BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MALPRAKTEK DI BIDANG MEDIS 1

Etik.”12 Istilah malpraktek di dalam hukum kedokteran mengandung arti praktek ... b. Kegagalan dalam memenuhi standar keperawatan yang ditetapkan...

30 downloads 511 Views 272KB Size
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MALPRAKTEK DI BIDANG MEDIS 1.1

Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak

pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan merupakan bentuk tingkah laku yang melanggar undang-undang pidana. Setiap perbuatan yang dilarang oleh undang-undang harus dihindari dan barang siapa melanggarnya maka akan dikenakan pidana. Larangan-larangan dan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati oleh setiap warga Negara wajib dicantumkan dalam undang-undang maupun peraturan-peraturan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah.1 Tindak pidana merupakan perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, di mana penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.2 Adapun unsurunsur peristiwa pidana menurut Simons, yakni sebagai berikut : a) Perbuatan manusia (handeling); b) Perbuatan manusia itu harus melawan hukum (wederrechtelijk);

1

P.A.F. Lamintang, 1996, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Adityta Bakti. Bandung, h. 7. 2

Ibid, h.16.

c) Perbuatan itu diancam dengan pidana (Strafbaar gesteld) oleh Undang-undang; d) Harus

dilakukan

oleh

seseorang

yang

mampu

bertanggungjawab

(Toerekeningsvatbaar person); e) Perbuatan itu harus terjadi karena kesalahan (Schuld) si pembuat.3

1.2

Pengertian dan Ruang Lingkup Kebijakan Hukum Pidana Secara umum pengertian kebijakan merupakan pengganti dari istilah

“policy” berasal dari bahasa Inggris atau “politiek” berasal dari bahasa Belanda. Istilah ini dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan dengan kata “politik”. Marc Ancel memberikan pengertian kebijakan hukum pidana (penal policy) yakni suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberikan pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, namun juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang yaitu kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.4 Ruang lingkup kebijakan hukum pidana berorientasi pada kenyataan bahwa kebijakan hukum pidana dilaksanakan berdasarkan tahap-tahap hukum pidana yang terdiri dari : a) Tahap kebijakan legislatif/formulatif, yaitu tahap penegakan hukum oleh badan pembuatan undang-undang;

3

C.S.T. Kansil, 2004, Pokok-pokok Hukum Pidana, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 38.

4

Barda Nawawi Arif, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,. PT. Citra Aditya Bakti., Bandung , h. 23

b) Tahap kebijakan yudikatif/aplikatif, yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat penegak hukum mulai dari kepolisian sampai pengadilan; c) Tahap kebijakan eksekutif/administratif, yaitu tahap pelaksanaan pidana.5

1.3

Pengertian Korban Secara luas, pengertian korban diartikan bukan hanya sekedar korban

yang menderita langsung, akan tetapi korban tidak langsung pun juga mengalami penderitaan yang dapat diklarifikasikan sebagai korban. Pengertian korban menurut ketentuan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (selanjutnya disebut dengan UU LPSK) adalah : “orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang dakibatkan oleh suatu tindak pidana”. Pada saat berbicara tentang korban kejahatan tidak terlepas dari viktimologi. Melalui viktimologi dapat diketahui berbagai aspek yang berkaitan dengan korban, seperti : faktor penyebab munculnya kejahatan, bagaimana seseorang dapat menjadi korban, upaya mengurangi terjadinya korban kejahatan, hak dan kewajiban korban kejahatan. Menurut Arief Gosita yang dimaksud dengan korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai

5

Barda Nawawi Arief, 2008, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Predana Media Group, Jakarta, h. 78-79

akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang dirugikan.6 1.4

Pengertian Perlindungan Hukum Perlindungan hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta

pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan atau sebagai kumpulan peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal dari hal lainnya. Berkaitan dengan konsumen, berarti hukum memberikan perlindungan terhadap hak-hak pelanggan dari sesuatu yang mengakibatkan tidak terpenuhinya hak-hak tersebut.7 Muchsin, dalam bukunya mengatakan perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi subyek-subyek hukum melalui peraturan perundangundangan yang berlaku dan dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: a.

Perlindungan Hukum Preventif Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk

mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan sutu kewajiban.

6

Dikdik M.Arief Mansur & Elisatri Gultom, 2008, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita, Raja Grafindo, Jakarta, h.46 7

Philipus M.Hadjon, Surabaya, h. 25

1987,

Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu,

b.

Perlindungan Hukum Represif Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa

sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.8

1.5

Pengertian dan Unsur-Unsur Malpraktek Malpraktek merupakan salah satu permasalahan kompleks yang sering

muncul di sekitar kita. Permasalahan ini kadang menjadi topik yang hangat, karena berkaitan langsung dengan nyawa/jiwa dan kondisi kesehatan seseorang. .menjadi pemikul kewajiban dalam mengupayakan kesembuhan pasien, tapi malah merugikan pasien karena kelalaiannya. Proses

kasus

malpraktek

ke

pengadilan

banyak

menemui

kendala. Pertama, karena pengadilan di Indonesia sedang jatuh wibawa, karena pengadilan itu sendiri seakan-akan bisa dibeli. Kedua, rumah sakit dan dokter dianggap mewakili pihak yang sanggup membeli pengadilan. Ketiga, para penegak hukum belum tentu memahami teknis dan prosedur dalam mengajukan perkara malpraktek ke depan pengadilan. Tak aneh bila pasien berpikir dua kali jika harus berhadapan dengan rumah sakit yang bermodal raksasa.9

8

Muchsin, 2003, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia. Universitas Sebelas Maret. Surakarta, h. 20 9

Amir Illyas, 2010, Hukum Korporasi Rumah Sakit, Rangkang ducation, Makassar, h. 7

Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Malpraktek adalah istilah untuk dunia kedokteran yang berasal dari kata “mal” atau “mala” yang artinya buruk, sedangkan praktek artinya pelaksanaan pekerjaan.10 Sedangkan menurut Black’s Law Dictionary, “Malpractice is an instance of negligence on incompetence on the part of a profesional”.11 (terjemahan bebas : kelalaian merupakan bagian dari ketidakkompetenan sebuah profesionalitas. Dari sudut harafiah istilah malpraktek artinya praktek yang buruk. Berdasarkan Kamus Kedokteran Indonesia: “Malpraktek adalah praktik kedokteran yang dilakukan salah, tak tepat, menyalahi Undang-Undang Kode Etik.”12 Istilah malpraktek di dalam hukum kedokteran mengandung arti praktek dokter yang buruk.13 Malpraktek adalah pengobatan suatu penyakit atau perlukaan yang salah karena ketidaktahuan, kesembronoan atau kesengajaan kriminal.14 Suatu kesalahan kecil dapat menimbulkan akibat berupa kerugian besar di bidang kedokteran. Pada umumnya masyarakat tidak dapat membedakan mana

10

Tim Penyusunan Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Pusat Bahasa, 1999, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, h. 620;785 11

Bryan A. Garner, 2004, Black’s Law Dictionary, Thomson, West, h. 978

12

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008, Kamus Kedokteran Indonesia, Universitas Indonesia Press, Jakarta, h. 500 13

Danny Wiradharma, 1996, Hukum Kedokteran, Binarupa Aksara, Jakarta, h. 87

14

Agus Irianto, 2006, Analisis Yuridis Kebijakan Pertanggungjawaban Dokter Dalam Malpraktek, FHUI Universitas Sebelas Maret, Surakarta, h. 16

yang merupakan kasus pelanggaran etik dan mana yang dikategorikan melanggar hukum. Tidak semua pelanggaran etik merupakan malpraktek, sedangkan malpraktek sudah pasti merupakan pelanggaran kode etik profesi medis. Seorang dokter dapat disebut melakukan tindakan malpraktek apabila : 1. Dokter kurang menguasai IPTEK kedokteran yang umum berlaku di kalangan profesi kedokteran; 2. Memberikan pelayanan kedokteran di bawah standar profesi; 3. Melakukan kelalaian yang berat atau memberikan pelayanan yang tidak hatihati; dan 4. Melakukan tindak medis yang bertentangan dengan hukum.15

Malpraktek terdiri dari 4 (empat) unsur yang harus ditetapkan untuk membuktikan bahwa malpraktek atau kelalaian telah terjadi yaitu: 1.

Kewajiban (duty): pada saat terjadinya cedera terkait dengan kewajibannya yaitu kewajiban mempergunakan segala ilmu dan kepandaiannya untuk menyembuhkan atau setidak-tidaknya meringankan beban penderitaan pasiennya berdasarkan standar profesi. Contoh : Perawat rumah sakit bertanggung jawab untuk: a.

Pengkajian yang aktual bagi pasien yang ditugaskan untuk memberikan asuhan keperawatan;

b.

Mengingat tanggung jawab asuhan keperawatan professional untuk mengubah kondisi klien;

15

M. Jusuf Hanafiah, 1999, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, h. 88

c. 2.

Kompeten melaksanakan cara-cara yang aman untuk klien.

Tidak melaksanakan kewajiban (Breach of the duty) : pelanggaran terjadi sehubungan dengan kewajibannya, artinya menyimpang dari apa yang seharusnya dilakukan menurut standar profesinya. Contoh: a. Gagal mencatat dan melaporkan apa yang dikaji dari pasien. Seperti tingkat kesadaran pada saat masuk; b. Kegagalan dalam memenuhi standar keperawatan yang ditetapkan sebagai kebijakan rumah sakit; c. Gagal melaksanakan dan mendokumentasikan cara-cara pengamanan yang tepat (pengaman tempat tidur, restrain, dll).

3.

Sebab-akibat (Proximate

caused):

pelanggaran

terhadap

kewajibannya

menyebabkan atau terkait dengan cedera yang dialami klien. Contoh: Cedera yang terjadi secara langsung berhubungan dengan pelanggaran terhadap kewajiban perawat terhadap pasien atau gagal menggunakan cara pengaman yang tepat yang menyebabkan klien jatuh dan mengakibatkan fraktur. 4.

Cedera (Injury) : sesorang mengalami cedera atau kerusakan yang dapat dituntut secara hukum.

Contoh: Fraktur panggul, nyeri, waktu rawat inap lama dan memerlukan rehabilitasi.16 Malpraktek merupakan kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dalam menjalankan yang tidak sesuai dengan standar pelayanan medik, sehingga pasien menderita luka, cacat, atau meninggal dunia. Dari defenisi tersebut, dapat ditarik unsur-unsur malpraktek sebagai berikut : a. Adanya kelalaian Kelalaian adalah kesalahan yang terjadi karena kekurang hati-hatian, kurangnya pemahaman, serta kurangnya pengetahuan tenaga kesehatan akan profesinya, padahal diketahui bahwa mereka dituntut untuk selalu mengembangkan ilmunya. b. Dilakukan oleh Tenaga Kesehatan Tenaga kesehatan berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan, Tenaga Kesehatan terdiri dari tenaga medis, tenaga keperawatan, tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga gizi, tenaga keterampilan fisik, dan tenaga keteknisan medis. Yang dimaksud tenaga medis adalah dokter dan dokter gigi. c. Tidak sesuai standar pelayanan medik Standar pelayanan medik yang dimaksud adalah standar pelayanan dalam arti luas, yang meliputi standar profei dan standar prosedur operasional.

16

Deni Aprianichan, Malpraktek, https://deniaprianichan.wordpress.com/2013/05/17/henrycampell-b/ , diakses pada 10 Mei 2015

d. Pasien menderita luka, cacat, atau meninggal dunia Adanya hubungan kausal bahwa kerugian yang dialami pasien merupakan akibat kelalaian tenaga kesehatan. Kerugian yang dialami pasien yang berupa luka (termasuk luka berat), cacat, atau meninggal dunia merupakan akibat langsung dari kelalaian tenaga kesehatan.17

1.6

Aspek Hukum Malpraktek Apabila tenaga tenaga kesehatan didakwa telah melakukan kesalahan

profesi, hal ini bukanlah merupakan hal yang mudah bagi siapa saja yang tidak memahami profesi kesehatan dalam membuktikan ada dan tidaknya kesalahan. Suatu tindakan medis tidak bertentangan dengan hukum apabila dipenuhi ketiga syarat berikut: 1. Mempunyai indikasi medis ke arah suatu tujuan perawatan yang kongkrit; 2. Dilakukan menurut ketentuan yang berlaku di dalam ilmu kedokteran, dan; 3. Telah mendapat persetujuan pasien.18 Aspek hukum malpraktek terdiri dari 3 (tiga) hal yaitu sebagai berikut: 1. Penyimpangan dari standar Profesi Medis;

17

Rochxy, Kompasiana, 2013, Malpraktek Jangan Dibiarkan, http://hukum.kompasiana.com/2013/09/04/malpraktek-jangan-dibiarkan-588942.html, diakses pada 10 Mei 2010. 18

Danny Wiradharma, Op.cit, h. 87-88

2. Kesalahan yang dilakukan dokter, baik berupa kesengajaan ataupun kelalaian; dan 3. Akibat yang terjadi disebabkan oleh tindakan medis yang menimbulkan kerugian materiil atau non materiil maupun fisik atau mental.19 Malpraktek merupakan kesalahan profesi yang sebenarnya bukan hanya kesalahan yang dibuat oleh profesi dokter saja, namun demikian malpraktek seolah-olah sudah menjadi milik profesi kedokteran, karena pada saat malpraktek dibicarakan maka asosiasinya adalah malpraktek profesi dokter. Malpraktek dapat terjadi karena faktor kesengajaan atau tidak dengan kesengajaan. Perbedaannya terletak pada motif dari tindakan yang dilakukannya. Apabila dilakukan secara sadar dan tujuannya diarahkan kepada akibat atau tidak perduli akan akibat yang dapat ditimbulkan dari tindakan tersebut dan dokter tersebut mengetahui bahwa tindakan itu bertentangan dengan hukum, maka tindakan ini disebut tindakan malpraktek. Dalam pengertian sempit, disebut juga sebagai malpraktek kriminal. Suatu tindakan dikatakan malpraktek kriminal apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: 1. Perbuatan tersebut merupakan perbuatan tercela (actus reus); 2. Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea); 3. Merupakan perbuatan sengaja (intensional), ceroboh (recklessness) atau kealpaan (negligence).

19

Danny Wiradharma, Op.cit, h. 92

Apabila tindakan tersebut tidak didasari dengan motif untuk menimbulkan akibat buruk, maka tindakan tersebut adalah tindakan kelalaian. Akibat yang ditimbulkan dari suatu kelalaian sebenarnya terjadi di luar kehendak yang melakukannya. Apabila disimak dari berbagai kasus malpraktek yang terjadi sebenarnya sebagian besar disebabkan oleh suatu kelalaian.20 1.7

Pengertian Medis Menurut Permenkes No.262/1979 yang dimaksud dengan tenaga medis

adalah lulusan Fakultas Kedokteran atau Kedokteran Gigi dan "Pascasarajna" yang memberikan pelayanan medik dan penunjang medik. Sedangkan menurut PP No.32 Tahun 1996 Tenaga Medik termasuk tenaga kesehatan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan tersebut, yang dimaksud dengan tenaga medis meliputi dokter dan dokter gigi. Tenaga medis adalah mereka yang profesinya dalam bidang medis yaitu dokter, physician (dokter fisit) maupun dentist ( dokter gigi ). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Medis adalah termasuk atau berhubungan dengan bidang kedokteran.21 Medis menurut adalah merupakan salah satu cabang ilmu kesehatan yang mengupayakan perawatan kesehatan beserta upaya-upayanya untuk menyembuhkan penyakit. Dunia medis merupakan

20

Billy N, Aspek Hukum Pidana Dalam Pelayanan Kesehatan, 2018, https://hukumkes.wordpress.com/2008/03/15/aspek-hukum-pidana-dalam-pelayanan-kesehatan/ diakses pada 10 Mei 2015 21

Tim Penyusunan Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Pusat Bahasa, Op.cit, h. 628

ilmu kedokteran yang juga memiliki cabang-cabang spesialis di bidang organ tubuh manusia tertentu atau penyakit tertentu.

1.8

Kategori Malpraktek Medis Malpraktek medis adalah kelalaian seorang dokter untuk menggunakan

tingkat ketrampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim digunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran lingkungan yang sama, yang dimaksud dengan kelalaian disini adalah sikap kurang hati-hati yaitu tidak melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati melakukannya dengan wajar, atau sebaliknya melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati tidak akan melakukannya dalam situasi tersebut, kelalaian diartikan pula dengan melakukan tindakan kedokteran dibawah standar pelayanan medis. Kelalaian dalam arti perdata berbeda dengan arti pidana. Dalam arti pidana (criminal), kelainan menunjukan kepada adanya suatu sikap yang sifatnya lebih serius, yaitu sikap yang sangat sembarangan atau sikap sangat tidak hati-hati terhadap kemungkinan timbulnya resiko yang bisa menyebabkan orang lain terluka atau mati. Sehingga harus bertanggung jawab terhadap tuntutan kriminal oleh Negara. Menurut pendapat M. Yusuf Hanafiah, Malpraktek medis adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat ketrampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama.22

22

M. Yusuf Hanfiah, Op.cit, h. 87

Malpraktek medis menurut WMA (World Medical Association) Tahun 1992 adalah kegagalan dokter untuk memenuhi standar pengobatan dan perawatan yang menimbulkan cedera pada pasien atau adanya kekurangan ketrampilan atau kelalaian dalam pengobatan dan perawatan yang menimbulkan cedera pada pasien.23 Adami Chazawi berpendapat bahwa malpraktek kedokteran adalah dokter atau tenaga medis yang ada di bawah perintahnya dengan sengaja atau kelalaian melakukan perbuatan (aktif atau pasif) dalam praktik kedokteran pada pasiennya dalam segala tingkatan yang melanggar standar profesi, standar prosedur, prinsip-prinsip profesional kedokteran atau dengan melanggar hukum (tanpa wewenang) karena tanpa informed consent atau di luar informed consent tanpa Surat Izin Praktik atau tanpa Surat Tanda Registrasi, tidak sesuai dengan kebutuhan medis pasien dengan menimbulkan (casual verband) kerugian bagi tubuh, kesehatan fisik, mental atau nyawa pasien sehingga membentuk pertanggungjawaban dokter.24 Untuk malpraktek hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yakni Criminal malpractice, Civil malpractice dan Administrative malpractice. 1.

Criminal malpractice

23

Kayus Koyowuan Lewloba, 2008, Malpraktek Dalam Pelayanan Kesehatan (Malpraktek Medis), Bina Widya Vo. 19, No. 3 Jakarta, h. 183 24

Adami Chazawi, 2007, Malpraktek Kedokteran, Bayumedia, Malang, h. 10

Perbuatan

seseorang

dapat

dimasukkan

dalam

kategori criminal

malpractice manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni : a. b.

Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan perbuatan tercela; Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan (intensional),kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence). Criminal

malpractice yang

bersifat

sengaja (intensional) misalnya

melakukan Euthanasia (Pasal 344 KUHP), membuka rahasia jabatan (Pasal 332 KUHP), membuat surat keterangan palsu (Pasal 263 KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis Pasal 299 KUHP). Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed consent. Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien. Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.

2.

Civil malpractice Seorang

malpractice apabila

tenaga tidak

kesehatan

akan

melaksanakan

disebut kewajiban

melakukan civil atau

tidak

memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji). Tindakan tenaga kesehatan yang dapat dikategorikan civil malpractice antara lain: a. b. c.

Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan; Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya; Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna;

d.

Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.

Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan

dapat

pula

dialihkan

pihak

lain

berdasarkan principle

of vicarius

liability. Dengan prinsip ini maka rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya (tenaga kesehatan) selama tenaga kesehatan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.

3.

Administrative malpractice Seorang

dokter

dikatakan

telah

melakukan administrative

malpractice manakala tenaga dokter tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi seorang dokter untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek). Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang

bersangkutan

dapat

dipersalahkan

melanggar

hukum administrasi.25

1.9

Teori Malpraktek di bidang Medis Terdapat tiga teori yang menyebutkan sumber dari perbuatan malpraktek

yaitu:

25

Blisa Novertasari, 2010, Malpraktek Dan Kedokteran,https://blisha.wordpress.com/2010/12/23/malpraktek-dan-etika-kedokteran/, pada 8 Mei 2015

Etika diakses

a.

Teori Pelanggaran Kontrak Teori pertama yang mengatakan bahwa sumber perbuatan malpraktek

adalah karena terjadinya pelanggaran kontrak. Ini berprinsip bahwa secara hukum seorang tenaga kesehatan tidak mempunyai kewajiban merawat seseorang bilamana diantara keduanya tidak terdapat suatu hubungan kontrak antara tenaga kesehatan dengan pasien. Hubungan antara tenaga kesehatan dengan pasien baru terjadi apabila telah terjadi kontrak diantara kedua belah pihak tersebut. Sehubungan dengan adanya hubungan kontrak pasien dengan tenaga kesehatan ini, tidak berarti bahwa hubungan tenaga kesehatan dengan pasien itu selalu terjadi dengan adanya kesepakatan bersama. Dalam keadaan penderita tidak sadar diri ataupun keadaan gawat darurat misalnya, seorang penderita tidak mungkin memberikan persetujuannya. Apabila terjadi situasi yang demikian ini, maka persetujuan atau kontrak tenaga kesehatan pasien dapat diminta dari pihak ketiga, yaitu keluarga penderita yang bertindak atas nama dan mewakili kepentingan penderita. Apabila hal inijuga tidak mungkin, misalnya dikarenakanpenderita gawat darurat tersebut datang tanpa keluarga dan hanya diantar oleh orang lain yang kebetulan telah menolongnya, maka demi kepentingan penderita, menurut perundang-undangan yang berlaku, seorang tenaga kesehatan diwajibkan memberikan pertolongan dengan sebaik-baiknya. Tindakan ini, secara hukum telah dianggap sebagai perwujudan kontrak tenaga kesehatan-pasien.

b.

Teori Perbuatan Yang Disengaja Teori kedua yang dapat digunakan oleh pasien sebagai dasar untuk

menggugat tenaga kesehatan karena perbuatan malpraktek adalah kesalahan yang dibuat dengan sengaja (intentional tort), yang mengakibatkan seseorang secara fisik mengalami cedera (asssult and battery) c.

Teori Kelalaian Teori ketiga menyebutkan bahwa sumber perbuatan malpraktek adalah

kelalaian (negligence). Kelalaian yang menyebabkan sumber perbuatan yang dikategorikan dalam malpraktek ini harus dapat dibuktikan adanya, selain itu kelalaian yang dimaksud harus termasuk dalam kategori kelalaian yang berat (culpa lata). Untuk membuktikan hal yang demikian ini tentu saja bukan merupakan tugas yang mudah bagi aparat penegak hukum.26 Selain dikenal adanya beberapa teori tentang sumber perbuatanmalpraktek, yang apabila ditinjau dari kegunaan teori-teori tersebut tentu saja sangat berguna bagi pihak pasien dan para aparat penegak hukum, karena dengan teori-teori tersebut pasien dapat mempergunakannya sebagai dasar suatu gugatan dan bagi aparat hukum dapat dijadikan dasar untuk melakukan penuntutan.

26

Mariyanti Ninik, 1998, Malpraktek Kedokteran dari Segi Hukum Pidana dan Perdata, Bina Aksara, Jakarta, h. 44