BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gagal Jantung Kronis 2.1.1

kelainan sekunder dari abnormalitas struktur jantung dan atau fungsi (yang diwariskan atau didapat) ... Katup jantung yang membuat darah mengalir dala...

16 downloads 534 Views 1022KB Size
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Gagal Jantung Kronis

2.1.1

Definisi dan Epidemiologi Penyakit Gagal Jantung Kronis Gagal jantung adalah sindrom klinis yang kompleks yang timbul disebabkan

kelainan sekunder dari abnormalitas struktur jantung dan atau fungsi (yang diwariskan atau didapat) yang merusak kemampuan ventrikel kiri untuk mengisi atau mengeluarkan darah (Braunwald, 2007). Menurut National Heart Lung and Blood Institute insidensi penyakit gagal jantung semakin meningkat setiap tahun dan rata-rata 5 juta penduduk United States menderita gagal jantung. Penyakit gagal jantung adalah punca hospitalisasi yang utama dikalangan pasien U.S yang berumur lebih daripada 65 tahun dan menyebabkan lebih kurang 300,000 kematian dalam setahun (Goldberg, 2010). Walaupun perbaikan dalam terapi, angka kematian pada pasien dengan gagal jantung tetap sangat tinggi. Pembaruan 2010 dari American Heart Association (AHA) memperkirakan bahwa terdapat 5,8 juta orang dengan gagal jantung di Amerika Serikat pada tahun 2006 dan juga terdapat 23 juta orang dengan gagal jantung di seluruh dunia (Ramachandran, 2010).

2.1.2

Klasifikasi dan Gejala Klinis

Tahapan Gagal Jantung - Klasifikasi NYHA Dalam rangka untuk menentukan arah terbaik terapi, dokter sering menilai tahap gagal jantung menurut sistem klasifikasi New York Heart Association (NYHA) fungsional. Sistem ini berkaitan dengan kegiatan sehari-hari gejala dan kualitas hidup pasien. Kelas

Gejala

Kelas I (Mild)

Tidak ada gejala pada setiap tingkat tenaga dan tidak ada

Universitas Sumatera Utara

pembatasan dalam kegiatan fisik biasa. Kelas II (Mild)

Gejala ringan dan keterbatasan sedikit selama kegiatan rutin. Nyaman saat istirahat.

Kelas III

Akibat gejala terlihat keterbatasan, bahkan selama aktivitas

(Moderate)

minimal. Nyaman hanya saat istirahat.

Kelas IV (berat)

Keterbatasan aktivitis. Pengalaman gejala bahkan sementara pada saat istirahat (duduk di kursi atau menonton TV). Tabel 2.1

(The Heart Hope, 2011) Framingham Kriteria untuk Gagal Jantung Kronis Kriteria Mayor: • Paroksismal nokturnal dispnea • Distensi vena pada leher • Ronkhi basah • Kardiomegali • Edema paru akut • Gallop S3 • Peningkatan tekanan vena jugularis • Refluks hepatojugular

Kriteria Minor: • Edema ekstremitas • Batuk malam hari • Dispnea d’ effort • Hepatomegali • Efusi pleura • Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal • Takikardia(>120/menit)

Universitas Sumatera Utara

Major atau minor Penurunan BB≥4.5kg dalam 5 hari pengobatan. Diagnosis gagal jantung ditegakkan minimal ada 1 kriteria major dan 2 kriteria minor. (Marulam M Panggabean, 2009).

2.1.3

Etiologi Gagal jantung kronis (CHF) disebabkan oleh penyakit lain atau kondisi yang

merusak atau kebanyakan kerja otot jantung. Seiring waktu, otot jantung melemah dan tidak mampu memompa darah yang seharusnya. Gagal jantung kronis yang terkemuka adalah: • Penyakit

arteri koroner (CAD)

• Tekanan darah tinggi

( hipertensi )

• Diabetes

Arteri koroner penyakit, termasuk angina dan serangan jantung , merupakan penyebab paling umum yang mendasari gagal jantung kronis. Orang yang memiliki serangan jantung beresiko tinggi mengembangkan gagal jantung kronis. Kebanyakan orang dengan gagal jantung juga memiliki tinggi tekanan darah, dan sekitar satu dari setiap tiga orang dengan gagal jantung juga memiliki diabetes.

PENYEBAB LAIN Kondisi-kondisi lain dan faktor-faktor yang dapat menyebabkan gagal jantung kronis meliputi: a) Kardiomiopati (penyakit dari otot jantung) b) Penyakit katup jantung c) Abnormal detak jantung atau aritmia d) Bawaan penyakit jantung e) Pengobatan untuk kanker, seperti radiasi dan obat kemoterapi tertentu f) Gangguan tiroid

Universitas Sumatera Utara

g) Penyalahgunaan alkohol h) HIV / AIDS i) Kokain dan penggunaan narkoba ilegal lain 2.1.4

Manifestasi klinis dan Pemeriksaan Fisik

2.1.4.1 Manifestasi klinis 1.

Dispnea dengan tenaga (awal) atau pada saat istirahat (akhir)

2.

Orthopnea a) Dispnea ketika berbaring; bantuan dengan tegak duduk atau menggunakan beberapa bantal b) Batuk nokturnal

3.

Paroksismal nokturnal dispnea a) Serangan sesak napas berat dan batuk pada malam hari, biasanya membangunkan pasien b) Batuk dan mengi sering bertahan bahkan dengan duduk tegak. c) Asma kardiale : dispnea nokturnal, mengi, dan batuk karena bronkospasme

4.

Respirasi Cheyne-Stokes a) Respirasi respirasi periodik atau siklik b) Umum di gagal jantung maju dan biasanya berhubungan dengan output jantung yang rendah c) Pada tahap apneic, P arteri O 2 jatuh, dan P arteri CO 2 meningkat. •

Hal ini merangsang pusat pernapasan tertekan, menyebabkan hiperventilasi dan hipokapnia.



Pusat pernafasan depresi, pesat pernafasan yang berulang fase apneic, dan siklus berulang.

d) Mungkin dirasakan oleh pasien atau keluarga pasien sebagai sesak parah

atau sebagai penghentian sementara pernapasan

5.

Kelelahan dan kelemahan

6.

Gejala Gastrointestinal a) Anoreksia b) Mual

Universitas Sumatera Utara

c) Sakit perut dan kepenuhan d) Nyeri kuadran kanan atas (kongesti hati dan peregangan kapsulnya) 7.

Gejala Cerebral a) Status mental berubah karena perfusi serebral berkurang

8.



Kebingungan



Disorientasi



Kesulitan berkonsentrasi



Gangguan memori



Sakit kepala



Insomnia



Kegelisahan



Mood swing

Nokturia

(Schoenstadt Arthur, 2008) 2.1.4.2 Pemeriksaan fisik 1. Umum penampilan dan tanda-tanda vital a. Tekanan darah sistolik i. Normal atau tinggi pada gagal jantung awal ii. Umumnya berkurang pada gagal jantung lanjut b. Tekanan nadi dapat berkurang c. Sinus tachycardia d. Akral dingin e. Sianosis pada bibir dan kuku tempat tidur 2. Vena jugularis a. Distensi vena jugularis b. Peningkatan tekanan atrium kanan c. Positif abdominojugular refluks i. Pada tahap awal gagal jantung, tekanan vena jugularis mungkin tampak normal pada saat istirahat tetapi mungkin menjadi abnormal meningkat dengan berkelanjutan (~1 menit) tekanan pada perut 3. Pemeriksaan Paru

Universitas Sumatera Utara

a. Paru crackles (rales atau crepitations) dengan atau tanpa mengi ekspirasi b. Efusi pleura i. Sering bilateral ii. Ketika unilateral, mereka terjadi lebih sering pada ruang pleura kanan. 4. Pemeriksaan jantung a. Titik

impuls

maksimum

(PMI)

dapat

dipindahkan

dan

berkelanjutan (seperti pada hipertensi) atau lemah, seperti dalam kardiomiopati membesar idiopatik. b. Ketiga dan suara jantung keempat: sering ada tapi tidak spesifik c. Murmur regurgitasi mitral dan trikuspid yang sering hadir pada pasien dengan gagal jantung lanjut. 5. Perut dan ekstremitas a. Hepatomegali b. Asites (tanda akhir) c. Penyakit kuning (menemukan akhir) d. Peripheral edema i. Terjadi terutama di pergelangan kaki dan wilayah pretibial pada pasien rawat jalan ii. Pada pasien sakit, edema dapat ditemukan di daerah sacral (edema presacral) dan skrotum. iii. Lama edema dapat berhubungan dengan kulit indurated dan berpigmen. 6. Cardiac cachexia a. Ditandai berat badan dan cachexia (dengan gagal jantung kronis parah) 7. Depresi 8. Disfungsi Seksual 9. Pulsus alternans a. Reguler irama dengan pergantian dalam kekuatan pulsa perifer b. Paling umum di kardiomiopati, hipertensi, dan penyakit jantung iskemik 10. Penurunan output urin

Universitas Sumatera Utara

(McGraw Hill, 1978)

2.1.5

Patofisiologi

2.1.5.1 Mekanisme Dasar Kelainan intrinsik pada kontraktilitas miokardium yang khas pada gagal jantung iskemik, mengganggu kemampuan pengosongan ventrikel yang efektif. Kontraktilitas ventrikel kiri yang menurun mengurangi curah sekuncup, dan meningkatkan volume residu ventrikel. Dengan meningkatnya EDV (volume akhir diastolik ventrikel), maka terjadi pula peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri (LVEDP). Derajat peningkatan tekanan tergantung dari kelenturan ventrikel. Dengan meningkatnya LVEDP, maka terjadi pula peningkatan tekanan atrium kiri (LAP) karena atrium dan ventrikel berhubungan langsung selama diastol. Peningkatan LAP diteruskan ke belakang ke dalam anyaman vaskular paru-paru, meningkatkan tekanan kapiler dan vena paru. Jika tekanan hidrostatik dari anyaman kapiler paruparu melebihi tekanan onkotik vaskular, maka akan terjadi transudasi cairan ke dalam intertisial. Jika kecepatan transudasi cairan melebihi kecepatan drainase limfatik, maka akan terjadi edema intertisial. Peningkatan tekanan lebih lanjut dapat mengakibatkan cairan merembes ke dalam alveoli dan terjadilah edema paru-paru. Tekanan arteri paru-paru dapat meningkat sebagai respon terhadap peningkatan kronis tekanan vena paru. Hipertensi pulmonari meningkatkan tahanan terhadap ejeksi ventrikel kanan. Serentetan kejadian seperti yang terjadi pada jantung kiri, juga akan terjadi pada jantung kanan, di mana akhirnya akan terjadi kongesti sistemik dan edema. Perkembangan dari kongesti sistemik atau paru-paru dan edema dapat dieksaserbasi oleh regurgitasi fungsional dari katup-katup trikuspidalis atau mitralis bergantian. Regurgitasi fungsional dapat disebabkan oleh dilatasi dari katup atrioventrikularis, atau perubahan-perubahan pada orientasi otot papilaris dan korda tendinae yang terjadi sekunder akibat dilatasi ruang.

Universitas Sumatera Utara

2.1.5.2 Respon Kompensatorik Sebagai respon terhadap gagal jantung, ada tiga mekanisme primer yang dapat dilihat : 1. Meningkatnya aktivitas adrenergik simpatik 2. Meningkatnya beban awal akibat aktivitas system renin-angiotensinaldosteron 3. Hipertrofi ventrikel Ketiga respon kompensatorik ini mencerminkan usaha untuk mempertahankan curah jantung. Mekanisme-mekanisme ini mungkin memadai untuk mempertahankan curah jantung pada tingkat normal atau hampir normal pada gagal jantung dini, dan pada keadaan istirahat. Tetapi, kelainan pada kerja ventrikel dan menurunnya curah jatung biasanya tampak pada keadaan beraktivitas. Dengan berlanjutnya gagal jantung, maka kompensasi akan menjadi semakin kurang efektif (Branch et al, 2000).

2.1.6

Diagnosis Secara klinis pada penderita gagal jantung dapat ditemukan gejala dan tanda

seperti sesak nafas saat aktivitas, edema paru, peningkatan JVP, hepatomegali, edema tungkai. Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan untuk mendiagnosis adanya gagal jantung antara lain foto thorax, EKG 12 lead, ekokardiografi, pemeriksaan darah, pemeriksaan radionuklide, angiografi dan tes fungsi paru. Pada pemeriksaan foto dada dapat ditemukan adanya pembesaran siluet jantung (cardio thoraxic ratio > 50%), gambaran kongesti vena pulmonalis terutama di zona atas pada tahap awal, bila tekanan vena pulmonal lebih dari 20 mmHg dapat timbul gambaran cairan pada fisura horizontal dan garis Kerley B pada sudut kostofrenikus. Bila tekanan lebih dari 25 mmHg didapatkan gambaran batwing pada lapangan paru yang menunjukkan adanya udema paru bermakna. Dapat pula tampak gambaran efusi pleura bilateral, tetapi bila unilateral, yang lebih banyak terkena adalah bagian kanan. Pada elektrokardiografi 12 lead didapatkan gambaran abnormal pada hampir seluruh penderita dengan gagal jantung, meskipun gambaran normal dapat dijumpai pada 10% kasus. Gambaran yang sering didapatkan antara lain gelombang Q, abnormalitas ST – T, hipertrofi ventrikel kiri, bundle branch block dan fibrilasi

Universitas Sumatera Utara

atrium. Bila gambaran EKG dan foto dada keduanya menunjukkan gambaran yang normal, kemungkinan gagal jantung sebagai penyebab dispneu pada pasien sangat kecil kemungkinannya. Ekokardiografi merupakan pemeriksaan non-invasif yang sangat berguna pada gagal jantung. Ekokardiografi dapat menunjukkan gambaran obyektif mengenai struktur dan fungsi jantung. Penderita yang perlu dilakukan ekokardiografi adalah semua pasien dengan tanda gagal jantung, susah bernafas yang berhubungan dengan murmur, sesak yang berhubungan dengan fibrilasi atrium, serta penderita dengan risiko disfungsi ventrikel kiri (infark miokard anterior, hipertensi tidak terkontrol, atau aritmia). Ekokardiografi dapat mengidentifikasi gangguan fungsi sistolik, fungsi diastolik, mengetahui adanya gangguan katup, serta mengetahui risiko emboli. Pemeriksaan darah perlu dikerjakan untuk menyingkirkan anemia sebagai penyebab susah bernafas, dan untuk mengetahui adanya penyakit dasar serta komplikasi. Pada gagal jantung yang berat akibat berkurangnya kemampuan mengeluarkan air sehingga dapat timbul hiponatremia dilusional, karena itu adanya hiponatremia menunjukkan adanya gagal jantung yang berat. Pemeriksaan serum kreatinin perlu dikerjakan selain untuk mengetahui adanya gangguan ginjal, juga mengetahui adanya stenosis arteri renalis apabila terjadi peningkatan serum kreatinin setelah pemberian angiotensin converting enzyme inhibitor dan diuretik dosis tinggi. Pada gagal jantung berat dapat terjadi proteinuria. Hipokalemia dapat terjadi pada pemberian diuretic tanpa suplementasi kalium dan obat potassium sparring. Hiperkalemia timbul pada gagal jantung berat dengan penurunan fungsi ginjal, penggunaan ACE-inhibitor serta obat potassium sparring. Pada gagal jantung kongestif tes fungsi hati (bilirubin, AST dan LDH) gambarannya abnormal karena kongesti hati. Pemeriksaan profil lipid, albumin serum fungsi tiroid dianjurkan sesuai kebutuhan. Pemeriksaaan penanda BNP sebagai penanda biologis gagal jantung dengan kadar BNP plasma 100pg/ml dan plasma NT-proBNP adalah 300pg/ml. Pemeriksaan radionuklide atau multigated ventriculography dapat mengetahui fraksi ejeksi, laju pengisian sistolik, laju pengosongan diastolik, dan abnormalitas dari pergerakan dinding. Angiografi dikerjakan pada nyeri dada berulang akibat gagal jantung. Angiografi ventrikel kiri dapat mengetahui gangguan fungsi yang global maupun segmental serta mengetahui tekanan diastolik, sedangkan kateterisasi jantung kanan untuk mengetahui tekanan sebelah kanan (atrium kanan, ventrikel kanan dan

Universitas Sumatera Utara

arteri pulmonalis) serta pulmonary artery capillary wedge pressure. (Mariyono HH, 2007)

2.1.7

Komplikasi

a. Kerusakan atau kegagalan ginjal. Gagal jantung dapat mengurangi aliran darah ke ginjal, bisa yang akhirnya menyebabkan gagal ginjal jika tidak ditangani Kerusakan ginjal dari gagal jantung dapat membutuhkan dialisis untuk pengobatan. b. Masalah katup jantung. Katup jantung yang membuat darah mengalir dalam arah yang benar melalui jantung, dapat menjadi rusak dari darah dan penumpukan cairan dari gagal jantung. c. Kerusakan hati. Gagal jantung dapat menyebabkan penumpukan cairan yang menempatkan terlalu banyak tekanan pada hati. Hal ini cadangan cairan dapat menyebabkan jaringan parut, yang membuatnya lebih sulit bagi hati berfungsi dengan benar. d. Serangan jantung dan stroke. Karena aliran darah melalui jantung lebih lambat pada gagal jantung daripada di jantung yang normal, maka semakin besar kemungkinan akan mengembangkan pembekuan darah, yang dapat meningkatkan risiko terkena serangan jantung atau stroke (Mayoclinic, 2009).

2.2 Anemia 2.2.1

Definisi Anemia adalah keadaan dimana serum kadar hemoglobin atau hematokrit

kurang dari nilai yang diharapkan untuk usia dan mengikut seks yang normal. Definisi anemia, menurut kriteria Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)

Laki-laki dewasa

a)



kadar hemoglobin darah <130 g / L (<13 g / dL) Wanita dewasa

b)



kadar hemoglobin darah <120 g / L (<12 g / dL)

(McGraw Hill, 1978)

Universitas Sumatera Utara

2.2.2

Derajat Anemia Klasifikasi Derajat Anemia Menurut WHO 1. Ringan sekali Hb 10,00 g / dL -13,00 g / dL

2. Ringan Hb 8,00 g / dL -9,90 g / dL 3. Sedang Hb 6,00 g / dL -7,90 g / dL 4. Berat Hb < 6,00 g / dL 2.2.3

Klasifikasi Anemia

Klasifikasi Anemia oleh Penyebab Mekanisme

Contoh

Kehilangan darah Akut

Perdarahan GI Luka-luka Persalinan Operasi

Kronis

Tumor kandung kemih Kanker atau polip di saluran GI Berat perdarahan haid Tumor ginjal Borok di perut atau usus kecil

Kekurangan eritropoiesis * Mikrositik

Defisiensi besi Transportasi kekurangan zat besi Besi pemanfaatan cacat Besi pemanfaatan kembali cacat Thalassemia (juga diklasifikasikan dalam hemolisis berlebihan karena cacat intrinsik

Universitas Sumatera Utara

RBC) Normokromik-normositik

Anemia aplastik Hypoproliferation Dalam penyakit ginjal Pada gagal endokrin (tiroid, hipofisis) Dalam deplesi protein Myelodysplasia Myelophthisis

Makrositik

Defisiensi tembaga Folat kekurangan Kekurangan vitamin B 12 Kekurangan vitamin C

Hemolisis berlebihan karena kerusakan RBC ekstrinsik Retikuloendotelial hiperaktif

Hipersplenisme

dengan splenomegali Kelainan imunologi

Hemolisis autoimun Dingin antibodi hemolisis (hemoglobinuria dingin paroksismal) Warm antibodi hemolisis Isoimmune (isoagglutinin) hemolisis

Mekanik cedera

Infeksi Trauma

Hemolisis berlebihan karena kerusakan RBC intrinsik

Universitas Sumatera Utara

Membran perubahan, mengakuisisi

Hypophosphatemia Paroksismal nokturnal hemoglobinuria Stomatocytosis

Membran perubahan, bawaan

Herediter elliptocytosis Herediter spherocytosis

Gangguan metabolism

Embden-Meyerhof jalur cacat

(kekurangan enzim)

Defisiensi G6PD

Hemoglobinopathies

Hb C penyakit Penyakit Hb E Hb SC penyakit Hb S-β-penyakit talasemia Penyakit sel sabit (Hb S) Thalassemia (β, β - δ, dan α)

Tabel 2.2 (Lichtin, 2008)

2.3

Anemia pada penyakit gagal jantung kronis

2.3.1

Epidemiologi Anemia adalah umum pada pasien dengan gagal jantung kronis (CHF) dengan

kejadian berkisar antara 4% sampai 55% tergantung pada populasi diteliti. Beberapa studi telah menyoroti bahwa prevalensi anemia meningkat dengan memburuknya

Universitas Sumatera Utara

gagal jantung seperti tercermin dari klasifikasi New York Heart Association (Sandhu et al, 2010). Anemia paling sering pada pasien dengan klasifikasi NHYA kelas III atau kelas IV dan pasien gangguan ginjal (Murphy, 2008). Pasien dengan gagal jantung kronis (CHF) memiliki masalah anemia, penurunan jumlah sel darah merah (RBC), komponen darah yang membawa oksigen (Romeo et al, 2010).

2.3.2

Hubungan gagal jantung kronis dengan anemia Patofisiologi anemia adalah multifaktorial dan berhubungan dengan berbagai

faktor seperti; hemodilusi, kerugian besi dari obat anti-platelet, aktivasi dari kaskade inflamasi, kerugian urin erythropoietin dan insufisiensi ginjal terkait (Sandhu et al, 2010). Angiotensin-converting enzyme inhibitors (ACE inhibitor) yang dipreskripsi pada pasien gagal jantung juga berkaitan dengan kekurangan hemoglobin melalui supresi produksi eritropoietin. Selain itu, sitokin proinflamasi seperti interleukin-1 dan -6 dan juga tumor nekrosis faktor-a dapat elevasi pada gagal jantung yang kronis dimana dapat menyebabkan pengurangan eritropoietin (Murphy, 2008). Bahkan, seperti tingkat keparahan CHF berlangsung, temuan kenaikan anemia, dan anemia berat karena sebab apapun bisa memperburuk CHF (Romeo et al, 2010).

Universitas Sumatera Utara

2.3.3

Patofisiologi anemia pada gagal jantung kronis GAGAL JANTUNG

Peningkatan inflamasi \ (interleukin 6, tumor necrosis factor alpha)

Peningkatan volume Kurang perfusi Reninangiotensin sistem activation

SUMSUM TULANG GINJAL

Peningkatan atau kekurangan produksi EPO

Kurang sekresi erythropoietin (EPO)

TERAPI ACEINHIBITOR

HEMODILUSI

Kekurangan precursor eritroid

Kurang efek EPO

ANEMIA

Anemia pada CHF kemungkinan disebabkan oleh kombinasi dari beberapa faktor,termasuk: 1. Gagal ginjal kronis di mana produksi EPO di ginjal tidak tepat rendah untuk tingkat anemia. 2. Peningkatan sitokin diuraikan dalam CHF seperti alpha faktor tumor nekrosis dan IL6, yang menyebabkan empat kelainan hematologi: mengurangi produksi EPO di ginjal, kegiatan berkurangnya EPO dalam sumsum tulang, hepcidindiinduksi kegagalan penyerapan zat besi dari usus, dan hepcidin- diinduksi perangkap besi di makrofag. Hepcidin adalah suatu protein dilepaskan dari hati oleh IL6. Menghambat ferroportin protein, yang ditemukan dalam usus

Universitas Sumatera Utara

dan di makrofag dan bertanggung jawab untuk pelepasan besi dari kedua jenis sel ke dalam darah. Karena itu, jika ferroportin ini dihambat, zat besi tidak diserap dari usus dan tidak dibebaskan dari penyimpanan dalam makrofag. Hasilnya adalah zat besi serum rendah dan penurunan pengiriman besi ke sumsum tulang, sehingga menyebabkan anemia kekurangan zat besi. 3. Penggunaan ACE inhibitor dan angiotensin reseptor blockers, yang keduanya dapat menyebabkan penurunan aktivitas EPO dalam sumsum tulang karena angiotensin adalah stimulator dari erythropoiesis. ACE inhibitor juga meningkatkan tingkat erythropoietic inhibitor dalam darah, menghambat eritropoiesis lebih lanjut. 4. Diabetes di mana sel-sel yang memproduksi EPO di ginjal dapat rusak dini oleh glikosolasi. 5. Hemodilusi. 6. Masalah gastrointestinal seperti pendarahan dari aspirin, tumor ganas, polip atau esophagitis, atau penyerapan zat besi berkurang akibat gastritis atrofi. (Iyengar dan Abraham, 2005)

Universitas Sumatera Utara