BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.usu.ac.id

Penelitian mengenai interaksi rokuronium dengan beberapa obat anestesi intravena seperti droperidol, midazolam, etomidate, thiopentone dan propofol ti...

50 downloads 824 Views 580KB Size
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1

ROKURONIUM BROMIDA Merupakan

obat

pelumpuh

otot

golongan

non

depolarisasi

turunan

aminosteroidal, dengan efek utamanya pada post junctional dan selektifitas yang tinggi pada reseptor neuromuscular junction. Obat ini dipublikasikan pada tahun 1988 pada World Congress of Anesthesiology IX di Washington dan diperkenalkan pada praktek anestesi tahun 1994 di Prancis. Obat golongan ini mencegah depolarisasi dengan jalan bereaksi dengan reseptor asetilkolin dengan cara : a.

Mencegah asetilkolin berikatan dengan reseptor, jadi mencegah depolarisasi motor end plate

b.

Bila konsentrasi relaksan non depolarisasi banyak, molekul relaksan akan masuk ke terowongan reseptor, menyebabkan blokade channel.

c.

Relaksan non depolarisasi bekerja pada presynaptic site, memblok terowongan Na+ dan mencegah pergerakan asetilkolin dari sintesa site ke release site. Paralisis otot dihasilkan dengan antagonis kompetitif pada reseptor kolinergik

nikotinik otot rangka, potensinya kurang lebih 15-20 % vekuronium. Rokuronium tidak menghasilkan blok pada ganglia autonom, mempunyai onset kerja cepat, masa kerja sedang, pemulihan cepat dan kumulasi minimal, juga mempunyai tendensi yang rendah untuk menghasilkan pelepasan histamin. 3

a.

Sifat Fisik dan Kimia3,7,19 Rokuronium adalah suatu 2-morpholino, 3-desacetyl, 16-allyl-pyrrolidino

derivat dari vekuronium, yang berbeda dari vekuronium pada posisi 3 nukleus steroid. Rumus kimiawinya C32H53BrN2O4 dengan berat molekul 609.70. Koefisien partisi dalam n-octanol/water adalah 0,5 pada 20oC dan memiliki pH 4. Osmolaritas (osmol.litre-1) dan osmolalitas (osmol.kg -1) antara 260 dan 330,6.

Universitas Sumatera Utara

 

Karakteristik molekuler yang menarik dari rokuronium adalah tidak adanya fragmen mirip asetilkolin yang ditemukan pada nukleus steroid (A ring) dari pankuronium dan vekuronium. Fragmen mirip asetilkolin terletak pada D ring yang sesuai untuk bergabung dengan reseptor neuromuscular junction dan umumnya ada pada obat pelumpuh otot dengan potensi tinggi. Fragmen mirip asetilkolin ini dapat tetap tampak pada struktur rokuronium. Namun penggantian methyl group yang terletak pada quaternary nitrogen dari pankuronium dan vekuronium, oleh allyl group dan tidak adanya fragmen mirip asetilkolin pada A ring mungkin yang bertanggung jawab pada penurunan potensi yang tampak pada rokuronium. Penggantian acetate group yang terletak pada A ring oleh hydroxy group, yang mungkin menyebabkan rokuronium sebagai larutan yang stabil. Digunakan dalam 24 jam setelah pencampuran dan disimpan pada 2-8 derajat Celcius. Rokuronium dikemas dalam larutan isotonis yang steril dan non pirogen.

b.

Interaksi dan Potensi3 Penelitian pada manusia mempunyai potensi 15% vekuronium. ED50

0.105 mg/kg - 0.170 mg/kg, dan ED90 dari 0.259 mg/kg 0.305 mg/kg, tergantung teknik anestesi dan stimulasi yang digunakan. Enfluran dan isofluran mempunyai efek potensiasi dengan rokuronium, sedang halotan kurang dibanding enfluran dan isofluran, hal ini sama dengan obat pelumpuh otot yang lain. Penelitian mengenai interaksi rokuronium dengan beberapa obat anestesi intravena seperti droperidol, midazolam, etomidate, thiopentone dan propofol tidak mempunyai efek yang nyata secara klinis dari rokuronium, namun dosis tinggi obat-

Universitas Sumatera Utara

obatan tersebut dapat mempunyai efek potensiasi yang sedikit, pemberian suxamethonium sebelumnya tidak memberikan efek pada potensi rokuronium.

c.

Efek Kardiovaskuler2,20,22 Pelumpuh otot dapat menghasilkan efek kardiovaskuler pada blok reseptor

muskarinik, blok ganglion, pelepasan noradrenalin dan blokade re-uptake, atau pelepasan histamin. Rokuronium juga memiliki sedikit efek vagolitik, oleh karena itu rokuronium cocok juga digunakan untuk operasi yang mempunyai resiko stimulasi vagal. Begitupun rokuronium tidak menyebabkan perubahan denyut jantung ataupun tekanan darah Pada dosis klinis rokuronium mempunyai aktifitas sedikit atau tidak ada pada reseptor kolinergik nikotinik yang lain diluar otot rangka. Efek vagolitik yang ringan, yang tampak pada dosis yang lebih tinggi dari rokuronium dapat membantu pencegahan bradikardia intra operatif yang mana dapat menyebabkan masalah pada anestesia. Kurangnya bloking ganglion secara relatif atau efek simpatomimetik, biasanya tidak menyebabkan masalah pada pasien-pasien yang menggunakan terapi (anti depresan, β bloker ) yang mana tergetnya pada sistim simpatis. Tidak ada perubahan hemodinamik yang berarti oleh karena pemberian rokuronium. Tidak ada peningkatan plasma histamin pada dosis 1,2 mg/kg iv (4xED95). Perubahan hemodinamik sedikit pernah diobservasi sewaktu operasi bypass koroner jantung. Reaksi anafilaksis pernah juga dilaporkan, namun ternyata dianggap tes positip palsu, karena lebih 50% dari populasi menunjukkan tes intradermal dengan hasil positip. Penemuan terbaru disimpulkan bahwa tidaklah tepat untuk menghindari rokuronium karena alasan reaksi anafilaksis. d.

Sifat Pelepasan Histamin3 Pelepasan histamin dapat menyebabkan efek yang tak diinginkan yang mana

efek kardiopulmonal adalah masalah penting pada klinis. Kebanyakan obat pelumpuh otot yang digunakan sekarang ini adalah derivat aminosteroidal, benzylisoquinoline, atau molekul asetilkolin. Perbedaan pada obat tersebut adalah matriks molekuler yang mensuport struktur amonium bisquaternary. Suatu yang paling penting diantara obat pelumpuh otot tersebut adalah kemampuan untuk melepaskan histamin dari sel mast.

Universitas Sumatera Utara

Hal ini telah diperlihatkan bahwa benzylisoquinoline dari obat pelumpuh otot mempunyai kemungkinan bahan yang lebih tinggi untuk melepaskan histamin dari sel mast dari pada aminosteroidal. Rokuronium merupakan pelumpuh otot dari aminosteroidal, sehingga kurang melepaskan histamin. Hal ini telah diperlihatkan pada pasien yang mana tidak ada peningkatan level histamin plasma yang tampak pada 1, 3 dan 5 menit setelah bolus intravenous yang cepat dari penggunaan dosis yang lebih dari 1,3 mg/kg iv (2,4x ED95). e.

Farmakokinetik3,7,20,22 Farmakokinetik rokuronium mirip dengan vekuronium, kecuali volume

distribusinya lebih kecil, ini menunjukkan lipophilicity rokuronium lebih rendah dari vekuronium. Penelitian farmakokinetik dilakukan di Spain, Northern Ireland dan Netherlands dengan menggunakan teknik anestesi inhalasi dengan halotan atau isofluran. Hasil dari ketiganya tidak berbeda. Setelah penyuntikan dosis bolus secara intravena, maka proses waktu konsentrasi plasma berjalan dalam tiga tahapan. Pada orang dewasa sehat, waktu paruh eliminasi rata-rata 73 menit, volume distribusi pada kondisi yang tetap 203 ml.kg-1 dan pembersihan plasma adalah 3,7ml kg-1 min-1. Rokuronium terutama dieliminasi melalui jalur hepatobiliary dan 10% di ginjal. Umumnya kumulasi berdasarkan pada dosis dan sifat farmakologi dari obat, kumulasi terjadi bila pemberian obat melebihi eliminasi obat. Awalnya plasma clearence oleh 2 proses yaitu distribusi dan eliminasi. Akhirnya hanya clearence oleh eliminasi yang menetap karena redistribusi secara progresif berlawanan dengan distribusi sampai clearence distribusi menjadi zero. Khuenl-Brady dkk menemukan bahwa pada kucing lebih dari 50% rokuronium dieliminasi tidak berubah pada biliaris, dan hanya 9% pada urine. Lebih dari 32 % rokuronium ditemukan di liver dalam 6 jam setelah pemberian, menunjukkan adanya metabolisme sedikit dari rokuronium. Penelitian farmakokinetik memperlihatkan bahwa rokuronium mirip vekuronium, secara relatif fraksi yang terbatas dieksresi renal (33%). Cooper dkk menemukan bahwa nilai farmakokinetik rokuronium pada pasienpasien dengan dan tanpa gagal ginjal dapat menunjukkan perbedaan yang nyata pada

Universitas Sumatera Utara

kecepatan clearance (2.5 dan 3.7 ml/kg/menit) dan mean residence times (97.1 dan 58.3 menit). Namun parameter lain pada penelitian ini tidak ada perbedaan bermakna. Pada penyakit hepar stadium lanjut terjadi pemanjangan masa kerja obat tetapi dosis initial sedikit ditingkatkan karena volume distribusi yang lebih lama dan pada gagal

ginjal bersihan plasma menurun, distribusi volume menjadi meningkat dan

terjadi pemanjangan masa kerja obat secara signifikan dengan sekali pemberian. Efek pemanjangan masa kerja obat juga terjadi pada wanita hamil dan orang tua yang disebabkan pemanjangan masa kerja hepar. Selain itu efek dari pemanjangan masa kerja dari rokuronium disebabkan juga penambahan dosis 0,6 mg/kg iv menjadi 1 mg/kg iv yaitu (37-95 menit). Untuk mengakhiri kerja rokuronium dibutuhkan suatu antagonis blokade neuromuskular. Profil farmakokinetik rokuronium : VD (mL/kg)

Bersihan (mL/kg/mnt)

Waktu paruh eliminasi (menit)

Normal

207±14

2,89±0,25

70,9±4,7

Gagal ginjal

264±19

2,89±0,25

97,2±17,3

Sirosis

234±50

2,41±0,57

96±36,8

Geriatrik

399±122

3,67±1

97,6±69,1

Pediatrik

224

2,67

46-55

e.

Farmakodinamik3,7,20 Potensi rokuronium sekitar 15-20% vekuronium. Potensi yang lebih rendah ini

dapat mempunyai keuntungan. Pada penelitian eksperimental, obat–obat dengan potensi lebih rendah menghasilkan onset yang lebih cepat, kemungkinan karena konsentrasi molar yang lebih tinggi pada tempat aksinya. Rokoronium merupakan antagonis asetilkolin, sehingga bereaksi dengan cara kompetisi ditempat ikatan asetilkolin. Prinsip kerjanya reseptor seperti yang dilakukan asetilkolin

pada daerah yang sama di

dan suksinilkolin, tetapi tidak

mendepolarisasi motor end plate. Rokuronium menstabilkan membran post sinap dan mencegah terbentuknya potensial aksi di otot rangka, tetapi aksinya tidak hanya di reseptor nikotinik post sinap tetapi juga di presinap.

Universitas Sumatera Utara

Pada umumnya setuju bahwa interval waktu antara supresi reflek proteksi oleh induksi anestesi dan kondisi intubasi yang baik adalah fase yang berbahaya pada anestesia, regurgitasi dan aspirasi isi lambung sering terjadi selama periode ini, maka interval ini sepatutnya sependek mungkin. Mula kerja rokuronium yaitu waktu dari penyuntikan obat sampai efek maksimal, lebih cepat dibanding obat–obat pelumpuh otot non depolarisasi yang telah tersedia, pada beberapa dosis perbandingan obat pelumpuh otot, rokuronium memberikan paralisis dan kondisi intubasi yang baik lebih cepat. Dosis 0.6 mg/kg iv rokuronium (2 x ED95) pada intravenous anestesia memberikan kondisi intubasi yang baik dalam 1 menit hampir pada semua pasien. Pada dosis ini paralisis otot cukup untuk suatu tipe pembedahan diperoleh dalam 2 menit. Alasan mula kerja yang cepat diduga oleh potensi rendah relatif rokuronium, ini menjamin molekul relaksan yang lebih pada sirkulasi darah dan menghasilkan gradien konsentrasi yang besar terhadap biophase. Karena rokuronium menyebabkan blok neuromuskuler lebih cepat pada otot adduktor larinx ( walaupun blok kurang intensif ) daripada otot adduktor pollisis. Hal ini menyebabkan intubasi dapat dilakukan sebelum blok yang komplit pada jari. Profil farmakodinamik rokuronium : Dosis (mg/kg)

Mula kerja (detik)

Waktu pulih 25%

ED95

0,3

210±55

20 (14-28)

Intubasi rutin

0,6

89±33

37 (23-75)

Intubasi cepat

1,2

55±14

73 (38-150)

2.2.

Pemantauan Transmisi Neuromuskuler Kekuatan kontraksi otot tergantung pada jumlah serabut otot yang berkontraksi.

Agar semua serabut otot yang bersangkutan berkontraksi dibutuhkan rangsang supramaksimal. Dengan demikian respon otot tersebut dapat dihasilkan kembali. Untuk memeriksa fungsi neuromuscular junction, maka respon otot diperiksa dengan memberikan rangsangan listrik terhadap saraf perifer. Saraf motorik perifer yang sering digunakan pada pemantauan saraf adalah saraf ulnaris, menghasilkan respon berupa aduksi ibu jari. Tempat pemantauan saraf

Universitas Sumatera Utara

lainya adalah saraf fasialis, dengan respon kontraksi otot orbicularis oculi, atau pada saraf mandibula dengan respon berupa kontraksi otot masseter.

2.2.1. Pola Perangsangan Saraf a.

Train Of Four (TOF) Pola perangsangan ini pertama diperkenalkan oleh Ali dkk pada awal tahun

1970-an. Pada pola ini diberikan empat rangsangan pada frekuensi 2 Hz setiap 0,5 detik. Pada penggunaan kontinyu, rentetan rangsang ini diulang setiap 10-12 detik. Setiap rangsangan didalam rentetan akan menimbulkan kontraksi otot dengan amplitudo yang sama. Pengurangan amplitudo kontraksi akan terjadi apabila digunakan obat pelumpuh otot non depolarisasi ataupun pada blokade fase II setelah pemberian suksinilkolin.

Rasio

TOF

kurang

dari

0,3

pada

penggunaan

suksinilkolin,

menggambarkan blokade fase II. Derajat pengurangan amplitudo bergantung pada derajat kelumpuhan otot, frekwensi dan lama perangsangan serta kekerapan rangsangan diberikan.

Gambar 2. TOF-Watch (Organon Teknika, Boxtel, Holland) b.

Post Tetanic Count (PTC) Oleh karena pada blokade yang hebat tidak terjadi kontraksi otot sama sekali,

maka pola perangsangan TOF tidak mungkin digunakan untuk menilai blokade yang hebat. Namun telah terbukti bahwa blokade yang hebat dapat dinilai dengan memberikan rangsangan tetanik (50 hz selama 5 detik), yang 3 detik kemudian diikuti dengan suatu rangsangan tunggal 1.0 hz.

Universitas Sumatera Utara

c.

Double Burst (DB) Derajat sisa kelumpuhan otot oleh obat pelumpuh otot non depolarisasi

umumnya dipantau secara manual dengan rasio TOF. Namun penilaian secara kuantitatif sulit dilakukan dengan rasio TOF telah pulih > 40-50 %. Ini disebabkan kedua tanggapan ditengah mengaburkan perbandingan tanggapan keempat dengan yang pertama. Atas dasar itu dikembangkan suatu teknik perangsangan saraf yang hanya menghasilkan dua kontraksi saja. Sehingga dimungkinkan untuk menilai pengurangan tanggapan oleh sisa efek obat secara manual. Teknik ini menggunakan dua rangsangan tetanik yang berlangsung singkat dengan interval singkat pula – Double Burst Stimulator (DBS). Rentang waktu perangsangan harus singkat agar tanggapan otot dapat terlihat atau dirasakan sebagai kedutan tunggal singkat dan bukan sebagai suatu kontraksi yang menetap. Pada DBS ditetapkan rentang waktu tersebut adalah 750 milidetik.

2.2.2. Penilaian Kontraksi Alat perangsang saraf perifer mempunyai 2 buah elektroda (positif dan negatif) yang ditempelkan sejajar pada permukaan kulit didaerah ulnaris. Pada saat alat perangsang saraf perifer berfungsi, akan terlihat atau teraba aduksi otot polisis. Kekuatan perabaan atau lebar sudut penyimpangan merupakan indikator derajat kelumpuhan otot.

2.2.3. Penggunaan Klinis 1.

Relaksasi Singkat Jarang sekali efek pemberian suksinilkolin dosis tunggal berlangsung lebih dari 5-10 menit. Bila berlangsung 1-4 jam, maka perlu dipikirkan kemungkinan adanya pseudokholinesterase abnormal. Untuk memastikan seorang penderita

Universitas Sumatera Utara

tidak mengalami dual blokade setelah dilakukan intubasi trakea, maka sebaiknya obat pelumpuh otot non depolarisasi tidak diberikan sebelum terlihat adanya tanggapan terhadap rangsangan. 2.

Intubasi Intubasi trakea dilakukan apabila relaksasi total telah tercapai, yaitu saat amplitudo kontraksi 0%. Secara klinis tidak terlihat atau teraba kontraksi otot.

3.

Relaksasi Lama Pada saat hanya dirasakan atau terlihat satu kontraksi otot pada perangsangan TOF (amplitudo kontraksi 10%), maka relaksasi otot cukup optimal untuk dilakukan prosedur pembedahan. Derajat kelumpuhan otot dapat dipertahankan dengan memberikan tambahan dosis kecil.

4.

Relaksasi Hebat Pada prosedur pembedahan tertentu diperlukan derajat relaksasi yang maksimal. Metode TOF tidak dapat digunakan untuk menilai derajat relaksasi, sehingga perlu digunakan metode PTC.

5.

Penawar Relaksasi Pada saat prosedur pembedahan berakhir, diperlukan penawar obat pelumpuh otot untuk memulihkan relaksasi otot secara cepat. Pemberian penawar harus tepat waktu, yaitu tidak pada saat puncak derajat relaksasi otot. Pemberian penawar yang tidak tepat waktu tidak akan memberikan efek yang optimal, seberapa besarpun dosis yang diberikan. Penawar obat pelumpuh otot sebaiknya diberikan pada saat terlihat atau teraba sekurangnya dua kontraksi (DBS) otot.

6.

Ekstubasi Umumnya ekstubasi dapat dilakukan bila rasio TOF ataupun DBS telah mencapat 70 %. Karena pada tingkat ini, kontraksi otot telah hampir mencapai 100% dari keadaan normal.

7.

Kontrol Klinis Alat perangsang saraf perifer dapat pula digunakan di ruang pulih sebagai alat pemantau terhadap efek sisa obat pelumpuh otot non depolarisasi yang telah diberikan penawar.

Universitas Sumatera Utara

Apabila rasio TOF atau DBS <70%, maka ini merupakan indikasi masih terdapat efek sisa obat pelumpuh otot non depolarisasi (atau adanya blokade fase II akibat penggunaan suksinilkolin).

2.3. EFEDRIN Efedrin (ephedrine) merupakan simpatomimetik yang didapat dari tanaman genus Ephedra (misalnya Ephedra vulgaris) dan telah digunakan luas di Cina dan India Timur sejak 5000 tahun yang lalu. Pengobatan tradisional Cina menyebut efedrin dengan nama Ma huang. Efedrin mempunyai rumus molekul C10H15NO dan nama lainnya adalah α-hydroxy-β-methylaminopropylbenzene. Rumus bangun efedrin adalah sebagai berikut,

Efedrin telah banyak digunakan dalam praktek kedokteran termasuk dalam bidang Anestesi. Efedrin bekerja pada reseptor α dan β, termasuk α1, α2, β1 dan β2, baik bekerja langsung ataupun tidakXXX langsung. Efek tidak langsung yaitu dengan merangsang pelepasan noradrenalin. Efedrin 25 mg sampai 50 mg intramuskular atau subkutan bisa digunakan untuk mengatasi keadaan hipotensi, 25 mg per oral sekali sehari untuk mengatasi hipotensi ortostatik, juga sebagai bronkodilator dan dekongestan. Gangguan-gangguan alergi juga bisa diatasi dengan efedrin, seperti asma bronkhial, kongesti nasal karena akut koriza, rhinitis dan sinusitis. Efedrin (25 atau 30 mg subkutan, intramuskular atau intravena lambat) dapat juga untuk mengatasi bronkospasme tetapi epinefrin lebih efektif.2,22-24 Penggunaan efedrin di bidang anestesi pada kasus hipotensi akibat regional anestesi, baik oleh karena spinal ataupun epidural anestesi. Pemberian efedrin 10-25 mg iv pada orang dewasa sebagai pilihan simpatomimetik mengatasi blokade

Universitas Sumatera Utara

susunan saraf simpatis yang disebabkan anestesi regional ataupun untuk mengatasi efek hipotensi yang disebabkan obat-obat anestesi.2 Untuk Ibu hamil yang menjalani prosedur seksio sesarea dengan spinal anestesi, efedrin merupakan pilihan mengatasi hipotensi yang diakibatkan oleh spinal anestesi. Efedrin selain meningkatkan tekanan darah, sejalan dengan itu memperbaiki aliran darah plasenta. Selain itu efedrin juga digunakan untuk mengatasi hipotensi akibat induksi dengan propofol.14 Efedrin juga mampu mempercepat mula kerja rokuronium.13 Efedrin mencegah nyeri akibat injeksi propofol.28 Pencampuran efedrin dengan propofol dapat menjaga kestabilan hemodinamik dan mencegah nyeri akibat suntikan propofol.29

2.3.1. Farmakokinetik Efedrin dapat diberikan secara oral, topikal maupun parenteral. Efedrin dapat diserap secara utuh dan cepat pada pemberian oral, subkutan ataupun intramuskular. Bronkodilatasi terjadi dalam 15-60 menit setelah pemberian oral dan bertahan selama 2-4 jam. Absorbsi efedrin yang diberikan lewat jalur intramuskular lebih cepat (10-20 menit) dibanding dengan pemberian subkutan. Pada pemberian intravena, efek klinik dapat langsung diobservasi. Lama kerja terhadap efek tekanan darah bertahan sampai 1 jam pada pemberian parenteral dan dapat bertahan selama 4 jam pada pemberian secara oral. Efedrin juga dilaporkan melewati plasenta dan terdistribusi pada air susu ibu. Efedrin dimetabolisme oleh liver dalam jumlah kecil melalui deaminasi oksidasi, demetilasi, hidroksilasi aromatis dan konjugasi. Metabolitnya adalah p-hidroksiefedrin, p-hidroksinorefedrin, norefedrin dan konjugasinya. Efedrin dan metabolitnya diekskresi terutama melalui urine dan dalam bentuk tidak berubah. Eliminasi efedrin dan metabolitnya dipengaruhi oleh asiditas urine. Eliminasi paruh waktu efedrin dilaporkan 3 jam pada pH urin 5 dan 6 jam pada pH urin 6,5.2,22,23 Efek puncak efedrin terhadap curah jantung dicapai sekitar 4 menit setelah injeksi.16 2.3.2. Efek terhadap kardiovaskular2

Universitas Sumatera Utara

Efek kardiovaskular dari efedrin menyerupai epinefrin, tetapi respon kenaikan tekanan darah sistemik kurang dibanding efedrin. Efedrin

membutuhkan 250 kali

dibandingkan epinefrin untuk mendapatkan efek kenaikan tekanan darah yang sama. Pemberian efedrin intravena meningkatkan tekanan darah, denyut jantung dan curah jantung. Aliran darah renal dan splanik menurun, tetapi aliran darah koroner dan otot skelet meningkat. Resistensi vaskular sistemik berubah karena vasokonstriksi pada vascular beds diimbangi dengan vasodilatasi oleh stimulasi β2 pada tempat-tempat yang lain. Efek kardiovaskular tersebut pada reseptor α menyebabkan vasokonstriksi arteri dan vena di perifer. Mekanisme utama efek efedrin terhadap kardiovaskular adalah dengan meningkatkan kontraktilitas otot jantung dengan aktivasi reseptor β1. Dengan adanya antagonis reseptor β maka efek efedrin terhadap kardiovaskular adalah dengan stimulasi reseptor α. Dosis kedua efedrin setelah pemberian dosis awal mempunyai efektifitas lebih rendah dibanding dosis awal. Fenomena ini dikenal dengan istilah takifilaksis, yang mana juga terjadi pada simpatomimetik dan berhubungan dengan masa kerja obat. Takifilaksis terjadi oleh karena blokade reseptor adrenergik secara persisten. Sebagai contoh, efedrin menyebabkan aktivasi reseptor adrenergik bahkan setelah peningkatan tekanan darah sistemik terjadi pada subdosis. Ketika efedrin diberikan pada saat itu, reseptornya bisa menempati batas minimal efedrin untuk peningkatan tekanan darah. Takifilaksis mungkin karena kekurangan simpanan norepinefrin.

2.3.3. Kontra Indikasi Kontra indikasi termasuk riwayat hipertensi, tirotoksikosis, angina pectoris, aritmia, gagal jantung.30,31

2.3.4. Toksisitas efedrin Dosis besar efedrin parenteral dapat menyebabkan bingung, delirium, halusinasi atau euphoria. Paranoid psikosis dan halusinasi penglihatan dan pendengaran bisa terjadi pada dosis yang sangat besar. Efedrin bisa juga menyebabkan sakit kepala, kesulitan bernafas, demam atau merasa hangat, merasa kering pada hidung atau tenggorokan, takikardi, aritmia, nyeri dada, berkeringat, tidak nyaman di perut, muntah,

Universitas Sumatera Utara

retensi urine, hipertensi yang akibatnya perdarahan intrakranial, mual dan hilangnya selera makan. Dalam suatu laporan disebutkan seorang wanita 21 tahun mengkonsumsi efedrin 6 tablet (120 mg). Tekanan darah mencapai 210/110 mmHg dan diatasi dengan lidokain dan nitroprusside dan tekanan darah turun dalam 9 jam kemudian. Seorang pemuda 19 tahun menelan tablet yang berisi 24 mg efedrin dan 100 mg kafein dan 15 menit kemudian mengalami nyeri dada hebat dan menjalar ke lengan kiri. Untuk kasus ini juga diatasi dengan lidokain dan nitroprusside.32,34 Dalam penelitian yang akan dilakukan ini diberikan efedrin dengan dosis yang kecil yang tidak akan menimbulkan efek samping dan toksisitas berdasarkan laporan-laporan toksisitas yang tersebut di atas. Dilaporkan bahwa dosis efedrin 110 µg/kg/iv berhubungan dengan hipertensi dan takikardi setelah intubasi, sementara dosis 30 µg/kg/iv tidak memperbaiki kondisi intubasi.29

2.4. Kerangka Konseptual

Efedrin 

Rokuronium 0.6 mg/kg iv

Rokuronium 1 mg/kg iv

Curah jantung↑ Perfusi jaringan↑ 

Mula Kerja (TOF)

Universitas Sumatera Utara