BAB II LANDASAN TEORI
A. KEKERASAN 1. Pengertian Kekerasan Kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah. Menurut WHO (dalam Bagong. S, dkk, 2000), kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak. Awal mulanya istilah tindak kekerasan pada anak atau child abuse dan neglect dikenal dari dunia kedokteran. Sekitar tahun 1946, Caffey-seorang radiologist melaporkan kasus cedera yang berupa gejala-gejala klinik seperti patah tulang panjang yang majemuk (multiple fractures) pada anak-anak atau bayi disertai pendarahan subdural tanpa mengetahui sebabnya (unrecognized trauma). Dalam dunia kedokteran, istilah ini dikenal dengan istilah Caffey Syndrome (Ranuh, 1999). Barker (dalam Huraerah, 2007) mendefinisikan child abuse merupakan tindakan melukai beulang-ulang secara fisik dan emosional terhadap anak yang ketergantungan, melalui desakan hasrat, hukuman badan yang tak terkendali, degradasi dan cemoohan permanen atau kekerasan seksual. Kekerasan seksual merupakan bentuk kontak seksual atau bentuk lain yang tidak diinginkan secara seksual. Kekerasan seksual biasanya disertai dengan tekanan psikologis atau fisik (O’Barnett et al., dalam Matlin, 2008). Perkosaan merupakan jenis kekerasan seksual yang spesifik. Perkosaan dapat didefiniskan sebagai penetrasi seksual tanpa izin atau dengan paksaan, disertai oleh kekerasan fisik (Tobach,dkk dalam Matlin, 2008).
Universitas Sumatera Utara
2. Bentuk-bentuk Kekerasan terhadap Anak Terry E. Lawson (dalam Huraerah, 2007), psikiater internasional yang merumuskan definisi tentang child abuse, menyebut ada empat macam abuse, yaitu emotional abuse, verbal abuse, physical abuse, dan sexual abuse). a. Kekerasan secara Fisik (physical abuse) Physical abuse, terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak memukul anak (ketika anak sebenarnya memerlukan perhatian). Pukulan akan diingat anak itu jika kekerasan fisik itu berlangsung dalam periode tertentu. Kekerasan yang dilakukan seseorang berupa melukai bagian tubuh anak. b. Kekerasan Emosional (emotional abuse) Emotional abuse terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak setelah mengetahui anaknya meminta perhatian, mengabaikan anak itu. Ia membiarkan anak basah atau lapar karena ibu terlalu sibuk atau tidak ingin diganggu pada waktu itu. Ia boleh jadi mengabaikan kebutuhan anak untuk dipeluk atau dilindungi. Anak akan mengingat semua kekerasan emosional jika kekerasan emosional itu berlangsung konsisten. Orang tua yang secara emosional berlaku keji pada anaknya akan terusmenerus melakukan hal sama sepanjang kehidupan anak itu. c. Kekerasan secara Verbal (verbal abuse) Biasanya berupa perilaku verbal dimana pelaku melakukan pola komunikasi yang berisi penghinaan, ataupun kata-kata yang melecehkan anak. Pelaku biasanya melakukan tindakan mental abuse, menyalahkan, melabeli, atau juga mengkambinghitamkan. d. Kekerasan Seksual (sexual abuse) Sexual abuse meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut (seperti istri, anak dan pekerja rumah tangga). Selanjutnya dijelaskan bahwa sexual abuse adalah setiap perbuatan yang berupa
Universitas Sumatera Utara
pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersil dan atau tujuan tertentu. Kekerasan seksual (sexual abuse) merupakan jenis penganiayaan yang biasanya dibagi dalam kategori berdasar identitas pelaku (Tower, 2002), terdiri dari: i.
Familial Abuse Incest merupakan sexual abuse yang masih dalam hubungan darah, menjadi bagian
dalam keluarga inti. Seseorang yang menjadi pengganti orang tua, misalnya ayah tiri, atau kekasih, termasuk dalam pengertian incest. Mayer (dalam Tower, 2002) menyebutkan kategori incest dalam keluarga dan mengaitkan dengan kekerasan pada anak. Kategori pertama, sexual molestation (penganiayaan). Hal ini meliputi interaksi noncoitus, petting, fondling, exhibitionism, dan voyeurism, semua hal yang berkaitan untuk menstimulasi pelaku secara seksual. Kategori kedua, sexual assault (perkosaan), berupa oral atau hubungan dengan alat kelamin, masturbasi, fellatio (stimulasi oral pada penis), dan cunnilingus (stimulasi oral pada klitoris). Kategori terakhir yang paling fatal disebut forcible rape (perkosaan secara paksa), meliputi kontak seksual. Rasa takut, kekerasan, dan ancaman menjadi sulit bagi korban. Mayer mengatakan bahwa paling banyak ada dua kategori terakhir yang menimbulkan trauma terberat bagi anak-anak, namun korban-korban sebelumnya tidak mengatakan demikian. Mayer berpendapat derajat trauma tergantung pada tipe dari kekerasan seksual, korban dan survivor mengalami hal yang sangat berbeda. Survivor yang mengalami perkosaan mungkin mengalami hal yang berbeda dibanding korban yang diperkosa secara paksa.
Universitas Sumatera Utara
ii. Extrafamilial Abuse Extrafamilial Abuse, dilakukan oleh orang lain di luar keluarga korban, dan hanya 40% yang melaporkan peristiwa kekerasan. Kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang dewasa disebut pedophile, yang menjadi korban utamanya adalah anak-anak. Pedophilia diartikan ”menyukai anak-anak” (deYong dalam Tower, 2002). Pedetrasy merupakan hubungan seksual antara pria dewasa dengan anak laki-laki (Struve & Rush dalam Tower, 2002). Pornografi anak menggunakan anak-anak sebagai sarana untuk menghasilkan gambar, foto, slide, majalah, dan buku (O’Brien, Trivelpiece, Pecora et al., dalam Tower, 2002). Biasanya ada tahapan yang terlihat dalam melakukan kekerasan seksual Kemungkinan pelaku mencoba perilaku untuk mengukur kenyamanan korban. Jika korban menuruti, kekerasan akan berlanjut dan intensif, berupa: 1. Nudity (dilakukan oleh orang dewasa). 2. Disrobing (orang dewasa membuka pakaian di depan anak). 3. Genital exposure (dilakukan oleh orang dewasa). 4. Observation of the child (saat mandi, telanjang, dan saat membuang air). 5. Mencium anak yang memakai pakaian dalam. 6. Fondling (meraba-raba dada korban, alat genital, paha, dan bokong). 7. Masturbasi 8. Fellatio (stimulasi pada penis, korban atau pelaku sendiri). 9. Cunnilingus (stimulasi pada vulva atau area vagina, pada korban atau pelaku). 10. Digital penetration (pada anus atau rectum). 11. Penile penetration (pada vagina). 12. Digital penetration (pada vagina). 13. Penile penetration (pada anus atau rectum).
Universitas Sumatera Utara
14. Dry intercourse (mengelus-elus penis pelaku atau area genital lainnya, paha, atau bokong korban) (Sgroi dalam Tower, 2002).
Menurut Suharto (1997) mengelompokkan kekerasan pada anak menjadi: a. Kekerasan Anak Secara Fisik Kekerasan secara fisik adalah penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak. Bentuk luka dapat berupa lecet atau memar akibat persentuhan atau kekerasan benda tumpul, seperti bekas gigitan, cubitan, ikan pinggang, atau rotan. Dapat pula berupa luka bakar akibat bensin panas atau berpola akibat sundutan rokok atau setrika. Lokasi luka biasanya ditemukan pada daerah paha, lengan, mulut, pipi, dada, perut, punggung atau daerah bokong. Terjadinya kekerasan terhadap anak secara fisik umumnya dipicu oleh tingkah laku anak yang tidak disukai orangtuanya, seperti anak nakal atau rewel, menangis terus, minta jajan, buang air atau muntah di sembarang tempat, memecahkn barang berharga. b. Kekerasan Anak Secara Psikis kekerasan secara psikis meliputi penghardikan, penyampaian kata-kata kasar dan kotor, memperlihatkan buku, gambar, dan film pornografi pada anak. Anak yang mendapatkan perlakuan ini umumnya menunjukkan gejala perilaku maladaptif, seperti menarik diri, pemalu, menangis jika didekati, takut ke luar rumah dan takut bertemu dengan orang lain. c. Kekerasan Anak Secara Seksual Kekerasan secara seksual dapat berupa perlakuan prakontak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar (melalui kata, sentuhan, gambar visual, exhibisionism), maupun perlakuan kontak seksual secara langsung antara anak dengan orang dewasa (incest, perkosaan, eksploitasi seksual).
Universitas Sumatera Utara
d. Kekerasan Anak Secara Sosial Kekerasan secara sosial dapat mencakup penelantaran anak dan eksploitasi anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orangtua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh-kembang anak. Misalnya anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga, atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak. Eksploitasi anak menunjuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan keluarga atau masyarakat. Sebagai contoh, memaksa anak untuk melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial, atau politik tanpa memperhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik, psikisnya dan status sosialnya. Misalnya, anak dipaksa untuk bekerja di pabrik-pabrik yang membahayakan (pertambangan, sektor alas kaki) dengan upah rendah dan tanpa peralatan yang memadai, anak dipaksa untuk angkat senjata, atau dipaksa melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga melebihi batas kemampuannya.
3. Faktor-fakor Penyebab Kekerasan terhadap Anak Gelles Richard.J (1982) mengemukakan bahwa kekerasan terhadap anak (child abuse) terjadi akibat kombinasi dari berbagai faktor, yaitu: a. Pewarisan Kekerasan Antar Generasi (intergenerational transmission of violance) Banyak anak belajar perilaku kekerasan dari orangtuanya dan ketika tumbuh menjadi dewasa mereka melakuakan tindakan kekerasan kepada anaknya. Dengan demikian, perilaku kekerasan diwarisi (transmitted) dari generasi ke generasi. Studi-studi menunjukkan bahwa lebih kurang 30% anak-anak yang diperlakukan dengan kekerasan menjadi orangtua yang bertindak keras kepada anak-anaknya. Sementara itu, hanya 2 sampai 3 persen dari semua individu menjadi orangtua yang memperlakukan kekerasan kepada anak-anaknya. Anak-anak yang mengalami perlakuan salah dan kekerasan
Universitas Sumatera Utara
mungkin menerima perilaku ini sebagai model perilaku mereka sendiri sebagai orangtua. Tetapi, sebagian besar anak-anak yang diperlakukan dengan kekerasan tidak menjadi orang dewasa yang memperlakukan kekerasan kepada anak-anaknya. b. Stres Sosial (social stress) Stres yang ditimbulkan oleh berbagai kondisi sosial meningkatkan risiko kekerasan terhadap anak dalam keluarga. Kondisi-kondisi sosial ini mencakup: pengangguran (unemployment), penyakit (illness), kondisi perumahan buruk (poor housing conditions), ukuran keluarga besar dari rata-rata (a larger than average family size), kelahiran bayi baru (the presence of a new baby), orang cacat (disabled person) di rumah, dan kematian (the death) seorang anggota keluarga. Sebagian besar kasus dilaporkan tentang tindakan kekerasan terhadap anak berasal dari keluarga yang hidup dalam kemiskinan. Tindakan kekerasan terhadap anak juga terjadi dalam keluarga kelas menengah dan kaya, tetapi tindakan yang dilaporkan lebih banyak di antara keluarga miskin karena beberapa alasan. c. Isolasi Sosial dan Keterlibatan Masyarakat Bawah Orangtua dan pengganti orangtua yang melakukan tindakan kekerasan terhadap anak cenderung terisolasi secara sosial. Sedikit sekali orangtua yang bertindak keras ikut serta dalam suatu organisasi masyarakat dan kebanyakan mempunyai hubungan yang sedikit dengan teman atau kerabat. d. Struktur Keluarga Tipe-tipe keluarga tertentu memiliki risiko yang meningkat untuk melakukan tindakan kekerasan dan pengabaian kepada anak. Misalnya, orangtua tunggal lebih memungkinkan melakukan tindakan kekerasan terhadap anak dibandingkan dengan orangtua utuh. Selain itu, keluarga-keluarga di mana baik suami atau istri mendominasi di dalam membuat keputusan penting, seperti: di mana bertempat tinggal, pekerjaan apa yang mau diambil, bilamana mempunyai anak, dan beberapa keputusan lainnya, mempunyai tingkat
Universitas Sumatera Utara
kekerasan terhadap anak yang lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga-keluarga yang suami-istri sama-sama bertanggung jawab atas keputusan-keputusan tersebut.
4. Efek Kekerasan Seksual Kebanyakan korban perkosaan merasakan kriteria psychological disorder yang disebut post-traumatic stress disorder (PTSD), simtom-simtomnya berupa ketakutan yang intens terjadi, kecemasan yang tinggi, emosi yang kaku setelah peristiwa traumatis. Beitch-man et al (dalam Tower, 2002), korban yang mengalami kekerasan membutuhkan waktu satu hingga tiga tahun untuk terbuka pada orang lain. Finkelhor dan Browne (dalam Tower, 2002) menggagas empat jenis dari efek trauma akibat kekerasan seksual, yaitu: 1) Betrayal (penghianatan) Kepercayaan merupakan dasar utama bagi korban kekerasan seksual. Sebagai anak individu percaya kepada orangtua dan kepercayaan itu dimengerti dan dipahami. Namun, kepercayaan anak dan otoritas orangtua menjadi hal yang mengancam anak. 2) Traumatic sexualization (trauma secara seksual) Russel (dalam Tower, 2002) menemukan bahwa perempuan yang mengalami kekerasan seksual cenderung menolak hubungan seksual, dan sebagai konsekuensinya menjadi korban kekerasan seksual dalam rumah tangga. Finkelhor (dalam Tower, 2002) mencatat bahwa korban lebih memilih pasangan sesama jenis karena menganggap laki-laki tidak dapat dipercaya. 3) Powerlessness (merasa tidak berdaya) Rasa takut menembus kehidupan korban. Mimpi buruk, fobia, dan kecemasan dialami oleh korban disertai dengan rasa sakit. Perasaan tidak berdaya mengakibatkan individu merasa lemah. Korban merasa dirinya tidak mampu dan kurang efektif dalam bekerja. Beberapa korban juga merasa sakit pada tubuhnya. Sebaliknya, pada korban
Universitas Sumatera Utara
lain memiliki intensitas dan dorongan yang berlebihan dalam dirinya (Finkelhor dan Browne, Briere dalam Tower, 2002). 4) Stigmatization Korban kekerasan seksual merasa bersalah, malu, memiliki gambaran diri yang buruk. Rasa bersalah dan malu terbentuk akibat ketidakberdayaan dan merasa bahwa mereka tidak memiliki kekuatan untuk mengontrol dirinya. Korban sering merasa berbeda dengan orang lain, dan beberapa korban marah pada tubuhnya akibat penganiayaan yang dialami. Korban lainnya menggunakan obat-obatan dan minuman alkohol untuk menghukum tubuhnya, menumpulkan inderanya, atau berusaha menghindari memori kejadian tersebut (Gelinas, Kinzl dan Biebl dalam Tower, 2002).
B. IDENTITAS DIRI 1. Pengertian Identitas Diri Erikson (1968) mengatakan bahwa salah satu proses sentral pada remaja adalah pembentukan identitas diri, yaitu perkembangan ke arah individualitas yang merupakan aspek penting dalam perkembangan berdiri sendiri. Identitas diri adalah mengenal dan menghayati dirinya sebagai pribadi sendiri serta tidak tenggelam dalam peran yang dimainkan, misalnya sebagai anak, teman, pelajar, atupun teman sejawat. Identifikasi diri muncul ketika anak muda memilih nilai dan orang tempat dia memberikan loyalitasnya, bukan sekadar mengikuti pilihan orangtuanya. Orang yang sedang mencari identitasnya adalah orang yang ingin menentukan siapakah atau apakah yang dia inginkan pada masa mendatang (Erikson, 1968). Proses terjadinya identitas diungkapkan secara abstrak yang merupakan proses restrukturisasi segala identifikasi dan gambaran diri terdahulu diolah dalam perspektif masa depan. Identitas merupakan kelanjutan dari masa kanak-kanak, pengertian diri yang sekarang, dan menjadi petunjuk di masa depan, oleh sebab itu seseorang membentuk identitas dirinya
Universitas Sumatera Utara
pada usia remaja akhir. Remaja yang berada pada periode remaja akhir dapat melihat dirinya dan tahu bagaimana bertindak untuk membentuk identitas dirinya. Identitas diri tidak dapat berkembang penuh sebelum masa remaja tengah dan akhir karena unsur pokok diintegrasikan (jenis kelamin, kemampuan fisik, seksualitas, kemampuan kognisi pada tahap operasional konkrit, dapat merespon harapan sosial) semua hal tersebut tidak muncul bersama dalam suatu waktu. Remaja akhir diharapkan dapat memutuskan identitas dirinya. Erikson (1968) menjelaskan bahwa pada masa remaja akhir identitas individu untuk pertama kalinya melaui suatu keputusan yang tepat atas pengalaman-pengalaman langsung maupun tidak langsung yang berarti dalam kehidupannya dan merupakan tugas-tugas perkembangannya. Erikson menyatakan bahwa pada usia remaja, krisis yang harus kita selesaikan berkaitan dengan pencarian identitas diri (Schulz, 1994). Erikson (1968) mempertegas bahwa masa remaja adalah masa krisis pencarian identitas diri (identity crisis) yang menunjukkan bahwa pada masa ini individu dihadapkan pada tugas perkembangan yang utama yaitu menemukan kejelasan identitas (sense of identity), terutama yang berhubungan dengan tugas-tugas perkembangan selama masa remaja, meliputi penerimaan keadaan fisik, peran seks secara sosial, membentuk hubungan baru dengan lawan jenis, kemandirian emosi dan ekonomi, memilih pekerjaan, mengembangkan ketrampilan intelektual, memilih tata nilai yang menuntun perilaku, mengembangkan perilaku sosial dan mempersiapkan perkawinan (Havinghurst, dalam Papalia, 1998). Krisis yang dialami pada masa remaja berfungsi untuk menetapkan suatu identitas stabil. Krisis identitas selama masa remaja sebenarnya merupakan krisis yang paling berat dan paling berbahaya karena penyelesaian yang gagal atau berhasil dari krisis identitas itu mempunyai akibat jauh untuk seluruh masa depan. Remaja berusaha untuk melepasakan diri dari mileu orangtua dengan maksud untuk menemukan dirinya. Erikson menamakan proses tersebut sebagai proses mencari identitas ego (Monks, 1999).
Universitas Sumatera Utara
Ada dua proses yang penting berupa eksplorasi dan komitmen dalam perkembangan identitas (Bosma, 1994). Eksplorasi yang juga dikenal dengan istilah krisis adalah suatu aktivitas yang secara aktif dilakukan individu untuk mencari, menjajaki, mempelajari, mengidentifikasi, mengevaluasi dan menginterpretasi dengan seluruh kemampuan, akal, pikiran, dan potensi yang dimiliki untuk memperoleh pemahaman yang baik tentang berbagai alternatif vokasi. Indikasi ada tidaknya eksplorasi dapat ditunjukkan melalui kriteria-kriteria sebagai berikut (Marcia, 1993): a. Knowledgeability, yaitu sejauhmana tingkat pengetahuan yang dimiliki individu yang ditunjukkan oleh keluasan dan kedalaman informasi yang berhasil dihimpun tentang berbagai alternatif pilihan studi lanjutan. b. Activity directed toward gathering information yaitu aktivitas yang terarah untuk mengumpulkan informasi yang menyangkut semua aktivitas yang dipandang tepat untuk mencari dan mengumpulkan informasi yang dibutuhkan. c. Considering alternative potential identity element yaitu sejauhmana individu mampu mempertimbangkan berbagai informasi yang telah dimiliki tentang berbagai kemungkinan dan peluang dari setiap alternatif yang ada. d. Desire to make an early decision yaitu keinginan untuk membuat keputusan secara dini yang ditunjukkan oleh sejauhmana individu memiliki keinginan untuk memecahkan keragu-raguan atau ketidakjelasan secepat mungkin secara realistis dan meyakini apa yang dipandang tepat bagi dirinya. Komitmen adalah kesetiaan, keteguhan pendirian, prinsip, tekad untuk melakukan berbagai kemungkinan atau alternatif yang dipilih. Ditandai oleh faktor-faktor berikut (Marcia, 1993): a. Knowledgeability yaitu merujuk kepada sejumlah infomasi yang dimiliki dan dipahami tentang keputusan pilihan-pilihan yang telah ditetapkan. Remaja yang
Universitas Sumatera Utara
memiliki komitmen mampu menunjukkan pengetahuan yang mendalam, terperinci dan akurat tentang hal-hal yang telah diputuskan. b. Activity directed toward implementing the chosen identify element yaitu aktivitas yang terarah pada implementasi elemen identitas yang telah ditetapkan. c. Emotional tone yaitu nada emosi yang merujuk kepada berbagai perasaan yang dirasakan
individu
baik
dalam
penetapan
keputusan
maupun
dalam
mengimplementasikan keputusan tersebut. Nada emosi terungkap dalam bentuk keyakinan diri, stabilitas dan optimisme masa depan. d. Identification with significant other yaitu identifikasi dengan orang-orang yang dianggap penting yang ditunjukkan dengan sejauhmana remaja mampu membedakan aspek positif dan negatif dari figur yang dianggap ideal olehnya. e. Projecting one’s personal future yaitu kemampuan memproyeksikan dirinya ke masa depan dengan ditandai oleh kemampuan mempertautkan rencananya dengan aspek lain dalam kehidupan masa depan yang mereka cita-citakan. f. Resistence to being swayed yaitu sejauhmana individu memiliki ketahanan terhadap godaan-godaan yang bermaksud untuk mengalihkan keputusan yang telah mereka tetapkan. Mereka tetap teguh pada keputusannya, tetapi mereka bukan anti perubahan. Mereka
mampu
menghargai
berbagai
kemungkinan
perubahan,
mereka
mengkaitkannya dengan kemampuan pribadi dan peluang yang ada. Berdasarkan pendapat dari para tokoh, maka dapat disimpulkan bahwa identitas diri adalah pengenalan dan penghayatan diri sebagai individu yang unik sehingga tidak tenggelam dalam peran yang dimainkan.
Universitas Sumatera Utara
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Identitas Diri Fuhrmann
(1990)
mengemukakan
bahwa
ada
beberapa
faktor
yang
memempengaruhi proses pembentukan identitas diri seseorang, yaitu: a. Pola Asuh Orang tua mempunyai pengaruh penting dalam pembentukan identitas seseorang. Seperti yang dikemukakan Grotevant & Cooper (dalam Archer, 1994) bahwa peran penting kualitas keluarga yang ikut mewarnai pembentukan identitas antara lain terletak pada interaksi orang tua dengan anak, yang dalam hal ini disebut pola pengasuhan. b. Homogenitas Lingkungan Pada lingkungan yang homogen, seseorang cenderung memperoleh identitas yang foreclosure karena ia tidak mengalami krisis dan memperoleh komitmen dari nilai-nilai orang tua dengan mudah. Sebaliknya, pada lingkungan heterogen, individu dihadapkan pada banyak pilihan sehingga ia sering mengalami krisis dan dipaksa untuk menentukan suatu pilihan tertentu. c. Model untuk indentifikasi Anak mengadakan identifikasi dengan orang-orang yang dikagumi dengan harapan kelak akan menjadi seperti orang tersebut. Mereka menjadikannya idola dan menjadikannya model dalam hidupnya. Orang dewasa yang berperan sebagai model bagi remaja ini dapat mempengaruhi pembentukan identitas dirinya. d. Pangalaman masa kanak-kanak Individu yang mampu menyelesaikan konflik-konflik pada masa kanak-kanak akan mengalami kemudahan dalam menyelesaikan krisis indentitas pada masa remaja. Menurut Erikson, identitas berkembang dari rangkaian identifikasi pada masa kanak-kanak.
Universitas Sumatera Utara
e. Perkembangan kognisi Individu yang memiliki kemampuan berpikir operasional formal akan mempunyai komitmen yang kuat dan konsisten sehingga ia dapat menyelesaikan krisis identitas dengan baik. f. Sifat individu Rasa ingin tahu dan keinginan yang kuat untuk mengadakan eksplorasi membantu tercapainya identity achievement. g. Pengalaman kerja Individu yang telah memiliki pengalaman kerja atau telah memasuki dunia kerja akan menstimulasi pembentukan identitas dirinya. h. Etnis identitas Etnis dan harapan dari lingkungan etnis tempat indvidu tinggal akan mempengaruhi pencapaian identitasnya.
3. Status Identitas Status identitas dapat dilihat dari pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan pekerjaan, ideologi, dan nilai-nilai interpersonal. Hampir seluruh status identitas meliputi pertanyaan-pertanyaan dalam domain pekerjaan atau pilihan pendidikan; ideologi, meliputi kepercayaan dan politik; dan nilai-nilai interpersonal misalnya peran jenis kelamin dan seksualitas. Menurut (Archer & Waterman, Marcia dalam Bosma,dkk, 1994) menganalisis teori perkembangan identitas Erikson berdasarkan krisis atau eksplorasi dan komitmen, menyimpulkan ada empat status identitas, yaitu: a. Identity Foreclosure Foreclosure merupakan status identitas yang umum dan biasanya berkembang lebih dahulu dari Moratorium dan Achievement. Identity foreclosure merupakan status
Universitas Sumatera Utara
untuk menggambarkan remaja yang telah membuat suatu komitmen tetapi belum mengalami suatu krisis. Dalam keadaan seperti ini, remaja belum memiliki peluangpeluang yang memadai, untuk menjajaki berbagai pendekatan, ideologi, dan pekerjaan-pekerjaan yang berbeda yang dikembangkan sendiri. Individu foreclosure dalam membuat keputusan masih ragu dan lebih senang untuk mengambil keputusan orangtua daripada membuat keputusan sendiri, biasanya mereka tinggal dekat dengan orangtua. Individu yang berada pada status identitas Foreclosure ragu-ragu untuk memutuskan apa yang benar, mereka cenderung memilih teman yang baik, yang menyukainya. b. Identity Moratorium Identity moratorium adalah status untuk menggambarkan remaja yang sedang berada di tengah-tengah krisis, tetapi belum membentuk komitmen. Remaja moratorium sedang berada dalam periode pembuatan keputusan dan mungkin telah melakukan beberapa keputusan yang bersifat kabur dan umum. Remaja yang berada pada status identitas Moratorium terkadang aktif dan bersemangat, berjuang keras. Remaja masih memiliki nilai kompromi yang tinggi atas harapan orang tua dan masyarakat disamping keinginannya sendiri, terlihat sensitif, etis, dan terbuka. Dalam suatu studi ditemukan bahwa mereka sangat sensitif terhadap nilai-nilai moral sehingga cenderung cemas. Selain hal itu, hubungan mereka dengan orang lain intens dan relatif singkat, dan susah bagi mereka untuk mempertahankan komitmen kepada orang lain. c. Identity Diffusion Identity diffusion adalah ialah status untuk menggambarkan remaja yang belum mengalami krisis (yaitu mereka belum menjajaki pilihan-pilihan yang bermakna) atau membuat komitmen apa pun. Remaja belum melakukan eksplorasi atau pernah
Universitas Sumatera Utara
melakukannya, namun sepintas lalu saja, juga tidak memiliki komitmen dan tidak pernah mencoba untuk membuat komitmen. Seseorang tidak hanya belum memutuskan
pilihan-pilihan
pekerjaan
dan
ideologis,
tetapi
cenderung
memperlihatkan minat yang kecil dalam persoalan-persoalan semacam itu. Identity diffusion mencakup seseorang yang tidak pernah merasakan krisis atau mengalami masa tumbuhnya pertanyaan-pertanyaan sehingga tidak mampu memecahkan persoalan yang muncul akhirnya tidak membuat keputusan. Remaja pada status ini terlihat tidak memiliki tujuan, tidak pernah mengalami krisis atau masih berada pada masa yang penuh pertanyaan dan tidak mampu memecahkannya, cenderung bersikap apatis, dimana individu merasa tidak memiliki tempat dan mengalami isolasi sosial, serta
kompulsif.
Ketidakmampuan
remaja
menyelesaikan
masa
krisisnya
mengakibatkan remaja memiliki keraguan akan peran yang akan dilakukannya atau mengalami identity confusion dan mengakibatkan kekaburan identitas diri. Tanpa identitas yang jelas, remaja menjadi depresi dan kurang percaya diri, dan cenderung memiliki perilaku negatif, seperti pemalu, sinis, keras kepala, dst. d. Identity Achievement Identity achievement adalah status yang digunakan bagi remaja yang telah mengalami suatu krisis dan sudah membuat suatu komitmen. Disini remaja sudah mengalami krisis dan sudah menentukan siapa dirinya. Individu yang berada pada status identitas Achievement terlihat tenang, mampu menjelaskan alasan terhadap pilihan mereka dan mampu menjelaskan bagaimana pilihan tersebut muncul. Hal yang berbeda dibanding dengan status identitas lain adalah proses pembentukan identitas akan berlanjut dalam kehidupan mereka. Individu yang berasa pada status identitas ini sensitif terhadap tuntutan luar, mereka membuat keputusan sendiri. Seseorang disebut identity achiever bila orang itu telah selesai masa krisisnya dan telah berkembang relatif tetap tanggung
Universitas Sumatera Utara
jawabnya. Seorang identity achiever cenderung fleksibel dan tidak kaku dalam memutuskan pilihannya.
Tabel 1. Status Identitas diri Menurut Marcia Crisis
Commitment
Foreclosure
O
X
Moratorium
X
?
Diffusion
O
O
Achievement
X
X
Keterangan: X : Ada O : tidak ada ?
: kabur
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa status identitas ialah istilah yang digunakan untuk kondisi perkembangan ego yang tergantung kepada kehadiran atau ketidakhadiran krisis dan komitmen.
C. REMAJA 1. Pengertian Remaja Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin adolescere yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Perjalanan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa ditandai oleh periode transisisonal panjang yang dikenal dengan masa remaja. Masa remaja secara umum dimulai dengan pubertas, proses yang mengarah kepada kematangan seksual atau fertilitas, yaitu kemampuan untuk bereproduksi. Sarwono (2001) menyatakan bahwa remaja berada dalam periode transisi antara anakanak dan orang dewasa dengan segala perkembangan biologis, kognitif, dan psikososial.
Universitas Sumatera Utara
2. Usia Masa Remaja Masa remaja menawarkan peluang untuk tumbuh, bukan hanya dalam dimensi fisik, tetapi juga dalam kompetensi kognitif dan sosial. Periode remaja merupakan periode yang penting karena pada masa ini terjadi perkembangan fisik dan psikologis yang pesat (Atkinson dkk, 1993). Santrock (1995) berpendapat bahwa masa remaja di awali pada usia yang berkisar 10 tahun – 13 tahun dan berahir di usia 18 tahun 22 tahun. Menurut Hurlock (1999) batasan usia masa remaja adalah 13 tahun – 17 tahun. Monks (2002) membagi masa remaja menjadi tiga bagian, yaitu masa remaja awal, masa remaja pertengahan dan masa remaja akhir. Masa remaja awal berlangsung kira-kira dari 12 tahun sampai 14 tahun. Masa remaja pertengahan berlangsung kira-kira dari 15 tahun sampai 17 tahun. Masa remaja akhir berlangsung kira-kira 18 tahun sampai 21 tahun.
D. Gambaran Pembentukan Identitas Diri Remaja Korban Kekerasan Seksual
Kekerasan yang mewarnai berbagai media massa menjadi suatu perhatian besar sekarang ini. Melalui data yang diperoleh bahwa kekerasan seksual menjadi salah satu bentuk kekerasan yang sering terjadi. Hal menarik yang perlu disoroti adalah sebagian besar pelakunya berasal dari lingkungan keluarga, dan tidak menutup kemungkinan juga orang lain yang dekat dengan korban. Seringkali yang menjadi korban perilaku tak terpuji itu adalah kaum yang dianggap lemah, dan tidak terbatas pada usianya. Tower (2002) mengungkapkan bahwa mayoritas korban kekerasan seksual adalah perempuan. Anak perempuan empat kali lebih besar kemungkinannya untuk dilecehkan dibanding anak laki-laki (Papalia, 2004). Sesuai dengan Hukum Perlindungan Anak, rentang usia dikatakan sebagai anak adalah usia 8 hingga 18 tahun. Berdasarkan teori Psikologi Perkembangan, usia belasan tahun tergolong usia remaja. Santrock (1995) berpendapat bahwa masa remaja di awali pada usia yang berkisar 10 tahun-
Universitas Sumatera Utara
13 tahun dan berakhir di usia 18 tahun-22 tahun. Monks (2002) membagi masa remaja menjadi tiga bagian, yaitu masa remaja awal (12 sampai 14 tahun), masa remaja pertengahan (15 sampai 17 tahun), dan masa remaja akhir (18 sampai 21 tahun). Remaja perempuan seringkali menjadi korban merasa tidak mampu melawan pelaku, dan bersikap pasrah. Hingga pada akhirnya korban mengalami berbagai dampak setelah kekerasan secara seksual terjadi. Sarwono (2001) menyatakan bahwa remaja berada dalam periode transisi antara anak-anak dan orang dewasa dengan segala perkembangan biologis, kognitif, dan psikososial. Dampak yang diakibatkan peristiwa kekerasan tentu saja mempengaruhi remaja secara psikologis, kognitif, emosi, sosial, dan perilakunya. Menurut Maschi (2009), dampak yang ditimbulkan mempengaruhi masa remaja hingga dewasa. Korban perkosaan memiliki kemungkinan mengalami stres dan trauma setelah perkosaan. Seperti yang diungkapkan oleh Ekandari, dkk (2001) bahwa korban perkosaan mengalami stres yang langsung terjadi dan stres jangka panjang. Sebagai seorang individu yang berada pada masa peralihan, remaja memiliki tugas dalam perkembangannya, dan tugas yang utama adalah memecahkan krisis identitas versus kebingungan identitas (atau identitas versus kebingungan peran), untuk dapat menjadi orang dewasa unik dengan pemahaman akan diri yang utuh dan memahami peran nilai dalam masyarakat. Apabila krisis identitas dapat diselesaikan, timbul suatu bentuk identitas yang terintegrasi, koheren, dan jelas (Erikson, 1989). Remaja yang mengalami kekerasan merasakan dampak kekerasan tersebut. Dampak yang terjadi adalah remaja gagal mengintegrasikan diri, memiliki gambaran diri yang negatif, mendapat stigma negatif dari lingkungan sehingga merasa takut ditolak dari pergaulan dengan teman sebaya. Berbagai dampak yang dirasakan akan mempengaruhi dalam memenuhi tugas perkembangan, khususnya tugas perkembangan yang utama. Kegagalan dalam menyelesaikan tugas
Universitas Sumatera Utara
perkembangan tersebut mengakibatkan remaja mengalami kebingungan identitas atau krisis identitas. Archer & Waterman, Marcia dalam Bosma,dkk, (1994) menggunakan eksplorasi dan komitmen untuk menjelaskan mengenai empat status identitas, yaitu identity achievement (pencapaian identitas), foreclosure (penutupan), moratorium (penundaan), dan identity diffusion (difusi identitas). Identity achievement merupakan periode dari eksplorasi sebelumnya dalam membentuk identitas dengan menguraikan nilai dan komitmen. Moratorium merupakan proses yang menjelaskan mengenai keadaan remaja yang telah mengalami krisis tetapi belum memiliki komitmen, atau tampak samar. Foreclosure merupakan keadaan remaja yang menerima nilai dan komitmen tanpa eksplorasi, misalnya komitmen berasal dari orang tua atau orang-orang yang berarti dalam hidupnya. Sedangkan diffusion merupakan ketidakmampuan dalam membuat komitmen, dan sebelumnya juga tidak mengalami eksplorasi (Kroger, 1947). Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti tertarik untuk melihat bagaimana gambaran pembentukan identitas diri pada remaja perempuan korban kekerasan seksual mulai dari status identitas korban hingga pada faktor-faktor yang mempengaruhi proses pembentukan identitas diri korban.
Universitas Sumatera Utara
E. Paradigma Penelitian
Keterangan:
= terdiri dari = dipengaruhi = membentuk/memiliki
Universitas Sumatera Utara