FISIPOL-UIR
Jurnal Siasat., Volume 10 (1), hal 34-44 (2016)
DEMOKRASI DAN PEMERINTAHAN Desriadi , S.Sos.,M.Si a
Administrasi Negara,, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Islam Kuantan Singingi b Jalan Gatot Subroto Km7, Kuantan Singingi, 29563, Riau, Indonesia Email:
[email protected]
Abstract Democracy seems inseparable from it-matters relating to governance and political activities of all political processes and institutions-government agencies go hand in hand with the way democracy. Therefore Ranny (in Thoha 2011) argues that democracy is a form of government that was laid out and organized based on the principle-the principle of popular sovereignty (popular sovereignity), political equality (political equality), consultation or dialogue with the people (popular consultation), and by on the rule of the majority. Based on the above concept that we can see and review the implementation of democracy in government. Keywords: democracy, governance
Abstrak Demokrasi tampaknya tidak bisa dipisahkan dari hal – hal yang berkaitan dengan tata kepemerintahan dan kegiatan politik semua proses politik dan lembaga – lembaga pemerintahan berjalan seiring dengan jalannya demokrasi. Oleh karena itu Ranny (dalam Thoha 2011) berpendapat bahwa demokrasi merupakan suatu bentuk pemerintahan yang ditata dan diorganisasikan berdasarkan prinsip – prinsip kedaulatan rakyat (popular sovereignity), kesamaan politik (political equality), konsultasi atau dialog dengan rakyat (popular consultation), dan berdasarkan pada aturan suara mayoritas. Berdasarkan konsep diatas bahwa pada kita dapat melihat dan meninjau pelaksanaan demokrasi dalam pemerintahan. Kata Kunci: demokrasi, pemerintahan
PENDAHULUAN Secara singkat dikatakan bahwa prinsip kedaulatan rakyat itu menekankan bahwa kekuasaan tertinggi (the ultimate power) untuk membuat keputusan terletak di tangan seluruh rakyat, bukannya berada di tangan beberapa atau salah satu dari orang tertentu. Bung Hatta dahulu mengatakan bahwa prinsip kedaulatan rakyat yang berdaulat rakyatnya bukan tuanku. Sistem pemerintahan yang demokratis adalah sistem yang meletakan kedaulatan dan kekuasaan berada di tangan rakyat, bukan berada di tangan sekelompok tuanku yang ada di senayan maupun di kantor departemen pemerintah. Semua proses pembuatan kebijakan publik yang menyangkut kepentingan rakyat harus di dasarkan pada kedaulatan ini. Suatu negara bisa dikatakan
negara jika negara tersebut berdaulat. Suatu negara dikatakan berdaulat jika negara tersebut mempunyai kekuasaan penuh dan ekslusif untuk membuat dan memaksakan hukum-hukum (law enforcement) berlaku untuk seluruh rakyat yang hidup di wilayah negara tersebut. Suatu negara yang berdaulat dikatakan demokrasi kalau uang berdaulat itu rakyatnya. Setiap negara yang berdaulat kekuasaan tertinggi atas keputusankeputusan politik yang diambil terletak pada somewhere dalam struktur politik pemerintahan yang secara ultimate dititipi kedaulatan oleh rakyatnya. Prinsip kedaulatan rakyat ini bukan berarti bahwa seluruh rakyat secara langsung membuat keputusan atau kebijakan sehari-hari
34
DESRIADI
dalam setiap urusan dan aktivitas pemerintahan. Demokrasi yang berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat ini bukan berarti bahwa setiap perizinan yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah baru dikatakan sah jika seluruh rakyat ikut beramairamai membuat keputusan. Lain halnya dengan sistem kediktatoran yang menyatakan bahwa suatu izin yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah di bawahnya harus di sahkan oleh tandatangannya. Jika hal semacam itu terjadi maka sistem tersebut bukannya kedaulatan rakyat melainkan kediktatoran rakyat (popular diktatorship). Kedaulatan rakyat dalam sistem pemerintahan yang demokratis oleh rakyat dapat dipinjamkan atau didelegasikan kekuasaan membuat keputusan atau kebijakan itu kepada legislatif, eksekutif, yudikatif, administrator, atau kepada siapa pun yang dikehendaki sebagai wakilnya. Rakyat dikatakan berdaulat sepanjang mereka, bukannya wakilnya, masih mempunyai kekuasaan tertinggi (ultimate power) untuk memutus, dimana kekuasaan membuat keputusan tetap berada ditangannya dan yang bisa didelegasikan kepada siapa saja yang bisa bertanggungjawab pada periode waktu tertentu. Jika kekuasaan tertinggi berada di tangan semua rakyat, maka pemerintahan itu disebut demokrasi. Jika kekuasaan tertinggi berada di tangan satu orang, maka pemerintahannya dinamakan diktator. Jika kekuasaan tertinggi berada di tangan beberapa orang, maka pemerintahannya oleh ilmuwan politik dikatakan sebagai pemerintahan oligarki atau aristokrasi. Jika demokrasi dikaitkan pemahamannya dengan kedaulatan rakyat, maka sistem pemerintahan harus dilakukan oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat. Timbul pertanyaan yang acap kali diajukan siapa yang disebut rakyat itu? Apakah rakyat itu semua orang yang secara fisik berada dalam wilayah suatu negara tertentu pada waktu tertentu pula? Dengan demikian semua bayi, orang asing, orang – orang yang berada dipenjara, orang gila, dan lain sebagainya bisa disebut rakyat dalam pengertian demokrasi tersebut? Jawabnya adalah secara implisit kekuasaan berada pada semua orang dewasa yang
35
sehat jasmani rohani, warga negara dari suatu negara tersebut dan tidak terpidana. Setiap negara mempunyai ketentuan masing-masing untuk menetapkan kewarganegaraannya dan ukuran umur yang disebut dewasa, pada umumnya menetapkan batas umur minimum 17 tahun, tetapi ada juga sebelum 17 tahun akan tetapi sudah pernah menikah atau melahirkan anak walaupun belum menikah. Kedaulatan rakyat sebagai ciri suatu pemerintahan yang demokratis itu dapat dilihat bagaimana jika pemerintahan itu membuat kebijakan dan melaksanakan kebijakan publik. Jika kebijakan itu dibuat tidak melibatkan dan mengakomodasikan kepentingan dan aspirasi semua rakyat, tetapi dibuat oleh elite yang mengakomodasikan aspirasi dan kepentingan segelintir orang atau sekelompok rakyat, maka kebijakan yang diambil itu tidak bisa disebut demokratis. Kedaulatan rakyat mengandung berbagai dimensi yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan pertumbuhan dan lingkungan masyarakat. Meskipun demikian, dimana pun dan kapan, juga demokrasi akan selalu mengandung ataupun menunjukkan beberapa esensi yang tidak dapat ditawar-tawar, yaitu kebebasan (liberty) dan persamaan (equality), baik dalam dimensi politik, ekonomi, sosial maupun budaya. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mungkinkah pemerintahan daerah dipergunakan sebagai sarana efektif untuk mewujudkan esensi dan dimensi demokrasi tersebut? Alexis de Tocqueville (dalam Anggara 2012:237) berpendapat bahwa kehadiran pemerintahan daerah tidak dapat dipisahkan dari semangat kebangsaan “a nation may establish a system of free government but without a spirit municipal institution, it can not have the spirit of liberty.” Pemerintahan yang merdeka, tetapi tidak disertai semangat untuk membangun satuansatuan pemerintahan otonom dipandang oleh Tocqueville sebagai tidak dapat menunjukkan semangat demokrasi.
DEMOKRASI DAN PEMERINTAHAN
Robert Rienow (dalam Anggara 2012:237) menyebutkan bahwa “Handing their local affairs is regarded as good training, if the very assence of the popular system.” Jadi, satuan pemerintahan otonom merupakan ajang latihan berdemokrasi, bahkan lebih dari itu, merupakan esensi demokrasi. Dari beberapa pendapat di atas, kehadiran satuan pemerintahan otonom dalam kaitannya dengan demokrasi menampakkan halhal berikut : 1. Secara umum, satuan pemerintahan otonom tersebut akan lebih mencerminkan cita demokrasi daripada sentralisasi; 2. Satuan pemerintahan otonom dapat dipandang sebagai esensi sistem demokrasi; 3. Satuan pemerintahan otonom dibutuhkan untuk mewujudkan prinsip kebebasan dalam penyelenggaraan pemerintahan; 4. Satuan pemerintahan otonom dibentuk dalam rangka memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya terhadap masyarakat yang mempunyai kebutuhan dan tuntutan yang berbeda-beda. Keempat hal diatas sebetulnya bermuara pada satu hal utama, yaitu kebebasan, keleluasaan ataupun kemandirian daerah (zelfstandigheid), tetapi bukan kemerdekaan daerah (onfhankelijkheid) untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tertentu sebagai urusan rumah tangga daerah. Semua itu berujung pada pelayanan masyarakat untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat daerah. Hal yang terakhir ini sejalan dengan dasar pemikiran yang melatarbelakangi pilihan terhadap otonomi daerah, diantaranya sebagai berikut : 1. Dorongan efisiensi dan efektivitas pengaturan (regelen) dan penyelenggaraan (bestuuren) pemerintahan. Dengan kewenangan untuk mengatur sendiri bidang ataupun urusan pemerintahan tertentu yang menjadi urusan rumah tangga daerah, pembuatan aturan dapat dilakukan secara efisien dan cepat. Selain dapat dibentuk secara efisien, cepat dan mudah, juga
2.
3.
lebih efektif karena lebih konkret dengan jangkauan yang terbatas sehingga mudah menerapkannya. Begitu pula, penyelenggaraan pemerintahannya akan lebih efektif dan efisien. Selain karena teritorial pemerintahan yang terbatas, juga dimungkinkan pelaksanaan fungsi pelayanan disesuaikan secara nyata dengan keadaan dan kebutuhan rakyat setempat. Untuk menjamin kesejahteraan, kemakmuran, dan keadilan sosial bagi rakyat setempat. Fungsi pelayanan untuk maksud itu dapat terlaksana dengan baik kalau satuan pemerintahan didekatkan dengan rakyat yang dilayani disertai kebebasan untuk mengatur dan menentukan macam dan cara pelayanan yang tepat bagi lingkungan masyarakat setempat. Sebagai bagian dari proses demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan, partisipasi rakyat melalui sistem perwakila rakyat daerah, seperti pemilihan pimpinan daerah oleh rakyat, hak daerah otonom untuk membuat peraturan daerah (Perda) melalui tata cara demokrasi, dan lain-lain, akan memperluas jangkauan pelaksanaan demokrasi sampai ke daerah. Perluasan ini tidak hanya penting bagi penyelenggaraan demokrasi, tetapi juga penting bagi pemerintahan daerah yang demokratis, yang merupakan tempat mendidik dan menyiapkan kader-kader pimpinan daerah yang diharapkan tumbuh menjadi demokrat bangsa secara nasional. Inilah yang dimaksud dalam pasal 18 UUD 1945, yang antara lain menyebutkan “ ... dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara...
KESETARAAN POLITIK (POLITICAL EQUALITY) Prinsip dasar kedua dari pemerintahan yang demokratis adalah adanya kesetaraan atau kesamaan politik. Kesetaraan politik memerlukan setiap warga negara dewasa mempunyai kesempatan yang sama dengan yang lainnya untuk berperan serta dalam proses pembuatan
36
DESRIADI
kebijakan atau keputusan politik. Prinsip ini seringkali diwujudkan oleh semboyan “one person one vote”, akan tetapi semboyan ini belum mencerminkan kesetaraan politik yang dimaksudkan oleh pemerintahan yang demokratis. Sebab, dahulu di negara Uni Sovyet masingmasing orang warga negara dewasa berumur diatas 18 tahun secara sah dan legal mempunyai hak untuk memilih. Akan tetapi, hak tersebut diwajibkan oleh negara harus memilih satu partai yakni partai komunis. Mereka tidak mempunyai kekuasaan riil untuk menggunakan hak pilihnya sesuai dengan keinginannya. Warga negara Uni Sovyet itu sama artinya dengan prinsip yang pernah dikatakan oleh George Orwell di dalam Animal Farm bahwa : “All animals are equal, but some animals are most equal than others”. Semua binatang mempunyai hak yang sama, akan tetapi ada beberapa binatang yang mempunyai hak paling istimewa daripada yang lain. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa sistem di Uni Soviet dahulu bahwa pemimpin partai komunis yang mempunyai hak lebih untuk memilih caloncalon pemimpin ketimbang warga negara biasa. Di Indonesia pun untuk waktu yang cukup lama melakukan rekayasa dalam praktikan pemilihan umum seperti di Uni Soviet tersebut. Praktikan pemilihan umum yang kita lakukan menggunakan prinsip “one person one vote”, akan tetapi rakyat Indonesia tidak mempunyai kekuasaan riil untuk menggunakan hak politiknya. Khusus bagi pegawai negeri waktu itu mereka harus memilih satu golongan yang sudah ditetapkan sebagai partai pemerintah. Pegawai negeri digaji pemerintah oleh karena itu harus memilih partai pemerintah. Prinsip kesetaraan politik merupakan konsekuensi logis dari prinsip kedaulatan rakyat. Semua warga negara dewasa, sehat jasmani rohani tidak terpidana mempunyai hak yang sama untuk berperan serta dalam proses pembuatan kebijakan politik suatu negara. Jika ada perbedaan di antara mereka, misalnya ada hak atau perlakuan istimewa bagi beberapa orang atau kelompok orang, maka kedaulatan rakyat tersebut telah terbagi menjadi bagian- bagian lain yang tidak lagi memancarkan kedaulatan seluruh rakyat dan demokrasi. Hal semacam ini bisa digolongkan
37
kepada kedaulatan sekelompok orang atau oligarki atau aristokrasi. Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa prinsip demokrasi yang mendasarkan pada kesamaan politik itu menekankan adanya kesamaan kesempatan bagi seluruh rakyat atau warga negara yang dewasa tersebut untuk memainkan peran dalam proses pembuatan keputusan politik suatu negara. Dalam sistem pemerintahan yang demokratis menjamin hak untuk tidak memberikan suara atau abstain. Oleh karena itu, kesetaraan politik ini bukannya semua orang dipaksa satu suara setuju atau satu suara tidak setuju. Dengan demikian, kesetaraan politik memberikan tempat yang longgar terhadap timbulnya perbedaan pendapat. Inilah moral demokrasi karena adanya moral disgreement (pertentangan). Sepanjang seluruh rakyat warga negara yang dewasa tersebut mempunyai genuinely equal opportunity (kesempatan yang benar-benar sama) untuk berpartisipasi sesuai yang diinginkan maka persyaratan political equality ini tercapai dalam pemerintahan yang demokratis. KONSULTASI RAKYAT (POPULAR CONSULTATION) Prinsip konsultasi rakyat ini merupakan syarat ketiga dari sistem pemerintahan yang demokratis. Prinsip ini mempunyai dua ketentuan, yakni : Pertama, negara harus mempunyai mekanisme yang melembaga yang dipergunakan oleh pejabat-pejabat negara memahami dan mempelajari kebijakan publik sesuai dengan dikehendaki dan dituntut oleh rakyat. Kedua, negara harus mampu mengetahui secara jelas preferensi-preferensi rakyat. Dengan demikian, pejabat-pejabat pemerintah bisa meletakkan preferensi tersebut dalam konteks pembuatan kebijakan publik walaupun preferensi tersebut tidak seluruhnya dipakai. Dua ketentuan ini merupakan konsekuensi logis dari kedaulatan rakyat dan demokrasi. Dua ketentuan itu mengharuskan pula bagi pejabat untuk senantiasa memelihara komunikasi politik dengan rakyat. Sarana komunikasi yang populer dalam pemerintahan yang demokratis ialah dengan melakukan dialog. Pejabat pemerintahan bukanlah
DEMOKRASI DAN PEMERINTAHAN
hanya duduk disinggasana kursi jabatan tanpa mau memelihara dialog dengan rakyat. Dialog ini pun jangan direkayasa seperti permainan sinetron yang tidak lucu. Mengapa kita suka main sinetron dalam menata demokrasi dalam pemerintahan ini? Prinsip konsultasi rakyat ini sebagaimana dengan kesetaraan politik merupakan pilar yang sangat penting dalam pemerintahan yang demokratis. Proses pembuatan kebijakan publik dalam suatu pemerintahan yang demokratis akan lebih baik dan bermakna jika mampu mempromosi kepentingan-kepentingan rakyat itu sendiri, bukannya kepentingan elite dan sekelompok orang saja. Proses pembuatan kebijakan publik merupakan hal yang lebih penting ketimbang isinya. Dengan demikian prinsip ini berarti bahwa proses pembuatan kebijakan publik dalam pemerintahan yang demokratis terletak bagaimana proses kebijakan itu dibuat, bukannya terletak pada isi kebijakan tersebut. Semakin banyak kesempatan dialog yang dilakukan oleh pemerintah dengan rakyatnya semakin terbuka jalan demokrasi dalam pemerintahan. Jika pintu dialog ini tertutup atau terbukanya amat sempit, maka rakyat berduyunduyun memaksa membuka pintu itu. Itula demonstrasi rakyat yang bisa membuat tidak stabilnya pemerintahan.
pemerintahan yang demokratis itu tetap berdiri di atas prinsip bahwa proses pengambilan keputusan berada pada seluruh rakyat. Ada sikap dan perilaku yang santun dalam demokrasi, bagi kelompok atau pihak minoritas yang kalah dengan kebesaran hati dan terhormat ikhlas memberikan selamat dan kesempatan kepada kelompok mayoritas yang menang. Menempuh jalur hukum jika merasa dicederai pemilihannya yang demokratis adalah cara-cara yang terdidik dan terhormat daripada mengerahkan masa demonstrasi yang bisa mengganggu ketenteraman masyarakat. Persoalan ini kemudian membawa suatu prinsip adanya suara mayoritas. Prinsip suara mayoritas ini menghendaki agar suara terbanyak yang mendukung atau yang menolak dijadikan acuan diterima atau ditolaknya suatu kebijakan publik. Jika suara rakyat yang tidak setuju pada suatu isu kebijakan lebih banyak ketimbang yang setuju, maka pemerintah harus bertindak untuk memerhatikan dan mengikuti suara terbanyak ketimbang pada suara yang terkecil. Perlu dicatat disini bahwa prinsip ini bukanlah berarti bahwa setiap tindakan pemerintah harus dikonsultasikan kepada rakyat atau disahkan oleh mayoritas. Melainkan suara mayoritas ini hanya diperlukan bagi berbagai jenis proses pengambilan kebijakan publik.
KEKUASAAN MAYORITAS (MAYORITY RULE) Prinsip demokrasi yang keempat adalah kekuasaan mayoritas. Manakala rakyat dalam pemerintahan yang demokratis menyetujui dengan suara bulat terhadap suatu kebijakan publik sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat, maka pemerintah harus mengikuti melaksanakan kebijakan publik tersebut. Namun demikian, di hampir setiap negara demokrasi suara bulat seperti itu jarang bisa diwujudkan. Keputusan politik di dalam demokrasi pada akhirnya menjadi suatu pilihan-pilihan dari alternatif kebijakan yang ada. Masing-masing pilihan mempunyai pendukung dari orang-orang atau rakyat yang berdaulat tersebut. Konseskuensinya pada situasi tertentu ada kelompok yang menang ada pula yang kehilangan atau kalah. Sekarang, timbul persoalannya, bagaimana seharusnya
Adapun prosedur yang biasanya dipergunakan oleh setiap negara, untuk mencapai suara mayoritas itu diwujudkan dengan persetujuan dari 50 persen plus 1 suara rakyat. Sepanjang proporsi dari rakyat menjadi pertimbangan yang utama apapun wujudnya maka suara mayoritas rakyat sangat penting bagi terwujudnya pemerintahan yang demokratis. Suara mayoritas rakyat ini pelaksanaannya tidaklah seperti yang diharapkan. Ada kalanya dipergunakan oleh pemerintah dengan “rekayasa” mengatasnamakan demokrasi akan tetapi memaksakan rakyat untuk bersuara sama. Sekali lagi rekayasa memainkan peran besar dalam prinsip suara mayoritas ini dalam mewujudkan demokrasi. Oleh karena itu, prinsip suara mayoritas rakyat ini dalam demokrasi tidak diperbolehkan merusak prinsip demokrasi
38
DESRIADI
lainnya. Suara mayoritas tidak sama sekali diperbolehkan merusak prinsip demokrasi lainnya misalnya melarang kebebasan memilih, kebebasan berserikat, dan menyebar rasa takut untuk berbeda pendapat. Pemilihan umum yang dimenangkan dengan suara mayoritas tunggal, akan tetapi dicapai dengan penuh rekayasa melarang rakyat memilih yang berbeda dengan pilihan penguasa merupakan upaya memanipulasi demokrasi. Prinsip mayoritas suara merupakan dalam bingkai demokrasi itu ternyata ada batasnya, yakni jangan sampai mayoritas itu di transfer kepada seorang diktator.
Dalam pelaksanaan penelitian, penelitian dapat dilakukan dengan pengamatan dan wawancara.
Pemerintahan yang demokratis itu dijalankan sesuai dengan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat, kesamaan politik, konsultasi politik, dan suara mayoritas dari rakyat. Empat prinsip itu semuanya berakhir kepada rakyat, seperti pengertian asli demokrasi sendiri yakni, suatu pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Selain itu, pelaksanaan demokrasi yang mewujudkan prinsip-prinsip diatas semuanya sangat tergantung pada aktor-aktor yang melaksanakan prinsipprinsip tersebut. Moral yang menghargai perbedaan pendapat (moral disagreement) dengan tidak mengetengahkan kekerasan kiranya sangat dibutuhkan oleh pelaku-pelaku demokrasi di negara kita. Peranan orang-orang terdidik, amat penting di masa-masa yang datang mewujudkan demokrasi di negara yang sama-sama kita cintai ini. Semoga masa depan demokrasi di pemerintahan kita akan lebih baik di masa-masa mendatang.
DEMOKRASI
METODE PENELITIAN Metode Penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode penelitian Kualitatif dengan menggunakan interview dan observasi serta dari dokumentasi yang ada. Lokasi dalam penelitian ini adalah di Kabupaten Kuantan Singingi. Teknik penarikan sampel yang digunakan dengan teknik Purposive Sampling. Teknik purposive sampling adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu.
39
Analisis menggunakan analisis deskriptif. Melalui teknik ini, maka tergambarkan seluruh data dan fakta yang diperoleh dengan mengembangkan kategori-kategori yang relevan dengan tujuan penelitian dan penafsiran terhadap hasil analisis deskriptif dengan berpedoman pada teori- teori yang sesuai.
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Secara tradisional kita mengingingkan adanya suatu masyarakat yang demokratis, karakteristik yang melekat pada tatanan masyarakat demokratis adalah, antara lain, dihormatinya hak milik individu. Pada dirinya sendiri “hak milik” mengandung pengertian eksklusif bahwa hanya pemiliklah yang boleh menggunakan sesuatu barang, sedangkan orang lain terhalangi dari penggunaan barang tersebut. Jika salah satu segi dari demokrasi ini dimengerti secara demikian, maka persoalan pengurasan sumber daya alam (SDA) akan muncul, dengan alasan sebagai berikut. Individu selama ini dilihat sebagai “binatang” yang bersifat egoistik dan rasional. Ia mempunyai kecenderungan untuk memilih segala hal secara efisien, demi pencapaian kepentingan pribadi (self interest) secara maksimal. Bila ia memperoleh hak untuk menguasai suatu SDA, maka dapat diduga ia akan mengeksploitasinya sampai tidak ada lagi keuntungan yang dapat dikeruk dari SDA itu. Bila saya mempunyai tanah, misalnya, maka saya akan menggunakan tanah itu semaksimal mungkin. Bila dengan bertani saya tidak meraih keuntungan yang memadai, maka saya akan menggunakannya untuk beternak, atau saya sewakan kepada seorang pengusaha hotel. Demikian pula, jika saya mempunyai hutan yang menjadi hak milik saya, maka hutan itu akan saya babat habis, karena dengan itu saya akan memperoleh keuntungan yang besar.
DEMOKRASI DAN PEMERINTAHAN
Pemamfaatan atas SDA tersebut dapat sangat eksploitatif, dapat pula yang sewajarnya. Banyak orang mengatakan bahwa eksploitatif tidaknya seseorang dipengaruhi oleh filsafat hidupnya. Tapi saya tidak peduli dengan kedua hal ini. Pilihan saya tergantung pada alternatif mana yang menguntungkan, dan kaidah-kaidah kelestarian lingkungan yang menuntut kesewajaran pemamfaatan SDA tak perlu saya pedulikan karena saya berbuat terhadap apa yang saya miliki. Dengan demikian, demokrasi tidak menjamin kelestarian SDA yang kita bicarakan disini. Bahkan, secara ekstrim dapat dikatakan bahwa konservasi SDA bertentangan dengan logika demokrasi seperti yang kita pahami disini. NEGARA SENTRIS Gagasan demokrasi di atas berada pada kutub yang berlawanan dengan gagasan negara sentris. Pada gagasan terakhir ini diyakini bahwa hak milik terhadap suatu barang seharusnya dipegang oleh negara. Sekalipun dalam praktiknya ada saja barang menjadi “hak milik” pribadi, pada akhirnya pemamfaatan barang itu (terutama SDA) harus berada dalam kontrol negara secara ketat. Karena negara adalah organ yang mempunyai tujuan yang baik- baik saja, maka dengan ini diharapkan tidak akan terjadi eksploitasi yang berlebihan terhadap SDA. Persoalannya adalah, apakah negara akan bisa menjadi “sebaik” itu? Bahkan, lebih fundamental lagi, siapakah “negara” itu sebenarnya? Bila dalam kehidupan sehari-hari negara dimainkan oleh pemerintah, kita tidak bisa menipu diri bahwa pemerintahpun mempunyai kepentingan tertentu sebagaimana individu. Pemerintah punya kepentingan untuk, misalnya, memperoleh pendapatan dan pajak. Apakah kepentingan dapat dipastikan tidak akan bertabrakan dengan pelestarian SDA? Kecuali itu, pemberian hak milik terhadap SDA kepada negara secara hampir tak terbatas telah terbukti sangat rawan terhadap kemungkinan distorsi, seperti korupsi dan monopoli. Bila negara punya hak yang tak seorangpun menjalankan negara akan bertindak atas nama negara tapi demi kepentingannya sendiri dan disisi lain mereka, lagi-lagi atas nama
negara, dapat memberikan lisensi pengolahan SDA itu kepada seseorang atau suatu badan hukum. Orang atau badan hukum ini tentu akan bertindak dengan logika privat. Akibat dari kemungkinan ini adalah setali tiga uang dengan akibat demokrasi di atas, yakni eksploitasi yang mengabaikan kebutuhan akan kelestarian. Bahkan dalam sistem yang terakhir ini akibatnya dapat lebih parah dibanding pada sistem yang pertama. Pada model demokrasi, aktivitas eksploitasi SDA oleh seseorang sedikit banyak akan terbatasi oleh kepentingan individu lain yang merasa terganggu kegiatan itu. Misalnya, sebuah perusahaan harus menghentikan operasinya ketika banyak individu memprotes limbah yang dihasilkan oleh perusahaan itu. Tidak demikian halnya dalam model negara sentris, hanya negara yang dapat mengontrol perusahaan. Dan teriakan masyarakat sering tidak cukup keras bagi telinga para pengambil kebijakan dalam struktur negara itu, sehingga banyak orang dan badan hukum yang memperoleh lisensi dari negara mengeksploitasi SDA secara leluasa. Dengan demikian, jangankan mengontrol pemamfaatan SDA, negara justru akan mengurasnya dalam situasi yang tak terkendalikan. KOMUNALISME Ide demokrasi dan negara sentris mendapatkan respon pada ide komunalisme. Inti dari gagasan ini adalah bahwa pemilikan terhadap SDA seharusnya tidak berada di tangan individu maupun negara, melainkan tidak ditangan siapapun. Jadi, biarkanlah SDA itu terbuka untuk diolah oleh setiap orang, tanpa seorangpun memilikinya. Gagasan terakhir ini terasa aneh : bagaimana mungkin sesuatu barang tergeletak begitu saja tanpa ada yang memilikinya? Beberapa kritik memang dapat dilontarkan pada ide komunalisme itu. Pertama, bila SDA dapat dieksploitasi oleh semua orang, maka setiap orang akan berlomba untuk mengurasnya sebanyak mungkin. Ini dengan cepat akan menjadikan habisnya SDA itu. Kedua, tidak ada seorangpun yang memperoleh desakan untuk memelihara SDA itu, karena tak satupun yang merasa memilikinya. Jadi, sama dengan
40
DESRIADI
kedua model terdahulu, ide ini juga tidak menjamin kelestarian SDA. Ketiga, seandainya ide ini dapat diterapkan, maka ia hanya akan terbatas pada kelompok-kelompok masyarakat yang kecil, misalnya kampung. Dengan kelompok yang kecil setiap individu memperoleh insentif untuk tidak berbuat semaunya, karena ia mudah diawasi oleh individu lain. PARTISIPASI Partisipasi di sini didefinisikan secara sederhana sebagai bertindak bersama. Sebagai ide alternatif, model ini menganjurkan agar setiap individu memiliki SDA bersama-sama dan memamfaatkannya bersama-sama pula. Dengan pemilikan bersama, maka setiap individu akan memberikan sumbangan untuk memelihara SDA disamping mereka semua memperoleh akses untuk mengolah SDA itu. Ringkasnya, ada manajemen bersama terhadap SDA. Tetapi, persoalan tetap muncul dalam model ini. Bila seseorang bersama orang lain dalam suatu kelompok memiliki suatu barang dan mereka semua akan memperoleh keuntungan dalam kekelompokan itu, maka orang justru cenderung untuk pasif. Orang lebih suka untuk tidak banyak terlibat, sebab dengan sikap ini ia dapat pula memperoleh keuntungan dari kelompok itu. Dengan hanya berstatus sebagai anggota, ia telah dapat memperoleh hasil tanpa harus bekerja. Dengan demikian akan terjadi kemandekan kegiatan, dan kesejahteraan setiap individu akan menurun (sekalipun hal ini berarti tidak adanya eksploitasi SDA). Persoalan ini pada akhirnya menyadarkan kita, bahwa pada akhirnya seorang individu maupun badan hukum yang memiliki otoritas untuk mengontrol mutlak diperlukan. Otoritas ini berhak untuk memberikan paksaan kepada setiap individu anggota masyarakat agar melakukan tindakan tertentu. Ujung dari logika ini bercabang dua. Pertama, otoritas itu harus membagi kerja di antara para individu, agar tidak terjadi persaingan yang berlebihan yang berakibat pada pengurasan SDA sebagaimana dijelaskan didepan. Karena ada pembagian tugas yang harus dipatuhi para individu, maka pasti ada sebagian individu yang tidak memperoleh kepuasaan yang
41
diharapkannya. Ada banyak individu yang merasa bahwa ia akan dapat memperoleh sesuatu jika sang otoritas membiarkan mereka berbuat sesukanya. Oleh karena itu, yang kedua, otoritas itu harus menciptakan suatu struktur sedemikian rupa agar supaya terjadi distribusi pemamfaatan hasil secara adil. Negara memungkinkan adanya pembagian tugas itu, dan demokrasi memudahkan kita untuk membagi adil apa yang menjadi hak dari setiap individu. BIROKRASI YANG IDEAL Birokrasi yang modern bertindak atas dasar wewenang yang sah, yang berbasis pada pertimbangan rasional. Dipihak lain, apa yang dilakukan oleh birokrasi terhadap masyarakat hanya akan dipatuhi jika ada aturan hukumnya Weber (dalam Boone and Bowen 1984 : 7-8). Weber merinci 8 kategori fundamental yang melekat dalam suatu birokrasi yang wewenangnya rasional dan diperoleh secara sah, yaitu : 1. Fungsi organisasi berdasar peraturan 2. Bertanggungjawab untuk mewujudkan fungsi da wewenangnya 3. Pegawai bertindak berdasar prinsip hirarki 4. Pegawai diarahkan oleh aturan teknis dan norma 5. Pegawai terpisah dari pemilikan alat produksi dan administrasi 6. Pegawai memperoleh posisinya tanpa memberikan hadiah kepada pejabat, dan berorientasi pada norma tujuan 7. Tindakan, keputusan dan aturan administratif dicatat tertulis, meskipun secara lisan sudah disepakati 8. Prinsip-prinsip diatas dapat diterapkan di berbagai bentuk administrasi (Boone dan Bowen 1984:10-11). Dalam kesempatan lain Weber menyatakan bahwa ciri dari administrasi yang birokratik (rasional) adalah adanya hirarki (tiap pejabat punya kompetensi, tugas dan tanggungjawab yang jelas), berkelanjutan (pegawai bekerja secara full time dan dapat mengembangkan karirnya), impersonal (tidak ada favoritisme dan serba tertulis) serta bersifat merit
DEMOKRASI DAN PEMERINTAHAN
(berdasar keahlian). Tujuan akhir dari model administrasi birokratik adalah tercapainya tujuan pemerintah secara efisien (Beetham, 1990:4). Dengan demikian dibandingkan dengan administrasi yang disusun berdasarkan wewenang tradisional maupun kharismatik, administrasi birokratik unggul dalam hal-hal ini : teknis, ketepatan, stabilitas, disiplin, reliabilitas, efisiensi, luasnya operasi kerja, dan terterapkan untuk semua tugas administratif Boone and Bowen (dalam Samodra 2005:103). Semangat birokrasi adalah semangat demokratis, yang menghendaki obyektivitas dan konsistensi kebijakan. Birokrasi adalah konsekuensi logis dari suatu kehidupan yang demokratis, yang menghendaki objektivitas dan konsistensi kebijakan. Oleh karena itulah birokrasi impersonal kata lain dari objektif dan tidak memihak. Desakan demokrasi juga mengharuskan birokrasi memiliki aturan main yang jelas dan para pegawainya berorientasi pada pelayanan masyarakat atau orang-orang yang berada di bawah wewenangnya Darwin (dalam Samodra 2005:103). Demokrasi juga memberikan hak kepada semua orang untuk masuk sebagai anggota birokrasi, sehingga para birokrat adalah benar-benar orang yang terseleksi secara teknis. Lingkungan ideal dari birokrasi yang ideal adalah lingkungan politik yang demokrastis. Millet (dalam Samodra 2005:103) mengandaikan adanya suatu model kehidupan bernegara yang ideal. Didalam sistem bernegara tersebut keputusan politik rakyat dipercayakan kepada lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif (secara proporsional); tugas administratif negara dipercayakan kepada birokrasi yang dibentuk dan bertanggungjawab kepada ketiga lembaga politik itu. Jadi, menurut Millet, birokrasi tidak hanya menjadi perpanjangan tangan eksekutif, melainkan ada juga birokrasi yang menyelenggarakan tugas- tugas administratif dari legislatif dan eksekutif. Dalam kaitan dengan itu, disatu pihak para wakil rakyat (legislatif) memiliki tanggungjawab untuk benar-benar mewakili rakyat dan melakukan pengujian terhadap hukum dan kebijakan negara. Dipihak lain para pegawai
anggota birokrasi memiliki tanggungjawab untuk memberikan nasihat kebijakan yang berkualitas, disamping menjalankan kebijakan negara secara efisien Beetham (dalam Samodra 2005:104). Kebijakan birokrasi dalam pembuatan kebijakan tampaknya memang tidak terelekan, baik secara praktis maupun ideal. Akibatnya birokrasi tidak hanya memegang wewenang teknis administratif melainkan sering menggenggam kekuasaan politis, yang seringkali malah lebih besar dibandingkan tiga lembaga politik di atasnya. Para aktivis politik di dalam tubuh legislatif, misalnya, harus dipilih dan hanya bertugas untuk jangka waktu tertentu; tetapi birokrasi tidak perlu dipilih melainkan diangkat dan bertugas hampir seumur hidup. Secara demikian dapat dikatakan bahwa birokrat atau aparatur negara atau pegawai negeri adalah politikus permanen (Kingsley yang dikutip Albrow, 1989:112). Woodrow Wilson, seorang ahli administrasi negara, di tahun 1887 telah mengakui bahwa kekuasaan (yang digenggam birokrasi) seperti itu tidak berbahaya sepanjang ada mekanisme pertanggungjawaban Millet (dalam Samodra 2005:104). Jadi tidak berbahayanya kekuasaan birokrasi itu hanya apabila ia diletakan di bawah kontrol politik, disamping harus menjalankan pelayanan tanpa tirani. Demi menjaga tidak terjebaknya birokrasi ke dalam tirani itulah kekuasaan birokrasi harus dijaga dari pemekarannya. Penggunaan kekuasaan oleh birokrasi tidak hanya berbahaya dalam tiga hal Millet (dalam Samodra 2005:104). Pertama, menghindari kevakuman tindakan, karena lembaga- lembaga negara (politik) tidak mampu mengambil kebijakan misalnya karena mengalami konflik. Kedua, tidak ada instruksi yang jelas dari lembaga politik. Dalam hal ini alternatif kebijakan yang dibuat birokrasi justru berfungsi memperkuat pemerintahan. Ketiga, rumusan kebijakan tidak menyimpang dari kebijakan semua lembaga politik. Proses kekuasaan birokrasi harus berhenti ketika lembaga politik membuat kebijakan lain terhadap persoalan yang sama. Kecuali dengan kontrol politik, peran politik birokrasi yang tak terelakan itu sebaiknya dikontrol pula oleh lembaga khusus seperti komisi
42
DESRIADI
penyelidik dan ombudsman. Memang salah satu syarat dari administrasi yang demokratis adalah adanya lembaga otoritatif yang mengarahkan perilaku pejabat (Friedrich yang dikutip Albrow, 1989:115). Lebih dari itu masyarakat harus dilindungi dari kesewenangan-kewenangan birokrasi yang mungkin tak terkendali dengan cara peradilan tata usaha negara. ANCAMAN BIROKRASI TERHADAP DEMOKRASI Secara rinci dikatakan oleh Albrow (dalam Samodra 2005:104) bahwa aparatur atau administrasi negara bisa berbenturan dengan demokrasi bila aparatur negara itu : 1. Campur tangan dalam pemilihan umum 2. Mogok kerja (yang bisa-bisa menumbangkan negara 3. Beraliansi dengan golongan tertentu 4. Tidak mau dikontrol 5. Mempunyai kegiatan seperti kelompok penekan. Sementara itu Millet (dalam Samodra 2005:105) berpendapat bahwa birokrasi mengancam demokrasi apabila : 1. Tidak efisien 2. Menyimpang dari kebijakan negara 3. Mampu menyadap informasi secara baik tetapi memberikan informasi yang keliru (mis-inform) kepada publik atau bahkan menipu publik. 4. Mengintervensi lembaga demokrasi seperti pemilihan umum yang bebas 5. Menjalankan tugasnya secara sentralistik. Kedua elaborasi diatas tampaknya membuat kita pesimis, karena dalam kehidupan bernegara ini hampir tidak ada satu kelompokpun yang dapat mewakili semua kepentingan sebagaimana dituntut untuk dimainkan oleh birokrasi. Dengan kata lain setiap kelompok pasti akan melakukan pemihakan terhadap dirinya sendiri maupun kelompok yang lain. Diakui oleh Albrow bahwa keharusan profesionalitas dari birokrasi memang mengandung dilema, antara mampu menyerap seluruh aspirasi rakyat dan agar objektif mengambil jarak dengan si inspirator.
43
Mengingat hal itu, maka disamping memiliki kemampuan teknik, seorang birokrat disyaratkan pula untuk memiliki komitmen terhadap kepentingan publik. Tanpa komitmen yang kuat, maka birokrasi akan cenderung menepis kontrol yang dilakukan oleh lembaga – lembaga politik. Friedrich (dalam Samodra 2005:105) berpendapat bahwa komitmen publik ini jauh lebih penting daripada mekanisme kontrol. Kompetensi profesional memang tidak bisa dinomorduakan dibandingkan komitmen publik, karena hanya dengan kompetensi ini birokrasi memperoleh kepercayaan politik. Bahkan bila persyaratan profesional dalam maknanya yang ideal terpenuhi (misalnya terampil, bertanggungjawab terhadap tugas, tidak menyeleweng), kontrol politik formal maupun kontrol intern tidak perlu dilakukan secara ketat. Tetapi hal ini saja belumlah cukup. Birokrat juga harus memiliki latar belakang sosial yang disenangi semua golongan Albrow (dalam Samodra 2005:105). Jika kompetensi dan popularitas (representativeness) ini terpenuhi, maka akibat yang lebih jauh adalah birokrasi akan merasa aman (tidak terancam) dan kepercayaan antar aparatur negara tinggi, sehingga dimungkinkan dilaksanakannya administrasi secara desentralistis akan menjadikan rendahnya friksi yang terjadi antara birokrasi dengan publik, yang pada akhirnya akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap birokrasi.
KESIMPULAN Dapat disimpulkan bahwa : pertama, karena birokrasi cenderung menuntut kekuasaan yang berlebihan, maka ia harus diluruskan. Kedua, karena birokrasi memang berkuasa dan menjalankan banyak tugas dan peran, maka ia harus mampu bersikap bijaksana. Ketiga, karena birokrasi memang memerlukan kekuasaan (disamping wewenang), maka ia perlu mencari teknik pelayanan yang baik.
SARAN Disadari atau tidak, menyembunyikan suatu kekhawatiran bahwa birokrasi, alih-alih berpenampilan efisien, justru berpeluang besar
DEMOKRASI DAN PEMERINTAHAN
untuk mengancam kehidupan demokratis. Paling tidak birokrasi dapat membawakan kepentingannya sendiri dalam setiap pelaksanaan kebijakan negara. Profesionalisme para birokrat akan mengkristal dan menciptakan semangat kekelompokkan (corps), sehingga kepentingan dirinya menjadi dinomorsatukan lebih dari kepentingan negara atau publik.
DAFTAR PUSTAKA Anggara,
Sahya. 2012. Perbandingan Administrasi Negara, Penerbit CV. Pustaka Setia. Bandung. _____________. 2015. Metode Penelitian Administrasi, Penerbit CV. Pustaka Setia. Bandung. Thoha, Miftah. 2011. Ilmu Administrasi Publik Kontemporer, Penerbit Kencana Prenada Media Group. Jakarta. Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Administrasi, Penerbit Alfabeta. Bandung. Suyanto Bagong dan Sutinah. 2011. Metode Penelitian Sosial Berbagai Alternatif Pendekatan, Penerbit Kencana Prenada Media Group. Jakarta. Syafiie, Inu Kencana. 2003. Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia, Penerbit PT. Refika Aditama. Bandung. _________________. 2013. Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia (SANRI), Penerbit Bumi Aksara. Jakarta. _________________. 2015. Ilmu Administrasi, Penerbit Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Wibawa, Samodra. 2005. Reformasi Administrasi Bunga Rampai Pemikiran Administrasi Negara / Publik, Penerbit Gava Media. Yogyakarta. Zulkifli. 2005. Pengantar Studi Ilmu Administrasi & Manajemen, Penerbit UIR Press. Pekanbaru. Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah. Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah. Undang – undang Nomor 44 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah Negara Indonesia Timur (NIT). Undang – undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok – pokok Pemerintahan Daerah. Undang – undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok – Pokok Pemerintahan Daerah. Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok – Pokok Pemerintahan Daerah. Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang – undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan Daerah. Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
44