BAB II KERANGKA TEORETIS A. Keterkaitan Sejarah dengan Ilmu

Seperti dijelaskan oleh Renier (1997: 119), bahwa setiap ilmu menjadi pembantu atau penunjang ilmu-ilmu lainnya, yang dipandangnya sebagai hasil alami...

14 downloads 487 Views 750KB Size
BAB II KERANGKA TEORETIS A. Keterkaitan Sejarah dengan Ilmu-Ilmu Sosial Secara Konseptual Pada umumnya pengertian sejarah berkaitan dengan pengetahuan tentang masa lampau dan pengetahuan tentang realitas dari masa lampau itu, yang keduanya tidak bisa dipisahkan (Aron, 1959: 153). Pemahaman dan kesadaran tentang masa lampau dan realitas yang ada di dalamnya, sangat memungkinkan bagi suatu generasi untuk menelaah masa lampau mereka. Dengan demikian, tanpa kesadaran tersebut masyarakat hanya akan menjadi subyek yang pasif bagi masa lampau mereka (Steam, Seixas, & Wineburg, 2000: 5 9 ) . Sebagai akibat lebih jauh, pemahaman tentang masyarakat masa lampau tidak mungkin dapat mencapai dimensi yang benar sesuai dengan realitas sejarah yang ada. Dalam lapangan keilmuan, biasanya sejarah didefinisikan sebagai suatu ilmu yang mengungkapkan peristiwa masa lampau dengan keunikannya. Berkaitan dengan peristiwa yang unik itu, maka sejarah merujuk pada suatu peristiwa yang sekali terjadi dan tidak terulang lagi. Baik mengenai tempat dan waktu, maupun situasi dan konteks peristiwa yang telah terjadi tidak mungkin terulang lagi. Perlu digarisbawahi, bahwa sejarah juga diartikan sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan yang membahas tentang perkembangan masyarakat manusia, baik mengenai sistem politik, susunan masyarakat, ekonomi, pemikiran, kesenian, maupun berbagai pengalamannya, yang semua itu disusun dalam suatu deskripsi yang bersifat kemanusiaan (Hyma, 1981: 24). Berdasarkan pemahaman tersebut, maka sejarah memusatkan studinya pada tolalitas kegiatan dan pengalaman masyarakat masa lampau, baik yang bersifat lahiriah

48

49

maupun batiniah. Kehidupan dunia yang serba kompleks itu selalu bergerak melalui suatu proses yang disebut perubahan. Gerakan itu bersifat kontinu, artinya setiap gerakan dilahirkan dan ditentukan oleh beberapa gerakan sebelumnya. Perkembangan rangkaian gerakan yang kontinu itu disebut sejarah (Meuien, 1987: 27). Dalam studi sejarah, manusia merupakan obyek sekaligus sebagai subyek kajian. Hal ini berarti, sejarah berkaitan dengan kegiatan rekonstruksi tentang masyarakat masa lampau yang dilakukan oleh manusia yang masih hidup. Di samping itu, hasil kajiannya juga diperuntukkan bagi generasi yang masih hidup. Oleh sebab itu, sejarah lahir dari kepentingan masa kini, dengan jalan meneliti kehidupan masyarakat masa lampau tersebut. Sebagai ilmu pengetahuan, sejarah dimulai dengan melakukan kegiatan penelitian sebagai reaksi yang rasional

tentang suatu

peristiwa sampai pada kegiatan melakukan imajinasi tentang kejadian yang telah terjadi di masa lampau. Usaha membangun kembali fakta-fakta dan menetapkan kronologi, dapat dilakukan untuk mendasari suatu peristiwa yang diteliti. Dengan demikian, untuk menemukan dan mendeskripsikan bagaimana sesungguhnya peristiwa itu terjadi (wie es Geschehen ist"), maka obyek yang paling pokok dari studi sejarah itu adalah realitas yang murni (Aron, 1959: 154). Walaupun demikian, penulisan sejarah sebagai hasil rekonstruksi dari peristiwa sejarah, sangat membuka peluang yang seluas-luasnya bagi terjadinya perbedaan pendapat. Perbedaan tersebut dapat ditolerir, selama memiliki dasar sumber atau data yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Bukan bersandar kepada emosi dan interpretasi yang berlebihan dan kalut. Oleh sebab itu, memahami sejarah sebagai sarana pendidikan bangsa, sangat diperlukan sikap kritis dan dewasa dalam menyikapi berbagai perbedaan yang mungkin teijadi dalam setiap rekonstruksi sejarah (Dienaputra, 2002: 3).

50

Dari sini jelaslah, bahwa sejak proses rekonstruksi sejarah telah memerlukan pemikiran kritis dan demokratis. Dalam upaya rekosntruksi sejarah perlu dipahami, bahwa masyarakat diwarnai oleh berbagai aktivitas dalam proses perubahan yang terus berlangsung. Dalam kenyataannya, perubahan-perubahan yang terjadi antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain memiliki kadar dan kecenderungan yang berbeda, baik dalam hal adat kebiasaan maupun dalam segi kelembagaan. Semakin lama perkembangan kelompok yang ada dalam masyarakat, menunjukkan perbedaan yang semakin besar dan semakin kompleks. Berkaitan dengan itu, sejarawan harus selalu bersikap kritis dalam upaya menelaah peristiwa yang ditelitinya. Bagi sejarawan, sikap seperti itu dapat mendorong kehati-hatian dalam menggunakan pikiran dan perasaannya yang tajam untuk membedakan antara yang mungkin dan tidak mungkin teijadi. Pada akhirnya mereka sampai pada pengambilan kesimpulan untuk menolak segala sesuatu yang berada di luar batas kemungkinan tersebut (Issawi, 1962: 46). Untuk dapat memahami kehidupan masyarakat masa lampau yang kompleks dan yang bersegi banyak, sejarawan sangat memerlukan bantuan konsep, generalisasi, dan teori ilmu-ilmu sosial yang lain. Dengan cara itu, kompleksitas kehidupan historis akan dapat dijelaskan tidak hanya sebagai kesatuan, tetapi juga sebagai jalinan dalam interaksinya. Hal itu akan mampu pula mengungkap faktor dominan yang berpengaruh terhadap perilaku masyarakat yang telah terjadi (Kartodirdjo, 1970: 32). Dalam kerangka itulah, maka sejarawan sangat berkepentingan untuk memahami pola tingkah laku kolektif berdasarkan konsep, teori, dan model ilmu-ilmu sosial yang berdekatan. Studi sejarah yang dijelaskan dengan menggunakan pendekatan disiplin ilmu sosial yang lain semacam itu dikenal dengan sejarah sosial. Akan tetapi sejarawan harus tetap

51

memperhatikan, bahwa konklusi atau generalisasi yang dirumuskan berdasarkan faktafakta harus tetap memiliki karakteristik sejarah. Dalam arti, generalisasi harus tetap ditekankan pada dimensi waktu dan harus tetap ada hubungan antara fenomena dengan konteksnya (Sjamsuddin, 1996: 207). Rekonstruksi sejarah yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan disiplin ilmu sosial, dapat membantu sejarawan untuk melacak kekuatan yang bergerak di dalam masyarakat, sehingga mampu mengungkapkan kondisi yang menentukan situasi historis. Dengan kata lain, penjelasan sejarah dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial dapat memberi banyak kemungkinan untuk mengungkap berbagai dimensi kehidupan masyarakat masa lampau. Dapat dipastikan, unsur-unsur gejala sejarah yang ada dalam masyarakat masa lampau tidak berdiri sendiri, sehingga memerlukan pengamatan secara menyeluruh. Dengan cara itu, maka analisis dan penjelasannya dapat memberi gambaran yang runtut, dan penjelasan strukturnya dapat diperkuat. Berbagai konsep, generalisasi, dan teori atau berbagai kerangka referensi dapat dipinjam untuk mencari, mengatur, dan menganalisis data. Perangkat konseptual yang beragam jenis dan jumlahnya itu akan dapat mempermudah sejarawan dalam menentukan saling hubungan di antara fakta-fakta (Alfian, 1985: 15). Dalam kenyataannya, sejarah memang memerlukan bantuan ilmu-ilmu sosial yang lain agar dapat mencapai perkembangan yang diharapkan. Terutama dalam dunia modern sekarang ini, tidak ada satupun disiplin ilmu yang bisa berkembang sendirian. Keterkaitan antar konsep, generalisasi, dan teori ilmu yang satu dengan ilmu yang lain (terutama ilmu yang berdekatan) sangat diperlukan untuk memperkaya dan memacu perkembangan disiplin ilmu yang bersangkutan. Hal ini dapat dipahami, mengingat dalam penerapannya suatu ilmu harus memberi alternatif-alternatif baru kepada

52

masyarakat dalam upaya menjawab tantangan-tantangan yang dihadapinya yang berubah sangat cepat (Kuhn, 1989: 118). 1

Dapat pula dinyatakan, bahwa kedudukan suatu ilmu dapat membantu dan

memperkuat perkembangan ilmu lain. Walaupun begitu, ilmu-ilmu bantu {auxiliary sciences) adalah merupakan bagian pengetahuan yang memusatkan perhatiannya kepada bidang masing-masing secara khusus. Sejarah menggunakan ilmu-ilmu sosial lain yang diperlukan sebagai ilmu bantu, sebagaimana ilmu-ilmu sosial yang lain juga dapat menggunakan ilmu sejarah atau harus menggunakannya untuk tujuan mereka sendiri. Seperti dijelaskan oleh Renier (1997: 119), bahwa setiap ilmu menjadi pembantu atau penunjang ilmu-ilmu lainnya, yang dipandangnya sebagai hasil alamiah dari kesatuan pengetahuan umat manusia. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa ilmu-ilmu sosial sebagai ilmu bantu merupakan sekutu dari ilmu sejarah. Dalam dunia modern dewasa ini, ilmu-ilmu sosial dituntut untuk memberi jawaban yang tepat terhadap berbagai tantangan yang timbul dalam kehidupan masyarakat. Seperti diketahui, dewasa ini tantangan yang dihadapi masyarakat semakin kompleks seiring dengan semakin banyaknya masalah sosial yang muncul (Daldjuni, 1997: 20). Oleh sebab itu, ilmu-ilmu sosial juga dituntut untuk saling bekerja sama agar kehadirannya memiliki arti penting bagi masyarakat. Namun demikian harapan itu masih menemui banyak kendala, mengingat jalinan di antara ilmu-ilmu sosial kurang solid tidak seperti yang terjadi pada ilmu-ilmu alam (natural science). Hal ini disebabkan, sangat beragamnya fokus kajian dan gaya setiap disiplin ilmu yang tergabung dalam ilmu-ilmu sosial itu. Hal ini berdasarkan kenyataan, dalam dunia perguruan tinggi ilmuilmu sosial terkotak-kotak pada fakultas yang tidak seragam. Misalnya, Fakultas Psikologi, Fakultas Ekonomi, masing-masing berdiri sendiri. Sementara itu, Fakultas

i ^ « i i A l Sosial-Politik untuk ilmu politik, administrasi, sosiologi, dan atropMoJfiaJ^pM, i Fakultas Geografi dimasukkan dalam kelompok MIPA, mengingat s o b w I ^ R j ^ f r kajiannya yang bersifat kealaman. Sementara itu studi sejarah masuk dalam ilmu kemanusiaan, sehingga merupakan bagian dari Fakultas Sastra atau Ilmu Budaya (Hasan, 1996: 8-9). Kenyataan seperti ini membawa dampak pada perbedaan fokus dan gaya pengembangan ilmu-ilmu sosial yang semakin lama justru semakin sulit dikompromikan. Sejauh yang menyangkut posisi ilmu sejarah, sampai sekarang juga masih dijumpai kesimpangsiuran mengenai kedudukannya yang berada di antara dua kelompok keilmuan. Di satu pihak sejarah ditempatkan sebagai bagian dari ilmu humanistik (kemanusiaan) dan sebagian yang lain mengklaim sejarah sebagai bagian dari ilmu sosial. Di satu pihak, lebih ditekankan disiplin sejarah masuk ke dalam kelompok ilmu humanistik, mengingat subyeknya adalah perilaku manusia unik dan dalam proses penulisannya sejarah harus memperhatikan segi bahasa yang menarik. Dengan pemahaman ini, maka disiplin sejarah masuk sebagai bagian dari Fakultas Sastra atau Fakultas Ilmu Budaya di universitas. Dalam kenyataannya tidak dapat disangkal, bahwa disiplin sejarah memang memusatkan perhatiannya pada segi kemanusiaan, dan dalam proses rekonstruksi juga dipengaruhi oleh daya imajinasi dan perasaan kemanusiaan penulisnya (Gazalba, 1981: 151). Dalam kerangka itu, disiplin sejarah bersama dengan disiplin ilmu humanistik lainnya, seperti filsafat, theologi (religi), etika, bahasa dan sastra, merupakan inti dari ilmu-ilmu humanistik atau kemanusiaan. Secara kolektif, kelompok ilmu humanistik merupakan kerangka sekaligus kosa kata (yocabulary) bagi telaah nilai-nilai kemanusiaan, kebutuhan manusia, aspirasi, dan juga potensi yang ada pada manusia. Di samping itu, ilmu kemanusiaan juga memahami

54

kelebihan dan kelemahan manusia, seperti yang terungkap dalam berbagai kebudayaan umat manusia. Dengan mempelajari ilmu kemanusiaan dapat membantu kita untuk - V, menangkap makna yang terkandung dalam berbagai pengalaman dan juga akan memberikan kepada kita cara untuk memahami segala jenis dan maksud kegiatan kemasyarakatan, baik yang ada pada masyarakat sendiri maupun masyarakat yang lain (Soedjatmoko, 1989: 2). Pada akhirnya, dengan memahami ilmu kemanusiaan dapat membantu seseorang untuk menyusun kerangka moral yang imajinatif mengenai suatu masyarakat yang dipelajari. Di pihak lain, disiplin sejarah dimasukkan dalam kelompok ilmu sosial. Seperti diketahui Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (FPIPS), menempatkan disiplin sejarah sebagai salah satu dari bagiannya. Hal ini berdasarkan pertimbangan, fokus utama kajian disiplin sejarah adalah perilaku kelompok umat manusia, khususnya yang telah terjadi pada masa yang lampau (Abdulgani, 19E0: 2). Jika disiplin sejarah disoroti berdasarkan pemahaman sebagai ilmu pengetahuan yang memahami tingkah laku kelompok umat manusia, maka sangat tepat apabila disiplin ini ditempatkan pada jajaran ilmu-ilmu sosial (Calhoum, 1971: 42). Berdasarkan pemahaman itu, maka disiplin sejarah dikelompokkan bersama dengan disiplin ilmu sosial lainnya, seperti geografi, antropologi, sosiologi, ekonomi, psikologi, ekonomi dan ilmu politik. Pengelompokan itu berdasarkan alasan, karena kelompok ilmu sosial tersebut memiliki obyek atau sebagian dari obyeknya berupa tingkah laku kelompok masyarakat umat manusia. Dengan demikian, disiplin sejarah dalam posisinya sebagai sumber pendidikan, bersama-sama dengan disiplin ilmu-ilmu sosial lainnya dilaksanakan dalam rangka membentuk warga negara yang baik (Garraghan, 1957: 7). Ukuran warga negara yang baik, adalah warga negara yang telah melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya

55

sebagai mana mestinya. Kepatuhan terhadap hukum, membayar pajak, melaksanakan wajib belajar, wajib bela negara, dan lain-lain. Dengan demikian, warga negara yang baik berarti merujuk kepada setiap orang yang dengan penuh kesadaran menerima norma-norma tertentu yang berlaku dalam masyarakat. Dalam kaitan ini, Barr (1987: 30) menyatakan, bahwa warga negara yang baik ialah warga negara yang memegang teguh nilai dan sikap secara konsisten. Mereka juga menerima dan melaksanakan nilai dan sikap yang diyakininya itu dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mencapai tujuan itu, disiplin sejarah sebagai suatu ilmu perlu secara terus menerus dikembangkan terutama dalam hal metodologinya, agar dapat memberikan materi yang memadai sebagai sumber pendidikan kewarganegaraan. Pengembangan metodologi sejarah dengan jalan pemakaian konsep dan teori ilmu-ilmu sosial yang relevan, akan melahirkan bentuk sejarah model baru {new history) dan dapat menjadikan sejarah tetap up to date bagi masyarakat (Abdullah, 1997: 31). Untuk kepentingan pendidikan kewarganegaraan, sejarah model baru tersebut selayaknya menduduki posisi yang cukup strategis. Hal ini sejalan dengan pernyataan Saxe (1993: 130), bahwa: This new history added social and economic perspectives to the old history of kings, battles, and great events. As a result, it broadened the curricular depth of what teachers could offer students. The new history was also well suited to social studies as a means to cultivate an active, competent citizenship . . . was clearly influential in forging strong ties between social studies and the new history. Pernyataan di atas menunjukkan, bahwa sejarah model baru menekankan pada perspektif sosial dan ekonomi. Sementara itu, sejarah model baru juga memiliki kaitan yang sangat kuat dengan disiplin ilmu-ilmu sosial lainnya, sehingga layaknya disebut juga dengan sejarah sosial. Kajiannya, memusatkan perhatian pada aktivitas masyarakat, sehingga pada tingkat analisis keilmuan selalu ada keterkaitan yang erat antara disiplin sejarah dengan konsep-konsep, generalisasi dan teori ilmu-ilmu sosial (Banks, 1977: 89).

56

Pendekatan ilmu-ilmu sosial dalam studi sejarah mempunyai daya eksplanasi yang lebih besar untuk mencari kondisi kausal dalam suatu fenomena sejarah guna memperkuat analisis (Alfian, 1985: 14). Hal ini sangat bermanfaat bagi sejarawan dalam merekonstruksi peristiwa sejarah yang ditelitinya. Melalui pemahaman konstrukkonstruk konseptual seperti yang berlaku dalam ilmu-ilmu sosial, maka analisis peristiwa sejarah dapat lebih luas dan mendalam. Untuk dapat memahami secara lebih jelas dapat diamati pada gambar berikut ini: Gambar 2.1 Sejarah Di Tengah Sejumlah Konsep Ilmu-ilmu Sosial lain

Diadopsi dari : James A. Banks. Teaching Strategies for the Social Studies : Inquiry, Valuing, and Decision-Making. Menlo Park, California, Addison Wesley Publishing Company, 1977, hal. 89.

57

Keterangan: SEJARAH

Perubahan, konflik, revolusi, isme-isme (nasionalisme dsb), peradaban, penjelajahan(eksplorasi)

ANTROPOLOGI

Kebudayaan, elemen kebudayaan, kompleks kebudayaan, enkulturasi, daerah kebudayaan, difusi, akulturasi, etnosentrisme, tradisi, relativisme Kebudayaan, keuniversalan kebudayaan

SOSIOLOGI

Sosialisasi, peran, norma, sanksi, nilai, status, institusi, komunitas, masyarakat, saling ketergantungan

ILMU POLITIK

Kontrol sosial, negara, kekuasaan, legitimitas, otoritas, kelompok kepentingan, sosialisasi politik, kebudayaan politik, sistem politik

GEOGRAFI

: Lokasi, region, interaksi spasial, pola spasial kota, struktur intern kota, persepsi lingkungan

PSIKOLOGI

: Konsep diri, motivasi, persepsi, frustrasi, sikap

EKONOMI

: Kelangkaan produksi, barang dan jasa, saling ketergantungan, pembagian kerja, saling tukar, arus putar pemasukan

Walaupun demikian, pengembangan metodologi sejarah perlu dilakukan secara hati-hati, agar supaya disiplin sejarah tetap berada pada ciri khasnya. Dengan kata lain, perkembangan yang terjadi itu tidak akan mengaburkan karakteristik yang ada pada disiplin sejarah itu sendiri. Dalam kenyataannya disiplin sejarah memilki sifat yang unik. Artinya, dalam proses rekonstruksi peristiwa yang telah teijadi diperlukan kesadaran akan historisitas benda-benda, mengutarakan soal kapan, di mana, dan apa yang terjadi. Rekonstruksi sejarah sebagai cerita berisi kejadian tentang aksi manusia yang semuanya terjalin dalam rangkaian yang menonjolkan keunikan suatu peristiwa. Di samping itu, disiplin sejarah mengkaji peristiwa yang terkurung oleh batas waktu (time bound) tertentu, sehingga pengulangan di waktu selanjutnya belum tentu mepunyai kesamaan dalam orientasi nilai, sistem sosial, kebutuhan ekonomi, dan lain-lain. Keunikan dalam

58

sejarah itulah yang menyebabkan tidak memungkinkannya dibentuk generalisasi seperti pada ilmu-ilmu alam (Garraghan, 1957: 7). Suatu hal yang harus diingat, bahwa pendekatan ilmu-ilmu sosial dalam studi sejarah tidak dapat mengabaikan sama sekali hal-hal yang bersifat universal. Para sejarawan harus mampu menyeleksi dan memisahkan kejadian-kejadian kongkret yang dipelajari, sehingga sejarawan dapat menyatakan bahwa dalam peristiwa yang khusus itu mendapat pengaruh dari norma-norma yang bersifat umum. Dalam kaitan ini, salah satu fase tugas sejarawan adalah melakukan kritik ekstern dan kritik intern terhadap sumber-sumber yang perlu melengkapi dengan konsep-konsep kebenaran umum, yang dipinjam dari ilmu-ilmu sosial lainnya. Mengingat sejarawan mencoba untuk mengerti dan menjelaskan tindakan-tindakan manusia dalam kerangka sebab akibat, maka sejarawan harus mengambil kesimpulan yang tegas tentang hal-hal yang menurut dugaannya mempunyai kedudukan yang kuat di dalam hukum sebab akibat tersebut (Nagel, 1959: 204-205). Dapat diungkap di sini, dalam upaya memahami perkembangan masyarakat masa lampau, sejarawan dapat menjelaskannya dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial yang berkedudukan sebagai ilmu bantu (Burke, 1992: 29). Dengan cara itu, sejarawan dapat meminjam konsep, generalisasi, dan teori ilmu-ilmu sosial sebagai alat untuk membantu penjelasan peristiwa sejarah. Pendekatan semacam itu dapat meningkatkan kemampuan sejarah untuk menyoroti gejala-gejala sejarah yang bersifat umum mengenai kelakukan kolektif, jenis solidaritas, dan otoritas di kalangan masyarakat. Apabila peristiwa sejarah hanya dijelaskan secara historis hanya dengan deskriptif naratif, maka gejala sosial semacam itu tidak mungkin dapat diungkap. Penjelasan yang

59

dapat dilakukan hanya terbatas pada pengetahuan fakta dan pengungkapan aneka ragam informasi. Dapat ditegaskan, bahwa konsep-konsep ilmu sosial dapat membantu sejarawan dalam rangka melakukan penjelasan (explanation) rekonstruksi sejarah. Antropologi dapat membantu dalam memahami sistem budaya masyarakat, kemudian psikologi dapat membantu menerangkan tingkah laku manusia, yang sangat penting untuk menganalisis masalah fenomena seperti revolusi, reaksi atau gerakan masyarakat. Di samping itu psikologi juga penting untuk dapat memahami karakter dalam sejarah. Kemudian, geografi dapat membantu untuk memahami lingkungan dan pengaruhnya pada manusia. Dengan demikian, sejarawan dapat menjelaskan mengapa di suatu tempat tertentu telah muncul dan berkembang suatu peradaban dengan karakteristik yang berbeda dengan peradaban di daerah yang lain. Sementara itu, ilmu ekonomi dapat memberi informasi tentang mata pencaharian dan bagaimana benda-benda material dapat mempengaruhi perkembangan sosial dalam sejarah. Demikian juga ilmu politik dapat membantu memberi penjelasan tentang prinsip-prinsip manusia dalam hubungannya dengan lembaga pemerintahan (Garraghan, 1957: 81-82). Oleh sebab itu, seorang sejarawan dituntut untuk mempunyai pengetahuan seluas mungkin dan selalu tertarik dengan bidang-bidang kemanusiaan, serta menempatkannya pada posisi yang tepat. Konsep-konsep maupun teori dari ilmu-ilmu sosial yang biasa digunakan dalam penjelasan sejarah analitis pada hakekatnya memuat generalisasi, karena menunjuk pada suatu pola atau kelompok fenomena. Sejarawan dapat mengklasifikasi fenomena empiris dan menetapkan hubungan antara fenomena-fenomena itu. Dengan konsep dan teori ilmu-ilmu sosial itu pula, persoalan mengenai data dapat diperluas, dan keadaan historis dapat ditempatkan dalam konteks tertentu. Hal itu pada gilirannya akan dapat menuntun

60

sejarawan untuk memahami kecenderungan, pola, struktur dari fenomena historis ( Little & Mackinolty, 1977: 66-67). Dengan demikian, analisis data-data sejarah dapat dilakukan secara lebih kritis dan komprehenship. Mengingat sejarah merupakan ilmu yang menekankan pada keunikan, maka tidak layak apabila sejarah hanya didasarkan pada asumsi-asumsi umum saja. Di sisi lain, simpulan atau kesimpulan umum memang sangat diperlukan dalam sejarah, karena sejarah merupakan ilmu yang memenuhi syarat keilmuannya. Jika penarikan generalisasi atau kesimpulan yang bersifat umum tidak dilakukan, maka tidak akan dapat dibedakan hal yang bersifat umum dan hal yang bersifat khusus. Pada dasarnya

penarikan

generalisasi dalam sejarah dilakukan untuk mencapai dua hal pokok, yaitu: Pertama, Saintifikasi. Semua ilmu menarik kesimpulan umum dan keajegan yang menjadi tumpuan dalam perumusan generalisasi. Dalam sejarah generalisasi sering dipakai untuk mencek teori yang lebih luas. Hal ini mengingat teori di tingkat makro sering kali berbeda dengan teori di tingkat mikro Kedua, Simplifikasi. Dalam upaya mengamati peristiwa, peneliti sejarah akan memusatkan perhatian pada suatu perilaku yang bersifat massal di suatu kawasan yang begitu luas. Hal ini sangat menyulitkan bagi peneliti untuk melakukan penjelasan. Dengan demikian maka diperlukan upaya penyederhanaan. Berbagai bentuk penyederhanaan dapat dilakukan oleh peneliti sejarah yang tercermin dalam istilah yang digunakan (Kuntowijoyo, 1995:141-144).. Dewasa ini dikenal tiga batasan tentang sejarah sosial, yang menunjukkan luasnya cakupan dan orientasi, walaupun diakui antara satu dengan yang lain masih dirasakan adanya saling tumpang tindih. Pertama, sejarah sosial diartikan sebagai sejarah gerakan sosial kaum buruh, ide-idenya, dan organisasinya. Kedua, sejarah sosial menunjuk pada hasil aktivitas manusia, seperti adat-istiadat, kebiasaan, dan kehidupan

61

sehari-hari. Ketiga, istilah sejarah sosial selalu berkait dengan aktivitas ekonomi masyarakat (Hobsbawn, 1971:21). Berdasarkan pada penjelasan di atas menunjukkan, bahwa sejarah sosial mempunyai bidang garapan yang sangat luas dan beraneka ragam. Kebanyakan sejarah sosial juga mempunyai hubungan yang sangat erat dengan sejarah ekonomi, sehingga menjadi semacam sejarah sosial-ekonomi. Perkembangan orientasi semacam ini menjadikan masyarakat secara keseluruhan dapat dijadikan sebagai bahan garapan. Di samping itu, banyak tema lain yang dapat diteliti seperti, kaum buruh, petani, kaum perempuan, nelayan yang masing-masing dalam ruang wilayah yang dimarginalkan. Sejarah sosial dapat mengambil fakta-fakta sosial yang ada dalam masyarakat sebagai bahan kajian. Tema-tema sosial seperti kemiskinan, perbanditan, keresahan, interaksi sosial, kriminalitas, dan lain-lain dapat juga dijelaskan, sehingga menjadi sebuah karya penulisan sejarah yang bersifat komprehensip (Kuntowijoyo, 1994: 33-35). Dalam khasanah kesejarahan di Indonesia sebenarnya sangat kaya dengan bahan-bahan sejarah sosial yang dapat dijadikan tema penelitian. Dalam banyak kasus, sejarah sosial sering mengambil lingkup lokasi yang sempit sehingga karya yang dihasilkan merupakan sejarah sosial di tingkat lokal. Sejarah lokal dapat diartikan sebagai karya sejarah yang memuat proses perkembangan aktivitas kemanusiaan di daerah tertentu. Pengertian lokal identik dengan daerah, yang berkaitan dengan lingkungan geografis tertentu yang dari sudut arealnya dapat diperluas atau dipersempit. Dalam pengertian sejarah nasional, sejarah lokal berarti sejarah daerah di suatu negara. Dengan demikian, sejarah lokal berkaitan erat dengan konsep geografis yang biasanya ditentukan sejalan dengan pembagian teritorial administratif (Sutjipto, 1970: 37, Dienaputra, 2002: 2).

62

Penulisan sejarah sosial di tingkat lokal juga dapat memusatkan kajiannya untuk mengungkap aktivitas masyarakat pedesaan yang jauh dari keramaian kota. Dengan perkembangan metodologi sejarah yang semakin baik, ternyata penulisan sejarah dengan ruang lingkup kecil dapat digali permasalahannya secara mendalam, sehingga dapat ditampilkan kehidupan masyarakat suatu desa yang sebenarnya sangat kompleks. Dengan penguasaan metodologi yang memadai, peneliti sejarah dapat mengungkap arus kehidupan masyarakat yang berada di bawah permukaan. Dengan demikian, maka rekonstruksi sejarah dapat lebih bervariasi dan mampu menampilkan nuansa baru. Pada umumnya, permasalahan yang banyak mendapat perhatian untuk diungkap adalah strutur sosial dan interaksinya, pranata sosial dan adat-istiadat, aktivitas ekononi dan keyakinan agamanya. Tentu saja untuk dapat mengungkap secara lengkap permasalahan yang ada dalam masyarakat desa masa lampau, peneliti sejarah perlu membekali dirinya dengan pemahaman konsep disiplin ilmu-ilmu sosial lain sebagai ilmu bantu yang sesuai. Dengan demikian, hasil penelitiannya tidak hanya deskriptif-naratif yang bersifat diakronik, tetapi mampu menghasikan karya sejarah kritis (deskriptif-analitis) yang bersifat sinkronik. Sejarah desa yang lebih menitikberatkan pada aktivitas arus bawah akan menampilkan gambaran realitas desa yang sesungguhnya, jika mengikuti model penulisan sejarah sosial (Kuntowijoyo, 1994: 64-65).. Dalam arti, peristiwa sejarah yang ditampilkan itu mengenai aktivitas masyarakat suatu desa secara keseluruhan, bukan hanya menyangkut sejarah kelompok elit yang berpengaruh di desa itu. Di dalam masyarakat itu terdapat pola-pola hubungan antara unsur-unsur sosial yang satu dengan unsur-unsur sosial yang lain Misalnya, keterkaitan unsur-unsur yang sangat erat antara sistem sosial, strata sosial, perubahan sosial, kepemimpinan, dan lainlain. Struktur sosial merupakan organisme-organisme yang ada dalam masyarakat yang

63

kompleks karena, merupakan kumpulan dari sel-sel sosial yang hidup. Sel-sel itu membentuk susunan struktural yang keterkaitannya sangat erat satu dengan lainnya dan bersifat kompleks. Keberadaan individu sebagai bagian dari masyarakat, dihubungkan pula dengan jaring-jaring yang kompleks dalam hubungan sosial yang sering dikaitkan dengan adanya jaringan hubungan secara aktual. Dengan demkian, fenomena sosial merupakan gejala yang jelas, walaupun saling keterkaitannya sangat rumit. Pada dasarnya fenomena sosial bukan merupakan keberadaan manusia secara individual, tetapi merupakan hasil dari pengaruh struktur sosial secara terpadu (Brown & Lyman, 1978: 128 ). Secara umum struktur sosial merujuk pada kelompok-kelompok yang tetap, yang merupakan bagian integral dari bangsa, suku, klan, yang memiliki kontinuitas, dan identitas yang tetap, walaupun ditinjau dari anggotanya dapat juga berubah-ubah Dengan demikian, struktur sosial berkaitan erat dengan konsep logika kongkret yang dikemukakan oleh Levi Strauss (Boon, 1973: 8 ) yaitu, digunakannya kode yang konkret oleh pikiran manusia yang dimaksudkan untuk mengkonstruksi berbagai sistem yang memiliki signifikansi. Secara internal, masyarakat senantiasa terbagi dalam bentuk klan, kelompok sosial, ataupun satuan lainnya. Hal ini merupakan imajinasi tentang heterogenitas yang sempurna yang disediakan oleh alam (Boon, 1973: 8-9, Beilharz, 2003: 262-264). Pemikiran konkret tentang struktur dipandang sama benarnya dan sama validnya dengan pemikiran lain di manapun. Hal ini berdasarkan alasan, bahwa keteraturan logis dalam konstruksi sistem tersebut merupakan ekspresi langsung dari struktur fundamental pikiran manusia. Hal itu sebenarnya adalah manifestasi dari struktur otak manusia. Semua struktur rasionalisme sebagai perwujudan dari struktur otak manusia dipandang sebagai dasar dari kehidupan masyarakat modern (Boon, 1973: 9). Dengan demikian,

64

pada umumnya masyarakat dewasa ini memandang bahwa semua struktur rasionalisme itu dapat menjelaskan masalah yang bersifat duniawi (Kebenaran Sejati, 2002: 1). zt-

Sebenarnya, struturalisme yang dikenal sekarang adalah struturalisme Ferdinand de Saussure dan Levi-Strauss, yang menjelaskan bahwa produksi makna merupakan efek dari struktur terdalam dari struktur bahasa dan kebudayaan. Makna itu diorganisir secara internal dalam oposisi biner, seperti hitam-putih, baik-buruk, dan lain-lain. Dari sini jelaslah, bahwa strukturalisme sangat menekankan aspek kekhususan kebudayaan yang tidak bisa direduksi begitu saja ke dalam fenomena lainnya (Antariksa, 2003: 1). Kemudian dalam konteks sosial, Brown dan Lyman (1978: 130) menyatakan, bahwa struktur sosial berkaitan erat dengan dua hal. Pertama, struktur sosial menyangkut seluruh hubungan sosial antara seorang dengan orang lain. Kedua, struktur sosial juga mengikat individu-individu dan kelas dengan peran sosialnya, posisi sosial yang berbeda antara laki-laki dengan perempuan, pemimpin dengan pengikutnya, pekerja atau buruh dengan majikannya. Hal ini merupakan penentu dalam pelaksanaan hubungan sosial, yang mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Manusia sebagai individu memiliki hubungan sosial yang sangat kompleks dengan individu yang lain. Tindakan atau kelakuan manusia dalam proses pergaulan tersebut senantiasa mengikuti kebiasaan, adat atau pola kehidupan yang berlaku dalam masyarakat itu. Pola atau kebiasaan yang mantap akan menyebabkan terbentuknya suatu kelembagaan atau pranata sosial, seperti adat-istiadat, etika, etiket, upacara, dan lain-lain Dengan demikian, kelakuan manusia dalam masyarakat selalu distrukturalisasi sesuai dengan tradisi atau konvensi (Kartodirdjo, 1992: 124). Dari sini dapat dipahami, bahwa struktur dapat melatarbelakangi tindakan atau kelakuan tertentu bagi seseorang yang merupakan bagian dari masyarakat.

Pada hakekatnya sejarah dan ilmu sosial lainnya mempunyai bersifat timbal balik Istilah sejarah analitis lahir berkat bantuan ilmu-ilmu ^ s f e j ^ a B B ^ arti penjelasan yang dilakukan dengan menggunakan konsep, generalisasi, darTTec' ilmu-ilmu sosial. Dengan demikian, dewasa ini mempelajari sejarah tidak dapat dilepaskan dari belajar ilmu sosial yang lain, meskipun sejarah memiliki caranya sendiri dalam mendekati obyeknya. Akan tetapi, perlu dipahami pula bahwa sejarah dan ilmuilmu sosial itu memiliki sifat dan tujuan yang berbeda. Sejarah memiliki sifat dan tujuan untuk mempelajari peristiwa kemanusiaan yang bersifat tunggal, unik, dan hanya sekali terjadi. Sementara ilmu-ilmu sosial lebih tertarik pada hal yang bersifat umum, ajeg, nomotetis, dan merupakan pola. Pendekatan sejarah juga berbeda dengan pendekatan ilmu sosial yang lain. Sejarah itu diakronis, memanjang dalam waktu, sedangkan ilmu sosial itu sinkronis yaitu kompleks dan melebar dalam ruang. Sejarah mementingkan proses, sementara ilmu sosial lebih menekankan pada struktur. Kemudian mengenai kegunaan sejarah bagi ilmu sosial yang lain pada umumnya dapat dijelaskan dalam tiga hal, yaitu:l) sejarah sebagai kritik terhadap generalisasi dalam ilmu sosial, 2) permasalahan sejarah dapat menjadi permasalahan juga bagi ilmu sosial, dan 3) pendekatan sejarah yang bersifat diakronis dapat menambah dimensi baru bagi ilmuilmu sosial yang bersifat sinkronis (Kuntowijoyo, 1995: 107-108). Peristiwa sejarah tentu saja berada dalam suasana kebudayaan masa lampau, ketika peristiwa itu terjadi. Di samping itu, setiap peristiwa mempunyai keunikannya masing-masing, dan hanya terjadi sekali yang tidak pernah terulang lagi dalam bentuk yang sepenuhnya sama. Peristiwa sejarah ditentukan oleh cara hidup tertentu yang menjadi bagiannya dan menjadi sumber dari sebagian besar ciri khasnya. Dalam kenyataannya, peristiwa masa lampau itu tidak dapat dilihat dalam bentuk aslinya,

66

kecuali jika kita mengetahui totalitas peristiwa tersebut. Dengan demikian, kebudayaan •Sudah selayaknya menjadi obyek sejarah, karena peranannya sebagai perwujudan kehidupan manusia pada zaman lampau, maupun karena pengaruhnya terhadap peristiwa yang telah terjadi pada suatu periode tertentu. "Namun demikian, bagi setiap orang yang mempelajari kebudayaan dapat dipastikan tidak mungkin memahami karakteristik kebudayaan tanpa memahami sistem keagamaan yang berlaku dalam masyarakat tersebut Dengan kata lain, melakukan penelitian tentang kebudayaan masyarakat masa lampau hampir tidak mungkin dilakukan, tanpa memahami sistem keyakinan agama, yang merupakan kekuatan-kekuatan yang diresapi, menghidupi, dan membentuk kebudayaan tersebut (Zoetmulder, 1995: 288-289). Hal ini menunjukkan, bahwa penelitian sejarah, tidak hanya menuntut pembuktian dalam bentuk data maupun faktafakta. Suatu hal yang tidak kalah pentingnya adalah, tuntutan untuk memahami konsep dari disiplin ilmu lain yang relevan dengan masalah yang diteliti. Akan tetapi, terkadang terdapat kesalahan pemahaman dan penggunaan konsep tersebut. Berdasarkan pada perkembangan yang terjadi itu, muncul kritik dari kalangan sejarawan kepada kecenderungan para ahli sosiologi dalam hal mencari persamaan historis dengan cara melakukan penyederhanaan fenomena dari masyarakat yang berada di tempat yang terpisah jauh dalam tempat dan waktu menjadi suatu istilah yang sama. Misalnya, anggapan bahwa Serikat Islam yang terjadi pada abad ke-20 di Indonesia (Solo) sebagai suatu gerakan borjuis yang dapat disamakan dengan Protestanisme di Eropa pada abad ke-16. Perbandingan antara proses sejarah di Indonesia dengan proses serupa di tempat lain memang dapat membuka pemahaman yang sangat berguna, asalkan kategori yang digunakan benar-benar bersifat universal dan karakterisasi tipe ideal yang bersifat menyederhanakan itu diperluas dengan memperhitungkan juga

67

tentang faktor waktu ( Wertheim, 1995: 316).

Dengan demikian sejarawan dapat

membantu dan mengoreksi sosiolog yang mungkin cenderung mencari dan menarik terlampau banyak generalisasi, tetapi mengabaikan faktor yang bersifat khusus. Hubungan timbal balik juga dapat dilihat dalam metodologi dan penggunaan sumber-sumber penelitian. Seperti dalam disiplin antropologi, hasil penelitian etnografis yang telah dicapai banyak menyediakan bahan pembanding yang berguna bagi penelitian sejarah kuno. Khususnya di Indonesia, kumpulan hasil penelitian tentang prinsip dasar dari struktur sosial, politik, dan ekonomi masyarakat masa lampau dari berbagai bagian wilayah, yang telah berhasil dihimpun oleh para ahli antropologi. Hal ini dapat memberi gambaran abstrak untuk merumuskan gambaran umum dari prinsip dasar struktur sosial, politik, dan ekonomi dari beberapa kerajaan yang pernah ada (Koentjaraningrat, 1995: 278). Semua itu menjadi sumbangan yang sangat berarti bagi para sejarawan dalam upaya memahami prinsip dasar mengenai struktur sosial, politik, dan ekonomi masyarakat Indonesia di masa lampau Pendekatan historis sering pula digunakan oleh para peneliti ilmu sosial yang lain, karena hal itu dapat menunjukkan kenyataan bahwa masyarakat sekarang adalah hasil dari suatu proses historis. Hal ini berarti akan dapat menjelaskan data melalui suatu proses perkembangan atau fase yang masing-masing memuat hubungan kausalitas antara satu fase dengan fase berikutnya. Dalam realitas dari kontinuitas historis, pengertian masa sekarang dibentuk dengan mengkonsepsikan suatu peristiwa yang pernah teijadi. Apabila penelitian sosial menghambil perspektif atau orientasi historis, maka bahan dokumenter memiliki arti metodologis yang sangat penting. Pada umumnya para peneliti ilmu sosial memahami manusia secara langsung melalui observasi di lapangan. Akan tetapi, manusia dan aktivitas yang dijadikan sebagai sasaran penelitian sejarah pada

68

umumnya sudah berlalu. Oleh sebab itu, maka ilmu sejarah mempelajarinya dengan menggunakan dokumen agar dapat memahami apa yang dilakukan oleh kelompok manusia pada periode tertentu di suatu tempat tertentu. Banyak pula di antara ahli antropologi dan sosiologi mengabaikan bahan sejarah. Akan tetapi harus diingat, sebenarnya sejumlah besar data dan fakta sosial tersimpan dalam "tubuh" pengetahuan sejarah dengan dokumen sebagai bahan utamanya. Penggunaan bahan dokumenter oleh sementara ahli ilmu sosial yang akan menggambarkan suatu proses secara diakronis dilakukan berdasarkan kaidah yang secara khusus berlaku dalam metodologi sejarah (Kartodirdjo, 1991: 45). Untuk dapat menggunakannya, dukumen itu harus dianalisis secara kritis sesuai dengan prinsip yang berlaku dalam metodologi sejarah, baik kritik ekstern maupun intern. Dengan demikian, para ahli ilmu sosial akan sulit melakukannya sendiri jika tidak bekerja sama dengan para sejarawan.

B. Aplikasi Nilai dalam Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Pada dasarnya setiap ilmu pengetahuan memiliki dasar filosofi yang disebut epistemologi atau teori ilmu pengetahuan. Dengan demikian epistemologi merupakan cabang filsafat yang membahas tentang ruang lingkup, cara memperoleh, dan batasbatas pengetahuan. Sudah pasti pengetahuan yang diharapkan diperoleh melalui studi yang mendalam, sehingga melahirkan pengetahuan ilmiah, yang setidaknya sebagai persyaratan utamanya (the necessary condition of knowledgs) adalah harus memenuhi kriteria JBT atau Justified True Belief. Dalam proses memperoleh ilmu pengetahuan itu, peran psikologi sangat penting. Hal ini berdasarkan alasan, sesuai dengan teori fondasi yang berpegang pada konsep dasar, menyatakan bahwa pembenaran suatu preposisi itu bersifat internal, sensoris, dan empiris. Pengamatan sensoris itu membentuk

69

keyakinan pada diri si pengamat. Dengan demikian, keyakinan tersebut tidak muncul melalui proses penaiaran, tetapi semata-mata merupakan

hasil observasi psikologis.

Hasil pengamatan yang berkembang seperti itu oleh para ahli disebut dengan keyakinan dasar (basic belief). Keyakinan dasar itulah yang berfungsi untuk membenarkan dirinya dan juga preposisi-preposisi lainnya (Syamsuri, 1989: 28). Perkembangan ilmu pengetahuan terutama Ilmu Sosial dan Ilmu Kemanusiaan, banyak tergantung pada perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Para ahli psikilogi modern

dewasa

ini

lebih

banyak

memperhatikan

interaksi

manusia

dengan

lingkungannya secara nyata. Dengan demikian perkembangan psikologi tidak hanya bersifat khayalan (m abstracto) semata, tetapi menyelidiki manusia dalam kehidupan sehari-hari (/« concreto) di pelbagai lapangan kehidupan. Oleh sebab itu, dewasa ini psikologi telah menjadi ilmu pengetahuan yang bersifat the study of interpersonal relations. Obyeknya adalah tingkah laku dan penghayatan manusia dalam hubungannya dengan situasi lingkungan sekitarnya. Berkenaan dengan itu, maka psikologi telah menjadi dasar pengembangan dan pemahaman ilmu-ilmu sosial lebih jauh (Soeitoe, 1982: 3-4). Hal ini mengingat begitu kompleknya relasi antar manusia dalam struktur masyarakat modern dewasa ini. Perkembangan yang terjadi itu sejalan dengan pernyataan Calhoum (1991: 42), bahwa ilmu sosial adalah sebagai suatu kelompok disiplin yang memusatkan perhatiannya pada tingkah laku kelompok umat manusia (the study of the group behavior of human being). Dengan demikian, obyek studi ilmu sosial adalah tingkah laku umat manusia dalam hubungannya dengan kelompok sosialnya. Dalam dunia pendidikan, para ahli telah mengidentifikasi tradisi ilmu sosial yang selama ini dikembangkan untuk kepentingan pendidikan. Suatu kenyataan, bahwa masyarakat yang

70

berkembang sangat cepat dipenuhi dengan masalah yang sangat kompleks. Oleh sebab itu, melalui studi sosial atau ilmu pengetahuan sosial (IPS), sangat dipandang perlu untuk mengangkat berbagai isu sosial kontemporer yang berkembang dalam masyarakat. Di antara isu sosial kontemporer yang ada dalam masyarakat, seperti kualitas hidup, kemerosotan moral, tingkat peradaban, masalah etika, masalah transportasi, masalah ekonomi, dan lain-lain dapat dijadikan tema pembelajaran di sekolah (Evans, 1996: 15). Jika dikaji secara saksama, ternyata telah banyak batasan yang dapat dirumuskan mengenai pengertian tentang studi sosial. Akan tetapi, pada dasarnya studi sosial lebih banyak menekankan pada studi tentang hubungan antara manusia dengan masyarakat, di samping mengenai hubungan manusia dengan lingkungan fisiknya. Jadi, studi sosial pada hakekatnya merupakan kajian mengenai manusia dengan segala aspeknya dalam sistem hidup bermasyarakat. Kajian ini dilakukan dalam bentuk pembelajaran di sekolah untuk mempersiapkan siswa menjadi warga negara yang baik, berdasarkan nilai-nilai kemasyarakatan yang hidup dan berlaku (Barr, 1987: 1985). Pada dasarnya, studi sosial merupakan mata pelajaran yang bersumber dari ilmu-ilmu sosial, yang digunakan sebagai materi pembelajaran di sekolah. Dengan kata lain, bahan pembelajaran pendidikan IPS itu diambil dari materi ilmu sosial untuk kepentingan pendidikan kewarganegaraan. Tentu saja bahan yang dipetik itu harus dipilih secara selektif, sehingga relevan dan mampu membantu peserta didik dalam rangka memahami banyak manusia dan berbagai hal yang berkaitan dengan interrelasinya, baik yang terjadi pada masa lalu, masa kini, maupun masa datang. Hertzberg (1981:1-2) menyatakan, bahwa "The social sciences thus simplified have always included history, some from political science, and at various time geography,

71

ecortomics, sociology, anthropology, and psychology. Hal itu dapat diamati pada diagram di bawah ini. Gambar 2.2 Pemahaman Studi Sosial

Sumber : Jarolimek, J., 1967, Social Studies in Elementary Education, Third Edition, New York, The Mac Millan Coy, hal. 4 Pada diagram tersebut, ternyata Jerolimek (1967: 4) memasukkan filsafat sebagai bagian dari ilmu-ilmu sosial. Hal ini berarti cakupan ilmu-ilmu sosial itu telah diperluas lagi dengan memasukkan filsafat sebagai bagiannya, berdasarkan pertimbangan ilmu filsafat (philosopy) merupakan ilmu yang memusatkan kajiannya pada pandangan hidup manusia sebagai anggota masyarakat, sehingga sangat berpengaruh terhadap kharakter dan perilaku masyarakat. Di Amerika Serikat, studi sosial telah berkembang begitu jauh. Bahkan sejak tahun 1992, National Council for the Social Studies (NCSS) sebagai sutu lembaga yang berwenang dalam pengembangan studi sosial (social studies) di negara itu telah merumuskan cakupan studi sosial lebih luas lagi. Dinyatakan, bahwa: Social studies is the integrated study of the social sciences and humanities to promote civic competence. Within the scool program, social studies provide coordinated, systematic study drawing upon such disciplines as anthropology,

72

archeology, economics, geography, history, law, philosophy, political science, psychology, religion, and sociology, as weil as appropriate content from the humanities, mathematics, and natural science. The primary purpose of social studies is to help young people develop the ability to make informed and reasoned decision for the public good as citizen of culturaly diverse, democratic society in an interdependent world (Evans & Saxe, 1996: 197). Berdasarkan rumusan tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa studi sosial bagi bangsa Amerika Serikat telah diarahkan kepada sasaran yang sangat luas. Melalui studi sosial, diharapkan dalam diri generasi baru dapat terbentuk pengalaman belajar dan pengalaman hidup untuk menjadi warga negara yang baik, sadar hukum, demokratis, kritis, ditengah-tengah perbedaan kebudayaan, dalam kehidupan dunia yang saling tergantung. Di samping itu menurut rumusan terbaru, berarati studi sosial diperluas lagi cakupannya hingga menyangkut agama, hukum, dan arkeologi. Diupayakan pula untuk mengkaitkannya dengan matematika dan ilmu-ilmu alam, untuk membantu peserta didik dalam rangka mengembangkan kecakapan berpikir kritis dan pengambilan keputusan yang rasional (Evans & Saxe, 1996: 197). Dalam kenyataannya, perkembangan pendidikan studi sosial atau ilmu pengetahuan sosial (IPS) di Indonesia, banyak mengambil ide, pemikiran dan pendapat yang berkembang di Amerika Serikat, terutama yang menyangkut tentang ide dasarnya. Akan tetapi, dalam hal yang berkaitan dengan tujuan, materi dan pelaksanaannya dikembangkan sendiri sesuai dengan tujuan pendidikan nasional dan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat Indonesia itu sendiri. Kemudian untuk realisasi pembelajaran pendidikan IPS di sekolah bersandar pada konsep, bahwa IPS adalah suatu program pendidikan sebagai suatu keseluruhan yang memusatkan kajiannya tentang peran dan relasi manusia dengan lingkungan alam fisik maupun lingkungan sosialnya.

73

Kemudian mengenai bahan pembelajarannya diambil dari berbagai ilmu sosial dan ilmu kemanusiaan (Barr, 1987: 194-196). Jika dibanding dengan bangsa lain, Amerika Serikat merupakan bangsa yang sangat banyak berpengalaman dan kaya perbendaharaan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan studi sosial. Pengalaman itu dikaji dan didokumentasikan

secara

cermat, sehingga mereka juga sangat kaya dalam hal koleksi kepustakaannya. Bangsa Amerika Serikat telah begitu gigih untuk mencapai kata sepakat dalam merumuskan rasionel studi sosial. Walaupun usaha mencapai kesepakatan yang bulat tidak berhasil, namun setidaknya telah berhasil dirumuskan beberapa pendapat yang dominan. Diantaranya adalah; 1) Studi sosial harus memusatkan perhatiannya pada masalah. 2) Studi sosial tidak berkepentingan dengan alam atau fisik, kecuali hal itu menyangkut kemanusiaan. 3) Studi sosial tidak sama dengan indoktrinasi atau menerima suatu keyakinan tanpa nalar. Pada dasarnya, semua bangsa memiliki nilai dan keyakinan yang harus disampaikan dan diperkuat melalui pranata-pranata sosial yang ada. Salah satu pranata sosial yang relevan dalam hal ini adalah sekolah (Waney, 1989: 59-60). Berdasarkan pendapat tersebut, maka studi sosial diarahkan agar siswa sebagai generasi penerus dapat menjadi warga negara yang efektif. Hal ini tidak hanya ditempuh dengan menghafalkan materi pelajaran, tetapi dengan mempraktekkan decision making dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, bahan pengajaran bukan merupakan tujuan akhir dari suatu proses pembelajaran, tetapi sebagai sarana untuk mencapai tujuan pembentukan warga negara yang ideal. Karakteristik dari kewarganegaraan yang ideal tidak hanya dibatasi oleh kepatuhan dan keteguhan pada norma-norma tertentu saja, tetapi yang terpenting adalah kecakapan untuk membuat keputusan yang rasional mengenai apa yang diyakini. Dengan demikian, maka pendidikan studi sosial tidak

74

hanya bertujuan untuk mencapai manusia dewasa semata, tetapi juga pengalaman belajar yang dicapai melalui proses pendidikan justru menempati posisi penting. Pengalaman yang dibentuk melalui proses pendidikan merupakan ajang latihan yang sangat tepat dalam rangka mempersiapkan pembentukan sikap kewarganegaraan bagi para siswa. Untuk menunjang hal itu, maka materi studi sosial yang dipandang tepat adalah materi pembelajaran yang menekankan pada permasalahan sosial kontemporer dan kemampuan peserta didik dalam rangka pengambilan keputusan yang kritis dan rasional (Barr, 1987: 127-128). Dapat dinyatakan di sini, bahwa studi sosial merupakan tumpuan harapan utama bagi terbentuknya sikap dan perilaku warga negara yang diharapkan sesuai dengan tuntutan masyarakat. Oleh sebab itu, program pembelajarannya perlu difokuskan kepada upaya penyediaan pengalaman belajar yang dapat membantu peserta didik, antara lain dalam hal: 1) Memahami, bahwa lingkungan fisik menentukan bila dan bagaimana manusia

hidup.

2)

Memahami,

bangaimana manusia berusaha menyesuaikan,

mempergunakan, dan mengontrol tenaga serta sumber daya yang ada di lingkungan mereka. 3) Memahami, bahwa perubahan adalah merupakan kondisi yang melekat dalam masyarakat. 4) Melibatkan diri dalam kekuatan yang membawa perubahan masyarakat dan perubahan kebudayaan. 5) Mengetahui implikasi dari perkembangan saling ketergantungan manusia satu sama lain dan bangsa di dunia, sehingga mampu menghargai nilai-nilai yang berbeda, mempunyai tanggung jawab terhadap manusia lain, dan kerja sama antar kelompok dalam pertemuan yang bersifat sosial. 6) Menghargai dan mengerti persamaan semua ras, agama, dan kebudayaan (Barr, 1987: 197-198). Tentu saja masih banyak lagi upaya yang perlu dilakukan untuk memperkaya, mengembangkan kemampuan, dan melatih peserta didik dalam berinteraksi dengan

75

lingkungannya, dan menempatkan diri dalam masyarakat yang demokratis. Pada gilirannya studi sosial dapat membuat wawasan dan perilaku bangsanya semakin baik Mengingat perkembangan dunia ilmu pengetahuan yang terjadi, maka studi sosial (social studies) diupayakan selalu memperhatikan juga perkembangan ilmu-ilmu alam (science). Suatu kenyataan, pengaruh pengembangan sain dan teknologi sangat kuat bagi kehidupan individu dan masyarakat. Hal ini sangat berpengaruh pula terhadap proses pengambilan kebijakan pemerintah. Oleh sebab itu, dalam proses pembelajaran ilmu-ilmu sosial perlu pula dikombinasikan dengan memperluas penekanannya pada pengetahuan tentang lingkungan dan sumber daya yang dapat menunjang pembaharuan dalam masyarakat. Hal ini pada gilirannya dapat memberi kontribusi pada pembaharuan pendidikan yang disebut dengan Science Technology Society (STS). Dengan demikian STS dipusatkan pada saling hubungan antara sain dan teknologi dalam kaitannya dengan kehidupan masyarakat. Pada hakekatnya hal itu tercakup dalam pendidikan sain dan studi sosial, sehingga penekanannya dalam proses pembelajaran mengkaitkan sain dan teknologi dalam kurikulum studi sosial. Hal ini berarti STS merupakan aplikasi bagi pelajaran studi sosial dengan sain atau upaya kolaborasi antara studi sosial dengan sain (Giese, 1991: 558). Lebih jauh Giese (1991: 559) menyatakan, bahwa pembelajaran studi sosial bertujuan untuk meningkatkan perkembangan siswa secara individu dan memberi kontribusi pada fungsi kecakapan mereka sebagai warga negara. Dalam dunia modern dewasa ini, pendidikan ilmu pengetahuan sosial perlu diarahkan pula pada segi keilmuan dengan memasukkan pilihaw topik teknologi dalam kurikulum. Kenyataan yang tidak dapat disangkal, karena sain (science) sebagai unsur dalam studi sosial merupakan suatu tuntutan yang harus dipahami masyarakat. Di Amerika Serikat, The National Council

76

Social Studies (NCSS) menyatakan, bahwa keterkaitan studi sosial dengan sain telah menjadi dasar premis sejak tahun 1950-an. Sain dan teknologi ternyata mempunyai hubungan yang signifikan dengan kekuatan sosial. Dengan demikian, dapat dijadikan dasar bagi siswa untuk memahami kompleksitas keilmuan dan teknologi masyarakat. Berkaitan dengan itu, dalam kurikulum 1980 para pengajar di Amerika Serikat sepakat untuk menggabungkan studi sosial dan sain dalam STS. Reorganisasi ini dilakukan dengan cara menghubungkan antara sain, teknologi dan studi sosial, seperti yang dipelopori oleh NCSS melalui lembaga Society Advisory Committee yang didirikan sejak tahun 1977 untuk menangani penggabungan ini. Kemudian pad awal 1980-an muncul dua kebijakan yang menyatakan. Pertama, STS menjadi tema dalam pendidikan dan pengajaran studi sosial. Kedua, sain dan teknologi dapat diaplikasikan secara perorangan maupun secara sosial. Pada dasarnya kebijakan tersebut bertujuan untuk mempelajari interaksi antara sain dan teknologi dengan masyarakat dalam konteks saling hubungan antara sain dengan isu-isu sosial yang berkembang. Pada gilirannya hal ini dapat memberi kesempatan lebih besar kearah pengembangan materi pembelajaran yang meliputi isu-isu sosial kontemporer yang sangat kompleks (Giese, 1991: 560). Seperti diketahui, telah dikenal secara luas tiga tradisi dalam lapangan pembelajaran studi sosial. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Barr (1987: 26-27), bahwa tiga tradisi itu terdiri dari:

Citizernships Transmission, Social Studies Taught as a Social

Science, dan Reflective Inguiry. Lebih jauh tiga tradisi tersebut dijelaskan sebagai berikut: 1. Citizenships Transmission, merupakan tradisi pengajajaran studi sosial sebagai transmisi kewarganegaraan. Dalam pelaksanaannya tradisi ini menggunakan pendekatan indoktrinasi. Anggapan dasarnya adalah, bahwa para pengajar studi

sosial

mempunyai

kewajiban untuk menanamkan

kemandirian (self-evident values). Tradisi ini sangat pc dukungan yang sangat luas, baik dari kalangan ahli-ahli iln pengajar studi sosial. Esensi dari tradisi ini adalah penanaman tentang apa yang dipertimbangkan sebagai pengetahuan yang paling diminati, nilai-nilai dan kecakapan-kecakapan yang diasumsikan sangat penting untuk mempertahankan kelangsungan hidup suatu kebudayaan (Barr, 1987: 26, Waney, 1989:21). 2. Social studies taught as a Social Science, yang menempatkan pengajaran studi sosial dalam kedudukannya sebagai ilmu sosial (social science). Berbeda dengan tradisi transmisi kewarganegaraan, dalam pelaksanaannya tradisi yang kedua ini memusatkan perhatiannya kepada struktur, metodologi, dan substansi ilmu-ilmu sosial. Para pendukungnya terbagi-bagi sesuai dengan disiplin ilmu sosial mana yang paling banyak mendapat perhatian (Waney, 1989: 21). 3. Reflective lnquiry, yang menekankan pada pentingnya mempersiapkan peserta didik sadar akan kewarganegaraannya. Komponen yang paling penting dari segi kewarganegaraan adalah kemampuan siswa mengidentifikasikan

masalah-

masalah dan isu-isu sosial dan mengambil keputusan yang berkaitan dengan kebijakan dan keyakinan (Barr, 1987: 26-27). Kewarganegaraan sebagai suatu proses pengambilan keputusan sosio-politik didasarkan atas dua anggapan, yaitu: a) kerangka sosio-politik demokrasi yang didasarkan atas keyakinan, bahwa semua rakyat terpanggil untuk mematuhi ketentuan-ketentuan yang akan mengatur mereka, b) menyangkut pengambilan keputusan yang unik, yang berlangsung pada situasi tak menentu dan setiap pilihan yang tertentu bukan di

78

antara baik dan tidak baik, tetapi di antara apa yang dipandang baik dan apa yang dilakukan untuk memperbaikinya (Waney, 1987; 21-22). Berpijak dari tradisi studi sosial yang ke-3 maka dapat dinyatakan di sini, bahwa pendidikan kewarganegaraan dapat diartikan sebagai suatu proses belajar yang mengarah kepada peningkatan kemampuan peserta didik tentang bagaimana membuat keputusan yang menyangkut masalah-masalah sosial yang utama yang tampak sedang mempengaruhi kehidupan mereka. Dengan demikian, fungsi pembelajaran ilmu sosial adalah untuk mengembangkan kemampuan peserta didik agar mampu mengidentifikasi masalah-masalah sosial dan mengevaluasi data-data agar keputusannya itu sesuai dengan kepentingan mereka (Waney, 1987: 22). Oleh karena itu, sikap kritis peserta didik sebagai warga negara perlu dikembangkan dalam pembelajaran IPS sesuai dengan tradisi Reflective Jnquiry itu lebih ditekankan. Lebih jauh dalam pelaksanaannya di lapangan, pendidikan ilmu-ilmu sosial adalah untuk menanamkan kepada peserta didik suatu sikap agar mereka menjadi warga negara yang baik. Dalam realisasinya, studi sosial mengajarkan kepada para siswa tentang bagaimana berpikir seperti yang berlaku dalam studi sosial berdasarkan pada warisan budaya. Konsepsi ini mengkondisikan generasi yang lebih tua untuk memberikan pembelajaran kepada generasi muda dengan menekankan

kepada

kemampuan pemberian jawaban kepada berbagai tipe masalah yang dihadapi (Fenton, 1967: 1-2). Dengan demikian, proses pendidikan yang perlu dilakukan adalah dengan jalan memperkenalkan konsep, generalisasi, dan teori, yang mendasari cara berpikir, dan cara bekerja berbagai disiplin ilmu sosial. Untuk mencapai tujuan ini, maka perlu dilakukan pemilihan secara teliti terhadap materi yang harus dipelajari. Pemilihan itu dilakukan berdasarkan ruang lingkup materi dan kedudukan materi yang akan diajarkan

79

dalam suatu disiplin ilmu sosial. Di samping itu, juga perlu dipertimbangkan mengenai bentuk pendidikan studi sosial yang dikehendaki dan pertimbangan pendidikan mengenai perkembangan peserta didik, perkembangan teori belajar dan proses belajar, arah kebijakan politik, kondisi sekolah, serta lingkungan sosial budaya yang melingkupi suatu lembaga pendidikan. Sudah pasti, disiplin ilmu-ilmu sosial tetap merupakan sumber utama materi kurikulum pendidikan studi sosial. Materi itu dapat dikembangkan mulai dari aspek metodologi disiplin ilmu. Dapat juga pemilihan materi tersebut diperoleh dari gabungan beberapa aspek. Mengenai cara pemilihan materi dalam kurikulum sangat ditentukan oleh bentuk pendidikan studi sosial yang digunakan. Dalam proses pembelajaran studi sosial, penanaman dan pemahaman nilai sangat penting artinya bagi peserta didik agar mereka nantinya mampu hidup bermasyarakat dan berbangsa secara ideal. Dalam kerangka itu, maka pendidikan ilmu sosial harus pula dikomunikasikan kepada masyarakat melalui jalur formal maupun media massa. Dengan cara ini diharapkan anggota masyarakat dapat meningkatkan kualitas interaksi dan partisipasinya, baik dengan sesama anggota masyarakat maupun dengan lembagalembaga sosial politik yang ada. Apabila hal itu berhasil dilaksanakan, maka tidak disangsikan lagi ilmu-ilmu sosial dapat memiliki peran yang sangat penting dalam upaya membangun masa depan yang diinginkan (Hasan, 1996: 5). Di Amerika Serikat, studi sosial memanfaatkan fenomena sosial yang berkaitan dengan warna kulit, jenis kelamin {gender), lapisan sosial, dan agama sebagai sarana untuk merekonstruksi masyarakat. Dalam rangka rekonstruksi sosial, perkembangan ilmu-ilmu sosial dan proses pembelajarannya selalu tergambar dalam perubahan kurikulum. Tercantumnya suatu mata pelajaran dalam suatu kurikulum, erat kaitannya dengan kebutuhan masyarakat. Perubahan kurikulum akan melukiskan perubahan

80

kebutuhan utama masyarakat, sehingga isi kurikulum selalu menekankan pentingnya sesuatu dalam periode tertentu. Dengan demikian, isi kurikulum dan organisasi kurikulum itu berbeda-beda antara periode yang satu dengan periode yang lain (Dimyati, 1989: 68-70). Pada dasarnya harapan untuk membentuk warga negara yang baik merupakan tipe ideal dari kegiatan pembelajaran ilmu-ilmu sosial. Warga negara yang baik pada umumnya dapat dinyatakan sebagai warga negara yang telah memenuhi syarat-syarat dalam melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya sebagaimana layaknya warganegara suatu negara. Misalnya, mematuhi hukum, membayar pajak, membela tanah air, dan sebagainya. Dengan demikian, penekanannya lebih kepada penerimaan (acceptance) norma-norma tertentu yang berlaku di lingkungan masyarakat. Di samping penerimaan norma-norma yang berlaku umum, ada juga norma yang berupa kepercayaan yang hanya bersifat lokal yang berupa kebiasaan moral yang ditaati oleh masyarakat setempat. Hal seperti itupun mesti diajarkan sepanjang norma-norma tersebut masih diharapkan oleh masyarakat yang bersangkutan (Barr, 1987: 29-30) Upaya pembentukan waga negara yang baik tentu saja tidak terlepas dari proses pembelajaran. Hal ini mengingat, pembelajaran adalah seperangkat peristiwa yang dapat mempengaruhi peserta didik sedemikian rupa, sehingga proses belajar mengajar dapat terjadi secara baik. Peristiwa pembelajaran itu merupakan suatu proses pengenalan fakta dan informasi ilmu-ilmu sosial melalui suatu perencanaan yang baik, agar dapat mencapai tujuan belajar yang diharapkan. Dalam pelaksanaannya, suatu peristiwa pembelajaran pada awalnya banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor dominan yang bersifat eksternal. Namun demikian, faktor-faktor eksternal itu secara berangsur-angsur

81

akan menjadi faktor internal, jika siswa yang bersangkutan telah mampu mendidik dirinya sendiri atau telah sampai pada tingkatan self instruction (Gagne, 1988: 32). Untuk dapat mencapai hasil pembelajaran ilmu sosial yang diharapkan, guru dapat melakukan proses pembelajaran yang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Diharapkan, proses pembelajaran yang dilaksanakan di kelas memiliki efek terhadap perilaku siswa, baik efek yang bersifat instruction maupun nurturant. Efek itu dapat terjadi, selain yang berkaitan dengan penguasaan materi pembelajaran juga pada segi kepekaan siswa secara sosial. Kepekaan sosial siswa ditinjau dari segi teoretis merujuk pada konsepsi Scott (1991, 357-360), yang berkaitan dengan empathy, prosocial atau morality. Empati, dapat dilihat secara afektif, kognitif, dan komunikatif. Unsur afektif berhubungan dengan kapasitas seseorang dalam merasakan apa yang dirasakan atau dialami oleh orang lain. Sementara itu, unsur kognitif, merujuk pada kapasitas seseorang dalam membedakan keadaan afektif orang lain dan memahami cara pandang orang lain itu, untuk memahami situasi dari cara pandang lainnya. Kemudian unsur komunikatif dari empati merujuk pada kemampuan untuk mengkomunikasikan perasaan diri terhadap orang lain. Masalah-masalah sosial kontemporer yang terjadi dalam masyarakat sudah tentu memerlukan sense of social atau empathy dari seluruh komponen masyarakat termasuk di dalamnya para siswa. Mereka yang mempelajari pendidikan ilmu sosial harus mampu memiliki the ability to put one shelfin someone else's shoes or formally to reciprocate positions (Dickinson, 1984: 40). Hal ini merupakan bentuk empati terhadap orang lain yang tengah memiliki masalah-masalah sosial. Jika kemampuan empati, baik yang bersifat afektif, kognitif, maupun komunikatif dapat dimiliki oleh peserta didik, maka diharapkan mereka akan dapat memposisikan diri sebagai warganegara yang memiliki

82

kepekaan moral (moral sensitivity) yang memadai. Pada gilirannya, mereka akan mampu pula melakukan moral judgement, moral decision making, maupun moral action yang diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari (Scott, 1991: 358-359). Sudah selayaknya guru-guru ilmu sosial (IPS) memahami benar, bahwa materi yang diajarkan kepada para siswa adalah fakta-fakta sosial. Fakta itu menjelaskan akan dirinya sendiri dan merupakan fondasi untuk pengajaran kognitif dalam pengajaran ilmu-ilmu sosial. Dengan demikian, harus ada upaya untuk menafsirkan makna dari fakta-fakta itu agar benar-benar dapat dipahami sebagai dasar ilmu-ilmu sosial. Dalam tataran keilmuan, fakta merupakan tingkat yang paling rendah dari suatu abstraksi. Suatu fakta berada dalam keadaan yang sesungguhnya (factual) dan harus diterima sebagaimana adanya (Sunaryo, 1989: 116). Pada dasarnya pengetahuan dan pemahaman menjadi sesuatu yang sangat dominan dalam pembelajaran ilmu-ilmu sosial. Hal ini disebabkan, kedudukan dan pemahaman fakta sangat penting dan mendasar. Namun demikian, harus pula diingat bahwa pendidikan ilmu-ilmu sosial tidak boleh hanya membatasi diri pada pengetahuan dan pemahaman fakta semata. Lebih jauh pengetahuan dan pemahaman itu harus dapat dikembangkan melalui cara belajar bermakna, sehingga akan menjadi pengetahuan yang efektif (Hasan, 1996: 167). Melalui kegiatan belajar bermakna, proses yang ditempuh melalui tiga jenjang, yaitu kebermaknaan dalam logika, jenjang potensi kebermaknaan, dan belajar bermakna. Dalam ketiga jenjang tersebut ada kondisi yang harus dipenuhi, yaitu adanya keterhubungan antara apa yang dipelajari dengan apa yang sudah dimiliki seseorang. Belajar bermakna baru dapat terjadi apabila dua jenjang terdahulu sudah tercapai. Dalam setiap jenjang terdapat dua kondisi yang harus berkaitan, yaitu apa yang sudah terjadi pada struktur kognitif yang dimiliki seseorang dengan sifat materi yang

83

baru dipelajari. Keterhubungan antara keduanya sangat menentukan keberhasilan belajar bermakna tersebut (Hasan, 1996: 171, Wineburg, 1997: 38). Dalam kerangka pendidikan moral, pembelajaran ilmu-ilmu sosial dapat juga mengembangkan aspek-aspek moralitas. Seperti telah dinyatakan, bahwa segi moralitas terdiri dari empat tataran penting, yaitu moral sensitivity, moral judgement, moral decision making, and moral action (Scott, 1991:358). Pembelajaran ilmu-ilmu sosial yang dilaksanakan dapat memunculkan permasalahan yang berkaitan dengan moral bangsa atau moral masyarakat setempat sebagai salah satu isu sentral. Masalah moral bangsa atau moral masyarakat setempat berkaitan erat dengan identitas sosial, solidaritas sosial, semangat kebangsaan, semangat patriotisme, demokrasi, dan tipe masyarakat ideal yang seharusnya terbentuk sebagai hasil dari proses pembelajaran ilmu-ilmu sosial (IPS). Dalam kaitan ini, moral individu maupun kelompok masyarakat setempat berhubungan langsung dengan realitas sosial pada zaman (waktu) dan tempat (ruang) di mana siswa itu berada. Kepekaan moral (moral sensitivity) seseorang dapat pula berdimensi universal yang menembus batas ruang dan waktu. Hal ini berarti, bahwa kepekaan moral dapat melampaui batas wilayah lokal atau nasional dan dalam kurun waktu yang berbeda. Sebagai contoh, kepekaan seseorang yang berkaitan dengan arti pentingnya solidaritas antar sesama manusia. Kemudian moral action lebih mengarah pada perilaku yang nyata secara kolektif maupun individual dalam kehidupan seharihari. Hal itu merupakan efek dari isntructional dan nurturant dari pembelajaran ilmuilmu sosial yang sangat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat (Shemilt, 1984: 43). Sudah pasti para guru ilmu pengetahuan sosial dituntut pula untuk memiliki kepekaan sosial dan wawasan yang luas semacam itu.

84

Untuk dapat mencapai hasil pembelajaran ilmu-ilmu sosial yang ideal, tentu saja harus dicermati tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Secara umum dikenal tujuan pembelajaran ilmu-ilmu sosial, yaitu: l) Social studies prepare children to be good citizens, 2) Social studies teach children how to think, 3) Social studies pass on the cultural heritage (Fenton, 1967: 1). Dengan demikian, studi sosial bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang baik, mengajar peserta didik agar mampu bagaimana mereka berpikir dan agar peserta didik mampu melanjutkan warisan kebudayaan bangsanya. Dengan demikian, titik berat studi sosial sebenarnya adalah perkembangan individu agar dapat memahami lingkungan sosialnya dan kegiatan serta interaksi di antara mereka. Para peserta didik diharapkan dapat menjadi anggota masyarakat yang produktif dan dapat memberikan andil bagi masyarakat, mempunyai rasa tanggung jawab, tolong-menolong antar sesamanya, dan dapat mengembangkan nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat (Barr, 1987: 197). Dalam pembelajaran ilmu pengetahuan sosial, ketrampilan berpikir menempati kedudukan yang sangat penting. Dengan penguasaan ketrampilan berpikir semacam itu peserta didik akan mampu mengolah apa yang dipelajarinya, baik melalui pembahasan, bacaan, maupun pengamatan, sehingga siswa akan menemukan sesuatu yang bermakna bagi dirinya. Melalui kemampuan analisis yang dimilikinya, siswa dapat memahami kesamaan dan perbedaan antara satu pokok pikiran dengan pokok pikiran lainnya. Sebagai hasilnya, siswa yang bersangkutan mampu menentukan mana pendapat yang memiliki kelebihan dan pendapat mana yang memiliki kekurangan. Hal ini merupakan kesempatan untuk mengembangkan pikiran baru tentang hal-hal yang dipelajarinya. Kebermaknaan tersebut akan menyebabkan informasi baru dapat disimpan dalam jangka

85

waktu yang lebih lama dibandingkan dengan apabila materi pelajaran ilmu-ilmu sosial itu hanya sekedar bersifat hafalan (Hasan, 1996: 113). Sangat disayangkan, jika perkembangan dalam dunia pendidikan ilmu sosial di Indonesia dewasa ini pada umumnya cenderung kurang peduli tehadap makna dari ilmu yang dipelajari. Hal ini disebabkan, selama ini pembelajaran ilmu-ilmu sosial kurang memperhatikan nilai yang mampu membangkitkan kesadaran atau pentingnya makna ilmu-ilmu sosial yang dipelajari di sekolah bagi kehidupan masyarakat. Pembelajaran ilmu sosial juga kurang mampu mengembangkan potensi siswa dalam rangka menggunakan dan menerapkan apa yang sudah dipelajari di sekolah dalam praktek kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu untuk dapat meningkatkan kebermaknaan, dalam pengajaran ilmu-ilmu sosial harus selalu diupayakan untuk mengembangkan rasa senang, kemauan untuk memiliki, kemampuan menerapkan sikap, nilai, dan moral siswa dalam hidup bemasyarakat. Untuk pembelajaran dalam kalangan yang lebih luas, ilmuilmu sosial sangat perlu dikomunikasikan kepada masyarakat agar mereka memahami, bahwa disiplin ilmu-ilmu sosial memberi banyak informasi dan kemampuan tentang berbagai aspek dalam kehidupan manusia yang berguna dalam kehidupan nyata. Aspekaspek itu menyangkut berbagai dimensi manusia yang meliputi, pemikiran, tingkah laku, sikap atau moral, dan hasil karya yang dapat menjadi panutan masyarakat. Dengan demikian, mempelajari ilmu-ilmu sosial tanpa memahami beberapa aspek penting dalam kehidupan masyarakat, merupakan usaha yang tidak lengkap dan kurang memiliki kebermaknaan. Dalam kenyataannya, masyarakat tidak hanya sekedar membutuhkan informasi tentang aspek-aspek itu, tetapi yang lebih penting adalah keinginan untuk merasakan tentang penerapan ilmu-ilmu sosial yang bermanfaat bagi kehidupan (Hasan,

86

1996: 248-249). Jika demikian, maka pengembangan sikap, nilai, dan moral, perlu mendapat perhatian yang serius dalam pelaksanaan pendidikan ilmu-ilmu sosial itu. Dalam upaya memahami nilai-nilai yang terkandung dalam materi pembelajaran ilmu-ilmu sosial bagi kehidupan masyarakat, harus dipenuhi lima prinsip. Kelima prinsip itu adalah terdiri dari: a) pemahaman terhadap aspek nilai dan moral, b) penghargaan terhadap nilai dan moral, c) identifikasi diri terhadap nilai dan moral, d) penerapan nilai dan moral, dan e) pembentukan wawasan dan kebiasaan nilai dan moral. Keterkaitan kelima prinsip itu sangat kuat satu sama lain. Ketiga prinsip yang pertama merupakan dasar bagi kedua prinsip berikutnya (Hasan, 1996: 250). Oleh sebab itu, tanpa pemahaman, penghargaan, dan identifikasi diri terhadap nilai moral, maka akan sangat sulit untuk dapat mencapai prinsip penerapan nilai, apalagi sampai pada prinsip pembentukan wawasan dan kebiasaan nilai dan moral (Goods & Brophy, 1997: 243). Pada dasarnya keterkaitan antara prinsip-prinsip yang ada terjalin sangat erat, sehingga harus dipahami secara bertahap. Kiranya perlu pula ditekankan di sini, bahwa seseorang yang tidak mengenal suatu nilai sudah dapat dipastikan orang yang bersangkutan tidak akan mampu mengembangkan sikap dan wawasan nilai tersebut. C. Penerapan Konsep Perubahan Sosial dalam Konteks Kesejarahan Menurut ungkapan Cohen (1975: 1-2), suatu teori dapat diibaratkan seperti lembaran chek yang masih kosong. Dalam arti, bahwa teori memiliki nilai yang sangat potensial bagi suatu ilmu pengetahuan, tetapi semua itu sangat tergantung dari pihak yang menggunakannya. Dalam kenyataannya, teori selalu dapat mengembangkan nilainilai tertentu secara intensif, karena didukung oleh fakta-fakta. Oleh karena itu semua

87

teori perlu didukung oleh fakta-fakta, walaupun tidak semua pernyataan yang disusun berdasarkan fakta-fakta dapat mendukung suatu teori. Secara sistematis teori ilmu pengetahuan berupa ide-ide yang berlaku umum yang disusun untuk beberapa kegunaan, yang dikembangkan dalam empat tipe. Pertama, analytic theory (teori analitik), seperti logika matematika yang berisi seperangkat penyataan aksiomatik yang dinyatakan dengan definisi yang benar. Kedua, normative theories (teori-teori normatif) yang dikembangkan melalui saperangkat kedudukan dalam bentuk cita-cita ideal, seperti etika dan estetika. Ketiga, scientific theory (teori ilmu pengetahuan), yang idealnya bersifat universal, berdasarkan statemen empirik dan menyangkut hubungan kausalitas antara dua atau lebih tipe peristiwa. Keempat, metaphysical theory (teori metafisika), yang dibentuk tidak berdasarkan atas seperangkat pengujian (testable), tetapi lebih berdasarkan pada interpretasi secara rasional atas obyeknya (Cohen, 1975: 2-4). Secara lebih khusus, dalam lingkup scientific theory dikenal empat jenis teori yang tersusun secara bertingkat dan membentuk suatu lapisan dari tataran yang tertinggi sampai yang terendah. Tinggi atau rendahnya suatu teori ilmu pengetahuan sangat tergantung dari proses terbentuknya dan keluasan penerapannya. Menurut Goetz & Le Comte (1984: 36) teori ilmu pengetahuan dapat digolongkan dalam empat kelompok. Pertama, teori besar (grand theory), merupakan teori yang secara ketat mengkaitkan preposisi-preposisi dan konsep-konsep yang bersifat abstrak, sehingga dapat digunakan untuk menguraikan, menjelaskan, dan memprediksikan sejumlah fenomena yang besar secara komprehensip. Sebagai contoh dari teori besar yang sangat terkenal adalah teori tantangan dan jawaban (challenge and response) dari Arnold Toynbee. Dia menyatakan,

88

bahwa ada empat masa perkembangan peradaban umat manusia, yaitu masa kelahiran (the genesis of civilization) > masa pertumbuhan peradaban (the growths of civilization), masa kemunduran peradaban (the breackdowns of civilization), dan masa kehancuran peradaban (the disintegrations of civilization) (Costello, 1993: 79). Teori tantangan dan jawaban yang dikemukakan itu dalam proses pengembangannya juga berkaitan dengan teori tentang perubahan sosial yang bersifat siklus (Vine, 1967: 303). Kedua, model teoretis (theorietical models), merupakan teori yang menyangkut keterhubungan yang longgar antara sejumlah asumsi, konsep dan preposisi yang membentuk pandangan ilmuwan tentang dunia. Sebagai contoh, adalah teori konflik yang dikembangkan oleh Kari Marx. Dalam teorinya dia menyatakan bahwa dinamika sosial dalam institusi-institusi dalam jangka panjang benar-benar harus sesuai dengan dinamika ekonomi. Menurut perspektif ini, pusat perhatian Marx adalah pada tingkat struktur sosial, bukan pada tingkat kenyataan sosial budaya. Dalam perkembangan selanjutnya, dinamika sosial itu diwarnai oleh upaya penyesuaian diri antara kondisi sosial dalam masyarakat dengan lingkungan fisiknya. Dalam kerangka itu, hubungan sosial yang muncul dalam upaya penyesuaian diri tersebut adalah terjadinya konflik antar kelas sosial yang berkepanjangan. Tujuan yang akan dicapai adalah tunduknya aspek-aspek sosial budaya kepada azas ekonomi. (Beilharz, 2002: 274). Ketiga, teori formal dan teori tingkat menengah (formal theory and middle-range theory), yang lebih menekankan pada keterhubungan preposisi yang dikembangkan untuk menjelaskan beberapa kelompok tingkah laku manusia yang bersifat abstrak. Pada umumnya teori ini dikembangkan untuk banyak studi, yang ruang lingkupnya lebih sempit dibanding dua teori terdahulu. Ditinjau dari proses pembentukannya, teori ini dikembangkan dari generalisasi yang sudah bersifat umum, tetapi keterikatannya dengan

data empirik sangat kuat. Dengan demikian maka teori pada tingkat generalisasi yang dijadikan dasar masih sangat terbatas (Hasan, 12996: pada tingkat teori ini adalah teori tentang perubahan sosial (social a dikembangkan oleh Bottomore (1972: 297) yang menyatakan, bahwa perubahan sosial meliputi perubahan struktur sosial, termasuk perubahan ukuran masyarakat, terutama dalam lembaga-lembaga sosial, atau yang menyangkut hubungan antar kelembagaan yang ada dalam masyarakat. Keempat, teori substantif (substantive theory), adalah merupakan teori yang dikembangkan melalui keterhubungan preposisi atau konsep yang hanya berlaku untuk kelompok populasi, lingkungan, dan waktu yang terbatas. Dengan demikian, teori ini juga hanya berlaku pada lingkup yang terbatas, baik kelompok populasi, lingkungan, maupun waktu tertentu. Dalam kaitan ini, Hasan (1996: 127), menyatakan bahwa teoriteori antropologi yang berkaitan dengan masyarakat desa, organisasi kekerabatan dapat dikelompokkan kedalam jenis teori ini. Pada hakekatnya, teori ilmu-ilmu sosial dikembangkan dengan maksud untuk menerangkan dan memahami pengalaman yang menjadi basis pengalaman-pengalaman lain dan ide-ide mengenai realitas tentang dunia. Memang ada perbedaan-perbedaan yang harus diperhatikan antara teori ilmu sosial dengan pemikiran teoretis sehari-hari. Dalam teori ilmu sosial berusaha bersifat lebih sistematis, baik dalam menjelaskan pengalaman maupun ide-ide agar penjelasan yang dilakukan dapat mencapai sasaran obyektivitas. Cara kerja teori dalam hubungannya dengan penjelasan tentang masyarakat adalah untuk mengidentifikasi struktur pokok dari obyeknya dengan menggunakan analogi dan metafora, bahwa masyarakat serupa dengan sesuatu yang lain. Dengan cara ini akan dapat ditemukan serangkaian perbandingan dalam keseluruhan teori sosial.

90

Kadang-kadang masyarakat disamakan dengan mahluk hidup secara biologis. Menurut pendapat Craib (1994: 36), dalam hal-hal tertentu pengandaian merupakan tahap yang paling imajinatif, tetapi hal itu diikuti oleh tingkat ketepatan yang kian tinggi. Ternyata bukan hanya keserupaan yang diperoleh, tetapi juga penting untuk mendapatkan perbedaan-perbedaan

yang akan

mendorong perkembangan

lebih jauh dengan

munculnya konsep-konsep yang berkaitan dengan teori itu. Tentu saja teori bukan hanya berkaitan dengan persoalan untuk menentukan struktur-struktur pokok, karena teori juga harus mampu memberikan penjelasan. Dengan demikian, teori harus memiliki beberapa konsepsi tertentu mengenai hubungan sebab akibat. Berdasarkan pemikiran itu, berarti suatu teori tidak cukup hanya menjelaskan, bahwa suatu peristiwa telah menyebabkan suatu peristiwa yang lain. Akan tetapi lebih dari itu, suatu teori harus mampu menetapkan bagaimana proses sebab akibat dari suatu peristiwa itu berlangsung. Dalam persoalan yang berkaitan dengan masyarakat, suatu gagasan struktural mengenai "sebab" secara tidak langsung telah tercakup di dalamnya. "Sebab" dilihat bukan sebagai suatu kejadian tunggal atau sesuatu yang berdiri sendiri, tetapi sebagai suatu hal yang menetap dalam suatu susunan khusus dari berbagai hubungan. Hubungan-hubungan ini dapat dilihat sebagai susunan kerangka dari suatu mekanisme kausal. Teori harus pula dapat menentukan kondisi, seperti apa yang memungkinkan mekanisme itu bekeija (Boon, 1973: 8, Craib, 1994: 37). Dalam studi sejarah, kerangka teoretis dipandang sebagai seperangkat kaidah yang mendasari suatu gejala, yang dalam proses penyusunannya sudah melalui verifikasi yang cermat (Kuntowijoyo, 1995: 114). Teori mempunyai posisi yang sangat penting, karena dapat memandu peneliti dalam upaya menjelaskan masalah-masalah yang diteliti. Oleh sebab itu, kerangka teoretis diperlukan dalam hal penyusunan bahan-bahan yang

91

telah diperoleh, baik melalui analisis sumber maupun hasil yang diperoleh melalui usaha mengevaluasi hasil yang ditemukan dalam sumber-sumber itu. Fungsi teori dalam disiplin sejarah seperti juga terdapat dalam disiplin ilmu-ilmu yang lain, yaitu untuk mengidentifikasi masalah yang hendak diteliti, di samping untuk menyusun kategorikategori serta mengorganisasi hipotesis-hipotesis. Melalui tahap ini berbagai macam interpretasi data dapat diuji, dan memperlihatkan ukuran-ukuran atau kriteria yang dijadikan dasar untuk membuktikan sesuatu (Alfian, 1987: 4-5). Dengan demikian, teori memang tidak dapat memberikan jawaban kepada peneliti, akan tetapi teori dapat membekali peneliti dengan pertanyaan-pertanyaan yang dapat diajukan terhadap fenomena yang hendak diteliti. Kecenderungan umum dalam perkembangan dunia ilmu pengetahuan dewasa ini adalah untuk menyelasaikan masalah-masalah yang kompleks, yang dilakukan dengan upaya saling mendekati dari berbagai disiplin ilmu. Proses semacam itu juga terjadi dalam lingkungan ilmu-ilmu sosial. Dalam kenyataannya dalam lingkungan ilmu-ilmu sosial, beberapa "wilayah" permasalahan memang menuntut adanya keija sama interdisipliner atau adanya konvergensi

antara beberapa cabang ilmu sosial. Tidak

mengherankan apabila banyak permasalahan yang masuk ke dalam daerah permasalahan bersama,

misalnya

perubahan

sosial,

westernisasi,

modernisasi,

akulturasi,

sektarianisme, revivalisme, gerakan sosial dan sebagainya. Penetrasi teoretis secara interdisiplin dalam menguraikan faktor-faktor yang saling mempengaruhi, perlu ditinjau dari konteks perkembangan historis, memperhatikan tendensi-tendensi jangka panjang, pola kelakuan, perubahan nilai dan norma, menentukan kecenderungan umum dari perkembangan peristiwa, dan faktor-faktor kondisional yang melingkupinya. Perlu pula ditekankan di sini, bahwa setiap konstelasi dari peristiwa itu mempunyai kekhususannya

92

yang unik dan yang membedakan dengan peristiwa-peristiwa yang lain. Sementara itu, dalam suatu peristiwa ada pola-pola yang setiap kali muncul, sehingga persamaan antara peristiwa-peristiwa itu semakin tampak (Kartodirdjo, 1970: 8). Dengan demikian, dapat dilakukan perbandingan di antara peristiwa-peristiwa itu, sehingga analisisnya akan semakin tajam dan perspektifnya akan semakin bertambah luas. Dengan paparan tersebut dapat dinyatakan, bahwa teori-teori ilmu sosial sangat penting artinya bagi sejarawan dalam rangka mambantu memberi penjelasan-penjelasan tentang fenomena masyarakat masa lampau yang akan direkonstruksi. Dalam upaya memahami gejala sejarah itu, ternyata yang diperlukan tidak hanya data-data atau faktafakta saja. Akan tetapi, diperlukan pula kemampuan interpretasi dan imajinasi sejarawan untuk menggambarkan kondisi masyarakat yang telah lampau tersebut. Hal ini harus dilakukan mengingat bersamaan dengan berlalunya waktu, maka peristiwa yang terjadi semakin menarik diri dari panggung kehidupan masa kini. Semakin lama peristiwa tersebut, semakin menjauhkan diri dari kehidupan manusia yang selalu berganti dari generasi ke generasi berikutnya. Seiring dengan berkalunya waktu, pada awalnya teijadi kekaburan pada peristiwa itu kemudian terjadi kegelapan, sehingga tidak dapat lagi dijangkau sama sekati oleh ingatan masyarakat. Ilmu sejarah berusaha mengembalikan peristiwa yang telah terjadi di masa lampau itu dari kegelapan ke bawah sorot cahaya zaman masa sekarang yang sedapat mungkin sesuai dengan bentuk aslinya (Zoetmulder, 1995:288). Dalam kerangka ini, sejarawan di samping memerlukan jejak-jejak masa lampau yang dihimpun melalui sumber-sumber sejarah yang relevan, juga diperlukan pula kemapuan interpretasi dan imajinasi berdasarkan sumber-sumber tersebut. Diperlukan pula teori-teori dan metodologi untuk membantu menjelaskannya. Oleh sebab itu,

93

sejarawan harus jeli meminjam dan menggunakan teori-teori ilmu sosial yang lain yang diperlukan dalam rangka memberi penjelasan sejarah yang direkonstruksi. Misalnya, untuk menjelaskan sekian banyak kontak kebudayaan di masa lampau, dapat dilakukan dengan menggunakan teori integrasi dan teori fungsional, seperti yang dikembangkan dalam disiplin antropologi. Dari sekian banyak kontak bebudayaan di Indonesia, ada beberapa yang berkaitan dengan proses adaptasi dan asimilasi dengan unsur kebudayaan asing. Melalui teori integrasi akan dapat dijelaskan persoalan, mengapa unsur-unsur kebudayaan asing dengan mudah berasimilasi dengan kebudayaan lokal, sementara ada unsur-unsur lain yang sulit berasimilasi. Mengapa beberapa unsur kebudayaan asli dapat dengan mudah diganti dengan unsur-unsur kebudayaan asing, sedangkan unsur-unsur yang lain tidak semudah itu. Berdasarkan teori integrasi dapat dijelaskan, bahwa ada sejumlah unsur kebudayaan asing yang mudah dapat diterima dalam keseluruhannya hanya apabila dapat disesuaikan dengan bentuk perilaku lama dan cocok dengan sikapsikap emosional yang ada dalam masyarakat pada saat itu. Sementara itu berdasarkan teori fungsional dapat dijelaskan, bahwa unsur-unsur kebudayaan yang tidak mudah berubah adalah unsur-unsur yang mempunyai fungsi sangat penting bagi kehidupan masyarakat yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 1995: 266-267). Lebih jauh Koentjaraningrat (1995: 271) menyatakan, bahwa dengan bantuan teori-teori ilmu sosial tersebut, maka beberapa kesulitan dalam penelitian sejarah dapat diatasi. Setidaknya beberapa masalah utama yang dapat diatasi berkaitan dengan hal-hal penting, seperti: 1) Pemahaman mengenai berbagai proses asimilasi kebudayaan asing yang pernah terjadi. 2) Petunjuk pencarian data-data yang diperlukan untuk mengisi latar belakang peristiwa sejarah yang dapat diungkap dari berbagai sumber sajarah. 3) Proses merekonstruksi sejarah pada tingkat lokal di Indonesia. 4) Mencari informasi tentang

94

asal-usul makna dan fungsi berbagai obyek sejarah serta unsur kebudayaan yang berasal dari masa lampau. Pada dasarnya penggunaan teori dilakukan dalam rangka membentuk gambaran tipe ideal (ideal type) masyarakat masa lampau yang diteliti. Meskipun demikian, pendekatan tipe ideal tidak dimaksudkan untuk membentuk suatu gambaran nyata dari realitas, karena kecenderungan yang utama adalah untuk menyederhanakan kenyataan agar dengan mudah dapat diterima oleh daya tangkap pikiran kita (Wertheim, 1995: 315). Oleh sebab itu, untuk dapat menjelaskan peristiwa perubahan sosial di Banyumas sangat diperlukan bantuan teori-teori sosial, terutama yang berkaitan dengan teori perubahan sosial. Sebenarnya, dinamika yang terjadi dalam sejarah secara keseluruhan juga merupakan proses perubahan sosial dalam berbagai dimensi dan aspeknya (Myers, 2000: 21). Upaya yang terbaik menghadirkan kembali peristiwa masa lampau adalah dengan melakukan penjelasan secara komprehensip. Untuk dapat mencapai harapan itu, cara yang perlu ditempuh adalah dengan pendekatan multidimensional (interdisiplin). Hal ini berarti dalam proses penjelasannya perlu dibantu dengan konsep, generalisasi, maupun teori ilmu-ilmu sosial yang lain (Navins, 1962: 44-45). Dari sini dapat dinyatakan, bahwa saling hubungan antar ilmu-ilmu sosial juga dapat digunakan untuk saling melengkapi. Dengan begitu tidak ada satupun peristiwa di masa lampau yang tidak dapat dilukiskan secara lengkap dengan segala aspeknya yang senantiasa berubah. Berbagai pendapat tentang hubungan

antara sejarah

dengan

ilmu-ilmu sosial

menimbulkan perkembangan-perkembangan baru yang berkaitan dengan masalah logika, konsepsi, dan filsafat (Abdullah, 1985: 189). Dalam kenyataannya, pertumbuhan ilmu-ilmu sosial yang semakin mantap dewasa ini telah membuka horison baru bagi disiplin sejarah, sehingga terbuka

95

kemungkinan untuk mengadaptasikan kedudukannya terutama yang berkaitan dengan metodologi dengan mengarahkan diri kepada ilmu-ilmu sosial. Perkembanganperkembangan tersebut telah menimbulkan situasi metodologis dan pola-pola baru dalam bidang ilmu sejarah. Hal semacam ini semakin menunjukkan perbedaan antara sejarah konvensional dengan sejarah model baru. Pada dasarnya sejarah konvensional bersifat deskriptif-naratif semata-mata, sedangkan sejarah baru lebih dikenal dengan sejarah kritis yang bersifat deskriptif-naratif-analitis. Sejarah model baru tersebut lebih mampu mengungkap segi kausalitas faktor-faktor kondisional dan berbagai dimensi yang melingkupi peristiwa yang direkonstruksi. Hal semacam itu disebabkan adanya pengaruh kuat dari perkembangan ilmu-ilmu sosial. Dengan demikian, maka sejarah sebagai ilmu perlu menyusun metodologinya sendiri yang mencakup pendekatan ilmuilmu sosial. Metodologi semacam itu mensyaratkan penggunaan alat-alat analitis, yang berupa penggunaan konsep, generalisasi, teori, dan model analisis dari ilmu-ilmu sosial. Dari sini jelaslah, bahwa ilmu sejarah telah mengalami perkembangan begitu pesat dalam rangka meningkatkan relevansinya dalam menggarap obyek penelitiannya. Bagi disiplin sejarah, metodologi baru dengan menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial ternyata dapat lebih meningkatkan kemampuannya untuk menjelaskan gejala sejarah yang direkonstruksi. Sebagai dampak lebih jauh dari munculnya metodologi baru tersebut adalah, pertumbuhan yang tampak begitu semarak yang ditandai dengan munculnya berbagai jenis sejarah yang tidak lagi mengikuti model sejarah konvensional (Kuntowijoyo, 1995: 107). Perhatian sejarah baru tidak semata-mata ditujukan kepada kejadian-kejadian yang unik, tetapi lebih banyak kepada pola dan kecenderungan dalam perubahan struktur sosial. Suatu sejarah struktural dengan analisis berdasarkan konsep dan teori ilmu-ilmu

96

sosial, akan mampu mengungkap gejala-gejala umum dan ada kemungkinan melangkah kepada generalisasi tertentu. Kompleksitas kecenderungan faktor-faktor struktural tersebut dapat merupakan kerangka referensi untuk menempatkan kejadian-kejadian sebagai manifestasi dari proses kekuatan sosial, sehingga yang ditempatkan dalam konteks itu akan lebih mudah dipahami, mengapa hal itu terjadi. Alat-alat konseptual yang dapat mempertajam analisis itu antara lain, faktor kepemimpinan, ideologi, hubungan patron-client, ikatan primordial, loyalitas, dan lain-lain. Dipandang dari perspektif kultural maupun secara kontekstual, suatu proses sosial merupakan aktualisasi hubungan-hubungan laten yang tercakup dalam suatu sistem. Sementara itu, struktur dapat dipandang sebagai kristalisasi proses yang diciptakan oleh interaksi sosial dalam jangka waktu tertentu. Pendekatan ilmu-ilmu sosial (multidimensional atau interdisiplin) menuntut konsekuensi yang berupa penguasaan metodologi disiplin ilmu-ilmu sosial (interdisipliner), yang ternyata mendapat dukungan dari kalangan yang luas. Dalam kaitan ini, lebih jauh Ankersmit (1987: 246-247) mengemukakan alasan: 1. Dengan bantuan konsep dan teori ilmu sosial yang menunjukkan antar berbagai faktor, pernyataan-pernyataan mengenai masa silam dapat dirinci, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. 2. Suatu teori sosial, memuat hubungan berbagai variabel. Hal ini dapat mendorong sejarawan untuk meneliti sebuah aspek dari masa silam yang serasi dengan variabel tertentu. Oleh sebab itu dengan bantuan teori ilmu sosial, sejarawan dapat melacak hubungan antar aspek tadi dengan aspek-aspek lainnya. 3. Akibat yang dapat diharapkan adalah kaitan yang dibangun oleh teori sosial dan permasalahan yang ditimbulkan oleh teori yang bersangkutan dalam tinjauan

97

disiplin sejarah. Teori-teori sosial dapat membantu sejarawan agar dapat menyusun pengetahuan tentang masa silam dalam struktur yang paling memadai. 4. Teori-teori ilmu sosial biasanya berkaitan dengan struktur umum dan supraindividual di dalam kenyataan sosio-historis. Oleh karena itu, teori-teori tersebut dapat menganalisis perubahan-perubahan yang mempunyai jangkauan luas. Suatu pendekatan ilmu-ilmu sosial dalam sejarah dapat membantu sejarawan, jika ingin mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat masa lampau yang ditelitinya. Dalam kenyataannya, batas-batas pengkajian antara pelaksanaan penelitian sejarah dengan penelitian ilmu-ilmu sosial sering terasa samar-samar. Seorang ahli ilmu sosial sering secara de facto menggarap penelitian yang bersifat historis. Dengan demikian, perbedaan formal antara pengkajian sejarah dengan ilmu-ilmu sosial tidak dihapuskan. Para peneliti ilmu sosial menetapkan konsep-konsep umum, generalisasigeneralisasi, dan teori-teori empirik, sedangkan peneliti sejarah merumuskan yang singular, yang hanya satu kali terjadi. Dari penjelasan ini dapat dinyatakan, bahwa perbedaan antara keduanya tidak terbentang antara sejarah dengan ilmu-ilmu sosial. Perbedaan itu lebih merupakan garis lintang di antara ilmu-ilmu sosial itu sendiri. Dalam kenyataanya, ilmu-ilmu sosial juga mengadung komponen-komponen yang bersifat historis, setidak-tidaknya dalam praktek pengkajiannya (Ankersmit, 1987: 247). Menurut pendapat Burke (1992: 2), pada tahap tertentu antara sejarawan dengan ahli ilmu-ilmu sosial harus dapat menjadi sahabat yang baik secara intelektual. Dalam arti, mereka perlu saling membantu karena pada dasarnya mereka saling membutuhkan dalam upaya memahami tingkah laku masyarakat secara keseluruhan. Hal ini tidak terkecuali dengan sejarah, mengingat dalam masyarakat masa lampau terdapat aktivitas

98

yang sangat kompleks. Dengan demikian rekonstruksi sejarah perlu dijelaskan dengan bantuan ilmu-ilmu sosial yang lain. Dalam kaitan ini terutama dalam hal penggunaan konsep, generalisasi, dan teori ilmu-ilmu sosial tidak dapat dihindarkan, walaupun antara keduanya memiliki prinsip-prinsip keilmuan yang tidak selalu sejalan. Sebagai contoh, sosiologi lebih menekankan pada generalisasi perkembangan dalam struktur masyarakat masa kini. Sementara itu sejarah menitikberatkan studinya pada perubahan struktur dan perilaku masyarakat di tempat tertentu dan dalam kurun waktu tertentu, dengan menampilkan keunikan-keunikan masyarakat yang diteliti. Lebih jauh dinyatakan: Sociology may be defined as study of human society, with an emphases on gerteralization about is structure and development. History is better deftne as the study of human societies in the plural, placing the emphases on the dijferences between them and also on the changes which have taken place in each one over time. The two approaches have sometimes been viewed as contradictory, but it is more useful to treat them as complementary. It is only by comparing it with other that we can discover in what respects a given society is unique. Change is structured, and structures change. Indeed, the process of structuration, as same sociologists call it, has become a focus of attentions in recent years (Burke, 1992: 2). Tidak dapat diingkari, masyarakat selalu mengalami perubahan-perubahan yang tidak pernah final, karena adanya penyesuaian sosial yang berlangsung secara terusmenerus. Jika diperhatikan secara saksama, penyesuain sosial itu terjadi sebagai akibat dari adanya pergeseran unsur-unsur yang ada dalam masyarakat. Mengingat unsur-unsur itu berkaitan satu sama lain, maka jika salah satu unsur bergeser akan diikuti oleh pergeseran pada unsur-unsur lain dalam rangka menyesuaikan diri. Jika Weber menyatakan, bahwa rasionalisasi kehidupan ekonomi merupakan penyebab utama perubahan sosial, maka Durkheim lebih menekankan pada organisasi sosial sebagai penyebab utama perubahan tersebut. Sementara itu Manc seperti juga Weber sama-sama memandang faktor ekonomi sebagai pendorong tejadinya dinamika sosial. Perbedaan

99

keduanya terletak pada rasionalisasi ekonomi untuk Weber, sementara Mara lebih menitik beratkan pada kepentingan ekonomi (Roxborough, 1990: 5-6). Berdasarkan perdapat tersebut, maka pada umumnya perubahan sosial diawali oleh perubahan pada unsur ekonomi, yang dususul kemudian dengan perubahan pada unsur organisasi sosial. Perubahan tersebut berakibat salah satu unsur sosial yang ada dalam masyarakat itu tidak lagi sejajar dengan unsur sosial lainnya. Ada kecenderungan unsur-unsur tertentu berubah lebih cepat dibanding dengan unsur lainnya, sehingga terjadilah pergeseran tiap unsur untuk penyesuaian kembali dengan bagian yang telah berubah kebih dahulu. Dalam kenyataannya, perubahan itu akan membawa masalahmasalah baru dalam masyarakat. Jika perkembangan salah satu unsur lebih cepat dibanding dengan unsur lainnya, maka akan muncul kesenjangan yang membawa dampak ketidakserasian dalam kehidupan masyarakat (Ogburn, 1986: 3-4). Proses perubahan sosial itu, dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 2.3 Proses Perubahan Sosial

100 .

t.

Keterangan : 'i 1. Sistem Budaya 2. Sistem Sosial , 3 . Unsur Sosial Pada dasarnya dalam masyarakat yang harmonis ditandai oleh kesejajaran antar unsur-unsur sosial yang melingkupinya. Akan tetapi, dalam kenyataannya tidak ada satupun masyarakat yang berada dalam posisi tetap. Jika salah satu unsur dalam masyarakat itu berubah, maka akan diikuti oleh pergeseran pada unsur-unsur lainnya yang bergerak untuk saling menyesuaikan diri. Hal ini dapat terjadi, karena unsur-unsur yang ada dalam masyarakat itu saling berkaitan satu sama lain. Sebenarnya, itulah yang menjadi bagian penting dalam proses perubahan sosial. Untuk dapat memahami lebih jauh tentang pembahan sosial, maka dipandang perlu untuk menyimak dengan saksama konsep perubahan sosial. Dalam salah satu pandangannya, Bottomore (1972: 297) menyatakan bahwa perubahan sosial dalam masyarakat mencakup . . . a change in social structure including here changes iri the size of a society , or in particular social institutions, or in the relationships between institutions.. Dengan demikian, perubahan sosial itu menyangkut perubahan tentang struktur sosial, sistem kelembagaan dan hubungan antar kelembagaan yang terdapat dalam masyarakat. Dengan demikian penyebab perubahan itu merupakan masalah yang kompleks, baik yang menyangkut tentang figur sebagai pelaku perubahan maupun faktor-faktor material dan immaterial yang menyebabkan terjadinya perubahan itu. Dapat pula dinyatakan di sini, bahwa proses berlangsungnya perubahan sosial dalam masyarakat paling sedikit menyangkut dua hal penting yang saling berkaitan. Pertama, adalah kelompok sosial tertentu sebagai pelopor perubahan. Kedua- menyangkut faktor-

faktor yang mendorong terjadinya perubahan-perubahan dalam masyi 1984:31). Untuk kasus perubahan sosial di Banyumas, diduga kuat unsur el peran penting sebagai penyebab teijadinya perubahan sosial, yang kemudian disusul dengan perubahan pada unsur organisasi sosial. Ketika kontak antara masyarakat pribumi dengan pihak kolonial terjadi dalam bentuk kegiatan eksploitasi ekonomi melalui sistem tanam paksa (1830), maka pergeseran-pergeseran unsur sosial dalam masyarakat lambat-laun mengikutinya. Secara teoretis pergeseran-pergeseran itu terjadi dalam rangka adaptasi, integrasi, mempertahankan diri, atau upaya mencapai tujuan. Tujuan perubahan sosial yang paling dominan adalah upaya peningkatan status sosial, yang pada umumnya ditempuh dengan cara melakukan aktivitas yang bersifat ekonomi (Deborah & Poster, 1970: 41). Dari hasil penelitian yang telah dilakukan Geertz untuk kasus Pulau Jawa, ternyata eksploitasi ekonomi melalui sistem tanam paksa oleh pihak kolonial, baik pemerintah maupun swasta Belanda ternyata menunjukkan indikasi, bahwa hal itu berpengaruh sagat kuat terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat pedesaan pada masa-masa sesudahnya. Secara substansial, sejarah memang dipenuhi dengan peristiwa yang harus dijelaskan dengan mempertimbangkan hukum kausal. Hal ini berdasarkan alasan, bahwa peristiwa yang terjadi dalam sejarah bukan merupakan kejadian tunggal yang terjadi sendirian, tetapi didorong oleh faktor-faktor tertentu yang terjadi pada masa-masa sebelumnya sebagai sebab musabab peristiwa. Setiap peristiwa akan mengarah pada suatu perubahan dan setiap perubahan akan berdampak terhadap terjadinya peristiwa berikutnya. Perlu dipahami, bahwa kehidupan sosial ekonomi masyarakat pedesaan di Jawa dewasa ini merupakan akibat yang erat kaitannya dengan

102

«kebijakan pemerintah kolonial di masa lalu. Para petani yang pada umumnya " terperangkap oleh kemiskinan, juga dipandang sebagai akibat dari sistem eksploitasi ekonomi kolonial. Dalam kenyataannya, masyarakat petani yang telah berjasa dalam menghasilkan produksi perkebunan itu tidak dapat menikmati hasilnya secara layak, bahkan mereka terisolasi kedalam perekonomian sawah yang mandeg. Untuk mengimbangi jumlah penduduk yang semakin bertambah, maka dengan terpaksa mereka hidup bersandar pada lahan pertanian yang semakin lama semakin sempit. Terjadilah ketidakseimbangan antara lahan pertanian yang tetap dengan jumlah penduduk yang semakin berlipat. Untuk menjelaskan proses pemiskinan masyarakat pedesaan Jawa semacam i itu, dikembangkan suatu teori yang dikenal dengan teori involusi pertanian (Geertz, 1983: 72). Jika ditelaah secara saksama, teori involusi pertanian ternyata tidak sepenuhnya dapat diterima. Secara jujur perlu diakui, bahwa aktivitas ekonomi penduduk setelah pertengahan kedua abad ke-19 sebenarnya tidak semata-mata dipusatkan pada sektor pertanian pribumi saja, tetapi juga menjangkau sektor lain di luar itu. Sektor yang paling dominan yang dapat menyerap tenaga kerja penduduk adalah sektor industri perkebunan. Dengan demikian, sebagian masyarakat petani miskin tidak hanya pasrah terhadap nasibnya. Mereka mengambil inisiatif untuk bekerja sebagai buruh bayaran di sektor industri perkebunan tersebut. Hal ini secara berangsur-angsur dapat mempengaruhi orientasi angkatan kerja di pedesaan yang mengarah pada sektor non tanah (Fernando, 1991: 160). Dengan demikian, kehidupan sosial ekonomi masyarakat pedesaan Jawa sejak menjelang awal abad ke- 20 dipengaruhi oleh hubungan masyarakat petani dengan jaringan masyarakat yang lebih luas. Perkembangan yang teijadi itu, tentu saja dapat memperlebar jaringan hubungan sosial mereka yang pada gilirannya menyebabkan

103

berlangsungnya proses perubahan sosial yang lebih luas dalam masyarakat pedesaan (Redfield, 1985:42). Pada umumnya para ahli sosiologi berusaha memahami perubahan sosial dengan cara memperhatikan hubungan yang terjadi dalam masyarakat yang normal. Untuk mencapai keberhasilan hidup, warga masyarakat melakukan perubahan sosial yang ternyata menyebabkan munculnya beberapa masalah sosial. Perubahan sosial tersebut menyangkut upaya masyarakat melakukan aspirasi sosial, strata sosial, dan pencapaian tingkat sosial. Pada dasarnya, upaya perubahan itu tidak selamanya beijalan mulus, sehingga yang diperoleh kadang-kadang berupa kegagalan dan kekecewaan sosial. Timbulnya tindakan kriminal, perilaku anarkhis, dan penyimpangan sosial lainnya merupakan dampak negatif dari perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat (Deborah & Poster, 1970: 42). Seperti diketahui, sesudah periode tahun 1870-an sistem kerja paksa secara berangsur-angsur mengalami pergeseran menjadi sistem kerja bebas (buruh upahan). Sementara itu, pajak yang berupa kerja wajib diganti dengan pajak dalam bentuk uang. Berdasarkan perkembangan baru itu, para petani dibebani oleh kewajiban pajak uang yang cukup banyak jenisnya. Untuk memenuhi kewajiban itu para petani menempuh berbagai cara. Di antara cara yang paling sering dijalankan oleh para petani adalah melakukan kontrak sebagai buruh bebas di perkebunan dan pekeijaan lain di luar sektor pertanian. Kontrak kerja semacam itu biasa dilakukan dengan pihak perkebunan sebagai buruh upahan yang pada dasarnya bersifat suka rela (Aass, 1984: 126) Sistem buruh bebas, kontrak tanah untuk perkebunan, dan sistem pajak uang membawa dampak lebih jauh, berupa semakin meluasnya ekonomi uang dan semakin memudarnya ikatan tradisional dalam masyarakat. Bagi masyarakat pedesaan, kondisi seperti itu justru

104

semakin menyebabkan ketergantungan mereka kepada pihak kolonial (Frank, 1967: 6). Ketergantungan petani kepada pemerintah kolonial terjadi, karena kontrol formal maupun informal terhadap sumber-sumber ekonomi lokal ditempuh melalui satu cara yang lebih menguntungkan kekuasaan kolonial, sedangkan bagi perekonomian pribumi hal itu sangat merugikan (Conor, 1982: 61). Hukum-hukum perubahan itu berlaku pada tingkat kehidupan masyarakat. Hal ini disebabkan fenomena sosial selalu mengikuti pola-pola yang syah menurut hukum. Pola tersebut tidak bersifat kaku seperti halnya yang terjadi pada alam fisik, tetapi cukup fleksibel dan menunjukkan keteraturan yang memungkinkan untuk dapat dikenali dan dilukiskan. Hukum-hukum proses perubahan sosial tersebut harus ditemukan melalui pengumpulan banyak data dan dengan mengamati hubungan antara berbagai variabel. Catatan yang berasal dari masa lampau dan pengamatan di masa sekarang dapat menyediakan data yang diperlukan. Penekanan terhadap data empiris dari pengetahuan sosial ini mencerminkan pangkal tolak yang harus dipahami dari gejala yang khas menuju pada suatu gambaran yang umum. Hukum-hukum sosial yang serupa berlaku di berbagai masyarakat yang memiliki kesamaan dalam hal strukturnya. Pada dasarnya, masyarakat dapat dibedakan, baik dalam segi waktu maupun tempat, namun hal itu ditandai oleh hukum-hukum yang serupa karena kesamaan struktur sosialnya. Hukumhukum yang berlaku terhadap perubahan itu bersifat sosial bukan biologis atau alamiah. Memang ada pengaruh lingkungan fisik terhadap perilaku manusia yang berkaitan dengan iklim, geografis, makanan, dan lain-lain, tetapi hal itu bukan merupakan faktor penting dalam memahami sejarah. Daya dorong sejarah harus dipahami menurut fenomena sosial terutama yang berkaitan dengan solidaritas, kepemimpinan, mata pencaharian, dan juga tingkat kemakmuran. Dengan demikian, perubahan sosial harus

105

dipahami dengan melihat jalinan variabel-variabel sosial yang dengan sendirinya dapat menerangkan perubahan yang terjadi (Lauer, 1989: 42-43). Dapat pula disampaikan di sini, bahwa pergeseran-pergeseran yang terjadi dalam masyarakat juga mempunyai makna pergeseran jenis solidaritas, dari solidaritas mekanik kepada solidaritas organik. Solidaritas mekanik adalah merupakan bentuk awal dari organisasi sosial yang masih dapat dilihat pada masyarakat primitif. Sementara itu solidaritas organik berasal dari pembagian kerja yang menyertai perkembangan sosial. Dalam solidaritas mekanik terdapat kecenderungan ide bersama yang lebih besar. Sebaliknya, dalam solidaritas organik lebih berakar pada perbedaan dibanding pada persamaan. Kerumitan masyarakat yang semakin meningkat menuntut solidaritas yang didasarkan atas diferensiasi bermacam-macam fungsi dan pembagian kerja menjadi inti solidaritas organik (Abdullah & Leeden, 1986: 14). Dengan demikian, pergeseran yang terjadi dalam masyarakat primitif yang memiliki solidaritas mekanik menuju masyarakat baru yang memiliki solidaritas organik terjadi melalui proses perubahan yang berangsur-angsur. Walaupun demikian, tidak menutup kemungkinan perubahan itu dapat juga berlangsung secara cepat. Pebedaan di antara dua bentuk solidaritas itu antara lain: Pertama, solidaritas mekanik mengikat individu secara langsung dengan masyarakat tanpa sesuatu perantara, sedangkan solidaritas organik ditandai adanya saling ketergantungan antar individu. Kedua, solidaritas mekanik ditemukan dalam masyarakat yang ditandai oleh keyakinan dan sentimen bersama yang kuat, sedangkan jenis solidaritas organik menandai masyarakat yang berdiferensiasi. Ketiga, solidaritas mekanik dapat tumbuh dengan kuat, sejauh hakhak dan kepribadian masyarakat dirasakan sebagai keseluruhan, sementara solidaritas

106

organik membutuhkan berkembangnya hak-hak perorangan dan kepribadian yang unik (Lauer, 1989: 86-87). Dengan penjelasan tersebut menunjukkan, bahwa masyarakat bukan sekedar wadah bagi terwujudnya integrasi sosial yang akan mendukung solidaritas. Masyarakat pada dasarnya merupakan pangkal dari kesadaran kolektif dan sasaran utama dari perbuatan moral. Dalam kenyataannya tidak ada masyarakat yang benar-benar statis, karena di dalamnya pasti terdapat pergeseran-pergeseran, yang disebabkan oleh masuknya unsur-unsur kebudayaan baru, baik yang bersifat material maupun immateria! (Abdullah & Leeden, 1986: 81). Faktor-faktor yang bersifat material menekankan pada kondisi-kondisi teknologis dan ekonomis dipandang sebagai dasar penting bagi organisasi sosial. Kondisi teknologis dan ekonomis itulah yang berpengaruh besar terhadap terciptanya nilai-nilai dalam masyarakat. Dengan demikian, maka dipraktekannya teknologi Barat dan sistem ekonomi baru dapat mendorong perubahan pada tataran nilai-nilai yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan. Kondisi itulah yang mesti dicermati sebagai titik tolak untuk memahami perubahan sosial (Soekanto, 1984: 90). Dalam kasus sistem tanam paksa, hubungan ekonomi yang tidak seimbang dalam masyarakat terjadi ketika sistem ekonomi Barat memasuki kehidupan tradisional di pedesaan. Proses interaksi semacam itu disebabkan oleh sistem ekonomi kolonial posisinya lebih kuat. Sebagai akibatnya, maka struktur ekonomi yang lebih kuat dapat mendominasi perekonomian yang lebih lemah (Santos, 1970: 45). Sebagai pihak yang lebih lemah, maka ekonomi pedesaan berada dalam posisi yang tergantung. Oleh sebab itu, masyarakat pedesaan terpaksa harus menerima eksploitasi produksi dengan imbalan yang timpang (Amir, 1976:202).

107

Hubungan yang tidak seimbang antara dua sistem ekonomi itu, mendorong terjadinya pergeseran-pergeseran unsur sosial dalam masyarakat pedesaan dalam rangka penyesuaian diri. Perubahan pada awalnya berupa pergeseran bentuk kontrak lahan pertanian, sistem pajak uang, pemenuhan konsumsi, dan sistem buruh bebas. Proses perubahan itu berkembang lebih jauh dengan meluasnya sistem ekonomi uang disusul kemudian dengan terjadinya pergeseran struktur sosial (Knight, 1982: 120). Kesetiaan yang bersandar pada ikatan tradisional secara berangsur-angsur melemah, disebabkan oleh munculnya kebebasan individu yang semakin menguat dalam masyarakat (Vries, 1972: 12). Di samping itu, dalam masyarakat juga terjadi pergeseran yang menunjukkan bahwa kesetiaan penduduk kepada elit pribumi yang menduduki jabatan birokrasi juga semakin melemah. Sebagai gantinya, kesetiaan penduduk pedesaan diserahkan kepada para pemimpin informal, yang pada umumnya terdiri dari para ulama bebas yang kharismatik (Kartodirdjo, 1984: 25, Suhartono, 1991: 73). Gambaran di atas menunjukkan, bahwa perubahan yang melanda unsur-unsur sosial yang bersifat material akan diimbangi dengan teijadinya pergeseran unsur-unsur sosial lainnya yang bersifat immaterial. Cakupan unsur sosial yang bersifat immaterial meliputi perilaku lembaga-lembaga sosial, norma-norma, dan juga nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat. Perubahan dalam unsur-unsur yang bersifat immaterial cenderung lebih lambat dibanding dengan perubahan yang terjadi pada unsur-unsur sosial yang bersifat material. Pada tahap selanjutnya, dalam proses penyesuaian diri antar kedua jenis unsur sosial itu, ada kecenderungan akan terjadi disharmoni sosial. Hal ini disebabkan, salah satu unsur mengalami perubahan lebih banyak dibandingkan dengan unsur yang lain. Apabila ternyata ketidakserasian semakin meluas atau bahkan

108

tidak dapat diselesaiakan, maka akan dimungkinkan terjadinya keresahan sosial dalam masyarakat yang diwujudkan dalam barbagai bentuk protes sosial (Ogbum, 1950:221). Perubahan sosial pada umumnya bertujuan untuk merubah kondisi masyarakat tradisional menjadi masyarakat yang baru. Oleh sebab itu, selama proses perubahan itu berlangsung akan dijumpai masyarakat yang bersifat transisional yang rentan konflik (Soekanto, 1984: 13). Dalam situasi seperti ini, masyarakat menghadapi masalah yang sangat berat. Mereka kehilangan pegangan, dan terperangkap dalam situasi yang disebut artomi atau suasana masyarakat tanpa norma. Keresahan dan kekacauan sosial dapat terjadi, karena batas norma tidak lagi disadari, sehingga mudah terjadi pola tindakan yang mengancam solidaritas (Abdullah & Leeden, 1986: 14-15). Dalam kondisi semacam itu, kontradiksi dan konflik sosial dalam masyarakat sangat sulit dihindarkan (Elias, 1988: 6). Anomi merupakan istilah yang pertama kali digunakan oleh E. Durkheim untuk menjelaskan situasi masyarakat yang kehilangan norma. Menurut pendapatnya, individu-individu dengan keras telah mencabut pengekangan normatif dan kontrol masyarakat dengan terciptanya suatu inovasi. Upaya mereka yang dilakukan dengan keras tersebut juga telah menghasilkan sesuatu yang berarti sebagai legitimasi dari inovasinya. Dalam kondisi seperti ini, masyarakat diarahkan untuk mencapai tujuan, tetapi kesiapan untuk memenuhi prasarana yang berarti tidak dapat dijumpai, sehingga masyartakat dihadapkan pada kekacauan yang disebut anomi (Deborah & Poster, 1970: 45). Suatu anomi digambarkan sebagai perilaku menyimpang dengan frekuensi yang sangat tinggi sebagai akibat dari perbedaan nilai yang tajam dalam masyarakat (Abdullah & Leeden, 1986: 125).

109

Perubahan-perubahan biasanya terjadi secara lambat, tetapi ada pula perubahan yang terjadi secara cepat. Perubahan yang memerlukan waktu lama disebut dengan evolusi (Soemardjan, 1980: 490). Pada evolusi, perubahan-perubahan terjadi dengan sendirinya tanpa suatu rencana atau suatu kehendak tertentu. Perubahan-perubahan tersebut terjadi karena kehendak masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan keperluankeperluan, keadaan, dan kondisi baru yang timbul sejalan dengan pertumbuhan yang terjadi dalam masyarakat. Rentetan perubahan tersebut tidak perlu sejalan dengan rentetan peristiwa sejarah dalam masyarakat yang bersangkutan. Pada umumnya proses perubahan itu terjadi dengan irama yang sangat lambat, sehingga akan sangat sulit untuk dapat diamati (Sajogyo, 1985: 121). Sementara itu perubahan yang cepat mengenai dasar-dasar atau sendi-sendi pokok dari suatu kehidupan masyarakat lazimnya disebut revolusi. Dengan demikian, ciri utama dari suatu revolusi adalah adanya perubahan yang cepat mengenai dasar-dasar atau sendi-sendi pokok dari kehidupan masyarakat yang bersangkutan (Soekanto, 1984:315). Dapat dinyatakan di sini, bahwa di dalam suatu revolusi, perubahan-perubahan yang terjadi dapat direncanakan terlebih dahulu atau dapat juga tanpa rencana. Sebenarnya yang berkaitan dengan ukuran kecepatan suatu revolusi itu bersifat relatif. Perubahan itu dianggap berjalan lambat, karena membutuhkan waktu puluhan tahun, seperti Revolusi Industri di Inggris. Sementara itu, ada pula revolusi yang dipandang cepat karena perubahan-perubahan itu dilakukan dengan segera, yang diawali dengan pemberontakan dan diikuti dengan perubahan-perubahan yang mendasar dari tatanan masyarakat yang bersangkutan. Sebagai contoh, Revolusi Amerika, Revolusi Perancis, dan lain-lain (Sajogyo, P.,1985:122). Sebagai faktor-faktor pendorong terjadinya suatu perubahan pada umumnya terletak pada sumbernya, yaitu ada dalam masyarakat itu

110

sendiri atau sebab yang berasal dari luar. Sebab yang berasal dari dalam masyarakat berkaitan dengan kondisi sosial, seperti pertumbuhan penduduk, penemuan baru, konflik, dan lain-lain. Sementara sebab yang berasal dari luar di antaranya adalah datangnya pengaruh dari unsur kebudayaan masyarakat lain, krisis hubungan, dan bencana alam (Sajogyo, P., 1985: 125). Analisis perubahan sosial dalam masyarakat dapat dilakukan dengan cara menelaah syarat-syarat dan keadaan yang mempunyai efek merubah keseimbangan sistem masyarakat itu. Jika penyebab perubahan itu berasal dari dalam masyarakat menyangkut perubahan unsur, maka bentuk perubahannya dapat berupa pergeseranpergeseran antar unsur yang ada untuk saling menyesuaikan diri dengan unsur yang telah berubah lebih dulu. Jika perubahan sosial dikaitkan dengan kasus eksploitasi ekonomi kolonial, maka dapat dinyatakan di sini bahwa dalam kehidupan ekonomi, penggunaan uang secara luas telah mengubah sistem perekonomian dalam masyarakat. Sistem ekonomi tertutup bergeser menjadi sistem ekonomi uang yang mengarah pada pertukaran bebas, sehingga gejala monetisasi dan komersialisasi di daerah pedesaan semakin meluas. Kondisi semacam ini berpengaruh dalam kehidupan sosial. Pergeseranpergeseran dalam masyarakat tampak jelas dengan semakin memudarnya ikatan solidaritas. Ikatan adat secara berangsur-angsur berubah menjadi ikatan kontrak. Pergeseran lebih jauh tidak dapat dihindari yang berupa semakin memudarnya ikatan primordial, sehingga kebebasan individu menjadi semakin menguat (Vries, 1972: 12). Pengaruh pendekatan ilmu sosial, terutama sosiologi bagi penulisan sejarah di Indonesia sudah tidak asing lagi. Karya-karya dalam Sejarah Indonesia yang dipandang telah menggunakan konsep dan teori sosiologi telah dihasilkan oleh van Leur. Pada tahun 1954 dalam penelitiannya dia menulis sejarah dengan judul Indonesian Trade and

111

Society: Essays in Asian Social and Economic History (1500-1650). Gagasan-gagasan yang dikemukakan sangat cemerlang dan dipandang penting di kalangan para sejarawan Indonesia. Di antara sekian banyak gagasan penting, yang paling poluler adalah gagasannya tentang periodisasi Sejarah Indonesia yang lebih menekankan pada kenyataan sosial (Leur, 1954: 232-236), tidak lagi terpengaruh oleh periodisasi Sejarah Eropa yang sangat dominan itu. Para sejarawan modern dewasa ini cenderung menggunakan pandangan sosiologis baik dalam bentuk konsep maupun teori dalam penelitian sejarah yang mereka lakukan. Jika mereka tidak bertindak demikian, lazimnya hasil karya mereka dianggap sebagai karya yang tidak lengkap. Konsep dan teori sosiologi telah sangat diresapi oleh para sejarawan masa kini, sehingga tak pelak lagi mereka sangat terpengaruh oleh pemikiran sosiologis. Meskipun demikian, sejarawan juga tetap berusaha mengkritisi teori-teori dan pandangan-pandangan khusus yang diajukan oleh para sosiolog. Penerimaan atau penolakan para sejarawan tentang teori-teori atau pandanganpandangan kongkret yang muncul dari kalangan sosiolog merupakan suatu hal yang sangat wajar dalam dunia ilmiah. Apapun yang terjadi, yang jelas penggunaan konsep dan teori disiplin sosiologi telah menambah dimensi baru dalam bidang historiografi (Wertheim, 1995:316-317). Dengan perkembangan yang terjadi, karya historiografi dewasa ini memiliki wawasan dan daya jangkau penjelasan yang lebih luas dan mendalam tentang kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat masa lampau. Hal ini tentu saja sangat membantu para pendidik dalam rangka menggali, memahami dan interpretasi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Dengan materi pembelajaran sejarah yang semakin luas dan mendalam, maka nilai-nilai yang dapat diangkat menjadi semakin kompleks dan beragam. Dengan

112

demikian untuk kepentingan pendidikan IPS, materi pembelajaran sejarah itu semakin menduduki posisi penting.

D. Orientasi Nilai dalam Pembelajaran Sejarah Pada dasarnya setiap disiplin ilmu dapat diajarkan pada setiap jenjang pendidikan, sepanjang disesuaikan dengan kemapuan siswa. Jika hal itu diberlakukan untuk pembelajaran sejarah, maka yang lebih tepat pembelajaran diawali dengan pengenalan struktur melalui ilmu pengetahuan yang didasari oleh fakta empirik. Lebih jauh studi sejarah akan mengantarkan siswa kepada pengetahuan kognitif, yang kemudian dapat diperluas lagi cakupannya kepada pengembangan sistem keilmuan. Hal ini sejalan dengan perkembangan jiwa anak yang semakin lama semakin meningkat kemampuannya, sejalan dengan bertambahnya usia. Pada akhirnya mereka sampai pada tahap siap berpikir untuk tingkatan yang tinggi. Harus diakui, bahwa kesulitan siswa dalam belajar adalah kenyataan yang dialami dalam proses pendewasaan intelektual. Hal ini terdapat pula dalam struktur disiplin individual terutama dalam proses adaptasi belajar tentang diri sendiri (Fenton, 1966: 83, Garvey & Krug, 1977: 12). Hal tersebut sejalan dengan teori Bruner (Garvey & Krug, 1977: 12-13), yang menjelaskan, bahwa segi pemikiran yang dapat membantu melakukan adaptasi melalui aktivitas kesejarahan adalah upaya peningkatan pemahaman konseptual yang dibawa ke dalam kelas. Dalam proses pembelajaran, guru dapat mengidentifikasi problem-preblem untuk beberapa ketrampilan intelektual dalam mempelajari sejarah. Dalam kesempatan itu pula, guru dapat mengorganisasi langkah keija, sehingga peserta didik dapat menerima rancangan pemikiran itu secara mendasar. Dengan demikian, kurikulum pengajaran sejarah yang perlu dikembangkan adalah kurikulum yang berdasarkan pada

113

teori psikologi pendidikan yang relevan dengan proses berpikir s hal itu dapat membantu guru dalam mengidentifikasi bahan sedaki mengorgasikannya untuk pelaksanaan pembelajaran yang lebih sistkjiad^- / ;

dan !

y/

Sesuatu yang lebih penting adalah mengkaitkan apa yang dilakukan guru sejarah dengan taksonomi pembelajaran yang digambarkan oleh Benyamin Bloom dan David Krathwall. Taksonomi berarti klasifikasi skema secara hirarkis yang menggambarkan ketrampilan kognitif dan afektif yang menjadi tijuan formal suatu pembelajaran. Pada dasarnya taksonomi dibedakan menjadi dua domein, yaitu kognitif dan afektif. Perbedaan ini dalam pembelajaran sejarah diartikan secara lebih kritis, dan yang diutamakan adalah kemungkinan yang dapat dikembangkan secara kongkrit yang mengarah kepada pengembangan intelektual dan penguatan aktivitas. Bagiamanapun domein kognitif dalam taksonomi merupakan indikasi rasional dalam segi ketrampilan intelektual yang berlaku umum. Enam hal yang termasuk di dalamnya adalah knowledge, comprehension, application, analysis, and evaluation (Blomm, 1956: 3, Fenton, 1966a: 23, Garvey & Krug, 1977: 14). Secara umum proses pembelajaran merupakan kegiatan dalam rangka membantu peserta didik untuk mengenal materi pelajaran secara bertahap. Begitu juga dalam kegiatan pembelajaran sejarah, yang tidak lain adalah untuk membantu peserta didik mengenal data-data, fakta-fakta, menyatakan definisi secara jelas, dan pengembangan konsep yang berkaitan dengan aspek-aspek masyarakat masa lampau. Kegiatan inilah yang secara intelektual dapat memperluas imajinasi para siswa (Lee, 1984: 85). Pada umumnya pembelajaran sejarah merupakan kegiatan pengajaran yang menekankan pada ketrampilan intelektual yang dilakukan untuk mengetahui fakta secara spesifik, menyusun konsep-konsep, dan dilanjutkan dengan menyusun generalisasi. Hal

114

seperti itu dapat diterjemahkan dalam kegiatan pembelajaran yang tidak lepas dari aktivitas secara bertahap, sejak dari imajinasi, interpretasi, aplikasi, ekstrapolasi, analisis, rekonstruksi imajinatif, ekspresi sisntesis dan melakukan evaluasi (Garvey & Krug, 1977:

15). Secara lebih khusus, pembelajaran sejarah idealnya mampu

mengarahkan peserta didik untuk menguasai ketrampilan berpikir sejarah (historical thinking). Hal ini dinyatakan Myers (2000: 37), bahwa: The knowledge base of historical content drown from (nation history) and world history provides the base from which learning develop historical understanding and competence in ways of historical thinking. Historical thinking skill enable learners to evaluate evidence, develop comparative and causal analyses, interpret the historical record, and construct sound historical arguments and perspectives on which informed decisions in contemporary li/e can be based. Berdasarkan kutipan di atas dapat dinyatakan, bahwa belajar sejarah merupakan upaya untuk memahami perkembangan masyarakat dalam waktu dan tempat tertentu. Belajar sejarah yang berdasarkan pada bahan sejarah nasional dan dunia akan disertai dengan bukti-bukti atas dasar perkembangan pemahaman sejarah dan kemampuan yang mengarah pada ketrampilan berpikir sejarah. Berpikir sejarah {historical thinking) merupakan ketrampilan belajar yang diarahkan kemampuan mengevaluasi bukti-bukti, kemampuan

mengembangkan

perbandingan

berdasarkan

analisis

sebab-akibat,

kemampuan menginterpretasi karya sejarah berdasarkan argumen-argumen, dan memiliki perspektif sebagai dasar untuk mengambil keputusan yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat sekarang. Seperti diketahui, kehidupan masyarakat sekarang dipenuhi dengan isu-isu sosial, sejak dari lingkup yang sempit sampai lingkup yang luas.. Hal itu perlu dipahami peserta didik melalui pembelajaran sejarah, agar mereka memiliki kemampuan untuk

115

memahami

aspirasi manusia dalam kegiatan sosial, politik, teknologi, ekonomi dan

budaya. Lebih jauh Myers (2000: 37), menyatakan: Historical understanding define what leaners should know about the history of their nation and of the world. These understandings are drawn from record of human aspiration, strivings, accomplishments, and failures in at least five spheres of human activity: the social, political, scientific/technological, economic, and cultural (philosophical/religious/aesthetic).They also provide leaners the historical perspectives necessary to analyze contemporary issues and problems confronting citizens today.

Agar pembelajaran sejarah sebagai bagian dari pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) relevan dengan masalah-masalah sosial kontemporer, maka pembelajaran perlu menggunakan konsep dan tema-tema besar yang berlaku dalam ilmu-ilmu sosial. Masalah-masalah aktual yang terjadi dalam masyarakat dapat diangkat sebagai materi pembelajaran sejarah, sehingga kegiatan pembelajaran tersebut dapat lebih bermakna (meaningful) bagi kehidupan sehari-hari. Melalui strategi ini, siswa akan merasa sebagai bagian dari proses perubahan (change), kesinambungan (continuity) dan sebagai pengambil keputusan (decision makers) bagi zamannya. Dengan demikian, belajar sejarah sebenarnya memerlukan pemikiran kritis. Seperti dinyatakan Morton (2000: 59), bahwa melalui pembelajaran sejarah diharapkan dapat mencapai kemampuan historical thinking, displaced the memorization of approvedfacts and an approvedframework as a major goal for history promoters. Dengan demikian, pembelajaran sejarah diharapkan dapat bermanfaat bagi para peserta didik dalam rangka meningkatkan kemampuan intelektual dengan tidak mengabaikan

kemampuan moral. Kutipan di bawah ini menjelaskan, bahwa melalui

pembelajaran sejarah dapat mengkondisikan kemampuan intelektual siswa. Many historian and educators share a belief that expert knowledge possessed by historians includes not only factual information, but also the habit of critically

116

analyzing evidence. In their workbook, The Methods an SkilJ of History, Conal Furay and Michael J. Salevouris, provide studets with experience in analyzing and interpretating historical information. The authors claim that careful historical study teacher analytical and communications skill that "a highly usable in other academic pursuits-and in almost any careeryou choose (iWhy tech history?, 2004: 6). Kutipan tersebut mengisyaratkan, bahwa pembelajaran sejarah tidak hanya ditekankan pada upaya menyampaikan informasi tentang fakta-fakta, tetapi juga harus mampu membentuk pemikiran kritis siswa. Hal ini dapat dilakukan malalui kegiatan siswa yang berupa pembuktian secara kritis peristiwa sejarah melalui kegiatan menganalisis dan menginterpretasi informasi historis. Dengan demikian, guru sejarah dituntut untuk melakukan tugasnya secara cermat dan menunjukkan ketrampilan anasis dan dan ketrampilan dalam mengkomunikasikan informasi, agar supaya tujuan

pembelajaran

dapat dicapai dengan baik. Selanjutnya, pembelajaran sejarah sebagai bagian dari pendidikan IPS juga bertujuan membentuk sikap dan moral peserta didik. Kemampuan yang bersifat moral dari pengetahuan sejarah di sekolah dapat juga dicapai, jika proses pembelajarannya diarahkan kepada kemapuan pengambilan keputusan sebagai warganegara yang bebas dan demokratis. Dengan demikian, aplikasi

pembelajaran sejarah dapat ditempuh

dengan menginformasikan, bahwa semua warga negara memiliki tanggung jawab bersama. Kegiatan pembelajaran dapat ditempuh dengan cara mengevaluasi dan memperdebatkan isu-isu aktual yang berkembang dalam masyarakat. Lebih jauh dinyatakan, bahwa: ". . .that historical knowledge gained i n school would improve the decision-maktng capasity of free citizens in a democracy supposes that all citizens would be similarly informed and share a common basis for evaluating and debating the issues of the day" (Why teach h istory?,2004:6).

117

Tidak dapat diingkari, berbicara tentang sejarah tetap saja perhatian utama harus diarahkan pada masa lampau, karena obyeknya berupa kehidupan masyarakat yang telah terjadi. Walaupun begitu, mempelajari sejarah bukan hanya untuk mengetahui masa lampau itu semata-mata. Pada dasarnya, mempelajari peristiwa sejarah adalah upaya untuk memahami pengalaman-pengalaman generasi pendahulu dan bagi generasi berikutnya pengalaman itu penuh dengan nilai-nilai edukatif yang dapat diteladani dan membuat orang untuk lebih bijaksana (Abdulgani, 1963: 68). Berdasarkan pemahaman tersebut, maka mempelajari sejarah tentu bukan untuk menghafalkan ceritera masa lalu semata-mata, tetapi yang lebih penting adalah upaya mencari hukum-hukum yang menguasai kehidupan masyarakat sebelum kita. Dengan demikian, pemahaman sejarah dapat dijadikan sebagai alat untuk memperjelas wawasan kehidupan masa kini dan perencanaan ke masa depan. Sebagai warga masyarakat yang bertanggung jawab terhadap masa depan bangsanya, mempelajari sejarah merupakan hal sangat sentral untuk kepentingan masa kini dan masa depan. Melalui pemahaman sejarah, kesadaran nasional akan dapat dipupuk dan identitas nasional akan dapat ditumbuhkan. Keduanya akan menjadi landasan yang kuat bagi upaya pengembangan identitas diri bangsa. Secara ideal, tujuan tertinggi dari upaya pembejaran sejarah adalah untuk mengarahkan kepada pemahaman tentang pentingnya kebebasan, masyarakat demokratis, dan dalam rangka membangun kebudayaan bersama. Semua itu pada gilirannya dapat membentuk sikap kebanggaan (prides) terhadap bangsanya, atas dasar keragaman {pluralism) dan kebebasan individu (individual freedom). Dari sinilah kemudian identitas diri sebagai anggota suatu masyarakat dapat berkembang lebih lanjut (Hirsch, 1993: 7).

118

Bentuk kesadaran nasional dan identitas diri sebagai bangsa pada hakekatnya merupakan fondasi yang sangat diperlukan bagi pembangunan bangsa. Sebagai fondasi, sudah pasti harus kokoh untuk menunjang keberhasilan pembangunan yang diperlukan di masa kini dan masa depan. Semakin baik penghayatan makna tentang sejarah bangsa, maka semakin baik pula potensi suatu generasi untuk membuat perspektif masa depan. Di sinilah letak peranan penting sejarah, melihat masa lampau dengan saksama, sebagaimana peristiwa itu terjadi, agar dapat melaksanakan kehidupan masa kini sebaik mungkin. Hal ini pada gilirannya dapat menjadi dasar untuk merancang masa depan dalam proporsi dan konteks yang setepat mungkin (Soedjatmoko, 1990: 14). Berkaitan dengan pernyataan tersebut kiranya perlu digarisbawahi, bahwa pembelajaran sejarah dituntut untuk mampu berkiprah dalam dua kerangka pokok. Pertama, pembelajaran sejarah {instruction) dan pendidikan intelektual (intellectual training). Dari kerangka yang

pertama, menuntut pengajaran sejarah tidak hanya

menyajikan fakta dan pengalaman kolektif masa lampau, tetapi juga meberikan latihan berpikir kritis dalam memetik makna dan nilai dari peristiwa sejarah yang diterangkan. Interpretasi sejarah dalam hal ini menempati posisi strategis untuk memberikan latihan berpikir secara intelektual bagi guru maupun siswa dalam bentuk mengabstraksikan, merumuskan generalisasi, menganalisis gejala-gejala kemasyarakatan

dalam proses

sejarah yang kritis. Dari sini kegiatan ditekankan pada proses belajar (learning) dan penalaran (reasoning) (Suryo, 1990: 6). Melalui proses ini pula yang diharapkan mampu mengubah pemahaman sejarah secara klasik (konvensional) dan menggantikannya dengan kemampuan berpikir kritis, sehingga pembelajaran sejarah benar-benar merupakan kegiatan yang bersifat ilmiah (Aryani, 2005: 1).

119

Kedua, pembelajaran dan pendidikan moral bangsa yang demokratis dan bertanggung jawab terhadap masa depan bangsanya. Kerangka yang kedua ini menuntut agar pembelajaran dan pendidikan sejarah berorientasi kepada pendidikan kemanusiaan (humanistic) yang menekankan pada tercapainya segi nilai, norma, dan pemahaman makna, serta kesadaran masa lampau. Pemahaman seperti inilah yang akan mendasari pembentukan pengalaman batin dan kepribadian, bukan hanya sekedar penangkapan pengetahuan sejarah semata-mata (Suryo, 1990: 6). Dengan demikian, masyarakat tardisional yang telah hidup di masa lampau tetap dihadirkan sebagai "pola" utama masyarakat modern, sehingga menjadi sumber pembelajaran nilai bagi kehidupan masa kini. Masa lampau tersebut menjadi dasar untuk mentransformasikan nilai-nilai tertentu yang dipandang penting bagi masa sekarang. Konsep ini bertahan hingga sekarang dalam bentuk sejarah nasional untuk kepentingan pendidikan di sekolah, yang dikenal sebagai of the past into the future (Aryani, 2005: 1). Nilai-nilai kemanusiaan merupakan peran kunci untuk memupuk kemampuan dalam mengembangkan empati dan toleransi, yang ditunjukkan dalam bentuk simpati kepada orang lain (Shemilt, 1984: 39). Selanjutnya dapat pula dipupuk kemampuan untuk mengembangkan peralatan intelektual yang dapat menopang pelaksanaan analisis, penilaian, dan kritik secara mandiri. Kemampuan jenis terakhir ini akan terasa sangat penting pada saat seseorang dihadapkan pada moralitas, baik moralitas yang bersifat umum atau kemasyarakatan (public morality), maupun mortalitas pribadi (private morality). Dalam pekelaksanaannya, nilai-nilai kemanusiaan secara umum ditujukan kepada hal-hal yang bersifat kemasyarakatan, yaitu mendidik warga negara secara cerdas dan bertanggung jawab. Sementara itu, nilai-nilai kemanusiaan secara khusus dapat berupa pengetahuan tentang keadaan diri, yang memberi dorongan pada seseorang

120

untuk melakukan sesuatu yang seharusnya diperbuat. Kemampuan mengenali diri dan menentukan apa yang seharusnya dilakukan merupakan persyaratan dasar bagi timbulnya kesadaran tentang identitas diri (sel/ identity). Begitu juga kemampuan yang memadai untuk memahami sejarah masyarakatnya dapat memperkaya aspirasi-aspirasi dalam dirinya, yang berkaitan dengan aspirasi keagamaan, integrasi sosial, solidaritas sosial, maupun aspirasi yang berkaitan etos kerja yang berkembang dalam masyarakat. Oleh sebab itu, mempelajari sejarah merupakan persyaratan dasar yang sama pentingnya bagi tumbuhnya kesadaran tentang identitas diri. Studi tentang sejarah yang dilakukan dalam suatu konteks sosio-kultural yang cukup spesifik ini, lazimnya dilakukan untuk memberikan seperangkat kesadaran kepada anggota masyarakat. Seperangkat kesadaran yang dimaksud adalah; a) kesadaran sejarah yang terbentang di hadapannya, b) kesadaran identitas kultural yang melekat pada dirinya, dan c) kesadaran yang berkaitan dengan pandangan-pandangan dunia tertentu yang merupakan ciri khas dari dirinya (Sudjatmoko, 1989: 4-5). Nilai dan makna dari setiap peristiwa kemanusiaan masa lampau itu pada hakekatnya merupakan nilai kemanusiaan yang bersifat universal. Dengan demikian, hal itu akan dapat digunakan sebagai bahan pemahaman dan penalaran dalam proses pembentukan identitas diri, dan nilai-nilai lain yang menyertainya sebagai identitas warga masyarakat yang ideal. Nilai-nilai kemanusiaan yang akan dikaji lebih jauh dalam penelitian ini adalah sikap luhur atau kebajikan yang berkaitan dengan nilai identitas diri, keagamaan, integrasi sosial, solidaritas sosial, dan etos kerja. Nilai-nilai semacam itu berkaitan erat dengan kepribadian daerah (lokal) yang dalam perjalanan waktu hampir lenyap, di antaranya adalah karena negasi kaum kolonial (Kartodirdjo, 1993: 4).

121

Walaupun demikian, rambu-rambu nilai kemanusiaan semacam itulah yang perlu mendapat tempat dalam memahami sejarah (Ismail, 1990: 17). Berkaitan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang perlu digali dan dipahami dari meteri sejarah perubahan sosial di Banyumas periode 1830-1900, maka dapat dinyatakan beberapa hal penting terlebih dahulu. Hal ini mengingat, betapapun sejarah merupakan sarana penting bagi pendidikan bangsa, tetap memiliki beberapa kelemahan, yang berkaitan dengan sifat sejarah yang abstrak-konseptual. Sejarah tidak dapat diamati secara langsung, karena peristiwanya itu sendiri telah berlalu. Dengan demikian, sejarah bagaimanapun pentingnya tetap memiliki sisi gelap, sebab peristiwa sejarah telah berada di luar pengalaman sehari-hari. Dengan demikian, hal ini memerlukan ketrampilan ilmiah para sejarawan untuk dapat menghidupkan kembali masa lampau itu, agar sejarah lebih punya makna dalam kehidupan sehari-hari. Agar supaya pemahaman sejarah benar-benar berdaya guna bagi pengembangan dan pembangunan karakter peserta didik, maka perlu dipikirkan bukan hanya strategi pembelajarannya, tetapi juga tentang seleksi bahan atau materi sejarah yang akan diajarkan. Dengan strategi yang tepat maka pesanpesan yang disampaikan terasa wajar dan tidak terkesan dipaksakan. Hal ini perlu dipertimbangkan, mengingat sasasan yang akan dibidik bukan sekedar pemahaman peristiwa secara faktual, tetapi juga tentang nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sesuai dengan tuntutan pembangunan moral bangsa. Tentu saja peran orang tua sangat diperlukan sampai ketika anak-anak memasuki usia sekolah, baik SD, SLTP, maupun SMA. Menjelang masa pubertas, yakni pada usia antara 12 tahun sampai 18 tahun yang merupakan episode yang sangat kritis. Pakar psikologi Amerika Serikat, Robert Havinghurst menyebutkan, bahwa sukses atau gagalnya karir masa depan anak sangat tergantung dari periode pubertas ini, sehingga layak disebut sebagai developmental task

122

yang menunjuk kepada suatu proses perkembangan anak menuju usia dewasa (Fatih, 2005: 3). Upaya semacam itu sudah pasti membutuhkan ketekunan dan kesabaran, serta memerlukan waktu yang relatif panjang. Keberhasilannya tidak dapat dilihat dalam kemampuan menghafal peristiwa, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana nilai-nilai sejarah dapat mempengaruhi perubahan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Tingkah laku tersebut meliputi kesadaran hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sudah barang tentu perkembangannya memerlukan waktu yang panjang dan keberhasilannya hanya dapat diraih secara berangsur-angsur (Sasyardi, 1990: 12). Sementara itu, menurut Penyarikan (1986: 23) mengenai sifat-sifat selektif materi sejarah dapat dipilih secara cermat, terutama yang mengandung dua unsur penting yang diperlukan, yaitu: a. Unsur Indonesiasentris. Hal ini berarti peristiwa sejarah disoroti dari kacamata Indonesia dan untuk kepentingan nasional. Sejarah yang berkaitan dengan bangsa-bangsa lain dibahas karena memang ada kaitannya dengan kepentingan bangsa Indonesia. b. Unsur kebanggaan. Berarti pembelajaran sejarah dapat menampilkan puncakpuncak peristiwa sejarah dalam masyarakat di Indonesia, sehingga dapat meningkatkan kesadaran nasional. Kesadaran akan keberadaan bangsa dalam percaturan peradaban umat manusia pada gilirannya akan menumbuhkan rasa bangga sebagai bangsa Indonesia. Untuk dapat mencapai harapan itu, maka materi pembelajaran sejarah yang ditampilkan, setidaknya harus mengarah pada upaya; a) Menunjukkan puncak-puncak kebesaran dan hasil-hasil pekerjaan (prestasi) yang layak dibanggakan, b) Menekankan

123

perhatian kepada peristiwa-peristiwa yang menunjukkan perkembangan kearah integrasi nasional, dan c) Menghindari penjelasan yang dapat meruncingkan perselisihan dan pertentangan yang dapat mengarah pada perpecahan (Widja, 1997: 178). Namun demikian, proses pembelajaran tetap perlu memperhatikan kondisi dan kepentingan peserta didik. Mereka memerlukan pengetahuan dan ketrampilan berpikir dalam proses penerimaan informasi secara efektif. Oleh sebab itu kurikulum dan pelaksanaan pembelajaran sejarah harus mampu memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan pengetahuan dan pemahamannya mengenai peristiwa sejarah, serta kemampuan berpikir dalam sejarah. Kemampuan berpikir itu sendiri merupakan suatu proses menegakkan hubungan kausalitas, mengubah dan menetapkan keterkaitan antara apa yang sudah diketahui dan apa yang belum diketahui. Dengan demikian berpikir dapat menghasilkan makna, kemampuan mencari hubungan antara berbagai informasi, sehingga dapat mengenal dan menemukan regularitas.Tahap mengklasifikasi dilakukan berdasarkan kemampuan siswa untuk dapat menemukan kesamaan dan perbedaan, serta kemampuan menemukan ciri khas suatu informasi (Hasan, 1977: 148). Dalam rangka mengambil kearifan lokal yang terkandung di dalam peristiwa perubahan sosial di Banyumas, dapat dilakukan dengan mengembangkan kemampuan berpikir dalam pendidikan IPS. Menurut Bloom (1956: 38), kemampuan berpikir diartikan sebagai kemampuan intelektual, yang meliputi kemapuan menganalisis, sistesis, dan evaluasi. Kemampuan berpikir semacam itu digolongkan sebagai kemampuan berpikir tingkat tinggi, yang berada di atas berpikir tingkat pemahaman. Kemampuan berpikir tinggi baru dapat dikembangkan, jika seseorang telah memiliki tingkat pengetahuan dan pemahaman. Sementara itu, Belth (1977: 188), menyatakan, bahwa pengetahuan adalah suatu yang dikonstruksikan oleh manusia dan bukan sesuatu

124

yang ada begitu saja dalam alam semesta. Manusia mengkostruksikan pengetahuan itu •berdasarkan data yang dikumpulkan. Data yang sama akan mendapat perlakuan yang berbeda dari berbagai disiplin ilmu, sehingga akan melahirkan konsep dan teori yang berbeda pula. Berdasarkan hal tersebut, maka kemampuan proses yang dapat dikemdangkan dalam rangka menggali kearifan lokal yang terkandung dalam peristiwa sejarah yang diteliti, meliputi kemampuan: 1) mengumpulkan informasi (data), 2) mengolah informasi, 3) memanfaatkan informasi, dan 4) menkomunikasikan hasilnya (Hasan, 1996:216). Dengan uraian di atas menunjukkan betapa pentingnya proses berpikir dalam mempelajari materi sejarah. Salah satu hasil yang diharapkan adalah kemampuan intelektual untuk menganalisis, sintesis, dan evaluasi makna, terutama yang berkaitan dengan nilai-nilai identitas diri (sel/ identityj, keagamaan, integrasi sosial, solidaritas sosial, dan etos keija, yang dapat diperoleh melalui proses pembelajaran sejarah. Sebagai bagian dari IPS, sejarah diajarkan dalam rangka membentuk warganegara yang ideal. Hal ini berdasarkan alasan, betapapun bangsa ini mempunyai kemampuan intelektual yang tinggi tetap saja rapuh, jika warga negaranya tidak peduli atau tidak memiliki pemahaman tentang nilai-nilai luhur sejarah bangsanya secara memadai. Dengan upaya tersebut, pemahaman nilai sejarah bukan saja akan dapat mendasari pembentukan kecerdasan dan intelektualitas, tetapi juga akan mendasari pembentukan martabat kemanusiaan yang tinggi. Hal ini berarti sangat relevan dengan upaya bersama untuk membangun masa depan melalui pemahaman materi sejarah perubahan sosial yang kompleks. Bahkan, pemahaman nilai sejarah semacam itu dipandang menempati posisi yang sangat strategis dalam memberikan sumbangan moral bagi pembangunan masyarakat dan bangsa.

Berikut ini akan dikemukakan secara teoretis tentang niiai-nil|i dengan identitas diri, keagamaan, integrasi sosial, solidaritas sosial, dakefs

_

ini dimaksudkan sebagai pedoman untuk memahami nilai-nilai tersebut yf"~ dalam peristiwa sejarah masyarakat Banyumas. 1. Nilai Identitas diri Bagi suatu anggota masyarakat, perkembangan identitas diri senantiasa berproses bersamaan dengan perjalanan historis, terutama yang berkaitan dengan sejarah dirinya yang tidak lepas dari pengaruh lingkungan sosialnya. Dalam interkomunikasi dengan lingkungan sosialnya, seseorang dapat menangkap kesan-kesan yang berasal dari luar dirinya melalui pancaindera, baik yang dilihatnya maupun yang didengarnya. Hal ini kemudian masuk kedalam alam sadarnya atau terhimpun di bawah sadarnya, berpadu dengan kesan-kesan dan pengalaman yang sudah ada, termasuk kesan yang diwarisi dari nenek moyangnya. Keseluruhan kesan-kesan dan pengalaman tersebut antara seseorang dengan orang lain tentu saja berbeda-beda. Hal itulah yang sangat berpengaruh terhadap pembentukan sifat dan tabiat manusia, yang berbeda antara orang yang satu dengan orang yang lain. Dengan demikian, maka untuk mengetahui pribadi seseorang tidak cukup hanya dengan mengenal satu individu itu saja, tetapi juga harus mengenal kehidupan orang tuanya, kehidupan nenek moyangnya maupun lingkungan sosialnya (Effendy, 1988:30-31). Seperti diketahui, salah satu tujuan dari perubahan sosial dalam masyarakat adalah kebutuhan untuk mencari identitas diri. Pada dasarnya proses pembentukan identitas diri tersebut melibatkan proses psikis, seperti pikiran, perasaan, intuisi, dan penginderaan. Salah satu di antara proses phikis itu bagi seseorang bisa bersifat dominan. Jika seseorang lebih dominan pikirannya, maka dia akan berusaha memahami

126

dengan jalan mendalami pengetahuan. Melalui logika, dia akan memberi penilaian benar atau salah. Orang yang dominan perasaannya, akan memahami lingkungannya dengan ukuran senang dan tidak senang. Sementara itu seseorang yang dominan intuisinya, akan menangkap segala hal dalam lingkungannya lebih banyak melalui penglihatan batin, dengan cara memahami makna secara keseluruhan. Kemudian orang yang dominan penginderaannya, akan menangkap hal-hal yang ada dalam lingkungannya sebagaimana apa adanya tanpa ukuran penilaian apapun (Effendy, 1988: 31). Dalam perkembangannya, proses psikis itu sangat erat hubungannya dengan lingkungan sosial, sehingga persona memainkan peranan penting. Persona adalah bentuk perilaku umum secara psikis dari manusia berkaitan dengan lingkungan sosialnya. Perilaku umum secara psikis merujuk pada pengertian tentang cara yang sudah terbiasa dilakukan oleh seseorang dalam menyesuaikan dirinya terhadap lingkungannya. Dengan demikian, persona adalah suatu bentuk kompromi antara watak kodrati dengan normanorma kolektif yang berlaku dalam masyarakat. Seseorang sebagai anggota masyarakat akan berusaha menyesuaikan diri dengan norma-norma yang berlaku di lingkungan sosialnya. Seperti diketahui, manusia mempunyai pembawaan sendiri, tetapi dia dihadapkan pada norma-norma yang berlaku umum dalam masyarakat. Seseorang akan berusaha menyesuaikan diri dengan norma-norma tersebut, sebab jika hal itu tidak dilakukan akan mucul perasaan resah, takut, dan tidak tenteram. Walaupun pada dasarnya setiap orang akan mengikuti watak kodratinya, tetapi orang yang bersangkutan akan tetap berusaha melakukan kompromi terhadap norma-norma yang berlaku di dalam lingkungannya (Effendy, 1988: 34). Kompromi semacam itu akan berlangsung secara terus-menerus sepanjang hidupnya dan hal inilah yang menjadi ciri dari persona seseorang. Pada hakekatnya

127

kesadaran akan identitas diri bagi seseorang berkaitan erat dengan kesadaran tentang kesejahteraan yang bersifat psiko-sosial. Tujuan utamanya adalah, harapan untuk memperoleh kepastian dan mengantisipasi pengakuan yang datang dari masyarakat sekitarnya (Erikson, 1979: 156). Dengan mengacu kepada tujuan tersebut dapat dinyatakan, bahwa konsep identitas merupakan masalah psikologi yang erat kaitannya dengan budaya masyarakat. Oleh sebab itu, identitas tersebut juga berkaitan erat dengan sejarah, karena budaya masyarakat dibangun bersamaan dengan proses historis. Tentang keterkaitan antara identitas dengan sejarah, dinyatakan, bahwa " Questions of identity are a central concern of psychology, which has found that loss identity results in loss of significance, without identity there is little meaning and purpose to life. Beverly Southgate, argues that history-the memories of things past-is of "supreme importance " in maintaining a sense of identity" (Why teach history?, 2000: 7). Hal ini berarti, begitu pentingnya fungsi sejarah dalam pembentukan identitas, baik secara individual maupun bagi masyarakat. Hal ini berdasarkan argumen, bahwa sejarah merupakan memori tentang masa lampau masyarakat, yang sangat penting dalam upaya memelihara suatu identitas masyarakat yang bersangkutan. Pada dasarnya, setiap orang membutuhkan memori bersama demi masa depan mereka, yang dapat diperoleh melalui pemahaman sejarah masyarakatnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan pernyataan di bawah ini. Evetyone needs his memories. Without this historical knowledge, this memory of things said and done, his today would be aimless and his Jomorrow without significance. . . . the needfor identity applies to nation as well to individuals, cultural identity contributes to meaning, purpose and cohesion in society. . . . . think of history as "society 's collective memory. Without that collective memory, the say, society would bee as rootless and adrift as and individual with amnesia.

128

A country without a memory is a country of madmen {Why teach history?, 2004: 7-8). Berdasarkan kutipan tersebut dapat dinyatakan, bahwa tanpa pengetahuan sejarah seseorang akan kehilangan memorinya, sehingga tidak mampu mengkaitkan antara pemahaman tentang hari ini dengan masa depannya. Untuk mengatasinya, dibutuhkan upaya untuk mengkaitkan identitas suatu bangsa dengan individu-individu dalam masyarakat. Dalam hal ini, identitas budaya yang dibangun melalui proses historis dapat memberi sumbangan yang cukup berarti sebagai alat pengikat masyarakat. Kedudukan sejarah sebagai memori kolektif seluruh anggota masyarakat menempati posisi sentral. Tanpa memori kolektif tersebut, masyarakat dan individu-individu yang ada di dalamnya diibaratkan berada pada kondisi mengidap amnesia. Jika ingatan tentang masa lampau itu terhapus, maka hapuslah identitas individu atau kelompoknya. Seseorang yang kehilangan ingatan akan masa lampaunya, akan berakibat hilangnya identitas mereka. Dalam kondisi demikian, seseorang tidak dapat mengenali dirinya dan orang-orang di sekitarnya dengan baik. Dengan demikian, masyarakat suatu negara yang tidak memahami dengan baik sejarah bangsanya, diibaratkan sebagai negara yang rendah kualitas warga negaranya. Dalam kondisi masayarakat yang tidak menentu dewasa ini, semakin dirasakan pentingnya nilai identitas, baik bagi kehidupan individu dan masyarakat sebagai bagian dari suatu bangsa. Hal ini menunutut adanya upaya pencarian identitas diri melalui pemahaman tentang masa lampaunya. 2. Nilai keagamaan Secara umum istilah agama dapat diartikan sebagai suatu sistem keyakinan, kepercayaan, dan seperangkat norma yang mengatur hubungan antara manusia dengan

129

Tuhan, manusia dengan sesamanya, dan juga yang mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya. Berdasarkan konsep antropologi, sistem tersebut terdiri dari seperangkat pranata dan kepercayaan, yang realisasinya diwujudkan dalam bentuk perilaku keagamaan yang dijiwai oleh suasana persaudaraan di lingkungan penganutnya (Suyono, 1985: 10). Dengan demikian, nilai keagamaan (religi) yang berlaku dalam masyarakat berkaitan erat dengan suatu proses kebudayaan di lingkungan para pemeluknya. Aktivitas manusia yang bersangkutan dalam lingkup keagamaan berdasarkan atas getaran jiwa yang biasanya disebut dengan emosi keagamaan atau religious emotion. Pada dasarnya emosi keagamaan pernah dialami oleh setiap manusia, walaupun kadarnya sangat bervariasi. Apapun kondisinya, emosi keagamaan itu dapat mendorong seseorang untuk melakukan tindakan-tindakan yang bersifat religi, yang menyebabkan suatu benda, tindakan, atau gagasan mendapat suatu nilai keramat {sacred values) dan dianggap keramat. Suatu sistem religi dalam suatu kebudayaan selalu mempunyai ciriciri

untuk memelihara emosi keagamaan bagi para pengikutnya (Koentjaraningrat,

1990: 376-377). Dengan demikian, emosi keagamaan merupakan salah satu unsur penting dalam suatu religi, di samping sistem keyakinan (kepercayaan) dan sistem upacara keagamaan yang berlaku dalam suatu masyarakat. Dalam studi antropologi, sistem keyakinan pada umumnya difokuskan pada konsepsi tentang dewa-dewa, mahluk-mahluk halus, konsepsi tentang terciptanya alam semesta (kosmogoni), konsepsi tentang bentuk dan sifat-sifat alam semesta (kosmologi), dan konsepsi tentang hidup dan mati, serta kehidupan sesudah mati (akherat). Adapun sistem upacara keagamaan berkaitan dengan empat aspek utama, yaitu tempat upacara keagamaan, waktu upacara, benda-benda dan alat upacara, serta pelaku upacara keagamaan (Kuntjaraningrat, 1990:377-378).

130

Dalam masyarakat petani di pedesaan, sistem keyakinan dan upacara keagamaan pada hakekatnya dilakukan untuk memenuhi beberapa fungsi yang bersifat sombolik, di antaranya adalah fungsi ekspresif dan fungsi moral. Fungsi ekspresif ini dapat diamati apabila gagasan, perbuatan dan benda-benda keramat diyakini dapat membantu mengatasi suatu krisis dalam kehidupan. Melalui perangkat itu, selain dapat membantu mengatasi kecemasan masyarakat, juga dapat meyakinkan, bahwa tekanan-tekanan yang menimpa mereka dapat memperoleh makna yang bersifat umum. Kemudian, fungsi moral, yang di samping berfungsi sangat penting dalam sistem kepercayaan dan upacara keagamaan juga terkandung pula fungsi moral, yang dapat menopang cara hidup yang baik. Dengan demikian, fungsi moral dari sistem keyakinan dan upacara keagamaan itu dapat menopang ikatan-ikatan sosial yang mempersatukan sendi-sendi kehidupan masyarakat. Lebih jauh, sistem kepercayaan dan upacara keagamaan itu dapat membantu mangatasi ketegangan-ketegangan sosial yang timbul, sehingga pada gilirannya dapat memperkuat sentimen-sentimen yang menentukan kontinuitas sosial masyarakat yang bersangkutan (Wolf, 1985: 175-176). Dalam lingkungan masyarakat petani pada umumnya diyakini, bahwa sistem kepercayaan dan upacara keagamaan menempati posisi penting dalam kehidupan mereka, karena dapat mendukung dan memelihara keseimbangan ekosistem dan organisasi sosial petani yang lebih luas. Dengan demikian, melalui sistem keagamaan masyarakat dapat menanggapi rangsangan-rangsangan, baik yang datang dari dalam masyarakat itu maupun dari tatanan sosial yang lebih luas. Hal ini akan menciptakan suatu tingkat hubungan yang mengikat masyarakat petani dengan tatanan sosial itu (Wolf, 1985: 179).

131

Sistem keagamaan yang berkembang dalam masyarakat, berpengaruh besar terhadap terbentuknya sistem kepemimpinan. Salah satu bentuk kepemimpinan yang cukup besar pengaruhnya adalah pimpinan lokal yang bersifat informal dan multi fungsi. Di kalangan masyarakat pedesaan dikenal kyai, yang merupakan pimpinan yang bergerak di wilayah keagamaan (Islam), tetapi dia sekaligus juga seorang guru dan tabib. Kyai juga seorang kepala sekolah (pesantren), di samping dia berfungsi pula sebagai mediator antara masyarakat pengikutnya dengan pihak penguasa (Antlov & Cederroth, 2001: 56). Pada prinsipnya, kepemimpinan merupakan perilaku sosial yang sangat erat kaitannya dengan sistem keyakinan yang dianut dalam masyarakat. Pemimpin pada umumnya sangat penting peranannya, terutama dalam hal mengawali tindakan, memberi perintah, mengambil keputusan, menangani peselisihan di antara anggotanya, memberi dorongan, bertindak sebagai teladan, dan selalu berada di depan dalam aktivitas kelompok (Sears, 1985: 120). Hal tersebut menggambarkan bagaimana seorang pemimpin mempengaruhi kelompoknya. Walaupun demikian, tidak semua pempinan melakukan semuanya. 3. Integrasi sosial Integrasi sosial merupakan konsep sosiologis yang berusaha menangkap semua karakteristik masing-masing warga masyarakat. Di sini perlu dibedakan konsep integrasi sosial dari konsep kesatuan nasional atau integrasi politik yang merupakan konsep ilmu politik untuk mengatasi akibat negatif dalam masyarakat, dalam arti ideologi, budaya, etnis, kawasan, dan lain-lain. Dikenal juga konsep kepribadian nasional, yang tidak lain merupakan konsep politik dengan menggunakan tema-tema kebudayaan. Konsep tersebut biasanya digunakan untuk menjawab perbenturan antara budaya, yang berlaku

132

dalam masyarakat dengan arus budaya asing, yang secara politik diartikan selalu berseberangan dengan kepentingan nasional. Semua itu dilancarkan dalam rangka pembangunan kharakter bangsa. Sebaliknya, integrasi sosial dimaksudkan sebagai proses yang datang dari dalam (immaneni) dari setiap masyarakat, agar mereka tetap survive, dan agar tidak terjadi kekacauan dalam tatanan masyarakat (disintegrasi). Namun harus pula disadari, bahwa konsep integrasi sosial tidak mengandung arti sebagai suatu peleburan budaya, melainkan yang penting adalah adanya keseimbangan (equilibrium). Dengan demikian, berarti dibenarkan adanya keanekaragaman, meski tetap disyaratkan adanya suatu harmoni (serasi, selaras, dan seimbang). Dari semua itu mengandung arti masih dimungkinkan adanya pembaharuan-pembaharuan dalam masyarakat sebagai upaya memperbaiki tatanan masyarakat tersebut dengan munculnya tokoh-tokoh pembaharu atau ide-ide pembaharuan. Menurut pandangan Alisjahbana (1974: 16-17), dalam upaya memahami mekanisme integrasi sosial dapat dijelaskan dengan menggunakan dua pendekatan. Pertama, konsep integrasi sosial itu dapat dijelaskan dengan teori Psikologi Gestalt, yang menyatakan bahwa sebagai suatu keseluruhan, karakternya tidak ditentukan oleh sifat komponen-konponennya, melainkan oleh karakter hakekat keseluruhan itu. Bagianbagian dari keseluruhan itu tidak mempunyai arti, tanpa kaitan dalam keseluruhan yang ditandai oleh berlangsungnya saling ketergantungan. Saling ketergantungan itu bukan saja antara komponen dengan keseluruhan yang terjadi interaksi, melainkan juga di antara komponen itu sendiri. Sebagai akibatnya, kita tidak dapat memahami sesuatu bagian yang dilepaskan dari keseluruhan. Kedua, mekanisme integrasi sosial itu dapat pula dijelaska dengan pengertian masyarakat sebagai suatu sistem. Seperti diketahui, dalam masyarakat terdapat unsur-

133

unsur sosial yang merupakan suatu jalinan yang padu. Setiap bagian atau sub-sistem mempunyai posisi serta sistem tertentu dalam keseluruhan, sehingga masing-masing mempunyai peranan dan penampilan yang telah dipolakan sesuai dengan harapanharapan sosial. Oleh karena itu, setiap masyarakat mempunyai tujuan dan setiap warga masyarakat yang ada di dalamnya terikat pada tujuan yang sama pula. Di samping itu, setiap warga masyarakat juga merasa terikat pada nilai-nilai yang sama. Meskipun demikian,

masyarakat juga merupakan

sistem

yang terbuka,

sehingga

selalu

memungkinkan adanya proses penyesuaian dengan kondisi lingkungannya/Tentang integrasi sosial juga dapat dijelaskan dengan konsep sosiologi. Para ahli sosiologi beranggapan, bahwa orang tidak dilahirkan secara langsung sebagai manusia. Akan tetapi, harus melewati terlebih dahulu proses interaksi dengan orang lain dan lingkungannya (Banks, 1977: 250). Malalui proses sosialisasi itu, kemudian akan dapat menumbuhkan saling ketergantungan di antara sesama warga masyarakat, karena mereka merasa saling membutuhkan. Malalui sosialisasi itu pula warga masyarakat yang baru memperoleh nilai-nilai dan norma-norma yang diyakini dan dipergunakan dalam kehidupan seharihari. Semua itu merupakan prasyarat agar setiap anggota masyarakat dapat memainkan peranan masing-masing, sesuai dengan harapan-harapan sosial. Peran yang harus dimainkan oleh setiap anggota masyarakat berbeda-beda sesuai dengan status dan posisinya dalam kelembagaan tertentu. Sebenarnya, interaksi yang dirasakan sebagai suatu hal yang nyata justru terletak pada tingkat kelembagaan. Sementara pada tingkat komunitas atau warga masyarakat, interaksi itu lebih bersifat abstrak. Masyarakat merupakan kesatuan sosial yang berstruktur, menempati suatu kawasan tertentu dan di antara warganya dihubungkan dengan sejumlah peranan, sehingga membentuk suatu

134

keteraturan. Hal ini terjadi karena seluruh unit dalam sistem yang ada di dalamnya tunduk kepada norma dan nilai tertentu (Johnson, 1986: 114). Suatu hal yang tidak dapat diabaikan adalah, tereciptanya integrasi sosial tidak juga dapat lepas dari tersedianya sarana komunikasi yang tepat. Hal ini disebabkan, orang yang menghadapi persolan bersama belum tentu sependapat dalam upaya mengatasinya, kecuali jika mereka menyadari tentang situasi kebersamaan mereka (Svalastoga, 1989: 99). Oleh sebab itu, dalam upaya mewujudkan integrasi sosial dalam masyarakat sangat diperlukan penyebarluasan ide-ide, gagasan, untuk dapat memahami situasi dan kondisi secara bersama, sehingga akan mendorong keseragaman perilaku sosial. Hal ini dapat dicapai dengan menggunakan sarana dan jalur-jalur komunikasi yang setepat mungkin. Selama masa sosialisasi berlangsung, pada umumnya masyarakat melakukan sistem sanksi yang diberikan kepada warganya. Pemberian sanksi itu terjadi dalam berbagai lapisan masyarakat sebagai bentuk kontrol sosial untuk mendisiplinkan anggota-anggotanya agar dapat hidup sesuai dengan perilaku kolektif. Dengan demikian, setiap anggota masyarakat dapat hidup bertanggung jawab sebagai warga masyarakat. Dengan tumbuhnya tanggung jawab itu, maka setiap warga nasyarakat dapat memainkan peran sosial mereka sesuai dengan harapan-harapan sosial (Johnson, 1986: 114). 4. Solidaritas sosial Manusia adalah mahluk sosial dan organisasai sosial merupakan faktor penting dalam kehidupan mereka. Mengenai sifat-sifat sosial manusia berasal dari kenyataan, bahwa untuk menolong diri sendiri dalam aktivitas yang diperlukan dalam rangka mempertahankan hidupnya, manusia harus menyandarkan dirinya kepada orang lain. Tidak ada seseorang yang secara mutlak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri.

135

Kebutuhan manusia hanya akan dapat dipenuhi melalui usaha kerja sama dengan manusia lain. Walaupun manusia sebagai mahluk individu, tetapi tidak ada seorangpun individu yang selamanya mampu hidup sendiri. Solidaritas adalah faktor penting bagi setiap individu agar dia dapat menerima invidu lain dalam kesejajaran. Dalam kenyataannya ada kelompok tertentu memiliki kadar solidaritas yang kuat, tetapi ada juga kelompok lain yang kurang kuat solidaritasnya. Menyimak hal ini, maka ikatan kekeluargaan merupakan faktor penting dalam menciptakan solidaritas tersebut, karena dengan ikatan kekeluargaan itu manusia memiliki dorongan alamiah untuk melindungi kerabat mereka dari serangan atau ancaman pihak lain (Lauer, 1989: 44-45). Dalam kenyataannya, manusia hidup di tengah-tengah lingkungan alam dan lingkungan sosial. Mereka melakukan berinteraksi dengan kedua jenis lingkungannya itu tidak hanya secara pasif, tetapi dituntut secara aktif dalam rangka memenuhi kebutuhan kehidupan yang ideal. Dengan interaksi tersebut, manusia dapat saling belajar, saling mengisi, dan saling mengembangkan pengertian dan kemampuannya dalam bidang intelektual dan spiritual. Proses sosial yang terjadi dari hubungan antar manusia itu menimbulkan suatu kekuatan baru, yang dapat mempererat hubungan antar manusia, seperti kasih sayang, cinta, saling membutuhkan, saling menghargai, dan saling menguntungkan. Pada umumnya kekuatan yang bersifat asosiatif itu berpangkal dari suatu hal yang sama-sama dimiliki, seperti persamaan keturunan, persamaan wilayah, persamaan bahasa, persamaan kebudayaan (Pranowo, 1988: 2). Semua itu dapat memudahkan terwujudnya suatu solidariras sosial di antara warga masyarakat. Istilah solidaritas sosial mengacu pada teori sosiologi untuk memahami bentuk kesadaran kolektif yang terjadi dalam masyarakat. Dalam perkembangannya, sering digunakan istilah solidaritas mekanik dan solidaritas organik agar dapat menganalisis

136

solidaritas masyarakat secara keseluruhan. Solidaritas mekanik didasarkan pada suatu kesadaran kolektif (collective consciusness) yang merujuk pada totalitas kepercayaan *-* ' dan sentimen bersama yang rata-rata pada warga masyarakat memiliki ciri yang sama. Solidaritas semacam ini tergantung pada individu-individu yang memiliki sifat-sifat yang sama dan menganut kepercayaan dan pola normatif yang sama pula. Hal yang paling penting bagi berkembangnya solidaritas mekanik adalah tingkat homogenitas yang sangat tinggi dalam hal kepercayaan, sentimen dan lain-lain, yang hanya mungkin dicapai apabila dalam masyarakat belum berkembang pembagian kerja berdasarkan spesialisasi (Johnson, 1986: 183, Abdullah & Leeden, 1986: 13). Sementara itu, solidaritas organik muncul karena pembagian kerja dalam masyarakat yang telah berkembang. Dengan dmikian, solidaritas ini berdasarkan pada tingkat

saling

ketergantungan

yang

tinggi,

yang

disebabkan

oleh

semakin

berkembangnya spesialiasasi dalam pembagian pekerjaan. Munculnya perbedaanperbedaan di tingkat individu akan merombak kesadaran kolektif, yang dipandang tidak penting lagi sebagai dasar keteraturan sosial. Sebagai gantinya, muncul saling ketergantungan fungsional di antara individu-individu yang memiliki spesialisasi, yang secara relatif lebih otonom sifatnya (Abdullah & Leeden, 1986: 13-14). Dari sini dapat dinyatakan, bahwa ciri-ciri yang menonjol dari kedua jenis silidaritas itu adalah, sifat kolektivitas untuk solidaritas mekanik dan sifat individualitas bagi solidaritas organik. Kehidupan masyarakat petani di pedesaan secara tradisional selalu digambarkan sebagai masyarakat yang homogen terutama dalam mentalitas dan moralitasnya. Dengan dermikian, mereka memiliki totalitas kepercayaan dan keyakinan yang sama, yang belum mengenal diferensiasi fungsi atau pembagian keija secara rinci. Sering pula digambarkan, bahwa masyarakat desa merupakan kesatuan yang mencakup

kelompok-kelompok hubungan yang bersifat akrab, antar pribadi, fta^jp^'y (familistis) yang terarah kepada afeksi (perasaan-emosi), dan tradisiwi^ vdengan adat atau tata cara yang berlaku (Kartodirdjo, 1990: 91). Dalam ini, masyarakat desa digolongkan sebagai masyarakat dengan sifat mekanik yang cenderung bersifat kolektivitas. Dalam kenyataannya, kondisi tradisional masyarakat desa mengalami pergeseran secara berangsur-angsur, seiring dengan masuknya pengaruh asing dan modernisasi. Dalam masyarakat mulai dikenal fungsi-fungsi baru yang berbeda-beda dengan disertai koordinasi yang serasi, sehingga masyarakat dapat berfungsi lebih baik. Kenyataan sepeti itu sering disebut dengan pegeseran integrasi struktural kearah berkembangnya integrasi fungsional, yang ditandai dengan semakin banyaknya diferensiasi sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Sementara itu, perlu diperhatikan pula jenis hukum yang diberlakukan, juga terus disesuaikan agar tetap dapat menjadi pendorong terjadinya solidaritas sosial dalam masyarakat. Hukum represif yang menjadi dasar solidaritas masyarakat mekanis secara perlahan bergeser menjadi hukum yang sifatnya retributif sebagai dasar koordinasi masyarakat organis (Abdullah & Leeden, 1986: 14). Pada hakekatnya, solidaritas sosial dalam masyarakat organis ditentukan oleh interaksi antara pembagian kerja, proses pertukaran sosial, dan dengan moralitas yang timbul dari pertukaran itu. Kiranya perlu pula dipahami, bahwa situasi masyarakat pedesaan di Jawa sampai awal abad ke-20 diwarnai oleh perbedaan struktural yang mengarah kepada perbedaan fungsional, walaupun masih berada pada taraf tradisional dan tidak mencapai tingkat perbedaan seperti dalam masyarakat industrial (Colletta & Kayam, 1987: 256).

138

Lebih jauh dapat dinyatakan, bahwa ciri-ciri yang melekat pada masyarakat T* pedesaan dalam periode itu adalah sebabagi berikut: Pertama, perbedaan fungsional telah mulai

meningkat,

Kedua, karena adanya fungsional

masih

tetap

tidak hanya merupakan suatu pemisahan yang identik. moralitas dan kesadaran terbatas

dan

bahkan

kolektif, walaupun perbedaan menekankan

pada

perbedaan

struktural, tetapi telah ada suatu solidaritas organis. Ketiga, hal ini memungkinkan timbulnya integrasi fungsional yang lebih kuat, dengan akibat bahwa masyarakat desa tidak merupakan suatu integritas struktural tersendiri. Dalam situasi masyarakat semacam itu, kerja gotong royong merupakan manifestasi solidaritas sosial tingkat tinggi yang didasarkan pada moralitas, rasa bersatu, dan common sentiment atau konsensus umum (Colletta & Kayam, 1987: 256). Konsep gotong royong itu erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat petani. Dalam masyarakat agraris, sering dihadapkan kepada pengerahan pengerahan tenaga keija tambahan, mengingat banyaknya pekerjaan yang harus segera diselesaikan. Untuk mengatasi kondisi darurat itu, mereka memobilisasi tenaga keija yang berasal dari luar kalangan keluarganya sendiri. Dari sanalah konsep gotong royong dikembangkan lebih jauh dalam masyarakat pedesaan. Dengan demikian konsep gotong royong selalu berkait dengan upaya mengisi kekurangan tenaga, dalam lingkaran pekerjaan produksi pertanian (Koentjaraningrat, 1987,1: 12). 5. Etos kerja Etos kerja yang sering disebut work-ethics, mengacu pada pengertian yang berkaitan dengan keyakinan masyarakat terhadap nilai kerja. Dalam kenyataannya, setiap masyarakat memiliki keyakinan yang tidak sama terhadap aktivitas keija, sehingga mereka akan memberi pandangan, nilai dan penghargaan tertentu. Hal ini

139

sangat penting artinya dalam kehidupan masyarakat, karena motivasi masyarakat dalam melakukan aktivitas sehari-hari sangat dipengaruhi oleh keyakinan mereka terhadap pandangan, nilai dan penghargaan tentang kerja tersebut (Lubis, 1977: 15). Bagi masyarakat tradisional yang masih bersifat feodalistik seperti yang berkembang dalam masyarakat pedesaan Jawa sampai abad ke-I9, etos ketja yang berlaku dalam masyarakat belum dikaitkan dengan pencapaian prestasi. Walaupun demikian nilai kerja tetap dipandang tinggi, mengingat di dalam kerja tersimpan makna kesetiaan, keihklasan, dan kesungguhan. Dalam lingkungan masyarakat yang feodalistik, berlaku etos kerja yang tidak dapat terlepas dengan nilai pengabdian. Dalam kerangka itu, seseorang abdi dituntut untuk selalu patuh, setia, dan tekun menjunjung perintah atasannya. Dengan pertimbangan etos kerja semacam itu, maka nilai kerja lebih ditekankan pada siapa yang patut ditaati dalam melaksanakan kerja. Kepatuhan abdi menuntut agar tidak mempertimbangkan imbalan, kecuali nama harum atau prestise. Sudah selayaknya seorang abdi patuh dan setia secara mutlak kepada atasannya. Dengan demikian, penilaian tentang kerja bukan terletak pada penyelesaian kerja itu, tetapi tergantung bagaimana sikap orang yang memberi kerja. Dari sini dapat dinyatakan, bahwa nilai kerja tidak diletakkan pada penyelesaian masalah, tetapi pada penyelarasan diri kepada sikap orang yang diabdi. Dalam pemahaman yang menyeluruh, berbagai bentuk kerja dalam masyarakat tradisional, harus selalu mempertimbangkan keselarasan diri dengan alam fisik, alam manusia, dan

harus menyelaraskan diri dengan selera

atasan (Kartodirdjo, 1987: 136-138). Ketergantungan kelas sosial yang rendah (wong cilik) kepada kelas sosial yang lebih tinggi (priyayi) tidak terlepas dari pola hubungan patron-client, sebagai suatu pola hubungan persahabatan yang berat sebelah. Suatu hal yang tetap dijaga dalam pola

140

hubungan itu adalah, keselarasan dan saling menguntungkan secara timbal balik. Pihak patron sesuai dengan sifat dasarnya, akan selalu lebih banyak menguasai sumber-sumber yang dapat dipertukarkan kepada client. Sementara itu pihak client rupanya tidak hanya menguasai sumber pelayanan jasa, tenaga kerja, kemiliteran, dan politik untuk ditawarkan. Pada dasarnya pihak client dapat memberikan pelayanan jasa yang bernilai bagi pihak lain, walaupun imbangan keuntungan yang dipetik pihak patron cederung lebih banyak (Legg, 1983: 26:27). Aspek positif dari etos keija semacam itu dapat memudahkan para pimpinan untuk memobilisasi penduduk untuk berpartisipasi dalam aktivitas kerja. Semangat pengabdian yang diwujudkan dalam bentuk kerja semacam itu bersumber pada suatu konsep, bahwa hidup ini harus dijalani dan wajib disyukuri. Segi positif dari etos semacam itulah yang membentuk sikap hidup tahan penderitaan, yang diwujudkan dalam bentuk keuletan dalam menjalani kehidupan dan kesanggupan menjalani proses gerak hidup dalam masyarakat. Sikap mental masyarakat semacam itu tentu sangat penting artinya, karena dipandang sebagai pendorong toleransi di antara penduduk dalam menjalani kehidupan ini. Lebih jauh, berkembangnya sikap toleransi itu dipandang merupakan salah satu unsur dari etos kerja gotong-royong. Etos kerja ini sebenarnya bersandar kepada pemahaman, bahwa manusia itu tidak hidup sendiri di dunia ini, tetapi dikelilingi oleh sistem sosial dari komunitas dan masyarakat sekitarnya, sehingga individu hanyalah merupakan suatu unsur yang ikut terbawa dalam proses peredarannya (Kuntjaraningrat, 1992: 79-81). Konsep ini sangat besar pengaruhnya bagi kehidupan masyarakat tradisional, yang dipandang telah memberi rasa aman

nurani

yang sangat dalam dan mantap. Dalam pikiran anggota masyarakat tetap ada bayangan,

141

bahwa hidup ini tidak sebatang kara, sehingga jika menghadapi bencana dan mala petaka pasti ada orang lain yang membantu. Dalam prakteknya, etos kerja gotong-royong, baik yang berkaitan dengan pemenuhan unit ketja maupun unit konsumsi, terdapat kecenderungan untuk saling membantu di antara warga masyarakat. Semangat kebersamaan yang tercermin dalam kerja gotong royong itu mengarah kepada upaya membantu dan melindungi sesama warga masyarakat dari kondisi keterbatasan tenaga maupun dana. Aspek positif dari kerja gotong royong, terutama adalah berkembangnya tenggang rasa terhadap orang lain dan upaya untuk saling memahmi kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh orang lain. Sementara itu terdapat pula aspek negatifnya, terutama adalah sikap menggampangkan, karena dalam pikiran orang selalu ada anggapan, bahwa akan ada orang lain yang membantu mengatasi kesulitan yang dihadapi. Dengan demikian, maka motivasi untuk berusaha secara mandiri sering kali sangat lemah. Hal ini dapat pula melemahkan rasa tanggung jawab terhadap dirinya sendiri (Koentjaraningrat, 1987, III: 8). Segi negatif dari sistem kerja gotong-royong semacam itu, sering dikaitkan dengan tori kemalasan sosial, yang didasarkan pada pengalaman empirik. Dinyatakan, bahwa semakin banyak tenaga kerja yang dikerahkan untuk menggarap suatu pekerjaan tertentu, maka semakin kecil produtivitas tenaga yang dikeluarkan oleh setiap orang. Hal ini tidak berkaitan dengan motivasi setiap individu dalam kelompok masyarakat ketika melalukan kerja bersama. Akan tetapi, gejala itu dipandang sebagai indikasi, bahwa dalam bentuk kerja gotong royong yang melibatkan banyak anggota kelompok, terdapat kecenderungan individu-individu bekerja kurang keras dibandingkan jika dia bekerja sendirian (Sears, 1985: 152).

142

Pada periode akhir abad ke-19, etos kerja yang berorientasi kepada atasan mulai menunjukkan gejala yang semakin memudar. Berbagai bentuk kerja mulai dipandang sebagai upaya untuk memenuhi sandang dan pangan, sehingga telah dikaitkan dengan imbalan kongkrit yang bukan hanya sekedar prestise semata-mata. Seperti diketahui, dengan masuknya pengaruh kolonial, secara lambat laun pandangan masyarakat tentang nilai kerja mengalami pergeseran. Kerja tidak lagi dinilai atas dasar penyesuaian diri terhadap alam, tetapi lebih mengarah kepada tuntutan prestasi kerja dan imbalannya. Bahkan kemudian kerja dikaitkan dengan pembagian yang sangat beragam berdasarkan pada imbangan tenaga fisik dan keahlian, yang meliputi kerja halus, sedang, dan kerja kasar. Termasuk dalam jenis kerja halus, adalah sastrawan, seniman, dan pegawai. Kemudian, untuk jenis kerja sedang, antara lain meliputi sebagai pedagang, tukang, dan pertani. Sementara itu, jenis kerja kasar merupakan peketjaan sebagai buruh dan pekerjaan

lain yang mengandalkan kekuatan fisik dari jenis pekerjaan yang

bersangkutan (Kartodirdjo, 1987: 140). Bagi penduduk pedesaan, konsekuensi dari pergeseran pandangan tentang nilai kerja itu, memaksa mereka harus mempertahankan keseimbangan antara tuntutantuntutannya sendiri dan tuntutan-tuntutan yang datang dari luar, sehingga kehidupan mereka diwarnai oleh ketegangan-ketegangan. Pihak kolonial memandang, bahwa petani merupakan sumber tenaga kerja yang perlu dieksploitasi untuk kepentingan mereka. Dengan demikian, maka unit petani pedesaan {peasant unit) bukan hanya berkedudukan sebagai unit keija yang terdiri dari sekian banyak tangan yang harus siap bekerja pula untuk kepentingan pihak kolonial. Sementara itu, di lingkungan petani sendiri tetap harus mempertahankan hidupnya melalui kerja yang produktif. Hal ini disebabkan,

143

mereka juga merupakan unit konsumsi yang harus menanggung sekian banyak mulut, sesuai dengan banyaknya warga masyarakat (Wolf, 1985: 19).