BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

Download Kadar Glukosa Plasma > 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram .... Pasien Diabetes tipe 2, umumnya pasien perlu minum obat anti...

0 downloads 707 Views 279KB Size
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS

2.1 Kajian Pustaka 2.1.1

Diabetes Melitus

2.1.1.1 Pengertian Diabetes Melitus Menurut Perkeni (2011) dan ADA (2012) Diabetes Melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, gangguan kerja insulin atau keduanya, yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah. Diabetes Melitus adalah kelainan yang ditandai dengan kadar glukosa darah yang melebihi normal (hiperglikemia) dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang disebabkan oleh kekurangan hormone insulin secara relatif maupun absolut, apabila dibiarkan tidak terkendali dapat terjadinya komplikasi metabolik akut maupun komplikasi vaskuler jangka panjang yaitu mikroangiopati dan makroangiopati (Soegondo dkk, 2004). Kesimpulannya, Diabetes Melitus adalah gangguan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak yang ditandai oleh hiperglikemia. Hiperglikemia terjadi karena akibat dari kekurangan insulin atau menurunnya kerja insulin.

18

2.1.1.2 Klasifikasi dan Diagnosis Diabetes Melitus Klasifikasi dari Diabetes Melitus berdasarkan ADA (2012) dan Perkeni (2011) adalah sebagai berikut (Gustaviani, 2007; Ignativicius dan Workman, 2006; Smeltzer et al, 2008) : Tabel 2.1 Klasifikasi Etiologis Diabetes Melitus (ADA, 2007) I Diabetes Melitus Tipe 1 (Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut): A. Melalui Proses Imunologik B. Idiopatik II Diabetes Melitus Tipe 2 (Bervariasi mulai terutama yang predominan resistensi insulin disertai defesiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin) III Diabetes Melitus Tipe Lain A. Defek Genetik fungsi sel Beta : - Kromosom 12, HNF-1α (dahulu MODY 3) - Kromosom 7, glukokinase (dahulu MODY 2) - Kromosom 20, HNF-4α (dahulu MODY 1) - Kromosom 13, insulin Promoter factor-1 (IPF-1, dahulu MODY 4) - Kromosom 17, HNF-1β (dahulu MODY 5) - Kromosom 2, Neuro D1 (dahulu MODY 6) - DNA Mitochondria, dan lainnya B. Defek genetik kerja insulin : resistensi insulin tipe A, leprechaunism, sindrom Rhabson Mendenhall, diabetes lipoatrofik, lainnya C. Penyakit eksokrin Pankreas : Pankreatitis, trauma/pankreatektomi, neoplasma, fibrosis kistik, hemokromatosis, pankreatopati fibro kalkulus, lainnya D. Endokrinopati : akromegali, sindrom cushing, feokromotositoma, hipertiroidisme somatostatinoma, aldosteronoma, lainnya E. Karena obat/zat kimia : vacor, pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid, hormone tiroid, diazoxid, agonis β edrenergic, tiazid, dilantin, interferon alfa, lainnya F. Infeksi : rubella congenital, CMV, lainnya G. Imunologi (jarang) : sindrom “Stiff-man”, antibody anti reseptor insulin lainnya H. Sindrom genetik lain : Sindrom Down, Sindrom Klinefelter, sindrom Turner, sindrom Wolfram’s, Ataksia Friedreich’s, Chorea Hutington, sindrom Laurence-Moon-Biedl, Distrofi Miotonik, Porfiria, Sindrom Prader Willi, lainnya IV Diabetes kehamilan

19

Diagnosis dari Diabetes Melitus harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah. Penegakan diagnosis Diabetes Melitus harus memperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Penegakan diagnosis berdasarkan pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena (Gustaviani, 2007; Perkeni, 2011). Penggunaan bahan darah utuh (whole blood), vena ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO, sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler (Perkeni, 2011). Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya Diabetes Melitus perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik Diabetes Melitus seperti tersebut di bawah ini (Gustaviani, 2007; Perkeni, 2011) : 1. Keluhan klasik Diabetes Melitus berupa : poliuria, polidipsi, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. 2. Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita. Diagnosis Diabetes Melitus dapat ditegakkan melalui tiga cara. Pertama, jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa

20

plasma > 200mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis Diabetes Melitus. Kedua, dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa yang lebih mudah dilakukan, mudah diterima oleh pasien serta murah, sehingga pemeriksaan ini dianjurkan untuk diagnosis Diabetes Melitus. Ketiga dengan TTGO. Meskipun TTGO dengan beban 75 gram, glukosa lebih sensitif dan spesifik di banding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun memiliki keterbatasan sendiri. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat di tabel 2.2 dan gambar 2.1.

Gambar 2.1 Langkah-Langkah Diagnostik Diabetes Melitus dan toleransi Glukosa Terganggu (Sumber : Perkeni, 2011) Tabel 2.2 Kriteria Diagnostik Diabetes Melitus dan Gangguan Glukosa 1. A1C ≥ 6,5 % atau 2. Kadar Glukosa Darah Sewaktu (plasma vena) > 200 mg/dl atau 3. Kadar Glukosa Darah Puasa > 126 mg/dl atau 4. Kadar Glukosa Plasma > 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram pada TTGO Sumber : ADA (2012)

21

2.1.1.3 Gejala dan Tanda Diabetes Melitus Gejala dan tanda-tanda Diabetes Melitus dapat digolongkan menjadi gejala akut dan gejala kronik (Ignativicius dan Workman, 2006; Perkeni, 2011) : 1. Gejala Akut Penyakit Diabetes Melitus Gejala penyakit Diabetes Melitus dari satu penderita ke penderita lain bervariasi, bahkan mungkin tidak menunjukkan gejala apa pun sampai saat tertentu. Permulaan gejala yang ditunjukkan meliputi serba banyak (poli) yaitu banyak makan (poliphagi), banyak minum (polidipsi) dan banyak kencing (poliuri). Keadaan tersebut, jika tidak segera diobati maka akan timbul gejala banyak minum, banyak kencing, nafsu makan mulai berkurang/berat badan turun dengan cepat (turun 5 – 10 kg dalam waktu 2 – 4 minggu), mudah lelah, dan bila tidak lekas diobati, akan timbul rasa mual, bahkan penderita akan jatuh koma yang disebut dengan koma diabetik. 2. Gejala Kronik Diabetes Melitus Gejala kronik yang sering dialami oleh penderita Diabetes Melitus adalah kesemutan; kulit terasa panas, atau seperti tertusuktusuk jarum; rasa tebal di kulit; kram; capai; mudah mengantuk, mata kabur, biasanya sering ganti kacamata; gatal di sekitar kemaluan terutama wanita; gigi mudah goyah dan mudah lepas kemampuan seksual menurun, bahkan impotensi dan para ibu hamil

22

sering mengalami keguguran atau kematian janin dalam kandungan, atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4 kg (Soegondo dkk, 2004).

2.1.1.4 Patogenesis Diabetes Melitus Semua tipe Diabetes Melitus, sebab utamanya adalah hiperglikemi atau tingginya gula darah dalam tubuh yang disebabkan sekresi insulin, kerja dari insulin atau keduanya (Ignativicius & Workman, 2006). Defisiensi insulin dapat terjadi melalui 3 jalan, yaitu (ADA, 2012) : a. Rusaknya sel-sel β pancreas. Rusaknya sel beta ini dapat dikarenakan genetik, imunologis atau dari lingkungan seperti virus. Karakteristik ini biasanya terdapat pada Diabetes Melitus tipe 1. b. Penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas. c. Kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer. Apabila di dalam tubuh terjadi kekurangan insulin, maka dapat mengakibatkan (Ignativicius dan Workman, 2006; Smeltzer et al, 2008) : a. Menurunnya transpor glukosa melalui membran sel, keadaan ini mengakibatkan sel-sel kekurangan makanan sehingga meningkatkan metabolisme lemak dalam tubuh. Manifestasi yang muncul adalah penderita Diabetes Melitus selalu merasa lapar atau nafsu makan meningkat atau yang biasa disebut poliphagia. b. Meningkatnya pembentukan glikolisis dan glukoneogenesis,

23

karena proses ini disertai nafsu makan meningkat atau poliphagia

sehingga

dapat

mengakibatkan

terjadinya

hiperglikemi. Kadar gula darah tinggi mengakibatkan ginjal tidak mampu lagi mengabsorpsi dan glukosa keluar bersama urin, keadaan ini yang disebut glukosuria. Manifestasi yang muncul yaitu penderita sering berkemih atau poliuria dan selalu merasa haus atau polidipsi. c. Menurunnya glikogenesis, dimana pembentukan glikogen dalam hati dan otot terganggu. d. Meningkatkan glikogenolisis, glukoneogenesis yang memecah sumber selain karbohidrat seperti asam amino dan laktat e. Meningkatkan lipolisis, dimana pemecahan trigliserida menjadi gliserol dan asam lemak bebas f. Meningkatkan ketogenesis (merubah keton dari asam lemak bebas g. Proteolisis, dimana merubah protein dan asam amino dan dilepaskan ke otot

2.1.1.5 Faktor Risiko Diabetes Melitus Penegakan diagnosa Diabetes Melitus, selain dilakukan uji diagnostik dan skrining. Uji diagnostik Diabetes Melitus dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala atau tanda Diabetes Melitus, sedangkan skrining bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai risiko Diabetes Melitus. Skrining dikerjakan pada

24

kelompok dengan salah satu

risiko Diabetes Melitus Tipe 2 sebagai

berikut : 1.

Tidak mempunyai aktivitas fisik

2.

Keturunan dari ras yang mempunyai risiko tinggi seperti Afrika Amerika, Latin, Asia Amerika

3.

Berat badan lebih : BB > 120% BB idaman atau IMT ≥ 25 kg/m2

4.

Hipertensi ( ≥140/90 mmHg)

5.

Riwayat Diabetes Melitus dalam garis keturunan

6.

Riwayat Diabetes dalam kehamilan, riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau berat badan lahir bayi > 4000 gram

7.

Wanita dengan sindrom polikistik ovarium

8.

A1C ≥ 5,7 % atau Riwayat gangguan toleransi glukosa

9.

Riwayat atau penderita PJK, TBC, atau hipertiroidisme.

10. Kolesterol HDL ≤ 35 mg/dl dan atau trigliserida ≥200 mg/dl (ADA, 2012, Gustaviani, 2007; Perkeni, 2011; Ignativicius & Workman, 2006; Smeltzer et al, 2008) Catatan : Untuk skrining kelompok risiko tinggi yang hasilnya negatif, skrining ulangan dilakukan tiap tahun; sedangkan bagi mereka yang berusia lebih dari 45 tahun tanpa faktor resiko, skrining dapat dilakukan setiap 3 tahun (ADA, 2010; Soegondo dkk, 2004; Gustaviani, 2007).

25

Selain itu pada tabel 2.3, dapat dilihat untuk membedakan kadar Glukosa darah antara yang pasti Diabetes Melitus dan yang bukan Diabetes Melitus sebagai patokan penyaring . Tabel 2.3 Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa sebagai Patokan Penyaring dan Diagnosis DM Bukan Belum pasti DM DM DM Kadar Glukosa darah Plasma vena < 110 110-199 ≥ 200 sewaktu (mg/dl) Darah kapiler < 90 90-199 ≥ 200 Kadar Glukosa darah Plasma vena < 110 110-125 ≥ 126 puasa (mg/dl) Darah kapiler < 90 90-109 ≥ 110 Sumber : Perkeni (2011)

2.1.1.6 Manajemen Diabetes Melitus Kaki diabetik dapat timbul karena tidak terkontrolnya gula darah, oleh sebab itu sangat diperlukan manajemen diabetes yang baik dalam upaya pencegahan primer kaki diabetik. Menurut Perkeni (2011), manajemen Diabetes Melitus terdiri dari: 1. Edukasi Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi.

26

2. Terapi gizi medis atau Perencanaan Makan Terapi Gizi Medis (TGM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara total. Kunci keberhasilan TGM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain dan pasien itu sendiri). Menurut Smeltzer et al, (2008) yang juga mengutip dari ADA bahwa perencanaan makan pada pasien diabetes meliputi : 1. Memenuhi kebutuhan energi pada pasien Diabetes Melitus 2. Terpenuhinya nutrisi yang optimal pada makanan yang disajikan seperti vitamin dan mineral 3. Mencapai dan memelihara berat badan yang stabil 4. Menghindari makan makanan yang mengandung lemak, karena pada pasien Diabetes Melitus jika serum lipid menurun maka resiko komplikasi penyakit makrovaskuler akan menurun 5. Mencegah level glukosa darah naik, karena dapat mengurangi komplikasi yang dapat ditimbulkan dari Diabetes Melitus 3. Latihan jasmani Kegiatan jasmani sehari - hari dan latihan jasmani secara teratur (3 - 4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan Diabetes Melitus. Kegiatan sehari - hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan. Selain untuk menjaga kebugaran juga, latihan jasmani dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin,

27

sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti: jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Pasien yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi Diabetes Melitus dapat dikurangi. 4. Intervensi farmakologis Pengobatan diabetes secara menyeluruh mencakup diet yang benar, olah raga yang teratur, dan obat - obatan yang diminum atau suntikan insulin. Pasien Diabetes tipe 1 mutlak diperlukan suntikan insulin setiap hari. Pasien Diabetes tipe 2, umumnya pasien perlu minum obat antidiabetes secara oral atau tablet. Pasien diabetes memerlukan suntikan insulin pada kondisi tertentu, atau bahkan kombinasi suntikan insulin dan tablet. 5. Monitoring keton dan gula darah Ini merupakan pilar kelima yang dianjurkan kepada pasien Diabetes Melitus. Monitor level gula darah sendiri dapat mencegah dan

mendeteksi

kemungkinan

terjadinya

hipoglikemia

dan

hiperglikemia dan pasien dapat melakukan keempat pilar diatas untuk menurunkan resiko komplikasi dari Diabetes Melitus (Smeltzer et al, 2008).

28

2.1.1.7 Komplikasi Diabetes Melitus Kondisi kadar gula darah tetap tinggi akan timbul berbagai komplikasi. Komplikasi pada Diabetes Melitus dibagi menjadi dua yaitu komplikasi akut dan komplikasi kronis. Komplikasi akut meliputi ketoasidosis diabetik, hiperosmolar non ketotik, dan hipoglikemia (Perkeni, 2011). Menurut Perkeni (2011) yang termasuk komplikasi kronik adalah makroangiopati, mikroangiopati dan neuropati (Waspadji dalam Soegondo dkk, 2004). Makroangiopati terjadi pada pembuluh darah besar (makrovaskular) seperti

jantung, darah tepi dan otak. Mikroangiopati

terjadi pada pembuluh darah kecil (mikrovaskular) seperti kapiler retina mata, dan kapiler ginjal. Tabel di bawah ini memuat pengelompokkan komplikasi kronis yang terjadi dari literatur lain, tetapi pada dasarnya mempunyai konsep yang sama. Tabel 2.4. Komplikasi Kronik yang Terjadi pada Diabetes Melitus Beserta Tanda Patologis (Ignativicius & Workman, 2006) Komplikasi Mikroangiopati Neuropati Nepropati Retinopati Makroangiopati

Sistem tubuh Neurologi Genitourinari (ginjal) Sensori Kardiovaskular Vaskular perifer

Tanda patologis Baal, nyeri parah Gagal ginjal Penglihatan kabur Infark Miokard Luka sukar sembuh, gangrene

29

2.1.2

Kaki Diabetik

2.1.2.1 Definisi Kaki Diabetik Kaki diabetik adalah infeksi, ulkus, dan atau kerusakan pada jaringan yang berhubungan dengan gangguan pada saraf dan aliran darah pada kaki (Adhiarta, 2011; Gitarja, 2008). Gangguan pada saraf dan aliran darah ini disebabkan karena hiperglikemia, sedangkan menurut Waspadji (2007) kaki diabetik adalah kelainan tungkai bawah akibat diabetes melitus yang tidak terkontrol. Kesimpulannya, kaki diabetik adalah kerusakan jaringan pada kaki diakibatkan karena gula darah yang tidak terkontrol. Masalah kaki diabetes merupakan masalah besar di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo. Angka kematian dan angka amputasi masih tinggi di Rumah Sakit ini masing - masing sebesar 16% dan 25% (Waspadji, 2007). Sebanyak 21 orang telah mengunjungi poli bedah plastik dengan diagnosa kaki diabetes pada periode Desember 2011 - pertengahan Januari 2012 di RS. Hasan Sadikin Bandung (Rekam medis RSHS, 2011). 2.1.2.2 Tanda dan Gejala Kaki Diabetik Tanda dan gejala kaki diabetik yaitu sering kesemutan, nyeri kaki saat istirahat, sensasi rasa berkurang, kerusakan jaringan (nekrosis), penurunan denyut nadi arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea, kaki menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal, kulit kering.

30

2.1.2.3 Klasifikasi Kaki Diabetik Klasifikasi Ulkus diabetika pada penderita Diabetes Melitus terdiri dari 6 tingkat (Boulton, Meneses dan Ennis (1999); Waspadji (2007) dan Adhiarta (2011). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 2.5. Tabel 2.5 Klasifikasi kaki Diabetik menurut Wagner Tingkat Lesi 0 Tidak ada luka terbuka, kulit utuh. 1 Ulkus Superfisialis, terbatas pada kulit. 2 Ulkus menyebar ke ligament, tendon, sendi, fascia dalam tanpa adanya abses atau osteomyelitis 3 Ulkus disertai abses, osteomyelitis atau sepsis sendi 4 Gangrene yang terlokalisir pada ibu jari, bagian depan kaki atau tumit 5 Gangrene yang membesar meliputi kematian semua jaringan kaki

Selain klasifikasi dari Wagner, konsensus internasional tentang kaki diabetik pada tahun 2003 menghasilkan klasifikasi PEDIS dimana terinci sebagai berikut (Waspadji, 2007; Adhiarta, 2011).

31

Tabel 2.6 Klasifikasi PEDIS Gangguan Perfusi

1

=

Tidak ada

2

=

Penyakit arteri perifer tetapi tidak parah

3

=

Iskemi parah pada kaki

Ukuran (Extend) 1 dalam mm dan Dalamnya (Depth) 2

=

Permukaan kaki, hanya sampai dermis

=

3

=

Luka pada kaki sampai di bawah dermis meliputi fasia, otot atau tendon Sudah mencapai tulang dan sendi

1 2

= =

3

=

4

=

1

=

Tidak ada gejala Hanya infeksi pada kulit dan jaringan tisu Eritema > 2cm atau infeksi meliputi subkutan tetapi tidak ada tanda inflamasi Infeksi dengan manifestasi demam, leukositosis, hipotensi dan azotemia Tidak ada

2

=

Ada

Infeksi

Hilang sensasi

Klasifikasi PEDIS digunakan pada saat pengkajian ulkus kaki diabetik. Pengkajian dilihat dari bagaimana gangguan perfusi pada kaki, berapa ukuran dalam mm (millimeter) dan sejauhmana dalam dari ulkus kaki diabetik, ada atau tidaknya gejala infeksi serta ada atau tidaknya sensasi pada kaki.

2.1.2.4 Diagnosis Kaki Diabetik Diagnosis kaki diabetik harus dilakukan secara teliti. Diagnosis kaki diabetik ditegakkan oleh riwayat kesehatan pasien, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang.

32

1. Riwayat kesehatan pasien dan keluarga meliputi : lama diabetes; managemen diabetes dan kepatuhan terhadap diet, olahraga dan obatobatan; evaluasi dari jantung, ginjal dan mata; alergi; pola hidup, medikasi terakhir; kebiasaan merokok dan minum alkohol. Selain itu, yang perlu diwawancara adalah tentang pemakaian alas kaki, pernah terekspos dengan zat kimia, adanya kallus dan deformitas, gejala neuropati dan gejala iskemi, riwayat luka atau ulkus. Pengkajian pernah adanya luka dan ulkus meliputi lokasi, durasi, ukuran, dan kedalaman, penampakan ulkus, temperatur dan bau. 2. Pemeriksaan fisik a. Inspeksi meliputi kulit dan otot. Inspeksi pada kulit yaitu status kulit seperti warna, turgor kulit, pecah-pecah; berkeringat; adanya infeksi dan ulserasi; ada kalus atau bula; bentuk kuku; adanya rambut pada kaki. Inspeksi pada otot seperti sikap dan postur dari tungkai kaki; deformitas pada kaki membentuk claw toe atau charcot joint; keterbatasan gerak sendi; tendon; cara berjalan; kekuatan kaki. b.

Pemeriksaan

neurologis

yang

dapat

menggunakan

monofilamen ditambah dengan tunningfork 128-Hz, pinprick sensation, reflek kaki untuk mengukur getaran, tekanan dan sensasi. c. Pemeriksaan aliran darah dengan menggunakan palpasi denyut nadi pada arteri kaki, capillary refilingl time, perubahan warna,

33

atropi kuit dan kuku dan pengukuran ankle-brankhial index (Boulton et al, 2008; Adhiarta, 2011). d. Pengukuran alas kaki meliputi bentuk alas kaki yang sesuai dan nyaman, tipe sepatu dan ukurannya. 3. Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan laboratorium dibutuhkan untuk mengetahui status klinis pasien, yaitu: pemeriksaan glukosa darah baik glukosa darah puasa atau sewaktu, glycohemoglobin (HbA1c), Complete blood Count (CBC), urinalisis, dan lain- lain. 4. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan

penunjang

meliputi

X-ray,

EMG

dan

pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui apakah ulkus diabetika menjadi infeksi dan menentukan kuman penyebabnya.

2.1.2.5 Patogenesis Kaki Diabetik Terjadinya kaki diabetik diawali dengan adanya hiperglikemi yang menyebabkan gangguan saraf dan gangguan aliran darah. Perubahan ini menyebabkan perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki. Kerentanan terhadap infeksi meluas ke jaringan sekitar. Faktor aliran darah yang kurang membuat ulkus sulit sembuh. Jika sudah terjadi ulkus, infeksi akan mudah sekali terjadi dan meluas ke jaringan yang lebih dalam sampai ke tulang. Di bawah ini adalah etiologi dari kaki diabetik (Adhiarta, 2011;

34

Boulton et al, 1999; Smeltzer et al, 2008; Boulton et al, 2008; Turns, 2011) :

1. Neuropati Diabetik Neuropati diabetik adalah komplikasi kronis yang paling sering ditemukan pada pasien diabetes melitus. Neuropati diabetik adalah gangguan metabolisme syaraf sebagai akibat dari hiperglikemia kronis (Smeltzer et al, 2008). Angka kejadian neuropati ini meningkat bersamaan dengan lamanya menderita penyakit Diabetes Melitus dan bertambahnya usia penderita. Ada tiga tipe neuropati yaitu neuropati sensorik, neuropati motorik dan neuropati otonom. Kondisi pada neuropati sensorik yang terjadi adalah kerusakan saraf sensoris pertama kali mengenai serabut akson yang paling panjang, yang menyebabkan distribusi stocking dan gloves. Kerusakan pada serabut saraf tipe A akan menyebabkan kelainan propiseptif, sensasi pada sentuhan ringan, tekanan, vibrasi dan persarafan motorik pada otot. Secara klinis akan timbul gejala seperti kejang dan kelemahan otot kaki. Serabut saraf tipe C berperan dalam analisis sensari nyeri dan suhu. Kerusakan pada saraf ini akan menyebabkan kehilangan sensasi protektif. Ambang nyeri akan meningkat dan menyebabkan trauma berulang pada kaki. Neuropati perifer dapat dideteksi dengan hilagnya sensasi terhadap 10 g nylon monofilament pada 2-3 tempat pada kaki. Selain dengan 10 g nylon

35

monofilament, dapat juga menggunakan biothesiometer dan Tunning Fork untuk mengukur getaran (Singh et al, 2005). Neuropati motorik terjadi karena demyelinisasi serabut saraf dan kerusakan motor end plate. Serabut saraf motorik bagian distal yang paling sering terkena dan menimbulkan atropi dan otot-otot intrinsik kaki. Atropi dari otot intraosseus menyebabkan kolaps dari arcus kaki. Metatarsal-phalangeal joint kehilangan stabilitas saat melangkah. Hal ini menyebabkan gangguan distribusi tekanan kaki saat melangkah dan dapat menyebabkan kallus pada bagian-bagian kaki dengan tekanan terbesar. Jaringan di bawah kallus akan mengalami iskemia dan nekrosis yang selanjutnya akan menyebabkan ulkus. Neuropati motorik menyebabkan kelainan anatomi kaki berupa claw toe, hammer toe, dan lesi pada nervus peroneus lateral yang menyebabkan foot drop. Neuropati motorik ini dapat diukur dengan menggunakan pressure Mat atau Platform untuk mengukur tekanan pada plantar kaki (Singh et al, 2005). Neuropati otonom menyebabkan keringat berkurang sehingga kaki menjadi kering. Kaki yang kering sangat beresiko untuk pecah dan terbentuk fisura pada kallus. Neuropati otonom juga menyebabkan gangguan pada saraf-saraf yang mengontrol distribusi arteri-vena sehingga

menimbulkan

arteriolar-venular

shunting.

Hal

ini

menyebabkan distribusi darah ke kaki menurun sehingga terjadi iskemi

36

pada kaki. Keadaan ini mudah dikenali dengan terlihatnya distensi vena-vena pada kaki. 2. Kelainan Vaskuler Penyakit arteri perifer (PAP) adalah salah satu komplikasi makrovaskular dari Diabetes Melitus. Penyakit arteri perifer ini disebabkan karena dinding arteri banyak menumpuk plaque yang terdiri dari deposit platelet, sel-sel otot polos, lemak, kolesterol dan kalsium. PAP pada penderita diabetes berbeda dari yang bukan Diabetes Melitus. PAP pada pasien Diabetes Melitus terjadi lebih dini dan cepat mengalami perburukan. Pembuluh darah yang sering terkena

adalah

arteri

Tibialis

dan

Arteri

Peroneus

serta

percabangannya. Resiko untuk terjadinya kelainan vaskuler pada penderita diabetes adalah usia, lama menderita diabetes, genetik, merokok, hipertensi, dislipidemia, hiperglikemia, obesitas (Adhiarta, 2011; Turns, 2011). Pasien

Diabetes

Melitus

yang

mengalami

penyempitan

pembuluh darah biasanya ada gejala, tetapi kadang juga tanpa gejala. Sebagian lain dengan gejala iskemik, yaitu : a. Intermitten Caudication adalah nyeri dan kram pada betis yang timbul saat berjalan dan hilang dengan berhenti berjalan, tanpa harus duduk. Gejala ini muncul jika AnkleBrankhial Index < 0,75. b. Kaki dingin

37

c. Nyeri : terjadi karena iskemi dari serabut saraf, diperberat dengan panas, aktivitas, dan elevasi tungkai dan berkurang dengan berdiri atau kaki menggantung d. Nyeri iskemia nokturnal : terjadi malam hari karena perfusi ke tungkai bawah berkurang sehingga terjadi neuritis iskemik e. Pulsasi arteri tidak teraba f. Pengisian vena yang terlambat setelah elevasi tungkai dan capillary refilling time (CRT) yang memanjang g. Atropi jaringan subkutan h. Kulit terlihat licin dan berkilat i. Rambut di kaki dan ibu jari menghilang j. Kuku menebal, rapuh, sering dengan infeksi jamur (Adhiarta, 2011) Untuk memastikan adanya iskemia pada kaki diabetik perlu dilakukan beberapa pemeriksaan lanjutan, terutama jika diperlukan rekonstruksi

vaskuler.

Pemeriksaan

penunjang

lanjutan

yang

noninvasif antara lain (Adhiarta, 2011; Singh et al, 2005; Turns, 2011): 1. Palpasi dari denyut perifer. Apabila denyut kaki bisa di palpasi, maka PAP tidak ada. Jika denyut dorsalis pedis dan tibial posterial tidak teraba maka dibutuhkan pemeriksaan yang lebih lanjut.

38

2. Doppler flowmeter : dapat mengukur derajat stenosis secara kualitatif dan semikuantitatif melalui analisis gelombang Doppler. Frekuensi sistolik dopler distal dari arteri yang mengalami oklusi menjadi rendah dan gelombangnya menjadi monofasik. 3. Ankle-branchial index (ABI) : tekanan diukur di beberapa tempat di ekstremitas menggunakan manset pneumatik dan flow sensor, biasanya Doppler ultrasound sensor. Tekanan sistolik akan meningkat dari sentral ke perifer dan sebaliknya tekanan diastolik akan turun. Karena itu, tekanan sistolik

pada pergelangan kaki lebih tinggi dibanding

Brachium. Jika terjadi penyumbatan, tekanan sistolik akan turun walaupun penyumbatan masih minimal. Rasio antara tekanan sistolik di pergelangan kaki dengan tekanan sistolik di arteri brachialis (ankle-branchial index) merupakan indikator sensitif untuk menentukan adanya penyumbatan atau tidak. Tabel 2.7 Interpretasi ankle-brachial index Indeks Tekanan Kondisi pembuluh darah >1,2 Rigid >1 Normal <0,9 Iskemi <0,6 Iskemi parah

4. Transcutaneous Oxymetri (tCPO2) : berhubungan dengan saturasi O2 kapiler dan aliran darah ke jaringan. TcPO2

39

pada arteri

yang mengalami oklusi sangat rendah.

Pengukuran

ini

sering

digunakan

untuk

mengukur

kesembuhan ulkus maupun luka amputasi. 5. Magnetic Resonance Angiography (MRA) : merupakan teknik yang baru, menggunakan magnetic resonance, lebih sensitif dibanding angiografi standar. Arteriografi dengan kontras adalah pemeriksaan yang invasif, merupakan standar baku emas sebelum rekonstruksi arteri. Namun, pasien-pasien diabetes memiliki resiko yang tinggi untuk terjadinya gagal ginjal akut akibat kontras meskipun kadar kreatinin normal. 3. Infeksi Infeksi dapat dibagi menjadi tiga yaitu superfisial dan lokal, selulitis dan osteomyelitis. Infeksi akut pada penderita yang belum mendapatkan antibiotik biasanya monomikrobial sedangkan pasien dengan

ulkus

kronis,

gangrene

dan

osteomyelitis

bersifat

polimikrobial. Kuman yang paling sering dijumpai pada infeksi ringan adalah Staphylococcus Aereus dan streptococcal serta isolation of Methicillin-resstant Staphyalococcus aereus (MRSA) (Turns, 2011; Adhiarta, 2011). Jika penderita sudah mendapat antibiotik sebelumnya atau pada ulkus kronis, biasanya dijumpai juga bakteri batang gram negatif

(Enterobactericeae,

aeruginosa).

enterococcus,

dan

pseudomonas

40

2.1.2.6 Faktor Resiko Kaki Diabetik Faktor resiko terjadinya kaki diabetik terdiri atas : a.

Usia Penelitian di Amerika Serikat yang dikutip oleh Merza dan Tesfaye (2003) melaporkan bahwa persentase kaki diabetik paling tinggi pada usia 45 - 64 tahun. Seperti kita ketahui, lanjut usia biasanya memiliki keterbatasan gerak, penglihatan yang buruk, dan masalah penyakit yang lain. Usia lanjut berkaitan dengan terjadinya kaki diabetik sangat tinggi karena pada usia ini, fungsi tubuh secara fisiologis menurun.

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari Hastuti

(2007), bahwa sebagian besar responden pada kelompok kasus ada pada rentang usia 55 - 59 tahun. b.

Jenis kelamin Hasil review yang dilakukan oleh Merza dan Tesfaye (2003) yang didasarkan pada studi penelitian cross-sectional pada 251 pasien Diabetes Melitus, dilaporkan sebanyak 70% dari pasien yang terkena kaki diabetik adalah laki-laki. Penelitian Hokkam (2009) menunjukkan jenis kelamin laki-laki mempunyai faktor resiko tinggi terhadap kaki diabetik (p = 0.009).

c.

Durasi penyakit Diabetes Melitus yang lama Penelitian yang dilakukan oleh Boyko et al (1999) dan Hastuti (2007) melaporkan bahwa pasien yang mana lama

41

menderita diabetes melitusnya ≥ 10 tahun merupakan faktor resiko terjadinya kaki diabetik dengan RR sebesar 3 dan OR 21.3. Pasien yang terjadi kaki diabetik dengan lama penyakit ≥ 10 tahun, ditentukan oleh kadar glukosa darah yang tinggi. Jika kadar glukosa darah tinggi, maka akan timbul komplikasi yang berhubungan dengan saraf dan aliran darah ke kaki. Komplikasi pada saraf dan aliran darah ke kaki inilah yang menyebabkan terjadinya neuropati dan penyakit arteri perifer. d.

Ras Menurut review dari Merza dan Tesfaye (2003), pasien yang berasal dari ras Asia mempunyai kecenderungan yang kecil terhadap kaki diabetik dibandingkan pasien Diabetes yang berasal dari ras Kaukasia. Ini mungkin bisa jadi karena hipermobilitas dan perbedaaan budaya dalam perawatan mandiri. Di Amerika Serikat, suku Pima Indian empat kali lebih tinggi laporan amputasi dibandingkan populasi pasien Diabetes Melitus di Amerika Serikat. Selain dari ras Kaukasia (69%), ras Hispanik (21%) dan ras kulit hitam mempunyai kecenderungan resiko tinggi kaki diabetik.

e.

Neuropati diabetik Neuropati perifer merupakan komplikasi paling umum yang terjadi pada Diabetes Melitus (Merza & Tesfaye, 2003). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Boyko et al (1999) pada pasien

42

diabetes melitus, pasien tidak sensitif saat diperiksa menggunakan 5.07 monofilament dengan RR sebesar 2.2 (CI 95%, 1.5-3.1). Abbot et al (2002) juga melakukan penelitian yang sama dengan hasil RR sebesar 1.80 (CI 95 %, 1.36-2.39). Hasil penelitian lain dilaporkan oleh Hokkam (2009), dimana neuropati perifer merupakan faktor resiko dari kaki diabetik ( p = 0.006). f.

Penyakit arteri perifer Pasien dengan Diabetes Melitus mempunyai resiko tinggi penyakit arteri perifer. Jika penyakit arteri perifer sendiri jarang menyebabkan

ulserasi,

melainkan

jika kombinasi

dengan

neuropati perifer dan luka kecil yang menyebabkan jaringan tisu rusak (Merza & Tesfaye, 2003). Penelitian Boyko et al (1999) menunjukkan adanya penurunan dari Transcutaneous Oxygen Tension (TcPO2) dengan RR 0.8 (CI 95%, 0.7-0.9). Hasil lain ditunjukkan oleh Hokkam (2009) dimana penyakit arteri perifer merupakan faktor utama dari kaki diabetik (p = 0.004) dan juga penelitian Carrington et al (2001) menyatakan penyakit arteri perifer lebih cenderung kepada amputasi kedua kaki pada pasien Diabetes Melitus. g.

Faktor biomekanikal Faktor mekanikal menurut Merza dan Tesfaye (2003) mempunyai peran penting dalam perkembangan kaki diabetik. Faktor mekanikal disini adalah pengeluaran non-enzimatik yang

43

membuat pengerasan pada sekitar sendi. Ini menyebabkan meningkatkan tekanan pada plantar ketika melangkah. Kapalan diketahui cenderung meningkatkan tekanan pada plantar kaki yang cenderung menyebabkan ulserasi. Deformitas kaki seperti kaki charcot dan kaki claw juga merupakan faktor resiko terhadap kaki diabetik (Merza & Tesfaye, 2003; Abbott et al, 2002). h.

Obesitas Seseorang dikatakan obesitas jika IMT (Indeks Masa Tubuh) ≥ 23 kg/m2 untuk wanita dan ≥ 25 kg/m2. Hal ini akan membuat resistensi insulin yang menyebabkan aterosklerosis, sehingga terjadi gangguan sirkulasi darah pada kaki yang dapat menyebabkan terjadinya kaki diabetik. Ini didukung oleh hasil penelitian dari Boyko et al (1999), dimana seseorang yang mempunyai berat badan 20 kg melebihi berat badan idealnya maka beresiko akan terkena kaki diabetik dengan nilai RR sebesar 1.2 (CI 95%, 1.1 – 1.4).

i.

Riwayat kaki diabetik sebelumnya Beberapa penelitian mempunyai hasil yang sama bahwa riwayat kaki diabetik sebelumnya mempunyai faktor resiko terhadap kaki diabetik (Merza & Tesfaye, 2003). Ini didukung oleh hasil penelitian Boyko et al (1999) dan Hokkam (2009) dimana masing-masing dengan RR 1.6 dan p = 0.003.

44

j.

Kontrol glisemik yang buruk Kadar gula darah yang tidak terkontrol (GDP > 100 mg/dl dan GDS

>

144

mg/dl)

mengakibatkan

makrovaskuler

dan

mikrovaskuler yaitu kaki diabetik. Hokkam (2009) melaporkan bahwa kontrol glisemik yang buruk dapat menjadi faktor resiko yang tinggi pada kaki diabetik. k.

Merokok Penelitian dari Moss dan tim, kaki Diabetik ditemukan pada pasien muda yang merokok yang mana tidak ditemukan pada pasien lanjut usia (Merza & Tesfaye, 2003). Hasil penelitian yang dikutip oleh WHO (2000), pada pasien Diabetes Melitus yang merokok mempunyai resiko 3x untuk menjadi kaki diabetik dibanding

pasien

diabetes

melitus

yang

tidak

merokok.

Kesimpulannya, merokok merupakan faktor kuat menyebabkan penyakit arteri perifer yang mana sudah dibuktikan berhubungan dengan kaki diabetik (Merza & Tesfaye, 2003). Nikotin yang dihasilkan dari rokok akan menempel pada dinding pembuluh darah sehingga menyebabkan insufisiensi dari aliran pembuluh darah ke arah kaki yaitu arteri dorsalis pedis, poplitea dan tibialis menjadi menurun (WHO, 2000). l.

Retinopati dan nefropati Retinopati berhubungan dengan faktor resiko yang signifikan pada amputasi kaki yang mana merupakan tanda mikrovaskuler

45

yang parah (Merza & Tesfaye, 2003). Di lain sisi, retinopati tidak secara siginifikan berhubungan dnegan perkembangan kaki diabetik (Merza & Tesfaye, 2003). Dalam analisa yang dilakukan Merza dan Tesfaye (2003) Nefropati diabetik meningkatkan resiko kaki diabetik nonvaskuler. m. Penggunaan insulin dan penglihatan yang buruk Menurut Boyko et al (1999) penggunaan insulin dan penglihatan yang buruk meningkatkan faktor resiko dari kaki diabetik dengan RR masing-masing sebesar 1.6 dan 1.9 (CI 95% 1.1-2.2 dan 1.4-2.6). Kedua hal ini dapat mencerminkan keparahan dari diabetes, dan juga dengan penglihatan yang buruk pasien tidak dapat melihat lesi awal pada kaki yang dapat menyebabkan kaki diabetik (Merza & Tesfaye, 2003; Boyko et al, 1999). n.

Perawatan kaki tidak teratur Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2007) dilaporkan ada hubungan perawatan kaki diabetes dengan kejadian kaki diabetes dengan nilai p = 0.002 sampai dengan 0.03, kecuali pada aspek kontrol kaki secara berkala tidak menunjukkan taraf signifikansi (p ≥ 0,05). Perawatan kaki yang diukur disini meliputi

pemeriksaan

visual

kaki

rutin,

membasuh

dan

membersihkan kaki, memotong kuku, pemilihan alas kaki, dan

46

senam kaki diabetes. Hastuti (2007) dan Calle-Pascual, Duran, Benedi (2001) dalam hasil penelitiannya melaporkan perawatan kaki yang tidak teratur dapat meningkatkan resiko kaki diabetik. o.

Pemilihan alas kaki tidak tepat Hasil penelitian dari Hastuti (2007), pemilihan alas kaki yang tidak tepat meningkatkan resiko kaki diabetik. Ini didukung dengan hasil penelitian Chandalia HB, Kapoor SV, Chandalia SH (2008) pengetahuan tentang perawatan kaki dan pemilihan alas kaki yang buruk merupakan faktor resiko yang penting pada masalah kaki pasien Diabetes Melitus. Penelitian Maciejewski et al (2004), menyarankan pemakaian alas kaki terapeutik bagi pasien Diabetes Melitus dengan faktor resiko sedang terhadap kaki diabetes.

p.

Faktor resiko lain hasil penelitian dari Hastuti (2007) yaitu kadar kolesterol ≥200 mg/dl, kadar HDL ≤ 45 mg/dl, ketidak patuhan diet Diabetes Melitus dan kurangnya aktivitas fisik.

2.1.2.7 Pencegahan dan Pengendalian Kaki Diabetik Upaya pencegahan terjadinya dan pengendalian kaki diabetik diperlukan adanya keterlibatan berbagai pihak terutama dari pasien dan keluarga. Hal-hal yang dapat mencegah dan mengendalikan kaki diabetik yaitu (Indian Health Diabetes Best Practice, 2011, Adhiarta, 2011;

47

Gitarja, 2008; National Development Education Program, 2008; Batros, Kozody dan Orsted, 2008) : 1) Mengontrol gula darah 2) Memperbaiki aliran darah ke kaki 3) Hindari merokok 4) Olahraga yang teratur termasuk senam kaki untuk menjaga berat badan dan fungsi dari insulin dalam tubuh 5) Edukasi perawatan kaki pada pasien dan keluarga yang meliputi kebersihan kaki, perawatan kuku, pemilihan alas kaki, pencegahan dan pengelolaan cedera awal pada kaki.

2.1.3

Perilaku Perawatan Kaki Perilaku perawatan kaki adalah aktivitas sehari-hari pasien diabetes melitus yang terdiri dari deteksi kelainan kaki diabetes, perawatan kaki dan kuku serta latihan kaki. Perawatan kaki ini dapat dilakukan oleh pasien dan keluarga secara mandiri dimana tenaga kesehatan dalam hal ini perawat wajib memberikan edukasi bagi pasien dan keluarga dengan Diabetes Melitus untuk melakukan perawatan kaki secara mandiri. Ada beberapa faktor yang berkontribusi dalam meningkatkan perilaku perawatan kaki pada pasien Diabetes Melitus, antara lain adalah : 1) Pengetahuan dan edukasi yang pernah di dapat oleh pasien

48

Hasil penelitian dari Khamseh, Vatankhah dan Baradaran (2007), Pollock, Unwin, dan Connolly (2003) kurangnya pengetahuan pasien tentang perawatan kaki menjadi salah satu hambatan bagi pasien dalam melaksanakan perawatan kaki. Berdasarkan hasil penelitian diatas, program edukasi perawatan kaki sangat penting untuk memperbaiki pengetahuan dan perilaku perawatan kaki pasien diabetes melitus. Penelitian dari Schmidt, Mayer & Panfil (2008) yang menunjukkan bahwa pasien Diabetes Melitus yang mengikuti lebih dari tiga program edukasi tentang perawatan kaki memperlihatkan hasil perawatan mandiri yang signifikan dibanding pasien yang hanya mendapat satu kali pelatihan atau tidak sama sekali. Penelitian yang dilakukan oleh Corbett (2003), menunjukkan dengan memberikan edukasi tentang perawatan kaki dapat memperbaiki perilaku perawatan kaki. penelitian lainnya

Hasil

dengan metode yang sama juga dilakukan oleh

Vatankhah et al (2009), Kurniawan et al (2011), dan Perrin et al (2009). 2) Karakteristik dari pasien Ada beberapa penelitian tentang program edukasi perawatan kaki yang berhubungan signifikan dengan karakteristik dari pasien sendiri. Hasil penelitian dari Jordan dan Jordan (2011), wanita Filipino Amerika yang berusia < 65 tahun, melaporkan selalu rutin membersihkan kaki. Selain itu, karakteristik pasien yang berhubungan dengan perilaku perawatan kaki yaitu jenis kelamin wanita yang melakukan perawatan kaki lebih banyak dan lebih baik (Salmani & Hosseini, 2010). Salmani

49

dan Hosseini (2010) juga menambahkan pasien yang mempunyai pendidikan tinggi lebih baik dalam perawatan kaki dibanding yang mempunyai pendidikan rendah. Hal ini juga didukung hasil penelitian Khamseh et al (2007) yang mana tingkat pendidikan menunjukkan hasil yang signifikan pada perilaku perawatan kaki (p = 0.004). Penelitian yang dilakukan oleh Corbett (2003) dan Perrin et al (2009) melaporkan bahwa self-efficacy berhubungan dengan perilaku perawatan kaki. 3) Komplikasi dari Diabetes Melitus Penelitian yang dilakukan Pollock et al (2003), menunjukkan hasil tentang komplikasi Diabetes Melitus terutama yang berhubungan dengan perawatan kaki. Contohnya seperti ketidakmampuan merasakan sensasi pada kaki, efek merokok pada sirkulasi, tidak bisa memeriksa kaki sendiri. Berdasarkan hasil penelitian tentang perilaku perawatan kaki, yang termasuk pada perilaku perawatan kaki adalah sebagai berikut (Indian Health Diabetes Best Practice, 2011, Adhiarta, 2011; Gitarja, 2008; National Development Education Program, 2008; Batros et al, 2008) : 1) Menjaga kebersihan kaki setiap hari dengan cara : a) Bersihkan dan cuci kaki setiap hari dengan menggunakan air suam-suam kuku b) Bersihkan menggunakan sabun lembut sampai ke sela-sela jari kaki

50

c) Keringkan kaki menggunakan kain bersih yang lembut sampai ke sela jari kaki d) Pakailah pelembab atau krim pada kaki, jangan sampai melampaui jari kaki e) Saat memakai pelembab, usahakan tidak menggosok tetapi dianjurkan dengan cara memijat pada telapak kaki 2)

Memotong kuku yang baik dan benar dengan cara : a) Memotong kuku lebih mudah dilakukan sesudah mandi, sewaktu kuku lembut. b) Jangan menggunakan pisau cukur atau pisau biasa, yang bisa tergelincir; dan ini dapat menyebabkan luka pada kaki. c) Gunakan

gunting

kuku

yang

dikhususkan

untuk

memotong kuku d) Gunting kuku hanya boleh digunakan untuk memotong kuku kaki secara lurus dan kemudian mengikir agar licin. e) Kuku kaki yang menusuk daging dan kapalan, hendaknya diobati oleh dokter 3)

Memilih alas kaki yang baik dengan cara : a) Memakai sepatu yang sesuai atau sepatu khusus untuk kaki dan nyaman dipakai. b) Sepatu harus terbuat dari bahan yang baik untuk kaki, tidak keras c) Sepatu baru harus dipakai secara berangsur-angsur dan hati-

51

hati. d) Jari kaki harus masuk semua ke dalam sepatu, tidak ada yang menekuk e) Dianjurkan memakai kaos kaki apalagi jika

kaki terasa

dingin. f)

Memakai kaos kaki yang bersih dan mengganti setiap hari.

g) Kaos kaki terbuat dari bahan wol atau katun. Jangan memakai bahan sintetis, karena

bahan ini menyebabkan kaki

berkeringat. 4)

Pencegahan cedera pada kaki a) Selalu memakai alas kaki yang lembut baik di dalam ruangan maupuan di luar ruangan b) Selalu memeriksa dalam sepatu atau alas kaki sebelum memakainya c) Selalu mengecek suhu air ketika ingin menggunakan, caranya dengan menggunakan siku jari d) Hindari merokok untuk pencegahan kurangnya sirkulasi darah ke kaki e) Hindari menekuk kaki dan melipat kaki terlalu lama f)

Melakukan senam kaki secara rutin

g) Memeriksakan diri secara rutin ke dokter dan memeriksa kaki setiap kontrol walaupun ulkus diabetik sudah sembuh

52

5)

Pengelolaan cedera awal pada kaki a) Jika ada lecet, tutup luka atau lecet tersebut dengan kain kasa kering Hasil penelitian dari Martinez dan Tripp-Reimer (2005) tentang

bagian perawatan kaki yang paling penting dalam persepsi edukator Diabetes yang dibagi dalam 4 domain yaitu perawatan kuku dan kaki, pemilihan alas kaki, kesehatan secara umum dan gawat darurat pada kaki.

2.1.4

Program Edukasi Perawatan Kaki

2.1.4.1 Self-Management Program (SM Program) Program edukasi perawatan kaki merupakan salah satu aplikasi dari Self-management Program (SM program) pada pasien dengan penyakit kronis. Penelitian kohort yang telah dilakukan oleh Lorig, Sobel, Ritter et al (2001) tentang pengaruh dari program manajemen diri pada 613 pasien dengan penyakit kronis melaporkan hasil peningkatan yang signifikan pada perilaku sehat, self-efficacy, status kesehatan dan sedikitnya kunjungan ke pelayanan kesehatan. Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Dongbo, Hua, McGowan et al (2003) yang melakukan penelitian pada 954 pasien penyakit kronis di China, salah satunya adalah Diabetes Melitus. Hal ini didukung dalam hasil analisis Ryan dan Sawin (2009), intervensi SM

dan SM Program efektif untuk orang dewasa, anak

termasuk juga anggota keluarga. Menurut Ryan dan Sawin (2009),

53

berdasarkan penelitian, hasil dari SM Program dan intervensinya sangat efektif daripada perawatan biasa atau pendidikan kesehatan tradisional. Menurut Bodenheimer, Lorig, Holman dan Grumbach (2002), pendidikan kesehatan tradisional memberikan informasi dan keterampilan teknis, sedangkan SM program mengajarkan keterampilan memecahkan masalah. Menurut Bodenheimer et al (2002), fokus dari SM Program adalah selfefficacy (kepercayaan diri), yang mana merupakan hal yang penting untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Manfaat lain dari SM Program adalah mengurangi

biaya

untuk

berkunjung

ke

pelayanan

kesehatan.

(Bodenheimer et al, 2002). SM program tidak hanya untuk individu dengan penyakit kronis, tetapi dapat juga diberikan pada anggota keluarga. Salah satu teori yang dapat digunakan adalah Individual and Family SelfManagement Theory (IFMST) dari Ryan dan Sawin (2009) yang mana merupakan pengembangan dari SM Program.

2.1.4.2 Diabetes Self-Management Education (DSME) SM Program juga yang menjadi salah satu dasar dibuat DSME (Diabetes Self-Management Education). Model edukasi dipakai karena untuk meningkatkan kepatuhan menggunakan strategi motivasi dan perubahan perilaku sebagai usahanya agar pasien dapat meningkat perilakunya (Funnel & Anderson, 2004). Komponen yang diukur DSME adalah pengetahuan, perilaku seperti pengukuran gula darah sendiri; perencanaan makan; merokok; aktivitas fisik dan mediator psikososial

54

seperti kepercayaan; sikap; koping (Norris, Nichols, Caspersen, et al, 2002). Tujuan dari DSME yaitu pada jangka pendek diharapkan dapat mengontrol tekanan darah, kolesterol, kontrol glisemik (Norris, Lau, Smith et al, 2002) dan berat badan, sedangkan jangka panjangnya angka kesakitan, kematian menurun dan kualitas hidup meningkat (Norris et al, 2002). Paradigma berbeda ditunjukkan dalam penelitian Jack, Liburd, Spencer et al (2004) yang mana dapat membantu mengidentifikasi resiko yang ada pada pasien saja tetapi juga pada keluarga, organisasi dan masyarakat. Menurut Jack et al (2004), dari ketiga tingkatan tersebut dipengaruhi juga oleh lingkungan fisik dan sosial yang mengelilinginya, sehingga dapat diidentifikasi sebagai sumber. Penelitian tentang DSME banyak berfokus pada penurunan nilai HbA1c (Hemoglobin glikolisasi) (Simenerio, Ruppert, Emerson et al, 2008; Wattana, Srisuphan, Pothiban, Upchurch, 2007; Rothman et al, 2004; Krakow&Feulner-Krakow, 2007), nilai kolesterol (Simenerio et al, 2008 dan

Krakow&Feulner-Krakow,

2007).

Selain

itu,

Teufel-Shone,

Drummond, Rawiel (2005) melaporkan hasil dari program edukasi diabetes berbasis keluarga yang meneliti tentang pilihan makanan keluarga dan aktivitas fisik, perubahan perilaku, komunikasi dan perilaku pendukung. Penelitian edukasi lainnya yang dilakukan oleh Atak, Gurkan dan Kose (2008) melaporkan perilaku self-management dan kepercayaan diri sebagai hasilnya.

55

Program DSME untuk Diabetes Melitus telah dilakukan di Kota Bandung oleh Susanti, Haroen dan Juniarti (2012) dengan hasil bahwa DSME berbasis keluarga secara signifikan meningkatkan kemampuan keluarga dalam mengelola tingkat perawatan mandiri penderita dalam pengobatan dan monitoring gula darah mandiri.

2.1.4.3 Program Edukasi Perawatan Kaki yang sudah ada Program Edukasi perawatan kaki sudah banyak dilakukan oleh peneliti di luar negeri. Program edukasi perawatan kaki yang sudah ada mempunyai karakteristik dan ciri khas masing-masing. Peneliti melakukan analisis, program edukasi perawatan kaki yang diberikan sebagai intervensi untuk melihat perubahan perilaku perawatan kaki (Kurniawan et al (2011), Vatankhah et al (2009), Atak et al (2008), Corbett (2003), Lincoln et al (2008), Deakin, Cade dan William (2006), Hazavehei, Sharifirad dan Mohabi (2007). Sebagian yang lain program edukasi perawatan kaki yang diberikan sebagai intervensi untuk melihat sejauh mana resiko kaki diabetik dapat dicegah (Carrington et al (2001), Dorresteijn, Kriegsman, Assendelft et al (2010), Fujiwara, Kishida, Terao, et al (2011), sikap terhadap perawatan kaki (Donohoe, Flettont & Power, 2000). Ada sebanyak 8 penelitian (1 dengan metode intervention review, 3 dengan metode Randomized Controlled Trial, 4 dengan metode Quasi Experimental) yang mengevaluasi program edukasi perawatan kaki dalam

56

meningkatkan perilaku perawatan kaki dan mencegah terjadinya kaki diabetik. Dua dari penelitian tersebut yaitu Atak et al (2008) dan Deakin et al (2006) meneliti tentang self-management dari Diabetes Melitus termasuk perawatan kaki di dalamnya. Berdasarkan 7 penelitian tersebut, hal yang dapat dibedakan pada : 1. Sasaran program Seperti yang digambarkan pada tabel 2.8, dari 7 studi penelitian yang dilakukan, hanya dua yang melibatkan keluarga atau orang yang memberikan perawatan sebagai sasaran, selain itu program diberikan kepada individu secara tatap muka. Hazavehei et al (2007) melibatkan salah satu anggota keluarga pada sesi kedua dari tiga sesi program intervensi edukasi. Studi penelitian lain yaitu penelitian yang dilakukan oleh Lincoln et al (2008) dimana dilakukan di rumah masing-masing pasien, ada yang didampingi oleh orang yang seharihari memberikan perawatan, ada yang tidak didampingi. Selain itu, hanya Atak et al (2008) yang melakukan penelitian edukasi selama 90 menit pada kelompok yang terdiri dari 7-12 pasien dengan jumlah sebanyak 5 kelompok. 2. Metode yang dipakai Dari tabel 2.8, dapat dilihat bahwa semua menggunakan edukasi sebagai metode yang dipakai. Ada studi yang ditambah dengan metode lainnya seperti demonstrasi cara memotong kuku (Hazavehei et al, 2007 dan Corbett, 2003), konseling ke podiatri (Carrinton et al, 2001),

57

pencapaian tujuan (Kurniawan et al, 2011), kepercayaan diri (Corbet, 2003 dan Atak et al, 2008). Menurut Mclnnes, Jeffcoate, Vileikytet et al (2011), hasil dari edukasi dalam praktik perawatan kaki pada pasien diabetes tergantung dari tipe edukasi yang diberikan. Dorresteijn et al (2010) melaporkan dalam intervention review, bahwa edukasi pada pasien Diabetes melitus tentang perawatan kaki dapat membantu mengurangi kaki diabetik dan amputasi, dimana kaki diabetik dan amputasi bukan saja menyebabkan kecacatan fisik dan kehilangan kualitas hidup, tetapi juga gangguan dari segi ekonomi. 3. Materi edukasi yang dipakai Hanya ada tiga dari studi penelitian yang mencantumkan institusi yang materi edukasi yang dipakai untuk dikembangkan untuk sebagai panduan dalam program edukasi yang diberikan yaitu International Consensus on the Diabetic Foot (Lincoln et al, 2008), The American College for Foot and Ankle Surgeon (Vatankhah et al, 2009),

Indian Health Diabetes Best Practice Foot Care dan

Registered Nurse Association Ontario (RNAO) (Kurniawan et al, 2011). Empat institusi menggunakan kata kunci yang digunakan dalam bahan edukasi adalah faktor resiko dari individu yang akan terkena kaki diabetik, kebersihan kaki, pemilihan alas kaki, pemeriksaan kaki rutin, perawatan kuku, melembabkan kaki, pencegahan terhadap cedera dan pengelolaan kaki yang sudah terkena cedera. Menurut laporan penelitian Mclnnes et al (2011) dalam pernyataan konsensus,

58

ada 4 perilaku utama yang diidentifikasi pada pasien yang beresiko rendah terhadap komplikasi kaki diabetik yaitu gula darah yang terkontrol, memeriksa kaki rutin, melaporkan kepada petugas kesehatan segera jika ada perubahan pada kaki, komitmen dengan perawatan kaki yang rutin. 4. Durasi Lama waktu yang dihabiskan dalam memberikan program intervensi edukasi pada 7 penelitian sangat bervariasi mulai dari 20 menit (Vatankhah et al, 2009), 30 menit (Kurniawan et al, 2011), 60 menit (Lincoln et al, 2008) sampai 180 menit (Hazavehei et al, 2007). Waktu penelitian juga sangat bervariasi mulai dari 1 bulan (Hazavehei et al, 2007), 5 minggu (Kurniawan et al, 2011), 6 dan 12 minggu (Corbett, 2003), 6 bulan (Vatankhah et al, 2009) dan 12 bulan (Lincoln et al, 2008). Hasil dari beberapa studi penelitian yang lainnya, waktu penelitian agar dapat mencapai peningkatan dalam perawatan mandiri adalah pada rentang yang pendek (Mclnnes et al, 2011). 5. Instrumen Laporan konsensus oleh Mclnnes et al (2011) menyarankan instrumen yang digunakan adalah tingkat pengetahuan pasien tentang diabetes dan hubungannya dengan perawatan kaki, setelah itu dapat menggunakan kuesioner Patient Interpretation of Neuropathy (PIN) atau kuesioner lain seperti Foot Care Confidence Scale (FCCS) atau Nottingham Assesment of Functional Footcare (NAFF). Lincoln et al

59

(2008) dan Kurniawan et al (2011) yang menggunakan NAFF untuk mengukur perilaku perawatan kaki. Selain itu, kuesioner DisFoKa-32 yang digunakan oleh Vatankhah et al (2009) dan Foot Care Practices yang digunakan oleh Corbett (2003). Selain itu, ada kuesioner Summary of Diabetes Self-Care Activity (SDSCA) yang digunakan oleh Toobert, Hampson, Glasgow (2000) yang mengukur tentang perawatan mandiri pada pasien diabetes yang mana, perawatan kaki termasuk di dalamnya. Kuesioner Nottingham Assesment of Functional Foot-Care (NAFF) dikembangkan oleh Lincoln et al (2007) dengan 51 pertanyaan yang direvisi menjadi 29 pertanyaan dengan konsistensi internal 0.53. Ada korelasi signifikan (γ = 0.83 dan p < 0.001) dan tidak ada perbedaan nilai yang signifikan dari uji pertama dengan uji ulang dari studi penelitian (p = 0.85). DiFoKaPS-32 digunakan dalam penelitian Vatankhah et al (2009) untuk mengukur tingkat kepedulian pasien pada kaki mereka. Kuesioner ini terdiri dari dua bagian yaitu 16 pertanyaan pengetahuan tentang kaki diabetik,

etiologi dan kemungkinan

yang bisa

mengakibatkan terjadinya kaki diabetik. Perilaku perawatan kaki terdiri dari 4 pertanyaan pemeriksaan mandiri pada kaki, 3 pertanyaan tentang alas kaki, dua pertanyaan tentang perawatan kuku, 7 pertanyaan tentang kebersihan kaki.

60

Tabel 2.8 Studi Penelitian tentang perawatan kaki yang pernah dilakukan

5.

Hazavehei et al (2007)

6.

Deakin et al ( 2006)

7.

Corbett (2003)



√ √









Iran







Inggris













Amerika





















√ √







√ √

Lain-lain





Video

Inggris



Bahan

Booklet /leaflet

Lincoln et al (2008)



>12 minggu

4.



< 12 minggu





Durasi

Saat kontrol rutin

Turki





Kunjungan rumah

Atak et al (2008)



Telpon

3.



Strategi

motivasi





Konseling

Iran



demonstrasi

Vatankhah et al (2009)

Edukasi

2.



Metode

melibatkan keluarga



Individu

Indonesia

Sasaran program

Kelompok

Kurniawan et al (2011)

Rumah

1.

Setting tempat Bukan tempat pelayanan kesehatan

Desain Penelitian

pelayanan kesehatan

Negara

Quasi Eksperimental

Peneliti (Tahun)

RCT

No.













√ √

61

2.1.4.4 Program Edukasi Perawatan Kaki di Indonesia Program edukasi perawatan kaki di Indonesia belum banyak dilakukan dan belum banyak yang dipublikasikan. Studi penelitian tentang program edukasi perawatan kaki berbasis keluarga di Indonesia juga tidak pernah dilakukan dan tidak ada publikasi. Namun, ada beberapa penelitian yang dapat dijadikan dasar untuk penelitian selanjutnya yaitu faktor-faktor eksternal

yang

melatarbelakangi

pasien

Diabetes

Melitus

dalam

melakukan pencegahan ulkus kaki diabetik di Poli Dalam RSUD Al-Ihsan Provinsi Jawa Barat yang dilakukan oleh Sodariyah, Anna dan Ibrahim (2011) dan upaya pencegahan primer kaki diabetik pada pasien Diabetes Melitus di Poli DM RSUD Sumedang yang dilakukan oleh Makmurini dkk (2010). Berdasarkan hasil penelitian Sodariyah dkk (2011), sebanyak 55.56 % dorongan keluarga unfavorable dalam melakukan pencegahan kaki diabetik. Program edukasi perawatan kaki di Indonesia yang sudah dilakukan dan dipublikasikan adalah studi penelitian SM program berbasis Rumah Sakit yang dilakukan oleh Kurniawan et al (2011) yang dilakukan di salah satu Rumah Sakit di Jawa Barat. Selain itu, studi kasus pernah dilakukan oleh Kurniawan dan Petpichetchian (2011) pada pasien Diabetes yang sedang dirawat tentang perawatan kaki di salah satu Rumah Sakit di Thailand. Berdasarkan hasil penelitian Kurniawan dan Petpichetchian (2011), bahwa program edukasi penting bagi pasien

62

Diabetes yang dirawat, dikombinasi dengan tujuan dan perencanaan untuk meningkatkan pengetahuan dan perilaku perawatan kaki. Berdasarkan hasil penelitian lainnya, Kurniawan et al (2011) merekomendasikan SM Program dalam meningkatkan perilaku perawatan kaki pada pasien Diabetes Melitus.

2.1.5

Kepercayaan Diri (self-efficacy) tentang Perawatan Kaki Salah satu dasar teori untuk edukasi pada pasien adalah social learning theory (Rankin & Stallings, 1996). Social Cognitive theory, juga merupakan dasar dari self-efficacy theory yang mana lebih komprehensif karena bukan hanya terhadap karakteristik yang diberika edukasi tetapi memberikan arah bagi edukator untuk mengelola lingkungan fisik dan sosial yang terjadi saat edukasi (Bandura dalam Rankin & Stalling, 1996). Menurut Bandura dalam Passer dan Smith (2004), kunci penting bagaimana seseorang dapat mengatur hidup mereka adalah self-efficacy, keyakinan terhadap kemampuan mereka untuk menunjukkan perilaku yang diinginkan untuk mencapai tujuan. Orang yang mempunya self-efficacy yang tinggi mempunyai kepercayaan diri pada kemampuan mereka mengatasi rintangan dan mencapai tujuan mereka (Passer & Smith, 2004).

63

pengalaman yang dimilki

pendekatan verbal

selfefficacy

belajar dari yang dilihat

keikutsertaan emosi

Gambar 2.2 Determinan yang mempengaruhi self-efficacy

Menurut Bandura dalam Passer dan Smith (2004), ada 4 determinan penting yang dapat mempengaruhi self-efficacy yaitu pengalaman yang dimiliki, belajar dari hasil observasi, keikutsertaan emosi dan pendekatan verbal. Pengalaman sukses dan kegagalan yang telah dilewati pada tahap dan situasi yang sama adalah hal pertama yang penting dalam membentuk kepercayaan diri tentang kemampuan seseorang. Sumber informasi kedua adalah belajar dari apa yang dilihat. Jika seseorang yang mempunyai karakteristik yang sama dengan diri kita, kemudian seseorang tersebut melewati tujuan penting, kita juga akan percaya bahwa jika kita melakukan perilaku yang sama maka kita juga akan sukses. Fokus pada poin kedua ini yang terpenting adalah adanya role model. Poin ketiga

64

adalah pendekatan verbal, yang mana pesan yang didapat dari orang lain yang menguatkan tentang kemampuan kita, itu sangat mempengaruhi kepercayaan diri kita. Salah satu strategi yang dapat dipakai adalah sugesti, nasihat, self-instruction. Poin keempat adalah keikutsertaan emosi, yaitu seperti ketakutan atau kelelahan cenderung menurunkan self-efficacy. Memodifikasi ancaman atau ketakutan pada seseatu dengan dapat menggunakan cara relaksasi. Hasil penelitian yang mengangkat self-efficacy sebagai salah satu tujuan penelitan telah dilakukan pada tema Diabetes dan perawatan kaki salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh King, Glasgow, Toobert et al (2010). King et al (2010) melaporkan bahwa intervensi yang dilakukan seharusnya fokus untuk meningkatkan kepercayaan diri (selfefficacy), pemecahan masalah dan lingkungan sosial agar dapat meningkatkan perawatan mandiri (self-management) dari diabetes. Bean, Cundy dan Petrie (2007) melaporkan dalam studi penelitiannya pada etnik Eropa, Asia Selatan dan Islandia Pasifik, self-efficacy

berhubungan

dengan perawatan mandiri. Penelitian Atak et al (2008) melaporkan bahwa ada dampak yang signifikan dari pengaruh edukasi terhadap kepercayaan diri (self-efficacy) dari pasien Diabetes tipe 2. Atak et al (2008) menggunakan Diabetes Self Efficacy Scale (Stanford Patient Education Research Centre 2004) yang terdiri dari 8 pilihan tentang kepercayaan diri dalam menunjukkan perilaku perawatan mandiri pada pasien diabetes.

65

Penelitian faktor – faktor yang mempengaruhi self-efficacy pada pasien Diabetes Melitus Tipe 2 pernah dilakukan di Rumah Sakit Adam Malik, Medan (Ariani, 2012). Faktor yang mempengaruhi dari self-efficacy yaitu pendidikan dan depresi. Hasil dari penelitian adalah pasien yang telah

menempuh

pendidikan

tinggi

mempunyai

2.6

kali

dalam

memperlihatkan self-efficacy yang bagus dibanding dengan pendidikan primer. Pasien yang tidak mempunyai depresi memiliki 0.5 kali untuk memperlihatkan self-efficacy yang bagus dibanding dengan pasien yang depresi. Penelitian Pilot study yang dilakukan Corbett (2003) tentang edukasi perawatan kaki terhadap kepercayaan diri dari pasien yang menggunakan the Foot Care Self-Efficacy Questionnaire (FCSEQ). Kuesioner ini dikembangkan oleh Corbett (2003) menggunakan teori Bandura tentang mengukur perilaku yang spesifik untuk mengetahui kepercayaan diri partisipan

dalam

melakukan

perawatan

kaki

mandiri.

Partisipan

diwawancara tentang kepercayaan diri mereka pada 7 aspek dari perawatan kaki yang disamakan dengan 7 domain pada kuesioner pengetahuan dan perilaku perawatan kaki. Kepercayaan diri responden diukur pada setiap aktivitas perawatan kaki mandiri dari rentang sangat setuju ke rentng sangat tidak setuju. Hasil tiga kali uji reliabilitas FCSEQ ini dari rentang 0,69 sampai 0,73 dengan menggunakan Cronbach’s Alpha yang mengindikasikan kuesioner dapat diterima sebagai kuesioner. Alat ukur self-efficacy lebih berhubungan karena alat ukur ini mengukur sikap

66

dibandingkan dengan pengetahuan aktual atau perilaku perawatan mandiri. Hasil pilot study ini melaporkan intervensi edukasi individu tentang perawatan kaki meningkatkan pengetahuan dari perawatan kaki dan selfefficacy. Studi yang dilakukan Perrin et al (2009) dengan tujuan mengukur hubungan self-efficacy perawatan kaki dengan perilaku perawatan kaki yang aktual menggunakan kuesioner Foot Care Confidence Scale (FCCS). FCCS

dikembangkan

dengan

dasar

self-efficacy

theory

yang

dikombinasikan dengan dimensi dari self-efficacy yaitu kondisi yang umum, kekuatan dan besarnya. Kuesioner FCCS terdiri dari 12 pernyataan tentang perilaku perawatan kaki menggunakan skala Likert yaitu sangat percaya diri, cukup percaya diri, percaya diri, kurang percaya diri dan sangat tidak percaya diri. Hasil uji FCCS menggunakan alpha Cronbach adalah 0,93. Dari studi penelitian ini, dilaporkan ada hubungan antara selfefficacy dengan perilaku pencegahan dalam perawatan kaki.

2.1.6

Keluarga Program edukasi perawatan kaki berbasis keluarga, merupakan bentuk aplikasi praktik keperawatan keluarga, dimana keluarga sebagai konteks, yang menjadi fokus pelayanan kesehatan adalah klien dalam hal ini pasien Diabetes Melitus, sedangkan keluarga merupakan latar belakang atau fokus sekunder. Keluarga dilibatkan dalam intervensi berdasarkan

67

kesimpulan review yang dilakukan oleh Armour, Norris, Jack et al (2005) yaitu adanya keterlibatan anggota keluarga dari pasien Diabetes Melitus efektif dalam meningkatkan pengetahuan yang berkaitan dengan pengetahuan dan kontrol glisemik. Keluarga dipandang sebagai area yang penting dari klien dan area itu keluarga merupakan dukungan terbesar bagi klien. Hal ini sesuai pula dengan teori Self Care Orem, dimana Orem memandang keluarga bukan sebagai klien, tetapi memandang bahwa keluarga adalah sarana memandirikan seseorang dalam pemeliharaan fungsi kesehatan. Keluarga membantu anggota keluarga yang sakit menuju perawatan mandiri (Setiawati dan Dermawan, 2008). Keluarga juga berperan atau berfungsi untuk melaksanankan praktik asuhan kesehatan, yaitu untuk mencegah terjadinya gangguan kesehatan, serta merawat anggota keluarga yang sakit. Kemampuan keluarga dalam memberikan asuhan kesehatan mempengaruhi status kesehatan keluarga. Kesanggupan keluarga melaksanakan pemeliharaan kesehatan dapat dilihat dari tugas kesehatan keluarga yang dilaksanakan. Keluarga yang dapat melaksanakan tugas kesehatan berarti sanggup menyelesaikan masalah kesehatan.

2.1.6.1 Definisi Keluarga Definisi keluarga menurut Burgess et al dalam Friedman (2010), yang berorientasi pada tradisi dan digunakan sebagai referensi secara luas :

68



Keluarga terdiri dari orang-orang yang disatukan dengan ikatan perkawinan, darah dan ikatan adopsi.



Para anggota sebuah keluarga biasanya hidup bersama-sama dalam satu rumah tangga, atau jika mereka hidup secara terpisah, mereka tetap menganggap rumah tangga tersebut sebagai rumah mereka.



Anggota keluarga berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain dalam peran-peran sosial keluarga seperti suami-istri, ayah dan ibu, anak laki - laki dan anak perempuan, saudara dan saudari.



Keluarga sama-sama menggunakan kultur yang sama, yaitu kultur yang diambil dari masyarakat dengan beberapa ciri unik tersendiri. Menurut Friedman (2010) ada beberapa level dari keperawatan

keluarga yaitu : 1. Tingkat I : Keluarga sebagai konteks Dalam tingkat I, keperawatan keluarga dikonseptualisasikan sebagai suatu bidang dimana keluarga dipandang sebagai konteks bagi klien. Keluarga sebagai kelompok primer klien yang paling penting, digambarkan sebagai sebagai stressor atau sumber bagi klien. Keluarga merupakan latar belakang atau fokus sekunder dan individual merupakan bagian terdepan atau fokus primer yang berkaitan dengan pengkajian dan intervensi. Kebanyakan bidang keahlian khusus juga memandang keluarga sebagai sebuah lingkungan sosial yang penting dari klien yang kemudian menjadi sumber dukungan sosial yang penting.

69

Menurut Anderson dalam Bomar (2004) untuk memberikan asuhan keperawatan yang kompeten pada individu, perawat membutuhkan butuh untuk mengkaji bagaimana interaksi, integritas, kesehatan, koping dan proses perkembangan keluarga. Maksud dari konsep ini dapat dicontohkan sebagai berikut : jika tujuan dari asuhan keperawatan untuk menurunkan intake lemak dari anggota keluarga. Implementasi dari perencanaan ini tidak bisa dijalankan tanpa melihat bagaimana lingkungan keluarga, nutrisi, sumber daya keluarga, aturan keluarga tentang makan dan dukungan sosial internal. 2. Tingkat II : Keluarga sebagai kumpulan dari anggota keluarga Dalam tingkat II ini keluarga dipandang sebagai kumpulan atau penjumlahan individual anggota keluarga. Jika perawatan disediakan atau diberikan kepada semua anggota keluarga, maka perawatan kesehatan keluarga dan keperawatan keluarga dikatakan ada. Tingkat kedua ini yang menjadi pokok terpenting adalah masing-masing klien yang dilihat sebagai unit yang terpisah bukan unit yang berinteraksi. 3. Tingkat III : sub sistem keluarga sebagai klien Fokus pengkajian dan intervensi keperawatan adalah sub sistem dalam keluarga. Anggota-anggota keluarga dipandang sebagai unit yang berinteraksi. Fokus intervensi pada level ini adalah hubungan orang tua dengan anak, hubungan perkawinan.

70

4. Tingkat IV : Keluarga sebagai klien Bentuk ketiga dari konseptualisasi praktik keperawatan keluarga, keluarga dipandang sebagai klien atau sebagai fokus utama pengkajian dan perawatan. Di tingkat IV, keluarga menjadi yang utama dengan setiap anggota keluarga sebagai latar belakangnya atau konteks. Keluarga dipandang sebagai sistem yang berinteraksi. Fokusnya pada dinamika dan hubungan internal keluarga, struktur dan fungsi keluarga serta kesaling-tergantungan subsistem keluarga dengan keseluruhan dan keluarga dengan lingkungan luarnya.

2.1.6.2 Struktur Peran Keluarga Peranan

keluarga

menggambarkan

seperangkat

perilaku

interpersonal, sifat, kegiatan, yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu. Friedman (2010) membagi struktur peran ke dalam 2 bagian yaitu peran formal dan peran informal. a. Peran formal. Peran formal bersifat eksplisit yang berkaitan dengan setiap posisi formal keluarga yang merupakan sejumlah perilaku yang kurang lebih bersifat homogen. Keluarga membagi peran secara merata kepada para anggota keluarga, seperti di bawah ini : 1) Peranan ayah yaitu : ayah sebagai suami dari istri dan anak-anak, berperanan sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung dan pemberi rasa aman, sebagai kepala keluarga, sebagai anggota dari

71

kelompok sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya. 2) Peranan ibu yaitu : ibu sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, ibu mempunyai peranan untuk mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosial serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya, di samping itu juga ibu dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam keluarganya. 3) Peranan anak yaitu : anak-anak melaksanakan peranan psiko-sosial sesuai dengan tingkat perkembangannya baik fisik, mental, sosial dan spiritual. b. Peran Informal Peran – peran informal yang bersifat implisit biasanya tidak tampak ke permukaan dan dimainkan hanya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan emosional individu dan/atau untuk menjaga keseimbangan dalam keluarga. Peran-peran informal ini tidak bisa menghasilkan stabilitas keluarga, ada beberapa yang bersifat adaptif dan ada yang merusak kesejahteraan keluarga. Peran informal meliputi pendorong,

pengharmonis,

inisiator

-

kontributor,

pendamai,

penghalang, dominator, penyalah, pengikut, pencari pengakuan, martir, keras hati, sahabat, kambing hitam keluarga, penghibur, perawat keluarga,

pioner

keluarga,

penghubung keluarga, saksi.

distraktor,

koordinator

keluarga,

72

Dari 20 peran keluarga di atas, peran pendorong, peran inisiatorkontributor, peran perawat keluarga, peran martir dari anggota keluarga ini merupakan dasar dari pelibatan anggota keluarga dalam program edukasi perawatan kaki berbasis keluarga. Dari peran - peran yang dijalankan oleh anggota keluarga tersebut dapat membuat kesinambungan perilaku perawatan kaki yang baik dan benar menjadi perilaku yang menetap pada pasien Diabetes Melitus.

2.1.6.3 Dukungan Sosial Keluarga Dukungan sosial didefinisikan sebagai informasi verbal atau non verbal, saran, bantuan yang nyata atau tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan subjek dalam lingkungan sosialnya dan hal-hal yang dapat memberikan keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah laku penerimanya (Sarafino, 1998). Dukungan sosial merupakan mekanisme hubungan interpersonal yang dapat melindungi seseorang dari efek stres yang buruk. Menurut Sarafino (1998) ada 5 jenis atau dimensi dukungan sosial yaitu dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental dan dukungan informatif dan dukungan dari kelompok sosial. 1. Dukungan emosional Dukungan emosional merupakan dukungan yang diberikan keluarga pada klien, sehingga klien merasa berharga, nyaman, aman, disayangi dan tidak sendiri dalam menghadapi berbagai permasalahan

73

yang ada. Dukungan ini mencakup ungkapan ekspresi empati, kepedulian, dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan, misalnya meyakinkan penderita bahwa mereka masih dicintai, disayangi dan diharapkan dalam keluarga, mendengarkan keluhan klien, bersikap terbuka, menunjukan sikap percaya terhadap apa yang dikeluhkan, memahami keadaan klien, ekspresi kasih sayang dan perhatian. 2. Dukungan Harga Diri Dukungan penghargaan meliputi pemberian penghargaan yang positif terhadap penderita, seperti tidak menyalahkan atas penyakit yang dideritanya, memberikan dorongan, motivasi, dan penguatan kepada penderita dalam menghadapi berbagai macam tekanan yang ada, dan memberikan perbandingan positif pada penderita bahwa mereka itu sebenarnya sama dengan orang lain. 3. Dukungan Instrumental Dukungan instrumental meliputi pemberian bantuan langsung kepada penderita, ketika mereka sedang membutuhkan bantuan. Seperti

menyiapkan

makanan

ketika

mereka

sedang

sakit,

mengingatkan penderita untuk teratur minum obat, merawat ketika mereka sedang sakit, ataupun bantuan berupa materi untuk keperluan pengobatannya. Dukungan ini diperlukan klien untuk mendapatkan sarana dalam memenuhi kebutuhannya, baik kebutuhan sehari-harinya maupun kebutuhan pengobatannya.

74

4. Dukungan Informasional Dukungan informasional meliputi pemberian informasi, saran dan nasihat atas pemecahan permasalahan yang dihadapi penderita, berusaha untuk mencari berbagai informasi berkaitan dengan gagal ginjal dan hemodialisis. Dukungan ini bertujuan untuk memberikan penjelasan

tentang situasi dan segala sesuatu yang berhubungan

dengan masalah yang sedang dihadapi oleh penderita. Informasi merupakan bagian dari kekuatan untuk merubah sikap individu yang akan membuka pikiran seseorang melalui penalaran, pemikiran dan pemahaman lebih mendalam. Adanya informasi diharapkan perubahan sikap seseorang yang menganggap dirinya tidak berdaya atas kondisi yang dihadapi dapat merubah kearah yang lebih baik dalam menghadapi penyakitnya. 5. Dukungan Kelompok Sosial Dukungan dari kelompok sosial merupakan dukungan yang cukup penting. Dukungan ini akan membuat pasien merasa menjadi anggota dari kelompok yang memiliki kesamaan minat dan aktifitas sosial. Pasien akan merasa lebih nyaman karena mempunyai teman yang senasib dengannya.

2.1.6.4 Fungsi Perawatan Kesehatan Keluarga Fungsi perawatan kesehatan keluarga adalah fungsi keluarga dalam memenuhi kebutuhan fisik anggota keluarga (makanan, pakaian, hunian,

75

dan perawatan kesehatan) dimana keluarga memberikan promosi kesehatan dan perawatan kesehatan preventif serta merawat anggota keluarga yang sakit (Friedman, 2010). Fungsi ini dilakukan melalui pelaksanaan lima tugas keluarga di bidang kesehatan, yang terdiri dari : 1) Mengenal masalah kesehatan setiap anggota keluarga. Ketidakmampuan keluarga dalam mengenal masalah tentang tanda dan gejala kaki diabetik adalah salah satu faktor penyebabnya adalah karena kurang pengetahuan tentang kaki diabetik. Apabila keluarga tidak mampu mengenal bagaimana cara perawatan kaki, maka kaki diabetik bisa saja terjadi. 2) Membuat keputusan tindakan yang tepat Ketidakmampuan keluarga dalam mengambil keputusan yang tepat dalam melakukan tindakan disebabkan karena tidak memahami tentang sifat, berat, dan luasnya masalah yang dihadapi dan masalah tidak begitu menonjol. Perawatan kaki yang salah akan menambah resiko kaki daibetik terjadi. 3) Memberikan perawatan pada anggota yang sakit Ketidakmampuan dalam merawat anggota keluarga disebabkan karena tidak mengetahui bagaimana cara perawatan kaki pada pasien diabetes melitus, misalnya keluarga tidak mengetahi tentang pengertian, tanda dan gejala kaki diabetik, anggota keluarga tidak mengerti bagaimana cara perawatan kaki pada pasien Diabetes Melitus.

76

4) Mempertahankan atau menciptakan suasana rumah yang sehat Ketidakmampuan keluarga dalam memelihara lingkungan yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan. Ketidakmampuan ini disebabkan karena sumber-sumber dalam keluarga tidak mencukupi, diantaranya adalah biaya. 5) Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dengan fasilitas kesehatan masyarakat. Hal ini sangat penting sekali untuk keluarga yang mempunyai masalah Diabetes Melitus, agar penderita dapat memeriksakan kesehatannya secara rutin. Upaya

program perawatan kaki pada pasien Diabetes Melitus

perlu melibatkan lingkungan keluarga, selain keluarga merupakan lingkungan yang mudah dijangkau, karena di Indonesia pada umumnya pasien Diabetes Melitus tinggal bersama keluarganya, keluarga adalah pelaku rawat (care giver) yang tepat. Lingkungan keluarga bisa memberi pengaruh positif dalam upaya edukasi kepada penderita diabetes. Keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat, memiliki peran besar dalam memberi arahan hidup sehat bagi anggota keluarga yang mempunyai Diabetes, nantinya anggota keluarga yang akan menjadi pengingat bagi pasien untuk melakukan perawatan kaki dengan baik dan benar. Berdasarkan

konteks

keperawatan

kesehatan

masyarakat

(Perkesmas), dalam hal ini program edukasi perawatan kaki pada dasarnya adalah pelayanan keperawatan professional yang merupakan perpaduan antara konsep kesehatan masyarakat dan konsep keperawatan yang

77

ditujukan pada seluruh masyarakat dengan penekanan pada kelompok resiko tinggi yaitu pada kelompok pasien Diabetes Melitus. Tujuan pelayanan keperawatan kesehatan masyarakat dalam hal ini program edukasi perawatan kaki adalah meningkatkan kemandirian masyarakat dalam mengatasi maasalah kesehatan masyarakat yang optimal. Sasaran dari program edukasi perawatan kaki berbasis keluarga sesuai dengan sasaran dari program keperawatan kesehatan masyarakat yaitu

individu,

keluarga,

kelompok

beresiko

tinggi

termasuk

kelompok/masyarakat penduduk di daerah kumuh, terisolasi, berkonflik dan daerah yang tidak terjangkau pelayanan kesehatan. Fokus utama dari program edukasi perawatan kaki berbasis keluarga sama dengan masyarakat

adalah

kegiatan pelayanan keperawatan kesehatan

meningkatkan

pengetahuan

dan

keterampilan

keperawatan, membimbing dan mendidik individu, keluarga, kelompok, masyarakat untuk menanamkan pengertian, kebiasaan dan perilaku perawatan kaki sehingga mampu memelihara dan meningkatkan derajat kesehatannya. Program edukasi perawatan kaki merupakan asuhan keperawatan kasus keluarga yang memerlukan tindak lanjut di rumah (individu dalam konteks keluarga) yang dapat melibatkan peran serta aktif dari keluarga. Kegiatan yang dilakukan dalam asuhan keperawatan keluarga antara lain : penemuan suspek, penyuluhan atau pendidikan kesehatan pada individu dan keluarga, pemantauan keteraturan berobat dan kontrol sesuai program

78

pengobatan, kunjungan rumah (home visit) sesuai rencana, pelayanan keperawatan dasar langsung (direct care) maupun pelayanan keperawatan dasar tidak langsung (indirect care), pemberian konseling kesehatan dan keperawatan serta dokumentasi keperawatan.

79

2.2 Kerangka Pikir Kerangka pikir merupakan adaptasi dari model interaksi perilaku sehat pasien. Model interaksi terdiri dari elemen pasien, elemen interaksi dan elemen keluaran. Elemen pasien terdiri dari latar belakang pasien yaitu usia, pendidikan, pekerjaan, lama diabetes, adanya neuropati dan obat yang digunakan. Elemen pasien dan keluarga dimasukkan ke dalam latar belakang pasien dengan tujuan data pasien menjadi homogen. ELEMEN PASIEN DAN KELUARGA

ELEMEN INTERAKSI ANTARA PASIEN DAN PERAWAT

Latar Belakang Pasien

Program Edukasi Perawatan Kaki

    

Usia Pendidikan pekerjaan Lama Diabetes Adanya neuropati perifer  Olahraga  Obat Diabetes yang digunakan Latar belakang Keluarga  Tipe keluarga  Riwayat keluarga pernah merawat penyakit kronis  Jumlah anggota keluarga

Minggu I dan II : Intervensi Program Edukasi Perawatan Kaki Minggu III: tindak lanjut intervensi melalui telpon Minggu IV : Kunjungan Rumah Minggu V : Kunjungan Rumah

ELEMEN HASIL  Pengetahuan tentang perawatan kaki  Kepercayaan diri dalam melakukan perawatan kaki  Perilaku perawatan kaki

Minggu VI : Kunjungan Rumah

Gambar 2.3 Kerangka Pikir Penelitian Program Edukasi Perawatan Kaki Berbasis Keluarga diadaptasi dan dimodifikasi dari Model interaksi perilaku sehat pasien (Corbett, 2003)

80

2.3

Hipotesis 2.3.1 Hipotesis Nol (Ho) 1. Tidak ada pengaruh program edukasi perawatan kaki berbasis keluarga terhadap pengetahuan pasien tentang perawatan kaki. 2. Tidak ada pengaruh program edukasi perawatan kaki berbasis keluarga terhadap kepercayaan diri (self-efficacy) pasien dalam melakukan perawatan kaki. 3. Tidak ada pengaruh program edukasi perawatan kaki berbasis keluarga terhadap perilaku perawatan kaki pada pasien Diabetes Melitus. 2.3.2

Hipotesis alternatif (Ha)

1. Ada pengaruh program edukasi perawatan kaki berbasis keluarga terhadap pengetahuan pasien tentang perawatan kaki. 2. Ada pengaruh program edukasi perawatan kaki berbasis keluarga terhadap kepercayaan diri (self-efficacy) pasien dalam melakukan perawatan kaki. 3. Ada pengaruh program edukasi perawatan kaki berbasis keluarga terhadap perilaku perawatan kaki pada pasien Diabetes Melitus.

16