BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI - digilib.itb.ac.id

37 BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI 4.1 METODA PENELITIAN Analisis struktur geologi terhadap daerah penelitian dilakukan melalui tiga tahap penelitian...

56 downloads 720 Views 2MB Size
BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI 4.1 METODA PENELITIAN Analisis struktur geologi terhadap daerah penelitian dilakukan melalui tiga tahap penelitian. Tahap pertama merupakan pendekatan tidak langsung, yaitu dengan cara menginterpretasikan gejala struktur di lapangan dengan menarik kelurusan pada peta topografi dan citra satelit. Tahap kedua adalah melakukan pengamatan secara langsung di lapangan dan pengambilan data lapangan berupa kedudukan lapisan, bidang sesar, kekar gerus (shear fracture), slickensides dan breksiasi. Tahap yang ketiga adalah melakukan analisis lanjut terhadap data-data lapangan yang ada untuk mengetahui mekanisme struktur yang terjadi di daerah penelitian. Hasil pengolahan tersebut berupa diagram roset, arah dan penunjaman sumbu lipatan serta bidang lipatan, arah tegasan utama, dan kinematika pergerakan sesar.

4.2 POLA KELURUSAN DAERAH PENELITIAN Dari penarikan pola kelurusan kelurusan sungai, punggungan, dan perbukitan di daerah penelitian yang dilakukan pada citra satelit (Gambar 4.1) dan peta topografi (Gambar 4.3) didapatkan tiga arah umum (Gambar 4.2) yang setelah kemudian dielaborasi dengan data-data lapangan menunjukkan: •

Arah timur timurlaut – barat baratdaya (ENE-WSW) yang diinterpretasikan sebagai arah umum dari sesar naik yang berkembang di daerah penelitian.



Arah utara timurlaut - selatan baratdaya (NNE-SSW) yang diinterpretasikan sebagai jurus dari sesar mendatar mengiri yang berkembang di daerah penelitian.



Arah utara baratlaut - selatan tenggara (NNW-SSE) yang diinterpretasikan sebagai jurus dari sesar mendatar menganan yang berkembang di daerah penelitian.

37

Gambar 4.1 Pola kelurusan citra satelit daerah penelitian

Gambar 4.2 Diagram roset dari pola kelurusan citra satelit daerah penelitian

38

Gambar 4.3 Peta pola kelurusan dari peta topogafi pada daerah penelitian (tanpa skala)

39

4.3 STRUKTUR GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 4.3.1 Struktur Lipatan Struktur lipatan berupa antiklin dan sinklin dapat dijumpai pada daerah penelitian. Sumbu lipatan secara umum memiliki arah timur timurlaut-barat baratdaya (ENE-WSW). Satuan batuan termuda yang terlibat dalam struktur lipatan ini adalah Satuan Batugamping A yang berumur Paleosen Akhir-Miosen Akhir sehingga dapat disimpulkan bahwa lipatan-lipatan tersebut mulai terbentuk pasca pengendapan Satuan Batugamping A (pasca Miosen Akhir). Adapun penamaan lipatan pada daerah penelitian didasarkan pada letak geografis dijumpainya lipatan tersebut. 1. Antiklin Nunuboko Antiklin Nunuboko (Foto 4.1) dapat dijumpai pada lokasi OT-58 (Lampiran G-1, Peta Lintasan) dan terdapat pada satuan Batulempung-Batugamping. Antiklin Nunuboko berasosiasi dengan terbentuknya Sesar Naik Nunuboko 1. Dari pengolahan data kedudukan lapisan (Gambar 4.4) didapatkan bidang sumbu dengan kedudukan N 83°E / 55° SE dan sumbu lipatan 34°, N 235°E. Lipatan ini dapat diklasifikasikan sebagai inclined fold (Rickard, 1971 op cit Pedoman Praktikum Geologi Struktur ITB, 2006).

Foto 4.1 Antiklin Nunuboko (Lokasi OT-58) 40

Gambar 4.4 Analisis dinamik Antiklin Nunuboko menunjukkan nilai 1 = 34°, N 350°E

2. Antiklin Boti Antiklin Boti diperoleh dari rekonstruksi kedudukan lapisan. Antiklin ini berasosiasi dengan terbentuknya Sesar Naik Nambaun 2 dan terdapat pada Satuan Batulempung-Batugamping. Dari pengolahan data kedudukan lapisan (Gambar 4.5) didapatkan bidang sumbu dengan kedudukan N 232°E / 68°NW dan sumbu lipatan 17°, N 45°E. Lipatan ini dapat diklasifikasikan sebagai inclined fold (Rickard, 1971 op cit Pedoman Praktikum Geologi Struktur ITB, 2006).

Gambar 4.5 Analisis dinamik Antiklin Boti menunjukkan nilai 1 = 22°, N 142°E

41

3. Antiklin Nambaun Antiklin Nambaun berasosiasi dengan terbentuknya Sesar Naik Nambaun 3. Pengolahan data kedudukan lapisan (Gambar 4.6) menghasilkan bidang sumbu N 62°E / 80°SE dan sumbu lipatan 21°, N 238°E. Lipatan ini dapat diklasifikasikan sebagai inclined fold (Rickard, 1971 op cit Pedoman Praktikum Geologi Struktur ITB, 2006).

Gambar 4.6 Analisis dinamik Antiklin Nambaun menunjukkan nilai 1 = 10°, N 331°E

4. Sinklin Boti Sinklin ini diperoleh dari rekonstruksi kedudukan lapisan dan berasosiasi dengan terbentuknya Sesar Naik Boti. Dari pengolahan data kedudukan lapisan (Gambar 4.7) didapatkan bidang sumbu dengan kedudukan N 57°E / 74°SE dan sumbu lipatan 27°, N 66°E. Lipatan ini dapat diklasifikasikan sebagai inclined fold (Rickard, 1971 op cit Pedoman Praktikum Geologi Struktur ITB, 2006).

Gambar 4.7 Analisis dinamik Sinklin Boti menunjukkan nilai 1 =16°, N 327°E

42

4.3.2 Struktur Sesar Struktur sesar yang dijumpai di daerah penelitian dapat diketahui dari adanya bidang sesar, slickensides, kekar gerus (shear fracture), zona hancuran, dan breksiasi. Kedudukan lapisan batuan yang tidak beraturan dan susunan stratigrafi yang tidak normal juga mengindikasikan terdapatnya sesar. Kenampakan morfologi berupa kelurusan punggungan dan sungai juga membantu dalam mengindikasikan kehadiran sesar. Struktur sesar yang berkembang di daerah penelitian mempunyai 3 pola umum kelurusan yaitu sesar naik dengan pola umum kelurusan timur timurlaut – barat baratdaya (ENE-WSW), sesar mendatar mengiri dengan pola umum kelurusan utara timurlaut – selatan - baratdaya (NNE-SSW), dan sesar mendatar menganan dengan pola umum kelurusan utara baratlaut-selatan tenggara (NNW-SSE). Sesar mendatar ini memotong perlipatan dan struktur naik yang berkembang sehingga dapat diinterpretasikan bahwa sesar mendatar ini berumur relatif lebih muda daripada lipatan dan sesar naik. Satuan batuan termuda yang terlibat dalam struktur sesar ini adalah Satuan Batugamping A yang berumur Paleosen Akhir-Miosen Akhir sehingga dapat disimpulkan bahwa sesar-sesar tersebut mulai terbentuk pasca pengendapan Satuan Batugamping A (pasca Miosen Akhir). Berdasarkan data-data yang didapat di lapangan dilakukan analisis dinamik untuk mengetahui arah tegasan utama maksimum dan analisis kinematik untuk mengetahui arah gerak relatif sesar tersebut. Penamaan sesar pada daerah penelitian didasarkan pada letak geografis dijumpainya singkapan sesar-sesar tersebut.

4.3.2.1 Sesar Naik 1. Sesar Naik Tune Berdasarkan pengolahan data lapangan (Gambar 4.8) seperti kekar gerus (Foto 4.2), slickensides, dan breksiasi pada lokasi OT-2, maka didapatkan kedudukan umum dari Sesar Naik Tune adalah N 260°E / 38°NW. Sesar Naik Tune terdapat pada bagian paling utara daerah penelitian (Lampiran G-4, Peta Struktur). Kemenerusan sesar naik ini pada bagian barat dapat dijumpai di lokasi OT-15 yang diindikasikan oleh hadirnya lapisan tegak pada batas 2 satuan batuan yang berbeda (Foto 4.3). Lapisan tegak tersebut mengindikasikan adanya kontak sesar naik antara satuan Batulempung dengan satuan Batulempung-Batugamping.

43

Foto 4.2 Kekar gerus sebagai indikator Sesar Naik Tune (Lokasi OT-2)

Foto 4.3 Lapisan tegak mengindikasikan kehadiran Sesar Naik Tune (Lokasi OT-15)

44

Gambar 4.8 Analisis kinematik Sesar Naik Tune

2. Sesar Naik Nunuboko 1 Sesar Naik Nunuboko 1 (Foto 4.4) dapat dijumpai pada lokasi OT-58 (Lampiran G-1, Peta Lintasan). Kehadiran sesar naik ini berasosiasi dengan kehadiran Antiklin Nunuboko. Pada lokasi ini terlihat jelas adanya lipatan yang teranjakkan dan membentuk struktur sesar naik. Kedudukan bidang sesar naik yang diperoleh adalah N 265°E / 50°NW (Gambar 4.9).

Foto 4.4 Sesar Naik Nunuboko 1 (Lokasi OT-58)

45

Gambar 4.9 Analisis dinamik Sesar Naik Nunuboko 1 dengan nilai 1 = 39°, N 175°E

3. Sesar Naik Nunuboko 2 Sesar Naik Nunuboko 2 (Foto 4.5) dapat dijumpai pada lokasi OT-70 (Lampiran G-1, Peta Lintasan). Pada lokasi ini ditemukan beberapa pergeseran lapisan sebagai bukti adanya sesar naik. Berdasarkan data lapangan didapatkan kedudukan umum bidang sesar adalah N 260°E / 40° NW (Gambar 4.10). Sesar naik ini memiliki kemiringan bidang relatif ke arah utara.

Foto 4.5 Sesar Naik Nunuboko 2 (Lokasi OT-70)

46

Gambar 4.10 Analisis dinamik Sesar Naik Nunuboko 2 dengan nilai 1 = 49°, N 170°E

4. Sesar Naik Boti Sesar Naik Boti (Foto 4.6) dapat dijumpai pada lokasi OT-79 (Lampiran G-1, Peta Lintasan). Berdasarkan data lapangan didapatkan kedudukan bidang sesar naik adalah N 65°E / 60°SE (Gambar 4.11). Sesar naik ini memiliki kemiringan yang berbeda dengan sesar naik yang lain dimana kemiringan bidang sesar ini relatif ke arah selatan. Sesar Naik Boti merupakan backthrust dari sistem sesar naik yang berkembang pada daerah penelitian.

Foto 4.6 Sesar Naik Boti (Lokasi OT-79)

47

Gambar 4.11 Analisis dinamik Sesar Naik Boti dengan nilai 1 = 30°, N 335°E

5. Sesar Naik Nambaun 1 Sesar Naik Nambaun 1 (Foto 4.8) dapat dijumpai pada lokasi OT-145 (Lampiran G-1, Peta Lintasan). Berdasarkan data lapangan didapatkan kedudukan umum bidang sesar adalah N 260°E / 50° NW (Gambar 4.12). Kemenerusan sesar ini menerus ke arah barat yang dapat dijumpai pada lokasi OT-95 dimana terindikasikan oleh kehadiran lapisan tegak (Foto 4.7) serta pada lokasi BT-7 dimana juga ditemukan bidang sesar naik.

Foto 4.7 Kemenerusan Sesar Naik Nambaun 1 diindikasikan oleh kehadiran lapisan tegak (Lokasi OT-95)

48

Foto 4.8 Sesar Naik Nambaun 1 (Lokasi OT-145)

Gambar 4.12 Analisis dinamik Sesar Naik Nambaun 1 dengan nilai 1 = 39°, N 170°E

49

6. Sesar Naik Nambaun 2 Sesar Naik Nambaun 2 ditafsirkan dari adanya urutan stratigrafi yang tidak normal, dimana satuan Batulempung-Batugamping yang berumur lebih tua berada diatas satuan Batugamping A yang berumur lebih muda. Indikasi gejala sesar naik ini dapat dilihat dari kelurusan kontur serta ditemukannya zona hancuran di lokasi OT-103.

7. Sesar Naik Nambaun 3 Sesar Naik Nambaun 3 (Foto 4.9) terdapat pada satuan Batugamping A dan diperoleh dari pengukuran bidang sesar serta adanya kelurusan gawir yang mengindikasikan adanya sesar naik. Kedudukan bidang sesar yang diperoleh adalah N 260°E / 60° NW (Gambar 4.13).

Foto 4.9 Sesar Naik Nambaun 3 (Lokasi OT-152)

50

Gambar 4.13 Analisis dinamik Sesar Naik Nambaun 3 dengan nilai 1 = 28°, N 170 °E

8. Sesar Naik Noesao Sesar Naik Noesao terdapat pada satuan Batugamping A dan diperoleh dari pengolahan data kekar gerus (Gambar 4.14). Kedudukan bidang sesar yang diperoleh adalah N 237°E / 64° NW. Sesar Naik Noesao merupakan splay dari Sesar Naik Nambaun 3 karena merupakan sesar naik sekunder dengan ukuran dan pergerakan lebih kecil yang keluar dari suatu sesar naik utama (Boyer & Elliott, 1982).

Gambar 4.14 Analisis kinematik Sesar Naik Noesao dengan nilai 1 = 3°, N 328°E

9. Sesar Naik Bele Sesar Naik Bele (Foto 4.10) ditafsirkan dari urutan stratigrafi yang tidak normal dimana satuan Batulempung-Batugamping yang berumur lebih tua berada diatas satuan Batugamping A yang berumur lebih muda. Berdasarkan data lapangan pada lokasi OT162 dan OT-169 (Lampiran G-1, Peta Lintasan), diperoleh kedudukan bidang sesar naik sebesar N 250°E / 55°NW (Gambar 4.15). Sesar Naik Bele dipisahkan oleh Sesar Mendatar Putu yang memiliki pergerakan relatif menganan.

51

Foto 4.10 Sesar Naik Bele (Lokasi OT-169)

Gambar 4.15 Analisis dinamik Sesar Naik Bele menunjukkan nilai 1 = 33°, N 160°E

52

4.3.2.2 Struktur Sesar Mendatar

1. Sesar Mendatar Bele Sesar Mendatar Bele (Foto 4.11) memiliki pergerakan relatif mengiri yang diperoleh dari pergeseran lapisan yang bergerak relatif mengiri yang ditemukan pada lokasi OT-150 (Lampiran G-1, Peta Lintasan). Kedudukan bidang sesar yang diperoleh adalah N 15°E / 55°SE. Data ini juga didukung oleh adanya perubahan kedudukan lapisan yang tiba-tiba berubah. Kemenerusan sesar ini menuju ke arah selatan dimana terlihat adanya kelurusan sungai dan kelurusan kontur.

Foto 4.11 Sesar Mendatar Bele (Lokasi OT-150)

2. Sesar Mendatar Nambaun Sesar Mendatar Nambaun diperoleh dari pengolahan data kekar gerus (Gambar 4.16) pada lokasi OT-131 dan OT-134 (Lampiran G-1, Peta Lintasan). Hasil pengolahan data tersebut menghasilkan kedudukan bidang sesar N 18°E / 62°SE dan rake 10°. Data ini juga didukung dengan adanya perubahan kedudukan lapisan yang tiba-tiba berubah. Kemenerusan sesar ini menuju ke arah selatan dimana terlihat adanya kelurusan sungai dan kelurusan kontur.

53

Gambar 4.16 Analisis kinematik Sesar Mendatar Nambaun

3. Sesar Mendatar Boti Sesar Mendatar Boti (Lampiran G-4, Peta Struktur) diindikasikan dari perubahan kedudukan lapisan yang tiba-tiba berubah. Kedudukan lapisan yang orientasi jurusnya relatif berbeda terdapat pada lokasi BT-4 dan BT-6 yang memiliki jurus utara timurlaut – selatan baratdaya dengan lokasi BT-2 dan BT-7 yang memiliki jurus timur tenggara – barat baratlaut (Lampiran G-1, Peta Lintasan). Jurus pada kedudukan lapisan tersebut terganggu akibat kehadiran sesar mendatar di daerah ini. Kelurusan berarah utara timurlaut - selatan baratdaya mengindikasikan sesar yang terbentuk merupakan sesar mendatar mengiri.

4. Sesar Mendatar Putu Sesar Mendatar Putu (Lampiran G-3, Peta Geologi) diindikasikan dari adanya pergeseran satuan Batulempung-Batugamping yang ditemukan pada lokasi OT-162 dan OT-169 (Lampiran G-1, Peta Lintasan). Besarnya pergeseran satuan BatulempungBatugamping yang diakibatkan oleh sesar ini sekitar 600 meter. Pergerakan dari sesar mendatar ini menunjukkan adanya pergerakan relatif menganan. Sesar mendatar ini memiliki kelurusan berarah utara baratlaut – selatan tenggara. Kelurusan sungai juga menguatkan indikasi dari kehadiran sesar mendatar ini.

54

4.4 MEKANISME PEMBENTUKAN STRUKTUR GEOLOGI

Sebelum pembahasan mengenai mekanisme pembentukan struktur geologi pada daerah penelitian, akan dijelaskan terlebih dahulu beberapa terminologi yang berkaitan dengan sesar anjakan. Secara regional sesar anjakan memiliki sudut yang sangat landai namun pada skala lokal yang langsung berhubungan dengan lipatan dapat ditemui sesar yang bersudut sangat tinggi. Berdasarkan keterlibatan batuan basement, jalur sesar anjakan (thrust belts) dapat dibagi menjadi dua yaitu Thin skinned belts dan Thick skinned belts (Gwinn, 1964 op cit Marshak & Mitra, 1988). Thin skinned belts tidak melibatkan basement saat terdeformasi, sedangkan thick skinned belts ikut melibatkan basement saat terjadi deformasi. Secar tektonik sesar anjakan dapat terbentuk pada interaksi konvergen, baik yang berupa zona subduksi atau zona collision (Gambar 4.17). Pada zona subduksi sesar anjakan terbentuk di bagian prisma akrasi dan back arc dimana pada prisma akrasi terbentuk sesar anjakan yang kemiringannya ke arah subduksi, sedangkan pada back arc terbentuk sesar anjakan yang kemiringannya berlawanan dengan arah subduksi. Pada zona collision, sesar anjakan dapat terbentuk baik pada area upper plate maupun area lower plate dengan kemiringan saling berlawanan diantara keduanya.

Gambar 4.17 Model tektonik sesar anjakan (Davis & Reynolds, 1996)

55

Boyer dan Elliott (1982) membagi sistem sesar anjakan menjadi dua tipe yaitu imbrikasi dan duplex (Gambar 4.18). Perbedaan mendasar dari keduanya adalah pada sistem imbrikasi hanya memiliki komponen floor thrust, sedangkan sistem duplex memiliki komponen floor thrust dan roof thrust. Sistem imbrikasi dapat dibagi menjadi dua yaitu tipe leading dan tipe trailing. Imbrikasi tipe leading dicirikan oleh pergerakan sesar maksimum berada pada bagian terdepan atau paling rendah dari urutan sesar yang ada, sedangkan imbrikasi tipe trailing dicirikan oleh pergerakan sesar maksimum berada pada bagian terbelakang atau paling tinggi dari urutan sesar yang ada. Adapun sistem duplex dapat dibagi menjadi tiga yaitu hinterland dipping duplex, foreland dipping duplex, dan antiformal stack.

Gambar 4.18 Sistem Sesar Anjakan (Boyer dan Elliott, 1982)

Sesar anjakan yang berhubungan dengan lipatan secara umum dapat dibagi menjadi dua yaitu fault bend fold dan fault propagation fold. Fault bend fold dicirikan oleh blok hangingwall yang bergerak mengikuti perubahan bidang sesar sebagai akibat dari perubahan kemiringan bidang sesar, sedangkan sesar anjakan tipe fault propagation fold dicirikan dicirikan oleh bentuk forelimb yang terjal hingga terbalik (Suppe, 1985 op cit McClay, 2000).

56

Dari pembahasan analisis struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian, dapat disimpulkan bahwa arah utama tegasan (Gambar 4.19) yang berkembang berarah relatif utara baratlaut - selatan tenggara. Tegasan inilah yang menghasilkan struktur lipatan dan sesar naik dengan arah umum timur timurlaut - barat baratdaya, sesar mendatar mengiri dengan arah utara timurlaut – selatan baratdaya, dan sesar mendatar menganan dengan arah utara baratlaut – selatan tenggara. Hubungan antara arah tegasan dengan pembentukan struktur geologi yang berkembang pada daerah penelitian dapat dijelaskan dengan model pure shear (Gambar 4.20).

Gambar 4.19 Pola nilai tegasan 1 yang berkembang di daerah penelitian

Gambar 4.20 Model Pure Shear (Modifikasi dari Thomas et al, 1973 op cit Pedoman Praktikum Geologi Struktur ITB, 2006)

57

Pada daerah penelitian terbentuk sesar-sesar naik yang relatif sejajar. Deretan dari sesar naik tersebut membentuk suatu sistem sesar anjakan yaitu pola imbrikasi bertipe trailing dimana pergerakan sesar maksimum berada pada bagian terbelakang atau paling tinggi dari urutan sesar yang ada (Gambar 4.21). Hal ini dibuktikan oleh besarnya nilai pergeseran maksimum Sesar Naik Tune yang berada paling utara daerah penelitian dan secara vertikal berada paling tinggi diantara sesar naik lainnya.

Gambar 4.21 Pola Imbrikasi Trailing (McClay, 2000)

Lipatan yang berasosiasi dengan sesar naik juga terbentuk pada daerah penelitian. Dahlstrom (1969) menyebutkan bahwa lipatan bisa ditafsirkan sebagai pengakomodasian pergeseran dari suatu sesar anjakan dimana penurunan derajat pensesaran digantikan oleh peningkatan derajat perlipatan di permukaan. Lipatan yang berkembang pada daerah penelitian ditafsirkan sebagai fault propagation fold (Foto 4.12) yang dicirikan oleh forelimb yang terjal hingga terbalik (Gambar 4.22).

Gambar 4.22 Fault propagation fold (Suppe, 1985 op cit McClay, 2000)

58

Foto 4.12 Singkapan yang menunjukkan fault propagation fold (Lokasi OT-64)

Menurut Twiss dan Moores (1992), sesar anjakan tidak memperlihatkan suatu bentuk yang menerus melainkan terbagi-bagi menjadi blok-blok oleh sesar sobekan (tear fault) yang mengakomodasikan perbedaan pergerakan atau pemendekan dari tiap bagian (Gambar 4.23). Hal inilah yang menyebabkan terbentuknya sesar mendatar mengiri dan sesar mendatar menganan pada daerah penelitian yang ditunjukkan oleh Sesar Mendatar Boti, Sesar Mendatar Nambaun, Sesar Mendatar Bele, dan Sesar Mendatar Putu.

Gambar 4.23 Model sesar sobekan (Twiss dan Moores, 1992)

Berdasarkan keseluruhan analisis diatas dapat disimpulkan bahwa struktur geologi pada daerah penelitian relatif terbentuk secara bersamaan pada satu fasa deformasi yaitu terbentuk pasca pengendapan Satuan Batugamping A (pasca Miosen Akhir).

59

4.5 RESTRORASI PENAMPANG GEOLOGI Restorasi yang dilakukan pada penampang seimbang (balanced cross section) betujuan untuk mengetahui besaran pemendekan yang dihasilkan dari proses pembentukan struktur. Itulah sebabnya restorasi penampang seimbang banyak dilakukan pada daerah yang terlipat dan teranjakkan. Dengan melakukan restorasi penampang seimbang hubungan antara keadaan setelah terdeformasi dan sebelum terdeformasi pada suatu daerah dapat diketahui. Dalam melakukan suatu restorasi penampang seimbang, diterapkan asumsi bahwa volume batuan selama terjadinya deformasi dan ketebalan lapisan dianggap tetap. Oleh karena itu pembuatan penampang geologi dilakukan dengan menggunakan metode Kink agar dihasilkan ketebalan lapisan yang tetap. 4.5.1 Metoda Kink Metoda Kink diterapkan pada lipatan paralel dengan ketebalan lapisan yang tetap. Prinsip utama dari pembuatan metoda Kink adalah membagi penampang dengan ’dip domain’, yaitu jika terdapat data kemiringan yang berubah maka daerah di antara dua kemiringan yang berbeda akan mengikuti kemiringan lapisan sesuai dengan ’dip domain’-nya. Salah satu cara menentukan garis bagi antara dua kemiringan adalah dengan membagi sudut sama besar antara dua kemiringan tersebut (Gambar 4.24).

Gambar 4.24 Penentuan garis bagi ‘dip domain’

60

Gambar 4.25 Penggabungan data rekonstruksi dengan data batas stratigrafi

Setelah ditentukan garis bagi untuk tiap ‘dip domain’, maka data kemiringan dihubungkan mengikuti ’dip domain’-nya. Batas stratigrafi tiap satuan batuan juga dihubungkan mengikuti ’dip domain’-nya. Hasil rekontruksi tersebut digabungkan dengan data batas stratigrafi yang ada di lapangan, tapi pada kenyataannya penggabungan data ini umumnya tidak sepenuhnya sesuai dan terjadi sedikit pergeseran (Gambar 4.25). 4.5.2 Perhitungan Kedalaman Detachment Perhitungan kedalaman detachment sangatlah penting perannya dalam pembuatan penampang seimbang. Kedalaman detachment berguna untuk batas penarikan elemen struktur maupun batas satuan batuan diatasnya. Terdapat tiga parameter dalam perhitungan kedalaman detachment yaitu luas area, panjang awal, dan panjang akhir pada suatu lapisan yang menerus pada penampang. Perhitungan kedalaman detachment dilakukan dengan cara membagi luas area lapisan dengan selisih dari panjang awal terhadap panjang akhir lapisan tersebut (Gambar 4.26). Hasil perhitungan kedalaman detachment pada penampang A-B dan C-D menghasilkan kedalaman yang berbeda yaitu penampang A-B menunjukkan interval kedalaman 500 hingga 1600 meter, sedangkan untuk penampang C-D diperoleh interval kedalaman 1100 hingga 1600 meter.

61

Gambar 4.26 Perhitungan kedalaman detachment (Dahlstrom, 1969) 4.5.3 Restorasi Penampang Seimbang Restorasi penampang seimbang dilakukan pada penampang geologi C-D karena lebih mewakili seluruh struktur yang berkembang pada daerah penelitian. Sebelum melakukan restorasi penampang geologi C-D, dilakukan perhitungan kedalaman detachment baru agar restorasi penampang dapat dilakukan. Untuk penampang C-D didapatkan kedalaman detachment pada interval 2000 hingga 2500 meter. Restorasi penampang dilakukan dengan menghubungkan titik-titik acuan pada lapisan batuan. Lapisan batuan pada Satuan Batulempung-Batugamping digunakan sebagai titik acuan dalam melakukan restorasi berdasarkan panjang lapisan. Setelah restorasi penampang dilakukan, validitas dari penampang tersebut masih harus diuji dengan melihat bentuk dari pin line dan loose line. Pin line dapat dibagi menjadi pin line regional dan pin line lokal, dimana pin line regional diletakkan pada footwall yang belum terdeformasi, sedangkan pin line lokal diletakkan pada bagian penampang dengan satuan stratigrafi yang lengkap serta tegak lurus terhadap bidang lapisan batuan. Pada proses restorasi penampang C-D, pin line regional tidak diletakkan karena footwall yang belum terdeformasi terletak di luar daerah penelitian. Pin line lokal diletakkan diletakkan pada sebelah selatan dari Sesar Naik Bele dan dibuat tegak lurus terhadap bidang lapisan. Selama proses restorasi pin line lokal tidak mengalami pergeseran untuk menjaga konsistensi lapisan batuan satu dengan yang lain.

62

Loose line merupakan garis bantu yang diletakkan pada bagian hanging wall penampang terdeformasi yang berguna untuk mengetahui apakah penampang dapat dipercaya atau tidak. Jika loose line ini tetap lurus setelah direstorasi maka penampang yang ada dapat diterima, meskipun kenyataannya yang sering terjadi adalah loose line menjadi miring. Loose line yang miring dapat diterima asalkan kemiringan pada bagian bawah berlawanan dengan arah transport energi (Marshak & Mitra, 1988). Loose line pada restorasi penampang C-D cenderung miring ke arah yang berlawanan dengan arah transport dari sesar anjak sehingga penampang C-D dapat diterima. Dari restorasi penampang diketahui sistem sesar anjakan di daerah ini termasuk dalam tipe imbrikasi trailing dimana sesar yang pertama kali direstorasi berada paling selatan di daerah penelitian yaitu Sesar Naik Bele, kemudian menyusul Sesar Naik Bele 1, Sesar Naik Nambaun 3, Sesar Naik Nambaun 2, Sesar Naik Nambaun 1, Sesar Naik Boti, Sesar Naik Nunuboko 2, Sesar Naik Nunuboko 1, dan akhirnya Sesar Naik Tune. Sesar Naik Tune diinterpretasikan merupakan sesar yang pertama kali terbentuk pada daerah penelitian dan memiliki pergerakan sesar maksimum yang berada pada bagian terbelakang atau paling tinggi dari urutan sesar anjak yang ada. Dari hasil restorasi yang dilakukan pada penampang C-D, kemudian dilakukan perhitungan untuk mengetahui besaran pemendekan yang terjadi pada daerah penelitian. Perhitungan pemendekan pada penampang C-D menghasilkan nilai pemendekan sebesar 60 %. Hasil perhitungan pemendekan ini tidak jauh berbeda dengan besarnya nilai pemendekan dari hasil restorasi penampang di daerah penelitian yang sebelumnya dilakukan oleh Sani dkk. (1995) yaitu sebesar 66 %.

63

64