bulan

4 Jarang

5 Tidak Pernah

Kode

Apakah anda merasa bahwa anda menerima dukungan yang memadai dari staf gizi di tingkat kabupaten dalam setahun terakhir?

1 Ya 4.3a

0 Tdk

Kode

Bila Ya, jelaskan:

Kode

4.3b

Bila tidak, berikan alasan dan apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan / memperbaiki keadaan ini. Berikan contoh spesifiknya.

Kode

Bagian 5. 5.1

Pengelolaan program Gizi

Siapa yang mengelola program gizi di puskesmas ini?

Kode 1 Kepala Puskesmas 2 Dokter/Dokter Gigi 3 Perawat 4 Perawat pembantu 5 Bidan 6 Ahli gizi/ Ahli Diet 7 Petugas Gizi/ Penasihat /Penyuluh Gizi/Pembantu Ahli Gizi 91

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

8 Petugas kesehatan masyarakat (Jurim/Sanitarian) 9 Relawan/ Honorer 10 Petugas administrasi/ karyawan 77. Lain-lain:________________________ 5.2

Sebutkan porsi waktu yang dihabiskan untuk memberikan konseling/penyuluhan gizi dalam sebulan terakhir?

Proporsi:

5.4

Kode

Apakah Tenaga Pelaksana Gizi di Puskesmas ini memiliki latar belakang pendidikan formal gizi?

1 Ya 5.5

99 Tidak tahu

%

0 Tdk

Kode

Apakah Tenaga Pengelola Gizi di Puskesmas ini pernah menerima pelatihan mengenai gizi dalam dua tahun terakhir?

1 Ya

0 Tdk

Kode

5.4 Bila ya, pelatihan gizi apakah yang dia ikuti?

Kode

Bagian 6. 6.1

Rujukan dan konseling Gizi

Siapa yang melaksanakan konseling/penyuluhan di fasilitas kesehatan ini?

1 Staf terlatih dalam gizi

2 Staf tidak secara resmi terlatih dalam gizi Bila jawabannya 1 atau 2, sebutkan:

6.2

99 Tidak tahu

Kode

Apakah ada ruang yang dikhususkan untuk konseling gizi ?

1

0

Kode 92

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Ya 6.3

Apakah ada hari khusus di tiap minggu atau bulan dimana pelayanan konseling gizi dapat dilakukan dengan memesan waktu?

1 Ya 6.4

Tdk

0 Tdk

Kode

Berapa jumlah rata-rata pasien per bulan yang mendapatkan konseling gizi?

Kode

6.5

Kasus apa yang paling umum dirujuk?

Kode

93

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Bagian 7. 7.1

Pertanyaan Penutup

Menurut pendapat anda, apa tiga prioritas utama kebutuhan puskesmas dalam rangka mempercepat penurunan kekurangan gizi? Jangan mengarahkan ke opsi berikut, buat peringkat sebagaimana disebutkan oleh responden atau pihak yang diwawancara. Peringkat 2, 3)

(1, Kode

Sumber daya manusia (lebih banyak staf, gaji yang lebih baik, minimnya rotasi staf) Pelatihan (lebih banyak pelatihan, modul pelatihan atau trainer yang lebih baik) Persediaan barang (obat dan sistem supply yang lebih baik) Infrastruktur (ruangan yang lebih luas, peralatan yang lebih baik)

Sumber daya keuangan (anggaran yang lebih besar, pendanaan yang lebih banyak) Lain-lain

7.2

Apakah ada hal lain yang menurut pendapat anda ingin anda sampaikan ke kami agar kami memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai situasi gizi di puskesmas anda? Kode

94

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Formulir 5 Daftar Tilik Puskesmas

ID:___

Tanggal kunjungan Tgl

Bln

Thn

Diisi oleh: Kode

Propinsi: Kode

Kabupaten/Kota: Kode

Fasilitas Kesehatan: Kode 1 Puskesmas 77 Lain-lain: Unit: 1 Bagian Rawat Jalan 2 Bagian Rawat Inap 3 Unit bersalin/ kebidanan 4 Bangsal Anak 77 Lain-lain:

Responden: 1 Kepala Puskesmas 2 Dokter/Dokter Gigi 3 Perawat 4 Perawat pembantu 5 Bidan 6 Ahli gizi/ Ahli Diet 7 Petugas Gizi/ Penasihat /Penyuluh Gizi/Pembantu Ahli Gizi 8 Petugas kesehatan masyarakat (Jurim/Sanitarian) 9 Relawan/ Honorer 10 Petugas administrasi/ karyawan 77 Lain-lain:________________________

Kode

Kode

95

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Bagian 1. Ketersediaan Bahan Program Gizi Minta petugas untuk menunjukkan Buku/Pedoman Bahan Program Gizi Bahan / Buku

Ketersediaan

Pedoman/Protap Suplementasi Tablet Besi Folat bagi Ibu Pedoman/Protap Suplementasi Multivitamin dan Mineral bagi Ibu Hamil Pedoman/Protap Suplementasi Kalsium bagi Ibu

1 Ya

0 Tdk

1 Ya

0 Tdk

1 Ya

0 Tdk

1.4

Pedoman/Protap Konseling Menyusui/ASI

1 Ya

0 Tdk

1.5

10 langkah Keberhasilan Menyusui

1 Ya

0 Tdk

1.6

Pedoman/Protap Penyuluhan tentang MP ASI

1 Ya

0 Tdk

1.7

Pedoman/Protap Suplementasi vitamin A bagi Balita

1 Ya

0 Tdk

1 Ya

0 Tdk

1 Ya

0 Tdk

1.1

1.2

1.3

Pedoman/Protap Suplementasi vitamin A bagi Bufas Pedoman/Protap Suplementasi 1.9 Zink bagi anak (Reguler atau Selama Diare) Pedoman/Protap Pemantauan 1.10 dan Promosi Tumbuh Kembang Anak

Keterangan

Kode

1.8

1.11

Pedoman/Protap Penanganan Gizi Kurang

1 Ya

0 Tdk

1.12

Pedoman/Protap Penanganan Gizi Buruk

1 Ya

0 Tdk

1.13

Register/Laporan Penanganan Gizi Buruk

1 Ya

0 Tdk

1.14

Pedoman/Protap Pemberikan Makan Anak Sakit

1 Ya

0 Tdk

1 Ya

0 Tdk

Manual MTBS Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Pedoman/Protap Pemberian 1.16 Makan Bayi dalam Konteks HIV/AIDS Pedoman Umum Gizi 1.17 Seimbang (PUGS) 1.15

96

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Laporan Informasi Kesehatan 1.18 Bulanan 1.19

Lain-lain: ___________________

1 Ya

0 Tdk

1 Ya

0 Tdk

Bagian 2. Ketersediaan Bahan KIE Gizi (Poster/Lembar Balik/Pamflet) ** Minta Petugas untuk menunjukkan KIE Materi/Bahan

Ketersediaan

2.1

Gizi selama kehamilan

1 Ya

0 Tdk

2.2

Anemia pada WUS dan Ibu Hamil

1 Ya

0 Tdk

2.3

Pemberian ASI Ekslusif

1 Ya

0 Tdk

2.4

Pemberian MP ASI yang Optimal

1 Ya

0 Tdk

2.5

Suplementasi Vitamin A bagi Balita

1 Ya

0 Tdk

2.6

Suplementasi Vitamin A bagi Bufas

1 Ya

0 Tdk

2.7

Suplementasi Zink bagi Balita (secara reguler dan pada saat diare)

1 Ya

0 Tdk

2.8

Pemberian tabur gizi (vitalita/mixme/taburia) untuk balita

1 Ya

0 Tdk

2.9

Konsumsi garam beryodium

1 Ya

0 Tdk

2.10

Penanganan/Manajemen Gizi Kurang

1 Ya

0 Tdk

2.11

Penanganan/Manajemen Gizi Buruk

1 Ya

0 Tdk

2.12

Pemberian Makan bagi Anak Sakit

1 Ya

0 Tdk

2.13

Cuci Tangan dengan Sabun

1 Ya

0 Tdk

2.14

Pemberian Obat Cacing (ibu hamil dan anak)

1 Ya

0 Tdk

2.15

Penggunaan kelambu berobat

1 Ya

0 Tdk

Keterangan

Kode

97

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Pemberian ASI dalam Konteks HIV/AIDS Kegiatan Fisik dan Makan Sehat 2.17 untuk mencegah Kelebihan Berat Badan Panduan Pangan dan Materi 2.18 Pendidikan Gizi yang lainnya. 2.16

1 Ya

0 Tdk

1 Ya

0 Tdk

1 Ya

0 Tdk

2.19

Keluarga Berencana

1 Ya

0 Tdk

2.20

Buku KIA

1 Ya

0 Tdk

2.21

Imunisasi

1 Ya

0 Tdk

2.22

Lain-lain : ____________________

1 Ya

0 Tdk

Bagian 3. lain

Ketersediaan Obat-obatan dan Barang / Pasokan Keterangan(misal jenis, dosis,

Barang 3.1

Tablet Besi Folat

Ketersediaan 1 Ya

0 Tdk

3.2

Tablet Multivitamin dan Mineral untuk bumil/bufas

1 Ya

0 Tdk

3.3

Tablet Kalsium

1 Ya

0 Tdk

3.4

Tabur Gizi: (Vitalita/Mixme/Taburia)untuk Balita

3.5

Kapsul Vitamin A 100,000IU

1 Ya

0 Tdk

3.6

Kapsul Vitamin A 200,000IU

1 Ya

0 Tdk

3.7

Tablet Zink

1 Ya

0 Tdk

3.8

Timbangan Bayi yang masih berfungsi

1 Ya

0 Tdk

3.9

Timbangan Orang Dewasa yang masih berfungsi

1 Ya

0 Tdk

3.10

Papan ukur panjang badan

1 Ya

0 Tdk

3.11

Papan ukur tinggi badan

1 Ya

0 Tdk

3.12

KMS/Buku KIA

3.13

Pita LILA

1 Ya 1 Ya

0 Tdk 0 Tdk

jumlah tidak cukup, tanggal kedaluwarsa, disimpan/ ditempatkan atau di secara tepat dan memadai)

Kode

98

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

3.14 3.15 3.16 3.17

Makanan terapeutik F-75 (Formula untuk Pemula)

1 Ya

0 Tdk

Makanan Terapeutik F-100 (Catch-up formula) Makanan Terapeutik Siap Pakai (Ready-to-Use Therapuetic Food RUTF)/Plumpy Nut

1 Ya

0 Tdk

1 Ya

0 Tdk

Bubur/Biskuit pabrikan (MP-ASI)

1 Ya

0 Tdk

1 Ya

0 Tdk

1 Ya

0 Tdk

1 Ya

0 Tdk

Paket Makanan Tambahan (misalnya paket makanan untuk dibawa pulang) Larutan Rehidrasi Oralit (Oral 3.19 Rehydration Solution -ORS) 3.18

3.20

Lain-lain: __________________

99

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Form 6A. Petugas Kesehatan (Bidan Desa)

ID:___

Kuesioner Wawancara Terstruktur bagi yang memberikan pelayanan kepada Ibu hamil atau anak-anak Tanggal kunjungan Tgl

Bln

Thn

Diisi oleh: Kode

Propinsi: Kode

Kabupaten/Kota: Kode

Fasilitas Kesehatan: 1 Pos Kesehatan Desa 6 Klinik bersalin/ Polindes 7 Posyandu 77 Lain-lain: Unit: 1 Bagian Rawat Jalan 2 Klinik bersalin/ kebidanan 3 Bangsal Anak 77 Lain-lain: Responden: 1. Bidan Desa

Kode

Kode

Kode

77. Lain-lain:________________________:

100

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Bagian 1. Latar belakang dan pelatihan 1.1

Dalam dua tahun terakhir, apakah anda sudah dilatih dalam bidang berikut (Jangan dibacakan):

Kode 1.1.1

Gizi ibu

1 Ya

1.1.2

Penyuluhan tentang Pemberian ASI (Menyusui)

1 Ya

0 Tdk

1.1.3

Pelatihan BFHI (Rumah Sakit Sayang Bayi)

1 Ya

0 Tdk

1.1.4

Konseling/Penyuluhan Pemberian MP-ASI

1 Ya

0 Tdk

1.1.5

Suplementasi Zink untuk Penanganan Diare.

1 Ya

0 Tdk

1.1.6

Suplementasi Vitamin A bagi Balita

1 Ya

0 Tdk

1.1.7

Suplementasi Vitamin A bagi bufas

1 Ya

0 Tdk

Pemberian tabur gizi (Vitalita/MixMe/Taburia) untuk balita Pemberian Multivitamin dan Mineral untuk 1.1.9 ibu hamil Pemantauan dan Promosi Tumbuh 1.1.10 Kembang

1 Ya

0 Tdk

1 Ya

0 Tdk

1 Ya

0 Tdk

1.1.11 Penanganan gizi kurang

1 Ya

0 Tdk

1.1.12 Penanganan gizi buruk

1 Ya

0 Tdk

1.1.13 Pencegahan dan perawatan diare pada balita

1 Ya

0 Tdk

1.1.14 Konseling HIV/AIDS Kegiatan fisik dan makan sehat untuk 1.1.15 mencegah kelebihan berat badan Pencegahan Kecacingann dan Pemberian 1.1.16 Obat Cacing

1 Ya

0 Tdk

1 Ya

0 Tdk

1 Ya

0 Tdk

1.1.17 Pencegahan Penyakit Menular

1 Ya

0 Tdk

1.1.18 Pelayanan KB

1 Ya

0 Tdk

1.1.19 Pencegahan dan Pengobatan Malaria

1 Ya

0 Tdk

1.1.12 Lain-lain: __________________

1 Ya

0 Tdk

1.1.8

Pemberian ASI (Menyusui) dalam Konteks

0 Tdk

101

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Bagian 2. 2.1

Pengetahuan tentang Pedoman/Protap Gizi

Suplemen gizi mikro apakah yang hendaknya diterima oleh ibu hamil? Lingkari sesuai jawaban 1 Tidak ada

2.2

2 Zat Besi Folat

2 Dalam waktu 6 jam

99 Tidak tahu

Kode

3 Dalam waktu 24 jam

4 Setelah ibu pulih

99 Tidak tahu

Kode

Kapan anak pertama kali diperkenalkan/diberikan makanan pendamping? Lingkari sesuai jawaban 1 Pada usia 4-6 bulan

2.4

4 5 Multiple Lainnya, vitamin dan ________ minera

Kapan seorang bayi seharusnya diletakkan di dada ibunya setelah lahir? Lingkari sesuai jawaban 1 Dalam waktu 1 jam

2.3

3 Kalsium

2 Pada usia 6 bulan

3 Pada usia 8 bulan

4 Ketika gigi anak sudah tumbuh

99 Tidak tahu

Kode

Kapan bayi/balita hendaknya menerima kapsul vitamin A? 1 Setiap bulan sampai usia 6 bulan.

2 Setiap enam bulan sejak lahir

3 Setiap enam bulan sejak bayi usia 6 bulan sampai berusia lima tahun

4 Sekali setahun

5 Ketika sakit

99 Tidak tahu

Kode

Untuk Pertanyaan di bawah ini, berikan jawaban benar atau salah. 2.5

Suplemen Zink hendaknya diberikan ke semua anak yang menderita diare. 1 Benar

2 Salah

99 Tdk Tahu

Kode

2.6 Semua anak di semua negara memiliki potensi yang sama untuk tumbuh dari sejak lahir sampai berusia 5 tahun. 1 Benar

2.7

99 Tdk Tahu

Kode

Anak yang menderita gizi buruk mengalami defisiensi gizi mikro dan oleh karena itu hendaknya segera menerima tablet besi dan vitamin & mineral lainnya. 1 Benar

2.8

2 Salah

2 Salah

99 Tdk Tahu

Kode

Anak yang disusui secara eksklusif yang menderita diare mungkin memerlukan sejumlah air untuk mengganti cairan tubuh yang hilang. ` 1 Benar

2 Salah

99 Tdk Tahu

Kode

102

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

2.9

Perempuan dengan HIV yang menyusui hendaknya secara berangsur-angsur berhenti menyusui setelah beberapa bulan ketika anak berusia sekitar enam bulan. 1 Benar

2 Salah

99 Tdk Tahu

Kode

2.10 Seberapa segera setelah persalinan tali pusat bayi hendaknya dipotong? 1 Segera

2 Setelah satu menit

3 Setelah tiga menit

4 Setelah satu jam

99 Tidak tahu

Kode

Bagian 3. Implementasi Program OBSERVASI  PADA SAAT KEGIATAN POSYANDU, APA SAJA YANG DILAKUKAN/KEGIATAN APA SAJA YANG ADA, DAN APAKAH MEREKA (BIDAN/KADER) MELAKUKANNYA DENGAN TEPAT

Bagian 4. Dukungan Pemberian ASI 4.1

Seberapa sering anda memberikan pendampingan/konseling pada ibu menyusui? 1 Setiap hari

4.2

2 Setiap minggu

4 Kurang sering

5 Tidak pernah

99 Tdk tahu

Kode

Seberapa sering anda memberikan pendampingan/konseling pada ibu dengan HIV untuk pemberian makan bayinya? 1 Setiap hari

4.3

3 Setiap bulan

2 Setiap minggu

3 Setiap bulan

4 Kurang sering

5 Tidak pernah

99 Tdk tahu

Kode

Apakah polindes/posyandu anda pernah menerima sampel susu formula gratis/ pamflet/ poster atau alat tulis/ blok-note dari perusahaan pembuat formula bayi? 1 Ya Bila ya, jelaskan.

0 Tidak

99 Tdk Tahu

Kode

Bagian 5. Keterlibatan Masyarakat dan Kelompok Dukungan 5.1

Apakah ada kelompok pendukung ASI di masyarakat? 1 Ya

0 Tdk

99 Tdk Tahu

Kode

103

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

5.2

Seberapa sering mereka bertemu? 1 Setiap hari

2 Setiap minggu

3 Setiap bulan

4 Kurang sering

5 Tidak pernah

99 Tdk tahu

Kode

Bagian 6. Saran Perbaikan 6.1

Menurut pendapat anda, bagaimana program gizi ini dapat ditingkatkan? Kode

6.2

Menurut anda, pelatihan gizi apa saja yang perlu ditingkatkan? 1 Ya Bila Ya, jelaskan jenis pelatihan itu:

0 Tidak

Kode

Bagian 7. Dukungan/ Bantuan 7.1

Kepada siapa anda berkonsultasi bila anda perlu dukungan teknis yang berkenaan dengan gizi? (Dukungan teknis mencakup bantuan manakala ditemukan kasus konseling yang sulit, informasi mengenai kemajuan perkembangan terkini di bidang gizi)

Kode

7.2

Apakah anda memiliki waktu yang cukup untuk melaksanakan tugas-tugas terkait gizi? 1 Ya, kadang-kadang

7.3

2 Ya, selalu

0 Tidak pernah

Kode

Apakah ada hal lain yang ingin anda tambahkan dalam implementasi pelayanan gizi di wilayah kerja anda? Kode

104

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Form 6B. Petugas Kesehatan (Kader)

ID:___

Tanggal kunjungan Tgl

Bln

Thn

Diisi oleh: Kode

Propinsi: Kode

Kabupaten/Kota: Kode

Fasilitas Kesehatan: 1 Pos Kesehatan Desa 6 Klinik bersalin/ Polindes 7 Posyandu 77 Lain-lain: Unit: 1 Bagian Rawat Jalan 2 Klinik bersalin/ kebidanan 3 Bangsal Anak 77 Lain-lain: Responden: 1. Bidan Desa

Kode

Kode

Kode

77. Lain-lain:________________________:

105

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Bagian 1. Latar belakang dan pelatihan 1.1

Dalam dua tahun terakhir, apakah anda sudah dilatih dalam bidang berikut (Jangan dibacakan):

Kode 1.1.1

Gizi ibu

1 Ya

1.1.2

Penyuluhan tentang Pemberian ASI (Menyusui)

1 Ya

0 Tdk

1.1.3

Pelatihan BFHI (Rumah Sakit Sayang Bayi)

1 Ya

0 Tdk

1.1.4

Konseling/Penyuluhan Pemberian MP-ASI

1 Ya

0 Tdk

1.1.5

Suplementasi Zink untuk Penanganan Diare.

1 Ya

0 Tdk

1.1.6

Suplementasi Vitamin A bagi Balita

1 Ya

0 Tdk

1.1.7

Suplementasi Vitamin A bagi bufas

1 Ya

0 Tdk

Pemberian tabur gizi (Vitalita/MixMe/Taburia) untuk balita Pemberian Multivitamin dan Mineral untuk 1.1.9 ibu hamil Pemantauan dan Promosi Tumbuh 1.1.10 Kembang

1 Ya

0 Tdk

1 Ya

0 Tdk

1 Ya

0 Tdk

1.1.11 Penanganan gizi kurang

1 Ya

0 Tdk

1.1.12 Penanganan gizi buruk

1 Ya

0 Tdk

1.1.13 Pencegahan dan perawatan diare pada balita

1 Ya

0 Tdk

1.1.14 Konseling HIV/AIDS Kegiatan fisik dan makan sehat untuk 1.1.15 mencegah kelebihan berat badan Pencegahan Kecacingann dan Pemberian 1.1.16 Obat Cacing

1 Ya

0 Tdk

1 Ya

0 Tdk

1 Ya

0 Tdk

1.1.17 Pencegahan Penyakit Menular

1 Ya

0 Tdk

1.1.18 Pelayanan KB

1 Ya

0 Tdk

1.1.19 Pencegahan dan Pengobatan Malaria

1 Ya

0 Tdk

1.1.12 Lain-lain: __________________

1 Ya

0 Tdk

1.1.8

Pemberian ASI (Menyusui) dalam Konteks

0 Tdk

106

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Bagian 2. 2.1

Pengetahuan tentang Pedoman/Protap Gizi

Suplemen gizi mikro apakah yang hendaknya diterima oleh ibu hamil? Lingkari sesuai jawaban 1 Tidak ada

2.2

2 Zat Besi Folat

2 Dalam waktu 6 jam

99 Tidak tahu

Kode

3 Dalam waktu 24 jam

4 Setelah ibu pulih

99 Tidak tahu

Kode

Kapan anak pertama kali diperkenalkan/diberikan makanan pendamping? Lingkari sesuai jawaban 1 Pada usia 4-6 bulan

2.4

4 5 Multiple Lainnya, vitamin dan ________ minera

Kapan seorang bayi seharusnya diletakkan di dada ibunya setelah lahir? Lingkari sesuai jawaban 1 Dalam waktu 1 jam

2.3

3 Kalsium

2 Pada usia 6 bulan

3 Pada usia 8 bulan

4 Ketika gigi anak sudah tumbuh

99 Tidak tahu

Kode

Kapan bayi/balita hendaknya menerima kapsul vitamin A? 1 Setiap bulan sampai usia 6 bulan.

2 Setiap enam bulan sejak lahir

3 Setiap enam bulan sejak bayi usia 6 bulan sampai berusia lima tahun

4 Sekali setahun

5 Ketika sakit

99 Tidak tahu

Kode

Untuk Pertanyaan di bawah ini, berikan jawaban benar atau salah. 2.5

Suplemen Zink hendaknya diberikan ke semua anak yang menderita diare. 1 Benar

2 Salah

99 Tdk Tahu

Kode

2.6 Semua anak di semua negara memiliki potensi yang sama untuk tumbuh dari sejak lahir sampai berusia 5 tahun. 1 Benar

2.7

99 Tdk Tahu

Kode

Anak yang menderita gizi buruk mengalami defisiensi gizi mikro dan oleh karena itu hendaknya segera menerima tablet besi dan vitamin & mineral lainnya. 1 Benar

2.8

2 Salah

2 Salah

99 Tdk Tahu

Kode

Anak yang disusui secara eksklusif yang menderita diare mungkin memerlukan sejumlah air untuk mengganti cairan tubuh yang hilang. ` 1 Benar

2 Salah

99 Tdk Tahu

Kode

107

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

2.9

Perempuan dengan HIV yang menyusui hendaknya secara berangsur-angsur berhenti menyusui setelah beberapa bulan ketika anak berusia sekitar enam bulan. 1 Benar

2 Salah

99 Tdk Tahu

Kode

2.10 Seberapa segera setelah persalinan tali pusat bayi hendaknya dipotong? 1 Segera

2 Setelah satu menit

3 Setelah tiga menit

4 Setelah satu jam

99 Tidak tahu

Kode

Bagian 3. Implementasi Program OBSERVASI  PADA SAAT KEGIATAN POSYANDU, APA SAJA YANG DILAKUKAN/KEGIATAN APA SAJA YANG ADA, DAN APAKAH MEREKA (BIDAN/KADER) MELAKUKANNYA DENGAN TEPAT

Bagian 4. Dukungan Pemberian ASI 4.1

Seberapa sering anda memberikan pendampingan/konseling pada ibu menyusui? 1 Setiap hari

4.2

2 Setiap minggu

4 Kurang sering

5 Tidak pernah

99 Tdk tahu

Kode

Seberapa sering anda memberikan pendampingan/konseling pada ibu dengan HIV untuk pemberian makan bayinya? 1 Setiap hari

4.3

3 Setiap bulan

2 Setiap minggu

3 Setiap bulan

4 Kurang sering

5 Tidak pernah

99 Tdk tahu

Kode

Apakah polindes/posyandu anda pernah menerima sampel susu formula gratis/ pamflet/ poster atau alat tulis/ blok-note dari perusahaan pembuat formula bayi? 1 Ya Bila ya, jelaskan.

0 Tidak

99 Tdk Tahu

Kode

Bagian 5. Keterlibatan Masyarakat dan Kelompok Dukungan 5.1

Apakah ada kelompok pendukung ASI di masyarakat? 1 Ya

0 Tdk

99 Tdk Tahu

Kode

108

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

5.2

Seberapa sering mereka bertemu? 1 Setiap hari

2 Setiap minggu

3 Setiap bulan

4 Kurang sering

5 Tidak pernah

99 Tdk tahu

Kode

Bagian 6. Saran Perbaikan 6.1

Menurut pendapat anda, bagaimana program gizi ini dapat ditingkatkan? Kode

6.2

Menurut anda, pelatihan gizi apa saja yang perlu ditingkatkan? 1 Ya Bila Ya, jelaskan jenis pelatihan itu:

0 Tidak

Kode

Bagian 7. Dukungan/ Bantuan 7.1

Kepada siapa anda berkonsultasi bila anda perlu dukungan teknis yang berkenaan dengan gizi? (Dukungan teknis mencakup bantuan manakala ditemukan kasus konseling yang sulit, informasi mengenai kemajuan perkembangan terkini di bidang gizi)

Kode

7.2

Apakah anda memiliki waktu yang cukup untuk melaksanakan tugas-tugas terkait gizi? 1 Ya, kadang-kadang

7.3

2 Ya, selalu

0 Tidak pernah

Kode

Apakah ada hal lain yang ingin anda tambahkan dalam implementasi pelayanan gizi di wilayah kerja anda? Kode

109

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Lampiran 2. Program pengentasan kemiskinan berorientasi gizi Indonesia Terdapat beberapa metoda yang digunakan untuk mengidentifkasi kemiskinan Indonesia. Salah satu sistem yang paling umum dipergunakan adalah sebagai berikut. Pada tahun 2005 pemerintah Pusat, dibantu oleh BPS, telah mengadakan sensus untuk memetakan keluarga miskin di daerah kota dan pedesaan. Sensus tersebut dinamakan Sosial Ekonomi Penduduk 2005 (PSE05). Rumah tangga dikategorikan oleh 14 kriteria. Sekali diidentifikasikan sebagai miskin, rumah tangga tersebut menerima Kartu Kompensasi Energi (Kartu Kompensasi –KKB). Pada saat yang sama, beberapa program termasuk proses dimana rumah tangga miskin dididentifikasi oleh yang berwenang dipedesaan berdasarkan pada 14 krteria yang sama (lihat dibawah). Sekali diidentifkasi oleh pedesaan, daftar tersebut dibahas dan diverifikasi oleh petugas BPS setempat. Kantor BPS setempat tersebutlah yang menyetujui daftar final dari penerima terhadap program manapun. Jumlah dan daftar yang miskin yang dibangkitkan oleh proses ”bawah keatas” dipergunakan terutama oleh program pengentasan kemiskinan untuk mengidentifkasi penerima dan peserta terhadap program. Sebagai tambahan, Survai Sosial Ekonomi (Susenas) tahunan mengukur tingkat kemiskinan. Data ini digunakan oleh pemerintah nasional dan badan internasional untuk pemantauan tingkat kemiskinan di Indonesia dan mengembangkan startegi makro sosial dan ekonomi. Garis kemiskinan pendapatan nasional sekitar PPP US$1.55. Tingkat kemiskinan Indonesia telah berangsur menurun sejak krisis politik dan social di tahun 1990an. Kenaikan besar telah dilihat antara tahun 1993 dan 1998 disebabkan Krisis Finansial Asia dan perobahan mengenai bagaimana kemiskinan diukur. Sejak itu telah menurun lagi sampai tingkat 14.18% di tahun 2009 yang hampir ekivalen dengan tingkat sebelum/pra krisis sebesar 13.7% pada tahun 1993. Penurunan yang terjadi teratur Kecenderungan Tingkat Kemiskinan, 1976-2009 Jmlh Miskin

Miskin

110

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

kecuali suatu kenaikan kecil antara tahun 2005 dan 2006 sebagai akibat kenaikan harga beras pada bulan Februari 2005 akibat pelarangan46 impor beras. Namun, dengan adanya 32 juta penduduk dalam kemiskinan, Indonesia masih mempunyai beban kemiskinan yang besar. Sebagai tambahan, bagian besar penduduk terkelompok (terklaster) sedikit diatas garis kemiskinan nasional. Data Susenas 2006 menunjuka bahwa hanya 16.7% hidup dibawah garis kemiskinan nasional dengan pendapatan PPP US$1.55 per hari, sebanyak 49% hidup dibawah PPP US$2 per hari yang berarti bahwa kerawanan terhadap kemiskinan sangat tinggi di Indonesia dan bahwa program pengentasan kemiskinana sungguh perlu menentukan sasaran terhadap yang miskin dan mendekati miskin. Program pengentasan kemiskinan Indonesia dapat dibagi dalam tiga klaster: i.

ii.

iii.

Program bantuan social dan perlindungan. Hal ini menyediakan pangan pokok, perumahan, bantuan kesehatan dan pendidikan bagi rumah tangga yang menjadi sasaran. Klaster ini termasuk program seperti Program pola pangan dari paket pakan bersubsidi (Raskin), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), pola asuransi kesehatan dan program transfer tunai tak bersyarat (BLT) dan bersyarat (PKH). Setiap tahun Biro Pusat Statistik (BPS) memverifikasi dan memutakhrkan data rumah tangga sasaran. Pada tahun 2007 terdapat 19.1 juta rumah tangga sasaran; pada tahun 2008 dan 2009 sasaran masing jatuh menjadi 18.5 juta dan 17.1 juta rumah tangga. Program pemberdayaan masyarakat. Hal ini pada dasarnya adalah program berdasarkan masyarakat, yang disediakan melalui Program Nasional untuk Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Program ini memberikan hibah blok kepada dewan masyarakat pada tingkat desa untuk dipergunakan bagi investasi produktif. PNPM Mandiri adalah Program Nasional mengenai Pemberdayaan Masyarakat. Hal itu adalah seperangkat program dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan dan kapasitas masyarakat miskin dan untuk mempercepat keberhasilan dari Tujuan Pembangunan Milenium (MDG). Kelompok program PNPM juga termasuk PNPM Kota dan PNPM Pedesaan. Pemberdayaan kegiatan ekonomi mikro dan kecil. Hal ini memberikan kredit mikro kepada kreditor berukuran kecil dan menengah.

Sejak 2005 program ini dilaksanakan dibawah Strategi Nasional mengenai Pengentasan Kemiskinan (SNPK) yang membentuk dasar bagi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2005-2009. SNPK mencerminkan suatu pergeseran paradigma dasar dalam mengenal yang miskin sebagai asset social yang hanya harus dipenuhi dan yang harus diberdayakan dan bukan sebagai penerima pasif. Strategi tersebut juga bertujuan untuk koordinasi lebih baik diantara berbagai program pengentasan kemiskinan bagi peningkatan efisiensi dan keefektifan. Berdasarkan SNPK, pada tahun 2005, Tim Nasional untuk Koordinasi Pengentasan Kemiskinan (TKPK) telah didirikan didalam Kantor Koordinasi Kementerian untuk Kesejahteraan Masyarakat (Menkokestra). TKPK terdiri atas 22 kementerian dan kepala lembaga Pusat dengan program yang terkait dengan pengentasan kemiskinan. TKPK pada awalnya diketuai oleh Menteri Koordinator untuk Kesejahteraan Masyarakat tetapi sejak bulan Februari 2010, Wakil Presiden menjadi ketua dan tim nasional koordinasi diberi nama baru yaitu Team Nasional untuk Mempercepat Pengentasan Kemiskinan (TNP2K). TNP2K dikelola harian oleh suatu sekretariat. Peran dari TNP2K adalah untuk memonitor pelaksanaan dari kebijakan pengentasan kemiskinan dan untuk

46

Meski harga bahan bakar meningkat secara signifikan dalam bulan Oktober 2005, tingkat kemiskinan tidak naik karena program transfer uang tunai tidak bersyarat (lihat dibawah dalam dokumen).

111

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

memperkuat koordinasi dalam kebijakan dan pada tingkat program. Badan serupa telah didirikan juga pada tingkat propinsi dan local (kabupaten/kota). Sebagai tambahan terhadap upaya Indonesia untuk pengentasan kemiskinan, dibawah Undang-undang Jaminan Sosial, pemerintah mempertimbangkan suatu sistem pencakupan asuransi kesehatan universal yang bersifat wajib dan dalam pensiun yang akan datang dan mekanisme jaminan sosial yang lain. Proses untuk memastikan cakupan asuransi kesehatan universal sudah dimulai.

Klaster 1 – Program Bantuan Sosial dan Perlindungan Program Raskin47 Program Raskin adalah program nasional yang bertujuan untuk membantu rumahtangga miskin agar dapat memenuhi kebutuhan pangan dan mengurangi beban keuangan dengan menyediakan beras subsidi. Hal tersebut didirikan di tahun 1997 disaat Krisis Finansial Asia untuk menahan efek peningkatan harga dan kesempatan kerja yang makin menurun. Pada waktu yang bersamaan program memungkinkan pemerintah untuk membeli beras surplus agar mempertahankan stok penyangga untuk dipergunakan diwaktu darurat. Pada tahun 2007 biaya total program adalah Rp 6.28 triliun (sekitar US$ 690 juta). Dibawah program, rumahtangga miskin dimaksudkan untuk menerima 10 kg beras setiap bulan dengan harga subsidi Rp 1,000 per kg. Badan Logistik Negara (Bulog) bertanggunjawab atas distribusi beras kepada titik distribusi, sementara pemerintah daerah setempat bertanggungjawab untuk mendistribusikan beras kepada rumahtangga miskin di titik distribusi. Dianggap bahwa program menyediakan beras bersubsidi kepada rumahtangga miskin, dan dapat diharapkan bahwa program Raskin dapat berkontribusi terhadap pencegahan kurang gizi dari kaum ibu dan anak. Strategi dapat efektif mencapai tujuan ini jika kaum ibu dan anak dalam rumahtangga miskin dalam keadaan kurang pangan karena ketidakmampuan untuk membeli pangan yang cukup karena kemiskinan. Pada kenyataan kelihatannya bahwa program Raskin secara luas dilihat tidak efektif sebagai jaringan keselamatan dan tidak efisien dalam penggunaa sumber daya. Beberapa masalah yang menjadi perhatian adalah :  Meskipun jumlah sasaran penerima meningkat setiap tahun, tapi masih lebih rendah dari jumlah total rumahtangga miskin (RTM). Sebagai akibat, pemerintah setempat mempunyai kesulitan dalam mendistribusikan beras sebagaimana mestinya karena jumlahnya tidak cukup. Sebagai tanggapan, beberapa RTM tidak menerima beras samasekali, semua penerima mendapat jumlah yang kurang dari semestinya atau berasnya disdistribusikan kepada semua tanpa fokus samasekali terhadap yang miskin. Dengan demikian, data Susenas menunjukkan bahwa rumahtangga miskin (tingkat 1 dan 2 dari lima bagian) berjumlah 53% dari total penerima; misalnya terdapat 53% kebocoran ke rumahtangga non-miskin.  Data Survai Sosio ekonomi Rumahtangga (BPS) dimaksudkan untuk dipergunakan untuk verifikasi rumahtangga miskin pada tingkat desa melalui pertemuan desa untuk memfinalkan daftar penerima. Proses dalam melakukan ini bervariasi dan tidal transparan, menciptakan peluang bagi korupsi dan berkontribusi kepada salah sasaran.

47

The Effectiveness of the Raskin Program. SMERU Research Institute. February 2008

112

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia





Penerima seringkali membayar lebih dari Rp 1,000/kg karena mereka diminta membayar untuk biaya transportasi, dsb. Hal ini disebabkan karena anggaran nasional untuk program hanya mencakup biaya transportasi beras ke Pusat distribusi primer. Pemerintah daerah setempat harus mencakup biaya pendistribusian beras dari Pusat pendistribusian primer ke sekonder dan untuk administrasi local. Akhirnya program kelihatannya sangat tidak efisien; dalam tahun 2003, hanya 18% anggaran Raskin telah bermanfaat bagi rumahtangga miskin, 52% bermanfaat bagi rumahtangga non-miskin dan 30% digunakan untuk biaya operasional dan keuntungan bagi Bulog. Dalam tahun yang sama, hal itu hanya berharga Rp2,790/kg bagi Bulog untuk mengadakan beras sementara mereka menjualnya kepada pemerintah dengan harga lebih sampai Rp3,343/kg.

Dengan mengesampingkan kelemahan ini, suatu peluang baru telah muncul bagi Raskin untuk memanfaatkan gizi; dalam tahun 2009, ADB dan Pemerintah Jepang telah menyetujui hibah sebesar US$ 2 juta untuk fortifikasi pangan di Indonesia. Hibah tersebut akan digunakan untuk mengkaji kelayakan, biaya dan dampak dalam memberikan beras berfortifikasi zat besi melalui Raskin. Apabila beras Raskin dapat difortifikasi, dan dapat dijadikan sasaran sebagaimana dimaksud terhadap yang miskin dan ketidak-jaminan pangan, hal ini akan menjadi cara yang sangat biaya efektif untuk meningkatkan konsumsi zat besi pada segmen masyarakat yang paling rawan.

Transfer Uang Tunai Pada bulan Oktober 2005, pemerintah telah menaikkan harga bahan bakar sebesar 85% untuk menjaga anggaran nasional. Agar dapat menghilangkan dampak kepada yang miskin, suatu program transfer uang tunai tidak bersyarat kepada keluarga miskin dan yang mendekati miskin (Bantuan Tunai Langsung – BLT) telah dimulai. Dalam ronde pertama pola tersebut sejumlah 60 juta penduduk dalam 15.5 rumahtangga (28% populasi) menjadi sasaran dan pada ronde kedua, pada bulan Mei 2008 ketika harga gas dinaikkan lagi, sebesar 33.3%, sasaran telah diperluas kepada 70 juta penduduk dalam 19.2 juta rumahtangga. Hibah sebesar Rp 100,000 per bulan (US$ 10) disediakan; dalam ronde pertama diberikan dari Oktober 2005 sampai Maret 2006 dimana setelah itu ditunda. Masyarakat yang miskin awalnya diidentifikasi oleh yang berwenang setempat dan diklasifikasikan pada tingkat ekonomi dengan dasar 14 kriteria yang dikembangkan oleh Pusat Biro Statistik (BPS) 48. Yang berwenang didesa menyediakan dafter rumahtangga miskin dan rumahtangga tersebut kemudian dikunjungi oleh enumerator BPS untuk membantu mereka mengisi formulir kajian. Formulir dibahas oleh kantor BPS local dan suatu daftar final dihasilkan. Daftar yang disetujui diberikan kepada Kantor Pos yang menerbitkan kartu keberhakan dan menyediakan transfer uang tunai dalam lumsum triwulan kepada rumahtangga miskin. Dalam tahun pertama, 2005, pemerintah telah mengalokasikan 4.6 triliun untuk program tersebut (US$ 500 juta). Dananya diambil dari potngan bagian dari subsidi gas, yang kepentingannya adalah untuk mentransfer subsidi gas tersebut kedalam subsidi rumahtangga. Suatu evaluasi, yang dikoordinasikan oleh Universitas

48

Kriteria termasuk hal seperti ukuran rumah, bahan lantai dan dinding rumah, akses kepada air dan sanitasi, sumber cahaya, jenis bahan bakar yang digunakan untuk memasak, berapa kali per minggu keluarga membeli daging/ayam/susu, berapa kali per hari keluarga makan dan memiliki asset khusus.

113

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Indonesia,49 telah menemukan bahwa 90% penerima menggunakan transfer untuk membeli beras, sedikit dibawah 80% dari Pengadaan minyak dan sekitar 40% mengenai pembayaran kembali hutang dan biaya kesehatan. Hanya 5% menggunakannya untuk membeli bahan bakar bensin. Meskipun program dianggap berhasil dalam arti telah dapat menahan peningkatan kemiskinan yang bila tidak dapat meningkat, program di konversikan kedalam suatu program transfer uang tunai bersyarat untuk memberdayakan komunitas miskin. Transfer uang tunai bersyarat (Program Keluarga Harapan – PKH) dimulai di tahun 2007 dengan sasaran rumahtangga yang sama dengan BLT tetapi dengan kriteria tambahan untuk memenuhi syarat. Tujuan dari PKH adalah untuk (i) mengurangi kematian kehamilan, (ii) mengurangi kematian anak, (iii) memastikan cakupan universal pendidikan dasar, (iv) mengurangi pemburuhan anak dan mendorong anak untuk bersekolah. Rumahtangga yang memenuhi syarat harus ada seorang ibu hamil, anak berusia 0-6 tahun atau anak sekolah dasar atau berusia sekolah menengah atas (6-17). Transfer uang tunai diberikan kepada rumahtangga dengan syarat bahwa mereka dapat memenuhi 12 syarat dibawah ini. Dana diberikan kepada kaum ibu (atau ibu dewasa lain) di rumahtangga setiap tiga bulan. Penerima dapat berpartisipasi selama maksimum 6 tahun dan terdapat sertifikasi kembali mengenai dipenuhi syarat setiap 3 tahun. PKH dilaksanakan oleh Kementerian Sosial (DepSos) dan akan berlangsung sampai tahun 2015 sejalan dengan TPM (MDG). Program PKH telah dilaksanakan di 7 propinsi sebagai pilot (percontohan). Sejak itu telah diperluas dan pada tahun 2009 telah mencakup total 720,000 rumahtangga. Indikator kesehatan: Indikator untuk ibu hamil: (i) empat kunjungan rawatan prenatal selama kehamilan, (ii) konsumsi suplemen zat besi selama kehamilan, (iii) mendapatkan kehamilan yang dibantu oleh professional yang terlatih, (iv) dua four prenatal care visits during pregnancy, (ii) take iron supplements during pregnancy, (iii) have a delivery assisted by a trained professional, (iv) dua kunjungan rawatan pos-natal; Indikator untuk anak balita: (v) imunisasi anak lengkap, (vi) pemantauan pertumbuhan bulanan anak dibawah 3 dan triwulanan kemudian (1-6 tahun), (vii) peningkatan bobot bulanan anak, (viii) vitamin A setiap enam bulan untuk anak balita. Indikator Pendidikan: (i) semua anak berusia 6-12 terdaftar di sekolah dasar, (ii) minimum tingkat kehadiran 85% untuk semua anak berusia sekolah dasar, (iii) semua anak usia 13-15 terdaftar di sekolah menengah pertama, (iv) minimum tingkat kehadiran 85% untuk semua anak berusia sekolah menengah pertama. Masalah yang dialami dengan program termasuk pemilihan penerima, khususnya kesalahan menentukan sasaran (inklusif) dan transparansi proses pemilihan, koordinasi antar badan terkait dengan pengaturan financial dan aliran infromasi, kurangnya sosialisasi dan kurangnya pemantauan dan verifiksi. Terdapat juga masalah dengan kekurangan pelatihan dari fasilitator dan beban kerja mereka, dan masalah

49

Widjaja. An Economic and Social Review on Indonesian Direct Cash Transfer Program to Poor Families Year 2005.

114

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

dengan sistem pembayaran. 50 Secara keseluruhan program dianggap berhasil dan beberapa peningkatan yang konkrit telah terukur seperti tercatat dibawah ini.

Asuransi Kesehatan51 Pada tahun 2004, pemerintah Indonesia telah membuat komitmen untuk menyediakan seluruh penduduk Indonesia dengan cakupan asuransi kesehatan melalui pola asuransi kesehatan masyarakat wajib. Secara prinsip hal ini seharusnya berkontribusi cukup signifikan untuk meningkatkan status gizi dalam hal harus memastikan akses terhadap layanan kesehatan esensial termasuk rawatan antenatal, rawatan kelahiran, suplemen mikro-nutrien, rawatan penyakit anak dan layanan pencegahan serta pemberian advis mengenai gizi. Sebagai tambahan terhadap memastikan cakupan asuransi bagi semua, ketidakefisien dalam sistem kesehatan dan keseluruhan kualitas rendahnya penyediaan layanan perlu dibahas agar meningkatkan pasokan layanan kesehatan dasar. Pendanaan kesehatan sejak desentralisasi telah menjadi lebih rumit dan pemberian layanan kesehatan makin buruk. Sebagai akibat, separoh dari semua pengeluaran kesehatan adalah pribadi, sebagian besar dari kantong sendiri (OOP) dan separoh dari yang sakit mencari layanan kesehatan dari penyedia swasta. Gar dapat memberi asuransi kesehatan untuk semua, pemerintah telah mendirikan Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (Health Insurance for Poor Population) atau Askeskin pada tahun 2004 dan telah memperluaskannya kedalam Jaminan Kesehatan Masyarakat (Health Insurance for the Population) atau Jamkesmas pada tahun 2008. Sementara pegawai negeri dan pertanggungannya tercakup dibawah program askes dan Jamsostek mencakup karyawan sektor swasta dalam perusahaan dengan 10 atau lebih karyawan. Susenas 2007 menunjukkan bahwa 26% dari penduduk tercakup asuransi kesehatan, mayoritasnya oleh Jamkesmas (14.3%). Hal ini berarti bahwa 73.9% tetap belum terasuransi. Pemerintah memperkirakan bahwa pada tahun 2008, proporsi yang tercakup telah meningat sampai 48% sebagian besar karena perluasan dari Jamkesmas. Visi pemerintah adalah cakupan untuk yang miskin akan didanai oleh pemerintah dan pendanaan untuk sisa penduduk akan melalui suatu pola kontribusi. Legislasi mempertimbangkan pembawa asuransi kesehatan yang ada yang berkonversi menjadi status non-keuntungan dan semua pembawa menyatu dibawah suatu sistem wajib yang universal dan dibawah dewan jaminan social nasional. Masalahnya adalah bagaimana pemerintah akan identifikasi tambahan ruang fiskal untuk mendanai cakupan bagi yang mi9skin (sekitar 70 juta orang) dan bagaimana sektor informal yang sangat besar terdiri dari 60 juta orang akan dicakup oleh karena sulit sekali mengidentifikasi mereka dan akan sulit untuk mendapatkan kontribusi dari segmen dari populasi ini.

Klaster 2 – Program Pemberdayaan Masyarakat PNPM Mandiri (Program Nasional mengenai Pemberdayaan Masyarakat) PNPN Mandiri telah diluncurkan bulan April 2007. Hali ini telah terbentuk dengan penyatuan dua program pendekatan pembangunan yang digerakkan masyarakat, Program Pembangunan Kecamatan (KDP) dan Program Pengentasan Kemiskinan Kota (UPP), yang telah dimulai di tahun 1998 dan 1999. Dalam PNPM Mandiri dua

50

Karin Schelzig Bloom. Conditional Cash Transfers: Lessons from Indonesia’s Program Keluarga Harapan. July 2009. ADB 51 Health Financing in Indonesia: A Reform Road Map. World Bank, 2009

115

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

program ini telah diskalakan, pada tahun 2009 semua sub-kabupaten di Negara telah tercakup (6,408 sub-kabupaten). Tujuan umum dari PNPM Mandiri adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dari komunitas miskin. Tujuan spesifik termasuk (i) peningatan partisipasi anggota masyarakat, (ii) meningkatkan kapasitas institusi masyarakat, (iii) meningkatkan kapasitas pemerintah local untuk menyediakan layanan masyarakat, (iv) meningkatkan sinergi diantara komunitas, pemerintah lokal dan pemangku kepentingan pro-miskin, (v) meningkatkan kapasitas dan kemampuan komunitas dan pemerintah local dan (vi) meningkatkan inovasi dan penggunaan teknologi, informasi dan komunikasi yang diapresiasi dalam pembangunan komunitas. Program PNPM Mandiri dapat dikategorikan kedalam : PNPM Inti dan PNPM Pendukung. Program PNPM Inti terdiri atas program pemberdayaan berdasar masyarakat dan kegiatan seperti PNPM Mandiri Pedesaan, PNPM Mandiri Perkotaan, PNPM Mandiri untuk area Terbelakang, PNPM Mandiri untuk Infrastruktur pedesaan, dan PNPM Mandiri untuk Infrastruktur Sosio-Ekonomi Pedesaan. Program PNPM pendukung terdiri atas pemberdayaan komunitas khusus, berdasar sector, berdasar regional yang dirancang untuk mendukung pengentasan kemiskinan yang terkait keberhasilan sasaran spesifik seperti PNPM Generasi, PNPM Hijau, dan PNPM Inisiatif Pembangunan Agribisnis Kecil (SADI). Komponen kegiatan PNPM Mandiri termasuk (i) pembangunan komunitas, (ii) memperkuat pemerintahan lokal dan kemitraan, (iii) hibah blok komunitas dan, (iv) bantuan teknis untuk pengelolaan program dan pembangunan. PNPM Mandiri bekerja dengan menyediakan Hibah Blok Komunitas kepada kelompok komunitas miskin termasuk kelompok kaum perempuan. Kelompok komunitas telah atau diberdayakan dan didukung oleh hampir 40,000 fasilitator. Program direncanakan untuk berlanjut sampai 2015, batas berlakunya TPM.(MDG). Sebagian besar sumber dana PNPM Mandiri dating dari Anggaran tahunan pemerintah (APBN), dana daerah (APBD), swasta/kontribusi komunitas dan juga hibah atau pinjaman dari berbagai donor.

PNPM Generasi (Transfer Uang Tunai Masyarakat untuk Kesehatan dan Generasi Cerdas) Seperti telah dicatat diatas, PNPM Generasi adalah program komponen dari PNPM Mandiri. Hal ini disebutkan disini karena kontribusi spesifiknya terhadap tujuan kesehatan dan pendidikan dan sinergik dengan PKH. PNPM Generasi bertujuan untuk meningkatkan akses rumahtangga miskin kepada layanan kesehatan dan pendidikan. Melalui PNPM Generasi, komunitas local dapat membangun infrastruktur atau membeli peralatan untuk memungkinkan mereka mengakses kepada layanan dasar misalnya membangun pusat kesehatan komunitas, membeli peralatan standard, renovasi fasilitas, membangun jembatan atau jalanan. Program membangun berdasarkan pengalaman Proyek Pembangunan Kecamatan (Kecamatan Development Project (KDP) dan dilaksanakan sebagai bagian dari PNPM Mandiri. Program mencakup 3.1 million penerima atau 8.4% dari total orang miskin di Indonesia. Dibawah program ini, komunitas miskin mengidentifikasi sendiri masalah dan mencari solusi untuk memenuhi 12 kondisi yang sama dari PKH. Partisipasi 116

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

komunitas dalam PNPM Generasi adalah bersyarat dibawah komitmen mereka untuk memenuhi 12 syarat tersebut. Semua desa yang berpartisipasi menerima fasilitas atau bantuan teknis dalam bentuk fasilitator dan pelatihan, dan hibah blok pedesaan rerata sebesar US$ 8,400. Dengan dibantu oleh fasilitator, komunitas mengikuti silus sosialisasi, perencaan desa, pelaksanaan desa dan pengukuran kinerja. Satu siklus mengambil waktu 12 bulan dengan pelaksanaan desa selama 9 bulan. Dalam tahun pertama operasi, 2007, 56% dana dipergunakan untuk kegiatan pendidikan dibanding 44% untuk kegiatan kesehatan. Fi dalam kegiatan kesehatan, dana digunakan sebagai berikut: pemberian makanan suplemen bagi bobot kurang dan anak kurang makan (40%), bantuan finansial untuk perempuan hamil dan kaum ibu untuk dapat akses kepada layanan kesehatan (30%), infrastruktur (13%), fasilitas dan peralatan (11%), sosialisasi dan pelatihan (3%) dan insentif untuk petugas kesehatan (3%). Suatu evaluasi oleh Bank Dunia telah menemukan perbaikan dalam pencakupan layanan kesehatan, khususnya partisipasi dalam cakupan imunisasi. Evaluasi juga mencatat perbaikan dalam anak bobot kurang dibawah 3% (25% sebelumnya dan 21% setelah di Jakarta).52 Sudah jelas bahwa PKH dan Mandiri Generasi mempunyai potensial yang signifikan untuk berkontribusi terhadap perbaikan dalam gizi, dan beberapa hasil di area ini telah dilaporkan. Namun sebagaimana dilaksanakan saat ini, proporsi signifikan dari upaya telah diperuntukkan intervensi yaitu bukan yang paling efektif dalam mengurangi kurang gizi dalam masa kehamilan dan anak seperti meningkatkan partisipasi dalam program menimbang bobot bulanan dan program pemberian pangan suplemen. Kondisi PKH sejalan dengan strategi nasional untuk gizi dalam arti bahwa juga termasuk focus terhadap kesehatan kehamilan dan pada anak muda (pemantauan pertumbuhan ditentukan hanya menjadi bulanan bagi anak dibawah 1 tahun misalnya) tetapi dapat diberikan tekanan lebih yang ditempatkan pada perbaikan gizi pada masa kehamilan dan memperkuat layanan gizi anak (seperti pemberian asi eksklusif dan advis pemberian makan pelengkap, atau suplemen vitamin A) daripada pemantauan pertumbuhan misalnya.

Pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil Kredit Usaha Rakyat (Kredit Untuk Rakyat – KUR) menyediakan kredit lunak untuk membangun usaha mikro dan kecil. Kredit tersebut menggunakan dana umum yang dikelola bank tetapi dijamin oleh pemerintah. Sejak peluncurannya di bulan November 2007, sampai 2008, program telah menyediakan Rp13 triliun (US$1,417 juta) sampai 1.7 juta penerima kredit (kreditor).

52

Karin Schelzig Bloom. Conditional Cash Transfers: Lessons from Indonesia’s Program Keluarga Harapan. July 2009. ADB. Kelihatannya dampak ini telah dihasilkan melalui kombinasi PKH dan PNPM Generasi.

117

Lampiranx 3. Intervensi Gizi Esensial, Kebijakan dan rangka kerja Program Intervensi dengan bukti cukup untuk pelaksanaan di 36 negara Intervensi

Hasil masa kehamilan dan kelahiran Suplementasi Besi folate

Kebijakan / legislasi

Panduan pendukung

Sasaran

Status pelaksanaan

Cakupan Kini di Indonesia

Acuan dan Catatan

Rencana Aksi Nasional untuk Pangan & Gizi 2006-2010

85% (2014)

Nasional

29.2%

DHS 2007- 90+ hari

Tidak ada

Panduan operasional untuk kesadaran gizi keluarga di desa siaga (KepMenKes: 747/MOH/SK/VI/2007) Buku panduan Konseling untuk mencapai kesadaran gizi keluarga 2007 Buku panduan strategi IEC untuk program kesadaran gizi keluarga 2007 Tidak ada

Tidak tersedia

Tidak dilaksanakan

Tidak tersedia

Tidak ada

Tidak ada

Tidak tersedia

Sub-nasional; Percontohan di propinsi NTB dan NTT

Lombok Tengah: 84,5% (2008) dan 71,1% (2009) kaum ibu telah

Rencana Aksi mengenai Gizi Komunitas (20102014)

Suplementasi calcium masa kehamilan Multi Suplemen mikronutrien pada masa kehamilan

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Yodium masa kehamilan melalui garam beryodium

Rencana Aksi Nasional untuk Pangan & Gizi 2006-2010 Kep No: JM 03 03/BV/2195/09 Intervensi dipercepat garam tak beryodium 2009 Rencana aksi mengenai Gizi Komunitas (20102014)

Intervensi untuk mengurangi konsumsi tembakau dan polusi dalam ruang

Rencana Aksi Nasional untuk Pangan & Gizi 2006-2010 Majelis Ulama (MUI), 2010 Fatwa melarang semua muslim merokok di tempat umum Menkeu No 2003/PMK 001/2008 Pajak Rokok Tambahan

Panduan operasional untuk kesadaran gizi keluarga di desa siaga (KepMenKes: 747/MOH/SK/VI/2007) Buku panduan Konseling untuk mencapai kesadaran gizi keluarga 2007 Buku panduan strategi IEC untuk program kesadaran gizi keluarga 2007 Panduan pemantauan garam beryodium di komunitas 2001 Tidak tersedia

90% (2014)

Nasional

menerima tablet MMN 62.8%

Tidak tersedia

Sub-nasional

97%

Riskesdas – jmlh rumahtangga mengkonsumsi cukup garam beryodium (metodologi titrasi)

DHS - % kaum perempuan yang tidak menggunakan tembakau. Namun pada 87.8% pria yang menggunakan tembakau. Data mengenai polusi dalam ruang tidak tersedia

Peraturan Kesehatan No 36, bab 113, 114,115 mengenai keamanan bahan adiktif

119

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Bayi baru lahir Promosi ASI eksklusif (individual dan pemberian advis)

Anak muda dan anak Promosi ASI eksklusif (individual dan pemberian advis kelompok) Perobahan Perilaku

Rencana Aksi Nasional untuk Pangan & Gizi 2006-2010 Standard Layanan Kesehatan Minimum 2008 KepMen mengenai pemberian ASI eksklusif KepMen mengenai pemasaran pengganti ASI Peraturan BPOM mengenai pemberian label Peraturan Kesehatan No 36, bab 128, 129, 200 mengenai EBF 2010 Kep Supervisi dari Kode Internasional 2009 Rencana aksi mengenai Gizi Komunitas (20102014)

Panduan operasional untuk kesadaran gizi keluarga di desa siaga (KepMenKes: 747/MOH/SK/VI/2007) Buku panduan Konseling untuk mencapai kesadaran gizi keluarga 2007 Buku panduan strategi IEC untuk program kesadaran gizi keluarga 2007 Strategi nasional dalam meningkatkan pemberian ASI eksklusif dan pemberian makan pelengkap 2010 Bahan pemberian advis mengenai inisiasi dini dari pemberian ASI eksklusif 2009 Kode dalam pemberian label susu formula 2003

Nasional

Data tak tersedia mengenai cakupan layanan pemberian advis IYCF Pada tahun 2007, 32% anak 0-6 bulan diberi ASI eksklusif; 41% anak 6-23 bulan menerima pemberian makan pelengkap tepat waktu dan sesuai

80% (2014)

N/A Seperti diatas

Seperti diatas

Seperti diatas

Seperti diatas

Seperti diatas

Seperti diatas

Rencana Aksi Nasional untuk Pangan & Gizi

Panduan operasional untuk kesadaran gizi

Tidak ada

Nasional

Tidak tersedia

Sasaran nasional hanya tersedia

120

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

komunikasi untuk pemberian makanan pelengkap yang lebih baik

2006-2010

keluarga di desa siaga (KepMenKes: 747/MOH/SK/VI/2007) Buku panduan Konseling untuk mencapai kesadaran gizi keluarga 2007 Buku panduan strategi IEC untuk program kesadaran gizi keluarga 2007

Zat Seng (Zinc) dalam pengelolaan diare

Departemen Kesehatan RI dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1216 / MENKES / SK /XI / 2001 tentang Pedoman Pemberantasan Penyakit Diare edisi ke-5, tahun 2007 Rencana Aksi Nasional untuk Pangan & Gizi 2006-2010

Panduan sedang dikembangkan.

Suplementasi Vitamin A

Standard Layanan Kesehatan Minimum 2008 Rencana aksi mengenai Gizi Komunitas (20102014)

Panduan operasional untuk kesadaran gizi keluarga di desa siaga (KepMenKes: 747/MOH/SK/VI/2007) Buku panduan Konseling untuk mencapai kesadaran gizi keluarga 2007

untuk distribusi makanan pelengkap fortifikasi komersial untuk anak pada keluarga miskin

Tidak ada

85% (6-59 bulan anak, 2014)

Nasional

Tidak tersedia

Nasional

68.5% 71.5%.

DHS 2007 dan Riskesdas 2007

Panduan pengelolaan suplementasi vit A 2009

121

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Garam beryodium universal

Seperti diatas mengenai yodium masa kehamilan melalui garam beryodium

Seperti diatas mengenai yodium masa kehamilan melalui garam beryodium

90%

Nasional

62,8%

Cuci tangan atau intervensi higiene

Rencana Aksi Nasional untuk Pangan & Gizi 2006-2010 Standard Layanan Kesehatan Minimum 2008 Kep No 852/MOH/SK/IX/2008 Kep Nasional (2008) mengenai Sanitasi berbasis Masyarakat Rencana Aksi Nasional untuk Pangan & Gizi 2006-2010 Standard Layanan Kesehatan Minimum 2008 Tindakan aksi nasional untuk pencegahan dan intervensi kurang gizi sangat buruk 2005-2009 Rencana aksi mengenai Gizi Komunitas (20102014)

Tidak ada panduan

100%

Nasional

23.2% dan 71.1%

Panduan untuk skrining kurang gizi buruk 2009 Pengelolaan kurang gizi buruk 2009 Buku pemantauan untuk pengelolaan kurang gizi buruk 2009

100% of anak dengan Gizi buruk (2014)

Nasional

Tidak tersedia

Perawatan kurang gizi sangat akut

Intervensi dengan bukti cukup untuk pelaksanaan dalam konteks spesifik, situasional Hasil masa kehamilan dan kelahiran Suplemen Tidak ada Tidak ada Tidak tersedia Belum energi dan dilaksanakan

0%

Riskesdas – jmlh rumahtangga mengkonsumsi cukup garam beryodium (titrasi) Riskesdas - % penduduk lebih dari usia 10 tahun dengan perilaku benar dalam mencuci tangan dan buang air besar

Kebijakan panduan nasional kini sedang dimutakhirkan

Pemberian makanan suplemen ibu hamil

122

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

protein seimbang masa kehamilan ** Pengobatan cacingan pada ibu hamil Suplementasi calcium masa kehamilan

Perawatan bertahap pencegahan penyakit malaria* Kelambu beroleskan insektisida*

Bayi baru lahir Suiplementasi Vitamin A Neonatal Pengkleman tali pusar tertunda Anak muda dan anak Program transfer uang tunai bersyarat (dengan

akan diawali di tahun 2010 Tidak ada

Tidak ada

Tidak tersedia

Tidak dilaksanakan

Tidak tersedia

No policy or program, yet

Tidak ada

Tidak ada

Tidak tersedia

Tidak wajib dilaksanakan

Tidak tersedia

Dilaksanakan tidak konsisten karena tidak diamanatkan oleh kebijakan atau program nasional

Rencana Pembangunan Jangka Menegah 20102014

Panduan Pengelolaan Kasus Malaria di Indonesia, CDC MOH 2009

Tidak tersedia

Tidak tersedia

Rencana Pembangunan Jangka Menegah 20102014 KepMen no. 293/MENKES/SK/IV/2 009

Mengapa perlu gunakan kelambu ITN, CDC MOH 2008 (Booklet) ITN Kelambu CDC, MOH 2007

80% ( total penduduk)

2.3%

DHS - % ibu hamil yang tidur dibawah kelambu teroles insektisida semalam sebelum survai

Tidak ada

Tidak ada

Tidak tersedia

Tidak tersedia

Belum rekomendasi WHO

Tidak ada

Tidak ada

Tidak tersedia

Tidak tersedia

Tidak dispesifikasikan dalam APN

Tidak ada

Tidak ada

Tidak tersedia

Tidak tersedia

Dilaksanakan di area terpilih, tetapi data cakupan tidak tersedia.

Tidak dilaksanakan

Sub-nasional

123

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

pendidikan gizi)** Perawatan cacingan***

Tidak ada pada ibu hamil dan anak balita

Tidak ada

Tidak tersedia

Sub-national

Tidak tersedia

Program fortifikasi dan suplementasi zat besi***

Rencana Aksi Nasional untuk Pangan & Gizi 2006-2010 Kep No 1452/MOH/SK/X/2003 Fortifikasi tepung terigu

Tidak ada

Semua tepung terigu

Nasional

100%

Kelambu beroleskan insektisida*

Seperti diatas

Seperti diatas

3.3%

Jarangnya data mengenai prevalensi membatasi pelaksanaan kebijakan/program ini Fortifikasi tepung terigu dengan zat besi adalah wajib di Indonesia dan hampir 100% semua tepung terigu difortifikasi meskipun tidak diketahui berapa banyak tepung terigu anak muda mengkonsumsi. DHS - % anak balita yang tidur dibawah kelambu teroles insektisida semalam sebelum survai

*Area terjangkit malaria ** Untuk ibu dan anak dari keluarga miskin *** Area dengan tinggi terjangkitnya cacing dan/atau anemia

124

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

Lampiran 4. Keamanan Pangan dan Pemetaan Kerawanan WFP Merupakan kebutuhan yang terus menerus bagi Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan dalam menentukan sasaran secara geografis dari area yang lebih rawan bagi intervensi terkait pangan dan keamanan gizi. Pada tahun 2003 Dewan Keamanan Pangan (FSC), yang diketuai oleh Presiden Indonesia, yang Sekretariatnya adalah Badan Keamanan Pangan (FSA), telah berkolaborasi dengan WFP untuk mengembangkan Atlas Kerawanan Pangan Nasional (FIA) untuk Indonesia. FIA pertama dikembangkan dan diluncurkan di tahun 2005 dan mencakup 265 kecamatan dipedesaan di 30 propinsi. Lebih dari US $32 juta dialokasikan oleh Pemerintah kepada 100million were allocated by the Government to 100 kecamatan yang diidentifikasikan sebagai rawan pangan dan intervensi mulai pada tahun 2006-2007. Atlas ke dua, dengan judul baru “Atlas Keamanan dan Kerawanan Pangan (FSVA)” yang mencakup 346 kecamatan dipedesaan di 32 propinsi, telah ditandatangani oleh Presiden Indonesia pada bulan Maret 2010 dan akan diluncurkan pada bulan Mei 2010, dan telah diitegrasikan secara penuh kedalam rencana kerja dan alokasi anggaran tahunan pemerintah. WFP telah menyediakan dukungan teknis dan finansial terhadap pengembangan dan pelaksanaan FIA dan FSVA sejak tahun 2003. Seperti FIA 2005, FSVA 2009 berlaku sebagai ialat penting bagi pembuat keputusan dalam menentukan sasaran dan mengembangkan rekomendasi untuk menanggapi terhadap kerawanan pangan pada tingkat propinsi dan kabupaten.. FSVA telah menganalisa 13 indikator yang terkait keamanan pangan, berdasarkan data sekunder yang diterbitkan secara resmi di periode 2004-2007, dan mengembangkan 9 komposit untuk menurunkan suatu Indeks Keamanan Pangan Komposit yang memperkenankan FSVA untuk menjawab tiga pertanyaan kunci yang terkait keamanan pangan dan kerawanannya: Dimana kerawanan lebih tinggi terhadap kerawanan pangan (berdasarkan propinsi, kecamatan); Terdapat Berapa banyak (estimasi penduduk); dan Mengapa lebih tinggi kerawanannya (penyebab dasar utama kerawanan pangan)? Indikator yang digunakan dalam Indeks Keamanan Pangan Komposit menyediakan informasi mengenai tiga pilar keamanan pangan yaitu ketersediaan pangan, akses pangan rumahtangga dan pemanfaatan pangan individual, seperti ditunjukkan dibawah ini. Food Availability Konsumsi normative per kapita sampai rasio ketersediaan neto ‘beras + jagung + singkong + ubi’

Food and Livelihoods Access Prosentase masyarakat dibawah garis kemiskinan

Food Utilization Harapan hidup pada kelahiran

Prosentase pedesaan Anak berbobot kurang dengan perhubungan kurang cukup dari kendaraan roda empat Prosentase rumahtangga Buta huruf jenis perempuan tanpa akses terhadap tenaga 125

Analisis Lanskap Kajian Negara Indonesia

listrik Prosentase rumahtangga tanpa akses terhadap air minum yang lebih baik Prosenase rumahtangga yang bertempat tinggal lebih dari 5 km dari fasilitas kesehatan Catatan. Untuk pemanfaatan pangan, data pada indikator langsung seperti konsumsi pangan, tidak tersedia pada tingkat kecamatan. Dengan demikian, indikator tidak langsung yang mungkin terpengaruh pemanfaatan pangan, atau dapat mempengaruhi pemanfaatan pangan, dan dimana data tersedia pada tingkat kecamatan, dipergunakan. Dalam kenyataannya, tidak ada indikator yang digunakan dibawah pemanfaatan pangan dapat dikatakan menjadi indikator untuk pemanfaatan pangan; melainkan merupakan indikator kerawanan terhadap pangan dan bahkan untuk keamanan gizi. Dengan menggunakan indeks komposit, 346 kecamatan yang mempunyai perangkat data lengkap, diurutkan dan dipetakan. Diantaranya, 100 diranking sebagai Prioritas 1 (30 kecamatan), Prioritas 2 (30 kecamatan) dan Prioritas 3 (40 kecamatan) dengan total perkiraan 25 juta penduduk. Sisa 246 kecamatan diklasifikasikan sebagai Prioritas 4-6. Perhatian lebih tinggi harus diberikan kepada kecamatan Prioritas 1-3 dalam membahas keamanan dan kerawanan pangan. FSVA menyediakan alat informasi bagi pembuat keputusan untuk secara cepat mengidentifikasi area paling rawan dimana investasi dalam layanan yang berbeda, pengembangan sumber daya manusia dan infrastruktur yang terkait keamanan pangan akan lebih besar dampaknya terhadap penghidupan, keamanan pangan dan gizi masyarakat.

126