BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Kandung Empedu

Kandung empedu adalah sebuah kantung berbentuk seperti buah pir, yang ... kolesistitis akut dan kronik.Namun, dua dek ade terakhir kolesistektomi...

214 downloads 579 Views 281KB Size
4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Kandung Empedu

Gambar 2.1. Anatomi kandung empedu dan saluran bilier (sumber: www.pennstatehershey.adam.com)

Kandung empedu adalah sebuah kantung berbentuk seperti buah pir, yang terletak pada permukaan inferior dari hati pada garis yang memisahkan lobus kanan dan kiri, yang disebut dengan fossa kandung empedu. Ukuran kandung empedu pada orang dewasa adalah 7cm hingga 10 cm dengan kapasitas lebih kurang 30mL. Kandung empedu menempel pada hati oleh jaringan ikat longgar , yang mengandung vena dan saluran limfatik yang menghubungkan kandung empedu dengan hati. Kandung empedu dibagi menjadi empat area anatomi: fundus, korpus, infundibulum, dan kolum (Avunduk, 2002). Saluran biliaris dimulai dari kanalikulus hepatosit, yang kemudian menuju ke duktus biliaris. Duktus yang besar bergabung dengan duktus hepatikus kanan dan kiri, yang akan bermuara ke duktus hepatikus komunis di porta hepatis.

5

Ketika duktus sistika dari kandung empedu bergabung dengan duktus hepatikus komunis, maka terbentuklah duktus biliaris komunis. Duktus biliaris komunis secara umum memiliki panjang 8 cm dan diameter 0.5-0.9 cm, melewati duodenum menuju pangkal pankreas, dan kemudian menuju ampula Vateri (Avunduk, 2002). Suplai darah ke kandung empedu biasanya berasal dari arteri sistika yang berasal dari arteri hepatikus kanan. Asal arteri sistika dapat bervariasi pada tiap tiap orang, namun 95 % berasal dari arteri hepatik kanan (Debas, 2004). Aliran vena pada kandung empedu biasanya melalui hubungan antara vena vena kecil. Vena-vena ini melalui permukaan kandung empedu langsung ke hati dan bergabung dengan vena kolateral dari saluran empedu bersama dan akhirnya menuju vena portal. Aliran limfatik dari kandung empedu menyerupai aliran venanya. Cairan limfa mengalir dari kandung empedu ke hati dan menuju duktus sistika dan masuk ke sebuah nodus atau sekelompok nodus. Dari nodus ini cairan limfa pada akhinya akan masuk ke nodus pada vena portal. Kandung empedu diinervasi oleh cabang dari saraf simpatetik dan parasimpatetik, yang melewati pleksus seliaka. Saraf preganglionik simpatetik berasal dari T8 dan T9. Saraf postganglionik simpatetik

berasal dari pleksus seliaka dan berjalan bersama

dengan arteri hepatik dan vena portal menuju kandung empedu. Saraf parasimpatetik berasal dari cabang nervus vagus (Welling & Simeone, 2009).

2.2. Fisiologi Kandung Empedu Fungsi kandung empedu yaitu sebagai berikut: 1. Menyimpan dan mengkonsentrasikan cairan empedu yang berasal dari hati di antara dua periode makan. 2. Berkontraksi dan mengalirkan garam empedu yang merupakan turunan kolesterol, dengan stimulasi oleh kolesistokinin,ke duodenum sehingga membantu proses pencernaan lemak (Barett, 2006).

Cairan empedu dibentuk oleh hepatosit, sekitar 600 mL per hari, terdiri dari air, elektrolit, garam empedu, kolesterol, fosfolipid, bilirubin, dan senyawa

6

organik

terlarut

lainnya.

Kandung

empedu

bertugas

menyimpan

dan

menkonsentrasikan empedu pada saat puasa. Kira-kira 90 % air dan elektrolit diresorbsi oleh epitel kandung empedu, yang menyebabkan empedu kaya akan konstituen organik (Avunduk, 2002). Di antara waktu makan, empedu akan disimpan di kandung empedu dan dipekatkan. Selama makan, ketika kimus mencapai usus halus, keberadaan makanan terutama produk lemak akan memicu pengeluaran kolesistokinin (CCK). Hormon ini merangsang kontraksi dari kandung empedu dan relaksasi sfingter Oddi, sehingga empedu dikeluarkan ke duodenum dan membantu pencernaan dan penyerapan lemak. Garam empedu secara aktif disekresikan ke dalam empedu dan akhirnya disekresikan bersama dengan konstituen empedu lainnya ke dalam duodenum. Setelah berperan serta dalam pencernaan lemak, garam empedu diresorpsi ke dalam darah dengan mekanisme transport aktif khusus di ileum terminal. Dari sini garam empedu akan kembali ke sistem porta hepatika lalu ke hati, yang kembali mensekresikan mereka ke kandung empedu. Proses pendaurulangan antara usus halus dan hati ini disebut sebagai sirkulasi enterohepatik (Sherwood, 2001). Dalam keadaan dimana kandung empedu tidak berfungsi dengan baik, garam empedu yang telah melalui sirkulasi enterohepatik sebagian besar akan disimpan di usus halus (Barett, 2006).

2.3. Batu empedu 2.3.1. Definisi Batu empedu adalah suatu bahan keras berbentuk bulat, oval,ataupun bersegi-segi yang terdapat pada saluran empedu dan mengandung kolesterol, kalsium karbonat, kalsium bilirubin, ataupun campuran dari elemen-elemen tersebut (Debas, 2004).

2.3.2. Epidemiologi Prevalensi batu empedu meningkat seiring dengan perjalanan usia, terutama untuk pasien diatas 40 tahun. Perempuan berisiko dua kali lebih tinggi

7

mengalami batu empedu dibandingkan dengan pria. Kejadian batu empedu bervariasi di negara berbeda dan di etnis berbeda pada negara yang sama. Perbedaan ini menunjukkan bahwa faktor genetik berperan penting dalam pembentukan batu empedu. Prevalensi tinggi batu empedu campuran di negara Barat, sedangkan di Asia umumnya dijumpai batu pigmen (Lee& Ko,2009). Batu pigmen sering diasosiasikan dengan penyakit hemolitik dan sering dijumpai di daerah endemik anemia hemolitik dan malaria. Batu pigmen hitam merupakan penyebab batu empedu di negara barat sekitar 25% , terdiri dari polimer bilirubin tanpa kalsium palmitat, sedikit kolesterol dan matriks dari bahan organik. Batu pigmen hitam biasanya multipel, kecil, ireguler, dan berwarna hijau-kehitaman. Batu pigmen coklat mengandung kalsium bilirubinat, kalsium palmitat, dan hanya sedikit jumlah kolesterol yang terikat pada matriks bahan organik (Cuschieri, 2003; Debas, 2004). Faktor gaya hidup , seperti obesitas, kurangnya beraktivitas, diet, dan obatobatan juga berperan penting dalam kejadian batu empedu baik simtomatik ataupun asimtomatik. Diet tinggi karbohidrat, rendah protein nabati, dan rendah serat juga dihubungkan dengan batu empedu simpomatik. Obat-obatan diuretik seperti thiazid dan terapi estrogen juga meningkatkan resiko batu empedu (Lee& Ko,2009).

2.3.3. Patogenesis a. Batu kolesterol: adanya ketidakseimbangan antara kolesterol, garam empedu, dan fosfolipid yang menyebabkan terbentuknya empedu litogenik. b. Batu bilirubinat : dikaitkan dengan hemolisis kronik, infeksi bakteri yang memproduksi beta glukuronidase. c. Batu campuran : dikaitkan dengan abnormalitas anatomi, stasis, riwayat operasi sebelumnya, dan riwayat infeksi terdahulu (Cuschieri, 2003).

8

2.3.4. Manifestasi Klinis Hanya 20-25% pasien dengan batu empedu yang menunjukkan gejala klinia. Biasa batu empedu dijumpai ketika dilakukan pemeriksaan USG dan dijumpai asimtomatik pada 80% pasien (Paumgartner&Greenberger, 2006). 1. Kolik bilier Kolik yang diakibatkan oleh obstruksi transien dari batu empedu merupakan keluhan utama pada 70-80% pasien. Nyeri kolik disebabkan oleh spasme fungsional di sekitar lokasi obstruksi. Nyeri kolik mempunyai karakteristik spesifik; nyeri yang dirasakan bersifat episodik dan berat, lokasi di daerah epigastrium, dapat juga dirasakan di daerah kuadran kanan atas, kuadran kiri, prekordium, dan abdomen bagian bawah. Onset nyeri tiba-tiba dan semakin memberat pada 15 menit pertama dan berkurang hingga tiga jam berikutnya. Resolusi nyeri lebih lambat. Nyeri dapat menjalar hingga region interskapular, atau ke bahu kanan (Cuschieri, 2003). 2. Kolesistitis kronik Diagnosis yang tidak pasti yang ditandai dengan nyeri perut atas kanan yang bersifat intermiten, distensi, flatulens, dan intoleransi makanan berlemak, atau apabila mengalami kolesistitis episode ringan yang berulang. (Cuschieri, 2003). 3. Kolesistitis obstruktif akut Ditandai dengan nyeri konstan pada hipokondrium kanan, pireksia, mual , dapat atau tidak disertai dengan jaundice, Murphy sign positif (nyeri di kuadran atas kanan), leukositosis (Cuschieri, 2003). 4. Kolangitis Ditandai dengan nyeri abdominal, demam tinggi, obstruktif jaundice (Charcot’s triad), nyeri hebat pada kuadran atas kanan. (Cuschieri, 2003). 5. Jaundice obstruktif Ditandai nyeri abdominal atas, warna feses pucat, urin berwarna gelap seperti teh pekat, dan adanya pruritus. Jaundice obstruktif dapat berujung ke kolangitis bila saluran bersama tetap terjadi obstruksi (Cuschieri, 2003).

9

2.3.5. Pemeriksaan a. Ultrasonografi (USG): merupakan pemeriksaan yang banyak digunakan untuk mendeteki batu empedu. USG memiliki sensitivitas 95% dalam mendiagnosis batu kandung empedu yang berdiameter 1,5mm atau lebih. b. Computed Tomography (CT) : berguna untuk mendeteksi atau mengeksklusikan batu empedu, terutama batu yang sudah terkalsifikasi, namun lebih kurang sensitif dibandingkan dengan USG dan membutuhkan paparan terhadap radiasi. c. Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan Cholangiopancreatography (MRCP) : lebih berguna untuk menvisualisasi saluran pankreas dan saluran empedu yang terdilatasi. d. Endocospic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP) : lebih untuk mendeteksi batu pada saluran empedu 4) (Paumgartner&Greenberger, 2006).

2.3.6. Penatalaksanaan Penatalaksanaan non operatif untuk batu empedu yaitu terapi pengenceran dengan asam empedu dan ESWL (Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy). Penatalaksanaan oral dengan asam empedu hanya dapat dilakukan untuk batu kolesterol, namun tetap memiliki angka rekuren yang tinggi sehingga zaman sekarang jarang digunakan. ESWL merupakan terapi yang cocok untuk pasien dengan batu soliter berdiameter 0.5 -2 cm, dan angka rekurennya lebih rendah dibandingkan terapi oral. Namun hanya sebagian kecil orang yang cocok dengan terapi ini. Tindakan operatif yaitu kolesistektomi merupakan penalataksanaan yang telah menjadi baku emas untuk batu empedu saat ini (Mullholland et al, 2006).

2.4. Kolesistektomi Kolesistektomi atau pengangkatan kandung empedu merupakan salah satu prosedur abdominal yang paling umum. Kolesistektomi adalah penatalaksanaan

10

yang definitif untuk batu empedu simtomatik (Chari & Shah, 2007). Kolesistektomi terbuka merupakan penatalaksanaan yang aman dan efektif untuk kolesistitis akut dan kronik. Namun, dua dekade terakhir kolesistektomi laparoskopi telah mengambil alih peran kolesistektomi terbuka, dengan prosedur minimal invasive (Brunicardi, 2010).

Tabel 2.1. Indikasi Kolesistektomi (Chari & Shah, 2007) Indikasi Kolesistektomi Urgensi (dalam 24-72 jam) •

Kolesistitis akut



Kolesistitis emfisema



Empiema kandung empedu



Perforasi kandung empedu



Riwayat koledokolitiasis

Elektif •

Diskinesia biliaris



Kolesistitis kronik



Kolelitiasis simpomatik

2.4.1. Kolesistektomi Laparoskopi Kontraindikasi untuk kolesistektomi laparoskopi antara lain pasien yang tidak bisa menoleransi anestesi umum atau bedah mayor. Kondisi seperti koagulopati, kehamilan dan sirosis tidak lagi dianggap sebagai kontraindikasi namun memerlukan perhatian dan persiapan lebih dan evaluasi resiko beserta keuntungannya (Litwin&Cahan, 2008). Kolesistektomi laparoskopi merupakan pengangkatan total dari kandung empedu tanpa insisi yang besar. Insisi kecil 2-3 cm dilakukan di umbilikus dan laparoskop dimasukkan. Dokter bedah mengembangkan abdomen dengan cara memasukkan gas yang tidak berbahaya, seperti karbon dioksida (CO2), agar tersedia ruang untuk dilakukan operasi. Dua potongan kecil 0,5 – 1 cm dilakukan

11

dibawah batas iga kanan. Insisi keempat di abdomen bagian atas dekat dengan tulang dada. Insisi ini dilakukan untuk memasukkan instrument seperti gunting dan forsep untuk mengangkat dan memotong jaringan. Klip surgikal ditempatkan pada duktus dan arteri yang menuju kandung empedu untuk mencegah kebocoran ataupun perdarahan. Kandung empedu kemudian diangkat dari dalam abdomen melalui salah satu dari insisi tersebut. Bila batu yang dijumpai berukuran besar, maka insisi dapat diperlebar. Pada beberapa keadaan, dapat juga dilakukan X-ray yang disebut kolangiogram bila dicurigai terdapat batu di saluran empedu. Operasi umumnya berlangsung 30 hingga 90 menit, tergantung dari ukuran kandung empedu, seberapa berat inflamasinya, dan tingkat kesulitan operasi (Soonawala, 2012).

2.4.2. Kolesistektomi terbuka Tabel 2.2. Indikasi Kolesistektomi Terbuka (Chari&Shah, 2007) Indikasi Kolesistektomi Terbuka •

Keadaan jantung dan paru yang buruk



Dicurigai adanya kanker kandung empedu



Sirosis dan hipertensi portal



Kehamilan semester ketiga



Digabung dengan prosedur lain

Kolesistektomi terbuka telah menjadi prosedur yang jarang dilakukam biasanya dilakukan sebagai konversi dari kolesistektomi laparoskopi (Chari& Shah, 2007). Kolesistektomi terbuka dilakukan dengan melakukan insisi sekitar 6cm8cm pada bagian abdomen kanan atas menembus lemak dan otot hingga ke kandung empedu. Duktus-duktus lainnya di klem, kemudian kandung empedu diangkat (Turner&Malagoni, 2009).

12

2.5. Serum Transaminase Transaminase atau aminotransferase, adalah sekelompok enzim yang berperan dalam glukoneogenesis dengan mengkatalisir transfer amino dari asam aspartat atau alanin menjadi asam ketoglutarat untuk menghasilkan asam oksaloasetat dan asam piruvat (Brunicardi, 2010). ALT (Alanine Aminotransferase) atau

SGOT (Serum Glutamic-

Oxaloacetic Transaminase) dan AST (Aspartate Aminotransferase) atau SGPT (Serum Glutamic-pyruvic Transaminase) ditemukan utamanya pada hati, namun juga ditemukan di sel darah merah, sel jantung, sel otot, dan organ lainnya, seperti pankreas dan ginjal. Pengukuran serum transaminase berperan penting untuk membantu menegakkan diagnosis pada penyakit hati. Nilai normal di darah adalah 5-40 U/L untuk AST dan 5- 35 U/L untuk ALT (Huang et al, 2006). Alanine Aminotransferase (ALT) utamanya ditemukan di sitosol hepatosit, sehingga peningkatannya lebih spesifik untuk penyakit hati. Selain di hati, ALT juga ditemukan dalam jumlah yang sedikit pada ginjal, jantung dan otot skeletal (Kim et al, 2007). Aspartate Aminotransferase (AST) ditemukan di hati, otot jantung, otot skeletal, ginjal, otak, pankreas, paru, dan sel darah merah oleh sebab itu kurang spesifik unyuk penyakit hati (Huang et al, 2006). Ketika jaringan tubuh atau organ seperti liver atau jantung rusak atau terluka, AST dan ALT akan dilepaskan ke aliran darah sehingga menyebabkan peningkatan serum enzim transaminase ketika dilakukan pengukuran (Huang et al, 2006). .

Penyebab kenaikan enzim aminotransferase secara umum mencakup

hepatitis viral, penggunaan alkohol, obat-obatan, kelainan genetic (Wilson’s disease, hemochromatosis, dan alpha1-antitrypsin deficiency), atau penyakit autoimun. Besarnya peningkatan serum transaminase dapat menunjuk pada etiologi dari kerusakan hepar, walaupun peningkatan enzim ini tidak berkorelasi dengan seberapa parah penyakit hati tersebut. Peningkatan ringan dari enzim transaminase biasa dijumpai pada non-alcoholic fatty liver disease , infeksi virus kronis, ataupun akibat dari obat-obatan. Peningkatan sedang umumnya dijumpai

13

pada hepatitis viral akut. Peningkatan hebat dapat terjadi pada kondisi seperti iskemik, keracunan (misalnya: asetaminofen), dan hepatitis fulminan (Brunicardi, 2010).

2.6. Efek Operasi Laparoskopi Operasi secara laparoskopi membutuhkan pengangkatan dinding abdomen dari organ abdominal, salah satu caranya adalah dengan pneumoperitoneum, yaitu dengan cara menginsuflasi abdomen dengan Nitrous Oksida (N2O) dan karbon dioksida (CO2) (Brunicardi, 2010). Efek penekanan akibat pneumoperitoneum pada sistem kardiovaskular antara lain pada pasien hipovolemik, penekanan vena kava inferior pada posisi Tredelenburg dapat menyebabkan penuruan aliran balik vena kava dan cardiac output. Namun hal ini tidak dialami pasien normovolemik. Peningkatan dari intraabdominal pressure (IAP) mengurangi aliran darah ke ginjal, penurunan glomerulus filtration rate (GFR), dan output urin yang disebabkan oleh tekanan pada arteri renalis dan ginjal. Efek-efek ini bersifat sementara namun oligouria dapat terjadi hingga 1 jam setelah operasi berakhir. Konsekuensi hemodinamik dan metabolik akibat pneumoperitoneum dapat ditoleransi oleh individu yang sehat. Masalah dapat muncul bila pasien mengalami gangguan fungsi kardiovaskular, sehingga diperlukan alternatif lain ataupun pengurangan dari tekanan insuflasi (Brunicardi, 2010). Sama halnya dengan perubahan pada ginjal, fungsi hati juga dipengaruhi oleh peningkatan IAP. Gangguan fungsional mungkin terjadi sehingga serum transaminase dapat meningkat, dan parenkim hati dapat mengalami perubahan morfologikal (Farias et al, 2011).

14

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep PASIEN KOLELITIASIS

ALT & AST PREOPERATIF

KOLESISTEKTOMI LAPAROSKOPI

KOLESISTEKTOMI TERBUKA

ALT & AST POSTOPERATIF

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian

3.3. Definisi Operasional 1. Pasien Kolelitiasis Semua pasien yang menderita batu empedu yang telah didiagnosa oleh dokter di RSUP-HAM pada Mei 2014 hingga Oktober 2014. 2. Kolesistektomi Laparoskopi Metode pengangkatan kandung empedu dengan melakukan insuflasi pada rongga abdomen dan merupakan operasi minimal invasif. 3. Kolesistektomi terbuka