BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi asma - USU-IR

Peak Expiratory Flow Meter (PEF meter) adalah alat yang paling sederhana ... atau respons terapi kortikosteroid (inhalasi/ oral, 2 minggu). b...

110 downloads 560 Views 555KB Size
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi asma Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran nafas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang ditandai dengan gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak nafas dan rasa berat di dada terutama pada malam dan atau dini hari yang umumnya bersifat reversible baik dengan atau tanpa pengobatan (Depkes, RI., 2009). Global initiative for Asthma (2012) dengan spesifik mendefinisikan asma menurut karakteristiknya secara klinis, fisiologis, dan patologis. Secara klinis, adanya episodik sesak napas terutama pada malam hari, sering disertai dengan batuk yang merupakan ciri utamanya. Karakteristik utama fisiologisnya yaitu, terdapat obstruksi saluran napas dengan keterbatasan aliran udara ekspirasi. Berdasarkan patologisnya terdapat inflamasi jalan napas yang berhubungan dengan perubahan struktur jalan napas (GINA, 2012). 2.2 Epidemiologi asma Sampai saat ini, penyakit asma masih menujukkan prevalensi yang tinggi. Berdasarkan data dari WHO, di seluruh dunia diperkirakan terdapat 300 juta orang menderita asma dan tahun 2025 diperkirakan jumlah pasien asma mencapai 400 juta. Selain itu setiap 250 orang, ada satu orang meninggal karena asma setiap tahunnya (GINA, 2004). Prevalensi asma di dunia sangat bervariasi dan penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa kekerapan asma semakin meningkat terutama di negara maju. Data dari berbagai negara menunjukkan bahwa prevalensi penyakit asma berkisar

7

Universitas Sumatera Utara

antara 1-18% (GINA, 2015). Peningkatan prevalensi asma terutama meningkat pada kelompok anak dan cenderung menurun pada kelompok dewasa (Ratnawati, 2011) Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 mengajukan angka sebesar 7.6%. Pada hasil SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema dinyatakan sebagai penyebab kematian ke 4 di Indonesia atau sebesar 5.6%. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh Indonesia mencapai 13/1000 penduduk dibandingkan bronkhitis kronik 11/1000 penduduk dan obstruksi paru 2/1000 penduduk (PDPI, 2003). 2.3 Patofisiologi asma Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut. Asma dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast pada interstisial paru, yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang

8

Universitas Sumatera Utara

kental dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi saluran napas (Rengganis, 2008). Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2. Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsang menyebabkan dilepasnya neuropeptida. Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi (Rengganis, 2008). 2.4 Faktor resiko Secara umum faktor risiko asma menurut Pedoman Pengendalian Penyakit Asma (2009) yaitu: a.

Faktor Pejamu

1.

Hipereaktivitas

2.

Atopi/alergi bronkus

3.

Faktor yang memodifikasi penyakit genetik

4.

Jenis kelamin

5.

Ras/etnik

b.

Faktor Lingkungan

9

Universitas Sumatera Utara

1.

Alergen di dalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing, jamur dll).

2.

Alergen diluar ruangan (alternaria, tepung sari).

3.

Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang, makanan laut, susu sapi, telur). bloker dll)

4.

Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID,

5.

Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray dan lain-lain)

6.

Ekspresi emosi berlebih

7.

Asap rokok dari perokok aktif dan pasif

8.

Polusi udara di luar dan di dalam ruangan

9.

Exercised induced asthma

10. Perubahan cuaca 2.5 Gejala Gejala asma bersifat episodik, seringkali reversibel dengan/atau tanpa pengobatan. Gejala awal berupa : a.

Batuk terutama pada malam atau dini hari

b.

Sesak napas

c.

Napas berbunyi (mengi) yang terdengar jika pasien menghembuskan napasnya

d.

Rasa berat di dada

e.

Dahak sulit keluar

Gejala yang berat adalah keadaan gawat darurat yang mengancam jiwa. Yang termasuk gejala yang berat adalah: a.

Serangan batuk yang hebat

b.

Sesak napas yang berat dan tersengal-sengal

c.

Sianosis (kulit kebiruan, yang dimulai dari sekitar mulut)

10

Universitas Sumatera Utara

d.

Sulit tidur dan posisi tidur yang nyaman adalah dalam keadaan duduk

e.

Kesadaran menurun (Depkes, RI., 2007)

2.6 Diagnosis Asma Diagnosis asma bisa ditegakkan dengan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesa berupa keluhan utama, riwayat penyakit keluarga, faktor yang memperberat atau memperingan gejala, bagaimana dan kapan terjadinya keluhan. Karakteristik gejala asma yaitu lebih dari satu gejala berupa mengi, sesak napas, batuk, dada terasa berat, yang semakin buruk saat malam atau pagi hari dengan waktu dan intensitas yang bervariasi, bisa dipicu oleh infeksi virus, olahraga, paparan allergen, perubahan cuaca, serta bahan iritan seperti asap (GINA, 2014). 2.6.1 Anamnesis Ada beberapa hal yang harus ditanyakan dari pasien asma antara lain : a.

Apakah ada batuk yang berulang terutama pada malam menjelang dini hari?

b.

Apakah pasien mengalami mengi atau dada terasa berat atau batuk setelah terpajan alergen atau pencetus?

c.

Apakah ada mengi atau rasa berat di dada atau batuk setelah melakukan aktifitas atau olahraga?

d.

Apakah ada batuk, mengi, sesak di dada jika terjadi perubahan musim atau cuaca atau suhu yang ekstrim (perubahan yang tiba-tiba)?

e.

Apakah gejala-gejala tersebut di atas berkurang atau hilang setelah pemberian obat pelega (bronkodilator)?

f.

Apakah dalam keluarga (kakek/nenek, orang tua, anak, saudara kandung, saudara sepupu) ada yang menderita asma? (Depkes, RI., 2009)

11

Universitas Sumatera Utara

2.6.2 Pemeriksaan fisik Pasien yang mengalami serangan asma, pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan (sesuai derajat serangan) : a.

Inspeksi : pasien terlihat gelisah, sesak (nafas cuping hidung, nafas cepat), sianosis.

b.

Palpasi : biasanya tidak ada kelainan yang nyata (pada serangan berat dapat terjadi pulsus paradoksus).

c.

Perkusi : biasanya tidak ada kelainan yang nyata.

d.

Auskultasi : ekspirasi memanjang, wheezing, suara lendir (Depkes, RI., 2009)

2.6.3 Pemeriksaan penunjang 2.6.3.1 Pemeriksaan fungsi Paru Umumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan persepsi mengenai asmanya sehingga dibutuhkan pemeriksaan objektif yaitu faal paru. Pemeriksaan fungsi paru sebagai paramater objektif yang standar dipakai yaitu pemeriksaan spirometri dan peak expiratory flow (PEF) (PDPI, 2003). Spirometer adalah alat pengukur faal paru yang penting dalam menegakkan diagnosa untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan (Rengganis, 2008). Spirometer adalah mesin yang dapat mengukur kapasitas vital paksa (KVP) dan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1). Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang diperiksa (Depkes, RI., 2007). Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma : a.

Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP 1 / KVP < 75% atau VEP 1 < 80% nilai prediksi.

12

Universitas Sumatera Utara

b.

Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP 1 > 15% secara spontan, atau setelah inhalasi

bronkodilator

(uji

bronkodilator),

atau

setelah pemberian

bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid (inhalasi/oral) 2 minggu. Reversibiliti ini dapat membantu diagnosis asma c.

Menilai derajat berat asma (PDPI, 2003). Peak Expiratory Flow Meter (PEF meter) adalah alat yang paling sederhana

untuk memeriksa gangguan jalan napas, yang relatif sangat murah, mudah dibawa. Dengan PEF meter fungsi paru yang dapat diukur adalah arus puncak ekspirasi (APE) (Depkes, RI., 2007). Manfaat APE dalam diagnosis asma a.

Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE > 15% setelah inhalasi bronkodilator (uji

bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari, atau respons terapi

kortikosteroid (inhalasi/ oral, 2 minggu). b.

Variabiliti, menilai variabiliti APE harian. Variabiliti juga dapat digunakan menilai derajat berat penyakit (PDPI, 2003).

Cara pemeriksaan variabilitas APE (Depkes, RI., 2007). Pada pagi hari diukur APE untuk mendapatkan nilai terendah dan malam hari untuk mendapatkan nilai tertinggi.

13

Universitas Sumatera Utara

Pengukuran Arus Puncak Ekspirasi (APE) dengan Peak ekspiratory Flow Meter ini dianjurkan pada : a.

Penanganan serangan akut di gawat darurat, klinik, praktek dokter dan oleh pasien di rumah.

b.

Pemantauan berkala di rawat jalan, klinik dan praktek dokter.

c.

Pemantauan sehari-hari di rumah.

2.6.3.2 Uji provokasi bronkus Uji provokasi bronkus dilakukan untuk menunjukan adanya hiperreaktivitas bronkus. Ada beberapa cara untuk melakukan uji provokasi bronkus seperti uji dengan histamin, metakolin, kegiatan jasmani, udara dingin, larutan garam hipertonik. Uji provokasi bronkus bermakna jika terjadi penurunan FEV1 sebesar 20 % atau lebih (Sundaru, 2001). 2.6.3.3 Pemeriksaan sputum Sputum eosinofil sangat karakteristik untuk asma, sedangkan neutrofil sangat dominan pada bronkitis kronik (Sundaru, 2001). 2.6.3.4 Pemeriksaan eosinofil total Jumlah eosinofil total dalam darah sering meningkat pada pasien asma dan hal ini dapat membantu dalam membedakan asma dari bronkitis kronik (Sundaru, 2001). 2.6.3.5 Uji tusuk kulit (skin prick test) Uji kulit dengan alergen dilakukan sebagai pemeriksaan diagnostik pada asma ekstrinsik alergi. Keadaan alergi ini dihubungkan dengan adanya produksi antibodi Ig E (Meiyanti, 2000).

14

Universitas Sumatera Utara

2.6.3.6 Pemeriksaan radiologis Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru (Tanjung, 2003). 2.7 Klasifikasi Asma GINA membagi klasifikasi klinis asma menjadi 4, yaitu Asma intermiten, Asma persisten ringan, Asma persisten sedang, dan Asma persisten berat. Dalam klasifikasi GINA dipersyaratkan adanya nilai PEF atau FEV1 untuk penilaiannya.

Tabel 2.1. Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis secara umumpada orang dewasa Derajat Asma Gejala Gejala Faal Paru Malam Intermitten Bulanan APE 80% - Gejala < 1x/minggu 2 kali - VEP1 80% nilai - Tanpa gejala diluar sebulan prediksi APE 80% serangan. nilai terbaik. - Serangan singkat - Variabiliti APE<20% Persisten ringan Mingguan APE>80% - Gejala>1x/minggu >2 kali - VEP1 80% nilai tetapi<1x/hari. sebulan prediksi APE 80% - Serangan dapat nilai terbaik. mengganggu aktiviti - Variabiliti APE 20dan tidur 30% Persisten sedang Harian APE 60-80% - Gejala setiap hari >2 kali - VEP1 60-80% nilai - Serangan mengganggu sebulan prediksi APE 60aktiviti dan tidur. 80% nilai terbaik. - Membutuhkan - Variabiliti bronkodilator setiap APE>30%. hari. Persisten berat Kontinyu APE - Gejala terus menerus Sering - VEP1 60% nilai - Sering kambuh prediksi. - Aktiviti fisik terbatas APE 60% nilai terbaik - Variabiliti APE>30% Sumber : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Asma Pedoman & Penatalaksanaan di Indonesia, 2003

15

Universitas Sumatera Utara

Konsensus Internasional III juga membagi asma anak berdasarkan keadaan klinis menjadi 3 yaitu asma episodik jarang (asma ringan) yang meliputi 75% populasi anakasma, asma episodik sering (asma sedang) meliputi 20% populasi, dan asma persisten (asma berat) meliputi 5% populasi (Warner, 1998). Konsensus Nasional juga membagi asma anak menjadi 3 derajat penyakit seperti halnya Konsensus Internasional, tapi dengan kriteria yang lebih lengkap seperti dapat dilihat dalam tabel berikut ini. Tabel 2.2. Pembagian derajat penyakit asma pada anak Parameter klinis, Asma episodik kebutuhan obat, jarang (Asma dan faal paru ringan)

Asma episodik sering (Asma sedang)

Asma persisten (Asma berat)

Frekuensi serangan

<1x / bulan

>1x / bulan

sering

Lama serangan

<1 minggu

>1 minggu

Intensitas serangan

biasanya ringan

biasanya sedang

hampir sepanjang tahun biasanya berat

Di antara serangan Tidur dan aktivitas Faal paru di luar serangan

tanpa gejala

sering ada gejala

tidak terganggu

sering terganggu

gejala siang dan malam sangat terganggu

PEF / FEV1 >80%

PEF / FEV1 6080%

PEF / FEV1 <60%

Faal paru pada variabilitas >15% variabilitas >30% saat Sumber : Konsensus Nasional Asma Anak (IDAI, 2000)

variabilitas >50%

2.8 Penatalaksanaan asma Tujuan penatalaksanaan asma adalah untuk mencapai asma terkontrol agar memiliki kualitas hidup baik yang tidak mengganggu aktivitas dan mencegah kematian saat serangan.Pada serangan asma, tujuan tatalaksananya adalah untuk: a.

Meredakan penyempitan jalan napas secepat mungkin

16

Universitas Sumatera Utara

b.

Mengurangi hipoksemia

c.

Mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya

d.

Rencana tatalaksana untuk mencegah kekambuhan

Tabel 2.3 Pengobatan sesuai berat asma Berat Asma Asma Persisten Ringan Asma Persisten Sedang

Asma Persisten Berat

Medikasi pengontrol harian Glukokortikosteroid Inhalasi (200-400 ug BD/hari atau ekivalennya) Kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (400-800 ug BD/hari atau ekivalennya) dan agonis beta-2 kerja lama

Kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (> 800 ug BD atau ekivalennya) dan agonis beta-2 kerja lama, ditambah > 1 di bawah ini: - teofilin lepas lambat -leukotriene modifiers -kortikosteroid oral

Alternatif / Pilihan lain • •

Teofilin lepas lambat • Kromolin Leukotriene modifiers

Alternatif lain ------



Glukokortikosteroid • Ditambah inhalasi (400-800 ug BD agonis atau ekivalennya) beta-2 kerja lama ditambah Teofilin lepas lambat,atau oral, atau • Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug BD • Ditambah teofilin atau ekivalennya) ditambah agonis beta-2 lepas kerja lama lambat oral, atau • Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (>800 ug BD atau ekivalennya) atau • Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug BD atau ekivalennya) ditambah leukotriene modifiers Prednisolon/metilprednisolon oral selang sehari 10 mg ditambah agonis beta-2 kerja lama oral, ditambah teofilin lepas lambat

17

Universitas Sumatera Utara

Sumber : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Asma Pedoman & Penatalaksanaan di Indonesia, 2003 Penatalaksaan

asma

ini

dikutip

berdasarkan

GINA

(2012),

yang

mengklasifikasikan pengobatan asma menjadi dua yaitu sebagai obat kontrol asma (controllers) dan obat pelega asma (reliever). Obat pengontrol adalah obat asma yang digunakan setiap hari dalam jangka waktu panjang pada asma persisten untuk mencegah asma menjadi semakin parah dan mempertahankan asma menjadi terkontrol melalui interaksi dengan proses inflamasi. Sebagai berikut adalah jenis-jenis obat pengontrol : a.

Kortikosteroid inhalasi Kortikosteroid inhalasi mempunyai efek anti-inflamasi terhadap sel dan

jaringan spesifik. Kortikosteroid yang masuk secara langsung dan diabsopsi di paru akan berikatan dengan reseptornya, menghambat sintesis sitokin proinflamasi, dan menurunkan jumlah sel T limfosit, sel dendrit, eosinofil juga sel mast. Penggunaan kortikosteroid inhalasi menunjukkan perbaikan

fungsi paru, menurunkan

hiperesponsif bronkus, menurunkan eksaserbasi asma dalam kunjungan gawat darurat (Raissy, et al., 2013). Kepatuhan menggunakan obat ini menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat asma dengan perkiraan 21% penurunan resiko kematian akibat serangan asma (Sloan, et al., 2013). Efek samping yang mungkin pada penggunaan kortikosteroid inhalasi lebih minimal daripada kortikosteroid sistemik. Hal ini bergantung pada dosis, potensi bioavailabiliti, metabolisme hati, dan waktu paruhnya. Obat inhalasi kortikosteroid dosis tinggi yang digunakan jangka panjang bisa menimbulkan efek sistemik seperti purpura, supresi adrenal dan penurunan densitas tulang. Namun, dengan menggunakan spacer dapat mengurangi efek samping sistemik dengan menurunkan

18

Universitas Sumatera Utara

bioavailabiliti. Selain itu, spacer juga membantu untuk mengurangi efek samping lokal seperti kandidiasis orofaring, disfonia, dan batuk akibat iritasi saluran napas atas. b.

Kortikosteroid sistemik Penggunaan kortikosteroid jangka lama lebih direkomendasikan secara

inhalasi daripada sistemik akibat efek samping pemberian sistemik lebih serius. Namun, pemberian sistemik dapat diberikan pada penderita asma persisten berat yang tidak terkontrol. Penggunaan sistemik secara oral lebih dianjurkan dari parenteral (intramuskular, intravena, subkutan) karena pertimbangan waktu paruh oral lebih singkat dan efek samping yang muncul lebih sedikit. c.

Agonis beta-2 kerja lama (Long-acting β2-agonist) Mekanisme kerja obat beta-2 agonis yaitu melalui reseptor β2 yang

mengakibatkan relaksasi otot polos bronkus. Formoterol dan salmeterol termasuk dalam golongan LABA ini, kedua obat itu memiliki lama kerja obat >12 jam. Namun, obat golongan LABA sebaiknya tidak digunakan sebagai monoterapi jangka panjang karena tidak mempengaruhi respon inflamasinya justru meningkatkan angka kesakitan dan kematian. LABA dikombinasi dengan kortikosteroid inhalasi telah terbukti sangat efektif dalam mengurangi gejala asma dan eksaserbasi dengan menunjukkan hasil fungsi paru yang lebih baik. Kombinasi LABA dan kortikosteroid inlamasi hanya direkomendasikan untuk pasien yang gagal mencapai asma terkontrol dengan kortikosteroid dosis rendah medium. d.

Kromolin: sodium kromoglikat dan sodium nedokromil Kromolin dan nedokromil merupakan obat alternatif dalam pengobatan asma

persisten ringan. Kromglikat dan nedokromil memiliki sifat yang sama yaitu sebagai

19

Universitas Sumatera Utara

obat anti-inflamasi. Obat ini memblok kanal klorida dan modulasi pelepasan mediator sel mast dan eosinofil (NHLBI, 2007). Kromolin juga bisa menghambat reaksi asma fase cepat dan fase lambat, meskipun permulaan percobaan obat ini hanya berperan pada sel mast untuk mensupresi pengeluaran histamin, ternyata dapat menghambat generasi sitokin juga (Yazid, et al., 2013). e.

Metilxantin Teofilin merupakan derivat xantin. Efek terpenting xantin ialah relaksasi otot

polos bronkus, terutama bila otot bronkus dalam keadaan konstriksi. Efek bronkodilatasi teofilin disebabkan oleh antagonisme terhadap reseptor adenosin maupun

inhibisi

PDE

(fosfodiesterase).

Adenosin

dapat

menyebabkan

bronkokonstriksi pada pasien asma dan memperkuat penglepasan mediator dari sel mast. Oleh karena teofilin merupakan antagonis kompetitif reseptor adenosin, maka hal ini yang mengatasi bronkokonstriksi pasien asma. Selain itu, penghambatan PDE mencegah pemecahan cAMP dan cGMP sampai terjadi akumulasi cAMP dan cGMP dalam sel yang mengakibatkan relaksasi otot polos termasuk otot polos bronkus (Louisa, 2011). Telah dilakukan berbagai penelitian bahwa teofilin efektif sebagai kontrol gejala dan perbaikan terhadap fungsi paru, sehingga teofilin atau aminofilin lepas lambat dapat digunakan sebagai pengontrol. Kombinasi kortikosteroid dengan teofilin sebagai alternatif menunjukkan perbaikan fungsi paru namun teofilin tidak lebih efektif dari inhalasi beta-2 agonis. f.

Leukotriene modifiers Mekanisme kerja obat ini adalah menghambat reseptor cysteinyl-leukotriene

1 (CysLT1) dan enzim 5-lipoksigenase. Leukotrin merupakan derivat asam

20

Universitas Sumatera Utara

arakidonat. Asam arakidonat dipecah fosfolipase A2 menjadi arakidonat bebas. Enzim 5-lipoksigenase ini selanjutnya mengkonversi asam arakidonat bebas menjadi leukotrin A4 dan akhirnya akan diubah menjadi leukotrin C4, D4, E4. Leukotrin yang sudah terbentuk berikatan dengan reseptornya yaitu CysLT1 yang ditemukan pada eosinofil, monosit, sel-sel otot polos saluran napas, neutrofil, sel B, sel plasma, dan makrofag jaringan. Dari mekanisme di atas, terlihat bahwa leukotrin dianggap sebagai mediator inflamasi yang mampu mengaktivasi eosinofil, meningkatkan permeabilitas mikrovaskuler, sekresi mukus, proliferasi dan penyempitan otot polos, serta diduga efek bronkokonstriksi yang disebabkan oleh leukotrin lebih besar daripada efek oleh histamin (Scichilone, 2013). Prinsip kerja obat pelega (relievers) adalah sebagai bronkodilator untuk membantu mengatasi bronkokonstriksi jalan napas dan gelaja yang menyertainya seperti sesak, mengi, batuk, dan dada terasa berat. a.

Short-acting β2 agonis (SABA) SABA merupakan obat yang paling efektif mengatasi bronkospasme saat

eksaserbasi asma akut dan juga dapat mencegah exercice-induced asthma. Golongan SABA dapat diberikan secara inhalasi, oral, atau parenteral. Namun pemberian yang lebih direkomendasikan adalah dengan inhalasi karena mempertimbangkan kerja obat yang cepat juga efek samping yang minimal. SABA memiliki mekanisme sama seperti obat β2 agonis lain yaitu dengan merelaksasi jalan napas, meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan permiabilitas vaskuler, dan memodulasi penglepasan mediator dari sel mast dan eosinofil. Yang termasuk obat golongan SABA

adalah

salbutamol,

levalbuterol,

biltolterol,

pirbuterol,

isoproterol,

metaproternol, terbutaline,epinephrine.

21

Universitas Sumatera Utara

b.

Antikolinergik Obat golongan ini berupa ipatropium dan oxitropium bromida. Mekanisme

kerja obat golongan ini adalah sebagai bronkodilatasi dengan kompetitif menghambat reseptor muskarinik kolinergik, menurunkan tonus intrinsik vagus, blokade reflex bronkokonstriksi akibat zat iritan atau reflux esofagus, dan menurunkan sekresi mukus. Pemberian secara inhalasi bronkodilator antikolinergik ini kurang efektif jika dibandingkan dengan SABA. Namun, Obat ini dapat diberikan pada pasien yang tidak respon terhadap SABA atau sebagai alternatif pada penderita yang memilik efek samping seperti takikardi, aritmia, tremor dengan pemakaian SABA. c.

Metilxantin Pemberian teofilin dapat dipertimbangkan karena efek bronkodilatasinya

akibat inhibisi aktivitas PDE untuk mengatasi gejala asma. Tetapi efek bronkodilatasinya lebih lemah dari short-acting beta-2 agonis. Penambahan teofilin kerja singkat dengan obat golongan SABA tidak memperkuat respon bronkodilatasi namun dapat bermanfaat untuk respiratory drive. Pemberian teofilin kerja singkat tidak dianjurkan pada pasien yang sudah mendapat terapi teofilin lepas lambat kecuali ada dilakukan monitoring kadarnya dalam darah.

22

Universitas Sumatera Utara