BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kesejahteraan Masyarakat Dalam

pendapatan per kapita sebagai indikator kesejahteraan masyarakat karena data tersebut umumnya mudah diperoleh di kantor-kantor statistik. Sebaliknya, ...

36 downloads 404 Views 499KB Size
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kesejahteraan Masyarakat Dalam paradigma pembangunan ekonomi, perubahan kesejahteraan masyarakat merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Hal ini dikarenakan pembangunan ekonomi dikatakan berhasil jika tingkat kesejahteraan masyarakat semakin

baik.

Keberhasilan

pembangunan

ekonomi

tanpa

menyertakan

peningkatan kesejahteraan masyarakat akan mengakibatkan kesenjangan dan ketimpangan dalam kehidupan masyarakat. Kesejahteraan masyarakat adalah suatu kondisi yang memperlihatkan tentang keadaan kehidupan masyarakat yang dapat dilihat dari standar kehidupan masyarakat (Badrudin, 2012). Menurut Todaro dan Stephen C. Smith (2006), kesejahteraan masyarakat menunjukkan ukuran hasil pembangunan masyarakat dalam mencapai kehidupan yang lebih baik yang meliputi: pertama, peningkatan kemampuan dan pemerataan distribusi kebutuhan dasar seperti makanan, perumahan, kesehatan, dan perlindungan; kedua, peningkatan tingkat kehidupan, tingkat pendapatan, pendidikan yang lebih baik, dan peningkatan atensi terhadap budaya dan nilainilai kemanusiaan; dan ketiga, memperluas skala ekonomi dan ketersediaan pilihan sosial dari individu dan bangsa. Kesejahteraan masyarakat adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan dasar yang tercermin dari rumah yang layak, tercukupinya kebutuhan sandang dan pangan, biaya pendidikan dan kesehatan yang murah dan berkualitas atau kondisi dimana setiap individu mampu 21

memaksimalkan utilitasnya pada tingkat batas anggaran tertentu dan kondisi dimana tercukupinya kebutuhan jasmani dan rohani. Secara umum teori kesejahteraan diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu classical utilitarium, neoclassical welfare theory, dan new contraction approach (Badrudin, 2012). Classical utilitarian menekankan bahwa kepuasan atau kesenangan seseorang dapat diukur dan bertambah. Tingkat kepuasan setiap individu dapat dibandingkan secara kuantitatif. Neoclassical welfare menekankan pada prinsip pareto optimality. Pareto optimum didefenisikan sebagai sebuah posisi dimana tidak memungkinkan suatu realokasi input atau output untuk membuat seseorang menjadi lebih baik tanpa menyebabkan sedikitnya satu orang atau lebih buruk. New contraction approach menekankan pada konsep dimana setiap individu memiliki kebebasan maksimum dalam hidupnya. Ketiga pandangan tersebut menekankan bahwa tingkat kesejahteraan seseorang sangat tergantung pada tingkat kepuasan kesenangan yang diraih dalam kehidupannya. Gregory dan Stuart (1992) mengatakan bahwa pertumbuhan pendapatan per kapita dari waktu ke waktu umumnya membawa perubahan terhadap kesejahteraan masyarakat dengan arah yang sama. Pertimbangan menggunakan pendapatan per kapita sebagai indikator kesejahteraan masyarakat karena data tersebut umumnya mudah diperoleh di kantor-kantor statistik. Sebaliknya, data indikator kesejahteraan atau kemakmuran mayarakat yang lebih kompleks, seperti presentase penduduk yang memiliki rumah, menikmati fasilitas air bersih, fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan, pemilikan alat hiburan seperti televisi dan radio, jarang tersedia (Sukirno, 2001). Meskipun demikian, pengukuran kesejahteraan

22

masyarakat yang hanya menggunakan pendapatan per kapita banyak ditentang oleh berbagai pihak. Hal ini terjadi karena kesejahteraan sifatnya normatif sehingga diperlukan pengukuran

yang lebih komprehensif

yang dapat

menggambarkan kemajuan kualitas hidup masyarakat. Todaro (2000) mengatakan bahwa angka kenaikan GNP per kapita mengandung kelemahan yang sangat fatal, yakni menyamarkan kenyataan fundamental yang sebenarnya, yaitu sama sekali belum membaiknya kondisi kesejahteraan kelompok penduduk yang relatif paling miskin. United Nations Research Institute for Social Development menyusun delapan belas indikator yang apabila digunakan sebagai indikator kesejahteraan masyarakat maka perbedaan tingkat pembangunan antara negara maju dan negara sedang berkembang tidak terlampau besar. Delapan belas indikator tersebut, antara lain: 1) tingkat harapan hidup; 2) konsumsi protein hewani per kapita; 3) persentase anak-anak yang belajar di sekolah dasar dan menengah; 4) persentase anak-anak yang belajar di sekolah kejuruan; 5) jumlah surat kabar; 6) jumlah telepon; 7) jumlah radio; 8) jumlah penduduk di kota-kota yang mempunyai 20.000 penduduk atau lebih; 9) persentase laki-laki dewasa di sektor pertanian; 10) persentase tenaga kerja yang bekerja di sektor listrik, gas, air, kesehatan, pengakutan, pergudangan, dan transportasi; 11) persentase tenaga kerja yang memperoleh gaji; 12) persentase PDB yang berasal dari industri pengolahan; 13) konsumsi energi per kapita; 14) konsumsi listrik per kapita; 15) konsumsi baja per kapita; 16) nilai per kapita perdagangan luar negeri; 17) produk pertanian rata-rata

23

dari pekerja laki-laki di sektor pertanian; dan 18) pendapatan per kapita Produk Nasional Bruto. World Bank pada tahun 2000 merumuskan indikator kesejahteraan masyarakat sebagai indikator pembangunan ekonomi, khususnya pembangunan manusia dan kemiskinan. Rumusan indikator pembangunan ekonomi, khususnya pembangunan manusia dan kemiskinan. Rumusan indikator pembangunan itu disebut sebagai Millenium Development Goals (MDGs). MDGs terdiri dari delapan indikator capaian pembangunan, yaitu penghapusan kemiskinan, pendidikan untuk semua, persamaan gender, perlawanan terhadap penyakit menular, penurunan angka kematian anak, peningkatan kesehatan ibu, pelestarian lingkungan hidup, dan kerja sama global. Keberhasilan pembangunan manusia diukur dalam beberapa dimensi utama tersebut. Menurut World Bank, tingkat pencapaian pembangunan manusia dapat diamati melalui dimensi pengurangan kemiskinan (decrease in proverty), peningkatan kemampuan baca tulis (increase in literacy), penurunan tingkat kematian bayi (decrease in infant mortality), peningkatan harapan hidup (life expectancy), dan penurunan dalam ketimpangan pendapatan (decrease income inequality). Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan suatu ukuran standar pembangunan manusia, yaitu Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI). Indeks ini dibentuk berdasarkan empat indikator, yaitu angka harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah, dan kemampuan daya beli. Indikator angka harapan hidup merepresentasikan dimensi umur panjang dan sehat. Selanjutnya, angka melek huruf dan rata-rata

24

lama sekolah mencerminkan output dari dimensi pengetahuan. Adapun indikator kemampuan daya beli digunakan untuk mengukur dimensi hidup layak. Badan Pusat Statistik menggunakan IPM untuk mengukur capaian pembangunan manusia dengan menggunakan tiga dimensi dasar, yaitu mencakup umur panjang dan sehat, pengetahuan serta kehidupan yang layak. Ketiga dimensi dasar tersebut menggambarkan empat komponen dasar kualitas hidup yakni angka harapan hidup yang mewakili bidang kesehatan; angka melek huruf dan rata-rata lama bersekolah untuk mengukur capaian pembangunan di bidang pendidikan; dan kemampuan daya beli masyarakat terhadap sejumlah kebutuhan pokok hidup masyarakat yang dapat dilihat dari rata-rata besarnya pengeluaran per kapita sebagai pendekatan pendapatan yang mewakili capaian pembangunan untuk hidup yang layak (Gambar 2.1). Gambar 2.1 Diagram Perhitungan IPM

Sumber: BPS Provinsi Kalimantan Tengah, 2012 Pembangunan

manusia

merupakan

suatu

konsep

yang

mempertimbangkan aspek kuantitatif dan kualitatif untuk menopang hidup, yang 25

memiliki tujuan utama untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Dengan pembangunan manusia yang lebih baik, yang akan menciptakan manusia yang lebih terdidik dan sehat, tidak mengalami kelaparan dan memiliki kemampuan berpartisipasi dalam lingkungan sosial (Karmakar, 2006). Selanjutnya, Saharudin (2008) mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat dengan menggunakan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dengan indikatornya adalah pendapatan per kapita, angka usia harapan hidup dan angka partisipasi sekolah.

2.1.1 Pengertian Kesejahteraan Setiap manusia memiliki keinginan untuk sejahtera, sejahtera menunjuk ke suatu keadaan yang serba baik atau suatu kondisi manusia, dimana orangorangnya dalam keadaan makmur, sehat, dan damai. Menurut kamus Bahasa Indonesia, sejahtera juga mengandung pengertian aman sentosa, makmur, serta selamat, terlepas dari segala macam gangguan. Menurut Undang Undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, diartikan bahwa keluarga sejahtera adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan materiil yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi, selaras dan seimbang antar anggota dan antara keluarga dengan masyarakat dan lingkungan. Stiglitz (2011) menyatakan bahwa untuk mendefenisikan kesejahteraan, rumusan multidimensi harus digunakan. Dimensi-dimensi tersebut meliputi standar hidup material (pendapatan, konsumsi, dan kekayaan), kesehatan,

26

pendidikan, aktivitas individu termasuk bekerja, suara politik, dan tata pemerintahan, hubungan dan kekerabatan sosial, lingkungan hidup (kondisi masa kina dan masa depan), baik yang bersifat ekonomi maupun fisik. Semua dimensi ini menunjukkan kualitas hidup masyarakat dan untuk mengukurnya diperlukan data objektif dan subjektif. Perumusan konsep kesejahteraan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengatakan bahwa keluarga yang dikatakan sejatera apabila memenuhi kriteria berikut. 1) Keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan anggotanya, baik kebutuhan sandang, pangan, perumahan, sosial maupun agama; 2) Keluarga yang mempunyai keseimbangan antara penghasilan keluarga dan jumlah anggota keluarga; dan 3) Keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan kesehatan anggota keluarga, kehidupan bersama dengan masyarakat sekitar, beribadah khusuk di samping terpenuhi kebutuhan pokoknya.

2.1.2 Kriteria Ekonomi Kesejahteraan Ekonomi kesejahteraan penting untuk dipahami karena ekonomi kesejahteraan berhubungan dengan tujuan pemberdayaan ekonomi rakyat, yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berbagai kriteria dari ekonomi kesejahteraan berguna dalam mempertimbangkan suatu kebijaksanaan. Kriteriakriteria kesejahteraan sebagai berikut.

27

1) Kriteria Bentham Jeremy Benthan menyatakan bahwa perbaikan welfare akan terjadi apabila tersedia barang-barang dalam jumlah yang semakin banyak. Ini berarti bahwa welfare total adalah penjumlahan utility dari individu-individu dalam masyarakat. Menurut kriteria ini bila terdapat perubahan positif welfare total, berarti terdapat perbaikan kesejahteraan walaupun sebenarnya dalam perubahan itu terdapat anggota masyarakat atau individu yang dirugikan dan ada yang diuntungkan. Secara implisit kriteria ini mengasumsikan

adanya

komparasi

antaraindividual

(interpersonal

comparison) di antara anggota masyarakat yang menikmati manfaat dengan anggota masyarakat yang menderita kerugian karena adanya perubahan dalam masyarakat yang bersangkutan. 2) Kriteria Cardinal Menurut kriteria cardinal pendapatan anggota masyarakat berpengaruh terhadap utility. Berlaku law of diminishing marginal utility, anggota masyarakat yang berpendapatan tinggi (memiliki uang lebih banyak) akan memperoleh marginal utility yang lebih kecil dibandingkan dengan anggota masyarakat yang berpendapat rendah (memiliki uang yang lebih sedikit). Dengan demikian, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat harus dilakukan redistribusi pendapatan di antara anggota masyarakat. Maksimum kesejahteraan masyarakat akan tercapai apabila distribusi pendapatan merata di antara anggota masyarakat. Kriteria ini mengasumsikan bahwa marginal utility uang adalah sama bagi setiap anggota masyarakat.

28

3) Kriteria Pareto-Optimal Pareto Optimality merupakan kriteria efisiensi (efisiensi alokatif) yang dicetuskan oleh seorang sosiolog dan ekonom Italy yang bernama V. Pareto. Kriteria pareto ini menyatakan bahwa efisiensi alokatif akan terjadi bila tidak mungkin lagi dilakukan re-organisasi produksi sedemikian rupa sehingga masing-masing pihak (yang terlibat dalam kegiatan ekonomi: produsen dan konsumen) merasa lebih sejahtera (better off). Oleh karena itu, pada keadaan efisiensi alokatif ini utility (kepuasan) seseorang dapat ditingkatkan hanya dengan menurunkan utility orang lain. Contoh keadaan tidak efisien adalah masyarakat yang tidak memanfaatkan sepenuhnya batas kemungkinan produksinya. Dengan lebih dimanfaatkan batas kemungkinan produksinya itu, tidak akan ada orang yang mengalami penurunan utilitas. Cara lain untuk memahami konsep efisiensi ini adalah kaitannya dengan perdagangan. Misalnya, orang membawa hasil produksinya ke pasar untuk ditukarkan dengan barang orang lain. Setiap kali terjadi perutukaran (perdagangan), maka utilitas kedua pihak akan naik. Jika semua kemungkinan pertukaran yang menguntungkan telah habis sehingga tidak ada lagi kenaikan utilitas, maka dapat dikatakan bahwa keadaan telah mencapai efisien. Pada kenyataannya penggunaan kriteria pareto sangat terbatas untuk diterapkan karena memiliki kelemahan yang mendasar, misalnya sebagai berikut. a. Tidak berlaku pada kasus suatu perubahan yang menguntungkan beberapa orang, tetapi juga merugikan orang lain. Walaupun besarnya

29

keuntungan lebih besar jika dibandingkan dengan besar kerugian, menurut pareto perubahan tersebut bukanlah suatu perbaikan. Dengan demikian kriteria pareto tidak dapat menentukan mana yang lebih baik. b. Berkaitan dengan distribusi pendapatan, tidak menumbuhkan alokasi yang memadai, sebagai contoh banyak individu yang menerima pendapatan rendah. c. Dalam kenyataannnya sistem yang kompetitif sempurna tidak pernah ada. Dengan demikian untuk mengukur peningkatan kemakmuran masyarakat menggunakan kriteria pareto optimal apabila paling sedikit satu orang bertambah makmur (better off) dengan tidak menyebabkan orang lain bertambah miskin (worse off). 4) Kriteria Kaldor-Hicks Kaldor Hicks menyarankan pendekatan kompensasi untuk menilai suatu perubahan, yaitu menilai keuntungan dari mereka yang menikmati perbaikan dan menilai kerugian dari mereka yang menderita kerugian dengan satuan uang. Ini berarti utnuk mengukur peningkatan kemakmuran masyarakat menurut Kaldor Hicks kemakmuran masyarakat meningkat apabila orang yang memperoleh manfaat dari kebijakan publik/pembangunan (who gain) membantu orang lain yang dirugikan (who lose) sehingga tidak ada orang lain yang bertambah miskin apabila ada orang yang bertambah kaya. Kriteria Kaldor Hicks ditunjukkan dengan gambar sebagai berikut.

30

Gambar 2.2 Kriteria Kaldor Hicks

Sumber : Miller dan Meiners, 2000

Berdasarkan Gambar 2.2 dapat dipahami beberapa hal sebagai berikut. a. Diperoleh sebuah kurva UPF (Utility Possibility Frontiers), yaitu kurva batas-batas kemungkinan kepuasan. b. Misalkan, perekonomian mula-mula berada di titik A, setiap pergerakan diharapkan menuju titik B atau D karena pergerakan itu meningkatkan kesejahteraan salah satu konsumen tanpa merugikan konsumen lainnya. Akan tetapi bila bergerak ke titik E, sementara salah satu pihak untung, yang lain dirugikan. Menurut Kaldor Hicks, pergerakan ke titik E itu sebenarnya tidak menguntungkan karena pihak yang untung akang mengimbangi kerugian pihak lain. Atau dengan kata lain, menurut Kaldor Hicks bila E tercapai, akan terjadi redistribusi pendapatan atau kekayaan yang akan menggerakkan perekonomian secara keseluruhan ke titik C, dimana setiap orang dalam perekonomian diuntungkan.

31

c. Kriteria Kaldor Hicks, setiap titik pada UPF menguntungkan dan lebih baik dari titik mana pun yang berada di bawah UPF (misal di titik A). d. Konsumen 1 (yang untung) akan selalu mengimbangi kerugian konsumen 2, lewat pembayaran uang secara langsung (potensi imbalan atau kompensasi). Kritera Kaldor Hicks menyatakan bahwa suatu perubahan merupakan perbaikan jika pelaku ekonomi (agen ekonomi) yang beruntung dari adanya perubahan dapat membayar ganti rugi kepada pelaku ekonomi (agen ekonomi) yang menderita kerugian dan besarnya keuntungan yang diperoleh adalah lebih besar daripada ganti rugi yang dibayarkan. Menurut Kaldor Hicks, perubahan ke arah perbaikan menunjukkan bahwa berbagai kombinasi utilitas antara pelaku ekonomi A (konsumen 1) dan pelaku ekonomi B (konsumen 2) yang terdapat pada kurva (Gambar 2.2) kemungkinan utilitas dapat

diperoleh dengan jalan

pendistribusian kembali

(redistribusi)

pendapatan dalam perekonomian dengan menggunakan pajak sekaligus (lumpsum tax) atau subsidi. 5) Kriteria Ganda Scitovsky Menurut Scitovsky, kriteris Kaldor Hicks menunjukkan adanya kelemahan karena pada kurva kemungkinan utilitas, yaitu utilitas pelaku ekonomi A (konsumen 1) (U1U1) dan utilitas pelaku ekonomi B (konsumen 2) (U2U2), bahwa perubahan dari suatu aktivitas (E) ke aktivitas lain (A) merupakan perbaikan, karena penambahan dari suatu aktivitas yang lain (B) melebihi pengurangan utilitas aktivitas (A). Hal ini terjadi karena aktivitas B

32

> A, sedangkan aktivitas B mempunyai kedudukan yang sama dengan aktivitas E (dalam hal ini terletak pada kurva kemungkinan utilitas yang sama, yaitu U1U1). Dengan demikian, perubahan kembali dari utilitas aktivitas ekonomi (A) ke utilitas aktivitas ekonomi (E) merupakan perbaikan juga. Hal inilah yang merupakan kelemahan Kaldor Hicks. Bila kaum ekonom menganggap peran kebijaksanaan ekonomi adalah mempertahankan pekerjaan (employment) dan stabilitas harga (price stability), maka tugas negara adalah mengobati kelemahan yang ada pada competition demi

menjamin welfare. Negara menurut Scitovsky harus

menyediakan jasa-jasa yang bermanfaat bagi masyarakat secara kolektif. Scitovsky mendukung anti-trust legislation dan menolak aggressive competition, yang bertujuan menegakkan monopoli. Namun, pada dasarnya Scitovsky tetap berkecenderungan memihak orde kompetisi dan menghendaki pembatasan terhadap

kontrol

negara. Scitovsky menutupi

beberapa

kelemahan kriteria Kaldor Hicks dengan mengusulkan uji ganda yang lebih ketat, yaitu menggunakan kriteria Kaldor Hicks untuk menentukkan apakah perubahan dari titik asal ke titik baru merupakan suatu perbaikan, dan menggunakan kriteris Kaldor Hicks untuk menentukkan apakah perubahan kembali dari titik baru ke titik lama bukan merupakan perbaikan pula. Berbagai kriteria diatas memiliki keunggulan dan kelemahan masingmasing. Kritik yang cukup tajam terhadap kriteria Kaldor Hicks dari pakarpakar ekonomi terjadi karena pada kenyataannya ganti rugi tidak perlu dibayarkan kepada penerima kerugian. Ganti rugi pada kriteria Kaldor Hicks

33

adalah ganti rugi yang potensial bukan ganti rugi aktual. Tanpa pembayaran ganti rugi yang aktual perlu digunakan pertimbangan nilai (value judgement) untuk menyatakan bahwa secara keseluruhan masyarakat menjadi lebih baik dengan adanya perubahan. Kedua kriteria Kaldor-Hicks dan Scitovsky di kritik oleh Boumol, karena keduanya menggunakan nilai uang sebagai ukuran besarnya utilitas. Padahal uang mempunyai nilai yang relatif tergantung atas kekayaan yang dimiliki oleh seseorang. Berdasarkan konsep Boumol tersebut, maka Bergson telah memperkenalkan kriteria yang lain, yaitu fungsi kesejahteraan sosial (social walfare function). 1. Kriteria Bergson Bergson menyatakan bahwa penilaian tentang perubahan hanya dapat dilakukan jika masyarakat mempunyai fungsi kesejahteraan sosial, yang menyatakan

bagaimana

kebijakan

masyarakat

tergantung

kepada

kesejahteraan tiap-tiap anggotanya. Fungsi kesejahteraan sosial bertujuan untuk menyatakan dalam bentuk yang tepat pertimbangan nilai yang diperlukan untuk derivasi kondisi kesejahteraan ekonomi maksimal. Fungsi ini bernilai riil dan terdeferensialkan. Argumen fungsi, termasuk jumlah komoditas yang berbeda diproduksikan dan dikonsumsi dan sumber daya yang digunakan dalam menghasilkan komoditas yang berbeda, termasuk tenaga kerja. Nilai fungsi maksimum memerlukan kondidi umum sebagai berikut. a. kesejahteraan marginal sama untuk setiap individu dan setiap komoditas.

34

b. Marginal setiap nilai uang dihasilkan dari kerja sama setiap komoditas yang dihasilkan dari setiap masukan tenaga kerja. c. Marginal biaya setiap unit sumber daya adalah sama dengan nilai produktivitas marginal untuk setiap komoditas. Bergson menggambarkan sebuah peningkatan kesejahteraan ekonomi yang kemudian disebut perbaikan Pareto. Setidak-tidaknya satu orang pindah ke posisi yang lebih disukai dengan orang lain acuh tak acuh. Fungsi Bergson dapat memperoleh Pareto Optimal yang diperlukan, tetapi tidak cukup untuk mendefenisikan ekuitas normative interpersonal.

2.1.3 Pengukuran Kesejahteraan Kesejahteraan memiliki banyak dimensi, yakni dapat dilihat dari dimensi materi dan dimensi non materi. Dari sisi materi dapat diukur dengan pendekatan pendapatan dan konsumsi. Mayer dan Sullivan (2002) menyatakan bahwa secara konseptual dan ekonomi data konsumsi lebih tepat digunakan untuk mengukur kesejahteraan dibandingkan dengan data pendapatan karena data konsumsi merupakan pengukuran yang lebih langsung dari kerjahteraan. Kesejahteraan dari dimensi non materi dapat dilihat dari sisi pendidikan dan kesehatan. Pengukiran status kesehatan dapat dilakukan melalui pertanyaan tentang pengukuran kesehatan secara umum, penyakit berdasarkan pelaporan respiden dan pengukuran secara

medis, pengobatan yang dijalani, aktivitas fisik, hubungan sosial dan

kesehatan psikologi/mental/emosional seperti tetang sulit tidur, perasaan takut/gelisah, dan pertanyaan tentang kebahagiaan (Easterlin, 2001).

35

Beberapa

indikator

yang

digunakan

untuk

mengukur

tingkat

kesejahteraan di antaranya adalah menurut kriteria Badan Pusat Statistik (BPS), yakni menggunakan kriteria yang didasarkan pada pengeluaran konsumsi rumah tangga, baik pangan maupun non pangan (pendekatan kemiskinan). Disamping itu Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dalam pendekatan kesejahteraan mengukur tingkat kesejahteraan keluarga dengan membagi kriteria keluarga ke dalam lima tahapan, yaitu Keluarga Pra Sejahtera (Pra-KS), Keluarga Sejahtera I (KS I), keluarga Sejahtera II (KS II), Keluarga Sejahtera III (KS III), dan keluarga Sejahtera Plus (KS III Plus) (BPS, 2008). Selanjutnya Cahyat dkk (2007) dari lembaga CIFOR (Center for International Forestry Research) melakukan pemantauan kesejahteraan dengan mengambil kasus Kutai Barat Kalimantan Timur menemukan bahwa kesejahteraan diukur dengan kriteria (1) kesejahteraan subjektif; (2) kesejahteraan dasar yang dibagi menjadi tiga indeks, yaitu kesehatan dan gizi, kekayaan materi, dan pengetahuan; (3) lingkungan pendukung yang antara lain lingkungan alam, lingkungan ekonomi, lingkungan sosial, lingkungan politik, dan infrastruktur serta pelayanan. Stiglitz (2011) menyatakan bahwa untuk mendefenisikan kesejahteraan, rumusan multidimensi harus digunakan. Dimensi-dimensi pokok yang harus diperhitungkan adalah (1) standar hidup materiil (pendapatan, konsumsi, dan kekayaan; (2) kesehatan; (3) pendidikan; (4) aktivitas individu, termasuk bekerja; (5) suara politik dan tata pemerintahan; (6) hubungan dan kekerabatan sosial; (7) lingkungan hidup (kondisi masa kini dan masa depan); dan (8) ketidaknyamanan, baik yang bersifat ekonomi maupun fisik. Semua dimensi tersebut menunjukkan

36

kualitas hidup masyarakat dan untuk mengukurnya diperlukan data objektif dan subjektif. Indikator-indikator objektif kesejahteraan seperti Indeks Pembangunan Manusia.

2.2 Perubahan Struktur Ekonomi Telah lama disadari bahwa dalam proses pembangunan ekonomi, struktur ekonomi akan mengalami perubahan. Djojohadikusumo (1993) mengatakan bahwa perubahan struktur ekonomi merupakan bagian dari proses pembangunan yang ditandai oleh adanya transformasi yang bersifat multidimensial dari keadaan ekonomi tertentu ke arah keadaan yang mengandung gerak kekuatan dinamika dalam perjalanan pembangunan. Berkaitan dengan hal itu, Kuznet dalam Todaro (2000) mengatakan bahwa percepatan perubahan struktur ekonomi adalah salah satu syarat untuk mencapai pertumbuhan ekonomi maju (modern economic growth). Tulisan Kuznet yang lain seperti yang dikutip oleh Ghatak dan Ingersent (1984) dan Djoyohadikusumo (1993) menyebutkan bahwa perubahan struktur ekonomi dapat dilihat dari dua sisi, yaitu perubahan kontribusi relatif suatu sektor dalam pembentukan Produk Nasional Bruto (PNB) atau perubahan penyerapan tenaga kerja sektor-sektor ekonomi terhadap total penyerapan tenaga kerja nasional. Perubahan struktur total output dapat disebabkan oleh adanya perubahan teknologi produksi. Pengkajian mengenai perubahan struktur perekonomian adalah untuk mengetahui dampak dari perubahan struktur PNB terhadap pendapatan per kapita serta perubahan struktur PNB dan teknologi terhadap perubahan struktur total output.

37

Tabel 2.1 Cara-cara yang Digunakan untuk Menunjukkan Corak Perubahan Struktur Ekonomi dalam Proses Pembangunan FAKTOR-FAKTOR YANG DIANALISIS

1. a. b. c. 2. a. b. 3. a. b.

I. PROSES AKUMULASI Pembentukkan Modal Tabungan Domestik Bruto Pembentukkan Modal Domestik Bruto Aliran masuk Modal (di luar Impor Barang dan Jasa) Pendapatan Pemerintah Pendapatan Pemerintah Pendapatan dari Pajak Pendidikan Pengeluaran untuk pendidikan Tingkat Pemasukan anak-anak ke sekolah dasar dan sekolah menengah

PENDEKATAN PERHITUNGAN UNTUK MENUNJUKKAN PERUBAHAN YANG TERJADI

Dengan melihat perubahan nilainilainya dan dinyatakan sebagai persentase dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Dengan menunjukkan perubahan persentase GDP untuk pendidikan. Dengan menunjukkan perubahan persentase anak-anak yang bersekolah di sekolah dasar dan sekolah menengah.

a. b. c.

II. PROSES ALOKASI SUMBER DAYA Struktur Permintaan Domestik Pembentukan modal domestik bruto Konsumsi rumah tangga Konsumsi pemerintah Konsumsi atas bahan makanan Struktur Produksi Produksi sektor primer Produksi sektor industri Produksi perusahaan utilities Produksi sektor jasa Struktur Perdagangan Ekspor Ekspor bahan mentah Ekspor barang-barang industri Impor III. PROSES DEMOGRAFIS DAN DISTRIBUSI Alokasi Tenaga Kerja Dalam sektor primer Dalam sektor industri Dalam sektor jasa

a. b.

Urbanisasi Penduduk daerah urban Transisi Demografis Tingkat kelahiran Tingkat kematian

Dengan melihat perubahan jumlahnya dan dinyatakan sebagai persentase dari keseluruhan jumlah penduduk.

Distribusi Pendapatan Bagian dari 20 persen penduduk yang menerima pendapatan paling tinggi. Bagian dari 40 persen penduduk yang menerima pendapatan paling rendah.

Dengan melihat perubahan persentase Produk Nasional Bruto (GNP) yang diterima oleh masing-masing golongan pendapatan tersebut.

4. a. b. c. d. 5. a. b. c. d. 6. a. b. c. d. 7.

8. 9.

10. a. b.

Sumber : Sukirno, 2011 38

Dengan melihat perubahan nilainilainya dan dinyatakan sebagai persentase dari Produk Domestik Bruto (GDP).

Dengan melihat perubahan jumlahnya dan dinyatakan sebagai persentase dari keseluruhan jumlah tenaga kerja.

Perubahan atau transformasi struktural lebih tepat ditunjukkan oleh perubahan komposisi struktur produksi sektoral, jumlah, dan macam sektor yang membentuk ekonomi nasional seperti yang dikemukakan. Di samping itu, hal yang penting dalam menganalisis perubahan struktur ekonomi adalah proses atau tahap-tahap dari perubahan tersebut. Perubahan produksi sektoral dapat diakibatkan oleh perubahan permintaan, perdagangan, dan penggunaan faktorfaktor

produksi.

Interaksi

dari

faktor-faktor

tersebut

selanjutnya

akan

mempengaruhi produktivitas ekonomi. Hollis B. Chenery yang menyelidiki pola-pola pembangunan dan melakukan pengkajian empiris tentang proses perubahan struktural di sejumlah Negara-negara Dunia Ketiga selama kurun waktu pasca Perang Dunia Kedua menyimpulkan bahwa terdapat banyak faktor yang mempengaruhi kelancaran proses pembangunan pada umumnya. Faktor-faktor yang dimaksud adalah jumlah dan jenis sumber daya alam yang dimiliki tiap-tiap negara, ketepatan rangkaian kebijakan dan sasaran yang ditetapkan oleh pemerintah setempat, tersedianya modal dan teknologi dari luar, serta kondisi-kondisi di lingkungan perdagangan internasional. Banyak di antara faktor-faktor tersebut berada di luar jangkauan kendali negara-negara berkembang (Todaro, 2000). Sukirno (2011) dan Suyana (2006) menyatakan secara lengkap faktorfaktor yang dianalisis oleh Chenery dan Syrquin pada tahun 1975 menunjukkan corak sepuluh jenis perubahan dalam struktur perekonomian yang terjadi dalam proses pembangunan negara-negara berkembang. Perubahan-perubahan tersebut dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu: (1) perubahan-perubahan dalam struktur

39

ekonomi yang dipandang sebagai perubahan dalam proses akumulasi, (2) perubahan-perubahan dalam struktur ekonomi yang dipandang sebagai perubahan dalam proses alokasi sumber-sumber daya, dan (3) perubahan-perubahan dalam struktur ekonomi yang dipandang sebagai perubahan dalam proses demografis dan distributif. Kegiatan-kegiatan ekonomi yang termasuk sebagai proses akumulasi adalah pembentukkan modal atau investasi, penerimaan pemerintah, dan usaha menyediakan pendidikan bagi masyarakat. Yang tergolong sebagai alokasi sumber daya adalah struktur permintaan domestik, struktur produksi, dan struktur perdagangan. Dalam golongan ketiga, yaitu proses demografis dan distributif termasuk proses perubahan dalam faktor alokasi tenaga kerja dalam berbagai sektor, urbanisasi, tingkat kelahiran dan kematian, serta distribusi pendapatan. Secara lengkap faktor-faktor yang dianalisis oleh Chenery dan Syrquin untuk menunjukkan perubahan-perubahan dalam struktur ekonomi dalam proses pembangunan, dan cara-cara yang digunakan untuk menunjukkan corak perubahan tersebut dapat dikemukakan dalam Tabel 2.1.

2.2.1 Sumber-sumber Perubahan Struktur Ekonomi Perubahan struktur ekonomi disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan pertumbuhan sektor-sektor ekonomi. Oleh karena itu diperlukan penelusuran mengenai faktor-faktor yang menjadi sumber pertumbuhan dan selanjutnya mempengaruhi kondisi transformasi. Tambunan (2009) mengatakan bahwa perubahan struktur ekonomi dapat disebabkan oleh adanya perubahan dari sisi permintaan dan dari sisi penawaran di samping secara langsung atau tidak 40

langsung dipengaruhi oleh intervensi pemerintah. Kalau digambarkan akan tampak seperti Gambar 2.3. Gambar 2.3 Faktor-faktor yang Mengakibatkan Perubahan Struktur Ekonomi

Sumber: Tambunan, 2009

Berdasarkan Gambar 2.3 dapat dijelaskan bahwa dari sisi permintaan perubahan struktur ekonomi disebabkan oleh adanya pertumbuhan ekonomi yang selanjutnya menyebabkan meningkatnya pendapatan per kapita atau daya beli masyarakat. Di samping memperbesar permintaan barang-barang yang ada juga memperbesar pasar bagi barang-barang baru non makanan. Perubahan ini selanjutnya akan menggairahkan pertumbuhan industri-industri baru di satu pihak dan di pihak lain meningkatkan laju pertumbuhan output industri-industri atau sektor-sektor ekonomi. Dari sisi penawaran, faktor-faktor penting yang dapat mempengaruhi perubahan struktur ekonomi di antaranya adalah pergeseran keunggulan

41

komparatif, perubahan/kemajuan teknologi, peningkatan pendidikan atau kualiatas sumber daya manusia (SDM), penemuan material-material baru untuk produksi, dan akumulasi modal. Hal ini menambah koleksi jenis-jenis industri yang tumbuh dan selanjutnya menyebabkan semakin besar kontribusi output industri terhadap pembentukkan PDB. Berkaitan dengan sisi penawaran Djojohadikusumo (1993) mengatakan bahwa upaya perubahan sruktur ekonomi atau pendobrakan terhadap keadaan stagnan yang dihadapi penduduk negar-negara berkembang ketika mulai melaksanakan pembangunan pada umumnya taraf hidup diukur dengan rata-rata pendapatan per kapita jauh lebih rendah dibandingkan dengan keadaan di negaranegara maju, yaitu pada tahap awal industrialisasi pada akhir abad kedelapan belas atau awal abad kesembilan belas. Upaya pokok yang dilakukan adalah untuk meningkatkan kemampuan berproduksi supaya tersedia lebih banyak barang dan jasa dengan mutu yang memadai (artinya pendapatan riil meningkat). Hal ini berarti usaha untuk menanggulangi kekakuan penawaran (supply rigidities and supply constraints). Dalam hal menonjolkan sisi penawaran (supply side) bukan berarti bahwa sisi permintaan tidak memegang peranan. Sisi permintaan dan pengelolaan tentang permintaan agregatif (management of aggregate demand) tetap penting untuk menjaga kestabilan dalam proses pembangunan. Upaya pendobrakan terhadap stagnasi ekonomi dan usaha mengatasi kekakuan dan kendala pada sisi penawaran dalam tata susunan ekonomi dilakukan untuk mewujudkan akumulasi mengenai sumber daya produksi. Akumulasi itu harus disertai dengan penggunaan

42

(alokasi) yang tepat mengenai sumber daya produksi. Proses dasar yang menyangkut segi akumulasi dan alokasi harus dilengkapi dengan pembagian hasil produksi yang lebih wajar (lebih merata) terhadap ekonomi masyarakat (Djojohadikusumo, 1993). Dalam rangka mencapai pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, perubahan struktur ekonomi memberikan interaksi yang berantai terhadap perkembangan atau pertumbuhan ekonomi. Seperti yang dikemukakan oleh Lewis (Todaro, 2000) bahwa dengan teori dualisme ekonomi dan penawaran tenaga kerja yang tidak terbatas beranggapan pembangunan ekonomi akan berlangsung apabila modal yang terakumulasi sebagai akibat dari adanya peralihan surplus tenaga kerja dari sektor subsisten ke sektor kapitalis. Dengan penawaran tenaga kerja yang tidak terbatas pada sektor pertanian, maka sifat kurva penawarannya adalah elastis. Pada kondisi demikian, tenaga kerja dapat ditarik tanpa batas berdasarkan upah yang berlaku dari sektor pertanian yang subsisten. Sektor pertanian yang ditinggalkan tidak akan kehilangan produktivitasnya, sedangkan sektor industri yang menampung kelebihan tenaga kerja dari sektor pertanian akan terus dapat meningkatkan outputnya. Hal ini dimungkinkan dengan meningkatnya investasi dan akumulasi modal di sektor modern. Pada awalnya memang terjadi hambatan dalam penarikan tenaga kerja dari sektor pertanian ke industri, tetapi hal itu bersifat hambatan semu. Hal ini dapat segera ditanggulangi dengan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan. Studi empiris yang dilakukan oleh Chenery dan Clark menganalisis proses industrialisasi di Jepang tahun 1914-1954 dengan menggunakan analisis

43

input-output menyimpulkan bahwa pada periode tersebut perekonomian Jepang telah mengalami transformasi dari ekonomi negara terbelakang menjadi ekonomi negara maju. Simpulan penting lainnya dari studi tersebut menunjukkan bahwa hampir 25 persen dari peningkatan kemampuan sekotr-sektor produksi dalam perekonomian disebabkan oleh peningkatan ekspor dan perubahan permintaan domestik. Sementara itu tiga perempat sisanya ternyata dipengaruhi oleh perubahan supply, termasuk peningkatan aktivitas manufaktur domestik untuk substitusi impor dan memproduksi produk-produk primer.

2.2.2 Hubungan Perubahan Struktur Ekonomi dan Pembangunan Ekonomi Pembangunan ekonomi dalam periode jangka panjang mengikuti pertumbuhan pendapatan per kapita, akan membawa suatu perubahan mendasar dalam struktur ekonomi, dari ekonomi tradisional dengan pertanian sebagai sektor kunci ke ekonomi modern yang didominasi oleh sektor-sektor non primer, khususnya industri pengolahan dengan skala hasil yang meningkat (relasi positif antara pertumbuhan output dan pertumbuhan produktivitas), perdagangan dan jasa sebagai motor penggerak utama pertumbuhan ekonomi. Ada kecenderungan bahwa semakin cepat proses peningkatan per kapita, semakin cepat perubahan struktur ekonomi, dengan asumsi ketersediaan tenaga kerja, bahan baku, dan teknologi. Pola dari perubahan struktur ekonomi seperti ini memang merupakan suatu evolusi alamiah seiring dengan proses pembangunan dan industrialisasi (Tambunan, 2009). Menurut Chenery (Suyana Utama, 2006) pertumbuhan ekonomi telah mengakibatkan perubahan struktur ekonomi. Transformasi struktural sendiri 44

merupakan proses perubahan struktur perekonomian dari sektor pertanian ke sektor industri, perdagangan dan jasa, dimana masing-masing perekonomian akan mengalami transformasi yang berbeda-beda. Pada umumnya transformasi yang terjadi di negara sedang berkembang adalah transformasi dari sektor pertanian ke sektor industri. Perubahan struktur dan transformasi ekonomi dari tradisional menjadi modern secara umum dapat didefenisikan sebagai suatu perubahan dalam ekonomi yang berkaitan dengan komposisi penyerapan tenaga kerja, produksi, perdagangan, dan faktor-faktor lainnya yang diperlukan secara terus menerus untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan sosial melalui peningkatan pendapatan per kapita.

2.3 Konsep Pembangunan Ekonomi Pembangunan adalah suatu orientasi dan kegiatan usaha yang tanpa akhir (Subandi, 2012). Proses pembangunan adalah merupakan suatu perubahan sosial budaya. Pembangunan dapat menjadi suatu proses yang dapat bergerak maju atas kekuatan sendiri tergantung kepada manusia dan struktur sosialnya. Pembangunan ekonomi dapat didefenisikan sebagai suatu rangkaian proses kegiatan yang dilakukan oleh suatu negara untuk mengembangkan kegiatan atau aktivitas ekonomi untuk meningkatkan taraf hidup/kemakmuran (Income per-kapita) dalam jangka panjang. Kemakmuran itu sendiri ditunjukkan dengan meningkatnya pendapatan per kapita masyarakat dan adanya keseimbangan antara supply dan demand di pasar. Pada dasarnya dalam pembangunan ekonomi memiliki dua sifat yaitu yang pertama bersifat deskriptif analitis dan kedua bersifat pilihan kebijakan. 45

Berdasarkan kedua sifat tersebut, maka Arsyad (1999) mendefenisikan ekonomi pembangunan sebagai suatu cabang ilmu ekonomi yang menganalisa masalahmasalah yang dihadapi oleh negara sedang berkembang dan mencari cara-cara untuk mengatasi masalah-masalah itu agar negara-negara tersebut dapat membangun ekonominya lebih cepat lagi. Definisi pembangunan ekonomi menurut pendapat Meier (Kuncoro, 1997) adalah suatu proses dimana pendapatan per kapita suatu negara meningkat selama kurun waktu yang panjang, dengan catatan bahwa jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan absolut tidak meningkat dan distribusi pendapatan tidak semakin timpang. Proses pembangunan menghendaki adanya pertumbuhan ekonomi yang diikuti dengan perubahan (growth plus change) dalam: pertama, perubahan struktur ekonomi, dari pertanian ke industri jasa; dan kedua, perubahan kelembagaan, baik lewat regulasi maupun reformasi kelembagaan. Ada 3 (tiga) kategori masyarakat secara sosiologis, yaitu masyarakat yang masih bersifat tradisional; masyarakat yang bersifat peralihan; dan masyarakat yang sudah maju. Perubahan dalam masyarakat yang bersifat menyeluruh dapat dikembangkan secara sadar oleh pemerintah, yang sebaiknya pula mewakili kekuatan-kekuatan perubahan yang ada. Pembangunan yang dilakukan secara terencana adalah suatu usaha yang lebih rasional dan teratur bagi pembangunan masyarakat yang belum atau baru berkembang. Todaro (2000) mengartikan pembangunan sebagai fenomena yang tidak dapat sepenuhnya ditangkap dengan kasat mata, melainkan melampaui sisi materi dan keuangan kehidupan manusia. Untuk itu, pembangunan idealnya merupakan

46

proses yang akan melibatkan pengorganisasi dan peninjauan kembali terhadap keseluruhan sistem ekonomi dan sosial, bahkan sikap-sikap, kebiasaan, adat istiadat, sistem kepercayaan dan aspek sosial lainnya. Selanjutnya Simanjuntak dan Muklis (2012), mengartikan pembangunan ekonomi sebagai suatu proses multidimensional yang bukan saja mencakup pertumbuhan ekonomi melainkan juga terjadinya perubahan struktur, sikap hidup dan kelembagaan, dimana hasil konkritnya ditunjukkan dengan terjadinya penurunan ketimpangan distribusi pendapatan, berkurangnya kemiskinan absolut dan mengecilnya tingkat pengangguran. Sukirno (2010), mendefinisikan pembangunan ekonomi sebagai terjadinya pertumbuhan ekonomi dalam suatu negara yang dibarengi dengan terjadinya perkembangan dalam berbagai aspek kegiatan ekonomi lainnya, seperti: pendidikan, kesehatan, infrastruktur, teknologi, pendapatan dan kemakmuran masyarakat. Pembangunan pada hakekatnya harus mencerminkan adanya perubahan total atau penyesuaian sistem sosial masyarakat secara keseluruhan, tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dan keinginan individual maupun kelompok sosial yang ada di dalamnya untuk bergerak maju menuju kehidupan yang lebih baik secara material maupun spiritual. Oleh karena itu, indikator pembangunan ekonomi tidak saja diukur dengan indikator ekonomi seperti pertumbuhan ekonomi, melainkan dilengkapi juga dengan indikator sosial lainnya, seperti: ketenagakerjaan, pendidikan, distribusi pendapatan dan penduduk miskin. Melengkapi dengan indikator sosial, pembangunan ekonomi sudah mengarah kepada

paradigma

pembangunan

modern

47

yang

mulai

mengedepankan

pengentasan kemiskinan, penurunan ketimpangan distribusi pendapatan, serta penurunan tingkat pengangguran (Todaro & Smith, 2006).

2.3.1 Teori Pertumbuhan dan Pembangunan Ekonomi Setelah Perang Dunia II, teori pertumbuhan dan pembangunan ekonomi didominasi oleh empat pendekatan dalam pemikiran pembangunan ekonomi. Empat pendekatan tersebut antara lain; 1) pertumbuhan linear atau klasik, seperti teori Adam Smith, David Ricardi, dan Arthur Lewis; 2) perubahan struktural, seperti teori Roy F. Harrod dan Evsey D. Domar, Nicholas Kaldor, dan Simon Kuznets; 3) teori ketergantungan; dan 4) neo klasik, seperti teori Robert Solow dan Trevor Swan (Todaro dan Smith, 2006). Mulai tahun 1970, pendekatan model pertumbuhan linear diganti dengan pendekatan model perubahan struktural dan teori ketergantungan. Dalam model perubahan struktural, teori dan materi perubahan struktural menggunakan teori ekonomi modern dan analisis statistik sehingga dapat dianalisis bagaimana upaya suatu negara dalam melakukan proses pembangunan ekonomi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Selanjutnya, mulai tahun 1980 dan awal tahun 1990, pendekatan model perubahan struktural dan teori ketergantungan diganti dengan model neo klasik melalui peran perdagangan bebas, keterbukaan ekonomi, dan privatisasi perusahaan-perusahaan publik. Model neo klasik memandang bahwa ketergantungan suatu negara menjadi semakin bertambah karena ketidakmampuan aspek teori ketergantungan dalam mengelola eksploitasi faktor eksternaldan internal, sepeti negara luar serta struktur

sosial-budaya

dan

pola

perilaku

masyarakat

setempat

mengakibatkan intervensi pemerintah berupa regulasi dalam perekonomian. 48

yang

Beberapa teori pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, antara lain. 1) Adam Smith dalam bukunya An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations pada tahun 1776 mengemukakan tentang proses pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang secara sistematis. Menurut Adam Smith, ada dua aspek utama pertumbuhan ekonomi, yaitu pertumbuhan output total dan pertumbuhan penduduk. Unsur pokok dalam pertumbuhan output total adalah sumber daya alam yang tersedia (faktor produksi tanah), sumber daya insani (jumlah penduduk), dan stok barang modal yang ada (Arsyad, 2010). Ada lima hal penting dalam teori pertumbuhan dan pembangunan ekonomi menurut Adam Smith, yaitu: a) tingkat perkembangan suatu negara tergantung jumlah penduduk, jumlah stok barang modal, luas tanah dan teknologi; b) pendapatan nasional masyarakat meliputi pendapatan dari sewa tanah, upah bekerja dan keuntungan pengusaha; c) kenaikan upah menyebabkan pertambahan penduduk; d) pembentukan modal dipengaruhi tingkat keuntungan sehingga apabila tidak ada tingkat keuntungan maka perekonomian mengalami stationary state; dan e) the law of diminishing return mengakibatkan pertambahan penduduk menurunkan tingkat upah, menurunkan tingkat keuntungan, meningkatkan tingkat sewa tanah apabila tidak ada kemajuan teknologi. 2) David Ricardo dalam bukunya The Principles of Political Economy and Taxation pada tahun 1917 menyatakan bahwa teori pertumbuhan dan pembangunan ekonomi bertumpu pada laju pertumbuhan output dan lau pertumbuhan penduduk. Laju pertumbuhan output tergantung dari faktor

49

produksi yang tersedia. Faktor produksi tanah (sumber daya alam) tidak dapat bertambah, karena tidak semua faktor produksi tanah merupakan faktor produksi yang produktif. Oleh karena itu, faktor tanah menjadi faktor pembatas dalam proses pertumbuhan ekonomi. Jumlah faktor produksi tenaga kerja atau penduduk tergantung pada tingkat upah yang diperolehnya apakah lebih tinggi atau lebih rendah daripada tingkat upah minimal atau tingkat upah alamiah. Akumulasi faktor produksi modal terjadi apabila tingkat keuntungan yang diperoleh pemilik modal lebih besar daripada tingkat keuntungan minimal yang diperlukan untuk menarik investor melakukan investasi. Selanjutnya, David Ricardo menambahkan bahwa kemajuan teknologi terjadi sepanjang waktu dan sektor dominan dalam perekonomian adalah sektor pertanian (Sukirno, 2010). 3) Arthur Lewis pada tahun 1954 membahas bahwa proses transformasi industrialisasi pada tahap awal pembangunan kapitalis di Eropa dengan melihat hubungan antara sektor pertanian (tradisional) dan industri (modern) dalam perekonomian yang terjadi antara daerah pedesaan dan perkotaan dengan memasukkan proses urbanisasi yang terjadi di daerah tersebut. Asumsi teori pembangunan dan pertumbuhan Arthur Lewis adalah sektor pedesaan merupakan sektor pertanian (tradisional) yang subsisten dengan jumlah penduduk yang berkelebihan yang ditandai dengan produktivitas marginal tenaga kerja sebesar nol dan tingkat upah riil yang rendah, sedangkan sektor perkotaan merupakan sektor industri (modern) yang produktivitas marginalnya tinggi dan menjadi tempat penampungan tenaga

50

kerja yang dialihkan sedikit demi sedikit dari sektor pertanian yang terjadi kelebihan jumlah tenaga kerja (Sukirno, 2006). 4) Harrod-Domar yang dikembangkan oleh Roy F. Harrod dan Evsey D. Domar. Harrod mengemukkan teorinya pada tahun 1939 dalam jurnal Economic Journal sedangkan Domar mengemukakan teorinya pada tahun 1947 dalam jurnal American Economic Review. Teori pertumbuhan dan pembangunan ekonomi Harrod-Domar merupakan perluasan dari analisis John Maynard Keynes mengenai kegiatan ekonomi secara nasional dan masalah tenaga kerja. Teori Harrod-Domar ini menganalisis syarat-syarat yang diperlukan agar perekonomian dapat tumbuh dan berkembang dalam jangka panjang. Dengan kata lain, teori Harrod–Domar berusaha menunjukkan syarat yang dibutuhkan agar perekonomian dapat tumbuh dan berkembang dengan mantap (Badrudin, 2012). 5) Menurut Solow-Swan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi tergantung pada pertambahan penyediaan faktor-faktor produksi (penduduk, tenaga kerja, dan akumulasi modal) dan tingkat kemajuan teknologi. Peran kemajuan teknologi di dalam pertumbuhan ekonomi sangat tinggi. Pandangan ini didasarkan

pada

anggapan

yang

mendasari

analisis

Klasik,

yaitu

perekonomian tetap mengalami tingkat pengerjaan penuh dan kapasitas modal tetap sepenuhnya digunakan sepanjang waktu. Dengan demikian, seberapa perkembangan perekonomian akan tergantung pada pertambahan penduduk, akumulasi modal, dan kemajuan teknologi.

51

6) Simon Kuznets mendefenisikan pertumbuhan ekonomi sebagai peningkatan kemampuan suatu negara untuk menyediakan barang-barang ekonomi bagi penduduknya. Pertumbuhan kemampuan ini disebabkan oleh kemajuan teknologi dan kelembagaan serta penyesuaian idiologi yang dibutuhkan. Ada tiga komponen pokok penting yaitu kenaikan otuput nasional secara terus menerus, kemajuan teknologi sebagai prasyarat pertumbuhan ekonomi, dan penyesuaian kelembagaan, sikap, dan ideologi. Simon Kuznets memisahkan enam karakteristik proses pertumbuhan pada hampir semua negara maju, yaitu a) tingginya tingkat pertumbuhan output per kapita dan penduduk; b) tingginya tingkat kenaikan produktivitas faktor produksi secara keseluruhan terutama produktivitas tenaga kerja; c) tingginya tingkat transformasi struktur ekonomi; d) tingginya tingkat transformasi sosial dan ideologi; e) kecenderungan negara-negara maju secara ekonomis untuk menjangkau seluruh dunia untuk mendapatkan pasar dan bahan baku; dan f) pertumbuhan ekonomi ini hanya terbatas pada sepertiga populasi dunia. 7) Joseph Schumpeter dalam bukunya The Theory of Economics Development pada tahun 1934 dan Business Cycle tahun 1939 menjelaskan dua hal penting, pertama sistem kapitalisme merupakan sistem yang paling baik untuk menciptakan pembangunan ekonomi yang pesat dan kedua faktor utama yang mengakibatkan perkembangan ekonomi adalah proses inovasi yang dilakukan oleh inovator atau entrepreneur. Lima macam kegiatan yang dimasukkan sebagai proses inovasi adalah a) diperkenalkannya produk baru yang sebelumnya tidak ada; b) diperkenalkannya cara berproduksi baru; c)

52

pembukaan daerah pasar baru; d) penemuan sumber bahan mentah baru; dan e) perubahan organisasi industri sehingga menjadi industri yang efisiensi. Menurut Schumpeter, perkembangan ekonomi diartikan sebagai peningkatan output total masyarakat terdiri dari pertumbuhan ekonomi dan pembangunan ekonomi.

2.3.2 Kinerja Pembangunan Ekonomi Pembangunan selalu menimbulkan dampak positif dan negatif. Oleh karena itu, diperlukan indikator sebagai tolak ukur terjadinya pembangunan. Pembangunan adalah suatu orientasi dan kegiatan usaha tanpa akhir. Proses pembangunan sebenarnya adalah merupakan suatu perubahan sosial budaya. Pembangunan agar dapat menjadi suatu proses yang dapat bergerak maju atas kekuatan sendiri tergantung kepada manusia dan struktur sosialnya (Kuncoro, 2010). Proses pembangunan sendiri menghendaki adanya pertumbuhan ekonomi yang diikuti dengan perubahan dalam: pertama, perubahan struktur ekonomi: dari pertanian ke industri atau jasa; kedua, perubahan kelembagaan, baik lewat regulasi maupun reformasi kelembagaan itu sendiri. Proses pembangunan ekonomi sering diartikan sebagai kemajuan ekonomi atau kenaikan kesejahteraan ekonomi. Peningkatan pendapatan riil per kapita hanyalah merupakan sebagian dari indeks kesejahteraan ekonomi. Kesejahteraan ekonomi mengandung pertimbangan nilai mengenai tingkat distribusi pendapatan yang diinginkan. Dengan demikian, indikator-indikator kunci pembangunan secara garis besar pada

53

dasarnya diklasifikasikan menjadi dua, yaitu indikator ekonomi dan indikator sosial (Kuncoro, 2013). Penetapan indikator kinerja atau ukuran kinerja akan digunakan untuk mengukur kinerja atau keberhasilan negara/organisasi. Indikator kinerja daerah sebagai alat untuk menilai keberhasilan pembangunan secara kuantitatif maupun kualitatif, merupakan gambaran yang mencerminkan capaian indikator kinerja program (outcomes/hasil) dari kegiatan (output/keluaran). Indikator kinerja program adalah sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran kegiatan pada jangka menengah (efek langsung). Pengukuran indikator hasil lebih utama daripada sektor keluaran, karena hasil (outcomes), menggambarkan tingkat pencapaian atas hasil lebih tinggi yang mungkin mencakup kegiatan banyak pihak. Indikator kinerja akan dapat dijadikan sebagai media perantara untuk memberi gambaran tentang prestasi organisasi yang diharapkan di masa mendatang. Kinerja pembangunan pada dasarnya digambarkan melalui tingkat capaian sasaran dan tingkat efisiensi dan efektivitas pencapaian sasaran. Dengan demikian, makna penetapan kinerja pembangunan tersebut untuk dapat mengukur tingkat capaian kinerja pelaksanaan pembangunan daerah diperlukan penetapan indikator kinerja daerah dalam bentuk penetapan indikator kinerja program pembangunan daerah sebagai indikator kinerja utama. Untuk mengukur kinerja pembangunan ekonomi ada beberapa indikator yang dapat digunakan antara lain: PDB; pertumbuhan ekonomi; pendapatan per kapita; inflasi; kependudukan;

54

ketenagakerjaan; pengangguran; distribusi pendapatan; dan tren ketimpangan (Kuncoro, 2013).

2.3.3 Pengangguran Sebelum

mendefinisikan

tentang

pengangguran,

ada

baiknya

didefinisikan terlebih dahulu penduduk usia kerja. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), konsep dan definisi penduduk usia kerja adalah mereka yang berdasarkan golongan umurnya sudah bisa diharapkan untuk bekerja dan untuk di Indonesia batasan umur 15 tahun digunakan sebagai batas seseorang diangap mulai bisa bekerja. Jadi penduduk usia kerja adalah penduduk yang telah berusia15 tahun atau lebih. Penduduk usia kerja terbagi menjadi dua kelompok besar yakni angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Penduduk bukan angkatan kerja adalah penduduk usia kerja (15 tahun ke atas) yang tidak termasuk ke dalam angkatan kerja. Golongan ini secara ekonomi memang tidak aktif (non-economically active population). Kegiatan mereka biasanya adalah sekolah, mengurus rumah tangga, pensiun, dan cacat jasmani. Sementara angkatan kerja didefinisikan sebagai jumlah orang yang bekerja dan orang yang menganggur. Menurut BPS (2012) bekerja didefinisikan sebagai kegiatan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan selama paling sedikit satu jam dalam seminggu yang lalu dan tidak boleh terputus. Seseorang dikatakan menganggur atau mencari pekerjaan apabila termasuk penduduk usia kerja yang (1) tidak bekerja, atau (2) sedang mencari pekerjaan baik bagi mereka yang belum pernah bekerja sama sekali maupun yang sudah pernah berkerja, atau (3) sedang mempersiapkan suatu usaha, atau (4) yang tidak 55

mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin untuk mendapatkan pekerjaan, atau (5) yang sudah memiliki pekerjaan tetapi belum mulai bekerja. Secara skematis konsep tersebut digambarkan dalam Gambar 2.4. Gambar 2.4 Skematis Konsep Ketengarakerjaan di Indonesia

Sumber : BPS Jakarta, 2012 Dari

sisi

ekonomi,

pengangguran

merupakan

produk

dari

ketidakmampuan pasar kerja dalam menyerap angkatan kerja yang tersedia. Ketersediaan lapangan kerja yang relatif terbatas, tidak mampu untuk menyerap para pencari kerja yang senantias mengalami peningkatan setiap tahunnya seiring dengan terjadinya peningkatan jumlah penduduk (BPS, 2012). Samuelson dan Nordhaus (1992), menyebutkan bahwa para ahli ekonomi menggolongkan pengangguran dalam tiga kelompok berikut. 1) Pengangguran friksional, pengangguran terjadi karena berpindahnya orang-orang dari satu daerah ke daerah lainnya, dan dari satu jenis pekerjaan ke pekerjaan lain atau melalui berbagai tingkat siklus kehidupan yang berbeda. 56

2) Pengangguran

struktural,

pengangguran

yang

terjadi

karena

ketidaksesuaian antara penawaran dan permintaan. Seringkali terjadi peningkatan

permintaan

terhadap

satu

pekerjaan

dan

penurunan

permintaan terhadap pekerjaan yang lainnya, sedangkan penawaran tidak dapat menyesuaikan dengan cepat atas situasi yang terjadi tersebut. 3) Pengangguran siklis, pengangguran yang timbul karena terjadinya kemerosotan pada beberapa faktor produksi sehingga kegiatan produki mengalami penurunan. Ada dua pendekatan yang lazim dipergunakan untuk mendefinisikan pengangguran, yaitu. 1) Pendekatan angkatan kerja (labor force approach) Pendekatan ini mendefinisikan pengangguran sebagai angkat kerja yang tidak bekerja. 2) Pendekatan pemanfaatan tenaga kerja (labor utilization approach) Indikator pengangguran menurut pendekatan ini adalah berdasarkan pada tingkat pemanfaatan tenaga kerja, yaitu diantaranya adalah menggunakan jam kerja, produktivitas dan pendapatan yang diperoleh. Menurut Sadono Sukirno (2011) pendekatan pemanfaatan tenaga kerja juga menggolongkan angkatan kerja kedalam tiga kelompok, yaitu : (1) menganggur (unemployed) merupakan keadaan di mana orang sama sekali tidak bekerja atau sedang mencari pekerjaan, atau sering juga disebut sebagai pengangguran

terbuka

(open

unemployment),

(2)

setengah

menganggur

(underemployed), merupakan suatu keadaan di mana orang bekerja tetapi belum

57

dapat dimanfaatkan secara penuh, dan keadaan ini lebih lanjut digolongkan menjadi dua yaitu: setengah menganggur kentara (visible underemployed) merupakan suatu keadaan di mana orang yang bekerja kurang dari 35 jam per minggu dan setengah menganggur tidak kentara (invisible underemployed) merupakan orang yang produktivitas dan pendapatannya rendah, dan (3) Bekerja penuh (employed) merupakan orang yang cukup dimanfaatkan. Menurut para ahliahli ekonomi, pada masa ini pengangguran terselubung di daera-daerah pertanian telah menjadi sangat memburuk sebagai akibat dari perkembangan penduduk yang sangat pesat. Perkembangan penduduk yang sangat besar tersebut tidak diikuti oleh pertambahan luas tanah yang ditanami. Oleh karenanya, pertambahan penduduk yang tetap berada di daerah pedesaan terutama berada di daerah-daerah pertanian yang sudah lama dikembangkan. Terbatasnya pertambahan luas area pertanian menyebabkan perbandingan antara luas tanah yang ditanami dengan jumlah tenaga kerja di sektor pertanian bertambah kecil. Keadaan ini memperburuk masalah pengangguran terselubung dan masalah underemployment yang dihadapi oleh penduduk di sektor pertanian.

2.3.4 Kemiskinan Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, antara lain: tingkat pendapatan, kesehatan, pendidikan, akses terhadap barang dan jasa, lokasi, geografis, gender, dan kondisi lingkungan. Mengacu pada strategi nasional penanggulangan kemiskinan defenisi kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan 58

mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Definisi ini dimulai dari pendekatan berbasis hak yang mengakui bahwa masyarakat miskin mempunyai hak-hak dasar yang sama dengan anggota masyarakat lainnya. Kemiskinan tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan memenuhi hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi sesorang atau sekelompok orang dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. Hak-hak dasar yang diakui secara umum meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam, dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial politik, baik bagi perempuan maupun lakilaki. Menurut

Perpres

Nomor

13

Tahun

2009

tentang

Koordinasi

Penanggulangan Kemiskinan, pemahaman mengenai kemiskinan semestinya berawal dari pendekatan berbasis hak (right based approach). Pendekatan right based approach memiliki arti bahwa negara berkewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak dasar masyarakat miskin secara bertahap. Hak-hak dasar yang diakui secara umum antara lain meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial politik, baik bagi perempuan maupun bagi laki-laki. Hak-hak dasar tidak berdiri sendiri tetapi saling mempengaruhi satu sama lain sehingga tidak terpenuhinya satu hak dapat mempengaruhi pemenuhan hak lainnya.

59

Friedman

mendefinisikan

kemiskinan

(Usman,

2001)

sebagai

ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuatan sosial. Basis kekuatan sosial tidak terbatas hanya pada (1) modal produktif atau aset (misalnya organisasi sosial politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama, partai politik, sindikasi, koperasi, dan lain-lain); tetapi juga pada (2) net work atau jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang-barang dan lainlain; (3) pengetahuan dan keterampilan yang memadai; dan (4) informasi yang berguna untuk memajukan kehidupan mereka. Scott menerangkan (Usman, 2001) bahwa kemiskinan setidaknya memiliki kondisi-kondisi yang pada umumnya didekati dengan (1) dari segi pendapatan dalam bentuk uang ditambah dengan keuntungan-keuntungan non material yang diterima oleh seseorang sehingga secara luas kemiskinan meliputi kekurangan atau tidak memiliki pendidikan, keadaan sehat yang buruk atau kekurangan transportasi yang dibutuhkan masyarakat; (2) kadang-kadang didefenisikan dari segi kepemilikan aset yakni tanah, rumah, peralatan, uang, emas, kredit dan lain-lain; (3) kemiskinan non materi meliputi berbagai macam kebebasan, hak untuk memperoleh pekerjaan yang layak, hak atas rumah tangga dan kehidupan yang layak. United

Nations Development Program (UNDP) mendefinisikan

kemiskinan sebagai ketidakmampuan untuk memperluas pilihan-pilihan dalam hidup, antara lain dengan memasukkan penilaian “tidak adanya partisipasi dalam pengambilan keputusan publik” sebagai salah satu indikator kemiskinan (Chayat, 2007). Selanjutnya Chayat (2007) juga menambahkan bahwa di penghujung abad

60

ke 20 muncul pengertian terbaru mengenai kemiskinan yaitu bahwa kemiskinan juga mencakup dimensi kerentanan, ketidakberdayaan, dan ketidakmampuan untuk menyampaikan aspirasi (voicelessness). Jadi dikatakan sebagai kemiskinan berwajah majemuk atau bersifat multidimensi. Definisi

kemiskinan

menurut

Kuncoro

(1997)

adalah

sebagai

ketidakmampuan untuk memenuhi standar hidup minimum. Permasalahan standar hidup yang rendah memiliki keterkaitan dengan tingkat pendidikan, kesehatan dan pelayanan kesehatan yang buruk, sehingga berakibat pada rendahnya sumber daya manusia dan tentunya akan bermuara kepada jumlah pendapatan yang sedikit. Beberapa indikator sederhana yang seringkali dipergunakan untuk mengukur tingkat standar hidup dalam suatu negara antara lain Gross National Product (GNP) per capita, pertumbuhan relatif nasional dan pendapatan per kapita, distribusi pendapatan nasional, tingkat kemiskinan, dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Menurut Todaro (2000), kemiskinan dapat diukur dengan atau tanpa mengacu kepada garis kemiskinan (proverty line). Konsep pengukuran kemiskinan yang mengacu pada garis kemiskinan disebut kemiskinan absolut, sedangkan konsep pengukuran kemiskinan yang tidak didasarkan pada garis kemiskinan disebut kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut adalah derajat kemiskinan di bawah, dimana kebutuhan-kebutuhan minimum untuk bertahan hidup tidak dapat terpenuhi. Hal ini merupakan suatu ukuran tetap (tidak berubah) di dalam bentuk suatu kebutuhan kalori minimum di tambah komponenkomponen non makanan yang juga sangat diperlukan untuk bertahan hidup

61

(survive). Sedangkan kemiskinan relatif adalah suatu ukuran mengenai kesenjangan di dalam distribusi pendapatan, biasanya dapat didefinisikan dalam kaitannya dengan tingkat rata-rata dari distribusi yang dimaksud. Terdapat dua pendekatan untuk mengukur tingkat kemiskinan, yaitu pendekatan absolut dan pendekatan relatif. Pertama, pendekatan kemiskinan absolut, yaitu pendekatan yang memandang kemiskinan dalam suatu ukuran yang bersifat mutlak dan yang bermuara atau berwujud sebagai garis, titik, atau batas kemiskinan. Seseorang atau masyarkat yang tidak mampu keluar dari ukuranukuran tersebut dikelompokkan sebagai miskin. Ukurannya antara lain berupa tingkat pendapatan, pengeluaran atau konsumsi, atau kalori seseorang atau keluarga dalam satu waktu tertentu dan hal-hal yang disetarakan dengan ukuran tersebut.

Pendekatan

absolut

lebih

mudah

diterapkan

karena

hanya

membandingkan saja dengan batasan yang dikehendaki (Nugroho dan Dahuri, 2004). Kemiskinan absolut dapat diartikan pula sebagai suatu keadaan dimana tingkat pendapatan absolut dari suatu orang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, seperti pangan, sandang, pemukiman, kesehatan, dan pendidikan. Besarnya atau dimensi masalah kemiskinan absolut tercermin dari jumlah penduduk yang tingkat pendapatan atau tingkat konsumsinya berada dibawah “tingkat minimum” yang telah ditetapkan (Wie, 1983). Kedua,

pendekatan

kemiskinan

relatif,

yaitu

pendekatan

yang

memandang kemiskinan dalam suatu ukuran yang dipengaruhi ukuran-ukuran lainnya yang berhubungan dengan proporsi atau distribusi. Ukurannya berasal dari ukuran absolut, namun lebih ditekankan pada proporsi relatif. Misalnya, garis

62

kemiskinan adalah 20 persen pendapatan terendah, median dari distribusi pendapatan dan lain-lain (Nugroho dan Dahuri, 2004). Berdasarkan konsep kemiskinan relatif ini garis kemiskinan akan mengalami perubahan. Hal ini jelas merupakan perbaikan dari konsep kemiskinan absolut/mutlak. Kelemahan konsep ini justru terletak pada sifatnya yang dinamis. Secara implisit akan terlihat bahwa “kemungkinan kemiskinan akan selalu berada di antara kita”. Dalam setiap waktu akan selalu terdapat sejumlah penduduk dari total penduduk yang dapat dikategorikan sebagai penduduk miskin. Sehingga berbeda dengan konsep kemiskinan absolut dimana jumlah orang miskin tidak mungkin habis sepanjang zaman (Esmara, 1986). Termonologi kemiskinan lain selain kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut adalah kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan kondisi struktur atau tatanan kehidupan yang tidak menguntungkan karena tatanan itu tidak hanya menyebabkan kemiskinan tetapi juga melanggengkan kemiskinan di dalam masyarakat. Di dalam kondisi struktur yang demikian, kemiskinan menggejala bukan oleh sebab-sebab yang alami melainkan oleh sebab tatanan sosial yang tidak adil. Tatanan yang tidak adil ini menyebabkan banyak warga masyarakat gagal memperoleh peluang dan/atau akses untuk mengembangkan dirinya serta meningkatkan kualitas hidupnya, sehingga penduduk yang malang dan terperangkap ke dalam perlakuan yang tidak adil ini menjadi serba kekurangan, tidak setara dengan tuntutan untuk hidup yang layak dan bermartabat sebagai manusia. Kemiskinan kultural diakibatkan oleh faktor-faktor adat dan budaya

63

suatu daerah tertentu yang membelenggu seseorang tetap melekat dengan indikator kemiskinan. Menurut Kuncoro (1997) penyebab kemiskinan adalah 1) secara mikro, kemiskinan karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumber daya dalam jumlah terbatas dan kualitasnya rendah; 2) kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumber daya manusia yang rendah, yang berarti produktivitasnya rendah, yang pada gilirannya upahnya rendah. Rendahnya kualitas sumber daya ini karena rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung, adanya diskriminasi, atau karena keturunan; dan 3) kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam modal. Ketiga penyebab kemiskinan ini bermuara pada teori lingkaran setan kemiskinan (vicious circle poverty). Adanya keterbelakangan, ketidaksempurnaan pasar, dan kurangnya modal

menyebabkan

rendahnya

produktivitas,

sehingga

mengakibatkan

rendahnya pendapatan yang diterima. Rendahnya pendapatan berimplikasi pada rendahnya tabungan dan investasi yang berkaitan pada keterbelakangan, dan seterusnya. Teori yang menarik yang sering dijadikan acuan dalam membahas permasalahan kemiskinan serta sekaligus menunjukkan bahwa permasalahan kemiskinan bersifat multidimensional adalah Teori Lingkaran Setan (vicious cicle of poverty). Pencetus teori ini, Myrdal, pada tahun 1957 menjelaskan bahwa setiap individu dan masyarakat memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lain dalam menciptakan suatu problem yang muncul di dalam masyarakat. Teori ini

64

kemudian dikembangkan lagi oleh para pengamat permasalahan kemiskinan, diantaranya

Jonathan

Secher.

Ia

menjelaskan

bahwa

pendidikan

dan

ketenagakerjaan di masyarakat berinteraksi dalam bentuk sebuah lingkaran yang saling kait terkait satu sama lain. Masyarakat yang tidak memiliki akses untuk berkembang dengan baik akan terdorong untuk berimigrasi ke tempat lain dan meninggalkan

usahanya

di

tempat

asal.

Akibatnya,

terjadi

penurunan

produktivitas dan penerimaan pajak di daerah tersebut. Penurunan penerimaan pajak akan berdampak pada pengurangan anggaran pembangunan di daerah itu termasuk belanja pembangunan untuk pendidikan. Penurunan kualitas pendidikan dan kualitas tenaga kerja pada akhirnya tidak dapat dihindari. Dengan tenaga kerja berkualitas rendah, industri tidak dapat mengadopsi teknologi yang lebih baik dan tidak mampu mengembangkan usahanya sehingga berakibat pada berkurangnya penyerapan tenaga kerja dan meningkatnya pengangguran.

2.3.4.1 Ukuran Kemiskinan Secara umum kemiskinan dijelaskan oleh indikator berikut (1) kekurangan kebutuhan dasar: ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar, yaitu makanan dan gizi, pakaian, pendidikan, dan kesehatan; (2) ketidakproduktifan: ketidakmampuan melakukan upaya-upaya produktif; (3) ketertutupan akses terhadap sumber daya sosial dan ekonomi; (4) keterpurukan: ketidakmampuan menentukan nasibnya sendiri, diperlakukan secara tidak adil, didera ketakuan dan keraguan, dan berlaku apatis serta pesimistik; dan (5) ketergantungan: tidak mampu melepaskan diri dari kemiskinan dan mentalitas kultural serta rendah dalam apresiasi diri. 65

Ada beberapa ukuran kemiskinan yang telah diterapkan di Indonesia, diantaranya adalah ukuran dari Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), dan United Nations Development Program (UNDP). BPS sejak tahun 1984 melaporkan hasil pengukuran tingkat kemiskinan melalui perhitungan tingkat konsumsi penduduk atas kebutuhan dasar yang meliputi konsumsi dasar pangan dan konsumsi dasar non pangan (sandang, papan, pendidikan dan kesehatan). Dari sisi konsumsi dasar pangan, BPS menggunakan indikator yang direkomendasikan oleh Widyakara Pangan dan Gizi tahun 1998, yaitu kebutuhan gizi 2.100 kalori per orang per hari, sedangkan dari sisi konsumsi non pangan tidak hanya terbatas pada sandang dan papan melainkan termasuk pendidikan dan kesehatan. Model ini pada intinya membandingkan tingkat konsumsi penduduk dengan suatu garis kemiskinan, yaitu jumlah rupiah untuk konsumsi per orang per bulan. Sedangkan data yang digunakan adalah data makro hasil Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (SUSENAS). Selain melakukan perhitungan jumlah penduduk miskin dalam analisis tentang penduduk miskin, BPS juga menyertakan hasil analisis tentang karakteristik rumah tangga miskin. Di dalamnya tergambar kondisi rumah tangga miskin berdasarkan karakteristik sosial demografi, pendidikan, kesehatan, sumber penghasilan, rasio ketergantungan, ketenagakerjaan, kondisi perumahan, dan lainlainnya. Karakterisktik rumah tangga yang dianggap BPS memiliki keterkaitan erat dengan kemiskinan diantaranya adalah jumlah anggota rumah tangga, mereka yang kepala rumah tangganya berstatus janda, pendidikan kepala rumah tangga rendah atau kepala rumah tangga buta huruf, perbedaan geografis antara kota dan

66

desa, lapangan usaha dan status pekerjaan, penguasaan luas lantai per kapita, rumah tangga tanpa akses air bersih, fasilitas buang air besar, pemanfaatan listrik, dan sebagainya. Pengukuran

kemiskinan

melalui

pendekatan

pengeluaran,

BPS

menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach) untuk mengukur kemiskinan. Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Metode yang digunakan adalah menghitung garis kemiskinan (GK) yang terdiri dari dua komponen, yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan-Makanan (GKBM). Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan. Berkaitan dengan hal itu, setiap tahun BPS melakukan penyesuaian terhadap garis kemiskinannya. Sebab utamanya adalah perubahan harga (inflasi), namun kadang juga oleh perubahan pola konsumsi masyarakat. selama ini GK selalu naik, dan hampir bisa dipastikan pula untuk tahun-tahun mendatang. Sumber data utama yang dipakai BPS untuk menentukan GK adalah data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) dan Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar (SPKKD). Ukuran lain kemiskinan yang dikembangkan oleh BKKBN menggunakan data mikro hasil pendaftaran keluarga pra sejahtera dan sejahtera I. Dalam ukuran ini, sebuah keluarga disebut miskin jika: (1) tidak bisa melakukan kewajibankewajiban rutin dalam agamanya; (2) tidak bisa makan dua kali dalam sehari; (3) tidak mempunyai pakaian lain untuk bekerja/bersekolah dan melakukan aktivitas

67

lainnya; (4) tinggal di rumah yang sebagian besar ruangannya berlantai tanah; dan (5) tidak bisa membayar biaya fasilitas kesehatan. Selain itu, model pembangunan manusia dari UNDP juga digunakan sebagai ukuran kemiskinan di Indonesia. Lembaga ini secara berkala – setiap tiga tahun – sejak tahun 1990 mempublikasikan Laporan Pembangunan Manusia atau Human Development Report (HDR). Tabel 2.2 Indeks HDR – UNDP dan Indikatornya Jenis Indeks Human Development Index (HDI)

Human Poverty Index (HPI)

a. b. c. d. a. b. c. d.

Gender Development Index (GDI)

e. a. b. c. d.

Gender Empowerment Measures (GEM)

a. b.

c.

Indikator Tingkat harapan hidup Tingkat melek huruf orang dewasa Rata-rata lama bersekolah Tingkat daya beli per kapita Kelahiran yang tidak dapat bertahan sampai usia 40 tahun Tingkat buta huruf orang dewasa Persentase penduduk yang tidak memiliki akses pada air yang aman untuk digunakan Persentase penduduk yang tidak memiliki akses pada fasilitas kesehatan Persentase balita yang kurang makan Tingkat harapan hidup lelaki dan perempuan Tingkat melek huruf orang dewasa lelaki dan perempuan Rata-rata lama bersekolah untuk lelaki dan perempuan Perkiraan tingkat pendapatan lelaki dan perempuan Persentase jumlah anggota DPR lelaki dan perempuan Persentase jumlah pegawai tingkat senior, manager, profesional dan posisi teknis dari lelaki dan perempuan Perkiraan tingkat pendapatan lelaki dan perempuan

Sumber : Sugiarto, 2007

68

HDR berisi penjelasan tentang empat indeks, yaitu Indeks Pembangunan Manusia atau Human Development Index(HDI), tingkat Upaya Pemberdayaan Gender atau Gender Empowerment Measure (GEM), Indeks Pembangunan Gender atau Gender Development Index (GDI), dan Indeks Kemiskinan Manusia atau Human Poverty Index (HPI). Untuk lebih jelasnya lihat Tabel 2.2.

2.3.5 Hubungan Pembangunan Ekonomi Daerah dan Kesejahteraan Masyarakat Secara umum kinerja dari ekonomi daerah ditunjukkan oleh tingkat kesejahteraan masyarakat yang dicapai oleh masyarakat secara keseluruhan. Kesejahteraan masyarakat tidak terlepas dari aktivitas ekonomi yang terjadi di masyarakat tersebut. Aktivitas ekonomi akan menghasilkan barang dan jasa serta nilai tambah ekonomi dan nilai tambah sosial masyarakat. Nilai tambah (value added) tersebut antara lain timbulnya balas jasa faktor produksi, berupa balas jasa modal, kesempatan kerja, sewa yang timbul dari pemanfaatan aset/faktor produksi yang tidak terpakai atau menganggur (idle), surplus usaha serta nilai tambah sosial, yang adalah sumber utama pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu maka makin tinggi aktivitas ekonomi di suatu daerah, makin tinggi pula kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut, dan sebaliknya. Untuk mewujudkan masyarakat sejahtera, dimana rakyatnya memiliki pendapatan, karena memiliki pekerjaan, dan negara bias melayani masyarakatnya dengan memadai, karena memiliki APBN yang juga memadai, diperlukan aktivitas bisnis di masyarakat yang juga memadai. Untuk mendorong aktivitas ekonomi publik yang memadai, diperlukan perkembangan investasi yang memadai pula. Sehubungan dangan hal

69

ini diperlukan iklim usaha yang kondusif, dimana peran negara atau pemerintah sangat menentukkan dalam penciptaan iklim investasi tersebut (Noor, 2013). Aspek pendapatan (income) memerlukan dua faktor penting sebagai penunjang, yaitu tersedianya lapangan pekerjaan dan stabilitas nilai tukar (internal maupun eksternal). Tersedianya lapangan pekerjaan memberikan masyarakat pekerjaan yang adalah sumber nafkah bagi masyarakat. Tanpa tersedianya lapangan pekerjaan yang memadai bagi masyarakat, tentu akan berakibat pada sumber nafkah yang juga tidak memadai. Bila masyarakat banyak yang tidak dapat bekerja, atau menganggur, maka hal ini akan menimbulkan berbagai masalah, tidak hanya masalah bagi yang bersangkutan (penganggur) saja, tetapi juga masalah bagi keluarga, masyarakat lingkungan dan negara secara keseluruhan. Oleh karena itu, maka salah satu indikator penting kinerja ekonomi publik adalah tingkat pengangguran (unemployment rate) yang terjadi di masyarakat. Makin tinggi angka pengangguran, mengindikasikan kinerja ekonomi publik makin buruk, dan sebaliknya. Penyediaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat luas (jumlah, aksesibilitas, kualitas, dan keragamannya) sangat menentukan kesejahteraan masyarakat. Stabilitas nilai tukar, baik internal (stabilitas harga barang dan jasa domestik, yang dikonsumsi setiap hari) maupun eksternal (kurs), juga berpengaruh pada peningkatan pendapatan, khususnya daya beli konsumen. Bila pendapatan naik sementara harga barang dan jasa naik lebih tinggi dari kenaikan pendapatan, maka daya beli dari pendapatan konsumen akan menurun. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan perlu menorong aktivitas ekonomi di

70

masyarakat, melalui pengembangan bisnis, sehingga akan mendorong terciptanya keseimbangan antara penawaran (supply) dan permintaan (demand) barang dan jasa di masyarakat yang akan membantu terbangunnya stabilitas harga (nilai tukar), baik untuk harga barang dan jasa domestik (internal stability) maupun untuk nilai tukar uang domestik dengan uang asing (external stability). Makin berfluktuasi nilai tukar mengindikasikan kinerja ekonomi publik makin buruk. Ketersediaan dan banyaknya konsumsi barang dan jasa yang ada di masyarakat menunjukkan masyarakat tersebut makin sejahtera. Faktor penunjang ketersediaan barang dan jasa adalah investasi. Dengan banyaknya investasi di berbagai sektor akan menghasilkan makin banyak jenis dan ragam barang dan jasa, sehingga jumlah atau alternatif pilihan konsumsi masyarakat juga bertambah. Ketersediaan barang dan jasa yang dimaksud bukan hanyalah barang kebutuhan pokok (primer) tetapi juga menyangkut barang dan jasa lainnya yang dibutuhkan untuk melengkapi kualitas hidup masyarakat, seperti sarana pendidikan dan jaminan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau. Dengan demikian indikator penting lainnya dari kinerja ekonomi publik adalah tingkat ketersediaan barang dan jasa yang memadai (sufficient supply) di masyarakat. Ketersediaan barang dan jasa strategis seperti pangan dan energi merupakan hal yang sangat penting dalam menjaga kinerja ekonomi publik, karena berkaitan dengan kedaulatan dan ketahanan pangan serta kedaulatan dan ketahanan energi (Noor, 2013). Untuk meningkatkan persediaan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat, maka pemerintah perlu mendorong pertumbuhan investasi.

71

Pertumbuhan investasi yang meningkat dapat membawa dampak baik bagi kesejahteraan masyarakat dan juga memberikan tambahan pendapatan negara melalui pajak dan retribusi. Jika pendapatan negara meningkat, maka akan mendorong peningkatan pelayanan masyarakat, baik di bidang pendidikan, kesehatan, lingkungan, transportasi, dan lain sebagainya. Hal ini akan membawa dampak memperkuat persatuan serta mempercepat kemakmuran. Sebaliknya jika pendapatan negara karena meningkatnya aktivitas ekonomi di masyarakat melalui investasi, namun pelayanan publik tidak meningkat, maka hal ini menunjukkan perlunya perbaikan, karena terdapat kebijakan penggunaan anggaran yang tidak tepat. Meningkatnya investasi akan menambah tersedianya lapangan pekerjaan dan bertambahnya pendapatan asli masyarakat, berkurangnya kemiskinan, serta meningkatnya pendapatan negara, yang digambarkan oleh meningkatnya peran pendapatan asli negara (baik dari pajak maupun luar pajak) pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang diikuti dengan peningkatan pelayanan publik yang dilakukan pemerintah kepada masyarakat, baik dalam bentuk kuantitas maupun kualitas sarana publik, maupun bentuk pelayanan sosial, dan sebagainya. Namun bila APBN meningkat, sementara tingkat kemiskinan tidak berkurang, dan pelayanan publik juga tidak meningkat, maka artinya peningkatan APBN tersebut cenderung pemborosan dan tidak berkontribusi pada ekonomi publik.

2.3.6 Hubungan Pembangunan Ekonomi dan Perubahan Struktur Ekonomi Perubahan struktur ekonomi ditandai dengan perkembangan produksi sektor pertanian yang lebih lambat dibandingkan perkembangan produksi 72

nasional, sedangkan tingkat pertambahan produksi sektor industri lebih cepat dari pada tingkat pertambahan produksi nasional dan tidak adanya perubahan dalam peranan sektor jasa dalam produksi nasional, yang artinya bahwa tingkat perkembangan sektor jasa adalah sama dengan tingkat perkembangan produksi nasional. Perubahan struktur ekonomi demikian disebabkan oleh beberapa faktor melalui proses pembangunan. Pertama, keadaan yang demikian disebabkan oleh sifat manusia dalam kegiatan konsumsinya, yaitu apabila pendapatan naik, elastisitas permintaan yang diakibatkan oleh perubahan pendapatan (income elasticity of demand) adalah rendah untuk konsumsi atas bahan-bahan makanan. Sedangkan permintaan terhadap bahan-bahan pakaian, perumahan, dan barangbarang konsumsi hasil industri keadaannya adalah sebaliknya. Sifat permintaan masyarakat yang seperti ini ditujukkan oleh Engels yang disebut sebagai hukum Engels. Pada hakikatnya teori ini mengatakan bahwa makin tinggi pendapatan masyarakat, maka akan makin sedikit proporsi pendapatan yang digunakan untuk membeli bahan pertanian. Akan tetapi sebaliknya, proporsi pendapatan yang digunakan untuk membeli produksi barang-barang industri menjadi bertambah besar (Sukirno, 2011). Kedua, perubahan struktur yang disebabkan oleh perubahan teknologi yang terus menerus berlangsung. Perubahan teknologi yang terjadi dalam proses pembangunan akan menimbulkan perubahan struktur produksi yang bersifat compulsory dan inducive. Kemajuan teknologi akan mempertinggi produktivitas kegiatan-kegiatan ekonomi yang selanjutnya akan memperluas pasar serta kegiatan perdagangan. Perubahan-perubahan ini akan menimbulkan kebutuhan

73

untuk menghasilkan barang-barang baru.

Demikian pula industrialisasi,

urbanisasi, dan pengembangan kota yang selalu mengikuti proses pembangunan ekonomi memerlukan perumahan yang lebih baik, jaringan pengangkutan dan perhubungan yang lebih sempurna dan administrasi pemerintahan yang lebih luas, untuk menjamin agar kehidupan di kota-kota dan kegiatan ekonomi yang semakin bertambah kompleks dapat berjalan dengan teratur. Barang-barang dan jasa tersebut merupakan benda-benda yang harus diciptakan untuk memenuhi keperluan masyarakat baru, yang timbul sebagai akibat dari kemajuan teknologi dan pembangunan ekonomi. Oleh sebab itu, perubahan tersebut dinamakan perubahan struktur produksi nasional yang bersifat compulsory. Selanjutnya, kemajuan teknologi menyebabkan pula perubahan dalam struktur produksi nasional yang bersifat inducive, yaitu kemajuan tersebut menciptakan barangbarang baru yang menambah pilihan barang-barang yang dapat dikonsumsi masyarakat.

2.4 Otonomi Daerah Otonomi daerah merupakan suatu istilah pemerintahan yang dipahami sebagai penyerahan wewenang yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan antara

pemerintah

pusat

dan

pemerintahan

daerah.

Di

samping

itu,

penyelenggaraan otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi,

partisipasi

masyarakat,

pemerataan,

memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. 74

dan

keadilan,

serta

Kewenangan

otonomi

luas

adalah

keleluasaan

daerah

untuk

menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan yaitu perencanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi kecuali bidang luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, dan peraturan pemerintah. Kewenangan otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan daerah dalam bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup, dan berkembang di daerah. Kewenangan otonomi yang bertanggungjawab adalah perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewajiban kepada daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi. Untuk menyelenggarakan otonomi daerah tersebut, maka daerah diberi kewenangan untuk menggali sumber keuangan daerah sendiri yang didukung oleh perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah serta antara provinsi dan kabupaten/kota sebagai prasyarat dalam sistem pemerintahan daerah. Pemberian otonomi kepada daerah sangat diperlukan untuk memperbesar partisipasi masyarakat di seluruh Indonesia dalam memberikan keputusan yang berdampak langsung kepada daerahnya, sebab sangatlah tidak realistik jika Pemerintah Pusat membuat keputusan mengenai pelayanan masyarakat untuk seluruh negeri. Demikian juga diyakini bahwa masyarakat lokal melalui kabupaten/kota memiliki pengetahuan yang lebih tentang kebutuhan, kondisi dan yang diprioritaskan. Mobilisasi sumber daya lebih dimungkinkan dilakukan oleh masyarakat yang dekat dengan pengambil keputusan di tingkat lokal (Simanjuntak, 2003). Dengan demikian hakikat otonomi adalah meletakkan

75

landasan

pembangunan

yang

tumbuh

dan

berkembang

dari

rakyat,

diselenggarakan secara sadar dan mandiri oleh rakyat, dan hasilnya dinikmati oleh seluruh rakyat. Harapan dilaksanakannya otonomi daerah adalah agar pemerintah daerah daerah lebih fleksibel dalam mengatur strategi pembangunannya, karena dengan adanya otonomi pemerintah akan lebih dekat dengan masyarakatnya, sehingga makin banyak keinginan masyarakat dapat dipenuhi oleh pemerintah. Dengan adanya otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat dan kemakmuran seluruh masyarakat Indonesia pada masa yang akan datang. Selain itu, pemberian otonomi terhadap daerah sangat perlu karena makin berkembangnya kesadaran terhadap pembangunan yang bercirikan “growth and equitya” dan juga munculnya kebutuhan untuk menciptakan “sustainable development” serta terciptanya “good governance”, mengisyaratkan perlunya partisipasi pembangunan dari masyarakat. Untuk itu, maka peran pemerintah daerah meratakan pembangunan dan menciptakan kelestarian pembangunan menjadi sangat penting (Suwandi, 2000). Desentralisasi sebagai pengembangan otonomi daerah memiliki prinsip money should follow function yang artinya setiap penyerahan atau pelimpahan wewenang pemerintahan membawa konsekuensi pada anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Jumlah bidang pemerintahan yang menjadi tanggungjawab birokrasi adalah sama di antara pemerintahan kabupaten/kota dan provinsi di Indonesia, namun keberhasilan masing-masing daerah melaksanakan kewenangannya tergatung kepada daerah yang bersangkutan

76

sesuai dengan kreativitas, kemapuan organisasi pemerintahan daerah, dan kondisi setiap daerah (Badrudin, 2012). Desentralisasi fiskal menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah Pasal 1 didefenisikan sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom unutuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan adanya desentralisasi fiskal diharapkan dapat menghasilkan dua manfaat nyata, yaitu: pertama, mendorong peningkatan partisipasi, prakarsa, dan kreativitas masyarakat dalam pembangunan, serta mendorong pemerataan hasil-hasil pembangunan di seluruh Indonesia; dan yang kedua diharapkan dapat memperbaiki alokasi sumber daya produktif melalui pergeseran peran pengambil keputusan ke tingkat pemerintah yang lebih rendah. Agar tujuan desentralisasi fiskal dapat tercapai, maka ada empat elemen penting dalam desentralisasi fiskal yang harus diperhatikan. Empat elemen tersebut, antara lain: (1) sistem dana perimbangan (transfer); (2) sistem pajak dan pinjaman daerah; (3) sistem administrasi dan anggaran pemerintah pusat dan daerah; dan (4) penyediaan layanan publik dalam konteks penerapan Sistem Pelayanan Minimal (SPM) (Mardiasmo, 2002). Sistem dana perimbangan terdapat transfer dari pemerintah pusat yang pada prakteknya masih merupakan sumber pembiayaan dominan pada sebagian besar pemerintah daerah di Indonesia. Sistem pajak daerah terdapat pembatasan otonomi dari segi penerimaan yang cenderung berimplikasi pada penetapan redistribusi baru dan pembatasan atau penundaan mekanisme penerusan pinjaman

77

luar negeri sehingga terjadi praktek defisit anggaran. Sistem pinjaman daerah terdapat perubahan regulasi dalam bentuk peningkatan batasan defisit anggaran daerah dan juga batasan akumulasi pinjaman yang menandakan belum sepenuhnya disiplin fiskal berjalan. Sistem administrasi dan anggaran pemerintah pusat dan daerah terdapat efisiensi pada bagian pendapatan tidak akan efektif jika tidak ada disiplin fiskal dari pengeluaran pemerintah dan peningkatan efisiensi pengelolaan anggaran pusat dan daerah. Penyediaan layanan publik dalam konteks penerapan SPM terdapat otonomi luas untuk tingkat kabupaten/kota dan provinsi belum dikaitkan dengan skala ekonomis terkait dengan jenis layanan publik.

2.4.1 Keuangan Daerah Keuangan daerah berperan penting dalam otonomi daerah karena keuangan daerah menggambarkan cerminan kemampuan daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.

Penyelenggaraan

urusan

pemerintahan

yang

menjadikan

kewenangan daerah didanai dari dan atas beban anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Berdasarkan penjelasan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah , defenisi keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang dan segala sesuatu baik berupa uang dan barang yang dijadikan milik daerah yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut dalam kerangka APBD. Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dilihat dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban 78

daerah tersebut (Adisasmita, 2011). Keuangan daerah dikelola dengan menggunakan 4 (empat) prinsip, yaitu. 1) Prinsip Kemandirian: prinsip ini mengarah pada pengelolaan anggaran yang dikelola dengan pengurangan ketergantungan terhadap sumber keuangan yang sifatnya pragmatis datang dari atas, tanpa harus mencoba melakukan sebuah inovasi dan penemuan sumber-sumber penerimaan yang baru, optimalisasi terhadap sumber-sumber daya yang dimiliki, peningkatan kualitas sumber daya yang ada sehingga akan mendorong perbaikan produktivitas yang akan mengarah

kepada perbaikan kemakmuran dan

kesejahteraan masyarakat. 2) Prioritas: penggunaan skala prioritas dalam menentukan objek-objek dalam perjalanan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Adanya sebuah indikator dalam menentukkan pilihan objek yang terbaik dari alternatif yang terbaik (best of the best). 3) Efisisensi, efektivitas, dan ekonomis: efisiensi adalah input yang digunakan dialokasikan secara optimal dan baik untuk mencapai output yang menggunakan biaya terendah, efektif adalah pencapaian tujuan atau sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya, dan ekonomis adalah penghematan input untuk mendapatkan output yang baik, semua input yang digunakan dibiayai dengan harga termurah. 4) Disiplin anggaran: penggunakan anggaran sesuai dengan alokasi anggaran yang telah ditentukan sebelumnya. Salah satu faktor yang mempengaruhi dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah faktor keuangan yang baik. Istilah keuangan ini mengandung arti setiap

79

hak yang berhubungan dengan masalah uang, yang antara lain berupa sumber pendapatan, jumlah uang yang cukup, dan pengelolaan keuangan yang sesuai dengan tujuan dan peraturan yang berlaku. Faktor keuangan penting dalam setiap kegiatan pemerintah, karena hampir tidak ada kegiatan pemerintahan yang tidak membutuhkan biaya. Makin besar jumlah uang yang tersedia, makin banyak pula kemungkinan kegiatan atau pekerjaan dapat dilaksanakan. Pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah. APBD merupakan ilustrasi yang digunakan dalam memberikan gambaran bagaimana pelaksanaan pembangunan dilaksanakan dalam suatu daerah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah, APBD didefenisikan sebagai rencana operasional keuangan pemerintah daerah, dimana satu pihak menggambarkan perkiraan pengeluaran guna membiayai kegiatan-kegiatan dan proyek-proyek daerah dalam satu tahun anggaran tertentu dan dipihak lain menggambarkan perkiraan penerimaan dan sumber-sumber penerimaan daerah guna menutupi pengeluaran-pengeluaran yang dimaksud. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Standar Akuntansi Pemerintahan, struktur APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari. 1) Pendapatan Daerah adalah semua penerimaan kas yang menjadi hak daerah dan diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam satu tahun

80

anggaran dan tak perlu dibayar lagi oleh pemerintah. Kelompok pendapatan terdiri atas; a. Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundangundangan. b. Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang

dialokasikan

kepada

daerah

dalam

rangka

pelaksanaan

desentralisasi. c. Lain-lain Pendapatan yang sah adalah pendapatan lain-lain yang dihasilkan dari bantuan dan dana penyeimbang dari pemerintah pusat. 2) Belanja Daerah adalah semua pengeluaran kas daerah atau kewajiban yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode satu tahun anggaran yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh pemerintah. Kelompok belanja terdiri atas. a. Belanja Administrasi Umum (belanja tak langsung) adalah belanja yang secara tak langsung dipengaruhi program atau kegiatan. b. Belanja Operasional dan Pemeliharaan (belanja langsung) adalah belanja yang secara langsung dipengaruhi program atau kegiatan. c. Belanja Modal adalah belanja langsung yang digunakan untuk membiayai kegiatan yang akan menambah aset. d. Belanja Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan adalah belanja langsung yang digunakan dalam pemberian bantuan berupa uang dengan tidak mengharapkan imbalan. e. Belanja Tak Disangka adalah belanja yang langsung dialokasikan untuk kegiatan diluar rencana, seperti terjadinya bencana alam. 81

3) Transfer adalah penerimaan/pengeluaran uang dari suatu entitas pelaporan lain, termasuk dana perimbangan dan bagi hasil. 4) Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya, yang dalam penganggaran pemerintah terutama dimaksud untuk menutup defisit atau memanfaatkan surplus anggaran. Surplus APBD digunakan untuk membiayai pengeluaran daerah tahun anggaran berikutnya, membentuk dana cadangan, dan penyertaan modal dalam perusahaan daerah. Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumbersumber

pembiayaan

untuk

menutup

defisit

tersebut.

Pengaturan

dana

dekonsentrasi bertujuan untuk menjamin tersedianya dana bagi pelaksanaan kewenangan pemerintah pusat yang dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Dana tugas pembantuan untuk menjamin tersedianya dana bagi pelaksanaan kewenangan pemerintah pusat yang ditugaskan kepada daerah. Dalam undang-undang hal ini ditegaskan bahwa pengadministrasian dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan dilakukan melalui mekanisme APBD. Hal ini dimaksudkan agar penyelenggaraan pembangunan dan pemerintahan daerah dapat dilakukan secara efektif, efisien, transparan, dan akuntabel.

2.4.2 Kinerja Keuangan Daerah Kinerja menurut Indra Bastian (2006) adalah sebagai prestasi yang dicapai oleh organisasi dalam periode tertentu. Kinerja merupakan pencapaian atas apa yang direncanakan, baik oleh pribadi maupun organisasi (Hamzah, 2008).

82

Pengukuran kinerja penting untuk dilakukan dikarenakan dapat meningkatkan efisiensi, keefektivitas, penghematan, dan produktivitas pada organisasi sektor publik. Pengukuran kinerja ini dimaksudkan untuk mengetahui capaian kinerja yang telah dilakukan organisasi dan sebagai alat untuk pengawasan serta evaluasi organisasi. Pengukuran kinerja akan memberikan umpan balik sehingga terjadi upaya perbaikan yang berkelanjutan untuk mencapai tujuan dimasa mendatang. Pengukuran kinerja keuangan daerah menyangkut 3 (tiga) bidang analisis yang saling terkait satu dengan yang lainnya, ketiga bidang tersebut yaitu: a. Analisis Penerimaan, yaitu analisis mengenai kemampuan pemerintah daerah dalam menggali sumber-sumber pendapatan potensial. b. Analisis Pengeluaran, yaitu analisis mengenai seberapa besar biaya-biaya dari suatu layanan publik dan faktor-faktor yang menyebabkan biaya-biaya tersebut meningkat. c. Analisis Anggaran, yaitu analisis mengenai hubungan antara pendapatan dan pengeluaran serta kecenderungan yang diproyeksikan untuk masa depan. Pemerintah daerah merupakan organisasi sektor publik yang dituntut untuk dapat memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat. Pengukuran kinerja keuangan pemerintah daerah merupakan salah satu cara untuk mengetahui apakah pemerintah daerah berhasil mengelola keuangannya yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pengukuran kinerja yang bersifat finansial biasanya dilakukan memenuhi tiga tujuan, yaitu (1) memperbaiki kinerja pemerintah; (2) membantu mengalokasikan sumber daya yang tepat; dan (3) mewujudkan pertanggungjawaban publik (Mardiasmo, 2002).

83

Pengukuran kinerja keuangan daerah dapat diukur melalui perhitungan rasio-rasio keuangan. Analisis rasio keuangan pada APBD dilakukan dengan membandingkan hasil yang dicapai dari satu periode dibandingkan dengan periode sebelumnya sehingga dapat diketahui bagaimana kecenderungan yang terjadi. Selain itu dapat pula dilakukan dengan cara membandingkan dengan rasio keuangan daerah lainnya yang terdekat ataupun yang potensi daerahnya relatif sama untuk dilihat bagaimana posisi rasio keuangan pemerintah tersebut terhadap pemerintah daerah lainnya. Adapun pihak-pihak yang berkepentingan dengan rasio keuangan APBD antara lain: 1) DPRD sebagai wakil dari pemilik daerah (masyarkat); 2) pihak eksekutif sebagai landasan dalam penyusunan APBD berikutnya; 3) Pemerintah Pusat/provinsi sebagai bahan masukan dalam pembinaan pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah; dan 4) masyarakat dan kreditur, bersedia memberi pinjaman ataupun membeli obligasi. Kelemahan utama dalam manajemen keuangan daerah adalah tidak adanya ukuran kinerja yang dapat dijadikan acuan bagi pemerintah daerah dalam proses perencanaan, ratifikasi, implementasi, dan evaluasi terhadap keuangan daerah. Selama ini satu-satunya ukuran kinerja yang ada adalah ukuran kinerja yang ditentukan oleh pemerintah pusat, yaitu aturan jumlah belanja daerah baik belanja aparatus maupun belanja pelayanan publik yang tertera dalam APBD adalah jumlah maksimal yang dapat dibelanjakan untuk setiap pos belanja daerah. Dengan aturan ini kinerja belanja daerah disebut baik apabila realisasinya sesuai dengan target, yaitu semua dana belanja daerah dihabiskan pada tahun anggaran yang bersangkutan (Mardiasmo, 2002).

84

Beberapa rasio yang digunakan untuk mengukur kinerja keuangan daerah, antara lain. a. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah. Rasio ini menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintah, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan daerah. Kemandirian keuangan daerah dihitung dengan membandingkan realisasi pendapatan asli daerah (PAD) dengan total pendapatan daerah.Rasio ini dapat diformulasikan sebagai berikut (Halim, 2004). 100%

Rasio Kemandirian =

Rasio ini menunjukkan derajat kontribusi PAD terhadap total penerimaan daerah. Semakin tinggi kontribusi PAD, maka semakin tinggi kemampuan pemerintah dalam penyelenggaraan desentralisasi (Mahmudi, 2007). Semakin tinggi rasio kemandirian menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak eksternal (pemerintah pusat dan provinsi) semakin rendah,

dan

demikian

pula

sebaliknya.

Rasio

kemandirian

juga

menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi rasio kemandirian berarti semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang merupakan komponen utama dalam pendapatan asli daerah (Halim, 2002). Hasil rasio kemandirian menunjukkan hubungan situasional, yaitu pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah yang dapat digunakan dalam pelaksanaan otonomi daerah terutama pelaksanaaan Undang-undang Nomor 25 Tahun

85

1999 tentang Perimbangan Keuangan antara pemerintah pusat dan daerah (Halim, 2004). Pola hubungan itu sebagai berikut. 1) Pola instruktif, yaitu bahwa peranan pemerintah pusat lebih dominan dari pemerintah daerah. 2) Pola konsulatif, yaitu bahwa campur tangan pemerintah pusat sudah mulai berkurang karena darah dianggap sedikit lebih mampu melaksanakan otonomi daerah. 3) Pola partisipatif, yaitu bahwa peranan pemerintah pusat semakin berkurang

mengingat

kemandiriannya

daerah

mendekati

yang

kemampuan

bersangkutan

tingkat

melaksanakan

urusan

otonomi daerah. 4) Pola delegatif, yaitu bahwa campur tangan pemerintah pusat sudah tidak ada karena daerah telah benar-benar mampu dan mandiri dalam melaksanakan otonomi daerah. Pola hubungan diatas dapat diukur menurut Tabel 2.3. Tabel 2.3 Kriteria Tingkat Kemampuan Keuangan Daerah Tingkat Kemampuan Kemandirian Pola Hubungan Keuangan Daerah (%) Rendah Sekali 0 – 25 Instruktif Rendah 26 – 50 Konsultatif Sedang 51 – 75 Partisipatif Tinggi 76 – 100 Delegatif Sumber : Halim, 2004

b. Rasio Efektivitas. Rasio efektivitas menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam memobilisasi penerimaan PAD sesuai dengan yang ditargetkan (Mahmudi, 2007). Rasio ini mengukur tingkat output dari organisasi sektor publik 86

terhadap target-target pendapatan sektor publik. Pengukuran tingkat efektivitas memerlukan dara-data realisasi pendapatan dan anggaran atau target pendapatan. Rasio efektivitas diformulasikan sebagai berikut. 100%

Rasio Efektivitas =

Kriteria kinerja nilai rasio efektivitas dapat diukur sebagai berikut. Tabel 2.4 Pedoman Penilaian Efektivitas Keuangan Persentase Kinerja Keuangan (%) > 100 91 – 100 81 – 90 61 – 80 0 – 60 Sumber : Mahsun, 2006

Kriteria Sangat efektif Efektif Cukup Efektif Kurang Efektif Tidak Efektif

c. Rasio Keserasian Rasio ini menggambarkan bagaimana pemerintah daerah memprioritaskan alokasi dananya pada belanja aparatur dan belanja pelayanan publik secara optimal. Rasio ini bermanfaat untuk pengendalian biaya dan pengendalian anggaran. Semakin tinggi persentase dana yang dialokasikan untuk belanja aparatur berarti persentase belanja investasi (belanja pelayanan publik) yang digunakan untuk menyediakan sarana prasarana ekonomi masyarakat cenderung semakin kecil. Belum ada patokan yang pasti berapa besarnya rasio belanja aparatur maupun belanja pelayanan publik terhadap belanja daerah yang ideal, karena sangat dipengaruhi oleh dinamisasi kegiatan pembangunan dan besarnya kebutuhan investasi yang diperlukan untuk mencapai pertumbuhan yang ditargetkan. Oleh karena itu, rasio belanja

87

pembangunan yang relatif kecil perlu ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan pembangunan daerah. Rasio keserasian diformulasikan sebagai berikut. %

Rasio Keserasian=

Dengan mengetahui hasil perbandingan antara total belanja modal dengan total belanja daerah, maka penilaian kinerja keuangan daerah terkait dengan keserasian belanja daerah ditentukan sebagai berikut. Tabel 2.5 Keserasian Belanja Daerah Rasio Keserasian(%) 0 – 20 21 – 40 41 – 60 61 – 80 81 – 100

Kriteria Keserasian Tidak Serasi Kurang Serasi Cukup Serasi Serasi Sangat Serasi

Sumber : Mahsun, 2006 d. Rasio upaya PAD. Penerimaan PAD pada suatu daerah sangat dipengaruhi oleh kemampuan aparatur perpajakan memungutnya serta kemampuan masyarakat untuk membayar (ability to pay) yang umumnya dicerminkan oleh pendapatan per kapita masyarakat. Oleh karena itu, usaha pemungutan PAD umumnya diukur berdasarkan rasio antara PAD dengan PDRB per kapita. Upaya pemungutan PAD menunjukkan kemampuan pemerintah dalam meningkatkan pendapatan asli daerah berdasarkan potensi daerah. Secara logika pendapatan masyarakat yang tinggi wajar jika dikenakan pajak atau pungutan tinggi untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Oleh karena itu upaya pemungutan PAD umumnya diukur dengan membandingkan realisasi pendapatan asli daerah dengan PDRB. Dengan demikian upaya pemungutan PAD dihitung dengan rumus:

88

100%

Upaya PAD =

2.4.3 Hubungan Kinerja Keuangan Daerah dan Kesejahteraan Masyarakat Sejak diterapkannya Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Otonomi Daerah sudah dilaksanakan di Indonesia. Berbagai dampak, baik positif maupun negatif, dialami oleh daerah, khususnya kota dan kabupaten yang menjadi sasaran kebijakan otonomi daerah. Dengan memperhatikan dampak negatif yang timbul tersebut, kebijakan otonomi daerah terus mengalami perubahan menuju perbaikan. Dengan harapan utama, otonomi daerah memberikan perbaikan bagi kesejahteraan warga masyarakat lokal. Tanpa ada perbaikan kesejahteraan warga, otonomi daerah sebagai suatu trobosan akan kehilangan makna. Pemerintah daerah merupakan salah satu organisasi sektor publik yang dituntut untuk dapat memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat. Dengan adanya desentralisasi politik, administratif, dan fiskal yang tujuan masing-masing adalah untuk menciptakan distribusi pembagian kekuasaan yang adil antara pusat dan daerah, mempercepat pelayanan kepada masyarakat, serta memperkuat fiskal daerah dan mengurangi ketimpangan atau disparitas fiskal antara pemerintah daerah maupun antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, maka peran dan tanggungjawab pemerintah daerah semakin besar dan penting (Anwar Syah, 2002). Selain itu pengukuran kinerja keuangan pemerintah daerah merupakan suatu cara untuk menginformasikan beberapa isu penting yang bisa digunakan oleh pemerintah daerah untuk mengetahui apakah mereka berhasil 89

mengelola keuangannya. Pengukuran kinerja keuangan juga dapat digunakan sebagai bahan dalam pembuatan kebijakan dalam pengelolaan keuangan daerah yang pada akhirnya diharapkan dapat berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pengaruh otonomi daerah pada bidang keuangan daerah, termasuk di dalamnya kebijakan desentralisasi fiskal, dimana Pemerintah Daerah memiliki kewenangan yang semakin kuat dan luas untuk mengelola keuangan pemerintahannya. Tidak saja kewenangan di sisi belanja namun juga kewenangan untuk lebih meningkatkan kemampuan memperoleh sumber-sumber pendapatan. Menurut Robert Simanjuntak (2003) dinyatakan “Local Taxing Power” sebagai necessary condition sebagai wujud dari otonomi daerah yang lebih luas. Hal ini mengandung makna bahwa otonomi daerah seharusnya tercermin dari kewenangan-kewenangan untuk menghimpun pendapatan dan pajak. Tanpa kewenangan untuk melakukan pungutan pajak, maka pemerintah daerah tidak memiliki kekuatan riil yang merupakan wujud nyata otonomi itu sendiri. Pungutan pajak tentu saja bersumber dari kegiatan-kegiatan ekonomi yang berkembang optimal di daerah tersebut. Jadi antara sumber pajak dan kegiatan ekonominya dapat diselaraskan. Artinya sumber-sumber penerimaan pajak akan berasal dari kegiatan-kegiatan ekonomi produktif yang menjadi potensi daerah tersebut.

2.4.4 Hubungan Kinerja Keuangan melalui Pembangunan Ekonomi dan Perubahan Struktur Ekonomi terhadap Kesejahteraan Masyarakat Desentralisasi fiskal adalah suatu instrument yang digunakan oleh pemerintah dalam mengelola pembangunan guna mendorong perekonomian

90

daerah maupun nasional. Hal ini dilakukan melalui mekanisme hubungan keuangan dalam hal memberikan kemudahan dalam pelaksanaan pembangunan di daerah, sehingga akan berimbas kepada kondisi perekonomian yang lebih baik, yang menuju pada kesejahteraan masyarakat. Agar pelaksanaan desentralisasi fiskal dapat berjalan dengan baik, maka diperlukan upaya aktif dari pemerintah daerah untuk dapat terus meningkatkan kemampuan keuangannya sehingga daerah memiliki kemandirian dan tidak semata-mata tergantung pada transfer daerah yang berasal dari APBN. APBD adalah suatu rencana kerja pemerintah daerah yang mencakup seluruh pendapatan atau penerimaan dan belanja atau pengeluaran pemerintah daerah, baik provinsi, kabupaten, dan kota dalam rangka mencapai sasaran pembangunan dalam kurun waktu satu tahun yang dinyatakan dalam satuan uang dan disetujui oleh DPRD dalam peraturan peundangan yang disebut Peraturan Daerah. Sumber-sumber pendanaan pelaksanaan pemerintah daerah, salah satunya adalah Pendapatan Asli Daerah yang merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah. Pajak merupakan pungutan yang dipaksakan oleh pemerintah untuk tujuan-tujuan tertentu. Pajak merupakan modal dasar pembangunan. Misalnya untuk membiayai penyediaan barang dan jasa publik, untuk mengatur perekonomian dan juga untuk mengatur konsumsi masyarakat. Dalam artian bahwa pada saat pemerintah melakukan belanja barang dan jasa terjadi aliran pendapatan dari pemerintah ke masyarakat. Kenaikan pendapatan masyarakat ini akan merangsang peningkatan permintaan dan dalam kondisi penawaran yang relatif terbatas akan terjadi kecenderungan kenaikan harga (untuk

91

selanjutnya mengarah pada inflasi). Dalam situasi seperti ini sebagian pendapatan masyarakat yang meningkat itu diambil oleh pemerintah melalui pajak untuk membiayai defisit anggaran berikutnya. Hal inilah yang dikatakan sebagai forced saving, yang selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk pembentukkan modal. Dalam pelaksanaan pemanfaatan pembentukkan modal digunakan barang-barang dan jasa-jasa dengan berbagai bentuk termasuk berupa uang. Penggunaan uang untuk melaksanakan fungsi pemerintah inilah yang disebut sebagai pengeluaran pemerintah. Pengeluaran pemerintah dapat juga diartikan sebagai penggunaan uang dan sumber daya suatu negara/daerah untuk membiayai suatu kegiatan negara atau pemerintah dalam rangka mewujudkan fungsinya dalam melakukan kesejahteraan. Dasar dari model pengembangan pertumbuhan sektor publik adalah bahwa perekonomian mengalami perubahan struktur dan kebutuhan untuk berkembang. Tahap awal pembangunan dipandang sebagai periode industrialisasi dimana penduduk bergerak dari pedesaan ke daerah perkotaan. Biasanya pertumbuhan yang cepat dalam tahap pembangunan akan tercapai dengan hasil yang signifikan apabila terjadi peningkatan pengeluaran dan sifat dari pengeluaran tersebut akan ditentukan oleh peran infrastruktur yang dominan. Terdapat dua sifat pengeluaran pemerintah, yang pertama, yaitu bersifat eksekutif yang adalah pengeluaran pemerintah yang berupa pembelian atau belanja barang dan jasa dalam perekonomian baik untuk konsumsi maupun untuk menghasilkan suatu barang lagi, atau produksi. Yang kedua yaitu pengeluaran pemerintah yang berupa pemindahan ke dalam bentuk lain, seperti untuk jaminan kesehatan, jaminan nasional, dan lain-lain.

92

Model pembangunan dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave yang menyatakan bahwa pertumbuhan pengeluaran publik mungkin berhubungan dengan pola pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di masyarakat. Kedua ekonom

tersebut

juga

mengatakan

bahwa

model

ini

menghubungkan

perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi yaitu tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut. Ketiga tahapan tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.5. Gambar 2.5. Model Pembangunan Rostow dan Musgrave

Sumber : Mangkoesoebroto, 1997 Keterangan: 1) Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah lebih besar dibandingkan dengan tabungan swasta, karena pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana seperti pendidikan, kesehatan, transportasi, dan sebagainya. Oleh karena itu pada tahap ini dikenal dengan istilah social overhead capital. Selain itu pada tahap awal pembangunan ini dipandang sebagai periode industrialisasi, dimana penduduk bergerak dari

93

pedesaan ke daerah perkotaan, maka dibutuhkan pengeluaran pemerintah untuk pengembangan infrastruktur perkotaan. 2) Tahap menengah pembangunan ekonomi merupakan fase pertumbuhan yang cepat dimana ada peningkatan besar dalam tabungan swasta dan investasi publik secara proporsional. Pada tahap menengah ini investasi pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan perekonomian ekonomi agar dapat tinggal landas. Peranan pemerintah tetap besar pada tahap menengah, karena peranan swasta yang semakin besar akan menimbulkan banyak kegagalan pasar dan juga menyebabkan pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih banyak. Pada tahap ini pula perkembangan ekonomi menyebabkan terjadinya hubungan antar sektor yang makin kompleks. Misalnya, pertumbuhan ekonomi

yang ditimbulkan oleh

perkembangan sektor industri akan menimbulkan semakin tingginya pencemaran atau polusi. Pemerintah juga harus melindungi buruh dalam meningkatkan kesejahteraannya. Musgrave (1983) berpendapat bahwa dalam suatu proses pembangunan, investasi swasta dalam persentase PDB semakin besar dan persentase investasi pemerintah terhadap PDB akan semakin kecil. Pengembangan infrastruktur kota juga termasuk ke dalam tahap ini, pengeluaran untuk infrastruktur berkaitan dengan pengeluaran dari sektor swasta, karena perkembangan sektor swasta seperti konstruksi pabrik, didukung oleh investasi dari sektor publik, misalnya pembangunan jalan. Ketika tingkat urbanisasi meningkat, dan kepadatan penduduk juga meningkat, maka akan menghasilkan eksternalitas seperti polusi dan

94

kejahatan. Dan hal ini akan meningkatkan proporsi pengeluaran publik untuk eksternalitas. 3) Pada tahap ketiga ini masyarakat memiliki penghasilan tinggi dengan ditandai dengan meningkatnya permintaan untuk barang-barang pribadi yang membutuhkan investasi publik. Pada tingkat ekonomi lebih lanjut ini, Rostow juga mengatakan bahwa aktivitas pemerintah dalam pembangunan ekonomi beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran-pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti program kesejahteraan hari tua dan pelayanan kesehatan masyarakat, selain itu pemerintah juga meningkatkan bidang keamanan dan pendidikan. Adolf Wagner menyatakan bahwa pengeluaran pemerintah dan kegiatan pemerintah semakin lama semakin meningkat. Tendensi ini oleh Wagner disebut dengan hukum selalu meningkatnya peranan pemerintah. Wagner menyatakan bahwa dalam suatu perekonomian apabila pendapatan per kapitanya meningkat maka secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat terutama disebabkan karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat, hukum, pendidikan, rekreasi, kebudayaan, dan sebagainya. Wagner mengakui tiga fungsi negara, yaitu menyediakan adminsitrasi dan perlindungan; memastikan stabilitas; dan menjamin kesejahteraan akonomi dan sosial masyarakat secara keseluruhan. Hukum Wagner yang menjelaskan tentang perkembangan pengeluaran pemerintah ditunjukkan dalam kurva pada Gambar 2.6, dimana kenaikan pengeluaran pemerintah mempunyai bentuk eksponensial dengan kurva berbentuk cembung dan bergerak naik dari kiri bawah menuju kanan atas, sebagaimana yang 95

ditunjukkan Kurva 1, dan bukan seperti yang ditunjukkan oleh Kurva 2 yang memiliki bentuk linear. Berdasarkan kurva diatas diketahui bahwa pada tahun ke-1, persentase pengeluaran pemerintah masih relative kecil terhadap PDB, sedangkan pada tahun ke-2, persentase pengeluaran pemerintah terhadap PDB mengalami peningkatan. Hal tersebut terjadi pula pada tahun-tahun berikutnya, karena itulah kurva pengeluaran pemerintah mempunyai kurva eksponensial yang ditunjukkan pada Gambar 2.6. Gambar 2.6 Pertumbuhan Pengeluaran Pemerintah Menurut Wagner

Sumber : Mangkoesoebroto, 1997 Dengan demikian, kebijakan pemerintah melalui pengelolaan keuangan negara/daerah dalam kebijakan pengeluaran negara/daerah dapat menimbulkan dampak

atau

pengaruh

terhadap

perekonomian.

Ada

beberapa

sektor

perekonomian yang umumnya terpengaruh oleh besar kecilnya pengeluaran negara, antara lain. 96

a. Sektor Produksi Pengeluaran negara/daerah secara langsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap sektor produksi barang dan jasa. Dilihat secara agregat pengeluaran negara merupakan faktor produksi (uang), melengkapi faktor-faktor produksi yang lain (sumber daya manusia, mesin, sumber daya alam, metode, kewiraswastaan). Pengeluaran pemerintah untuk pengadaan barang dan jasa akan berpengaruh secara langsung terhadap produksi barang dan jasa yang dibutuhkan pemerintah. Pengeluaran pemerintah untuk sektor pendidikan akan berpengaruh secara tidak langsung terhadap perekonomian, karena pendidikan akan menghasilkan sumber daya manusia yang lebih berkualitas. Dengan sumber daya manusia yang berkualitas maka produksi juga akan meningkat. b. Sektor Distribusi Pengeluaran negara secara langsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap sektor distribusi barang dan jasa. Misalnya, subsidi yang diberikan oleh masyarakat menyebabkan masyarakat yang kurang mampu dapat menikmati barang/jasa yang dibutuhkan, misalnya subsidi listrik, pupuk, bahan bakar, dan lain sebagainya. Pengeluaran pemerintah untuk biaya pendidikan SD sampai SLTA berpengaruh kepada masyarakat yang kurang mampu dapat menikmati pendidikan yang lebih baik. Dengan pendidikan yang lebih baik, diharapkan masyarakat tersebut dapat meningkatkan taraf hidupnya di masa yang akan datang. Apabila pemerintah tidak mengeluarkan dana untuk keperluan tersebut, maka distribusi pendapatan, barang, dan jasa

97

akan berbeda. Hanya masyarakat yang mampu saja yang akan menikmati tingkat kehidupan yang lebih baik, sementara masyarakat yang kurang mampu tidak memperoleh kesempatan untuk meningkatkan taraf hidupnya. c. Sektor Konsumsi Masyarakat Pengeluaran negara secara langsung dan tidak langsung berpengaruh terhadap sektor konsumsi masyarakat atas barang dan jasa. Dengan adanya pengeluaran pemerintah untuk subsidi, tidak hanya menyebabkan masyarakat yang kurang mampu dapat menikmati suatu barang/jasa, namun juga menyebabkan masyarakat

yang sudah mampu akan mengkonsumsi

produk/jasa lebih banyak lagi. Kebijakan pengurangan subsidi, misalnya bahan bakar minyak, akan menyebabkan harga bahan bakar minyak naik, dan kenaikan harga tersebut akan menyebabkan konsumsi masyarakat terhadap bahan bakar minyak turun. d. Sektor Keseimbangan Perekonomian Untuk mencapai target-target peningkatan PDB, pemerintah dapat mengatur alokasi dan tingkat pengeluaran negara. Misalnya dengan mengatur tingkat pengeluaran yang tinggi untuk sektor-sektor tertentu, pemerintah dapat mengatur tingkat employment menuju full employment. Apabila target penerimaan tidak memadai untuk membiayai pengeluaran tersebut, pemerintah dapat membiayainya dengan pola defisit anggaran.

2.5 Penelitian Sebelumnya Nadir Habibi, dkk (2001) melakukan penelitian dengan judul “Decentralization in Argentina”. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan 98

evaluasi empiris dampak desentralisasi fiskal terhadap pembangunan manusia. Selain itu penelitian ini juga menyoroti hubungan antara desentralisasi dan perkembangan sosial dari satu periode waktu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat efek positif desentralisasi terhadap pembangunan manusia di Argentina

serta

pentingnya

akuntabilitas

dalam

mencapai

keberhasilan

desentralisasi fiskal. Hasil lain menemukan bahwa rezim desentralisasi di Argentina didominasi oleh devolusioner yang berkepentingan untuk melakukan perbaikan pada pembangunan manusia. Untuk meningkatkan kesejahteraan sosial pemerintah perlu strategi yang efisien dalam mempertimbangkan kelayakan fiskal di Argentina. Foellmi dan Zweimuller (2002) dalam makalah yang berjudul “Structural Change and the Kaldor Fact of Economic Growth” menemukan bahwa dalam jangka panjang terdapat perubahan yang dramatis mengenai struktur produksi dan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi model Kaldor. Model difokuskan pada penjelasan permintaan dari perubahan struktural sesuai dengan adanya realokasi yang dramatis dari tenaga kerja yang disebabkan oleh perbedaan elastis pendapatan antar sektor. Inovasi sangat berperan dalam pertumbuhan produksi yang mengarah kepada adanya interaksi sektoral dan dinamisasi agregat, yang mana prospek pertumbuhan ekonomi merupakan peran sentral untuk tumbuhnya industri baru. Demikian halnya riset dan pengembangan memberikan peran sentral untuk meningkatkan produktivitas. Hidayat Amir dan Suahasil Nazara (2005) dalam penelitian berjudul “Analisis Perubahan Struktur Ekonomi (Economic Landscape) dan Kebijakan

99

Strategi Pembangunan Jawa Timur Tahun 2994 dan 2000: Analisis Input Output”. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis berbagai sektor unggulan dalam perekonomian dan keterkaitan antar sektor yang terjadi dalam perekonomian dan mengidentifikasi perubahan struktur ekonomi sebagai sumber pijakan bagi kebijakan selanjutnya. Hasil penelitian menunjukkan terjadinya pergeseran dalam beberapa sektor unggulan dan angka pengganda sektoral. Perubahan ini mengindikasikan adanya perubahan sektoral terhadap perekonomian atau perubahan peranan sektor-sektor penting bagi perekonomian. Priyo Hadi Ari (2005) dalam penelitiannya yang berjudul “Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi” menganalisis pertumbuhan ekonomi sebelum dan setelah desentralisasi fiskal dan bagaimana kesiapan daerah dengan diberlakukannya desentralisasi fiskal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan desentralisasi fiskal terbukti meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Terkait dengan hal itu alokasi belanja pembangunan harus dilakukan secara cermat. Pertumbuhan ekonomi dan upaya peningkatan PAD relatif terjamin, namun demikian yang diuntungkan justru pihak swasta, dalam hal ini investor. Dengan demikian hendaknya belanja pemerintah diprioritaskan untuk pembangunan infrastruktur pembangunan ekonomi sehingga pertumbuhan ekonomi dapat merata. Made Suyana Utama (2006) dalam desertasinya berjudul “Pengaruh Perkembangan Pariwisata terhadap Kinerja Perekonomian dan Perubahan Struktur Ekonomi serta Kesejahteraan Masyarakat di Provinsi Bali” menemukan bahwa secara umum perkembangan pariwisata berpengaruh secara langsung terhadap

100

kinerja perekonomian, berpengaruh langsung dan tidak langsung terhadap perubahan struktur ekonomi, tetapi terhadap kesejahteraan masyarakat hanya berpengaruh secara tidak langsung. Perkembangan pariwisata memberikan pengaruh tidak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat melalui kinerja perekonomian dan perubahan struktur ekonomi. Andros M. P. Hasugian (2006) melakukan penelitian dengan judul “Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Keuangan Daerah dan Kemiskinan di Kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat”. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat kemandirian fiskal dan kinerja keuangan sebelum dan masa desentralisasi fiskal; laju dan profil kemiskinan; dan hubungan faktor-faktor penerimaan keuangan daerah terhadap kemiskinan di kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat. Hasil penelitian menemukan bahwa kinerja keuangan diukur dengan tingkat kemandirian lebih baik ketika sebelum desentralisasi. Sedangkan laju pengurangan kemiskinan lebih cepat pada masa desentralisasi fiskal. Bahwa jika terjadi peningkatan kemandirian yang ditujukkan melalui rasio PAD terhadap penerimaan negatif artinya rasio PAD terhadap penerimaan lebih kecil pada masa desentralisasi fiskal. Bahwa dana transfer berupa DAU tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kemiskinan, artinya persentase penduduk miskin pada masa desentralisasi fiskal lebih kecil. Adiwan F. Aritenang (2008) melakukan suatu penelitian dengan judul “A study on Indonesia Regions Disparity: Post Decentralization”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa disparitas antar provinsi di Indonesia masih parah dalam semua perhitungan. Kesenjangan memang meningkat sebelum desentralisasi

101

fiskal tetapi kemudian menurun setelah tahun 2002. Bahwa tingkat modal manusia, investasi modal tetap, dan proporsi pendapatan mempengaruhi tingkat kemiskinan. Dan bahwa proporsi pendapatan bergeser setelah desentralisasi dan tidak memiliki pengaruh yang signifikan. Penelitian Aritenang pada Tahun 2009 tentang “The Impact of Government Budget Shifts to Regional Disparities in Indonesia: Before and After Decentralisation” menggambarkan ketimpangan daerah di Indonesia sebelum dan setelah desentralisasi. Dari hasil penelitian tersebut ditemukan bahwa pembangunan di Indonesia masih menuju pada pertumbuhan konvergensi, dimana tiap provinsi

yang miskin memilki

pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dibandingkan daerah yang kaya. Namun kecepatan konvergensi telah tertekan oleh krisis keuangan pada Tahun 1997 dan belum berubah selama desentralisasi diberlakukan. Nanik Wahyuni (2008) dalam penelitiannya berjudul “Analisis Rasio untuk Mengukur Kinerja Pengelolaan Keuangan Daerah Kota Malang” menemukan bahwa secara rata-rata kinerja pengelolaan keuangan Kota Malang adalah baik. Namun ada beberapa aspek yang perlu diperbaiki oleh pemerintah Kota

Malang,

seperti

kemandirian

keuangan

dalam

membelanjakan

pendapatannya karena sebagian besar digunakan untuk belanja rutin. Isti’anah (2008) melakukan penelitian terhadap optimalisasi peranan DBH dalam pembangunan daerah menemukan bahwa Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) merupakan mekanisme yang dianggap paling bagus dan efektif sehingga sampai saat ini tidak menimbulkan problem ataupun sudah dianggap sebagai mekanisme yang paling

102

bagus, namun jika dicermati lebih mendalam dan kajian khusus maka bisa ditemukan belum tepatnya sistem tersebut. Jake Kendall pada tahun 2009 melakukan penelitian yang berjudul “Local Financial Development and Growth” menganalisis tentang hubungan antara perkembangan sektor perbankan, modal manusia, pertumbuhan ekonomi, dan kinerja keuangan daerah di tiap kabupaten di India. Hasil penelitian ditemukan bahwa pertumbuhan ekonomi di daerah di India secara finansial terkendala karena kurangnya pengembangan sektor perbankan, dan bahwa hubungan antara keuangan lokal dan pertumbuhan ekonomi tidak linear. Agus Tri Basuki dan Utari Gayatri (2009) dalam tulisannya “Penentu Sektor Unggulan dalam Pembangunan Daerah: Studi Kasus di Kabupaten Ogan Komering Ilir” mengidentifikasikan sektor-sektor dominan di kabupaten Ogan Komering Ilir. Dimana sektor pertanian merupakan sektor unggulan karena menunjukkan pertumbuhan dan kontribusi yang sangat besar terhadap pembentukkan PDRB. Sektor pengolahan merupakan sektor yang dominan tetapi kontribusinya kecil, sementara sektor bangunan, restoran dan hotel, serta jasa-jasa merupakan sektor kecil tetapi memiliki kontribusi yang besar, hal ini disebabkan oleh penurunan lapangan pekerjaan. I Dewa Gde Bisma dan Hery Susanto (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Evaluasi Kinerja Keuangan Daerah Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun Anggaran 2003-2007” mengukur kinerja keuangan daerah di Provinsi

NTB

dengan

melihat

tingkat

kemandirian

daerah,

tingkat

ketergantungan, tingkat desentralisasi fiskal, tingkat efektivitas, dan tingkat

103

efisiensi. Selain itu juga untuk mengukur kemampuan keuangan daerah melalui share dan growth APBD, indeks kemampuan keuangan dan peta kemampuan keuangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum kinerja keuangan daerah tidak optimal dalam pelaksanaan otonomi daerah. Hal tersebut ditunjang dengan kemampuan keuangan diklasifikasikan sebagai kemampuan keuangan tinggi. Kemampuan keuangan tinggi ini disebabkan oleh besaran subsidi atau bantuan keuangan yang diberikan pemerintah pusat melalui dana perimbangan. Andi Tri Pambudi (2010) melakukan penelitian dengan judul “Pergeseran Struktur Perekonomian atas dasar Penyerapan Tenaga Kerja di Provinsi Jawa Tengah” bertujuan untuk menganalisis struktur ekonomi di Provinsi Jawa Tengah. Hasil analisis menunjukkan bahwa terjadi perubahan struktur ekonomi di Jawa Tengah dari sektor tradisional ke sektor modern. Hal ini terlihat dari sektor industri yang menjadi sektor unggulan dan memiliki kontribusi dan pertumbuhan yang besar dalam penyerapan tenaga kerja daripada sektor tradisional sehingga terjadi pergeseran dalam penyerapan tenaga kerja di Provinsi Jawa Tengah. Yunisvita (2011) menganalisis perubahan struktural yang terjadi dalam perekonomian Sumatera Selatan khususnya dinamika perubahan struktur ekonomi (pangsa pasar terhadap PDRB) dan kesempatan kerja baik antar sektor maupun menurut jenis dan status pekerjaan. Dalam tulisannya

yang berjudul

“Transformasi Struktur Ketenagakerjaan dan Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Selatan” menemukan bahwa terjadi perubahan struktur ekonomi di Sumatera Selatan. Sementara pola pangsa psar penyerapan tenaga kerja relatif stabil.

104

Dampak dari adanya perubahan struktur yang tidak seimbang menyebabkan terjadinya penumpukkan tenaga kerja dengan pangsa produksi pada sektor pertanian. Jika hal ini dibiarkan maka akan terjadi proses percepatan kemiskinan pada sektor pertanian. M. Asrie Hamzah (2012) dalam penelitiannya “Menciptakan Lapangan Kerja Produktif dalam Pembangunan Ekonomi Daerah” mengkaji peran lapangan kerja produktif dalam pembangunan di daerah. Lapangan kerja produktif adalah paling utama dalam menanggulangi kemiskinan dan masalah disparitas sosialekonomi lainnya. Pertumbuhan ekonomi bukan saja menjadi sumber nilai tambah, tetapi sekaligus dapat menjadi sumber banyak masalah termasuk masalah keadilan di bidang ekonomi. Untuk mencegahnya maka lapangan kerja produktif harus menjadi pilihan utama kebijakan pembangunan di daerah, guna mengusahakan pertumbuhan ekonomi yang bermutu, seperti upaya pemerataan untuk mengurangi kesenjangan serta meningkatkan produktivitas masyarakat. Haryo Kuncoro (2012) dalam penelitiannya “Apakah Tata Kelola Perekonomian Daerah di Indonesia telah Meningkat?” menemukan bahwa selama pengamatan tahun 2007 dan 2011 menunjukkan tidak ada perubahan yang signifikan pada kinerja tata kelola perekonomian daerah di sejumlah kabupaten/kota di Indonesia. Tidak berubahnya kinerja tata kelola perekonomian daerah dikarenakan masalah lahan, program pengembangan usaha, pajak dan pungutan serta biaya transaksi lainnya, keamanan, serta peraturan pemerintah.

105