BAB III TINJAUAN KOMUNITAS DAN MAJALAH INDIE (Studi Kasus: Majalah Trolley)
3.1. GAYA KOMUNITAS INDIE DAN KREATIFITASNYA Gaya hidup adalah pola-pola tindakan yang membedakan antara satu orang dengan orang lain. Dalam interaksi sehari-hari kita dapat menerapkan suatu gagasan mengenai gaya hidup tanpa perlu menjelaskan apa yang kta maksud; dan kita benar-benar tertantang serta mungkin sulit menemukan deskripsi umum mengenai hal-hal yang merujuk pada gaya hidup. Oleh karena itu, gaya hidup membantu memahami (yakni menjelaskan tapi bukan berarti membenarkan) apa yang orang lakukan, mengapa mereka melakukannya, dan apakah yang mereka lakukan bermakna bagi dirinya maupun orang lain. (Chaney, 2003)
Zablocki dan Kanter (1976) mengemukakan bahwa ada dua tipe gaya hidup, satu berdasarkan kriteria stratifikasi yang lebih tradisional dan satunya lagi alternatif lebih mutakhir yang berkembang dari penolakan kelompokkelompok tertentu terhadap nilai-nilai tradisional, mereka juga menekankan perbedaan-perbedaan pilihan di dalam suatu persamaan dalam kesempatan yang sulit. Selain itu, Zablocki dan Kanter juga mengatakan bahwa gaya hidup dapat didefinisikan: “sejauh para anggota mirip satu sama lain dan berbeda dari orang lain baik dalam distribusi pendapatan yang dapat dibuang maupun motivasi yang mendasari distribusi seperti itu.”
3.1.1. Gaya Hidup Komunitas Indie – Tren “Indie” Sebagian besar kaum muda identik dengan kebebesan dan selalu ingin mencoba sesuatu yang baru. Gaya hidup masyarakat terutama kaum muda era postmodern ini cenderung mempunyai jiwa protes terhadap arus konvensional, melawan mainstream dan anti kemapanan, merupakan suatu
69
gerakan underground (bawah tanah) yang muncul dipertengahan tahun 1990-an. Namun hal tersebutlah yang membuat kreativitas menjadi terus berkembang, karena penasaran untuk mencari sesuatu yang baru, ingin tampil beda dan menarik perhatian.
Ingin tampil beda, dapat diterjemahkan dengan mencari “jalur lain” atau yang marak dibicarakan dengan sebutan indie. Budaya indie adalah gaya hidup yang mulai populer di akhir abad ke 20, diilhami oleh gaya hidup avant-garde yang mengikuti tren sosial underground. Budaya ini tidak ingin mengikuti aliran umum yang ada. Keinginan untuk berbeda dari umumnya budaya masyarakat menjadikan budaya indie seakan seperti budaya perlawanan. Bahkan masyarakat umum menganggap bahwa budaya indie adalah budaya anti kemapanan.
Pengaruh utama yang memicu munculnya budaya indie adalah dukungan dan ketertarikan pada grup musik independent. Tak hanya itu, pendekatan 'Do It Yourself' (D.I.Y) pada seni pun menjadi salah satu faktor pemicu lainnya. Karenanya budaya indie hingga saat ini tetap berkaitan dengan musik dan seni independent lokal.
Merupakan singkatan dari independen (independent), indie mempunyai definisi menjadi tidak tergantung pada aliran yang umum saat ini (mainstream). Tidak hanya sekedar mandiri, namun menjadi indie berarti harus berani tampil beda dan berani melakukan percobaan. Kata indie ini pun sering dihubungkan dengan musik, fashion, film, media cetak (komik, novel, majalah, dll) dan bisnis. Menggunakan kata indie, suatu kreasi artistik akan dianggap berada di luar aliran komersial, yaitu tanpa dukungan dari label mayor, studio mayor, atau sumber lain dengan keuangan yang melimpah. Namun meski demikian, sejak kemunculannya di sekitar tahun 1980an, budaya indie telah berkembang sangat pesat hingga sekarang ini. Pengikut paham ini pun bertambah dari tahun ke tahun. Bahkan saat ini
70
budaya indie telah menjadi aliran tersendiri, dengan pengikut yang hampir sama dengan mainstream yang dulu mereka tolak.
Budaya indie pun berkembang bukan hanya sebagai budaya yang berkesan minoritas lagi. Saat ini budaya indie bahkan justru dapat dianggap sebagai mainstream yang mewakili kaum mayoritas. Ambil saja contoh sepatu kanvas yang dulu sempat menjadi salah satu perlambang budaya indie jarang dipakai orang dan berbeda. Sekarang, sepatu kanvas telah menjadi sepatu paling umum dipakai oleh generasi muda.
3.1.2. Kreativitas Komunitas Indie Saat awal tahun 1990-an di Indonesia, gaya hidup yang merebak saat itu adalah gaya underground yang secepat kilat menjadi acuan mode dan musik di kalangan anak muda. Punk adalah acuan musik yang saat itu berkembang. Greenday menjadi populer sebagai semangat underground, sebagai bagian dari counter culture/ budaya perlawanan.
Tipe underground yang mencolok adalah antikemapanan, menentang mainstream/ media yang besar dan terkenal, antisosial, keluar dari batas dan antitren. Karena tipe di atas tadi, maka untuk menunjukkan jati dirinya secara benar tanpa dipengaruhi oleh pers yang mainstream, maka mereka membuat media sendiri yang biasanya dikerjakan secara independent atau istilahnya adalah D.I.Y (Do It Yourself). Media inilah yang kemudian disebut sebagai media indie/ media perlawanan dari pengaruh mainstream. Bahasa musiknya adalah indie Label.
Kreativitas (sambil main-main) yang membuahkan keuntungan itu, menurut Yasraf Amir Piliang, dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, tak lepas dari perkembangan komunitas tertentu di Bandung. Pada umumnya, kata pria yang intens mengamati perkembangan dan “api kreatif” anak-anak muda Bandung itu, komunitas tersebut berbasis counter-
71
culture, street culture, atau youth culture, yang secara umum disebut subculture. (dikutip dari Carry & Asmayani Kusrini http://www.gatra.com, Laporan Utama, GATRA, Edisi 40/ Jumat, 15.08.2003 )
Komunitas indie ini pada umumnya tidak punya struktur, tidak ada yang memimpin, dan dipimpin secara asal-asalan oleh sesama mereka. Mereka tidak mau diatur oleh orang lain yang lebih tinggi. Karena itu, mereka meninggalkan pola hubungan yang umum di masyarakat, dan mencari sesuatu yang berbeda. Banyaknya berbagai komunitas yang muncul dan berkembang di Bandung, tak lepas dari faktor masyarakat Bandung yang memiliki apresiasi seni cukup bagus.
Menurut Yasraf juga pada artikel yang sama diatas (www.gatra.com), mengatakan dibandingkan dengan daerah lain, masyarakat Bandung lebih bisa menerima sesuatu gaya yang aneh. Sebuah gaya bisa hidup jika diapresiasi oleh lingkungannya, dan hal itu yang terjadi pada komunitas di Bandung sekarang. Masyarakat Bandung dapat dikatakan sudah menganut budaya populer. Karena itu, segala macam barang “asal gaya” bisa laku di Bandung, tidak penting brand-nya.
Sedangkan menurut Dendy, yang memulai bisnisnya dibidang clothing dengan merek 347 ini juga mengakui, bisnisnya dibangun berdasarkan budaya jalanan macam punk dan skateboard. Suatu komunitas dari orangorang yang melakukan pemberontakan pada kultur atau norma yang ada dan berlaku umum di masyarakat. Menurutnya istilah “pemberontakan”, juga bisa diartikan tidak mau bekerja di bawah orang lain atau tergantung orang lain. Hal tersebut juga bisa menyangkut pada jam kerja yang tidak terikat seperti di kantoran. Tidak mau mengikuti selera pasar pada umumnya, itu juga dapat dikatakan sebagai pemberontakan. Dunia sekarang memang digerakkan oleh kreativitas kaum muda.
72
Seperti apa yang telah dikatakan diatas, gaya hidup indie ini identik dengan kaum muda dijaman sekarang khususnya yang kreatif, tidak bisa diam dan mencari sesuatu yang berbeda dari umumnya (mainstream) mencari jalur lain (resistensi mainstream). Mereka biasa berkreatifitas di bidang art & design, misalnya musik, fashion (distro), film, media cetak (komik, novel, majalah, dan lain-lain).
Musik Indie Musik bisa dibilang jadi ujung tombak berkembangnya komunitas indie. Sudah lama sering terdengar tentang band-band yang bergerak sendiri untuk memproduksi dan mengedarkan album mereka, yang biasa disebut pergerakan underground. Angkanya memang tidak besar jika dibandingkan dengan Sheila on 7 atau Padi. Tetapi, angka 50 ribu kopi untuk album indie sudah sangat bagus. Makin lama, dukungan terhadap indie pun besar. Terbukti dengan masuknya nama band asal Bandung, Mocca, dalam deretan grup yang mendapatkan award dari MTV. Stasiun TV yang fokus pada musik itu pun memberikan tempat yang cukup besar bagi musik yang bergerak dengan semangat indie. Tak ketinggalan, sejumlah radio ikut menyediakan segmen khusus bagi musisi-musisi lokal.
Indie label dan major label adalah dua jalur dalam dunia musik yang berbeda tetapi juga bisa saling mendukung. Indie label identik dengan band indie, musik indie, gerak mandiri, dan pergerakan-pergerakan musik yang dilakukan sendiri tanpa campur tangan perusahaan-perusahan major. Sekarang ini makin banyak muncul recording indie seperti Fasfoward, Spill Record (Bandung), Blossom Record (Yogyakarta) yang banyak mengedarkan musik indie dengan genre rock, brit pop. Lalu ada juga dE Record, sebuah recording di Jakarta yang baru saja merilis album emo, Sirkus Record milik gang Kripik Peudeus. Sedangkan major label adalah label rekaman yang dimilki oleh perusahaan-perusahaan besar seperti Warner Musik Indonesia, Universal Musik Indonesia, dan BMG.
73
Contoh band indie asal Bandung, yang muncul disekitar tahun 1998 dikenal dengan sebutan Rocket Rokers, ini termasuk salah satu band indie yang sering main di banyak acara. Band ini sudah membuat cukup banyak album seperti Fallen Angel, Still Punk, Still Sucks!, No Place To Get Fun, Bad Tunes And Some Ordinary Things, Ripple (Demo) #8, New Generation Calling, Hati Keccil (vcd bmx). Rocket Rokers juga sempat menjadi salah satu band pembuka Skin Of Tears (band punkrock asal Jerman) di Dago Tea House, Bandung.
Seiring dengan kemajuan dan ketenaran yang dimiliki sebuah band indie, seringkali membuat pihak major label melirik pada kualitas yang dimiliki band tersebut dan kemudian menariknya dengan sebuah kontrak yang sangat bertolak belakang dengan semangat indie yang seharusnya tidak pernah mau terikat pada aturan yang ada, dan selalu ingin berkreativitas dengan sebebas-bebasnya. Oleh karena itu, semua band indie yang sudah masuk pada major label, tidak dapat disebut sebagai band indie/ komunitas indie lagi. Keuntungan utama yang didapatkan oleh sebuah band yang sudah masuk ke major label adalah dari segi pendistribusian kaset yang lebih luas, dan sisi komersil dari band yang jelas lebih terangkat. Tetapi ternyata tidak semua band mensyukuri kelebihan yang ditawarkan jalur major ini, karena bagi sebagian musisi hal terpenting bagi sebuah band adalah kebebasan berkarya, yang mungkin tidak bisa didapatkan melalui jalur perusahaan rekaman besar. Pada intinya, semua band khususnya yang bergerak di jalur indie, akan selalu berusaha untuk mendapatkan pengakuan dan penghargaan atas karya seni yang mereka buat terutama pada komunitasnya.
Distro (Fashion dan Aksesori Indie) Gaya berpakaian/ style dari komunitas indie ini juga terlihat berbeda dan unik, tetapi tidak ‘sejorok’ seniman. Mereka tetap memperhatikan penampilan, tetapi dengan satu syarat: harus beda dengan yang lain. Syarat tersebut membuat mereka mendesain pakaian sendiri, biasanya berupa t-
74
shirt, yang berbeda dengan rancangan orang lain. Walau sederhana, hanya mengandalkan kekuatan kata dan gambar pada t-shirt, ternyata desain mereka bisa memancing minat para pencinta fashion. Biasanya tiap desain dibuat dalam jumlah kecil. Paling banyak satu desain diproduksi 10 potong. Perkembangan usaha ini makin menjamur, dengan puluhan merek bermunculan di pasaran. Usaha membuat t-shirt dan berbagai aksesori, seperti belt, handband, pin, sepatu, sampai boxer, dan lain sebagainya ini kemudian akan dijual di toko-toko kecil (distro).
Distro adalah tempat yang menjual barang-barang lokal buatan anak negeri dengan harga terjangkau. Motto yang dipakai adalah "Support Your Local". Makanya, barang-barang asli buatan sendiri dan belum terkenal. Tetapi kualitas bahan dan desainnya pasti keren, unik dan berbeda. Konon, ini semacam
bentuk
penolakan
terhadap
produk-produk
brand
yang
sebelumnya sudah berkibar dengan harga yang mahal atau dapat dikatakan terlanjur sudah menjadi produk-produk brand yang ‘aspal’ (asli tapi palsu). Apalagi creator distro, hampir 99% adalah anak-anak muda yang gaul dan mengaku harus bermodal tekat yang besar meskipun modal usaha sangat terbatas/kecil dan punya idealisme baru dalam berdagang. Jadi, distro ini juga merupakan indie label.
Sejak pertengahan tahun 1990, di kota Bandung memang bermunculan beberapa komunitas yang menjadi produsen sekaligus pelanggan tetap beberapa toko kecil (sebutlah distro) yang menjual barang-barang yang tidak ditemui di kebanyakan toko, shooping mall, dan factory outlet yang kini juga tengah menjamur di kota Bandung. Sebagai contoh 347, Monik Clothing, Ouval Research, Cosmic, Evil, Firebolt dan lain sebagainya. Berbekal modal seadanya, ditambah dengan hubungan pertemanan dan sedikit kemampuan untuk membuat dan memasarkan produk sendiri, kemunculan toko-toko (distro – tren indie) semacam ini kemudian tidak hanya menandai perkembangan scene anak muda di kota Bandung, tetapi juga kota lain seperti Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan sebagainya.
75
Film Indie Film indie, musik indie, gaya indie, sekarang yang serba indie sudah bukan barang asing lagi. Sebagian besar kaum muda di Indonesia sudah mewabah dengan indie, sebenarnya ini memang ingin disebut berbeda atau sekedar mengikuti tren yang ada. Kaum muda dengan gaya dandan indie, menggunakan kaos distro dengan tulisan atau motif yang unik, sneaker, topi, pin, jaket dan lain sebagainya yang serba indie.
Namun bila dilihat mundur beberapa tahun yang lalu, sebenarnya tren indie ini tidak lepas dari krismon (krisis moneter) di tahun 1996. Waktu itu di Indonesia memang sedang terjadi perubahan besar baik dibidang politik, ekonomi, hingga sosial. Karenanya banyak kaum muda yang mencoba untuk bebas berkreasi dan berekperimen dengan dana terbatas (bisa dikatakan sangat minim) untuk menemukan jati diri mereka. Bebas menggali segala kekuatan yang dimiliki untuk mengekspresikan diri sendiri. Jalur yang dulu tidak pernah terperhatikan seperti jalur indie jadi mulai muncul juga ke permukaan. Sebenarnya scene indie itu sendiri sudah mulai lama bergerak, tapi makin jelas terlihat baru sekitar tujuh tahun terakhir ini.
Film Kuldesak (1999) yang dibuat Riri dan teman-temannya makin menyegarkan film indie dan dunia per-film-an di Indonesia. Meski saat itu film Indonesia masih belum dilirik oleh bioskop 21, tidak menjadi masalah, karena pada saat itu mulai bermunculan event film indie yang memutar film-film Indonesia yang tidak masuk di bioskop 21. Hingga akhirnya seiring dengan tren anak muda postmodern, film indie mulai marak dan dapat ditayangkan di bioskop 21 yang dulunya hanya memutar film-film Hollywood. Sekarang sudah banyak pilihan film yang ditayangkan di bioskop 21 mulai dari film Indonesia, Hongkong, Korea, Prancis hingga India. Belum lagi jika ada event seperti International Film Festival, Festival Film Perancis, dan lain sebagainya yang sering berlangsung di Jakarta dan kota besar lain di Indonesia.
76
Media Cetak Indie (komik, novel, majalah/ fanzine) Perkembangan tren indie yang hebat ini kemudian diikuti oleh elemen lain yang sangat menunjang. Salah satunya adalah media cetak. Untuk menunjang
promosi,
biasanya
band
membuat
newsletter
untuk
memberitakan perkembangan band-nya. Berawal dari selembar kertas fotokopian, lalu mulai dicetak tipis, dan akhirnya bermunculanlah majalahmajalah yang tampilannya tak kalah keren dibandingkan dengan media cetak yang sudah mapan.
Fanzine merupakan sebutan lain dari majalah indie, dengan bentuk lebih sederhana dari magazine. Fanzine biasanya dibuat oleh fans/ penggemar/ simpatisan. Fanzine dapat dikatakan juga sebagai berikut, misalnya ada seseorang yang menyukai tentang surfing, maka dia bisa membuat fanzine tentang surf, dengan dirinya sendiri yang menjadi editornya. Dalam hal ini seorang yang terinspirasi oleh pola dan gaya hidup underground maka akan membuat fanzine underground (majalah indie).
Fanzine underground bisanya berisikan artikel dalam bentuk kritik/ malah terkadang tulisan serangan terhadap kebijakan pemerintah, budaya konsumerisme, kapitalisme, penindasan, lingkungan hidup, diskriminasi dan juga berisi info, interview dan review band dari kalangan underground yang dianggap menarik oleh editornya. Kadang juga ditambah dengan infoinfo dari hobi mereka, tapi rata-rata tetap dari sudut pandang subculture. Jika berbicara tentang komputer, maka yang ditulis adalah tentang teknik hack, jika membuat komik maka cerita-cerita atau gambar yang dibuat tidak akan sama dengan yang muncul di komik-komik terbitan penerbit besar, sebagian besar berisi kritik sosial.
Adapun ciri-ciri dari Fanzine/ Indie Magazine ini, antara lain: • Biasanya tidak mempunyai kantor redaksi, artinya mereka bisa beredaksi dimanapun mereka mau. • Tidak ada tenggat waktu/ deadline.
77
• Karena dibuat dengan sistem D.I.Y (Do It Yourself), maka jumlah eksemplarnya bergantung pada ‘isi saku’ dari redaksi/ editor. • Tidak ada batasan tentang bagaimana menulis yang baik dan benar. Semua ‘terasa’ sah-sah saja, bahkan pernah ditemui umpatan-umpatan jorok pun terasa manis didengar. • Biasanya lahir dari sebuah komunitas meskipun ada juga yang dilahirkan dengan mandiri. • Biasanya anti-copyright/ anti hakcipta, artinya pembaca boleh menggandakan seberapa banyak mereka mau.
Sedangkan kategori zine menurut isinya, dapat dibagi menjadi: • Zine yang seluruh isinya dibuat atau ditulis sendiri oleh editor atau sebelumnya belum pernah dipublikasikan di media lain. • Zine yang sebagian isinya dibuat sendiri dan sebagian lagi hasil mengambil artikel dari sumber lain yang sudah ada sebelumnya. • Zine yang seluruh isinya hasil dari mengumpulkan dari sumber lain. Kategori zine menurut kemasannya, dibagi menjadi: • Zine dengan format fotokopian. Bentuk yang paling banyak dijumpai. Bentuk ini memperbanyak eksemplar melalui foto kopi. • Zine dengan format stensilan. Zine ini dicetak mengggunakan alat cetak yang bernama stensil, biasanya sampul dibuat berwarna, tetapi halaman isi distensil hitam putih. • Zine dengan format full-colour. Bentuk yang paling bergaya, biasanya memakai kertas yang bagus dan kualitas cetak offset yang tinggi. Contohnya: majalah Trolley, Ripple, OutMagz, dan lain-lain.
Ketika di awal penerbitan majalah Trolley tahun 1999, sudah bisa disebut sebagai media indie, karena sumber dananya benar-benar terbatas dan tanpa subsidi penerbitan besar. Dengan mengangkat isu gaya hidup, seni rupa dan musik majalah Trolley memposisikan diri sebagai majalah indie dengan penggarapan yang serius dan kekhasan dari Bandung.
78
Bandung bisa dikatakan merupakan sarangnya orang-orang yang punya semangat indie. Selepas majalah Trolley, maka lahir pula majalah indie yang lebih segmented, yaitu Blank! dengan membidik pecinta desain grafis, majalah ini lahir dengan menawarkan khas Jogja. Selanjutnya Outmagz (Jogja) hingga majalah Pause dan Ripple (Bandung) makin menebar cita rasa indie yang tidak terkekang oleh bahasa jurnalistik yang pakem, namun lebih menawarkan keinginan untuk bersenang-senang atau berenang dalam ideologi. Belum lagi ada juga media yang berupa newsletter dengan kemasan lebih rapi seperti 10.05 (ten o’ five) yang dibagikan gratis.
Awalnya media cetak tersebut adalah ajang untuk propaganda. Tetapi, sekarang sudah berubah jadi bacaan yang bisa kita nikmati dan menambah wawasan kita. Kreativitas di bidang media cetak lain, seperti komik pun tak mau kalah untuk bergerak. Tercatat sejak tahun 1999 hingga sekarang ini makin banyak event komik indie. Sebut saja Pekan Komik Merdeka di Institut Teknologi Bandung (1999), Pekan Komik Indonesia di Universitas Negeri Malang (2000-2003), Pekan Komik Nasional di Universitas Petra, Surabaya (2001), Seyogyanya Komik Indonesia (Sekoin) di Universitas Gadjah Mada (2001-2002), Festival Komik Semarang di Universitas Diponegoro (2002), dan masih banyak lagi yang lain.
3.2. LATAR BELAKANG MAJALAH INDIE (Majalah Trolley) Didalam media industri terdapat kedinamisan untuk digali. Ini menjadi sangat penting ketika suatu produk memperkenalkan satu konsep yang nyata/ jelas kedalam persaingan pasar. Atribut yang tertanam pada strategi identitas majalah Trolley yaitu suatu majalah tentang seni, budaya, musik dan gaya hidup, konsekuensinya menghantarkan majalah tersebut pada suatu segmen target potensial niche. Sebagai majalah yang terinspirasi pada ide-ide yang diterbitkan oleh industri budaya berdasarkan media, majalah Trolley dengan suatu konsep yang berbeda, dengan desain grafis yang kreatif dan bahan yang berkualitas tinggi. Semua itu menghantarkan majalah itu sendiri untuk
79
berkreasi dengan membuat suatu inovasi dalam industri. Dapat dipercaya bahwa terbitnya majalah Trolley merupakan suatu majalah yang unik/ lain dari pada majalah Indonesia yang sudah terbit sebelumnya, seperti diungkap/ dinyatakan pada review dalam salah satu media Indonesia (Jakarta Magz – 2000), bagaimana pun juga penghargaan secara tidak langsung menimbulkan pertanyaan bagaimana menerbitkan bisnis yang bertahan lama.
Trolley muncul sebagai reaksi dari majalah-majalah umum di Indonesia yang tampilannya selalu monoton. Diterbitkan pada tahun 2000 oleh sebuah komunitas di Bandung yang memiliki talenta dan hobi yang sama. Sebagian besar komunitas ini merupakan almamater dari Institut Teknologi Bandung, seperti Gustaff, Helvi, Radithya, Lala, dan masih banyak lagi yang lainnya. Didukung oleh kemampuan mereka, konsep yang idealis dan semangat wirausaha Trolley lahir sebagai majalah yang berbeda dan melambangkan budaya industri perkotaan, dimana dapat dilihat pada pengepakan yang inovatif, desain yang kreatif, dan bahan berkualitas tinggi yang mampu menghasilkan harga dan mewakili semua bidang.
Adapun audience/ target sasaran dari Trolley adalah kaum muda perkotaan (antara umur 20-30 tahun) terutama yang suka music & art juga fashion (distro), dengan rata-rata pengeluaran diatas Rp.750.000,- per bulan, jenis kelamin pria dan wanita (unisex), memiliki latar budaya yang berbeda dan lebih spesifik adalah untuk membedakan kelompok sosial muda yang diharapkan dapat untuk menjadi penentu kecenderungan didalam kehidupan sosial.
Sedangkan isi dari majalah ini antara lain meliputi art & culture, music, film, fashion dan gaya hidup anak muda. Trolley juga bermaksud untuk menjadi nara sumber (pemberi informasi), dimana juga menyediakan kesempatan kepada penduduk kota untuk melihat proses perubahan dimana seluruh kehidupan berperan aktif didalamnya.
80
Selama 8 bulan Trolley terbit, dapat dikatakan cukup baik dalam memasuki pangsa pasar, oleh karena itu sebagai penerbit majalah indie ini percaya bahwa didalam perkembangan pasar Trolley akan mencapai posisi yang penting sebagai pelaku utama dalam industri media dimasa yang akan datang. Namun tanpa terduga, karena keterbatasan dana yang ada maka Trolley hanya terbit hingga 10 edisi saja.
Dalam menentukan batasan untuk identitas bisnisnya, Trolley menentukan beberapa karateristik yang penting antara lain: • Bukan sekedar majalah biasa, tapi merupakan sebuah konsep baru didalam majalah Indonesia secara umum • Bukan sekedar majalah dengan desain yang unik dan kreatif, namun pengetahuan juga dapat diperoleh didalam isi majalah tersebut. Isi dari majalah diperoleh melalui proses analisa, yang ditujukan kepada seseorang yang tertarik pada topik tertentu • Bukan sekedar majalah yang hanya dibaca sepintas lalu, tapi merupakan benda yang pantas untuk dikoleksi. (ini dapat dijelaskan melalui sudut pandang komersial sebagai proses sifat membeli yang berkelanjutan)
Redaksi majalah Trolley ini berusaha memberikan rentetan penawaran dengan menampilkan beberapa aksi melalui: • Peningkatan kualitas penulis yang berbakat didalam hal: –
Kemampuan analisa yang tinggi
–
Mengetahui konsep ‘know-how’
–
Pandangan yang luas
–
Penerjemah yang baik
• Perkembangan yang berkelanjutan didalam desain yang kreatif dan memelihara identitas dasar desain yang unik. • Membentuk tim kreatif yang memiliki hubungan timbal balik, untuk isi dan lapangan bisnis. Dimana ini dapat berguna untuk: –
Tempat demografis menuju trend/ kecenderungan
81
–
Mengadakan/ membentuk ‘Watch Dog’ (analisis kompetisi)
–
Tim pengontrol (operasi)
• Menyelenggarakan penelitian secara berkala dengan maksud dan tujuan untuk: –
Pembahasan bisnis yang pasti/ bisnis-bisnis tertentu
–
Pembuktian bisnis-bisnis perspektif
• Menyediakan material/ barang-barang yang berkualitas baik (misal: kertasnya, percetakannya, cover-nya dan lain sebagainya)
3.3. ANATOMI MAJALAH TROLLEY Trolley merupakan majalah indie Bandung yang sangat kreatif, unik, dan menarik. Dengan format/ ukuran majalah 21x24cm dan ketebalan majalah sekitar 80-90 halaman (tidak konsisten, tiap edisi berbeda jumlah halaman). Adapun isi dari Trolley antara lain seputar art & culture, music, film, fashion. Apabila dikaji lebih lanjut, maka dapat ditemui beberapa anatomi (bagian luar dan dalam) dari Trolley ini, antara lain adalah: •
Cover Sampul depan majalah Trolley
•
Contents Daftar isi dari majalah Trolley
•
Editorial Susunan nama redaksi majalah Trolley
•
Mailbox Surat dari para pembaca dan balasan surat dari redaksi Trolley
•
Letter from Editor Beberapa patah kata sambutan dari editor Trolley
•
Notes Catatan kecil dan maksimal hanya satu halaman, dengan susunan katakata/ kalimat yang tidak beraturan tata bahasanya, dimana seringkali menceritakan segala hal yang berhubungan dengan indie.
82
•
Reviews Sedikit kutipan tentang beberapa musik, film dan buku
•
Portofolio Ajang pamer karya
•
Bedroom Charts Tempat curhat (curahan hati) komunitas indie
•
State of Mine Cerita-cerita yang ingin dicurahkan untuk para pembaca Trolley
•
Who The Hell Are They Mengulas profil band-band indie ataupun keberadaan komunitas indie.
•
Artikel bebas Isi artikel ini berbeda-beda pada tiap edisi Trolley Magazine, dapat tentang desain, musik, seniman dan komunitas tertentu yang melawan arus mainstream (seperti indie, punk).
•
Distro’s Tempat promosi berbagai macam atribut indie, khususnya yang berada di Bandung.
•
Index Daftar nama dan alamat beberapa tempat/ orang yang dimuat pada tiap edisi majalah Trolley
•
Official Store Tempat dimana dapat menemukan dan membeli majalah Trolley
3.4. ELEMEN DAN GAYA DESAIN TROLLEY Indie dikenal sebagai suatu bentuk alternatif yang melawan mainstream, hal ini terlihat pula pada gaya desain yang ada di majalah Trolley. Mulai dari pengunaan huruf dan tipografi serta elemen desain lain tampil dengan visualisasi yang sangat luar biasa dan berbeda dari majalah-majalah umum yang sudah ada di pasaran. Adapun beberapa elemen desain lain yang perlu diperhatikan pada sebuah halaman, antara lain adalah:
83
•
Ukuran Seberapa besar atau kecil sesuatu. Ukuran menunjukkan elemen yang terpenting, menarik perhatian, dan mengepaskan seluruh elemen layout.
•
Bentuk Sesuatu yang memiliki tinggi dan lebar. Dengan bentuk pembaca dibantu untuk mengenali sebuah obyek, menarik perhatiannya, mengkomunikasikan ide perancang dan menambah daya tarik sebuah layout.
•
Tekstur Tampilan atau perasaan sebuah permukaan. Tekstur menambah dimensi dan kekayaan sebuah layout, menegaskan atau membawa kedalam sebuah rasa/ emosi tertentu.
•
Garis Tanda apapun yang menghubungkan satu titik dengan titik yang lain. Garis dapat digunakan untuk mengatur layout, mengarahkan pembaca ataupun membawa emosi pembaca.
•
Ruang kosong Ruang kosong memisahkan atau menyatukan elemen-elemen layout, menegaskan sebuah elemen, atau sebagai tempat istirahat bagi mata.
•
Value Seberapa gelap atau terang sebuah area. Value memisahkan elemenelemen layout, memberikan suasana tertentu dan membuat sebuah ilusi kedalaman.
•
Warna Warna sangat berpengaruh pada suatu desain, warna dapat memberikan suasana tertentu, menarik perhatian, menegaskan sesuatu dan mengatur elemen-elemen layout.
Meski dengan modal yang terbatas dan benar-benar memulai dari bawah, tapi didukung dengan daya kreatifitas yang tinggi, majalah Trolley mampu menghipnotis khalayak sasaran yang sebagian besar kaum muda dan komunitas indie itu sendiri.
84
3.4.1. Logo majalah Trolley Logogram Logogram merupakan suatu logo yang dirancang berdasarkan gambar suatu objek, dengan menggabungkan beberapa elemen desain seperti garis (line), bentuk (shape), warna, dan lain-lain. Untuk majalah Trolley ini logogramnya dirancang menyerupai bentuk trolley (keranjang makanan di supermarket).
Gambar 3.1. Logogram majalah Trolley
Logotype Logotype merupakan logo yang dirancang menggunakan susunan hurufhuruf. Logotype majalah Trolley tiap edisi tidak konsisten, bentuk dan susunan hurufnya selalu berubah-ubah. Logotype ini pun baru muncul pada Trolley Magazine edisi 6 – 10. Lain halnya dengan logogram yang selalu menempel di setiap edisi, meski dengan susunan yang tidak konsisten pula, kadang di atas, tengah, bawah, tidak beraturan.
85
Gambar 3.2. Logotype majalah Trolley
Warna Logo Trolley Magazine Warna-warna logo yang digunakan pada Trolley Magazine ini adalah perpaduan antara warna gelap dan terang. Dimana warna-warna yang digunakan tersebut antara lain memiliki arti sebagai berikut: • Warna Hitam Warna hitam melambangkan kegelapan dan ketidakhadiran cahaya. Hitam menandakan kekuatan yang gelap, lambang misteri, warna
86
malam. Sering juga dilambangkan sebagai warna kehancuran atau kekeliruan. Umumnya warna hitam diasosiasikan dengan sifat negatif. Ungkapan-ungkapan seperti kambing hitam, ilmu hitam (black magic), daftar/ daerah hitam (black list), pasar gelap (black market), adalah tempat menunjukan sifat-sifat negatif. • Warna Putih Warna putih memiliki karakter positif, merangsang, cemerlang, ringan, dan sederhana. Putih melambangkan kesucian, polos, jujur, dan kemurnian. Umumnya warna putih diasosiasikan dengan sifat kebaikan (positif), sangat bertolak belakang dengan warna hitam. • Warna Merah Warna merah adalah warna kehangatan, melambangkan panas dan api, menarik perhatian orang, serta sering digunakan untuk menunjukkan bahaya atau keadaan darurat (misalnya: pemadam kebakaran), selain itu merah juga dapat menunjukkan kemarahan. Namun pada budaya Tionghoa, merah adalah warna keberuntungan dan menjadi warna untuk pakaian pernikahan. Uang dalam masyarakat Tionghoa biasanya diberikan dalam amplop merah (angpao).
3.4.2. Gaya Desain Cover Trolley Desain suatu cover/ sampul luar majalah sangat tergantung pada apa yang ingin disampaikan didalam suatu majalah. Suatu ilustrasi dapat membantu apabila ada relevansinya dan berkualitas baik. Cover harus bisa menangkap/ menarik seseorang untuk melihat dan mengatakan sesuatu yang luar biasa sehingga membuat semakin penasaran dan ingin melihat/ tahu lebih dalam tentang apa yang ada didalamnya.
87
Cover/ sampul luar juga dapat menimbulkan dan membuat pembacanya kadang cukup sulit untuk menerka apa sebenarnya yang ditawarkan pada majalah tersebut, hal ini disebabkan karena seringkali huruf dan tipografi yang digunakan pada cover kurang jelas dan tidak beraturan.
Cover/ sampul luar setidaknya harus dapat merefleksikan keseluruhan isi dari suatu majalah, oleh karena itu huruf dan tipografi yang digunakan harus menarik namun tetap jelas dan dapat dibaca (legibility dan readability), agar tidak menimbulkan persepsi yang salah. Beberapa contoh cover Trolley, antara lain:
Cover Trolley Magazine #01
Cover Trolley Magazine #02
Cover Trolley Magazine #03
Cover Trolley Magazine #04
88
Cover Trolley Magazine #05
Cover Trolley Magazine #06
Cover Trolley Magazine #07
Cover Trolley Magazine #08
Cover Trolley Magazine #09
Cover Trolley Magazine #10
Gambar 3.3. Contoh Cover majalah Trolley edisi 1 – 10
89
3.4.3. Gaya Desain Isi/ Halaman Dalam Trolley Tampilan sebuah majalah tergantung dari keputusan desain mengenai format, cover, isi artikel berserta pemilihan jenis huruf dan penerapan image untuk desain sebuah halaman. Trolley merupakan salah satu majalah yang mempunyai konsep desain berbeda dari majalah-majalah pada umumnya, karena gaya desain Trolley tidak mengikuti format/ aturan umum yang berlaku pada sebuah majalah. Jika majalah umum menggunakan sistem grid agar terkesan lebih rapi dan konsisten, majalah Trolley justru melanggar/ menghilangkan sistem grid tersebut sehingga gaya desainnya terlihat tidak beraturan dan tidak konsisten. Perubahan ini muncul sebagai reaksi atas majalah-majalah umum yang sudah mapan namun gaya desainnya terlalu monoton.
Begitu banyak isi rubrik yang ditawarkan pada majalah Trolley ini, namun untuk mengkaji gaya desain, huruf dan tipografi maka hanya akan diambil beberapa contoh desain isi/ halaman dalam Trolley antara lain pada rubrikrubrik sebagai berikut:
Daftar Isi
Daftar Isi Trolley #03
Daftar Isi Trolley #05
Gambar 3.4. Contoh Daftar Isi majalah Trolley
90
Editorial
Editorial Trolley #05
Editorial Trolley #07
Gambar 3.5. Contoh Editorial majalah Trolley
Bedroom Charts
Bedroom Charts Trolley #04
Bedroom Charts Trolley #01
Gambar 3.6. Contoh Bedroom Charts majalah Trolley
91
Reviews
Reviews Trolley #02
Reviews Trolley #03
Gambar 3.7. Contoh Reviews majalah Trolley
Notes
Notes Trolley #02
Notes Trolley #08
Gambar 3.8. Contoh Notes majalah Trolley
92
3.4.4. Gaya Huruf dan Tipografi Trolley Display Type
Gambar 3.9. Contoh Display Type majalah Trolley
93
Text Type/ Body Text
Gambar 3.10. Contoh Text Type/ Body Text majalah Trolley
94
3.4.5. Gaya Layout (Tata Letak) dan Folio (Penomoran Halaman) Trolley Layout (Tata Letak)
Gambar 3.11. Contoh Layout (tata letak) majalah Trolley
95
Folio (Penomoran halaman)
Gambar 3.12. Contoh Folio (penomoran halaman) majalah Trolley
Dari beberapa contoh desain tersebut, terlihat jelas bahwa majalah Trolley ini memang unik, lain dari yang lain, dan cukup berani dalam menuangkan ide-ide kreatifnya, yang sebagian besar tidak mengikuti format majalah pada umumnya. Untuk lebih jelasnya, hal ini akan dikaji lebih lanjut pada bab pembahasan berikutnya.
96