ANALISIS PERAN PEMANGKU KEPENTINGAN DAN IMPLEMENTASINYA DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN Muhammad Iqbal Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Jalan Ahmad Yani 70, Bogor 16161
ABSTRAK Gambaran selama ini menunjukkan bahwa implementasi program pembangunan pertanian relatif menjadi ranahnya para pemangku kepentingan utama yang secara signifikan berpengaruh atau memiliki posisi penting atas keberlangsungan kegiatannya. Sementara itu, peran pemangku kepentingan lainnya yang terkena dampak, baik positif (penerima manfaat) maupun negatif (di luar kesukarelaan) dari suatu kegiatan, relatif kurang dilibatkan secara hakiki. Oleh karena itu, pemahaman terhadap keberadaan (eksistensi) pemangku kepentingan mutlak diperlukan. Tulisan ini memaparkan kajian tentang eksistensi berikut penelaahan pemangku kepentingan dalam implementasi program pembangunan pertanian. Beberapa aspek penting dalam analisis pemangku kepentingan berkaitan dengan proses identifikasi, partisipasi, dan fasilitasi. Peran pemangku kepentingan seyogianya diwujudkan dalam wadah (forum) organisasi guna penyamaan persepsi, jalinan komitmen, keputusan kolektif, dan sinergi aktivitas dalam menunjang kelancaran program pembangunan pertanian. Kata kunci: Pemangku kepentingan, analisis, pembangunan pertanian
ABSTRACT Stakeholder’s role analysis and its implementation in agricultural development Empirically, key stakeholders who significantly influence or have a central position towards its activities relatively dominated implementations of agricultural development programs. Meanwhile, the role of other stakeholders who are positively affected (beneficiaries) as well as negatively influenced (out of voluntary action) is a less essentially involved. Thus, understanding the existence of stakeholders is considered necessary. This paper reviewed the existence of stakeholders and its role in agricultural program implementation. Some important aspects in stakeholder analysis were anchored in the process of identification, participation, and facilitation. Concretely, the role of stakeholders should be organized in stakeholders’ forum to create equal perception, commitment network, collective decision, and synergic activity to ensure the implementation of agricultural development programs. Keywords: Stakeholders, analysis, agricultural development
P
embangunan pertanian merupakan salah satu tulang punggung pembangunan nasional dan implementasinya harus sinergis dengan pembangunan sektor lainnya. Pelaku pembangunan pertanian meliputi departemen teknis terkait, pemerintah daerah, petani, pihak swasta, masyarakat, dan pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya. Koordinasi di antara pelaku pembangunan pertanian merupakan kerangka mendasar yang harus diwujudkan guna mencapai tujuan dan sasaran yang ditetapkan. Tujuan pembangunan pertanian adalah: 1) membangun sumber daya manusia aparatur profesional, petani mandiri, dan Jurnal Litbang Pertanian, 26(3), 2007
kelembagaan pertanian yang kokoh, 2) meningkatkan pemanfaatan sumber daya pertanian secara berkelanjutan, 3) memantapkan ketahanan dan keamanan pangan, 4) meningkatkan daya saing dan nilai tambah produk pertanian, 5) menumbuhkembangkan usaha pertanian yang dapat memacu aktivitas ekonomi pedesaan, dan 6) membangun sistem ketatalaksanaan pembangunan pertanian yang berpihak kepada petani. Sementara itu, sasaran pembangunan pertanian yaitu: 1) terwujudnya sistem pertanian industrial yang memiliki daya saing, 2) mantapnya ketahanan pangan secara mandiri, 3) terciptanya kesempatan kerja bagi masya-
rakat pertanian, dan 4) terhapusnya kemiskinan di sektor pertanian serta meningkatnya pendapatan petani (Departemen Pertanian 2004). Dalam rangka mewujudkan tujuan dan sasaran pembangunan pertanian, implementasinya tidak dapat dilepaskan dari ketatalaksanaan program/kegiatan, di mana secara konseptual program diformulasikan untuk rancangan pembangunan yang selanjutnya diimplementasikan dalam kegiatan. Namun seiring penerapan sistem desentralisasi dan otonomi daerah, konsep pelaksanaannya diarahkan pada perluasan peran pemerintah daerah dan segenap pemangku 89
kepentingan. Sementara itu, peran pemerintah pusat lebih difokuskan pada koordinasi dan pembinaan. Pada hakekatnya, pembangunan pertanian diimplementasikan dalam berbagai kegiatan. Kegiatan-kegiatan tersebut antara lain mencakup: 1) penerapan berbagai pola pemberdayaan masyarakat sebagai pelaku pembangunan agribisnis, terutama petani, 2) fasilitasi terciptanya iklim yang kondusif bagi perkembangan kreativitas dan kegiatan ekonomi masyarakat, 3) penyediaan prasarana dan sarana fisik oleh pemerintah dengan fokus pemenuhan kebutuhan publik yang mendukung sektor pertanian serta lingkungan bisnis secara luas, dan 4) akselerasi pembangunan wilayah dan stimulasi tumbuhnya investasi masyarakat serta dunia usaha (Departemen Pertanian 2002). Secara empiris, implementasi program pembangunan pertanian selama ini dapat dikatakan cenderung menjadi ranahnya para pemangku kepentingan utama yang secara signifikan berpengaruh atau memiliki posisi penting atas keberlangsungan kegiatan pembangunan tersebut. Pemangku kepentingan demikian dapat digolongkan sebagai pihak penyandang dana, pelaksana kegiatan, organisasi pengawas dan advokasi, yang secara implisit adalah pemerintah. Sementara itu, peran pemangku kepentingan lainnya yang terkena dampak, baik positif (penerima manfaat) maupun negatif (di luar kesukarelaan) dari suatu kegiatan, relatif kurang dilibatkan secara hakiki. Berdasarkan gambaran di atas, pemahaman terhadap keberadaan (eksistensi) pemangku kepentingan mutlak diperlukan. Tulisan ini memaparkan kajian tentang pengertian berikut penelaahan pemangku kepentingan dalam pembangunan pertanian.
EKSISTENSI PEMANGKU KEPENTINGAN Paling tidak ada dua aspek yang berkaitan erat dengan eksistensi pemangku kepentingan dalam implementasi program pembangunan pertanian, yaitu klasifikasi dan partisipasi pemangku kepentingan. Namun, sebelum menelaah lebih lanjut mengenai kedua aspek tersebut, terlebih dahulu perlu dipahami definisi atau pengertian tentang pemangku kepentingan itu sendiri. 90
Definisi Pemangku Kepentingan Dari aspek semantik, pemangku kepentingan didefinisikan sebagai perorangan, organisasi, dan sejenisnya yang memiliki andil atau perhatian dalam bisnis atau industri (Hornby 1995). Dalam konteks sektor pertanian, secara organisasi pemangku kepentingan dapat dikategorikan dalam lingkup yang lebih luas, yakni pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), sektor swasta, dan komunitas. Secara perorangan atau kelompok, pemangku kepentingan mencakup aparat pemerintah (lingkup nasional hingga lokal), peneliti, penyuluh, petani (kontak tani, pemilik, penggarap, buruh tani), pedagang (sarana produksi dan hasil pertanian), penyedia jasa (alsintan dan transportasi), dan pihakpihak terkait lainnya. Dalam implementasi program pembangunan, pemangku kepentingan memiliki definisi dan pengertian yang beraneka ragam. Istilah pemangku kepentingan digunakan untuk mendeskripsikan komunitas atau organisasi yang secara permanen menerima dampak dari aktivitas atau kebijakan, di mana mereka berkepentingan terhadap hasil aktivitas atau kebijakan tersebut. Hal ini perlu disadari, mengingat masyarakat tidak selalu menerima dampak secara adil. Sebagian masyarakat mungkin menanggung biaya dan sebagian masyarakat lainnya justru memperoleh manfaat dari suatu kegiatan atau kebijakan (Race dan Millar 2006). Gonsalves et al. (2005) mendeskripsikan pemangku kepentingan atas siapa yang memberi dampak dan/atau siapa yang terkena dampak kebijakan, program, dan aktivitas pembangunan. Mereka bisa laki-laki atau perempuan, komunitas, kelompok sosial ekonomi, atau lembaga dalam berbagai dimensi pada setiap tingkat golongan masyarakat. Setiap kelompok ini memiliki sumber daya dan kebutuhan masing-masing yang harus terwakili dalam proses pengambilan keputusan dalam kegiatan pembangunan. Perlu dicatat bahwa pengambilan keputusan tidak dapat dilaksanakan secara efektif oleh satu kelompok tertentu.
Klasifikasi Pemangku Kepentingan Pemangku kepentingan adalah perorangan dan kelompok yang secara aktif terlibat dalam kegiatan, atau yang terkena dampak,
baik positif maupun negatif, dari hasil pelaksanaan kegiatan. Secara garis besar, pemangku kepentingan dapat dibedakan atas tiga kelompok (Crosby 1992), yaitu: 1) Pemangku kepentingan utama, yakni yang menerima dampak positif atau negatif (di luar kerelaan) dari suatu kegiatan. 2) Pemangku kepentingan penunjang, adalah yang menjadi perantara dalam membantu proses penyampaian kegiatan. Mereka dapat digolongkan atas pihak penyandang dana, pelaksana, pengawas, dan organisasi advokasi seperti organisasi pemerintahan, LSM, dan pihak swasta. Dalam beberapa kegiatan, pemangku kepentingan penunjang dapat merupakan perorangan atau kelompok kunci yang memiliki kepentingan baik formal maupun informal. 3) Pemangku kepentingan kunci, yakni yang berpengaruh kuat atau penting terkait dengan masalah, kebutuhan, dan perhatian terhadap kelancaran kegiatan.
Partisipasi Pemangku Kepentingan Pemangku kepentingan dapat dikategorikan sebagai pelaku, sedangkan partisipasi merupakan media dalam mencapai tujuan pelaksanaan kegiatan. Melalui partisipasi, pemangku kepentingan diharapkan mampu memformulasikan dan sekaligus mengimplementasikan aksi bersama. Selener (1997) mengklasifikasikan partisipasi atas dua tipe. Pertama, partisipasi teknis yang dapat mempengaruhi para pemegang kekuasaan untuk mengakomodasikan kebutuhan mereka. Partisipasi tipe ini relatif tidak bermuara pada pemberdayaan atau perubahan sosial masyarakat. Kedua, partisipasi politis yang memiliki kemampuan dalam pengambilan langkah pengawasan terhadap suatu kondisi dan situasi tertentu. Partisipasi tipe ini mampu meningkatkan aksi swadaya dalam pengembangan dan penguatan kelembagaan. Paling tidak ada empat alasan pentingnya partisipasi dalam menunjang keberhasilan suatu program/kegiatan (Krishna dan Lovell 1985). Pertama, partisipasi diperlukan untuk meningkatkan rencana pengembangan program/kegiatan secara umum dan kegiatan prioritas secara khusus. Kedua, partisipasi dikehendaki Jurnal Litbang Pertanian, 26(3), 2007
agar implementasi kegiatan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Ketiga, partisipasi dibutuhkan untuk menjamin kelangsungan program/kegiatan. Keempat, partisipasi dapat meningkatkan kesetaraan dalam implementasi kegiatan. Oleh karena itu, partisipasi merupakan suatu tatanan mekanisme bagi para penerima manfaat dari suatu program/kegiatan. Pada umumnya para pemangku kepentingan dalam implementasi program/ kegiatan terlibat secara semu (pasif). Petani, misalnya, hanya difungsikan sebagai target dan mereka berpartisipasi berdasarkan informasi yang mereka dapatkan mengenai apa yang terjadi di lingkungan mereka. Dengan kata lain, informasi dari target diinterpretasikan oleh pihak luar (kaum profesional dan ahli). Oleh karena itu, pengenalan tentang tipologi dan tingkatan partisipasi perlu dipahami oleh semua pihak dalam penerapan program/ kegiatan, khususnya di lingkup pembangunan pertanian.
Tipologi Partisipasi Secara tipologi, Pretty (1995) mengklasifikasikan partisipasi atas tujuh karakteristik (Tabel 1). Dari ketujuh karakteristik tersebut, partisipasi interaktif merupakan jenis partisipasi pemangku kepentingan yang dianggap paling sesuai dengan implementasi program pembangunan pertanian. Para pemangku kepentingan harus terwakili secara khusus dalam rancangan organisasi, di mana mereka berpartisipasi dan sekaligus menjalani proses pembelajaran dalam pelaksanaan program pembangunan. Hal ini perlu disadari mengingat tidak semua pemangku kepentingan memiliki peluang dan kesempatan yang sama, karena sebagian dari mereka terbatas dalam hal kapasitas untuk berpartisipasi. Pengembangan kapasitas pemangku kepentingan merupakan salah satu unsur efektif dalam memotivasi mereka untuk berpartisipasi. Berdasarkan hal ini, proses pembelajaran dan dukungan sistem yang memadai harus dirancang secara khusus untuk menjawab isu-isu yang relevan. Fajber (2005) mengemukakan beberapa tipologi, pendekatan, dan proses partisipasi pemangku kepentingan, khususnya institusi pelaksana dan penerima manfaat program pembangunan. Tipologi partisipasi dibedakan atas empat aspek, yaitu nominal, instrumental, representatif, Jurnal Litbang Pertanian, 26(3), 2007
Tabel 1. Tipologi dan karakteristik partisipasi. Tipologi
Karakteristik
Partisipasi pasif
Masyarakat berpartisipasi berdasarkan informasi yang mereka terima dari pihak luar tentang apa yang terjadi di lingkungan mereka
Partisipasi informasi
Masyarakat berpartisipasi dengan cara menjawab pertanyaan ekstraktif yang diajukan pihak luar (misalnya peneliti dengan menggunakan kuesioner), di mana hasil temuan tidak dimiliki, dipengaruhi, dan diperiksa akurasinya oleh masyarakat
Partisipasi konsultasi
Masyarakat berpartisipasi melalui konsultasi dengan pihak luar, di mana pihak luar tersebut mengidentifikasi masalah dan sekaligus mencarikan solusinya serta memodifikasi penemuan berdasarkan respons masyarakat
Partisipasi insentif material
Masyarakat berpartisipasi dengan menyediakan sumber daya, misalnya tenaga kerja dan lahan untuk ditukar dengan insentif material, namun partisipasi masyarakat terhenti seiring berakhirnya imbalan insentif tersebut
Partisipasi fungsional
Masyarakat berpartisipasi dengan membentuk kelompok dan melibatkan pihak luar dalam rangka menentukan tujuan awal program/kegiatan , di mana pada umumnya pihak luar terlibat setelah keputusan rencana utama dibuat
Partisipasi interaktif
Masyarakat berpartisipasi dalam melakukan analisis kolektif dalam perumusan kegiatan aksi melalui metode interdisiplin dan proses pembelajaran terstruktur, di mana masyarakat mengawasi keputusan lokal dan berkepentingan dalam menjaga serta sekaligus memperbaiki struktur dan kegiatan yang dilakukan
Partisipasi mobilisasi swadaya
Masyarakat berpartisipasi dengan cara mengambil inisiatif dan tidak terikat dalam menentukan masa depan, di mana pihak luar hanya diminta bantuan dan nasihat sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya
Sumber: Pretty (1995).
dan transformatif. Jabaran lebih lanjut mengenai tipologi, pendekatan, dan manfaat partisipasi tersebut disajikan pada Tabel 2.
Tingkat Partisipasi Secara mendasar, partisipasi merupakan kunci utama dalam menjalin rasa saling memahami, keterlibatan dalam implementasi kegiatan kolektif, dan kekuatan dalam membangkitkan pemberdayaan. Oleh karena itu, paling tidak tingkat partisipasi dapat dikategorikan atas pertanggungjawabannya, esensi kedalaman, tujuan, dan implementasinya . Peringkat partisipasi berdasarkan pertanggungjawaban menurut Johnston (1982) dapat dilihat pada Tabel 3. Dari kelima tingkat pertanggungjawaban tersebut, partisipasi kreativitas dapat dikategorikan sebagai tingkatan yang paling cocok untuk partisipasi pemangku kepentingan dalam implementasi program pembangunan pertanian. Pada tingkat
partisipasi ini, pemangku kepentingan berpartisipasi dalam menganalisis situasi, menentukan prioritas, perencanaan, implementasi, serta monitoring dan evaluasi. Dengan kata lain, masyarakat berkreasi dan melalui partisipasi mereka bertanggung jawab atas kegiatan mereka sendiri. Berdasarkan tingkat kedalaman, Hussein (2000) membedakan partisipasi menjadi partisipasi bersifat dangkal dan partisipasi mendalam. Perbedaan antara keduanya antara lain terletak pada esensi, kegiatan, dan tujuannya (Gambar 1). Secara empiris, proses partisipasi dari yang bersifat dangkal sampai yang mendalam dimulai dari penggalian informasi secara kualitatif dan semi-terstruktur (konsultatif), diikuti oleh proses pengambilan keputusan dalam menentukan kriteria indikatorindikator kunci untuk kalangan profesional, dan diakhiri dengan penentuan indikator-indikator yang terkait dengan implementasi suatu kegiatan. Arnstein (1969) membagi partisipasi masyarakat dalam implementasi program pembangunan partisipatif berdasarkan 91
Tabel 2. Tipologi, pendekatan, dan manfaat partisipasi bagi pemangku kepentingan dalam implementasi program/kegiatan pembangunan. Pendekatan
Tipologi
Manfaat
Pelaksana
Penerima manfaat
Nominal
Legitimasi (menunjukkan eksistensi terkait dengan kegiatan)
Masukan (menjaga akses terhadap manfaat kegiatan potensial)
Hubungan kondusif antarpemangku kepentingan
Instrumental
Efisiensi (mengefisienkan kontribusi masyarakat dan mengefektifkan pelaksanaan kegiatan)
Biaya (memanfaatkan alokasi waktu dan tenaga kerja secara tepat)
Pencapaian efisiensi dalam pemanfaatan sumber daya lokal
Keberlanjutan (menghindari ketergantungan)
Kekuatan (mempengaruhi ketatalaksanaan kegiatan)
Masyarakat mampu menentukan kegiatan pembangunan
Pemberdayaan (memperkuat kemampuan masyarakat dalam pengambilan keputusan dan aksi kegiatan)
Pemberdayaan (meningkatkan kemampuan dalam pengambilan keputusan dan aksi kegiatan)
Terciptanya dinamika keberlanjutan kegiatan
Representatif
Transformatif
Sumber: Fajber (2005).
Tabel 3. Tingkat partisipasi dan pertanggungjawabannya. Tingkat partisipasi
Tanggung jawab
Partisipasi berdasarkan pesanan atau tekanan
Masyarakat tidak berperan dalam pengambilan keputusan, melainkan hanya berpartisipasi menyediakan tenaga kerja dan materi untuk suatu kegiatan
Partisipasi sukarela
Masyarakat dapat menggunakan kebebasan untuk berpartisipasi atau tidak dalam suatu kegiatan
Partisipasi memberi saran
Masyarakat memperoleh kesempatan lebih luas untuk berpartisipasi dalam suatu kegiatan sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepada mereka
Partisipasi inisiatif
Masyarakat berpartisipasi dengan cara mengambil inisiatif untuk kelancaran suatu kegiatan
Partisipasi kreativitas
Masyarakat berpartisipasi dalam menganalisis situasi, menentukan prioritas, perencanaan, implementasi, serta monitoring dan evaluasi
Sumber: Johnston (1982).
delapan anak tangga yang dikelompokkan atas tiga tingkat (Tabel 4). Anak tangga pertama dan kedua diklasifikasikan sebagai non-partisipasi. Sementara itu, anak tangga ketiga sampai kelima dikategorikan sebagai partisipasi bersifat dorongan. Anak tangga keenam hingga kedelapan dikelompokkan sebagai partisipasi berdasarkan kekuatan warga masyarakat (power of citizen). Partisipasi boleh dikatakan dimulai pada anak tangga ketiga di mana masyara92
kat sudah memiliki suara, namun pengambilan keputusan masih berada di tangan pemegang kekuasaan. Partisipasi demikian tergolong ke dalam kategori partisipasi semu. Partisipasi riil dimulai pada anak tangga keenam yang ditandai dengan proses negosiasi. Pada anak tangga ketujuh dan kedelapan, masyarakat mendapatkan peluang secara mayoritas dalam pengambilan keputusan yang sekaligus mengarahkan mereka kepada pemberdayaan.
Secara implisit, anak tangga partisipasi tersebut mengisyaratkan bahwa intervensi dari pemerintah diperlukan guna meyakinkan para pemangku kepentingan dan sekaligus penerima manfaat pembangunan dalam menentukan pengambilan keputusan di antara mereka. Dengan kata lain, intervensi pemerintah dibutuhkan untuk memotivasi masyarakat dalam merealisasikan pembangunan dari bawah (buttom-up approach).
ANALISIS PEMANGKU KEPENTINGAN Analisis pemangku kepentingan bermanfat dalam pengidentifikasian komunitas atau kelompok masyarakat yang paling banyak kena pengaruh (dampak) dari suatu kegiatan pembangunan (Race dan Millar 2006). Analisis ini juga bermanfaat dalam menentukan prioritas mengenai komunitas atau kelompok masyarakat yang dibutuhkan dalam implementasi kegiatan dan manfaat pembangunan bagi mereka. Suatu kegiatan dapat memberikan manfaat bagi sebagian masyarakat, namun dapat pula merugikan sebagian masyarakat lainnya. Oleh karena itu, analisis pemangku kepentingan biasanya berhubungan dengan beberapa elemen seperti eksistensi kelompok masyarakat, dampak, dan konsekuensi yang muncul dari pelaksanaan program pembangunan.
Intisari Analisis Pemangku Kepentingan Race dan Millar (2006) menekankan beberapa intisari dalam analisis pemangku kepentingan yang perlu mendapatkan perhatian, yaitu: 1) pemangku kepentingan itu sendiri (individu atau kelompok yang memiliki atau terkena pengaruh dari kegiatan pembangunan), 2) partisipasi (keterlibatan), dan 3) keterkaitan sebagai bentuk dari partisipasi yang bersifat lebih dari sekedar konsultasi. Di samping itu, dalam analisis pemangku kepentingan perlu juga dipahami alur lingkaran operasionalisasi kegiatan mengingat implementasi program pembangunan umumnya memiliki dimensi sosial dalam setiap tahap pelaksanaannya. Partisipasi akan lebih mengena jika dapat melahirkan keputusan penting yang memiliki dampak dan bermanfaat nyata Jurnal Litbang Pertanian, 26(3), 2007
Penggalian informasi
Inisiasi tindakan
▲
▲
▲
Penggalian informasi
Partisipasi sebagai tujuan
▲
Kerja sama informasi
Pemberdayaan
▲
Partisipasi sebagai alat
▲
Fungsional
Penggalian informasi
Partisipasi dalam
▲
Partisipasi dangkal
Analisis perubahan dan intervensi
Gambar 1. Karakteristik tingkat kedalaman partisipasi.
Tabel 4. Anak tangga dan tingkat kelompok partisipasi masyarakat dalam implementasi program/kegiatan pembangunan partisipatif. Urutan
Tangga partisipasi
Tingkat kelompok partisipasi
1 2
Penanganan Terapi
Non-partisipasi
3 4 5
Informasi Konsultasi Konsiliasi
Partisipasi dorongan (tokenism)
6 7 8
Kemitraan Pendelegasian kekuatan Pengawasan oleh masyarakat
Partisipasi berdasarkan kekuatan warga masyarakat (power of citizen)
Implementasi Analisis Pemangku Kepentingan
Sumber: Arnstein (1969).
terkait dengan perubahan sosial ekonomi para pemangku kepentingan dari suatu kegiatan pembangunan pertanian. Oleh karena itu, dalam rangka merangkul pemangku kepentingan, diperlukan beberapa upaya sebagai berikut: 1) membangkitkan rasa kepemilikan pemangku kepentingan terhadap proses dan pencapaian hasil kegiatan, 2) meningkatkan hubungan dan pemahaman kolektif antarberbagai pemangku kepentingan, 3) meningkatkan kredibilitas pelaksanaan program pembangunan, 4) menggunakan pengetahuan dan pengalaman pemangku kepentingan, 5) mengembangkan kapasitas dan pemahaman antarpemangku kepentingan, dan 6) mengoptimalkan pengambilan keputusan dan perolehan hasil kegiatan (Race dan Millar 2006). Jurnal Litbang Pertanian, 26(3), 2007
tingkat kepuasan pemangku kepentingan. Namun demikian, beberapa faktor seperti kelemahan, keterbatasan, dan konflik harus dihindari dan dikelola guna memperlancar pelaksanaan pembangunan pertanian. Faktor-faktor tersebut antara lain berkaitan dengan waktu dan dana, dominasi dan perbedaan pendapat para pemangku kepentingan, ketersediaan informasi, keterampilan instruktur pelatihan, dan kemacetan implementasi kegiatan. Oleh karena itu, perlu diperhatikan dan dipahami beberapa aspek seperti visi, perencanaan, tujuan dan sasaran, masukan, tindakan, hasil, dan perolehan hasil operasionalisasi kegiatan pembangunan pertanian (Gambar 2). Gambaran mengenai proses pembelajaran dan keterlibatan pemangku kepentingan dalam implementasi program pembangunan pertanian dapat dilihat pada Gambar 3. Proses tersebut meliputi: 1) persiapan (identifikasi dan pemaduan pemangku kepentingan, identifikasi kerangka kerja dalam hal pengembangan informasi, pemahaman terhadap pengelola dan pengguna sumber daya, dan pemilihan opsi kegiatan), 2) implementasi (andil, penggunaan, dan stimulasi pengetahuan), dan 3) evaluasi terhadap proses dan perolehan hasil pelaksanaan program pembangunan pertanian (Arthur dan Garaway 2005).
Beberapa hal perlu dipertimbangkan dalam proses memadupadankan partisipasi pemangku kepentingan dalam implementasi program pembangunan pertanian. Race dan Millar (2006) menjabarkannya sebagai berikut: 1) kejelasan tujuan, 2) identifikasi pemangku kepentingan yang akan terlibat atau hanya sekedar diinformasikan, 3) peluang setiap tahap partisipasi terkait dengan situasi lingkungan, 4) spesifikasi kebutuhan sesuai dengan kondisi kelompok tidak mampu, terpisah, lokal, wanita, korporasi, dan lainnya, 5) variasi media, 6) ketersediaan data dan informasi bagi semua yang terlibat, 7) alokasi waktu dalam proses pembelajaran bersama secara partisipatif, 8) arus dan alur komunikasi, serta 9) evaluasi terhadap perolehan hasil dan
Secara garis besar, analisis pemangku kepentingan perlu mengakomodasi beberapa komponen (Race dan Millar 2006), yaitu: 1) komunitas atau kelompok masyarakat yang berhubungan dengan kepentingan suatu kegiatan, 2) isu utama berdasarkan pengalaman masyarakat, 3) dampak positif dan negatif kegiatan terhadap mata pencaharian masyarakat, 4) strategi untuk mengurangi atau menghindari dampak negatif kegiatan, dan 5) implementasi program aksi. Crosby (1992) mengemukakan dua kata kunci dalam analisis pemangku kepentingan, yaitu kepentingan (interest) dan pengaruh (influence). Meskipun kepentingan cukup sulit didefinisikan, esensinya dapat diperoleh melalui analisis sosial (untuk pemangku kepentingan utama) dan dokumen kelembagaan (untuk pemangku kepentingan penunjang). Secara ringkas, kepentingan yang dimaksud 93
Visi ▲
▼
Perencanaan (minat dan perhatian pemangku kepentingan) ▼
Tujuan dan Sasaran (dikembangkan dan didukung oleh pemangku kepentingan kunci) ▼
Masukan (ketersediaan sumbar daya keuangan, ide dan keterampilan, serta dukungan fisik dan moral) ▼
Tindakan (aktivitas pemangku kepentingan) ▼
Hasil (pemangku kepentingan terlatih) ▼
Perolehan hasil (keterpaduan, peningkatan dan kontinuitas mata pencaharian)
Gambar 2. Analisis pemangku kepentingan dan alur lingkar operasionalisasi program pembangunan pertanian.
Proses kegiatan
Identifikasi dan pemaduan pemangku kepentingan Identifikasi kerangka kerja dalam hal pengembangan informasi
▲
Evaluasi Hasil kegiatan
Persiapan
▼
Program/kegiatan
Penggunaan pengetahuan
▲
Pemahaman terhadap pengelola/pengguna sumber daya
▼
Pemilihan opsi kegiatan
Andil pengetahuan
Stimulasi pengetahuan Implementasi
Gambar 3. Eksistensi pemangku kepentingan dalam lingkaran implementasi program/kegiatan pembangunan pertanian.
di antaranya terkait dengan harapan, manfaat, sumber daya, komitmen, potensi konflik, dan jalinan hubungan. Selanjutnya, pengaruh berkaitan dengan kekuasaan terhadap kegiatan, termasuk di dalamnya pengawasan terhadap keputusan yang dibuat dan fasilitasi pelaksanaan kegiatan sekaligus pena94
nganan dampak negatifnya. Penilaian terhadap aspek pengaruh relatif sulit dilakukan dan perlu interpretasi khusus untuk mendalaminya. Namun, ada beberapa faktor yang dapat dijadikan acuan dalam menilai pengaruh tersebut (Tabel 5). Race dan Millar (2006) lebih lanjut menekankan bahwa melalui analisis pe-
mangku kepentingan, keberadaan masyarakat dapat diidentifikasi, misalnya, kelompok masyarakat yang paling terkena dampak dan terlibat dalam suatu kegiatan pembangunan, serta pelaksanaan kegiatan yang bermanfaat bagi mereka. Perlu disadari bahwa dampak dari suatu kegiatan pembangunan pertanian mungkin menguntungkan bagi sebagian pihak dan sebaliknya bagi pihak lain. Oleh karena itu, analisis pemangku kepentingan paling tidak selalu berkaitan dengan: 1) kelompok masyarakat sebagai basis kegiatan, 2) analisis dampak, dan 3) minimalisasi konsekuensi negatif dari pelaksanaan program pembangunan. Konkretnya, rancangan analisis pemangku kepentingan mencakup: 1) daftar masyarakat atau kelompok masyarakat terkait dengan kepentingan kegiatan, 2) isu utama di kalangan masyarakat, 3) dampak positif dan negatif suatu kegiatan terhadap mata pencaharian masyarakat, dan cara meningkatkan atau mengurangi kedua dampak tersebut, dan 4) tindakan yang perlu dilakukan. Secara skematis, integrasi dan interaksi pemangku kepentingan dalam implementasi program pembangunan pertanian diilustrasikan pada Gambar 4. Selain identifikasi, peran, tugas, tanggung jawab, dan persepsi pemangku kepentingan, tiga elemen penting lainnya yaitu informasi, teknologi, dan kebijakan perlu mendapatkan perhatian dalam analisis pemangku kepentingan.
Identifikasi Pemangku Kepentingan Identifikasi pemangku kepentingan merupakan hal mendasar yang harus dilakukan terlebih dahulu dalam analisis pemangku kepentingan terkait dengan implementasi program pembangunan. Neef (2005) menyarankan untuk membuat urutan topik kegiatan pembangunan pertanian sesuai dengan keberadaan pemangku kepentingan. Hal ini penting dalam rangka menghindari bias metode diagnostik jangka pendek, mematuhi kode etik pekerjaan, dan membuat keseimbangan minat dan perhatian antarpemangku kepentingan. Untuk mendapatkan gambaran yang realistis tentang situasi tersebut, diperlukan penelitian yang menggabungkan metode kualitatif dan partisipatif yang pelaksanaannya relatif agak lebih lama Jurnal Litbang Pertanian, 26(3), 2007
dibandingkan metode penelitian konvensional. Hasil identifikasi di atas sekaligus memuat tanggung jawab pemangku kepentingan, keragaan, dan indikator risiko dalam kaitannya dengan peran dan tugas pemangku kepentingan. Peran dan tugas tersebut seyogianya diimplementasikan dalam wacana kegiatan kelompok (bukan berbasis individu). Hal demikian penting dalam rangka menghindari variasi heterogenitas dan bias sosial terhadap kaum elit tertentu. Transparansi kebijakan cukup penting dalam mengiringi peran dan tugas serta tanggung jawab pemangku kepentingan dalam implementasi program pembangunan. Realisasi dalam mewujud-
penting mengingat persepsi para pemangku kepentingan berbeda antara satu dengan lainnya, baik individu maupun kelompok. Feldman (1996) mengemukakan bahwa persepsi tersebut dapat berupa pandangan terhadap kebijakan, program, kegiatan, dan upaya promosi yang dilakukan pihak eksternal terhadap masyarakat lokal. Oleh karena itu, pengetahuan tentang persepsi pemangku kepentingan mulai dari di mana mereka, apa yang mereka ketahui, apa yang mereka miliki, hingga apa yang mereka inginkan, merupakan elemen penting untuk memotivasi komitmen mereka dalam akselerasi kegiatan pembangunan pertanian. Dengan kata lain, ini adalah proses dalam rangka integrasi tugas dan peran pemangku kepentingan dalam suatu aksi kolektif (Gabriel 2002).
kan hal tersebut adalah dengan elaborasi bersama melalui curah pendapat (brainstorming) dan observasi (Bessettee 2005). Teknik dan metodologi bukan yang terpenting, tetapi proses pendekatan dan pembelajaran merupakan elemen krusial bagi segenap pemangku kepentingan dalam menyikapi transparansi kebijakan pelaksanaan program pembangunan pertanian.
Persepsi Pemangku Kepentingan Persepsi pemangku kepentingan perlu diperhatikan dalam pengintegrasian peran dan tugas pemangku kepentingan. Hal ini
Tabel 5. Faktor-faktor pengaruh keberadaan pemangku kepentingan.
Informasi dan Pelatihan
Pemangku kepentingan utama
Pemangku kepentingan penunjang
Status sosial ekonomi
Anggaran dan pengawasan
Organisasi, konsensus, dan kepemimpinan
Kekuasaan dan kepemimpinan
Pengawasan terhadap sumber daya strategis
Pengawasan terhadap sumber daya strategis
Pengaruh informal terhadap sesama pemangku kepentingan
Keberadaan tenaga-tenaga spesialis
Tingkat ketergantungan antarpemangku kepentingan
Kemampuan negosiasi
Secara konseptual, Ballit et al. (1997) mengemukakan bahwa penyediaan informasi boleh dikatakan lebih bersifat permintaan (demand driven) dibandingkan penawaran (supply driven). Oleh karena itu, penyediaan informasi seyogianya berbasis kebutuhan pemangku kepentingan. Hal demikian tidak hanya dimaksudkan untuk meningkatkan aksesibilitas pemangku kepentingan terhadap informasi, tetapi
Sumber: Crosby (1992).
Prioritas, kepuasan, saran perubahan ▼
▼
Umpan balik ▲
▼ ▲
Identifikasi pemangku kepentingan ▼
Integrasi peran/tugas
▲
▲
Tanggung jawab pemangku kepentingan, keragaan, dan indikator risiko
Peran/tugas pemangku kepentingan
▼
▼ ▲
Transparansi kebijakan
▼
▼
Monitoring/evaluasi peran/tugas pemangku kepentingan
▲
▲
Informasi dan pelatihan
▲
▲ ▼
▲
▼
Transparansi/peningkatan informasi
Persepsi pemangku kepentingan
Peningkatan kegiatan
Gambar 4. Integrasi dan interaksi pemangku kepentingan dalam implementasi program/kegiatan pembangunan. Jurnal Litbang Pertanian, 26(3), 2007
95
juga untuk meningkatkan status sosial ekonomi mereka dalam relevansinya dengan kegiatan pembangunan. Pelatihan diberikan kepada pemangku kepentingan (masyarakat) sebagai kerangka dasar dalam menciptakan dan sekaligus meningkatkan kesadaran mereka terhadap konsep pelaksanaan program pembangunan pertanian. Pelatihan mencakup unsur kepemimpinan, pengambilan keputusan, teknis ketatalaksanaan, pengembangan inovasi, aksesibilitas terhadap sumber daya, dan aspek sosial ekonomi pembangunan lainnya. Pelatihan tersebut diharapkan dapat menghasilkan dampak ganda melalui determinasi spesifik lokasi (Aggrawal 2002).
Monitoring dan Evaluasi Monitoring dan evaluasi merupakan elemen krusial lainnya dalam analisis pemangku kepentingan. Kedua elemen ini penting untuk melihat perkembangan kegiatan dan mendapatkan bahan masukan (umpan balik) untuk perbaikan dan penyempurnaan implementasi program pembangunan pertanian. Sesuai dengan spirit partisipasi, monitoring dan evaluasi seyogianya dilakukan secara partisipatif. Gonsalves et al. (2005) mendefinisikan monitoring dan evaluasi partisipatif sebagai upaya bersama antara para pemangku kepentingan dalam melakukan pengawasan dan penilaian pelaksanaan program pembangunan. Monitoring dan evaluasi partisipatif bermanfaat dalam meyakinkan tanggung jawab para pemangku kepentingan terhadap hasil pembangunan. Dengan kata lain, kegiatan ini sekaligus merupakan proses pembelajaran dan ketatalaksanaan dalam implementasi program pembangunan pertanian. Dalam monitoring dan evaluasi partisipatif, kriteria dan indikator kegiatan dirancang secara kolektif oleh semua pemangku kepentingan. Dalam hal ini, kerangka kerja faktor-faktor kunci pengawasan dan penilaian berikut arahannya dirancang guna mendapatkan umpan balik dan pelaksanaan program pembangunan pertanian. Vernooy (2005) memberikan kunci arahan dalam implementasi kegiatan monitoring dan evaluasi partisipatif berdasarkan prinsip efisiensi, keefektifan, dan relevansi atau kesesuaian dengan uraian sebagai berikut: 96
1) Efisiensi, prinsip ini berhubungan dengan alokasi waktu dan sumber daya yang digunakan dalam implementasi program pembangunan. Dalam kaitan tersebut, monitoring dan evaluasi partisipatif dirancang guna memperoleh masukan terkait dengan biaya, kesesuaian teknis, waktu, dan tujuan kegiatan. 2) Tingkat keefektifan, prinsip ini menjelaskan apakah proses kegiatan bermanfaat atau tidak dalam kaitannya dengan tujuan dan sasaran, atau pencapaian hasil yang positif dari kegiatan pembangunan pertanian. 3) Relevansi dan kesesuaian, prinsip ini menggambarkan manfaat, kode etik, kelenturan kegiatan partisipatif dalam konteks pelaksanaan program pembangunan pertanian. Lebih lanjut, Vernooy (2005) menggarisbawahi bahwa aspek pemahaman kondisi pemangku kepentingan (komunitas) sebelum pelaksanaan program/ kegiatan pembangunan merupakan titik tumpu penting dalam monitoring dan evaluasi partisipatif. Aspek tersebut dapat digali melalui analisis pendasaran partisipatif sebelum kegiatan pembangunan dimulai. Hal ini penting dalam rangka membedakan beberapa aspek yang terkait dengan proses dan aneka bentuk keluaran kegiatan seperti hasil, pencapaian, perolehan, dan dampak. Lengkapnya, uraian mengenai aspek-aspek tersebut disajikan pada Tabel 6.
Forum Pemangku Kepentingan Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, implementasi program pembangunan pertanian harus ditunjang oleh partisipasi pemangku kepentingan. Pemangku kepentingan seyogianya diorganisir dalam suatu wadah (forum) untuk memudahkan proses integrasi dan interaksi, sekaligus dalam rangka menerapkan analisis keberadaan pemangku kepentingan. Kasus dalam implementasi program pembayaran jasa lingkungan (payment for environmental services/PES) di daerah aliran sungai (DAS) Cidanau, Banten dapat dijadikan salah satu acuan dalam proses analisis integrasi dan interaksi pemangku kepentingan (LP3ES 2005). Pemangku kepentingan utama dalam Program PES di DAS Cidanau meliputi petani hulu selaku penjual jasa (upstream seller) dan PT Krakatau Tirta Industri se-
bagai pihak hilir atau pembeli (downsteram buyer). Sementara itu, pemangku kepentingan lainnya adalah pemerintah daerah, LSM, perusahaan industri, dan pihak swasta terkait lainnya. Dalam operasionalisasinya, semua pemangku kepentingan tersebut bergabung dalam wadah organisasi Forum Komunikasi DAS Cidanau (FKDC) yang tujuan utamanya adalah untuk memperlancar mekanisme PES di wilayah setempat. Secara lengkap, mekanisme implementasi PES di DAS Cidanau dapat dilihat pada Gambar 5.
IMPLEMENTASI ANALISIS PERAN PEMANGKU KEPENTINGAN DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN Selama ini ada kesan bahwa inisiasi program pembangunan pertanian seolah-olah cenderung lebih besifat pendekatan dari atas (top-down approach). Namun, implementasi beberapa program pembangunan pertanian sebetulnya cukup mengakomodasi peran para pemangku kepentingan. Dua program pembangunan pertanian yang telah dan sedang dilaksanakan dapat dijadikan sebagai contoh acuan, yaitu PIDRA (Participatory Integrated Development in Rainfed Area) dan Prima Tani (Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian). PIDRA diimplementasikan sejak tahun 2001 hingga 2008, sedangkan Prima Tani dimulai pada tahun 2005 (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2004a; Badan Ketahanan Pangan 2005).
PIDRA PIDRA dilaksanakan berdasarkan kesetaraan kemitraan antarpemangku kepentingan executing agencies, yakni Badan Ketahanan Pangan tingkat nasional sampai provinsi dan kabupaten dengan implementing agencies yaitu instansi teknis terkait dan LSM. Hubungan antara kedua badan (agencies) tersebut diutamakan dalam bentuk koordinasi dan sinkronisasi secara terpadu dalam program aksi penanggulangan kemiskinan melalui pemberdayaan usaha mikro kecil di wilayah PIDRA (Badan Ketahanan Pangan 2005). Jurnal Litbang Pertanian, 26(3), 2007
Tabel 6. Proses, hasil, perolehan, pencapaian, dan dampak kegiatan monitoring dan evaluasi partisipatif. Aspek
Deskripsi
Proses
Metode dan pendekatan yang digunakan dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi partisipatif
Hasil
Hasil kongkret dan tidak kongkret (tangible) dari kegiatan monitoring dan evaluasi partisipatif
Pencapaian
Pengaruh dan pihak yang melakukan tindakan dari pelaksanaan monitoring dan evaluasi partisipatif
Perolehan
Perubahan yang muncul dan dapat dimanfaatkan oleh pemangku kepentingan dari proses dan hasil monitoring dan evaluasi partisipatif
Dampak
Transformasi sosial dari kegiatan monitoring dan evaluasi partisipatif
Sumber: Vernooy (2005).
▲
▼
▲ ▲
PLN
▼
▲ ▲ ▲ ▲
▼ ▼ ▼
Keterangan :
Sektor Swasta
▲
▼
Forum Komunikasi DAS Cidanau
▲
▲
PDAM
▼
▲
▲
PT Krakatau Tirta Industri
▼
▲
LSM (LP3ES dan Rekonvasi Bhumi)
▼
▲
▼
Kelompok Tani
Industri
pelayanan/pembayaran air komunikasi dan fasilitasi nota kesepakatan (MoU) PES
Gambar 5. Mekanisme skim pembayaran jasa lingkungan (PES) di DAS Cidanau, Banten.
Instansi teknis yang cukup berperan dalam kegiatan PIDRA antara lain adalah Bappeda, Kimpraswil, Perhutani, Kantor Pemberdayaan Masyarakat, Dinas Indakop, BRI, Dinas Kesehatan, Dinas Pertanian, dan Dinas Kehutanan (PIDRA Jatim 2006). Instansi-instansi tersebut tergabung dalam forum koordinasi (komisi pelaksana) yang memiliki fungsi memfasilitasi ketatalaksanaan program serta sekaligus menghindari tumpang tindih kegiatan di wilayah PIDRA. Sebagai ujung tombak program ini adalah petugas teknis lapang dari instansi pemerintah dan fasilitator LSM yang berperan dalam memfasilitasi pendampingan masyarakat dalam wadah Kelompok Afinitas Mandiri (KAM), federasi (gabungan beberapa KAM), Lembaga Pembangunan Desa (LPD), dan tenaga relawan. Jurnal Litbang Pertanian, 26(3), 2007
Secara institusional, PIDRA antara lain diimplementasikan melalui: 1) peningkatan kemampuan para petugas pelaksana melalui pelatihan ketatalaksanaan kegiatan, PRA (Participatory Rural Appraisal), PME (Participatory Monitoring and Evaluation), studi banding, dan lokakarya, 2) pengadaan tenaga konsultan untuk bidang ketatalaksanaan, pengembangan masyarakat, dan PME, dan 3) penyediaan fasilitas dan sarana kerja untuk mendukung kelancaran kegiatan.
Prima Tani Prima Tani merupakan suatu model pengembangan agribisnis terpadu antara penelitian, penyuluhan, agribisnis, dan
pelayanan pendukung yang berbasis inovasi teknologi dalam suatu kawasan ‘laboratorium agribisnis’. Prinsip yang digunakan dalam kegiatan Prima Tani adalah build, operate, dan transfer (BOT) yang mengandung arti bahwa model inovasi yang diperkenalkan dan dimasyarakatkan merupakan sesuatu yang baru, sifatnya masih introduksi awal untuk selanjutnya diestafetkan kepada institusi teknis yang melaksanakan program pengembangan dalam skala luas (massal). Tujuan Prima Tani adalah untuk membangun model percontohan sistem dan usaha agribisnis berbasis inovasi teknologi yang memadukan sistem inovasi dan kelembagaan agribisnis (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2004a). Prima Tani diimplementasikan melalui tahapan: 1) perencanaan (penentuan lokasi, survei pendasaran, PRA, dan rancang bangun laboratorium agribisnis), dan 2) sosialisasi kegiatan. Kegiatan tahap berikutnya adalah: 1) implementasi teknologi dan kelembagaan dalam rangka pembentukan laboratorium agribisnis, unit industri agribisnis, dan sistem usaha tani intensifikasi-diversifikasi, 2) supervisi, monitoring, dan evaluasi, 3) pengorganisasian, 4) koordinasi, 5) pembinaan, dan 6) pemassalan (Sahardi et al. 2005). Kunci strategis peran Prima Tani dalam implementasi kegiatannya bertumpu pada jaringan kerja sama, baik secara internal maupun eksternal antarpemangku kepentingan. Jaringan kerja sama internal difungsikan dalam rangka mewujudkan kerja sama sinergis antara Unit Kerja dan Unit Pelaksana Teknis lingkup Badan Litbang Pertanian dalam pembentukan/ pembangunan laboratorium agribisnis. Sementara itu, jaringan kerja sama eksternal diarahkan untuk mewujudkan hubungan sinergis antara jaringan Badan Litbang Pertanian dengan Pemerintah Daerah, BUMN, swasta, dan masyarakat setempat (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2004b).
Analisis Peran Pemangku Kepentingan Idealnya, program pembangunan pertanian dilaksanakan secara terpadu antarberbagai pemangku kepentingan agar perencanaan, pelaksanaan, dan keberlanjutan kegiatan sesuai dengan sasaran, yakni dalam konteks mewujudkan harapan para penerima manfaat. Dalam 97
implementasinya, perlu diupayakan urun rembug antarberbagai pemangku kepentingan pada saat sosialisasi kegiatan. Secara formal, urun rembug tersebut dapat diwadahi dalam suatu forum pemangku kepentingan, di mana forum ini sekaligus sebagai ajang untuk menganalisis peran pemangku kepentingan yang beragam dari segi latar belakang, kepentingan, motivasi, harapan, dan keinginan. Beberapa komponen pokok yang perlu mendapatkan perhatian dalam analisis peran pemangku kepentingan dalam implementasi program/kegiatan pembangunan pertanian adalah pemerintah, organisasi nonpemerintah, sektor swasta, dan petani. Pertama, peran pemerintah jelas sangat berpengaruh, yakni sebagai perencana dan pelaksana. Kedua, peran organisasi nonpemerintah (LSM) tidak kalah pentingnya dalam konteks mikro spesifik lokasi. Ketiga, peran swasta sangat strategis terutama dalam hal penyediaan barang dan jasa, penyediaan modal, dan pemasaran. Keempat, peran petani sebagai pelaku utama dan sekaligus sebagai penerima manfaat. Dari keempat komponen pokok di atas, petani memegang peran sentral dalam implementasi program pembangunan pertanian. Petani peserta program/kegiatan pembangunan pertanian lazimnya dihimpun dalam organisasi kelompok tani yang memiliki fungsi sebagai media musyawarah petani dan sekaligus berperan dalam akselerasi kegiatan. Namun, beberapa kasus ditemui bahwa kelompok tani dibentuk dalam kaitannya dengan implementasi program/kegiatan. Akibatnya, eksistensi kelompok tani seperti itu berakhir seiring selesainya kegiatan. Akibat lebih luas, manfaat program/ kegiatan hanya dirasakan pada saat implementasi tanpa keberlanjutan. Sehubungan dengan hal tersebut, eksistensi kelompok tani harus dilandasi oleh prinsip partisipatif. Dengan kata lain, kelompok tani dibentuk oleh petani sendiri, sementara pihak luar hanya berperan sebagai fasilitator. Hal yang perlu digarisbawahi adalah perlu adanya pembekalan kelompok tani yang difasilitasi oleh fasilitator. Materi pembekalan berkaitan dengan pemberdayaan seperti fungsi, tugas, perencanaan, dan pengawasan, sehingga kelompok tani dapat tumbuh dan berkembang menjadi organisasi yang mandiri. Pembekalan kelompok tani tidak hanya difasilitasi oleh fasilitator atau tim pakar, tetapi juga dengan mengundang 98
pihak pemangku kepentingan lainnya. Dengan demikian, kegiatan yang dimaksud dapat dimanfaatkan sebagai ajang pertemuan untuk saling berintegrasi dalam konteks analisis peran pemangku kepentingan.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan Selama ini, implementasi program/kegiatan pembangunan pertanian cenderung menjadi ranahnya para pemangku kepentingan utama yang secara signifikan berpengaruh atau memiliki posisi penting atas keberlangsungan kegiatan. Pemangku kepentingan tersebut tergolong sebagai penyandang dana, pelaksana kegiatan, organisasi pengawas dan advokasi, yang secara implisit adalah pemerintah. Sementara itu, peran pemangku kepentingan lain yang terkena dampak, baik positif (penerima manfaat) maupun negatif (di luar kesukarelaan), dari suatu kegiatan relatif kurang dilibatkan secara hakiki. Oleh karena itu, analisis pemangku kepentingan penting dilakukan dalam mengidentifikasi komunitas atau kelompok masyarakat yang paling terpengaruh oleh suatu kegiatan pembangunan pertanian. Analisis pemangku kepentingan juga bermanfaat dalam menentukan prioritas mengenai komunitas atau kelompok masyarakat yang dibutuhkan dan sejauh mana implementasi program/kegiatan pembangunan bermanfaat bagi mereka. Analisis pemangku kepentingan meliputi beberapa aspek, yaitu: 1) pemangku kepentingan itu sendiri (individu atau kelompok yang memiliki atau terkena pengaruh dari pelaksanaan program/ kegiatan pembangunan pertanian), 2) partisipasi, dan 3) keterkaitan sebagai bentuk partisipasi yang bersifat lebih dari sekedar konsultasi. Di samping itu, dalam analisis pemangku kepentingan juga perlu dipahami alur operasionalisasi kegiatan pembangunan pertanian mengingat implementasinya memiliki dimensi sosial. Kepentingan dan pengaruh merupakan kunci dalam analisis pemangku kepentingan. Kepentingan antara lain berkaitan dengan harapan, manfaat, sumber daya, komitmen, potensi konflik, dan jalinan hubungan. Sementara itu, pengaruh berkaitan dengan kekuasaan
terhadap kegiatan, termasuk di dalamnya pengawasan terhadap keputusan yang telah dibuat dan fasilitasi pelaksanaan program/kegiatan pembangunan pertanian, dan penanganan dampak negatifnya. Oleh karena itu, implementasi analisis pemangku kepentingan mencakup aspek identifikasi pemangku kepentingan, persepsi pemangku kepentingan, informasi dan pelatihan, serta monitoring dan evaluasi.
Implikasi Kebijakan Pemangku kepentingan seyogianya diorganisir dalam suatu wadah (forum) komunikasi untuk mempermudah proses integrasi dan interaksi serta sekaligus menerapkan analisis pemangku kepentingan guna memperlancar pelaksanaan program/ kegiatan pembangunan pertanian. Pemangku kepentingan mencakup empat pilar eksistensi sosial kemasyarakatan, yaitu pemerintah dengan jajaran instansinya, masyarakat dengan lapisan sosialnya, sektor swasta dengan korporasi usahanya, dan LSM dengan kelompok institusinya. Keempat pilar tersebut harus memiliki unsur kesamaan persepsi, jalinan komitmen, keputusan kolektif, dan sinergi aktivitas dalam menunjang pelaksanaan program/kegiatan pembangunan pertanian. Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, peran pemerintah daerah sangat strategis dalam menjembatani para pemangku kepentingan guna memperlancar pembangunan pertanian. Dalam hal ini, fungsi peran pemerintah pusat (Departemen Pertanian) seyogianya lebih bersifat sebagai koordinator dan fasilitator, sehingga implementasi program pembangunan pertanian berjalan efisien dan efektif.
DAFTAR PUSTAKA Aggrawal, J. 2002. Training method for community development in India. Country Paper in the Asian Productivity Organization Seminar. Held in the Republic of Korea, 1− 26 August 1998. D.A. Cruz (Ed.) Asian Productivity Organization, Tokyo. Arnstein, S.R. 1969. A ladder of citizen participation. Journal of the American Institute of Planners. 35(4): 216−224. Arthur, R.I. and C.J. Garaway. 2005. Learning in action: A case from small waterbody fisheries in Lao PDR. In J. Gonsalves, T. Becker, Jurnal Litbang Pertanian, 26(3), 2007
A. Braun, D. Campilon, H. de Chaves, E. Fajber, M. Capiriri, J.R. Caminade, and R. Vernooy (Eds.) Participatory Research and Development for Sustainable Agricultural and Natural Resource Management: A Resource Book. International Potato Center-Users Perspective with Agricultural Research and Development, Philippines. Badan Ketahanan Pangan. 2005. Program Pengembangan Lahan Kering Terpadu (PIDRA). Badan Ketahanan Pangan, Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2004a. Rancangan Dasar Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (Prima Tani). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2004b. Baseline Survey Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (Prima Tani). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Ballit, S., M.R. Calvelo, and L. Masias. 1997. Communication for Development for Latin America: A regional experience. Food Agriculture Organization, Rome. Bessettee, G. 2005. Participatory development communication: Reinforcing the participatory natural resource management (NRM) research and action process. In J. Gonsalves, T. Becker, A. Braun, D. Campilon, H. de Chaves, E. Fajber, M. Capiriri, J.R. Caminade, and R. Vernooy (Eds.). Participatory Research and Development for Sustainable Agricultural and Natural Resource Management: A resource book. International Potato Center-Users Perspective with Agricultural Research and Development, Philippines. Crosby, B.L. 1992. Stakeholder Analysis: A vital tool for strategic managers. Technical Notes, No. 2. Agency for International Development, Washington DC. Departemen Pertanian. 2002. Pedoman Umum Bantuan Langsung Masyarakat Tahun 2002. Departemen Pertanian, Jakarta. Departemen Pertanian. 2004. Strategi dan Kebijakan Pembangunan Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta.
Jurnal Litbang Pertanian, 26(3), 2007
Fajber, E. 2005. Participatory research and development in natural resource management: Towards social and gender equity. In J. Gonsalves, T. Becker, A. Braun, D. Campilon, H. de Chaves, E. Fajber, M. Capiriri, J.R. Caminade, and R. Vernooy (Eds.). Participatory Research and Development for Sustainable Agricultural and Natural Resource Management: A resource book. International Potato Center-Users Perspective with Agricultural Research and Development, Philippines. Feldman, R.S. 1996. Understanding Psychology. McGraw Hill, Boston. Gabriel, R.L. 2002. Farmer Field School: A Second Look Theoretical Application of Social Psychology in Rural Development. Professorial Chair Lecture Delivered at the Institute of Community Education, College of Public Affair, UPLB, Philippines. Gonsalves, J., T. Becker, A. Braun, D. Campilon, H. de Chaves, E. Fajber, M. Capiriri, J.R. Caminade, and R. Vernooy. 2005. Participatory Research and Development for Sustainable Agricultural and Natural Resource Management: A resource book (glossary). International Potato Center-Users Perspective with Agricultural Research and Development, Philippines. Hornby, A.S. 1995. Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English. C. Jonathan, K. Kavanagh, and M. Ashby (Eds.). Oxford University Press, Oxford. Hussein, K. 2000. Monitoring and Evaluating Impact on Livelihoods: Lessons from experience. Department for International Development, United Kingdom. Johnston, M. 1982. The labyrinth of community participation: Indonesia’s experience. Community Development Journal 17(3): 202− 207. Krishna, R. and C. Lovell. 1985. Rural and Development in Asia and the Pacific. The Synopsis of ADB Regional Seminar on Rural Development in Asia and the Pacific, 15− 23 October 1984. Asian Development Bank, Manila. LP3ES. 2005. Laporan Pelaksanaan Skim Pembayaran Jasa Lingkungan (Payment for
Environmental Services/PES) di Daerah Aliran Sungai Cidanau, Banten. Lembaga Penelitian, Pendidikan, Penerangan Ekonomi dan Sosial, Jakarta. Neef, A. 2005. Identifying local stakeholders’ research priorities: Metodological challenges. In J. Gonsalves, T. Becker, A. Braun, D. Campilon, H. de Chaves, E. Fajber, M. Capiriri, J.R. Caminade, and R. Vernooy (Eds.). Participatory Research and Development for Sustainable Agricultural and Natural Resource Management: A resource book. International Potato Center-Users Perspective with Agricultural Research and Development, Philippines. PIDRA Jatim. 2006. Laporan Program PIDRA Tahap-1 (2001−2004) dan Tahap-2 (2005− 2008). Proyek Pengembangan Lahan Kering Terpadu (PIDRA) Provinsi Jawa Timur, Surabaya. Pretty, J. 1995. Regenerating Agriculture: Policies and practice for sustainability and selfreliance. Earthscan Publications, London. Race, D. and J. Millar. 2006. Training Manual: Social and community dimensions of ACIAR Projects. Australian Center for International Agricultural Research – Institute for Land, Water, and Society of Charles Sturt University, Australia. Sahardi, M.Z. Kanro, D. Sahari, M.A. Bilang, H. Muhammad, H. Djuddawi, dan Kasman. 2005. Laporan Participatory Rural Appraisal (PRA) Prima Tani di Desa Kamanre, Kecamatan Kamanre, Kabupaten Luwu, Provinsi Sulawesi Selatan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan, Makassar. Selener, D. 1997. Participatory Action Research and Social Change. Cornell University, Ithaca, New York. Vernooy, R. 2005. Monitoring and evaluating participatory research and development: Some key elements. In J. Gonsalves, T. Becker, A. Braun, D. Campilon, H. de Chaves, E. Fajber, M. Capiriri, J.R. Caminade, and R. Vernooy (Eds.). Participatory Research and Development for Sustainable Agricultural and Natural Resource Management: A resource book. International Potato CenterUsers Perspective with Agricultural Research and Development, Philippines.
99