BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asma 2.1.1 Pengertian Asma

Status asmatikus adalah asma yang berat dan persisten yang tidak berespon terhadap terapi konvensional, dan serangan dapat berlangsung lebih dari 24 j...

5 downloads 698 Views 628KB Size
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1

Asma

2.1.1

Pengertian Asma Asma adalah kelainan berupa inflamasi kronik saluran napas yang

menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang dapat menimbulkan gejala mengi, batuk, sesak napas dan dada terasa berat terutama pada malam dan atau dini hari yang umumnya bersifat reversible baik dengan atau tanpa pengobatan (Depkes RI, 2009). Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan sel dan elemennya, di mana dapat menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. Gejala tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan (PDPI, 2003). Asma merupakan penyakit jalan napas obstruktif intermiten yang bersifat reversible di mana trakea dan bronkus berespon secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu yang ditandai dengan penyempitan jalan napas, yang mengakibatkan dispnea, batuk dan mengi (Smeltzer & Bare, 2002).

10

11

2.1.2

Penyebab Asma Terdapat tiga proses yang menyebabkan pasien mengalami asma yaitu

sensitisasi, inflamasi dan serangan asma. Ketiga proses ini dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. a. Sensitisasi, yaitu individu dengan risiko genetik (alergik/atopi, hipereaktivitas bronkus, jenis kelamin dan ras) dan lingkungan (alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi pernapasan (virus), diet, status sosioekonomi dan besarnya keluarga) apabila terpajan dengan pemicu (inducer/sensitisizer) maka akan menimbulkan sensitisasi pada dirinya. Faktor pemicu tersebut adalah alergen dalam ruangan: tungau, debu rumah, binatang berbulu (anjing, kucing, tikus), jamur, ragi dan pajanan asap rokok. b. Inflamasi, yaitu individu yang telah mengalami sensitisasi, belum tentu menjadi asma. Apabila telah terpajan dengan pemacu (enhancer) akan terjadi proses inflamasi pada saluran napas. Proses inflamasi yang berlangsung lama atau proses inflamasinya berat secara klinis berhubungan dengan hipereaktivitas. Faktor pemacu tersebut adalah rinovirus, ozon dan pemakaian β2 agonis. c. Serangan asma, yaitu setelah mengalami inflamasi maka bila individu terpajan oleh pencetus (trigger) maka akan terjadi serangan asma (Depkes RI, 2009). Faktor pencetus asma adalah semua faktor pemicu dan pemacu ditambah dengan aktivitas fisik, udara dingin, histamin dan metakolin . Secara umum faktor pencetus serangan asma adalah: 1) Alergen

12

Alergen merupakan zat-zat tertentu yang bila dihisap atau dimakan dapat menimbulkan serangan asma seperti debu rumah, tungau, spora jamur, bulu binatang, tepung sari, beberapa makanan laut (Muttaqin, 2008). Makanan lain yang dapat menjadi faktor pencetus adalah telur, kacang, bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan dan susu sapi (Depkes RI, 2009). 2) Infeksi saluran pernapasan Infeksi saluran napas terutama disebabkan oleh virus. Diperkirakan dua pertiga pasien asma dewasa serangan asmanya ditimbulkan oleh infeksi saluran pernapasan (Muttaqin, 2008). Asma yang muncul pada saat dewasa dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti adanya sinusitis, polip hidung, sensitivitas terhadap aspirin atau obat-obat Anti-Inflamasi Non Steroid (AINS), atau dapat juga terjadi karena mendapatkan pemicu seperti debu dan bulu binatang di tempat kerja yang mengakibatkan infeksi saluran pernapasan atas yang berulang. Ini disebut dengan occupational asthma yaitu asma yang disebabkan karena pekerjaan (Ikawati, 2010). 3) Tekanan jiwa Faktor ini berperan mencetuskan serangan asma terutama pada orang yang agak labil kepribadiannya, ini lebih menonjol pada wanita dan anak-anak (Muttaqin, 2008). Ekspresi emosi yang dimunculkan secara berlebihan juga dapat menjadi faktor pencetus asma (Depkes RI, 2009). 4) Olahraga/kegiatan jasmani yang berat Serangan asma karena exercise (Exercise Induced Asthma/EIA) terjadi segera setelah olahraga atau aktivitas fisik yang cukup berat. Lari cepat dan

13

bersepeda merupakan dua jenis kegiatan paling mudah menimbulkan serangan asma (Muttaqin, 2008). 5) Obat-obatan Pasien asma biasanya sensitif atau alergi terhadap obat tertentu (Muttaqin, 2008). Obat tersebut misalnya golongan aspirin, NSAID, beta bloker, dan lain-lain (Depkes RI, 2009) 6) Polusi udara Pasien asma sangat peka terhadap udara berdebu, asap pabrik atau kendaraan, asap rokok, asap yang mengandung hasil pembakaran dan oksida fotokemikal serta bau yang tajam (Muttaqin, 2008). 2.1.3

Tanda dan Gejala Asma Gejala asma bersifat episodik, berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat

di dada. Gejala biasanya timbul atau memburuk terutama malam atau dini hari (PDPI, 2003). Setelah pasien asma terpajan alergen penyebab maka akan timbul dispnea, pasien merasa seperti tercekik dan harus berdiri atau duduk dan berusaha mengerahkan tenaga lebih kuat untuk bernapas. Kesulitan utama terletak saat ekspirasi, percabangan trakeobronkial melebar dan memanjang selama inspirasi namun sulit untuk memaksa udara keluar dari bronkiolus yang sempit karena mengalami edema dan terisi mukus. Akan timbul mengi yang merupakan ciri khas asma saat pasien berusaha memaksakan udara keluar. Biasanya juga diikuti batuk produktif dengan sputum berwarna keputih-putihan (Price & Wilson, 2006). Tanda selanjutnya dapat berupa sianosis sekunder terhadap hipoksia hebat dan gejala-gejala retensi karbon dioksida (berkeringat, takikardi dan pelebaran

14

tekanan nadi). Pada pasien asma kadang terjadi reaksi kontinu yang lebih berat dan mengancam nyawa, dikenal dengan istilah “status asmatikus”. Status asmatikus adalah asma yang berat dan persisten yang tidak berespon terhadap terapi konvensional, dan serangan dapat berlangsung lebih dari 24 jam (Smeltzer & Bare, 2002). Asma dapat bersifat fluktuatif (hilang timbul) yang berarti dapat tenang tanpa gejala tidak mengganggu aktivitas tetapi dapat eksaserbasi dengan gejala ringan sampai berat bahkan dapat menimbulkan kematian (Depkes, 2009). Gejala asma dapat diperburuk oleh keadaan lingkungan seperti perubahan temperatur, terpapar bulu binatang, uap kimia, debu, serbuk, obat-obatan, olahraga berat, infeksi saluran pernapasan, asap rokok dan stres (GINA, 2005). Pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat di dada, pada asma alergik biasanya disertai pilek atau bersin. Meski pada mulanya batuk tidak disertai sekret, namun dalam perkembangannya pasien asma akan mengeluarkan sekret baik yang mukoid, putih dan terkadang purulen. Terdapat sebagian kecil pasien asma yang hanya mengalami gejala batuk tanpa disertai mengi, yang dikenal dengan istilah cough variant asthma (Sundaru, 2009). 2.1.4

Klasifikasi Asma Terdapat jenis-jenis asma menurut Smeltzer & Bare (2002) yaitu:

a. Asma alergik Dapat disebabkan oleh alergen, misal serbuk sari, binatang, makanan dan jamur. Kebanyakan alergen terdapat di udara dan bersifat musiman, biasanya pasien juga memiliki riwayat keluarga yang alergik dan riwayat medis eczema

15

atau rhinitis alergik. Pajanan terhadap alergen mencetuskan asma. Anak-anak dengan asma alergik sering dapat mengatasi kondisi sampai masa remaja. b. Asma idiopatik atau nonalergik Jenis asma ini tidak berhubungan dengan alergen spesifik. Faktor seperti common cold, infeksi traktus respiratorius, latihan, emosi dan polutan lingkungan dapat mencetuskan serangan. Selain itu beberapa agen farmakologi juga dapat menjadi faktor seperti aspirin dan agen antiinflamasi nonsteroid lain, pewarna rambut, antagonis beta-adrenergik dan pengawet makanan. Serangan pada asma ini menjadi lebih berat dan sering, kemudian dapat berkembang menjadi bronkitis kronis dan emfisema. c. Asma gabungan Merupakan bentuk asma yang paling umum. Asma ini memiliki karakteristik dari bentuk alergik maupun idiopatik/nonalergik. Dalam Pedoman Pengendalian Penyakit Asma oleh Depkes RI (2009) dijelaskan klasifikasi derajat asma sebagai berikut: Tabel 1. Klasifikasi Derajat Asma Berdasarkan Gambaran Klinis Secara Umum Derajat Asma (1) Intermitten

Persisten ringan

Gejala (2) Bulanan - Gejala<1x/minggu - Tanpa gejala diluar serangan - Serangan singkat Mingguan - Gejala>1x/minggu, tetapi <1x/hari - Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur

Gejala Malam (3) ≤ 2 kali sebulan

-

> 2 kali sebulan

-

Faal Paru (4) APE≥80% VEP1≥80% nilai prediksi APE≥80% nilai terbaik Variabiliti APE<20% APE>80% VEP1≥80% nilai prediksi APE≥80% nilai terbaik Variabiliti APE 2030%

16

Lanjutan Tabel 1. (1) Persisten sedang

(4) APE 60-80% > 2 kali sebulan - VEP1 60-80% nilai prediksi APE 6080% nilai terbaik - Variabiliti APE>30% Persisten berat APE 60≤% Sering - VEP1 ≤60% nilai prediksi APE≤60% nilai terbaik - Variabiliti APE>30% APE = Arus Puncak Ekspirasi, VEP 1 = Volume Ekspirasi Paksa detik pertama Sumber: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Asma Pedoman & Penatalaksanaan di Indonesia, 2004.

2.1.5

(2) Harian Gejala setiap hari Serangan mengganggu aktivitas dan tidur Membutuhkan bronkodilator setiap hari Kontinyu Gejala terus menerus Sering kambuh Aktivitas fisik terbatas

(3)

Patofisiologi Asma Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi

berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel. Faktor lingkungan dan faktor lain berperan sebagai pencetus inflamasi saluran napas pada pasien asma (PDPI, 2003). Inflamasi saluran napas pada pasien asma merupakan hal yang mendasari gangguan fungsi yaitu terdapatnya obstruksi saluran napas yang menyebabkan hambatan aliran udara yang dapat kembali secara spontan atau setelah pengobatan (Sundaru, 2009). Obstruksi pada pasien asma dapat disebabkan oleh kontraksi otot-otot yang mengelilingi bronkus yang menyempitkan jalan napas, pembengkakan membran yang melapisi bronkus dan pengisian bronkus dengan mukus yang kental (Smeltzer & Bare, 2002). Asma dapat terjadi melalui dua jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur imunologis didominasi oleh antibodi IgE yang merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah

17

antibodi IgE abnormal dalam jumlah yang besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast pada interstisial paru yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang menghirup alergen maka akan terjadi fase sensitisasi yang menyebabkan antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Ini akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus dan spasme otot polos bronkiolus yang menyebabkan inflamasi saluran napas. Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons terhadap mediator sel mast terutama histamin yang bekerja langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam pajanan alergen dan bertahan selama 16-24 jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis asma (Rengganis, 2008). Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa,

18

sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2. Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsang menyebabkan pelepasan neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide

(CGRP).

Neuropeptida

itulah

yang

menyebabkan

terjadinya

bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi (Rengganis, 2008). Sistem saraf otonom mempersarafi paru, tonus otot bronkial diatur oleh impuls saraf vagal melalui sistem parasimpatis. Pada asma idiopatik, ketika ujung saraf pada jalan napas dirangsang oleh faktor pencetus maka akan meningkatkan pelepasan jumlah asetilkolin. Ini menyebabkan bronkokonstriksi juga merangsang pembentukan mediator kimiawi (Smeltzer & Bare, 2002). 2.1.6

Penatalaksanaan Asma Tujuan utama penatalaksanaan asma menurut PDPI (2003) adalah

meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal kembali tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Terdapat tujuh komponen program penatalaksanaan asma yaitu: a. Edukasi Pengetahuan yang baik akan menurunkan angka kesakitan dan kematian. Tujuan dari seluruh edukasi adalah membantu pasien agar dapat melakukan penatalaksanaan dan mengontrol asma. Edukasi terkait dengan cara dan waktu

19

penggunaan obat, menghindari pencetus, mengenali efek samping obat dan kegunaan kontrol teratur pada pengobatan asma. Bentuk pemberian edukasi dapat berupa komunikasi saat berobat, ceramah, latihan, diskusi, sharing, leaflet, dan lain-lain (PDPI, 2003). b. Menilai dan memonitor derajat asma secara berkala Penilaian klinis berkala antara 1 – 6 bulan dan monitoring asma oleh pasien dilakukan pada penatalaksanaan asma. Ini dikarenakan berbagai faktor yaitu gejala dan berat asma berubah sehingga membutuhkan perubahan terapi, pajanan pencetus menyebabkan perubahan pada asma, dan daya ingat serta motivasi pasien perlu direview sehingga membantu penanganan asma secara mandiri. Pemeriksaan faal paru, respon pengobatan saat serangan akut, deteksi perburukan asimptomatik sebelum menjadi serius, respon pengobatan jangka panjang, dan identifikasi pencetus perlu dimonitor secara berkala (PDPI, 2003). c. Mengidentifikasi dan mengendalikan faktor pencetus Pasien asma ada yang dengan mudah mengenali faktor pencetus namun ada juga yang tidak dapat mengetahui faktor pencetus asmanya. Identifikasi faktor pencetus perlu dilakukan dengan berbagai pertanyaan mengenai beberapa hal yang dapat sebagai pencetus serangan seperti alergen yang dihirup, pajanan lingkungan kerja, polutan dan iritan di dalam dan di luar ruangan, asap rokok, refluks gastroesofagus dan sensitif dengan obat-obatan (PDPI, 2003). d. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang Pengobatan asma dapat diberikan melalui berbagai cara yaitu inhalasi, oral dan parenteral (subkutan, intramuskular, intravena). Obat-obatan asma ditujukan

20

untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan napas yang terdiri atas pengontrol dan pelega. Pengontrol merupakan medikasi asma jangka panjang untuk

mengontrol

asma,

diberikan

setiap

hari

untuk

mencapai

dan

mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten. Pengontrol (controllers) sering disebut pencegah yang terdiri dari (PDPI, 2003): 1) Glukokortikosteroid inhalasi Merupakan pengobatan jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma dan merupakan pilihan bagi pengobatan asma persisten (ringan sampai berat). Berbagai penelitian menunjukkan perbaikan faal paru, menurunkan hiperesponsif jalan napas, mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat serangan serta memperbaiki kualitas hidup. 2) Glukokortikosteroid sistemik Pemberian melalui oral atau parenteral, digunakan sebagai pengontrol pada keadaan asma persisten berat (setiap hari atau selang sehari), namun penggunaanya terbatas mengingat risiko efek sistemik yaitu osteoporosis, hipertensi, diabetes, katarak, glaukoma, obesitas dan kelemahan otot. 3) Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium) Merupakan antiinflamasi nonsteroid, menghambat pelepasan mediator dari sel mast melalui reaksi yang diperantai IgE yang bergantung kepada dosis dan seleksi serta supresi sel inflamasi tertentu (makrofag, eosinofil, manosit) serta menghambat saluran kalsium pada sel target. Pemberian secara inhalasi pada asma persisten ringan dan efek samping minimal berupa batuk dan rasa obat tidak enak saat melakukan inhalasi.

21

4) Teofilin Teofilin merupakan bronkodilator yang memiliki efek ekstrapulmoner seperti antiinflamasi. Digunakan untuk menghilangkan gejala atau pencegahan asma bronkial dengan merelaksasi secara langsung otot polos bronki dan pembuluh darah pulmonal. Efek samping berupa mual, muntah, diare, sakit kepala, insomnia dan iritabilitas. 5) Agonis beta-2 kerja lama Termasuk agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah salmeterol dan formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (> 12 jam). Memiliki efek relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan permeabilitas pembuluh darah dan memodulasi pelepasan mediator dari sel mast dan basofil. 6) Leukotriene modifiers Merupakan anti asma yang relatif baru dan pemberiannya melalui oral. Menghasilkan efek bronkodilator minimal dan menurunkan bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida dan latihan berat. Selain itu juga memiliki efek antiinflamasi. Pelega pada prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki dan atau menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, batuk dan rasa berat di dada, serta tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperesponsif jalan napas. Pelega (reliever) terdiri dari: 1) Agonis beta-2 kerja singkat

22

Golongan terdiri dari salbutamol, terbutalin, fenoterol dan prokaterol yang telah beredar di Indonesia. Pemberian dapat secara inhalasi atau oral, pemberian inhalasi memiliki kerja lebih cepat dan efek samping minimal. Efek samping dapat berupa rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka dan hipokalemia. 2) Antikolinergik Pemberiannya secara inhalasi, mekanisme kerjanya memblok efek pelepasan asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan napas. Termasuk dalam golongan ini adalah ipratropium bromide dan tiotropium bromide. Efek samping berupa rasa kering di mulut dan rasa pahit. 3) Adrenalin Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat, bila tidak ada agonis beta-2 atau tidak merespon dengan agonis beta-2 kerja singkat. Pemberian secara subkutan harus hati-hati pada usia lanjut atau pada pasien gangguan kardiovaskuler. Selain pemberian obat pelega dan pengontrol asma, beberapa cara digunakan sebagai terapi pelengkap untuk mempercepat proses penyembuhan asma seperti homeopati, terapi herbal, ayuverdik medicine, ionizer, osteopati dan manipulasi chiropractic, spleoterapi, teknik pernapasan Buteyko, akupuntur, hipnosis, dan lain-lain (PDPI, 2003). Salah satu terapi pelengkap untuk pasien asma adalah teknik pernapasan Buteyko. Teknik pernapasan ini didasarkan pada usaha mengembalikan cara bernapas yang benar pada pasien asma (Vitahealth, 2005). e. Menetapkan terapi penanganan terhadap gejala

23

Terapi dilakukan sesuai dengan keadaan pasien, terapi ini dianjurkan kepada pasien yang memiliki pengalaman buruk terhadap gejala asma dan dalam kondisi darurat. Penanganan dilakukan di rumah pasien dengan menggunakan obat bronkodilator seperti β2-agonis inhalasi dan glukokortikosteroid oral (GINA, 2005) f. Kontrol secara teratur Penatalaksanaan jangka panjang harus memperhatikan tindak lanjut (follow up) teratur dan rujuk ke ahli paru untuk konsultasi atau penanganan lebih lanjut. Pasien dianjurkan untuk kontrol tidak hanya saat terjadi serangan akut, namun kontrol teratur sesuai jadwal yang telah ditentukan, interval berkisar 1-6 bulan tergantung pada keadaan asma. Ini dilakukan untuk memastikan asma tetap terkontrol dengan mengupayakan penurunan terapi seminimal mungkin (PDPI, 2003). g. Pola hidup sehat Dalam penatalaksanaan asma, pola hidup sehat sangat penting seperti melakukan olahraga secara teratur untuk meningkatkan kebugaran fisik, menambah rasa percaya diri dan meningkatkan ketahanan tubuh. Bagi pasien yang memiliki jenis asma dimana serangan timbul setelah exercise (Exercise-Induced Asthma/EIA) dianjurkan menggunakan beta-2 agonis sebelum melakukan olahraga. Berhenti atau tidak merokok dan menghindari faktor pencetus juga dapat dilakukan oleh pasien asma untuk mencegah terjadinya serangan asma (PDPI, 2003).

24

2.1.7

Tingkat Kontrol Asma Penatalaksanaan asma bertujuan mengontrol penyakit yang disebut dengan

asma terkontrol, di mana kondisi stabil minimal dalam waktu satu bulan (PDPI, 2003). GINA yang merupakan organisasi kerjasama WHO dengan National Heart, Lung and Blood Institute (NHLBI) Amerika Serikat memperkenalkan panduan diagnosis dan tata laksana asma. Panduan pengobatan asma menurut GINA menekankan pentingnya upaya pengobatan mencapai dan mempertahankan asma terkontrol (GINA, 2011). Menurut Depkes RI (2009), untuk menentukan kondisi pasien dapat dilihat ciri-ciri dari asma terkontrol, terkontrol sebagian dan tidak terkontrol yang dijelaskan sebagai berikut: Tabel 2. Tingkatan Asma Terkontrol Karakteristik Gejala harian Pembatasan aktivitas Gejala nokturnal / gangguan tidur (terbangun) Kebutuhan akan reliever atau terapi rescue Fungsi paru (PEF: Peak Expiratory Flow atau FEV1*) Eksaserbasi

Tingkatan Asma Terkontrol Terkontrol Terkontrol Sebagian Tidak ada (dua kali atau Lebih dari dua kali kurang perminggu) seminggu Tidak ada Sewaktu-waktu dalam seminggu Tidak ada Sewaktu-waktu dalam seminggu Tidak ada (dua kali atau kurang dalam seminggu) Normal

Lebih dari seminggu

dua

Tidak Terkontrol Tiga atau lebih gejala dalam kategori Asma Terkontrol Sebagian, muncul sewaktu-waktu dalam seminggu

kali

< 80% (perkiraan atau dari kondisi terbaik bila diukur) Tidak ada Sekali atau lebih dalam Sekali dalam seminggu**) seminggu***) *) Fungsi paru tidak berlaku untuk anak-anak di usia 5 tahun atau di bawah 5 tahun **) Untuk semua bentuk eksaserbasi sebaiknya dilihat kembali terapinya apakah benar-benar adekuat ***) Suatu eksaserbasi mingguan, membuatnya menjadi asma tidak terkontrol Sumber: GINA, 2006

Manifestasi klinis asma yaitu gejala-gejala yang timbul, seperti gangguan tidur, keterbatasan aktivitas harian, kerusakan fungsi paru dan penggunaan obat-

25

obatan dapat dikontrol dengan terapi yang sesuai. Jika asma berhasil dikontrol, maka hanya akan terjadi rekurensi gejala berkala dan eksaserbasi berat akan menjadi sangat jarang. Penurunan gejala asma menunjukkan perbaikan kontrol asma (NHLBI, 2003). Tingkat asma terkontrol memungkinkan pasien dapat melakukan aktivitas kehidupannya seperti orang sehat lainnya (GINA, 2011). Berbagai faktor berperan dalam mempengaruhi tingkat kontrol asma seperti usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, merokok, asma derajat berat, penggunaan obat kortikosteroid yang salah, genetik, penyakit komorbid (rhinitis alergi), kepatuhan berobat yang buruk, pengetahuan mengenai asma dan berat badan berlebih (Atmoko, 2009). Mengevaluasi kontrol asma membutuhkan suatu metode yang sederhana dan praktis bukan saja untuk membantu petugas kesehatan tetapi juga berguna untuk penelitian. Kriteria ideal alat ukur asma adalah sederhana, praktis, bermanfaat, dapat diaplikasikan oleh pasien, petugas kesehatan dan peneliti, serta mampu merefleksikan kontrol asma jangka panjang, bersifat diskriminatif dan menunjukkan respon terhadap perubahan (Kusumawati, 2010). Penilaian yang telah divalidasi untuk menilai kontrol klinis asma menghasilkan tujuan sebagai variabel kontinu serta menyediakan nilai numerik untuk membedakan tingkat kontrol yang berbeda-beda. Contoh instrumen yang telah divalidasi adalah Asthma Control Test (ACT), Asthma Control Questionnare (ACQ) dan Asthma Control Scoring System (ACSS), Childhood Asthma Control Test (C-ACT), Asthma Theraphy Assesment Questionnare (ATAQ). Instrumeninstrumen berupa kuesioner dengan atau tanpa pemeriksaan fungsi paru ini memiliki potensi meningkatkan pemeriksaan kontrol asma, menyediakan

26

pemeriksaan yang objektif dan dapat dilakukan berulangkali yang dapat ditulis dalam lembar kemajuan dalam waktu tertentu. Selain itu untuk dapat mengukur dengan cepat dan tepat diperlukan suatu alat ukur yang dapat digunakan secara akurat (NHLBI, 2003). Berdasarkan beberapa alat ukur yang digunakan untuk menilai tingkat kontrol asma, kuesioner yang paling sering digunakan yaitu kuesioner Asthma Control Test (ACT) (Sundaru, 2011). ACT lebih valid, reliable, mudah digunakan dan lebih komprehensif dibandingkan jenis kuesioner lain sehingga dapat digunakan secara luas (Edisworo, 2009). ACT adalah suatu uji skrining berupa kuesioner tentang penilaian klinis seorang pasien asma untuk mengetahui asmanya terkontrol atau tidak. Kuesioner ini terdiri dari lima pertanyaan, dikeluarkan oleh American Lung Association bertujuan memberi kemudahan kepada petugas kesehatan dan pasien untuk mengevaluasi asma pada pasien yang berusia diatas 12 tahun dan menetapkan terapi pemeliharaannya. ACT tidak memakai kriteria faal paru untuk menilai kontrol asma (Nathan et al, 2004 dalam Widysanto dkk, 2009). Parameter yang dinilai dalam kuesioner ACT adalah gangguan aktivitas harian akibat asma, frekuensi gejala asma, gejala malam, penggunaan obat pelega dan persepsi terhadap kontrol asma (Zaini, 2011). Pertanyaan pada Asthma Control Test berjumlah lima buah dan tiap pertanyaan diskor mulai dari 1 sampai dengan 5. Telah dilakukan uji validasi dengan sensitifitas 68,4% dan spesifisitas 76,2% (Eddy, 2008 dalam Kusumawati, 2010). Interpretasi hasil yaitu apabila jumlah nilai sama atau lebih kecil dari 19 adalah asma tidak terkontrol, apabila nilai 20-24 adalah asma terkontrol sebagian

27

dan apabila nilai 25 adalah asma terkontrol penuh. Tujuan Asthma Control Test adalah menyeleksi asma yang tidak terkontrol, mengubah pengobatan yang tidak efektif menjadi lebih tepat, melaksanakan pedoman pengobatan secara lebih tepat dan memberikan pendidikan atau pengetahuan tentang bahaya keadaan asma yang tidak terkontrol. Kuesioner ini telah diteliti dan divalidasi sehingga dapat dipakai secara luas untuk menilai dan memperbaiki kondisi asma seseorang (Widysanto dkk, 2009). 2.2

Teknik Pernapasan Buteyko

2.2.1

Pengertian Teknik Pernapasan Buteyko Teknik pernapasan Buteyko merupakan terapi komplementer untuk

membantu penderita asma mencegah dan mengontrol gejala asma serta menurunkan atau menghilangkan penggunaan obat-obatan (Birch, 2001). Teknik pernapasan Buteyko adalah serangkaian latihan pernapasan yang bertujuan untuk mengurangi hiperventilasi melalui penurunan frekuensi napas, yang dikenal dengan slow breathing dan reduced breathing, dikombinasikan dengan waktu menahan napas, yang dikenal dengan control pauses dan extended pauses (Bruton & Lewith, 2005). Teknik pernapasan Buteyko merupakan suatu metode penatalaksanaan asma yang bertujuan mengurangi penyempitan saluran pernapasan dengan melakukan latihan pernapasan dangkal. Terapi ini dirancang untuk memperlambat atau mengurangi intake udara yang masuk ke dalam paru-paru sehingga dapat mengurangi gangguan di saluran pernapasan. Prinsip teknik ini adalah melakukan

28

serangkaian latihan pernapasan secara teratur untuk memperbaiki cara bernapas (Dupler, 2005). 2.2.2

Tujuan Teknik Pernapasan Buteyko Tujuan teknik pernapasan Buteyko adalah menggunakan serangkaian

latihan bernapas secara teratur untuk melatih seseorang yang terbiasa bernapas berlebihan (over-breathing) agar mampu bernapas dengan benar. Apabila pasien asma mampu mengubah volume udara yang dihirup, maka akan mengurangi serangan asma yang dialami dan penggunaan alat maupun obat-obatan dapat dikurangi atau bahkan ditinggalkan sama sekali (Vitahealth, 2005). Metode Buteyko juga digunakan untuk mengurangi gejala dan tingkat keparahan asma dengan memelihara keseimbangan kadar CO2 dan nilai oksigenasi seluler, serta mengurangi ketergantungan terhadap obat-obatan (Dupler, 2005). Menurut London School of Facial Orthotropics (LSFO) tahun 2012, tujuan dari metode Buteyko yaitu mengembalikan kondisi penderita agar dapat bernapas normal dengan cara latihan menahan napas, bernapas melalui hidung dan latihan pernapasan dengan melakukan relaksasi diafragma untuk mencapai volume pernapasan yang normal. 2.2.3

Teori yang Mendasari Teknik Pernapasan Buteyko Teori Buteyko menyatakan penyebab dasar dari penyakit asma adalah

kebiasaan bernapas secara berlebihan yang tidak disadari. Pasien asma menghirup udara terlalu banyak ketika bernapas, yang umum dikenal dengan istilah hiperventilasi.

Secara

sederhana penanganannya

didasarkan pada usaha

29

mengembalikan cara bernapas yang benar sehingga akan menghilangkan gejala hiperventilasi

(Vitahealth,

2005).

Menurut

Robert

Fried

dalam

buku

Hiperventilation Syndrome, indikator seseorang mengalami hiperventilasi yaitu mendesah secara teratur, menggunakan pernapasan dada bagian atas, mengambil napas panjang sebelum berbicara dan bernapas melalui mulut (McKeown, 2004). Secara lebih jelas berikut beberapa teori yang melandasi Prof. Buteyko dalam mengembangkan teknik pernapasan Buteyko yaitu: a. Ketika pasien asma melakukan pernapasan dalam, maka jumlah CO2 yang dikeluarkan akan semakin meningkat sehingga menyebabkan jumlah CO2 di paruparu, darah dan jaringan menjadi berkurang (Microza, 2012). b. Karbon dioksida merupakan zat yang sangat penting untuk kesehatan, setiap sel di tubuh membutuhkan CO2 dalam konsentrasi khusus untuk mempertahankan kehidupan yang normal. Cara bernapas yang berlebihan telah mempengaruhi tingkat CO2 dalam paru-paru. Saat pasien asma menghirup terlalu banyak volume udara dari yang sebenarnya dibutuhkan oleh tubuh, maka pada waktu bersamaan pasien juga menghembuskan CO2 keluar secara terlalu cepat. Ini menyebabkan reaksi kimiawi yang mempersulit pelepasan oksigen dari darah ke jaringanjaringan

tubuh

sehingga

jaringan

menjadi

kekurangan

oksigen

yang

mengakibatkan lapisan otot yang mengelilingi jaringan bereaksi dengan cara mengejang (Vitahealth, 2005). c. Karbon dioksida sangat penting untuk kehidupan manusia yaitu untuk: 1) Transportasi oksigen. Oksigen tidak larut dalam darah sehingga 98% gas dibawa oleh molekul hemoglobin. Pelepasan oksigen dari hemoglobin tergantung

30

pada jumlah karbon dioksida dalam alveoli/arteri darah. Jika kadar karbon dioksida tidak sesuai dengan tingkat yang diperlukan yaitu sekitar 5%, maka pelepasan oksigen dari hemoglobin akan terganggu yang dapat menyebabkan oksigen tidak dilepas ke jaringan dan organ. 2) Pelebaran pembuluh darah dan saluran udara. Karbon dioksida melebarkan otot polos disekitar saluran udara, arteri dan kapiler. Menyusul peningkatan karbon dioksida, terdapat lebih besar distribusi darah untuk pelebaran pembuluh darah. Pengaruhnya dapat berupa gejala berkurang dan meningkatnya kehangatan tubuh karena peningkatan sirkulasi darah (McKeown, 2004) d. Defisiensi CO2 menyebabkan pH darah menjadi alkalis. Alkalosis respiratorik adalah suatu kelainan klinis yang menyebabkan peningkatan keasaman darah (pH) karena hiperventilasi alveolar (hipokapnia). Hipokapnia terjadi karena eliminasi CO2 melebihi produksi CO2 pada jaringan (Djojodibroto, 2009). Peningkatan pH dimodifikasi sampai tingkat yang kecil oleh buffer intraseluler. Untuk mengkompensasi terhadap peningkatan kehilangan CO2 dan resultan kelebihan basa, ion hidrogen dilepaskan dari jaringan buffer, yang selanjutnya menurunkan konsentrasi bikarbonat plasma (Horne, 2001). Selain itu dapat pula melalui kerja ginjal yang mengekskresikan ion hidrogen karbonat ke dalam urin. Aktivitas tersebut cenderung mendorong keseimbangan menuju pembentukan lebih banyak ion hidrogen karbonat sehingga ion hidrogen pun semakin banyak yang kemudian dapat menurunkan nilai pH (Marzuki dkk 2010). e. Defisiensi CO2 juga menyebabkan spasme otot polos bronkus, kejang pada otak, pembuluh darah, spastik usus, saluran empedu dan organ lainnya. Jika

31

intensitas pernapasan dalam semakin sering dilakukan, maka akan semakin sedikit jumlah oksigen yang mencapai otak, jantung, ginjal dan organ lainnya, ini yang akan menyebabkan hipoksia disertai dengan hipertensi arteri (Microza, 2012). f. Bila kadar CO2 pada organ-organ vital (termasuk otak) dan sel-sel saraf sudah semakin sedikit, maka pusat pengendalian pernapasan di otak akan meningkatkan stimulasi intensitas bernapas yang dikenal dengan istilah hiperventilasi/overbreathing (Microza, 2012). g. Hiperventilasi dapat menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan konsentrasi CO2 dalam tubuh, khususnya paru-paru dan sistem sirkulasi. Ini mengakibatkan perubahan kandungan O2 dalam darah serta menurunkan jumlah O2 seluler (Microza, 2012). h. Metode Buteyko memfokuskan pada penurunan frekuensi pernapasan. Penderita asma akan mengalami hiperventilasi yang menyebabkan rendahnya kadar CO2 dan diikuti dengan pergeseran efek Bohr yang mengakibatkan oksigenasi semakin berkurang. Penurunan frekuensi napas membawa CO2 berada dalam kadar normal sehingga oksigenasi akan optimal (Agustiningsih dkk, 2007). 2.2.4

Prinsip Teknik Pernapasan Buteyko Teknik pernapasan Buteyko terdiri dari dua hal penting, yaitu relaksasi dan

latihan. Pada tahap relaksasi, postur tubuh diatur senyaman mungkin terutama tubuh bagian atas. Ini berfungsi untuk merilekskan otot pernapasan dan iga secara perlahan-lahan yaitu saat peregangan iga ke arah luar selama inspirasi dan penarikan iga ke arah dalam selama ekspirasi. Saat latihan pasien asma dianjurkan untuk bernapas melalui hidung, tidak melalui mulut (Dupler, 2005). Menurut Prof.

32

Buteyko, bernapas melalui hidung akan mengurangi hiperventilasi sehingga cara terbaik menghemat CO2 yang keluar adalah dengan merelaksasikan otot-otot pernapasan sehingga insufisiensi udara yang terjadi saat serangan akan berkurang (Thomas, 2004). Dalam melakukan teknik pernapasan Buteyko, diperlukan kursi dan ruangan senyaman mungkin untuk latihan. Sebaiknya melakukan latihan sebelum makan atau menunggu setidaknya dua jam setelah makan, karena pencernaan mempengaruhi pernapasaan. Adapun hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam melakukan teknik pernapasan Buteyko, yaitu (McKeown, 2004): a. Pengukuran control pause dan denyut nadi Dalam melakukan latihan pernapasan Buteyko, terlebih dahulu harus diukur kemampuan menahan napas (control pause) dan denyut nadi. b. Postur Postur yang baik sangat penting untuk melakukan latihan dengan benar sehingga berhasil mengurangi hiperventilasi. Menggunakan kursi yang memiliki sandaran sehingga memungkinkan duduk tegak dan kaki menyentuh lantai, serta tubuh berada dalam kondisi senyaman mungkin. Jika tidak memiliki kursi dengan sandaran, maka posisi kepala, bahu dan pinggul harus diatur agar tegak lurus. c. Konsentrasi Tutup mata dan fokus pada pernapasan, rasakan udara yang bergerak masuk dan keluar dari hidung dan gerakan yang berbeda dari tubuh saat menghirup dan menghembuskan napas. Individu dianjurkan berkonsentrasi pada

33

pernapasannya, karena seseorang tidak dapat mengubah pernapasannya jika tidak menyadari bagaimana ia bernapas. d. Relaksasi bahu Bahu merupakan bagian penting dalam upaya memperbaiki pernapasan. Apabila terjadi ketegangan dan kekakuan dapat menyebabkan kesulitan untuk menaikkan otot-otot bahu ketika bernapas sehingga mempengaruhi jumlah udara ke dalam paru-paru. Coba untuk sesantai mungkin dan biarkan bahu rileks serta bergerak alami tiap kali bernapas. Relaksasi akan membantu mengatur pernapasan. e. Memantau aliran udara Rasakan udara yang keluar dari lubang hidung dengan menempatkan jari di bawah hidung dengan posisi horizontal, jari jangan terlalu dekat ke lubang hidung karena dapat menggangu aliran udara yang masuk dan keluar dari hidung. f. Bernapas dangkal Ketika merasakan udara sampai di jari, mulailah menarik napas kembali, ini akan membantu mengurangi jumlah udara setiap kali bernapas. Meskipun kegiatan ini akan meningkatkan jumlah napas yang dilakukan per menit, tapi ini tidak masalah karena tujuannya untuk mengurangi volume udara. Udara hangat yang lebih sedikit terasa di jari menandakan bahwa semakin berhasilnya penurunan volume udara setiap kali bernapas. Diharapkan pasien mampu untuk terus bernapas dengan cara ini selama 3-5 menit. Kemungkinan yang terjadi pasien tidak dapat menyelesaikan 5 menit penuh saat pertama kali latihan. Ini akan lebih mudah dipahami bila mempraktikkan secara langsung.

34

g. Pengukuran control pause (CP) dan denyut nadi Setelah selesai melakukan latihan diatas selama 5 menit atau selama apapun waktu yang dicapai untuk latihan, harus dilakukan kembali pengukuran control pause dan denyut nadi. h. Istirahat Sebelum memulai latihan 5 menit berikutnya, dianjurkan untuk istirahat terlebih dahulu. Untuk mendapatkan manfaat teknik pernapasan Buteyko diperlukan waktu setidaknya 20 menit per hari untuk latihan. i. Latihan blok Setiap sesi latihan terdiri dari 4 blok penurunan frekuensi bernapas dengan memeriksa control pause dan nadi sebelum dan setelah latihan setiap blok. Dibandingkan dengan sesi awal, waktu control pause harus lebih lama dan denyut nadi harus lebih rendah setelah latihan. 2.2.5

Langkah-langkah Teknik Pernapasan Buteyko Teknik pernapasan Buteyko merupakan serangkaian latihan pernapasan

untuk memperbaiki cara bernapas pasien asma. Waktu yang diperlukan untuk melakukan latihan ini minimal 20 menit sehari. Langkah-langkah teknik pernapasan Buteyko secara umum adalah: a. Langkah 1: Control pause breathing test 1) Duduk tegak pada kursi dan atur posisi senyaman mungkin. 2) Ukur denyut nadi selama 1 menit.

35

3) Sebagai pemanasan sebaiknya ambil napas normal sebanyak dua kali, kemudian tahan napas dengan cara mencubit hidung dengan ibu jari dan telunjuk, serta pastikan mulut tertutup. 4) Pada keinginan pertama kali untuk bernapas, lepaskan cubitan hidung dan mulai bernapas kembali melalui hidung, atur pernapasan sesegera mungkin. 5) Hitung berapa lama waktu dapat menahan napas. Individu tidak harus berusaha menahan napas terlalu lama karena dapat menyebabkan seseorang mengambil napas dalam setelah pengukuran CP.

Gambar 1. Melakukan Control Pause (Sumber: Alternative Medicine Zone, 2012) b. Langkah 2: Bernapas dangkal 1) Fokus pada pernapasan, konsentrasi dan rasakan udara yang mengalir keluar dan masuk melalui hidung. 2) Tubuh harus rileks, biarkan bahu bergerak secara alami. 3) Pastikan bernapas hanya melalui hidung dan mulut tertutup saat bernapas. Usahakan menggunakan pernapasan diafragma, bukan pernapasan dada. 4) Monitor jumlah udara yang keluar melalui lubang hidung dengan meletakkan jari di bawah hidung dalam posisi horizontal.

36

5) Tarik napas sedikit kemudian keluarkan dengan lembut, ketika udara menyentuh jari tarik napas kembali. 6) Lakukan napas dangkal selama 4 menit dan tunggu selama 2 menit.

Gambar 2. Melakukan Napas Dangkal (Sumber: Microza, 2012) c. Langkah 3: Penggabungan control pause dan napas dangkal 1) Lakukan control pause. 2) Kurangi pernapasan dengan bernapas dangkal selama 4 menit. 3) Tunggu 2 menit dan lakukan kembali control pause. 4) Kurangi pernapasan dengan bernapas dangkal selama 4 menit. 5) Tunggu 2 menit dan lakukan kembali control pause. 6) Kurangi pernapasan dengan bernapas dangkal selama 4 menit. 7) Tunggu 2 menit dan lakukan kembali control pause. 8) Ukur denyut nadi selama 1 menit. Langkah penggabungan latihan yaitu control pause – bernapas dangkal – control pause - istirahat dilakukan sebanyak 4 sesi. CP yang diambil pada akhir dari 4 sesi sekitar 25% lebih tinggi dari yang diambil di awal. Nadi yang diukur setelah latihan adalah sama atau lebih rendah daripada yang diukur di awal latihan (McKeown, 2010).

37

Sedangkan untuk latihan secara bertahap menurut Buteyko Breathing Association (2010), langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut: a. Teknik pernapasan Buteyko pada minggu pertama: 1) Duduk tegak dan usahakan posisi senyaman mungkin, kemudian mulai bernapas biasa melalui hidung dan ukur nadi dalam 1 menit. 2) Hitung control pause dengan cara melakukan napas normal dengan menghirup dan menghembuskan udara melalui hidung. Memegang hidung dengan lembut dan mulai hitung waktunya. Tahan napas sampai anda pertama kali merasakan keinginan untuk bernapas kemudian lepaskan tahanan pada hidung dan hentikan pengukur waktu. Kemudian mulailah bernapas lembut melalui hidung. 3) Lanjutkan dengan relaxed breathing, yaitu duduklah pada posisi senyaman mungkin dengan punggung tegak serta kaki dan lutut selebar bahu, kemudian tutup mata. Letakkan tangan pada bagian atas dan bawah dada, kemudian mulai bernapas normal dan tenang melalui hidung. Fokus pada bagian-bagian tubuh yang bergerak saat bernapas, konsentrasi pada area di bawah dada dan cobalah bernapas dengan diafragma serta minimalkan pergerakan tangan yang berada pada dada bagian atas. Setelah beberapa menit kemudian mulai relaksasi otot wajah, leher, bahu dan kaki. Apabila mulai merasakan kekurangan udara, ini baik karena menandakan bahwa latihan mulai bekerja. Lakukan langkah menahan napas dan napas santai selama tiga menit dan pertahankan pernapasan melalui hidung serta perhatikan rasa ringan saat bernapas.

38

4) Kemudian istirahat pendek selama 20-30 detik. 5) Lakukan control pause dan diikuti relaxed breathing selama 3 menit. 6) Kemudian istirahat pendek selama 20-30 detik. 7) Lakukan control pause dan diikuti relaxed breathing selama 3 menit. 8) Kemudian istirahat pendek selama 20-30 detik. 9) Lakukan control pause dan diikuti relaxed breathing selama 3 menit. 10) Kemudian istirahat panjang selama 2 menit. 11) Lakukan control pause terakhir dan ukur denyut nadi. b. Teknik pernapasan Buteyko pada minggu kedua: 1) Duduk tegak dan usahakan posisi senyaman mungkin, kemudian mulai bernapas biasa melalui hidung dan ukur nadi dalam 1 menit. 2) Lakukan control pause dan reduced breathing yaitu bernapas dangkal selama 3 menit. 3) Kemudian istirahat pendek selama 20-30 detik. 4) Lakukan control pause dan reduced breathing selama 3 menit. 5) Kemudian istirahat pendek selama 20-30 detik. 6) Lakukan extended pause yaitu bernapas normal melalui hidung, kemudian tahan napas 5-10 detik lebih lama dari waktu control pause dengan menggunakan teknik distraksi seperti bergerak di kursi atau berjalan. Lepaskan tahanan pada hidung dan pastikan bernapas melalui hidung sepelan mungkin kemudian mulai lakukan reduced breathing. Lakukan selama 3 menit. 7) Kemudian istirahat pendek selama 20-30 detik.

39

8) Lakukan extended pause dan reduced breathing selama 3 menit. 9) Kemudian istirahat panjang selama 2 menit. 10) Lakukan control pause terakhir dan ukur denyut nadi. c. Teknik pernapasan Buteyko pada minggu ketiga dan keempat: 1) Duduk tegak dan usahakan posisi senyaman mungkin, kemudian mulai bernapas biasa melalui hidung dan ukur nadi dalam 1 menit. 2) Lakukan control pause dan very reduced breathing yaitu dilakukan dengan meletakkan tangan di atas dan bawah dada untuk memantau pernapasan sehingga memungkinkan mengurangi frekuensi bernapas. Fokus pada pernapasan dan usahakan melakukan pernapasan diafragma selama 1 menit. Kemudian kedua tangan diturunkan ke pangkuan dan biarkan bahu bersantai. Tarik napas dan bayangkan bahwa udara baru hanya bergerak sejauh dada bagian atas kemudian tarik napas kembali, lakukan selama 1 menit. Selanjutnya mengurangi pernapasan dan bayangkan udara baru hanya bergerak sejauh tenggorokan kemudian tarik napas kembali, lakukan selama 1 menit. 3) Kemudian istirahat pendek selama 20-30 detik. 4) Lakukan control pause dan very reduced breathing selama 3 menit. 5) Kemudian istirahat pendek selama 20-30 detik. 6) Lakukan extended pause yaitu bernapas normal melalui hidung, kemudian tahan napas 5-10 detik lebih lama dari waktu control pause dengan menggunakan teknik distraksi seperti bergerak di kursi atau berjalan. Lepaskan tahanan pada hidung dan pastikan bernapas melalui hidung

40

sepelan mungkin kemudian mulai lakukan very reduced breathing. Lakukan selama 3 menit. 7) Kemudian istirahat pendek selama 20-30 detik. 8) Lakukan extended pause dan very reduced breathing selama 3 menit. 9) Kemudian istirahat panjang selama 2 menit. 10) Lakukan control pause terakhir dan ukur denyut nadi. 2.2.6

Pengaruh Teknik Pernapasan Buteyko terhadap Skor Kontrol Asma Teknik pernapasan Buteyko merupakan teknik pernapasan yang berfokus

pada pernapasan hidung, menahan napas dan relaksasi. Buteyko mengajarkan pasien asma untuk menjalani serangkaian latihan pernapasan dangkal dan lambat, dan mendorong untuk bernapas melalui hidung (The Asthma Foundation of New Zealand, 2010). Teori Buteyko menyatakan penyebab dasar dari penyakit asma adalah kebiasaan bernapas secara berlebihan yang tidak disadari. Ketika individu bernapas berlebihan, tubuh akan mengaktifkan mekanisme pertahanan alami untuk mempertahankan kadar karbon dioksida normal, dengan cara sebagai berikut: a. Spasme saluran pernapasan dan alveolus. Keduanya menguncup untuk mempersempit bukaan jalan napas dalam mempertahankan CO2 di paru-paru. b. Terdapatnya mukus dalam saluran pernapasan yang merupakan cara tubuh untuk mempersempit saluran udara dalam upaya mempertahankan CO2. c. Pembengkakan lapisan permukaan saluran pernapasan bagian dalam juga dilakukan untuk mempertahankan CO2 (Vitahealth, 2005).

41

Latihan

pernapasan

Buteyko

membantu

menyeimbangkan

kadar

karbondioksida dalam darah yang hilang akibat hiperventilasi. Ini akan membantu pelepasan hemoglobin dalam darah untuk melepaskan oksigen sehingga transportasi oksigen ke jaringan berjalan lancar (McKeown, 2004). Teknik pernapasan Buteyko juga dapat membantu mengurangi kesulitan bernapas pada pasien asma dengan cara menahan karbondioksida agar tidak hilang secara progresif akibat hiperventilasi. Menjaga keseimbangan kadar karbondioksida dalam darah akan mengurangi terjadinya bronkospasme pada pasien asma, karena sifat karbondioksida yang mendilatasi pembuluh darah dan otot (Kolb, 2009). Latihan teknik pernapasan Buteyko dapat mengurangi ekspirasi paksa serta penekanan pada otot dinding dada yang menyebabkan rasa sesak. Latihan secara teratur akan mengurangi gejala yang dirasakan oleh pasien dan menurunkan penggunaan obat-obatan sehingga akan memperbaiki tingkat kontrol asma (Murphy, 2005). Penurunan gejala dan penggunaan obat-obatan akan meningkatkan skor kontrol asma yang dinilai dengan kuesioner Asthma Control Test (ACT), ini menunjukkan perbaikan tingkat kontrol dan kondisi pasien asma. Teknik pernapasan Buteyko efektif digunakan dalam penatalaksanaan pasien asma, ini didukung oleh penelitian Agustiningsih dkk (2007) yang berjudul “Latihan Pernapasan Dengan Metode Buteyko Meningkatkan Nilai Force Expiratory Volume In 1 Second (%Fev1) Pasien Asma Dewasa Derajat Persisten Sedang”. Subjek berjumlah 18 orang yang dibagi menjadi tiga kelompok secara acak, kelompok I diberikan latihan dengan metode Buteyko, kelompok II mengikuti latihan Senam Asma Indonesia, kelompok III tanpa perlakuan dan

42

berlaku sebagai kontrol. Perlakuan diberikan selama 12 minggu. Tidak terdapat perbedaan rerata yang mencolok selama tiga bulan pengamatan untuk fungsi pernapasan pada tiap kelompok. Perbedaan yang bermakna (p < 0.05) terdapat pada %FEV1 pada bulan ke tiga pengamatan pada kelompok Buteyko, tetapi tidak pada kelompok yang lain. Latihan pernapasan menggunakan metode Buteyko serta Senam Asma Indonesia dapat menurunkan tahanan terhadap aliran udara di saluran napas pada pasien asma dewasa derajat persisten sedang setelah berlatih selama tiga bulan, tetapi tidak dapat memperbaiki nilai kapasitas vital. Latihan juga dapat menurunkan frekuensi serangan dan penggunaan bronkodilator.