BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 EKOSISTEM SUNGAI

Download Sungai merupakan badan air mengalir (perairan lotic) yang membentuk ... sungai merupakan habitat bagi organisme akuatik yang keberadaannya ...

1 downloads 550 Views 293KB Size
14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Sungai Sungai merupakan badan air mengalir (perairan lotic) yang membentuk aliran di daerah daratan dari hulu menuju ke arah hilir dan akhirnya bermuara ke laut. Air sungai sangat berfungsi untuk memenuhi kebutuhan kehidupan organisme daratan seperti; tumbuhan, hewan, dan manusia di sekitarnya serta seluruh biota air di dalamnya (Downes et al., 2002). Sungai mempunyai fungsi utama menampung curah hujan dan mengalirkannya sampai ke laut. Ekosistem sungai merupakan habitat bagi organisme akuatik yang keberadaannya sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Organisme akuatik tersebut diantaranya tumbuhan air, plankton, perifiton, bentos, ikan, serangga air, dan lain-lain. Sungai juga merupakan sumber air bagi masyarakat yang dimanfaatkan untuk berbagai keperluan dan kegiatan, seperti kebutuhan rumah tangga, pertanian, industri, sumber mineral, dan pemanfaatan lainnya (Suwarno, 1991). Secara umum, alur sungai dapat dibagi menjadi tiga bagian, bagian hulu, bagian tengah dan bagian hilir. Bagian hulu merupakan daerah sumber erosi karena pada umumnya alur sungai melalui daerah pegunungan atau perbukitan yang mempunyai cukup ketinggian dari permukaan laut. Substrat permukaan pada bagian hulu pada umumnya berupa bebatuan dan pasir. (Suwarno, 1991). Hulu sungai merupakan zona antara ekosistem daratan dengan ekosistem perairan dan sering kali merupakan daerah yang kaya akan biodiversitas (Louhi, dkk., 2010). Alur sungai di bagian hulu mempunyai kecepatan aliran yang lebih besar dari

15

bagian hilir, sehingga pada saat banjir material hasil erosi yang diangkut tidak saja partikel sedimen halus tetapi juga apsir, kerikil, bahkan batu (Suwarno, 1991). Bagian tengah merupakan daerah peralihan antara bagian hulu dan hilir. Kemiringan dasar sungai lebih landai sehingga kecepatan aliran relatif lebih kecil pada bagian hulu. Permukaan dasar bagian tengah umunya berupa pasir atau lumpur (Suwarno, 1991). Bagian hilir merupakan daerah aliran sungai yang akan bermuara ke laut atau sungai lainnya. Bagian tersebut umumnya melalui daerah bagian dengan substrat permukaan berupa endapan pasir halus sampai kasar, lumpur, endapan organik dan jenis endapan lainnya yang sangat labil. Alur sungai bagian hilir mempunyai bentuk yang berkelok-kelok. Bentuk alur tersebut dinamakan meander (Suwarno, 1991). Ekosistem sungai (lotic) dibagi menjadi beberapa zona dimulai dengan zona krenal (mata) air yang umumnya terdapat di daerah hulu. Zona krenal dibagi menjadi rheokrenal, yaitu mata air yang berbentuk air terjun biasanya terdapat pada tebing-tebing yang curam, limnokrenal, yaitu mata air yang membentuk genangan air yang selanjutnya membentuk aliran sungai yang kecil. Beberapa mata air akan membentuk aliran sungai di daerah pegunungan yang disebut zona rithral, ditandai dengan relief aliran sungai yang terjal. Zona ritral dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu epirithral (bagian yang paling hulu), metarithral (bagian tengah) dan hyporithral (bagian yang paling akhir). Setelah melewati zona hyporithral, aliran sungai akan memasuki zona potamal, yaitu aliran sungai pada daerah-daerah yang relatif lebih landai dibandingkan dengan zona rithral. Zona potamal dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu epipotamal , metapotamal dan hypopotamal (Barus, 2004).

16

Struktur fisik sungai menyediakan relung biologi yang melimpah terhadap organisme-organisme akuatik. Daerah di bawah batu pada dasar perairan terdapat tempat yang gelap untuk bersembunyi bagi organisme akuatik berukuran kecil, sedangkan pada permukaan atas batu yang terpapar cahaya matahari merupakan tempat bagi alga yang menempel (Goldman & Horne, 1983). Secara ekologis organisme di perairan sungai dapat dibedakan menjadi dua zone atau subhabitat, yaitu : a. Subhabitat riam : merupakan bagian sungai yang airnya dangkal tetapi arusnya cukup kuat untuk mencegah terjadinya pengendapan sedimen dasar, sehingga dasar sungai bersifat keras. Pada daerah ini hidup organisme bentik atau perifiton khususnya yang dapat melekat atau berpegang erat pada substrat padat dan jenis ikan yang dapat berenang melawan arus. b. Subhabitat arus lambat : merupakan bagian sungai yang lebih dalam dan arusnya lebih lemah atau lambat dibandingkan subhabitat riam. Pada daerah ini partikel-partikel cenderung mengendap sebagai sedimen di dasar sungai. Pada daerah ini hidup organisme bentos, nekton dan kadang-kadang plankton (Suradi, 1993). Biota pada ekosistem sungai terbagi atas biota non akuatik dan biota akuatik. Biota non akuatik adalah biota yang hidup diluar perairan sungai misalnya adalah tanaman yang berada di DAS (Daerah Aliran Sungai), serangga yang hidup diarea sekitar sungai seperti semut, capung, kupu-kupu, dan lain-lain. Biota akuatik merupakan biota yang sebagian atau seluruh hidupnya berada di perairan. Berdasarkan cara hidupnya biota akuatik dapat dikelompokkan menjadi neuston, pleuston, nekton, plankton, perifiton, bentos, dan demersal. neuston

17

merupakan biota akuatik yang hidup dilapisan tipis permukaan air. Seperti halnya neuston, pleuston juga hidup dipermukaan air tetapi sebagian tubuhnya berada dibawah permukaan air. Nekton umunya terdiri atas biota akuatik yang hidup dan bergerak bebas didalam kolom air. Plankton merupakan kelompok biota akuatik baim hewan atau tumbuhan yang pergerakannya selalu dipengaruhi arus air dan umunya berukuran mikroskopis. Perifiton adalah kelompok biota akuatik yang hidup menempel pada permukaan tumbuhan, tongkat, batu, atau substrat lain yang berada didalam air. Biota bentik atau bentos merupakan kelompok hewan atau tumbuhan yang hidup didasar perairan. Sedangkan kelompok biota akuatik yang sebagian besar hidupnya dihabiskan didasar perairan disebut demersal (Wardhana, 2006). 2.2 Keanekaragaman 2.2.1 Deskripsi Keanekaragaman Istilah keanekaragaman hayati atau “biodiversitas” menunjukkan sejumlah variasi yang ada pada makhluk hidup baik variasi gen, jenis, dan ekosistem yang berada

pada

suatu

lingkungan

tertentu.

Keanekaragaman hayati

dapat

dikelompokkan atas keanekaragaman tingkat gen, keanekaragaman tingkat spesies/jenis, dan keanekaragaman tingkat ekosistem baik ditinjau dari segi kenakeragaman flora dan keanekaragaman fauannya (Novita, L., dkk., 2009). 1. Keanekaragaman Tingkat Gen Gen adalah pembawa sifat makhluk hidup. Variasi genetif merupakan komposisi genetif antara individu dengan jenis yang sama. Keaneragaman gen dalam satu jenis memunculkan varietas. Keanekaragaman genetif memungkinkan individu atau jenis makhluk hidup yang keanekaragaman tersebut dapat

18

beradaptasi terhadap kondisi yang berebeda akibat perubaha lingkungan (Novita, L., dkk., 2009). 2. Keanekaragaman Tingkat Spesies (Jenis) Keanekaragaman spesies (jenis) adalah berbagai jenis hewan dan tumbuhan yang ada dan mudah dikenali karena perbedaan penampakannya. Keanekaragaman jenis menunjukkan adanya jumlah dan variasi jenis organisme yang ada. Keanekaragaman spesies mencakup jenis-jenis hewan, tumbuhan, serta mikrorganisme yang ada di suatu wilayah (Novita, L., dkk., 2009). Keanekaragaman jenis atau spesies dapat digunakan untuk menyatakan struktur komunitas. Ukuran keanekaragaman dan penyebabnya nmencakup sebagian

besar

keanekaragaman

pemikiran dapat

tentang

menghasilkan

ekologi.

Hal

kestabilan

itu dan

terutama dengan

karena demikian

berhubungan dengan pemikiran sentral ekologi, yaitu tentang keseimbangan suatu sistem (Price, 1997) dalam Suheriyanto (2008). Keanekaragaman β atau keanekaragaman antar komunitas dapat dihitung dengan menggunakan beberapa teknik, yaitu kesamaan komunitas dan indeks keanekaragaman (Smith, 1992 dalam Suheriyanto, 2008). Sedangkan Price (1997) menyatakan

bahwa

keanekaragaman lebih mudah

didefinisikan

dengan

menggunakan suatu indeks keanekaragaman yang sudah umum digunakan yaitu indeks keanekatagaman Shannon-Weaver (H’).

Dimana pi adalah proporsi spesies ke i didalam sampel total.

19

Nilai indeks keanekaragaman spesies tergantun g dari kekayaan spesies dan kemerataan spesies. Nilai minimum H’. Nilai minimum H’ adalah 0, yaitu nilai indeks keanekaragaman untuk komunitas dengan satu spesies tunggal dan akan meningkat sesuai peningkatan kekayaan spesies dan kemerataan spesies (Molles, 2005). Kemerataan spesies adalah komponen utama kedua dari keanekaragaman spesies. Kemerataan spesies menurut Odum (1998) adalah pembagian individu yang merata diantara spesies. Jadi, apabila satu spesies ditambahkan, maka keanekaragamannya akan meningkat dan apabila spesiesspesies mempunyai distribusi kepadatan yang sama maka keanekaragaman juga akan meningkat (Suheriyanto, 2008). Menurut Kerbs (1985), indeks kemerataan atau Evennes (E) dapat dihitung melalui rumus sebagai berikut:

Keterangan rumus: E

= Indeks keanekaragaman

H’

= Indeks kemerataan

Hmaks = Keanekaragaman spesies maksimum = ln S (S adalah jumlah spesies) Nilai indeks dominansi dapat dihitung dengan menggunakan rumus Simpson (1949) sebagai berikut. atau Keterangan rumus: C = Indeks dominansi ni = Jumlah individu dari seluruh jenis

20

N = Jumlah total individu dari seluruh jenis Pi = Proporsi spesies ke I di dalam sampel total Persentase atau besarnya pengaruh yang diberikan suatu jenis hewan terhadap komunitasnya dapat ditentukan dengan menghitung indeks nilai penting. Menurut Sugianto (1994) dalam (Suheriyanto, 2013), indeks nilai penting duirumuskan sebagai berikut : a. Frekuensi (F) Frekuensi dirumuskan sebagai berikut :

Keterangan rumus : Fi = Frekuensi relative untuk spesies ke i Ji = Jumlah plot yang terdapat spesies ke i K = Jumlah total plot yang dibuat b. Frekuensi Relatif Frekuensi relatif dirumuskan sebagai berikut :

Keterangan rumus : Fr = Frekuensi relatif spesies ke i Fi = Frekuensi untuk spesies ke i ƩF = Jumlah total frekuensi untuk semua spesies

21

c. Kelimpahan (K) Kelimpahan dirumuskan sebagai berikut :

Keterangan rumus : K = Kelimpahan spesies untuk spesies ke i ni = Jumlah total individu spesies ke i A = Luas total daerah yang disampling d. Kelimpahan relatif (Kr) Kelimpahan relatif dirumuskan sebagai berikut :

Keterangan rumus : Kr = Kelimpahan relatif spesies ke i Ki = Kelimpahan untuk spesies ke i ƩK = Jumlah kelimpahan semua spesies e. Indeks Nilai Penting (INP) Indeks Nilai Penting (INP) dirumuskan sebagai berikut : INP = Fr + Kr Keterangan rumus : INP = Indeks nilai penting Fr

= Frekuensi relatif

Kr = Kelimpahan relatif

22

3. Keanekaragaman Tingkat Ekosistem Keanekaragaman organisme

ekosistem

menggambarkan

jenis-jenis

populasi

yang ada didalam suatu wilayah tertentu. Interaksi antara

keanekaragaman hayati dengan lingkungannya (interaksi antara komponen abiotik dan biotik) membentuk keanekaragaman ekosistem (Novita, L., dkk., 2009). 2.2.3 Keanekaragaman Fauna Ekosistem Sungai Menurut Odum (1994), diantara binatang konsumen 4 kelompok yang menyusun sebagian besar biomasa dari kebanyakan ekosistem air tawar adalah moluska, serangga air, udang-udangan, dan ikan yang disebut dengan biota akuatik. Berdasarkan cara hidupnya, biota akuatik dapat dikelompokkan menjadi neuston, pleuston, nekton, plankton, perifiton, bentos, demersal. Neuston adalah organisme

yang

mengapung

atau

berenang

di

permukaan

air

atau

bertempat pada permukaan air, misalnya serangga air. Nekton adalah organisme air yang dapat berenang sendiri didalam air sehingga tidak bergantung pada arus air atau gerakan air yang disebabkan oleh angin. Beberapa organisme yang termasuk kedalam nekton adalah ikan, udang, dan beberapa serangga air. Plankton terdiri alas fitoplankton dan zooplankton yang biasanya melayang-layang (bergerak pasif) mengikuti gerak aliran air. Perifiton merupakan tumbuhan atau hewan yang melekat/bergantung pada tumbuhan atau benda lain, misalnya keong. Bentos adalah semua organisme air yang hidupnya terdapat pada substrat dasar suatu perairan, baik yang bersifat sesil (melekat) maupun vagil (bergerak bebas). Demersal adalah kelompok biota akuatik yang sebagian besar hidupnya dihabiskan di dasar perairan (Wardhana, 2006).

23

Berdasarkan ukuran tubuhnya, fauna sungai dibagi menjadi dua yaitu makrofauna dan mikrofauna. Mikrofauna adalah hewan dengan ukuran kurang dari 10mm dan tidak dapat dapat terlihat langsung oleh mata sehingga harus menggunakan alat pembesar (lup atau mikroskop). Makrofauna adalah fauna atau hewan dengan ukuran lebih dari 10mm dan dapat terlihat langsung oleh mata tanpa harus menggunakan alat pembesar (lup atau mikroskop). Beberapa organisme yang termasuk kedalam makrofauna sungai adalah kelas Pisces untuk hewan vertebrata sedangkan untuk hewan invertebrata terdapat Mollusca, Crustaceae, dan Annelida. Pada penelitian ini, pembahasan akan difokuskan pada keanekaragaman makrofauna tingkat spesies (jenis) yang ada pada ekosistem sungai Brantas area Kampus III Universitas Muhammadiyah Malang. Berikut adalah uraian dari masing-masing makrofauna tersebut. a) Makrovertebrata Perairan Sungai Hewan yang tergolong kedalam makrovertebrata perairan sungai adalah kelas Pisces atau ikan. Ikan termasuk vertebrata akuatis dan bernafas dengan insang (beberapa jenis bernafas melalui alat tambahan berupa modifikasi gelembung renang/gelembung udara). Mempunyai otak yang terbagi menjadi region- region. Otak dibungkus dalam tulang kranium (tulang kepala) yang berupa kartilago (tulang rawan) atau tulang sejati. Memiliki sepasang mata. Kecuali ikanikan siklostomata, mulut ikan disokong oleh rahang. Telinga hanya terdiri dari telinga dalam, berupa saluran - saluran sirkular, sebagai organ keseimbangan (equilibrium). Sirkulasi mengangkut aliran seluruh darah dan jantung melalui insang lalu keseluruh bagian lain. Tipe ginjal adalah pronefros dan mesonefros (Brotowidjojo, 1993).

24

Ikan termasuk hewan yang bersifat poikiloterm, serta selalu membutuhkan air untuk hidupnya, karena ikan merupakan hewan air yang mengalami kehidupan sejak lahir atau menetas dari telurnya sampai akhir hidupnya di air (Achjar, 1986). Selanjutnya dijelaskan bahwa air merupakan habitat ikan yang erat kaitannya dengan pembentukan struktur tubuh ikan, proses pernapasan, cara pergerakan, cara memperoleh makanan, reproduksi dan segala hal yang diperlukan bagi ikan. Menurut Rifai, dkk (1983) penyebaran ikan diperairan sangat dipengaruhi oleh faktor - faktor lingkungan yang dapat digolongkan menjadi empat macam, yaitu: Universitas Sumatera Utara faktor biotik, abiotik, faktor teknologi dan kegiatan manusia. Faktor biotik yaitu faktor alam yang hidup atau jasad hidup, baik tumbuh - tumbuhan maupun hewan. Dan faktor abiotik mencakup faktor fisik dan kimia, yaitu cahaya, suhu, arus, garam - garam organik, angin, pH, oksigen terlarut, salinitas dan BOD. b) Makroinvertebrata Perairan Sungai Makroinvertebrata

merupakan

invertebrata

dasar

perairan

dengan

pergerakan relatif lambat dan keberadaannya bergantung pada keadaan substrat dasar, kecepatan arus, dan kualitas perairan (Yunitawati, 2012). Makroinvertebrata atau lebih dikenal sebagai siput air ini merupakan salah satu makroinvertebrata yang terdapat di berbagai perairan. Kelas ini memiliki variasi yang sangat beeragam pada perairan tawar dengan cangkangnya yang beragam dari bentuk yang spiral sampai bentuk yang piringan (Susanto, 2012). Makroinvertebrata biasanya mengkonsumsi algae serta debris tumbuhan maupun hewan pada permukaan batu atau tumbuhan tempat tinggalnya (Putri, 2007). Kondisi habitat yang disukai oleh makroinvertebrata adalah berada pada Ph

25

dengan kisaran antara 6,7-9,0, serta kadar oksigen terlarut 0,5-14 ppm (Minggawati, 2013). Makroinvertebrata sungai biasanya merupakan bentos (Yuniar, 2012). Berdasarkan tempat hidupnya, bentos dapat dibedakan menjadi epifauna yaitu bentos yang hidupnya di atas substrat dasar perairan dan infauna,yaitu bentos yang hidupnya tertanam di dalam substrat dasar perairan. Berdasarkan siklus hidupnya bentos dapat dibagi menjadi holobentos, yaitu kelompok bentos yang seluruh hidupnya bersifat bentos dan merobentos, yaitu kelompok bentos yang hanya bersifat bentos pada fase-fase tertentu dari siklus hidupnya (Barus, 2004). Menurut Lalli dan Pearsons (1993), hewan bentos dapat dikelompokkan berdasarkan ukuran tubuh yang bisa melewati lubang saring yang dipakai untuk memisahkan hewan dari sedimennya. Berdasarkan kategori tersebut bentos dibagi atas : a. Makrozoobentos, kelompok hewan yang lebih besar dari 1,0 mm. Kelompok ini adalah hewan bentos yang terbesar, jenis hewan yang termasuk kelompok ini adalah molusca, annelida, crustaceae, beberapa insekta air dan larva dari diptera, odonata dan lain sebagainya. b. Mesobentos, kelompok bentos yang berukuran antara 0,1 mm -1,0 mm. Kelompok ini adalah hewan kecil yang dapat ditemukan di pasir atau lumpur. Hewan yang termasuk kelompok ini adalah molusca kecil, cacing kecil, dan crustaceae kecil. c. Mikrobentos, kelompok bentos yang berukuran lebih kecil dari 0,1 mm. Kelompok ini merupakan hewan yang terkecil. Hewan yang termasuk ke dalamnya adalah protozooa khususnya cilliata.

26

2.3 Materi Biologi SMA/MA Sesuai dengan kurikulum yang berlaku saat ini yaitu kurikulum 2013 telah diuraikan terkait ruang lingkup mata pelajaran Biologi SMA/MA. Biologi sebagai bagian dari struktur keilmuan IPA tidak terlepas dari hukum-hukum dan karakteristik dalam IPA. Biologi juga terdiri dari produk dan proses, serta menumbuhkan sikap dan nilai pada diri peserta didik. Namun demikian, sebagai bidang kajian tersendiri, Biologi memiliki karakteristik khusus yang berbeda dari kajian IPA lainnya seperti fisika dan kimia. Biologi mempelajari tentang gejalagejala alam pada makhluk hidup dan perikehidupan, serta kaitan biologi dengan lingkungan alam dan sosial. Maka Biologi mempelajari tentang Bioproses yang berlangsung pada objek biologi berupa kingdom makhluk hidup dan bioproses pada tingkat organisasi kehidupan dari mulai seluler hingga biosfer. Biologi memiliki tema-tema kajian yang dapat dikaji dari bioproses yang terjadi pada objek biologi dan struktur organisasi kehidupan. Biologi sebagai keilmuan memiliki ruang lingkup berupa: Objek Biologi, berupa kingdom atau kerajaan makhluk hidup, Tingkat Organisasi Kehidupan, mulai dari molekul sampai dengan biosfer, dan Tema persoalan dalam biologi, terdiri dari 9 (Sembilan) tema. 1. Ruang Lingkup Biologi yang termasuk objek Biologi, yaitu: Menurut Withaker (1969), objek kajian biologi yang berupa seluruh ragam kehidupan dikelompokkan menjadi 5 dunia kehidupan (kingdom), dan sembilan tema. Sedangkan menurut Carl Woose (1977), kingdom monera dibedakan menjadi dua subkingdom, yakni Archaebacteria dan Eubacteria. a. Monera b. Protista

27

c. Mycota (Fungi) d. Plantae e. Animalia 2. Ruang Lingkup Biologi yang termasuk organisasi kehidupan, yaitu: Semua objek tersebut dikaji pada berbagai tingkat organisasi kehidupan yang meliputi tujuh tingkat, yaitu mulai dari tingkat molekul, sel, jaringan dan organ, individu (organisme), populasi, komunitas, serta biosfer. Urutan tingkatan biologi dan organisasinya dinamakan hierarki kehidupan. a. Molekul b. Sel c. Jaringan dan organ d. Organisme e. Populasi f. Komunitas g. Biosfer 3. Ruang Lingkup Biologi yang termasuk tema-tema Biologi, yaitu: a. Biologi sebagai penemuan (inquiry) b. Sejarah perkembangan biologi, c. Keanekaragaman dan keseragaman, d. Hubungan struktur dan fungsi, e. Genetika dan keberlangsungan hidup, f. Organisme dan lingkungan, g. Perilaku organisme, h. Evolusi,

28

i. Regulasi dan homeostasis. Ruang lingkup untuk tiap kelas adalah sebagai berikut: Kelas X Ruang lingkup biologi (obyek, permasalahan,cabang, produk dan profesi yang berkaitan dengan biologi), keanekaragaman hayati, klasifikasi mahluk hidup dan ekosistem Kelas XI Struktur dan fungsi sel sebagai unit struktural dan fungsional mahluk hidup, struktur dan fungsi jaringan dan organ tumbuhan dan hewan serta struktur, fungsi dan kelainan pada sistem organ terutama sistem organ pada manusia Kelas XII Pertumbuhan dan perkembangan mahluk hidup, proses metabolisme sel, Genetika, evolusi dan bioteknologi (PERMENDIKBUD No. 59 Tahun 2014). Berdasarkan penjelasan diatas materi yang akan dijadikan bahan sebagai pengembangan bahan ajar oleh peneliti terletak pada kelas X yaitu tentang Kenakeragaman Hayati yang berfokus pada keanekaragaman fauna ekosistem sungai. Sebagai langkah untuk mempermudah penjelasan materi bagi siswa SMA/MA keanekaragaman fauna yang diuraikan pada pengembangan bahan ajar difokuskan pada keanekaragaman tingkat jenis yaitu keanekaragaman makrofauna yang paling dominan (makrozoobentos, crustaceae, mollusca, dan pisces). Adapun Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar yang berkaitan dengan materi Keanekaragaman Fauna seperti pada tabel 2.1

29

Tabel 2.1 Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar pada Kurikulum 2013 materi Keanekaragaman Hayati Kompetensi Inti Kompetensi Dasar 4. Mengolah, menalar, dan menyaji 3.2 Menganalisis data hasil obervasi dalam ranah konkret dan ranah tentang abstrak

terkait

pengembangan dipelajarinya

tingkat

dengan keanekaragaman hayati (gen, jenis dan

dari di

berbagai

sekolah

yang ekosistem) di Indonesia. secara 4.2 Menyajikan hasil identifikasi usulan

mandiri, dan mampu menggunakan upaya

pelestarian

metoda sesuai kaidah keilmuan.

Indonesia

hayati analisis

data

keanekaragaman berdasarkan

ancaman

hasil

kelestarian

berbagai keanekaragaman hewan dan tumbuhan

khas

dikomunikasikan

Indonesia dalam

yang

berbagai

bentuk media informasi.

2.4 Pengembangan Bahan Ajar 2.4.1 Definisi Bahan Ajar Salah satu unsur penting dalam proses pembelajaran adalah bahan ajar. Kualitas pembelajaran juga ditentukan oleh kualitas bahan ajar yang digunakan oleh guru dan siswa dalam proses belajar mengajar. Menurut Dimyati dan Mudjiono (2009), bahan ajar dapat berwujud benda dan isi pendidikan. Isi pendidikan tersebut dapat berupa pengetahuan, perilaku, nilai, sikap, dan metode pemerolehan. Bahan ajar adalah segala bentuk bahan yang dapat digunakan untuk membantu guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Menurut Majid (2009) bahan ajar adalah segala bentuk bahan yang digunakan untuk membantu guru/instruktur dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar baik berupa bahan tertulis maupun bahan tidak tertulis, dengan menggunakan bahan ajar memungkinkan siswa untuk dapat mempelajari materi atau KD secara runtut dan

30

sistematis sehingga secara akumulatif mampu menguasai semua pembelajaran secara utuh dan terpadu. Bahan ajar memiliki dua kedudukan yaitu sebagai bahan ajar pokok ataupun suplementer. Bahan ajar pokok adalah bahan ajar yang memenuhi tuntutan kurikulum. Sedangkan bahan ajar suplementer adalah bahan ajar yang dimaksudkan untuk memperkaya, menambah, ataupun memperdalam isi kurikulum (Depdiknas, 2008). Menurut Sudrajat (2008), adapun prinsip-prinsip untuk menentukan cakupan materi bahan ajar meliputi, 1) keluasan materi, adalah menggambarkan berapa banyak materi-materi yang dimasukkan kedalam suatu bahan ajar, 2) kedalaman materi adalah seberapa detail konsep-konsep yang harus dipelajari/dikuasai oleh siswa. Sebuah bahan ajar paling tidak mencangkup anatara lain: (1) petunjuk belajar (petunjuk siswa atau guru); (2) kompetensi yang akan dicapai; (3) informasi pendukung; (4) latihan-latihan; (5) petunjuk kerja, dapat berupa lembar kerja (LK); dan (6) evaluasi (Majid, 2005). Berdasarkan uraian tersebut, terdapat panduan khusus dalam menyusun bahan ajar yang baik sehingga tujuan dibuatnya bahan ajar dapat tercapai. Bahan ajar yang baik seharusnya minimal mencangkup keenam aspek yang telah diuraikan. 2.4.2 Manfaat Bahan Ajar Bahan ajar merupakan komponen penting dalam keseluruhan proses pembelajaran mulai dari perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan sebagai pedoman guru dalam sistem pembelajaran. Menurut Majid (2005), manfaat bahan ajar dalam proses pembelajaran baik bagi guru ataupun siswa adalah: (1) Membantu siswa dalam mempelajari sesuatu;

31

(2) Memudahkan guru dalam melaksanakan pembelajaran; (3) Membuat kegiatan pembelajaran jadi lebih menarik; dan (4) Menyediakan berbagai jenis pilihan bahan ajar. 2.4.3 Jenis Bahan Ajar Menurut Mudlofir (2011), bahan ajar secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi beberapa kategori, yaitu: 1. Bahan ajar pandang (visual) Terdiri dari bahan cetak (printed) seperti antara lain handout, buku, modul, lembar kerja siswa, brosur, leaflet dan non cetak seperti model/maket. 2. Bahan ajar dengar (audio) Seperti kaset, radio, piringan hitam, dan compact disk audio. 3. Bahan ajar pandang dengar (audio visual) Seperti compact disk dan film 4. Bahan ajar multimedia interaktif Seperti CAI (Computer Assisted) dan bahan ajar berbasis web. 2.4.4 Pengembangan Bahan Ajar Modul 2.4.4.1. Modul Menurut Djauhar, dkk (2008) modul merupakan suatu unit program pembelajaran yang disusun dalam bentuk tertentu untuk keperluan belajar, dalam pengertian ini dapat diketahui bahwa modul dimaksud sebagai modul pembelajaran (instructional

module). Menurut

Prastowo (2012),

Modul

merupakan salah satu bahan ajar cetak yang disusun dengan struktur tertentu yang memungkinkan siswa dapat belajar mandiri. Melalui pembelajaran dengan modul ini, diharapkan siswa mampu belajar tanpa adanya bimbingan dari guru atau tenaga pendidik lainnya. Sedangkan menurut Majid (2008), modul merupakan

32

sebuah buku yang ditulis dengan tujuan agar peserta didik dapat belajar secara mandiri tanpa atau dengan bimbingan guru. Menurut beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan, bahwa modul adalah suatu paket pembelajaran mandiri yang terdiri dari serangkaian kegiatan belajar yang disusun secara sistematis, operasional, terarah dan digunakan oleh siswa yang disertai petunjuk/pedoman penggunaannya baik bagi siswa maupun bagi guru untuk mempermudah siswa mencapai seperangkat tujuan pembelajaran dan belajar secara mandiri. Menurut Prastowo (2012), modul termasuk dalam kelompok sumber belajar yang menggunakan bahasa verbal yang tertulis sebagai media utama komunikasi. Struktur modul meliputi tujuh komponen, yaitu: (1) judul, (2) petunjuk belajar, (3) kompetensi dasar atau materi pokok, (4) informasi pendukung, (5) latihan, (6) tugas atau langkah kerja, dan (7) penilaian. Komponen-komponen tersebut membuat modul menjadi salah satu bahan ajar yang dapat menuntun siswa untuk belajar mandiri. Sebuah modul akan bermakna kalau peserta didik dapat dengan

mudah menggunakannya.

pembelajaran

dengan modul memungkinkan seorang peserta didik yang memiliki kecepatan tingggi dalam belajar akan lebih cepat menyelesaikan satu atau lebih kompetensi dasar dibandingkan dengan peserta didik lainnya. Oleh karena itu, modul harus menggambarkan kompetensi dasar yang akan dicapai oleh peserta didik, disajikan dengan menggunakan bahasa yang baik, menarik, dilengkapi dengan ilustrasi.

33

2.4.4.2. Model Pengembangan Modul Menurut Sugiyono (2010), penelitian dan pengembangan merupakan metode penelitian yang digunakan untuk menghasilkan produk tertentu dan menguji keefektifan produk yang akan dikembangkan. Menurut Kurniawan (2013), dalam mengembangkan bahan belajar pertama kali yang perlu dilakukan adalah dengan menganalisis kebutuhan bahan ajar dilapangan dan karakteristik sasaran, setelah menganalisis karakteristik dan kebutuhan siswa, selanjutnya mendesain bahan belajar sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik siswa. Menurut Amin (2010), Amin (2015), dan Amin (2016), pengembangan bahan ajar berupa modul berbasis penelitian kekinian dan berbasis penelitian sangat penting karena akan memberikan penguatan pengembangan pendidikan yang dilandasi oleh perkembangan keimuan biologi kekinian. Hal ini diharapkan mampu mempermudah siswa dalam mengembangkan kemampuan kognitif, psikomotorik, dan afektifnya secara maksimal. Penelitian pengembangan modul telah banyak dilakukan oleh penelitipeneliti sebelumnya dengan model, karakteristik serta materi pengembangan yang berbeda. Penelitian yang pernah dilakukan oleh Budiningsih (2011) menunjukkan bahwa modul sistem pernafasan berbasis LC dengan penekanan pada tahap engagement mendapat tanggapan yang sangat baik dari siswa dan guru dan sesuai dengan standar kelayakan bahan ajar menurut kriteria BSNP. Puspitaningrum (2013) telah melakukan pengembangan modul biologi materi keanekaragaman mamalia berbasis potensi lokal untuk siswa SMA/MA kelas X semester genap mendapat respon yang baik dari siswa dan memiliki kualitas yang sangat baik sehingga modul yang dikembangkan layak digunakan sebagai acuan guru dalam

34

pembelajaran biologi sekaligus dapat dipakai siswa sebagai salah satu bahan ajar biologi. Penelitian dilakukan menggunakan prosedur penelitian pengembangan ADDIE. yang terdiri atas 5 tahap, yaitu Analyze, Design, Develope, Implementation, dan Evaluation (Branch, 2009). Gambar 3.1 menunjukkan konsep model pengembangan ADDIE (Clark, 2015)

Gambar 2.1 Tahap-tahap model pengembangan ADDIE. Sumber: Clark, 2015 a) Analyze Tahap analisis merupakan tahap awal dari penelitian pengembangan yang bertujuan untuk mengidentifikasi kemungkinan-kemungkinan penyebab dari ketidakseimbangan kondisi nyata dengan kondisi ideal (performance gap) atau masalah yang ada sehingga memerlukan suatu pengembangan produk. b) Design Tahap ini merupakan tahap kedua dari penelitian pengembangan yang dilakukan. Tahap ini bertujuan untuk memverifikasi tujuan yang diharapkan

35

dengan kesesuaian spesifikasi produk yang dikembangkan. Pada akhir tahap ini, akan diperoleh spesifikasi fungsi dari produk yang dikembangkan. Berikut adalah langkah-langkah yang dilakukan pada tahap ini. 1) Mendaftar hal-hal yang dibutuhkan. 2) Menyusun tujuan pengembangan produk. 3) Menyusun strategi pengujian. c) Development Tahap ini merupakan tahap pengembangan, yang memiliki tujuan untuk mengembangkan bahan ajar serta memvalidasi bahan ajar yang dikembangkan. Setelah melewati tahap ini, akan dihasilkan produk dibutuhkan untuk tahap Implentation. Langkah-langkah yang dilakukan pada tahap ini adalah sebagai berikut. 1) Menyusun isi/materi. 2) Memilih atau mengembangkan media pendukung. 3) Melakukan revisi formatif. Revisi dilakukan berdasarkan hasil validasi dan uji coba awal. d) Implementation Tahap implement atau penerapan bertujuan untuk menerapkan produk yang telah dikembangkan agar dapat menciptakan lingkungan belajar yang menarik untuk siswa. e) Evaluate Tahap evaluate atau evaluasi bertujuan untuk menilai kualitas produk. Berikut adalah uraian dari langkah-langkah yang dilakukan pada tahap ini. 1) Menentukan kriteria evaluasi.

36

2) Memilih alat evaluasi. 3) Melakukan evaluasi (Branch, 2009).

37

2.5 Kerangka Konseptual Ekosistem Sungai

Biotik

Fauna

Abiotik

Suhu, pH, COD, BOD, DO

Flora

Keanekaragaman Fauna Ekosistem Sungai 4. Pembelajaran biologi menuntut interaksi 1. antara subjek belajar dengan objek yang dipelajari. 5. Guru seharusnya dapat mengembangkan 2. bahan ajar yang dapat meningkatkan kualitas proses pembelajaran. 6. Modul merupakan bahan ajar yang dapat 3. menuntun siswa untuk belajar secara mandiri.

4. Pembelajaran biologi dilakukan didalam 1. kelas dengan metode ceramah, diskusipresentasi, dan praktikum sederhana. 5. Guru menggunakan buku paket, modul, 2. handout yang hanya berisi materi dalam proses pembelajaran 6. Modul yang ada hanya berisi ringkasan 3. materi.

Proses pembelajaran biologi masih cenderung monoton karena bahan ajar yang tersedia masih kurang dapat menuntun siswa untuk belajar secara mandiri Dibutuhkan bahan ajar yang dapat memfasilitasi siswa melakukan pembelajaran langsung dilingkungan dan menuntun siswa untuk belajar secara mandiri sehingga dapat meningkatkan kualitas proses pembelajaran.

Pengembangan Modul Biologi tentang Keanekaragaman Fauna pada Ekosistem Sungai berbasis Riset Identifikasi untuk siswa SMA/MA Kelas X. Uji UjiValidasi Validasidan danKeterbacaan Kefektivan

Tidak Layak

Layak

Modul Biologi tentang Keanekaragaman Fauna pada Ekosistem Sungai berbasis Riset Identifikasi untuk siswa SMA/MA Kelas X.