DAMPAK PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KETIMPANGAN DI KAWASAN PERBATASAN DARAT INDONESIA
BAYU AGUNG PRASETYO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Dampak Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan di Kawasan Perbatasan Darat Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2013 Bayu Agung Prasetyo NRP H151114084
RINGKASAN BAYU AGUNG PRASETYO. Dampak Pembangunan Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan di Kawasan Perbatasan Darat Indonesia. Dibimbing oleh DS PRIYARSONO dan SRI MULATSIH. Perbatasan Indonesia, khususnya perbatasan darat, mempunyai banyak masalah, mulai dari keamanan, sosial, dan ekonomi. Permasalahan-permasalahan tersebut membuat pengelolaan kawasan perbatasan berbeda dengan kawasan lainnya. Panjangnya garis perbatasan darat Indonesia dan terbatasnya sumber daya pertahanan keamanan, membuat penjagaan kawasan perbatasan harus dilakukan oleh seluruh masyarakat di kawasan perbatasan darat. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, terutama pertahanan dan keamanan, maka pendekatan pembangunan pada kawasan perbatasan darat tidak hanya harus dilakukan dari sisi pertahanan keamanan tapi juga dari sisi kesejahteraan masyarakat. Tujuan jangka panjang pembangunan bukan hanya terjadinya pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun juga terjadinya penyebaran hasil-hasil pembangunan baik antar wilayah maupun individu sehingga akan menurunkan ketimpangan. Pembangunan infrastruktur diyakini mampu meningkatkan pendapatan masyarakat, yang akhirnya akan mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi. Pemilihan pembangunan infrastruktur yang tepat akan lebih mempercepat terjadinya akselerasi ekonomi, terutama di kawasan perbatasan darat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa dampak dari infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pada kawasan perbatasan darat Indonesia. Dengan menggunakan analisis data panel statis dan estimasi 2SLS, menunjukkan bahwa di kawasan perbatasan darat pembangunan infrastruktur sosial, seperti pendidikan dan kesehatan, lebih mempunyai peran dalam meningkatkan pendapatan per kapita. Selain itu fasilitas telekomunikasi juga mempunyai peran yang signifikan dalam peningkatan pendapatan per kapita. Infrastruktur juga mempengaruhi kenaikan ketimpangan pendapatan di kawasan perbatasan darat, namun pengaruhnya secara tidak langsung yaitu melalui peningkatan pendapatan per kapita. Terkait dengan itu maka pembangunan infrastruktur sosial hendaknya menjadi prioritas utama di kawasan perbatasan darat. Untuk mendorong pemanfaatan infrastruktur sosial sehingga mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, maka program wajib belajar 12 tahun dan memfungsikan puskesmas sebagai puskesmas 24 jam dan puskesmas rawat inap sudah selayaknya dijalankan di kawasan perbatasan darat. Kata kunci: perbatasan darat, infrastruktur, pertumbuhan, ketimpangan
SUMMARY BAYU AGUNG PRASETYO. Impact of Infrastructure Development on Economy Growth and Inequality in Indonesia Land Borders. Supervised by DS PRIYARSONO and SRI MULATSIH. Indonesia borders, especially land borders, have complicated problems. That is security, social, and economic ones. The problems make the management of land borders different from that of other regions. The length of Indonesia land borders and limited defense resources makes the guarding it must be done by community around that area. For solving the problems so development approach including for land borders not only from security side but also from welfare side. The goal of long term development not only high growth but also to spread the result of development over region and individuals, with the result that reduce inequality. Infrastructure development is believe can increasing society income then can push teh economic growth. Choosing the right infrastructure development can boost economic, especially in land borders. The purpose of this study is to analyze the impacts of infrastructure on economic growth and inequality in Indonesia land borders. Using static panel data and two stage least square (2SLS) estimation method, this study shows that development of social infrastructure can raise per capita income. The social infrastructures investigated are number of high schools and number of healthy facilities. Telecommunication facility can also raise per capita income. The income inequality is positively influenced by income per capita growth and industry sector laborer. Infrastructures have indirect relation with income inequality, that is by raising income per capita. Concerned with that, development of social infrastructure should be priority in the land borders area. To encourage use of social infrastructure, so can improve economy growth, then 12-year compulsory education program and improve health facility, puskesmas, become inpatient and 24-hour clinic must be implementing in land borders area. Keywords: land borders, infrastructure, growth, inequality
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
DAMPAK PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KETIMPANGAN DI KAWASAN PERBATASAN DARAT INDONESIA
BAYU AGUNG PRASETYO
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si.
Judul
Nama
NIM
Tesis : Dampak Pembangunan Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan di Kawasan Perbatasan Darat Indonesia : Bayu Agung Prasetyo : Hl5l114084
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr. I{. D.S. Priyarsgqo. MS. Ketua
Dr..
Ir.,Sri Mqlatsih. M.$c.Agr. Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahnrl Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian: 26 Agustus 2013
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2013 ini ialah infrastruktur, dengan judul Dampak Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan di Kawasan Perbatasan Darat. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. D.S. Priyarsono, MS. dan Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr selaku pembimbing, serta Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si. dan Dr. Alla Asmara, S.Pt., M.Si. yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Kepala BPS Kabupaten Paser, staf-staf dari Perpustakaan Badan Pusat Statistik, rekan-rekan di BPS Propinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Papua, dan Nusa Tenggara Timur, serta rekan-rekan kelas program pascasarjana Ilmu Ekonomi kelas BPS Batch 4, yang telah membantu baik pada waktu pengumpulan data dan waktu penyusunan penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orangtua, istri, anak serta seluruh keluarga, atas segala dukungan, doa, dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2013 Bayu Agung Prasetyo
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR LAMPIRAN
xii
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Hipotesis Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
1 1 6 7 7 7
2 TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Ekonomi Infrastruktur Infrastruktur dan Pertumbuhan Ekonomi Infrastruktur dan Ketimpangan Kawasan Perbatasan Penelitian Terdahulu Kerangka Pemikiran
8 8 12 12 13 15 16 17
3 METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Metode Analisis Data Analisis Deskriptif Analisis Regresi Data Panel Statis Pemilihan Model Data Panel Statis Estimasi 2SLS Uji Asumsi Evaluasi Model Spesifikasi Model
18 18 19 19 19 22 23 24 25 26
4 GAMBARAN UMUM KAWASAN PERBATASAN DARAT Kawasan Perbatasan Darat Kalimantan Kawasan Perbatasan Darat Nusa Tenggara Timur Kawasan Perbatasan Darat Papua Ketimpangan
27 27 34 40 46
5 HASIL DAN PEMBAHASAN Dampak Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi Dampak Infrastruktur terhadap Ketimpangan
48 48 51
6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
52 52 53
DAFTAR PUSTAKA
54
LAMPIRAN
56
DAFTAR TABEL 3.1 Kerangka identifikasi autokorelasi 5.1 Hasil estimasi model pertumbuhan 5.2 Hasil estimasi model ketimpangan
25 49 52
DAFTAR GAMBAR Persentase penduduk miskin kawasan perbatasan darat tahun 2011 Pendapatan per kapita kawasan perbatasan darat tahun 2011 Laju pertumbuhan ekonomi kawasan perbatasan darat tahun 2011 Rasio panjang jalan kawasan perbatasan darat tahun 2007-2011 Rasio sarana kesehatan di kawasan perbatasan darat tahun 2011 Rata-rata gini rasio di kawasan perbatasan darat tahun 2007-2011 Kurva Lorenz Kurva U-terbalik Kerangka pemikiran Kawasan perbatasan darat di Kalimantan Kepadatan penduduk di kawasan perbatasan darat Kalimantan PDRB per kapita riil di kawasan perbatasan darat Kalimantan tahun 2011 4.4 PDRB riil di kawasan perbatasan darat Kalimantan 4.5 Rasio panjang jalan baik dan sedang di kawasan perbatasan darat Kalimantan tahun 2011 4.6 Rumah tangga yang mengakses air bersih untuk air minum di kawasan perbatasan darat Kalimantan tahun 2011 4.7 Rumah tangga yang mengakses listrik di kawasan perbatasan darat Kalimantan tahun 2011 4.8 Persentase pemakaian telpon seluler di kawasan perbatasan darat Kalimantan 4.9 Jumlah SMU sederajat di kawasan perbatasan darat Kalimantan 4.10 Sarana kesehatan di kawasan perbatasan darat Kalimantan 4.11 Kawasan perbatasan darat NTT 4.12 Kepadatan penduduk di kawasan perbatasan darat NTT tahun 2011 4.13 PDRB per kapita riil di kawasan perbatasan darat NTT tahun 2011 4.14 PDRB riil di kawasan perbatasan darat NTT 4.15 Perkembangan rasio panjang jalan terhadap luas wilayah di kawasan perbatasan darat NTT 4.16 Rumah tangga yang mengakses air bersih untuk air minum di kawasan perbatasan darat NTT tahun 2011 4.17 Perkembangan akses listrik di kawasan perbatasan darat NTT 4.18 Persentase pemakaian telepon seluler di kawasan perbatasan darat NTT 4.19 Jumlah SMU sederajat di kawasan perbatasan darat NTT 4.20 Sarana kesehatan di kawasan perbatasan darat NTT 4.21 Kawasan perbatasan darat di Papua 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 2.1 2.2 2.3 4.1 4.2 4.3
3 3 4 5 5 6 13 14 18 27 28 29 29 30 31 32 32 33 33 34 35 35 36 37 37 38 38 39 39 40
4.22 Kepadatan penduduk di kawasan perbatasan darat Papua tahun 2011 4.23 PDRB per kapita riil di kawasan perbatasan darat Papua tahun 2011 4.24 PDRB riil di kawasan perbatasan darat Papua 4.25 Perkembangan rasio panjang jalan terhadap luas wilayah di kawasan perbatasan darat Papua 4.26 Rumah tangga yang mengakses air bersih untuk air minum di kawasan perbatasan darat Papua tahun 2011 4.27 Perkembangan akses listrik di kawasan perbatasan darat Papua 4.28 Persentase pemakaian telepon seluler di kawasan perbatasan darat Papua 4.29 Jumlah SMU sederajat di kawasan perbatasan darat Papua 4.30 Sarana kesehatan di kawasan perbatasan darat Papua 4.31 Perkembangan ketimpangan pendapatan penduduk di kawasan perbatasan darat Propinsi Kalimantan Barat 4.32 Perkembangan ketimpangan pendapatan penduduk di kawasan perbatasan darat Propinsi Kalimantan Timur dan Utara 4.33 Perkembangan ketimpangan pendapatan penduduk di kawasan perbatasan darat Propinsi NTT 4.34 Perkembangan ketimpangan pendapatan penduduk di kawasan perbatasan darat Propinsi Papua
41 41 42 42 43 43 44 45 45 46 47 47 48
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6
PDRB per kapita riil kawasan perbatasan darat (rupiah) Gini rasio kawasan perbatasan darat Hasil uji Hausman Hasil estimasi model pertumbuhan Hasil estimasi model ketimpangan Hasil uji normalitas
56 57 58 59 60 61
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multi dimensional yang meliputi berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Pada hakekatnya, pembangunan harus mencerminkan perubahan total suatu masyarakat untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang serba lebih baik, secara material maupun spiritual (Todaro dan Smith 2006). Pembangunan merupakan suatu jalinan dari masalah sosial, ekonomi, politik, administrasi, dan sebagainya yang saling berpengaruh dan saling berkaitan, sehingga pemecahan masalah pembangunan dengan pendekatan yang bercorak multi disiplin (Sukirno 1985). Pada umumnya pembangunan nasional difokuskan pada pembangunan ekonomi melalui usaha pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan proses peningkatan produksi barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi masyarakat yang ditunjukkan oleh besaran Produk Domestik Bruto (PDB). Peningkatan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, yang melebihi tingkat pertumbuhan penduduk akan meningkatkan pendapatan per kapita yang diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan penduduk. Visi pembangunan nasional Indonesia tahun 2005-2025 adalah Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur. Untuk mewujudkan visi tersebut terdapat delapan misi pembangunan nasional yaitu: 1. Mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila, 2. Mewujudkan bangsa yang berdaya saing, 3. Mewujudkan masyarakat demokratis berlandaskan hukum, 4. Mewujudkan Indonesia aman, damai, dan bersatu, 5. Mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan, 6. Mewujudkan Indonesia asri dan lestari, 7. Mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional, 8. Mewujudkan Indonesia berperan penting dalam pergaulan dunia internasional. Strategi untuk melaksanakan visi dan misi tersebut dijabarkan secara bertahap dalam periode lima tahunan atau sering disebut Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Saat ini pembangunan Indonesia sudah memasuki tahapan RPJM ke 2, yaitu dari kurun waktu 2010-2014. Fokus RPJM ke 2 ditujukan untuk lebih memantapkan penataan kembali Indonesia di segala bidang dengan menekankan pada upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia termasuk pengembangan kemampuan iptek serta penguatan daya saing perekonomian. Apabila dilihat dari kedelapan misi tersebut, pada RPJM ke 2 ini searah dengan misi untuk mewujudkan bangsa yang berdaya saing yaitu dengan mengedepankan pembangunan sumber daya manusia berkualitas dan berdaya saing, meningkatkan penguasaan dan pemanfaatan iptek melalui penelitian, pengembangan, dan penerapan menuju inovasi yang berkelanjutan, membangun
2 infrastruktur yang maju, reformasi di bidang hukum dan aparatur negara serta memperkuat perekonomian domestik berbasis keunggulan setiap wilayah menuju keunggulan kompetitif dengan membangun keterkaitan sistem produksi, distribusi, dan pelayanan termasuk pelayanan jasa dalam negeri (Bappenas 2010). Salah satu sumber daya saing adalah tersedianya infrastruktur yang lebih baik. Infrastruktur akan menaikkan produktivitas dan meningkatkan keterjangkauan, mengurangi biaya yang dikeluarkan sehingga akan berdampak positif pada pembangunan lokal. Infrastruktur yang memadai juga akan memungkinkan diversifikasi produksi, pengembangan perdagangan, pemerataan pembangunan, pengentasan kemiskinan, dan peningkatan kualitas hidup secara umum. Kegagalan dalam penyediaan infrastruktur yang memadai akan menahan laju pertumbuhan dan menghambat pemerataan hasil-hasil pembangunan kepada seluruh lapisan masyarakat. Pembangunan kawasan perbatasan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, karena kawasan perbatasan mempunyai nilai strategis dalam mendukung keberhasilan pembangunan nasional. Dalam Undangundang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) dinyatakan bahwa bentuk program prioritas pengembangan daerah perbatasan bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup, kesejahteraan masyarakat, serta memantapkan ketertiban dan keamanan daerah yang berbatasan dengan negara lain, maka pembangunan perbatasan perlu mendapatkan perhatian khusus dan menjadi prioritas utama. Program prioritas ini dijabarkan lagi dalam Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta) yang disusun setiap tahun dan bertujuan untuk menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) serta menjadikan kawasan perbatasan sebagai beranda depan negara melalui pengamanan kawasan perbatasan dan pembangunan sosial ekonomi kawasan perbatasan. Pengembangan kawasan perbatasan dilakukan dengan mengubah arah kebijakan pembangunan yang selama ini cenderung berorientasi ke dalam (inward looking) yang memandang kawasan perbatasan sebagai wilayah pertahanan, menjadi berorientasi keluar (outward looking), yang didalamnya fungsi kawasan perbatasan di samping sebagai wilayah pertahanan juga untuk meningkatkan aktivitas perekonomian masyarakat dan sebagai pintu gerbang perdagangan dengan negara tetangga. Dengan demikian, pendekatan pembangunan yang dilakukan, selain menggunakan pendekatan yang bersifat keamanan, juga diperlukan pendekatan kesejahteraan. Kawasan perbatasan terdiri dari 64 kabupaten/kota dengan 16 kabupaten/kota merupakan kawasan perbatasan darat, yaitu 5 kabupaten di Propinsi Kalimantan Barat, 3 kabupaten di Propinsi Kalimantan Timur dan Utara, 4 kabupaten dan 1 kota di Propinsi Papua serta 3 kabupaten di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan total panjang perbatasan darat 2374.9 km. Dari 16 kabupaten/kota tersebut, hanya Kota Jayapura yang bukan termasuk daerah tertinggal, sedangkan 15 kabupaten/kota lainnya, atau sebesar 93.75%, merupakan daerah tertinggal. Kawasan perbatasan darat Indonesia mempunyai beberapa permasalahan antara lain pertahanan, keamanan, penegakan hukum, perekonomian wilayah, kesejahteraan, sarana prasarana, kelembagaan, dan pengelolaan sumber daya alam (Bappenas 2010). Permasalahan kesejahteraan dan perekonomian dapat terlihat
3 dari beberapa indikator, antara lain tingkat kemiskinan, pendapatan per kapita, dan pertumbuhan ekonomi.
: Indonesia
Gambar 1.1 Persentase penduduk miskin kawasan perbatasan darat tahun 2011 Kondisi kemiskinan pada kawasan perbatasan darat masih terdapat 9 kabupaten/kota yang persentase penduduk miskinnya lebih tinggi daripada persentase penduduk miskin Indonesia (12.49%) dan hanya terdapat 7 kabupaten yang persentase penduduk miskinnya dibawah 10%, yaitu Kabupaten Sambas, Bengkayang, Sanggau, Sintang, Kapuas Hulu, Kutai Barat, dan Nunukan. Kondisi kemiskinan yang parah terjadi di kabupaten/kota yang berada di Propinsi Papua dan NTT dengan persentase penduduk miskinnya jauh diatas angka nasional (Gambar 1.1).
: Indonesia
Gambar 1.2 Pendapatan per kapita kawasan perbatasan darat tahun 2011
4 Pendapatan per kapita, yang didekati dengan PDRB per kapita, kabupaten/kota kawasan perbatasan darat masih dibawah pendapatan per kapita Indonesia, yaitu sebanyak 12 kabupaten (Gambar 1.2) atau sebesar 75% dari semua kabupaten/kota di kawasan perbatasan darat. Pada tahun 2011 pendapatan per kapita Indonesia atas dasar harga berlaku sebesar 30.8 juta rupiah, sedangkan pada kawasan perbatasan darat hanya terdapat 4 kabupaten/kota yang mempunyai pendapatan per kapita diatas besaran nasional, yaitu Kabupaten Kutai Barat, Malinau, Nunukan, dan Kota Jayapura. Di lain sisi terdapat 4 kabupaten yang nilai pendapatan per kapitanya dibawah 10 juta rupiah per tahun.
: Indonesia
Gambar 1.3 Laju pertumbuhan ekonomi kawasan perbatasan darat tahun 2011 Untuk mengejar ketertinggalan pembangunan kawasan perbatasan darat dengan kawasan lainnya di Indonesia, dibutuhkan laju pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan kabupaten/kota diluar kawasan perbatasan darat. Pada tahun 2011 terdapat 8 kabupaten/kota (Gambar 1.3), atau sebesar 50%, yang laju pertumbuhan ekonominya diatas laju pertumbuhan ekonomi Indonesia (6.5%). Namun walaupun pertumbuhan ekonominya tinggi, seperti Kabupaten Pegunungan Bintang, tingkat kemiskinannya tetap tinggi dan pendapatan per kapitanya rendah. Permasalahan sarana prasarana di kawasan perbatasan darat terdiri dari keterbatasan jumlah pos lintas batas, aksesibilitas perhubungan yang belum memadai, sarana komunikasi dan informasi masih terbatas, dan pelayanan sosial dasar yang masih terbatas (Bappenas 2010). Kondisi sarana prasarana tersebut terlihat antara lain dari rasio panjang jalan kondisi baik dan sedang terhadap luas wilayah dan rasio jumlah sarana kesehatan, yaitu puskesmas, puskesmas pembantu, dan puskesmas keliling. Rasio panjang jalan terhadap luas wilayah di kawasan perbatasan darat dari tahun 2007 sampai 2011 secara umum masih dibawah 1. Rasio yang tertinggi pada tahun 2011 di Kabupaten Timor Tengah Utara, sedangkan terendah di
5 Kabupaten Pegunungan Bintang. Kenaikan rasio panjang jalan tertinggi ada di Kabupaten Bengkayang (Gambar 1.4).
Gambar 1.4 Rasio panjang jalan kawasan perbatasan darat tahun 2007-2011 Kondisi infrastruktur sosial juga tidak terlalu berbeda dengan infrastruktur jalan. Rasio sarana kesehatan, yang didekati dengan jumlah puskesmas, puskesmas pembantu, dan puskesmas keliling, di kawasan perbatasan darat Indonesia pada tahun 2011 secara umum masih dibawah 1 puskesmas per 1000 penduduk, kecuali Kabupaten Malinau, Merauke, Boven Digoel, Keerom, dan Kupang (Gambar 1.5).
Gambar 1.5 Rasio sarana kesehatan di kawasan perbatasan darat tahun 2011
6 Permasalahan pertahanan, keamanan, dan penegakan hukum antara lain belum disepakatinya beberapa segmen batas negara sehingga terdapat potensi konflik teritorial dengan negara tetangga yang mengancam kedaulatan wilayah dan menimbulkan kerancuan dalam pemanfaatan sumber daya alam, keterbatasan jumlah pos lintas batas dan personel yang menjaga perbatasan membuat pengawasan daerah perbatasan menjadi lemah. Hal tersebut membuat kawasan perbatasan darat menjadi kawasan yang rawan terhadap pencurian kayu, illegal logging, penyelundupan, perdagangan manusia, dan pemindahan patok tapal batas. Keterbatasan kawasan perbatasan darat juga mengakibatkan timbulnya keinginan dari beberapa masyarakat untuk melepaskan diri dari NKRI. Banyaknya permasalahan kawasan perbatasan darat membuat pengelolaan kawasan perbatasan darat harus lebih spesifik dibandingkan kawasan lainnya. Permasalahan lain yang muncul di perbatasan darat adalah terjadinya ketimpangan pendapatan yang semakin meningkat. Secara rata-rata dari 16 kabupaten/kota di kawasan perbatasan darat terjadi kenaikan ketimpangan pendapatan dari tahun 2007 (0.26) ke tahun 2011 (0.33) (Gambar 1.6).
Gambar 1.6 Rata-rata gini rasio di kawasan perbatasan darat tahun 2007-2011
Perumusan Masalah Permasalahan-permasalahan yang timbul di kawasan perbatasan darat membuat pengelolaan kawasan perbatasan darat menjadi lebih spesifik dibandingkan kawasan lainnya. Masalah pertahanan keamanan tidak bisa hanya dibebankan kepada aparat angkatan bersenjata, karena adanya keterbatasan sumber daya dan panjangnya garis perbatasan negara. Bahkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Indonesia menduga maraknya pemakaian senjata illegal dalam kejahatan karena kurangnya pengawasan di kawasan perbatasan, sehingga penyelundupan dapat dengan mudah terjadi. Untuk mengatasi permasalahan pertahanan keamanan tersebut diharapkan
7 peran aktif dari masyarakat kawasan perbatasan, sehingga kekurangan sumber daya aparat keamanan dapat tertutupi dengan adanya kesadaran masyarakat untuk menjaga wilayahnya. Peran aktif tersebut akan sulit terwujud apabila kesejahteraan masyarakat tidak diperbaiki terlebih dahulu. Oleh karena itu pendekatan pembangunan di kawasan perbatasan darat memadukan antara pendekatan pertahanan keamanan dan sosial ekonomi. Peningkatan kesejahteraan tersebut sulit terwujud apabila akses masyarakat tidak diperhatikan, sehingga pembangunan infrastruktur merupakan tahap awal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan infrastruktur yang tepat dan sesuai karakter kawasan perbatasan darat akan berdampak pada percepatan laju pertumbuhan ekonomi dan berujung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Selama ini kabupaten/kota di kawasan perbatasan darat lebih banyak mengalokasikan anggarannya untuk pembangunan jalan, jembatan, dan bandara. Namun apakah pembangunan infrastruktur tersebut berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi kawasan perbatasan darat? Atau jenis infrastruktur lain yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan? Dan dalam jangka panjang mampu mengurangi ketimpangan pendapatan yang terjadi. Oleh karena itu dilakukan penelitian untuk menjawab pertanyaan berikut : 1. Bagaimana dampak pembangunan infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi di kawasan perbatasan darat Indonesia? 2. Bagaimana dampak pembangunan infrastruktur terhadap ketimpangan di kawasan perbatasan darat Indonesia?
Tujuan Penelitian
1. 2.
Tujuan dari penelitian ini adalah: Menganalisis dampak pembangunan infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi kawasan perbatasan darat Indonesia Menganalisis dampak pembangunan infrastruktur terhadap ketimpangan kawasan perbatasan darat Indonesia
Hipotesis Hipotesis penelitian ini adalah infrastruktur, baik infrastruktur ekonomi maupun sosial, berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi kawasan perbatasan darat dan ketimpangan pendapatan.
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Penelitian ini mencakup dampak pembangunan infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan di kawasan perbatasan darat Indonesia. Komponen infrastruktur yang diteliti hanya infrastruktur ekonomi dan sosial. Pertumbuhan ekonomi dalam penelitian ini didekati dengan pendapatan per kapita riil yang tercermin dari besaran PDRB per kapita riil. Peningkatan PDRB per
8 kapita riil menggambarkan kenaikan besaran PDRB yang lebih tinggi dibandingkan kenaikan jumlah penduduk, sehingga terjadi pertumbuhan ekonomi. Ketimpangan yang dianalisis merupakan ketimpangan pendapatan menggunakan ukuran gini rasio yang dihitung dari data pengeluaran per kapita, dengan asumsi tidak ada keragaman pendapatan dalam satu rumah tangga, sehingga angka gini rasio cenderung akan under estimate. Cakupan analisis penelitian menggunakan data tahun 2007-2011, karena ada beberapa data tahun 2006 ke bawah tidak dapat dimunculkan sampai level kabupaten/kota.
2 TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi pada umumnya berarti perkembangan ekonomi. Pertumbuhan dapat diukur dan mampu menggambarkan fenomena perluasan tenaga kerja, modal, volume perdagangan, dan konsumsi. Rostow mengemukakan adanya tahapan dalam pertumbuhan ekonomi, yaitu masyarakat tradisional, prasyarat untuk tinggal landas, tinggal landas, dewasa dan masa konsumsi massal yang tinggi (Jhingan 2010). Dornbusch et al. (2004) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah tingkat kenaikan dari Produk Domestik Bruto (PDB), pada tingkat regional disebut Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). PDB/PDRB adalah nilai dari seluruh barang dan jasa yang diproduksi pada suatu wilayah dengan jangka waktu tertentu. Produksi tersebut dikonversi dalam bentuk mata uang negara yang bersangkutan agar dapat diagregasikan. Pertumbuhan ekonomi dapat diukur dari perubahan peningkatan PDRB riil pada periode tertentu. Perubahan PDRB riil dari waktu ke waktu mencerminkan perubahan kuantitas dan sudah tidak mengandung unsur perubahan harga, baik inflasi maupun deflasi. Nilai pertumbuhan ekonomi dihitung sebagai perubahan nilai output (PDRB riil) antar waktu dan diformulasikan sebagai berikut: =
...................................................................... (2.1)
g : pertumbuhan ekonomi atau persentase perubahan PDRB riil dari periode t-1 sampai periode t Pada tingkat rumah tangga ataupun individu, pertumbuhan ekonomi dapat diukur dari peningkatan pendapatan rumah tangga atau pendapatan per kapita. Ukuran tersebut merepresentasikan tingkat kesejahteraan penduduk. Penghitungan pendapatan per kapita agak sulit, karena harus memperhatikan aspek daerah asal dari penerimaan/pembayaran faktor produksi, sehingga pendapatan per kapita didekati dengan nilai PDRB per kapita, yaitu:
=
!""#
....................................... (2.2)
Menurut Todaro dan Smith (2006), ada tiga faktor atau komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi yaitu:
9 1. Akumulasi modal, yang meliputi semua bentuk atau jenis investasi baru yang ditanamkan pada tanah, peralatan fisik, dan modal atau sumber daya manusia. 2. Pertumbuhan penduduk yang pada tahun-tahun berikutnya akan memperbanyak jumlah angkatan kerja. 3. Kemajuan teknologi. Jhingan (2010) menyebutkan bahwa proses pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor ekonomi dan non ekonomi. Faktor ekonomi terdiri atas faktor produksi yang dipandang sebagai kekuatan utama yang memengaruhi pertumbuhan, diantaranya adalah: 1. Sumber alam, yang mencakup kesuburan tanah, letak dan susunannya, kekayaan hutan, mineral, iklim, sumber air, sumber lautan, dan sebagainya. 2. Akumulasi modal, yang berarti mengadakan persediaan faktor produksi yang secara fisik dapat direproduksi. Proses pembentukan modal bersifat kumulatif dan membiayai diri sendiri serta mencakup tiga tahap yang saling berkaitan, yaitu: a. Keberadaan tabungan nyata dan kenaikannya, b. Keberadaan lembaga keuangan dan kredit untuk menggalakkan tabungan dan menyalurkannya ke jalur yang dikehendaki, c. Menggunakan tabungan untuk investasi barang modal. 3. Organisasi, yang terdiri atas para wiraswastawan (pengusaha) dan pemerintah, yang melengkapi (komplemen) modal, buruh dan yang membantu produktivitasnya, termasuk dalam menyelenggarakan overhead sosial dan ekonomi. 4. Kemajuan teknologi, yang berkaitan dengan perubahan di dalam metode produksi yang merupakan hasil pembaharuan atau hasil dari teknik penelitian baru sehingga menaikkan produktivitas buruh, modal dan faktor produksi lainnya. 5. Pembagian kerja dan skala produksi, yang menimbulkan peningkatan produktivitas. Sedangkan faktor non ekonomi yang memengaruhi kemajuan perekonomian antara lain: 1. Faktor sosial dan budaya, yang menghasilkan perubahan pandangan, harapan, struktur, dan nilai-nilai sosial. 2. Faktor sumber daya manusia, yang disebut sebagai “pembentukan modal insani” yaitu proses peningkatan ilmu pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan seluruh penduduk, termasuk di dalamnya aspek kesehatan, pendidikan, dan pelayanan sosial lainnya. 3. Faktor politik dan administratif, termasuk pemerintahan yang baik dengan menerapkan kebijakan fiskal dan moneter yang tepat. Teori pertumbuhan ekonomi semakin berkembang dari masa ke masa. Beberapa teori pertumbuhan ekonomi yang menonjol sebagaimana diuraikan Todaro dan Smith (2006) adalah model pertumbuhan Harrod-Domar, model perubahan struktural, model pertumbuhan neoklasik dan model pertumbuhan endogen. Model pertumbuhan Harrod-Domar menekankan perlunya tabungan untuk kegiatan investasi yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang direpresentasikan oleh peningkatan pendapatan nasional. Model tersebut menyatakan bahwa tabungan (S) adalah bagian tertentu (s) dari pendapatan nasional (Y). Investasi (I) didefinisikan sebagai perubahan stok modal (∆K).
10 Perubahan stok modal sendiri merupakan rasio modal output (k∆Y) dan tabungan (S) sama dengan investasi (I). Dengan demikian dapat ditulis dalam persamaan berikut: S = sY ; I = ∆K ; ∆K = k∆Y ...................................................... (2.3) S = I = ∆K = k∆Y = sY ................................................................. (2.4) ∆% & = ............................................................................... (2.5) % # Persamaan (2.3) menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan GDP ditentukan secara bersama-sama oleh rasio tabungan dan rasio modal output, sehingga tanpa campur tangan pemerintah tingkat pertumbuhan akan berbanding lurus dengan rasio tabungan dan berbanding terbalik dengan rasio modal output. Logika ekonominya adalah agar bisa tumbuh pesat setiap perekonomian harus menabung dan menginvestasikan sebanyak mungkin bagian dari GDP nya. Negara yang dapat menabung dan menginvestasikan 15-20% dari GDP-nya, diproyeksikan akan mengalami pertumbuhan ekonomi lebih cepat apabila dibandingkan dengan negara lain yang menabung kurang dari proporsi tersebut. Model perubahan struktural memusatkan perhatiannya pada mekanisme yang memungkinkan negara-negara yang masih terbelakang untuk mentransformasikan struktur perekonomian dalam negeri mereka dari pola perekonomian pertanian subsisten tradisional ke perekonomian yang lebih modern, lebih berorientasi ke kehidupan perkotaan, serta memiliki sektor industri manufaktur yang lebih bervariasi dan sektor jasa-jasa yang lebih tangguh. Perangkat dalam model ini berupa teori harga dan alokasi sumber daya, serta metode ekonometri modern untuk menjelaskan terjadinya proses transformasi. Menurut model pembangunan ini perekonomian yang terbelakang terdiri dari 2 (dua) sektor, yaitu sektor tradisional dan sektor industri perkotaan. Dalam sektor tradisional terjadi kelebihan penduduk dan ditandai dengan produktivitas marjinal tenaga kerja sama dengan nol, sehingga sering disebut surplus tenaga kerja, sedangkan sektor industri perkotaan mempunyai produktivitas yang tinggi dan menjadi tempat penampungan tenaga kerja yang ditransfer sedikit demi sedikit dari sektor tradisional. Perhatian utama model ini diarahkan pada terjadinya proses pengalihan tenaga kerja, serta pertumbuhan output dan peningkatan penyerapan tenaga kerja di sektor modern (Todaro dan Smith 2006). Model pertumbuhan neoklasik sering disebut sebagai model pertumbuhan Solow, dimana model ini merupakan pengembangan dari model Harrod-Domar dengan menambahkan faktor tenaga kerja dan variabel independen ketiga yaitu teknologi kedalam persamaan pertumbuhan. Model pertumbuhan Solow mampu menjelaskan sebagian besar fenomena yang terjadi di dunia dan lebih elegan karena dapat dilakukan dengan pendekatan matematis. Asumsi dalam model ini berbeda dengan Harrod-Domar, dimana model ini berpegang pada konsep skala hasil yang terus berkurang (diminishing return) dari input tenaga kerja dan modal jika keduanya dianalisis secara terpisah, namun jika dianalisis secara bersamaan akan tetap menggunakan asumsi skala hasil tetap (constant return to scale) (Todaro dan Smith 2006). Dalam bentuk yang formal, model pertumbuhan Solow memakai fungsi produksi agregat standar yaitu: Y = Kα (AL)1-α ................................................................................ (2.6)
11 Y adalah produk domestik bruto, K adalah stok modal fisik, antara lain infrastruktur, dan modal manusia, L adalah tenaga kerja, A adalah produktivitas tenaga kerja yang pertumbuhannya ditentukan secara eksogen, dan α melambangkan elastisitas output terhadap modal. Dalam model ini kemajuan teknologi ditentukan secara eksogen. Dengan asumsi skala hasil tetap, model solow dapat ditulis menjadi: γY = F(γK,γL)................................................................................. (2.7) γ = 1/L Y/L = f(K/L, L/L) ............................................................................ (2.8) y = f(k) ........................................................................................... (2.9) dalam bentuk persamaan Cobb Douglas menjadi: y = Akα ........................................................................................... (2.10) Hal tersebut mencerminkan sebuah cara alternatif mengenai fungsi produksi, di mana segala sesuatu dihitung dalam kuantitas per tenaga kerja. Model pertumbuhan endogen mempunyai kemiripan struktural dengan model neoklasik, namun sangat berbeda dalam asumsi yang mendasarinya dan kesimpulan yang ditarik darinya. Perbedaan teoritis yang paling signifikan berasal dari dikeluarkannya asumsi neolasik tentang hasil marjinal yang semakin menurun atas investasi modal dan memberikan peluang terjadinya skala hasil yang semakin meningkat dalam produksi agregat dan sering kali berfokus pada peran eksternalitas dalam menentukan tingkat pengembalian investasi modal. Teori pertumbuhan endogen berusaha menjelaskan keberadaan skala hasil yang semakin meningkat dan pola pertumbuhan jangka panjang yang berbeda-beda antar negara. Aspek paling menarik dari model ini adalah membantu menjelaskan keanehan aliran modal internasional yang memperparah ketimpangan antara negara maju dengan negara berkembang. Potensi tingkat pengembalian atas investasi yang tinggi yang ditawarkan oleh negara berkembang yang mempunyai rasio modaltenaga kerja yang rendah berkurang dengan cepat dikarenakan rendahnya tingkat investasi komplementer dalam sumber daya manusia (pendidikan), infrastruktur, atau riset dan pengembangan. Pada akhirnya, negara miskin kurang mendapat manfaat dari luasnya keuntungan sosial yang terkait dengan setiap alternatif bentuk pengeluaran modal ini. Karena investasi komplementer menghasilkan manfaat sosial maupun pribadi, pemerintah dapat memperbaiki efisiensi alokasi sumber dayanya, dengan menyediakan barang publik (infrastruktur) atau mendorong investasi swasta (Todaro dan Smith 2006). Pemikiran yang pertama dari model pertumbuhan endogen dikembangkan oleh Romer. Model Romer mengungkapkan bahwa sumber pertumbuhan dipacu oleh pengetahuan, kemudian dimasukkan dalam akumulasi investasi pada modal tetap sampai waktu tertentu t, yang sering disebut barang publik. Model Romer dapat dinyatakan dalam rumusan: '( = )(* +, * ( ) dengan 0<α<1; 0<β<1; α+β=1 ........................ (2.12) Yi adalah output perusahaan i, Ki adalah stok modal, Li adalah tenaga kerja, dan K adalah pengetahuan pada waktu t. Pemikiran kedua dikemukanan oleh Lucas melalui model akumulasi human capital. Model Lucas mempertimbangkan dua tipe modal yaitu modal fisik dan modal manusia. Rumusan model tersebut adalah: 3 ' = .)* /0 1 + 2, * 1 .................................................... (2.13)
12 Dimana Yt adalah output produksi, A adalah konstanta, K adalah stok modal, L adalah tenaga kerja, u adalah waktu yang digunakan pekerja untuk berproduksi, H adalah kualitas dari human capital yang merupakan rata-rata banyaknya pengetahuan yang dimiliki oleh pekerja (Capello 2007).
Infrastruktur Infrastruktur adalah segala yang merupakan penunjang utama terselenggaranya suatu proses (usaha, pembangunan, proyek, dll) (P3B 1993). World Bank (1994) membagi infrastruktur menjadi tiga kategori, yaitu: 1. Infrastruktur ekonomi, merupakan infrastruktur fisik yang diperlukan untuk menunjang aktivitas ekonomi, meliputi: public utilities (listrik, telekomunikasi, air, sanitasi, gas), public work (jalan, bendungan, kanal, irigasi dan drainase) dan sektor transportasi (jalan, rel, pelabuhan, lapanganterbang dan sebagainya); 2. Infrastruktur sosial, meliputi: pendidikan, kesehatan, perumahan dan rekreasi; 3. Infrastruktur administrasi, meliputi: penegakan hukum, kontrol administrasi dan koordinasi. Kebutuhan investasi untuk pembangunan infrastruktur di masa mendatang bertujuan untuk: 1. Mengatasi kondisi ‘bottlenecks’ saat ini 2. Mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi 3. Mengantisipasi urbanisasi yang sangat cepat 4. Mendukung meningkatnya perdagangan dan globalisasi
Infrastruktur dan Pertumbuhan Ekonomi Infrastruktur memainkan peran yang penting dalam pembangunan. Dalam teori-teori pertumbuhan, infrastruktur secara khusus masuk dalam modal publik dan sering disebut sebagai faktor produksi tidak dibayar yang mendorong secara langsung peningkatan produksi. Di lain sisi infrastruktur juga sering disebut sebagai faktor penambah dimana akan mendorong terjadinya peningkatan produktivitas. Infrastruktur juga sebagai faktor pemicu yang berkontribusi untuk meningkatkan kesejahteraan individu (Crescenzi dan Pose 2012). Banyak teori pertumbuhan menyetujui pentingnya infrastruktur terhadap pembangunan regional. Infrastruktur merupakan salah satu faktor yang menentukan dalam pembangunan regional, dengan infrastruktur yang lebih baik akan menarik perusahaan baru untuk masuk kedalam suatu wilayah. Infrastruktur yang baik juga merupakan sumber daya saing bagi perusahaan untuk beroperasi pada wilayah tersebut. Hal tersebut akan meningkatkan produktivitas, dan melalui peningkatan akses, akan menurunkan biaya pembelian. Hubungan antara infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi adalah infrastruktur merupakan faktor dalam penentuan daya saing dan produktivitas. Infrastruktur ekonomi akan berdampak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi dan pembangunan regional, sedangkan infrastruktur sosial berdampak langsung pada kualitas hidup dan modal manusia, sehingga akan berpengaruh pada
13 produksi hanya dalam jangka panjang dan efeknya tidak hanya berdampak pada area yang dibangun infrastruktur sosial tersebut (Capello 2007).
Infrastruktur dan Ketimpangan Pembangunan memerlukan pendapatan yang lebih tinggi dan pertumbuhan yang cepat, namun masalah dasarnya bukan hanya bagaimana menumbuhkan pendapatan tersebut, tetapi juga siapakah yang akan menumbuhkan pendapatan tersebut apakah sejumlah besar masyarakat yang ada dalam suatu wilayah atau hanya segelintir orang didalamnya. Jika yang menumbuhkan hanyalah orang kaya yang berjumlah sedikit, maka manfaat pertumbuhan pendapatan pun hanya akan dinikmati oleh mereka saja, sehingga kemiskinan dan ketimpangan pendapatan akan semakin parah. Penanggulangan kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan merupakan inti dari semua masalah pembangunan dan merupakan tujuan utama kebijakan pembangunan di banyak negara. Ketimpangan dalam hal distribusi pendapatan dan asset hanyalah bagian kecil dari masalah ketimpangan yang sebenarnya lebih luas di negara berkembang. Selain ketimpangan pendapatan masih terdapat bentuk-bentuk ketimpangan lainnya, yaitu ketimpangan kekuasaan, prestise, status, gender, kepuasan kerja, kondisi kerja, derajat partisipasi, kebebasan memilih, dan berbagai dimensi lainnya. Pengukuran ketimpangan pendapatan secara umum dibagi kedalam dua ukuran pokok yaitu distribusi pendapatan perseorangan atau distribusi ukuran pendapatan dan distribusi pendapatan “fungsional” atau pangsa distribusi pendapatan per faktor produksi. Ukuran ketimpangan pendapatan yang sering digunakan adalah koefisien gini dan ukuran ketimpangan agregat. Koefisien gini dihitung dari rasio bidang yang terletak antara garis diagonal dan kurva Lorenz dibagi dengan luas separuh segi empat dimana kurva Lorenz tersebut berada.
D
Persentase
Garis pemerataan
A Kurva Lorenz B
C Persentase
Gambar 2.1 Kurva Lorenz
14 Dilihat dari kurva Lorenz (Gambar 2.1), maka: ("!9 : )4567 87 = ("!9 ; ..................................................... (2.14)
Koefisien Gini
Koefisien gini merupakan salah satu ukuran yang memenuhi empat kriteria yang sangat dicari, yaitu prinsip anonimitas, independensi skala, independensi populasi, dan transfer.
0 Pendapatan perkapita Gambar 2.2 Kurva U-terbalik Pada tahap awal pembangunan, distribusi pendapatan cenderung memburuk, namun pada tahap selanjutnya distribusi pendapatan akan membaik. Keadaan tersebut karena pada tahapan pertumbuhan awal akan terpusat di sektor industri modern, yang mempunyai lapangan kerja terbatas namun tingkat upah dan produktivitas yang tinggi. Observasi inilah yang dikenal dengan kurva Kuznets “U-terbalik”, karena perubahan longitudinal dalam distribusi pendapatan, misalnya koefisien gini, tampak seperti kurva berbentuk U-terbalik (Gambar 2.2). Kurva Kuznets dapat dihasilkan oleh proses pertumbuhan berkesinambungan yang berasal dari perluasan sektor modern, seiring dengan perkembangan suatu wilayah dari perekonomian tradisional ke perekonomian modern. Disamping itu imbalan yang diperoleh dari sektor pendidikan mungkin akan meningkat terlebih dahulu, karena sector modern yang muncul memerlukan tenaga kerja terampil, namun imbalan ini akan menurun karena penawaran tenaga kerja terdidik meningkat dan penawaran tenaga kerja tidak terdidik menurun (Todaro dan Smith 2006). Pembangunan infrastruktur dalam kondisi yang tepat dapat menimbulkan dampak yang positif pada pendapatan dan kesejahteraan dari rakyat yang miskin dan akan meningkatkan rata-rata pendapatan mereka. Infrastruktur akan menolong individu yang lebih miskin dan wilayah yang terbelakang untuk mengakses aktifitas ekonomi, kemudian dari akses tersebut akan memberikan kesempatan kepada mereka untuk menambah peluang peningkatan produktifitasnya. Pembangunan infrastruktur pada daerah yang terbelakang juga akan menurunkan biaya produksi dan transaksi, meningkatkan akses kepada kesehatan dan pendidikan. Sejalan dengan hal tersebut akan meningkatkan kualitas manusianya sehingga kesempatan kerja akan lebih terbuka dan ada prospek
15 penambahan pendapatan, pada akhirnya penambahan menurunkan ketimpangan (Calderon dan Serven 2004).
pendapatan
akan
Kawasan Perbatasan Kawasan perbatasan negara adalah wilayah kabupaten/kota yang secara geografis dan demografis berbatasan langsung dengan negara tetangga dan/atau laut lepas. Kawasan perbatasan terdiri dari kawasan perbatasan darat dan laut, yang tersebar secara luas dengan tipologi yang beragam, mulai dari pedalaman hingga pulau pulau kecil terdepan (terluar). UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang telah menetapkan kawasan perbatasan sebagai kawasan strategis dari sudut pandang pertahanan dan keamanan yang diprioritaskan penataan ruangnya. Indonesia berbatasan dengan 10 (sepuluh) negara tetangga, yaitu India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Australia, Timor Leste, Palau, dan Papua Nugini. Secara keseluruhan kawasan perbatasan dengan negara tetangga tersebar di 12 (dua belas) propinsi. Kawasan perbatasan darat tersebar di 5 (lima) propinsi yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Papua, dan NTT. Garis batas negara di Pulau Kalimantan antara RI-Malaysia terbentang sepanjang 2004 Km, di Papua antara RI-PNG sepanjang 107 km, dan di Nusa Tenggara Timur antara RI-Republik Demokrasi Timor Leste sepanjang kurang lebih 263.8 km. Kawasan perbatasan memiliki posisi strategis sebagai pintu gerbang untuk berinteraksi langsung dengan negara tetangga serta memiliki nilai strategis terhadap kedaulatan negara, pertahanan, dan keamanan. Pengembangan kawasan perbatasan dilakukan dengan mengubah arah kebijakan pembangunan yang selama ini cenderung berorientasi ke dalam (inward looking) yang memandang kawasan perbatasan sebagai wilayah pertahanan, menjadi berorientasi ke luar (outward looking), yang didalamnya fungsi kawasan perbatasan di samping sebagai wilayah pertahanan juga untuk meningkatkan aktivitas perekonomian masyarakat dan sebagai pintu gerbang perdagangan dengan negara tetangga. Secara umum hingga saat ini kondisi pembangunan di sebagian besar wilayah kabupaten/kota di kawasan perbatasan masih sangat jauh tertinggal bila dibandingkan dengan pembangunan kawasan lain ataupun dibandingkan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat diwilayah negara tetangga yang berbatasan, khususnya di perbatasan Kalimantan. Jika ditinjau status ketertinggalan wilayah, 27 kabupaten di kawasan perbatasan masih dapat dikategorikan sebagai daerah tertinggal. Kondisi ini merupakan tantangan utama bagi upaya pengembangan kawasan perbatasan. Arah kebijakan pengembangan kawasan perbatasan periode 2010—2014 adalah mempercepat pembangunan kawasan perbatasan di berbagai bidang sebagai beranda depan negara dan sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga secara terintegrasi dan berwawasan lingkungan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjamin pertahanan keamanan nasional. Dalam prioritas bidang ini, arah kebijakan tersebut dijabarkan melalui strategi sebagai berikut : 1. Penyelesaian penetapan dan penegasan batas wilayah negara;
16 2. 3. 4. 5.
Peningkatan upaya pertahanan, keamanan, serta penegakan hukum; Peningkatan pertumbuhan ekonomi kawasan perbatasan; Peningkatan pelayanan sosial dasar; Penguatan kapasitas kelembagaan dalam pengembangan kawasan perbatasan secara terintegrasi (Bappenas 2010)
Penelitian Terdahulu Groote et al. (1999) dalam penelitiannya tentang infrastruktur dan pembangunan ekonomi di Belanda menunjukkan bahwa efek positif dari pembangunan infrastruktur hanya sementara sehingga pertumbuhan ekonomi Belanda tidak menjadi semakin tinggi secara permanen. Roller dan Waverman (2001) dalam penelitiannya tentang infrastruktur telekomunikasi dan pembangunan ekonomi menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara ketersediaan infrastruktur telekomunikasi dengan pembangunan ekonomi. Calderon dan Chong (2004) dalam penelitiannya tentang jumlah dan kualitas dari infrastruktur dan distribusi pendapatan menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara kuantitas dan kualitas infrastruktur terhadap ketimpangan pendapatan. Calderon dan Serven (2004) dalam penelitiannya tentang dampak dari pembangunan infrastruktur pada pertumbuhan dan distribusi pendapatan menunjukkan bahwa infrastruktur berdampak positif terhadap pertumbuhan dan ketimpangan pendapatan menurun seiring dengan perbaikan kualitas dan penambahan jumlah infrastruktur. Amrullah (2006) dalam penelitiannya tentang analisis pengaruh pembangunan infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara pembangunan pembangunan infrastruktur, terutama infrastruktur ekonomi yaitu jalan, listrik, telepon dan air minum, dengan pertumbuhan ekonomi regional yang diwakili oleh pendapatan per kapita penduduk. Prasetyo (2010) dalam penelitiannya tentang dampak pembangunan infrastruktur dan aglomerasi industri terhadap pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia menunjukkan bahwa infrastruktur listrik dan jalan berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional, sedangkan infrastruktur air bersih tidak berpengaruh secara signifikan. Crescenzi dan Pose (2011) dalam penelitiannya tentang infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi di Uni Eropa menunjukkan bahwa limpahan infrastruktur merupakan prediktor yang relatif buruk bagi pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi di Uni Eropa merupakan hasil dari kombinasi ‘social filter’, kapasitas inovasi baik pada wilayah tersebut maupun sekitarnya, dan kapasitas wilayah untuk menarik pekerja pendatang. Sari (2011) dalam penelitiannya tentang analisis pengaruh program pembangunan infrastruktur terhadap penurunan kemiskinan di kabupaten tertinggal menunjukkan bahwa bantuan stimulus infrastruktur nyata positif memengaruhi perekonomian dalam jangka panjang sehingga mampu menurunkan persentase penduduk miskin di kabupaten tertinggal.
17 Wahyuni (2011) dalam penelitiannya tentang konvergensi dan faktor-faktor yang memengaruhi ketimpangan wilayah kabupaten/kota di Pulau Jawa menunjukkan bahwa faktor yang memengaruhi ketimpangan pendapatan adalah share manufaktur, pendidikan tenaga kerja, infrastruktur kesehatan, energi listrik, dan air bersih. Jan et al. (2012) dalam penelitiannya tentang infrastruktur fisik dan pembangunan ekonomi di Pakistan menunjukkan bahwa infrastruktur fisik mempunyai efek yang positif terhadap pembangunan ekonomi di Pakistan. Radiansyah (2012) dalam penelitiannya tentang analisis kontribusi infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara pembangunan infrastruktur dan pelaksanaan otonomi daerah terhadap pertumbuhan ekonomi yang diwakili oleh pendapatan perkapita penduduk. Seneviratne dan Sun (2013) dalam penelitiannya tentang infrastruktur dan distribusi pendapatan pada ASEAN-5 menunjukkan bahwa infrastruktur yang lebih baik, dalam hal kualitas dan kuantitas, akan mengurangi ketimpangan pendapatan, sedangkan hubungan antara investasi dan distribusi pendapatan adalah lemah.
Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran untuk penelitian ini berawal dari visi pembangunan nasional 2025 yang memberikan target agar Indonesia menjadi negara sepuluh besar dunia. Untuk mencapai target tersebut diperlukan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi. Percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi tersebut dilaksanakan dalam pembangunan di semua kawasan, baik kawasan perbatasan ataupun kawasan lainnya. Kawasan perbatasan dibagi kedalam 2 (dua) kelompok, yaitu perbatasan laut dan perbatasan darat. Dalam kawasan perbatasan darat terjadi proses pembangunan yang dipandang dari 2 (dua) sisi yaitu sosial ekonomi dan pertahanan keamanan. Proses pembangunan ini dipengaruhi oleh ketersediaan infrastruktur. Infrastruktur dibagi kedalam tiga kelompok yaitu ekonomi, sosial, dan administrasi. Dalam penelitian ini akan dilihat bagaimana ketersediaan infrastruktur sosial dan ekonomi mampu memberikan dampak pada pembangunan kawasan perbatasan darat dari sisi sosial ekonomi, yaitu terjadinya peningkatan pendapatan masyarakat. Peningkatan pendapatan masyarakat akan meningkatkan output daerah, sehingga akan terjadi pertumbuhan ekonomi. Proses pembangunan yang pada awalnya akan menaikkan ketimpangan pendapatan merupakan konsekuensi yang harus diterima oleh setiap daerah, namun dalam jangka panjang ketimpangan tersebut akan turun sejalan dengan proses pembangunan yang berkelanjutan. Berdasarkan dampak infrastruktur terhadap peningkatan pendapatan, kemudian terhadap ketimpangan pendapatan, dapat dibuat implikasi kebijakan dalam penyediaan infrastruktur di kawasan perbatasan darat Indonesia yang mampu meningkatkan pendapatan, yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi, dan menurunkan ketimpangan dalam jangka panjang (Gambar 2.3).
18 Visi pembangunan nasional 2025 Visi pengelolaan kawasan perbatasan
Percepatan dan pembangunan ekonomi Indonesia
Kawasan lainnya
Kawasan perbatasan
Perbatasan laut
Perbatasan darat
Pembangunan Infrastruktur administrasi Sisi sosial ekonomi Infrastruktur ekonomi
Sisi hankam
Penyediaan infrastruktur Peningkatan pendapatan
Infrastruktur sosial
Ketimpangan Implikasi kebijakan
= wilayah penelitian Gambar 2.3 Kerangka pemikiran
3 METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan instansi terkait lainnya, dengan time series tahun 2007-2011 dan cross section kabupaten/kota wilayah perbatasan darat Indonesia. Data yang digunakan meliputi pendapatan per kapita, gini rasio, infrastruktur ekonomi antara lain jalan, listrik, telekomunikasi, dan transportasi udara, infrastruktur sosial yaitu pendidikan dan kesehatan. Selain itu digunakan juga data sekunder lainnya yang berkaitan. Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan software Microsoft Excel 2010, ArcView 3.3, dan Eviews 6.0. Software Microsoft Excel digunakan sebagai sarana untuk input data dan analisis deskriptif, ArcView 3.3 digunakan untuk membuat analisis deskriptif dalam bentuk peta, Eviews 6.0 untuk analisis empirisnya.
19 Metode Analisis Data Analisis Deskriptif Analisis deskriptif digunakan untuk menggambarkan keadaan secara umum dan perkembangan pembangunan ekonomi di wilayah perbatasan darat. Dalam analisis ini akan dibahas bagaimana kondisi infrastruktur, ketimpangan, dan perekonomian setiap wilayah. Analisis Regresi Data Panel Statis Ketersediaan data seringkali menjadi kendala dalam suatu penelitian. Data dengan series yang pendek menjadi permasalahan dalam pengolahan data time series karena akan mempengaruhi validitas analisis. Permasalahan lain juga terjadi apabila penelitian memiliki jumlah unit cross section yang terbatas sehingga menyulitkan analisis perilaku dari model yang diteliti. Teori ekonometrika memberikan solusi untuk permasalahan tersebut, salah satunya dengan menggunakan data panel (pooled data). Menurut Gujarati (2004) data panel (pooled data) atau yang disebut juga data longitudinal merupakan gabungan antara data cross section dan data time series. Data cross section adalah data yang dikumpulkan dalam satu waktu terhadap banyak individu. Data time series adalah data satu obyek yang meliputi beberapa periode waktu. Metode data panel merupakan suatu metode yang digunakan untuk melakukan analisis empirik yang tidak mungkin dilakukan jika hanya menggunakan data time series atau cross section. Penggunaan data panel telah memberikan banyak keuntungan secara statistik maupun menurut teori ekonomi diantaranya sebagai berikut: 1. Mampu mengontrol heterogenitas individu. Dengan metode ini estimasi yang dilakukan dapat secara eksplisit memasukkan unsur heterogenitas individu. 2. Dengan mengkombinasikan data time series dan cross section, data panel dapat memberikan data yang informatif, mengurangi kolinearitas antar peubah, meningkatkan derajat bebas, dan lebih efisien. 3. Lebih baik untuk studi dynamics of adjustment. Data panel lebih baik dalam mempelajari perubahan dinamis karena berkaitan dengan observasi cross section yang berulang. 4. Lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diatasi dalam data cross section saja atau data time series saja. 5. Lebih sesuai untuk mempelajari dan menguji model prilaku (behavioral models) yang kompleks dibandingkan dengan model data cross section atau time series. Selain manfaat yang diperoleh dengan penggunaan panel data metode ini juga memiliki keterbatasan di antaranya adalah: 1. Masalah dalam desain survei panel, pengumpulan, dan manajemen data. Masalah yang umum dihadapi diantaranya: cakupan (coverage), nonresponse, kemampuan daya ingat responden (recall), frekuensi, dan waktu wawancara. 2. Distorsi kesalahan pengamatan (measurement errors). Measurement errors umumnya terjadi karena respon yang tidak sesuai. 3. Masalah selektivitas (Selectivity) yang mencakup hal-hal berikut:
20 a. Self-selectivity, permasalahan ini muncul karena data-data yang dikumpulkan untuk suatu penelitian tidak sepenuhnya dapat menangkap fenomena yang ada. b. Nonresponse, permasalahan ini muncul dalam data panel ketika ada ketidaklengkapan jawaban yang diberikan oleh responden (rumah tangga). c. Attrition, yaitu jumlah responden yang cenderung berkurang pada survei lanjutan yang biasanya terjadi karena responden pindah, meninggal dunia atau biaya menemukan responden yang terlalu tinggi. 4. Dimensi waktu (time series) yang pendek. Jenis panel mikro biasanya mencakup data tahunan yang relatif pendek untuk setiap individu. 5. Cross-section dependence. Sebagai contoh, apabila macro panel dengan unit analisis negara atau wilayah dengan deret waktu yang panjang mengabaikan cross-country dependence akan mengakibatkan inferensi yang salah (misleading inference) (Baltagi 2007). Analisis data panel secara garis besar dibedakan menjadi dua macam yaitu statis dan dinamis. Pada analisis data panel dinamis, regressor-nya mengandung variabel lag dependent-nya, sedangkan pada analisis data panel statis tidak. Dalam analisis data panel, jika T adalah jumlah observasi dan N adalah jumlah unit cross section, maka panel data terjadi jika T >1 dan N> 1. Jika observasi untuk setiap unit cross section sama banyaknya disebut balance panels sedangkan jika tidak sama banyak disebut unbalance panels. Proses mengkombinasi data cross section dan time series untuk membentuk panel disebut pooling. Bentuk model umum regresi data panel dapat dinotasikan sebagai berikut: '( = < + >( ? + @( ................................................................... (3.1) dimana : i : 1, 2, ... , N, menunjukkan individu, perusahaan, dan lainnya (dimensi cross section) t : 1, 2, ... , T, menunjukkan dimensi deret waktu (time series) < : koefisien intersep yang merupakan skalar ? : koefisien slope dengan dimensi K x 1, dimana K adalah banyaknya peubah bebas atau variabel penjelas Yit : peubah tak bebas (dependent variabel) untuk unit individu i dan unit waktu ke-t >( : peubah bebas (independent variabel) untuk unit individu i dan unit waktu ke- t @( : komponen error, yang dibedakan menjadi - untuk one way error component models @( = A( + 0( - untuk two way error component models @( = A( + B + 0( A( adalah efek dari individu dan B adalah efek dari waktu. Dalam melakukan estimasi untuk persamaan (3.1), tergantung pada asumsi yang dibuat mengenai intersep, slope, dan sisaan 0( . Terdapat beberapa kemungkinan untuk hal tersebut, yaitu: 1. Intersep dan slope adalah konstan menurut waktu dan individu, sedangkan sisaan berbeda antar waktu dan individu. 2. Slope adalah tetap, tetapi intersep berbeda antar individu. 3. Slope adalah tetap, tetapi intersep berbeda antar individu dan antar waku. 4. Semua koefisien (slope dan intersep) berbeda antar individu.
21 5. Semua koefisien (slope dan intersep) berbeda antar individu dan antar waktu. Berdasarkan variasi-variasi asumsi yang dibentuk, terdapat dua pendekatan dalam tehnik estimasi model regresi data panel statis yaitu: 1. Pendekatan Efek Tetap (Fixed Effect Model / FEM) 2. Pendekatan Efek Acak (Random Effect Model / REM) Kedua pendekatan tersebut dibedakan berdasarkan pada asumsi ada atau tidaknya korelasi antara komponen error dengan peubah bebas. Jadi yang membedakan antara FEM dan REM terletak pada ada tidaknya korelasi antara A( dan B dengan >( . a. Pendekatan Efek Tetap (Fixed Effect Model / FEM) Pendekatan FEM ini muncul ketika antara efek individu dan peubah penjelas memiliki korelasi >( atau memiliki pola yang sifatnya tidak acak. Asumsi ini membuat komponen error dari efek individu dan waktu dapat menjadi bagian dari intersep, yaitu: - Untuk one way komponen error : C( = <( + A( + >( ? + 0( - Untuk two way komponen error : C( = <( + A( + B + >( ? + 0( Penduga pada FEM dapat dihitung dengan beberapa tehnik yaitu : i. Pooled Least Square (PLS) Tehnik ini menggunakan gabungan dari seluruh data, model yang digunakan adalah : C( = <( + >( ? + 0( , dimana <( adalah konstan untuk semua observasi. Dengan menggunakan metode ini heterogenitas individu akan terjaga, tetapi estimasinya akan biased. ii Within Group (WG) Tehnik ini digunakan dengan menggunakan data deviasi dari rata-rata individu. Tehnik ini menghasilkan parameter ? yang unbiased tetapi akan menghilangkan intersep. iii Least Square Dummy Variable (LSDV) Tehnik ini digunakan dengan menambahkan dummy variable sebanyak n1, tetapi akan mengurangi derajat bebas dan membuat ketidakefisienan. iv Two Way Error Component FEM Tehnik ini memasukkan variasi antar waktu sehingga model dasarnya menjadi C( = <( + D + >( ? + 0( . b. Pendekatan Efek Acak ( Random Effect Model / REM) REM muncul ketika antara efek individu dan regresor tidak ada korelasi. Asumsi ini membuat komponen error dari efek individu dan waktu dimasukkan ke dalam error, sehingga: - Untuk one way komponen error : C( = <( + >( ? + 0( + A( - Untuk two way komponen error : C( = <( + >( ? + 0( + A( + B Beberapa asumsi yang biasa digunakan dalam REM adalah : E (0( | E( ) = 0 F E (0( | E( ) = GF E (E( | H( ) = 0 ; untuk semua i dan t E (E(F | H( ) = GIF One way error component:τi = λi E (0( EJ ) = 0 untuk semua i,t, dan j E (0( 0J& ) = 0 untuk i ≠ j atau t ≠ s E (E( EJ ) = 0 untuk i ≠ j
22 Dimana : One way error component:E( = A( Two way error component:E( = A( +B Terdapat 2 (dua) jenis pendekatan yang digunakan untuk menghitung estimator REM, yaitu: i Between Estimator Tehnik ini mengasumsikan bahwa peubah bebas dengan error tidak saling berkorelasi. ii Generalized Least Square (GLS) Tehnik ini mengombinasikan informasi antar dan dalam data secara efisien. GLS dipandang sebagai rata-rata yang dibobotkan dari estimasi between dan within, dengan persamaan: ?K = L? + /M# − L2?O Pemilihan Model Data Panel Statis Pemilihan antara model efek tetap dengan efek acak dapat dilakukan dengan pengujian terhadap asumsi ada tidaknya korelasi antara regressor dan efek individu. Pengujian tersebut adalah Uji Chow untuk memilih antara PLS dan FEM, Uji Hausman untuk memilih antara FEM dan REM serta Uji Lagrange Multiplier untuk memilih antara REM dan PLS. a. Uji Chow Beberapa buku menyebut uji Chow dengan pengujian F statistik. Dalam pengujian ini dilakukan hipotesis sebagai berikut: H0 : Model Pooled Least Square (PLS) H1 : Fixed Effect Model (FEM) F Statistik seperti yang dirumuskan: /SS TSS2//V ,2 P1QR = TSS//VI V W2 ................................................................... (3.2)
dimana: RRSS = Restricted Residual Sum Square yaitu jumlah error kuadrat yang diperoleh dari estimasi data panel dengan metode Pooled Least Square. URSS = Unrestricted Residual Sum Square yaitu jumlah error kuadrat yang diperoleh dari estimasi data panel dengan metode fixed effect. N = Jumlah data cross section T = Jumlah data time series K = Jumlah variabel penjelas Pengujian ini mengikuti distribusi F dengan derajat bebas N-1 dan NT-N-K. Jika nilai Chow Statistics (F stat) hasil pengujian lebih besar dari F tabel, maka cukup bukti bagi kita untuk melakukan penolakan terhadap hipotesis nol sehingga model yang digunakan adalah model fixed effect, begitu juga sebaliknya. b. Uji Hausman Dalam uji ini dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H0: E(τi xit) = 0 atau REM adalah model yang tepat H1: E(τi xit)≠ 0 atau FEM adalah model yang tepat Sebagai dasar penolakan H0 maka digunakan statistik Hausman dan membandingkannya dengan chi square. Statistik Hausman dirumuskan dengan: H = (βREM– βFEM )’ (MFEM–MREM)-1 (βREM– βFEM) ~ X#F .......................... (3.3)
23 dimana: M= matriks kovarians untuk parameter β k = degrees of freedom Jika nilai H hasil pengujian lebih besar dari χ2 tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap H0 sehingga model yang digunakan adalah model fixed effects, begitu juga sebaliknya. c. Uji Lagrange Multiplier (LM) Pengujian ini didasarkan pada nilai residual dari model PLS. Hipotesis nol (H0) yang digunakan adalah intersep bukan merupakan peubah acak atau stokastik, dengan kata lain varian dari residual bernilai nol. Nilai statistik LM dihitung berdasarkan formula : +Y =
a
∑b \∑^ _ ] ` Z ∑]_ b ∑^ a F/I ,2 ]_ _ ] !I
F
c .................................................................. (3.4)
dimana : n : jumlah individu atau cross section T : jumlah periode waktu atau time series ( : residual model PLS Uji LM ini mengikuti distribusi χ2 dengan derajat bebas sebesar 1. Jika nilai statistik LM lebih besar dari nilai kritis statistik χ2, maka hipotesis nol akan ditolak, yang berarti estimasi yang tepat untuk regresi data panel adalah metode REM. Estimasi 2SLS Permasalahan endogenitas dari regressor yang berada pada sisi kanan merupakan masalah yang serius dalam ekonometrik. Endogenitas bisa diartikan sebagai hubungan antara regressor yang ada di sisi kanan persamaan dengan sisaan. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh adanya omitted variable, kesalahan pengukuran, dan masalah selektifitas. Endogenitas menyebabkan estimasi dengan OLS menjadi tidak konsisten, sehingga diperlukan metode instrument variable (IV) seperti two-stage least square (2SLS) untuk menghasilkan dugaan yang konsisten (Baltagi 2007). Instrumen variabel dalam persamaan sederhana '( = ?d + ?, >( + 0( merupakan informasi tambahan, berupa variabel baru, yang tidak mempunyai korelasi dengan 0( namun berkorelasi dengan >( . Dalam konteks omitted variable, informasi tambahan tersebut harus tidak mempunyai hubungan dengan faktor lain yang mempengaruhi '( . Setelah estimasi dengan IV selesai dilakukan biasanya dihitung nilai R-squared dengan menggunakan formula standar yaitu: ff F = 1 − ffg dimana: SSR : sum squared IV residual SST : sum squared total. Tidak seperti dalam OLS, R-squared dari estimasi menggunakan IV dapat bernilai negatif, karena secara aktual SSR lebih besar daripada SST, sehingga dalam estimasi IV nilai R-squared tidak mempunyai interpretasi sebagaimana aslinya (Wooldridge 2004).
24 Estimasi sistem persamaan yang menggunakan banyak variabel instrumen sering disebut sebagai estimasi 2SLS. Untuk menduga persamaan data panel dengan IV yang banyak, dilakukan melalui pendekatan metode 2SLS konvensional (Panel 2SLS) atau Fixed Effect Two Stage Least Square (Within 2SLS/W2SLS) maupun penduga Random Effect Two Stage GLS (EC2SLS/Error Component 2SLS) (Baltagi 2007). Uji Asumsi Uji asumsi dilakukan untuk memenuhi persyaratan sebuah model yang akan digunakan. Jika model yang terpilih berdasarkan Uji Hausman adalah REM maka estimasi dari model diasumsikan best linier unbiased estimator (BLUE) dan tidak perlu dilakukan pengujian terhadap tiga asumsi utama model BLUE. Hal tersebut dikarenakan dua alasan, yaitu sifat data panel adalah bebas dari gejala multikolinearitas dan REM adalah model generalized least square (GLS) sehingga estimasi dengan menggunakan GLS secara otomatis sudah mampu mengurangi gejala autokorelasi, bahkan terbebas dari gejala heteroskedastisitas yang disebabkan variansi sisaan tidak konstan (Gujarati 2004). Jika model yang terpilih adalah FEM maka perlu dilakukan pengujian asumsi klasik sebagai berikut: a. Uji Multikolinearitas Salah satu asumsi dari model regresi ganda adalah bahwa tidak ada hubungan linear sempurna antar peubah bebas dalam model tersebut, jika hubungan tersebut ada maka peubah bebasnya dikatakan multikolinearitas sempurna. Apabila hal tersebut terjadi maka dugaan parameter koefisien regresi masih mungkin dapat diperoleh, tapi interpretasinya menjadi sulit. Untuk mendeteksi adanya multikolinearitas dapat dilakukan dengan uji koefisien korelasi sederhana antar peubah bebas dalam model, jika korelasinya sangat tinggi dan nyata maka berarti terjadi multikolinearitas. Selain itu juga dapat dilihat dari statistik uji F dan nilai koefisien determinasi, apabila nilai Rj2 tinggi atau dari uji F modelnya signifikan tetapi hanya sedikit variabel independen yang signifikan berarti ada multikolinearitas. b. Uji Heteroskedastisitas Salah satu aumsi yang harus dipenuhi dalam persamaan regresi adalah taksiran parameter dalam model regresi bersifat BLUE, maka var (0( ) harus sama dengan σ2 (konstan), atau semua error mempunyai varians yang sama. Kondisi ini disebut dengan homoskedastisitas. Sedangkan bila varian tidak konstan atau berubah-ubah disebut heteroskedastisitas. Untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas dapat menggunakan metode General Least Square (Cross Section Weights) yaitu dengan membandingkan Sum Square Residu pada Weighted Statistics dengan Sum Square Residu Unweighted Statistics. Jika Sum Square Residu pada Weighted Statistics lebih besar dari Sum Square Residu Unweighted Statistics, maka terjadi heteroskedastisitas. Metode lain dengan uji Goldfeld-Quandt, uji Breusch-Pagan dan uji White. c. Uji Autokorelasi Autokorelasi adalah korelasi yang terjadi antar observasi dalam satu peubah atau korelasi antar error masa yang lalu dengan error masa sekarang. Uji autokorelasi yang dilakukan tergantung pada jenis data dan sifat model yang
25 digunakan. Tata cara untuk mendeteksi adanya korelasi serial adalah dengan melihat nilai Durbin Watson (DW). Cara untuk melihat ada/tidaknya autokorelasi dilakukan dengan membandingkan DW statistik dengan DW tabel. Adapun kerangka identifikasi terangkum dalam tabel 1. Korelasi serial ditemukan jika error dari periode waktu yang berbeda saling berkorelasi. Hal ini bisa dideteksi dengan melihat pola random error dari hasil regresi. Tabel 3.1 Kerangka indentifikasi autokorelasi Nilai DW
Hasil
4 – dl < DW < 4 4 – du < DW < 4 – dl 2 < DW < 4 – du Du < DW < 2 dl < DW< du 0 < DW < dl
Terdapat korelasi serial regresi Hasil tidak dapat ditentukan Tidak ada korelasi serial Tidak ada korelasi serial Hasil tidak dapat ditentukan Terdapat korelasi serial regresi
Sumber : Gujarati, 2004
Evaluasi Model a. Uji-F Uji-F digunakan untuk melakukan uji hipotesis koefisien (slope) regresi secara bersamaan. Jika nilai probabilitas F-statistic < taraf nyata, maka tolak H0 dan itu artinya minimal ada satu peubah bebas yang berpengaruh nyata terhadap peubah terikat, dan berlaku sebaliknya. b. Uji-t Setelah melakukan uji koefisien regresi secara keseluruhan, maka langkah selanjutnya adalah menghitung koefisien regresi secara individu dengan menggunakan uji-t. Hipotesis pada uji-t adalah: H0 : βi = 0 H1 : βi ≠ 0 Jika t-hitung > t-tabel maka tolak H0 yang berarti peubah bebas secara statistik nyata pada taraf nyata yang telah ditentukan dalam penelitian dan berlaku hal yang sebaliknya. Jika nilai probabilitas t-statistik < taraf nyata, maka tolak H0 dan berarti bahwa peubah bebas nyata secara statitik. c. Koefisien Determinasi (R2) Koefisien determinasi (Goodness of Fit) merupakan suatu ukuran yang penting dalam regresi, karena dapat menginformasikan baik atau tidaknya model regresi yang terestimasi. Nilai R2 mencerminkan seberapa besar variasi daripeubah terikat Ydapat diterangkan oleh peubah bebas X. Jika R2 = 0, maka variasi Y tidak dapat diterangkan oleh X sama sekali. Jika R2 = 1, artinya bahwa variasi dari Y secara keseluruhan dapat diterangkan oleh X. d. Uji Normalitas Uji normalitas dilakukan untuk memeriksa apakah error term mendekati distribusi normal atau tidak. Jika asumsi tidak terpenuhi maka prosedur pengujian menggunakan statistik t menjadi tidak sah. Uji normalitas error term dilakukan dengan menggunakan uji Jarque Bera. Berdasarkan
26 nilai probabilitas Jarque Bera yang lebih besar dari taraf nyata 5 persen, maka dapat disimpulkan bahwa error term terdistribusi normal.
Spesifikasi Model Model yang digunakan dalam penelitian ini merupakan pengembangan dari model neoklasik Solow dengan asumsi teknologi dianggap konstan. Kapital hanya memasukkan modal publik, yaitu infrastruktur berupa jalan, listrik, air bersih, sanitasi, gedung sekolah, sarana telekomunikasi, dan sarana kesehatan. Proses estimasi yang digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen dalam penelitian ini adalah penggabungan data antar waktu dengan data antar individu yang disebut dengan pooling. Sedangkan data yang dihasilkan disebut dengan pooled data atau panel data atau longitudinal data. Model untuk mengetahui dampak infrastruktur terhadap pertumbuhan yang didekati dengan pendapatan per kapita mengacu pada penelitian Calderon dan Serven (2004) yang telah dimodifikasi menjadi: +7). ( =
27
4 GAMBARAN UMUM KAWASAN PERBATASAN DARAT Kawasan Perbatasan Darat Kalimantan Kawasan perbatasan darat di Pulau Kalimantan terdiri dari 8 (delapan) kabupaten, yang berada pada Propinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Utara (Gambar 4.1). Kabupaten-kabupaten tersebut berbatasan dengan Negara Malaysia, yaitu negara bagian Sabah dan Serawak. Kabupaten yang berbatasan langsung dengan Malaysia di Propinsi Kalimantan Barat adalah Kabupaten Sambas, Bengkayang, Sanggau, Sintang, dan Kapuas Hulu. Pada Propinsi Kalimantan Timur terdapat Kabupaten Kutai Barat serta di Propinsi Kalimantan Utara adalah Kabupaten Malinau dan Nunukan yang berbatasan langsung dengan Malaysia.
Malaysia
Gambar 4.1 Kawasan perbatasan darat di Kalimantan Sebagian besar dari kabupaten perbatasan di Pulau Kalimantan berada pada hulu sungai-sungai besar yang ada di propinsi masing-masing. Keberadaan penduduk yang mendiami kabupaten-kabupaten perbatasan tersebut masih terbatas, hal tersebut terlihat dari kepadatan penduduk yang masih rendah pada tiap-tiap kabupaten. Kabupaten Malinau merupakan kabupaten yang mempunyai kepadatan penduduk paling rendah diantara kabupaten perbatasan lainnya di Pulau Kalimantan. Pada tahun 2007 kepadatannya hanya sebesar 1.40 jiwa/km2 dan tahun 2011 menjadi 1.63 jiwa/km2 (Gambar 4.2). Kabupaten yang terpadat berada di Kabupaten Sambas, yaitu sebesar 78.37 jiwa/km2 pada tahun 2011.
28 80.00 70.00
Jiwa/km2
60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 Sambas 2007
75.91
Bengkay ang 37.35
2011
78.37
40.77
Sanggau
Sintang
29.76 32.35
Kutai Barat 5.30
Nunuka n 8.80
Malinau
16.52
Kapuas Hulu 7.16
17.16
7.61
5.42
10.26
1.63
1.40
Kabupaten
Gambar 4.2 Kepadatan penduduk di kawasan perbatasan darat Kalimantan Kabupaten-kabupaten perbatasan yang berada di Propinsi Kalimantan Barat secara umum mempunyai kepadatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten yang berada di Propinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara. Hal tersebut dikarenakan perkembangan kabupaten perbatasan di Propinsi Kalimantan Barat sudah terjadi sejak lama dibandingkan dengan kabupaten perbatasan yang berada di Propinsi Kalimantan Timur dan Utara, bahkan seluruh kabupaten perbatasan di Kalimantan Timur dan Utara merupakan kabupaten baru hasil pemekaran daerah tahun 1999, sehingga pembangunan baru berjalan dengan pesat setelah adanya otonomi daerah. Perkembangan jumlah penduduk yang pesat terjadi pada empat kabupaten yang ada di Pulau Kalimantan, yaitu Kabupaten Sambas, Bengkayang, Sanggau, dan Nunukan. Perkembangan tersebut terlihat dari besaran kepadatan penduduk yang naik secara drastis dari tahun 2007 ke tahun 2011. Secara geografis, terdapat 3 kabupaten perbatasan di Pulau Kalimantan yang luas wilayahnya lebih dari 29000 km2, yaitu Kabupaten Kapuas Hulu, Kutai Barat, dan Malinau. Tingginya kepadatan penduduk di Kabupaten Sambas dikarenakan jumlah penduduknya yang besar, yaitu 501149 jiwa, dan luas wilayahnya sebesar 6394.7 km2. Kabupaten Malinau menjadi kabupaten yang paling sepi, selain karena jumlah penduduknya yang memang sedikit, yaitu 64999 jiwa, juga dikarenakan luas wilayahnya yang paling besar dibandingkan kabupaten perbatasan lainnya di Pulau Kalimantan, yaitu sebesar 39799.88 km2. Jumlah penduduk yang sedikit membuat nilai PDRB perkapita riil kabupaten perbatasan di Propinsi Kalimantan Timur dan Utara lebih tinggi daripada kabupaten perbatasan di Propinsi Kalimantan Barat. Kabupaten Kutai Barat merupakan kabupaten perbatasan di Pulau Kalimantan yang memiliki PDRB per kapita riil yang terbesar pada tahun 2011, yaitu sebesar 20.457 juta rupiah, diikuti oleh Kabupaten Malinau sebesar 11.731 juta rupiah. PDRB per kapita riil terendah berada di Kabupaten Kapuas Hulu sebesar 5.433 juta rupiah (Gambar 4.3). PDRB per kapita riil ini digunakan sebagai pendekatan terhadap
29 pendapatan per kapita riil, sehingga dapat dijadikan acuan untuk melihat kesejahteraan masyarakat.
Malaysia
Gambar 4.3 PDRB per kapita riil di kawasan perbatasan darat Kalimantan tahun 2011 Perubahan PDRB atas dasar harga konstan (PDRB riil) mencerminkan proses pembangunan di suatu wilayah, karena perubahan tersebut merupakan representasi dari pertumbuhan ekonomi. Kabupaten Kutai Barat merupakan kabupaten yang mempunyai nilai PDRB riil yang tertinggi dibandingkan kabupaten perbatasan lainnya di Pulau Kalimantan. Pada tahun 2007 nilai PDRB riil Kabupaten Kutai Barat sebesar 2684.53 milyar rupiah dan meningkat secara drastis pada tahun 2011 menjadi 3508.01 milyar rupiah, atau terjadi pertumbuhan ekonomi selama 5 tahun sebesar 30.67%.
Gambar 4.4 PDRB riil di kawasan perbatasan darat Kalimantan
30 Nilai PDRB riil terkecil terdapat pada Kabupaten Malinau yaitu sebesar 515.76 milyar rupiah pada tahun 2007 dan 762.5 milyar rupiah pada tahun 2011, namun pertumbuhan ekonomi Kabupaten Malinau selama 5 tahun menjadi yang terbesar diantara kabupaten perbatasan di Pulau Kalimantan, yaitu sebesar 47.84%. Kabupaten Sambas merupakan kabupaten perbatasan di Propinsi Kalimantan Barat yang memiliki nilai PDRB riil terbesar pada tahun 2011, yaitu 3103.16 milyar rupiah (Gambar 4.4), dan pertumbuhan ekonominya selama 5 tahun sebesar 24.56%. Keadaan infrastruktur ekonomi, yaitu transportasi, air bersih, listrik, dan komunikasi kabupaten perbatasan di Pulau Kalimantan dapat terlihat dari rasio panjang jalan kondisi baik dan sedang terhadap luas wilayah, persentase rumah tangga yang mengakses air bersih untuk minum, persentase rumah tangga yang mempunyai listrik, dan persentase rumah tangga yang memiliki telepon seluler. Pada tahun 2011 Kabupaten Bengkayang merupakan kabupaten yang mempunyai rasio panjang jalan terbesar dibandingkan kabupaten perbatasan lainnya di Pulau Kalimantan, yaitu sebesar 0.2127 km/km2 atau terdapat 212.7 meter jalan dalam kondisi baik dan sedang setiap 1 km2 luas wilayah. Besarnya rasio ini dipengaruhi juga oleh kecilnya luas wilayah Kabupaten Bengkayang. Rasio panjang jalan kondisi baik dan sedang terkecil terdapat di Kabupaten Kapuas Hulu, sebesar 0.0108 km/km2. Rasio panjang jalan kondisi baik dan sedang kabupaten perbatasan di Propinsi Kalimantan Timur dan Utara tertinggi ada di Kabupaten Nunukan yaitu sebesar 0.0671 km/km2 sedangkan terendah di Kabupaten Malinau sebesar 0.0220 km/km2 (Gambar 4.5). Rendahnya rasio ini dibandingkan dengan kabupaten lainnya di Propinsi Kalimantan Barat salah satunya disebabkan pembangunan kabupaten perbatasan di Propinsi Kalimantan Timur dan Utara baru pesat setelah adanya otonomi daerah.
Malaysia
Gambar 4.5 Rasio panjang jalan baik dan sedang di kawasan perbatasan darat Kalimantan tahun 2011
31 Air bersih merupakan salah satu syarat dasar untuk menuju kehidupan yang lebih sehat. Pada tahun 2011 Kabupaten Kutai Barat merupakan kabupaten dengan persentase akses air bersih untuk air minum tertinggi di kawasan perbatasan Kalimantan, yaitu sebanyak 63.20% rumah tangga sudah dapat mengakses air bersih untuk air minum (Gambar 4.6). Kabupaten Sintang merupakan kabupaten perbatasan di Propinsi Kalimantan Barat yang mempunyai persentase terbesar untuk akses ke air bersih, yaitu sebesar 44.95%. Air bersih yang diakses oleh masyarakat perbatasan bukan hanya berasal dari air PDAM, namun juga berasal dari mata air terlindung, sumur terlindung, dan air dalam kemasan. Sumber air dari PDAM cakupannya hanya terbatas oleh masyarakat yang berada di sekitar ibukota kabupaten. Masyarakat yang tinggal jauh dari ibukota kabupaten biasanya mengandalkan air bersih dari mata air terlindung maupun sumur terlindung baik yang dikelola oleh desa maupun yang diadakan secara perseorangan.
Malaysia
Gambar 4.6
Rumah tangga yang mengakses air bersih untuk air minum di kawasan perbatasan darat Kalimantan tahun 2011
Keterjangkauan listrik di kawasan perbatasan darat Kalimantan sudah termasuk bagus, selain mengandalkan jaringan listrik dari PLN, rumah tangga juga mengakses listrik melalui panel surya, listrik desa, dan pembangkit listrik tenaga mikro hidro. Pada tahun 2011 sebanyak 96.10% rumah tangga di Kabupaten Sambas sudah menikmati listrik (Gambar 4.7), besarnya persentase tersebut menjadikan kabupaten tersebut mempunyai persentase tertinggi di kawasan perbatasan darat Kalimantan. Secara rata-rata kabupaten perbatasan di Propinsi Kalimantan Timur dan Utara lebih bagus dalam mengakses listrik dibandingkan di Propinsi Kalimantan Barat karena sebanyak 80.26% rumah tangga di Propinsi Kalimantan Timur dan Utara sudah mengakses listrik, dibandingkan dengan 74.45% rumah tangga di Propinsi Kalimantan Barat.
32
Malaysia
Gambar 4.7 Rumah tangga yang mengakses listrik di kawasan perbatasan darat Kalimantan Tahun 2011
Jumlah telpon seluler (%)
Perkembangan sarana komunikasi di kawasan perbatasan darat Kalimantan termasuk pesat, hal tersebut diindikasikan dengan semakin terbukanya sarana komunikasi sampai kecamatan yang ada di pedalaman. Peningkatan penggunaan telpon seluler merupakan salah satu indikasi bahwa sarana komunikasi sudah semakin canggih. Kabupaten Bengkayang merupakan kabupaten yang mengalami peningkatan tertinggi dalam persentase rumah tangga yang memiliki telpon seluler, yaitu meningkat sebanyak 161.22% dari tahun 2007 ke 2011. Kabupatenkabupaten perbatasan di Kalimantan secara umum mengalami peningkatan pemakaian seluler yang tinggi, hampir semuanya meningkat 100% kecuali Kabupaten Malinau dan Nunukan (Gambar 4.8). Peningkatan pemakaian telepon seluler mencerminkan bahwa ada penambahan jangkauan sinyal telepon.
100.00 50.00
84.68 81.24 35.19
86.57 83.33 74.10 74.24 70.04
31.10 35.65
29.46 28.32 38.21
0.00
42.09
72.75 37.02
2007 2011
Kabupaten
Gambar 4.8 Persentase pemakaian telpon seluler di kawasan perbatasan darat Kalimantan
33 Keadaan infrastruktur sosial, berupa pendidikan dan kesehatan, terlihat dari rasio jumlah SMU sederajat terhadap jumlah penduduk dan rasio jumlah puskesmas, puskesmas pembantu, dan puskesmas keliling terhadap jumlah penduduk. Rasio pendidikan yang tertinggi di kawasan perbatasan darat Kalimantan adalah Kabupaten Malinau yaitu sebesar 0.000323 SMU/penduduk, atau terdapat 3 buah SMU setiap 10000 penduduk, sedangkan rasio terendah ada di Kabupaten Sambas sebesar 0.000094 SMU/penduduk atau terdapat sekitar 1 SMU setiap 10000 penduduk. Secara umum rasio pendidikan ini lebih bagus di Kalimantan Utara dibandingkan di Kalimantan Barat dan Timur.
Malinau
Kabupaten
Nunukan Kutai Barat Kapuas Hulu 2007
Sintang
2011
Sanggau Bengkayang Sambas 0
10
20 30 SMU (unit)
40
50
Gambar 4.9 Jumlah SMU sederajat di kawasan perbatasan darat Kalimantan
Sarana Kesehatan (unit)
Peningkatan jumlah SMU sederajat terbesar di kawasan perbatasan darat Kalimantan dalam kurun waktu 2007-2011 terjadi di Kabupaten Bengkayang yaitu sebesar 62.50%. Kabupaten Sambas merupakan kabupaten yang mempunyai jumlah SMU sederajat paling banyak pada tahun 2011 yaitu sebanyak 47 unit, sedangkan paling sedikit adalah Kabupaten Nunukan, yaitu hanya memiliki 20 unit SMU sederajat (Gambar 4.9). 250 200 150 100
2007
50
2011
0
Kabupaten
Gambar 4.10 Sarana kesehatan di kawasan perbatasan darat Kalimantan
34 Keadaan sarana kesehatan, yang didekati dengan jumlah puskesmas, puskesmas pembantu, dan puskesmas keliling, di kawasan perbatasan darat Kalimantan jumlahnya berfluktuasi dalam kurun waktu 2007-2011. Beberapa kabupaten mengalami penurunan jumlah, yaitu Kabupaten Bengkayang, Sanggau, Sintang, dan Nunukan. Penurunan jumlah sarana kesehatan tersebut banyak berasal dari adanya penurunan jumlah puskesmas keliling. Penurunan paling drastis terjadi di Kabupaten Sintang, yaitu dari 208 unit pada 2007 menjadi 103 unit pada 2011 (Gambar 4.10), atau mengalami penurunan sebesar 50.48%. Kenaikan jumlah sarana kesehatan tertinggi terjadi di Kabupaten Malinau, yaitu dari 100 unit pada 2007 menjadi 193 unit pada 2011 atau terjadi kenaikan sebesar 93%. Rasio sarana kesehatan pada tahun 2011 tertinggi berada di Kabupaten Malinau yaitu sebesar 0.0029693 puskesmas/penduduk atau terdapat sebanyak 29 puskesmas setiap 10000 penduduk. Rasio terendah ada di Kabupaten Sintang dengan rasio sebesar 0.0002774 puskesmas/penduduk atau terdapat sekitar 2 puskesmas setiap 10000 penduduk.
Kawasan Perbatasan Darat Nusa Tenggara Timur Propinsi Nusa Tenggara Timur berbatasan darat langsung dengan Negara Republik Demokratik Timor Leste (RDTL). Perbatasan darat tersebut terdapat di Kabupaten Kupang, Timor Tengah Utara (TTU), dan Belu (Gambar 4.11).
Gambar 4.11 Kawasan perbatasan darat NTT Seluruh kabupaten perbatasan yang ada di Propinsi NTT mempunyai kepadatan penduduk yang tinggi yaitu lebih dari 50 jiwa/km2. Kabupaten Kupang merupakan kabupaten yang mempunyai kepadatan penduduk paling rendah diantara kabupaten perbatasan lainnya di NTT, pada tahun 2011 kepadatannya
35 sebesar 57.64 jiwa/km2 (Gambar 4.12). Kabupaten yang terpadat berada di Kabupaten Belu, yaitu sebesar 146.89 jiwa/km2. Kabupaten-kabupaten perbatasan yang berada di Propinsi NTT secara umum mempunyai kepadatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten perbatasan darat di propinsi lainnya.
Gambar 4.12 Kepadatan penduduk di kawasan perbatasan darat NTT tahun 2011 Nilai PDRB per kapita riil kabupaten perbatasan darat di Propinsi NTT yang terbesar pada tahun 2011 adalah Kabupaten Kupang, yaitu sebesar 3.395 juta rupiah, diikuti oleh Kabupaten Belu sebesar 2.950 juta rupiah, dan Kabupaten TTU sebesar 2.183 juta rupiah (Gambar 4.13).
Gambar 4.13 PDRB per kapita riil di kawasan perbatasan darat NTT tahun 2011
36 Kabupaten Belu merupakan kabupaten yang mempunyai nilai PDRB riil yang tertinggi dibandingkan kabupaten perbatasan lainnya di NTT. Pada tahun 2007 nilai PDRB riil Kabupaten Belu sebesar 813.19 milyar rupiah dan meningkat secara drastis pada tahun 2011 menjadi 1059.91 milyar rupiah, atau terjadi pertumbuhan ekonomi selama 5 tahun sebesar 30.34%. Nilai PDRB riil terkecil terdapat pada Kabupaten TTU yaitu sebesar 423.66 milyar rupiah pada tahun 2007 dan 511.72 milyar rupiah pada tahun 2011 (Gambar 4.14).
Gambar 4.14 PDRB riil di kawasan perbatasan darat NTT Keadaan infrastruktur ekonomi di kabupaten perbatasan NTT dilihat dari rasio panjang jalan baik dan sedang relatif lebih bagus daripada kabupaten perbatasan di propinsi lainnya. Pada tahun 2011 Kabupaten TTU merupakan kabupaten yang mempunyai rasio panjang jalan kondisi baik dan sedang terbesar dibandingkan kabupaten perbatasan lainnya di NTT, yaitu sebesar 0.4046 km/km2 atau terdapat 404.6 meter jalan dalam kondisi baik dan sedang setiap 1 km2 luas wilayah. Dilihat perkembangan dari tahun 2007, Kabupaten TTU mempunyai rasio yang terus meningkat, hal tersebut mengindikasikan adanya penambahan atau perbaikan jalan sehingga menjadi kondisi baik dan sedang, sedangkan Kabupaten Kupang justru mengalami penurunan rasio panjang jalan baik dan sedang, yaitu 0.1160 pada tahun 2007 menjadi 0.0891 pada 2011 (Gambar 4.15). Perkembangan panjang jalan kondisi baik dan sedang dari kurun waktu 2007-2011 secara umum mengalami kenaikan untuk Kabupaten TTU dan Belu, namun kenaikan tersebut hanya sedikit, bahkan Kabupaten Belu pada tahun 2008 sempat mengalami kenaikan yang tinggi namun mengalami penurunan di tahun 2009 dan naik lagi pada 2010. Penambahan dan perbaikan kondisi jalan sangat tergantung dari besarnya belanja pembangunan di tiap kabupaten, juga sangat tergantung kepada komitmen pemerintah daerah.
37
Gambar 4.15
Perkembangan rasio panjang jalan terhadap luas wilayah di kawasan perbatasan darat NTT
Kabupaten Kupang merupakan kabupaten dengan persentase akses air bersih untuk air minum tertinggi di kawasan perbatasan NTT pada tahun 2011, yaitu sebanyak 84.83% rumah tangga sudah dapat mengakses air bersih untuk air minum, sedangkan Kabupaten Belu merupakan kabupaten dengan akses air bersih terendah, yaitu sebesar 72.09% (Gambar 4.16). Perkembangan akses air bersih sejak tahun 2007 sampai 2011 secara umum mengalami kenaikan. Kenaikan akses air bersih antara 2007-2011 untuk Kabupaten Kupang sebesar 86.93%, TTU sebesar 11.53% dan Belu sebesar 18.26%.
Gambar 4.16 Rumah tangga yang mengakses air bersih untuk air minum di kawasan perbatasan darat NTT tahun 2011
38 Keterjangkauan listrik di kawasan perbatasan darat NTT secara umum belum termasuk bagus, karena hanya 40-60% rumah tangga yang sudah menikmati listrik. Pada tahun 2011 Kabupaten Kupang merupakan kabupaten dengan akses listrik yang terbesar dibandingkan kabupaten lainnya, yaitu sebanyak 63.14% rumah tangga. Perkembangan akses listrik selama kurun 20072011 mengalami peningkatan, terutama untuk Kabupaten Kupang mengalami peningkatan yang drastis, sedangkan Kabupaten TTU dan Belu kenaikannya tidak terlalu besar (Gambar 4.17).
Gambar 4.17 Perkembangan akses listrik di kawasan perbatasan darat NTT Perkembangan sarana komunikasi di kawasan perbatasan darat NTT termasuk pesat, hal tersebut diindikasikan dengan adanya peningkatan penggunaan telpon seluler. Kabupaten TTU merupakan kabupaten yang mengalami peningkatan tertinggi dalam persentase rumah tangga yang memiliki telpon seluler, yaitu meningkat sebanyak 273.317% dari tahun 2007 ke 2011. Kabupaten Kupang pada tahun 2011 merupakan kabupaten dengan persentase tertinggi, yaitu sebanyak 59.48% rumah tangga sudah memiliki telpon seluler (Gambar 4.18).
Gambar 4.18 Persentase pemakaian telepon seluler di kawasan perbatasan darat NTT
39
Belu Kabupaten
2007 2008
TTU
2009 2010 Kab. Kupang
2011
0
10
20
30
40
50
SMU (unit)
Gambar 4.19 Jumlah SMU sederajat di kawasan perbatasan darat NTT Keadaan infrastruktur sosial, berupa pendidikan dan kesehatan di kawasan perbatasan darat NTT dapat terlihat pada gambar 4.19 dan 4.20. Kabupaten Kupang merupakan kabupaten dengan jumlah SMU sederajat terbanyak di NTT pada tahun 2011, yaitu sebanyak 42 unit. Kenaikan jumlah SMU sederajat selama kurun waktu 2007-2011 yang terbesar juga terjadi di Kabupaten Kupang, yaitu sebesar 133.33%. Apabila dilihat dari rasio jumlah SMU sederajat terhadap penduduk, seluruh kabupaten perbatasan di NTT hampir memiliki rasio yang sama, yaitu sekitar 0.0001 unit/jiwa, atau terdapat sebanyak 1 unit SMU sederajat untuk setiap 10000 penduduk. Rasio tertinggi berada di Kabupaten Kupang yaitu sebesar 0.0001345 unit/jiwa.
Sarana Kesehatan (unit)
350 300 250 2007 200
2008
150
2009
100
2010 2011
50 0 Kab. Kupang
TTU
Belu
Kabupaten
Gambar 4.20 Sarana kesehatan di kawasan perbatasan darat NTT
40 Keadaan sarana kesehatan, di kawasan perbatasan darat NTT jumlahnya tidak terlalu banyak berubah dalam kurun waktu 2007-2009, namun mulai tahun 2010 terjadi peningkatan yang drastis, khususnya di Kabupaten Kupang dan Belu. Pada tahun 2010 jumlah sarana kesehatan di Kabupaten Kupang sebanyak 263 unit sedangkan di Kabupaten Belu sebanyak 311 unit. Pada tahun 2009 jumlah sarana kesehatan di Kabupaten Kupang sebanyak 163 unit dan Belu sebanyak 88 unit, atau masing-masing mengalami peningkatan sebesar 61.35% dan 253.41%. Rasio sarana kesehatan terhadap jumlah penduduk tertinggi pada tahun 2011 berada di Kabupaten Kupang yaitu sebesar 0.0010439 puskesmas/penduduk atau terdapat sebanyak 10 puskesmas setiap 10000 penduduk. Rasio terendah ada di Kabupaten TTU dengan rasio sebesar 0.0003749 puskesmas/penduduk atau terdapat sekitar 3 puskesmas setiap 10000 penduduk.
Kawasan Perbatasan Darat Papua Propinsi Papua berbatasan darat langsung dengan Negara Papua New Guinea (PNG). Perbatasan darat tersebut terdapat di Kabupaten Merauke, Boven Digoel, Pegunungan Bintang, Keerom, dan Kota Jayapura (Gambar 4.21).
PNG
Gambar 4.21 Kawasan perbatasan darat di Papua Seluruh kabupaten perbatasan yang ada di Propinsi Papua mempunyai kepadatan penduduk yang rendah yaitu antara 0-10 jiwa/km2, kecuali Kota Jayapura yang mempunyai kepadatan lebih dari 50 jiwa/km2. Kepadatan penduduk Kota Jayapura tahun 2011 sebesar 277.58 jiwa/km2, sedangkan kepadatan penduduk paling rendah pada tahun 2011 terdapat di Kabupaten Boven Digoel yaitu sebesar 2.37 jiwa/km2 (Gambar 4.22). Nilai PDRB per kapita riil kabupaten perbatasan di Propinsi Papua yang terbesar pada tahun 2011 adalah Kota Jayapura, yaitu sebesar 13.809 juta rupiah, dan terendah di Kabupaten Pegunungan Bintang yaitu sebesar 4.217 juta rupiah (Gambar 4.23). Peningkatan PDRB per kapita riil dari tahun 2007 sampai 2011
41 cukup tinggi untuk kabupaten perbatasan di Papua, bahkan Kota Jayapura mengalami kenaikan sekitar 3 juta rupiah (35.77%).
PNG
Gambar 4.22 Kepadatan penduduk di kawasan perbatasan darat Papua tahun 2011 Kota Jayapura merupakan wilayah yang mempunyai nilai PDRB riil tertinggi dibandingkan kabupaten perbatasan lainnya di Papua. Pada tahun 2007 nilai PDRB riil Kota Jayapura sebesar 2187362.5 juta rupiah dan meningkat secara drastis pada tahun 2011 menjadi 3742476.87 juta rupiah, atau terjadi pertumbuhan ekonomi selama 5 tahun sebesar 71.10%. Nilai PDRB riil terkecil terdapat pada Kabupaten Pegunungan Bintang yaitu sebesar 153686.92 juta rupiah pada tahun 2007 dan 291.31 milyar rupiah pada tahun 2011 (Gambar 4.24).
PNG
Gambar 4.23 PDRB per kapita riil di kawasan perbatasan darat Papua tahun 2011
42
Juta rupiah
4000000 3000000 2000000 1000000 0 Merauke
Boven Digoel 390844.22
Peg. Bintang 153686.92
257775.68
2011 1627459.84 532539.73
291315.55
387674.39 3742476.87
2007
1229805
Keerom
Kota Jayapura 2187362.5
Kabupaten
Gambar 4.24 PDRB riil di kawasan perbatasan darat Papua Keadaan infrastruktur ekonomi di kabupaten perbatasan Papua dilihat dari rasio panjang jalan kondisi baik dan sedang masih tertinggal daripada kabupaten perbatasan di propinsi lainnya. Pada tahun 2011 Kota Jayapura merupakan wilayah yang mempunyai rasio panjang jalan terbesar dibandingkan kabupaten perbatasan lainnya di Papua, yaitu sebesar 0.3972 km/km2 wilayah Kota Jayapura (Gambar 4.25) atau terdapat 397.2 meter jalan setiap 1 km2 luas wilayah. Dilihat perkembangan dari tahun 2007, Kabupaten Keerom dan Kota Jayapura mempunyai rasio yang terus meningkat. Panjang jalan tersebut terkait dengan status Kota Jayapura sebagai ibukota Propinsi Papua dan Kabupaten Keerom sebagai wilayah penyangga Kota Jayapura.
Gambar 4.25
Perkembangan rasio panjang jalan terhadap luas wilayah di kawasan perbatasan Papua
43
PNG
Gambar 4.26 Rumah tangga yang mengakses air bersih untuk air minum di kawasan perbatasan darat Papua tahun 2011 Kota Jayapura merupakan wilayah dengan persentase akses terhadap air bersih tertinggi di kawasan perbatasan Papua pada tahun 2011, yaitu sebanyak 94.89% rumah tangga, sedangkan Kabupaten Keerom merupakan kabupaten dengan akses air bersih terendah, yaitu sebesar 28.40% (Gambar 4.26). Perkembangan akses air bersih sejak tahun 2007 sampai 2011 secara umum mengalami kenaikan. Kenaikan akses air bersih antara 2007-2011 yang terbesar ada di Kabupaten Pegunungan Bintang dan Kabupaten Boven Digoel, yaitu masing-masing sebesar 262.96% dan 102.47%.
Gambar 4.27 Perkembangan akses listrik di kawasan perbatasan darat Papua Keterjangkauan listrik di kawasan perbatasan darat Papua sangat bervariasi, di satu sisi Kota Jayapura mempunyai akses listrik hampir 100% rumah tangga, sedangkan disisi lain Kabupaten Pegunungan Bintang hanya 10% rumah tangga
44 pada tahun 2011. Perkembangan akses listrik selama kurun 2007-2011 mengalami peningkatan pada hampir semua wilayah perbatasan, kecuali Kabupaten Keerom yang mengalami penurunan (Gambar 4.27). Perkembangan sarana komunikasi di kawasan perbatasan darat Papua termasuk pesat, hal tersebut diindikasikan dengan adanya peningkatan penggunaan telpon seluler. Kabupaten Pegunungan Bintang merupakan kabupaten yang mengalami peningkatan tertinggi dalam persentase rumah tangga yang memiliki telpon seluler dari tahun 2007 (0.19% rumah tangga) ke 2011 (3.54% rumah tangga) (Gambar 4.28). Kota Jayapura pada tahun 2011 merupakan wilayah dengan persentase tertinggi dalam penggunaan telpon seluler, yaitu sebanyak 95.50% rumah tangga sudah memiliki telpon seluler.
Gambar 4.28 Persentase pemakaian telpon seluler di kawasan perbatasan darat Papua Keadaan infrastruktur sosial, berupa pendidikan dan kesehatan di kawasan perbatasan darat Papua dapat terlihat pada gambar 4.29 dan 4.30. Kota Jayapura merupakan wilayah dengan jumlah SMU sederajat terbanyak di Papua pada tahun 2011, yaitu sebanyak 35 unit. Kenaikan jumlah SMU sederajat selama kurun waktu 2007-2011 yang terbesar terjadi di Kabupaten Boven Digoel dan Pegunungan Bintang, yaitu sebesar 50%. Apabila dilihat dari rasio jumlah SMU sederajat terhadap penduduk, seluruh kabupaten perbatasan di Papua hampir memiliki rasio yang sama, yaitu sekitar 0.0001 unit/jiwa, atau terdapat sebanyak 1 unit SMU sederajat untuk setiap 10000 penduduk, kecuali untuk Kabupaten Pegunungan Bintang yang hanya memiliki rasio 0.0000448 unit/jiwa atau terdapat 4 SMU sederajat untuk setiap 100000 penduduk. Rasio tertinggi berada di Kabupaten Keerom yaitu sebesar 0.0001399 unit/jiwa. Keadaan sarana kesehatan, yang didekati dengan jumlah puskesmas, puskesmas pembantu, dan puskesmas keliling, di kawasan perbatasan darat Papua mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun 2007-2011, kecuali untuk Kabupaten Pegunungan Bintang. Sejak tahun 2007 Kabupaten Merauke mempunyai jumlah sarana kesehatan yang lebih banyak dibandingkan kabupaten lainnya. Pada tahun 2007 jumlah sarana kesehatan di Kabupaten Merauke
45 sebanyak 145 unit sedangkan pada tahun 2011 sebanyak 282 unit, sehingga mengalami peningkatan sebesar 94.48%.
Gambar 4.29 Jumlah SMU sederajat di kawasan perbatasan darat Papua Rasio sarana kesehatan terhadap jumlah penduduk tertinggi pada tahun 2011 berada di Kabupaten Boven Digoel yaitu sebesar 0.0016434 puskesmas/penduduk atau terdapat sebanyak 16 puskesmas setiap 10000 penduduk. Rasio terendah ada di Kota Jayapura dengan rasio sebesar 0.0003676 puskesmas/penduduk atau terdapat sekitar 3 puskesmas setiap 10000 penduduk. Hal tersebut dikarenakan Kota Jayapura merupakan ibukota propinsi, sehingga yang lebih dikembangkan adalah rumah sakit daripada puskesmas.
Gambar 4.30 Sarana kesehatan di kawasan perbatasan darat Papua
46 Ketimpangan Proses pembangunan yang dilaksanakan tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi semata, namun ada cita-cita untuk lebih memperluas pembangunan ekonomi agar efek positif dari pembangunan ekonomi Indonesia dapat dirasakan tidak saja di semua daerah di Indonesia, tetapi juga oleh seluruh komponen masyarakat di wilayah nusantara. Cita-cita tersebut berujung kepada pemerataan hasil pembangunan baik antar daerah maupun antar individu. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut diperlukan distribusi pendapatan yang lebih merata untuk setiap individu atau rumah tangga. Distribusi pendapatan mencerminkan besarnya porsi pendapatan yang diterima oleh individu atau rumah tangga dalam suatu wilayah. Ketimpangan tidak hanya terjadi antar daerah, namun juga antar individu atau rumah tangga. Ketimpangan antar individu atau rumah tangga ini disebut ketimpangan pendapatan. Salah satu indikator untuk mengukur ketimpangan pendapatan adalah gini rasio. Gini rasio dihitung memakai data pendapatan individu atau rumah tangga, namun karena data pendapatan yang valid sulit diperoleh melalui kegiatan survei, maka penghitungan gini rasio dilakukan dengan pendekatan data pengeluaran atau konsumsi rumah tangga. Penghitungan gini rasio dengan pendekatan pengeluaran ini akan menghasilkan angka yang underestimate, karena pendekatan pengeluaran per kapita hanya sensitif untuk menggambarkan pendapatan kelompok penduduk yang berpenghasilan rendah.
Gambar 4.31
Perkembangan ketimpangan pendapatan penduduk di kawasan perbatasan darat Propinsi Kalimantan Barat
Ketimpangan pendapatan di kawasan perbatasan darat dalam kurun waktu 2007-2011 memiliki pola yang beragam (Lampiran 2). Di propinsi Kalimantan Barat pada tahun 2011 Kabupaten Sambas merupakan kabupaten dengan tingkat ketimpangan tertinggi yaitu sebesar 0.4127 (Gambar 4.31). Secara umum ketimpangan di kawasan perbatasan Propinsi Kalimantan Barat mengalami kecenderungan meningkat dari tahun 2007 ke tahun 2011, walaupun diantara tahun 2007 dan 2011 sempat mengalami penurunan.
47
Gambar 4.32
Perkembangan ketimpangan pendapatan penduduk di kawasan perbatasan darat Propinsi Kalimantan Timur dan Utara
Keadaan ketimpangan pendapatan di kawasan perbatasan Propinsi Kalimantan Timur dan Utara cenderung stabil antara tahun 2007 dan 2011. Keadaan yang stabil itu tidak terjadi pada tahun-tahun diantara 2007 dan 2011, karena pada tahun 2009 terjadi peningkatan ketimpangan yang signifikan, dan pada tahun-tahun berikutnya mengalami penurunan lagi (Gambar 4.32). Kabupaten perbatasan di Propinsi NTT mengalami fenomena ketimpangan pendapatan seperti di Propinsi Kalimantan Timur dan Utara, yaitu cenderung tidak berubah banyak antara keadaan tahun 2007 dan 2011, akan tetapi pada tahun 2009 mengalami peningkatan ketimpangan pendapatan yang drastis dan perlahan-lahan turun pada tahun berikutnya (Gambar 4.33).
Gambar 4.33
Perkembangan ketimpangan pendapatan penduduk di kawasan perbatasan darat Propinsi NTT
48 Ketimpangan di kabupaten perbatasan Propinsi Papua kondisinya bervariasi antar kabupaten. Kabupaten Merauke, Boven Digoel, Keerom, dan Kota Jayapura mengalami kecenderungan kenaikan ketimpangan dari tahun 2007 ke 2011, sedangkan Kabupaten Pegunungan Bintang mengalami penurunan, yaitu sebesar 0.2948 di tahun 2007 menjadi 0.2491 di tahun 2011. Pada tahun 2010 terdapat tiga kabupaten yang mengalamin penurunan ketimpangan, tapi kemudian naik lagi di tahun 2011. Kabupaten tersebut adalah Kabupaten Boven Digoel, Pegunungan Bintang, dan Kota Jayapura. Ketimpangan pendapatan yang tertinggi berada di Kabupaten Boven Digoel, yaitu sebesar 0.4167 (Gambar 4.34).
Gambar 4.34
Perkembangan ketimpangan pendapatan penduduk di kawasan perbatasan darat Propinsi Papua
5 HASIL DAN PEMBAHASAN Dampak Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi Model pertumbuhan digunakan untuk mengidentifikasi variabel infrastruktur mana yang menjadi sumber pertumbuhan pendapatan per kapita di kawasan perbatasan darat. Model pertumbuhan ini dianalisis menggunakan pendekatan analisis data panel. Dari hasil Uji Hausman didapatkan nilai probabilita sebesar 0.1734 (Lampiran 3), berarti tidak menolak H0 dan dapat disimpulkan bahwa estimasi model pertumbuhan menggunakan random effect, karena tidak ada korelasi antara efek individu dengan variabel bebas, sehingga penggunaan REM akan lebih baik daripada penggunaan FEM. Pendugaan parameter dalam model REM dilakukan dengan metode Generalized Least Square (GLS). Pengujian model menggunakan Uji F menghasilkan nilai statistik F sebesar 8.453327 dan probabilita sebesar 0.000000 (Tabel 5.1) sehingga signifikan pada
49 taraf nyata 1%. Signifikansi tersebut mencerminkan bahwa model layak digunakan karena mampu menjelaskan keragaman variabel tak bebas. Nilai kebaikan dari kesesuaian model (goodness of fit) tersebut sebesar 0.485454, berarti 48.54% keragaman dari pendapatan per kapita dapat dijelaskan oleh variabel infrastruktur dan tenaga kerja. Tabel 5.1 Hasil estimasi model pertumbuhan Variabel
Koefisien
C Ln(JLN) Ln(SMU) Ln(KES) AIR LIS SEP KOM BDR LF DBATAS
3.094975** 0.045741 0.111083* 0.078514** 0.002021 0.000457 -0.001061 0.002818** 0.001515 0.001511 0.422909*
F-statistic Prob (F-statistic) R-squared Adj. R-squared
8.453327 0.000000 0.550586 0.485454
Std. Error
t-Statistic
p-value
0.650395 4.758607 0.046496 0.983775 0.057725 1.924364 0.037626 2.086701 0.001559 1.296493 0.001460 0.312862 0.001638 -0.647559 0.001127 2.500740 0.001201 1.261828 0.002009 0.751955 0.216829 1.950424
0.0000 0.3287 0.0584 0.0406 0.1191 0.7553 0.5194 0.0148 0.2113 0.4546 0.0552
Keterangan: * signifikan pada taraf nyata 10%, ** signifikan pada taraf nyata 5%
Variabel infrastruktur yang mempunyai hubungan signifikan dengan pertumbuhan pendapatan per kapita yaitu jumlah SMU, jumlah sarana kesehatan, kepemilikan telepon seluler, dan perbatasan (Tabel 5.1). Hasil tersebut sesuai dengan hasil penelitian Calderon dan Serven (2004) serta Radiansyah (2012). Variabel yang memiliki pengaruh paling besar adalah variabel dummy perbatasan, berarti kalau suatu kabupaten/kota berbatasan dengan negara yang lebih maju akan menghasilkan pertumbuhan pendapatan per kapita yang lebih tinggi. Kawasan perbatasan darat Indonesia yang berbatasan dengan negara lebih maju yaitu kabupaten/kota yang berada di Propinsi Kalimantan Barat, Timur, dan Utara. Di daerah-daerah tersebut perdagangan dengan negara tetangga berjalan dengan lancar. Penduduk Indonesia banyak menjual hasil kebun dan hutan ke negara tetangga, begitu juga sebaliknya negara tetangga banyak menjual kebutuhan bahan pokok ke wilayah Indonesia. Dengan terbukanya perdagangan tersebut, maka pendapatan penduduk di daerah tersebut akan meningkat. Variabel jumlah sarana pendidikan, yang didekati dengan jumlah SMU sederajat memiliki elastisitas sebesar 0.1111 yang berarti setiap kenaikan 1% jumlah infrastruktur pendidikan, yaitu SMU atau yang sederajat, akan mendorong pertumbuhan pendapatan per kapita sebesar 0.1111% ceteris paribus. Variabel pendidikan ini termasuk dalam infrastruktur sosial, selain variabel kesehatan. Beberapa kabupaten perbatasan yang sudah menerapkan program wajib belajar 12 tahun. Program tersebut ditunjang dengan adanya penyediaan infrastruktur
50 pendidikan yang memadai, antara lain pembangunan SMU atau sekolah yang sederajat. Hubungan yang signifikan mengindikasikan bahwa untuk mencapai pertumbuhan yang lebih tinggi, kawasan perbatasan darat sudah selayaknya mulai menerapkan program wajib belajar 12 tahun. Karena dengan adanya bekal pendidikan dasar yang lebih tinggi, akan lebih siap masuk dunia kerja. Pembangunan infrastruktur sekolah bukan hanya diarahkan kepada SMU umum, namun juga diarahkan kepada penambahan jumlah SMK, sehingga begitu lulus dari SMK sudah mempunyai ketrampilan yang dapat segera digunakan di dunia kerja, maupun untuk berwiraswasta. Variabel kesehatan, yang didekati dengan jumlah puskesmas, puskesmas pembantu, dan puskesmas keliling memiliki elastisitas sebesar 0.0785, sehingga setiap kenaikan jumlah sarana kesehatan sebesar 1% akan mendorong pertumbuhan pendapatan per kapita sebesar 0.0785% ceteris paribus. Keterjangkauan antar kecamatan dan desa di kawasan perbatasan darat selama ini sering dijadikan alasan apabila kualitas kesehatan masyarakat kawasan perbatasan menjadi lebih rendah dibandingkan kawasan lainnya. Penyediaan rumah sakit yang hanya berada di ibukota kabupaten menjadikan masyarakat yang berpenghasilan rendah tidak dapat mengakses sarana rumah sakit tersebut, karena besarnya biaya transportasi. Keterbatasan tersebut menjadikan puskesmas yang ada di tiap kecamatan, dan puskesmas pembantu yang ada di desa menjadi ujung tombak pelayanan kesehatan masyarakat. Sedangkan untuk menjangkau desa-desa yang tidak terdapat puskesmas pembantu, maka pemerintah daerah kawasan perbatasan menyiasatinya dengan membuat puskesmas keliling, baik lewat sarana darat maupun sungai. Perkembangan puskesmas dari waktu ke waktu semakin bagus. Pada kawasan perbatasan darat kondisi puskesmas sudah lebih bagus, mulai dengan adanya dokter jaga, sampai adanya puskesmas rawat inap dan puskesmas 24 jam. Ternyata keberadaan puskesmas tersebut mampu meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat perbatasan, sehingga mendorong produktivitas mereka dalam bekerja menjadi lebih tinggi dan akan meningkatkan pendapatan mereka. Pembangunan infrastruktur ekonomi di kawasan perbatasan relatif tidak terlalu berpengaruh dalam mendorong peningkatan pendapatan per kapita masyarakat. Infrastruktur transportasi, seperti jalan dan bandara, infrastruktur air dan listrik memang mendorong pertumbuhan pendapatan per kapita bagi masyarakat kawasan perbatasan, yaitu dengan positif nya tanda elastisitas masingmasing variabel infrastruktur ekonomi tersebut. Perkembangan infrastruktur ekonomi yang lambat diduga menjadi salah satu penyebab tidak berpengaruhnya infrastruktur ekonomi. Struktur ekonomi kawasan perbatasan darat yang masih dominan di sektor pertanian, dan sebagian besar hasil pertanian hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri membuat pembangunan jalan dan jembatan belum dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat. Pembangunan infrastruktur listrik dan air sejauh ini hanya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, sehingga belum memberikan dampak yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi. Infrastruktur ekonomi yang signifikan adalah telekomunikasi dengan elastisitas sebesar 0.0028, yang berarti setiap kenaikan kepemilikan telepon seluler sebesar 1% akan mendorong pertumbuhan pendapatan per kapita sebesar 0.0028% ceteris paribus. Kepemilikan telepon seluler mencerminkan bahwa di wilayah tersebut sudah terjangkau layanan telekomunikasi tanpa kabel.
51 Peningkatan kepemilikan telepon seluler, selain mencerminkan adanya peningkatan jangkauan sinyal juga mencerminkan sudah terbukanya masyarakat kawasan perbatasan darat terhadap informasi dari luar kawasan. Keterbukaan informasi tersebut merupakan salah satu terobosan dalam meningkatkan ekonomi, karena dengan adanya sarana telekomunikasi akan mendorong keterbukaan informasi sehingga akses mereka terhadap masyarakat di luar kawasan perbatasan akan terbuka. Dampak ikutan dari ketebukaan informasi adalah terbukanya peluang bagi masyarakat perbatasan untuk mempromosikan dan memasarkan hasil produksi mereka, selain itu juga dapat meperkenalkan potensi wisata di daerahnya. Dari sisi pertahanan keamanan, dengan terjangkaunya sinyal sampai wilayah perbatasan menjadi keuntungan tersendiri, karena kondisi keamanan di kawasan perbatasan akan semakin mudah dipantau dan apabila terjadi masalah keamanan di perbatasan akan cepat direspons oleh aparat. Sarana telekomunikasi tidak dapat berdiri sendiri, tetapi juga harus didukung infrastruktur ekonomi lainnya seperti jalan dan bandara, untuk memudahkan masyarakat membawa barang produksinya ke pasar. Oleh karena itu signifikansi infrastruktur telekomunikasi ini harus diikuti dengan langkah perbaikan infrastruktur transportasi, sehingga dapat mendukung keterbukaan informasi yang sudah ada. Apabila hal tersebut bisa terwujud, maka akan lebih meningkatkan pendapatan masyarakat.
Dampak Infrastruktur terhadap Ketimpangan Analisis model ini menggunakan pendekatan Panel Two Stage EGLS atau Panel Two Stage Random Effect. Dalam model digunakan instrumen variabel dan variabel yang diinstrumenkan adalah variabel pendapatan per kapita, dengan instrumen variabelnya adalah semua variabel independen dalam model pertumbuhan. Hasil estimasi dari model ketimpangan terlihat pada tabel 5.2. Dari hasil pengujian kelayakan model, didapatkan nilai statistik F sebesar 3.8067 dan hasilnya signifikan pada taraf nyata 5%. Dengan demikian model yang dibangun mampu menjelaskan keragaman gini rasio. Penghitungan model menggunakan metode ini akan mengakibatkan nilai kebaikan dari kesesuaian model menjadi kecil dan nilainya tidak dapat diinterpretasikan seperti penggunaan OLS biasa (Wooldridge 2004). Hasil estimasi menggunakan Panel Two Stage Random Effect diketahui bahwa semua variabel yang dimasukkan nyata mempengaruhi gini rasio. Variabel pendapatan per kapita yang diinstrumenkan dengan variabel infrastruktur ekonomi, infrastruktur sosial, dan jumlah angkatan kerja mempunyai elastisitas sebesar 0.0367 sehingga setiap kenaikan pendapatan per kapita sebesar 1% akan mengakibatkan ketimpangan meningkat sebesar 0.0367% ceteris paribus. Nilai signifikansi variabel pendapatan per kapita yang kurang dari 10% (Tabel 5.2) menunjukkan bahwa infrastruktur ekonomi, sosial, dan jumlah angkatan kerja secara tidak langsung akan mempengaruhi ketimpangan di kawasan perbatasan darat. Hasil tersebut sesuai dengan hasil penelitian Wahyuni (2011), serta sesuai dengan teori Kusnetz.
52 Tabel 5.2 Hasil estimasi model ketimpangan Variabel
Koefisien
Std. Error
t-Statistic
C Ln(KAP) LFI
0.226988** 0.036753* 0.003633**
0.040677 0.020808 0.001638
5.580230 1.766337 2.218420
F-statistic Prob (F-statistic) R-squared Adj. R-squared
3.806697 0.026515 0.027071 0.001800
p-value 0.0000 0.0813 0.0295
Keterangan: * signifikan pada taraf nyata 10%, ** signifikan pada taraf nyata 5%
Dalam teori ketimpangan Kusnetz diungkapkan bahwa ketimpangan akan meningkat pada awal-awal pembangunan seiring dengan peningkatan pendapatan per kapita. Kawasan perbatasan darat secara umum baru berkembang setelah adanya otonomi daerah tahun 1999, dan lebih pesat lagi pembangunannya sejak dibentuknya Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP). Pembangunan yang baru pesat dalam kurun waktu kurang lebih 10 tahun, membuat ketimpangan pendapatan di kawasan perbatasan darat akan terus meningkat. Hal tersebut juga didorong keinginan pemerintah daerah masing-masing wilayah untuk terus membangun infrastruktur guna membuka keterisolasian wilayah dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Dari model ketimpangan diketahui bahwa variabel persentase pekerja di sektor industri berpengaruh terhadap peningkatan ketimpangan pendapatan. Elastisitas variabel tersebut sebesar 0.0036 yang berarti setiap kenaikan 1% jumlah pekerja di sektor industri akan mendorong kenaikan ketimpangan sebesar 0.0036% ceteris paribus. Perbedaan pendapatan pekerja antara sektor industri dan sektor pertanian akan menimbulkan terjadinya ketimpangan pendapatan di masyarakat. Dalam sektor pertanian terjadi kelebihan tenaga kerja dan ditandai dengan produktivitas marjinal tenaga kerja sama dengan nol, sedangkan dalam sektor industri mempunyai produktivitas yang tinggi. Produktivitas yang tinggi akan menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi, sehingga adanya masyarakat kawasan perbatasan darat yang bekerja di sektor industri akan meningkatkan ketimpangan pendapatan, karena sebagian besar masyarakat masih bekerja di sektor pertanian.
6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dari hasil penelitian dan analisis yang sudah dilakukan dapat ditarik simpulan sebagai berikut: 1. Infrastruktur memiliki dampak yang positif terhadap pertumbuhan pendapatan per kapita. Dalam kurun waktu 2007-2011 infrastruktur sosial lebih dominan
53 dalam mempengaruhi pertumbuhan pendapatan per kapita di kawasan perbatasan darat Indonesia. Infrastruktur sosial tersebut adalah pendidikan dan kesehatan. Infrastruktur ekonomi yang berperan dalam pertumbuhan pendapatan per kapita adalah telekomunikasi. Disamping itu kawasan perbatasan darat yang berbatasan langsung dengan negara yang lebih maju akan mengalami pertumbuhan pendapatan per kapita yang lebih tinggi daripada kawasan perbatasan darat yang berbatasan dengan negara yang kurang maju. 2. Ketimpangan yang terjadi di kawasan perbatasan darat Indonesia dipengaruhi secara langsung oleh pendapatan per kapita masyarakat dan jumlah pekerja di sektor industri. Pembangunan infrastruktur secara tidak langsung ikut mempengaruhi kenaikan ketimpangan, yaitu melalui peningkatan pendapatan per kapita masyarakat. Pada kawasan perbatasan darat selama kurun waktu 2007-2011 pembangunan infrastruktur sosial akan meningkatkan ketimpangan pendapatan.
Saran Berdasarkan hasil penelitian diberikan beberapa saran dan implikasi kebijakan sebagai berikut: 1. Untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi di kawasan perbatasan darat Indonesia, maka pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah, harus lebih memperhatikan kuantitas dan kualitas infrastruktur sosial seperti pendidikan dan kesehatan. Pembangunan infrastruktur ekonomi seperti jalan, jembatan, bandara, listrik, dan air juga tetap harus ditingkatkan, karena pembangunan infrastruktur tidak dapat dilakukan secara terpisah. 2. Pemerintah kabupaten/kota di kawasan perbatasan darat sudah selayaknya menerapkan kebijakan wajib belajar 12 tahun, sehingga akan tersedia sumber daya manusia yang lebih siap untuk memasuki dunia kerja, terutama dari lulusan SMK. 3. Pemerintah kabupaten/kota di kawasan perbatasan darat harus lebih mengembangkan sarana puskesmas, puskesmas pembantu, dan puskesmas keliling dalam memperbaiki tingkat kesehatan masyarakat. Langkah yang bisa ditempuh adalah menjadikan puskesmas sebagai puskesmas rawat inap dan puskesmas 24 jam. 4. Perluasan jangkauan jaringan telekomunikasi, terutama telekomunikasi nirkabel, harus ditingkatkan secara masif, karena dengan adanya jangkauan telekomunikasi sampai kawasan perbatasan akan membuka akses informasi kepada masyarakat di pebatasan. Dampak lainnya adalah setiap kejadian atau masalah yang terjadi di kawasan perbatasan, baik masalah keamanan maupun masalah lainnya, akan menjadi lebih mudah diketahui dan akan meningkatkan respon penanganannya. 5. Pembangunan infrastruktur, baik sosial, ekonomi, dan administrasi, harus dilakukan secara menyeluruh dan berkesinambungan, sehingga akan mempercepat terjadinya pemerataan pendapatan di kawasan perbatasan darat Indonesia dan akan benar-benar menjadikan kawasan perbatasan darat sebagai beranda depan Indonesia.
54
DAFTAR PUSTAKA Amrullah T. 2006. Analisis pengaruh pembangunan infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia [tesis]. Depok (ID): Universitas Indonesia. Baltagi BH. 2007. Econometric Analysis of Panel Data. West Sussex (GB): J Wiley. [Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2010. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010-2014. Jakarta (ID): Bappenas [BNPP] Badan Nasional Pengelola Perbatasan. 2011. Grand Design Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan di Indonesia tahun 20112025. Jakarta (ID): BNPP. [BPS Kalbar] Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Barat. 2012. Kalimantan Barat Dalam Angka 2008-2012. Pontianak (ID): BPS Kalbar. [BPS Kaltim] Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Timur. 2012. Kalimantan Timur Dalam Angka 2008-2012. Samarinda (ID): BPS Kaltim. [BPS NTT] Badan Pusat Statistik Nusa Tenggara Timur. 2012. Nusa Tenggara Timur Dalam Angka 2008-2012. Kupang (ID): BPS NTT. [BPS Papua] Badan Pusat Statistik Provinsi Papua. 2012. Papua Dalam Angka 2008-2012. Jayapura (ID): BPS Papua. Calderon C, Chong A. 2004. Volume and quality of infrastructure and the distribution of income: an empirical investigation. Review of Income and Wealth. 50(1). Calderon C, Serven L. 2004. The effects of infrastructure development on growth and income distribution. World Bank Policy Research Working Paper 3400. Capello R. 2007. Regional Economics. New York (US): Routledge. Crescenzi R, Pose AD. 2011. Infrastructure and regional growth in the European Union. Reg Science. 91(3):487-513.doi:10.1111/j.1435-5957.2012.00439.x. Dornbusch R, Fischer S, Startz R. 2004. Macroeconomics. Ninth Edition. New York (US): McGraw Hill. Firdaus M. 2011. Aplikasi Ekonometrika untuk Data Panel dan Time Series. Bogor (ID): IPB Pr. Gujarati DN. 2004. Basic Econometrics. 4th Edition. New York (US): McGraw Hill. Groote P, Jacobs J, Sturm JE. 1999. Infrastructure and economic development in the Netherlands, 1853-1913. European Review of Economic History. 3(2):233-251. Jan SA, Chani MI, Pervaiz Z, Siddiqi MW. 2012. Physical infrastructure and economic development in Pakistan. Middle-East Journal of Scientific Research. 11(2):216-220. Jhingan ML. 2010. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta (ID): Rajawali Pr. Juanda B. 2009. Ekonometrika Pemodelan dan Pendugaan. Bogor (ID): IPB Pr. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. 2011. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025. Jakarta (ID): Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
55 [P3B] Pusat Pembinaan Pengembangan Bahasa. 1993. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta (ID): Balai Pustaka. Prasetyo RB. 2010. Dampak pembangunan infrastruktur dan aglomerasi industri terhadap pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Radiansyah D. 2012. Analisis kontribusi infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia (periode tahun 1996 s.d 2008) [tesis]. Depok (ID): Universitas Indonesia. Roller LH, Waverman L. 2001. Telecommunications infrastructure and economic development: a simultaneous approach. The American Economic Review. 91(4):909-923. Sari P. 2011. Analisis pengaruh program pembangunan infrastruktur terhadap penurunan kemiskinan di kabupaten tertinggal [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Seneviratne D, Sun Y. 2013. Infrastructure and income distribution in ASEAN-5: what are the links? IMF Working Paper 13/41. Sukirno S. 1985. Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah, dan Dasar Kebijaksanaan. Jakarta (ID): FEUI. Todaro MP, Smith SC. 2006. Pembangunan Ekonomi. Edisi kesembilan. Jilid ke1. Harris M, Puji AL, penerjemah; Devri B, Suryadi S, Wibi H, editor. Jakarta (ID): Penerbit Erlangga. Terjemahan dari: Economic Development. Ninth edition. Wahyuni KT. 2011. Konvergensi dan faktor-faktor yang memengaruhi ketimpangan wilayah kabupaten/kota di Pulau Jawa [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Wooldridge JM. 2004. Introductory Econometrics: A Modern Approach. Cambridge (UK): MIT Pr. World Bank. 1994. World Development Report 1994 Infrastructure for Developmet. New York (US): Oxford Univ Pr.
56 Lampiran 1 PDRB per kapita riil kawasan perbatasan darat (rupiah) Kabupaten Kab. Kupang TTU Belu Sambas Bengkayang Sanggau Sintang Kapuas Hulu Kutai Barat Nunukan Malinau Merauke Boven Digoel Peg. Bintang Keerom Kota Jayapura
2007 2392514 1901299 1945419 5097724 4842312 5922163 5264149 4892373 17159810 8303370 9615819 6904637 8404891 2230644 5769504 10171177
2008 2445889 1984144 1916709 5350491 5057023 6073719 5396934 5012602 17994398 9010457 9851594 7031140 8527012 2924526 6237221 10449696
2009 3183205 2056636 2820556 5612193 5228366 6317151 5560748 5143504 18882536 9035735 10181014 7365410 8659793 3522541 6787059 12017560
2010 3315451 2120013 2893413 5914549 5417148 6526130 5719756 5320541 19701531 9257606 11051084 7845072 8956275 4042214 7265980 12717153
2011 3395720 2183563 2950221 6192085 5598575 6703916 5926344 5443387 20457962 9481669 11731012 7876394 9042496 4217014 7565707 13809266
57 Lampiran 2 Gini rasio kawasan perbatasan darat Kabupaten Kab. Kupang TTU Belu Sambas Bengkayang Sanggau Sintang Kapuas Hulu Kutai Barat Nunukan Malinau Merauke Boven Digoel Peg. Bintang Keerom Kota Jayapura
2007 0.2650 0.2328 0.2491 0.2316 0.2283 0.2293 0.1945 0.2224 0.2497 0.3159 0.3059 0.3431 0.3094 0.2948 0.2234 0.2449
2008 0.3350 0.3103 0.3160 0.2542 0.2052 0.3145 0.1981 0.2052 0.3140 0.3620 0.2975 0.3223 0.3657 0.1579 0.3303 0.3356
2009 0.4526 0.5504 0.5300 0.3885 0.4023 0.4198 0.3567 0.4211 0.3444 0.5830 0.3979 0.3905 0.3348 0.2512 0.3493 0.3900
2010 0.4071 0.3010 0.3626 0.3112 0.3311 0.3394 0.2404 0.2349 0.3055 0.3734 0.2742 0.3992 0.2305 0.2142 0.4418 0.2723
2011 0.3082 0.2584 0.3161 0.4127 0.3419 0.3432 0.3036 0.3558 0.2485 0.3460 0.3400 0.4064 0.4167 0.2491 0.3603 0.2926
58 Lampiran 3 Hasil uji hausman Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: Untitled Test cross-section random effects
Test Summary Cross-section random
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
Prob.
12.767059
9
0.1734
Random
Var(Diff.)
Prob.
0.045741 0.111083 0.078514 0.002021 0.000457 -0.001061 0.002818 0.001515 0.001511
0.000276 0.000065 0.000057 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
0.8120 0.0675 0.7233 0.5609 0.0408 0.1596 0.2308 0.6761 0.7894
Cross-section random effects test comparisons: Variable Ln(JLN) Ln(SMU) Ln(KES) AIR LIS SEP KOM BDR LF
Fixed 0.049694 0.096327 0.075829 0.002271 -0.000217 -0.001767 0.003112 0.001376 0.001597
59 Lampiran 4 Hasil estimasi model pertumbuhan Dependent Variable: Ln(KAP) Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 07/11/13 Time: 06:53 Sample: 2007 2011 Periods included: 5 Cross-sections included: 16 Total panel (balanced) observations: 80 Swamy and Arora estimator of component variances Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C Ln(JLN) Ln(SMU) Ln(KES) AIR LIS SEP KOM BDR LF DBATAS
3.094975 0.045741 0.111083 0.078514 0.002021 0.000457 -0.001061 0.002818 0.001515 0.001511 0.422909
0.650395 0.046496 0.057725 0.037626 0.001559 0.001460 0.001638 0.001127 0.001201 0.002009 0.216829
4.758607 0.983775 1.924364 2.086701 1.296493 0.312862 -0.647559 2.500740 1.261828 0.751955 1.950424
0.0000 0.3287 0.0584 0.0406 0.1991 0.7553 0.5194 0.0148 0.2113 0.4546 0.0552
Effects Specification S.D. Cross-section random Idiosyncratic random
0.417496 0.080524
Rho 0.9641 0.0359
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.550586 0.485454 0.082693 8.453327 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
0.152897 0.115280 0.471827 1.426991
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.436245 15.44792
Mean dependent var Durbin-Watson stat
1.779194 0.043585
60 Lampiran 5 Hasil estimasi model ketimpangan Dependent Variable: GINI Method: Panel Two-Stage EGLS (Cross-section random effects) Date: 07/08/13 Time: 09:36 Sample: 2007 2011 Periods included: 5 Cross-sections included: 16 Total panel (balanced) observations: 80 Swamy and Arora estimator of component variances Instrument list: C LFI LOG(KES) LOG(SMU) KOM BDR LOG(JLN) AIR LIS SEP LF Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C Ln(KAP) LFI
0.226988 0.036753 0.003633
0.040677 0.020808 0.001638
5.580230 1.766337 2.218420
0.0000 0.0813 0.0295
Effects Specification S.D. Cross-section random Idiosyncratic random
0.017321 0.075470
Rho 0.0500 0.9500
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic) Instrument rank
0.027071 0.001800 0.078993 3.806697 0.026515 10.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Second-Stage SSR
0.285413 0.079065 0.480477 1.937028 0.449410
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.025962 0.506579
Mean dependent var Durbin-Watson stat
0.320804 1.837221
61 Lampiran 6 Hasil uji normalitas
14
Series: Standardized Residuals Sample 2007 2011 Observations 80
12 10 8 6 4 2 0 -0.8
-0.6
-0.4
-0.2
-0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
-5.13e-16 -0.037366 0.959462 -0.845940 0.442203 0.299039 2.646172
Jarque-Bera Probability
1.609641 0.447168
62
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Bayu Agung Prasetyo, dilahirkan di Purworejo pada tanggal 7 Juni 1979 dari pasangan Toemino (almarhum) dan Sulasri. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Penulis menikah dengan Sri Wahyuni Ratna Juwita dan dikaruniai dua orang putra bernama Muhammad ‘Alauddin Zhariif dan Muhammad Nashiruddin Alfarisy. Penulis mengikuti pendidikan di Sekolah Dasar Negeri Tirtodranan Purworejo pada tahun 1986 sampai dengan 1992, Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Purworejo pada tahun 1992 sampai dengan 1995, dan Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Purworejo pada tahun 1995 sampai dengan 1998. Pada tahun 1998 penulis melanjutkan pendidikan jenjang D4 di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta jurusan Sosial Kependudukan sampai dengan tahun 2002. Selanjutnya penulis bekerja di Badan Pusat Statistik Kabupaten Malinau Kalimantan Timur dari tahun 2002 sampai dengan 2011. Pada pertengahan tahun 2011 penulis dimutasi ke Badan Pusat Statistik Kabupaten Paser Kalimantan Timur hingga sekarang. Pada tahun 2011 penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Departemen Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen, setelah sebelumnya mengikuti program alih jenjang pada perguruan tinggi yang sama. Program pendidikan ini merupakan kerjasama antara IPB dan BPS.