BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep tidur

Irama sirkadian mempengaruhi pola fungsi biologis utama dan fungsi perilaku. Fluktuasi dan prakiraan suhu tubuh, denyut jantung, tekanan darah, sekres...

20 downloads 633 Views 250KB Size
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

1. Konsep tidur 1.1 Fisiologi tidur Tidur adalah suatu keadaan tidak sadar yang dialami seseorang yang dapat dibangunkan kembali dengan indera atau rangsangan yang cukup (Guyton & Hall, 1997). Tidur ditandai dengan aktivitas fisik minimal, tingkatan kesadaran yang bervariasi, perubahan-perubahan proses fisiologi tubuh dan penurunan respon terhadap rangsangan dari luar (Priharjo, 1993). Tidur merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia, sama halnya seperti kesehatan yang baik secara umum (Chopra, 2003). Tiap individu membutuhkan jumlah yang berbeda untuk tidur. Tanpa jumlah tidur yang cukup, kemampuan untuk berkonsentrasi, membuat keputusan, dan berpartisipasi dalam aktivitas harian akan menurun, dan meningkatkan iritabilitas (Potter & Perry, 2005). Sebagian besar, organisme hidup menunjukkan adanya fluktuasi fungsi tubuh yang berirama sepanjang kurang lebih 24 jam, yaitu berirama sirkadian. Umumnya, organisme-organisme tersebut menjadi terlatih seirama dengan siklus cahaya siang-malam yang terjadi di lingkungannya (Ganong, 2002). Irama sirkadian mempengaruhi pola fungsi biologis utama dan fungsi perilaku. Fluktuasi dan prakiraan suhu tubuh, denyut jantung, tekanan darah, sekresi hormone, kemampuan sensorik, dan suasana hati tergantung pada pemeliharaan siklus sirkadian 24 jam (Potter & Perry, 2005). Zona tidur otak depan basal meliputi

Universitas Sumatera Utara

bagian-bagian dari hipotalamus. Dari hipotalamus, jalur endokrin dan saraf yang menuju ke berbagai bagian tubuh, mengatur irama ini, termasuk pelepasan melatonin di malam hari, yang berfungsi sebagai sinyal waktu sistemik (Ganong, 2002). Irama biologis tidur seringkali menjadi sinkron dengan fungsi tubuh yang lain. Jika siklus tidur-bangun menjadi terganggu (misalnya perputaran dinas kerja), maka fungsi fisiologis lain dapat berubah juga. Kegagalan untuk mempertahankan siklus tidur-bangun individual yang biasanya dapat secara berlawanan mempengaruhi kesehatan keseluruhan seseorang (Potter & Perry, 2005). Tidur melibatkan suatu urutan keadaan fisiologis yang dipertahankan oleh integrasi tinggi aktivitas system saraf pusat yang berhubungan dengan perubahan dalam system saraf peripheral, endokrin, kardiovaskuler, pernapasan dan muscular (Robinson, 1993). Tiap rangkaian diidentifikasi dengan respon fisik tertentu dan pola aktivitas otak. Peralatan seperti elektroensefalogram (EEG), yang mengukur aktivitas listrik dalam korteks serebral, elektromiogram (EMG), yang mengukur tonus otot dan elektrookulogram (EOG) yang mengukur gerakan mata, memberikan informasi struktur aspek fisiologis tidur (Potter & Perry, 2005). Kontrol dan pengaturan tidur tergantung pada hubungan antara dua mekanisme serebral yang mengaktivasi secara intermitten dan menekan pusat otak tertinggi untuk mengontrol tidur dan terjaga. Sebuah mekanisme menyebabkan terjaga dan yang lain menyebabkan tertidur (Potter & Perry, 2005). Siklus tidur-bangun mempengaruhi dan mengatur fungsi fisiologis dan respons prilaku. Jika siklus tidur-bangun seseorang terganggu, maka fungsi

Universitas Sumatera Utara

fisiologis tubuh yang lain juga dapat terganggu atau berubah. Kegagalan untuk mempertahankan

siklus

tidur-bangun

individual

yang

normal

dapat

memepengaruhi kesehatan seseorang (Potter & Perry, 2005). Tidur dapat dihasilkan dari pengeluaran serotonin dari sel tertentu dalam sistem tidur Raphe pada pons dan otak depan bagian tengah. Zat agonis serotonin berguna untuk menekan tidur dan antagonis serotonin meningkatkan tidur gelombang-lambat pada manusia. Seseorang tetap tertidur atau terbangun tergantung pada keseimbangan impuls yang diterima dari pusat yang lebih tinggi, reseptor sensori perifer dan sistem limbik. Ketika seseorang mencoba untuk tidur mereka akan menutup mata dan berada pada posisi relaks. Jika stimulus ke SAR menurun maka aktivasi SAR juga akan menurun. Pada beberapa bagian lain, BSR mengambil alih dan menyebabkan seseorang tidur (Ganong, 2002). 1.2 Tahapan tidur Tidur terjadi hanya ketika perhatian dan aktivitas berkurang. Menguap adalah tanda yang utama individu atau seseorang berhasrat ingin tidur. Tidur dibagi menjadi 2 tahapan, yaitu tidur Non-Rapid Eye Movement (NREM) dan tidur Rapid Eye Movement (REM). 1.2.1 Tidur Non-Rapid Eye Movement (NREM) Tidur NREM adalah tidur yang lambat dengan mata tertutup, ada pergerakan tubuh dan bernapas dengan tenang dan teratur (Brugne, 1994). Selama tidur NREM, seseorang yang tidur mengalami kemajuan melalui empat tahapan selama siklus tidur yang tipikal 90 menit. Kualitas tidur dari tahap 1-4 bertambah dalam. Tidur yang dangkal merupakan karakteristik dari tahap 1 dan 2 dan

Universitas Sumatera Utara

seseorang lebih mudah terbangun. Tahap 3 dan 4 melibatkan tidur yang dalam dan seseorang akan sulit terbangun (Potter & Perry, 2005). Tahap pada tidur NREM terdapat empat tahap, yaitu : Tahap tidur pertama. Sesuai dengan keadaan seorang yang baru saja terlena. Seluruh otot skeletal menjadi lemas, kelopak mata menutupi mata dan kedua bola mata bergerak bolak-balik ke kedua sisi. EEG yang direkam selama tahap tidur pertama itu memperlihatkan penurunan voltase dengan gelombanggelombang alfa yang makin menurun frekuensinya (Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 1996). Tahap kedua. Keadaan tidur masuk tahap tidur kedua apabila timbul sekelompok gelombang yang berfrekuensi 14-18 siklus per detik pada aktivitas dasar yang berfrekuensi 3-6 per detik. Gelombang-gelombang 14-18 siklus per detik itu dinamakan gelombang tidur atau sleep spindles. Dalam tahap tidur kedua itu kedua bola mata berhenti bergerak dan tonus otot masih terpelihara (Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 1996). Tahap ketiga. Pada tahap tidur yang ketiga EEG memperlihatkan perubahan gelombang dasar berfrekuensi 3-6 siklus per detik menjadi 1-2 siklus per detik, yang sekali-sekali diselingi oleh timbulnya gelombang tidur. Keadaan fisik pada tahap tidur ketiga dicirikan oleh lemah lunglai karena tonus muscular lenyap sama sekali (Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 1996). Tahap tidur yang keempat. Pada tahap tidur keempat ini, EEG memperlihatkan hanya irama gelombang yang berfrekuensi 1-2 per detik tanpa penyelingan dengan gelombang tidur. Dalam tahap tidur keempat badan lemah

Universitas Sumatera Utara

lunglai seperti pada tahap tidur ketiga (Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 1996). 1.2.2 Tidur Rapid Eye Movement (REM) Tidur REM adalah sasaran dari jejak EEG yang cepat. Pada fase ini biasanya mimpi terjadi selama tidur REM (Brugne, 1994). Tidur REM ini merupakan fase pada akhir tiap siklus tidur 90 menit. Konsolidasi memori (Karni dkk, 1994). Dan pemulihan psikologis terjadi pada waktu ini. Factor yang berbeda dapat meningkatkan atau mengganggu tahapan siklus tidur yang berbeda (Potter & Perry, 2005). Secara normal, pada orang dewasa pola tidur rutin dimulai dengan periode sebelum tidur, selama seseorang terjaga hanya pada rasa kantuk yang bertahap berkembang secara teratur. Periode ini secara normal berakhir 10 hingga 30 menit, tetapi untuk seseorang yang memiliki kesulitan untuk tertidur akan berlangsung 1 jam atau lebih (Potter & Perry, 2005). Ketika seseorang tertidur, biasanya melewati 4 sampai 6 siklus tidur penuh, tiap siklus tidur terdiri 4 tahap dari tidur NREM dan satu periode dari tidur REM. Pola siklus biasanya berkembang dari tahap 1 menuju ke tahap 4 NREM, diikuti kebalikan tahap 4 ke 3, lalu ke-2, diakhiri dengan periode dari tidur REM. Seseorang biasanya mencapai tidur REM sekitar 90 menit ke siklus tidur. Jumlah siklus tidur tergantung pada jumlah total waktu yang klien gunakan untuk tidur (Potter & Perry, 2005).

Universitas Sumatera Utara

Tahap pratidur

NREM Tahap 1

NREM Tahap 2

NREM Tahap 3

NREM Tahap 4

Tidur REM

NREM Tahap 2

NREM Tahap 3

Skema 1. Tahap-tahap siklus tidur orang dewasa (Potter & Perry, 2005).

1.3 Fungsi tidur Tidur diperlukan untuk memperbaiki proses biologis secara rutin. Selama tidur gelombang rendah yang dalam (NREM tahap 4), tubuh melepaskan hormone pertumbuhan manusia untuk memperbaiki dan memperbaharui sel epitel dan khusus seperti sel otak (Horne, 1983; Mandleson, 1987; Born, Muth dan Fehm, 1988). Penelitian lain menunjukkan bahwa sintesis protein dan pembagian sel untuk pembaharuan jaringan seperti pada kulit, sumsum tulang, mukosa lambung, atau otak terjadi selama istirahat dan tidur (Oswald, 1984). Tidur NREM menjadi sangat penting khususnya pada orang dewasa yang mengalami lebih banyak tidur tahap 4 (Potter & Perry, 2005).

Universitas Sumatera Utara

Satu teori fungsi tidur adalah berhubungan dengan penyembuhan. Teori lain tentang kegunaan tidur adalah tubuh menyimpan energi selama tidur , otot skeletal berelaksasi secara progresif, dan tidak adanya kontraksi otot menyimpan energi kimia untuk proses selular. Penurunan laju metabolik basal lebih jauh menyimpan persediaan energi tubuh (Anch dkk, 1988 dikutip dari Potter & Perry, 2005). Tidur REM terlihat penting untuk pemulihan kognitif. Tidur REM dihubungkan

dengan perubahan dalam aliran darah serebral, peningkatan

aktivitas kortikal, peningkatan konsumsi oksigen, dan pelepasan epinefrin. Hubungan ini dapat membantu penyimpanan memori dan pembelajaran. Selama tidur, otak menyaring informasi yang disimpan tentang aktivitas hati (Potter & Perry, 2005).

2. Kualitas tidur Kualitas tidur meliputi aspek kuantitatif dan kualitatif tidur, seperti lamanya tidur, waktu yang diperlukan untuk bisa tertidur, frekuensi terbangun dan aspek subjektif seperti kedalaman dan kepulasan tidur (Daniel et al, 1988; Buysse, 1988). Persepsi mengenai kualitas tidur itu sangat bervariasi dan individual yang dapat dipengaruhi oleh waktu yang digunakan untuk tidur pada malam hari atau efisiensi tidur. Beberapa penelitian melaporkan bahwa efisiensi tidur pada usia dewasa muda adalah 80-90% (Dament et al, 1985; Hayashi dan Endo, 1982; dikutip dari Suryani, 2004). Manusia dapat mengembangkan aktivitasnya sesuai dengan kualitas tidur yang dialaminya karena adanya tidur dengan tahapan-tahapannya. Dengan siklus

Universitas Sumatera Utara

tidur-bangun itu maka manusia dapat memelihara kesegarannya, kebutuhan dan metabolisme seluruh tubuh sepanjang usianya (Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 1996). Durasi dan kualitas tidur beragam diantara orang-orang dari semua kelompok usia. Seseorang mungkin merasa cukup beristirahat dengan 4 jam tidur sementara yang lain membutuhkan 10 jam (Potter dan Perry, 2005). Hingga usia 1 bulan neonatus memerlukan tidur selama 20 jam sehari. Sesudah itu tampaknya ia cukup tidur selama 10-12 jam sehari. Orang dewasa cukup tidur selama 6-8 jam sehari, bergantung pada kebiasaan yang membekas semasa perkembangan menjelang dewasa (Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 1996). 2.1 Pengkajian kualitas tidur Kualitas tidur adalah perasaan segar dan siap mengahadapi hidup baru setelah bangun tidur. Konsep ini meliputi beberapa karakteristik seperti waktu yang diperlukan untuk memulai tidur, frekuensi terbangun pada malam hari, lama tidur, kedalaman tidur dan ketenangan (Eser, 2007). Kualitas tidur menyangkut pengkajian subjektif yaitu seberapa menyegarkan dan tenangnya tidur mereka dan pengkajian objektif yang dapat diketahui dari rekaman poligrafi, gerakan pergelangan tangan, gerakan kepala dan mata (Mac Arthur, 1997; Nisrina, 2008). 2.1.1 Data subjektif Data subjektif tidur yang baik atau buruk dapat dievaluasi dengan persepsi para penderita penyakit tentang parameter tidur diantaranya adalah berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk tertidur, frekuensi terbangun pada malam hari, total waktu tidur di malam hari dan kepulasan tidur (Kales & Kales, 1984; Lee, 1997; Suryani, 2004). Hanya para penderita penyakit saja yang dapat melaporkan

Universitas Sumatera Utara

apakah mereka mendapatkan tidur yang baik atau buruk. Jika para penderita penyakit puas dengan kualitas dan kuantitas tidurnya maka mereka mempunyai tidur yang baik (Potter & Perry, 2005). 2.1.2 Data objektif Data objektif bisa didapatkan melalui pengkajian fisik penderita penyakit yaitu dengan mengobservasi lingkaran mata, adanya respon yang lamban, ketidakmampuan/kelemahan, penurunan konsentrasi. Selain itu, data objektif kualitas tidur penderita penyakit juga bisa dianalisa melalui pemeriksaan laboratorium yaitu EEG, EMG, dan EOG sinyal listrik menunjukkan perbedaan tingkat aktivitas yang berbeda dari otak, otot, dan mata yang berhubungan dengan tahap tidur yang berbeda (Sleep Research Society, 1993; dikutip dari (Potter & Perry, 2005). 2.1.3 Hubungan antara data subjektif dan data objektif Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan kuat antara kualitas tidur berdasarkan data subjektif dan data objektif. Dari data objektif yang diperoleh maka dapat diketahui bagaimana kualitas tidur seseorang. Menurut beberapa penelitian, semakin banyak gelombang kecil perdetiknya pada EEG maka semakin lelap dan tenang tidur seseorang (Selamihardja, 2002). Beberapa penelitian melaporkan adanya hubungan yang signifikan anatara data subjektif dan data objektif berupa evaluasi polisomnografi seperti EEG, EOG dan EMG (Lewis,1969; Johns, 1975; John & Dore, 1978; Webster & Thompson, 1986 dalam Suryani, 2004).

Universitas Sumatera Utara

3. Kualitas tidur pada penderita penyakit Diabetes Mellitus Menurut riset Universisity of Chicago, Amerika Serikat, keseimbangan metabolisme terganggu bila kurang tidur minimal tiga hari dan dapat dihubungkan dengan kuantitas dan kualitas tidur. Kurang tidur dapat menyebabkan seseorang merasa mengantuk yang berlebihan pada siang hari dan kurang berenergi serta menyebabkan gangguan konsentrasi(Cauter, 1997; Imran, 2010). Penderita diabetes mellitus, umumnya mengeluh sering berkemih, merasa haus, merasa lapar, rasa gatal-gatal pada kulit, dan keluhan fisik lainnya seperti mual, pusing dan lain-lain. Gejala klinis tersebut, pada malam hari juga dialami oleh penderita penyakit diabetes mellitus, hal ini tentu dapat mengganggu tidurnya. Terjadinya gangguan tidur akan berdampak pada meningkatnya frekuensi terbangun, sulit tertidur kembali, ketidakpuasan tidur yang akhirnya mengakibatkan penurunan kualitas tidur. Disamping itu, kurang tidur selama periode yang lama dapat menyebabkan penyakit lain atau memperburuk penyakit yang ada (Potter & Perry, 2005) serta berdampak pada lamanya proses penyembuhan (Miller, 2004; Suryani, 2004).

4. Faktor-faktor gangguan tidur pada penderita Diabetes Mellitus Terdapat beberapa faktor gangguan tidur yang dapat mempengaruhi kualitas tidur pada penderita Diabetes Mellitus yaitu, faktor fisik, psiksosial, dan lingkungan.

Universitas Sumatera Utara

3.1 Faktor Fisik Faktor fisik yang menyebabkan gangguan tidur pada penderita Diabetes Mellitus meliputi nokturia, sering merasa haus, sering merasa lapar, gatal-gatal pada kulit, kesemutan dan kram pada kaki, nyeri dan ketidaknyamanan fisik. Nokturia. Nokturia adalah berkemih pada malam hari yang mengganggu tidur dan siklus tidur. Kondisi ini yang paling umum pada lansia dengan penurunan tonus kandung kemih atau pada orang yang berpenyakit jantung, diabetes, uretritis, atau

penyakit prostat. Setelah seseorang berulang kali

terbangun untuk berkemih, menyebabkan sulit untuk kembali tidur (Potter & Perry, 2005). Sering merasa haus. Jika kadar gula darah sampai diatas 160 – 180mg/dl, maka glukosa akan sampai ke air kemih. Jika kadarnya lebih tinggi lagi, ginjal akan membuang air tambahan untuk mengencerkan sejumlah besar glukosa yang hilang. Karena ginjal menghasilkan air kemih dalam jumlah yang berlebihan, maka penderita sering berkemih dalam jumlah yang banyak. Akibatnya penderita merasakan haus yang berlebihan sehingga penderita banyak minum. Dengan kondisi yang seperti ini penderita sering terbangun untuk minum (Jo hnson, 1998). Sering merasa lapar. Sejumlah besar kalori hilang kedalam air kemih, penderita Diabetes Mellitus mengalami penurunan berat badan. Untuk mengkompensasikan hal ini penderita seringkali merasakan lapar yang luar biasa Sehingga banyak makan. Hal ini dapat mengganggu tidur penderita pada malam hari karena sering bangun (Johnson, 1998).

Universitas Sumatera Utara

Gatal-gatal pada kulit. Gatal-gatal pada kulit merupakan salah satu gejala klinis penyakit diabetes mellitus. Hal ini membuat penderita DM tidak nyaman untuk tidur dan dapat menyebabkan

terbangun dari tidur (Johnson,

1998). Kesemutan dan kram pada kaki. Bila gula tidak dikontrol atau tidak diobati, gejala kronis ini akan timbul dan ini akan menyebabkan penderita merasa tidak nyaman dan susah untuk tidur (Nugroho, 2008). Nyeri. Keluhan nyeri pada ekstremitas merupakan keluhan umum pada penderita diabetes mellitus, terutama pada penderita menahun apalagi dengan kendali glukosa yang tidak baik. Sensasi yang dirasakan dapat bermacam-macam seperti rasa terbakar, tertusuk. Hal ini ini menyebabkan penderita susah untuk tidur (Manaf, 2010). Ketidaknyamanan fisik. Ketidaknyamanan fisik merupakan penyebab utama kesulitan untuk tidur atau sering terbangun pada malam hari (Potter & Perry, 2005). 3.2 Faktor Psikososial Gangguan tidur dilaporkan oleh 90% individu yang mengalami stres, perasaan cemas, dan depresi (Chokroverty, 1999; Suryani, 2004). Hal ini terjadi pada seseorang yang mempunyai penyakit(Potter & Perry, 2005). Stres. Seseorang dapat mengalami stres emosional karena penyakit. Oleh karena itu emosi seseorang dapat mempengaruhi kemampuan untuk tidur. Stres emosional menyebabkan seseorang menjadi tegang dan seringkali mengarah frustasi apabila tidak tidur. Stres juga menyebabkan seseorang mencoba terlalu keras untuk tertidur, sering terbangun selama siklus tidur, atau terlalu banyak

Universitas Sumatera Utara

tidur. Stres yang berlanjut dapat menyebabkan kebiasaan tidur yang buruk (Potter & Perry, 2005). Stres dapat mengubah pola tidur seseorang dalam beberapa waktu. Selama adanya stres psikologis, waktu yang dibutuhkan untuk memulai tidur dan tahap tidur NREM ke 1 dan 2 meningkat (Monroe, Simons, dan Thasle, 1992; Lee, 1997; Suryani, 2004). Cemas. Penderita penyakit yang memiliki resiko terhadap kecemasan adalah mereka yang takut dan khawatir akan penyakitnya, diisolasi dari keluarga dan kerabat, dan tidak familiar dengan lingkungan (Webster & Thompson, 1986). Perasaan cemas menyebabkan waktu yang dibutuhkan untuk memulai tidur sangat lama, tahap tidur NREM ke 4 dan tidur REM menurun, serta pasien lebih sering terbangun pada malam hari (Karacan et al, 1968, 1978; Closs, 1988; Suryani, 2004). Depresi. Depresi merupakan suatu penyakit yang berpengaruh kepada efek kejiwaan. Seseorang yang telah terkena depresi akan mengalami gangguan tidur yang mana ciri khas seseorang yang terkena sindrome tersebut adalah susah untuk tidur dan selalu murung (Septiyadi, 2005). 3.3 Faktor Lingkungan Faktor lingkungan juga bisa mempengaruhi seseorang untuk tidur dan dapat menyebabkan gangguan tidur pada setiap individu yaitu : suara/kebisingan, ventilasi yang baik, ruang dan tempat tidur yang nyaman, cahaya/lampu yang terlalu terang, dan suhu yang terlalu panas/terlalu dingin serta bau yang tidak nyaman. Suara/kebisingan. Suara mempengaruhi tidur. Tingkat suara yang diperlukan untuk membangunkan orang tergantung pada tahap tidur (Webster &

Universitas Sumatera Utara

Thompson, 1986). Suara yang rendah lebih sering membangunkan seseorang dari tidur tahap 1, sementara suara yang keras membangunkan orang pada tahap tidur 3 dan 4. Level suara pada percakapan yang normal sekitar 50 dB (Potter & Perry, 2005). Level suara dibawah 40 dB biasanya dibutuhkan oleh seseorang untuk tidur dan peningkatan intensitas suara dapat menyebabkan seseorang terbangun dari tidurnya (Baker, 1984 Freedman, 1999; Suryani, 2004). Ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik adalah esensial untuk tidur yang tenang (Potter & Perry, 2005). Kelembaban ruangan perlu diatur agar paru-paru tidak kering karena apabila kelembaban ruangan tidak diatur maka seseorang tidak akan dapat tidur, walaupun dapat tidur maka seseorang akan terbangun dengan kerongkongan kering seakan-akan seseorang tersebut menderita radang amandel (Septiyadi, 2005). Ruang dan tempat tidur yang nyaman. Ruang tidur merupakan tempat dimana seseorang melepaskan pikiran-pikiran yang penat / lelah setelah seharian melakukan aktifitas. Apabila ruang tidur kotor ataupun bau maka bisa dikatakan itulah faktor utama dari susahnya tidur (Septiyadi, 2005). Ukuran, kekerasan dan posisi tempat tidur mempengaruhi kualitas tidur (Potter & Perry, 2005). Cahaya/lampu yang terlalu terang. Tingkat cahaya dapat mempengaruhi kemampuan untuk tidur (Potter dan Perry, 2005). Level cahaya yang normal adalah cahaya disiang hari lebih terang apabila dibandingkan dengan malam hari (Redeker, 1998; Retti Suryani, 2004). Seseorang yang terbiasa dengan lampu yang redup disaat tidur akan mengalami kesulitan tidur jika sorot lampu yang terlalu terang (Le, 1997; Potter dan Perry, 2001; Suryani, 2004).

Universitas Sumatera Utara

Suhu ruangan. Ruangan yang terlalu panas/terlalu dingin seringkali menyebabkan seseorang gelisah. Keadaan ini akan mengganggu tidur seseorang (Potter & Perry, 2005). Miller (2004) dalam Suryani (2004) tahap tidur REM menurun jika suhu terlalu panas/terlalu dingin. Bau yang tidak nyaman. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Suryani (2004) melaporkan bahwa tidur responden terganggu akibat bau ruangan yang tidak nyaman. Sementara hal yang sama juga dilaporkan oleh Karota-Bukit (2003) bahwa 13% responden mengalami gangguan tidur pada tingkat sedang karena bau yang tidak nyaman.

Universitas Sumatera Utara