Dr. Elias Tarigan - USU Library

Dari laporan pertama Hamm dkk ... Sehingga pada kasus IMA, ... Wu dkk paa evaluasi klinik multisenter dalam menilai diagnosa infark miokard akut,...

12 downloads 691 Views 132KB Size
HUBUNGAN KADAR TROPONIN-T DENGAN GAMBARAN KLINIS PENDERITA SINDROMA KORONER AKUT ELIAS TARIGAN Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara BAB-I PENDAHULUAN Pertanda biokimia dewasa ini dan di masa yang akan datang aka terus mempunyai peran penting pada diagnostik, stratifikasi maupun pengobatan penderita dengan sindroma koroner akut. Penatalaksanaan dengan metode intervensi yang agresif namun rasional diperlukan untuk mengurangi angka kesakitan dan kematian pada sindroma koroner akut. Masalahnya adalah belum sempurnanya petanda yang dapat dipakai dengan mudah namun dapat sepenuhnya dipercaya untuk deteksi dini terjadinya perburukan kejadian koroner pada sindroma koroner akut . Pemeriksaan histopatologis ternyata membuktikan adanya kerusakan minimal pada sel miokard atau mikro infark pada seluruh permukaan miokardium penderita sindroma koroner akut yang mengalami perburukan serangan koroner atau kematian. Kerusakan sel tersebut tidak dapat terlihat sebagai perubahan elektrokardiogram (EKG) ataupun dalam pemeriksaan laboratorium enzim- enzim jantung yang selama ini rutin dikerjakan untuk diagnostik kerusakan miokard suatu sindroma iskemik akut . Akhir- akhir ini telah dikembangkan suatu pertanda biokimiawi yang baru dalam pemeriksaan kerusakan sel miosit otot jantung dengan memantau penglepasan suatu protein kontraktil sel miokard yaitu troponin T akibat disintegrasi sel pada iskemi berat. Penelitian diluar negri menunjukan bahwa troponin T ini mempunyai sensitifitas 97% dan spesifitas 99% dalam deteksi kerusakan sel miokard. Bahkan disebutkan penanda ini dapat mendeteksi kerusakan sel miosit jantung yang sangan minimal (mikro infark), yang mana oleh penanda jantung yang lain, hal ini tidak ditemukan . Sehingga pada keadaan ini dikatakan sensitifitas dan spesitifitas troponin T lebih superior dibandingkan pemeriksaan enzim-enzim jantung lainnya. Penelitian petanda biokimia ini banyak yang berfokus padda diagnosa dini dan juga untuk menilai prognostik, karena jika ditemukan dalam plasma, penanda ini dapat mengenali kelompok pasien yang mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya serangan jantung baik saat dirawat di rumah sakit (fase akut) maupun sesudah keluar dari rumah sakit . Beberapa penelitian melaporkan dengan pengukuran troponin T, suatu protein yang dilepas dari kerusakan otot jantung, merupaka indikator terbaik yang dapat digunakan untuk menilai penderita yang mempunyai resiko kematian dari serangan jantung (7-11). Penelitian pada pusat kedokteran universitas Duke di Amerika Serikat menyimpulkan pemeriksaan troponin T adalah indikator yang baik dari kerusakan otot jantung, terutama jika dipakai pada penderita yang dengan pemeriksaan CK- MB dan EKG tidak menunjukan suatu kerusakan otot jantung yang nyata. Dari laporan pertama Hamm dkk (1992) tentang penelitian troponin T yang meninggi pada populasi kecil dengan pasien angina pektoris tak stabil, disebutkan bahwa resiko kematian dan infark miokard selama dirawat di rumah sakit sangat meningkat, meskipun diberikan pengobatan yang adekuat . Hal yang sama pada studi FRISC, menyatakan nilai prognostik penderita sindroma koroner akut berhubungan erat dengan kadar absolut troponin T saat

©2003 Digitized by USU digital library

1

dirawat. Nilai troponin T yang tinggi dalam 24 jam pertama saat dirawat, merupakan petunjuk Yang baik sebagai nilai prognostik bebas (independent). Penelitian substudi Global Use of Stategies to Open Occluded Arteies (GUSTO) IIA pada 801 penderita iskemik miokard akut, membandingkan pemeriksaan troponin T, CK- MB dan EKG yang diperiksa dalam 12 -24 jam saat dirawat. Nila nilai troponin T > 0,1 ng/ml, mempunyai korelasi positif dengan kematian dalam 30 hari (11,8% vs 3,9 %, p<0,01) dibanding dengan CK- MB dan EKG. Studi ini menyimpulkan troponin T adalah penanda prognost ik yang baik dibandingkan CK- MB dan EKG. Schuchert A dkk meneliti pada 158 penderita angina pektoris tak stabil, dimana pada 11 penderita hasil toponin T meningkat ( >0,1 ng/ml), 5 dari 11 penderita tersebut meninggal selama perawatandi rumah sakit, sedangkan 6 penderita yang lain meninggal sesudah keluar dari rumah sakit salam 30 hari. Ravkilde dkk meneliti dari 127 pasien sindroma koroner akut, didapati sebanyak 35% kadar troponin T meninggi ( >0,1 ng/ml), dalam 6 bulan kemudian terdapat 22 % penderita yang troponin T meninggi meninggal. Demikian juga oleh Wu dkk dari 131 penderita sindroma koroner akut yang diteliti, 21% troponin T meninggi dalam 1 bulan didapatkan 30% dari troponin T meninggi meninggal. Lindahl dkk dari 976 penderita sindroma koroner akut, 51% nilai troponin T meninggi, dalam 1 bulan kemudian didapatkan 13% dari troponin T meninggi meninggal . Dengan banyaknya penelitian yang telah mempublikasikan tentang penggunaan klinik pemeriksaan troponin – T serum dalam mendeteksi kerusakan miokard, baik pada infark miokard akut, angina pektoris tak stabil maupun menilai secara dini keberhasilan reperfusi terapi trombolitik, strarifikasi resiko dan meramalkan serangan jantung serta prediktor prognastik, sehingga pemeriksaan kwalitatif troponin T ini telah disetujui oleh Food and Drug Administration di Amerika untuk digunakan di klinik, dan saat ini telah dikembangkan alat generasi ke II (Troponin- T ELISA) dari alat ini yang dapat memeriksa troponin T secara kwantitaif yang lebih sensitif dari Boehringer Mannheim. Penelitian tentang nilai troponin T dan hubungannya dengan perjalanan klinis penderita sindroma koroner akut belum pernah dilakukan di Indonesia. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tersebut di Medan, sehingga para klinisi dapat lebih waspada dan hati- hati pada penatalaksanaan penderita sindroma koroner akut dengan peningkatan nilai troponin T.

BAB – II TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Troponin T Otot serat lintang terutama terdiri dari dua tipe miofilamen, yaitu filamen tebal yang mengandung miosin dan filamen tipis yang terdiri dari aktin, tropomiosin dan troponin ( gambar 1). Troponin yang berlokasi pada filamen tipis dan mengatur aktivasi kalsium untuk kontraksi otot secara teratur, merupakan suatu protein kompleks yang terdiri dari 3 subunit dengan struktur dan fungsi yang erbeda, yaitu : 1) Troponin T (TnT), @) Troponin I (TnI),3) Troponin C (TnC).

©2003 Digitized by USU digital library

2

Gambar 1. Model filamen tipis otot jantung

Troponin T spesifik untuk jantung dan struktur primernya berbeda dari otot skelet isoform. Demikian pula TnI untuk otot jantung dan dapat dibedakan dari otot skelet lainnya dengan cara imunologik. Sebaiknya TnC ditemukan pada otot jantung dan rang ka. Kompleks troponin adalah suatu kelompok yang terdiri dari 3 subunit protein yang berlokasi pada filamen tipis dari apparatus kontraktil, yaitu : 1. Troponin C ( TnC), mengikat kalsium dan bertanggung jawab dalam proses pengaturan aktifasi filamen tipis selama kontraksi otot skelet dan jantung. Berat molekulnya adalah 18.000 Dalton. 2. Troponin I (TnI) dengan berat molekul 24.000 Dalton merupakan subunit penghambat yang mencegah kontraksi otot tanpa adanya kalsium dan troponin. 3. Troponin T (TnT) berat molekulnya 37.000 Dalton bertanggung jawab dalam ikatan kompleks troponin terhadap tropomiosin. Troponin T kardiak, suatu polipeptida yang berlokasi pada filamen tipis merupakan protein kontraktil regular, paa orang sehat TnT tidak dapat dideteksi atau terd eteksi dalam kadar yang sangat rendah, tetapi terdapat dalam sitoplasma miosit jantung sebanyak 6% dan dalam bentuk ikatan sebanyak 94%. Troponin T lokasinya intraseluler, terikat pada kompleks troponin dan untaian molekul tropomision. Kompleks troponin merupakan suatu protein yang mengatur interaksi aktin dan miosin bersama-sama dengan kadar kalsium intra seluler. Pada otot jantung manusia, diperkirakan 6% dari total TnT miokardial ditemukan sebagai larutan pada sitoplasmik ( fraksi bebas), yang mungkin berfungsi sebagai prekursor untuk sintesis kompleks troponin. TnT yang larut dalam cairan sitosol akan mencapai sirkulasi darah dengan cepat bila terjadi kerusakan miokard, sedangkan TnT yang terikat secara struktural sirkulasi darah lebih lambat karena harus memisahkan lebih dahulu ( degradasi proteolitik) dari jaringan kontraktil. Karena pelepasan TnT terjadi dalam 2 tahap, maka perubahan kadar TnT serum pada IMA mempunyai 2 puncak (bifasik). Puncak pertama disebabkan oleh pelepasan TnT dari cairan sitosol dan puncak kedua karena pelepasan TnT yang terikat secara struktural. Sehingga pada kasus IMA, TnT kardiak akan masuk lebih dini kedalam sirkulasi darah dari pada CK- MB sehingga dalam waktu singkat kadarnya dalam darah sudah dapat diukur,s edangkan puncak kedua pelepasan TnT ini berlangsung lebih lama dibanding dengan CK- MB, sehingga disebut jendela diagnostik yang lebih besar dibanding dengan petanda jantung lainnya. Tampaknya pelepasan troponin T beberapa jam setelah infark miokard adalah berasal dari sitoplasma, sehingga akan mencapai sirkulasi darah dengan cepat. Sedangkan pelepasan yang berkepanjangan akibat dari kerusakan strukstur apparatus, sehingga untuk mencapai sirkulasi darah lebih lambat karena harus memisahkan lebih dahulu ( degradasi proteolitik) dari jaringan kontraktil . troponin T

©2003 Digitized by USU digital library

3

kardiak terdeteksi setelah 3- 4 jam sesudah kerusakan miokard dan masih tinggi dalam serum selama 1- 2 minggu. Dilaporkan troponin T merupakan pemeriksaan yang sangat bermanfaat terutama bila penderita IMA yang disertai dengan kerusakan otot skelet. Pelepasan troponin T sitolitik juga sensitif terhadap perubahan perfusi arteri koroner dan dapat digunakan dalam menilai keberhasilan terapi reperfusi. TnT kardiak merupakan protein spesifik miokard dan dapat dibedakan dari isoformnya yang terdapat pada otot lurik dengan teknik imunologi. Oleh karena itu TnT kardiak dapat digunakan untuk mendeteksi adanya nekrosis miokard pada keadaan dimana terdapat peningkatan CK non kardiak paa cedera lurik. 1.1.1. FUNGSI TROPONIN – T Kompleks troponin menyebabkan aktifasi kalsium untuk kontraksi dan memodulasi fungsi kontraktil otot serat lintang. Oleh sebab itu troponin dan tropomiosin disebut sebagai protein pengatur. Meningkatnya kadar kalsium dalam sitosol dirangsang oleh depolarisasi membran sel akibat penempatan sisi bebas ikatan kalsium pada troponin C. Peningkatan kalsium pada troponin C menimbulkan perubahan pada kompleks troponin, sehingga terjadi pergeseran serat tropomiosin. Perubahan serat tropomiosin menjadi berbalik dan menghadapkan sisi ikatan miosin kearah molekul aktin, menyebabkan molekul dapat berikatan dengan molekul miosin. Gaya elektrostatik menyebabkan bagian kepala molekul miosin miring dan geseran itu menimbulkan kontraksi otot. Bilamana kalsium bebas tidak lagi yang dapat mengikat molekul TnC, maka akan terjadi perubahan bentuk TnC. Hasilnya TnI mengikat aktin dan menghambat aktifasi ATP- ase dari aktin- miosin, sehingga otot relaksasi. Berbagai tipe otot (otot skelet, otot jantung, otot polos) memiliki sifat kontraksi yang berbeda. Sebagian secara genetik ditentukan oleh perbedaan dari struktur beberapa protein kontraktil dan protein pengaturnya. Sebagai contoh, troponin T jantung dan otot skelet berbeda pada komposisi asam aminonya sehingga dapat dibedakan secara imunologi. Perkembangan saat ini memungkinkan dilakukannya suatu pemeriksaan imunologi untuk mengatur kadar troponin T dalam plasma yang spesifik untuk jantung. 1.1.2. PENGLEPASAN TROPONIN – T Berat dan lamanya iskemia miokard menentukan perubahan miokard yang reversible atau irreversible ( berupa kematian sel). Pada iskemia miokard, glikolisis anaerob dapat mencukupi kebutuhan fosfat energi tinggi dalam waktu relatif singkat. Penghambatan proses transportasi yang dipengaruhi ATP dalam membran sel menimbulkan pergeseran elektrolit, edema sel dan terakhir hilangnya integritas membran sel. Dalam hal kerusakan sel ini, mula- mula akan terjadi pelepasan protein yang terurai bebas dalam sitosol melalui transport vesikular. Setelah itu terjadi difusi bebas dari isi sel kedalam interstisium yang dimungkinkan oleh pecahnya seluruh membran sel. Peningkatan kadar laktat intra sel disebabkan proses glikolisis sehingga menurunkan pH yang diikuti oleh pelepasan dan aktifasi enzim- enzim proteolitik lisosom. Perubahan pH bersama-sama dengan aktifasi enzim proteolitik mengakibatkan terjadinya disintegrasi struktur intra seluler dan degradasi protein yang struktural terikat. Implikasi klinisnya adalah jika terjadi kerusakan miokard akibat iskemia, TnT dan CK-MB dari sitoplasma dilepas kedalam aliran darah. Lamanya kira - kira 30 jam terus menerus sampai persediaan TnT sitoplasma habis. Bila terjadi iskemia yang persisten, maka sel mengalami asidosis intraseluler dan

©2003 Digitized by USU digital library

4

terjadilah proteolisis yang melepaskan sejumlah besar TnT yang terikat ke dalam darah. Masa pelepasan TnT ini berlangsung 30-90 jam, lalu perlahan- lahan turun (2,27,28,40). 1.1.3. SENSITIFITAS DAN SPESIFITAS PEMERIKSAAN TROPONIN – T Wu dkk paa evaluasi klinik multisenter dalam menilai diagnosa infark miokard akut, melaporkan bahwa sensitifitas troponin T bervariasi menurut lamanya onset nyeri dada, sebagai tertera pada label 1. Antman dkk mendapatkan sensitifitas pemeriksaan troponin T meningkat secara bermakna antara 0- 2 jam dan > 8 jam setelah onset nyeri dada. Hasil sensitifitas dan spesitifitas pemeriksaan troponin T meningkat secara bermakna antara 0- 2 jam dan > 8 jam setelah onset nyeri dada, dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 1. Sensitifitas pemeriksaan troponin T bervariasi dibanding CKMB menurut lamanya onset nyeri dada. Onset nyeri dada ( Jam) 0– 5 6 – 11 12 – 23 24 – 47 48 – 95 > 96 TnT 55% 97% 100% 100% 100% 100% CKMB 37% 97% 97% 97% 56% 88% Tabel 2. Sensitifitas dan spesitifitas peme riksaan troponin T menurut lamanya onset nyeri dada. 0- 2 55% 37%

TnT CKMB

Onset nyeri dada ( Jam) >2 – 4 >4 – 8 97% 100% 97% 97%

>8 100% 97%

Perbandingan antara troponin T dengan petanda lainnya dalam mendeteksi kerusakan otot jantung dapat dilihat pada tabel 3 dibawah ini. Tabel 3. Perbandingan troponin T dengan petanda lain. Petanda

Keuntungan

Kekurangan

Mioglobulin

Saat mulai dilepas 2 jam

Sangat dini

CKMB

4- 6 jam

Dini

Tidak waktunya Tidak waktunya

Troponin T

3- 4 jam

Spesifik untuk jantung, Pelepasan bifasik, Sebagai petanda dini

spesifik, pendek spesifik, pendek

jendela jendela

1.2. SINDROMA KORONER AKUT. 1.2.1. Defnisi Sindroma koroner akut adalah suatu peralihan (spektrum) manifestasi dari penyakit jantung iskemik meliputi angina tak stabil hingga infark miokard akut (IMA) dengan gelombang Q atau pun tanda gelombang Q ( Gambar 2). 1.2.1.1. Patofisiologi sindroma koroner akut Penyakit jantung koroner merupakan penyakit yang progresif dengan bermacam tampilan klinis, dari yang asimtomatis, angina stabil maupun sindroma koroner akut, sampai kematian jantung mendadak (13). Hasil pengamatan patologis,

©2003 Digitized by USU digital library

5

angiokopis dan biologis menunjukan adanya perbedaan gejala klinik antara angina tak stabil dan infard miokard, disebabkan mekanisme patifisiologi yang mendasarinya yakni ruptur aterosklerosis, dengan derajat trombosis yang berbedabeda dan ada tidaknya embolisasi distal (7,43). Pada definisi yang diperluas, sindroma koroner akut meliputi

The Continuum of Acute Coronary Syndromes Mycardial Ischemia Stable angina

Unsable angina

Non Q-Wave Ml Q-Wave Ml

Currently undetected Non Q -Wave Ml Ischemic Cell Injury Reversible Small Area Ireversible Large Area Gambar 2. Continuum dari sindroma koroner akut Juga semua penderita dengan kejadian awal yang menuju keparahan angina. Walaupun studi Framingham menunjukan bahwa angina tak stabil hanya terdapat pada 10% kasus yang merupakan manifestasi awal dari penyakit arteri koroner diluar miokard infark, tetapi umumnya penderita mengalami suatu siklus atau perubahan pola nyeri dada, dan hanya jumlah kecil yang memerlukan perhatian maupun perawatan di rumah sakit. Diagosis angina tak stabil tidak memerlukan perubahan EKG, biarpun adanya perubahan ini akan meningkatkan spesifisitas diagnosis dan menunjukan prognosis yang jelek ( klasifikasi Braunwald). Kejadian penyakit jantung koroner meliputi dua tahap yang berbeda. Tahap pertama terdiri dari suatu periode awal asimtomatik, dimana terbentuk plak aterosklerotik non obstruktif, dan progresi lebih lanjut tergantung pada faktor resiko. Tahaop kedua terjadi trombogenesis dengan cepat dikarenakan koyaknya plak yang mengeluarkan kontituennya yang bersifat trombogenik, seperti kolagen dan tromboplastin jaringan yang menstimulasi agregasi trombosit, pembentukan fibrin, dan perkembangan terjadinya trombus yang oklusif. Hasil akhir dari robeknya plak tergantung pada keseimbangan hemostatis . Keseimbangan hemostatis ini merupakan suatu interaksi yang kompleks a ntara dinamika aliran darah, komponen dinding pembuluh darah, trombosit dan protein plasma, begitu juga dengan faktor-faktor regulasi pada trombosit, sistem koagulasi dan sistem fibrinolisis. Kejadian trombosis pada penyakit jantung ateroskleros is dipengaruhi dan distimulasi oleh beberapa faktor seperti : 1). Disfungsi endotel, 2). Hiperaktifitas trombosit, 3). Peningkatan aktifitas prokoagulan, dan 4). Gabungan kapasitas fibrinolisis. 1.2.2. Struktur Plak Pada mulanya telah disepakati bahwa terjadinya sindroma koroner akut oleh karena adanya penutupan yang tiba- tiba dari aliran darah koroner yang aterosklerotik yang kemudian mengakibatkan kekurangan oksigen di otot jantung dan akibatnya terjadi jaringan iskemi sampai jaringan nekrosis. Luas tidaknya jaringan nekrosis yang terjadi mempengaruhi harapan hidup penderita sindroma koroner akut. Pada saat itu diperkirakan semakin besar ateroma yang ada di

©2003 Digitized by USU digital library

6

pembuluh darah semakin mudah menyebabkan sindroma koroner akut, akan tetapi ternyata pada penelitian dibuktikan bahwa justru pada stenosis yang ringan dan sedang lebih banyak terjadi sindroma koroner akut dan hal ini diduga oleh karena pecahnya ateroma tersebut ( ruptur plak) Plak aterosklerosis yang sudah matang terdiri dari bermacam- macam yaitu : lipid core atau gumpalan lipid, gumpalan lipid ini terdiri dari sel- sel makrofag yang mengandung lipid di dalamnya, dan lipoprotein yang terjebak di dalam subendotelial maupun ruang ekstra sel. Di dalam bungkah lipid tersebut konsistensinya lunak, selselnya jarang ( hiposeluler) dan juga terdapat gumpalan kolesterol ester ( yang berkonsistensi lunak) dan kristal kolesterol yang berkonsistensi agak keras. Kemudian gumpalan lipid ini diselimuti oleh suatu kap yang terdiri dari matriks jaringan ikat. Bila gumpalan lipid tersebut dominan dengan kap tipis, maka ateroma tersebut disebut sebagai plak yang stabil. Sebaliknya bila gumpalan lipid leih padat dengan kap yang kuat dan tebal disebut sebagai plak stabil. Maka bila dicermati, terdapat dua macam plak yaitu yang stabil dan plak yang tidak stabil. 1.2.3. Ruptur Plak Ruptur plak ditemukan pada 56 %- 95% sindroma koroner akut, Forrester yang memeriksa dengan angioskopis intraoperatif mendapatkan 95% sindroma koroner akut ditemukan adanya ruptur plak (49). Tid ak semua plak yang terjadi pada proses aterogenesis menjadi plak yang tidak stabil, hal tersebut tergantung dari bentuknya kap dan gumpalan lipid yang ada, dan proses yang mendasarinya, dan hal ini sangat berhubungan dengan tampilan klinis. Menurut American Heart Association, tipe plak dihubungkan dengan tampilan klinis dapat dibagi menjadi 5 tipe yaitu (50) : 1. Tipe 1 : Penebalan tunika intima, makrofag, isolated foam cell, pada fase ini tampilan klinisnya asimptomatik. 2. Tipe 2 : Fatty streak, terdapat akumulasi lipid intra sel dan infiltrasi makrofag serta otot polos, fase ini juga masih asimptomatik. 3. Tipe 3 : masih seperti diatas tetapi disertai pula dengan lipid ekstra sel dan deposisi jaringan ikat, juga masih asimptomatik. 4. Tipe 4 : Ateroma terdapat gumpalan lipid pada tunika intima, sel inflamasi mulai infiltrasi diikuti dengan makrofag, sel busa, da sel T, biasanya tampilan klinis pada fase ini asimptomatik, namun bisa juga angina stabil. 5. Tipe 5a : Seperti tipe 4 disertai denganlapisan jaringan fibrous, tampilan klinis masih seperti tipe 4. Tipe 5b : Ateroma dengan klasifikasi berat di dalam core atau lesinya, tampilan klinis apa fase ini adalah anginastabil. Tipe 5c :Fibrous- ateroma dengan trombus mural dengan komponen lipid yang minimal, tampilan klinisnya masih seperti 5 b. 6. Tipe 6 : Complicated lesion , terjadi ruptur plak tipe 4 dan 5 dengan hemorhagi intra mural dan mulainya proses trombogenesis insitu. Tampilan klinis dari fase adalah suatu keadaan yang disebut sindroma koroner akut. Faktor-faktor yang mempengaruhi instabilitas dan ruptur plak (45) : Faktor Eksternal : 1. Sistemik : Lingkungan internal/faktor farmakologik. 2. Faktor intrinsik dari plak : besarnya plak, lokasi plak, kepadatan lipid dan ketebalan kap yang menyelimuti plak.

©2003 Digitized by USU digital library

7

Faktor Internal : 1. Aktifitas sel inflmasi 2. Infeksi 3. Disfungsi endotel 4. Proliferasi sel otot polos Evaluasi dari plak yang stabil menjadi tidak stabil melalui 5 tahap yaitu : aktifasi endotel, kemudian LDL masuk ke dalam sel dan teroksidasi, kemudian memacu produksi sitokin da n protease ( MMP expression), sehingga menyebabkan rupturnya plak. Lima puluh persen dari timbulnya sindroma koroner akut, biasanya didahului oleh faktor pencetus seperti : yang berhubungan dengan aktifitas saraf simpatis sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan darah yang tiba- tiba, peningkatan aliran darah koroner, peningkatan kontraktilitas otot jantung, latihan fisik berat, stress emosional dan lain sebagainya. 1.2.4. TROMBOSIS PLAK Lebih dari 75% trombus yang ditemukan di sindroma koroner akut, terletak ditempat dimana plak menglamai ruptur. Bila plak yang tidak stabil mendapat pencetus, makka kap yang tipis tersebut akan koyak dan kemudian berlangsunglah proses selanjutnya berupa pembentukan trombus yang dimulai dari fisura atau robekan kap tadi. Mula- mula terjadi akumulasi trombosit ditempat koyakan, kemudian ditambah dengan adanya fibrin, membentuk gumpalan dini yang disebut white clot yang secara langsung berusaha menutupi semua permukaan yang robek tadi. Kemudian datanglah eritrosit untuk menutupi seluruh white clot. Didalam komponen plak, gumpalan lipid memiliki efek trombogenisitas yang paling kuat, hal ini disebabkan oleh karena pengaruh adanya faktor jaringan, dimana faktor jaringan ini mengaktifkan faktor IX dab X bersama membentuk trombin. Sedangkan faktor yang mempengaruhi respons trombogenesis ditempat kap yang terkoyak tadi adalah : 1. Substrat trombogenik yang memang selalu berada di tempat tersebut. 2. Iregularitas permukaan plak dan sempitnya stenosis ; semakin tajam lengkungan kap stenosis dan semakin iregular, maka semakin mudah terjadi proses trombogenesis tersebut. 3. Keseimbangan trombotik- trombotik faktor trombogenik misalnya hiperagregabilitas, hiperkoagulabilitas dan menurunnya fibrinolisis meningkatkan resiko terjadinya trombus pada sindroma koroner akut . 2.2.5. STRATIFIKASI RESIKO Penentuan penyakit jantung koroner ditentukan dari gambaran klinis, EKG, riwayat penyakit, kadar troponin serta faktor resiko terjadinya arterosklerosis. Perubahan EKG merupakan pelengkap dari riwayat penyakit dan gejala klinis dan masih menjadi suatu proses stratifikasi penting dari sindroma koroner akut . Bila memungkinkan perekaman EKG dilakukan saat nyeri dada timbul. Gambaran EKG yang normal yang normal pada saat episode nyeri dada merupakan dasar kuat untuk menyatakan gejala yang tidak spesifik oleh sebab kardiak, sememtara perubahan dinamis dari segmen ST dan gelombang T yang inversi sangat mendukung diagnosa angina tak stabil atau non Q wave infark miokard. Gelombang T yang inversi dan isolated relatif ringan dan prognosenya baik dibanding dengan perubahan segmen ST. saat ini dapat dinyatakan bahwa EKG inisial tidak hanya memprediksikan perjalanan jangka pendek tetapi depresi segmen ST juga menunjukan menandai kelompok resiko tinggi pada waktu yang lama (55). Konsentrasi serum troponin T dan I merupakan indikator peningkatan resiko baik secara independen maupun merupakan pendukung dari perubahan EKG. Tanpa memperdulikan perubahan EKG penderita dengan perubahan serum troponin

©2003 Digitized by USU digital library

8

mempunyai resiko lebih tinggi dibanding dengan yang normal. Disadari bahwa terdapat perbedaan waktu selama 2 -4 jam setelah muncul gejala baru dapat dideteksi perubahan serum troponin dan mencapai puncaknya pada 12- 14 jam kemudian. Peningkatan troponin ini merupakan indikator untuk komplikasi jangka pendek dan jangka panjang. Selanjutnya dengan dasar informasi diatas penetapan diagnosis angina yang stabil dapat dilakukan stratifikasi penderita dalam tiga kelompok yaitu kelompok resiko rendah, sedang dan tinggi ( tabel 4). Stratifikasi resiko ini merupakan proses yang berkesimbungan selama perawatan penderita pada fase akut termasuk evaluasi riwayat penyakit sekarang, penyakit terdahulu dan gambaran EKG. Pemeriksaan serum kardiak secara diagnostik sangat diperlukan dans sesuai dengan guidelines 1994 merekomendasikan bahwa baik kadar CK dan CK- MB diperiksa paa waktu dan setiap 6 sampai 8 jam dan seterusnya paa 24 jam. guidelines 1994 belum merekomendasikan pemeriksaan troponin secara rutin untuk deteksi kerusakan miokard. Sejak itu berbagai studi telah menunjukan bahwa peningkatan kaar troponin T dan I berhubungan dengan dampak buruk dari penderita sindroma koroner akut . 2.2.6. ANGINA PEKTORIS TAK STABIL (APTS) APTS merupakan manifestasi akut dari penyakit arteri koroner yang spektrum kliniknya terletak antara angina stabil dan infark miokard akut ( IMA). Pusat statistik kesehatan AS tahun 1998 melaporkan bahwa lebih dari 1 jura pasien APTS dirawat di rumah sakit setiap tahunnya, 6- 8% di antara mengalami infark miokard non fatal atau meninggal dalam satu tahun pertama setelah didiagnosis. APTS umumnya disebabkan oleh distrupsi plak aterosklerotik yang kemudian diikuti oleh agregasi trombosit, pembentukan trombus dan penurunan aliran darah koroner (60). Spektrum klinik dari APTS sangat heterogen, oleh karena itu Braunwald mengelompokan APTS berdasarkan beratnya manifestasi klinis, keadaan klinis saat masuk APTS dan ada atau tidaknya tanda- tanda episode iskemik ( tabel 5). Diagnosis ditegakan berdasarkan ge jala klinis, pemeriksaan klinis dan elektrokardiografi saat masuk rumah sakit serta pengukuran petanda biokimiawi. Tabel 4. Stratifikasi sindroma koroner akut . Kelompok Resiko Gambaran penderita Tinggi Nyeri dada yang berkepanjangan (>20menit) Edema paru yang berhubungan dengan iskemia Angina at rest dengan perubahan ST segmen >1 mm Angina dengan mitral insuff yang baru atau memburuk Angina dengan S3 atau ronki baru atau memburuk Angina dengan hipotensi Peningkatan kadar troponin T atau I Sedang Rest angina yg lama (>20 menit) dengan kecendrungan PJK yang sedang maupun berat. Resting angina (>20 menit atau berkurang dengan nitrogliserin sublingual ). Nocturnal angina Angina dengan perubahan gelombang T Onset baru dari angina CCSC II atau IV dalam waktu 2 minggu terakhir dengan kecendrungan PJK. Q patologis atau depresi segmen ST <1 mm pada multiple lead ( anterior, inferior, lateral). Usia > 65 tahun

©2003 Digitized by USU digital library

9

Rendah

Adanya peningkatan angina baik dalam frekuensi, berat dan lamanya. Angina yang tercetus dengan treshold rendah. Onset baru dari angina dengan waktu 2 minggu sampai 2 bulan sebelum terjadi. EKG normal atau tidak berubah

Tabel 5 . Klasifikasi angina pektoris tak stabil

BERATNYA PENYAKIT Kelas I : Onset baru, berat atau adanya akselerasi angina Angina dengan durasi kurang dari 2 bulan, berat atau terjadi 3 kali atau Lebih dalam 1 hari, angina yg secara nyata lebih sering dan dipressipitasi Oleh aktifitas ringan. Tidak ada nyeri saat istirahat dalam 2 bulan terakhir. Kelas II : Angina saat istirahat, Sub akut. Pasien dengan episode angina saat istirahat 1 kali atau lebih dalam 1 bulan yang lalu, tetapi bukan dalam 24 jam terakhir. Kelas III : Angina saat istirahat, Akut. Episode angina 1 kali atau lebih dalam 48 jam terakhir. KEADAAN KLINIS Kelas A : APTS sekunder. Kelas B : APTS Primer. Kelas C : APTS paska infark ( 2 minggi setelah infark). 2.2.7. PERANAN PEMERIKSAAN TROMPONIN T (TnT) PADA APTS 2.2.7.1. Nilai diagnostik pemeriksaan TnT pada APTS TnT adalah protein pengatur kontraktil jantung dan secara normal kadarnya tidak terdeteksi dalam sirkulasi darah. TnT baru terdeteksi jika terjadi kerusakan sel miokard, sehingga merupakan petanda kerusakan miokard yang sensitif dan spesifik. Pemeriksaan TnT dapat membantu menegakkan diagnosa Angina Pektoris Tak Stabil (62,64). Rottbauer W dkk (64) meneliti infark kecil akut atau kerusakan miokard minor, dan didapatkan hasil bahwa penderita angina pektoris tak stabil 30% menunjukan kenaikan kadar TnT walaupun tidak terjadi IMA ( pemeriksaan enzim jantung dan EKG tidak menyokong) Seino Yoshihiko dkk (66) pada penelitiannya tentang kerusakan miokard minor pada 22 penderita angina pektoris tak stabil kelas III yang diukur setiap 2- 12 jam selama 2- 4 hari sejak dirawat di ICCU menyimpulkan bahwa TnT merupakan petanda yang paling sensitif untuk mengindentifikasikan kerusakan sel jantung dibandingkan dengan CK, CKMB, mioglobulin dan myosin chain light 1. bakker AJ (67) mendapatkan 37% penderita angina pektoris tak stabil mengalami kenaikan kadar TnT. Efthymiadis A dkk 968) mendapatkan kadar CKMB, SGOT.LDH, dan TnT selalu normal 2.2.7.2. Nilai Prognostik Pemeriksaan Troponin T Pada APTS Peningkatan kadar TnT merupakan faktor prediksi yang kuat meningkatnya mortalitas (24). Gokhan, Gok dan Kaptanoglu (69) mendapatkan 34% penderita angina akut saat istirahat mengalamai kenaikan kadar TnT dan setengahnya berkembang menjadi IMA. Sedangkan pada 50% penderita IMA tersebut meninggal dalam perawatan. Sementara penderita angina akut saat istirahat dengan kadar TnT yang tidak terukur hanya 4,1% yang berkembang menjadi IMA. Hamm CW dkk (63) melaporkan penelitian terhadap 109 orang penderita angina pektoris yang stabil yang dilihat kadar CK, CKMB, dan troponin T setiap 8 jam selama 2 hari setelah

©2003 Digitized by USU digital library

10

dirawat, troponin T dapat terdeteksi rata- rata pada kadar 0,78 ng/ml pada 39% penderita angina akut saat istirahat. Hanya 3 dari penderita tersebut mengalami peningkatan CK-MB. Dari 33 penderita yang troponin T meninggi, 30% mengalami infark miokard. Sebaliknya hanya 1 dari 51 penderita angina saat istirahat dengan troponin T negatif yang berkembang menjadi IMA. Penilaian resiko pada saat awal sangant diperlukan pada penderita dengan penyakit koroner tak stabil, misalnya APTS. Beberapa penelitian dengan jumlah sampel yang sedikit telah menunjukan bahwa penderita APTS dengan peningkatan kadar TnT mempunyai prognosis jangka pendek maupun jangka panjangyang buruk. Bertil Lindahl dkk dalam kelompok studi FRISC meneliti 976 penderita APTS dan menemukan adannya peningkatan resiko serangan jantung jika terjadi peningkatan nilai troponin T pada 24 jam pertama. Jika kadar troponin T kurang dari 0,06 ng/ml mempunyai resiko rendah (4,3%) ; 0,06- 0,18 ng/ml mempunyai resiko sedang (10,5%) dan jika lebih dari 0,18 ng/ml mempunyai resiko tinggi untuk menadi IMA atau kematian penyakit jantung. Penelitian ini menunjukan bahwa nilai troponin T maksimal pada 24 jam pertama dapat disajikan sebagai petunjuk prognostik bebas dan penting. Stubbs dkk juga mendapatkan hasil yang sama, dari 460 penderita nyeri dada dan diikuti selama rata- rata 3 tahun, 183 penderita terbukti APTS. Sebanyak 34% penderita APTS tersebut mempunyai troponin T positif, dan secara bermakna kematian jantung dan IMA berbeda dari yang troponin T nya negatif. 2.2.8. INFARK MIOKARD AKUT 2.2.8.1. Morfologi aterosklerosis koroner Aterosklerosis adalah suatu bentuk aterosklerosis yang terutama mengenai lapisan intima dan umumnya terjadi pada arteri muskuler ukuran besar dan sedang serta merupakan kelainan yang mendasari penyakit jantung iskemik. Kerusakan vaskuler dan pembentukan trombus merupakan kunci dari proses dan progresifitas aterosklerosis serta patogenesis sindrom koroner akut. Kerusakan vaskuler dimaksud di klarifikasikan atas 3 tipe, yaitu Tipe 1 bila terjadi gangguan fungsi sel endotel tetapi tanpa terjadi perubahan substansi morfologi, tipe 2 terjadi kerusakan endotel dan intima dengan lamina interna elastik yang masih utuh dan tipe 3 kerusakan endotel dengan intima & media (45). 2.2.8.1.1. Lesi dini Adanya perubahan ultrastruktur yang terjadi pada aterosklerosis spontan, khususnya lesi dini telah dilaporkan oleh Stary. Pada penelitian otopsi dari artei koroner dan aorta pada orang- orang usia muda telah ditemukan adanya evolusi secara mikroskopis dari aterosklerosis. Hal ini akibat adanya kerusakan vaskuler tipe 1 berupa kerusakan sel endotel yang diakibatkan gangguan aliran darah atau faktor lainnya sehingga makrofag atau sel busa ditemukan dalam intima, yang me rupakan tanda dini penumpukan lipid ( Stary I). oleh Stary lesi ini di klarifikasikan atas : Stary I bila ditemukan adanya makrofag ataus sel busa dalam intima, Stary II bila ditemukan juga sel- sel otot polos yang mengandung lipid dan tersebarnya lipid ektraseluler, Stary III tampak adanya inti lipid ekstra seluler yang multipel sedangkan Stary IV bila adanya ateroma (50) 2.2.8.1.2. Progresi aterosklerosis Lesi dini aterosklerosis lebih cepat mengalami progresi pada mereka dengan berbagai faktor resiko koroner. Pada beberapa plak dapat terjadi progresi secara lambat, tetapi ada juga yang cepat.adanya fisura minor yang terjadi pada lapisan lemak atau plak ateroma akan diikuti dengan pembentukan trombus da

©2003 Digitized by USU digital library

11

terjadinya fibrosis. Selanjutnya bila terjadi fisura plak yang dalam atau ulseri maka dapat terjadi oklusi trombus dan timbul sindrom koroner akut 2.2.9. Patofisiologi iskemi dann infark miokard IMA adalah kematian otot jantung akibat suplai oksigen yang tidak mencukupi (tidak adekuat) dalam waktu yang cukup lama . Pada umumnya terjadi oklusi trombosis pada arteri koroner mengalami plak ateromatoes. Trombosis merupakan faktor utama terjadinya iskemi akut baik pada angina pektoris tak stabil maupun IMA. IMA merupakan keadaan berat yang terjadi akibat oklusi mendadak pembuluh koroner atau pun cabangnya yang mengalami skerosis. Oklusi tersebut biasanya disebabkan oleh adanya perubahan pada plak ateroma yang menyebabkan tertutupnya lumen arteri koronaria secara mendadak (70,71). Keberhasilan terapi trombolitik sangat me ndukung anggapan tersebut, walaupun dikatakan bahwa trombosit bukan satu- satunya faktor yang berperan dalam terjadinya IMA ( 29). Dilaporkan bahwa hampir 90% penderita IMA transmural (510%) sulit dibuktikan adanya trombus sebagai penyebabnya dan pada keadaan ini spasme arteri koroner terlibat di dalamnya (71). Patofisiologi IMA nontransmural ( subendokardial) belum banyak diketahui, atau adanya trombosis pada arteri koroner kecil yang telah mengalami aterosklerosis berat. Selain itu dapat pula diakibatkan adanya spasme koroner. Patogenesis terjadinya trombosis melibatkan banyak faktor, antara lain vasoplasme akibat hilangnya endothelium dependent dilator mechanism pada aterosklerosis. Demikian pula menurunnya sintesis faktor-faktor endoterial yang beraksi sebagai antikoagulan seperti tisue plasmibogen activator dan prostasiklin paa aterosklerosis, juga ikut berperan dalam terbentuknya trombosis. Juga berbagai penelitian klinik telah memperlihatkan adanya hubungan antara lipoprotein dan trombosis. Terjadinya oklusi koroner selama 20 menit akan diikuti dengan terjadinya nekrosis miokard ( Infark Miokard). Adanya nekrosis miosit akan menyebabkan kehilangan intergitas membran sel dan makromolekul intraselluler akan berdifusi ke dalam jaringan interstitial miokard dan selanjutnya akan masuk ke dalam mikrovakskuler dan limfatik kardiak. Perubahan morfologi akan terjadi dalam 12 jam pertama setelah infark miokard berupa inflamasi dan infiltrasi seluler, kemudian setelah 24 jam daerah infark akan nampak pucat atau kekuningan dengan batas yang jelas, yang pada pemeriksaan histologik ditemukan adanya infiltrasi lekosit . 2.2.10. APLIKASI KLINIK PEMERIKSAAN TROPONIN T PADA IMA Langkah pertama dalam diagnosis IMA adalah anamnesis dan pemeriksaan fisik, selanjutnya dikomfirmasikan dengan pemeriksaan EKG dan serum CK isoenzim. Tapi pemeriksaan serum CK isoenzim ini dapat digunakan untuk diagnosis IMA jika tanpa disertai kerusakan otot skelet. Temuan EKG pada penderita dengan dugaan IMA sering tidaknya membantu, namun elekrokardiogram yang tidak spesifik dapat ditemukan palig sedikit pada 8% dari seluruh IMA dan indeterminate pada 12% penderita, terutama karena adanya kelainan left bundle branch block (LBBB) atau gelombang ST-T non spesifik. Untuk mendiagnosis suatu IMA dapat dilakaukan pemeriksaan enzim jantung sitolitik. Keuntungan dari pemakaian protein jantung miofibril sebagai cardio spesific isoform, konsentrasinya intraseluler yang tinggi dan pelepasannya secara kontinyu dari miokard yang mengalami infark (5,30,38,72,73). Hamm dkk (23) pertama kali membandingkan nilai troponin T (+) ( cut off 0,2 ng/ml) dengan CKMB paa pasien sindrom koroner akut dan mengikutinya adanya serangan jantung seperti kematian, IMA atau perlunya segera revaskulerisasi dan

©2003 Digitized by USU digital library

12

menyimpulkan tro ponin T (+) merupakan petanda yang sensitif untuk miokard infark dari pada CKMB. Troponin adalah merupakan kompleks tropomiosin yaitu kelompok protein pada otot jantung, kompleks tersebut diperlukan dalam prosesaktivasi filamen tipis otot jantung yang terjadi selama kontraksi otot, sehingg dapat dibedakan dengan otot rangka jika dibanding dengan CKMB, dengan pemeriksaan ini TnT ini diagnostik menjadi lebih efektif pada rusaknya otot jantung minimal yang irreversible. Pada IMA, TnT dalam serum mulai meningka t dalam 1 sampai 10 jam ( median 4 jam) setelah serangan IMA dan pada beberapa penderita yang tidak diperiksa pada permulaan infark (5,24,74) Bekker dkk (67) mendapat sensitifitas troponin T adalah 74% sedangkan spesifitasnya 84% pada 6 jam sesudah nyeri dada pada IMA. Lee dkk (24) mendapatkan sensitifitas troponin T 87% dan spesifitas 84% sesudah 8 jam dari gejala nyeri dada. Katus dkk (5) mendapatkan spesifitas dan sensitifitasnya 89% pada pasien IMA dengan bersamaan ( superimposed) kerusakan otot rang ka dibanding dengan CKMB hanya 63%. Perkembangan terakhir init tampaknya lebih ideal dalam mengatasi kekurang tepatan diagnosa infark yang tradisional. Studi FRISC melakukan penelitian pada penderita dengan gejala yang spesifik untuk IMA dan hasil pemeriksaan cTnT (+) dalam 24 jam, mereka menyimpulkan dengan troponin T (+) merupakan prediktor bebas untuk resiko kematian jangka pendek dan serangan jantung meningkat. Hamm dkk meneliti pada 315 penderita sindrom koroner akut dengan troponin T (+) pada 22% pasien dan jumlah kematian dalam 30 hari pada troponin T (+) mencapai 22%. Studi TRIM pada 516 penderita sindrom koroner akut dengan troponin T (+) pada 48% pasien, jumlah kematian dalam 30 hari mencapai 11%. Studi FRISC I pada 823 pasein sindrom koroner akut dengan troponin T (+) pada 66% penderita, jumlah kematian dalam 5 bulan mencapai 16,7%. Demikian juga oleh Ottani dkk pada 74 penderita sindrome koroner akut dengan troponin T (+) pada 24 % penderita, jumlah kematian selama follow up 30 hari mencapai 17% dari troponin T (+) . 2.2.10.1. NILAI PROGNOSTIK PEMERIKSAAN TROPONIN T PADA IMA Pada IMA pola troponin T muncul dalam darah bergantung pada lamanya sumbatan vaskuler dan kadar troponin dalam darah bergantung pada jumlah kerusakan yang terjadi. Kadar troponin T awal pada waktu pertama kali diperiksa mempunyai nilai prognostik pada penderita IMA (5). Stubbs dkk (75) mengikuti 240 penderita IMA selama rata- rata 3 tahun dan mendapatkan kesimpulan bahwa kadar troponin T 0,2 ng/ml atau lebih mempunyai resiko untuk IMA berulang atau bahkan kematian lebih tinggi. Ohman dkk (15) meneliti 855 penderita IMA yang datang kurang dari 12 jam sejak nyeri dada, dan mendapatkan hasil bahwa troponin T merupakan variabel kematian kurang dari 30 hari yang terkuat dan diikuti oleh EKG serta CK- MB. Wu dkk (35) secara meta- analisis mendapatkan bahwa konsentrasi troponin T yang abnormal berkaitan dengan peningkatan resiko prognosis yang buruk dibanding dengan jika kadarnya normal. Troponin T merupakan petanda faktor resiko bebas yang kuat pada penderita IMA.

©2003 Digitized by USU digital library

13

BAB – III PENELITIAN SENDIRI

3.1. LATAR BELAKANG PENELITIAN : Dewasa ini petanda biokimia untuk menilai kerusakan sel otot jantung pada penderita sindrom koroner akut semakin berkembang. Sindrom koroner akut merefleksikan proses fisiologis dari iskemia miokard akut, dan lebih penting dari sudut pandang klinik, merupakan suatu ‘continuum’ (proses berkelanjutan) resiko bagi penderita dengan nyeri dada. Selama tiga dasa warsa terakhir, iskemia miokard akut ditentukan sebagai penderita infark miokard atau non infark miokard, berdasarkan kriteria badan kesehatan dunia (WHO), dimana diagnosis infark miokard ditegakkan dengan adanya dua dari tiga kriteria : gejala klinis & nyeri dada yang menjurus ke miokard infark, perubahan elektrokardiografi (EKG), dan parameter biokimiawi ( misalnya peningkatan CK- MB). Pada kriteria pertama, pengamatan seksama pada gejala klinik merupakan hal yang sangat penting, namun dari data statistik, gejala tidak s pesifik terdapat pada sepertiga penderita, terutama pada penderita diabetes dan usia lanjut, yang umumnya menunjukan gejala iskemia ayng tiddak khas. Kriteria kedua, yaitu adanya perubahan pada EKG, merupakan piranti diagnosis infark miokard yang penting, disamping untuk menentukan terapi trombolitik. Namun demikian, EKG mempunyai sensitifitas yang rendah, hanya sekitar 50%. Kriteria ketiga adanya peningkatan pada parameter biokimia, yang pada masa lalu digunakan aktifitas enzim CK- MB sebagai ‘baku emas enzim’ tetapi karena keterbatasan spesifisitas, telah dicoba untuk memakai petanda biokimiawi yang lain seperti mioglobin, troponin. Peningkatan troponin T dalam plasma merupakan petanda spesifik untuk kerusakan sel otot jantung dan lebih sensitif dari pada pemeriksaan konvensional CK dan CK- MB. Mengapa peningkatan troponin T merupakan faktor prognostik yang kuat dalam kasus- kasus sindroma koroner akut ? Banyak data menduga bahwa pasien-pasien dengan peningkatan sedikit nilai troponin T , dibanding dengan troponin T yang tidak meninggi, didapati jumlah yang besar dari trombus koroner, lesi yang kompleks dan terganggunya aliran arteri koroner, mengikuti sistim trombosis pada penelitian sindroma koroner akut. Rao dkk (76) meneliti pada 50 penderita infark miokard akut dengan peningkatan troponin T (>0,1 ng/ml) dan diukur fraksi ejeksi ventrikel kiri dengan ekokardiografi atau radionuclide left ventriculography ( kardiologi nuklir). Kesimpulannya bahwa pasien infark miokard akut dengan troponin T >2,8 ng/ml merupakan sebagai prediktor sudah terjadi penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri ( <40%) setelah serangan pertama troponin infark miokard akut. Heeschen C dkk (77) meneliti 853 penderita APTS dengan troponin T meninggi hanya pada 30,9% penderita. Ke mudian dilakukan angiografi pada penderita dengan troponin T yang meninggi dan negatif. Ternyata didapatkan 72% mengalami lesi yang kompleks pada troponin T yang meninggi dibanding dengan 53,9% pada troponin negatif (p<0,001) American Heart Association (AHA) memperkirakan 1,5 juta penduduk Amerika mengalami serangan jantung setiap tahunnya dan kira- kira 34.000 dari kasus tersebut dikeluarkan dari rumah sakit karena tidak diketahui diagnosanya, dan kira kira 25% sering meninggal selama 24 jam pertama dan sebagian dari kasus ini diagnosanya tidak terdeteksi (56). Angka kematian dan komplikasi dari penderita ini mewakili > 20% kejadian malpraktek pada kedokteran gawat darurat. Jelas bahwa diperlukan petanda biokimiawi sebagian piranti diagnosis dan menilai beratnya kerusakan sel otot jantung pada penderita dengan nyeri dada akut, sehingga para klinisi juga akan meningkatkan kewaspadaan dalam manajemen pelayanan bagi penderita dengan lebih baik, yang akhirnya dapat menurunkan mortalitas.

©2003 Digitized by USU digital library

14

Newby dkk (42) melakukan penilaian pada penderita sindrom koroner akut dengan membandingkan nilai TnT (+) dan TnT (- ) saat dirawat dan menilai kematian dini (30 hari) dan kemudian kematian timbul belakangan (31- 365 hari). Hasil penelitiannya dengan 260 penderita TnT (+) saat dirawat, jumlah kematian dalam 30 hari yaitu 10,4 % dan kematian pada 31-365 hari 4,1% . pada penderita TnT (- ) angka kematiannya 0%. Hasil ini menyimpulkan jumlah kematian berbeda antara nilai TnT (+) dengan TnT (- ) saat dirawat yang terjadi selama 30 hari, nilai cTnT juga dapat mengenali kelompok pasien resiko tinggi untuk kematian yang timbul belakangan. Dari uraian diatas penulis berketepatan hati ingin meneliti pada penderita sindrom koroner akut dengan mengukur troponin T dan hubungannnya dengan perjalanan klinis selama dirawat di rumah sakit. Dengan demikian mungkin kita akan melakukan tindakan yang lebih bai pada awal pengobatan penderita sindroma koroner akut yang mempunyai resiko tinggi untuk kematian dan kita lebih hati- hati pada penderita sindrom koroner akut dengan nilai troponin T meninggi. 3.2. Tujuan Penelitian : Menilai hubungan antara kadar troponin – T dengan beratnya gambaran klinis penderita sindroma koroner akut. 3.3. Perumusan Masalah : Apakah terdapat hubungan kadar troponin – T pada penderita sindroma koroner akut dengan beratnya gambaran klinis penderita selama dirawat di rumah sakit? 3.4. Manfaat Penelitian : Dengan mengukur kadar troponin – T kita dapat meramalkan beratnya gambaran klinis penderita sindroma koroner akut. 3.5. Hipotesa : Terdapat hubungan antara kadar troponin – T dengan beratnya gambaran klinis penderita sindroma koroner akut. 3.6. Bahan dan cara : 3.6.1. Desain penelitian Penelitian bersifat deskriptif analitik terhadap seluruh penderita yang memenuhi kriteria untuk sindroma koroner akut . 3.6.2. Waktu dan tempat penelitian Penelitian dimulai bulan Januari 2002 s/d Mei 2002 Tempat penelitian : RSUP. H. Adam Malik / RS Pirngadi Medan dan beberapa RS Swasta di kota Medan. 3.6.3. Subjek penelitian : Penderita sindroma koroner akut ( Angina Pektoris Tak Stabil, Infark non Q dan Infark Q) yang dirawat di ICU rumah sakit tersebut diatas. Kriteria inkusi : Seluruh penderita sindroma koroner akut yakni : IMA berdasarkan kriteria WHO yaitu nyeri dada, EKG yang spesifik dan peningkatan enzim jantung. APTS berdasarkan kriteria Braunwald klas II B yaitu angina saat istirahat, akut dan angina 1 kali atau lebih dalam 48 jam terakhir. -

©2003 Digitized by USU digital library

15

Kriteria ekslusi : Penderita infark lama. Tak bersedia diikut sertakan dalam penelitian. Prosedur penelitian : Dilakukan anamnese mengenai keluhan nyeri dada dan permulaan dan lama timbulnya nyeri dada dan anamnese lain yang ditujukan untuk mengetahui faktor resiko, kemudian dilakukan pemeriksaan fisik, pemeriksaan EKG dan laboratorium enzim jantung ( CKMB dan troponin T ) . Seluruh penderita diawasi sejak dari unit gawat darurat hingga ICU/ICCU dan keruang rawat biasa. Pemantauan meliputi klinis dan obat - obatan yang digunakan selama dirawat di ICU/ICCU, komplikasi, EKG, cut off point nilai troponin T, CK- MB, faktor resiko. Analisa EKG : Seluruh penderita segera dilakukan pemeriksaan EKG ( 12 sandapan), kemudian dianalisa perubahan EK berupa : ST segmen elevasi, ST segmen depresi atau gelombang T inversi. ST segmen elevasi dan ST depresi jika ≥ 0,1 mv didaerah limb lead, atau ≥0,2 mv didaerah precordial lead. Pemeriksaan enzim jantung dan troponin T : Sampel darah vena diambil segera mungkin setelah pasien masuk ( umumnya di UGD) untuk memeriksa CKMB dan troponin T. Reagen troponin T yang digunakan adalah produksi Boehringer Mannheim. Untuk pemeriksaan troponin T menggunakan immunometric one- step sandwich ( ELISA/1 step sanwich assay ) dengan tehnik Steptavidin, kit yang memproduksi oleh Boehringer Mannheim. Uji ini dilakukan dengan Microprocessor – controlled photometer ( ES 22, Boehringer Mannheim) dan menggunakan tabung-tabung berlapis Streptavidin sebagai fase solid dan 2 monoklonal anti human cardiac troponin T antibodies. Troponin – T meninggi jika >0,1 ng/ml, negatif jika <0,1 ng/ml. CKMB diukur dengan cara imunoinhibitor assay ( CKMB – NAC, Boehringer Mannheim) , nilai normal < 10 IU/L, meninggi jika ≥ 2 kali normal. Perkiraan besar sampel Jumlah sampel minimal yang diperlukan dalam penelitian adalah 28 Jumlah sampel ditentukan dengan rumus : Prevalensi TnT (+) pada penderita sindroma koroner akut 80%

z α 2 P O (1,96) x0,8x0,2 = = 27,31 d2 (0,15)2 2

Besar sampel :

n=

Dimana z α = 1,96 ; P (proporsi) = 0,8 ; Q = (1- P) = 0,2 D=presisi atau besar simpangan pengukuran yang masih dapat ditoleransi =15% α=taraf signifikasi 5% 3.6.4. Analisa data Pengelolaan data sec ara desriptif analitik Uji kai kwadrat menguji antara masing- masing variabel, dan kalau didapat salah satu n<5, dipergunakan uji Fisher Exact, menilai korelasi antarra kadar TnT dan gambaran klinis digunakan uji korelasi Spearman atau Person. Data diolah dengan memakai perangkat lunak komputer SPSS 10, dianggap bermakna bila nilai p<0,05. 3.7. HASIL PENELITIAN Data lengkap hasil penelitian pada penderita dapat dilihat pada lampiran I.

©2003 Digitized by USU digital library

16

3.7.1. Distribusi penderita menurut jenis kelamin Dari 35 penderita yang ikut dalam penelitian ini terdiri dari 28 orang laki- laki (80,0%) dan dari 7 orang wanita (20,0%). Tidak ada perbedaan bermakna antara pemeriksaan kadar troponin T dengan jenis kelamin pad apenderita sindroma koroner akut (p>0,05) (Tabel 6). Tabel 6. Hubungan pemeriksaan troponin T dengan Nilai TnT Jenis kelamin <0,1 ng/ml n % Laki-laki 3 6,6 Wanita 2 5,7 Jumlah 5 14,3 Uji Fisher Exact = 0,256

jenis kelamin. >o,1 ng /ml n % 25 71,4 5 14,3 30 85,7

Jumlah n 28 7 35

% 80,0 20,0 100,0

3.7.2. Distribusi penderita menurut umur. Umur penderita antara 39 s/d 85 tahun dengan nilai rata- rata 61,89 ± 11,35 tahun, yang paling muda umur 39 tahun, dan paling tua umur 85 tahun. Kelompok umur yang terbanyak diatas 60 tahun yaitu 19 penderita (54,3%), disusul 51- 60 tahun yaitu 10 penderita (28,6%) dan dibawah 50 tahun sebanyak 6 penderita (17,1%). Dari kelompok umur dihubungkan dengan pemeriksaan kadar troponin T, tidak dengan berbeda bermakna (p>0,05) secara statistik ( Tabel 7). Tabel 7. Hubungan pemeriksaan troponin T dengan Nilai TnT Umur <0,1 ng/ml n % <50 2 5,7 51-60 0 0,0 >61 3 8,6 Jumlah 5 14,3 Person Chi – Square = 3,480

umur. >o,1 ng /ml n % 4 11,4 10 28,6 16 45,7 30 85,7 df=2

Jumlah n % 6 17,1 10 28,6 19 54,3 35 100,0 p =0,176

3.7.3. Onset nyeri dada Dari onset nyeri dada rata- rata 13,97 ± 13,26 ( mean ± SD ) yang terbanyak dibawah 6 jam yaitu 13 penderita (37,1%), disusul pada 6 s/d 12 jam sebanyak 12 penderita (34,3%), dan lebih 12 jam yaitu 10 penderita (28,6%). Tidak ada perbedaan yang bermakna (p>0,05) berdasarkan pemeriksaan troponin T dihubungkan dengan onset nyeri dada pada penderita SKA ( Tabel 8). Tabel 8 . Hubungan pemeriksaan troponin T dengan onset nyeri dada. Nilai TnT Onset nyeri dada Jumlah <0,1 ng/ml >o,1 ng /ml ( jam) N % n % n % >6 2 5,7 11 31,4 3 37,1 6- 12 3 8,6 9 25,7 12 34,3 >12 0 0,0 10 28,6 10 28,6 Jumlah 5 14,3 30 85,7 35 100,0 Person Chi – Square = 2,804 df=2 p =0,246

©2003 Digitized by USU digital library

17

3.7.4. Gambaran EKG Gambaran EKG waktu penderita masuk terdiri dari ST elevasi saja 19 (53,3%), ST elevasi disertai gelombang Q yaitu 8 (22,8%), ST depresi 6 (17,1%), T inversi 5 (14,3%), ST depresi dan gelombang T inversi 5 (14,3%) . Dijumpai hubungan statistik yang bermakna (p<0,05) antara pemeriksaan troponin T dengan gambaran EKG pada penderita sin droma koroner akut ( Tabel 9). Tabel 9. Hubungan antara EKG dengan nilai troponin T Nilai TnT Gambaran EKG <0,1 ng/ml >o,1 ng /ml n % n % ST elevasi 0 0,0 19 54,3 ST depresi 1 2,9 5 14,3 T inversi 2 5,7 3 8,6 ST depresi + T inversi 2 5,7 3 8,6 Jumlah 5 14,3 30 85,7 Person Chi – Square = 3,480 df=2

Jumlah n % 19 54,3 6 17,1 5 14,3 5 14,3 35 100,0 p =0,176

3.7.5. Faktor resiko Faktor resiko terbanyak yaitu hipertensi ditemukan pada 29 (83%), merokok 15 (43%), obesitas 14(40%), DM 11 (31%) penderita, 4 (11,4%) penderita mempunyai resiko, 13 (37,3%) penderita mempunyai 2 faktor resiko, 17 (48,5%) penderita mempunyai 3 faktor resiko, 1 (2,9%) penderita mempunyai 4 faktor resiko. Tidak ada perbedaan yang bermakna (p>0,05) antara faktor resiko dengan nilai troponin T (Tabel 10). Tabel 10. Hubungan pemeriksaan TnT dengan faktor resiko. Nilai TnT (ng / ml) Faktor Resiko <0,1 >0,1 n % n % Hipertensi 1 2,9 1 2,9 Merokok 1 2,9 1 2,9 DM, Hipertensi 0 0,0 3 8,6 DM, Hiperkolesterol 0 0,0 1 2,9 Hipertensi, Merokok 0 0,0 2 5,7 Hipertensi, Obesitas 1 2,9 2 5,7 Hipertensi, Hiperkolesterol 0 0,0 3 8,6 Merokok, Obesitas 0 0,0 1 2,9 DM, Hipertensi, Merokok 1 2,9 2 5,7 Hipertensi, Merokok, Obesitas 0 0,0 4 11,4 DM ,Hipertensi, Hiperkolesterol 1 2,9 3 8,6 Hiperkolesterol, Merokok, Obesitas 0 0,0 2 5,7 Hipertensi, Hiperkolesterol, Obesitas 0 0,0 4 11,4 Hipertensi, Hiperkolesterol, Merokok, 0 0,0 1 2,9 Obesitas Jumlah 5 14,3 30 85,7 Pearson Chi – Square = 9,819 df=13 p=0,709

Jumlah n 2 2 3 1 2 3 3 1 3 4 4 2 4 1

% 5,7 5,7 8,6 2,9 5,7 8,6 8,6 2,9 8,6 11,4 11,4 5,7 11,4 2,9

35

100,0

3.7.6. Lokasi Infark Dari 35 penderita, gambaran EKG dapat menunjukan lokasi infark yakni : Inferior : 3 penderita (8,6%) Anterior septal : 6 penderita (17,1%)

©2003 Digitized by USU digital library

18

Natero lateral : 1 penderita (2,9%) Septal lateral : 1 penderita (2,9%) Antero septal inferior : 2 (5,7%) Antero luas : 10 penderita (26,6%) Tidak dijumpai hubungan yang bermakna troponin T (Tabel 11)

Antero inferior : 2 penderita (5,7%) Antero septal lateral : 9 (25,7%) Inferior septal lateral : 1 ( 2,9%) Inferior septal lateral : 1 ( 2,9%) (p>0,05) antara lokasi infark dengan nilai

Tabel 11. Lokasi lesi infark dengan nilai troponin T Nilai TnT (ng / ml) Lokasi Infark <0,1 >0,1 n % n % Inferior 0 0,0 3 8,6 Antero Inferior 0 0,0 2 5,7 Antero Septal 0 0,0 6 17,1 Antero lateral 0 0,0 1 2,9 Septal lateral 0 0,0 1 2,9 Antero septal lateral 3 8,6 6 17,1 Antero septal inferior 0 0,0 2 5,7 Inferior septal lateral 1 2,9 0 0,0 Antero luas 1 2,9 9 25,7 Jumlah 5 14,3 30 85,7 Pearson Chi – Square = 11,317 df=8 p=0,184

Jumlah n 3 2 6 1 1 9 2 1 10 35

% 8,6 5,7 17,1 2,9 2,9 25,7 5,7 2,9 28,6 100,0

3.7.7. Komplikasi Berdasarkan tabel 12, dari 35 penderita sindroma koroner akut, 30 (85,7%) penderita mempunyai nilai troponin T yang meninggi, dijumpai 23 (76,7%) mengalami komplikasi dari troponin T yang meninggi. Komplikasi penderita adalah syok 19 ( 54,3%), meninggal 6(17,1%), ventrikel takikardi 5 (14,3%), edema paru 3 (9,6%), bradiaritmia, AV blok dan ventrtikel ekstra sistol masing- masing 2 (5,7%). Namun secara statistik tidak ada perbedaan yang bermakna (p>0,05) antara nilai troponin T>0,1 ng/ml dengan komplikasi penderitasindroma koroner akut. Tabel 12. Hubungan nilai troponin T dengan komplikasi Nila i TnT (ng / ml) Komplikasi <0,1 >0,1 n % n % Syok 0 0,0 5 14,3 Edema Paru 0 0,0 1 2,9 Bradiaritmia 1 2,9 1 2,9 Ventrikel ekstra sistol 0 0,0 2 5,7 Syok, AV Blok 0 0,0 2 5,7 Syok, meninggal 0 8,6 5 14,3 Syok, edema paru 0 0,0 2 5,7 Tidak ada komplikasi 3 8,6 7 20,0 Ventrikel takikardia 0 0,0 1 2,9 Ventrikel takikardia, syok ,meninggal 0 0,0 1 2,9 Syok, Ventrikel takikardi 1 2,9 3 8,6 Jumlah 5 14,3 30 85,7 Pearson Chi – Square = 11,317 df=8 p=0,184

©2003 Digitized by USU digital library

Jumlah n 5 1 2 2 2 5 2 10 1 1 4 35

% 14,3 2,9 5,7 5,7 5,7 14,3 5,7 28,6 2,9 2,9 11,4 100,0

19

3.7.8. Sindroma koroner akut dengan nilai Troponin T Dijumpai hubungan yang bermakna (p<0,05) antara nilai troponin T>0,1 ng/ml dengan terjadinya kerusakan otot jantung pada penderita sindroma koroner akut ( Tabel 13). (Tabel 13). Hubungan pemeriksaan tropoinin T dengan sindroma Kororner Akut Nilai TnT (ng / ml) Jumlah Sindroma Koroner Akut <0,1 >0,1 n % n % n % Angina Pektoris Tak Stabil 5 14,3 11 31,4 16 45,7 Infark Miokard Akut (Q/non Q) 0 0,0 19 54,3 19 54,3 Jumlah 5 14,3 30 85,7 35 100,0 Fisher’s Exact Test = 0,013 Dari tabel 13 diatas sensitifitas dan spesifitas diagnostik sindroma koroner akut berdasarkan pemeriksaan nilai troponin T, masing- masing 100% dan 100%. Berdasarkan pemeriksaan nilai CKMB yang bermakna (CKMB >2 kali normal) dengan diagnostik sindroma koroner akut ada hubungan yang bermakna (p<0,05) dengan terjadinya kerusakan otot jantung ( Tabel 14). Tabel 14. Hubungan antara jenis sindroma koroner akut dengan nilai CKMB Nilai TnT (ng / ml) Jumlah Sindroma koroner akut <0,1 >0,1 n % n % n % Angina 13 37,1 3 8,6 16 45,7 Infark Miokard akut (Q/non Q) 6 17,1 13 37,1 19 54,3 Jumlah 19 54,3 16 45,7 35 100,0 Fisher’s Exact Test =0,006 Dari tabel diatas, sensitifitas dan spesifitas diagnostik sindrome koroner akut berdasarkan pemeriksaan CKMB masing- masing 68,4% dan 81,3%. Berdasarkan uji korelasi Spearman antara troponin T yang meninggi dengan nilai CKMB didapatkan r = 0,209 dan p = 0,228. sehingga berdasarkan penelitian ini tidak ada korelasi antara pemeriksaan CKMB dengan troponin T yang meninggi pada penderita sindroma koroner akut.

BAB IV PEMBAHASAN Di Amerika Serikat kematian akibat penyakit jantung banyak dijumpai pada kelompok umur 35- 65 tahun ( kelompok umur produktif). Pada penelitian ini, kelompok umur terbanyak diatas 60 tahun, sedangkan ayng meninggal juga dijumpai diatas umur 60 tahun. Dari data dasar penelitian ini pada variabel umur, jenis kelamin, faktor resiko, lokasi infark tidak dijumpai perbedaan bermakna secara statistik dengan nilai troponin T >0,1 ng/ml. namun berdasarkan penelitian TIMI II, disebutkan bahwa lesi infark anterior pada gambaran EKG mempunyai prognosa jelek. Dari penelitian ini berdasarkan lokasi lesi infark dari 6 penderita yang meninggal dengan troponin T>0,1 ng/ml yaitu pada daerah anterior 5 (14,2%) dan 1 ( 2,9%) lokasinya di interior.

©2003 Digitized by USU digital library

20

Demikian juga terhadap onset nyeri dada pada penelitian ini rata-rata 13,97± 13,26, secara uji statistik tidak berbeda bermakna, namun berrdasarkan sensitifitas dan spesifitas diagnostik berdasarkan troponin T>0,1 ng/ml didapatkan masingmasing 100%. Zimmerman dkk (39) dengan pemeriksaan TnT >0,1 ng/ml mendapatkan sensitifitas dan spesifitas penderita miokard infark dengan onset nyeri dada 14 jam adalah 84,9 % dan 96,1%. Dari gambaran EKG didapatkan, 19 (54,3%) penderita dengan ST elevasi didapatkan seluruhnya pemeriksaan troponin T>0,1 ng/ml, sedangkan 6 penderita dengan ST depresi, terdiri dari 5 (14,3%) penderita dengan troponin T>0,1 ng/ml, 1 (2,9%) penderita TnT <0,1 ng/ml. inversi gelombang T dijumpai pada 5 penderita (14,3%) terdiri dari 3 (8,6%) penderita dengan TnT >0,1 ng/ml, 2 (5,7%) penderita dengan TnT <0,1 ng/ml. Gabungan ST depresi dan inversi gelombang T juga ditemukan pada 5 penderita, terdiri dari 3 (14,3%) penderita dengan TnT>0,1 ng/ml, 2 (5,7%) penderita dengan TnT <0,1 ng/ml. secara uji statistik ada hubungan antara pemeriksaan nilai troponin T >0,1 ng/ml dengan perubahan EKG. Demikian juga dilaporkan oleh Katus dkk sirkulasi troponin T>0,1 ng/ml berhubungan bermakna terhadap adanya perubahan gambaran EKG yaitu adanya gelombang ST reversible atau gelombang T (p<0,005). Namun pada penelitian ini selama masa rawatan semua penderita yang secara EKG dijumpai ST elevasi ( diagnosa IMA) dengan nilai troponin T>0,1 ng/ml, tidak ditemukan komplikasi kematian, hal ini mungkin karena cepatnya pengobatan dan perhatian yang serius selama masa rawatan dan lokasi lesi, derajat besarnya penyumbatan dan a da tidaknya sirkulasi kolateral. Sedangkan perubahan EKG ST depresi dan inversi gelombang T (non ST segment elevasi) dan pemeriksaan TnT >0,1 ng/ml, ditemukan komplikasi yang fatal (kematian) 6 (17,1%) penderita. Hal ini juga disebutkan pada penelitian GUSTO II b paa penderita dengan perubahan EKG ST depresi dan T inversi, serta ST elevasi bersamaan dengan ST depresi mempunyai prognosa yang jelek (53,79) Dari 35 penderita sindroma koroner akut penelitian ini, dijumpai 30 (85,7%) nilai troponin T>0,1 ng/ml, dan dari troponin T>0,1 ng/ml didapatkan 23 (76,7%) mengalami komplikasi. Komplikasi terbanyak dengan troponin T > 0,1 ng/ml, pada penelitian ini selama dirawat adalah syok yaitu pada 19 (76%) penderita, disusul dengan kematian pada 6 (17,1%) penderit dimana nilai troponin T yang meninggal semua >2 ng/ml, sedangkan penderita dengan TnT <0,1 ng/ml tidak ada mengalami komplikasi yang fatal. Hanya 12 dari 30 penderita nilai troponin T>0,1 ng/ml yang dapat dilakukan ekokardiografi, dijumpai 9 penderita nilai ejeksi fraksi <40%. Goldman dkk (78) dari 351 penderita APTS didapatkan 36% dengan troponin T>0,1 ng/ml, kemudian 30 hari setelah keluardari rumah sakit, ternyata penderita dengan troponin T>0,1 ng/ml tersebut didapatkan insiden kardiak ( kematian, IMA) lebih tinggi dibanding dengan troponin T<0,1 ng/ml (6,4% vs 0,4%, p <0,01). Dan hasil angiografi dengan troponin T>0,1 ng/ml tersebut didapatkan 69% yang diperlukan untuk tindakkan revaskularisasi (PTCA / Stenting atau CABG). Disebutkan bahwa angina pektoris tak stabil (APTS) adalah fase kritis dari penyakit jantung koroner dan akan meningkat resiko terjadinya IMA dan kematian, terutama 72 jam setelah timbulnya gejala. Dari penelitian post mortem penderita APTS ditemukan adanya erosi atau ruptur fibrous kap dari plak aterosklerosis pada kejadian awal. Pemaparan plak yang berisi kolagen dan komponen lain dari dinding pembuluh darah aka membentuk trombus intra koroner. Ohman dkk dari penelitian dengan skala yang lebih besar yaitu 801 penderita SKA didapatkan troponin T meninggi 33% dan setelah 30 hari keluar dari rumah sakit, kematian dijumpai pada 16% dari troponin T yang meninggi. CAPTURE trials juga dari 890 penderita SKA (24% troponin T meninggi), kematian setelah 1 bulan ditemukan sebanyak 15% dari troponin T (+). Lusher dkk meneliti pada 516 penderita SKA (48% troponin T meninggi), kematian

©2003 Digitized by USU digital library

21

setelah 1 bulan keluar dari rumah sakit 11% dari troponin T (+) . Newby dkk (42) mendapatkan komplikasi kematian dengan troponin T (+) dan troponin Y(- ) setelah 30 hari keluar dari rumah sakit yaitu 4,1 % vs 1,3%. Pada beberapa penelitian yang lain mengenai jumlah kematian dan serangan ulangan yang timbul dalam 45 hari sampai dengan 6 bulan, lebih tinggi dijumpai pada penderita troponin T(+) dibanding troponin T(- ) Hamm CW dkk menemukan bahwa insiden infark miokard dan kematian berbeda secara bermakna antara kelompok troponin T(+) dan troponin T (- ) . telah dibuktikan bahwa penderita APTS yang mempunyai kadar troponin T meninggi lebih mungkin terjadi IMA atau meninggal selama perawatan rumah sakit. Demikian juga pada penelitian ini didapatkan kematian yang lebih tinggi pada kelompok APTS dibanding IMA selama masa perawatan dengan troponin T (+). Sehingga pemeriksaan ini dapat mendeteksi penderita APTS yang mempunyai prognosa jelek. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Seino dkk menemukan uji troponin T (+) pada 64% (14 dari 22) penderita APTS. Dari 14 penderita troponin T (+), 8 (57,15) penderita insiden kardiak, dimana 6 penderita mengalami kematian. Katus pada penelitiannya mendapatkan bahwa nilai troponin T (+) pada APTS antara 0,55 – 3,1 ug/dl berhubungan dengan stenosis koroner >75% pada penderita. Rentang yang lebar ini sesuai dengan adanya perbedaan derajat kerusakan sel miokard akibat iskemi yang terjadi pada APTS yang menimbulkan deintegrasi sel. Makin tinggi kadar troponin T yang beredar dalam darah, ,menunjukan makin banyak sel yang nekrosis (mikro infark) Sehingga pemeriksaan troponin T memudahkan pada klinisi untuk mengambil keputusan apakah penderita SKA segera dilakukan pemeriksaan diagnosa dengan angiografi koroner untuk menentukan tindakan angioplasti atau bedah pintas koroner segera untuk menyelamatkan miokard dari kerusakan yang lebih luas. Dari 35 penderita SKA, didapatkan troponin T.0,1 ng/ml pada 30 (85,7%), dan troponin T<0,1 ng/ml pada 5 (14,3%) . sehingga dari tabel 13, sensitifitas dan spesifitas diagnostik SKA berdasarkan troponin T (+) dengan onset nyeri dada 13,97±13,26 adalah 100% dan 100%. Sedangkan berdasarkan CKMB (+) adalah 68,4% dan 81,3 ( Tabel 14). Namun berdasarkan uji statistik kedua pemeriksaan ini tidak berbeda bermakna (p>0,05) untuk menguji diagnostik SKA. Berdasarkan uji korelasi Spearman tidak ada korelasi antara pemeriksaan CKMB dengan troponin T yang meninggi (p>0,05) pada penderita sindroma koroner akut, sehingga pemeriksaan troponin T lebih baik dari pada CKMB dalam menilai kerusakan mikro infark otot jantung pada penderita sindroma koroner akut. Berdasarkan stratifikasi resiko, dari 35 penderita sindroma koroner akut ini, 30 diantaranya masuk kelompok resiko tinggi, dan diantaranya menglamai kematian. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. KESIMPULAN 1. pada penderita sindroma koroner akut dengan troponin T > 0,1 ng/ml dijumpai komplikasi yang lebih berat. 2. Seluruh penderita sindroma koroner akut yang meninggal dijumpai nilai troponin T>0,1 ng/ml. 3. Pemeriksaan troponin T lebih baik dari pada CKMB dalam menilai kerusakan mikro infark otot jantung penderita sindroma koroner akut.

©2003 Digitized by USU digital library

22

5.2. SARAN 1. Pada setiap penderita sindroma koroner akut harus diperiksa nilai troponin T agar dokter dapat menstratifikasikan penderita selama dirawat sehingga dapat mencegah mortalitas yang akan timbul. 2. Perlu dilakukan penelitian yang lebih luas mengenai tindakan selanjutnya pada penderita sindroma koroner akut dengan troponin T>0,1 ng/ml untuk menilai apakah diperlukan tindakan revaskularisasi ( PTCA/Stenting atau CABG).

Kepustakaan Abe S, Arima S, Yamashita T et al. Early Assesstment of Reperfusion Theraphy Using Cardiac Troponin T.J Am Coll Cardiol 1994;23:1382- 9 Anonym. Troponin T : Suatu Tonggak Baru Dalam Diagnosis Dini Iskemik Miokard. Dalam Boeringer Mannheim. Tahun ?;2- 50. Antman EM, Braunwald E. Acute Myocardial Infarction. In : Braunwald E (ed). Heart Disease A Text Book of Cardiovasculer Medicine 5th ed, WB Saunders Company, Philadelphia 1997:1184- 288. Antman EM, Fox KM. Guideline for Diagnosis and management of Unstable Angina and Non Q Wave Myocardial Infarction : Proposed Revision. Am Heart J 2000; 139:461- 75. Antman EM, Grudzien C, Ohmann EM et al. Value of Series Troponin T for Early and Late Risk Stratification in Patients with Acute Coronary Sindromes. Circulation 1998;98:1853-59. Antman EM, Sacks DB, Rifai N, et al Time to Positivity of Rapid Bedside Assay for Cardiac-Specific troponin T predicts Prognosis in Acute Coronary Syndromes : A Thrombolysis in Myocardial Infarction ( TIMI) 11 A substudy. J AM Coll Cardiol 1998;31:326- 30. Aroney C. Management of the acute coronary syndromes. Aust Prescr 2001;24 :568. Bakker Aj, Koelemay JW, Gorgels JPM et al. Troponin T and myocardial at admission value of early diagnosis of acute myocardial infarction. Eur Heart J. 1994,15:45-53. Bardoff MM, Freitag H, Scheffold T, Remmpis A, Kubler W, Katus AH. Development and Characterization of a Rapid Assay for Bedside Determinations of Cardiac Troponin T. Circulation 1995;92:2869- 75. Bardoff MM, Hallermayer K, Schroder et al. Improved troponin T ELISA specific for cardiac troponin T isoform : assay development and analytical and validation Clinical Chemistry 1997;43:458- 66. Bardoff MM, Rauscher T, Kampman M et al. Quantitative bedside assay for cardiac troponin T : a complementary methode to centralized laboratory testing. Clinical Chemistry 1999;45;7:1002- 8 Baum H, Braun S, Gerhardt W et al. Multicenter evaluation of a second generation assay for cardiac troponin T. Clinical Chemistry 1997;43;10 :1877- 84. Boersma E, Pieper KS, Chang WC et al. Predictors of outcome in patients with acute coronary syndromes without persistent ST- segment elevation. Circulation 2000;101:2557- 67. Braunwald E, Antman ME, Beasley JW et al. ACC/AHA guidline for the management of patient with unstable angina and non ST segment elevation miocard infark. Executive summary and recommendation. Circulation 2000;102:1193- 1209.

©2003 Digitized by USU digital library

23

Budiarso LR, Sarimawan. Survey kesehatan rumah tangga tahun 1992 : Pola kematian, Jakarta Badan Lit Bang Kes. Departement Kesehatan RI 1992:46. Christenson RH, Azzazy HME. Biohemical markers of the Acute Coronary Syndromes. Clinical Chemistry 1998; 44 : 8 : 1855 – 64. Christenson RH, Duh SH, Newby K et al. Cardiac Troponin T and I : Relative Value in Short- Term Risk Stratification of Patient with Acute Coronary Syndromes. Clin Chem 1998;44:3:494-501. Doctor’s Guide. Test in identifying patient at risk of dying from heart attact. URL :http://www.pslgroup.com/dg/D6B6.html Editorial review. Troponin T and Myocardial Damage. Lancet 1991;338:23- 4. Efthymiadis A, Lefkos N, Liastis I et al. The Diagnosis value of determination of troponin T in the diagnosis of unstable angina. Acta Cardiol 1994;44(5):419-24. Ellis AK. Serum Protein Measurement and The Diagnosis of Myocardial Infarction, Editorial Comment. Circulation 1991;33:1107- 9. Falk E, Shah PK, Fuster V. Coronary plaque distrtuption. Circulation 1995;92:657- 71. Forrester JS. Role of Plaque rupture in acute coronary syndromes. The AM J of Cardiol 2000;86 (8 Supp 2) :15- 23. Fuster V, Badimon L, Badimon JJ et al. The Pathogenesis of Coronary Artery Disease and The Acute Coronary Syndromes. N Engl J Med 1992;326(5) :310-8. Fuster V, Fayad ZA, Badimon JJ et al. Acute coronary syndromes : biology. Lancet 1999;353 (Supp):5- 9. Fustur V, Badimon L, Badimon JJ et al. The Pathogenesis of Coronary Artery Disease and The Acute Coronary Syndromes. N Engl J Med 1992;326(4) :242-50. Gersh BJ, Braunwald E, Rutherford JO. Chronic Coronary Artery Disease. In : Braunwald E (eds). Heart disease a text book of cardiovasculer Medicine 5th ed, WB Saunders Company, Philadelphia 1997:1290- 349 Gersh BJ, Braunwald E, Rutherford JO. Chronic Coronary Artery Disease. In : Braunwald E (ed) Heart Disease A Text Book of Cardiovascular Medicine 5th ed, WB Saunders Company, Philadelphia 1997:1290- 349. Gokhan CV, Gok H, Kaptanoglu B. The prognostic value of troponin T in unstable angina. Int.J Cardiol 1996;53:3:237- 44. Goldman BU, Heeschen C, Hamm CW. Cardiovascular risk and therapeutic benefit of coronary interventions for patients with unstaable angina according to the troponin T status. Eur Heart J. 2000;21(14):1117-9 Goldman BU, Newby LK, Ohman EM. Cardiac Marker for Decision Making in Acute Ischemic Syndrome. ACC Current Journal Review 2000;9:43- 5. Hamm CW , Goldman UB, Heeschen C et al. Emergency Room Triage of Parient with Acute Chest Pain by Means of Rapid Testing for Cardiac Troponin T or I. N Engl J Med. 1997;337:1648- 53. Hamm CW, Ravkilde J, Jorgensen P et al. The Prognostic Value of Serum Troponin T in Unstable Angina. N Engl J Med 1992;327:146- 50. Heeschen C, Hamm CW, Simoons ML. Angiographic finding in patient with refractory unstable angina according to troponin T status. Circulation, 199;104:150914. Hetland Q, Dickstein K. Cardiac troponin I and T in patient with suspected acute coronary Syndrome : a comparative study in routine setting. Clinical Chemistry 1998;44:7:1430- 6. Hoffman F. Cardiac marker update. 24 Januari 2000. Roche Diagnostics. Holmvang L, Luscher MS, Clemmensen P et al. Very Early Risk Stratification Using Combined ECG and Biochemical Assessment in Patient with Unstable Coronary Artery Disease (TRIM Study). Circulation 1998;98:2004- 9.

©2003 Digitized by USU digital library

24

Katus AH, Remmpis A, Newman FJ et al, Diagnostic efficiency of Troponin T Measurement in Acute Myocardial Infarction. Circulation 1991;83:902- 12. Katus H, Gerhardt W, Hamm CW. S- Troponin T in Suspected Ischemic Myocardial Injury Compared with Mass and Catalytic Concentrations of S- CK MB. Clinical Chemistry 1991;37:1405- 12 Klootwijk P, Hamm C. Acute coronary ayndromes : diagnosis. Lancet 1999;353 (supp1) :10-15. Kwong TC, Pomerantz RM, Eichelberger JP. New troponin assay. University of Rochester Medical Centre, NY 2001:26:2. Libby P. Coronary artery injury and the biology of atherosclerosis : inflamation, trombosis and stabilitation. The AM J of Cardiol 2000;86 (8 Supp 2( :3- 8. Lindahl B, Toss H, Sieghahn A et al. Markers of Myocardial Damage and Inflamation in Relation to Long- Term Mortality in Unstable Coronary Artery Disease. N Engl J Med 2000;343:1139- 47. Lindahl B, Venge P, Wallensin L. Relation Between Troponin T and The Risk of Subsequent Cardiac Events in Unsable Coronary Artery Disease. Circulation 1996;93:1651- 7. Luscher MS, Tygesen K, Ravkilde J, Heickendorff L. Applicability od Cardiac Troponin T and I for Early Risk Stratification in Unstable Coronary Artery Disease. Circulation 1997;96:2578-85. Mair J, Dienstle F, Puschendorf B. Cardiac Troponin T in The Diagnosis Of Mycardial Injury. Clinical lab. Science 1992;29(1) : 31- 57. Mair J, Dworzak EA, Schmidt J et al. Cardiac Troponin T in Diagnosis of Acute Myocard Infark. Clin. Chemistry 1991;845- 52. Maynard SJ, Menown IBA, Adgey AAJ. Troponin T or I as cardiac Markers in Ischemic Heart Disease. Editorial. Heart 2000;83 :371-3 Maynars SJ, Scott GO, Riddell JW, adgey AAJ. Management of acute coronary syndromes. BMJ 2000;321 :220- 3. Mulder J, Bellomo R. The Significance and Rhe Use of Troponins in the ICU. Crit Care & Shock 2000;3:121- 9. Murray C, Alpert JS. Diagnosis of Myocardial Infarction. Current Op.in Cardiol 1994;465- 70. Newby LK, Christenson RH, Ohman Em et al. Value of Serial Troponin T for Early and Late Risk Stratification in Patients with Acute Coronary Sindromes. Circulation. 1998;98:1853-59. Norris RM. A new performance indicator for acute miocard infarction. Heart 2001:85:395- 401. Ohman Em, Armstrong PW, Christenson RH et al. Cardiac Troponin T Levels for Risk Stratification in Acute Myocardial Ischemia. N Engl J Med 1996;335;133342. Ohman EM, Granger CB, Harrington RA, Lee Kl. Risk stratification and therapeutic decision making in acute coronary syndomes. JAMA 2000;284(7) :876- 878. Ooi DS, Isotolo PA, Veinot JP. Corelation of Antemortem Serum Creatine Kinase, Cretine Kinase MB, Troponin T and with Cardiac Pathology. Clinical Chemistry 2000;46:3:338 - 44. Rabbani LE. Acute coronary syndromes : beyond myocyte necrosis. N Engl J M 2001, 345(14):1057- 1058. Rao ACR, Collinson P, Anson RC, Joseph SP. Troponin T measurement after myocardial infarction can identify left ventricular ejection of less than 40% Heart 1998;80:223- 225. Roberts R, Fromm RE. Management of Acute Coronary Syndromes Based on Risk Stratification by Biochemical Markers. Circulation 1998;1831- 33

©2003 Digitized by USU digital library

25

Ross R. The Phatogenesis of atherosclerosis. In : Braunwald E (ed). Heart Disease A Text Book of Cardiavasculer Medicine 5th ed, WB Saunders Company, Philadelphia 1997:1105- 1125. Rottbauser W, Greten T, Muller BM et al. Troponin T : a diagnostic marker for myocardial infarction and minor cardiac cell damage. Eur Heart J 1996, 17 (Suppl) :3- 8. Schahbazfar A, Kropf J. Evaluation of the ELISA troponin T- assay on the ES 600 analyzer. Catalogue of regulatory element. 1997. Schuchert A, Hamm C, Scholz J et al. Prehospital testing for troponin T in patient with suspected acute myocardial infarkction. Am Heart J 1999;138:1:45- 8 Seino Y, Tomita Y, Takano T. Early identification of cardiac events with serum troponin T in patient with unstable angina. Lancet 1993;342:1236- 40. Selwyn AP, Braunwald E. Ischemic Heart Disease. In : Isselbacker KJ, Braunwald E, Wilson JN et al. Editor Harrison’s Principles of Internal Medicine 13th ed. New York. Mc Graw Hill 1994:1077- 85. Simons ML, Boersma E, van-der Zwaan C, Deckers JW. The Challenge of acute coronary syndromes. Lencet 1999;353 ( Suppl II) : 1- 4. Stary HC, Chaidh Ab et al. A definition of advanced types of atherosclerosis lesion. Circulation 1995;92:1335-1374. Stubbs P, Collinson P, Moseley D et al. Prospective Study of The Role of Cardiac troponin T in Patients Admitted with Unstable Angina. BMJ 1996;313:262-4. Stubbs P, Collinson P, Path MRC et al. Prognostic Significance of Admission Troponin T Concentrations in Patient with Myocardial Infarction. Circulation 1996;94:1291- 7. Timmis A. Acute Coronary Syndromes : Risk Stratification. Heart 2000;83:241- 6. Troponin T Prognostically Superior to Troponin I and ECG. Doctor’s Guide, November 12, 1996. http://www.pslgroup.com/dg/DAEA.htm. Winter DRJ, Koster RW, Straalen VJP et al. Critical Difference Between Serial Measurement of CKMB Mass to Detect Myocardial Damage. Clinical Chemistry 1997;43;2:338-43. Winter DRJ, Koster RW, Sturk A, Sanders GT. Value of Myoglobulin, Troponin T, and CK MB in Ruling out an Acute Myocardial Infarction in The Emergency Room. Circulation 1995;92:3401- 7 Wu AHB. Introduction to Coronary Artery Disease ( CAD) and Biochemical Markers. In : Cardiac Markers, Wu AHB (Eds), Human Press Inc, Totowa NJ, 1998:320. Wu AHB, Apple FS, Gibler B et al. National Academy of Clinical Biochemistry Standards Laboratory Practise : Recommendation for The Use of Cardiac Markers in Coronary Artery Disease Disease. Clinical Chemistry 1999;45;7:1104-21. Wu AHB, Feny YJ, Moore R et al. characherization of Cardiac Troponin subunit Released into Serum after Myocardial Infarction and Comparison of Assay fot Troponin T and I. clinical Chemistry 1998;44:6:1198- 1208. Wu Q1, Jha PK, Sarkar S et al. Isolation and characterization of human fast skletal beta troponin T cDNA : compatarive sequence analysis of isoform and insight into the evalution of members of a multigene family. DNA Cell Biol 1994;3:217-33. Yeghiazarians Y, Braunstein JB, Askari A, Stone P. Unstable Angina Pectoris. N Engl J Med 2000;342:101- 12. Zimmerman J, Fromm RE, Meyer D et al. Diagnostic Merker Cooperative Study for the Diagnosis of Myocardial Infarction. Circulation 1999;99:1671- 77.

©2003 Digitized by USU digital library

26