Situasi Keluarga Berencana (KB) di Indonesia Pusat Data dan Informasi, Kementerian Kesehatan RI International Conference on Population and Development (ICPD) pada tahun 1994 di Kairo telah merubah paradigma dalam pengelolaan masalah kependudukan, yang semula berorientasi kepada penurunan fertilitas (manusia sebagai obyek) menjadi pengutamaan kesehatan reproduksi perorangan dengan menghormati hak reproduksi setiap individu (manusia sebagai subyek). Program keluarga berencana memiliki makna yang sangat strategis, komprehensif dan fundamental dalam mewujudkan manusia Indonesia yang sehat dan sejahtera. UU Nomor 52 Tahun 2009 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga menyebutkan bahwa keluarga berencana adalah upaya untuk mengatur kelahiran anak, jarak, dan usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan, melalui promosi, perlindungan, dan bantuan sesuai hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas.. Terdapat tiga indikator tambahan yang berkaitan dengan KB dalam Millenium Development Goals (MDGs) 2015 target 5b (Akses Universal terhadap Kesehatan Reproduksi) yang diharapkan akan memberikan kontribusi dalam upaya peningkatan kesehatan ibu. Indikator tersebut adalah Contraceptive Prevalence Rate (CPR), Age Specific Fertility Rate (ASFR), dan unmet need. Target nasional indikator tersebut pada tahun 2015 adalah CPR sebesar 65%, ASFR usia 15-19 tahun sebesar 30/1000 perempuan usia 15-19 tahun dan unmet need 5%. Dalam upaya akselerasi pembangunan Kependudukan dan Keluarga Berencana (KKB), dengan memperhatikan RPJMN dan Renstra BKKBN tahun 2010-2014, maka telah direvisi sasaran yang hendak dicapai pada tahun 2014. Sasaran yang hendak dicapai pada tahun 2014 adalah TFR sebesar 2,36, CPR sebesar 60,1% dan unmet need sebesar 6,5%. Dalam satu dekade terakhir, keberhasilan pelayanan Keluarga Berencana di Indonesia mengalami suatu keadaan stagnan yang ditandai dengan kurangnya perbaikan beberapa indikator KB yaitu CPR, unmet need dan Total Fertility Rate (TFR). Tulisan ini mengkaji situasi pelayanan KB di Indonesia, termasuk indikator-indikator tersebut, juga perbandingan dengan negara -negara ASEAN, dalam upaya mendukung peningkatan pelayanan KB serta kesehatan ibu dan bayi.
A. Situasi KB di Indonesia Dibandingkan dengan Negara-negara ASEAN Gambar 1 Jumlah WUS Indonesia Dibandingkan dengan Negara-negara Anggota ASEAN
Keterangan: jumlah dalam jutaan Sumber : Family Planning Worldwide, 2008 Data Sheet
Berdasarkan grafik di atas dapat kita ketahui bahwa jumlah Wanita Usia Subur (WUS) Indonesia merupakan jumlah terbesar di Asia Tenggara, kemudian diikuti Vietnam dan Filipina. Sedangkan negara dengan jumlah WUS terendah di Asia Tenggara adalah Timor Leste. Gambar 2 Penggunaan Kontrasepsi di Indonesia Dibandingkan dengan Negara-negara Anggota ASEAN
Rata-rata : 58,1
Sumber : World Health Statistics, 2013, data rata-rata tahun 2005-2012
Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa angka kontrasepsi Indonesia melebihi rata-rata penggunaan kontrasepsi di negara ASEAN. Gambar 3 TFR Indonesia Dibandingkan dengan Negara-negara Anggota ASEAN
Rata-rata : 2,9
Sumber : SDKI, 2007
Pada grafik di atas dapat kita ketahui bahwa angka TFR Indonesia masih lebih rendah daripada TFR rata-rata negara ASEAN. Gambar 4 Unmet Need Indonesia Dibandingkan dengan Negara-negara Anggota ASEAN
Sumber : World Health Statistics, 2013, data rata-rata tahun 2005-2012
Pada grafik di atas dapat kita lihat bahwa unmet need di Indonesia lebih baik dibandingkan Kamboja, Vietnam dan Thailand namun kurang baik dibandingkan Filipina, Laos dan Timor Leste.
B. Situasi Keluarga Berencana di Indonesia 1. Kesiapan layanan: Sesuai dengan UU RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pada pasal 78 disebutkan bahwa pemerintah bertanggung jawab dan menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas pelayanan, alat dan obat dalam memberikan pelayanan keluarga berencana yang aman bermutu dan terjangkau oleh masyarakat. a. Alat dan obat kontrasepsi (Alokon) Pada saat ini Pemerintah menyediakan secara gratis tiga jenis alokon di seluruh wilayah Indonesia, yaitu kondom, Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR), dan susuk KB. Terdapat 7 provinsi yang menyediakan alokon lainnya juga secara gratis, yaitu Aceh, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat. Di provinsi lain, selain kondom, AKDR, dan susuk KB, jenis alokon lainnya hanya tersedia secara gratis bagi masyarakat miskin (Keluarga Pra Sejahtera dan Keluarga Sejahtera 1). Dengan demikian memang ada sebagian masyarakat yang harus membayar sendiri penggunaan alokon yang dibutuhkannya. b. Fasilitas kesehatan Puskesmas sebagai fasilitas pelayanan kesehatan dasar diharapkan memberikan kontribusi terbesar dalam memberikan pelayanan KB di masyarakat. Namun sejak tahun 1997 telah terjadi pergeseran pemanfaatan fasilitas pelayanan kontrasepsi oleh peserta KB dari pelayanan pemerintah ke pelayanan swasta, seperti ditunjukkan dalam hasil SDKI tahun 1997, 2003 dan 2007. Kecenderungan pemanfaatan fasilitas pelayanan swasta untuk pelayanan kontrasepsi meningkat secara konsisten dari 42% menjadi 63% dan kemudian 69%, sedangkan di fasilitas pelayanan pemerintah menurun dari 43%, menjadi 28% dan kemudian 22%. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 menunjukkan tempat terbanyak masyarakat mendapatkan pelayanan KB di sektor swasta adalah Bidan Praktek Mandiri, yaitu 52,5%. Fasilitas pelayanan pemerintah seperti rumah sakit, puskesmas, pustu dan poskesdes atau polindes digunakan oleh sekitar 23,9% peserta KB. Hasil Riset Fasilitas Kesehatan (Rifaskes) 2011, kegiatan pelayanan KIA/KB telah dilaksanakan di 97,5% puskesmas. Pelayanan KIA dan KB termasuk 6 (enam) pelayanan wajib puskesmas, maka seharusnya setiap puskesmas menyediakan layanan tersebut. Namun, masih ada puskesmas yang belum memberikan pelayanan KIA dan KB, seperti di Provinsi Papua terdapat 18,4% puskesmas yang belum memberikan layanan KIA dan KB, Papua Barat 5,8%, dan Maluku 3,1%. Didapatkan pula bahwa sebanyak 32,6% puskesmas memiliki ruangan poliklinik khusus KB. Persentase puskesmas yang memiliki poliklinik khusus KB terbesar terdapat di DKI Jakarta (66,4%) dan terendah di Provinsi Sulawesi Tenggara (12,9%). Di daerah perkotaan sekitar 43,2% puskesmas memiliki poliklinik khusus KB sementara di daerah perdesaan sekitar 29%. Meskipun 97,5% puskesmas telah melaksanakan pelayanan KIA/KB, namun puskesmas yang petugasnya telah mendapat pelatihan KB baru 58% dan hanya terdapat 32,2% puskesmas yang memiliki kecukupan sumber daya dalam program KB. Kecukupan sumber daya tersebut meliputi kompetensi pelayanan, ketersediaan petugas di puskesmas, ketersediaan pedoman dan Standar Prosedur Operasional (SPO), dan bimbingan teknis. Gambar 5 Asupan Sumber Daya Program Keluarga Berencana
Sumber: Rifaskes 2011
2. Kualitas layanan a. Pemilihan Metode Gambar 6 Pemakaian MKJP dan Non MKJP Tahun 1991-2012
Sumber : SDKI
Pada grafik di atas dapat kita lihat rasio penggunaan Non-MKJP (Metode Kontrasepsi Jangka Panjang) dan MKJP setiap tahun semakin tinggi, atau pemakaian kontrasepsi non-MKJP lebih besar dibandingkan dengan pemakaian kontrasepsi MKJP. Padahal Couple Years Protection (CYP) Non-MKJP yang berkisar 1-3 bulan memberi peluang besar untuk putus penggunaan kontrasepsi (20-40%). Sementara itu CYP dari MKJP yang berkisar 3-5 tahun memberi peluang untuk kelangsungan yang tinggi, namun pengguna metode ini jumlahnya kurang banyak. Hal ini mungkin disebabkan karena penggunaan metode ini membutuhkan tindakan dan keterampilan profesional tenaga kesehatan yang lebih kompleks. b. Kepuasan penggunaan KB Salah satu yang mempengaruhi kepuasan dalam menggunakan alat/cara KB adalah masalah/efek samping yang timbul. Tabel di bawah ini menunjukkan data mengenai masalah yang timbul dalam pemakaian alat/cara KB menurut metode yang dipakai. Tabel 1 Distribusi Persentase Peserta KB yang Mengalami Masalah dengan Alat/Cara KB yang Digunakan, Menurut Metode yang Dipakai Masalah utama yang dihadapi Tidak ada Berat badan naik Berat badan turun Pendarahan Hipertensi Pusing kepala Mual Tidak haid Lemah/letih Lainnya Tidak tahu Jumlah
Pil
IUD
Suntikan
Susuk KB
85,9 1,6 0,5 0,5 0,2 5,8 2,7 0,2 0,3 2,1 0,1 100
95,2 0,3 0,1 0,5 0,0 0,7 0,2 0,1 0,7 2,0 0,0 100
78,1 2,6 0,9 0,8 0,3 6,1 0,4 6,2 0,7 3,8 0,1 100
86,5 1,1 0,1 0,4 0,3 2,9 0,1 2,1 0,7 5,9 0,0 100
Sumber: SDKI 2007
Berdasarkan tabel di atas dapat kita lihat bahwa IUD, yang merupakan salah satu metode MKJP, paling sedikit menimbulkan keluhan dibandingkan pil, suntikan dan susuk KB. 3. Dampak a. Pengetahuan pengguna KB Metode KB dapat dibedakan menjadi KB cara modern dan cara tradisional. Metode KB cara modern adalah sterilisasi, pil, IUD, suntik, susuk KB, kondom, intravagina/diafragma, kontrasepsi darurat dan Metode Amenorea Laktasi (MAL). Sedangkan cara tradisional misalnya pantang berkala dan senggama terputus.
Gambar 7 Pengetahuan Mengenai KB Cara Modern Berdasarkan Usia
Sumber : SDKI 2012
Pada grafik di atas terlihat bahwa suntik dan pil adalah cara KB modern yang paling diketahui oleh masyarakat di semua golongan usia, termasuk pada usia risiko tinggi di atas 35 tahun. Kedua jenis kontrasepsi tersebut dinilai kurang efektif untuk mencegah kehamilan. Jenis kontrasepsi yang efektif untuk mencegah kehamilan bagi wanita risiko tinggi adalah MKJP seperti IUD, sterilisasi wanita dan sterilisasi pria. Gambar 8 Pengetahuan Mengenai KB Cara Modern Berdasarkan Tempat Tinggal
Sumber : SDKI 2012
Berdasarkan jenis tempat tinggal, pengetahuan mengenai sterilisasi, IUD, kondom, diafragma, kontrasepsi darurat dan MAL di perkotaan cenderung lebih tinggi, sedangkan pil, suntik dan implan di perkotaan juga lebih tinggi namun tidak jauh berbeda dengan perdesaan.
Gambar 9 Pengetahuan Mengenai KB Cara Modern Berdasarkan Pendidikan
Sumber : SDKI 2012
Pada setiap tingkatan pendidikan, baik yang tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD, tidak tamat SMU+, maupun tamat SMU+, metode yang paling diketahui adalah suntik dan pil. Sedangkan yang kurang diketahui, di setiap tingkat pendidikan juga hampir sama, yaitu MAL, kontrasepsi darurat, dan diafragma. Pada gambar di atas juga dapat kita lihat bahwa yang mengetahui mengenai pil, suntik dan susuk cenderung sama di tiap level pendidikan, kecuali untuk yang tidak sekolah. Sedangkan sterilisasi, IUD, dan metode lain cenderung semakin diketahui seiring meningkatnya pendidikan. b. Total Fertility Rate (TFR) Gambar 10 Total Fertility Rate Tahun 1991-2012
Target RPJMN 2014 : TFR = 2,36
Sumber: SDKI 2012
Gambar di atas menyajikan TFR hasil SDKI 1991, 1994, 1997, 2002-2003, 2007 dan 2012. Terlihat adanya penurunan dari 3 anak per wanita pada SDKI 1991 menjadi 2,6 anak pada SDKI 2002-2003. Angka TFR ini stagnan dalam 3 periode terakhir pemantauan SDKI (2002, 2007, 2012). Untuk mencapai target RPJMN 2014 sebesar 2,36 maupun target MDG 2015 sebesar 2,11, tampaknya dibutuhkan upaya lebih sungguh-sungguh
Gambar 11 CPR dan TFR Tahun 1991-2012
Sumber : SDKI 2012
Pada grafik yang memuat CPR dan TFR di atas dapat kita lihat bahwa meski angka CPR terus meningkat dari kurun waktu tahun 1991-2012, namun angka TFR pada periode tahun yang sama hanya mengalami sedikit penurunan yaitu 3 pada tahun 1991 dan hanya menurun menjadi 2,6 pada tahun 2012. c.
Age Specific Fertility Rate ASFR untuk usia 15-19 tahun menggambarkan banyaknya kehamilan pada remaja usia 15-19 tahun. Hasil SDKI 2012, ASFR untuk usia 15-19 tahun adalah 48 per 1.000 perempuan usia 15-19 tahun sedangkan target yang diharapkan pada tahun 2015 adalah 30 per 1.000 perempuan usia 15-19 tahun.
d.
Drop-Out (DO) rate KB
Gambar 12 DO Rate KB Tahun 2003 dan 2007
Sumber: SDKI 2003 dan SDKI 2007
Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa angka ketidaklangsungan (drop-out) metode non-MKJP (pil dan suntikan) lebih tinggi dibandingkan metode MKJP (implant dan IUD) .
e. Contraceptive Prevalence Rate (CPR) Gambar 13 CPR Tahun 1991- 2012
Target RPJMN 2014 : CPR = 60,1%
Sumber: SDKI 2012
Pada gambar di atas dapat kita lihat bahwa Angka Kesertaan ber-KB (CPR) peningkatannya sangat kecil, hanya 0,5% dalam 5 tahun terakhir, baik pada semua cara KB maupun pada cara modern. Target RPJMN 2014 untuk cara modern sebesar 60,1% dan MDG 2015 sebesar 65%, namun capaian tahun 2012 baru sebesar 57,9%. f.
Unmet Need Gambar 14 Unmet Need Tahun 1991 dan 2012
Target RPJMN 2014 : Unmet need = 6,5%
Sumber: SDKI 2012
Kelompok orang yang membutuhkan pelayanan KB tapi tidak mendapatkannya (unmet need) angkanya masih tinggi, hanya turun 0,6% dalam 5 tahun terakhir, bahkan kalau dibandingkan dengan capaian 10 tahun yang lalu hanya turun 0,1% (karena angka ini sempat meningkat pada tahun 2007).
KESIMPULAN 1.
Penggunaan kontrasepsi di Indonesia di atas persentase rata-rata negara-negara ASEAN, TFR di bawah TFR rata-rata ASEAN dan unmet need berada di pertengahan (urutan 4 dari 7 negara). 2. Kegiatan pelayanan KIA/KB telah dilaksanakan di 97,5% puskesmas, namun puskesmas yang petugasnya telah mendapat pelatihan KB baru 58% dan puskesmas yang memiliki kecukupan sumber daya untuk pelayanan KB hanya 32,2%. 3. Terdapat kecenderungan peningkatan pemanfaatan fasilitas pelayanan swasta untuk pelayanan kontrasepsi. 4. Dibutuhkan upaya yang lebih sungguh-sungguh untuk mencapai target nasional dari indikator pelayanan KB (TFR, ASFR 15-19 tahun, CPR, unmet need) yang telah ditetapkan. 5. TFR tahun 1991-2012 cenderung menurun dari 3 menjadi 2,6 sedangkan target RPJMN 2014 sebesar 2,36 maupun target MDGs 2015 sebesar 2,11. 6. ASFR untuk usia 15-19 tahun adalah 48 per 1.000 wanita usia 15-19 tahun, sedangkan targetnya pada tahun 2015 adalah 30 per 1.000 wanita usia 15-19 tahun. 7. Angka Kesertaan ber-KB (CPR) cara modern tahun 1991-2012 cenderung meningkat dari 47,5% menjadi 57,9%, sedangkan target RPJMN 2014 sebesar 60,1% dan target MDGs 2015 sebesar 65%. 8. Unmet need tahun 1991-2012 cenderung menurun dari 12,7% menjadi 8,5%, sedangkan target RPJMN 2014 sebesar 6,5% dan target MDGs 2015 sebesar 5% 9. Rasio non-MKJP/MKJP tahun 1991-2012 justru cenderung meningkat dari 1,5 menjadi 4,5. Angka drop out non MKJP juga cenderung lebih tinggi dibandingkan MKJP. 10. IUD yang merupakan salah satu MKJP, paling sedikit menimbulkan keluhan/masalah dibandingkan pil, suntikan dan susuk KB. 11. Metode KB yang paling diketahui masyarakat adalah pil dan suntik, sedangkan yang kurang diketahui adalah diafragma dan kontrasepsi darurat. 12. Metode pil, suntik dan susuk diketahui dalam proporsi yang hampir sama baik di perkotaan maupun perdesaan dan di berbagai tingkat pendidikan. Sedangkan metode KB lain cenderung lebih diketahui di perkotaan dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi.
DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Badan Pusat Statistik (2008). Survei Demografi dan Kesehatan 2007, Jakarta. Badan Pusat Statistik (2013). Survei Demografi dan Kesehatan 2012, Jakarta. Badan Pusat Statistik (2011). Fertilitas Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk 2010, Jakarta. Kementerian Kesehatan. Laporan Nasional Riset Fasilitas Kesehatan 2011, Badan Litbang Kesehatan, Jakarta, 2012. Kementerian Kesehatan. Laporan Riset Kesehatan Dasar 2012, Badan Litbang Kesehatan, Jakarta 2013. Population Reference Bureau. Family Planning Worldwide 2008 Data Sheet, Washington. World Health Organization. World Health Statistics 2013, Italia World Health Organization, 2013.
Pelayanan KB Pasca Persalinan dalam Upaya Mendukung Percepatan Penurunan Angka Kematian Ibu dr. Inti Mujiati I.
Latar Belakang Tujuan Millenium Development Goal (MDG) 5 adalah untuk meningkatkan kesehatan ibu dimana indikator utamanya adalah penurunan kematian ibu menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup dan indikator proksinya adalah peningkatan persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan menjadi 90% pada tahun 2015. Selain pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, penurunan kematian ibu dipengaruhi juga oleh keberhasilan pencapaian universal akses kesehatan reproduksi lainnya yang kemudian tertuang dalam MDG 5b dengan indikator: CPR (Contraceptive Prevalence Rate), ASFR (Age Specific Fertility Rate) 15-19 tahun, ANC (Ante Natal Care) dan Unmet need pelayanan KB. Sejalan dengan strategi Making Pregnancy Safer untuk penurunan Angka Kematian Ibu, maka intervensi mengacu pada 3 “tiga” pesan kunci yaitu : 1) setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih 2) setiap komplikasi obstetrik neonatal mendapat penanganan yang adekuat dan 3) setiap wanita usia subur mendapat akses terhadap pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan serta penanganan aborsi yang tidak aman. Berdasarkan Studi Lancet di negara-negara dengan tingkat kelahiran yang tinggi, keluarga berencana bermanfaat baik untuk kesehatan ibu dan bayi, dimana diperkirakan dapat menurunkan 32% kematian ibu dengan mencegah kehamilan yang tidak diinginkan dan dapat menurunkan 10% kematian anak, dengan mengurangi jarak persalinan kurang dari 2 tahun (Cleland, Bernstein, Ezeh, Faundes, Glasier and Innis. 2006). Sejak tahun 1990 sudah ada upaya strategis yang dilakukan dalam upaya menekan AKI yakni melalui pendekatan safe motherhood, dengan menganggap bahwa setiap kehamilan mengandung risiko, walaupun kondisi kesehatan ibu sebelum dan selama kehamilan dalam keadaan baik. Melalui pendekatan tersebut World Health Organization (WHO) mengembangkan konsep “Four Pillars of Safe Motherhood” untuk menggambarkan berbagai upaya yang harus dilakukan untuk menyelamatkan ibu dan bayi sebagai satu kesatuan. Keempat pilar tersebut adalah 1) Keluarga Berencana; 2) Asuhan Antenatal; 3) Persalinan Bersih dan Aman; dan 4) Pelayanan Obstetri Esensial (WHO, 1994) . Asuhan antenatal cakupannya sudah bagus, meningkat terus setiap tahun (SDKI 2012: 95,7%) meskipun kesenjangan dengan K4 nya masih agak jauh (SDKI 2012: K4 73,5%). Persalinan bersih dan aman oleh tenaga kesehatan, cakupannya menurut laporan SDKI meningkat cukup tajam dari 38,5% (SDKI 1992) menjadi 83,1% (SDKI 2012). Demikian juga dengan pelayanan obstetri esensial sudah dikembangkan melalui pendekatan terpadu pelayanan antenatal. Namun Keluarga Berencana (KB) yang sudah berkembang pesat selama 30 tahun (1970-2000), yang telah berhasil menurunkan Total Fertility Rate (TFR, angka kelahiran total) dari 5,6 (tahun 70-an) menjadi 2,8 (SDKI 1990), justru cenderung stagnan sejak tahun 2000-an. Hal ini dapat terlihat dari Total Fertility Rate (TFR) laporan SDKI yang stagnan di angka 2,6 dalam 10 tahun terakhir (SDKI 2002-SDKI 2012), sementara target nasional adalah 2,1 pada tahun 2014 (RPJMN). Keluarga Berencana (KB), dengan indikator CPR (Contraceptive Prevalence Rate = angka kesertaan ber-KB) dan unmet need pelayanan KB (pasangan usia subur yang membutuhkan pelayanan KB namun tidak dapat melaksanakannya dengan berbagai alasan) belakangan masuk dalam MDGs yang tertuang dalam MDG 5b (mewujudkan akses kesehatan reproduksi bagi semua pada tahun 2015). Adapun target yang ditetapkan untuk kedua indikator ini adalah meningkatkan CPR metode modern menjadi 65% dan menurunkan unmet need pelayanan KB menjadi 5% pada tahun 2015. Dua indikator KB di atas dalam sepuluh tahun terakhir tidak mengalami banyak kemajuan. CPR cara modern yang sudah meningkat pesat selama kurang lebih 10 tahun dari 47% (SDKI 1991) menjadi 56,5% (SDKI 2002) berarti peningkatan sebesar 9,5% hanya naik 1,4% menjadi 57,9% dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini (SDKI 2012). Demikian juga persentase kelompok unmet need yang sudah menurun pesat selama kurang lebih 10 tahun dari 12,7% SDKI 1991) menjadi 8,6% (SDKI 2002), berarti penurunan sebesar 4,1%, malah meningkat 0,5% menjadi 9,1% (SDKI 2007) dan baru turun lagi sebesar 0,6% menjadi 8,5% (SDKI 2012); praktis penurunannya dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini hanya 0,1%. Masih jauhnya target kedua indikator program KB ini patut diduga berkontribusi terhadap landainya penurunan AKI dimana program KB merupakan salah satu upaya penurunan AKI di bagian hulu.
Masih rendahnya angka CPR ini berkaitan dengan masih tingginya unmet need. Tingginya unmet need pelayanan KB, yakni 8,5% dari jumlah pasangan usia subur (PUS), baik untuk membatasi kelahiran (4,6%) maupun menjarangkan kelahiran (3,9%) berpotensi besar untuk terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan (KTD). Oleh sebab itu, dalam upaya meningkatkan kesehatan ibu, sasaran utama program KB adalah pada kelompok unmet need, dan ibu pasca bersalin merupakan sasaran yang sangat penting. KTD pada ibu pasca bersalin, akan dihadapkan pada dua hal yang sama-sama berisiko. Pertama, jika kehamilan diteruskan, maka kehamilan tersebut akan berjarak sangat dekat dengan kehamilan sebelumnya, yang merupakan salah satu komponen “4 Terlalu” (terlalu muda, terlalu tua, terlalu banyak dan terlalu dekat). Keadaan ini akan menjadi kehamilan yang berisiko terhadap terjadinya komplikasi dalam kehamilan, persalinan dan nifas berikutnya yang dapat berkontribusi terhadap kematian ibu (dan juga kematian bayi). Kedua, jika kehamilan diakhiri (aborsi, terutama jika dilakukan dengan tidak aman), maka berpeluang untuk terjadinya komplikasi aborsi yang juga dapat berkontribusi terhadap kematian ibu. Oleh sebab itu, KB pasca persalinan merupakan suatu upaya strategis dalam penurunan AKI, juga AKB dan sekaligus juga penurunan TFR. Ada berbagai rujukan yang mendefinisikan tentang KB pasca persalinan, di antaranya menyebutkan bahwa KB pasca persalinan adalah penggunaan metode KB sampai satu tahun setelah persalinan atau dalam satu tahun pertama kelahiran. Namun, Kementerian Kesehatan membatasi periode KB pasca persalinan adalah sampai dengan 42 hari pasca bersalin. Hal ini ditetapkan untuk mencegah missed opportunity pada ibu pasca bersalin, dimana jumlah kelahiran di Indonesia sangat besar, diperkirakan sekitar 4.500.000 setiap tahunnya (Riskesdas 2007), dan 760.000 (17%) di antaranya merupakan kelahiran yang tidak diinginkan atau tidak direncanakan. Oleh sebab itu, definisi KB pasca persalinan di Indonesia adalah: pemanfaatan atau penggunaan alat kontrasepsi segera sesudah melahirkan sampai 6 minggu (42 hari) sesudah melahirkan. Namun sejauh ini cakupan pelayanan KB Pasca Persalinan masih belum menggembirakan. Berdasarkan Laporan Hasil Pelayanan Kontrasepsi Januari-Juli 2013 (BKKBN), cakupan KB Pasca Persalinan dan Pasca Keguguran dibandingkan dengan cakupan peserta KB Baru masih sebesar 13,27%. Capaian tersebut juga masih didominasi oleh non MKJP yaitu suntikan (52,49%) dan pil (18,95%), sementara capaian MKJP implan (8,08%), IUD (14,06%), MOW (3,27%) dan MOP (0,02%). Beberapa permasalahan yang dapat diidentifikasi antara lain belum tersosialisasinya pelayanan KB Pasca Persalinan dengan baik, belum samanya persepsi tentang metode KB Pasca Persalinan dan kecilnya angka ini kemungkinan juga karena belum masuknya cakupan KB Pasca Persalinan dalam laporan rutin KIA.
II. Penguatan Pelayanan KB Pasca Persalinan Dasar penyelenggaraan pelayanan KB adalah UU RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pasal 78 tentang Keluarga Berencana yang berbunyi: (1) Pelayanan kesehatan dalam keluarga berencana dimaksudkan untuk pengaturan kehamilan bagi pasangan usia subur untuk membentuk generasi penerus yang sehat dan cerdas (2) Pemerintah bertanggung jawab dan menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas pelayanan, alat dan obat dalam memberikan pelayanan keluarga berencana yang aman, bermutu dan terjangkau oleh masyarakat (3) Ketentuan mengenai pelayanan keluarga berencana dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. KB Pasca Persalinan sebenarnya bukan hal yang baru, karena sejak 2007, melalui Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K), di dalamnya terdapat amanat persalinan yang memuat tentang perencanaan penggunaan KB setelah bersalin. Penerapan KB pasca persalinan ini sangat penting karena kembalinya kesuburan pada seorang ibu setelah melahirkan tidak dapat diprediksi dan dapat terjadi sebelum datangnya siklus haid, bahkan pada wanita menyusui. Ovulasi pertama pada wanita tidak menyusui dapat terjadi pada 34 hari pasca persalinan, bahkan dapat terjadi lebih awal. Hal ini menyebabkan pada masa menyusui, seringkali wanita mengalami kehamilan yang tidak diinginkan (KTD/unwanted pregnancy) pada interval yang dekat dengan kehamilan sebelumnya. Kontrasepsi seharusnya sudah digunakan sebelum aktifitas seksual dimulai. Oleh karena itu sangat strategis untuk memulai kontrasepsi seawal mungkin setelah persalinan. Pelayanan KB pasca persalinan merupakan strategi yang penting dari kesehatan masyarakat dengan keuntungan yang signifikan terhadap ibu dan bayinya. Idealnya pemilihan kontrasepsi pasca persalinan, telah diperkenalkan pada saat kehamilan agar tidak terlambat untuk mendapatkannya karena pada umumnya wanita mulai menggunakan kontrasepsi pada minggu keenam pasca persalinan. Pelayanan KB Pasca Persalinan merupakan salah satu program strategis untuk menurunkan kehamilan yang tidak diinginkan.
Seorang ibu yang baru melahirkan bayi biasanya lebih mudah untuk diajak menggunakan kontrasepsi, sehingga waktu setelah melahirkan adalah waktu yang paling tepat untuk mengajak seorang ibu menggunakan kontrasepsi. Tujuan pelayanan KB Pasca Persalinan adalah untuk mengatur jarak kehamilan/kelahiran, dan menghindari kehamilan yang tidak diinginkan, sehingga setiap keluarga dapat merencanakan kehamilan yang aman dan sehat. Pelayanan KB pasca persalinan dimulai dengan pemberian informasi dan konseling yang sudah dimulai sejak masa kehamilan. Tenaga kesehatan sebagai pemberi pelayanan memegang peranan penting dalam memberikan informasi dan konseling KB pasca persalinan kepada calon peserta KB. KB Pasca Persalinan dilaksanakan pada periode menyusui. Rekomendasi Hasil Kajian Health Technology Assesment (HTA) Indonesia, tahun 2009, tentang KB pada Periode Menyusui adalah sebagai berikut: Wanita pada periode menyusui direkomendasikan untuk menggunakan kontrasepsi KB sebelum terjadi ovulasi pertama kali sekitar 155 ± 45 hari. Bahwa Pemberian ASI Eksklusif menunda terjadinya ovulasi. Metode kontrasepsi progestin tidak mengganggu volume dan kandungan nutrisi Air Susu Ibu. Kontrasepsi pil progestin (progestin-only minipills) dapat mulai diberikan dalam 6 minggu pertama pasca persalinan. Namun, bagi wanita yang mengalami keterbatasan akses terhadap pelayanan kesehatan, minipil dapat segera digunakan dalam beberapa hari (setelah 3 hari) pasca persalinan. Kontrasepsi suntikan progestin/ Depo Medroxy Progesteron Acetat (DMPA) pada minggu pertama (7 hari) atau minggu keenam (42 hari) pasca persalinan terbukti tidak menimbulkan efek negatif terhadap menyusui maupun perkembangan bayi. Penggunaan DMPA jangka panjang (> 2 tahun) terbukti menurunkan densitas mineral tulang sebesar 5-10% pertahun. Namun, WHO merekomendasikan tidak adanya pembatasan lama penggunaan DMPA bagi wanita usia 18-45 tahun. Tidak terdapat hubungan antara durasi penggunaan DMPA dengan peningkatan risiko kanker payudara. Kontrasepsi implan merupakan pilihan bagi wanita menyusui dan aman digunakan selama masa laktasi, minimal 4 minggu pasca persalinan. AKDR pasca plasenta aman dan efektif, tetapi tingkat ekspulsinya lebih tinggi dibandingkan ekspulsi ≥ 4 minggu pasca persalinan. Ekspulsi dapat diturunkan dengan cara melakukan insersi AKDR dalam 10 menit setelah ekspulsi plasenta, memastikan insersi mencapai fundus uterus, dan dikerjakan oleh tenaga medis dan paramedis yang terlatih dan berpengalaman. Jika 48 jam pasca persalinan telah lewat, insersi AKDR ditunda sampai 4 minggu atau lebih pasca persalinan AKDR 4 minggu pasca persalinan aman dengan menggunakan AKDR copper T, sedangkan jenis non copper memerlukan penundaan sampai 6 minggu pasca persalinan. Penggunaan kontrasepsi kombinasi oral dalam 6 bulan pasca persalinan dapat menurunkan volume ASI pada wanita menyusui. Pada negara-negara dengan keterbatasan akses terhadap kontrasepsi, MAL dapat direkomendasikan untuk digunakan. Metode Amenore Laktasi (MAL) efektif mencegah kehamilan pada wanita menyusui pasca persalinan yang memenuhi kriteria sebagai berikut: amenorea, pemberian ASI eksklusif, proteksi terbatas pada 6 bulan pertama. MAL dapat dipertimbangkan penggunaannya pada daerah dengan keterbatasan akses terhadap kontrasepsi. Mengacu pada rekomendasi HTA tersebut, semua metode baik hormonal maupun non hormonal dapat digunakan sebagai metode dalam pelayanan KB Pasca Persalinan. Metode tersebut meliputi: a. Non hormonal 1. Metode Amenore Laktasi (MAL). 2. Kondom. 3. Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR). 4. Abstinensia (Kalender). 5. Kontrasepsi Mantap (Tubektomi dan Vasektomi). b.
Hormonal 1. Progestin: pil, injeksi dan implan. 2. Kombinasi: pil dan injeksi.
Walaupun semua metode kontrasepsi dapat digunakan sebagai metode KB Pasca Persalinan, namun mengingat drop out (DO) yang cukup tinggi dalam penggunaan non MKJP, maka dalam memberikan pelayanan konseling klien diarahkan untuk memilih Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP), seperti implan dan AKDR. Dengan MKJP, angka ketidak berlangsungan kontrasepsi (DO) diharapkan dapat ditekan atau dikurangi. Khusus untuk AKDR Pasca Persalinan, terdapat waktu-waktu yang direkomendasikan oleh HTA, berdasarkan tingkat ekspulsinya. Tabel 1. Perbandingan Tingkat Ekspulsi pada Pemasangan AKDR dalam Masa Nifas Waktu Insersi AKDR Insersi dini pasca plasenta Insersi segera pasca persalinan Insersi tunda pasca persalinan Perpanjangan interval pasca persalinan
Definisi
Tingkat Ekspulsi
Observasi
Insersi dalam 10 menit setelah pelepasan plasenta Lebih dari 10 menit s.d. 48 jam pasca persalinan Lebih dari 48 jam s.d. 4 minggu pasca persalinan Lebih dari 4 minggu pasca persalinan
9,5-12,5 %
Ideal: tingkat ekspulsi rendah
25 - 37 %
Masih aman
TIDAK DIREKOMENDASIKAN 3 – 13%
Meningkatkan risiko perforasi dan ekspulsi Aman
Sumber : KB pada Periode Menyusui (Hasil Kajian HTA Health Technology Assessment (HTA) Indonesia, tahun 2009)
Pelayanan KB pasca persalinan sebagaimana pelayanan KB pada umumnya dapat dilakukan oleh tenaga dokter dan bidan yang kompeten. Dalam hal pelayanan yang dilakukan oleh bidan, mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1464/MENKES/PER/IX/2010, Pasal 12 tentang ijin dan penyelenggaraan praktik bidan, dimana dinyatakan bahwa bidan dapat : 1) memberikan penyuluhan dan konseling kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana 2) memberikan alat kontrasepsi oral dan kondom, dan dalam Pasal 13 dinyatakan bahwa selain kewenangan tersebut, bagi bidan yang menjalankan program pemerintah, bidan berwenang memberikan pelayanan: 1) pemberian alat kontrasepsi suntikan, Alat Kontrasepsi Dalam Rahim dan memberikan alat kontrasepsi bawah kulit. 2) pelayanan tersebut hanya dapat diberikan oleh bidan yang terlatih. Upaya intensif pengembangan KB pasca persalinan di Indonesia sudah dilakukan pada tahun 2011, dimulai dengan penyusunan pedoman pelayanan KB pasca persalinan (di dalamnya terdapat Standar Operasional Prosedur Pemasangan AKDR Pascaplasenta), penyusunan kurikulum pelatihan KB pasca persalinan, ToT (training of trainers) bagi para pelatih untuk 33 provinsi dan pelatihan KB pasca persalinan bagi tenaga kesehatan pemberi pelayanan KB baik di fasilitas pelayanan kesehatan dasar maupun rujukan (bidan, dokter, dokter spesialis kebidanan dan kandungan). Pada tahun 2012, telah dilatih tenaga kesehatan dari 675 Puskesmas dan RS kabupaten/kota, yang terdiri dari 516 Puskesmas dan 159 Rumah Sakit di seluruh Indonesia (sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 2A dalam upaya percepatan penurunan Angka Kematian Ibu). Target pada tahun 2013 fasilitas pelayanan kesehatan yang mendapat pelatihan KB Pasca Persalinan adalah 681 dan target pada tahun 2014 adalah 1.514 fasilitas pelayanan kesehatan. Di samping hal-hal tersebut di atas, KB pasca persalinan diintegrasikan pula dalam P4K, Kelas Ibu Hamil dan pelayanan antenatal terpadu. Dalam pelayanan antenatal terpadu, tenaga kesehatan pemberi layanan antenatal berkewajiban memberikan konseling KB pasca persalinan kepada ibu hamil agar setelah bersalin ibu dapat segera mendapatkan pelayanan KB. Dalam Kelas Ibu Hamil, salah satu materi yang dibahas adalah tentang KB pasca persalinan, dan dalam empat kali pertemuan, minimal satu kali pertemuan, ibu hamil didampingi oleh suami atau keluarganya. Hal ini dimaksudkan agar kesehatan ibu selama hamil, bersalin, nifas, termasuk kesehatan bayi yang baru dilahirkannya dan kebutuhan akan KB pasca persalinan menjadi perhatian dan tanggung jawab seluruh keluarga. Dalam P4K, ibu hamil dan keluarga diberi penjelaskan tentang kesehatan maternal termasuk KB pasca persalinan dan diminta untuk menandatangani Amanat Persalinan yang salah satunya adalah kesepakatan tentang metoda KB yang akan dipakainya kelak setelah bersalin. Di samping itu, untuk menghilangkan hambatan pembiayaan dalam mengakses pelayanan KB pasca persalinan, Pemerintah mengeluarkan kebijakan dengan mengintegrasikan pelayanan KB pasca persalinan dalam paket Jaminan Persalinan atau yang lebih dikenal dengan singkatannya Jampersal. Jampersal itu sendiri merupakan jaminan kesehatan.
yang diberikan kepada ibu hamil agar dapat mengakses pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, pemeriksaan nifas (termasuk pemeriksaan bayi baru lahir) dan pelayanan KB pasca persalinan oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan sehingga pada gilirannya dapat menekan angka kematian ibu dan bayi. Namun dalam kenyataannya, pelayanan KB pasca persalinan ini belum terlaksana dengan baik, terbukti dengan cakupan pelayanannya yang masih sangat rendah, termasuk capaiannya dalam program Jampersal yang didanai oleh pemerintah. Berbeda dengan paket pelayanan untuk antenatal, pertolongan persalinan, nifas dan bayi baru lahir yang telah dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat, maka sebaliknya dengan paket pelayanan untuk KB belum termanfaatkan dengan baik oleh masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun pelayanan KB masuk dalam paket pelayanan Jampersal dimana pasien tidak dibebankan biaya pelayanan (juga ada ketentuan bahwa seluruh peserta Jampersal wajib untuk mengikuti KB pasca persalinan), ternyata masih sedikit yang memanfaatkan pelayanan tersebut.
III. Penguatan Konseling KB Pasca Persalinan Konseling adalah proses pertukaran informasi dan interaksi positif antara klien-petugas untuk membantu klien mengenali kebutuhannya, memilih solusi terbaik dan membuat keputusan yang paling sesuai dengan kondisi yang sedang dihadapi. Proses konseling yang baik mempunyai empat unsur kegiatan: 1) pembinaan hubungan yang baik, 2) penggalian dan pemberian informasi 3) pengambilan keputusan, pemecahan masalah dan perencanaan dan 4) menindaklanjuti pertemuan. Dalam pelayanan KB pasca persalinan, sebelum mendapatkan pelayanan kontrasepsi, klien dan pasangannya harus mendapat informasi dari petugas kesehatan secara lengkap, jelas dan benar agar dapat menentukan pilihannya dengan tepat. Pelayanan KB pasca persalinan akan berjalan dengan baik bila didahului dengan konseling yang baik, dimana klien berada dalam kondisi yang sehat, sadar, dan tidak di bawah tekanan ataupun tidak dalam keadaan kesakitan. Konseling pelayanan KB pasca persalinan dapat menggunakan media lembar balik Alat Bantu Pengambilan Keputusan (ABPK) ber-KB. Konseling KB pasca persalinan ini dapat dilaksanakan pada waktu pemeriksaan kehamilan, saat mengisi amanat persalinan dalam P4K dan saat mengikuti kelas ibu hamil, selama proses persalinan, pasca persalinan, dan sebelum/sesudah pelayanan kontrasepsi. Setelah dilakukan konseling pada klien dan sudah ditentukan metode kontrasepsi yang dipilih, klien memberikan persetujuannya berupa tanda tangan pada lembar persetujuan tindakan medis (informed consent) untuk metode KB AKDR, implan serta kontrasepsi mantap (tubektomi dan vasektomi).
IV. Pencatatan dan Pelaporan KB Pasca Persalinan Secara sederhana, jumlah target atau sasaran peserta KB Pasca Persalinan adalah pasangan usia subur yang isterinya sedang dalam kondisi masa nifas (sampai 42 hari pasca persalinan). Jadi sasaran jumlah peserta KB pasca persalinan sama dengan sasaran jumlah ibu bersalin, diperkirakan dengan menggunakan cara perhitungan berikut : Jumlah Ibu Bersalin = 1,05 X angka kelahiran kasar (CBR) X jumlah penduduk Untuk memaantau kinerja pelayanan KB pasca persalinan maka indikator yang dilaporkan adalah cakupan pelayanan KB pasca persalinan dengan metode kontrasepsi modern. Rumus Cakupan Pelayanan KB Pasca Persalinan adalah sebagai berikut: Jumlah PUS yang mengikuti KB pasca persalinan di suatu wilayah kerja pada kurun waktu 1 tahun Jumlah sasaran ibu bersalin di suatu wilayah kerja dalam 1 tahun
X 100%
Hasil pelayanan KB merupakan hasil kegiatan pelayanan KB yang dilaksanakan oleh fasilitas pelayanan KB, baik pada unit pelayanan kesehatan pemerintah (Poskesdes/Polindes, Puskesmas/Pustu, RS Pemerintah, unit pelayanan milik TNI/POLRI), maupun pada fasilitas pelayanan kesehatan swasta (Bidan Praktik Mandiri, Dokter Praktik Swasta, RS Swasta, Klinik KB, Rumah Bersalin, dan Praktik Bersama). Agar hasil pelayanan KB Pasca Persalinan dapat menggambarkan kinerja seorang tenaga kesehatan maka semua kegiatan pelayanan KB pasca persalinan yang dilaksanakan di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan harus dicatat dalam format yang ada (kohort KB, kohort Nifas, kartu status peserta KB/K4, dan F2 KB) dan kemudian dilaporkan kepada Dinas
Kesehatan dan SKPD Kab/Kota. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melaporkan ke Dinas Kesehatan Provinsi selanjutnya dilaporkan ke Kementerian Kesehatan. Permasalahan saat ini adalah pelayanan KB Pasca Persalinan belum masuk dalam laporan rutin KIA.
V. Kesimpulan: 1.
KB Pasca Persalinan merupakan salah satu upaya terobosan untuk mencegah missed opportunity, meningkatkan CPR, menurunkan unmet need dan mendukung percepatan penurunan AKI. 2. Harapan terkait Pelayanan KB Pasca Persalinan: Setiap ibu bersalin mendapatkan pelayanan KB Pasca Persalinan yang lebih diarahkan pada Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP). Pemberian konseling yang berkualitas sebelum pelayanan KB Pasca Persalinan dengan menggunakan ABPK-KB pada saat pemeriksaan kehamilan, mengisi amanat persalinan dalam P4K dan saat mengikuti kelas ibu hamil, selama proses persalinan, pasca persalinan, maupun sebelum/sesudah pelayanan kontrasepsi. Agar pelayanan KB Pasca Persalinan berkualitas, perlu memperhatikan sumber daya, seperti ketersediaan tenaga kesehatan yang kompeten, ketersediaan sarana-prasarana, ketersediaan alat dan obat kontrasepsi, ketersediaan pedoman dan media komunikasi serta dukungan manajemen. Pencatatan dan pelaporan Pelayanan KB Pasca Persalinan masuk ke dalam format pelaporan rutin KIA (F1-8). 3. Dalam upaya meningkatkan kompetensi tenaga kesehatan perlu dilaksanakan pelatihan KB Pasca Persalinan, termasuk pemasangan AKDR Pasca plasenta. 4. Dalam rangka penguatan KB Pasca persalinan perlu peningkatan sosialisasi, koordinasi, advokasi kepada lintas program dan lintas sektor terkait. DAFTAR PUSTAKA Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Laporan hasil Pelayanan Kontrasepsi, bulan Juli 2013, BKKBN. Badan Pusat Statistik, BKKBN, Kementerian Kesehatan. Survey Demografi Kesehatan Indonesia 2012. Badan Pusat Statistik, BKKBN, Kementerian Kesehatan. Survey Demografi Kesehatan Indonesia 2007. Cleland, J, Stan, B., Alex, E., Anibal, F, Anna, G., Jolene, I. (2006). Lancet : Family Planning: The Unfinished Agenda. Departemen Kesehatan. Rencana Stategis Making Pregnancy Safer (MPS) 2001-2010., Jakarta, 2001 Departemen Kesehatan. Panduan Pelaksanaan Strategi Making Pregnancy Safer and Child Survival, Jakarta 2008. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. (2009). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. Lembar Negara RI Tahun 2009 Nomor 161, Jakarta, 2009. 9. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWS-KIA), Jakarta, 2010. 10. Kementerian Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Jakarta, 2010. 11. Kementerian Kesehatan. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1464/MENKES/PER/X/2010 tentang Ijin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan. 12. Kementerian Kesehatan. Kajian Health Technology Assesment Indonesia 2009, KB pada Periode Menyusui, Hasil Kajian HTA, Jakarta 2010. 13. Kementerian Kesehatan. Pedoman Pelayanan KB Pasca Persalinan di Fasilitas Kesehatan, Jakarta, 2012. 14. Kementerian Kesehatan. Pedoman Pencatatan dan Pelaporan Keluarga Berencana, Upaya Menuju Pelayanan KB Berkualitas. Jakarta, 2012. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Determinan “4 Terlalu” Masalah Kesehatan Reproduksi Hubungannya dengan Penggunaan Alat KB Saat Ini di Indonesia Dr. drh. Didik Budijanto, MKes PENDAHULUAN Tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) tidak terlepas dari masih tingginya angka kehamilan yang tidak diinginkan. Tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) tidak terlepas dari masih tingginya angka kehamilan yang tidak diinginkan (unwanted pregnancy) yaitu mencapai 16,8% yang berkaitan dengan tingginya angka aborsi. Aborsi sendiri memberikan kontribusi terhadap kematian ibu sampai 13%. Di sisi lain masih banyak ditemukan kehamilan yang tidak ideal (terlalu banyak, terlalu muda, terlalu tua, dan terlalu dekat jarak kelahiran), yang sangat membahayakan bagi kesehatan ibu atau lebih dikenal sebagai “4 Terlalu (4 T)” (Chandragiram, 2009). . Program KB sejak tahun 1970-an telah menekan angka kelahiran per wanita usia subur (Total Fertility Rate/ TFR) sebesar 50 % dari sekitar 5,6 anak menjadi sekitar 2,2 anak per wanita usia subur saat ini. Selain itu program KB juga berperan besar untuk mencapai pengurangan AKI melalui perencanaan keluarga dengan mengatur kehamilan yang aman, sehat dan diinginkan. Keterkaitan manfaat KB dengan penurunan AKI melahirkan seringkali tidak dirasakan. Salah satu penyebab kematian ibu antara lain karena masih rendahnya pemahaman tentang KB dan kesehatan reproduksi. Rendahnya akses terhadap pelayanan KB juga akan meningkatkan AKI. Banyak Pasangan Usia Subur (PUS) tidak mendapat pelayanan KB (unmet need), padahal hal itu berisiko meningkatkan jumlah kematian ibu karena aborsi yang tidak aman. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui 4 faktor terlambat dan faktor lain yang mempengaruhi pemanfaatan KB di Indonesia. Secara khusus mengidentifikasi faktor demografi ibu (4 terlambat) yang mempengaruhi pemanfaatan KB, mengidentifikasi faktor sosial (pekerjaan, pendidikan) yang mempengaruhi pemanfaatan KB, mengidentifikasi faktor geografi (provinsi dan daerah perkotaan/perdesaan) yang mempengaruhi pemanfaatan KB dan menganalisis pengaruh faktor-faktor di atas terhadap pemanfaatan KB. Metode yang digunakan adalah rancangan ‘cross sectional’ dengan memanfaatkan data Riset Kesehatan Dasar tahun 2010 dengan variabel yang diukur adalah wanita usia 15-49 tahun, metode KB yang dipilih, provinsi, perdesaan/perkotaan, kuintil, tingkat pendidikan, pekerjaan, usia ber KB, paritas, usia melahirkan. Selanjutnya analisis dilakukan secara deskriptif untuk menggambarkan disparitas provinsi, sosial ekonomi dan urban/rural serta analisis Regresi Logistic Multiple.
HASIL ANALISIS Analisis secara deskriptif terhadap pemilihan metode KB pada perempuan yang pernah kawin usia 15 – 49 tahun menunjukkan bahwa secara nasional 46,27% tidak ber KB, tertinggi di Provinsi Papua Barat (68,87%) dan terendah di Bali (35,79%). Selanjutnya untuk KB MKJP, tertinggi di Bali (22,72%) dan terendah Papua Barat (2,41%). Sedangkan untuk metode KB non MKJP terbanyak di Kalimantan Tengah (58,46%) dan terendah di Papua (24,47%). Secara rinci dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini.
Gambar 1. Distribusi Pemilihan Metode KB pada Perempuan yang Pernah Kawin Usia 15 – 49 Tahun Menurut Provinsi di Indonesia, 2010 100% 90% 80% 70% 60% 50%
46.27
22.72
40%
30% 20% 10%
Non MKJP KB_SHORTERM
PAPUA
PAPUA BARAT
MALUKU
NTT
SUMUT
SULBAR
NAD
SULTRA
MALUT
RIAU
SULSEL
SUMBAR
DKI JAKARTA
NTB
SULTENG
KEPRI
INDONESIA
BANTEN
KB_LONGTERM MKJP
DI JOGJA
JATIM
KALTIM
JABAR
JATENG
KALBAR
SUMSEL
TIDAK KB
BENGKULU
JAMBI
KALSEL
LAMPUNG
BABEL
SULUT
GORONTALO
BALI
KALTENG
0%
KB_TRAD
Pemilihan metode KB jika menurut lokasi perkotaan dan perdesaan (Gambar 2), terlihat bahwa perkotaan sedikit lebih tinggi persentasenya (47,3%) dibandingkan daerah perdesaan (45,2%) untuk ketidaksertaan KB 47; demikian juga untuk metoda KB MKJP perkotaan lebih tinggi persentasenya (9,4%) dibandingkan perdesaan (7,6%). Gambar 2. Distribusi Pemilihan Metode KB pada Perempuan yang Pernah Kawin 15–49 Tahun Menurut Daerah di Indonesia, 2010
Selanjutnya pemilihan metode KB jika menurut kuintilnya terlihat bahwa responden yang tidak KB, terbanyak pada kuintil 5 atau masyarakat dengan status ekonomi yang tinggi ( 54,5%) dibandingkan kuintil lainnya (Gambar 3).
Gambar 3. Distribusi Pemilihan Metode KB pada Perempuan yang Pernah Kawin 15–49 Tahun Menurut Kuintil di Indonesia, 2010
Selanjutnya jika gambaran pemilihan metode KB dilihat dari tingkat pendidikannya (Gambar 4), menunjukkan bahwa metode KB tradisional banyak dipilih oleh responden berpendidikan rendah, namun seiring dengan meningkatnya pendidikan metode KB tradisional makin menurun pula yang memilihnya, hingga pendidikan SLTP, namun bergerak meningkat setelah pendidikan SLTA ke atas. Fenomena ini berbanding terbalik dengan pemilihan metode non MKJP, dimana ketika pendidikan meningkat gambaran pemilihan metode ini juga meningkat hingga tingkat pendidikan SLTP dan kemudian menurun kembali setelah pendidikan SLTA ke atas. Sedangkan pemilihan metode MKJP, terlihat makin meningkat pendidikannya cenderung makin meningkat pula pemilihan metode MKJP ini. Gambar. 4. Distribusi Pemilihan Metode KB pada Perempuan yang Pernah Kawin Usia 15 – 49 Tahun Menurut Tingkat Pendidikannya di Indonesia, 2010.
Salah satu faktor yang berkaitan dengan resiko tinggi kehamilan ibu adalah usia ibu terlalu muda atau terlalu tua. Usia terlalu muda adalah ketika ibu berusia kurang dari 20 tahun saat hamil dan usia terlalu tua adalah jika ibu berusia lebih dari 35 tahun. Oleh karena itu perlu dilakukan penundaan sementara untuk kehamilan atau perhatian khusus jika sudah terlanjur hamil. Hasil analisis menunjukkan bahwa kelompok usia lebih dari 35 tahun lebih banyak memilih metode MKJP (12,3%) dibandingkan kelompok usia lainnya, namun di sisi lain jumlah yang tidak berKB terbanyak pada kelompok usia lebih dari 35 tahun pula
Gambar. 5. Distribusi Pemilihan Metode KB pada Perempuan yang Pernah Kawin Usia 15 – 49 Tahun Menurut Kelompok Usia di Indonesia, 2010
Kemudian gambaran pemilihan metode KB (Gambar 6) menurut paritas ‘terlalu banyak’ menunjukkan bahwa kelompok yang mempunyai anak lebih dari 3 orang lebih banyak yang tidak ber KB (52,6%) dibandingkan yang mempunyai anak kurang atau sama dengan 3 orang (41,1%). Gambar 6. Distribusi Pemilihan Metode KB pada Perempuan yang Pernah Kawin Usia 15 – 49 Tahun Menurut Kelompok Paritas di Indonesia, 2010 .
Sedangkan jika pemilihan metode KB bila dilihat dari jarak antar anak yang dilahirkan memberikan gambaran bahwa kelompok yang jaraknya terlalu dekat atau < 2 tahun) banyak memilih tidak berKB (36,8%) dibandingkan yang jarak kelahirannya > 2 tahun (32,2%), dan sebaliknya bahwa metode non MKJP lebih banyak dipilih oleh kelompok yang mempunyai jarak kelahiran > 2 tahun (61,9%) dibandingkan yang mempunyai jarak kelahiran < 2 tahun. (Gambar 7)
Gambar 7. Distribusi Pemilihan Metode KB pada Perempuan yang Pernah Kawin Usia 15 – 49 Tahun Menurut Kelompok Jarak Kelahiran di Indonesia, 2010
Selanjutnya pemilihan metode KB berdasarkan faktor resiko 4 terlalu ditinjau menurut provinsi seluruh Indonesia. Gambaran hasil analisis pada kelompok terlalu muda (< 20 tahun) menunjukkan bahwa Papua Barat terbanyak untuk tidak ber KB (86,4%) dibandingkan provinsi lainnya. Sedangkan untuk metode non MKJP, tertinggi di Jambi (87,5%) dan Maluku Utara (86,4%). Gambarannya dapat dilihat pada grafik di bawah ini. Gambar 8. Distribusi Pemilihan Metode KB pada Perempuan yang Pernah Kawin Usia 15 – 49 Tahun dan Usia Melahirkan < 20 Tahun (Terlalu Muda) Menurut Provinsi di Indonesia, 2010
MKJP
Non MKJP
Kemudian untuk gambaran pemilihan metode KB berdasarkan faktor terlalu tua dapat dilihat bahwa persentase tertinggi untuk tidak berKB di Papua (75,9%) dibandingkan provinsi lainnya, dan pemilihan metode non MKJP banyak terdapat di Kalimantan Tengah (81,1%). Gambarannya dapat dilihat pada grafik berikut ini. (Gambar 9)
Gambar 10. Distribusi Pemilihan Metode KB pada Perempuan yang Pernah Kawin 15 – 49 Tahun dan Berusia Melahirkan >= 35 Tahun (terlalu tua) menurut Provinsi di Indonesia, 2010
Hasil analisis gambaran pemilihan metode KB pada perempuan yang pernah kawin usia 15-49 tahun dan jarak anak terlalu dekat menunjukkan bahwa persentase tertinggi untuk tidak ber KB di Papua Barat (69,9%) dibandingkan provinsi lainnya. Sedangkan untuk pemilihan metode non MKJP terbanyak di Kalimantan Tengah (79,2%). Gambarannya dapat dilihat pada grafik di bawah ini. Gambar 11. Distribusi Pemilihan Metode KB pada Perempuan yang Pernah Kawin Usia 15 – 49 Tahun dan Jarak Anak < 2 Tahun (terlalu dekat) menurut Provinsi di Indonesia, 2010
Hasil analisis gambaran pemilihan metode KB pada perempuan yang pernah kawin usia 15-49 tahun dan paritas menunjukkan bahwa persentase tertinggi untuk tidak ber KB di Papua Barat (69,8%) dibandingkan provinsi lainnya. Sedangkan untuk pemilihan metode non MKJP terbanyak di Kalimantan Tengah (51,5%) (Gambar 12)
Gambar 12. Distribusi Pemilihan Metode KB pada Perempuan yang Pernah Kawin Usia 15 – 49 Tahun dan Jumlah Anak > 3 (terlalu banyak) Menurut Provinsi di Indonesia, 2010
Hasil analisis pada pemilihan metode KB (berKB atau tidak) terhadap faktor karakteristik dan 4 terlalu faktor risiko, diperoleh bahwa pemilihan metode non MKJP atau MKJP dipengaruhi secara nyata oleh faktor resiko 4 terlalu dan tingkat pendidikannya. Perempuan yang pernah kawin usia 15-49 tahun dengan faktor risiko terlalu muda (< 20 tahun) mempunyai risiko (kemungkinan) untuk memilih metode KB non MKJP 2,3 kali lebih besar dibandingkan perempuan yang pernah kawin tanpa faktor risiko 4 terlalu (OR= 2,37). Kemudian untuk perempuan yang pernah kawin usia 15-49 tahun dengan faktor risiko terlalu tua (>= 35 tahun) mempunyai risiko (kemungkinan) untuk memilih metode non MKJP 1,7 kali lebih besar dibandingkan perempuan yang pernah kawin usia 15-49 tahun tanpa faktor risiko 4 terlalu. (OR= 1,72). Selanjutnya untuk perempuan pernah kawin usia 15-49 tahun dengan faktor risiko terlalu dekat jarak kelahirannya (<= 2 tahun) mempunyai risiko (kemungkinan) memilih metode non MKJP 1,7 kali lebih besar dibandingkan perempuan yang tanpa faktor risiko 4 terlalu (OR=1,76). Akan tetapi perempuan dengan faktor risiko terlalu banyak anak (> 3 anak) mempunyai risiko lebih kecil (0,7 kali) untuk memilih metode non MKJP dibandingkan perempuan tanpa faktor risiko 4 terlalu (OR= 0,711). Secara lebih rinci dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
PEMBAHASAN Hasil analisis di atas memberikan gambaran bahwa perempuan kawin usia 15-49 tahun yang tidak berKB sebagian besar di wilayah Indonesia Timur atau di wilayah Indonesia yang religius seperti Papua Barat, Papua, Maluku, Maluku Utara, Aceh, Sulawesi Barat, NTB. Salah satu alasan untuk tidak berKB adalah akses ke pelayanan KB cukup sulit secara geografis dan religi. Oleh karena itu Pemerintah telah menetapkan untuk membagikan secara gratis metode KB kepada 7 provinsi, yaitu: Aceh, Papua Barat, Papua, NTB, NTT, Maluku, dan Maluku Utara. Pasangan suami-istri bisa memilih metode kontrasepsi yang pas. Mulai metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP) yang bersifat tidak permanen seperti penggunaan intra uterine device (IUD) atau spiral dan implan. Atau bisa memilih MKJP yang permanen seperti tindakan sterilisasi pria atau wanita; atau menggunakan metode kontrasepsi jangka pendek (Non-MKJP) seperti penggunaan kondom, minum pil, atau suntik KB. Di dalam kaitannya dengan faktor risiko 4 terlalu, fenomena yang muncul dari hasil analisis di atas adalah pemilihan metode KB yang kurang sesuai jika ditinjau dari aspek subtantif. Misalnya perempuan pernah kawin usia 15-49 tahun mempunyai faktor risiko terlalu muda ternyata lebih banyak memilih metode KB yang non MKJP (Pil, suntik KB dll) sehingga menjadi berisiko 2,3 kali lebih besar dari yang tidak termasuk risiko 4 terlalu. Secara substantif semestinya lebih tepat pada metode KB MKJP setelah terjadi persalinan, untuk menjaga kematangan usia kehamilan berikutnya dan sekaligus menjaga jarak kelahiran yang ‘aman’ dan sehat. Demikian pula fenomena perempuan dengan faktor risiko terlalu tua dan terlalu dekat jarak kelahirannya yang lebih banyak memilih metode non MKJP dibanding MKJP. Secara statistik risikonya hampir 2 kali lipat dibanding yang tidak berisiko 4 terlalu. Hasil yang cukup menggembirakan adalah perempuan yang mempunyai risiko terlalu banyak anak, yang lebih banyak memilih metode MKJP dibandingkan non MKJP. Keadaan yang demikian ini kemungkinan ada beberapa faktor yang bisa menjadi pemicunya, di antaranya faktor sosial budaya, faktor penyampaian informasi ke masyarakat pemakai KB atau faktor pemahaman dari masyarakat sendiri.
KESIMPULAN Dari hasil analisis dan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa pemilihan metode KB non MKJP banyak diminati di provinsi dengan sosial budaya religi dan geografis yang cukup sulit. Di samping itu perempuan dengan 3 faktor risiko dari 4 terlalu mempunyai peluang yang lebih besar untuk memilih metode KB yang non MKJP (pil, suntik dll) dibandingkan yang memilih metode KB MKJP (IUD, implan dll). Oleh karena itu peningkatan pemahaman tentang risiko pemilihan metode KB yang tepat kepada masyarakat menjadi tantangan besar di masa mendatang dari jajaran petugas kesehatan daerah, terutama di wilayah provinsi dengan sosial budaya religius dan geografis yang sulit akses.
Pengaruh Pemberdayaan Perempuan terhadap Fertilitas di Provinsi NTT dan DI Yogyakarta (Analisis Data SDKI 2007) Khairani, SKM Abstrak Keterlibatan wanita dalam berbagai aspek kehidupan harus diperhitungkan, terlepas apakah kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan sudah mencapai kondisi yang ideal atau tidak. Kondisi pemberdayaan perempuan Indonesia di setiap provinsi berbeda-beda. Pemberdayaan perempuan dalam penelitian ini diukur melalui sikap menolak ‘kumpul’ dengan suami pada kondisi tertentu, keterlibatan dalam pengambilan keputusan rumah tangga, dan sikap istri atas pemukulan suami terhadap istri. Berdasarkan SDKI 2007, kondisi pemberdayaan perempuan di Indonesia, apabila dilihat dari sikap setuju terhadap pemukulan suami terhadap istri, persentase Provinsi NTT masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan DI Yogyakarta. Kemudian untuk sikap setuju dengan semua alasan penolakan ‘kumpul’ dengan suami untuk kondisi tertentu, persentase yang setuju untuk semua alasan di DI Yogyakarta sebesar 81,9%, sedangkan di NTT sebesar 63%. Maka dapat disimpulkan bahwa kondisi pemberdayaan wanita di DI Yogyakarta lebih baik daripada di NTT. Selain itu, TFR DI Yogyakarta pada tahun 2007 sebesar 1,8, dan NTT sebesar 4,2. Desain penelitian ini cross sectional dengan menggunakan data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007 dengan memilih 1.654 responden perempuan yang memiliki anak lahir hidup dan masih terikat dalam ikatan perkawinan. Analisis Structural Equation Modelling (SEM) digunakan untuk melihat hubungan sikap menolak ‘kumpul’ dengan suami pada kondisi tertentu, keterlibatan dalam pengambilan keputusan rumah tangga, dan sikap istri atas pemukulan suami terhadap istri dengan jumlah anak lahir hidup. Hasil penelitian menunjukkan semakin tidak setuju dengan sikap menolak ‘kumpul’ dengan suami pada kondisi tertentu maka semakin tinggi fertilitas, semakin rendah keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan rumah tangga maka semakin tinggi fertilitas. Dari persamaan yang terbentuk, sikap menolak ‘kumpul’ dengan suami pada kondisi tertentu, keterlibatan dalam pengambilan keputusan, dan usia kawin memiliki pengaruh paling besar terhadap fertilitas (R2=0,049).
Pendahuluan Tujuan Millenium Development Goals (MDGs) yang ketiga adalah mendorong tercapainya kesetaraan dan keadilan gender dan pemberdayaan perempuan. Berdasarkan penilaian program pengarusutamaan gender di 144 negara di dunia, Indonesia hanya mampu menempati peringkat 80. Bahkan, untuk Indeks Pemberdayaan Gender (IDG), Indonesia juga dinilai masih rendah meski di level negara-negara Asia Tenggara (ASEAN). Dari 10 negara ASEAN, IDG Indonesia berada di peringkat ketujuh (KPPPA, 2012). Disparitas gender masih terjadi di Indonesia. Hal ini dapat dilihat selama periode tahun 2004 – 2011, dimana nilai IPG Indonesia masih selalu lebih rendah dibandingkan dengan nilai IPM-nya. Dalam aspek pemberdayaan terutama keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan kebijakan publik, perempuan juga relatif tertinggal dibandingkan laki-laki. Contohnya dalam pemilu legislatif tahun 2009 menempatkan keterwakilan perempuan sebagai anggota DPR hanya sekitar 17,49 % dari keseluruhan jumlah anggota DPR RI (KPPPA, 2011). Lemahnya posisi perempuan dalam keluarga memungkinkan untuk mendapatkan perlakuan kekerasan fisik baik dari dalam lingkungan keluarga, maupun dari lingkungan sekitarnya, seperti Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan pemerkosaan. Hasil survei Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan pada tahun 2011 terdapat 119.107 kejadian, meningkat 13,3% dibandingkan tahun 2010 (105.103 kejadian) dan kebanyakan merupakan KDRT (KPPPA, 2012).
Berdasarkan studi kualitatif di Ghana dan India (Bawah et. al 1999; Wilson Williams et.al 2008 dalam Snow, Winter, Harlow, 2013): Wanita yang memiliki suami yang suka melakukan kekerasan/pemukulan mengaku takut untuk mendiskusikan masalah kontrasepsi. Hal ini menjelaskan mengapa pernikahan yang memiliki nilai IPV (intimate partner violence) lebih tinggi menunjukkan minat yang kurang terhadap keluarga berencana, lebih sering terjadi kehamilan tidak diinginkan, dan fertilitas tidak direncanakan lebih tinggi. Survei opini publik 1994 terhadap pria di lima kota Nigeria melaporkan bahwa peran gender lakilaki dominan berasosiasi dengan ukuran keluarga ideal yang lebih besar (Isiugo-Abanihe, 1994 dalam Snow et.al., 2013). Di dalam SDKI 2007 dikumpulkan informasi mengenai status dan pemberdayaan perempuan melalui beberapa pertanyaan. Secara khusus, ditanyakan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan dalam rumah tangga, tingkat penerimaannya atas pemukulan suami terhadap istri, dan pendapatnya tentang seorang istri dapat menolak ‘kumpul’ dengan suaminya. Data ini menunjukkan pengertian mengenai kontrol wanita atas kehidupannya dan lingkungannya, dan sikapnya terhadap peran gender secara tradisional, yang merupakan aspek penting bagi pemberdayaan perempuan yang relevan dengan pemahaman perilaku demografi dan kesehatan perempuan (BPS, 2008). Secara demografis, fertilitas diartikan sebagai hasil reproduksi yang nyata (bayi lahir hidup) dari seorang wanita atau sekelompok wanita (Tim Penulis Lembaga Demografi FEUI, 2010). Fertilitas ini merupakan salah satu penyumbang tingginya angka kelahiran selain mortalitas dan migrasi. Berdasarkan target RPJMN 2014, TFR Indonesia sebesar 2,1. TFR Indonesia selama 20 tahun terakhir terus menurun, meskipun pada periode tahun 2002-2003 ke tahun 2007 angkanya tetap, yaitu 2,6, namun angka ini masih belum memenuhi target (Yusuf, 2011). BPS melalui data SDKI tahun 2007 menunjukkan angka TFR tertinggi ada di Provinsi NTT yaitu sebesar 4,2, sedangkan angka TFR terendah ada di Provinsi DI Yogyakarta yaitu sebesar 1,8. Hasil SDKI 2002-2003 juga menunjukkan DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara Timur merupakan provinsi dengan TFR terendah dan tertinggi (BPS, 2007). Pada data SDKI 2007, kondisi pemberdayaan perempuan di Indonesia, apabila dilihat dari sikap setuju terhadap pemukulan suami terhadap istri, persentase Provinsi NTT masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan DI Yogyakarta. Persen perempuan yang setuju paling sedikit untuk satu alasan tertentu terhadap pemukulan suami di NTT sebesar 29,9%, sedangkan di DI Yogyakarta sebesar 11,1%. Kemudian untuk sikap setuju dengan semua alasan penolakan ‘kumpul’ dengan suami untuk kondisi tertentu, persentase yang setuju untuk semua alasan di DI Yogyakarta sebesar 81,9 %, sedangkan di NTT sebesar 63%. Maka dapat disimpulkan bahwa kondisi pemberdayaan perempuan di DI Yogyakarta lebih baik daripada di NTT. Beberapa faktor yang mempengaruhi fertilitas antara lain yaitu gender (pemberdayaan perempuan) dalam Snow et.al., 2013, pemakaian alat kontrasepsi (Ananta, et.al dalam BKKBN, 2009) (Mishra, Jayaraman dan Arnold, 2009 dalam BKKBN, 2009), tingkat pendidikan (WHO, 1993 dalam BKKBN, 2009) dan usia kawin pertama (Ananta, 1995). Atas dasar faktor-faktor yang mempengaruhi fertilitas dan telah dijelaskan sebelumnya, maka penelitian bertujuan untuk mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi angka fertilitas di provinsi yang TFR paling tinggi yaitu NTT, dan TFR terendah yaitu DI Yogyakarta.
TINJAUAN TEORI 1.
Definisi Fertilitas Secara demografis, fertilitas diartikan sebagai hasil reproduksi yang nyata (bayi lahir hidup) dari seorang wanita atau sekelompok wanita (Tim Penulis Lembaga Demografi FEUI, 2010). Dalam demografi, fertilitas adalah suatu istilah yang dipergunakan untuk menggambarkan jumlah anak yang benar-benar dilahirkan hidup. Di lain pihak istilah fekunditas mengandung pengertian tentang kemampuan fisiologis untuk melahirkan anak; dengan demikian fekunditas (bukan fertilitas) secara langsung merupakan lawan fertilitas. Fertilitas adalah suatu ukuran yang diterapkan untuk mengukur hasil reproduksi wanita yang diperoleh dari statistik jumlah kelahiran hidup.
2.
Faktor-faktor yang mempengaruhi fertilitas a. Sosial Budaya dan Bias Gender Dalam budaya Indonesia, peran perempuan adalah sebagai ibu dan istri yang bertanggung jawab pada penyelenggaraan rumah tangga, sedangkan suami lebih berperan untuk mencari nafkah. Pembagian peran yang
sangat jelas ini juga berpengaruh terhadap pengambilan keputusan dalam rumah tangga. Suami yang dianggap sebagai kepala keluarga adalah seseorang yang dianggap “berhak” mengambil keputusan, termasuk dalam pemakaian alat kontrasepsi (Tim Penulis Lembaga Demografi UI, 2011). Pemberdayaan perempuan sendiri merupakan bagian dari bias gender. Untuk mengukur pemberdayaan perempuan dalam kuesioner SDKI 2007 diajukan pertanyaan sebagai berikut: 1. Siapa dalam keluarga anda biasanya memutuskan pada pertanyaan berikut: a. Perawatan kesehatan anda sendiri? b. Melakukan pembelian keperluan rumah tangga untuk kebutuhan barang tahan lama? c. Melakukan pembelanjaan rumah tangga untuk kebutuhan sehari-hari? d. Kunjungan ke keluarga atau teman? e. Jenis masakan apa yang akan dimasak setiap hari? 2. Kadang suami terganggu atau marah dengan hal-hal yang dilakukan istrinya. Menurut pendapat Anda, apakah suami dibenarkan memukul atau memukul istrinya dalam situasi berikut : a. Bila dia pergi tanpa pamit? b. Bila dia tidak mengurus/mengabaikan anak-anak? c. Jika dia bertengkar dengan suami? d. Jika dia menolak berhubungan intim dengan suami? e. Jika dia memasak makanan yang tidak enak? 3. Suami dan istri tidak selalu sepaham dalam segala hal. Tolong anda katakan alasan mengapa seorang istri berhak untuk menolak hubungan intim dengan suaminya jika : a. Dia mengetahui suaminya tertular penyakit menular seksual? b. Dia mengetahui suaminya berhubungan seks dengan wanita lain? c. Dia baru saja melahirkan? d. Dia sedang lelah atau sedang tidak mood ? Hasil analisis data Demographic and Health Survey di lima negara yang memiliki angka fertilitas tertinggi di Afrika Timur menunjukkan hasil sebagai berikut. Penelitian ini mengenai “Perilaku Gender dan Aspirasi Fertilitas Pria Dewasa Muda di Lima Negara yang Fertilitasnya Terbesar di Afrika Timur”. Negara tersebut antara lain Ethiopia, Rwanda, Tanzania, Uganda, dan Zambia. Setelah penyesuaian untuk faktor demografi dan faktor-faktor demografis termasuk tingkat pendidikan kaum perempuan dalam rumah tangga laki-laki, sikap setuju terhadap pemukulan istri tetap merupakan faktor prediksi untuk jumlah keluarga yang ideal di lima negara Afrika Timur. Di kelima negara, sikap persetujuan terhadap pemukulan istri berasosiasi secara signifikan dengan aspirasi fertilitas pria dewasa muda (usia 19-24 tahun), meningkatkan angka jumlah anak yang ideal dari 0,27 menjadi 0,70 anak, bersifat independen dari tempat tinggal di wilayah urban, afiliasi agama, kekayaan, status pendidikan terakhir, rata-rata pendidikan yang ditamatkan wanita di rumah tangganya, paritas, dan usia (Snow, et.all, 2013). Dalam laporan WHO yang berjudul “WHO Multi Country Study on Women’s Health and Domestic Violence againts Women”, diketahui bahwa pengalaman kekerasan fisik atau seksual wanita tersebut berasosiasi secara positif terhadap paritas (jumlah anak lahir hidup 1-2, 3-4, ≥5). Hubungan asosiasi positif ini terjadi di beberapa negara, yaitu Bangladesh, Brazil, Peru, Samoa, Serbia & Montenegro, Thailand, dan United Republic of Tanzania (Garcia-Moreno, et.all, 2005). b.
Status Pendidikan Ananta (1995) juga menjelaskan bahwa hubungan antara pendidikan terutama pendidikan istri dan fertilitas kumulatif yang diukur dengan jumlah anak lahir hidup dapat dianggap sebagai hubungan sebab akibat. Perempuan Indonesia pada umumnya menyelesaikan pendidikan sampai suatu jenjang tertentu baru kemudian melangsungkan pernikahan. Studi lain menemukan bahwa tingkat pendidikan akan meningkatkan kontrol terhadap alat kontrasepsi dan pengendalian fertilitas (WHO, 1993 dalam BKKBN, 2009). Pendidikan memfasilitasi perolehan informasi tentang keluarga berencana, meningkatkan komunikasi suami-istri, dan akan meningkatkan pendapatan yang memudahkan pasangan untuk menjangkau alat kontrasepsi.
c.
. d.
e.
Status Pekerjaan Adioetomo (1984) dalam Ananta (1995) melakukan standarisasi menurut usia dan mendapatkan hasil bahwa perempuan yang tidak bekerja memiliki paritas paling banyak di antara perempuan lainnya. Perempuan yang bekerja di sektor non-pertanian seperti pertambangan, listrik/air dan gas, bangunan, perdagangan/keuangan, serta angkutan/ jasa mempunyai anak lahir hidup yang lebih rendah daripada perempuan yang bekerja di sektor pertanian. Paritas terendah dipunyai oleh perempuan yang bekerja di sektor jasa/angkutan dan komunikasi. Nampaknya perempuan yang bekerja di sektor pertanian tidak merasakan adanya hambatan dengan jumlah anak yang banyak atau justru membantu pekerjaan di sektor tersebut (Ananta, 1995) Status Ekonomi Penelitian Skirbekk (2008) berjudul “Fertility trends by social status” menyimpulkan bahwa terdapat hubungan negatif atau netral antara status sosial dengan fertilitas. Dalam penelitian tersebut disebutkan bahwa kelompok dengan pendapatan/kekayaaan tertinggi atau dengan kelas sosial yang tinggi berubah dari sebelumnya relatif memiliki banyak anak menjadi lebih sedikit atau jumlahnya sama dengan kelas sosial atau status ekonomi lain. Usia Kawin Pertama Dalam masyarakat Indonesia, hubungan antara laki-laki dan perempuan dipandang harus melalui lembaga perkawinan yang sah menurut norma agama dan menurut Undang-Undang Perkawinan tahun 1974. Selain itu, karena usia perkawinan juga dipengaruhi oleh adat istiadat dan anggapan masyarakat tentang usia berapa sebaiknya perempuan menikah, maka usia kawin pertama dapat menjadi indikator dimulainya seorang perempuan berpeluang untuk hamil dan melahirkan. Dalam kondisi seperti ini, perempuan yang kawin pada usia muda mempunyai rentang waktu untuk kehamilan dan melahirkan, lebih panjang dibandingkan dengan mereka yang kawin pada usia lebih tua dan mempunyai lebih banyak anak dibandingkan dengan mereka yang menikah pada usia lebih tua (Tim Penulis Lembaga Demografi UI, 2011).
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan desain cross sectional. Penelitian menggunakan data sekunder SDKI 2007 dari Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Sampel penelitian ini adalah seluruh responden wanita usia 15-49 tahun yang sedang menikah, memiliki anak lahir hidup, dan bertempat tinggal di NTT dan DI Yogyakarta. Setelah mengeluarkan responden yang tidak memiliki anak lahir hidup dan tidak terikat dalam status pernikahan, maka besar sampel yang diambil sebesar 1.654 orang. Metode analisis yang digunakan menggunakan SEM (Structural Equation Modelling).
HASIL PENELITIAN Deskriptif Untuk status pekerjaan, lebih banyak responden yang berstatus bekerja dibandingkan yang tidak bekerja, baik di DI Yogyakarta maupun di NTT. Sementara berdasarkan keadaan status ekonominya, persentase terbesar di Provinsi DI. Yogyakarta berstatus kaya atau sangat kaya, berbeda dengan kondisi di NTT dimana sebagian besar responden berasal dari kondisi status ekonomi sangat miskin dan miskin. Untuk jenis pekerjaan, sebagian besar responden di NTT bekerja di sektor pertanian (38,5%) dan sales (11,6%). Sedangkan di DI Yogyakarta sebagian besar responden bekerja sebagai sales (23,9%) dan bekerja di sektor pertanian (19,1%). Sebagian besar responden di DI Yogyakarta menggunakan cara KB modern (89,3%), kemudian yang tidak menggunakan alat KB sebesar 4,9 %. Sedangkan responden di NTT lebih banyak yang menggunakan cara modern (63,8%) dibandingkan dengan yang tidak menggunakan alat KB sebesar 27,0%. Usia kawin pertama di DI Yogyakarta bervariasi dari 11-38 tahun dan di NTT bervariasi dari 10-42 tahun. Untuk rata-rata lama pendidikan yang ditempuh responden di DI Yogyakarta dan NTT hampir sama, yaitu sebesar 4,7 dan 5 tahun. Sedangkan untuk jumlah rata-rata anak ideal dan jumlah rata-rata anak lahir hidup di NTT jumlahnya cenderung lebih besar daripada di DI Yogyakarta. Proporsi responden yang memutuskan sendiri masalah pembelian kebutuhan rumah tangga sehari-hari di DI Yogyakarta sangat tinggi, yaitu sebesar 84,9% dan yang menentukan makanan yang dimasak setiap hari sebesar 88,3%. Lebih dari separuh responden di DI Yogyakarta mengatakan bahwa mereka bertanggung jawab atas kesehatan mereka sendiri, sedangkan di NTT hanya 38,8% responden yang dapat memutuskan perawatan kesehatan sendiri.
Kemudian responden yang menjawab mengambil semua keputusan bersama suami atau orang lain di NTT sebesar 20,88%, melebihi yang mengambil keputusan sendiri sebesar 5,68%. Maka dapat disimpulkan bahwa perempuan di DI Yogyakarta lebih baik kondisi pemberdayaan perempuannya dibandingkan dengan di NTT. Sebagian besar responden tidak menyetujui pemukulan suami terhadap istri. Namun proporsi responden yang menyetujui pemukulan istri di NTT jumlahnya lebih banyak daripada di DI Yogyakarta. Sedangkan persentase responden yang menyatakan sikap setuju terhadap pemukulan suami di DI Yogyakarta dapat dikatakan sangat kecil. Selain itu di DI Yogyakarta persentase tidak setuju dengan semua alasan pemukulan suami terhadap istri sangat besar, yaitu sebesar 89,47%, sehingga dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan perempuan di DI Yogyakarta lebih baik daripada NTT, dilihat dari indikator sikap perempuan terhadap pemukulan suami. Baik di NTT maupun DI Yogyakarta sebagian besar responden menyetujui sikap menolak ‘kumpul’ dengan suami untuk alasan-alasan tertentu. Namun persentase responden yang menjawab setuju lebih besar di DI Yogyakarta dibandingkan dengan di NTT. Persentase jawaban setuju terbesar di DI Yogyakarta adalah karena alasan baru melahirkan (98,7%), dan mengetahui suami ‘kumpul’ dengan wanita lain (95,4%). Sedangkan persentase terbesar untuk jawaban tidak setuju ada pada alasan istri sedang lelah atau tidak mood, yaitu sebesar 16,9% (DI Yogyakarta) dan 20,9% (NTT). Untuk perempuan yang setuju dengan semua alasan menolak ‘kumpul’ untuk alasan tertentu di DI Yogyakarta sebesar 82,21%, lebih tinggi daripada di NTT (62,78%). Maka dapat disimpulkan bahwa kondisi pemberdayaan perempuan di DI Yogyakarta lebih baik daripada di NTT jika dilihat dari sikap istri menolak ‘kumpul’ dengan suami untuk alasan tertentu. Hasil Analisis SEM Gambar Model Struktural Fertilitas Setelah Respesifikasi
Tabel 1 Besar Pengaruh Tiap Variabel setelah Respesifikasi Efek tidak langsung
Variabel
Efek Langsung
KB Gender Sikap Pemukulan Status ekonomi Anak ideal Provinsi Kerja Umur kawin Umur kawin
0.08 -0.09 0.02 -0.20 -0.07 -0.17 0,13
-
0.08 -0.09 0.02 -0.20 -0.07 -0.17 -0.01 0,13
-0,01 -0,05
-
-0,01 -0,05
0,13 -0.14 -0.01 -0,21
0,00 0, 0027 0,00 -0.01 0,00 0,00 -0,01 0,01 0,03 0,0039
0,13 -0,14 -0,01 -0.01 0.00 0.00 -0,01 0,01 0,03 -0,21
Status didik Kerja ALH Gender Sikap Pemukulan Status ekonomi Status didik Anak ideal Provinsi Kerja KB Umur kawin
Efek total
Jika dibandingkan hasil sebelum respesifikasi dan setelah respesifikasi model, dapat dilihat bahwa pengaruh total gender, sikap, dan pemukulan terhadap Anak Lahir Hidup (ALH) mengalami perubahan, yaitu semakin meningkat. Dari tabel di atas dapat dilihat juga bahwa gender, sikap, dan usia kawin memiliki pengaruh paling besar terhadap Anak Lahir Hidup (ALH). Tabel 2 Persamaan Struktural setelah Respesifikasi Model Persamaan
Y
1
KB R2=0,15
2
Umur kawin R2=0,0025 ALH R2=0,049
3
X Umur kawin Gender Sikap Pemukulan Status_ek anak_ideal provinsi Stat_didik Kerja KB Umur_kawin Gender Sikap Pemukulan
Koefisien 0,022 0,060 -0,063 0,016 -0,098 -0,047 -0,26 - 0.0086 -0,47 0,074 -0,085 0,22 -0,23 0,020
t-value 5,76 3,17 -2,68 0,84 -6,81 -2,84 -5,00 -0,35 -2,02 1,26 -8,99 4,82 -4,27 -0,45
DISKUSI a.
Pengaruh usia kawin Hasil analisis menunjukkan bahwa total efek usia kawin terhadap KB sebesar 0,13 dengan t-value sebesar 5,76 yang artinya secara statistik usia kawin memiliki efek signifikan terhadap penggunaan KB modern. Maka semakin tinggi usia kawin, responden yang dalam hal ini perempuan, semakin tidak menggunakan alat KB. Menurut Ananta (1995), perempuan yang usia kawin pertama pada usia muda mempunyai masa risiko terjadinya kehamilan lebih lama daripada perempuan yang usia kawin pertamanya lebih tua. Lama risiko terhadap kehamilan yang panjang ini memungkinkan lebih tingginya penggunaan metode kontrasepsi modern pada perempuan yang usia kawinnya lebih muda. Dari hasil analisis juga ditemukan hubungan yang signifikan antara usia kawin dengan jumlah anak lahir hidup. Namun besarnya pengaruh bernilai negatif, yaitu sebesar – 0,21 dan t-value -8,99. Maka dapat disimpulkan bahwa responden yang usia kawinnya lebih tua memiliki kecenderungan untuk memiliki jumlah anak lahir hidup (ALH) lebih sedikit dibandingkan dengan responden yang usia kawin pertama lebih muda. Menurut teori Davis and Blake mengenai variabel antara, usia kawin termasuk ke dalam variabel antara yang mempengaruhi fertilitas. Faktor lain seperti misalnya tingkat sosial ekonomi hanya mempengaruhi fertilitas melalui salah satu variabel antara seperti usia kawin. Sebagai contoh, dari sekelompok perempuan dengan tingkat pendidikan yang tinggi akan kawin pada usia yang lebih tua dan umumnya ingin mempunyai jumlah anak yang lebih sedikit dengan memakai alat kontrasepsi (KB).
b.
Pengaruh status ekonomi Pengaruh status ekonomi -0,20 terhadap penggunaan KB dapat diartikan bahwa semakin rendah status ekonomi responden, maka semakin tinggi penggunaan alat KB modern. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian mengenai penggunaan kontrasepsi di Karachi, Pakistan yang menyimpulkan bahwa perempuan dengan status ekonomi tinggi memiliki odds 2-3 kali lebih tinggi untuk menggunakan kontrasepsi (Fikree et.al., 2001). Salah satu upaya pemerintah dalam mengendalikan laju pertumbuhan penduduk yaitu dengan cara memberikan prioritas kepada kelompok masyarakat miskin melalui program keluarga berencana nasional. Salah satu kegiatan yang dilaksanakan adalah penyediaan pelayanan keluarga berencana/KB gratis bagi masyarakat yang berasal dari kalangan keluarga pra sejahtera/Pra S dan keluarga sejahtera 1/KS-1. Kegiatan pelayanan KB gratis bagi masyarakat miskin terutama kelompok Pra S dan KS-I merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan angka kesertaan ber-KB dan menurunkan unmet need KB, dalam rangka untuk menurunkan TFR. Keluarga miskin cenderung memiliki jumlah anak yang lebih besar dari pada mereka yang lebih mampu. Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu provinsi yang menjadi sasaran kegiatan pelayanan KB gratis bagi masyarakat miskin. Kebijakan KB gratis dapat mempengaruhi hasil penelitian ini, dimana responden dengan status ekonomi miskin lebih banyak menggunakan alat KB modern. Pengaruh status ekonomi terhadap ALH sebesar -0,01 dan secara statistik tidak bermakna. Maka dapat disimpulkan semakin tinggi status ekonomi perempuan, maka jumlah anaknya semakin sedikit. Kaur (2000) dalam penelitiannya di India menjelaskan bahwa pendapatan keluarga yang besar mengurangi fertilitas dengan cara meningkatkan usia kawin pertama, status pendidikan, dan penggunaan alat KB, terutama angka penggunaan alat KB pada suami, sehingga mendorong keinginan untuk memiliki keluarga kecil.
c.
Provinsi Provinsi NTT maupun DI Yogyakarta memiliki karakteristik yang sama, yaitu jumlah perdesaan lebih banyak dibandingkan perkotaan. Berdasarkan data BPS 2010, jumlah perkotaan DI Yogyakarta adalah 191 perkotaan dan 247 daerah perdesaan. Sedangkan NTT terdiri dari 184 perkotaan dan 2.652 perdesaan. Jika dibandingkan, jumlah perdesaan di NTT jauh lebih banyak dibandingkan dengan DI Yogyakarta. Di dalam data SDKI 2007, secara nasional penggunaan cara KB modern lebih tinggi di perkotaan (62,5%), dibandingkan dengan di perdesaan (60,6%). Kondisi penggunaan cara KB modern di tingkat nasional, seperti tersebut di atas, sejalan dengan hasil penelitian ini. Hasil analisis menunjukkan bahwa provinsi memiliki total efek sebesar -0,17 terhadap penggunaan alat KB dengan t-value -5,00. Artinya dalam penelitian ini, maka jumlah pemakaian alat KB modern lebih besar di DI Yogyakarta dibandingkan dengan NTT.
d.
Keluarga Berencana (KB) Hasil analisis menunjukkan bahwa penggunaan KB memiliki total efek sebesar 0,03 terhadap anak lahir hidup dengan t-value sebesar 1,26. Artinya semakin tidak menggunakan KB maka semakin besar jumlah anak lahir hidup. Kesertaan ber-KB di NTT dan di DI Yogyakarta adalah sebesar 42,2% dan 66,9%. Wanita PUS yang keinginan ber-KB
masih tinggi di NTT (17,4%) dibandingkan dengan DI Yogyakarta (6,8%). Kondisi kesertaan ber-KB di NTT yang rendah merupakan salah satu faktor yang memacu angka TFR tinggi, sebesar 4,2. Hal ini sesuai dengan teori menurut Kingsley Davis dan Judith Blake yakni penurunan fertilitas diakibatkan oleh adanya faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya konsepsi salah satunya adalah dengan pemakaian alat kontrasepsi. e.
Status kerja Untuk pengaruh status pekerjaan terhadap usia kawin dengan total pengaruh sebesar -0,05, artinya responden yang bekerja maka usia kawinnya lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak bekerja. Berdasarkan data BPS tahun 2010, menunjukkan rata-rata perempuan di daerah perkotaan menikah pada usia 20-22 tahun, hal ini disebabkan karena partisipasi perempuan di perkotaan dalam karir dan pekerjaan sebelum perkawinan sehingga dapat menunda usia perkawinan. Menurut data Susenas Tahun 2010, secara nasional rata-rata usia kawin pertama di Indonesia 19,70 tahun, rata-rata usia kawin di daerah perkotaan 20,53 tahun dan di daerah perdesaan 18,94 tahun (BKKBN, 2011). Usia kawin yang rendah pada responden yang bekerja karena sebagian besar responden di NTT dan DI Yogyakarta bekerja di sektor pertanian, yang jam kerjanya tidak pasti, atau merupakan buruh tani yang pekerjaannya tidak tetap. Selain itu, wilayah NTT sebagian besar terdiri dari daerah perdesaan, dan berdasarkan data Susenas, di perdesaan lebih banyak responden yang usia kawinnya di usia muda.
f.
Keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan rumah tangga. Berdasarkan hasil analisis keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan rumah tangga memiliki pengaruh signifikan terhadap ALH dengan total efek sebesar -0,23 dan t- value -4,27. Maka dapat diartikan bahwa semakin responden tidak bisa membuat keputusan sendiri mengenai rumah tangganya, maka jumlah anak lahir hidup semakin besar. Hasil penelitian di Tanzania pada pria usia 15-24 tahun mengenai gender attitudes sikap pengambilan keputusan, disimpulkan bahwa sikap pengambilan keputusan berpengaruh terhadap jumlah anak ideal (Snow, et.al, 2013). Di dalam analisis deskriptif dijelaskan bahwa untuk pengambilan keputusan masalah rumah tangga, total persentase terbesar pengambilan semua keputusan di NTT adalah bersama suami atau orang lain, yaitu sebesar 20,88%. Maka di NTT yang respondennya sebagian besar mengambil keputusan bersama suami atau orang lain, jumlah anak lahir hidupnya juga lebih banyak. Sedangkan di DI. Yogyakarta, total persentase terbesar pengambilan semua keputusan adalah melalui keputusan sendiri, yaitu sebesar 4,94% dan jumlah anak lahir hidup lebih sedikit.
g. Sikap perempuan tentang pemukulan suami terhadap istri Total pengaruh sikap tidak setuju perempuan mengenai pemukulan suami terhadap istri sebesar 0,020 dan nilai t-value sebesar 0,45 yang artinya secara statistik tidak bermakna. Maka disimpulkan semakin tidak setuju terhadap pemukulan suami, jumlah anak lahir hidup semakin besar. Namun berbeda dengan penelitian terhadap sikap pria dari lima kota di Nigeria, yang menemukan bahwa nilai dominasi laki-laki berhubungan dengan keinginan yang lebih tinggi untuk fertilitas (Isiugo-Abanihe 1994), dan juga sejalan dengan temuan beberapa studi yang menunjukkan bahwa perempuan yang mengungkapkan toleransi lebih besar untuk pemukulan terhadap istri memiliki fertilitas tinggi (Woldemicael 2007; Upadhyay and Karasek 2010; Westoff 2010). Dalam hasil penelitian ini, semakin berdaya perempuan melalui ketidaksetujuan atas sikap pemukulan suami terhadap istri, maka jumlah anak lahir hidup semakin besar. Hasil yang berbeda dengan penelitian sebelumnya, dapat disebabkan karena adanya pengaruh yang lebih kuat dari faktor lain, seperti usia kawin dan keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan. h.
Sikap perempuan terhadap menolak ‘kumpul‘ dengan suami untuk alasan tertentu. Berdasarkan Tabel 2, gender (sikap menolak ‘kumpul’ dengan suami untuk alasan tertentu) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap ALH dengan total efek sebesar 0,22 dan t-value 4,82. Artinya di NTT dan DI Yogyakarta semakin tidak setuju terhadap sikap menolak ‘kumpul’ dengan suami, maka jumlah anak lahir hidup juga semakin besar. Hasil penelitian Kishor et.al., 2008 memberikan gambaran bahwa di Indonesia pada jumlah paritas 3-4 anak (OR=0,94) dan jumlah paritas ≥ 5 anak (OR=0,80) sikap setuju menolak ‘kumpul’ dengan suami merupakan faktor pencegah terhadap fertilitas (jumlah anak lahir hidup). Sedangkan pada jumlah paritas 1-2 anak, nilai OR=1 yang artinya tidak ada perbedaan odds sikap setuju menolak ‘kumpul’ dengan suami dengan sikap yang tidak setuju.
KESIMPULAN 1. Jumlah rata-rata anak ideal di NTT lebih tinggi (4 orang), dibandingkan DI. Yogyakarta (2 orang). Rata-rata jumlah anak lahir hidup di NTT lebih tinggi (3 orang) dibandingkan DI Yogyakarta (2 orang). 2. Kondisi pemberdayaan perempuan di DI Yogyakarta lebih baik daripada NTT, dilihat dari sikap mengambil keputusan sendiri dalam keputusan rumah tangga, sikap tidak setuju atas pemukulan suami terhadap istri, dan sikap setuju menolak ‘kumpul’ dengan suami untuk alasan tertentu. 3. Pada penelitian ini, semakin tidak setuju menolak ‘kumpul’ dengan suami pada kondisi tertentu maka semakin tinggi fertilitas. Semakin rendah keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan rumah tangga maka semakin tinggi fertilitas. Semakin tinggi tidak setuju perempuan tentang pemukulan suami terhadap istri maka semakin tinggi fertilitas.
DAFTAR PUSTAKA
Ananta, A. Kecenderungan dan Faktor Penentu Fertilitas dan Mortalitas di Indonesia. Jakarta: Kantor Menteri Negara Kependudukan Republik Indonesia/BKKBN,1995. Badan Pusat Statistik. Survei Demografi dan Kesehatan 2007, Jakarta, 2008. Fikree et.al. What Influences Contraceptive Use Among Young Women In Urban Squatter Settlements of Karachi, Pakistan? International Family Planning Perspectives Volume 27, Number 3, September 2001. Garcia-Moreno, Claudia, Henrica A.F.M. Jansen, Mary Ellsberg, Lori Helse, and Charlotte Watts. WHO Multi Country Study on Women’s Health and Domestic Violence Againts Women. Geneva : World Health Organization, 2005. Isiugo-Abanihe, Uche C. “Reproductive motivation and family-size preferences among Nigerian men,” Studies in Family Planning 25(3): 149–161, 1994. Kaur, Harvinder. Impact of Income and Education on Fertility. The Journal of Family Welfare, 2000. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2011. Jakarta, 2011. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2012. Jakarta, 2012. Kishor, Sunita & Subaiya, Lekha. Understanding Women’s Empowerment : A Comparative Analysis of Demographic and Health Surveys (DHS) Data. DHS Comparative Reports No. 20. Calverton, Maryland, USA : Macro International Inc, 2008. Puslitbang KB dan Kesehatan Reproduksi, BKKBN. Analisis Lanjut SDKI 2007: Kontribusi Pemakaian Alat Kontrasepsi Terhadap Fertilitas. Jakarta, 2009. Puslitbang KB dan Kesehatan Reproduksi, BKKBN. Faktor yang Mempengaruhi Pemakaian Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP). Jakarta, 2009. Snow, R., Winter R.,Harlow S.D. Gender Attitudes and Fertility Aspirations among Young Men in Five High Fertility East African Countries. Studies in Family Planning; The Population Council, 2013. Tim Penulis Lembaga Demografi FEUI. Dasar-dasar Demografi. Salemba Empat, Jakarta, 2011. Upadhyay U. And Karasek D. Women’s Empowerment and Achievement of Desired Fertility in Sub-Saharan Africa. Maryland : USAIDS, 2010. Yusuf, Wahyu Hidayat. Pengaruh faktor-faktor Non Contraceptive Terhadap Peningkatan Fertilitas. Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2011..
DAFTAR ISTILAH Abstinensia: menahan diri dari penggunaan hal tertentu, seperti diet, minuman beralkohol, obat-obatan ilegal, atau dari hubungan seksual. Cross sectional: jenis desain penelitian yang mempelajari prevalensi, distribusi, maupun hubungan penyakit dan paparan dengan cara mengamati status paparan, penyakit, atau karakteristik secara serentak pada individu dari populasi pada suatu saat. Continuation rate: probabilitas kumulatif seorang akseptor metode kontrasepsi masih akan menggunakan metode kontrasepsi yang ditawarkan oleh program setelah jangka waktu tertentu (misalnya satu tahun). Ekspulsi: lepasnya IUD secara spontan dari posisi semula. Fertilitas: hasil reproduksi yang nyata (bayi lahir hidup) dari seorang wanita atau sekelompok wanita. Fekunditas: kemampuan fisiologis untuk melahirkan anak. Kesetaraan gender: keadaan tanpa diskriminasi (sebagai akibat dari perbedaan jenis kelamin) dalam memperoleh kesempatan, pembagian dan sumber-sumber dan hasil pembangunan, serta akses terhadap pelayanan. Informed consent: persetujuan (consent) yang diberikan oleh orang yang berkompeten dan telah mendapatkan dan memahami informasi tentang penilaian tersebut serta mempertimbangkannya untuk ikut serta tanpa paksaan, perangsangan/ pengaruh atau intimidasi dalam suatu penelitian. Kontrasepsi mantap: suatu tindakan untuk membatasi kelahiran dalam jangka waktu yang tidak terbatas, yang dilakukan terhadap salah seorang dari pasangan suami istri atas permintaan yang bersangkutan, secara sukarela. Keluarga pra sejahtera: keluarga-keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, seperti kebutuhan akan pengajaran, agama, pangan, sandang, papan dan kesehatan. Keluarga Sejahtera I: keluarga yang sudah dapat memenuhi kebutuhan yang sangat mendasar, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi. Indikator yang dipergunakan sebagai berikut : 1. Anggota keluarga melaksanakan ibadah menurut agama yang dianut. 2. Pada umumnya seluruh anggota keluarga makan dua kali sehari atau lebih. 3. Seluruh anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah, bekerja/sekolah dan bepergian. 4. Bagian terluas dari lantai rumah bukan dari tanah. 5. Bila anak atau anggota keluarganya yang lain sakit dibawa ke sarana/petugas kesehatan. Demikian halnya bila PUS ingin berKB dibawa ke sarana/petugas kesehatan dan diberi obat/cara KB modern. Responden: penjawab (atas pertanyaan yg diajukan untuk kepentingan penelitian) Sampel: sebagian dari keseluruhan; sebuah subset yang dipilih dari suatu populasi atau subset dari apapun yang sedang dipelajari. Tubektomi: suatu kontrasepsi permanen untuk mencegah keluarnya ovum dengan cara tindakan mengikat atau memotong pada kedua saluran tuba. Unmet need: proporsi wanita usia subur yang menikah atau hidup bersama (seksual aktif) yang tidak ingin punya anak lagi atau yang ingin menjarangkan kehamilan, tetapi tidak menggunakan alat atau cara kontrasepsi. Vasektomi: tindakan penutupan (pemotongan, pengikatan, penyumbatan) kedua saluran mani laki-laki sebelah kanan dan kiri sehingga pada waktu senggama sel mani tidak dapat keluar membuahi sel telur wanita.
GLOSARIUM URAIAN
SINGKATAN
URAIAN
SINGKATAN
ASEAN
Association of South East Asian Nations
KTD
Kehamilan yang tidak diinginkan
ABPK-KB
Alat Bantu Pengambilan Keputusan ber-KB
MAL
Metode Amenorrhea Laktasi
AKI
Angka Kematian Ibu
MDGs
Millenium Development Goals
ANC
Antenatal care
MKJP
Metode Kontrasepsi Jangka Panjang
AKDR
Alat Kontrasepsi Dalam Rahim
NTT
Nusa Tenggara Timur
ALH
Anak Lahir Hidup
Riskesdas
Riset Kesehatan Dasar
Alokon
Alat dan obat kontrasepsi
Rifaskes
Riset Fasilitas Kesehatan
ASFR
Age Specific Fertility Rate
Puskesmas
Pusat Kesehatan Masyarakat
ASI
Air Susu Ibu
Pustu
Puskesmas pembantu
BKKBN
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
Polindes
Pos bersalin desa
CBR
Crude Birth Rate
Poskesdes
Pos kesehatan desa
CPR
Contraceptive Prevalence Rate
P4K
CYP
Couple Years Protection
DO rate
Drop out rate
PUS
Program Perencanaan Pencegahan Komplikasi Pasangan Usia Subur
DPR
Dewan Perwakilan Rakyat
Risti
Risiko tinggi
HTA
Health Technology Assesment
RPJMN
ICPD
SD
IDG
International Conference on Population and Development Indeks Pemberdayaan Gender
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Sekolah Dasar
SDKI
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
IPG
Indeks Pembangunan Gender
SEM
Structural Equation Modelling
IPM
Indeks Pembangunan Manusia
SKPD
Satuan Kerja Pemerintah Daerah
IPV
Intimate Partner Violence
SMU
Sekolah Menengah Umum
IUD
Intra Uterine Device
SP
Survei Penduduk
JKN
Jaminan Kesehatan Nasional
SOP
Standar Operasional Prosedur
KB
Keluarga Berencana
TFR
Total Fertility Rate
KDRT
Kekerasan dalam Rumah Tangga
TNI/Polri
Kf
Kunjungan nifas
TOT
Tentara Nasional Indonesia / Kepolisian Republik Indonesia Trainee of tralner
KIA
Kesehatan Ibu dan Anak
WHO
World Health Organization
KIE
Komunikasi, Informasi dan Edukasi
WUS
Wanita Usia Subur
Persalinan
dan
1.
Apa itu Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ? Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang diselenggarakan dengan menggunakan mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib (mandatory) berdasarkan UndangUndang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh Pemerintah.
2.
Apa itu SJSN ? Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) adalah suatu tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial oleh beberapa badan penyelenggara jaminan social.
3.
Apa itu DJSN ? Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) adalah Dewan yang berfungsi untuk membantu Presiden dalam perumusan kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional.
4.
Apa itu BPJS ? Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) adalah badan hukum publik yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial. BPJS terdiri dari BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
5.
Apa itu BPJS Kesehatan ? Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan.
6. Kapan BPJS Kesehatan mulai operasional ? BPJS Kesehatan mulai operasional pada tanggal 1 Januari 2014. 7. Apa saja jenis jaminan sosial ? Jaminan sosial meliputi : Jaminan Kesehatan Jaminan Kecelakaan Kerja Jaminan Hari Tua Jaminan Pensiun Aminan Kematian 8.
Siapa saja yang menjadi peserta BPJS Kesehatan ? Semua penduduk Indonesia wajib menjadi peserta jaminan kesehatan yang dikelola oleh BPJS termasuk orang asing yang telah bekerja paling singkat enam bulan di Indonesia dan telah membayar iuran.
9.
Ada berapa kelompok peserta BPJS Kesehatan ? Peserta BPJS Kesehatan ada 2 kelompok yaitu : a. PBI Jaminan Kesehatan Penerima Bantuan Iuran (PBI) adalah peserta Jaminan Kesehatan bagi fakir miskin dan orang tidak mampu sebagaimana diamanatkan UU SJSN yang iurannya dibayari Pemerintah sebagai peserta program Jaminan Kesehatan. Peserta PBI adalah fakir miskin yang ditetapkan oleh Pemerintah dan diatur melalui Peraturan Pemerintah b. Bukan PBI jaminan kesehatan. Peserta bukan PBI jaminan kesehatan terdiri dari : 1) Pekerja penerima upah dan anggota keluarganya 2) Pekerja bukan penerima upah dan anggota keluarganya 3) Buka pekerja dan anggota keluarganya
10. Siapa saja yang lain yang berhak menjadi peserta PBI Jaminan Kesehatan ? Yang berhak menjadi peserta PBI Jaminan Kesehatan lainnya adalah yang mengalami catat total tetap dan tidak mampu. 11. Apa yang dimaksud dengan cacat total tetap dan siapa yang berwenang menetapkan ? Cacat total tetap merupakan kecacatan fisik dan/atau mental yang mengakibatkan ketidakmampuan seseorang untuk melakukan pekerjaan. Penetapan cacat total tetap dilakukan oleh dokter yang berwenang. 12. Apa yang dimaksud dengan pekerja ? Pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lain. 13. Apa yang dimaksud dengan pekerja penerima upah ? Pekerja penerima upah adalah setiap orang yang bekerja pada pemberi upah kerja dengan menerima gaji atau upah. 14. Siapa saja yang dimaksud pekerja penerima upah ? a. Pekerja penerima upah terdiri atas : b. Pegawai Negeri Sipil c. Anggota TNI. d. Anggota POLRI e. Pejabat Negara. f. Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri. g. Pegawai Swasta h. Pekerja lain yang memenuhi kriteria pekerja penerima upah 15. Apa yang dimaksud dengan pekerja bukan penerima upah ? Pekerja bukan penerima upah adalah setiap orang yang bekerja atau berusaha atas risiko sendiri. 16. Siapa saja yang termasuk pekerja bukan penerima upah ? Pekerja bukan penerima upah terdiri dari: a. Pekerja di luar hubungan kerja atau pekerja mandiri b. Pekerja lain yang memenuhi kriteria pekerja bukan penerima upah 17. Apa yang dimaksud dengan bukan pekerja ? Bukan pekerja adalah setiap orang yang tidak bekerja tapi mampu membayar iuran Jaminan Kesehatan. 18. Siapa saja yang termasuk bukan pekerja ? Yang termasuk kelompok bukan pekerja terdiri atas: a. Investor b. Pemberi kerja c. Penerima pensiun d. Veteran e. Perintis Kemerdekaan. f. Bukan pekerja lain yang memenuhi kriteria bukan pekerja penerima upah. 19. Siapa saja yang dimaksud dengan Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri Sipil ? Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri Sipil adalah Pegawai Tidak Tetap, Pegawai Honorer, Staf Khusus dan pegawai lain yang dibayarkan oleh Anggaran Pendapatan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. 20. Siapa yang dimaksud dengan pemberi kerja ? Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja, atau penyelenggara negara yang mempekerjakan pegawai negeri dengan membayar gaji, upah atau imbalan dalam bentuk lainnya.
21. Siapa saja yang dimaksud dengan anggota keluarga ? Anggota keluarga yang dimaksud melaliputi : a. Satu orang isteri atau suami yang sah dari peserta. b. Anak kandung, anak tiri dan atau anak angkat yang sah dari peserta, dengan kriteria: Tidak atau belum pernah menikah atau tidak mempunyai penghasilan sendiri. Belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau belum berusia 25 (dua puluh lima) tahun yang masih melanjutkan pendidikan formal 22. Berapa jumlah peserta dan anggota keluarganya yang ditanggung ? Jumlah peserta dan anggota keluarga yang ditanggung oleh jaminan kesehatan paling banyak 5 (lima) orang) 23. Bagaimana bila jumlah peserta dan angota keluarganya lebih dari 5 (lima) orang ? Peserta yang memiliki jumlah anggota keluarga lebih dari 5 (lima) orang termasuk peserta, dapat mengikutsertakan anggota keluarga yang lain dengan membayar iuran tambahan 24. Apakah boleh penduduk Indonesia tidak menjadi peserta BPJS Kesehatan ? Tidak boleh, karena kepesertaan BJS Kesehatan bersifat WAJIB. Meskipun yang bersangkutan sudah meiliki Jaminan Kesehatan lain 25. Apa yang terjadi kalau kita tidak menjadi peserta BPJS Kesehatan ? Ketika sakit dan harus berobat atau dirawat maka semua biaya yang timbul harus dibayar sendiri dan kemungkinan bisa angat mahal di luar kemampuan 26. Kapan seluruh penduduk Indonesia sudah harus menjadi peserta BPJS Kesehatan ? Paling lambat tahun 2019 seluruh penduduk Indonesia sudah menjadi peserta BPJS Kesehatan yang dilakukan secara bertahap