DEMOKRASI BERKEBUDAYAAN DAN BUDAYA

Download demokratis, namun dengan imbuhan budaya sendiri, sebagaimana juga agaknya yang berlaku di dunia ... bagaimana memunculkan tradisi budaya ...

0 downloads 489 Views 89KB Size
Demokrasi Berkebudayaan dan Budaya Berdemokrasi

Prof. Dr. H. Rusjdi Ali Muhammad, S.H. Direktur Pasca Sarjana IAIN Ar Raniry Banda Aceh

Abstrak Salah satu persoalan penting di sini adalah mencari tahu bagaimana demokrasi yang merupakan produk pemikiran dan pergolakan budaya yang berasal dari Barat dipraktekkan oleh bangsa Indonesia dengan alam pikiran dan nuansa tradisinya sendiri. Pertemuan konsep demokrasi dengan sejarah Indonesia agaknya tidak bisa mengabaikan aspek kebudayaan masyarakat. Konsep demokrasi tidak hanya menyangkut persoalan sistem pemerintahan, tetapi juga bagaimana keadaan masyarakat, terutama relasi sosial. Sejarah pemerintahan Indonesia sejak era Orde Lama hingga Orde Reformasi kelihatan berusaha mengadopsi sistem pemerintahan demokratis, namun dengan imbuhan budaya sendiri, sebagaimana juga agaknya yang berlaku di dunia Barat sendiri. Ini terlihat sejak lahirnya demokrasi terpimpin pada era Sukarno, demokrasi sentralisasi era Suharto sampai demokrasi “kebablasan” era Reformasi kini. Tensi demokrasi dengan Islam juga akan menjadi salah satu isu penting dalam studi ini. Sebab banyak yang mempertanyakan kesesuaian konsep demokrasi dengan ajaran Islam. Untuk menjawab persoalan tersebut kiranya perlu membedah essensi demokrasi yang dianggap menjadi nilai universal lalu membandingkannya dengan ajaran Islam. Melihat kondisi di Aceh sendiri, kiranya esensi demokrasi cukup jelas dalam budaya lokal. Jabatan Keuchik atau Panglima Laot misalnya sejak lama memang dipilih langsung oleh rakyat. Adapun jabatan adat lain seperti Tuha Peut, Tuha Lapan atau Imeum Mukim memang tidak lazim dilakukan pemilihan, tetapi asas transparansi dan keterlibatan rakyat cukup tercermin di situ. Dengan begitu, persoalan demokrasi di Indonesia, selain terkait dengan bagaimana strategi kebudayaan yang hendak dibangun, juga berhubungan dengan keyakinan masyarakat yang mempengaruhi sistem berpikir mereka. Dalam hal ini, budaya juga dimaknai selain sebagai kajian mengenai makna-makna simbolik, juga membahas persoalan sistem berpikir.

1

Pendahuluan Oleh Panitia, saya diminta untuk melakukan presentasi mengenai demokrasi1 dan budaya untuk konteks Indonesia. Dalam topik ini sepintas terlihat ada tiga hal utama yang harus dijelaskan yaitu apakah selama ini demokrasi di Indonesia memiliki hubungannya dengan budaya? Demikian pula, apakah budaya di Indonesia dapat menjadi pemicu terhadap lahirnya demokrasi? Terakhir, bagaimana menjelaskan demokrasi dan budaya dalam konteks Indonesia sebagai sebuah ‘negara-bangsa’? Untuk pertanyaan pertama, diperlukan suatu pemahaman tentang perjalanan demokrasi di Indonesia. Secara historis Indonesia merdeka pada tahun 1945, di mana konsep demokrasi dan negara bangsa (nation-states) sudah menjadi acuan utama di dalam pembangunan bangsa. Hal ini sejalan dengan pandangan Samuel P. Huntington yang menyebutkan bahwa: “Modern democracy is not simply democracy of the village, the tribe, or the city state; it is democracy of the nation state and its emergence is associated with the development of the nation state.”2 Sementara pada persoalan kedua, diperlukan sebuah narasi mengenai representasi kebudayaan di Indonesia. Walaupun secara sosial kemasyarakatan, budaya Jawa telah memberikan kontribusi penting di dalam sejarah perjalanan demokrasi di Indonesia. Hal ini tentu saja dipicu oleh kenyataan bahwa di Indonesia, terdapat banyak sekali suku bangsa yang memberikan

dampak pada pemahaman tentang “kebudayaan

nasional” yang di satu sisi melintasi identitas suku-suku bangsa, namun di sisi lain juga ‘menampung’ apa yang dalam Penjelasan UUD 1945 disebut sebagai “puncak-

1 2

Tentang teori demokrasi baca (Dahl 2001) (Huntington 1991, 13)

2

puncak kebudayaan” dari asal suku-suku bangsa.3Adapun untuk persoalan ketiga diperlukan suatu kajian mengenai konsep inti negara bangsa, dimana ini merupakan produk ilmu-ilmu sosial dari masyarakat Eropa. Pada prinsipnya, untuk konteks Indonesia, mendiskusikan persoalan budaya dan demokrasi akan menggiring kita pada pemahaman konteks kehidupan politik dan kehidupan budaya. Persoalan ini tentu saja terlihat ketika dimunculkan konsep budaya Indonesia kemudian konsep demokrasi yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Dalam beberapa literatur,perjalanan demokrasi di Indonesia mengalami pasang surut.4 Bangsa ini telah melewati tiga model demokrasi yaitu demokrasi konstitusional, demokrasi terpimpin, dan demokrasi Pancasila. Ketiga model demokrasi tersebut lahir dalam perjalanan sejarah politik Indonesia, dimana demokrasi Pancasila yang paling lama diterapkan di Indonesia. Namun demikian, demokrasi Pancasila yang berwujud juga dalam Ideologi Pancasila telah menyisakan banyak persoalan bangsa, khususnya tentang stabilitas politik dan persoalan integrasi bangsa.5

Karena itu, diskusi mengenai demokrasi di Indonesia merupakan

persoalan yang sangat urgen. Hal ini disebabkan oleh format demokrasi di Indonesia selalu menjadi acuan, tidak hanya bagi negara lain, tetapi juga sebagai standar kehidupan rakyat yang multi-agama dan multi-etnik.6 Makalah ini berusaha untuk memaparkan konsep demokrasi yang memiliki akar kebudayaan, serta melihat bagaimana memunculkan tradisi budaya demokrasi di Indonesia. Adapun struktur kajian ini adalah setelah pendahuluan, akan ditelaah tentang perjalanan demokrasi di Indonesia. Dalam bagian ini akan dilakukan pemaparan ulang, apa saja unsur-unsur yang menyebabkan tradisi demokrasi di Indonesia selalu mendapatkan tantangan, baik dari dalam maupun dari luar. Setelah itu, akan 3

(Sedyawati 2012) (Abdillah 1999) (Abdillah 1996). 5 (Ismail 1999) (Ali 2010) 6 (Liddle and Muzani 2000) (Mujani and Liddle 2009) (Mujani 2007) 4

3

diteruskan dengan kupasan tentang kemungkinan untuk menawarkan asas-asas untuk pelaksanaan budaya berdemokrasi di Indonesia. Kupasan mengenal hal tersebut akan digiring pada persoalan tradisi politik bangsa dan tradisi budaya bangsa Indonesia. Beberapa hasil temuan di dalam studi ini, akan disajikan pada bagian kesimpulan.

Tradisi Demokrasi di Indonesia Secara harfiah, makna demokrasi adalah rule by the people.7 Istilah ini berasal dari Yunani, khususnya dari para filosof seperti Plato, Aristoteles, dan Thucydides. 8 Inti dari kata tersebut adalah pemerintah di bawah kendali rakyat. Buah dari demokrasi adalah republic. Istilah ini sampai pada generasi kita, meskipun telah mengalami berbagai penafsiran dan pola penerapan, khususnya mengenai sistem pemerintahan di seluruh dunia. Akan tetapi, Anthony H. Birch menyebutkan bahwa “the Greeks gave us the word, but did not provide us with a model.”9 Karena itu, diskusi mengenai model demokrasi yang paling tepat bagi suatu bangsa, sangat tergantung dari tradisi dan filsafat pemikiran yang dianut oleh bangsa tersebut. Sejak abad ke-19, istilah ini kemudian menjadi acuan di dalam sistem perwakilan di dalam pemerintahan yang dipilih melalui pemilu. Kemunculan konsep ini pada era modern juga ditandai dengan sejarah kolonialisme dan imperialism negara-negara Eropa ke Asia dan Afrika. Tidak dapat dipungkiri bahwa konsep demokrasi bertemu dengan tradisi atau kebudayaan negara yang sudah menjadi negeri taklukan penjajah. Konsep demokrasi di negara-negara Barat terus menjadi frame work bagi kehidupan berbangsa. Mereka terus mencari format atau model demokrasi yang cocok dengan keinginan pendiri bangsa. Hampir semua negara-negara di Eropa

7

(Birch 2001, 71) Baca misalnya (Stumpf and Fieser 2008) 9 (Birch 2001, 71) 8

4

merupakan memiliki sistem monarkhi. Namun, demokrasi tetap menjadi acuan terpenting. Birch menyimpulkan era ini sebagai berikut: In defining and discussing democracy in the twentieth century, there have been two source of confusion. One source of confusion is that the term has been used not only to describe a system of government but also to describe other social relationship. Thus, American have said that their country not only has a democratic set of political institutions but also has or is a democratic society. Some socialists have advocated industrial democracy. Communist used to describe the Communist Party states of eastern Europe as people’s democracies.10 Pandangan di atas menyiratkan bahwa konsep demokrasi pada abad ke-20 telah dibagi kepada dua aspek: sistem pemerintahan dan relasi sosial masyarakat. Pada pola pertama terlihat pada perjalanan sistem pemerintahan suatu negara. Karena itu, negara-negara di dunia berusaha agar bangsanya menjadi negara yang paling demokratis dalam menjalankan roda pemerintahan. Standar utamanya adalah rakyatlah yang mengendalikan pemerintahan melalui wakil mereka. Namun, ketika dilekatkan konsep demokrasi pada aspek relasi sosial masyarakat, maka itu sangat terkait dengan budaya tempatan. Disini ingin dilihat bagaimana hubungan sosial di dalam masyarakat yang egaliter dan saling menghormati. Karena itu, negara yang demokratis juga diharuskan untuk membentuk dan membina masyarakat yang demokratis pula. Suatu negara yang tidak mampu menjalankan lembaga politik secara tidak sehat, maka dapat dinyatakan negara tersebut tidak demokratis atau bahkan gagal. 11 Negara-negara akhirnya menciptakan model pemerintahan demokratis menurut ideologi yang dianutnya. Masyarakat komunis mengklaim bahwa mereka merupakan orang yang paling demokratis. Masyarakat industrialis juga menyatakan bahwa mereka juga bagian dari perjalanan demokrasi. Agaknya, konsep demokrasi telah dimasukkan ke dalam setiap pemikiran dan ideologi sejak awal abad ke-19 hingga ke10 11

(Birch 2001, 72) (Acemoglu and Robinson 2012)

5

20 M. Disinilah pengaruh yang dijalankan terhadap Indonesia. Alam pikir Eropa dan Amerika Utara masuk ke Indonesia sejak era sebelum dan sesudah kemerdekaan. Salah satu perdebatan yang cukup alot mengenai demokrasi terlihat misalnya saat diskusi antara Soekarno dengan para pemikir Islam yaitu Mohd. Natsir. 12 Kehadiran demokrasi di Indonesia terkadang dianggap sudah gagasan yang telah menggugat keberadaan Islam sebagai salah satu alat pemersatu ummat ketika menghadapi penjajah.13 Sehingga dari kelompok Islam, cenderung tidak mau menerima mentah-mentah konsep demokrasi dari Barat, karena menganust sistem dan paham sekularisme. Perdebatan antara Soekarno dan Mohd. Natsir pada awal-awal pencarian ideologi bangsa ini, menyiratkan bagaimana perbedaan pemahaman mengenai hubungan demokrasi dengan Islam. Menurut Natsir, sekularisme menurunkan sumber nilai-nilai hidup manusia dari taraf ke-Tuhanan kepada taraf kemasyarakatan semata-mata.14 Pandangan ini menyiratkan bahwa konsep demokrasi yang merupakan bawaan dari paham sekularisme agaknya tidak sesuai dengan ajaran Islam. Sehingga diskusi mengenai kesesuaian antara demokrasi dengan Islam kerap dilakukan oleh para sarjana. Selo Soemardjan, ketika mengomentari tentang konsep demokrasi dari Barat menyebutkan bahwa “…banyak anggota masyarakat Indonesia yang tidak begitu canggih dan belum pernah mendapat pendidikan Barat sangat sukar menyesuaikan diri dengan sistem demokrasi Barat yang menganut sistem pemerintahan kolektif, yang memaksakan kepada mereka sistem kabinet atau dewan eksekutip yang anggota-anggotanya adalah wakil-wakil dari partai-partai politik yang sama sekali tidak mereka kenal.”15 Pandangan Selo di atas memperteguh posisi bahwa nilai-nilai demokrasi dari Barat tidak mampu dipertemukan dengan sistem kebudayaan di dalam masyarakat 12

(Noer 1996) (Maarif 1996) 14 (Natsir 1995, 215) 15 (Soemardjan 1995, 114) 13

6

Indonesia. Karena itu, sosok pemimpin yang tokoh utama atau tokoh sentral dalam roda pemerintahan tidak mampu mengadopsi sistem demokrasi. Karena itu, konsep yang ditawarkan adalah pemimpin harus menjadi tokoh utama, yang kemudian dikenal dengan istilah Demokrasi Terpimpin. Model ini seolah-olah menjelaskan kepada kita bahwa seorang Bapak diperlukan di dalam masyarakat Indonesia, dimana kemudian sosok Soekarno dipandang sebagai tokoh ideal. Pola kebudayaan yang bersifat Terpimpin ini kemudian dilanjutkan pada era Orde Baru. Kendati saat itu, tidak lagi menggunakan istilah Terpimpin, melainkan istilah Pancasila. Nilai-nilai Pancasila dijadikan sebagai pilar di dalam membangun tradisi kebudayaan di Indonesia. Oleh Soeharto, Pancasila dijadikan sebagai asas tunggal. Model ini pada prinsipnya bertujuan agar nilai-nilai luhur di dalam tradisi masyarakat Indonesia yang tidak bertentangan dengan Pancasila dijadikan sebagai pedoman. Saat itu, tidak ada yang menolak Pancasila, kecuali ketika muncul usahausaha yang tidak demokratis ketika Pancasila diterapkan bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian, praktik kebudayaan di Indonesia telah memberikan kontribusi positif bagi perjalanan sejarah demokrasi di negara ini. Hanya saja, proses penyelewengan terhadap nilai-nilai kebudayaan tersebut terjadi ketika ada upaya untuk “memaksakan” kesatuan di dalam sistem berpikir masyarakat. Pemaksaan sistem berpikir ini kemudian telah menyebabkan tercerabutnya nilai-nilai demokrasi yang ada di luar orbit kekuasaan. Hal ini terlihat bagaimana stabilitas pembangunan yang lebih berorientasi pada pembangunan ekonomi tidak mampu bertahan dan kehilangan nilai-nilai perekat yang berasal dari budaya-budaya lokal di Indonesia. Tradisi Demokrasi di Tingkat Lokal: Pengalaman Aceh Aceh merupakan salah satu provinsi di Indonesia memiliki kontribusi yang cukup signifikan bagi Indonesia. Walaupun sudah banyak yang menyebutkan aspek penting dari peran Aceh di Republik Indonesia, namun upaya untuk menggali aspek-

7

aspek lokalitas Aceh yang berasal dari local wisdom, maka belum berhasil memainkan perannya. Hal ini disebabkan Aceh juga merupakan negeri yang paling sering dilanda gejolak. Sehingga, wajah Aceh lebih sering dipandang sebagai ancaman dari sisi persatuan dan kesatuan bangsa. Padahal, nilai-nilai kehidupan lokal yang ada di dalam masyarakat Aceh telah mempersatukan etnik ini selama beberapa abad. Walaupun diketahui bahwa suku bangsa Aceh terdiri dari berbagai suku yang berasal dari para pendatang. Fondasi struktur masyarakat Aceh, misalnya, dapat memperlihatkan bagaimana sistem demokrasi dibangun selama ratusan tahun. Secara asal usul, orang Aceh memiliki pandangan bahwa ada kelompok pendatang dan kelompok tempatan. Hal ini terlihat dari penjelasan berikut ini. Bagi sebagian penduduk Tanah Rencong, istilah Arab merupakan bagian dari identitas yang melekat pada istilah Aceh. Istilah ini sering disingkat menjadi ACEH (Arab, Cina, Eropa, dan Hindia). 16 Sampai sekarang belum diketahui siapa yang pertama kali membuat singkatan dari kata Aceh tersebut. Namun, pemasukkan empat suku bangsa bagi identitas Aceh memang menarik untuk ditelaah. Arab sendiri merupakan tempat agama Islam berasal, dan negeri Aceh merupakan tempat pertama kali Islam bertapak di Nusantara. Sementara Cina telah memulai hubungan dengan Aceh, baik di dalam perdagangan maupun di dalam pertukaran kebudayaan. 17 Adapun hubungan Aceh dengan Eropa memang telah terjadi jauh sebelum era kolonial, dimana Kerajaan Aceh membina hubungan yang cukup baik dengan kerajaan-kerajaan di Eropa.18 Terakhir, Hindia atau India merupakan bagian dari suku bangsa yang telah melakukan berbagai asimilasi

16

Mengenai diskusi tentang istilah ‘Aceh’, baca (Suny 1980) Mengenai Cina di Aceh, baca (Usman 2009) 18 (Hing 1995). Lihat juga (Gould 1961) 17

8

kebudayaan di Aceh, terutama dengan kedatangan orang-orang Hindia, baik untuk tujuan perdagangan maupun untuk misi dakwah Islam. 19 Adapun istilah Arab memang identik dengan dîn al-Islam. Kedatangan Islam pertama kali ke Nusantara menurut beberapa pakar terlebih dahulu bertapak di Aceh. Sampai disini, teori yang berkembang adalah teori Arab, walaupun ada beberapa teori lainnya seperti “teori Mesir,” dan “teori Gujarat.”20 Oleh karena itu. mendiskusikan Arab bagi orang Aceh, sama dengan mendiskusikan Islam. Namun demikian, ketika menelaah budaya Aceh, maka akan ditemukan beberapa pengaruh budaya, tidak hanya Arab, tetapi juga India, Persia, dan Cina. Akan tetapi, mengkaji India, tidak lantas memperhadapkan kita pada kajian agama Hindu dan Buddha. Demikian pula, kajian terhadap pengaruh Persia tidak kemudian mengantar kita pada kajian agama tertua di dunia yaitu Zoroaster. Hal yang sama juga berlaku pada studi Cina di Aceh, tidak akan membawa kita pada studi agama-agama yang dianut oleh bangsa Cina. Posisi Aceh yang cukup strategis dari sisi maritim di Nusantara, telah mempertemukan berbagai bangsa besar. Beberapa kerajaan muncul di sekitar pesisir pantai Aceh, mulai dari Peureulak hingga Aceh Darussalam di Kutaraja. Proses tersebut telah mengundang sejumlah penjajah dari kawasan Eropa, yang mulai melakukan hubungan perdagangan sampai ke peperangan. 21 Sejauh ini, memang telah ditelaah mengapa Aceh memiliki kekuatan untuk bertahan dari kepungan penjajah, dimana salah satu argumennya adalah ideologi jihad fî sabîlillah. Namun, usaha tersebut tentu saja menyisakan pertanyaan, siapa mereka yang rela mempertahankan bumi Aceh, sedangkan mereka hampir semuanya merupakan para pendatang dari Tanah Arab. Dalam pepatah orang Aceh dikenal asal usul suku bangsa Aceh: sukĕ imuem peut nyang gok-gok donya (suku imam empat yang mengguncang 19

Mengenai ekspansi India ke Asia Tenggara, baca (Sandhu and Mani 2006) (Karim 2009) 20 Baca beberapa karya berikut: (Bustamam-Ahmad 1999) (Azra 1994) (AlAttas 1978) (Al-Attas 1972) 21 (Lombard 2007) (Alfian 1987) (Alfian 1973)

9

dunia). Sampai sekarang masih belum dapat dipastikan siapa sebenarnya suku imam empat. Rakyat Aceh hanya dapat mengartikannya dengan sebutan para ‘ulama atau aulia yang datang dari Tanah Arab ke Aceh. H.M. Zainuddin menyebutkan bahwa sukĕ imuem peut berasal dari Arab, Parsi, Turki dan merupakan kaum yang berpengaruh besar di Aceh. 22 Menurut sejarah, sukĕ imuem peut merupakan bagian dari sukĕ tok batĕ dimana merupakan mereka adalah asal usul keturunan para keluarga diraja Aceh. Di dalam pepatah Aceh dikenal dengan pepatah sukĕ tok batĕ na bacut-bacut (suku tok bate cuma sedikit saja). Mereka dipersonifikasikan dengan kelompok yang mendirikan kerajaan di Aceh, ketika batu sudah cukup untuk mendirikan istana. Disebutkan bahwa sukĕ tok batĕ terbentuk dari para pendatang dari Arab Parsi, Turki, Habsy, dan Keling. 23 Adapun suku tempatan dikenal dengan dua sukĕ yaitu sukĕ lhe reutoih (suku tiga ratus). Di dalam pepatah Aceh disebut dengan sukĕ lhe reutoih ban aneuk drang (suku tiga ratus seperti kacang tanah). Disini dipersepsikan seperti kacang tanah yang ditanamkan di areal persawahan setelah panen. Disebutkan bahwa mereka dikenal sebagai Suku Batak/Karo.24 Adapun percampuran antara suku Batak/Karo dengan Hindu Keling dikenal dengan istilah sukĕ ja sandang. Dalam pepatah Aceh dikenal dengan sebutan sukĕ ja sandang jeura haleuba (suku ja sandang seperti biji haleba). Biji ini digunakan oleh orang Aceh untuk memasak kari untuk menghilangkan bau anyir pada daging atau ikan. Dengan demikian, yang menjadi kaum pendatang di Aceh adalah sukĕ imuem peut dan sukĕ tok batĕ. Karena itu, hampir semua keturunan ‘ulama di Aceh berasal dari Tanah Arab. Karena pada awalnya, mereka mencoba mengislamkan dua suku lainnya yang menjadi warga pribumi. Adapun sukĕ tok batĕ kebanyakan menjadi para sultan di Aceh. Jadi, secara simbolik Tanah Arab merupakan bagian terpenting di 22

(Zainuddin 1961, 20) (Zainuddin 1961, 21) 24 (Zainuddin 1961, 20) 23

10

dalam kontruksi identitas Aceh. Dengan fungsi sebagai ‘ulama dan pemimpin, para pendatang dari Tanah Arab telah melakukan proses cetak biru suku bangsa Aceh. Disebutkan bahwa sukĕ imuem peut ini merupakan nama dari kolektivitas empat kelompok yang melebur jadi satu untuk berbagai kepentingan politik, terutama untuk menyaingi kelompok/sukĕ lain. 25 Jadi orang Aceh akan tunduk pada beberapa sistem berpikir yaitu: agama yang dijalankan oleh ‘ulama, adat yang dijalankan oleh para pemimpin. Di dalam struktur terkecil, peran individu tersebut masih terlihat, seperti tuha peut yang terdiri dari ‘orang tua’ yang mengerti akan adat dan agama. Mereka akan melakukan proses peutimang (mengatur supaya seimbang) di dalam kehidupan masyarakat. Di Aceh, ada beberapa lembaga adat yang masih berfungsi di dalam menyeimbangkan kehidupan masyarakat. Lembaga tersebut adalah: Pertama, Imeum Mukim bertindak sebagai Kepala Pemerintahan Mukim, yang membawahi beberapa gampong (kampung). Kedua, Imeum Meusijid atau Imum Chik yakni figur yang mengepalai urusan syariat dan peribadatan pada tingkat wilayah kemukiman. Ketiga, Tuha Lapan/Tuha Peut Mukim adalah figur yang terdiri dari tokoh-tokoh warga

kemukiman anggota musyawarah

kemukiman, yang bertugas dan berfungsi memberikan nasehat, saran, pertimbangan, atau pendapat kepada Imeum Mukim dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan mukim. Keempat, Keuchik adalah Kepala gampong, yang memimpin dan mengetuai segala urusan tata kelola pemerintahan gampong. Kelima, Imeum Meunasah/ Teungku Gampong yakni pemimpin dan pembina bidang agama (Islam), yang sekaligus bertindak selaku pemimpin upacara kematian di gampong. Keenam, Tuha Peut Gampong, yang merupakan para ureung tuha anggota musyawarah gampong yang bertugas dan berfungsi memberikan nasehat, saran, pertimbangan, atau pendapat kepada Keuchik dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan gampong. Ketujuh, Keujrun Blang, yakni ketua adat dalam urusan pengaturan irigasi, pengairan untuk persawahan, menentukan mulainya musim tanam, membina para petani, dan menyelesaikan sengketa persawahan.

25

(Harun 2009, 9)

11

Kedelapan, Panglima Laot, yakni ketua adat yang memimpin urusan bidang penangkapan ikan di laut, membina para nelayan, dan memimpin peradilan adat laot serta menyelesaikan sengketa laot. Kesembilan, Peutua Seuneubok adalah ketua adat yang mengatur

tentang

pembukaan

hutan/perladangan/perkebunan

pada

wilayah

gunung/lembah-lembah, dan menyelesaikan sengketa perebutan lahan.26

Adapun simbol pelaksanaan agama secara resmi dijalankan oleh para ‘ulama. Keterjalinan antara otoritas agama dan adat ini kemudian melahirkan suatu sistem kebudayaan yang berdasarkan pada paradigma seimbang yang dikenal dengan istilah timang (sejajar). Maksudnya, setiap fungsi dari otoritas tersebut akan melahirkan keseimbangan bagi masyarakat setempat. Adapun standarnya adalah nilai-nilai agama dan budaya setempat. Semua paradigma dan sistem berpikir masyarakat Aceh kemudian dituangkan di dalam Hadih Madja. Disebutkan bahwa Hadih Madja merupakan ungkapan-ungkapan berhikmah yang dihasilkan oleh pihak tetua lelaki yang bersumber tidak saja dari lelaki, tetapi juga dari perempuan. 27 Disinilah sistem berpikir rakyat Aceh terbangun, tidak terkecuali di dalam bidang demokrasi. Paling tidak, ada beberapa ungkapan yang sangat terkait dengan sistem demokrasi: 1. Laĕn uteun laĕn rusa, Laen ureung, laĕn bicara (lain hutan, lain rusa, Lain orang, lain bicara)

2. Jak meubareh meuireng-ireng Meuduek mupakat meusaho haba

26 27

(Taqwaddin 2009, 8-10) (Harun 2009, 13)

12

Bahle tameh surang-sareng Asai puteng jilob lam bara (berjalan berbaris beiring-iringan, Duduk bermupakat untuk menyatukan kata Walaupun tiang tidak sama lurusnya Asalkan puting masuk dalam bara)

3. Bak rang patah bek tapeh binteh Bak bubong tireh bek taleung tika Bak buet pakat ate beugleh Bek arang abeh beusoe han peuja (Pada broti patah jangan dipasang dinding Pada bubung tiris jangan dibentang tikar Pada pekerjaan bersama hati harus ikhlas Jangan sampai arang habis besi tak pijar)

4. Sangsui beuneung tawoe bak pruet Karu buet tawoe bak punca (Kusut benang kembalu pada perut Kalau ada persoalan kembali ke punca)

5. Meunyoe ka mupakat Lampoh jeurat tapeugala (Kalau sudah sepakat

13

Tanah kuburan dapat kita gadaikan) 28 Dari beberapa ungkapan hadih maja di atas terlihat bagaimana tradisi Aceh di dalam menjalankan demokrasi. Paling tidak, di atas dapat direkam beberapa pesan seperti: setiap manusia selalu memiliki perbedaan di dalam menyampaikan pendapat, mupakat merupakan cara terbaik di dalam menyelesaikan masalah, di dalam bermusyawarah harus ada niat yang tulus, jika ada persoalan maka yang paling penting adalah melihat akar masalah yang sedang dimusyawarahkan, kemudian setiap individu harus patuh pada hasil mupakat. Agaknya, inilah beberapa nilai-nilai budaya Aceh di dalam membangun sistem berdemokrasi. Nilai-nilai yang ada di dalam bentuk hadih maja ini kemudian menjadi pegangan bagi rakyat Aceh di dalam menyelesaikan setiap persoalan di tingkat kampung. Biasanya, musyawarah selalu berujung pada mupakat. Di sini para tokoh agama dan tokah adat memainkan peran yang cukup signifikan, dimana mereka selalu mengedepankan kepentingan bersama supaya marwah dan harga diri orang Aceh terjaga. Nilai-nilai yang terkandung di dalam ungkapan-ungkapan Hadih Maja sekarang mulai sirna, salah satunya disebabkan situasi dan kondisi Aceh yang berpuluh tahun selalu didera oleh konflik. Di samping itu, tidak ada upaya untuk mewariskan nilai-nilai kearifan lokal tersebut pada generasi muda. Akibatnya, muncul pandangan yang menyebutkan bahwa Aceh tidak memiliki fondasi di dalam berdemokrasi. Padahal, generasi tua telah mewariskan alam pikir mereka dalam bentuk sistem berpikir yang bertujuan supaya masyarakat senantiasa ada dalam situasi timang atau seimbang. Itulah sebabnya para pemimpin dijuluki sebagai Ureueng Peutimang (tokoh penyeimbang). Untuk itu, kita berharap supaya pemerintah pusat atau pemerintah daerah dapat memikirkan kembali bagaimana nilainilai kearifan lokal tersebut dapat dilestarikan dan dipadu dengan nilai-nilai di dalam berdemokrasi.

28

(Harun 2009). Lihat juga (Anzib and Zainuddin 1968)

14

Kesimpulan Sebagai akhir dari kajian ini, saya ingin menyimpulkan bahwa perjalanan demokrasi di Indonesia belum begitu paripurna. Walaupun demokrasi dari Barat telah dicoba terapkan, namun selalu berujung pada ketidakseimbangan di dalam kehidupan berbangsa. Kajian ini telah mendapati bahwa perjalanan demokrasi di Indonesia sangat terkait dengan sosok pemimpin dan bagaimana pemimpin tersebut menafsirkan arti dan makna demokrasi di dalam kehidupan berbangsa. Namun, upaya menyeragamkan paradigma rakyat terhadap demokrasi, paling tidak, telah menunjukkan kegagalan. Karena itu, perlu dipikirkan bagaimana mengambil nilainilai kearifan lokal di Nusantara menjadi pilar perjalanan demokrasi di Indonesia. Dalam konteks ini, Aceh dapat dijadikan sebagai modal dan model di dalam menjalankan demokrasi di dalam kehidupan tingkat kampung atau desa. Peran manusia yang memiliki otoritas agama dan adat telah menunjukkan bahwa demokrasi tidak pernah bertentangan dengan kehidupan masyarakat lokal. Karena itu, sistem berpikir masyarakat Indonesia pada prinsipnya telah menjalankan demokrasi secara islami. Mereka tentu saja tidak memberikan nama demokrasi, namun praktik yang mereka laksanakan adalah cermin dari demokrasi yang berkebudayaan dan budaya yang berdemokrasi.

15

Bibliography Abdillah, Masykuri. Demokrasi Di Persimpangan Makna: Respons Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993) . Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999. Abdillah, Masykuri. "Theological Response to the Concepts of Democracy and Human Rights: The Case of Contemporary Indonesia Muslim Intellectuals." Studia Islamika 3, no. 1 (1996): 1-42. Acemoglu, Daron, and James A. Robinson. Why Nations Fail: The Origins of Power, Propsperity and Proverty. London: Profile Books, 2012. Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islam and Secularism. Kuala Lumpur: ABIM, 1978. —. Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu. Bangi: UKM Publisher, 1972. Alfian, Ibrahim. Kronika Pasai: Sebuah Tinjauan Sejarah . Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1973. —. Perang di Jalan Allah: Perang Aceh, 1873-1912. Jakarta: Sinar Harapan, 1987. Ali, As'ad Said. Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa. 3. Jakarta: LP3ES, 2010. Anzib, Hasyim MK, and H.M. Zainuddin. Himpoenan Hadih Madja (Pusaka Ureung Tuha). Banda Aceh: Anzim Lamnyong, 1968. Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaharuan Pemikiran Islam Indonesia. Bandung: Mizan, 1994. Birch, Anthony H. The Concepts and Theories of Modern Democracy. New York dan London: Routledge, 2001. Bustamam-Ahmad, Kamaruzzaman. "Kontribusi Daerah Aceh Terhadap Perkembangan Awal Hukum Islam di Indonesia." Al-Jami'ah XII, no. 64 (1999): 143-175. Dahl, Robert A., Perihal Demokrasi: Menjelajah Teori Praktek Demokrasi Secara Singkat. Translated by A. Rahman Zainuddin. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001. Gould, James W. Americans in Sumatra. The Hague: Martinus Nijhoff, 1961. Harun, Mohd. Memahami Orang Aceh. Bandung: Citra Pustaka Media Perintis, 2009. Hing, Lee Ham. The Sultanate of Aceh: Relations with the British 1760-1824 . Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1995. Huntington, Samuel P. The Third Wave: Democratization in the Late of Twentieth Century. Oklahoma: University of Oklahoma Press, 1991.

16

Ismail, Faisal. Ideologi Hegemoni Dan Otoritas Agama: Wacana Ketegangan Kreatif Islam Dan Pancasila . Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999. Karim, Wazir Jahan, ed. Straits Muslims: Diasporas of the Northern PAssage of the Straits of Malacca. Penang: Straits, 2009. Liddle, R. William, and Saiful Muzani. "Islam, Kultur Politik, dan Demokratisasi: Sebuah Telaah Komparatif Awal." Jurnal Demokrasi & HAM 1, no. 1 (Mei-Agustus 2000): 132-166. Lombard, Denys. Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Translated by Winarsih Arifin. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2007. Maarif, Ahmad Syafii. Islam Dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang Percaturan Dalam Konstituante . Jakarta: LP3ES, 1996. Mujani, Saiful. Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia PasaOrde Baru. Jakarta: Gramedia, 2007. Mujani, Saiful, and R. William Liddle. "Muslim Indonesia's Secular Democracy." Asian Survey XLIX, no. 4 (2009): 575-590. Natsir, Mohammad. "Bahaya Sekularisme." In Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, edited by Herbert Feith and Lance Castles, 213-217. Jakarta: LP3ES, 1995. Noer, Deliar. Gerakan Moderen Islam Di Indonesia, 1900-1942 . Jakarta: LP3ES, 1996. Sandhu, K.S., and A. Mani, . Indian Communities in Southeast Asia. Singapore: ISEAS, 2006. Sedyawati, Edy. "Budaya Bagi Bangsa." In Budaya Bagi Bangsa, edited by Toeti Heraty Noerhadi, 49-52. Jakarta: AIPI, 2012. Soemardjan, Selo. "Demokrasi Terpimpin dan Tradisi Kebudayaan Kita." In Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, edited by Herbert Feith and Lance Castles, 111-114. Jakarta: LP3ES, 1995. Stumpf, Samuel Enoch, and James Fieser. Socrates to Sartre and Beyond: A History of Philosophy. New York: McGraw-Hill Higher Education, 2008. Suny, Ismail. Bunga Rampai Tentang Aceh . Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1980. Taqwaddin. "Mukim Sebagai Pengembang Hukum Adat Aceh ." Penguatan Institusi Lembaga Adat Melalui Pendokumentasian Hukum Adat. Banda Aceh: Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA), 2009. Usman, A. Rani. Etnis Cina Perantauan di Aceh. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009. Zainuddin, H. M. Tarich Atjeh Dan Nusantara. Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961.

17

18