BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Konsep Etos Kerja Islami 1

merupakan fondasi dari sukses yang sejati dan ... dalam buku Membudayakan Etos ... Memiliki komitmen tinggi Etos muslim ini memiliki makna bahwa...

11 downloads 493 Views 437KB Size
BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Konsep Etos Kerja Islami 1. Hakikat Etos Kerja Islami Etos secara etimologis berasal dari bahasa Yunani yang artinya mulamula, adat istiadat atau kebiasaan, kemudian pengertiannya berkembang menjadi kompleks seperti keyakinan yang memandu seseorang, kelompok, atau institusi, kemudian menjadi karakteristik spirit/jiwa suatu budaya, masa, atau komunitas sebagaimana termanifestasi dalam sikap dan keinginan (Sinamo, 2009). Menurut Nurcholish Madjid (2005), etos ialah karakter dan sikap, kebiasaan serta kepercayaan dan seterusnya yang bersifat khusus tentang seorang individu atau sekelompok manusia. Dan dari kata etos muncul pula perkataan “etika” yang merujuk pada makna akhlak atau bersifat akhlaqi yaitu kualitas esensial seseorang atau sekelompok manusia termasuk suatu bangsa. Etos juga berarti jiwa khas suatu kelompok manusia yang dari padanya berkembang pandangan bangsa sehubungan dengan baik dan buruk yakni etika. Tasmara (2008) menyebutkan bahwa dalam etos terkandung semangat atau gairah yang amat kuat untuk mengerjakan sesuatu secara optimal, lebih baik, berupaya mencapai kualitas kerja sesempurna mungkin. Karena etos berkaitan dengan nilai kejiwaan seseorang, maka menurut beliau hendaknya Raden Syah Subanjari, 2012 Hubungan Antara Spiritualitas .... Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

12

setiap pribadi muslim mengisinya dengan kebiasaan-kebiasaan yang positif dan kerinduan untuk menunjukan kepribadiannya sebagai seorang muslim dalam bentuk hasil kerja serta sikap yang mengarah pada hasil yang lebih sempurna. Sinamo (2005) menemukan bahwa dalam istilah etos mengandung pengertian tidak saja sebagai perilaku khas dari sebuah organisasi atau komunitas tetapi juga mencakup motivasi yang menggerakkan mereka, karakteristik utama, spirit dasar, pikiran dasar, kode etik, kode moral, kode perilaku, sikap-sikap, aspirasi-aspirasi, keyakinan-keyakinan, prinsip-prinsip, dan standar-standar. Menurut Syukur (2004) penggunaan istilah etika sering dipakai dalam tiga perbedaan yang saling terkait, yakni (1) merupakan pola umum atau jalan “hidup” (2) seperangkat aturan atau “ kode moral” dan (3) penyelidikan tentang jalan hidup dan aturan-aturan perilaku, atau merupakan penyelidikan filosofis tentang hakekat dan dasar-dasar moral. Ia merupakan salah satu cabang filsafat, maka pengertian etika menurut filsafat adalah ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh pikiran. Kerja dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti kegiatan melakukan sesuatu (Alwi, dkk., 2005). Dalam Fisika kerja dirumuskan dengan besarnya gaya yang dikenakan pada suatu objek dikalikan dengan gerak objek tersebut pada arah gaya itu. Dengan kata lain ketika ada kerja, terjadi perpindahan energi pada objek itu. Jadi kerja adalah energi transit/

13

energi yang sedang mengalir atu sedang beroperasi. Dari pengertian ini kerja mengakibatkan hasil bukan tanpa hasil nyata. Menurut Sinamo (2009) manusia bisa disebut sistem energi (bio-energi system,) dimana manusia bisa bekerja menurut definisi fisika, jika energi biofisik maka kerjanya kerja fisik, jika energi yang dikerahkan energi biopsikis kerjanya kerja mental, jika energi spiritual maka kerjanya kerja rohani. Jadi sederhananya kerja adalah segala aktivitas manusia mengerahkan energi biologis, psikologis, spiritual, dengan tujuan memperoleh hasil tertentu. Hampir di setiap sudut kehidupan, kita dapat menyaksikan orangorang bekerja. Semuanya melakukan aktivitas tersebut, sepertinya ada sesuatu yang dikejar, ada tujuan serta usaha yang ingin diwujudkan. Akan tetapi, menurut Tasmara (2008) tidak semua aktivitas manusia dapat dikategorikan sebagai bentuk pekerjaan karena dalam makna pekerjaan terkandung dua aspek yang harus dipenuhi secara nalar, yaitu : a) Aktivitas yang dilakukannya karena ada dorongan untuk mewujudkan sesuatu sehingga tumbuh tanggung jawab besar untuk menghasilkan karya atau produk berkualitas. b) Apa yang dilakukan karena kesengajaan, atau sesuatu yang direncanakan. Oleh karena itu ada semacam gairah atau semangat untuk mengerahkan seluruh potensi yang dimiliki sehingga memberikan

kepuasan dan

manfaat. Jansen Sinamo (2005), merumuskan etos kerja sebagai seperangkat perilaku positif yang berakar pada keyakinan fundamental yang disertai

14

komitmen total pada paradigma kerja yang integral. Menurutnya, jika seseorang, suatu organisasi, atau suatu komunitas menganut paradigma kerja, mempercayai, dan berkomitmen pada paradigma kerja tersebut, semua itu akan melahirkan sikap dan perilaku kerja mereka yang khas. Itulah yang akan menjadi etos kerja dan budaya. Sinamo (2005) memandang bahwa etos kerja merupakan fondasi dari sukses yang sejati dan otentik. Pandangan ini dipengaruhi oleh kajiannya terhadap studi-studi sosiologi sejak zaman Max Weber di awal abad ke-20 dan penulisan-penulisan manajemen dua puluh tahun belakangan ini yang semuanya bermuara pada satu kesimpulan utama, bahwa keberhasilan di berbagai wilayah kehidupan ditentukan oleh perilaku manusia, terutama perilaku kerja. Sebagian orang menyebut perilaku kerja ini sebagai motivasi, kebiasaan (habit) dan budaya kerja. Etos kerja menurut Clarke (1983) merupakan nilai-nilai, keyakinan, kehendak dan tujuan yang diaplikasikan seseorang kedalam pekerjaannya. Dalam dimensi ini berarti etos kerja ditekankan sebagai sikap seseorang terhadap bekerja. Senada dengan itu, menurut Anoraga (2001) Etos Kerja merupakan suatu pandangan dan sikap suatu bangsa atau umat terhadap kerja. Bila individu-individu dalam komunitas memandang kerja sebagai suatu hal yang luhur bagi eksistensi manusia, maka etos kerjanya akan cenderung tinggi. Sebaliknya sikap dan pandangan terhadap kerja sebagai sesuatu yang bernilai rendah bagi kehidupan, maka etos kerja dengan sendirinya akan rendah.

15

Menurut Rosmiani (1996), etos kerja terkait dengan sikap mental, tekad, disiplin dan semangat kerja, yang mana sikap ini dibentuk oleh sistem orientasi nilai-nilai budaya, yang sebagian bersumber dari agama atau sistem kepercayaan/paham teologi tradisional. Ia menemukan etos kerja yang rendah secara tidak langsung dipengaruhi oleh rendahnya kualitas keagamaan dan orientasi nilai budaya yang konservatif turut menambah kokohnya tingkat etos kerja yang rendah itu. Sosiolog Max Weber (1993) menggolongkan Islam dalam klasifikasi ajaran monoteisme etik, yakni mengajarkan bahwa keselamatan diperoleh lewat kebajikan (amal shalih), bukan sakramental (upacara-upacara suci) atau sacrifation (penyelamatan lewat sesaji atau tumbal). Tuhan didalam Islam merupakan wujud etik, yang hanya bisa didekati dengan kebaikan amal shalih. Mangkunegara (2003) berpendapat bahwa Islam dalam kitab suci AlQuran mengajarkan unsur-unsur etos kerja yang mengajarkan manusia harus bekerja keras (QS Al-Qashash :77; Al-Jumuah: 11; At-taubah:105), bekerja merupakan mukmin yang sukses (QS Al-mukminun:3), Islam mengangkat nilai kerja (QS Al-baqarah: 110; An-nahl :97), Islam melarang berusaha secara batil (QS An-n-Nisa:29), Allah tidak mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri berusaha keras untuk mengubahnya (Al-Quran 13:11). Etos kerja Islami berdasar kepada ajaran Al-Quran dan Assunah (perkataan dan perbuatan nabi Muhammad SAW). Al-Quran sebagai kitab suci umat Islam mengajarkan keyakinan yang berkaitan dengan komitmen

16

terhadap pekerjaan dan tidak mengizinkan perilaku kerja yang bertentangan dengan etik seperti mengemis, kemalasan, membuang-buang waktu, dan melakukan aktivitas yang tidak produktif (Ali dan Yousef dalam Zainol, 2010). Secara umum etos kerja Islami berdiri pada empat pilar utama yaitu : ikhtiar/usaha,

persaingan,

transparansi/keterbukaan

dan

tingkah

laku

bertanggung jawab secara moral, dan seluruh elemen yang dapat memperkuat kemajuan bisnis dan ekonomi dalam masyarakat (Ali, Beekun, Yousef, dalam Shukor, 2010). Pondasi dari etos kerja Islam adalah pemahaman dan interpretasi muslim (orang yang memeluk agama Islam) terhadap ajaran Al-Quran dan As Sunnah yang selalu berujung pada kepasrahan kepada Allah. Maka ketika orang muslim memiliki pemahaman dan interpretasi yang dangkal terhadap Al-Quran dan As Sunnah tentu pondasi etos kerja yang dimilikinya menjadi rapuh. Kemudian motif utama dari etos Islam adalah setiap manusia diharuskan melaksanakan kebaikan dan dilarang melakukan kejahatan dalam seluruh aspek kehidupan (taqwa). Dari penjelasan diatas maka etos kerja muslim atau etos kerja Islam dapat didefinisikan sebagai cara pandang yang diyakini seorang muslim bahwa bekerja itu bukan saja untuk memuliakan dirinya, menampakkan kemanusiaannya, tetapi juga sebagai suatu menifestasi dari amal sholeh dan oleh karenanya mempunyai nilai ibadah yang sangat luhur (Tasmara, 2008). Menurut Said Mahmud (dalam Jamil, 2007) Pada hakeketnya etika kerja Islami merupakan pancaran dari nilai yang ikut membentuk corak

17

khusus karakteristik etos kerja Islami. Sebagai bagian dari akhlak tentunnya harus dikembangkan pada dua sayap, yakni sayap hubungan manusia dengan Allah yang maha pencipta (mu’amalah ma’al khaliq) dan sayap hubungan antara manusia dengan makhluk (mu’amalah ma’al khalq). Pada sayap pertama dikembangkan etika tauhid dan penghormatan yang banyak bagi Allah dalam kerja. Sedangkan pada sayap yang kedua mesti dikembangkan sikap-sikap proporsional dan perilaku yang bertolak dari semangat ketaatan pada norma-norma Ilahi berkaitan dengan kerja.

2. Aspek-aspek Etos Kerja Islami Toto Tasmara (2008) dalam buku Membudayakan Etos Kerja Islami menjelaskan dimensi-dimensi etos kerja Islam dalam 25 ciri etos kerja muslim. Penghayatan terhadap etos kerja Islam yang dimiliki akan tampak dalam sikap dan tingkah laku yang diantaranya adalah : 1) Kecanduan terhadap waktu Waktu adalah aset dari Allah SWT untuk didayagunakan dengan mengisinya penuh dengan makna dan manfaat agar tidak merugi. Allah SWT berfirman mengenai waktu yang artinya sebagai berikut: Demi waktu, sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, kecuali mereka yang beriman dan beramal shaleh, dan saling berwasiat dalam kebaikan dan kesabaran (QS Al-Ashr : 1-3) Makna yang bisa diambil dari ayat di atas adalah bahwa manusia harus memanfaatkan waktu dengan iman dan amal-amal prestatif dan

18

membangun nilai kemanusiaan dalam kebenaran dan kesabaran agar tidak menjadi manusia yang berada dalam kerugian. Amal prestatif yang dimaksud adalah segala pekerjaan yang dilakukan manusia sebagai wujud karya dan eksistensinya. Dalam QS Al-Insyirah:7 Allah juga berfirman “maka apabila engkau telah selesai dari suatu pekerjaan, maka kerjakanlah ursan yang lain dengan sungguh-sungguh”. Dalam ayat tersebut kita bisa melihat bagaimana tuntunan agama Islam agar mempergunakan waktu secara efektif dan tidak menyiakannya. Sehingga bagi seorang muslim, waktu adalah aset yang berharga yang harus disikapi dengan sungguh-sungguh. Tidak ada jalan lain dalam menyikapi waktu, melainkan menggunakannya untuk beramal dan tidak membiarkannya berlalu begitu saja tanpa makna dan sia-sia. 2) Memiliki moralitas yang bersih dalam bekerja Muslim yang memiliki moralitas yang bersih dalam bekerja melaksanakan tugas secara profesional dan ikhlas tanpa motivasi lain kecuali tugas tersebut. Menganggap tugas sebagai amanah yang harus ditunaikan sebaik-baiknya karena memang begitu seharusnya (tanpa pamrih). Motivasi unggul yang ada hanyalah pamrih pada hati nuraninya sendiri (conscience). Imbalan atau reward yang diberikan merupakan akibat sampingan (side effect) dari pengabdian dirinya yang murni tersebut. Sinamo (2002) mengatakan seseorang akan bekerja dengan tulus dan penuh syukur ketika dalam dirinya tertanam bahwa bekerja merupakan rahmat.

Jadi bekerja

19

merupakan kasih sayang yang diberikan tuhan, sehingga harus dilaksanakan penuh rasa syukur dan penuh ketulusan. 3) Kecanduan kejujuran Bagi seorang muslim kejujuran merupakan amal salih yang membuatnya ketergantungan dan keacanduan. Salah satu sabda Nabi Muhammad SAW mengenai kejujuran adalah sebagai berikut “Jauhilah dusta karena dusta akan membawa pada dosa dan dosa membawamu pada neraka. Biasakanlah berkata jujur, karena jujur akan membawa pada kebaikan dan membawamu ke surga”. Dalam setiap ucapan dan perbuatannya, seorang muslim ketagihan untuk senantiasa jujur, karena dia akan merasakan nikmatnya pelayanannya kepada Allah. Pribadi seorang muslim senantiasa memiliki keberanian menyatakan sesuatu dengan apa adanya dan diikuti sikap tanggung jawab atas apa yang diperbuatnya itu (integritas) karena dia meyakini segala yang dilakukannya, bahkan sesuatu yang dia bisikan dalam hatinya adalah tidak luput dari pengamatan Allah SWT. 4) Memiliki komitmen tinggi Etos muslim ini memiliki makna bahwa seorang muslim haruslah memiliki tekad, keyakinan dalam bekerja yang melahirkan vitalitas yang penuh semangat dalam setiap tugas. Daniel Goldman (1998) menyimpulkan bahwa orang yang memiliki komitmen tinggi dalam bekerja merupakan orang yang memiliki derajat stres yang rendah, dan dilaporkan bahwa

20

mereka yang berkomitmen merupakan orang yang paling merasakan kepuasan dari pekerjaanya itu. 5) Istiqomah/kuat pendirian Kemampuan bersikap taat azas, pantang menyerah, serta mampu mempertahankan prinsip dan komitmen sekalipun berhadapan dengan resiko, tekanan, atau godaan (konsisten). Istiqamah berarti seseorang yang tidak mudah berbelok arah meskipun godaan untuk berubah arah begitu memikatnya. Dalam sebah penelitian ditemukan bahwa mereka yang mampu mengelola keaadaan menekan dan keuletan, memandang tekanan bukan sebagai beban melainkan tantangan yang menyenangkan ternyata mereka lebih mampu mengetasi kesulitan, lebih adaptif dan lebih berhasil (Stolzt, 2001) 6) Kecanduan disiplin Berkaitan dengan konsistensi, yakni kemampuan mengendalikan diri dengan tenang dan tetap taat pada aturan meski berada dalam situasi yang sangat menekan. Disiplin adalah masalah kebiasaan, yang mana adalah setiap tindakan positif yang berulang pada waktu dan tempat tertentu. Menurut Simamora (2003) disiplin merupakan bentuk pengendalian diri karyawan dan pelaksanaan yang teratur dan menunjukkan tingkat kesungguhan tim kerja didalam sebuah organisasi 7) Konsekuen saat hadapi tantangan Memiliki tanggung jawab atas setiap keputusan yang diambil, tanpa menyalahkan pihak lain. Bagi orang yang konsekuen, hidup adalah pilihan

21

(life is choice) dan setiap pilihan merupakan tanggung jawab pribadinya. Orang

yang konsekuen

mempunyai

kemampuan

untuk

melakukan

pengendalian dan mengelola emosinya menjadi daya penggerak positif untuk tetap semangat menapaki keyakinannya. 8) Memiliki sikap percaya diri Berani menyatakan pendapat pribadi dengan penuh ketenangan (emosi yang terkontrol), serta tidak mudah terpengaruh sikap orang lain atas pendapatnya. Boyatzis (Tasmara, 2002) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa para penyelia, manager, dan eksekutif yang percaya diri lebih berprestasi daripada orang yang biasa-biasa saja. Kepercayaan diri menurut Rakhmat (2000) adalah kepercayaan terhadap diri sendiri yang dimiliki setiap individu dalam kehidupannya, serta bagaimana individu tersebut memandang dirinya secara utuh dengan mengacu pada konsep diri. 9) Orang yang kreatif Memiliki keterbukaan menyerap informasi, mengolahnya dan menghasilkan ide yang orisinil dan senantiasa berusaha melakukan perbaikan dan pengembangan ide tersebut. Pribadi muslim selalu ingin mencoba metode baru atau gagasan baru sehingga hasil kerja dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif. Menurut Roger, kreativitas adalah kecenderungan untuk mengaktualisasikan diri, mewujudkan potensi, dorongan untuk berkembang dan menjadi matang, kecenderungan untuk mengekpresikan dan mengaktifkan semua kemampuan organisme (Hall & Linzey, 1985). Proses kreatif menurut Cambell (1986) urutannya sebagai berikut:

22

a) Persiapan (preparation) : meletakan dasar, mempelajari latar belakang masalah, seluk beluk dan problematikanya. Meskipun tidak semua ahli kreatif, namun kebanyakan pencipta adalah ahli. Terobosan gemilang dalam suatu bidang hampir selalu dihasilkan oleh orang-orang yang sudah lama berkecimpung dan lama berpikir dalam bidang itu. b) Konsentrasi (concentration): sepenuhnya memikirkan, masuk luluh, terserap dalam perkara yang dihadapi. Orang-orang kreatif biasanya serius, perhatiannya tercurah dan pikirannya terpusat pada hal yang mereka kerjakan. c) Inkubasi (incubation) : mengambil waktu untuk meninggalkan perkara, istirahat, waktu santai. Sebuah busur tak dapat direntang terus-menerus untuk jangka panjang tanpa bahaya patah. Maka kita perlu melarika diri dari perkara yang sedang kita selesaikan, masalah yang hendak kita pecahkan. d) Iluminasi : mendapatkan ide gagasan, pemecahan, penyelesaian, cara kerja, jawaban baru Bagian paling nikmat dalam penciptaan, tahap AHA! Ketika segalanya jelas, hubungan kaitan perkara gambling, dan penerangan untuk pemecahan masalah, jawaban baru tiba-tiba tampak laksana kilat. e) Verifikasi/ Produksi : memastikan apakah solusi itu benar-benar memecahkan masalah. Tahap AHA!, betapa pun memuaskan, barulah

23

merupakan akhir dari suatu awal. Masih ada pekerjaan berat yang harus dikerjakan, yaitu turun tangan mewujudkannya. 10) Bertanggung jawab Merupakan sikap atau tindakan menerima sesuatu sebagai amanah dan menunaikannya dengan penuh kesungguhan sehingga melahirkan amal prestatif. Menurut Sinamo (2002) salah satu konsep kunci dalam bekerja adalah amanah yakni menganggap kerja sebagai titipan berharga yang dipercayakan kepada kita, sehingga harus kita laksanakan dengan penuh tanggung jawab. Suatu tanggung jawab perlu memiliki predikat baik dan benar yang artinya suatu tanggung jawab harus ditunaikan secara baik dan benar sehingga menyamai bobot amanah yang diberikan dan akhirnya amanah tersebut dilaksanakan bukan sekerdar sebagai formalitas. 11) Bahagia karena melayani Memiliki etos ini berarti memiliki keterpanggilan untuk senantiasa memberi pelayanan dan bantuan yang berkualitas sehingga orang yang berada disekitarnya menjadi damai. Dengan melayani kita melakukan pekerjaan mulia, karena kemuliaan datang dari pelayanan (Sinamo, 2002). Orang yang menganggap kerja sebagai pelayanan, dia akan bekerja sempurna penuh kerendahan hati. Dengan melayani berarti dia membuat nilai tambah yang memungkinkan orang lain bekerja dan hidup lebih mudah.

24

12) Memiliki harga diri Bekerja

dengan

penuh

kehormatan

dan

menjunjung

tinggi

kehormatan. Harga diri merupakan penilaian menyeluruh mengenai diri sendiri, yang kemudian memiliki pengeruh terhadap bagaimana ia menghayati setiap bagian hidupnya. Menurut Tasmara (2008) harga diri orang dengan etos ini menjadi berbinar ketikadia ingin menyebarkan manfaat. Ketika kerja dianggap sebagai kehormatan maka seseorang akan dengan mewajibkan diri menjaga kehormatan dirinya dan akan selalu menampilkan kinerja yang unggul, sedangkan ketika gagal mempertahankan kehormatan diri tersebut maka seseorang akan merasa malu (Sinamo, 2002). 13) Memiliki jiwa kepemimpinan Seorang muslim yang memiliki etos kerja ini punya kemampuan mengambil peran untuk memberikan pengaruh atas keberadaannya terhadap lingkungannya. Sering kita mendengar ayat Al-Quran yang menyatakan bahwa manusia merupakan khalifah fil ardhi (pemimpin di muka bumi). Setiap orang berarti harus memiliki peran aktif dalam memberi pengaruh bagi dirinya sendiri dan menginspirasi sebagai teladan bagi orang lain. 14) Berorientasi pada masa depan Memiliki tujuan yang jelas dan mengarahkan segala tindakan pada pencapaian tujuan tersebut. Rasulullah SAW bersabda “bekerjalah untuk duniamu seakan-akan

engkau akan

hidup selama-lamanya,

dan

beribadahlah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok”. Seorang pribadi muslim tidak akan berkata “bagaimana nanti” melainkan

25

“nanti bagaimana”. Oleh sebab itu, dia tidak menjalani hidup secara apa adanya, akan

tetapi dia benar-benar merencanakan tujuan yang jelas

mengenai apa yang akan dia lakukan ke depan. 15) Hidup hemat dan efisien Mampu mengelola sumberdaya yang dimiliki dengan penggunaan yang berdasar pada pertimbangan yang tepat. Orang yang berhemat adalah orang yang mempunyai pandangan jauh ke depan (QS Al-Hasyr:18, AnNahl: 10-11). Seorang muslim yang berhemat bukan bertujuan untuk memupuk kekayaan, melainkan dia menyadari bahwa kehidupan tidaklah senantiasa berjalan mulus. Oleh karena itu dia mempersiapkan diri untuk segala kemungkinan yang mungkin terjadi. Dalam melakukan segala sesuatu seorang pribadi muslim juga mempertimbangkan prinsip efisiensi. Artinya dia melakukan sesuatu secara benar, tepat, dan akurat. Dia membandingkan antara besaran input serta output. 16) Memiliki jiwa wirausaha Ini berarti seorang pribadi yang beretos kerja islam memiliki kemampuan melihat peluang dalam setiap sudut kehidupan dan senantiasa berpikir analitis. Kewirausahaan (Inggris: Entrepreneurship) adalah proses mengidentifikasi,

mengembangkaan,

dan

membawa

visi

ke

dalam

kehidupan, yang mana visi tersebut bisa berupa ide inovatif, peluang, cara yang lebih baik dalam menjalankan sesuatu (Kasmir, 2007). Hasil akhir dari

26

proses tersebut adalah penciptaan usaha baru yang dibentuk pada kondisi risiko atau ketidakpastian. 17) Memiliki insting bertanding (fastabiqul khoirot) Memiliki semangat melakukan kerja terbaik dengan prestasi terbaik dan keinginan selalu menjadi yang terbaik dalam setiap bidangnya adalah etos kerja seorang muslim. Allah SWT berfirman: “Setiap umat ada kiblatnya (sendiri), maka hendaklah kamu sekalian berlomba-lomba (dalam kebaikan) di mana saja kamu berada,

sudah

dipastikan Allah

akan mengumpulkan kamu

semuanya...” (Al-Baqarah :148) Dalam darah seorang muslim mengalir insting untuk selalu tampil meraih prestasi (achievement) yang tinggi. Oleh karena itu dia selalu bergairah untuk bekerja, bergerak, dan berjuang. Tidak ada dalam kamusnya, kata menyerah pada kelemahan dan menyerah pada nasib (fatalis). Seperti apa yang diungkapkan William Jennings Bryan “nasib bukanlah masalah kebetulan, nasib adalah

merupakan sesuatu yang harus dicapai, harus

diusahakan” (Tasmara, 2002). 18) Keinginan untuk mandiri Bagi pribadi muslim dengnan etos kerja ini, dia merasa bahagia dengan apa yang mampu dia peroleh dengan usaha pribadinya daripada menerima sesuatu tanpa ada usaha pribadi. Dia menghayati ikrar yang dia baca setiap kali shalat “iyyaka na’budu, wa iyaka nasta’in”. Dalam etos kerjanya seorang muslim memiliki jiwa yang merdeka (independen).

27

Bukanlah bagian dari kebahagiaannya bila memperoleh sesuatu tanpa usaha atau prestasinya, apalagi diperoleh lewat jalan meminta-minta. Pertolongan dan permintaan adalah hak dimohonkan pada Allah semata. 19) Kecanduan belajar dan haus ilmu Seorang pribadi muslim selalu merasa kurang dengan ilmu yang dimiliki dan senantiasa belajar dan meningkatkan kapasitas diri. Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi seorang muslim, makannya dia akan terus belajar dan terus melakukan perbaikan serta inovasi. Dia menyadari bahwa Allah akan mengangkat orang yang beriman dan berilmu itu lebih tinggi beberapa derajat daripada mereka yang tidak memiliki gairah keilmuan (Almujadillah: 11). 20) Memiliki semangat perantauan Dorongan untuk memperluas wawasan dan melayani lingkungan baru dan menelurkan karya yang berarti adalah ciri lainnya dari etos kerja seorang muslim. Dalam penelitian Labmend (Tasmara, 2002) diketahui bahwa dari 100 eksekutif, ternyata 90 persen dari mereka adalah tipe manusia yang memiliki jiwa perantauan, mandiri, dan memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar dalam pribadi mereka. Semangat perantauan membawa seseorang tidak terkungkung dalam fanatisme sempit, apalagi cauvinisme yang merasa bahwa hanya bangsa dan negaranya sajalah yang paling unggul. Wawasan yang luas akan mendorong seseorang lebih ingin memberikan manfaat bagi orang lain, mendorong dirinya untuk menjalin hubungan silaturahmi dengan siapapun. Tentu saja semangat perantauan

28

tidak selamanya dibuktikan secara fisik. Ada pula perantauan batin yang diperoleh dari hasil membaca buku, menggali hikmah, dan menyimak fenomena alam. 21) Memperhatikan kesehatan dan gizi Seorang pribadi muslim selalu berusaha menjaga dan memelihara kesehatanya

dengan menjaga pola makan serta pola istirahat. Dia

memperhatikan sabda Rasulullah SAW “sesungguhnya jasadmu mempunyai hak atas dirimu”. Harus disadari bahwa kita tidak akan mempunyai kekuatan dan kemampuan apabila tubuh kita tidak dipelihara dengan baik. Etos kerja pribadi muslim erat kaitannya dengan caranya memelihara kesehatan dan kebugaran jasmaninya. Salah satu upaya menjaga kesehatan adalah dengan memperhatikan asupan gizi yang kita konsumsi. Perintah Allah agar setiap pribadi muslim memperhatikan makanannya adalah sebagai berikut “ maka hendaklah setiap manusia itu memperhatikan makanannya” (Abasa:24). Makanan yang kita konsumsi bukan hanya harus halal tapi juga harus baik dan bergizi (halalan toyiban). Kesehatan merupakan suatu yang tidak ternilai oleh karena itu merupakan kewajiban setiap orang untuk memeliharanya dengan baik. 22) Tangguh dan pantang menyerah Ciri etos kerja Islam ini maksudnya adalah tidak mudah menyerah saat menghadapi tantangan dan rintangan serta memiliki kesungguhan dan pengorbanan

untuk

menghadapinya

dan

menyelesaikannya.

Dalam

29

kehidupan tantangan dan kesulitan merupakan sebuah keniscayaan yang akan dihadapi untuk meraih keberhasilan. Menyerah bukanlah pilihan saat kesulitan itu datang, akan tetapi semangat dan terus berusaha adalah keharusan untuk meraih keberhasilan serta cita-citanya. Seorang muslim meyakini bawa halangan dan kesulitan yang menimpanya pasti tidak lebih dari batas kemampuan dirinya, karena Allah tidak akan memebebani seseorang diluar batas kemampuannya. Artinya setiap muslim telah diberikan potensi untuk dimaksimalkan dengan bekerja keras dalam setiap situasi yang dihadapinya. Senada dengan ini Sinamo (2002) mengatakan bahwa kerja keras merupakan wahana seorang manusia pekerja untuk mengaktualisasikan diri. 23) Berorientasi pada produktivitas Berorientasi pada pencapaian dan hasil terbaik dengan berusaha mengerahkan perhatian pada menjadi manusia produktif adalah makna dari ciri etos kerja islam ini. Penghayatan terhadap firman Allah untuk senantiasa menghindari kemubaziran, karena kemubaziran adalah temannya setan, akan membawa seorang muslim kedalam sikap yang berorientasi pada nilai-nilai produktif. Pribadi muslim akan selalu berhitung efisien, artinya selalu membuat perbandingan antara jumlah pengeluaran (performance) dengan energi (waktu, tenaga) yang dikeluarkan (produktivitas : keluaran berbanding masukan dalam bentuk waktu dan energi). Kembali lagi harus dikatakan bahwa seorang muslim sangat menghayati waktu. Dia tidak mungkin

30

membiarkan waktu berlalu tanpa ada arti, dan dia selalu berusaha mengisi waktu itu dengan kegiatan yang produktif. 24) Memperkaya jaringan silaturahmi Sikap yang dimiliki seorang muslim dalam pergaulan adalah secara aktif mencari, menambah, menjaga, dan mempererat hubungan silaturahmi. Rasulullah SAW bersabda “Barangsiapa yang ingin panjang umur dan banyak rezeki, sambunglah silaturahmi”. Bersilaturahmi berarti membuka peluang dan memperluas simpul-simpul informasi dan menggerakan kehidupan. Beragam kesempatan dan kemungkinan bisa terbuka dengan bersilaturahmi. Pribadi yang memiliki etos kerja seorang muslim, akan menjadikan silaturahmi menjadi ruh pengembangan dirinya. Karena dengan bersilaturahmi, bukan hanya nilai ibadah yang didapat, bahkan nilai manfaat dapat dipetik di dunia. 25) Memiliki semangat perubahan Etos seorang pribadi muslim adalah secara aktif dan penuh semangat berusaha mempengaruhi nasib sendiri. Bukan “menunggu bola” yang dia lakukan melainkan “menjemput bola” untuk meraih keberhasilan. Allah SWT berfirman dalam sebuah ayat yang sangat populer, bahwa “...sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu kaum, melainkan kaum itu merubah keadaan mereka sendiri...”(Ar-Ra’d:11). Ayat ini mengajak kita untuk mengambil peran, mengubah nasib, dan menempatkan diri dalam posisi yang mulia.

31

Peringatan muharam sebagai tahun baru Islam, sebenarnya memiliki filosofi perubahan atau hijrah. Makna hijrah disini adalah keluar atau berpindah dari seseatu yang gelap, statis, menuju sesuatu keadaan yang lebih kreatif, terang benderang dan dinamis. Semangat perubahan akan tumbuh bila kita mau melakukan perenungan yang mendalam. Meneliti dan mengembangkan apa yang menjadi kelemahan dan kelemahan diri kita, untuk mencari tahu bagaimana caranya kita keluar dari permasalahan.

3. Perbandingan Etos Kerja: Psikologi & Islami Nilai etos Islam memiliki perbedaan dengan dengan nilai etos barat atau etos sekuler (Beekun dalam Yousef, 2001). Etos barat dan sistem yang sekuler berasumsi bahwa kode moral bersifat sementara karena sistemnya berdasarkan nilai dari pendirinya (manusia) dan secara umum model ini mengusulkan sebuah sistem etik yang terpisah dari agama.

Berlawanan

dengan itu, etik Islam memfokuskan pada hubungan manusia dengan penciptanya. Persamaan keduanya adalah kedua sistem etik ini banyak menempatkan penekanan pada kerja keras, komitmen, dan dedikasi terhadap pekerjaan, kreatifitas, menghindari cara diluar etika dalam mengumpulkan kekayaan, kerjasama dan persaingan di tempat kerja Lebih jauh Asifudin (2004) mengungkapkan bahwa persamaan etos kerja non agama dengan etos kerja Islami antara lain: (1) etos kerja non agama dan etos kerja Islami sama-sama berupa karakter dan kebiasaan berkenaan dengan kerja yang terpancar dari sikap hidup manusia yang

32

mendasar terhadapnya. (2) keduanya timbul karena motivasi, (3) motovasi keduanya sama-sama didorong dan dipengaruhi oleh sikap hidup yang mendasar terhadap kerja, (4) keduanya sama-sama dipengaruhi secara dinamis dan manusiawi oleh berbagai faktor intern, dan ekstern yang bersifat kompleks. Sedangkan menurut Asifudin (2004), perbedaan antara etika kerja non agama dengan etika kerja agama (Islami) adalah sebagai berikut: Tabel 1.1 Perbedaan etos kerja non agama dengan etos kerja Islam No

Etos kerja non Agama

Etos kerja Islam

1

Sikap hidup mendasar terhadap Sikap hidup mendasar pada kerja disini kerja disini timbul dari hasil identik dengan sistem keimanan/aqidah kerja akal dan/atau nila-nilai Islam berkenaan dengan kerja atas dasar yang dianut (tidak betolak dari pemahaman bersumber dari wahyu dan iman keagamaan tertentu)

akal yang saling bekerja sama secara proporsional.

Akal

lebih

banyak

berfungsi sebagai alat memahami wahyu (meski dimungkinkan akal memperoleh pemahaman dari sumber lain, namun menyatu dengan system keimana Islam). 2

Tidak ada iman

Iman eksis dan terbentuk sebagai buah pemahaman terhadap wahyu. Dalam hal ini akal selain berfungsi sebagai alat, juga berpeluang menjadi sumber. Disamping

33

menjadi dasar acuan etika kerja Islami, iman Islami, (atas dasar pemahaman) berkenaan dengan kerja inilah yang menimbulkan sikap hidup mendasar (aqidah) terhadap kerja, sekaligus motivasi kerja Islami 3

4

Motivasi timbul dari sikap

Motovasi disini timbul dan bertolak dari

hidup mendasar terhadap kerja.

sistem keimanan/aqidah Islam berkenaan

Disini motovasi tidak

kerja bersumber dari ajaran wahyu dan

tersangkut paut dengan iman,

akal yang saling bekerjasama. Maka

agama, atau niat ibadah

motivasi berangkat dari niat ibadah

bersumber dari akal dan/atau

kepada Allah dan iman terhadap adanya

pandangan hidup/nilai-nilai

kehidupan ukhrawi yang jauh lebih

yang dianut.

bermakna.

Etika kerja berdasarkan akal

Etika

dan/atau pandangan

terhadap ajaran wahyu berkenaan dengan

hidup/nilai-nilai yang dianut.

etika kerja dan hasil pemahaman akal

kerja

berdasarkan

keimanan

yang membentuk sistem keimanan/aqidah Islam sehubungan dengan kerja (aqidah kerja).

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Etos Kerja Etos kerja dipengaruhi oleh beberapa faktor yang diantaranya adalah:

34

a. Agama Dasar pengkajian kembali makna etos kerja di Eropa diawali oleh buah pikiran Max Weber. Salah satu unsur dasar dari kebudayaan modern, yaitu rasionalitas (rationality) menurut Weber (1958) lahir dari etika Protestan. Pada dasarnya agama merupakan suatu sistem nilai. Sistem nilai ini tentunya akan mempengaruhi atau menentukan pola hidup para penganutnya dengan kata lain agama menjadi guide line . Artinya bahwa cara berpikir, bersikap dan bertindak seseorang pastilah diwarnai oleh ajaran agama yang dianutnya jika ia sungguh-sungguh dalam kehidupan beragama. Dengan demikian, kalau ajaran agama itu mengandung nilai-nilai yang dapat memacu pembangunan, jelaslah bahwa agama akan turut menentukan jalannya pembangunan atau modernisasi. Weber (1958) memperlihatkan bahwa doktrin predestinasi dalam protestanisme mampu melahirkan etos berpikir rasional, berdisiplin tinggi, bekerja tekun sistematik, berorientasi sukses (material), tidak mengumbar kesenangan namun hemat dan bersahaja (asketik), serta menabung dan berinvestasi, yang akhirnya menjadi titik tolak berkembangnya kapitalisme di dunia modern. Sejak Weber menelurkan karya tulis The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1958), berbagai studi tentang etos kerja berbasis agama sudah banyak dilakukan dengan hasil yang secara umum mengkonfirmasikan adanya korelasi positif antara sebuah sistem

35

kepercayaan tertentu dan kemajuan ekonomi, kemakmuran, dan modernitas (Sinamo, 2005). Menurut Rosmiani (1996) etos kerja terkait dengan sikap mental, tekad, disiplin dan semangat kerja. Sikap ini dibentuk oleh sistem orientasi nilai-nilai budaya, yang sebagian bersumber

dari

agama

atau

sistem

kepercayaan/paham

teologi

tradisional. Ia menemukan etos kerja yang rendah secara tidak langsung dipengaruhi oleh rendahnya kualitas keagamaan dan orientasi nilai budaya yang konservatif turut menambah kokohnya tingkat etos kerja yang rendah itu. b. Motivasi Intrinsik individu Anoraga (2001) mengatakan bahwa Individu yang akan memiliki etos kerja yang tinggi adalah individu yang bermotivasi tinggi. Etos kerja merupakan suatu pandangan dan sikap, yang tentunya didasari oleh nilainilai yang diyakini seseorang. Keyakinan inilah yang menjadi suatu motivasi kerja. Maka etos kerja juga dipengaruhi oleh motivasi seseorang. Menurut Herzberg (dalam Siagian, 1995), motivasi yang sesungguhnya

tidak

bersumber

dari

luar

diri,

tetapi

yang

tertanam/terinternalisasi dalam diri sendiri, yang sering disebut dengan motivasi intrinsik. Ia membagi faktor pendorong manusia untuk melakukan kerja ke dalam dua faktor yaitu faktor hygiene dan faktor motivator. Faktor hygiene ini merupakan faktor dalam kerja yang hanya akan berpengaruh bila ia tidak ada, yang akan menyebabkan ketidakpuasan. Faktor yang kedua adalah faktor motivator sesungguhnya,

36

yang

mana

ketiadaannya

bukan

berarti

ketidakpuasan,

tetapi

kehadirannya menimbulkan rasa puas sebagai manusia. Motivasi intrinsik menurut Kanfer, Ruth dkk(2008) berkaitan dengan ekspresi diri secara mandiri termasuk self determination dan personal choice yang turut memperngaruhi etos kerja. Faktor-faktor yang disebut motivasi internal

itu

diantaranya

pencapaian

sukses/achievement,

pengakuan/recognition, kemungkinan untuk meningkat dalam jabatan (Karier)/advancement, tanggung jawab/responsibility, kemungkinan berkembang/growth possibilities, dan pekerjaan itu sendiri/the work itself. (Herzberg, dalam Anoraga, 2001) c. Budaya Rosmiani (1996) menemukan bahwa etos kerja terkait dengan sikap mental, tekad, disiplin dan semangat kerja yang dibentuk oleh sistem orientasi nilai-nilai budaya, yang sebagian bersumber dari agama atau sistem kepercayaan/paham teologi tradisional. Kualitas etos kerja ini ditentukan oleh sistem orientasi nilai budaya masyarakat yang bersangkutan. Masyarakat yang memiliki sistem nilai budaya maju akan memiliki etos kerja yang tinggi dan sebaliknya, masyarakat yang memiliki sistem nilai budaya yang konservatif akan memiliki etos kerja yang rendah. Budaya mempengaruhi bagaimana anggota suatu peradaban merespon dengan cara yang sama dalam mempersepsi, berpikir, emosi, serta berperilaku, lebih jauh budaya membentuk motif yang mengarahkan diri dan menjadi faktor yang memberi kepuasan saat dipenuhi (Kanfer,

37

Ruth, dkk, 2008). Sehingga dapat disimpulkan bahwa semangat kerja/etos kerja sangat ditentukan oleh nilai-nilai budaya yang ada dan tumbuh pada masyarakat yang bersangkutan. Etos kerja berdasarkan nilai-nilai budaya ini dapat diperoleh secara lisan dan merupakan suatu tradisi yang disebarkan secara turun temurun. d. Sistem Sosial-Politik-Ekonomi Negara Soewarso, Rahardjo, Subagyo, dan Utomo (dalam Novliadi, 2009) menemukan bahwa tinggi rendahnya etos kerja suatu masyarakat dipengaruhi oleh ada atau tidaknya struktur politik yang mendorong masyarakat untuk bekerja keras dan dapat menikmati hasil kerja keras mereka dengan penuh. Selanjutnya tinggi rendahnya etos kerja suatu masyarakat dipengaruhi juga oleh ada atau tidaknya struktur ekonomi, yang mampu memberikan insentif bagi anggota masyarakat untuk bekerja keras dan menikmati hasil kerja keras mereka dengan penuh. b. Pendidikan Menurut Rahimah, Fauziah, Suri dan Nasution (dalam Novliadi, 2009), Etos kerja tidak dapat dipisahkan dengan kualitas sumber daya manusia. Peningkatan sumber daya manusia akan membuat seseorang mempunyai etos kerja keras. Meningkatnya kualitas penduduk dapat tercapai apabila ada pendidikan yang merata dan bermutu, disertai dengan

peningkatan

keterampilan,

sehingga

dan

perluasan

semakin

pendidikan,

meningkat

produktivitas masyarakat sebagai pelaku ekonomi.

pula

keahlian

dan

aktivitas

dan

38

B. Konsep Spiritualitas 1. Pengertian Spiritualitas Spiritual dan spiritualitas memiliki asal kata dari bahasa latin yakni “spirare” yang berarti bernafas atau udara, spirit memberikan hidup, menjiwai seseorang (Wiseman, 2006). Dari definisi ini, spirit memberikan arti penting ke hal apa saja yang sekiranya menjadi pusat dari seluruh aspek kehidupan seseorang. Spiritual adalah konsep yang unik pada masing-masing individu yang mana masing-masing individu dapat memiliki definisi yang berbeda mengenai spiritual, hal ini dipengaruhi oleh budaya, perkembangan, pengalaman hidup dan ide-ide mereka sendiri tentang hidup (Faran dalam Mc Sherry & Draper, 1998). Karenanya gambaran mengenai dimensi spiritual sangatlah beragam, dengan sedikit konsensus yang bersifat universal (Stoll dan Narayanasamy dalam Mc Sherry & Draper, 1998). Mengenai definisi spiritual Hanafi (2005) mengatakan bahwa spiritual adalah suatu kepercayaan dalam hubungan antar manusia dengan kekuatan yang lebih tinggi, kreatif, kemuliaan atau sumber energi serta spiritual juga merupakan pencarian arti dalam kehidupan dan pengembangan dari nilai-nilai dan sistem kepercayaan seseorang. Dari pengertian ini bisa dikatakan bahwa spiritual melibatkan intrapersonal (hubungan dengan diri sendiri), interpersonal (hubungan antara diri sendiri dan orang lain), dan transpersonal (hubungan antara diri sendiri dengan Tuhan/kekuatan gaib).

39

Sejalan dengan definisi spiritual yang beragam, spiritualitas juga didefinisikan secara beragam tergantung dari pendekatan yang digunakan. Definisi spiritualitas yang kita temui dalam psikologi dan teologi adalah sebuah konsep utama yang pada umumnya dijabarkan dengan istilah-istilah yang berkaitan dengan makna, transenden, harapan, cinta, kualitas hubungan dan eksistensi. Roof (Frey, 2005) mengatakan bahwa, meskipun pada awalnya spiritualitas adalah bagian dari studi psikologi, namun baru belakangan ini saja diperkenalkan kembali kedalam mainstream sebagai suatu area studi. Dalam psikologi, karakteristik spiritualitas dipresentasikan sebagai jaringan hubungan

teoritis

dalam

area

well-being

(kesejahteraan/kebahagiaan

psikologis). Sebagai contoh, psikologi positif yang mempelajari pengalaman subjektif positif, menggambarkan spiritualitas sebagai kerangka kerja untuk adjustment/penyesuaian, perkembangan, dan mencapai potensi kemanusiaan seseorang. Miler (Thomas, 2008) berpendapat bahwa spiritualitas adalah sebuah konstruk yang meliputi praktik, keyakinan, dan pengalaman seseorang. Selanjutnya Miller (2004) mendefinisikan spiritualitas sebagai keyakinan prososial utama yang dimiliki seseorang mengenai dunia, kemanusiaan, alam, dan keberadaan sesuatu yang lebih tinggi, yaitu suatu nilai yang mana mengharuskan seseorang hidup secara ideal. Lebih jauh, spiritualitas dapat didefinisikan sebagai istilah untuk melingkupi sikap religius, dimensi pengalaman, existential well-being, keyakinan paranormal, dan praktik

40

religius (Taylor, 2001). Dalam pengertian ini berarti spiritualitas adalah suatu bagian tak terpisahkan dari religiusitas. Sedangkan religiusitas erat kaitannya dengan agama/religi (Mangunwijaya, 1986). Dalam

terminologi

transendensi,

spiritualitas

merujuk

pada

kecenderungan manusia untuk mencari makna dalam kehidupan melalui transendesnsi diri atau kebutuhan untuk berhubungan dengan sesuatu yang lebih besar, lebih agung dari diri individu (Compton, 2005). Spiritualitas juga memiliki cakupan yang lebih inklusif mengenai pencarian makna sakral dibanding religiusitas. Religiusitas menurut Mangunwijaya (1986) merujuk pada aspek religi yang telah dihayati oleh individu dalam hatinya. Selanjutnya Dister menyebutkan bahwa dalam religiusitas terdapat unsur internalisasi agama dalam diri individu (Sudrajat, 2010). Ancok (1994) mengatakan religius berarti perilaku keberagamaan, berupa penghayatan terhadap nilai-nilai agama yang ditandai tidak hanya melalui ketaatan dalam menjalankan ibadah secara ritual tetapi juga adanya keyakinan, pengalaman, dan pengetahuan mengenai agama yang dianutnya. Mengenai definisi spiritualitas, Reed (Martsolf & Mickley, 1998) menyatakan spiritualitas sebagai kecenderungan untuk memaknai arti keterhubungan dengan dimensi-dimensi yang transenden terhadap diri dalam suatu cara yang memperkuat dan bukan mendevaluasi individu.

Dalam

definisi ini spiritualitas menitikberatkan pada tiga hal, yakni

makna,

keterhubungan, serta transendensi. Dalam definisi ini juga dijelaskan bahwa spiritualitas memproduksi energi bagi eksistensi seseorang.

41

Roof (Frey, 2005) mengatakan spiritualitas bisa digambarkan sebagai suatu kondisi dari bertanya dan menjawab pertanyaan eksistensial yang mendasar. Kemudian Mc Sherry & Draper (1998) mengatakan bahwa spiritualitas adalah esensi dan inti dari keberadaan kita. Hal ini mempengaruhi seluruh aspek kehidupan dalam sebuah cara terpadu. Artinya dalam spiritualitas ada suatu pencarian mengenai eksistensi diri seperti siapa saya, kenapa saya hidup, apa tujuan hidup saya, dan lain sebagainya. Perspektif sosiologi sering menggunakan

orientasi eksistensial ini, yang

menggambarkan ekspresi terhadap keberadaan kita, sebuah energi yang datang dari pengetahuan mendalam mengenai diri dan apa yang sakral bagi diri kita. Selain itu Brown dkk. (2007) mendefinisikan spiritualitas sebagai sebuah pengalaman metafisika/transendental atau pengalaman lainya yang membawa makna, tujuan, atau hubungan seseorang dengan sesuatu yang lebih tinggi atau kekuatan yang lebih tinggi. Senada dengan pengertian spiritualitas diatas, Emmons (1999) mendefinisikan spiritualitas sebagai pencarian dan pengalaman terhadap elemen dari makna sakral, kesadaran yang lebih tinggi, dan transenden. Definisi ini berpendapat bahwa ada sebuah hubungan spiritualitas dengan agama yang merepresentasikan sebuah pendekatan terorganisasi terhadap spiritualitas. Secara umum definisi spiritualitas sering diatribusikan dan dijelaskan dengan terminologi sebagai berikut:

42

a. Meaning (makna) : makna ontologis mengenai hidup; memaknai situasi kehidupan; menemukan tujuan eksistensi (Crumbaugh & Maholick, Frankl, Burbank, dalam Martsolf & Mickley, 1998) b. Value (nilai) : keyakinan dan patokan yang dihargai; keharusan melakukan sesuatu yang benar, indah, nilai suatu pemikiran, objek atau perilaku; sering diwacanakan sebagai “nilai pamungkas” (Stoll, Uustal, dalam Martsolf & Mickley, 1998) c. Trancendence (transendensi) : ekspresi dan apresiasi terhadap suatu dimensi diluar diri; memperluas batasan-diri (Elkins, Reed, dalam Martsolf & Mickley, 1998) d.

Connecting (menghubungkan) : hubungan dengan diri, orang lain, Tuhan/kekuatan yang lebih besar, dan lingkungan (Hungelmann, Burkhardt, Harrison & Burnard, dalam Martsolf & Mickley, 1998)

e. Becoming (menjadi) : suatu pengibaran diri yang menuntut refleksi serta pengalaman; mencakup makna seseorang itu siapa, dan bagaimana seseorang mengetahui hal-hal lainnya (Burkhardt, dalam Martsolf & Mickley, 1998) Menurut Sinamo (2002) manusia adalah makhluk empat dimensi yang hidup dalam empat ruang (space) yaitu makhluk Spiritual (memiliki kebutuhan spiritual), makhluk psikologis (memiliki kebutuhan psikis), makhluk biologis (memiliki kebutuhan fisik/biologis), dan makhluk sosial (memiliki kebutuhan sosial). Dengan memahami keempat dimensi tersebut maka menurut Sinamo kita akan lebih memahami hakikat kerja manusia.

43

Secara sudut pandang eksistensial, maka dimensi spiritual menempati urutan yang paling utama diantara dimensi yang lainnya. Dimensi spiritual menurut Ngermanto (2005) merupakan inti kita, pusat kita, komitmen kita pada sistem nilai kita. Hal ini merupakan daerah yang sangat pribadi dari kehidupan, dan sangatlah penting. Dimensi ini memanfaatkan sumber yang mengilhami dan mengangkat semangat kita dan mengikat kita pada kebenaran tanpa batas waktu mengenai humanitas. Implikasi yang ada ketika kita memiliki pengertian yang dalam mengenai pusat kita, dan tujuan kita, kita dapat memiliki komitmen yang begitu kuat untuk senantiasa selaras dengan nilai-nilai itu. Sebagai makhluk spiritual manusia mendiami sebuah ruang spiritual yang ditandai dengan kemampuannya memahami, merasakan, dan merespon terhadap fakta-fakta moral (Sinamo, 2002). Jadi dapat dikatakan bahwa ciri utama manusia sebagai makhluk spiritual adalah kemampuannya untuk bertindak berdasarkan prinsip-prinsip moral, bukan oleh emosi, dan naluri. Fakta-fakta moral ini, menurut Sinamo dapat dipahami oleh manusia melalui sebuah fakultas yang disebut kesadaran moral yang terdiri dari tiga jenjang kesadaran diri yakni kesadaran diri (kesadaran mengenai identitas personal), kesadaran kosmos (kesadaran akan keberadaan sebagai bagian dari lingkungan alam semesta), dan kesadaran transedental (kesadaran sebagai makhluk yang diciptakan Tuhan). Keseluruhan kesadaran moral ini dibangun dan berkembang melalui proses penyadaran persepsional-rasional melalui pembelajaran dalam arti seluas-luasnya

yang secara khusus menjadikan

44

manusia mampu untuk mengetahui apa yang benar dan apa yang salah, baik dan buruk, serta adil dan batil. Tasmara (2008) menambahkan bahwa manusia sebagai makhluk spiritual harus mengetahui peran apa yang harus dilakukan sehingga dapat melaksanakannya penuh dengan kesungguhan dan mampu memberikan manfaat bagi diri lingkungannya. Lebih jauh beliau mengatakan tidak mungkin seseorang bekerja optimal kecuali mengetahui dan menjawab pertanyaan-pertanyaan eksistensialnya. Jadi setiap orang muslim harus menghayati dan menyadari kedudukan dirinya ditengah-tengah pergaulan kehidupannya, dan dimensi ini beliau sebut dengan dimensi makrifat (aku tahu). Dalam sebuah penelitian, dikatakan bahwa spiritualitas di tempat kerja memiliki hubungan dengan sikap kerja karyawan, terutama dalam mengurangi

tingkat

pengunduran

diri

(turn

over),

ketidakhadiran

(absenteeism), dan meningkatkan kreativitas serta performansi kerja (Milliman J., Ferguson J., Czaplewski, 2003). Hal tersebut karena spiritualitas berkaitan dengan variabel-variabel perilaku organisasi seperti komitmen organisasi, kepuasan kerja intrinsik, serta keterlibatan kerja (Milliman J., Ferguson J., Czaplewski, 2003). Dengan demikian jelas bahwa spiritualitas memberikan hasil positif bila dimiliki, bukan hanya bagi karyawan, tetapi juga bagi organisasi.

45

2. Perkembangan Spiritualitas Perkembangan spiritualitas didefinisikan sebagai suatu proses perkembangan yang meliputi perubahan, transformasi, dan pematangan dalam pencarian kesakralan dan hubungan kita dengan orang lain/sesuatu yang lain (Fowler dalam Rama, 2010). Perkembangan spiritual adalah proses perkembangan kapasitas intrinsik manusia dari self-transcendence, yang mana diri ditancapkan pada sesuatu yang lebih besar daripada diri, termasuk kesakralan. Ini merupakan penggerak bagi perkembangan yang mendorong pencarian akan keterhubungan, makna, tujuan dan kontribusi. Hal ini membentuk bagian dalam maupun luar tradisi religius, kepercayaan, dan praktik-praktik. Ratcliff dalam Smith & Mc Sherry (2004) berpendapat bahwa konsep mengenai perkembangan spiritual paralel dengan perkembangan kognitif anak. Anak-anak mempersepsi dan mengkonseptualisasi dunia mereka sesuai tahapan perkembangan dan pengalaman, serta faktor-faktor yang memiliki implikasi untuk memenuhi kebutuhan spiritual mereka. Namun perlu diakui bahwa perkembangan anak yang meliputi area-area utama seperti perkembangan fisik, perkembangan kognitif, serta perkembangan psikososial, memiliki keterhubungan satu sama lain dan sama-sama penting dalam perkembangan anak secara keseluruhan (Shaffer, 1999) Ujaran perkembangan spiritual menitikberatkan pada perubahan spiritual, transformasi, perkembangan atau pematangan, dimana

masing-

masing orang adalah agen aktif dalam proses perkembangan mereka masing-

46

masing. James Fowler (Rama, 2010) mengemukakan bahwa antara kebutuhan kognitif dan emosional tidak dapat dipisahkan dalam perkembangan spiritual. Spritual tidak dapat berkembang lebih cepat dari kemampuan intelektual dan tergantung pada perkembangan kepribadian. Jadi teori perkembangan spiritual Fowler meliputi kesadaran, kebutuhan, kemampuan seseorang, dan perkembangan kognitif. Fowler melihat ada enam fase perkembangan spiritual yaitu : a. Intuitive-projective faith Fase ini minimal terjadi setelah usia 4 tahun. Pada fase ini manusia hanya fokus pada kualitas secara permukaan saja, seperti apa yang digambarkan oleh orang dewasa dan tergantung pada luasnya fantasi dari manusia itu sendiri. Di sini konsep Tuhan direfleksikan sebagai sesuatu yang gaib. b. Mythical-literal faith Terjadi pada usia minimal 5 sampai 6 tahun. Pada fase ini, fantasi sudah tidak lagi menjadi sumber utama dari pengetahuan, dan pembuktian fakta menjadi perlu. Pembuktian kebenaran bukan berasal dari pengalaman aktual yang dialami sendiri, tapi berasal dari sesuatu yang dianggap lebih ahli, seperti guru, orang tua, buku, dan tradisi. Kepercayaan di fase ini mengarah pada sesuatu yang konkrit dan tergantung dari kredibilitas orang yang bercerita. c. Poetic-conventional faith Terjadi pada usia minimal 12 sampai 13 tahun. Pada fase ini kepercayaan tergantung pada konsensus dari opini orang lain, orang yang lebih ahli. Mempelajari fakta masih menjadi sumber informasi, tapi individu mulai

47

percaya pada penilaian mereka sendiri. Meskipun demikian mereka belum sepenuhnya percaya terhadap penilaian mereka tersebut. d. Individuating-reflective faith Terjadi pada usia minimal 18 sampai 19 tahun. Pada fase yang ketiga remaja tidak dapat menemukan area pengalaman baru karena tergantung pada orang lain di kelompoknya yang belum tentu dapat menyelesaikan masalah. Individu di fase ini mulai mengambil tanggungjawab atas kepercayaannya, perilaku, komitmen, dan gaya hidupnya. Tapi individu pada tahap ini tetap masih membutuhkan figur yang bisa diteladani. e. Paradoxical-consolidation faith Terjadi pada usia minimal 30 tahun. Pada fase ini individu mulai bisa memahami dan mengintegrasikan elemen spiritual seperti simbolisasi, ritual, dan kepercayaan. Individu di fase ini juga menganggap bahwa semua orang termasuk dalam kelompok yang universal dan memiliki rasa kekeluargaan terhadap semua orang. f. Universalizing faith Terjadi pada usia minimal 40 tahun. Tapi meskipun begitu Fowler menganggap bahwa sangat sedikit orang yang mampu mencapai fase ini, sama seperti fase terakhir dari perkembangan moral Kohlberg.

3. Dimensi-dimensi Spiritualitas Stoll (Mc Sherry & Draper, 1998) berpendapat bahwa spiritualitas seseorang terdiri dari dimensi atau axis vertikal dan horizontal. Dimensi

48

vertikal berhubungan dengan hubungan transendental seseorang dengan sesuatu yang lebih luhur/agung (axis mendaki). Sedangkan dimensi horizontal merefleksikan keyakinan seseorang, nilai, gaya hidup, elemen lingkungan manusia itu dan interaksi eksistensi/keberadaan kita (aksis melintang). Terdapat hubungan satu sama lain yang berkelanjutan dan terjadi pertukaran energi antara kedua dimensi tersebut. Pendekatan dua-dimensi terhadap konsep spiritualitas ini menggarisbawahi keterhubungan dan saling ketergantungan antara transendensi dengan area psikososial dan fisik keberadaan kita. Miller (2004) menyarankan dua dimensi yang terdapat dalam spiritualitas yaitu keyakinan prososial (prosocial beliefs) dan sikap terhadap suatu keberadaan/wujud yang lebih tinggi (attitudes about a higher being). Dua dimensi yang disebutkan oleh Miller ini sebenarnya memiliki kesamaan dengan dimensi horizontal dan vertikal yang dikemukakan Stoll pada paragraf sebelumnya. Dimensi keyakinan prososial mewakili dimensi horizontal. Keyakinan merupakan sikap yang ditunjukkan oleh seseorang saat ia merasa cukup tahu dan menyimpulkan bahwa dirinya telah mencapai kebenaran atau keadaan psikologis ketika seseorang menganggap suatu premis benar (Schwitzgebel, 2010; Beck, 1995). Keyakinan ini berkembanga sejak masa kanak-kanan, dimana mereka mulai membangun keyakinan mengenai diri mereka,orang lain, serta dunia. Dalam suatu situasi spesifik sebagai stimulus, keyakinan mempengaruhi persepsi seseorang, yang biasanya diekspresikan melalui

49

pikiran otomatis. Selanjutnya pikiran otomatis ini mempengaruhi respon emosional serta perilaku seseorang (Beck, 1995). Prososial atau perilaku prososial merujuk pada perilaku yang memiliki intensi untuk mengubah keadaan fisik (material), psikologis dan sosial penerima bantuan dari kurang baik menjadi lebih baik. Menurut Staub (Dayakisni & Hudaniah, 2006) ada tiga indikator yang menjadi tindakan prososial, yaitu: a. Tindakan itu berakhir pada dirinya dan tidak menuntut keuntungan pada pihak pelaku. b. Tindakan itu dilahirkan secara sukarela c. Tindakan itu menghasilkan kebaikan. Jadi dimensi keyakinan prososial berarti sikap yang ditunjukan seseorang mengenai kebenaran premis mengenai prilaku prososial atau secara sederhana berarti sikap seseorang yang menunjukan persetujuan terhadap perilaku prososial. Dimensi selanjutnya yaitu sikap terhadap suatu keberadaan/wujud yang lebih tinggi (attitudes about a higher being), dimensi ini mewakili dimensi vertikal menurut Stoll. Attitude/sikap merupakan evaluasi/penilaian positif atau negatif mengenai orang, objek, kejadian, aktivitas, ide, atau apapun yang ada di lingkungan, dan sikap cenderung bersifat stabil (Zimbardo & Leippe, 1991). Dimensi ini menjelaskan mengenai evaluasi seseorang yang bersifat stabil terhadap suatu kekuatan yang berada di luar diri

50

manusia yang lebih besar dan luhur. Evaluasi yang dimiliki seseorang terhadap Tuhan misalnya, sebagai higer being yang dia yakini. Kemudian

Hall

dan

Edward

menyarankan

dimensi-dimensi

spiritualitas yang dapat kita temukan pada Spiritual Assessment Inventory (SAI) yang mereka kembangkan (Thomas, 2008). SAI mengukur dua dimensi perkembangan spiritual, yaitu kesadaran akan Tuhan dan kualitas hubungan dengan Tuhan. Kualitas hubungan dengan Tuhan berarti taraf perkembangan hubungan seseorang dengan Tuhan. Dimensi kualitas hubungan dengan Tuhan ini memiliki empat sub dimensi, yaitu: a. Realistic acceptance (penerimaan realistik): realistik berarti kemampuan untuk

bisa

merasakan

bahwa

sesuatu

itu

benar

ada.

Penerimaan/acceptance berarti sikap positif yang ditunjukan seseorang terhadap keberadaan sesuatu. Sehingga penerimaan realistik disini berarti sikap positif yang ditunjukan seseorang terhadap

perasaan dan

pengalamannya akan keberadaan dan hubungannya dengan Tuhan. b. Disappointment (kekecewaan): kemampuan untuk menerima kekecewaan terhadap Tuhan dan tetap dalam persekutuan dengan Tuhan. Definisi kecewa adalah kondisi psikologis ketika gagal untuk memenuhi atau memuaskan harapan dan keinginan, dengan kata lain, ketika kita menentukan diri kita berharap akan sesuatu dan harapan itu tidak terpenuhi, kita menjadi kecewa (Patrick, 2011). Maka ini berarti bahwa dalam menghadapi kondisi kekecewaan seseorang tetap meyakini bahwa

51

itu merupakan kehendak Tuhan, yang sudah pasti memilihkan yang terbaik bagi dirinya. c. Grandiosity : Sibuk dengan diri dan kebutuhan untuk menyajikan mereka sebagai lebih baik daripada mereka sendiri (Thomas, 2008). Ini berarti bahwa ada perasaan diri lebih dan unik dalam hubungannya dengan Tuhan dibanding orang lain. d. Instability (ketidakstabilan): memiliki kesulitan dalam meyakini dan memandang Tuhan sebagai sesuatu yang mencintai. Artinya bahwa seseorang memiliki kecenderungan tidak tetap dalam sikapnya. Kadang seseorang memiliki sikap yang meyakini bahwa Tuhan mencintai dirinya, namun dalam kondisi lain seseorang mungkin memandang Tuhan tidak mencintainya. Kemudian dimensi selanjutnya yaitu kesadaran akan Tuhan : dimensi ini mencakup bagaimana kesadaran seseorang akan komunikasi dan pengaruh kehadiran Tuhan kepada dirinya. Maksudnya adalah bahwa seseorang menyadari bahwa Tuhan berkomunikasi kepada dirinya baik melalui firmanNya dalam kitab suci maupun dalam setiap saat situasi yang dialami seseorang.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Spiritulalitas Menurut Taylor , Craven, dan Hirnle dalam Astaria (2010) bahwa faktor-faktor penting yang dapat mempengaruhi Spiritualitas seseorang diantaranya adalah sebagai berikut:

52

a. Tahap perkembangan Spiritual berhubungan dengan kekuasaan non material diluar individu. Seseorang harus memiliki beberapa kemampuan berfikir abstrak sebelum mulai mengerti spiritual dan menggali makna suatu hubungan dengan yang Maha Kuasa. b. Peranan keluarga dan Figur terdekat. Bisa jadi tidak terlalu banyak yang diajarkan keluarga tentang Tuhan dan agama, tapi individu belajar tentang Tuhan, kehidupan dan diri sendiri dari tingkah laku keluarganya. Oleh karena itu keluarga merupakan lingkungan terdekat dan dunia pertama dimana individu mempunyai pandangan, pengalaman tehadap dunia yang diwarnai oleh pengalaman dengan keluarganya (Taylor, Lillis & LeMone, 1997). c. Latar belakang etnik dan budaya Sikap, keyakinan dan nilai dipengaruhi oleh latar belakang etnik dan sosial budaya. Pernyataan senada mengenai hubungan sikap dan keyakinan dengan nilai-nilai kebudayaan juga disampaikan oleh Rosmiani (1996). Pada umumnya seseorang akan mengikuti tradisi agama dan spiritual keluarga. Anak belajar pentingnya menjalankan kegiatan agama, termasuk nilai moral dari hubungan keluarga dan peran serta dalam berbagai bentuk kegiatan keagamaan. d. Pengalaman Pengalaman hidup baik yang positif maupun negatif dapat mempengaruhi Spiritualitas sesorang dan sebaliknya juga dipengaruhi

53

oleh bagaimana seseorang mengartikan secara spiritual pengalaman tersebut (Taylor, Lilis dan Lemon, 1997). Frey (2005) juga menyebutkan bahwa spiritualitas dibangun melalui interpretasi serta pemahaman seseorang akan peristiwa kehidupannya. Peristiwa dalam kehidupan seseorang dianggap sebagai sesuatu yang tidak pernah luput dari kuasa dan kehendak Tuhan. Sehingga pemaknaan mendalam akan peristiwa tersebut akan membawa seseorang kedalam pengalaman spiritual. e. Krisis dan perubahan Krisis dan perubahan dapat menguatkan kedalaman spiritual seseorang. Krisis sering dialami ketika seseorang menghadapi penyakit, penderitaan, proses penuaan, kehilangan dan bahkan kematian, khususnya pada pasien dengan penyakit terminal atau dengan prognosis yang buruk. Perubahan dalam kehidupan dan krisis yang dihadapi tersebut merupakan pengalaman spiritual yang bersifat fiskal dan emosional (Craven & Hirnle, 1996).

C. Kerangka Pemikiran Etos kerja adalah suatu pandangan dan sikap suatu bangsa atau umat terhadap kerja (Anoraga, 2001). Etos Kerja terkait dengan sikap mental, tekad, disiplin dan semangat kerja, sikap ini dibentuk oleh sistem orientasi nilai-nilai budaya, yang sebagian bersumber dari agama atau sistem kepercayaan/paham teologi tradisional (Rosmiani, 1996). Masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam, yang mana mengajarkan nilai luhur dalam bekerja yang disebut etos kerja

54

Islami. Etos kerja Islami adalah suatu cara pandang yang diyakini seorang muslim mengenai kerja (Tasmara,2008). Etos kerja Islami memiliki hubungan dengan religiusitas, terutama dengan religiusitas dimensi ibadah, dimensi penghayatan dan dimensi pengamalan (Syafiq, 2008). Dimensi-dimensi religiusitas yang memiliki hubungan dengan etos kerja Islami ini tercakup pula dalam makna spiritualitas (Taylor, 2001). Dengan demikian diduga bahwa terdapat hubungan antara etos kerja Islami dengan tingkat spiritualitas.

D. Hipotesis Penelitian Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : H0: ρ = 0,

Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara spiritualitas dengan etos kerja Islam pada PNS di FIP UPI

Ha: ρ ≠ 0,

Terdapat hubungan yang signifikan antara spiritualitas dengan etos kerja Islam pada PNS di FIP UPI

Hipotesis penelitian tersebut akan diuji pada α = 0.05