BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Ketuban Pecah Dini 1

BAB II . TINJAUAN TEORITIS . A. Ketuban Pecah Dini 1. Pengertian Ketuban Pecah Dini . Ketuban pecahdini (KPD) didefinisikan sebagai pecahnya ketuban...

102 downloads 559 Views 556KB Size
BAB II TINJAUAN TEORITIS

A. Ketuban Pecah Dini 1.

Pengertian Ketuban Pecah Dini Ketuban pecah dini (KPD) didefinisikan sebagai pecahnya ketuban

sebelum waktunya melahirkan. Hal ini dapat terjadi pada akhir kehamilan maupun jauh sebelum waktunya melahirkan. KPD yang memanjang adalah yang terjadi lebih dari 12 jam sebelum waktunya melahirkan (Yatini, Mufdlilah dan Hidayat(2009,hal.13). Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda mulai persalinan dan ditunggu satu jam sebelum terjadi in partu. Sebagian besar ketuban pecah dini terjadi pada kehamilan aterm lebih dari 37 minggu, sedangkan kurang dari 36 minggu tidak terlalu banyak. Ketuban pecah dini merupakan kontroversi obstetri Manuaba IBG (2008, hal. 119). 2.

Penyebab ketuban pecah dini Penyebab dari premature rupture of the membrane (PROM) tidak atau

belum jelas, maka preventif tidak dapat dilakukan, kecuali dalam usaha menekan infeksi. Menurut Manuaba.IBG (2008, hal.119) penyebab ketuban pecah dini sebagai berikut: a.

Servik inkompeten

b.

Overdistensi uterus

c.

Faktor keturunan (ion Cu serum rendah, vitamin C rendah, kelainan genetic).

Universitas Sumatera Utara

d.

Pengaruh dari luar yang melemahkan ketuban (infeksi genitalia, meningkatnya enzim proteolitik).

e.

Masa interval sejak ketuban pecah sampai terjadi kontraksi disebut fase laten. Makin panjang fase laten, makin tinggi kemungkinan infeksi. Dan makin muda kehamilan, makin sulit upaya pemecahannya tanpa menimbulkan morbiditas janin, sehingga komplikasi ketuban pecah dini makin meningkat.

Penyebab umum ketuban pecah dini adalah grandemulti, over distensi (hidramnion, kehamilan ganda), disproporsi sefalopelvik, kehamilan letak lintang, sungsang, atau pendular abdomen. Mekanisme ketuban pecah dini menurut Prawirohardjo,S (2011,hal. 678) ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkan oleh kontraksi uterus dan peregangan berulang. Selaput ketuban pecah karena pada daerah tertentu terjadi perubahan biokimia yang menyebabkan selaput ketuban inferior rapuh, bukan karena seluruh

selaput ketuban rapuh.Terdapat keseimbangan antara

sintesis dan degrasi ekstraselular matriks. Perubahan struktur, jumlah sel, dan katabolisme kolagen menyebabkan aktifitas kolagen berubah dan menyebabkan selaput ketuban pecah. Faktor resiko untuk ketuban pecah dini yaitu: • Berkurangnya asam askorbik sebagai komponen kolagen • Kekurangan tembaga dan asam askorbik yang berakibat pertumbuhan struktur abnormal antara lain merokok. Degedrasi kolagen dimediasi oleh matriks metaloproteinase (MMP) yang dihambat oleh inhibitor jaringan spesifik dan inhibitor protease. Mendekati waktu persalinan keseimbangan antara MMP dan TIMP-1 mengarah pada degedrasi proteolitik dari matriks ekstraselular dan membran

Universitas Sumatera Utara

janin. Aktivitas degedrasi preteolitik ini meningkat menjelang persalinan. Pada penyakit periodontitis dimana terdapat peningkatan MMP, hal ini cenderung terjadi ketuban pecah dini. Pada kehamilan muda, selaput ketuban sangat kuat, pada trimester ketiga selaput ketuban mudah pecah. 3.

Diagnosis Ketuban Pecah Dini Diagnosis KPD secara tepat sangat penting untuk menentukan penanganan

selanjutnya, oleh karna itu usaha untuk menegakkan diagnosis KPD harus dilakukan dengan cepat dan tepat. Cara-cara yang dipakai untuk menegakkan diagnosis menurut Fadlun dan feryanto (2011) adalah: a. Secara klinik 1) Adanya cairan yang berisi mekonium (kotoran janin), verniks kaseosa (lemak putih), rambut lanugo (bulu-bulu halus) di mana bila terinfeksi akan tercium bau. 2) Pemeriksaan inspekulo, lihat dan perhatikan apakah memang air ketuban keluar dari kanalis servikalis pada bagian yang sudah pecah atau terdapat cairan ketuban pada forniks posterior. 3) USG: volume cairan amnion berkurang/ oligohidramnion. 4) Terdapat infeksi genital (sistemik) 5) Gejala chorioamnionitis b. Maternal Demam (takikardi), uterine tenderness, cairan amnion yang keruh dan berbau, leukositosis (peningkatan sel darah putih), leukosit esterase

(LEA)

meningkat, kultur darah/urine. c. Fetal Takikardi, kardiotografi, profilbiofisik, volume cairan ketuban berkurang

Universitas Sumatera Utara

d. Cairan amnion Tes cairan amnion, di antaranya dengan kultur/ gram stain, fetal fibronection, glukosa, leukosit esterase (LEA), dan sitokin. Jika terjadi chorioamnionitis, maka angka mortalitas neonatal empat kali lebih besar, angka distres pernapasan, sepsis neonatal, dan pendarahan intraventrikular tiga kali lebih besar. 1) Dilakukan tes valsava, tes nitrazin, dan tes fren Nilai normal PH cairan vagina adalah 4,5-5,5 dan normal PH cairan amnion 7,0-7,5 2) Dilakukan uji kertas lakmus/tes nitrazize. a) Jadi biru (basa): air ketuban. b) Jadi merah (asam): urine. 4.

Pengaruh KPD terhadap Ibu dan Janin Pengaruh ketuban pecah dini menurut Mochtar, R( 2011,hal.178)terhadap

ibu dan janin adalah meningkatnya mortalitas dan morbiditas perinatal. Pengaruh KPD terhadap janin dan ibu yaitu: 1.

Terhadap ibu Karena jalan lahir telah terbuka, maka dapat terjadi Infeksi intrapartal apalagi bila terlalu sering diperiksa dalam persalinan. Jika terjadi infeksi dan kontraksi saat ketuban pecah, dapat menyebabkan sepsis, dan selain itu juga dapat dijumpai Partus lama/dry labour, Perdarahan postpartum, Infeksi puerperalis/masa nifas, meningkatkan tindakan operatif obstetric (khususnya SC) .Ibu akan merasa lelah terbaring di tempat tidur, partus akan menjadi lama sehingga ibu, nadi cepat dan nampaklah gejala-gejala infeksi. Hal tersebut akan meninggikan angka morbiditas dan mortalitas pada maternal.

Universitas Sumatera Utara

2.

Terhadap janin Walaupun ibu belum menunjukkan gejala-gejala infeksi tetapi janin mungkin sudah terkena infeksi. Karena infeksi intrauterine lebih dahulu terjadi (amnionitis, vaskulitis) sebelum gejala pada ibu dirasakan.komplikasi yang sering dialami oleh janin adalah Hipoksia dan asfiksia sekunder (kekurangan oksigen pada bayi). Mengakibatkan kompresi tali pusat, prolaps uteri, dry labour/partus lama, skor APGAR rendah, ensefalopati, cerebral palsy, perdarahan intrakranial,gagal ginjal, distress pernapasan.sehingga meningkatkan Morbiditas dan mortalitas perinatal. Ketuban pecah dini menyebabkan hubungan langsung antara dunia luar

dan ruangan dalam rahim, sehingga memudahkan terjadinya infeksi asenden. Dan semakin lama periode laten, makin besar kemungkinan infeksi sehingga meningkatkan kejadian kesakitan dan kematian ibu dan bayi atau janin dalam rahim (Yulaikhah, 2008, Hal .116). Tanda adanya infeksi bila suhu ibu > 38C, air ketuban keruh dan bau, leukosit darah > 15.000/mm, perlunakan uterus dan takikardia janin (>180 kali/menit) Prawihardjo,S (2008, hal. 680). 5.

Penatalaksanaa KPD Ketuban pecah dini termasuk dalam beresiko tinggi, kesalahan dalam

mengelola KPD akan membawa akibat meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas pada ibu maupun bayinya. Penatalaksanaan KPD masih dilemma bagi sebahagian ahli kebidanan. Kasus KPD yang cukup bulan, kalau segera mengakhiri kehamilan akan menaikkan insidensi bedah sesar, dan kalau menunggu persalinan spontan akan menaikkan insidensi chorioamnionitis (yatini, Mufdillah dan Hidayat, 2009,hal.17).

Universitas Sumatera Utara

Penatalaksanaan ketuban pecah dini menurut Prawirohardjo,S (2008,hal. 680) dibagi menjadi konservatif dan aktif. a. Konservatif Rawat di Rumah Sakit, berikan antibiotik (ampisillin 4 x 500 mg atau eritromisin bila tidak tahan ampisilin dan metronidazol 2 x 500 mg selama 7 hari). Jika umur kehamilan < 32-34 minggu, dirawat selama air ketuban masih keluar atau air ketuban sampai tidak keluar lagi. Jika usia kehamilan 32-37 minggu, belum inpartu dan tidak ada tanda-tanda infeksi tes busa negatif beri deksametason, observasi tanda-tanda infeksi dan kesejahteraan janin. Terminasi pada kehamilan 37 minggu. Jika usia kehamilan 32-37 minggu, sudah inpartu, tidak ada infeksi berikan tokolitik (salbutamol), deksametason, dan induksi sesudah 24 jam. Jika usia kehamila 32-37 minggu, ada infeksi beri antibiotik dan lakukan induksi, nilai tanda-tanda infeksi (suhu, leukosit, tanda-tanda infeksi intrauterine). Pada usia kehamilan 32-37 minggu berikan steroid untuk memacu kematangan paru janin, dan bila memungkinkan periksa kadar lesitin dan spingomielin tiap minggu. Dosis betametason 12 mg sehari dosis tunggal selama 2 hari, deksa metason I.M 5 mg setiap 6 jam sebanyak 4 kali. b. Aktif 1)

Kehamilan > 37 minggu, induksi dengan oksitosin. Bila gagal seksio sesarea, dapat pula diberikan misoprostol 25 µg – 50 µg intravaginal tiap 6 jam maksimal 4 kali. Bila tanda-tanda infeksi berikan antibiotik dosis tinggi dan persalinan diakhiri.

Universitas Sumatera Utara



Bila skor pelvik < 5, lakukan pematangan serviks, kemudian di induksi, bila tidak berhasil akhiri dengan seksio sesarea

• c.

Bila skor pelvik > 5, induksi persalinan

Penatalaksanaan Agresif menurut Morgan dan Hamilton (2003,hal. 393) adalah 1) Jel prostaglandin atau Misoprostol (meskipun tidak disetujui penggunaannya) dapat diberikan setelah konsultasi dengan dokter 2) Mungkin dibutuhkan rangkain induksi Pitocin bila serviks tidak berespon. 3) Beberapa ahli menunggu 12 jam untuk terjadinya persalinan. Bila tidak ada tanda, mulai pemberian pitocin. 4) Berikan cairan per IV, pantau janin 5) Peningkatan risiko seksio sesaria bila induksi tidak efektif 6) Bila pengambilan keputusan bergantung pada kelayakan serviks untuk diinduksi, kaji nilai Bishop setelah pemeriksaan speculum. Bila diputuskan untuk menunggu persalinan, tidak ada lagi pemeriksaan yang dilakukan, baik manupulasi dengan tangan maupun spekulum, sampai persalinan dimulai atau induksi dimulai 7) Periksa hitung darah lengkap bila ketuban pecah. Ulangi pemeriksaan pada hari berikutnya sampai pelahiran atau lebih sering bila ada tanda infeksi.

Universitas Sumatera Utara

8) Lakukan NST setelah ketuban pecah; waspada adanya takikardia janin yang merupakan salah satu tanda infeksi 9) Mulai induksi setelah konsultasi dengan dokter bila: a) Suhu tubuh ibu meningkat signifikan b) Terjadi takikardia janin c) Lokia tampak keruh d) Iritabilitas atau nyeri tekan uterus yang signifikan e) Kultur vagina menunjukkan kenaikan sel darah putih 10) Menurut Manuaba IBG (2003,hal. 72) Induksi oxytocin/prostagl andin persalinan dapat dilakukan dengan waktu yaitu: a) Setelah 6 jam PRM. b) Setelah 12 jam PRM. c) Setelah 24 jam PRM. B. 1.

Asfiksia Neonatorum Pengertian Asfiksia neonatorum merupakan suatu kondisi di mana bayi tidak dapat bernapas secara spontan dan teratur setelah dan teratur segera setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh hipoksia janin dalam uterus dan hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul dalam kehamilan, persalinan, atau segera setelah lahir (Aminullah,A, 2005). Asfiksia neonatorum merupakan ketidakmampuan bayi baru lahir untuk bernapas pada waktu 60 detik pertama. Pada waktu menit pertama harus sudah selesai untuk melakukan evaluasi menurut nilai Apgar, apakah bayi baru lahir perlu resusitasi atau tidak (Manuaba IBG, 2007).

Universitas Sumatera Utara

2.

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadi Asfiksia Neonatorum Pengembangan paru-paru neonatus terjadi pada menit-menit pertama

kelahiran dan kemudian disusul dengan pernapasan teratur, bila terjadi gangguan pertukaran gas atau pengangkutan oksigen dari ibu ke janin akan terjadi asfiksia janin atau neonatus. Gangguan ini dapat timbul pada masa kehamilan, persalinan atau segera setelah lahir. Penyebab asfiksia neonatorum menurut Toweil (1996, dalam Ilyas,Mulyati dan Nurlinas, 1994) yang terdiri dari: a. Faktor ibu 1) Hipoksia ibu Dapat terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetik atau anestesi dalam, dan kondisi ini akan menimbulkan hipoksia janin dengan segala akibatnya. 2) Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun Umur ibu tidak secara langsung berpengaruh terhadap kejadian asfiksia neonatorum, namun demikian lama diketahui bahwa umur berpengaruh terhadap proses reproduksi. Umur ibu dianggap optimal untuk kehamilan adalah antara 20 sampai 30 tahun. Sedangkan dibawah atau diatas usia tersebut akan meningkatkan risiko kehamilan maupun persalinan (Martaadisoebrata, 1992), sementara itu toweil menjelaskan penyebab asfiksia neonatorum pada bayi yang tergolong faktor ibu antara usia kurang dari 20 tahun dan usia lebih dari 35 tahun (Ilyas, Mulyati, dan Nurlinas, 1994). 3) Paritas Kehamilan yang paling optimal adalah kehamilan kedua sampai ketiga. Kehamilan pertama dan kehamilan setelah ketiga mempunyai risiko yang

Universitas Sumatera Utara

meningkat. Grande multi para adalah istilah yang digunakan untuk wanita dengan kehamilan kelima atau lebih. Kehamilan pada kelompok ini sering disertai penyulit, seperti kelainan letak, perdarahan ante partum, pendarahan post partum, dan lain-lain (Martaadisoebrata,1992). Primipara perlu disangsikan, bahwa kekakuan jaringan panggul yang belum pernah menghadapi kehamilan akan banyak menentukan kelancaran proses kehamilan. Hasil penelitian Ahmad di RSUD Dr. Adjidarmo Rangkasbitung 2000 (dikutip oleh Evi) menemukan kejadian asfiksia neonatorum 1.480 kali pada ibu yang melahirkan dengan paritas primipara dan grandemultipara dari pada ibu dengan multipara 4) Penyakit yang diderita ibu Penyakit pembuluh darah ibu yang menggangu pertukaran gas janin; hipertensi, hipotensi, gannguan kontraksi uterus dan lain-lain (Wiknjosastro H, 2005). Hipertensi adalah tekanan darah lebih tinggi dari tekanan darah normal yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama Hipertensi pada kehamilan merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada ibu dan fetus. Hipertensi dalam kehamilan dapat menimbulkan berkurangnya aliran darah pada uterus akan menyebabkan berkurangnya aliran oksigen ke plasenta dan juga ke janin (Mochtar, 2004). Pre-eklamsia dan eklamsia merupakan kesatuan penyakit yang langsung disebabkan oleh kehamilan. Pada preeklamsia terjadi spasme pembuluh darah disertai dengan retensi garam dan air. Perubahan pada organ ibu yang mengalami preeklamsia dan eklamsia yaitu terjadinya aliran darah menurun ke plasenta dan menyebabkan gangguan plasenta, sehingga terjadi gangguan plasnta, sehingga

Universitas Sumatera Utara

terjadi gangguan pertumbuhan janin karena kekurangan oksigen terjadi gawat janin. Pada preeclampsia dan eklamsia sering terjadi peningkatan tonus rahim dan kepekaannya terhadap rangsang, sehingga terjadi partus prematurus dan asphysia neonatorum (Tanjung M,T, 2004). b. Faktor plasenta Plasenta merupakan akar janin untuk mengisap nutrisi dari ibu dalam bentuk 𝑂𝑂2

asam amino, vitamin, mineral, dan zat lainnya ke janin dan membuang sisa metabolisme janin dan 𝐶𝐶𝐶𝐶2 .

Gangguan pertukaran gas di plasenta yang akan menyebabkan asfiksia janin.

Pertukaran gas antara ibu dan janin dapat terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada plasenta, misalnya perdarahan plasenta (plasenta previa), solusio plasenta dsb (Manuaba, IBG, 2002). a) Plasenta previa Plasenta previa adalah plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim dan menutupi sebahagian atau seluruh ostium uteri internum. 70 persen pasien dengan plasenta previa mengalami perdarahan pervaginam yang tidak nyeri dalam trimester ketiga, 20 persen mengalami kontraksi yang disertai dengan perdarahan, dan 10 persen memiliki diagnosa plasenta previa yang dilakukan tidak sengaja dengan ultrasonografi atau pemeriksaan saat janin telah cukup bulan. Penyulit pada ibu menimbulkan anemia sampai syok sedabgkan pada janin dapat menimbulkan asfiksia neonatorum sampai kematian janin dalam rahim (Manuaba, IBG, 2002). b) Solusio plasenta Solusio

plasenta

adalah

terlepasnya

plasenta

sebelum

waktunya

menyebabkan timbunan darah antara plasenta dan dinding rahim yang dapat

Universitas Sumatera Utara

menimbulkan gangguan pada ibu dan janin. Penyulit pada janin tergantung luasnya plasenta yang lepas dapat menimbulkan asfiksia neonatorum ringan sampai kematian janin dalam rahim (Manuaba.IBG, 2002). c. Faktor neonatus Meliputi tali pusat menumbung akibat ketuban telah pecah, tali pusat melilit leher, kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir, gamelli,IUGR, premature, kelainan congenital pada neonatus d. Faktor persalinan persalinan adalah proses pengeluaran hasil konsepsi (janin dan uri) yang telah cukup bulan atau dapat hidup di luar kaandungan melalui jalan lahir atau melalui jalan lain dengan bantuan atau tanpa bantuan/kekuatan sendiri. Bentuk persalinan yang dapat menimbulkan asfiksia neonatorum adalah a) Persalinan buatan/ persalinan anjuran Persalinan dengan tindakan dapat menimbulkan asfiksia neonatorum yang disebabkan oleh tekanan langsung pada kepala, menekan pusat-pusat vital pada medulla oblongata, aspirasi air ketuban, mekonium, cairan lambung dan perdarahan atau oedema jaringan pusat saraf pusat (Manuaba, IBG, 1989). Persalinan anjuran dengan menggunakan prostaglandin akan menimbulkan kontraksi otot rahim yang berlebihan menggangu sirkulasi darah sehingga menimbulkan asfiksia neonatorum b) Partus lama Partus lama yaitu persalinan yang berlangsung lebih dari 24 jam pada primi, dan lebih dari 18 jam pada multi. Bila persalinan lama dapat menimbulkan komplikasi baik terhadap ibu maupun pada bayi, dan dapat meningkatkan angka kematian ibu dan bayi (Mochtar,R, 2004).

Universitas Sumatera Utara

c) Lamanya Ketuban Pecah Dini ketuban pecah lama adalah jarak waktu antara pecahnya ketuban dan lahirnya bayi lebih dari 12 jam yang mempunyai peranan penting terhadap timbulnya plasentitis dan amnionitis (yatini, Mufdilah dan Hidayat, 2009). Semakin panjang fase laten semakin besar kemungkinan terjadinya infeksi (Manuaba,IBG, 2008). Ketuban pech dini dapat menyebabkan asfiksia. Terjadinya asfiksia seringkali diawali infeksi yang terjadi pada bayi aterm dan prematur, infeksi janin langsung berhubungan dengan lamanya ketuban pecah selaput ketuban atau lamanya periode laten (yatini, Mufdillah dan Hidayat, 2009.hal.13). Semakin lama periode laten, semakin lama pula kala satu persalinan dan semakin besar insidensi infeksi. Janin bila terinfeksi sekalipun tidak terlihat tandatanda sepsis pada ibu. Tempat paling sering mengalami infeksi adalah traktus respiratorius. Kebanyakan pneumonia terjadi dalam 2 minggu pertama kehidupan berasal dari dalam rahim (oxorn, 2003). Setelah terjadi persalinan dan ditemukan tanda infeksi biasanya bayi memiliki nilai Apgar dibawah 7 dan dapat mengalami hipotermia. Disisi lain bayi dapat memiliki nilai Apgar yang tinggi lalu turun pada 10-25 menit setelah lahir. Pengamatan terus secara hati-hati pada bayi selama jam pertama setelah persalinan adalah penting (Midwifery, 2004). 3. Penilaian Asfiksia Neonatorum Sesaat setelah bayi lahir, penolong persalinan biasanya langsung melakukan penilaian terhadap bayi tersebut. Perangkat yang digunakan untuk menilai dinamakan Skor APGAR (Saifuddin,A.B, 2010). Nilai Apgar pertama kali diperkenalkan oleh Virgnia Apgar pada tahun 1952. Kata APGAR sendiri merupakan gabungan dari kata: Activity (aktivitas), Pulse (nadi), Grimace (mimik), Appearance (tampilan kasat mata), dan

Respiration

Universitas Sumatera Utara

(pernapasan). Dimana kelima hal tersebut merupakan faktor yang dinilai ketika bayi lahir. Sejak itu sistem ini dipergunakan secara luas untuk menilai keadaan klinik bayi baru lahir. Skor Apgar merupakan metode praktis yang secara sistematis digunakan untuk membantu mengindentifikasibayi yang memerlukan resusitasi akibat asidosis hipoksi.. Cara ini dianggap yang paling ideal dan telah banyak digunakan dimana-mana. Nilai Apgar skor pada menit-1 mengisyaratkan perlunya tindakan resusitasi segera. Skor menit-5,-10,-15, dan -20 menunjukkan keberhasilan dalam melakukan resusitasi bayi. Skor Apgar 0-3 pada menit -20 meramalkan tingginya mortalitas dan morbiditas (Nelson,et al 2000). Patokan klinis yang dinilai adalah menghitung frekuensi jantung, melihat usaha bernafas, menilai tonus otot, menilai reflek rangsangan, memperhatikan warna kulit. Setiap kriteria diberi angka tertentu, nilai Apgar biasanya dinilai 1 menit setelah bayi lahir lengkap selanjutnya dilakukan 5 menit berikutnya karena hal ini mempunyai korelasi yang erat dengan mortalitas dan morbiditas neonatal. Nilai Apgar 1 menit menunjukkan toleransi bayi terhadap proses kelahirannya, nilai Apgar 5 menit menunjukkan adaptasi bayi terhadap lingkungan barunya. Di bawah ini adalah tabel Apgar Score untuk menentukan derajat asfiksia.

Tabel 2.1 SKOR APGAR Tanda

Nilai : 0

Appearance

Pucat/biru

(warna kulit)

tubuh

Nilai : 1 seluruh Tubuh

Nilai : 2 merah, Seluruh

ekstremitas biru

tubuh

kemerahan

Universitas Sumatera Utara

Pulse

Tidak ada

<100

>100

Tidak ada

Ekstremitas sedikit Gerakan aktif

(denyut jantung) Grimace

fleksi

(tonus otot) Activity

Tidak ada

Sedikit gerak

Langsung menangis

(aktifitas) Respiration

Tidak ada

Lemah/tidak teratur

Menangis

(pernafasan) Sumber: Mochtar,R, (2011,hal.292 ) 4. Pembagian serta tanda dan gejala asfiksia sesuai nilai Apgar menurut Mochtar,R (2011,hal.293) adalah a. Asfiksia berat (nilai APGAR 0-3) Pada kasus asfiksia berat, bayi akan mengalami asidosis, sehingga memerlukan perbaikan dan resusitasi aktif dengan segera. Tanda dan gejala yang muncul pada asfiksia berat adalah: Frekuensi jantung kecil yaitu < 40 kali/menit. Tidak ada usaha bernafas, Tonus otot lemah bahkan tidak ada, Bayi tidak dapat memberikan reaksi jika diberi rangsangan, Bayi tampak pucat bahkan berwarna kelabu, Terjadi kekurangan oksigen yang berlanjut sebelum atau sesudah persalinan. b. Asfiksia sedang (nilai APGAR 4-6) Pada asfiksia sedang tanda dan gejala yang muncul adalah sebagai berikut: Frekuensi jantung menurun menjadi 60-80 kali/menit, usaha nafas lambat. tonus otot biasanya dalam keadaan baik, bayi masih bisa bereaksi terhadap rangsangan yang diberikan, bayi tampak sianosis, tidak terjadi kekurangan oksigen yang bermakna selama proses persalinan.

Universitas Sumatera Utara

c. Asfiksia ringan (nilai APGAR 7-9) Pada asfiksia ringan, tanda dan gejala yang sering muncul adalah: Takipnea dengan nafas lebih dari 60 kali/menit, bayi tampak sianosis, adanya retraksi sela iga, bayi merintih (grunting), adanya pernafasan cuping hidung, dayi kurang aktifitas, dari pemeriksaan auskultasi diperoleh hasil ronchi, rales dan wheezing positif d. Bayi normal dengan nilai APGAR 10 5. Penatalaksanaan asfiksia neonatorum sesuai dengan APGAR Skor menurut Hidayah, A.Z (2008,hal. 128) adalah sebagai berikut: a. Asfiksia Ringan APGAR Skor (7-9) Cara mengatasinya adalah : 1) Bayi di bungkus dengan kain hangat 2) Bersihkan jalan napas dengan mengisap lendir pada hidung kemudian mulut. 3) Bersihkan badan dan tali pusat 4) Lakukan observasi tanda vital, pantau APGAR skor, dan masukan kedalam inkubator. b. Asfiksia sedang APGAR Skor (4-6) Cara mengatasinya dengan cara: 1) Bersihkan jalan napas 2) Berikan oksigen dua liter per menit 3) Rangsang pernapasan dengan menepuk telapak kaki. Apabila belum ada reaksi, bantu pernapasan dengan masker (ambubag).

Universitas Sumatera Utara

4) Bila bayi sudah mulai bernapas tetapi masih sianosis, berikan natrium bikarbonat 7,5% sebanyak 6 cc. Dekstrosa 40% sebanyak 4 cc disuntikan melalui vena umbilicus secara perlahan-lahan untuk mencegah tekanan intrakranial meningkat. c. Asfiksia Berat APGAR Skor (0-3) Cara mengatasinya dengan cara: 1) Bersihkan jalan napas sambil pompa melalui amubag. 2) Berikan oksigen 4-5 liter per menit 3) Bila tidak berhasil, lakukan pemasangan ETT (endotracheal tube) 4) Bersihkan jalan napas melalui ETT 5) Apabila bayi sudah mulai bernapas tetapi masih sianosis berikan natrium bikarbonat 7,5 % sebanyak 6cc. selanjutnya berikan dekstrosa 40% sebanyak 4cc.

Universitas Sumatera Utara