BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

memberikan asuhan keperawatan secara mandiri dalam konteks nonfarmakologi ... penderita ulkus peptikum, selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Set...

87 downloads 710 Views 485KB Size
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Glukosa merupakan bentuk karbohidrat yang paling sederhana yang diabsorbsi ke dalam cairan darah melalui sistem pencernaan. Konsentrasi glukosa darah sangat penting dipertahankan pada kadar yang cukup tinggi dan stabil sekitar 70-120 mg/dl untuk mempertahankan fungsi otak dan suplai jaringan secara optimal. Kadar glukosa darah juga perlu dijaga agar tidak meningkat terlalu tinggi mengingat glukosa juga berpengaruh terhadap tekanan osmotik cairan ekstraseluler (Ignatavicius & Walkman, 2006; Robbin, et al., 2007). Pada keadaan normal glukosa darah di atur sedemikian oleh insulin, sehingga kadarnya selalu dalam batas normal, kadar glukosa darah selalu stabil sekitar 70 – 140 mg/dl. Pada keadaan Diabetes Melitus (DM) tubuh relatif kekurangan insulin sehingga pengaturan kadar glukosa darah jadi kacau. Walaupun kadar glukosa darah tinggi, glukoneogenesis di hati tidak dapat dihambat sehingga kadar glukosa darah dapat semakin meningkat (Waspadji, 2009). Hiperglikemia adalah kondisi dimana kadar glukosa darah puasa lebih dari 126 mg/dl atau glukosa darah 2 jam setelah makan lebih dari 200 mg/dl (Soegondo, 2009). Hiperglikemia dapat menyebabkan dehidrasi seluler, keluarnya glukosa dalam urin yang menyebabkan diuresis osmotik oleh ginjal. Kondisi ini menyebabkan manifestasi poliuria (pengeluaran urin secara berlebihan), polidipsi

Universitas Sumatera Utara

(minum berlebihan), dan polifagia yang disebabkan oleh kegagalan metabolisme glukosa oleh tubuh yang menyebabkan penurunan berat badan. Manifestasi ini merupakan gejala khas DM (Soegondo, Soewondo dan Subekti, 2009). DMT2

adalah

sekelompok

penyakit

metabolik

yang

ditandai

hiperglikemia akibat kerusakan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya (American Diabetes Association (ADA), 2012; Smeltzer & Bare, 2008). DMT2 sering tidak terdiagnosis untuk bertahun-tahun karena hiperglikemia berkembang secara bertahap dan pada tahap awal sering tidak cukup bagi pasien untuk melihat salah satu gejala klasik diabetes. DMT2 sering tidak menunjukkan gejala yang khas pada awalnya, sehingga diagnosis baru dapat ditegakkan ketika pasien berobat untuk keluhan yang lain yang sebenarnya merupakan komplikasi dari DMT2 tersebut (Soegondo, et al., 2009). Menurut International Diabetes Federation (IDF, 2005 dalam Soegondo, et al., 2009) Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke 3 terbesar di dunia, sementara IDF pada tahun 2006 menyatakan angka prevalensi DM untuk Amerika Serikat 8,3% dan Cina 3,9% dan Indonesia berada diantaranya. Lebih lanjut penelitian Litbang Depkes (2008) menunjukkan bahwa prevalensi nasional adalah 5,7% meningkat 1,1% dari dari 4,6% tahun 2000 (Suyono, 2009 dalam Soegondo, et al., 2009) dan IDF (2009 dalam PERKENI, 2011) memprediksikan kenaikan jumlah penyandang DM dari 7.0 juta pada tahun 2009 menjadi 12.0 juta tahun 2030. Data terbaru hasil survey WHO (2011), Indonesia menduduki ranking ke 4 terbesar di dunia.

Universitas Sumatera Utara

Untuk

mencegah

terjadinya

komplikasi

DM,

maka

diperlukan

pengontrolan yang terapeutik dan teratur melalui perubahan gaya hidup pasien DMT2 yang tepat, tegas dan permanen, bila diabaikan komplikasi dapat menyerang seluruh anggota tubuh yang di akibatkan kadar gula darah yang tidak terkontrol. Pengontrolan kadar gula darah diantaranya adalah pembatasan diet, peningkatan aktivitas fisik, regimen pengobatan yang tepat, kontrol medis yang teratur, pengontrolan metabolik secara teratur melalui pemeriksaan kadar gula darah (Golie, et al, dalam Ronquillo, et al., 2003). Tindakan pengendalian untuk mencegah terjadinya komplikasi sangatlah diperlukan khususnya menjaga tingkat gula darah sedekat mungkin dengan normal. DM jika tidak dikelola dengan baik maka akan menimbulkan komplikasi akut dan kronik (Soegondo, et al., 2009). Komplikasi kronik pasien DMT2 seperti retinopati diabetik, nefropati diabetik dan neuro diabetik yang mengindikasikan pasien harus menjalani perawatan di rumah sakit untuk pengelolaan kadar gula darah dan keluhan keluhan lain yang ditimbulkan oleh penyakit yang menyertainya. Kondisi seperti ini sering membuat pasien stres dan mengalami kecemasan yang hebat yang pada akhirnya dapat meningkatkan kadar glukosa darah (Price & Wilson, 2006; Smeltzer & Bare, 2008; ADA, 2012). Selama kurun waktu dua dekade terakhir ini asuhan keperawatan pada pasien DMT2 dilakukan dalam konteks kolaborasi farmakologi (Smeltzer & Bare, 2008), padahal perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan diharapkan mampu memberikan asuhan keperawatan secara mandiri dalam konteks nonfarmakologi (Dochterman & Bulecheck, 2004). Pengelolaan DM yang disepakati oleh para ahli

Universitas Sumatera Utara

diabetes di Indonesia yang terdiri atas 4 pilar utama pengelolaan DM, yaitu edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan intervensi farmakologis (Perkeni, 2006). Pengelolaan DM melalui edukasi yaitu relaksasi autogenik dikembangkan melalui melatih individu untuk menguasai munculnya emosi sehingga individu mampu melakukan perubahan dalam dirinya sendiri (Saunders, 2007). Terapi relaksasi ini ada bermacam-macam diantaranya adalah PMR, Benson, nafas dalam, relaksasi autogenik dimana semua jenis relaksasi ini sudah di uji coba melalui berbagai penelitian (Moyad & Hawks, 2009). Tehnik relaksasi dengan gerakan dan instruksi yang lebih sederhana daripada tehnik relaksasi lainnya, dapat dilakukan dengan posisi berbaring, duduk dikursi dan

duduk

bersandar yang memungkinkan klien dapat melakukannya dimana saja tanpa menyita banyak waktu adalah relaksasi autogenik dimana (Greenberg, 2002). Penelitian tentang relaksasi autogenik dilakukan dalam menguji efektifitas dalam upaya menurunkan kecemasan dalam masalah tidur dan relaksasi autogenik dalam penurunan kecemasan pada mahasiswa keperawatan (Kanjia, et al., 2006; Bowden, et al., 2012), menurunkan nyeri (Ishinova, et al., 2009; Prato & Yucha, 2012;). Di Indonesia juga telah dilakukan penelitian relaksasi autogenik. Prayitno (2008) menyatakan bahwa relaksasi autogenik dapat menurunkan nyeri pada penderita ulkus peptikum, selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Setyawati, (2010) dimana relaksasi autogenik dapat menurunkan kadar glukosa darah dan tekanan darah pada pasien diabetes melitus dengan hipertensi. Relaksasi autogenik merupakan relaksasi yang bersumber dari diri sendiri berupa kata-kata atau kalimat pendek atau pikiran yang dapat membuat pikiran

Universitas Sumatera Utara

tentram. Relaksasi autogenik dapat mengalihkan respon tubuh kita secara sadar berdasarkan perintah dari diri sendiri, maka dapat membantu melawan efek stres yang berbahaya (Greenberg, 2002). Relaksasi autogenik diduga sesuai diterapkan pada penyakit endokrin, mengingat fungsi tubuh yang paling berhubungan dengan stres adalah

sistem endokrin. Agardh, et al., (2003) membuktikan dalam

penelitian epidemiologinya adanya hubungan antara stres dengan DMT2. Relaksasi merupakan bentuk mind body intervention dalam terapi komplementer dan alternative (CAM) dalam setting keperawatan (kozier et al, 2004). Penggunaan terapi komplementer ini semakin meningkat beberapa dekade terakhir ini, bahkan terapi CAM ini sudah merupakan bagian dari keperawatan sejak periode Florence Nightingale seperti dalam bukunya Notes on Nursing tahun 1859. Relaksasi diduga bekerja dengan pengaturan hormon kortisol dan hormon stres lainnya. Hal ini diperkuat oleh penelitian DiNardo (2009) efek meditasi pada penurunan kadar gula darah. Relaksasi autogenik sendiri merupakan penelitian yang dianjurkan untuk diteliti selanjutnya. Mengingat keuntungan dan manfaat relaksasi autogenik, maka peneliti tertarik untuk mengindetifikasi pengaruh relaksasi autogenik terhadap kadar gula darah pada klien DMT2 di Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Djasamen Saragih Pematangsiantar dan Rumah Sakit Vita Insani. Pematangsiantar.

1.2. Permasalahan DMT2 menjadi masalah kesehatan yang serius, baik dinegara maju maupun di negara berkembang karena insidensinya terus meningkat (Soegondo, et

Universitas Sumatera Utara

al., 2009). DM merupakan penyakit kronis yang dapat menyebabkan komplikasi pada berbagai sistem tubuh, dan tidak dapat disembuhkan melainkan pengontrolan kadar gula darahnya, sehingga kadar gula darah menjadi fokus perhatian intervensi kesehatan (Inzucchi, et al., 2005). Dalam mengelola DM langkah pertama yang harus dilakukan adalah pengelolaan non farmakologis, berupa edukasi, terapi gizi medis dan latihan jasmani. Relaksasi sebagai terapi non farmakologis juga merupakan salah satu bentuk latihan pasif,. Tehnik relaksasi autogenik terdiri dari enam standar dengan gerakan dan instruksi sederhana dengan waktu yang efisien dibandingkan dengan relaksasi lainnya (Kanji, et al., 2006). Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Apakah relaksasi autogenik berpengaruh terhadap penurunan kadar glukosa darah (KGD) pada pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Djasamen Saragih Pematangsiantar dan Rumah Sakit Vita Insani (RSVI) Pematangsiantar.

1.3 Tujuan Penelitian 1.2.1. Tujuan Umum 1.2.2. Tujuan umum penelitian ini adalah mengindentifikasi pengaruh relaksasi autogenik terhadap penurunan kadar glukosa darah pada pasien DMT2. 1.2.3. Tujuan Khusus Tujuan khusus pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

1.

Mengidentifikasi perbedaan mean KGD pasien DMT2 sebelum dan setelah relaksasi pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi

2.

Menganalisa perbedaan selisih mean KGD pada kelompok kontrol dan intervensi

3.

Mengidentifikasi pengaruh faktor pengganggu terhadap kadar glukosa darah setelah relaksasi autogenik

1.4 Hipotesis Penelitian Adapun yang menjadi hipotesis penelitian ini adalah ada pengaruh relaksasi autogenik terhadap kadar gula darah pada pasien DMT2 di Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar dan Rumah Sakit Vita Insani Pematangsiantar.

1.5 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi: 1. Bagi pelayanan keperawatan Memberikan masukan bagi pihak pelayanan kesehatan untuk menggunakan relaksasi autogenik sebagai salah satu terapi komplementer dalam menurunkan kadar glukosa darah pasien DMT2. 2. Bagi pendidikan dan perkembangan ilmu keperawatan Memperkuat dukungan teoritis penggunaan relaksasi autogenik dalam menurunkan kadar glukosa darah pada pasien DMT2.

Universitas Sumatera Utara