BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 KANKER 2.1.1

Download TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kanker. 2.1.1 Definisi dan Epidemiologi Penyakit Kanker. Kanker adalah istilah yang digunakan untuk suatu kondisi di ...

0 downloads 529 Views 354KB Size
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Kanker

2.1.1 Definisi dan Epidemiologi Penyakit Kanker Kanker adalah istilah yang digunakan untuk suatu kondisi di mana sel telah kehilangan pengendalian dan mekanisme normalnya sehingga mengalami pertumbuhan yang tidak normal, cepat, dan tidak terkendali (Dinas Kesehatan Kab Bone Bolango, 2007). Terdapat lebih daripada 100 jenis kanker dan setiapnya diklasifikasi berdasarkan jenis sel yang terlibat. Sejalan dengan pertumbuhan dan kembang biaknya, sel-sel kanker membentuk suatu massa dari jaringan ganas yang menyusup ke jaringan sehat di sekitarnya yang dikenal sebagai invasif. Di samping itu, sel kanker dapat menyebar (metastasis) ke bagian alat tubuh lainnya yang jauh dari tempat asalnya melalui pembuluh darah dan pembuluh getah bening sehingga tumbuh kanker baru di tempat lain dan hasilnya adalah suatu kondisi serius yang sangat sulit untuk diobati. Organisasi Penanggulangan Kanker Dunia (UICC) maupun Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, diperkirakan angka kejadian kanker di dunia meningkat 300 persen pada 2030, terutama di negara-negara berkembang, seperti Indonesia (KOMPAS, 2009). Di Indonesia, kanker menduduki peringkat keenam sebagai penyebab kematian dan sekitar 800.000 orang Indonesia terserang kanker setiap tahun (Suara Pembaruan Daily, 2007). Hal ini sejalan dengan pernyataan Menteri Kesehatan Republik Indonesia pada Kabinet Indonesia Bersatu, Siti Fadilah Supari (2005), menyatakan bahwa kanker telah menjadi ancaman serius bagi masyarakat Indonesia. Begitu pula dalam

Universitas Sumatera Utara

sambutannya ketika merasmikan 1st International Scientific Meeting Indonesian Society of Surgical Oncologist/ISSO), beliau menyatakan bahwa jumlah pasien kanker di Indonesia mencapai 6% dari 200 juta lebih penduduk Indonesia (Siswono, 2005). Jenis kanker tersering berbeda antara pria dan wanita di mana pada pria kanker yang sering adalah kanker paru, lambung, hepar, kolorektal, esofagus, dan prostat manakala pada wanita adalah kanker payudara, paru, lambung, kolorektal, dan serviks (WHO, 2008). Apabila penyakit ini dapat dideteksi pada tahap awal, maka lebih daripada separuh penyakit kanker dapat dicegah, bahkan dapat disembuhkan dan perlu redefinisi dalam pelayanan kesehatan dari pengobatan ke promosi dan preventif (DETAK, 2007). Tetapi hasil diagnosis kanker menyatakan bahwa 80% penderita kanker ditemukan pada stadium lanjut yaitu stadium 3 dan stadium 4 (Kompas, 2002). Pada tahap ini kanker sudah menyebar ke bagian-bagian lain di dalam tubuh sehingga semakin kecil peluang untuk sembuh dan pulih. Keadaan di atas menjadi salah satu penyebab meningkatnya penyakit kanker di Indonesia. WHO pula menyatakan bahwa sepertiga sampai setengah dari semua jenis kanker dapat dicegah, sepertiga dapat disembuhkan bila ditemukan pada stadium dini (DETAK, 2007). Oleh karena itu, upaya mencegah kanker dengan menemukan kanker pada stadium dini merupakan upaya yang penting karena disamping membebaskan masyarakat dari penderitaan kanker juga menekan biaya pengobatan kanker yang mahal (Siswono, 2005). Jika pencegahan kanker dilakukan oleh masing-masing individu, maka hal tersebut akan berdampak besar dalam mengurangi angka kejadian kanker di dunia.

Universitas Sumatera Utara

2.1.2 Klasifikasi Kanker Ada lima kelompok besar yang digunakan untuk mengklasifikasikan kanker yaitu karsinoma, sarkoma, limfoma, adenoma dan leukemia (National Cancer Institute, 2009). 1. Karsinoma ialah kanker yang berasal dari kulit atau jaringan yang menutupi organ internal. 2. Sarkoma ialah kanker yang berasal dari tulang, tulang rawan, lemak, otot, pembuluh darah, atau jaringan ikat. 3. Limfoma ialah kanker yang berasal dari kelenjar getah bening dan jaringan sistem kekebalan tubuh. 4. Adenoma ialah kanker yang berasal dari tiroid, kelenjar pituitari, kelenjar adrenal, dan jaringan kelenjar lainnya. 5. Leukemia ialah kanker yang berasal dari jaringan pembentuk darah seperti sumsum tulang dan sering menumpuk dalam aliran darah.

2.1.3 Jenis-jenis kanker umum Daftar jenis kanker yang umum termasuk kanker yang didiagnosis dengan frekuensi terbesar di mana kejadian tahunan untuk tahun 2008 diperkirakan harus 35.000 kasus atau lebih. Tabel berikut memberikan perkiraan jumlah kasus baru dan kematian untuk setiap jenis kanker yang umum:

Kanker Jenis Kandung kemih Payudara (Wanita - Pria )

Perkiraan Kasus Baru 68.810 182.460 - 1.990

Estimasi Kematian 14.100 40.480 - 450

Universitas Sumatera Utara

Usus besar dan rektal (gabungan) Endometrium Ginjal (Renal Cell) Leukemia (semua) Paru-paru (termasuk bronkus) Melanoma Limfoma Non-Hodgkin Pankreas Prostata Kulit (nonmelanoma) Kelenjar gondok

148.810

49.960

40.100 46.232 44.270 215.020 62.480 66.120 37.680 186.320 > 1.000.000 37.340

7.470 11.059 21.710 161.840 8.420 19.160 34.290 28.660 <1.000 1.590

Tabel 2.1 (Sumber: US National Institutes of Health, Institut Kanker Nasional)

2.1.4 Faktor resiko Terdapat empat faktor penyebab kanker seperti biologis, lingkungan, makanan dan psikologis. Keempat-empat faktor penyebab kanker tersebut dijelaskan seperti berikut: 2.1.4.1 Biologis (a) Keturunan Sejumlah penelitian menemukan bahwa sekitar 5% dari kasus kanker diakibatkan oleh faktor keturunan. Faktor keturunan ini memang susah untuk dihindari (Arief, I., 2009).

Universitas Sumatera Utara

(b) Hormon Hormon

estrogen

yang

berlebihan

dalam

tubuh

dapat

meningkatkan

kemungkinan terjangkitnya kanker kandungan dan kanker payudara. Sedang hormon progesteron dapat mencegah timbulnya kanker endometrium, tetapi meningkatkan resiko kanker payudara. Kedua jenis hormon tersebut banyak digunakan sebagai bahan pil KB maupun terapi hormon pada wanita menopause. Penggunaan jangka panjang dapat mengurangi resiko kanker kandungan dan endometrium, tetapi meningkatkan resiko kanker payudara dan kanker hepar (Kusmawan, E., 2009). (c) Virus dan kuman Virus human papilloma (HPV), merupakan penyebab utama kanker leher rahim dan dapat meningkatkan resiko timbulnya kanker jenis lain. Virus hepatitis B dan hepatitis C dapat memicu timbulnya kanker hati. Virus human T-cell leukemia/lymphoma (HTLV-1) meningkatkan resiko limfoma dan leukemia. Virus human immunodefisiensi (HIV) yang dikenal sebagai penyebab AIDS ini meningkatkan resiko limfoma dan Kaposi’s sarcoma. Virus Epstein-Barr meningkatkan resiko terjangkitnya limfoma. Virus human herpes 8 (HHV8) dapat menyebabkan Kaposi’s sarcoma. Helicobacter pylori penyebab luka lambung dan usus juga dapat menimbulkan kanker di sepanjang saluran pencernaan. Untuk mengurangi kemungkinan tertular virus/bakteri tersebut, hindari berganti-ganti pasangan seksual, juga jangan saling bertukar sikat gigi, jarum, sisir, peralatan makan, dan sebagainya (Kusmawan, E., 2009).

Universitas Sumatera Utara

2.1.4.2 Lingkungan (DETAK, 2007 dan Harnawatiaj, 2008) (a) Tembakau Asap rokok/tembakau yang dihirup baik perokok aktif maupun perokok pasif dapat menyebabkan kanker paru, pita suara, mulut, tenggorokan, ginjal, kandung kencing, kerongkongan, perut, pankreas, leukemia, dan leher rahim. Bukan hanya asapnya, bahkan sering menghirup aroma tembakau serta mengunyahnya juga dapat menyebabkan kanker. (b) Penyinaran yang berlebihan Sinar matahari pagi baik untuk kesehatan. Tetapi sinar matahari siang yang banyak mengandung ultraviolet dapat menyebabkan kanker kulit. Sinar ultraviolet dapat menembus kaca, pakaian yang tipis, juga dapat dipantulkan oleh pasir, air, salju, dan es. Perlu diingat bahwa lampu-lampu ultraviolet yang banyak dijual di toko juga dapat menyebabkan kanker. (c) Polusi udara Menurut Chen Zichou, seorang ahli Institut Penelitian Kanker mengatakan, penyebab utama meningkatnya jumlah kanker di China disebabkan polusi udara, lingkungan, dan kondisi air yang kian hari kian memburuk. 2.1.4.3 Makanan Banyak zat kimia yang ditambahkan dalam makanan dapat menjadi pemicu kanker, misalnya zat pengawet, pewarna buatan, pemanis buatan dan perasa buatan. Padahal, hampir semua makanan/minuman produksi pabrik atau yang dijual di restoran mengandung zat-zat tambahan tersebut. Selain itu, kebanyakan sayur-sayuran dan buah-buahan ditanam dengan mengandalkan pupuk buatan

Universitas Sumatera Utara

dan pestisida. Makanan yang dipanggang, dibakar, atau digoreng dengan minyak jelantah juga berpotensi menyebabkan kanker (Cancer Helps, 2009). 2.1.4.4 Psikologis (a) Stress Kondisi stress dapat melemahkan respon imunitas tubuh. Menurunnya sistem imunitas ini mempermudah sel-sel kanker menyerang tubuh karena kemampuan sel imun untuk mengenal dan melawan musuh tidak dapat berfungsi secara baik.

2.1.5

Patogenesis Terjadinya Penyakit Kanker Semua kanker bermula dari sel, yang merupakan unit dasar kehidupan

tubuh. Untuk memahami kanker, sangat penting untuk mengetahui apa yang terjadi ketika sel-sel normal menjadi sel kanker. Tubuh terdiri dari banyak jenis sel. Sel-sel tumbuh dan membelah secara terkontrol untuk menghasilkan lebih banyak sel seperti yang dibutuhkan untuk menjaga tubuh sehat. Ketika sel menjadi tua atau rusak, mereka mati dan diganti dengan sel-sel baru. Kematian sel terprogram ini disebut apoptosis, dan ketika proses ini rusak, kanker mulai terbentuk. Sel dapat mengalami pertumbuhan yang tidak terkendali jika ada kerusakan atau mutasi pada DNA. Empat jenis gen yang bertanggung jawab untuk proses pembelahan sel yaitu onkogen yang mangatur proses pembahagian sel, gen penekan tumor yang menghalang dari pembahagian sel, suicide gene yang kontrol apoptosis dan gen DNA-perbaikan menginstruksikan sel untuk memperbaiki DNA yang rusak. Maka, kanker merupakan hasil dari mutasi DNA onkogen dan gen penekan tumor sehingga menyebabkan pertumbuhan sel yang tidak terkendali (National Cancer Institute, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Sel-sel tambahan ini dapat membentuk massa jaringan yang disebut tumor. Namun, tidak semua jenis tumor itu kanker. Tumor dapat dibagikan sebagai tumor jinak dan ganas di mana yang jinak dapat dihapus dan tidak menyebar ke bagian tubuh lain manakala tumor ganas merupakan kanker yang dapat menyerang jaringan sekitar dan menyebar ke bagian tubuh lain. Beberapa kanker tidak membentuk tumor misalnya leukemia (National Cancer Institute, 2009).

2.1.6 Gejala kanker Gejala kanker cukup bervariasi dan tergantung lokasi kanker, tahap penyebaran, dan saiz tumor. Beberapa kanker dapat dirasakan atau dilihat melalui kulit seperti benjolan pada payudara atau testikel dan dapat dijadikan indicator lokasi kanker tersebut. Kanker kulit sering diidentifikasi dengan perubahan kutil atau tahi lalat pada kulit. Beberapa kanker mulut memberikan gambaran bercak putih di dalam mulut atau bintik putih di lidah. Jenis kanker lain memiliki gejala yang kurang jelas secara fisik. Beberapa tumor otak cenderung menampilkan gejala awal penyakit karena mereka mempengaruhi fungsi kognitif penting. Kanker pankreas biasanya terlalu kecil untuk menyebabkan gejala sehingga rasa sakit terjadi akibat dorongan terhadap saraf terdekat. Selain daripada itu, ia juga mengganggu fungsi hati sehingga tampilan kulit dan mata menguning yang dikenal sebagai ikterus. Gejala juga dapat terjadi akibat tumor yang menyebabkan penekanan terhadap organ dan pembuluh darah. Misalnya, kanker kolon dapat menyebabkan gejala seperti sembelit, diare, dan perubahan ukuran tinja. Kanker kandung kemih atau prostat dapat menyebabkan perubahan dalam fungsi kandung kemih (American Cancer Society, 2010).

Universitas Sumatera Utara

Disebabkan sel kanker menggunakan energi tubuh dan mengganggu fungsi normal hormon, terdapat kemungkinan besar untuk memperlihatkan gejala seperti demam, lelah, keringat berlebihan, anemia, dan penurunan berat badan tanpa sebab. Pada pasien kanker paru-paru atau tenggorokan akan presentasi simptom seperti batuk dan suara serak (American Cancer Society, 2010). Ketika kanker menyebar atau bermetastasis, gejala tambahan dapat dilihat di area baru yang terkena dampak. Bengkak atau pembesaran kelenjar getah bening merupakan gejala awal. Jika kanker menyebar ke otak, pasien mungkin mengalami vertigo, sakit kepala, atau kejang manakala penyebaran ke paru-paru dapat menyebabkan batuk dan sesak napas. Selain itu, hati dapat membesar dan menyebabkan penyakit kuning dan tulang bisa rapuh, dan mudah patah. Gejala metastasis akhirnya tergantung pada lokasi kanker menyebar (Fayed, L., 2009).

2.1.7 Diagnosis kanker Deteksi dini kanker dapat meningkatkan pengobatan yang berhasil dan prognosis baik. Dokter menggunakan informasi dari gejala dan beberapa prosedur lain untuk mendiagnosis kanker. Teknik pencitraan seperti X-ray, CT scan, MRI scan, PET scan, dan ultrasound digunakan secara teratur untuk mendeteksi

lokasi

tumor.

Dokter

juga

dapat

melakukan

endoskopi.

Pengekstrakan sel-sel kanker dan melihat di bawah mikroskop adalah satu-satunya cara mutlak untuk mendiagnosis kanker. Prosedur ini disebut biopsi. Tes diagnostik molekul yang sering digunakan juga seperti menganalisis lemak, protein, dan DNA pada tingkat molekul. Sebagai contoh, sel-sel kanker prostat mensekresi zat kimia yang disebut PSA (prostate-specific antigen) ke dalam aliran darah yang dapat dideteksi oleh tes darah. Molekuler diagnostik, biopsi,

Universitas Sumatera Utara

dan teknik pencitraan digunakan secara bersama-sama untuk mendiagnosis kanker (Crosta, P., 2010).

2.1.8 Stadium kanker Sistem TNM adalah salah satu sistem pementasan yang paling umum digunakan. Sistem ini telah diterima oleh International Union Against Cancer (UICC) dan American Joint Committee on Cancer (AJCC). Kebanyakan fasilitas medis menggunakan sistem TNM sebagai metode utama untuk pelaporan kanker termasuk National Cancer Institute (NCI). Sistem TNM ini berdasarkan pada besarnya tumor (T), tingkat penyebaran ke kelenjar getah bening (N), dan adanya metastasis (M). Nomor ditambahkan untuk setiap huruf untuk menunjukkan ukuran atau saiz tumor dan luasnya penyebaran. Tumor Primer (T) TX

Tumor primer tidak dapat dievaluasi

T0

Tidak ada bukti tumor primer

Tis

Karsinoma in situ (kanker dini yang belum menyebar ke jaringan tetangga)

T1, T2, T3,

Ukuran dan / atau luas tumor primer

T4

Tabel 2.2

Universitas Sumatera Utara

Kelenjar getah bening regional (N) NX

Kelenjar getah bening regional tidak dapat dievaluasi

N0

Tidak ada keterlibatan kelenjar getah bening regional (kanker tidak ditemukan pada kelenjar getah bening)

N1, N2, N3

Keterlibatan kelenjar getah bening regional (jumlah dan / atau luas menyebar)

Tabel 2.3 Metastasis jauh (M) MX

Metastasis jauh tidak dapat dievaluasi

M0

Tidak jauh metastasis (kanker belum menyebar ke bagian lain dari tubuh)

M1

Metastasis jauh (kanker telah menyebar ke bagian tubuh yang jauh)

Tabel 2.4 Tahap Tahap 0

Definisi Karsinoma in situ (kanker dini yang hadir hanya di lapisan sel yang mulai).

Tahap I, II,

Angka yang lebih besar menunjukkan penyakit yang

Universitas Sumatera Utara

dan III

lebih luas: ukuran tumor yang lebih besar, dan / atau penyebaran kanker ke kelenjar getah bening terdekat dan / atau organ yang berdekatan dengan tumor primer.

Tahap IV

Kanker telah menyebar ke organ lain. Tabel 2.5

(Sumber : International Union Against Cancer (UICC) dan American Joint Committee on Cancer (AJCC), 2009)

2.1.9 Terapi kanker Terapi kanker tergantung pada jenis kanker, stadium kanker, usia, status kesehatan, dan karakteristik pribadi tambahan. Tidak ada pengobatan tunggal untuk kanker dan pasien sering menerima kombinasi terapi dan perawatan paliatif. Perawatan biasanya termasuk dalam salah satu kategori seperti operasi, radiasi, kemoterapi, immunoterapi, terapi hormon, atau terapi gen. Prinsip kerja pengobatan ini adalah dengan membunuh sel - sel kanker, mengontrol pertumbuhan sel kanker, dan menghentikan pertumbuhannya agar tidak menyebar dan mengurangi gejala-gejala yang disebabkan oleh kanker. 2.1.9.1 Operasi Pembedahan merupakan pengobatan tertua untuk kanker. Jika kanker belum bermetastasis, kemungkinan besar pasien dapat disembuhkan sepenuhnya hanya dengan menyingkirkan tumor dengan operasi. Hal ini sering terlihat pada penyingkiran prostat, payudara atau testis. Setelah penyakit ini telah menyebar, tidak mungkin dapat menyingkirkan semua sel kanker. Operasi juga dapat

Universitas Sumatera Utara

berperan besar dalam membantu untuk mengontrol gejala seperti gangguan pencernaan atau kompresi sumsum tulang belakang (Crosta, P., 2010). 2.1.9.2 Radioterapi Radioterapi berarti pengobatan kanker dengan menggunakan sinar radioaktif. Sinar X, elektron, dan sinar γ (gamma) banyak digunakan dalam pengobatan kanker disamping partikel lain. Pada prinsipnya apabila berkas sinar radioaktif atau partikel dipaparkan ke jaringan, maka akan terjadi berbagai peristiwa antara lain peristiwa ionisasi molekul air yang mengakibatkan terbentuknya radikal bebas di dalam sel yang pada gilirannya akan menyebabkan kematian sel. Lintasan sinar juga menimbulkan kerusakan akibat tertumbuknya DNA yang dapat diikuti kematian sel. Radioterapi digunakan sebagai pengobatan mandiri untuk mengecilkan tumor atau menghancurkan sel-sel kanker termasuk yang berkaitan dengan leukemia dan limfoma, dan juga digunakan dalam kombinasi dengan pengobatan kanker lain (Siswono, 2002). 2.1.9.3 Kemoterapi Kemoterapi terkadang merupakan pilihan pertama untuk menangani kanker. Kemoterapi bersifat sistematik, berbeda dengan radiasi atau pembedahan yang bersifat setempat, karenanya kemoterapi dapat menjangkau sel-sel kanker yang mungkin sudah menjalar dan menyebar ke bagian tubuh yang lain. Penggunaan kemoterapi berbeda-beda pada setiap pasien, kadang-kadang sebagai pengobatan utama, pada kasus lain dilakukan sebelum atau setelah operasi dan radiasi. Tingkat keberhasilan kemoterapi juga berbeda-beda tergantung jenis kankernya. Kemoterapi biasa dilakukan di rumah sakit, klinik swasta, tempat praktek dokter, ruang operasi dan juga di rumah (Crosta, P., 2010).

Universitas Sumatera Utara

2.1.9.4 Imunoterapi Imunoterapi digunakan untuk merangsang sistem kekebalan tubuh untuk melawan kanker. Misal, vaksin yang terdiri dari antigen diperoleh dari sel tumor bisa menaikkan fungsi tubuh pada antibodi atau sel kekebalan (limfosit T). Walaupun mekanisme tepat pada tindakan tidak benar-benar jelas, interferon mempunyai tugas di dalam pengobatan beberapa kanker (Indonesian Pharmacist Update, 2009). 2.1.9.5 Terapi hormon Kanker dikaitkan dengan beberapa jenis hormon, terutamanya kanker payudara dan kanker prostat. Terapi hormon dirancang untuk mengubah produksi hormon dalam tubuh sehingga sel-sel kanker berhenti berkembang atau dibunuh sepenuhnya. Terapi hormon kanker payudara sering fokus pada pengurangan kadar estrogen (obat umum untuk ini adalah tamoxifen) dan hormon terapi kanker prostat sering fokus pada pengurangan kadar testosteron. Selain itu, beberapa kasus leukemia dan limfoma dapat diobati dengan hormon kortison (Crosta, P., 2010).

2.2

Sistem Imun Tubuh

2.2.1 Definisi Menurut Karnen Garna Baratawidjaja dalam buku Imunologi Dasar Edisi Ketiga, sistem imun ialah semua mekanisme pertahanan yang digunakan tubuh untuk mempertahankan keutuhan tubuh sebagai perlindungan terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan oleh berbagai bahan dalam lingkungan hidup. Fungsi sistem kekebalan tubuh adalah untuk melindungi tubuh dari infeksi dan penyakit. Sistem kekebalan tubuh bekerja untuk mengidentifikasi patogen dan sel-sel

Universitas Sumatera Utara

tumor yang dapat menyebabkan penyakit dan mengeliminasi dari sistem tubuh. Tetapi, tugas ini adalah sanagat sulit karena patogen dan sel-sel buruk licik sehingga mereka dapat merancang ulang diri mereka dan beradaptasi dengan perubahan tubuh. Selain itu, ia juga berperanan dalam menyingkirkankan jaringan atau sel yg mati atau rusak untuk perbaikan jaringan (Baratawidjaja, 1998). Sistem kekebalan tubuh manusia dibagi kepada dua, yaitu kekebalan tubuh non spesifik dan kekebalan tubuh spesifik. Sistem imun non spesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroorganisme, oleh karena dapat memberikan respon langsung terhadap antigen, sedang sistem imun spesifik membutuh waktu untuk mengenal antigen terlebih dahulu sebelum dapat memberikan responnya.

2.2.2 Sistem imun non spesifik Sistem imun non spesifik ini dibagi kepada empat yaitu pertahanan fisik dan mekanik, pertahanan biokimiawi, pertahanan humoral serta pertahanan seluler. Dalam sistem pertahanan fisik atau mekanik ini, kulit, selaput lendir, silia saluran napas, batuk dan bersin akan mencegah masuknya berbagai kuman patogen ke dalam tubuh. Kulit yang rusak misalnya oleh luka bakar dan selaput lendir yang rusak oleh asap rokok akan meninggikan risiko infeksi. Pertahanan biokimiawi adalah seperti asam hidroklorida dalam lambung, enzim proteolitik dalam usus, serta lisozim dalam keringat, air mata, dan air susu. Berbagai bahan dalam sirkulasi berperanan pada pertahanan humoral seperti komplemen, interferon, dan C-Reactive Protein. Komplemen berperan meningkatkan fagositosis dan mempermudah destruksi bakteri dan parasit. Interferon pula dilepas sebagai respon terhadap infeksi virus. Di samping itu, ia juga dapat

Universitas Sumatera Utara

mengaktifkan Natural Killer cell (sel NK). Fagosit, makrofag, sel NK dan sel K berperanan dalam sistem imun non spesifik selular dan berperan untuk menangkap,

mamakan,

membunuh

dan

akhirnya

mencerna

kuman

(Baratawidjaja, 1998).

2.2.3 Sistem imun spesifik Berbeda dengan sistem imun non spesifik, sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama kali muncul dalam badan segera dikenal oleh sistem imun spesifik sehingga terjadi sensitisasi sel-sel sistem imun tersebut. Jika sel imun tersebut berpapasan kembali dengan benda asing yang sama, maka benda asing yang terakhir ini akan dikenal lebih cepat, kemudian dihancurkan olehnya. Sistem imun spesifik terbagi antara humoral dan selular di mana yang berperan dalam humoral adalah limfosit B manakala pada selular adalah limfosit T. Antibodi yang dihasilkan sel B ini dapat pertahankan tubuh dari infeksi ekstraseluler virus dan bakteri serta menetralisir toksinnya. Fungsi utama sistem imun spesifik seluler pula untuk pertahanan terhadap bakteri yang hidup intraseluler, virus, jamur, parasit dan keganasan (Baratawidjaja, 1998).

2.2.4 Imunologi infeksi 2.2.4.1 Imunitas terhadap virus Virus merupakan golongan mikroorganisme yang untuk proliferasi memerlukan sel hidup, karena tidak memiliki perangkat biokimiawi yang diperlukan untuk sintesis protein dan karbohidrat.Tubuh memerangi virus yang mempunyai berbagai fase infeksi. Sel K sebagai efektor pada Antibody

Universitas Sumatera Utara

Dependent Cell Cytotoxicity (ADCC) yang mempunyai reseptor Fc, dengan bantuan antibody dan sel Tc ikut berperan pada pertahanan terhadap virus. Pada umumnya penghancuran virus di dalam sel menguntungkan tubuh, tetapi reaksi imun yang terjadi dapat menimbulkan pula kerusakan jaringan tubuh yang disebut imunopatologik (Baratawidjaja, 1998). 2.2.4.2 Imunitas terhadap bakteri Pertahanan tubuh terhadap bakteri terdiri dari spesifik dan non spesifik. Epitel permukaan yang mempunyai fungsi proteksi akan membatasi masuknya bakteri ke dalam tubuh. Menurut sifat patologik dinding sel, bakteri dibagi menjadi gram negatif, gram positif, mycobacterium dan spirochaet. Struktur dinding sel bakteri yang sebenarnya menentukan jenis respon imun tubuh. Semua dinding sel bakteri mengandung membran lapisan dalam dan peptidoglikan. Bakteri gram negatif masih mempunyai lapisan luar dari lipid yang kadangkadang

mengandung

lipopolisakarida

(LPS).

Enzim

lisozim

dapat

menghancurkan lapisan peptidoglikan, sedang komplemen dapat menghancurkan lipid lapisan luar bakteri gram negatif. Susunan dinding mycobacterium sangat kompleks. Berbagai jenis bakteri mempunyai fimbriae atau flagella yang antigenik dan dapat bereaksi dengan antibodi. Beberapa bakteri mempunyai kapsul luar sehingga bakteri lebih resisten terhadap fagositosis. Pada akhir respon imun, semua bakteri dihancurkan fagosit. Bakteri yang resisten terhadap fagosit seperti M.Tuberkulosis atau parasit obligat intraseluler seperti M.leprae dikucilkan makrofag melalui pembentukkan granuloma atas pengaruh sel T (Baratawidjaja, 1998). 2.2.4.3 Imunitas terhadap jamur Infeksi jamur biasanya hanya mengenai bagian luar tubuh saja, tetapi beberapa jamur dapat menimbulkan penyakit sistemis yang berbahaya, biasanya

Universitas Sumatera Utara

memasuki paru dalam bentuk spora. Mekanisme bawaan lini pertama adalah adanya hambatan fisik berupa kulit dan selaput lendir, yang dilengkapi dengan membran sel, reseptor seluler dan faktor humoral. Untuk waktu yang lama dianggap bahwa kekebalan yang dimediasi sel (CMI) itu penting dan kekebalan humoral memiliki peran sedikit atau tidak ada. Secara umum, CMI tipe Th1 diperlukan untuk pembersihan infeksi jamur, sementara imunitas Th2 biasanya menghasilkan kerentanan terhadap infeksi. Makrofag yang diaktifkan limfokin dan sel T diduga dapat menghancurkan jamur melalui mekanisme seperti yang terjadi pada reaksi tipe IV (Blanco, JL dan Garcia ME, 2008). 2.2.4.4 Imunitas terhadap protozoa dan cacing Infeksi parasit menimbulkan respon imun humoral dan seluler. Mekanisme mana yang lebih berperan tergantung pada jenis parasit. Infeksi parasit biasanya terjadi kronik dan kematian pejamu akan merugikan parasit sendiri. Infeksi yang kronik akan meningkatkan kadar imunoglobulin dalam sirkulasi, menimbulkan rangsangan antigen yang persisten dan pembentukan kompleks

imun.

Parasit

dapat

menimbulkan

imunosupresi

dan

efek

imunopatologik pada pejamu. Pada umumnya respon selular lebih efektif terhadap protozoa intraseluler, sedang antibodi lebih efektif terhadap parasit ekstraselular seperti dalam darah dan cairan jaringan. Sel T terutama sel Tc, dapat menghancurkan parasit intraseluler, misalnya T.cruzi. Limfokin yang dilepas oleh sel T yang disensitisasi dapat mengaktifkan makrofag untuk lebih banyak membentuk reseptor untuk Fc dan C3, berbagai enzim dan faktor lain yang dapat meninggikan sitotoksisitas (Baratawidjaja, 1998). Cacing dalam lumen saluran cerna dapat dikeluarkan oleh sekresi selaput lendir usus. Dalam hal ini baik sel B maupun sel T ikut berperan. Se Th merangsang sel untuk membentuk antibodi spesifik, terutama IgE selama terjadi infeksi parasit. Antigen-antigen yang dilepas parasit diduga berfungsi sebagai

Universitas Sumatera Utara

mitogen poliklonal yang T independen untuk sel B. Peranan antibodi dan imunitas selular bervariasi dan bergantung pada jenis infeksi. Eosinofil diduga mempunyai tiga efek terhadap infeksi cacing yaitu fagositosis kompleks antigenantibodi, modulasi hipersensitivitas melalui inaktivasi mediator dan membunuh cacing tertentu melalui perantaraan IgG. Pengerahan eosinofil dipengaruhi mediator yang dilepas sel mastosit dan sel T. Di samping itu sel T berpengaruh pula atas pengeluaran eosinofil dari sumsum tulang (Baratawidjaja, 1998).

2.2.5 Imunologi Kanker 2.2.5.1 Respon imun terhadap sel kanker Sel kanker dikenal sebagai nonself yang bersifat antigenik pada sistem imunitas tubuh manusia sehingga ia akan menimbulkan respons imun secara seluler maupun humoral. Imunitas humoral lebih sedikit berperan daripada imunitas seluler dalam proses penghancuran sel kanker, tetapi tubuh tetap membentuk antibodi terhadap antigen tumor. Dua mekanisme antibodi diketahui dapat menghancurkan target kanker yaitu, Antibody dependent cell mediated cytotoxicity (ADCC) dan Complement Dependent Cytotoxicity. Pada ADCC antibodi IgG spesifik berikatan terhadap Tumor Associated Antigen (TAA) dan sel efektor yang membawa reseptor untuk bagian Fc dari molekul Ig. Antibodi bertindak sebagai jembatan antara efektor dan target. Antibodi yang terikat dapat merangsang pelepasan superoksida atau peroksida dari sel efektor. Sel yang dapat bertindak sebagai efektor di sini adalah limfosit null (sel K), monosit, makrofag, lekosit PMN (polimorfonuklear) dan fragmen trombosit. Ini akan mengalami lisis optimal dalam 4 sampai 6 jam (Halim, B dan Sahil, MF, 2001). Pada Complement Dependent Cytotoxicity, pengikatan antibodi ke permukaan sel tumor menyebabkan rangkaian peristiwa komplemen klasik dari C

Universitas Sumatera Utara

1,4,2,3,5,6,7,8,9. Komponen C akhir menciptakan saluran atau kebocoran pada permukaan sel tumor. IgM lebih efisien dibanding IgG dalam merangsang proses ini (Halim, B dan Sahil, MF, 2001). Pada pemeriksaan patologi-anatomik tumor, sering ditemukan infiltrat sel-sel yang terdiri atas sel fagosit mononuklear, limfosit, sedikit sel plasma dan sel mastosit. Meskipun pada beberapa neoplasma, infiltrasi sel mononuklear merupakan indikator untuk prognosis yang baik, pada umumnya tidak ada hubungan antara infiltrasi sel dengan prognosis. Sistem imun yang nonspesifik dapat langsung menghancurkan sel tumor tanpa sensitisasi sebelumnya. Efektor sistem imun tersebut adalah sel Tc, fagosit mononuklear, polinuklear, Sel NK. Aktivasi sel T melibatkan sel Th dan Tc. Sel Th penting pada pengerahan dan aktivasi makrofag dan sel NK (Halim, B dan Sahil, MF, 2001). Kontak langsung antara sel target dan limfosit T menyebabkan interaksi antara reseptor spesifik pada permukaan sel T dengan antigen membran sel target yang mencetuskan induksi kerusakan membran yang bersifat letal. Peningkatan kadar cyclic Adenosine Monophosphate (cAMP) dalam sel T dapat menghambat sitotoksisitas dan efek inhibisi Prostaglandin (PG) E1 dan E2 terhadap sitotoksisitas mungkin diperantarai cAMP. Mekanisme penghancuran sel tumor yang pasti masih belum diketahui walaupun pengrusakan membran sel target dengan hilangnya integritas osmotik merupakan peristiwa akhir. Pelepasan Limfotoksin (LT), interaksi membran-membran langsung dan aktifitas sel T diperkirakan merupakan penyebab rusaknya membrane. Interleukin (IL), interferon (IFN) dan sel T mengaktifkan pula sel NK. Lisis sel target dapat terjadi tanpa paparan pendahuluan dan target dapat dibunuh langsung. Kematian sel tumor dapat sebagai akibat paparan terhadap toksin yang terdapat dalam granula, produksi superoksida atau aktivitas protease serine pada permukaan sel efektor. Aktivitas NK dapat dirangsang secara in vitro dengan pemberian IFN.

Universitas Sumatera Utara

Penghambatan aktivasi sel NK terlihat pada beberapa PG (PGE1, PGE2, PGA1 dan PGA2), phorbol ester, glukokortikoid dan siklofosfamid. Sel NC (Natural Cytotoxic) juga teridentifikasi menghancurkan sel tumor. Berbeda dengan sel NK, sel NC kelihatannya distimulasi oleh IL-3 dan relatif tahan terhadap glukokortikoid dan siklofosfamid (Halim, B dan Sahil, MF, 2001). Selain itu, sitotoksisitas melalui makrofag menyebabkan makrofag yang teraktivasi berikatan dengan sel neoplastik lebih cepat dibanding dengan sel normal. Pengikatan khusus makrofag yang teraktivasi ke membran sel tumor adalah melalui struktur yang sensitif terhadap tripsin. Pengikatan akan bertambah kuat dan erat dalam 1 sampai 3 jam dan ikatan ini akan mematikan sel. Sekali pengikatan terjadi, mekanisme sitotoksisitas melalui makrofag berlanjut dengan transfer enzim lisosim, superoksida, protease, faktor sitotoksis yang resisten terhadap inhibitor protease dan yang menyerupai LT. Sekali teraktivasi, makrofag dapat menghasilkan PG yang dapat membatasi aktivasinya sendiri. Makrofag yang teraktivasi dapat menekan proliferasi limfosit, aktivitas NK dan produksi mediator. Aktivasi supresi dapat berhubungan dengan pelepasan PG atau produksi superoksida. Sebagai tambahan, makrofag dapat merangsang dan juga menghambat pertumbuhan sel tumor. Makrofag dapat pula berfungsi sebagai efektor pada ADCC terhadap tumor. Indometasin dapat menghambat efek perangsangan makrofag pada pertumbuhan tumor ovarium yang diperkirakan prostaglandin mungkin berperan sebagai mediatornya. Di samping itu makrofag dapat menimbulkan efek negatif berupa supresi yang disebut makrofag supresor. Hal tersebut dapat disebabkan oleh tumor itu sendiri atau akibat pengobatan (Halim, B dan Sahil, MF, 2001). 2.2.5.2 Mengapa kanker dapat luput dari pengawasan sistem imun Walaupun ada sistem imunosurveilan, kanker dapat luput dari pengawasan sistem imun tubuh bila faktor-faktor yang menunjang pertumbuhan

Universitas Sumatera Utara

tumor lebih berpengaruh dibanding dengan faktor-faktor yang menekan tumor, sehingga terjadi apa yang dinamakan immunological escape kanker. Faktorfaktor yang mempengaruhi luputnya tumor dari pengawasan sistem imun tubuh sebagai berikut (Baratawidjaja, 1998) : (a)

Kinetik tumor (sneaking through) Pada binatang yang diimunisasi, pemberian sel tumor dalam dosis kecil

akan menyebabkan tumor tersebut dapat menyelinap (sneak through) yang tidak diketahui tubuh dan baru diketahui bila tumor sudah berkembang lanjut dan di luar kemampuan sistem imun untuk menghancurkannya. Mekanisme terjadinya tidak diketahui tapi diduga berhubungan dengan vaskularisasi neoplasma tersebut. (b)

Modulasi antigenik Antibodi dapat mengubah atau memodulasi permukaan sel tanpa

menghilangkan determinan permukaan. (c)

Masking Antigen Molekul tertentu, seperti sialomucin, yang sering diikat permukaan sel

tumor dapat menutupi antigen dan mencegah ikatan dengan limfosit. (d)

Penglepasan Antigen (Shedding Antigen) Antigen tumor yang dilepas dan larut dalam sirkulasi, dapat mengganggu

fungsi sel T dengan mengambil tempat pada reseptor antigen. Hal itu dapat pula terjadi dengan kompleks imun antigen antibodi. (e)

Toleransi Virus kanker mammae pada tikus disekresi dalam air susunya, tetapi bayi

tikus yang disusuinya toleran terhadap tumor tersebut. Infeksi kongenital oleh

Universitas Sumatera Utara

virus yang terjadi pada tikus-tikus tersebut akan menimbulkan toleransi terhadap virus tersebut dan virus sejenis. (f)

Limfosit yang terperangkap Limfosit spesifik terhadap tumor dapat terperangkap di dalam kelenjar

limfe. Antigen tumor yang terkumpul dalam kelenjar limfe yang letaknya berdekatan dengan lokasi tumor, dapat menjadi toleran terhadap limfosit setempat, tetapi tidak terhadap limfosit kelenjar limfe yang letaknya jauh dari tumor. (g)

Faktor genetik Kegagalan untuk mengaktifkan sel efektor T dapat disebabkan oleh

karena faktor genetik. (h)

Faktor penyekat Antigen tumor yang dilepas oleh sel dapat membentuk kompleks dengan

antibodi spesifik

yang

membentuk

pejamu.

Kompleks tersebut

dapat

menghambat efek sitotoksitas limfosit pejamu melalui dua cara, yaitu dengan mengikat sel Th sehingga sel tersebut tidak dapat mengenal sel tumor dan memberikan pertolongan kepada sel Tc. (i)

Produk tumor PG yang dihasilkan tumor sendiri dapat mengganggu fungsi sel NK dan

sel K. Faktor humoral lain dapat mengganggu respons inflamasi, kemotaksis, aktivasi komplemen secara nonspesifik dan menambah kebutuhan darah yang diperlukan tumor padat.

Universitas Sumatera Utara

(j)

Faktor pertumbuhan Respons sel T bergantung pada IL. Gangguan makrofag untuk

memproduksi IL-1, kurangnya kerjasama di antara subset-subset sel T dan produksi IL-2 yang menurun akan mengurangi respons imun terhadap tumor.

2.2.6 Defisiensi imun pada pasien kanker Defisiensi imun harus dicurigai bila ditemukan tanda-tanda dari peningkatan kerentanan terhadap infeksi. Defisiensi imun primer atau kongenital diturunkan tetapi defisiensi imun sekunder timbul dari berbagai faktor setelah lahir. Penyakit defisiensi imun tersering mengenai limfosit, komplemen dan fagosit. Defisiensi imun pada pasien kanker adalah dari faktor-faktor seperti berikut (Halim, B dan Sahil, MF, 2001) : (a)

Lokasi tumor Pada gangguan keganasan sel B seperti mieloma multipel dan leukemia

mielositik kronik dijumpai gangguan sel B poliklonal, defisiensi sel Th, kelebihan sel Ts dan penurunan rasio sel T4 : T8 pada tumor solid. Kelainan monosit dan sel T telah terlihat pada penderita karsinoma metastatik dan sarkoma, terutama stadium lanjut. Parahnya gangguan sel T bervariasi dari berbagai jenis tumor sesuai asalnya. (b)

Operasi Depresi sel T dan B sementara terlihat pada kasus postoperatif. Gangguan

imunitas maksimal terjadi selama minggu pertama setelah pembedahan, biasanya fungsi sel T akan kembali normal 1 bulan. Lama dan intensitas imunosupresi berhubungan

dengan

jumlah

trauma

operasi,

lama

prosedur

dan

Universitas Sumatera Utara

imunokompetensi sebelum operasi. Pembuangan jaringan limforetikuler dapat mengganggu fungsi imun. Penelitian pada pasien kanker menunjukkan bahwa, splenektomi dapat mempermudah timbulnya sepsis fulminan akibat bakteri. Peningkatan kerentanan terhadap infeksi ini berhubungan dengan umur, penyakit penyerta dan modalitas pengobatan kankernya. Tambahan radiasi kelenjar getah bening dan kemoterapi akan menyebabkan gangguan lebih besar terhadap fungsi sel B. Beberapa peneliti bahkan menggunakan injeksi penisilin profilaksis, vaksin pneumokokus pada pasien post splenektomi sebelum diberi kemoterapi atau radioterapi. Kerentanan ini disebabkan oleh menurunnya kemampuan fagositosis dan gangguan pembentukan antibodi dini. (c)

Radioterapi Radiasi berpengaruh terhadap limfosit, sehingga akan mengalami

kematian interfase dalam beberapa jam tanpa terjadinya mitosis. Sebelum rangsangan, antigen limfosit hanya menunjukkan kemampuan yang terbatas untuk memperbaiki kerusakan DNA akibat radiasi. Setelah rangsangan antigen, sel plasma maupun sel reflektor menjadi lebih radioresisten. Limfopenia terjadi bukan hanya akibat radiasi terhadap jaringan limfoid, tapi juga akibat destruksi limfosit pada daerah tepi. Level sel T dan B dapat berkurang, tergantung bagian yang diradiasi. Walaupun terjadi penurunan kadar sel B, respon humoral biasanya tetap. Radiasi limfoid total dapat menyebabkan penurunan yang menetap pada kadar sel T. Respon proliferatif sel T terhadap mitogen atau antigen histokompatibilitas dapat tertekan selama bertahun-tahun. Radiasi total badan dengan dosis besar dapat menyebabkan penurunan yang hebat dari seluruh sel limforetikuler tetapi untuk mencapai kembali rasio normal T4 : T8 perlu lebih dari setahun. Level monosit tidak menurun secara bermakna selama radioterapi dan kebanyakan makrofag resisten terhadap radiasi.

Universitas Sumatera Utara

(d)

Kemoterapi Kebanyakan sitostatika bersifat imunosupresif kecuali Bleomisin dan

Vincristin dalam dosis terapeutik. Kemoterapi intermiten biasanya kurang imunosupresif dibanding dengan tipe kontinu. Fungsi sel T dan B dapat kembali di antara seri pengobatan walaupun gangguan menetap dapat terlihat setelah pengobatan yang lama atau bila kemoterapi dan radiasi digabung. Glukokortikoid mempengaruhi fungsi dan resirkulasi pada darah tepi dan level limfosit lebih dipengaruhi dibanding monosit. Level sel T lebih dipengaruhi dibanding sel B dan sel T CD4 lebih terpengaruh dibanding sel T CD8. Pada kemoterapi dosis tinggi glukokortikoid dapat menghambat setiap fungsi sel limforetikuler, namun faktor inhibisi makrofag tetap dihasilkan. Kemampuan respon makrofag dan monosit terhadap mediator terhambat jelas. Kemampuan fagositosis monosit dipertahankan sedangkan fungsi bakterisidalnya dihambat. Siklosfosfamid mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap sel B dibanding sel T, dalam dosis rendah menghambat sel supresor dan meningkatkan efek sel T CD8 daripada sel T CD4, pada dosis lebih tinggi sel T CD8 dan sel T CD4 menurun (Ozer, H., 1986). Efek imunosupresif bahan pengalkil dan antimetabolit berhubungan sebagian dengan toksisitas terhadap sel yang berproliferasi. Bahan pengalkil seperti siklofosfamid dapat menekan produksi antibodi, sedangkan antimetabolit seperti 5 Fluorourasil, 6 Merkaptopurin dan Metotreksat akan efektif setelah pemberian antigen dan bila sel B sedang berproliferasi. Bila sel telah berhenti berproliferasi dan limfosit sudah matur maka respons seluler maupun humoral menjadi resisten terhadap agen sitotoksik. (g)

Gizi buruk Semua sel membutuhkan nutrisi untuk berkembang dan bekerja.

Kurangnya vitamin, mineral, kalori, dan protein dapat membuat sistem kekebalan tubuh lemah di mana ia kurang mampu menemukan dan menghancurkan kuman.

Universitas Sumatera Utara

Ini berarti orang-orang yang kekurangan gizi lebih mungkin untuk mendapatkan infeksi. Orang dengan kanker sering memiliki gizi buruk karena berbagai alasan. Sebagai contohnya, kanker itu sendiri mungkin menyebabkan pasien sulit untuk makan atau mencerna makanan. Hal ini biasa terjadi pada orang dengan kanker sistem pencernaan, mulut, atau tenggorokan. Selain itu, perawatan kanker, seperti terapi radiasi dan kemoterapi, dapat menyebabkan hilangnya nafsu makan dan mual. Di samping itu, pemulihan dari operasi meningkatkan kebutuhan tubuh akan nutrisi.

2.3 Infeksi opurtunistik pada pasien kanker 2.3.1 Definisi infeksi opurtunistik Infeksi opurtunistik (IO) adalah infeksi yang disebabkan oleh patogen (bakteri, virus, jamur atau protozoa) yang menyebabkan penyakit hanya ketika sistem kekebalan inang terganggu. Pada pasien kanker, IO sering disebabkan oleh kuman yang tinggal di kulit, usus dan lingkungan (American Cancer Society, 2009).

2.3.2 Jenis-jenis infeksi opurtunistik pada pasien kanker 2.3.2.1 Bakteri Beberapa bakteri yang sering menyebabkan infeksi pada pasien kanker termasuk (Lyman, G.H. dan Crawford, J., 2008) : •

Pseudomonas aeruginosa

Universitas Sumatera Utara



Klebsiella pneumonia



Escherichia coli (E. coli)



Salmonella



Clostridium difficile



Staphylococcus aureus



Staphylococcus epidemidis



Streptococcus viridans



Pneumococcus



Enterococcus

2.3.2.2 Virus Beberapa virus pada orang dengan jumlah sel darah putih yang rendah (CancerHelp UK, 2009) : •

Varicella zoster (VZV), virus yang menyebabkan cacar air dan herpes zoster



Herpes simplex (HSV), virus yang menyebabkan luka herpes genital dingin



Cytomegalovirus (CMV)



Influenza virus



Human respiratory syncytial virus (RSV)

2.3.2.3 Jamur Jamur

yang

umumnya

menginfeksi pasien

kanker

(American Cancer

Society,2009) : •

Pneumocystis jirovecii (sebelumnya dikenal sebagai P. carinii)



Candida



Aspergillus



Kriptokokus

Universitas Sumatera Utara



Histoplasma



Coccidioides

2.3.2.4 Protozoa Protozoa merupakan hewan bersel tunggal, berinti sejati (eukariotik) dan tidak memiliki dinding sel. Protozoa berasal dari kata protos yang berarti pertama dan zoom yang berarti hewan sehingga disebut sebagai hewan pertama. Ukurannya 1000 mikron dan merupakan organisme mikroskopis bersifat heterotrof. Tempat hidupnya adalah tempat yang basah yang kaya zat organik, air tawar atau air laut sebagai zooplakton, beberapa jenis bersifat parasit dan menyebabkan penyakit pada manusia dan hewan ternak. Protozoa memiliki alat gerak yaitu ada yang berupa kaki semu, bulu getar (silia) atau bulu cambak (flagela). Beberapa protozoa memiliki fase vegetatif yang bersifat aktif yang disebut tropozoit dan fase dorman dalam bentuk sista. Tropozoit akan aktif mencari makan dan berproduksi selama kondisi lingkungan memungkinkan. Jika kondisi tidak memungkinkan kehidupan tropozoit maka protozoa akan membentuk sista. Sista merupakan bentuk sel protozoa yang terdehidrasi dan berdinding tebal mirip dengan endospora yang terjadi pada bakteri. Pada saat sista protozoa mampu bertahan hidup dalam lingkungan kering maupun basah. Pada umumnya berkembang biak dengan membelah diri (EDU2000, 2008). Protozoa umum yang sering menyebabkan penyakit serius pada pasien kanker termasuk (American Cancer Society,2009) : •

Toxoplasma gondii



Cryptosporidium



Cyclospora



Isospora

Universitas Sumatera Utara

Protozoa usus yang sering kali menyebabkan komplikasi pada pasien imunodefisiensi seperti pasien kanker ialah spore-forming protozoa seperti : •

Cryptosporidium parvum



Isospora belli



Cyclospora cayetanensisc



Microsporidium spp

Infeksi daripada protozoa usus ini diasosiasi dengan alterasi substansial pada struktur dan fungsi usus. Namun, patogenesis terjadinya diare pada pasien yang terinfeksi belum pasti. Biasanya infeksi protozoa ini dapat memicu pengeluaran sitokin (Interleukin 8) oleh sel epitel yang akan mengaktivasi fagosit ke lamina propria. Fagosit yang diaktifkan ini akan mengeluarkan faktor solubel yang dapat meningkatkan sekresi klorida dan air serta menghambat absorbsi. Mediator lain seperti prostaglandin dan leukotrien pula bertindak pada saraf enterosit dan memicu sekresi usus. Kerusakan enterosit akibat invasi dan multiplikasi parasit ini mengakibatkan distorsi struktur vilus dan diasosiasi dengan malabsorbsi serta diare osmotik (Chacon, C.E., 2009). Pada penderita immunocompromised, infeksi opurtunistik parasit usus memainkan peranan yang besar dalam menyebabkan diare kronik yang disertai dengan penurunan berat badan (Hammouda NA, et al, 1996). Manifestasi klinis yang sering ditunjukkan oleh pasien terinfeksi protozoa pembentuk spora ini adalah diare akut, kram perut, demam ringan, mual, dehidrasi serta penurunan berat badan akibat malabsorbsi. Diare pada pasien imunodefisiensi ini lebih sering, lama, dan sulit ditangani dibandingkan dengan pasien yang sistem kekebalannya normal. Infeksi daripada parasit ini hanya dapat ditegakkan diagnosanya dengan pemeriksaan tinja di mana sering dilakukan skrining untuk temukan oosit dan spora. Acid fast stain digunakan untuk melihat oosit

Universitas Sumatera Utara

Cryptosporidium, Cyclospora, dan Isospora pada tinja dan aspirasi duodenal. Cryptosporidium dan Isospora dapat juga diidentifikasi pada biopsi intestinal dengan mikroskop cahaya. Leukosit dan eritrosit yang tidak dapat ditemukan pada tinja membantu membedakan daripada diare yang disebabkan oleh bakteria dan protozoa invasif seperti amoeba (Goodgame, R.W., 1996 dan American College of Physicians, 2004).

Universitas Sumatera Utara