BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG KEHIDUPAN MASYARAKAT

Download paling mendukung penyebarluasan agama maupun kebudayaan antar negara, karena adanya interaksi yang tinggi ... unsur yang masih bertahan hin...

0 downloads 302 Views 44KB Size
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Kehidupan masyarakat tidak terlepas dari kegiatan perekonomian, salah satunya perdagangan. Aktivitas perdagangan bukan hanya sebagai penggerak perekonomian, tetapi juga menjadi salah satu jalur penyebarluasan agama dan kebudayaan. Jalur perdagangan dianggap sebagai salah satu jalur yang paling mendukung penyebarluasan agama maupun kebudayaan antar negara, karena adanya interaksi yang tinggi dalam kegiatan perdagangan. Aktivitas perdagangan yang dilakukan masyarakat Bali Kuna dengan pedagang-pedagang dari bangsa lain seperti Tiongkok, India, Arab dll, menyebabkan masuk dan berkembangnya budaya-budaya luar, yang bahkan mengalami integrasi dengan budaya lokal. Interaksi perdagangan antara Tiongkok dengan daerah-daerah di Asia Tenggara, diperkirakan terjadi sekitar tahun 550 M. Ketika itu Tiongkok mengalihkan jalur perdagangan yang semula melalui daratan Asia Tengah ke China Selatan melalui Selat Malaka. Hal ini mengakibatkan orang Tionghoa menaruh perhatian terhadap daerah Asia Tenggara, dan menyinggahi kota-kota pelabuhan yang dilalui. Berdasarkan berita-berita Tiongkok tertua menyebutkan bahwa Fahsien seorang pendeta Budha dari Tiongkok, dalam perjalanannya pulang ke Tiongkok melalui Srilanka tahun 413 M, singgah di Yeh Poti yang dihubungkan dengan tempat Jawa Dwipa dan dari tempat ini langsung menuju ke Tiongkok. Adanya interaksi antara orang Tionghoa dengan masyarakat 1

2

Bali, tertuang dalam berita tertua tentang Bali yang diduga satu-satunya dari Tiongkok yaitu dalam Tambo dinasti Tang Kuna tahun 618M. Tambo ini menyebutkan bahwa di sebelah timur kerajaan Holing terletak Poli, sedangkan di sebelah baratnya terletak To-Po-Teng. Holing yang dimaksud adalah Kerajaan Kaling atau Kalingga yang terletak di pesisir Jawa Tengah yang menganut agama Budha Hinayana (Ardana dalam Sulistyawati, 2008: 10-12). Pendapat tersebut ditegaskan oleh P.Pelliot yang mengidentifikasi Po-li dengan Bali dan To-po-teng adalah pulau Sumatra. Dalam kitab Dinasti Tang Baru, juga disebutkan Ho-ling yang disebut dengan nama She-po, terletak di lautan sebelah selatan, sedangkan sebelah timurnya adalah Po-li (Bali). Sebelah baratnya adalah To-po-teng (Sumatra), dan sebelah utaranya adalah Chenla (Kamboja) (Harthawan, 2011: 2122). Aktivitas perdagangan antara Tiongkok dengan Bali dimulai dari daerah pelabuhan di Bali utara yang disebut kota pelabuhan Desa Julah, menasa di Buleleng Timur, di Bali selatan disebut Banjar Belanjong Desa Sanur. Melaui daerah-daerah pelabuhan tersebut, perdangan antara Tiongkok dan Bali memasuki desa-desa lain di Bali seperti Renon di Denpasar, dan di Bali utara sampai ke pedalaman yaitu Desa Sukawana, Kintamani (Ardana dalam Sulistyawati, 2008: 21). Perdagangan masyarakat Bali dengan Tiongkok dianggap sebagai salah satu faktor yang menyebabkan percampuran budaya Bali dan Tiongkok terjadi. Percampuran budaya Tiongkok dengan budaya lokal di Bali merupakan salah satu bentuk percampuran budaya yang masih berjalan baik hingga saat.

3

Percampuran budaya yang terjadi antara Tiongkok dengan budaya lokal

Bali

menimbulkan

berbagai

dampak

sosial

budaya.

Menurut

Koentjaraningrat (2015: 2), terdapat tujuh unsur kebudayaan universal dan merupakan unsure-unsur yang pasti ditemukan dalam di semua kebudayaan dunia. Hal ini sebagaimana diungkapkan Sulistyawati (2008: 2-17), terdapat tujuh unsur universal yang dapat digunakan untuk melihat sejauh mana pengaruh budaya Tiongkok terhadap peradaban kebudayaan di Bali. Pertama, pengaruh sistem religi dan upacara keagamaan. Pengaruh ini dapat dilihat dari pemujaan terhadap Ratu Gede Subandar dan Ratu Ayu Subandar, pemujaan terhadap Ida Ratu Tuan Baris Cina, pemujaan terhadap Barong Landung, dan penggunaan uang kepeng sebagai sarana

upakara.

Kedua,

pengaruhnya

terhadap

sistem

organisasi

dan

kemasyarakatan yang dapat dilihat dari sistem dan organisasi dagang besar antar pulau, penyalur dan pengecer. Ketiga, pengaruhnya terhadap sistem pengetahuan yang meliputi pengetahuan perdagangan antar pulau, pengetahuan perdagangan tetap (pasar) dengan uang kepeng, dan pengetahuan metalurgi. Keempat, pengaruh terhadap bahasa, pengaruh ini dapat dilihat dari banyaknya nama desa yang memakai nama Tiongkok, nama tanaman, dan juga bahasa dan sastra bahkan nama kerajaan. Kelima, pengaruhnya terhadap kesenian, yang bisa dilihat dari Tari Barong Landung, Tari Baris Cina dan Cerita Sampik Ing Tay. Keenam, pengaruh terhadap sistem pencarian mata hidup, pengaruh ini dilihat dari berkembangnya sistem perdagangan antar desa, antar pulau maupun internasional, dan juga berkembangnya sistem pasar tetap. Ketujuh, pengaruhnya terhadap

4

teknologi dan peralatan, yang meliputi ornament bangunan Bali, penggunaan porselin tiongkok dan teknik cor logam. Dilihat dari besarnya pengaruh budaya Tiongkok di Bali, salah satu unsur yang masih bertahan hingga saat ini adalah pengaruhnya terhadap sistem religi dan upacara, terutama dalam penggunaan uang kepeng sebagai sarana upakara. Menurut dugaan para ahli purbakala, uang kepeng Cina diperkirakan mulai beredar Bali sekitar abad ke tujuh Masehi sebagai alat pembayaran (Widana dalam Sulistyawati, 2008: 146). Uang kepeng yang digunakan sebagai alat upakara pada zaman dahulu, adalah uang kepeng berhuruf Cina. Uang kepeng ini terbuat dari logam besi dan tembaga yang dilubangi di bagian tengahnya (bolong) sehingga dalam masyarakat Bali seringkali disebut dengan pipis bolong atau pis bolong (Ardhana dalam Sulistyawati (2008: 9)).Uang kepeng yang awalnya merupakan alat pertukaran, dalam perkembangannya memiliki peranan yang besar dalam proses ritual keagamaan Hindu di Bali. Hal ini menunjukkan, telah terjadi percampuran budaya antara budaya Tiongkok dengan budaya lokal di Bali. Proses penyebarluasan agama dan kebudayaan, maupun percampuran budaya masih terjadi hingga era globalisasi saat ini. Bali sebagai salah satu daerah industri pariwisata tidak bisa lepas dari besarnya arus globalisasi. Wisatawan asing dari manca negara berdatangan ke Bali untuk menikmati wisata budaya, alam dan religi. Kedatangan wisatawan tersebut tentunya membawa unsur-unsur kebudayaan dari negara masing-masing. Tingginya interaksi masyarakat lokal Bali dengan wisatawan asing, lambat laun dapat menyebabkan unsur-unsur kebudayaan luar secara perlahan mempengaruhi

5

kebudayaan lokal. Uang kepeng merupakan salah satu budaya lokal yang berada ditengah era globalisasi dan perkembangan industri pariwisata di Bali. Globalisasi merupakan suatu era di mana percampuran budaya menjadi hal yang tidak asing lagi. Menurut Ritzer dan Goodman (2005: 568), globalisasi pada titik ekstrem, globalisasi kultural atau budaya dapat dilihat sebagai suatu ekspansi transnasional dimana banyak input budaya lokal dan global yang saling berinteraksi untuk menciptakan perpaduan yang mengarah pada pencangkokkan budaya atau heterogenitas. Trend menuju homogenitas, diidentikkan sebagai imperialiasme budaya, atau bertambahnya pengaruh internasional terhadap kebudayaan tertentu. Globalisasi, telah menyebabkan ruang dan waktu tidak menjadi kendala, dalam proses penyebarluasan maupun percampuran antar unsur kebudayaan. Pietterse dalam Barker (2011: 120)

mengemukakan bahwa

kebudayaan-kebudayaan introvert yang muncul telah memburamkan kebudayaan translokal, sehingga kebudayaan translokal menjadi terdesak mudur, namun di sisi lain kebudayaan translokal yang terbentuk dari berbagai unsur menjadi semakin muncul. Dalam era globalisasi, masyarakat cenderung akan menggantikan segala sesuatu yang lokal dan tradisional, dengan produk baru yang lebih modern dan sifatnya mendunia. Globalisasi menyebabkan masyarakat seringkali meninggalkan unsur-unsur budaya lokal, dan larut dalam modernisasi. Pola hidup masyarakat yang semakin modern, juga menyebabkan masyarakat lebih mudah menerima pengaruh-pengaruh budaya dari luar. Percampuran kebudayaan menjadi semakin tak terelakkan dalam era globalisasi. Bukan hanya percampuran kebudayaan, globalisasi juga telah melahirkan

6

modernitas dalam kehidupan masyarakat. Berman dalam Barker (2011: 141) menyatakan bahwa modernitas mengacu pada bentuk-bentuk kultural manusia yang terikat dengan modernisasi. Industri, teknologi dan sistem komunikasi mengubah dunia manusia dan terus menerus melakukannya tiada akhir. Giddens dalam Barker (2011: 138) mengemukakan bahwa terdapat beberapa institusi dalam modernitas, salah satunya adalah kapitalisme. Masyarakat Bali kontemporer adalah masyarakat Bali yang hidup dalam era globalisasi, dengan segala kemajuan ilmu pengetahuan teknologi, kemudahan akses, dan juga informasi. Masyarakat Bali kontemporer merupakan masyarakat yang terbentuk sebagai bagian dari modernitas. Menurut Barker (2011: 143), modernitas memiliki sisi gelap, yaitu citra diri modernisme. Citra diri modernitas ini meliputi citra keasyikan, janji kemajuan teknologi, dan pudarnya tradisi yang digantikan dengan yang baru. Globalisasi dengan modernitas di dalamnya, pada kenyataannya tidak mampu menyingkirkan uang kepeng yang merupakan salah bentuk budaya lokal. Pemanfaatan uang kepeng merupakan salah satu percampuran kebudayaan Tiongkok di Bali yang berlangsung sejak zaman dahulu, mampu bertahan hingga era globalisasi. Hal tersebut merupakan bukti nyata bahwa terdapat unsur-unsur kebudayaan lokal yang tetap mampu bertahan ditengah gempuran globalisasi. Uang kepeng yang memiliki nilai historis mampu bertahan dalam masyarakat Bali dewasa ini. Gempuran budaya luar, sebagai akibat globalisasi dan pesatnya perkembangan industri pariwisata di Bali tidak menggeser pemanfaatan uang kepeng dalam kehidupan masyarakat Bali kontemporer. Uang kepeng dalam

7

masyarakat Bali kontemporer, bahkan direproduksi kembali sehingga tidak tersisihkan ditengah derasnya arus globalisasi. Sisi gelap modernitas yang cenderung mengesampingkan budaya lokal, tidak sepenuhnya terjadi dalam kehidupan masyarakat Bali kontemporer. Kapitalisme berkembang pesat dalam kehidupan masyarakat Bali kontemporer, seiring dengan perkembangan industri pariwisata di Bali turut menyebabkan uang kepeng semakin berkembang. Masyarakat Bali kontemporer tidak meninggalkan sepenuhnya budaya lokal dan adat istiadat dalam kehidupan sehari-harinya. Kehidupan berdasarkan religi dan adat istiadat masih dipegang teguh, bukan hanya karena warisan dari nenek moyang, tetapi juga kesadaran bahwa masyarakat Bali kontemporer bisa hidup dan berkembang dari industri pariwisata yang mengandalkan adat istiadat dan budaya sebagai salah satu komoditinya. Kapitalisme telah mengubah keberadaan uang kepeng menjadi salah satu komoditi yang menunjang perkembangan sektor pariwisata di Bali. Perkembangan kapitalisme telah menyebabkan uang kepeng yang alih-alih musnah, menjadi semakin eksis dalam kehidupan masyarakat Bali kontemporer. Kapitalisme mengambil celah tersebut, dan masyarakat Bali kontemporer memanfaatkan transformasi uang kepeng. Dinamika yang terjadi dalam perkembangan uang kepeng di Bali, sejalan dengan perkembangan modernitas termasuk kapitalisme didalamnya. Kapitalisme telah menimbulkan berbagai dinamika uang kepeng dalam masyarakat Bali kontemporer yang meliputi transformasi bentuk dan transformasi fungsi uang kepeng. Penelitian dari A.A Gde Dira (2010),

mengungkapkan

8

bahwa terdapat perubahan bentuk uang kepeng dari berhuruf Cina ke uang kepeng aksara Bali. Hal ini merupakan salah satu bentuk perubahan uang kepeng yang sejalan dengan perkembangan kapitalisme. Perkembangan uang kepeng ke dalam bentuk ekonomi kreatif dalam kategori seni kriya, juga telah memantapkan peranan kapitalisme dalam dinamika uang kepeng selama ini. Eksistensi uang kepeng semakin terlihat ketika terjadi perkembangan tatanan perekonomian masyarakat. Kemajuan perekonomian dewasa ini, telah mengganti posisi uang kepeng sebagai alat pembayaran sah dengan Rupiah. Namun, di sisi lain penggunaan uang kepeng sebagai sarana upakara, tidak bisa digantikan dengan mata uang Rupiah. Penggunaan mata uang Rupiah sebagai mata uang resmi di Indonesia, yang sekaligus sebagai alat pertukaran resmi, tidak serta merta merubah pemanfaatan uang kepeng dalam sarana upakara. Menurut Saputra (2012: 5), sejak tahun 1951 pemerintah RI mengeluarkan undang-undang tentang Uang RI sebagai alat pembayaran sah. Namun, uang kepeng saat itu masih saja berlaku di Bali sebagai sarana upakara, hal inipun berlanjut hingga saat ini. Setelah jaman kemerdekaan Indonesia, pemerintah telah memberlakukan mata uang Rupiah sebagai alat pembayaran yang sah. Hal tersebut menyebabkan uang Hindia-Belanda dan uang Kepeng ditarik sebagai uang kartal, dan digantikan dengan uang Rupiah. Penarikan uang kepeng sebagai uang kartal, menyebabkan peredaran uang kepeng lambat laun semakin menipis, sehingga uang kepeng sempat mengalami kelangkaan di Bali. Ketika uang Hindia-Belanda dan uang kepeng ditarik sebagai uang kartal, uang

9

kepeng masih difungsikan oleh masyarakat Bali sebagai sarana upakara, dan bertahan hingga saat ini. Gempuran globalisasi, perubahan sosial budaya, perkembangan industri pariwisata dan perekonomian masyarakat yang terjadi dewasa ini, tidak mengubah pemanfataan uang kepeng dalam kehidupan masyarakat Bali kontemporer. Peranan kapitalisme sebagai salah satu instrumen modernitas tidak bisa dipungkiri dari eksistensi dan dinamika uang kepeng. Penggunaan uang kepeng dalam kehidupan masyarakat Bali kontemporer merupakan sesuatu yang mengakar dalam kehidupan budaya dan religi masyarakat Hindu di Bali. Eksistensi dan dinamika perkembangan uang kepeng hingga saat ini, menjadi semakin perlu untuk dikaji secara lebih mendalam dalam tatanan masyarakat Bali kontemporer. Dengan demikian, melihat derasnya pengaruh modernisasi terhadap kehidupan dan budaya lokal masyarakat Bali kontemporer, dimana uang kepeng justru masih tetap eksis, sehingga menjadi menarik dan relevan untuk dikaji dengan pendekatan cultural studies.

1.2

Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang diangkat

dalam penelitian ini sebagai berikut. 1. Bagaimana dinamika uang kepeng dalam kehidupan masyarakat Bali kontemporer?

2. Mengapa uang kepeng masih tetap eksis dalam kehidupan masyarakat Bali kontemporer?

10

3. Bagaimana makna uang kepeng bagi masyarakat Bali kontemporer?

1.3

Tujuan Penelitian Secara garis besar penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut.

1.3.1

Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap fenomena uang kepeng dalam kehidupan masyarakat Bali kontemporer ditengah derasnya arus globalisasi dan perkembangan kapitalisme. Mengingat uang kepeng memiliki nilai historis yang pemanfataannya masih berjalan sampai dengan saat ini. 2. Penelitian ini berupaya mengungkap dinamika dan eksistensi uang kepeng dalam sebuah kajian kritis atas fenomena yang ada, sekaligus sebagai upaya pelestarian budaya.

1.3.2

Tujuan Khusus Tujuan khusus penelitian, yaitu. 1. Untuk memahami dinamika uang kepeng dalam kehidupan masyarakat Bali, mulai dari masyarakat Bali Kuna hingga masyarakat Bali kontemporer. 2. Untuk memahami ideologi yang ada dibalik tetap eksisnya uang kepeng dan faktor-faktor lain yang turut melatar belakangi eksistensi uang kepeng dalam kehidupan masyarakat Bali kontemporer.

11

3. Untuk memahami makna uang kepeng bagi masyarakat Bali kontemporer.

1.4 1.4.1

Manfaat Penelitian Manfaat Teoretis 1. Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu kajian budaya (cultural studies), khususnya yang berkaitan dengan tinggalan budaya, maupun benda yang direproduksi kembali oleh masyarakat yang memiliki nilai historis dan berkaitan erat dengan kehidupan sosial budaya dan religi masyarakat dewasa ini. 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber referensi bagi para akademisi, dalam mengkaji fenomen kajian budaya dalam kaitannya antara benda bernilai historis dengan kehidupan masyarakat dewasa ini.

1.4.2

Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi beberapa pihak

sebagai berikut. 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam upaya melestarikan nilai-nilai religi dan sosial budaya dalam kehidupan masyarakat.

12

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membangun partisipasi masyarakat umum untuk turut aktif dan peduli terhadap nilai-nilai luhur yang dijunjung dalam kehidupan sosial budaya dan religi terutama yang berkaitan dengan pemanfaatan benda-benda budaya yang bernilai historis. 3. Bagi kebudayaan, diharapkan penelitian ini dapat membuka wawasan yang lebih mendalam akan makna dari tinggalan budaya lainnya yang berhubungan erat dengan kehidupan masyarakat dewasa ini, sehingga masyarakat lebih peduli dan lebih mencintai tinggalan budaya, dan tetap menjunjung nilai-nilai budaya dan religi dalam pemanfaatan tinggalan budaya baik yang ada maupun yang direproduksi kembali.