DAMPAK KEBIJAKAN BEA KELUAR TERHADAP EKSPOR DAN INDUSTRI PENGOLAHAN KAKAO Impact Customs Exit on Export and Cocoa Processing Industry Makmun Syadullah Peneliti Utama pada Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Gd. R.M. Notohamiprodjo, Lt. 6, Jl. DR. Wahidin No. 1, Jakarta 10710,
[email protected] Naskah diterima: 10 Februari 2012 Disetujui diterbitkan: 14 Juni 2012
Abstrak Analisis ekspor kakao dan perkembangan industri kakao sebelum dan sesudah diterapkannya pajak ekspor dilakukan dengan pendekatan analisis deskriptif. Data yang digunakan dalam analisis adalah data sekunder yang bersumber dari Badan Pusat Statistik. Dalam rangka mendorong perkembangan industri pengolahan kakao, pada tahun 2010 pemerintah memberlakukan kebijakan pajak ekspor biji kakao. Kebijakan ini bertujuan untuk menghambat ekspor biji kakao dan untuk meningkatkan pasokan biji kakao industri dalam negeri. Data menunjukkan bahwa setelah pemberlakuan bea keluar, ekspor biji kakao mengalami penurunan dan jumlah perusahaan pengolahan kakao mengalami peningkatan. Namun demikian, industri pengolahan kakao belum beroperasi dalam kapasitas penuh. Rendahnya kualitas biji kakao yang diproduksi di Indonesia merupakan faktor utamanya. Untuk itu direkomendasikan agar pendapatan pemerintah dari bea keluar ekspor biji kakao dimanfaatkan kembali untuk pembinaan petani dalam meningkatkan kualitas biji kakao. Kata Kunci: Bea Keluar, Efektif, Kualitas, Biji Kakao Abstract The study uses a descriptive analysis in comparing cocoa exports and development of the cocoa industry before and after the imposition of export duty. The analysis is based on the secondary data taken from the Central Agency of Statistics.To foster the development of the cocoa processing industry, in 2010 the government has issued a policy to impose export duties on the export of cocoa beans. This policy is aimed to hamper cocoa beans export and to boost cocoa beans supply to domestic industry. The available information shows that after its imposition there has been a decline in cocoa export and an increase the number of cocoa processing companies. However, the cocoa processing industry has not yet operated in its full capacity. This is caused by the low quality of cocoa beans produced in Indonesia. It is then recommended that the government’s revenue from cocoa beans export should be returned back to farmers in improving the quality of cocoa beans. By doing so, the farmer will be compensated by the government in the form of improved and adequate infrastructure in the production center of cocoa beans, as well as provision of higher quality seeds and better counseling. Key words: Export Duties, Effective, Quality, and Cocoa Beans JEL Classification: H25
Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, Vol. 6 No. 1, Juli 2012
53
PENDAHULUAN
Kurang lebih 90% dari total ekspor biji
Kakao merupakan salah satu komoditi
kakao Indonesia masih dalam bentuk
unggulan perkebunan yang mempunyai
biji kakao yang belum difermentasi.
peranan penting dalam perekonomian
Akibatnya harga ekspor biji kakao
Indonesia.
terwujud
Indonesia selalu didiskon karena harga
dalam bentuk penyedia lapangan kerja,
biji kakao yang tercantum di terminal
sumber pendapatan dan devisa negara.
New York adalah harga untuk biji kakao
Pada saat ini sebagian besar produksi
yang telah difermentasi.
Peran
tersebut
kakao Indonesia diekspor dan hanya
Sementara itu, volume ekspor produk
sebagian kecil yang dikonsumsi di dalam
kakao olahan masih relatif sangat kecil
negeri. Produk yang diekspor sebagian
jika dibandingkan dengan volume ekspor
besar dalam bentuk biji kering.
biji kakao. Data
BPS menunjukkan
Indonesia tercatat sebagai negara
volume ekspor kakao olahan Indonesia
produsen biji kakao terbesar ketiga
pada tahun 2009 hanya mencapai
di dunia setelah Pantai Gading (Ivory
115.170 ton yang terdiri dari produk
Coast) dan Ghana. Berdasarkan data
antara (cocoa liquor, cocoa cake, cocoa
Quarterly Bulletin of Cocoa Statistics
1
butter, cocoa powder) sebanyak 83.642
volume ekspor biji kakao Indonesia
ton dan produk akhir sebanyak 31.528
memperlihatkan kecenderungan yang
ton2
terus meningkat. Pada tahun 2008
Indonesia selama ini hanya berperan
volume ekspor biji kakao mencapai
sebagai penyedia bahan baku bagi
515.538,7 ton, naik dibanding volume
industri hilir kakao (coklat) di luar negeri.
ekspor tahun 2007 yang mencapai
Industri hilir coklat justru berkembang di
503.523,1 ton. Pada tahun 2009 volume
negara-negara yang relatif tidak memiliki
ekspor biji kakao kembali meningkat
sumber bahan baku biji kakao, seperti
menjadi 535.191,1 ton dari total produksi
negara-negara Eropa, Amerika Serikat,
biji kakao nasional pada tahun 2009
China, Malaysia dan Singapura. Negara
sebesar 577.000 ton. Dengan demikian,
tujuan ekspor biji kakao Indonesia selama
pada tahun 2009 hampir 93% dari total
ini meliputi 20 negara, akan tetapi hanya
produksi biji kakao Indonesia diekspor
enam negara, yaitu Malaysia, Amerika
ke mancanegara.
Serikat, Singapura, Brazil, Prancis dan
Meskipun ekspor biji kakao terus
China yang menjadi pengimpor terbesar.
meningkat, ekspor tersebut sebagian
Keenam negara tersebut pada tahun
besar masih dalam bentuk mentah.
2009 mengimpor 444.798,97 ton biji
1 International Cocoa Organization. (2009). Cocoa year 2008/09. Quarterly Bulletin of Cocoa Statistics, Vol. XXXV (4), pp.1 2 Media Industri. (2010). Penerapan Bea Keluar: Dorong Industri Hilir Kakao Domestik. Nomor 2, 2010.
54
Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, Vol. 6 No. 1, Juli 2012
kakao Indonesia atau menguasai sekitar
Dalam
rangka
mengembangkan
83,11% dari total ekspor biji kakao
industri
pengolahan
kakao,
pada
Indonesia yang mencapai 535.191,12
tahun 2010 pemerintah mengeluarkan
ton3.
kebijakan Pajak Ekspor, atau lebih
Berdasarkan data produksi kakao di
dikenal dengan kebijakan Bea Keluar
atas, Indonesia memiliki potensi yang
(BK). Kebijakan tersebut tertuang dalam
sangat besar untuk mengembangkan
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.
industri hilir pengolahan kakao. Untuk
67/PMK.011/2010 tentang Penetapan
itu
Kementerian
Barang Ekspor yang Dikenakan BK dan
Perindustrian dewasa ini dengan meng-
Tarif BK. Peraturan tersebut diterapakan
galakkan pengembangan industri hilir
secara progresif. Besaran tarif BK
kakao nasional. Diharapkan melalui
dan harga patokan ekspor biji kakao
pengembangan ini Indonesia akan mampu
ditentukan berdasarkan harga referensi
meningkatkan perolehan nilai tambah
biji kakao. Harga referensi dimaksud
di dalam negeri yang pada gilirannya
adalah harga rata-rata internasional
akan mampu mendorong pertumbuhan
yang berpedoman pada harga rata-rata
ekonomi,
meningkatkan
penyediaan
CIF terminal New York. Besaran harga
lapangan
kerja
mendongkrak
referensi berikut harga patokan ekspor
perolehan devisa dari kegiatan ekspor
(HPE) ditetapkan setiap bulan oleh
produk olahan biji kakao.
Menteri Perdagangan. Seberapa jauh
pemerintah
c.q.
dan
Selama ini ada beberapa kebijakan yang
kurang
kebijakan tersebut efektif?
mendukung
upaya
Berdasarkan latar belakang di atas,
industri
kakao
perlu dilakukan evaluasi bagaimana
dalam negeri sehingga industri hilir
dampak kebijakan BK terhadap ekspor
kakao nasional kurang berkembang,
biji kakao dan perkembangan industri
diantaranya
pengolahan kakao. Dengan evaluasi
pengembangan
adalah
hilir
Undang-Undang
No. 18 Tahun 2000 tentang PPN atas
tesebut diharapkan akan diperoleh:
komoditi
1. Gambaran produksi, ekspor, dan
primer.
Pengenaan
PPN
sebesar 10 % mengakibatkan beralihnya biji kakao yang semula diolah di dalam
daya saing biji kakao Indonesia. 2. Pemahaman
tentang
dampak
negeri menjadi diekspor dalam bentuk
penerapan BK biji kakao terhadap
biji. Sebagai akibatnya, pasokan bahan
ekspor biji kakao.
baku untuk perusahaan pengolahan biji kakao dalam negeri berkurang.
3. Pemahaman tentang dampak penerapan BK biji kakao terhadap industri pengolahan kakao Indonesia.
3 Badan Pusat Statistik. (2011). Statistik Indonesia 2011. Jakarta: BPS.
Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, Vol. 6 No. 1, Juli 2012
55
TINJAUAN PUSTAKA
tidak semuanya dapat beroperasi dengan
Kebijakan Bea Keluar Kakao
baik. Hanya lima perusahaan saja yang
Upaya
pengembangan
industri
pengolahan kakao sebetulnya sudah
dapat beroperasi dengan baik, sisanya 10 perusahaan berhenti operasi4.
dilakukan pemerintah sejak awal dekade
Selanjutnya pada 1 April 2010
tahun 2000-an. Namun baru pada akhir
pemerintah secara resmi menerapkan
tahun 2010-an terbit kebijakan-kebijakan
kebijakan BK secara progresif terhadap
pro industri pengolahan kakao, seperti
ekspor biji kakao melalui Peraturan
dihapuskannya
Menteri
Nilai
(PPN)
Pajak
di
Pertambahan
tahun
2007
untuk
Keuangan
PMK.011/2010
(PMK)
tentang
No.
67/
Penetapan
perdagangan biji kakao dalam negeri,
Barang Ekspor yang Dikenakan BK
dan
dan Tarif BK. Apabila ekspor biji kakao
diterapkannya
kebijakan
Pajak
Ekspor yang kemudian disebut dengan
dibebani
pajak,
maka
diharapkan
kebijakan BK pada tahun 2010.
petani dan eksportir berusaha untuk
Penghapusan PPN yang besarnya
mengolah kakao terlebih dahulu sebelum
10% dimaksudkan untuk memperlancar
mengekspornya. Dengan demikian, nilai
pasokan biji kakao kepada industri
tambah dan geliat industri pengolahan biji
pengolahan
kakao
dalam
kakao di Indonesia dapat meningkat.
sedangkan
kebijakan
BK
negeri, ditujukan
Secara umum, pengambilan ke-
untuk menghambat ekspor biji kakao
putusan penetapan tarif BK dilakukan
dan mendorong pasokan biji kakao
melalui
untuk
Kebijakan
terkait seperti Kementerian Pertanian,
penghapusan PPN 10% pada tahun
Kementerian Perindustrian, dan Kemen-
2007
industri
domestik.
tampaknya
koordinasi
antar
instansi
belum
mampu
terian Perdagangan. Dalam hal ini, PMK
usaha
industri
ditetapkan oleh tim penentuan tarif atas
pengolahan kakao yang kondusif. Dari
dasar masukan beberapa pelaku pasar
40 industri pengolahan kakao yang ada
dan tim ahli dari instansi terkait. Proses
sebelumnya, hanya 15 perusahaan yang
penetapan
mampu bertahan pasca penghapusan
sebagaimana Gambar 1.
menciptakan
iklim
PMK5
dapat
dijelaskan
PPN. Dari 15 perusahaan itu, ternyata
4 Media Industri. (2010). Penerapan Bea Keluar: Dorong Industri Hilir Kakao Domestik. Nomor 2, 2010. 5 Rimawan, Praditya., Widodo, Tri., Amirullah, dan Hadi, Setya. (2011) Evaluasi Kebijakan Bea Keluar Biji Kakao di Indonesia. Yogyakarta: Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Gajah Mada.
56
Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, Vol. 6 No. 1, Juli 2012
Gambar 1. Proses Pengambilan Putusan Menteri Keuangan Sumber: Praditya, Widodo, Amirullah, dan Hadi (2011)
Selama
ini
memang
terdapat
3. Penetapan BK diharapkan dapat
pendapat pro dan kontra didalam tim
meningkatkan daya saing industri
tarif, tetapi hasil koordinasi dan kajian
kakao Indonesia.
kemudian menyimpulkan bahwa BK untuk
4. Secara implisit diasumsikan bahwa
komoditas kakao memang diperlukan.
beban BK ditanggung oleh non-
Menurut Rimawan Pradiptyo, dkk (2010),
petani.
asumsi-asumsi yang digunakan dalam
dapat
penetapan tarif BK
untuk pemerintah, namun dalam hal
tersebut antara
Pajak ekspor sebenarnya menghasilkan
pendapatan
lain:
ini tambahan pendapatan dari BK
1. Indonesia merupakan negara terbesar
bukan merupakan tujuan utama.
ketiga penghasil biji utama kakao
Selanjutnya
di
dalam
PMK
itu
dunia. Oleh karena itu, seharusnya
ditetapkan bahwa untuk harga referensi
Indonesia
biji kakao sampai dengan US$ 2,000 per
dapat
mempengaruhi
harga kakao dunia.
ton, maka tarif BK yang berlaku adalah
2. Selama ini, hanya sebagian kecil
sebesar 0%. Untuk harga referensi di
dari total produksi biji kakao yang
atas US$ 2,000 sampai dengan US$
dihasilkan Indonesia dimanfaatkan
2,750 per ton, maka tarif BK yang
oleh industri domestik. Pada tahun
berlaku adalah sebesar 5%. Untuk harga
2009 misalnya sebanyak 521.000
referensi di atas US$ 2,750 sampai
ton dari 758.000 ton atau 68,73%
dengan US$ 3,500 per ton, maka tarif
total produksi biji kakao Indonesia
BK yang berlaku adalah sebesar 10%.
diekspor ke luar negeri.
Sedangkan untuk harga referensi di atas Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, Vol. 6 No. 1, Juli 2012
57
US$ 3,500 per ton, maka tarif BK yang berlaku adalah sebesar 15%.
Selanjutnya hasil penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM (2010) menunjukkan bahwa
Penelitian Sebelumnya
kebijakan BK sangat menguntungkan
Penelitian tentang dampak pene-
eksportir, pedagang, dan perusahaan
rapan kebijakan eskalasi tarif terhadap
pengolah biji kakao di Indonesia. Mereka
perkembangan
mengenyam
kakao
di
Indonesia
tambahan
keuntungan
dilakukan oleh Nurasa dan Muslim
akibat kebijakan tersebut. Pemerintah
(2005). Hasil penelitian menunjukkan
juga diuntungkan oleh kebijakan ini
bahwa
karena mendapat tambahan penerimaan
kebijakan eskalasi tarif kakao
Indonesia di pasaran dunia ikut menghambat
tumbuhnya
industri
dari BK biji kakao.
pengo-
Beberapa temuan penelitian di atas
lahan kakao di Indonesia. Akibat tidak
jelas sangat relevan untuk penelitian ini.
diberlakukannya PPN sebesar 10%
Temuan-temuan tersebut menjadi penting
terhadap bahan baku biji kakao yang
tidak saja dalam pencapaian tujuan
langsung
kurang
penelitian, tetapi juga dalam memahami
tertarik untuk menanamkan investasi
proses transformasi keunggulan kom-
dibidang
paratif produksi biji kakao menjadi
diekspor,
investor
pengolahan
kakao
dalam
negeri. Terkait
keunggulan yang kompetitif. dengan
pungutan
pajak
ekspor, hasil penelitian Munadi (2007)
METODE PENELITIAN
menunjukkan bahwa penurunan pajak
Metode Analisis
ekspor diikuti oleh diekspor minyak sawit.
Untuk
mencapai kajian
tujuan ini
yang
Hasil penelitian tersebut menunjukkan pula
diharapkan,
menerapkan
bahwa penurunan pajak ekspor sebesar
pendekatan analisis deskriptif dengan
10% akan meningkatkan harga minyak
melakukan
sawit dalam negeri sebesar 14.83%. Hasil
perkembangan industri kakao sebelum
kajian ini tentunya bermanfaat bagi para
dikenakan BK dan setelah dikenakan
pengambil kebijakan di sektor kelapa
BK. Pembandingan kedua kondisi ini
sawit tentang dampak dari perubahan
menggambarkan efektivitas pengenaan
kebijakan perdagangan di sektor industri.
BK atas ekspor kakao. Pendekatan ini
Pemahaman tersebut merupakan hal
digunakan karena keterbatasan data6
penting untuk melahirkan kebijakan yang
yang dibutuhkan dalam penelitian.
perbandingan
antara
dapat melindungi kepentingan ekspor atau kepentingan dalam negeri.
6 Terutama seri data yang cukup panjang untuk dilakukan analisis deret berkala (time-series analysis) yang lebih tepat.
58
Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, Vol. 6 No. 1, Juli 2012
Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Adapun jenis data yang digunakan dalam kajian ini adalah data sekunder
Produksi dan Ekspor Kakao Indonesia
Badan Pusat Statistik (BPS) yang
Produksi kakao tertinggi pernah
meliputi: (i) perkembangan produksi
dicapai pada tahun 2006 yang mencapai
kakao, (ii) perkembangan ekspor kakao,
612.123,53 metric ton, namun pada
dan (iii) daftar industri pengolahan kakao
tahun 2007 produk tersebut mengalami
dan kapasitasnya.
penurunan drastis. Mulai tahun 2008 secara perlahan produksi kakao kembali mengalami peningkatan.
700.000.000
GRAND TOTAL
600.000.000 500.000.000 400.000.000 300.000.000
Cocoa beans, whole or broken,raw/roasted
200.000.000 100.000.000 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Gambar 2: Perkembangan Produksi Kakao di Indonesia, 2005-2010 Sumber: BPS (2011), diolah
Realisasi produksi kakao olahan
Sebagai
negara
penghasil
biji
Indonesia, baik produk olahan kakao
kakako, industri kakao olahan Indonesia
antara maupun produk akhir masih jauh
jauh ketinggalan dibandingkan dengan
di bawah kapasitas produksi industri
Negara-negara di kawasan Asia seperti,
kakao olahan nasional. Akibatnya tingkat
Malaysia, Singapura, dan Thailand7.
utilisasi industri kakao olahan nasional
Padahal negara-negara ini selama ini
hanya mencapai rata-rata sekitar 54%,
dikenal sebagai penghasil produk akhir
dimana tingkat utilisasi industri kakao
coklat terbesar di dunia, meskipun tidak
antara sebesar 37,70% dan tingkat
memiliki sumber bahan baku biji kakao.
utilisasi industri produk kakao akhir
Hanya Malaysia yang masih memiliki
sebesar 76,58%.
pasokan bahan baku biji kakao dari dalam
7 Media Industri. (2010). Penerapan Bea Keluar: Dorong Industri Hilir Kakao Domestik. Nomor 2, 2010.
Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, Vol. 6 No. 1, Juli 2012
59
negerinya, namun volume produksinya
2010. Kebijakan ini diharapkan akan
relatif sangat kecil, yaitu hanya 30.000
mendorong utilisasi produksi, industri
ton per tahun.
pengolahan
Malaysia memiliki industri hilir kakao
petani
kakao
untuk
dan
melakukan
mendorong fermentasi
yang lebih maju. Pada tahun 2009
biji kakao. Pemberlakuan BK kakao
Malaysia yang memiliki 10 industri
diharapkan untuk meningkatkan nilai
cocoa processing dengan total kapasitas
tambah sebanyak mungkin di dalam
produksi terpasang sebesar 400.000
negeri.
ton per tahun, diperkirakan berhasil
Dari total produksi kakao sebanyak
mencapai tingkat realisasi produksi
70 % masih diekspor dan sebagian
sebesar 294.000 ton atau dengan tingkat
besar dalam bentuk mentah bahkan
utilisasi industri sebesar 74%.
belum
melalui
proses
fermentasi.
Singapura dan Thailand yang sama-
Permasalahan fermentasi biji kakao
sama tidak memiliki sumber bahan
bukanlah masalah yang dengan mudah
baku biji kakao, memiliki industri cocoa
bisa diatasi. Dari sisi petani, fermentasi
processing dengan tingkat utilisasi industri
akan menguntungkan apabila volume
yang jauh lebih baik dari Indonesia,
biji kakao memenuhi tingkat economic
yaitu masing-masing 84%
dan 75%.
of scale tertentu. Permasalahannya,
Singapura dengan dua perusahaan
umumnya petani hanya memiliki lahan
cocoa processing memiliki kapasitas
yang tidak luas sekitar 1-2 Ha bahkan
produksi terpasang sebesar 95.000
banyak yang hanya memiliki kurang dari
ton per tahun dan realisasi produksi
1 Ha8.
pada tahun 2009 diperkirakan sebesar
Sementara
itu
pedagang
mem-
80.000 ton. Sementara Thailand yang
butuhkan biji terfermentasi dalam jumlah
hanya memiliki satu perusahaan cocoa
yang cukup (memenuhi economic of scale)
processing dengan kapasitas produksi
yang mampu memberikan keuntungan
terpasang sebesar 20.000 ton per tahun,
yang
pada tahun 2009 berhasil mencapai
Pedagang
realisasi produksi sebesar 15.000 ton.
biji kakao fermentasi dengan jumlah
memadai
bagi
kesulitan
pedagang. memperoleh
Menyadari kondisi ini, Pemerintah
yang memenuhi economic of scale
melalui Peraturan Menteri Keuangan
karena petani tidak banyak melakukan
Nomor 67 Tahun 2010 memberlakukan
fermentasi.
BK kakao sebesar 5-15% mulai 1 April
terfermentasi akan lebih lama tersimpan
Implikasinya
biji
kakao
8 Tingkat economic of scale kegiatan fermentasi dapat dicapai dengan cara melakukan fermentasi bersama-sama. Namun untuk menciptakan kebersamaan ini tidak mudah, karena kebanyakan petani mengalami ketergantungan yang tinggi terhadap pedagang biji kakao. Untuk menutup keperluan hidup ketika bukan musim panen, petani seringkali berhutang kepada pedagang biji kakao. Ketika panen tiba, petani ingin segera melunasi hutang-hutang mereka, dan seringkali hal ini dilakukan petani dengan menjual biji kakaonya secepat mungkin tanpa perlu difermentasi.
60
Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, Vol. 6 No. 1, Juli 2012
digudang
pedagang
jika
pedagang
meningkat dari tahun ke tahun. Tentunya
menginginkan menjual khusus biji kakao
ini merupakan peluang yang cukup
fermentasi. Di sisi lain, semakin lama biji
bagus bagi Indonesia kedepan. Untuk
kakao fermentasi tersimpan di gudang
dapat memanfaatkan peluang tersebut,
pedagang, para pedagang tentunya akan
produsen kakao Indonesia harus mampu
mengalami tekanan finansial karena
bersaing dengan produsen kakao dari
mereka harus mengejar omzet penjualan.
negara-negara. Dalam hal ini diperlukan
Jika hal ini terjadi, pedagang tidak ragu-
daya saing yang tinggi, tidak hanya
ragu mencampur biji fermentasi dengan
dalam kemampuan produksinya, tetapi
non fermentasi agar segera bisa dijual
juga dalam mutu dari produk kakao yang
ke kota dan uang hasil penjualan bisa
dihasilkan.
diinvestasikan untuk pembelian biji kakao
Berdasarkan hasil penelitian yang
kembali. Implikasi dari strategi ini adalah
dilakukan oleh Daryanto (2007), dengan
penurunan harga biji kakao fermentasi
menggunakan metode analisis Revealed
di pasaran.
Comparative Advantage (RCA), dalam
Kondisi salahannya
kakao
beserta
perma-
mengakibatkan
kakao
tahun 2000 sampai 2003 Pantai Gading merupakan
negara
yang
memiliki
Indonesia terkena automatic detention
keunngulan daya saing yang paling
di AS sebesar U$ 100-300 per ton.
tinggi. Posisi tersebut , pada tahun 2004
Sementara itu, industri kakao dalam
dan 2005 digeser oleh Ghana. Posisi
negeri tidak mampu tumbuh karena
daya saing Indonesia berdasarkan nilai
kekurangan bahan baku. Untuk menutupi
RCA masih rendah,
kekurangan para pelaku dalam industri
Gading, Ghana, dan Nigeria. Namun
kakao,
dibandingkan
terpaksa
harus
mengimpor
dengan
dibawah Pantai Brazil,
posisi
kakao dari luar negeri. Pada tahun
daya saing kakao Indonesia masih lebih
2009, Indonesia mengimpor biji kakao
baik.
(fermented kakao bean) sebanyak 27.230
Terdapat
enam
faktor
yang
ton, impor produk olahan kakao antara
menentukan keunggulan daya saing
sebanyak 12.426 ton dan produk akhir
kakao Indonesia di pasar internasional.
kakao olahan (coklat) sebanyak 8.593
Keenam faktor tersebut adalah, pertama,
ton.
ketersediaan dan kemudahan akses terhadap sumber permodalan. Kedua
Daya Saing Kakao Indonesia
tingkat konsumsi dalam negeri. Ketiga
Indonesia memiliki peluang yang
lemahnya industri pendukung, khususnya
besar sebagai pemasok kebutuhan
industri
kakao dunia. Sebagaimana diketahui
Keempat intensitas persaingan antara
bahwa
kakao
produsen kakao dalam negeri. Kelima
dunia menunjukkan trend yang terus
standarisasi mutu. Terakhir berkaitan
tingkat
konsumsi
benih/pembibitan
kakao.
Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, Vol. 6 No. 1, Juli 2012
61
dengan kesempatan atau peluang, yakni
ekspor kakao mengalami penurunan
trend konsumsi kakao dunia yang terus
yang cukup drastis. Pada bulan Mei
meningkat.
2010 ekspor kakao masih mencapai 160 juta ton dan pasca pengenaan BK
Dampak
Pengenaan
Bea
Keluar
Terhadap Ekspor Kakao Perkembangan
turun drastis, bahkan pada Januari 2011 ekspor kakao hanya mencapai kurang
ekspor
kakao
lebih 21 juta ton.
Indonesia dalam periode 2005-2010
Penurunan ekspor kakao Indonesia
secara umum cenderung meningkat. Pada
pasca diberlakukannya BK tidaklah
tahun 2005 total ekspor kakao mencapai
disebabkan oleh menurunnya permintaan
465.161.972 kg atau senilai USD 667,99
dunia, karena ekspor negara-negara
juta. Pada tahun 2010 total ekspor kakao
utama penghasil kakao, pada umumnya
meningkat menjadi 552.842.200 kg
masih mengalami peningkatan. Misalnya,
atau senilai USD 1.643,65 juta. Dengan
ekspor kakao Uganda9 dalam periode
diberlakukannya BK pada 2010, ekspor
Oktober 2010 sampai dengan September
kakao
yang
2011 meningkat 6,6% dibandingkan
cukup signifikan. Setidaknya hal ini
dengan periode yang sama tahun
dapat dilihat dari perbandingan ekspor
sebelumnya. Ekspor kakao Ghana10
kakao periode Januari-Februari pada
dalam periode 2009-2010 meningkat
tahun 2010 dengan 2011. Ekspor kakao
62,10% atau naik dari 617.030 metrik
pada periode tersebut untuk tahun 2010
ton menjadi 1.000.180 metrik ton.
mencapai 82.488.652 kg atau senilai
Sementara itu ekspor kakao Pantai
USD 203,6 juta dan untuk tahun 2011
Gading
ekspor tersebut turun menjadi 70.659.715
penurunan, bahkan negara tersebut
kg atau senilai USD 219,05 juta.
berhenti mengekspor kakao, krisis politik
mengalami
penurunan
Gambar 3 dan 4 menunjukkan perkembangan
ekspor
periode
yang
menunjukkan
adanya
yang melanda negara tersebut.11 Tetap
Mei
tingginya ekspor kakao tersebut berarti
2010 sampai dengan Januari 2011. Dari
bahwa permintaan pasar dunia terhadap
gambar tersebut nampak bahwa sejak
produk kakao tetap tinggi.
diberlakukannya BK pada April 2010,
9 Copal Cocoa Info. (2011). Issue No. 424 24th – 28th January 2011. 10 Cocoa Report Annual. (2012). Global Agricultural Network, 15 Maret 2012. 11 Redruello, Francisco. (2011). Cocoa Commodity Futures Shaken by Unrest in Côte d’Ivoire. Diunduh pada Februari 2012 dari http://blog.euromonitor.com/2011/02/cocoa-commodity-futures-shaken-by-unrest-in-c%C3%B4te-divoire.html.
62
Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, Vol. 6 No. 1, Juli 2012
100.000.000 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Gambar 3: Trend Ekspor Kakao Pasca Bea Keluar Sumber: BPS (2011), diolah
Dengan
demikian,
sebagaimana
Kemungkinan turunnya ekspor kakao
telah disebutkan diatas, dari gambaran
Indonesia pasca BK akibat dari turunnya
ekspor kakao Indonesia dan negara-
permintaan dunia sangat kecil mengingat
negara utama penghasil kakao, dapat
pada saat yang sama ekspor kakao
disimpulkan
dunia justru mengalami kenaikan.
bahwa BK cukup efektif
menghambat ekspor kakao Indonesia.
700.000.000 600.000.000 500.000.000
GRAND TOTAL
400.000.000 300.000.000 200.000.000 100.000.000
Cocoa beans, whole or broken,raw/roasted
-
Gambar 4: Perkembangan Ekspor Kakao Sumber: BPS (2011), diolah
Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, Vol. 6 No. 1, Juli 2012
63
700.000.000
Dampak
Pengenaan
Keluar
Setelah diberlakukan BK pada April
Terhadap Industri Pengolahan Kakao
2010, terjadi perubahan struktur dalam
600.000.000 500.000.000
Sejak
Bea
pemberlakuan
400.000.000
BK
untuk
GRAND TOTAL
produksi
kokoa
Indonesia
dimana
ekspor biji kakao pada April 2010,
peranan produksi kakao olahan di
industri pengolahan kakao di dalam
Indonesia menaik mencapai 41% dari
negeri
pertumbuhan.
produksiCocoa biji beans, kakaowhole secara or keseluruhan.
Produksi pengolahan kakao di Indonesia
Angka ini meningkat dibandingkan tahun-
tumbuh rata-rata per tahun (compounded
tahun sebelumnya, ketika produksi kakao
annual growth rate/CAGR) sebesar 20 %
olahan di Indonesia hanya mencakup
sepanjang periode 2005-2010, dengan
25–26% dari total produksi biji kakao,
produksi pada 2005 sebesar 115 ribu ton
sementara
dan mencapai 285 ribu ton pada 2010.
diekspor.
300.000.000 200.000.000
menunjukkan
100.000.000
-
broken,raw/roasted
sekitar
75%
biji
kokoa
Gambar 5: Profil Industri Kakao di Indonesia (Ribu ton) Sumber: Asosiasi Industri Kakao Indonesia, Dirjen Perkebunan, ICCO.org (2011)
Permintaan kakao olahan, seperti
Beberapa produsen kakao olahan juga
kakao bubuk, kakao lemak, hingga
melakukan ekspor hasil kakao olahan ke
konsentrat
berbagai negara.
datang
dari
industri
pengolahan makanan, minuman, hingga obat-obatan. industri
Meningkatnya
makanan,
produksi
minuman,
serta
Pasca penerapan kebijakan BK biji kakao, jumlah perusahaan industri kakao
processing
terus
Jumlah
mengalami
industri farmasi Indonesia dan dunia, ikut
peningkatan12.
mendorong permintaan kakao olahan.
yang beroperasi telah bertambah 7
12 Media Industri. (2010). Penerapan Bea Keluar: Dorong Industri Hilir Kakao Domestik. Nomor 2, 2010.
64
Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, Vol. 6 No. 1, Juli 2012
perusahaan
perusahaan.
Ketujuh
perusahaan
Fenomena beroperasinya kembali
industry kakao adalah PT Davomas
perusahaan cacao processing menun-
Abadi, PT Bumitangerang Mesindotama,
jukkan bahwa penerapan kebijakan BK
PT Kakao Mas Gemilang, PT Mas Ganda
biji kakao berdampak positif terhadap
(keempatnya ada di Provinsi Banten), PT
upaya
General Food Industry (di Jawa Barat),
pengolahan kakao di dalam negeri.
PT Teja Sekawan Kakao Industries (di
Selain
Jawa Timur), dan PT Effem Indonesia
kembali industri pengolahan kakao di
(di Sulawesi Selatan).
dalam negeri, penerapan BK biji kakao
Sementara itu, PT Kakao Wangi Murni, PT Budidaya Kakao Lestari, PT
pengembangan mendorong
industri
hilir
beroperasinya
juga telah mendorong sejumlah investor asing untuk berinvestasi di Indonesia.
Kakao Ventures Indonesia, PT Foleko
Meningkatnya kapasitas terpasang
Group (keempatnya di Provinsi Banten),
industri pengolahan kakao dari 345 ribu
PT Inti Kakao Abadi (di Jawa Barat), PT
ton menjadi 469 ribu ton merupakan
Unicom Makassar, PT Maju Bersama
bukti semakin bergairahnya indutsri
Kakao dan PT Kopi Jaya Kakao (di
pengolahan kakao dalam negeri. Namun
Sulawesi Selatan) berhenti operasi .
sayangnya dari 16 perusahaan pada
Selain
tersebut
tahun 2011 baru empat perusahaan yang
masih ada satu perusahaan lagi yang
telah beroperasi penuh, tiga perusahaan
baru berdiri, yaitu PT Inti Kakao Utama
yang kapasitas produksinya berkisar 80-
di
Perusahaan
90%, enam perusahaan yang kapasitas
terakhir ini akan segera beroperasi dalam
produksinya berkisar 60-79%, dan tiga
waktu dekat. Dengan demikian sampai
perusahaan yang kapasitas produksinya
saat ini terdapat 16 perusahaan cocoa
di bawah 60% (Tabel 1).
13
ke-15
Sulawesi
perusahaan
Tenggara.
processing di Indonesia
13 Tidak diketahui penyebab berhentinya kedelapan perusahaan yang bergerak dalam industri kakao ini. Pada saat ketersediaan bahan baku biji kakao semakin melimpah, logikanya tidak ada perusahaan yang justru berhenti berproduksi.
Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, Vol. 6 No. 1, Juli 2012
65
Tabel 1. Industri Pengolahan Kakao Menurut Penggunaan Kapasitas Penggunaan
2009
2010
2011
Penuh
3 perusahaan
3 perusahaan
4 perusahaan
80 - 90%
3 Perusahaan
3 perusahaan
3 perusahaan
60 – 79%
6 Perusahaan
2 perusahaan
6 perusahaan
< 60%
3 Perusahaan
4 erusahaan
3 perusahaan
Total Kapasitas
345.000 ton
345.000 ton
469.000 ton
Kapasitas
terpasang Sumber: Strategi Pengembangan Agribisnis Perkakaoan Nasional, disampaikan dalam Focus Group Discussion pada Badan Kebijakan Fiskal, 5 Mei 2011 oleh Dewan kakao Indonesia (Dekaindo).
Tabel 1 di atas disamping meng-
senilai US$ 53,06 juta. Sedangkan pada
gambarkan perkembangan kapasitas
tahun 2010, impor mencapai 22.426 ton
terpakai pada 2011, juga menunjukkan
senilai US$ 82,3 juta. Dengan demikian
perkembangan
terpasang
dalam periode Januari-Oktober 2011,
dalam kurun waktu 2009-2011. Dalam
impor biji kakao mengalami penurunan
periode
sebesar 35% dibanding periode yang
kapasitas
2010-2011
terdapat
tiga
perusahaan yang menambah kapasitas
sama tahun 2010.
terpasangnya. Secara total, kapasitas terpasang meningkat dari 345.000 ton
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
menjadi 469.000 ton. Diduga keras,
KEBIJAKAN
meningkatnya
terpasang
Berdasarkan, pembahasan di atas,
industri pengolahan kakao tersebut
dapat disimpulkan bahwa ada hubungan
berkaitan
semakin
kausalitas yang cukup jelas antara
meningkatnya persediaan bahan baku
diterapkannya kebijakan BK dengan
biji kakao dalam negeri.
meningkatnya
erat
kapasitas dengan
Berkembangnya industri pengolahan
industri
pengolahan
kakao dalam negeri. Dapat dikatakan,
kakao Indonesia mendorong mening-
sejak
diberlakukannya
katnya impor biji kakao Indonesia. Impor
kakao
mengalami
pasta kakako pada tahun 2007 hanya
cukup signifikan. Hal ini terlihat dari
sekitar 529 ton, namun pada tahun
perbandingan ekspor kakao periode
2010 telah mencapai sekitar 2.254 ton.
Januari-Februari
Namun demikian, sejak diberlakukannya
dengan 2011. Ekspor kakao pada periode
bea keluar biji kakao, impor biji kakao
tersebut untuk tahun 2010 mencapai
mengalami penurunan. Impor biji kakao
82.488.652 kg atau senilai USD 203,6
pada tahun 2011 mencapai 16.033 ton
juta dan untuk tahun 2011 turun menjadi
66
Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, Vol. 6 No. 1, Juli 2012
BK,
penurunan
pada
tahun
ekspor yang
2010
70.659.715 kg atau senilai USD 219,05
perlu melakukan upaya peningkatan
juta.
kualitas biji kakao.
Selain itu, jumlah perusahaan industri cocoa
processing
juga
bertambah
Oleh karena itu, direkomendasikan pada
pemerintah
untuk
dapat
dari semula 5 perusahaan menjadi 16
memanfaatkan pendapatan dari BK untuk
perusahaan.
Hal ini mengindikasikan
perbaikan dan peningkatan di sentra
bahwa penerapan kebijakan BK biji
penghasil biji kakao, penyediaan bibit
kakao berdampak positif terhadap upaya
yang lebih berkualitas, dan penyuluhan
pengembangan industri hilir pengolahan
kepada petani kakao.
kakao di dalam negeri. Meskipun jumlah industri pengolahan kakao mengalami peningkatan, pengenaan BK ekspor kakao belum mampu meningkatkan kapasitas pengolahan. Berdasarkan kapasitas terpasang, dari 16 perusahaan pada tahun 2011 baru 4 perusahaan yang telah beroperasi penuh, 3 perusahaan yang kapasitas produksinya
berkisar
80-90%,
6
perusahaan yang kapasitas produksinya berkisar 60-79%, dan 3
perusahaan
yang kapasitas produksinya di bawah 60%14. Meskipun dampak pengenaan BK terhadap ekspor kakao cukup efektif, kebijakan ini ternyata belum mampu mendorong industri pengolahan kakao untuk beroperasi secara penuh. Diduga penyebabnya adalah rendahnya kualitas biji kakao yang dihasilkan Indonesia. Untuk itu kebijakan pengenaan BK atas biji kakao agar lebih efektif dalam mengembangkan industri pengolahan kakao dalan negeri, maka pemerintah
DAFTAR PUSTAKA Adolf, Huala. (2005). Hukum Perdagangan Internasional. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Badan Pusat Statistik. (2011). Statistik Indonesia 2011. Jakarta: BPS. Copal Cocoa Info. (2011). Issue No. 424. 24th – 28th January 2011. Cocoa Report Annual. (2012). Global Agricultural Network. 15 Maret 2012. Daryanto. (2007). The Analysis of the Competitivenes of Indonesia Cocoa in the International Market. These MBIPB, tidak diterbitkan. Dewan kakao Indonesia. (2011). Strategi Pengembangan Agribisnis Perkakaoan Nasional, disampaikan dalam Focus Group Discussion pada Badan Kebijakan Fiskal, 5 Mei 2011. Fuady, Munir. (2004). Hukum Dagang Internasional (Aspek Hukum dari WTO). Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
14 Kontan. (2011). Petani Mulai Fermentasi Kakao, Impor Kakao Turun. 14 Desember 2011.
Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, Vol. 6 No. 1, Juli 2012
67
Hamdani, Hady. (1999). Ekonomi Internasional, Teori dan Kebijakan Perdagangan Internasional. Jakarta: Ghalia Indonesia. International Cocoa Organization. (2009). Cocoa year 2008/09. Quarterly Bulletin of Cocoa Statistics, Vol. XXXV (4), pp. 1 Kartadjoemena, H.S. (1996). GATT, WTO: Sistem, Forum dan Lembaga Internasional di Bidang Perdagangan. Jakarta: IU-Press. Kartadjoemena, H.S. (1997). GATT, WTO dan Hasil Uruguay Round. Jakarta: UI- Press. Kontan. (2011). Petani Mulai Fermentasi Kakao, Impor Kakao Turun. 14 Desember 2011 Media Industri. (2010). Penerapan Bea Keluar: Dorong Industri Kakao Domestik. Nomor 02, 2010. Munadi, E. (2007). Penurunan Pajak Ekspor dan Dampaknya Terhadap Ekspor Minyak Kelapa Sawit Indonesia Ke India (Pendekatan Error Correction Model), Informatika Pertanian, Vol.16 (2), pp. 10191036 Nielsen, J. U., E. S. Madsen, dan K. Pedersen. (1995). International Economics: Wealth of Open nations. London, U.K.: McGraw-Hill International.
68
Nurasa, Tjetjep., dan Muslim, Chairul. (2004). Perkembangan Kakao Indonesia Dan Dampak Penerapan Kebijakan Eskalasi Tarif Dipasaran Dunia: Kasus Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Selatan. Bogor: Pusat Analisis Ekonomi Dan Kebijakan Pertanian, Badan Litbang Pertanian. Redruello, Francisco. (2011). Cocoa Commodity Futures Shaken by Unrest in Côte d’Ivoire. Diunduh pada Februari 2012 dari http:// blog.euromonitor.com/2011/02/ cocoa-commodity-futures-shakenby-unrest-in-c%C3%B4te-divoire. html Rimawan, Praditya., Widodo, Tri., Amirullah, dan Hadi, Setya. (2011) Evaluasi Kebijakan Bea Keluar Biji Kakao di Indonesia. Yogyakarta: Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Gajah Mada. Riyanto, Sigit. (1998). Implementation of the GATT Tariff System: A Vehicle for International Trade or Trick?. Mimbar Hukum, Vol. VII (29). Sanusi, F. (2011). Peran Askrindo Dalam Penguatan Perkakaoan Nasional dan Berbagai Tantangan, disampaikan dalam Focus Group Discussion pada Badan Kebijakan Fiskal, 5 Mei 2011. Sugiyarto,dkk. (2007). Ekonomi Mikro: Sebuah kajian Konprehentif. Jakarta: PT Gramedia.
Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, Vol. 6 No. 1, Juli 2012