ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN PELARANGAN EKSPOR RAW

Download 2 Feb 2015 ... tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan Mineral dan Batubara. Beberapa peraturan terkait lainya yaitu ..... Bintang ...

0 downloads 579 Views 760KB Size
ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN PELARANGAN EKSPOR RAW MATERIAL TAMBANG DAN MINERAL

Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri Jakarta – 2013

KATA PENGANTAR Tambang dan Mineral merupakan sumber daya alam yang tidak terbarukan (non renewable) yang dikuasai oleh negara dan pemanfaatanya digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, pengelolaan tambang dan mineral harus memberi nilai tambah bagi perekonomian nasional. Terkait hal tersebut, pemerintah senantiasa terus melakukan upaya-upaya untuk mendorong para pelaku usaha agar terus berbenah diri dan melakukan terobosan-terobosan sehingga dapat mendongkrak nilai tambah tambang dan mineral Indonesia ke posisi yang dapat mensejahterakan rakyat dan menentukan bagi perdagangan tambang dan mineral dunia. Niat baik pemerintah dalam upaya mendorong para pelaku usaha dimaksud, tertuang didalam Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), dimana materi pokok yang terkandung didalam UU ini mengatur penghiliran hasil tambang mineral dan batubara dan melarang ekspor bahan mentah hingga tahun 2014. Sebagai pelaksanaan UU No 4 tahun 2009 tersebut, pemerintah kamudian menerbitkan PP No 23 tahun 2010 yang telah diubah dengan PP No 24 tahun 2012 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan Mineral dan Batubara. Beberapa peraturan terkait lainya yaitu Peraturan Menteri ESDM No. 7 Tahun 2012 yang disempurnakan dengan Permen ESDM No 11 tahun 2012 dan terakhir

adalah

Permen ESDM No. 20 Tahun 2013 tentang Perubahan kedua atas peraturan Menteri ESDM No 7 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui kegiatan Pengelolaan dan Pemurnian Mineral, Permendag No 52/M-DAG/per/8/ 2012 tentang perubahan atas Permendag No. 29/M-DAG/per/5 /20l2 tentang ketentuan ekspor produk pertambangan dan Permenkeu No. 128/pmk.011/2013 tentang perubahan atas peraturan menteri keuangan nomor 75/pmk.011/2012 tentang penetapan barang ekspor yang dikenakan bea keluar dan tarif bea keluar Tujuan kajian singkat ini adalah untuk mengetahui seberapa besar dampak kehilangan ekspor pertambangan Indonesia atas diterapkan kebijakan pelarangan

i

ekspor raw material tambang dan mineral yang rencananya akan ditetapkan awal tahun 2014. Disadari bahwa kajian ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu diharapkan

sumbangan

pemikiran

dari

para

pembaca

sebagai

bahan

penyempurnaan. Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak, yang secara langsung dan tidak langsung telah membantu penyelesaian kajian ini. Semoga laporan hasil Analisis Dampak Kebijakan Pelarangan Ekspor Raw Material Tambang dan Mineral ini bermanfaat.

Jakarta, Oktober 2012 Tim Pengkaji

ii

DAFTAR ISI

Halaman KATA PENGANTAR

i

DAFTAR ISI

iii

DAFTAR TABEL

iv

DAFTAR GAMBAR

v

BAB I

PENDAHULUAN

1

1.1 Latar Belakang

1

1.2 Tujuan dan Output Kajian

2

1.3 Ruang Lingkup Kajian

3

1.4 Metodologi Kajian

3

POTENDI DAN KEBIJAKAN

4

2.1 Sekilas Keberadaan Tambang dan Mineral di Indonesia

4

2.2 Daya Saing Industri Pertambangan Indonesia

10

2.3 Kebijakan Terkait Dengan Tambang dan Mineral

15

2.4 Pemasaran

18

ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN PELARANGAN EKSPOR RAW MATERIAL

24

BAB II

BAB III

TAMBANG DAN MINERAL BAB IV

PENUTUP

35

A. Simpulan

35

B. Rekomendasi

35

DAFTAR PUSTAKA

36

iii

DAFTAR TABEL Halaman Tabel 2. 1

Keadaan Beberapa Sumber Daya dan Cadangan Tambang dan Mineral di Indonesia Tahun 2011

7

Tabel 2. 2

Produksi Tambang dan Mineral Indonesia Tahun 2011

7

Tabel 2. 3

Fasilitas Pengolahan dan Pemurnian Yang Beroperasi Pada Tahun 2014

8

Tabel 2. 4

Sepuluh produsen terbesar nikel olahan pada tahun 2010

14

Tabel 2.5

Data Produksi dan Penjualan Mineral

20

Tabel 2. 6

Impor Produk Pertambangan Tahun 2008 - 2012

23

Tabel 3. 1

Produksi Barang Tambang dan Mineral Tahun 1996 - 2011

26

Tabel 3. 2

Estimasi Ekspor Tambang dan Mineral

33

iv

DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2. 1 Gambar 2. 2 Gambar 3. 1

Ekspor Non Migas Berdasarkan Sektor Periode Januari – Agustus 2013 Perkembangan Ekspor Bijih Alumunium dan Nikel Tahun 2008 2013 Rekapitulasi Progres Pembangunan Smelter

v

21 22 28

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tambang dan Mineral merupakan sumber daya alam yang tidak terbarukan (non renewable) yang dikuasai oleh negara dan pemanfaatanya digunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, pengelolaan tambang dan mineral harus memberi nilai tambah bagi perekonomian nasional. Untuk mencapai hal dimaksud, pengelolaan pertambangan mineral harus berazazkan kepada manfaat, keadilan dan keseimbangan serta keberpihakan kepada kepentingan bangsa dan negara. Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah senantiasa terus melakukan upaya-upaya untuk mendorong para pelaku usaha agar terus berbenah diri dan melakukan terobosanterobosan sehingga dapat mendongkrak nilai tambah tambang dan mineral Indonesia ke posisi yang dapat mensejahterakan rakyat dan menentukan bagi perdagangan tambang dan mineral dunia. Niat baik pemerintah dalam mendorong para pelaku usaha untuk peningkatan nilai tambah tambang dan mineral dimaksud, sebagaimana tertuang didalam Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), dimana didalam UU tersebut telah mengatur tentang kewajiban pengolahan dan pemurnian tambang dan mineral yang diberlakukan selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak UU dimaksud diundangkan pada tanggal 12 Januari 2009 sehingga pemberlakukan pengolahan dan pemurnian tambang dan mineral jatuh pada bulan Januari 2014. Sebagai akibat dari diundangkan UU No 4 Tahun 2009 tersebut, secara nasional telah terjadi peningkatan ekspor bijih mineral secara besar-besaran dalam periode 3 tahun terakhir. Dalam rangka pengendalian ekspor bijih mieral dan mendorong industry hilir, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 23 tahun 2010 yang telah diubah dengan PP No 24 tahun 2012 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan Mineral dan Batubara. Selanjutnya dikeluarkan beberapa peraturan terkait seperti Peraturan Menteri ESDM No. 7 Tahun 2012 yang kemudian disempurnakan dengan 1

Permen ESDM No 11 tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui kegiatan Pengelolaan dan Pemurnian Mineral (smelter), dimana materi pokok yang terkandung didalamnya menyebutkan bahwa perusahaan pertambangan dapat melakukan ekspor bijih (ores) mineral ke luar negeri sebelum tahun 2004 apabila telah mendapatkan rekomendasi dari Menteri ESDM. Peraturan terkait lainya yang telah diterbitkan dalam rangka menunjang pelaksanaan UU Minerba tersebut, adalah Permendag No 29 tahun 2012 tentang ketentuan ekspor produk pertambangan dan Permenkeu No. 75 Tahun 2012 tentang Penetapan Barang yang dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar. Berkaitan dengan berbagai permasalahan tersebut, dan berdasarkan Surat Permintaan Kerjasama kajian tambang dan mineral dari Direktorat Eskpor Industri dan Pertambangan (Ditjen Daglu) Nomor: 1022/DAGLU.3.4/ND/8/2013 tertanggal 13 Agustus 2013, maka Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri akan melakukan evaluasi terhadap dampak kebijakan dimaksud, terutama yang berkaitan dengan pelarangan ekspor dalam bentuk bijih (raw material atau ores) atas komoditi Tambang dan Mineral yang akan diberlakukan pada bulan Januari 2014. 1.2. Tujuan dan Output Kajian Tujuan dan output yang dingin dicapai dalam kegiatan analisis ini adalah sebagai berikut : 1. Tujuan kajian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar dampak sebagai akibat pemberlakuan kebijakan pelarangan ekspor Tambang dan Mineral dalam bentuk bijih (raw material atau ores). 2. Output dari kajian ini adalah hasil analisis terhadap dampak akibat diberlakukan penerapan pelarangan ekspor atas komoditi Tambang dan Mineral dalam bentuk bijih (raw material atau ore).

2

1.3. Ruang Lingkup Kajian Agar dapat mencapai hasil yang sesuai maksud dan tujuan yang diharapkan, maka ruang lingkup yang dikaji dalam analisis ini dibatasi sebagai berikut: 1. Ruang lingkup kajian ini adalah hanya membahas mengenai dampak akibat diberlakukan kebijakan pelarangan ekspor atas komoditi Tambang dan Mineral dalam bentuk bijih (raw material atau ore). 2. Daerah Survei dalam kajian ini dibatatasi hanya di Propinsi Banten mengingat lokasi beberapa industri pengolahan tambang dan mineral ada di wilayah tersebut, seperti PT. Krakatau Posco, PT. Indo Ferro, PT. Century Metalindo dan lain-lainya. 1.4. Metodologi Kajian 1. Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam kajian terdiri dari data sekunder dan data primer. Data sekunder yang dikumpulkan dalam kajian ini diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Perindustrian, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Perdagangan. Sementara itu, data primer diperoleh dari hasil survai di lapangan dengan cara melakukan pengumpulan data dan wawancara langsung kepada responden. 2. Alat Analisa Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif dan kuantitatif, yaitu penelitian yang didasarkan atas data sekunder, jurnal, artikel dan literatur yang berhubungan dengan permasalahan penelitian melalui transaksi antar sektor baik dalam bentuk input maupun output dalam proses produksi dapat terlihat kontribusi, dampak pengganda dan tingkat keterkaitan hubungan antara sektor pertambangan dengan sektor ekonomi lainnya. Analisis yang digunakan pada kajian ini adalah analisis deskriptif dengan tujuan untuk memaparkan hasil temuan berupa data dan informasi baik yang sifatnya kualitatif maupun kuantitatif.

3

BAB II POTENSI DAN KEBIJAKAN 2.1. Sekilas Keberadaan Tambang dan Mineral di Indonesia Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengamanatkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat. Amanat UUD 1945 ini merupakan landasan pembangunan pertambangan dan energi untuk memanfaatkan potensi kekayaan sumberdaya alam mineral dan energi yang dimiliki secara optimal dalam mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan. Tambang, mineral dan batubara yang terkandung dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan alam tak terbarukan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak. Oleh karena itu, pengelolaannya harus dikuasai oleh Negara untuk member nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan. Pertambangan adalah suatu kegiatan pengambilan endapan bahan galian berharga dan bernilai ekonomis dari dalam kulit bumi, baik secara mekanis dan manual pada permukaan bumi, dibawah permukaan bumi air. Pemerintah Republik Indonesia melalui Peraturan Pemerintahan No 27 tahun 1980 membagi bahan galian menjadi 3 golongan yaitu : 1. Bahan galian strategis disebut bahan galian golongan A terdiri dari : minyak bumi, bitumen cair, lilin beku, gas alam, bitumen padat, aspal, antrasit, batu bara muda, uranium radium, thorium bahan galian radioaktif lainnya, nikel, kobalt, timah. 2. Bahan galian vital disebut pula sebagai bahan galian golongan B terdiri dari besi, molibden, khrom, wolfram, vanidium, titan, bauksit, tembaga, timbal, seng, emas, platina, perak, air raksa, arsen, antimon, bismut, ytrium, rhutenium, cerium, dan logam-

4

logam langka lainnya, berilium, korundum, zirkon, kristal kuasa, kriolit, fluorspar, barit, yodium, brom, klhor, belerang. 3. Bahan galian non strategis dan non vital, disebut pula sebagai bahan galian golongan C. Terdiri dari : nitral, nitrit, fosfat, garam batu (halit), asbes, talk, mika, grafit,magnesit, yarosit, leusit, tawas (alum), oker, batu permata, batu setengah permata, pasir kuarsa, kaolin, feldspar, gipsum, bentonit, tanah diatomea, tanah serap (fuller earth), batu apung, trass, obsidian, marmer, batu tulis, batu kapur, dolomit, kalsit, granit, andesit, basalt, trakhit, tanah liat, pasir, sepanjang tidak mengandung unsur-unsur mineral golongan A maupun golongan B dalam skala yang berarti dari segi ekonomi pertambangan. Penggolongan bahan galian di atas tidak terlepas dari Undang-Undang Pokok Pertambangan 1967 yang menegaskan bahwa penggolongan bahan galian didasarkan pada peranannya yang berbeda terhadap bangsa dan negara. Golongan A adalah mineral yang sangat penting bagi perekonomian negara karena mendatangkan devisa yang relatif besar. Golongan B adalah mineral yang menyangkut hajat hidup orang banyak, sedangkan golongan C adalah mineral yang diperlukan untuk bahan industri atau bangunan. Saat ini kegiatan pertambangan yang lebih dikenal adalah pertambangan untuk komoditas mineral logam antara lain: emas, tembaga, nikel, bauksit dan batubara. Selain komoditas mineral utama dan batubara ini, komoditas batuan memiliki peran yang sama pentingnya terutama dalam memberikan dukungan material untuk pembangunan infrastruktur antara lain: pendirian sarana infrastruktur jalan, pembangunan perumahan, dan gedung perkantoran. Terminologi bahan galian golongan C yang sebelumnya diatur dalam UU No 11 Tahun 1967 telah diubah berdasarkan UU No 4 Tahun 2009, menjadi batuan, sehingga penggunaan istilah bahan galian golongan C sudah tidak tepat lagi dan diganti menjadi batuan. Kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara yang merupakan kegiatan usaha pertambangan di luar panas bumi, minyak dan gas bumi serta air tanah mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan. 5

Sementara itu, berdasarkan kriteria komoditas tambang mineral yang dapat ditingkatkan nilai tambahnya dapat diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) golongan, yaitu mineral logam, mineral bukan logam dan batuan. Uraian masing-masing jenis komoditas tambang mineral tersebut adalah sebagai berikut: 1.

Kelompok mineral logam merupakan jenis komoditas tambang mineral logam antara lain berupa bijih: tembaga, emas, perak, timah, timbal dan seng, kromium, molibdenum, platinum group metal, bauksit, bijih besai, pasir besi, nikel, kobalt, mangan dan antimon.

2.

Kelompok mineral bukan logam terdiri dari berbagai jenis komoditi tambang mineral bukan logam yang meliputi: kalsit (batu kapur/gamping), feldspar, kaolin, bentonit, zeolit, silica, zircon dan Intan.

3. Adapun kelompok batuan merupakan jenis komoditas tambang batuan, antara lain: Toseki, Marmer, Onik, Perlit, Slate (batu sabak), Granit, Granodiorit, Gabro, Peridotit, Basalt, Opal, Kalsedon, Chert (rijang), Jasper, Krisoprase, Garnet, Giok, Agat dan Topas. Lokasi sumber daya tambang mineral tersebut, tersebar di beberapa daerah di Indonesia, baik di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Papua maupun di daerah lainnya. Mengenai sumber daya, cadangan maupun produksi beberapa jenis tambang dan mineral di Indonesia pada tahun 2011 dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

6

Tabel 2.1. Keadaan Beberapa Sumber daya dan Cadangan Tambang dan Mineral di Indonesia Tahun 2011 (dalam juta ton bijih) No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.

Komoditas Tembaga Bauksit Nikel Pasir Besi Besi Laterit Besi Primer Besi Sedimen Mangan Emas Alluvial Emas Primer Perak Seng Timah Timbal

Sumber Daya 4.925 551 2.633 1.649 1.462 563 18 11 1.455 5.386 3.406 577 354 363

Cadangan 4.161 180 577 5 106 30 4 17 4.231 4.104 7 0,7 1,6

Sumber: Badan Geologi, Kementerian ESDM Tabel 2.2. Produksi Tambang dan Mineral di Indonesia Tahun 2011 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Produksi Logam Tembaga (ribu ton) Emas (ton) Tmah (ribu ton) Nikel Matte (ton) Fero Nikel (ton) Bijih Nikel (juta ton) Bauksit (juta ton) Bijih Besi (juta ton) Bijih Mangan (ton) Bijih Timbal dan Seng (ton) Bijih Kromium (ton) Bijih Tembaga (ton)

2008 655 64.4 72 73,356 17,566 4.11 7.77 1.86 283,679 40,658 57,601 1,276

2009 999.2 104.1 60.4 68,228 12,550 10.99 15.94 7.19 273,008 64,604 4,537 3,579

Tahun 2010 878.3 104.5 48.5 77,186 18,688 16.98 26.89 7.91 231,035 310,453 63,053 5,816

2011 543 76 42 68,000 19,610 32.63 39.68 12.81 100,459 197,139 9,548 13,810

2012 447.5 75 94.8 72,899 18,372 41.09 30.2 10.41 30,478 5,556 20,111 8,418

*) data diambil dari Laporan Surveyor yang dikirimkan oleh PT Sucofindo. Diasumsikan angka ekspor sama dengan angka produksi. Sumber: Direktorat PembinaanPengusahaan Mineral, Kementerian ESDM Dalam menyongsong kebijakan pelarangan ekspor barang mentah (raw material) tambang dan mineral pada bulan Januari tahun 2014, terdapat 15 (limabelas) perusahaan yang menyatakan kesiapan dengan fasilitas pengolahan dan pemurnian yang akan 7

beroperasi pada tahun 2014. Dari ke 15 perusahaan tersebut, terdapat diantaranya 6 perusahaan yang sudah mempersiapkan diri dengan progres fasilitas pengolahan dan pemurnian tambang dan mineral mencapai 100% untuk beroperasi pada tahun 2014. Dari ke 6 (enam) perusahaan tambang tersebut, antara lain PT. Delta Prima Steel dan PT. Meratur Jaya Iron Steel dengan hasil produksinya berupa Sponge Iron, PT. Indo Ferro dengan hasil produksi berupa Pig Iron, PT. Batutua Tembaga Raya dengan hasil pengolahanya berupa Cupper Chatode, PT. Indotama Ferro Allays

dan

PT. Century

Metalindo dengan hasil pengolahan berupa Silica Manganese. Sementara itu, ke 9 perusahaan lainya progress fasilitas kesiapan pengolahan dan pemurnian untuk beroperasi pada tahun 2014 masih dibawah 75%.

Mengenai rincian fasilitas pengolahan dan

pemurnian dari ke 15 perusahaan yang akan beroperasi pada tahun 2014 dapat dilihat pada taberl berikut: Tabel 2.3. Fasilitas Pengolahan Dan Pemurnian Yang Beroperasi Pada Tahun 2014 Lokasi No

Nama Perusahaan

Target

Komoditas Kab/Kota

Provinsi

Progres

Investasi (US$)

Produk

Kapasitas

1 2 3

PT. Gebe Centra Nickel PT. Bintang Delapan Mineral PT. Elit Kharisma Utama

Nikel Nikel Nikel

Gebe Morowali Konawe

Maluku Sulteng Sultra

30 35 35

300.000.000 316.030.000 160.000.000

FeNi FeNi FeNi

300.000 300.000 110.000

4

PT. Kembar Emas Sultra

Nikel

Konawe Utara

Sultra

30

15.000.000

NPI

48.000

Malut

6

Kalsel

5

PT. Arga Morini Indah

Nikel

6

PT. Delta Prima Steel

Besi

Halmahera Selatan Tanah Laut

7

PT. Meratus Jaya Iron Steel

Besi

Batu Licin

8

PT. Krakatau Posco

Besi

9 10

PT. Yiwan Mining PT. Indoferro

11

PT. Lumbung Mineral Sentosa

12

PT. Indonesia Chemical Alumia (PT. ICA)

FeNi

Penyelesaian Proyek Jan-14 Awal 2014 Agu-13 Akhir 2013 (trial Mini Smelter)

100

325.000.000 5.000.000

Sponge iron

50.000 100.000

Kalsel

100

65.000.000

Sponge Iron

315.000

Cilegon

Banten

70

7.000.000.000

Billet

240.000

Besi Besi

Batu Licin Cilegon

Kalsel Banten

10 100

250.000.000 160.250.000

Pig Iron Pig Iron

Oktober 2014

Timbal dan Seng

Bogor

Jawa Barat

30

11.077.778

Bullion Lead

1.000.000 500.000 187 ton bullion Pb/bulan, 312 ton bullion/bulan

Bauksit

Sanggau

Kalbar

50

450.000.000

SGA

300.000

2013

13

PT. Batutua Tembaga Raya

Tembaga

(Wetar) Maluku Barat Daya

Maluku

100

235.000.000

Cupper Cathode

14 15

PT. Indotama Ferro Alloys PT. Century Metalindo

Mangan Mangan

Purwakarta Cikande

Jawa Barat Banten

100 100

-

Silika Manganese Silika Manganese

Sumber: Badan Geologi, Kementerian ESDM 8

2014

November 2013 (feeding ore ke KS Posco)

Akhir 2014

Dalam tiga tahun terakhir setelah UU No. 4 Tahun 2009 diterbitkan, secara nasional ada beberapa jenis bijih tambang dan mineral yang realisasinya mengalami peningkatan secara besar-besaran, diantaranya ekspor bijih nikel meningkat sebesar 800%, bijih besi meningkat 700%, dan bijih bauksit meningkat 500%. Dalam rangka pengendalian ekspor bijih mineral dan mendorong industri hilir, maka pemerintah mengeluarkan beberapa peraturan terkait diantaranya, Peraturan Menteri ESDM No 7 Tahun 2012 sebagaimana diubah dengan PerMen No. 11 tahun 2012, Peraturan Menteri Perdagangan No 29 tahun 2012 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan dan Peraturan Menteri Keuangan No. 75 tahun 2012 mengenai Penetapan Harga Ekspor Untuk Penghitungan Bea Keluar. Pemerintah mengharuskan bea keluar bagi 14 mineral tambang diantaranya tembaga, emas, perak, timah, timbel, kromium, molibdenum, platinum, bauksit, bijih besi, pasir besi, nikel, mangan, dan antimon dengan range bea keluar yang akan dipungut bervariasi mulai dari 20% hingga 50% bergantung pada jenis mineral. Peraturan Menteri ESDM No 7 Tahun 2012 diterbitkan dalam rangka untuk mengamankan terlaksananya amanat Undang-undang No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, khususnya terkait dengan kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri paling lambat tanggal 12 Januari 2014. Kemudian Permen 07 Tahun 2012 tersebut diubah berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral RI No. 11 Tahun 2012 tertanggal 16 Mei 2012 yang menyebutkan bahwa perusahaan pertambangan dapat melakukan ekspor bijih atau ore mineral dalam hal ini nikel ke luar negeri sebelum tahun 2014 apabila telah mendapatkan rekomendasi dari Menteri ESDM c.q Direktur Jenderal. Rekomendasi tersebut akan diberikan dengan persyaratan sebagai berikut: 1. Status IUP Operasi Produksi dan IPR clear and clean dalam arti bahwa setiap perusahaan pertambangan wajib memiliki IUP Operasi Produksi yang telah disetujui. 2. Perusahaan pertambangan harus melunasi kewajiban pembayaran keuangan kepada negara.

9

3. Perusahaan pertambangan wajib menyampaikan rencana kerja dan atau kerja sama dalam pengelolaan dan atau pemurnian mineral di dalam negeri. 4. Perusahaan pertambangan wajib menandatangani pakta integritas.

2.2. Daya Saing Industri Pertambangan Indonesia Ada dua hal yang memungkinkan Indonesia dapat berkembang menjadi negara industri maju. Pertama; Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan mineral terlengkap di dunia, walaupun bukan aktor utama dunia dalam keseluruhan raw material, namun Indonesia memiliki hampir sebagian besar sumber mineral penting. Kedua, Indonesia memiliki sumber energi yang relatif besar dan beragam jenisnya, mulai dari minyak bumi, gas, batubara dan sumber-sumber energi terbaharukan lainnya. Namun demikian, hingga saat ini Indonesia belum dapat mengembangkan industrinya dengan baik, dikarenakan hasil tambang mineral yang diekploitasi di perut bumi Indonesia masih di ekspor dalam bentuk raw material dengan nilai tambah yang sangat rendah. Di satu sisi memang dalam hal raw material dan perdagangan komoditas, Indonesia memegang posisi kunci. Tapi sebagian besar perusahaan tambang telah mengikat kontrak penjualan hasil tambang dengan negara-negara maju, sehingga Indonesia tidak dapat mengendalikan harga komoditas tambangnya. Berikut ini akan disajikan secara deskriptif posisi Indonesia dalam peta investasi dan perdagangan komoditas hasil tambang di dunia. Data-data ini diambil dari berbagai sumber untuk memberi gambaran kepada publik dan pengambil kebijakan agar eksploitasi hasil tambang di masa datang ditempatkan sebagai bagian dari strategi pembangunan kedaulatan nasional dan kesejahteraan rakyat. Banyak perbedaan opini diantara para ahli pertambangan di dunia untuk menyimpulkan pertambangan mana sesungguhnya yang terbesar di dunia, dimana ada pendapat yang menyatakan bahwa yang terbesar adalah Muruntau Gold Mine di Uzbekistan. Akan tetapi ada pendapat lain yang menyatakan 10

bahwa yang terbesar adalah tambang Grasberg di Indonesia. Dari berbagai pendapat, sebagian besar pendapat menyatakan bahwa yang terbesar adalah Gresberg. Keberadaan tambang Grasberg di Papua menunjukkan bahwa Indonesia memiliki segalanya tentang tambang. Negara ini memegang posisi penting dalam hal produksi dan perdagangan sumber-sumber mineral di dunia. Dengan demikian situasi ekonomi dan politik Indonesia akan menentukan peta pertarungan ekonomi pada tingkat global. Berikut uraian adanya ke 10 tambang terbesar di dunia: 1. Grasberg Gold Mine. Tambang ini terletak di Indonesia, Provinsi Papua, menghasilkan 2.025.000 ons emas. Tambang ini mayoritas dimiliki oleh Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. Selain emas, juga menghasilkan perak dan tembaga. 2. Muruntau Gold Mine. Tambang ini terletak sekitar 250 km sebelah barat ibukota di Uzbekistan, diyakini telah memproduksi sekitar 1.800.000 ons emas pada tahun 2011. 3. Carlin-Nevada Complex. Tambang ini terletak di negara bagian AS dari Nevada, menghasilkan 1.735.000 ons pada 2010. Tambang ini dimiliki oleh Newmont Mining Corp. 4. Yanacocha Gold Mine. Tambang ini terletak di Peru dan merupakan tambang emas terbesar di Amerika Latin, memproduksi 1,46 juta ons pada tahun 2011. Tambang ini dijalankan oleh Newmont Mining dan dimiliki oleh Newmont Mining dan Buenaventurda, sebuah perusahaan Peru. 5. Goldstrike (Betze Post) Gold Mine. Tambang ini terletak di sebelah barat laut dari Elko, Nevada, menghasilkan 1,24 juta ons emas pada tahun 2011. Tambang ini dimiliki oleh Barrick Gold Corp. 6. Cortez Gold Mine. Tambang ini terletak di sebelah barat daya dari Elko, Nevada, menghasilkan 1,14 juta ons emas pada tahun 2011. Tambang ini dimiliki oleh Barrick Gold Corp. 7. Veladero Gold Mine. 11

Tambang ini terletak di Argentina, memproduksi 1,12 juta ons emas pada tahun 2011. Tambang ini dimiliki oleh Barrick Gold. 8. Lagunas Norte Gold Mine. Tambang ini terletak di sebelah utara Peru, menghasilkan 808.000 ons emas pada tahun 2011. Tambang ini dimiliki oleh Barrick Gold. 9. Lihir Gold Mine. Tambang yang terletak di Papua New Guineau, menghasilkan rata-rata 790.974 ons emas dalam setahun. Tambang ini dimiliki oleh Newcrest Mining Ltd, produsen emas terbesar di Australia. 10. Super Pit/Kalgoorlie. Tambang yang terletak di Australia Barat, menghasilkan 788.000 ons pada tahun 2011. Tambang ini 50% dimiliki oleh Barrick Gold dan 50% dimiliki olehNewmont Mining. Situs resmi pemerintah Australia menyebutkan bahwa Indonesia juga merupakan kelompok negara produsen tembaga terbesar di dunia. Masuk dalam 10 besar negara penghasil tembaga terbesar dunia antara lain Chili, Australia, Peru, Mexico, Amerika Serikat dan Indonesia, yang berada pada urutan ke enam. Namun media lainnya menyebutkan bahwa Indonesia berada pada urutan ke lima dalam hal produksi tembaga sesudah Chili, Peru, Amerika Serikat, China dan Indonesia. Sementara Australia sendiri berada pada urutan ke enam setelah Indonesia. Adapun data lainnya menyebutkan bahwa dalam hal produksi tembaga, pada tahun 2009, Indonesia merupakan negara produsen tembaga kelima terbesar di dunia dengan produksi sebesar 950.000 ton. Urutan pertamanya adalah Chili, dengan produksi sebanyak 5.320.000 ton, yang membuat Chili jauh memimpin dibandingkan negara lainnya. Tempat kedua adalah Amerika Serikat, dengan output 1.310.000 ton. Tambang tembaga terkenal di AS, adalah Bingham Canyon Mine, juga dikenal sebagai tambang tembaga Kennecott, berada di barat daya Salt Lake City, Utah, Amerika Serikat. Tambang ini dimiliki oleh Rio Tinto Group. 12

Selanjutnya Peru berada di urutan ketiga, dengan menghasilkan 1.260.000 ton. Produsen terbesar keempat adalah Cina, dengan produksi 960.000 ton. Setelah Indonesia di urutan kelima, urutan keenam diduduki oleh Australia dengan diproduksi 900.000 ton. Tambang tembaga terbesar di Australia adalah The Olympic Dam, terletak sekitar 550 km baratlaut dari Adelaide. Produsen peringkat ketujuh adalah Rusia, yang memproduksi 750.000 ton, dan di tempat kedelapan adalah Zambia, yang memproduksi 655.000 ton. Kemudian Kanada ditempat kesembilan, dengan 580, 000 ton dan kesepuluh adalah Polandia dengan produksi 440.000 ton tembaga. Sementara dalam hal produksi perak, Indonesia masuk dalam 20 besar negara produsen perak terbesar di dunis. Dalam lima besar terdapat Mexico, Peru, China, Australia dan Chili. Indonesia sendiri berada dalam urutan ke 17. Salah satu penyebab Indonesia berada di urutan 17, dikarenakan Indonesia mengekspor dalam bentuk bahan mentah sumber daya emas dan tembaganya, sedangkan perak termasuk berada di dalam sumber daya emas dan tembaga tersebut. Oleh karena itulah, Indonesia tidak diketahui dengan jelas seberapa besar hasil peraknya. Indonesia pada tahun 2008 berada pada urutan ke lima dalam hal perusahaan tambang bauksit terbesar di dunia. pada urutan pertama adalah Australia, diikuti oleh Brasil, China dan India. Saat ini Indonesia masih terus melakukan ekspor bahan mentah bauksit ke China, meskipun di Indonesia terdapat pabrik peleburan (smelter) PT Indonesia Asahan Alumunium (INALUM) yang merupakan terbesar di Asia Tenggara. Namun kepemilikan sahamnya Indonesia hanya sebesar 41.12%, sedangkan Japanese consortium Nippon Asahan Aluminium Co. Ltd mencapai 58.88%. Dalam hal produksi nikel, Indonesia merupakan produsen terbesar setelah Rusia. Negara produsen nikel terbesar di dunia adalah: Rusia, Indonesia, Philipina, Kanada, Australia, New Caledonia, China, Cuba, Colombia. Perusahaan yang memimpin produksi nikel adalah Norilsk (Russia), diikuti oleh Vale Inco Ltd. (Brazil and Canada) dan the BHP Billiton Group (Australia and United Kingdom). PT Aneka Tambang Tbk. (Indonesia) pada 13

urutan ke empat, yang produksinya untuk pengiriman langsung ke Chinese Nickel Pig Iron Industry. Selanjutnya produsen terbesar lainnya adalah Eramet Group (Perancis), Jinchuan Non-ferrous Metals Corp. (JNMC) (China), and Xstrata plc (Swiss). Meskipun merupakan produsen nikel terbesar, Indonesia tidak termasuk kategori negara terbesar yang menghasilkan nickel olahan dikarenakan produksi Indonesia dikirim ke pasar ekspor dalam bentuk bahan mentah. Tidak adanya industrialisasi dalam nickel menyebabkan nilai tambah dari komoditas ini diambil alih oleh negara lain. Adapun ke 10 negara produsen nikel olahan terbesar dunia pada tahun 2010 dapat dilihat pada table 2.4 berikut. Tabel 2.4. Sepuluh Produsen Terbesar Nikel Olahan Pada Tahun 2010 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Negara China Russia Japan Canada Australia Norway Colombia Finland New Caledonia South Afrika

Produksi (metric ton) 318.0 265.0 160.0 105.0 101.0 92.0 49.0 47.0 40.0 36.0

Sumber: Bloomberg Selanjutnya terkait dengan produksi bauksit, Indonesia merupakan salah satu negara produsen bauksit terbesar di dunia. Berdasarkan data 2007: peringkat pertama adalah 1. Australia dengan

produksi 62,428; urutan 2. China 30,000; 3. Brazil 22,100; 4. India

19,221; 5. Guinea 18,000; 6. Jamaica 14,568; 7. Russian Federation 6,400; 8. Venezuela 5,900; 9. Suriname 4,900; 10. Kazakhstan 4,800; 11. Greece 2,220; 12. Guyana 1,600. Indonesia berada pada urutan ketiga belas dengan produksi 1,251; 14. Sierra Leone 1,168; 15. Ghana 840; 16. Bosnia and Herzegovina 800; 17. Turkey 780; 18. Montenegro 650; 19. Hungary 546.4; 20. Dominican Republic 500. (Sumber: United States Geological Survey (USGS) Minerals Resources Program).

14

Meskipun demikian, Indonesia belum masuk dalam kategori 10 besar negara dengan produksi alumunium terbesar dunia. Hal ini disebabkan bauksit yang merupakan bahan baku aluminium masih dialokasikan untuk pasar ekspor, dimana alumunium tersebut secara jelas merupakan bahan baku penting untuk pembangunan industri di negara-negara maju. Saat ini peringkat produsen utama alumunium di dunia adalah Canada, Amerika Serikat, Argentina, Brazil, Venezuela, France, Germany, Norway, Netherlands, Spain, Russian Federation, Ukraine, Slovenia, Bahrain, India, Indonesia, Turkey, United Arab Emirates, China, Japan, South Korea, Australia, Egypt, Cameroon, Mozambique, Ghana, Nigeria and South Africa. Sementara itu, satu-satunya perusahaan alumunium di Indonesia adalah PT Indonesia Asahan Aluminium (INALUM) yang juga merupakan satu-satunya smelter di Asia Tenggara. Perusahaan ini merupakan joint venture company antara Indonesia (41.12%) and Japanese consortium Nippon Asahan Aluminium Co. Ltd (58.88%), dengan kapasitas 225.000 tons. Adapun sebagian besar hasil produksinya yang berupa alumunium ditujukan untuk ekspor (60% ) bagi kepentingan industri jepang. Jika mengamati seluruh kegiatan ekploitasi tambang di Indonesia dapat disimpulkan bahwa negara ini memiliki kekayaan alam terlengkap yang diperlukan bagi pengembangan industri tambang dan mineral. Selain jenis-jenis mineral diatas, Indonesia juga menghasilkan biji besi, mangan, dan lain sebagainya. Sebagian besar produksi nasional diekpor dalam bentuk bahan mentah, meskipun

kegitan ekplotasi tambang telah

berlangsung sejak jaman kolonial, namun hingga saat ini negara belum dapat membangun industrinya. 2.3. Kebijakan Terkait Dengan Tambang dan Mineral Bertitik tolak dari dikeluarkanya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 pada tanggal 12 Januari 2013 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dimana materi pokok yang terkandung didalam UU ini mengatur penghiliran hasil tambang mineral dan batubara dan melarang ekspor bahan mentah hingga tahun 2014. Oleh karena itu, UU ini 15

mengamanahkan pembangunan smelter sehingga produksi tambang dalam negeri dapat diproses sebelum diekspor. Adapun tujuan daripada UU Minerba dimaksud, agar Indonesia bisa merasakan nilai tambah dari produk - produk tambang dan mineral sehingga dapat mendongkrak produk domestik bruto dan menyerap tenaga kerja. Berdasarkan amanat UU No. 4 Tahun 2009 dimaksud, maka akan berlaku efektif pada Januari 2014 untuk komoditas tambang mineral logam, mineral bukan logam dan batuan dalam bentuk bahan mentah (raw material/ores). Dalam rangka pelaksanaan berbagai pasal didalam UU Minerba tersebut, kemudian pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No.23 Tahun 2010 tertanggal 1 Februari 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, dimana didalam peraturan ini mengisyaratkan bahwa pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) operasi produksi dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi produksi harus mengutamakan kebutuhan mineral dan/atau batubara untuk kepentingan dalam negeri. Untuk itu, dalam menunjang pembangunan industri dalam negeri perlu penataan kembali pemberian izin usaha pertambangan untuk mineral bukan logam dan batuan. Selanjutnya dalam rangka memberi kesempatan lebih besar kepada peserta Indonesia untuk lebih berpartisipasi dalam kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara serta dalam rangka memberikan kepastian hukum bagi pemegang Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara yang bermaksud melakukan perpanjangan dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan, maka kemudian diterbitkan PP No. 24 tahun 2012 tertanggal 21 Februari 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Disamping itu, dalam rangka meningkatkan efektivitas pelaksanaan pengendalian ekspor bijih mineral dan mendorong industri hilir, maka pemerintah telah mengeluarkan berbagai peraturan seperti halnya Peraturan Menteri (Perman) ESDM No 7 Tahun 2012 yang kemudian diubah dengan Permen ESDM No 11 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral. Peningkatan Nilai Tambah dan kewajiban pengolahan dengan batasan minimum pengolahan, hal ini dilakukan dengan Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral antara lain meliputi 16

kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral logam, pengolahan mineral bukan logam dan pengolahan batuan, serta pengolahan dan pemurnian mineral logam tertentu, pengolahan mineral bukan logam tertentu, dan pengolahan batuan tertentu wajib memenuhi batasan minimum pengolahan. Sementara itu, dalam rangka miningkatkan efektivitas pelaksanaan pengaturan ekspor beberapa jenis produk pertambangan, maka pemerintah melalui Kementerian Perdagangan juga telah menerbitkan Permendag No 29/M-AG/PER/5/2012 sebagaimana telah disempurnkan dengan

Permendag No. 52/M-AG/PER/8/2012 tentang Ketentuan

Ekspor Produk Pertambangan, dimana peraturan ini mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tata cara dan perizinan pelaksanaan kegiatan ekspor berbagai jenis produk pertambangan dengan mempertimbangkan adanya keharusan memenuhi batasan minimum pengolahan. Selain hal tersebut, berdasarkan pertimbangan/usulan Menteri ESDM sebagaimana disampaikan melalui Surat Nomor 3038/30/MEM.B/2012 perihal Kebijakan Pengendalian Penjualan Bijih (Raw Material atau Ore) Mineral ke luar negeri serta dalam rangka meningkatkan nilai tambah dan ketersediaan sumber daya mineral di dalam negeri, maka perlu mengatur mengenai pengenaan Bea Keluar terhadap barang ekspor berupa bijih (raw material atau ore) mineral. pemerintah

melalui

75/PMK.011/2012

Berkaitan dengan hal itu, pada tanggal 16 Mei 2012

Kementerian yang

Keuangan

kemudian

telah

disempurnakan

menerbitkan dengan

Permenkeu Permenkeu

No No

128/PMK.011/2013 tentang perubahan atas peraturan menteri keuangan nomor 75/pmk.011/2012 tentang penetapan barang ekspor yang dikenakan bea keluar dan tarif bea keluar, dimana materi pokok didalam perubahan tersebut terkait dengan penjualan berbagai jenis bijih (raw material atau ore) mineral ke luar negeri dikenakan tariff bea keluar ekspor sebesar 20%, terkecuali untuk produk Marmer dan Travertine dalam bentuk balok dengan ketebalan >4 cm dan produk Granit balok dengan ketebalan > 4 cm dikenakan tariff bea keluar sebesar 10%. Adapun tujuan dari kebijakan pengenaan bea keluar ekspor komoditas tambang dimaksud, antara lain adalah untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan didalam negeri, 17

melindungi kelestarian sumber daya alam, mengantisipasi kenaikan harga yang cukup drastis dari komoditi ekspor tertentu di pasaran internasional dan atau menjaga kestabilan harga komoditi tertentu di dalam negeri. 2.4. Pemasaran Dalam Usaha penambangan bahan galian industri, pemasaran merupakan masalah yang lebih sulit dari pada penambangannya. Permasalahan yang dihadapi oleh sebagian pelaku usaha bahan galian dalam menjual hasil tambangnya tanpa melalui proses pengolahan pada umumnya hanya soal angkutan. Sementara itu, bagi usaha penggalian pasir dan batu untuk dapat memasarkan hasil galiannya kepada penjual bahan bangunan, tidak begitu banyak pemasalahan yang dihadapi asalkan lokasi usahanya berdekatan dengan si pembeli. Kelangsungan usaha bahan galian industri sangat ditentukan oleh lokasi dan biaya angkutan mengingat produk yang harus dipasarkan selain berat juga besar volumenya, akan tetapi harga satuannya juga relatif rendah. Untuk batu gamping sebelum siap dijual melalui jalur pemasaran yang relatif panjang, penggalian batu gamping dapat dilakukan dengan cara sederhana dan semua orang dapat melakukannya dan hasilnya dapat langsung dijual kepada pihak pabrik pembakaran kapur. Ditempat inilah

batugamping akan diolah dengan proses melalui pembakaran yang

dilakukan dengan menggunakan tungku. Contoh lain pada pengusahaan kaolin, proses penambangan sangat relatif sederhana. Proses penambangan kaolin dilakukan melalui tahap pencucian dan pengendapan, setelah itu dipanggang untuk dikeringkan yang kemudian dilakukan penggilingan. Produk dari proses ini berupa tepung kaolin yang dapat dipasarkan sebagai filler kepabrik cat, pabrik keramaik, dengan persyaratan yang tidak tinggi. Kaolin juga diproses secara lebih canggih antara lain melalui proses flotasi, filtering dan bleaching untuk menghasilkan produk berupa bubuk kaolin berbutir sangat halus, bertekstur seragam, sangat murni, bersih dari kotoran dan mengkilap, memiliki sifat high 18

gloss dan brightness serta tidak mudah bereaksi. Bubuk kaolin berkualitas tinggi dengan istilah papercoating, digunakan sebagai bahan kosmetik dan lain-lain. Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa meningkatkan produk bahan galian industri diperlukan proses pengolahan dengan kecermatan tinggi yang pada akhirnya dapat meningkatkan multiguna dari bahan galian tersebut sehingga pemasarannyapun menjadi lebih luas. Kecermatan kerja diperlukan dalam semua tahap kegiatan sehingga diperoleh banyak bahan galian yang berguna dan sedikit endapan pengotornya sehingga hasil yang didapatkan lebih maksimal yang sesuai dengan hasil pesanan konsumen. Dengan adanya UU Minerba, semua jenis bijih/barang tambang dan mineral harus diolah dan dimurnikan terlebih dahulu untuk mendapatkan nilai tambah baru kemudian boleh di ekspor. Pada Pasal 102 UU minerba, Pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara. Kewajiban ini baru direncanakan berlaku pada 2014. Melihat kebijakan pelarangan tersebut, baru akan diberlakukan pada tahun 2014, sebagian para pelaku usaha telah menaikkan produksi dan eskpor secara besar-besaran. Hal ini dilakukan, karena pada umumnya para pelaku usaha berpendapat bahwa

untuk mendirikan pabrik pengolahan dan pemurnian dibidang

tambang dan mineral diperlukan biaya cukup tinggi, sehingga kesempatan pada masa transisi ini tampak dimanfaatkan

oleh para pelaku usaha untuk memproduksi dan

mengekpor secara besar-besaran karena dirasa biaya produksi masih relative murah. Sebagaimana telah diketahui bersama , bahwa pasar raw material tambang dan mineral sebagian besar adalah untuk ekspor, akan tetapi ada juga yang dipasarkan di dalam negeri bahkan untuk memenuhi kebutuhan akan bahan baku lebih lanjut sebagai industry didalam negeri juga melakukan impor meskipun sebenarnya raw material awal berasal dari dalam negeri juga.

19

2.4.1 Pasar Dalam Negeri Dengan adanya UU Minerba ini, bisa menjamin kewajiban pasar domestik (domestic market obligation/DMO), artinya adanya jaminan bahwa produk setengah jadi tersebut dijamin oleh pasar di dalam negeri. Selama tahun 2011, pemasaran barang tambang mineral di dalam negeri hanya meliputi persentase yang sedikit sekali jika dibandingkan dengan persentase yang diekspor. Misalnya saja pada bijih besi, 100% produksi disalurkan untuk ekspor sebagaimana terlihat pada tabel berikut. Tabel 2.5. Data Produksi dan Penjualan Mineral

Sumber: Kementerian ESDM, 2011 2.4.2. Pasar Luar Negeri Tujuan pemerintah dengan mengeluarkan kebijakan relaksasi kuota ekspor produk pertambangan adalah memberikan kemudahan ekspor untuk stok-stok bijih mineral yang sudah siap ekspor. Pemerintah menyadari tidak semua perusahaan pertambangan menikmati kebijakan ini karena meningkatkan produksi dalam waktu singkat tidak mudah. Pengusaha pertambangan hanya memiliki kesempatan selama 20

tiga bulan mendatang karena pada awal 2014, ekspor produk mentah pertambangan dilarang berdasarkan UU No. 4 tahun 2009 tentang Minerba. a.

Ekspor Tahun 2011 dan 2012 merupakan tahun perubahan peruntungan di industri pertambangan di Indonesia. Perbaikan kinerja keuangan di tahun 2011 berbalik jadi memburuk di tahun 2012 akibat ketidakpastian ekonomi global dan penurunan harga komoditas. Akan tetapi, sejalan dengan kondisi tersebut, kontribusi industri tambang terhadap ekonomi Indonesia tetap meningkat. Sektor pertambangan menyumbang 5% sampai 6% dari PDB Indonesia pada tahun 2011 dan 2012 dan lebih dari 17% untuk pendapatan ekspor. Berdasarkan data struktur ekspor non migas periode Januari-Agustus 2013, ekspor di bidang pertambangan menempati kontribusi kedua setelah industri dan paling terkecil adalah di sektor pertanian (Gambar 2.1). Ekspor Non Migas Menurut Sektor (USD Miliar)

Struktur Ekspor Non Migas Menurut Sektor Jan-Ags 2013 Pertanian 3.2%

Pertamba ngan 21.7%

20.4

Pertambangan

Industri 75.5%

-2.72

21.0

-4.56 73.9

Industri

Pertanian

Pertumbuhan (%)

76.7 3.6 3.5

-3.64 -6.20

Jan-Ags 2013 Jan-Ags 2012

Gambar 2.1. Ekspor Non Migas Berdasarkan Sektor, Jan-Ags 2013 Sumber: BPS (diolah Puska Daglu) Sebelum diberlakukan UU Minerba pada tahun 2014, perusahaan-perusahaan tambang berbondong bondong mengekspor bijih tambang dan mineral yang didapatkan dari hasil tambang. Berdasarkan data empiris, selama 5 tahun terakhir ini yaitu dari 2008-2012 dan pertengahan tahun 2013 terjadi peningkatan bijih 21

2.30 2.48

tambang dan mineral yang cukup signifikan. Sebagai contoh rata-rata volume ekspor pada bijih aluminium dan nikel telah meningkat di atas 20%. Bijih Alumunium dan Konsentratnya

USD Juta

Ribu Ton

50.000,0 773,2

40.000,0

626,0

30.000,0 20.000,0

558,8

479,0 377,3 216,3

249,7

10.000,0 -

16.791,4 14.720,3 27.410,4 40.643,9 29.506,6 20.494,2 23.968,8 2012 2008

2009

2010

2011

Volume (LHS)

2012

50.000,0

800,0

40.000,0

600,0

30.000,0

400,0

20.000,0

200,0

10.000,0

-

Bijih Nickel dan Konsentratnya

USD Juta

1.000,0

-

1.428,0

Ribu Ton 1.750,0 1.489,1

718,0

524,3

350,0

10.592,2 10.437,1 17.566,0 40.792,2 48.449,4 23.186,6 28.824,0 2012 2008

2009

2010

2011

Volume (LHS)

Nilai (RHS)

2012

2013

Jan-Jun

Nilai (RHS)

Gambar 2.2. Perkembangan Ekspor Bijih Aluminium dan Nikel, 2008-2013 Sumber: BPS (diolah Puska Daglu) b. Impor Selama ini, impor produk tambang dan mineral Indonesia merupakan olahan tambang dimana sebenarnya sumber daya alam di Indonesia memiliki semua bahan baku tambang tersebut. Misalnya saja impor alumina sebagai bahan dasar aluminium. Secara material, negeri ini harus memiliki industri dasar yang kuat sebagai industri pendukung yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku atau penolong atau barang setengah jadi atau yang menghasilkan energi bagi keperluan industri di dalam negeri. Apalagi hilirisasasi industri yang diarahkan menghendaki tercapainyai tujuan strategis, antara lain mengurangi ketergantungan impor dan penguatan struktur industri di dalam negeri. Secara ideal progam hilirisasi industri hanya akan terwujud dalam jangka panjang bilamana pemerintah dapat mengembangkan kebijakannya dalam dua area besar, yaitu kebijakan pengembangan industri dasar sebagai industri pendukung dan kebijakan industri hilir itu sendiri.

22

1.050,0 700,0

532,4 277,6

2013

Jan-Jun

1.400,0 824,1

-

Dari sisi nilai impor produk pertambangan, telah terjadi penurunan nilai dari impor mineral logam, namun impor mineral bukan logam dan batuan masih mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia masih membutuhkan hasil olahan mineral yang bahan bakunya telah dimiliki sejak lama. Realisasi impor produk pertambangan dalam periode tahun 2008 – 2012 dapat dilihat pada table 2.6 berikut: Tabel 2.6. Impor Produk Pertambangan, 2008-2012

Sumber: BPS (diolah Puska Daglu) Tindak lanjut dari UU Minerba kemungkinan besar akan memberikan peluang bagi pengusaha untuk mengimpor bahan mentah mineral jika ketersediaan smelter telah mencukupi di Indonesia. Hal ini disebabkan, pasokan bahan mentah kepada smelter harus tetap terjaga dan berlanjut agar nilai produksinya tidak terhenti dan tetap ekonomis. Pasalnya smelter memerlukan raw material yang tidak sedikit dan produksinya didalam pabrik tidak bisa terhenti. Jika smelter telah terbangun di dalam negeri, Indonesia akan menjadi pasar yang bagus untuk negara-negara penghasil tambang mineral sehingga Indonesia tidak perlu lagi mengimpor barang tambang olahan dari negara lain.

23

BAB III ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN PELARANGAN EKSPOR RAW MATERIAL TAMBANG DAN MINERAL Di Indonesia, industri pertambangan mineral logam dikuasai oleh investor asing dan BUMN seperti PT Freeport Indonesia, PT Newmont Nusa Tenggara, PT Inco Tbk, PT Koba Tin, PT Timah Tbk, PT Aneka Tambang Tbk, serta perusahaan swasta. Perusahaanperusahaan tersebut didirikan berdasarkan peraturan perundang-undangan Indonesia dalam bentuk badan hukum Indonesia. Dalam dokumen kontrak karya pertambangan, perusahaan pertambangan asing juga diwajibkan melepaskan saham kepemilikan. Akibat perbedaan kondisi geologi, terjadi perbedaan potensi endapan mineral yang menimbulkan perdagangan antar bangsa/wilayah. Contoh, endapan timah terkonsentrasi sepanjang jalur yang meliputi wilayah RRC, Vietnam, Thailand, Malaysia, menerus hingga kepulauan Riau dan Kepulauan Bangka-Belitung. Ladang minyak bumi raksasa dengan cadangan yang melebihi 1 miliar barel terkonsentrasi di Saudi Arabia, Irak, Kuwait, Iran, Rusia, RRC dan AS. Sedangkan Indonesia hanya memiliki satu lapangan minyak bumi raksasa di Minas. Cadangan mineralisasi emas, krom, tembaga, kadmium, nikel, mangan dan sebagainya terkonsentrasi di Afrika Selatan. Endapan kokas terkonsentrasi di Jerman, Polandia, Rusia, AS, dan Afrika Selatan. Hal ini terjadi karena daerah tersebut terletak di lempeng kontinen yang menyebabkan batubara mendapatkan tekanan, proses geologi berulang-ulang dan berumur jutaan tahun. Endapan emas epitermal dengan cadangan kecilkecil dan berkadar tinggi terkonsentrasi sepanjang jalur gunung api di kawasan Filipina, Indonesia, dan Jepang. Potensi emas aluvial terbesar ditemukan di Afrika Selatan yang berumur pra-Kambrium dan membentuk endapan konglomerat. Kondisi geologi Indonesia berbeda antara kawasan Barat dan Kawasan Timur. Kondisi geologi kawasan barat dicirikan dengan mineralisasi timah putih, mineralisasi Pb-Zn, dan porfiri Cu-Mo/Au. Sedangkan dikawasan timur dicirikan oleh nikel, kobalt, dan porfiri CuAu. Akibat negatif dari konsentrasi geologis, timbul konflik/peperangan. Perang Jerman24

Perancis (1760-1767), memperebutkan wilayah endapan batubara di wilayah Saarland, dimana batubara sangat diperlukan untuk menggerakkan industri di kedua negara setelah revolusi industri. Jepang dan Amerika Serikat memperebutkan ladang minyak dalam Perang Dunia II (1939-1945), di Asia Tenggara. Pendudukan Uni Sovyet di Afganistan (1979) dimaksudkan untuk kepentingan pembangunan jaringan pipa minyak ke tepi Samudera India. Perang Peru-Ekuador (Januari 1996) untuk merebut endapan emas di perbatasan. Ketegangan di Laut Cina Selatan, disebabkan potensi endapan minyak dan gasbumi di Kepulauan Spratley. Ketegangan Indonesia-Malaysia akibat penemuan endapan minyak bumi di Ambalat. Bila diperhatikan sejarah umat manusia, konsentrasi endapan mineral, batubara dan minyak telah menimbulkan penjajahan, terutama setelah revolusi industri. Akibat dari perbedaan konsentrasi geologi ini, menimbulkan perdagangan, investasi, dan industri pengolahan mineral. Pada tahun 1989, perdagangan komoditas mineral seluruh dunia mencapai US $ 141,894 miliar, dan meningkat tajam pada tahun 2006 mencapai US $ 637.410 miliar. Pada tahun 1998, nilai ekspor mineral Indonesia mencapai US $ 1,8 miliar, meningkat menjadi US $ 11,6 miliar pada tahun 2009 (Kompas 28 Desember 2009). Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara adalah bom waktu untuk Indonesia. UU ini mengatur penghiliran hasil tambang mineral dan batubara dan melarang ekspor bahan mentah tahun 2014. UU ini mengamanahkan pembangunan smelter sehingga produksi tambang dalam negeri dapat diproses sebelum diekspor. Tujuan UU Minerba sangatlah mulia: agar Indonesia bisa merasakan nilai tambah dari produk- produk tambang, mendongkrak produk domestik bruto, dan menyerap tenaga kerja. Berbeda dengan harapan awal, pasca-penetapan UU ini eksploitasi pertambangan justru melonjak tajam. Pemilik tambang berlomba menambang sebanyak-banyaknya sebelum dilarang. Akibatnya, produksi sejumlah komoditas tambang melonjak. Contohnya produksi bauksit tahun 2009 sebanyak 783.000 mt, tahun 2011 menjadi 17.634.000 mt, atau melonjak 2.150 persen. Hal serupa terjadi pada komoditas ore nikel, di mana produksi pada 2009 hanya 5.802.000 wmt, tapi tahun 2011 sudah 15.973.000, atau meningkat 175 25

persen (Kementerian ESDM, 2012). Untuk lebih jelasnya mengenai perkembangan beberapa produksi barang tambang dan mineral dalam periode tahun 1996-2011 dapat dilihat pada table berikkut. Tabel 3.1. Produksi Barang Tambang dan Mineral, 1996-2011 Batu Bara

Bauksit

Nikel

Emas

Perak

Granit

Pasir Besi

Konsentrat Tin

Konsentrat Tembaga

(ton)

(ton)

(ton)

(kg)

(kg)

(ton)

(ton)

(tonmetrik)

(tonmetrik)

1996

     50,332,047

         841,976

     3,426,867

           83,564

         255,404

     4,827,058

         425,101

          52,304

          1,758,910

1997

     55,982,040

         808,749

     2,829,936

           86,928

         249,392

     8,824,088

         516,403

          54,521

          1,817,880

1998

     58,504,660

     1,055,647

     2,736,640

         123,862

         383,191

     9,662,649

         509,978

          53,960

          2,640,040

1999

     62,108,239

     1,116,323

     2,798,449

         127,768

         361,377

     8,720,155

         502,198

          49,708

          2,645,180

2000

     67,105,675

     1,150,776

     2,434,585

         109,612

         310,430

     5,941,370

         420,418

          56,360

          3,270,335

2001

     71,072,961

     1,237,006

     2,473,825

         148,528

         333,561

     3,976,274

         440,648

          69,494

          2,418,110

2002

  105,539,301

     1,283,485

     2,120,582

         140,246

         281,903

     3,975,434

         190,946

          88,142

          2,851,190

2003

  113,525,813

     1,262,705

     2,499,728

         138,475

         272,050

     3,938,915

         245,911

          74,316

          3,238,306

2004

  128,479,707

     1,331,519

     2,105,957

           86,855

         255,053

     4,035,040

           79,635

          73,080

          2,812,664

2005

  149,665,233

     1,441,899

     3,790,896

         142,894

         326,993

     4,302,849

           87,940

          78,404

          3,553,808

2006

  162,294,657

     2,117,630

     3,869,883

         138,992

         270,624

     4,514,654

           84,954

          79,100

             817,796

2007

  188,663,068

     1,251,147

     7,112,870

         117,854

         268,967

     1,793,440

           84,371

          64,127

             796,899

2008

  178,930,188      1,152,322   228,806,887          935,211   325,325,793      2,200,000   415,765,068    24,714,940

     6,571,764            64,390          226,051      5,819,565          140,488          359,451      9,475,362          119,726          335,040    12,482,829            68,220          227,173

     2,050,000 na      2,172,080      3,316,813

     4,455,259      4,561,059      8,975,507    11,814,544

          79,210           56,602           97,796           89,600

             655,046              973,347              993,152           1,472,238

Tahun

2009 2010 2011

Sumber: BPS Pelaksanaan kebijakan pelarangan ekspor bahan mentah sudah di depan mata, tetapi Indonesia masih belum memiliki smelter memadai untuk mengimbangi produksi tambang. Tercatat setidaknya ada tiga komoditas yang akan defisit smelter pada tahun 2014, yaitu tembaga, bauksit, dan nikel. Produksi bauksit nasional pada 2011 mencapai 17,6 juta ton (Kementerian ESDM, 2012). Saat ini, Indonesia belum memiliki smelter bauksit. Rencana pembangunan sejumlah smelter bauksit, hingga 2014, hanya mampu menampung 7,1 juta ton. Gap antara produksi tambang dan kapasitas smelter 10,5 juta ton, dengan asumsi semua pembangunan smelter lancar . Komoditas nikel mengalami hal serupa. Pertambangan nikel Indonesia menghasilkan 15,9 juta ton nikel tahun 2011. Smelter nikel eksisting Indonesia memiliki kapasitas 9,03 juta ton. Sampai dengan tahun 2014, diperkirakan akan ada tambahan sejumlah smelter

26

baru, dengan kapasitas total 4,15 juta ton. Gap antara produksi tambang dan smelter pada tahun 2014 mencapai 2,72 juta ton. Untuk komoditas tembaga, produksi tembaga nasional tahun 2011 mencapai 20,2 juta ton, sedangkan smelter tembaga yang eksisting hanya mampu menampung 1 juta ton (Kementerian ESDM, 2012). Adapun rencana pembangunan sejumlah smelter tembaga hingga 2014 hanya menambah kapasitas smelter menjadi 1,2 juta ton. Setidaknya akan ada 18 juta ton tembaga yang tidak dapat diolah. 3.1. Dampak UU Minerba Implikasi dari minimnya smelter adalah banyak bahan mentah tambang yang tidak dapat dijual, pada akhirnya membuat pelaku tambang mengurangi kapasitas produksi atau bahkan menutup usahanya. Hal ini akan berdampak pada tiga hal. Pertama, berkurangnya penerimaan negara. Kedua, pengurangan tenaga kerja di sektor tambang, dan ketiga, semakin tergerusnya neraca perdagangan. Pertama, pendapatan pemerintah dari sektor pertambangan dapat berupa penerimaan pajak (PPh), penerimaan bukan pajak (royalti tambang), dan deadrent (sewa lahan). Penerimaan royalti sektor minerba mencapai Rp 13 triliun per tahun, sedangkan pajak dari sektor tambang dan galian Rp 55 triliun (Kementerian Keuangan, 2012). Penerimaan ini berpotensi anjlok jika produksi tambang minerba menurun. Kedua, berkurangnya produksi tambang akan berimplikasi terhadap pengurangan tenaga kerja. Saat ini pekerja sektor pertambangan dan galian mencapai 1,6 juta pekerja (BPS, 2012). Angka tersebut meningkat dibandingkan Januari 2009 yang hanya 1,1 juta, atau ada peningkatan 40 persen. Kenaikan ini disinyalir akibat peningkatan produksi tambang secara drastis yang membutuhkan banyak tenaga kerja. Dengan adanya larangan ekspor bahan mentah, para pekerja harus bersiap kehilangan pekerjaan. Pengurangan tenaga kerja juga akan terjadi pada perusahaan pendukung kegiatan tambang, seperti perkapalan dan alat berat. Ketiga, sektor pertambangan nonmigas (termasuk minerba) menyumbang 16,28 persen ekspor nasional (BI, 2012). Apabila ekspor bahan mentah menurun akibat larangan 27

ekspor, neraca perdagangan akan kian defisit. Hal ini akan berdampak terhadap kian lemahnya nilai tukar rupiah yang mendongkrak biaya impor. Tingginya biaya impor akan berpengaruh terhadap sejumlah produk yang masih mengandalkan komponen impor. UU Minerba sudah ditetapkan sejak 2009, tetapi hingga kini program penghiliran seperti jalan di tempat. Pemerintah belum berhasil menciptakan iklim usaha yang membuat investor tertarik membangun industri smelter di Indonesia. Berdasarkan data dari Kementerian ESDM, perusahaan yang sudah dikatakan siap dalam menghadapi UU Minerba ini hanya sebanyak 15 perusahaan. Sedangkan masih ada 97 perusahaan yang belum ada progres yang berarti.

Gambar 3.1. Rekapitulasi Progres Pembangunan Smelter Sumber: Kementerian ESDM Permasalah yang sering dihadapi oleh perusahaan dalam pembangunan smelter adalah birokrasi dan tata ruang. Pertama, birokrasi dan regulasi di Indonesia sering menghambat proses penghiliran. Perizinan yang rumit, pembebasan lahan, hingga tumpang tindih peraturan menjadi penghalang utama. Contohnya, aturan divestasi tambang menyebabkan pemilik tambang enggan membangun smelter. Aturan divestasi tambang memaksa pemilik tambang mendivestasikan sahamnya kepada pemerintah (pemda, BUMN, BUMD) dalam waktu 10 tahun. Apabila tambang terintegrasi dengan smelter tentunya investor rugi besar apabila smelter yang bernilai investasi besar turut didivestasikan. 28

Kedua, tata ruang. Investasi sering terkendala ketidakjelasan tata ruang. Masih ada tumpang tindih antara peta kehutanan, peta pertambangan, dan rencana tata ruang wilayah. Tumpang tindih ini, misalnya dengan kawasan lain, menjadi penyebab ketidakpastian. Ketiga, ketersediaan infrastruktur. Smelter membutuhkan infrastruktur penunjang seperti listrik untuk menjalankan pabrik, jalan untuk mengangkut bahan mentah dan hasil olahan, dan pelabuhan untuk mendistribusikan hasil produksi smelter. Kebutuhan infrastruktur tersebut gagal disediakan pemerintah. Masih banyak jalan rusak, pelabuhan yang tidak efisien, dan sulitnya mendapatkan akses listrik. Infrastruktur listrik di daerah yang memiliki potensi tambang sering memiliki rasio elektrifikasi rendah, seperti Sumatera Selatan sebesar 72,71 persen, Kalimantan Tengah 67 persen, Kalimantan Selatan 75 persen, dan Papua 29,25 persen. Smelter biasanya akan dibangun dekat dengan sumber tambang agar dapat menekan biaya transportasi. Dengan tingkat elektrifikasi rendah, investor akan berpikir dua kali sebelum membangun industri smelter. Selain dampak-dampak di atas, beberapa pelaku usaha pertambangan juga memperkirakan bahwa proyek smelter ini akan selesai pada tahun 2017. Potensi penerimaan negara dari sektor pertambangan yang hilang diperkirakan mencapai 7-8 miliar dollar AS, dan sekitar 30.000 orang akan kehilangan pekerjaan. Dana yang hilang tersebut sebenarnya dapat membangun pabrik “Sponge Iron” (Sponge Iron adalah produk dari pengolahan pasir besi maupun bijih besi) sebanyak 2000 unit dengan asumsi pembangunan pabrik dengan kapasitas 100 ton/hari berkisar Rp 40 milyar dengan lama pembangunan sekitar 6 bulan per pabrik. Jika seluruh pabrik didistribusikan ke seluruh provinsi di Indonesia, maka setiap provinsi akan memiliki 60 unit pabrik pengolahan. Kedua, jumlah tenaga kerja yang hilang akibat berhentinya sektor pertambangan sebanyak 30.000 orang di seluruh Indonesia. Dengan dibangunnya 2000 unit pabrik tersebut, maka akan diperlukan tenaga kerja langsung maupun tidak langsung sebanyak 100 orang/pabrik. Maka untuk keseluruhan akan dibutuhkan tenaga kerja sebanyak 200.000 orang, defisit 170.000 orang tenaga kerja. 29

Ketiga, dengan adanya 2000 unit pabrik tersebut dengan kapasitas 100 ton/hari/pabrik maka total akan dihasilkan sponge iron sebanyak 70 juta ton per tahun, sebanyak 10 juta ton untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri dengan harga berkisar 400 dollar AS/ton, sisanya sebanyak 60 juta ton bisa diekspor ke luar negeri karena sudah memenuhi syarat Peraturan Menteri ESDM dengan asumsi harga 400 dollar AS/ton maka akan didapat devisa sebesar 24 miliar dollar AS (Rp 240 Trilyun). 3.2. Strategi Jalan Keluar Pemerintah dan DPR hanya mempunyai dua opsi jalan keluar. Pertama, melakukan penundaan dari pelaksanaan pelarangan ekspor bahan mentah, yang berarti merevisi undang-undang. Kedua, menjalankan pelarangan ekspor dan menanggung segala biaya yang diakibatkannya. Opsi pertama merupakan jalan aman yang minim konflik, tetapi menunjukkan ketidaktegasan pemerintah. Jika opsi ini dijalankan tentu harus dimulai dari pembahasan revisi UU Minerba. Lalu, pemerintah harus memberlakukan bea keluar dan pajak yang besar bagi perusahaan yang melakukan ekspor bahan mentah sehingga menjadi disinsentif pengusaha tambang. Dengan adanya disinsentif tersebut diharapkan pengusaha tambang dapat mengerem tingkat produksinya hingga setidaknya mendekati level pada tahun 2009, dan mulai berinvestasi di bidang industri hilir. Selain itu, jika opsi ini dilakukan, pemerintah harus mengambil berbagai kebijakan yang mendukung munculnya industri hilir. Dengan demikian, meski ada penundaan, industri smelter tetap dibangun. Kebijakan yang diambil dapat berupa pembangunan smelter yang berbasis wilayah. Pemerintah menetapkan zona atau kawasan yang akan menjadi sentra industri hilir di beberapa lokasi dan membangun infrastruktur penunjang. Lalu, pemerintah melalui BKPM dapat menawarkan sentra-sentra tersebut kepada investor. Apabila opsi kedua diambil, Indonesia akan menghadapi guncangan ekonomi cukup besar. Oleh sebab itu, pemerintah diharapkan menyiapkan bantalan pengaman agar dampaknya dapat diminimalkan. 30

Bantalan tersebut dapat berupa jaminan sosial dan pelatihan bagi karyawan yang terkena PHK. Pilihan yang akan diambil sangat bergantung pada kepemimpinan dan integritas DPR dan pemerintah. Penghiliran merupakan proyek besar bangsa Indonesia, yang sayangnya masih dikerjakan setengah hati. Pemerintah masih setengah hati dalam menyediakan regulasi dan infrastruktur yang menunjang investor dalam membangun smelter. Sektor swasta masih setengah hati mengambil risiko dan sedikit berkorban untuk membangun smelter. Proyek sebesar ini sudah selayaknya dilaksanakan dengan sepenuh hati sehingga seluruh masyarakat Indonesia dapat merasakan dampak positif dari penghiliran ini. 3.3. Target Ekspor Tambang dan Mineral Kebijakan ini tentu saja menghasilkan dampak buruk dan baik di industri pertambangan. Dampak buruk itu akan terkena pada industri dengan skala kecil dan menengah. Industri ini akan segera gulung tikar karena tidak mempunyai modal untuk membangun smelter. Tidak terkecuali itu, perusahaan besar yang tidak mempunyai cukup modal untuk membangun smelter akan segera menutup perusahaannya. Langkah ini diambil untuk mengamankan posisi keuangan mereka, agar tidak rugi. Memang benar, mereka masih bisa menambang, tapi mereka tidak bisa menjualnya. Industri pengolahannya belum ada, sehingga mereka kesulitan untuk mengekspor atau menjual mineral mereka. Bila perusahaan tutup, maka yang akan terjadi adalah pemutusan hubungan kerja. Contoh kasusnya adalah seperti di Kepulauan Riau. Di kepulauan Riau ini ada sekitar 20-an usaha tambang bauksit yang menghentikan operasionalnya sementara dan merumahkan sekitar total 4000-an

karyawan dari 20 perusahaan tersebut

sambil menunggu

“perubahan” permen ini. Hal ini dilakukan karena meskipun produksi tetap diizinkan namun hasilnya mau dibawa kemana pasca larangan ekspor tersebut, karena belum ada satupun perusahaan pengolahan biji bauksit didalam negeri yang menampung hasil

31

tambang mereka. Bila perusahaan tutup dan banyak karyawan yang di PHK, maka APBD daerah tersebut akan berkurang. Kebijakan ini tentu saja mempunyai manfaat atau keuntungan sendiri. Penambahan nilai jual mineral tentu saja akan kita dapatkan. Contohnya seperti ini, harga nikel mentah setingkat 2000 dollar AS per ton. Setelah jadi ferro nikel, harganya jadi 17.000 dollar AS per ton sesuai LME. Meningkat pesat atau hampir sembilan kali lipat dari harga normal. Tentu saja keuntungannya akan lebih banyak lagi daripada kita hanya menjual raw material saja. Menambah tenaga kerja yang diserap dan peningkatan mutu sumberdaya manusia adalah manfaat sekundernya. Hal ini akan tercapai bila banyak pabrik pengolahan dan pemurnian mineral didirikan. Tentu saja banyak pekerja yang akan diserap dan membutuhkan tenaga ahli-tenaga ahli untuk menangani masalah-masalah dalam industri ini. Selain dua manfaat diatas, manfaat yang akan timbul lagi adalah terkontrolnya ekspor mineral. Tidak ada penjualan barang mentah ke luar negeri, atau tidak adanya penjualan tanah air kita begitu saja. Dengan adanya kebijakan penerapan Bea Keluar (BK) ekspor, maka dalam jangka pendek penjualan ore secara besar-besaran dapat ditekan sehingga berimplikasi terhadap perlambatan ekspor mineral tambang. Dari hasil perhitungan, pada tahun 2014, diproyeksikan ekspor total mineral dan tambang akan mengalami penurunan, namun akan meningkat pada tahun 2018 dan 2019. Hal ini disebabkan kesiapan perusahaan-perusahaan tambang dalam membangun smelter dalam upaya mengolah hasil ore tambang mineral. Estimasi pengurangan ekspor akibat dari diterapkannya kebijakan pelarangan ekspor raw material mineral tambang :

32

Tabel 3.2. Estimasi Ekspor Tambang Mineral

Sumber: Hasil Perhitungan Puska Daglu Ada beberapa skenario estimasi ekspor tambang dan mineral yaitu pertama skenario tanpa kewajiban hilirisasi sesuai UU No. 4 Tahun 2009 atau dengan kata lain ekspor ores tetap dilakukan dengan pertumbuhan ekspor seperti tahun 2008-2012 sebesar 10% per tahun maka estimasi ekspor ores akan terus bertambah tiap tahun dan tidak akan ada ekspor olahan. Pada skenario kedua (skenario pesimis) yaitu ekspor dengan kewajiban hilirisasi sesuai UU No. 4 Tahun 2009 dan pertumbuhan ekspor olahan sebesar 10% per tahun, apabila perusahaan yang mengajukan ijin smelter dapat beroperasi, maka di tahun 2014 ekspor ores akan berkurang sebesar USD 7,13 miliar dan pengurangan tersebut semakin membesar tiap tahun. Dengan kata lain, ekspor olahan mineral akan bertambah sebesar USD 1,57 miliar pada tahun 2014 dan akan terus meningkat sebesar USD 2,31 miliar pada tahun 2018. Sementara dengan skenario ketiga (skenario optimis) yaitu ekspor dengan kewajiban hilirisasi sesuai UU No. 4 Tahun 2009 dan pertumbuhan ekspor olahan sebesar 25% per tahun, maka akan meningkatkan ekspor mineral tambang olahan mencapai USD 1,97 miliar di tahun 2014 dan akan terus bertambah sebesar USD 9,84 miliar 33

di tahun 2018. Sehingga kehilangan ekspor akibat kebijakan pelarangan ekspor raw mineral tambang mencapai USD 0,59 miliar di tahun 2018. Diharapkan perusahaan smelter tambang akan berkembang lebih baik dengan peningkatan kapasitas 25% per tahun, sehingga kehilangan ekspor raw mineral tambang dapat ditutupi pada tahun 2019 pada opsi optimis. 3.4. Hasil Survei Survei dilakukan di Provinsi Banten karena sebagian besar industri pengolahan tambang dan mineral berada di wilayah tersebut. Selain itu, kajian ini juga menggali informasi dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Banten. Hasil survei tersebut antara lain: 1. PT. Krakatau Posco PT. Krakatau Posco yang berstatus PMA dengan rencana hasil produksinya berupa Sleb dan Plat ini telah siap beroperasi di tahun 2014. Progres kesiapan fasilitas pengolahan dan pemurnian perusahaan ini hingga bulan Oktober tahun i2013 telah mencapai 98% dan diperkirakan pada tanggal 23 Desember 2013 akan mencapai 100% . Perusahaan yang akan memproduksi Sleb dan Plat ini memiliki kapasitas produksi sebesar 3 Juta ton dengan rincian sebanyak 1 Juta ton akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku ke Krakatau Stel, 2,5 Juta ton akan diproduksi menjadi Plat dan 500 ribu lagi akan di ekspor ke Asia Tenggara. Terkait dengan kebijakan pelarangan ekspor raw material tambang dan mineral sebagaimana tertuang didalam UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang akan berlaku efektif bulan Januari 2014, perusahaan ini telah menyatakan kesiapanya untuk menyongsong pelaksanaan kebijakan dimaksud. ` 2. PT. Indo Ferro Perusahaan yang menghasilkan Nikel Pig Iron , ini berstatus PMA dan berdiri mulai tahun 2008 dengan jumlah tenaga kerjanya sebanyak 1.200 orang. Adapun kapasitas 34

produksi perusahaan ini mencapai 1 Juta ton dan realisasinya berkisar 500.000 ton. Dalam menghadapi pelaksanaan kebijakan pelarangan ekspor raw material sebagaimana tertuang di dalam UU No . 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang akan dilaksanakan pada bulana Januari 2014, perusahaan ini telah menyatakan kesipanya (100%) dan sangat optimis dengan harapan pelksanaan kebijakan tersebut jangan sampai ditunda-tunda lagi. Hasil produksi yang berupa Nikel Pig Iron sebesar 50% diperuntukan untuk memenuhi kebutuhan industry dalam negeri dan 50% lagi adalah untuk di ekspordengan tujuan India dan Taiwan. 3. PT.Century Metalindo PT. Century Metalindo yang berdiri pada tahun 2009 ini berstatus sebagai perusahaan status PMA dengan jumlah tenaga kerjanya sebanyak 200 orang. Produk yang dihasilkan adalah berupa Silika Mangan dengan bahan bakunya berupa batu mangan, batu silika dan kapur yang didatangkan dari Sumatera, Nusa Tenggara Timur dan sebagian dari Jawa Timur. Kapasitas produksi Silika Mangan dari perusahaan ini mencapai 2500 ton per bulan. Hasil produksi dari perusahaan ini sebesar 50% di jual ke pabrik baja Krakatau Stel dan 50% nya lagi di ekspor ke Jepang. Berkaitan dengan akan diberlakukan pelarangan ekspor raw material tambang dan mineral sebagaimana tertuang didalam UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang akan dilaksanakan pada bulan Januari 2014, perusahaan ini telah menyatakan kesiapanya dan memberi masukan agar pelaksanaan kebijakan ini jangan sampai ditunda lagi hanya karena adanya lobi-lobi perusahaan yang tidak bertanggung jawab. Bahkan perusahaan menyatakan kesiapanya sebagai konsultan bagi perusahaan-perusahaan yang bergerak dibidang mineral tambang yang akan membangun sebuah smelter (pengolahan dan pemurnian) mineral tambang.

35

4. Disperindag Banten Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh salah satu pejabat di Disperindag Banten terkait akan diterapkanya pelarangan ekspor raw material tambang dan mineral sebagaimana tertuang didalam UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara pada bulan Januari 2014, dimana jumlah perusahaan yang bergerak dibidang pengolahan tambang dan mineral di wilayah propinsi Banten sekitar 6 perusahaan. Dari ke 6 perusahaan tersebut, sampai saat ini sebagian besar (67%) telah melakukan pembangunan fisik smelter dan sisanya (33%) dalam taraf penyelesaian akhir pembangunan smelter hingga bulan Desember 2013 dan menyatakan kesiapanya untuk dioperasikan pada bulan Januari 2014 5. Kesimpulan: Berdasarkan hasil wawancara dilapangan terhadap beberapa perusahaan yang bergerak dibidang tambang dan mineral (PT. Krakatau Posco, PT. Indo Ferro dan PT.Century Metalindo) diwilayah Propinsi Banten terkait dengan akan diberlakukan kebijakan pelarangan ekspor raw material tambang dan mineral pada bulan Januari 2014 sebagaimana tertuang didalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dapat digaris bawahi bahwa sebagian besar perusahaan-perusahaan pengolahan dan pemurnian tambang dan mineral telah menyatakan kesiapanya untuk menyongsong pelaksanaan kebijakan tersebut di tahun 2014. Diharapkan pelaksanaan kebijakan tersebut, jangan sampai ditunda-tunda lagi hanya karena memperhatikan lobi-lobi dari para pemilik perusahaan tambang dan mineral yang tidak bertanggung jawab, bahkan perlu pemberian sanksi bagi perusahaan yang melanggar aturan seperti pencabutan Ijin Usaha Pertambanganya

36

BAB IV PENUTUP 4.1. Simpulan 1. Dengan skenario pertama, apabila ke 9 perusahaan yang mengajukan ijin smelter dapat beroperasi di tahun 2014, maka ekspor ores atau raw material akan terus meningkat tiap tahun sebesar USD 7,13 miliar di tahun 2014 dan dapat menjadi USD 10,44 miliar pada tahun 2018. Selain itu, tidak akan ada ekspor untuk olahan mineral. 2. Dengan skenario pesimis, ke 9 perusahaan yang mengajukan ijin smelter diasumsikan beroperasi tahun 2014, maka akan meningkatkan ekspor olahan mineral tambang USD 1,57 miliar (kapasitas 10%), sehingga kehilangan ekspor akibat kebijakan pelarangan ekspor raw mineral tambang USD 5,55 miliar. 3. Dengan skenario optimis, ke 9 perusahaan yang mengajukan ijin smelter dapat beroperasi di tahun 2014 dengan kapasitas 25% (USD 1,97 miliar), sehingga kehilangan ekspor akibat kebijakan pelarangan ekspor raw mineral tambang USD 5,16 miliar. Dengan asumsi terjadi peningkatan kapasitas 25% per tahun, maka kehilangan ekspor raw mineral tambang dapat ditutupi pada tahun 2019 (optimis). 4.2 Rekomendasi 1. Untuk meningkatkan nilai tambah produk tambang dan mineral dalam rangka peningkatan ekspor, perlu adanya kebijakan terpadu berupa SK bersama antar Kementerian teknis terkait guna menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi investor, mendorong ketersediaan energi untuk dapat memenuhi kebutuhan industri khususnya bagi industry pengolahan dan pemurnian tambang dan mineral serta menyiapkan infrastruktur yang memadahi. 2. Perlu dukungan fasilitas yaitu kemudahan perizinan dan insentif berupa pajak bagi pelaku usaha Smelter untuk dapat segera menyelesaikan progres kesiapan pembangunan pengolahan dan pemurnian tambang dan mineral. 37

DAFTAR PUSTAKA Gocht, WR., Zantop,H., Eggert, RG., 1988, International Mineral Economic, Mineral Exploration, Mine Valuation, Mineral Markets, International Mineral Policies, Springer Verlag Berlin Heidelberg. http : //www. Smelting.co.id, 2009, PT Smelting Gresik Copper Smelter and Refinary. Katili, J.A., 1979, Peranan pemerintah dalam manajemen sumber mineral, Majalah Survei dan Pemetaan No. 13/IV/1979. Sarno Harjanto, 1996, Potensi dan prospek beberepa jenis bahan galian industri di Indonesia, Direktorat Sumber Daya Mineral Bandung. Silitoe, R.H., 1994, Indonesian minerals deposits-introductory comments, camparisons and speculation, Journal of Geochemical Exploration, Volume 50-NOS.1-3 March 1994, Elsevier. US Geological Survey, 2008, Mineral Commodity Summaries 2008, United Government Printing Washington Van Leeuwen, T.M., 1994, 25 Years of minerals exploration and discovery in Indonesia, Journal of Geochemical Exploration, Volume 50-NOS.1-3 March 1994, Elsevier.

38