EAT PRAY LOVE‟ DAN „LASKAR PELANGI‟ FILM MERUPAKAN SUATU

Download Kata Kunci: Promosi Pariwisata, Film Tourism, Eat Pray Love, Laskar Pelangi. ..... pembangunan Taj Mahal, sejarah penghancuran tembok Berli...

0 downloads 429 Views 290KB Size
ABSTRAK PROMOSI PARIWISATA MELALUI FILM STUDI KASUS FILM „EAT PRAY LOVE‟ DAN „LASKAR PELANGI‟ Film merupakan suatu bentuk promosi pariwisata yang potensial untuk menginduksi keinginan wisatawan untuk bepergian ke suatu destinasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pesan promosi pariwisata melalui film dengan menggunakan film „Eat Pray Love‟ dan „Laskar Pelangi‟ sebagai obyek analisis. Tujuan ini dicapai dengan menganalisis simbol dan makna pesan promosi pariwisata yang muncul dalam konten film „Eat Pray Love‟ dan „Laskar Pelangi‟, serta perbandingan kontribusi masing-masing film dalam mencapai tujuan promosi pariwisata untuk melihat kelebihan dan kekurangan dari masing-masing film. Data dikumpulkan dengan mengobservasi konten masing-masing film. Komentar-komentar penonton yang didapatkan melalui penelusuran internet digunakan sebagai bantuan dalam menginterpretasikan simbol dan mengetahui resepsi penonton terhadap kedua film tersebut. Komentar-komentar diambil dari laman tinjauan film Rotten Tomatoes dan Internet Movie Database, serta memasukkan juga tinjauan dari Tripadvisor, Amazon, dan beberapa blogger perjalanan independen. .Analisis ini dilakukan dengan metode kualitatif dengan menggunakan tiga teori, yaitu teori semiotika, resepsi, dan promosi. Kajian ini menyimpulkan bahwa pesan promosi pariwisata yang muncul pada masing-masing film berasal dari adanya daya tarik rasional, emosional, dan moral sebagai dampak dari pengerjaan elemen narasi dan sinematik yang baik. Perbandingan antara kedua film menunjukkan bahwa film „Eat Pray Love‟ tampak mampu menampilkan konten yang memperlihatkan suasana liburan di Bali dengan lebih utuh, sehingga memiliki peran informatif dan persuasif yang lebih baik. Sedangkan, film „Laskar Pelangi‟, walaupun terlihat kurang dalam menampilkan keutuhan suasana Belitung, namun namun kemampuan persuasinya dapat dikatakan hampir sama kuatnya dengan film „Eat Pray Love‟. Kedua film telah menunjukkan kemampuan untuk mempresentasikan potensi masing-masing destinasi yang bersangkutan.

Kata Kunci: Promosi Pariwisata, Film Tourism, Eat Pray Love, Laskar Pelangi.

viii

ABSTRACT TOURISM PROMOTION THROUGH FILM THE CASE STUDY OF THE FILM „EAT PRAY LOVE‟ AND „LASKAR PELANGI‟ Film is a form of a potential tourism promotional form to induce the tourist desire to travel to a certain destination. This research was aimed to study the tourism promotional messages through film by using the films „Eat Pray Love‟ and „Laskar Pelangi‟ as the objects of the analyses. This objective was attained by analyzing the tourism promotional message symbols and meanings which emerged in the contents of the films „Eat Pray Love‟ and „Laskar Pelangi‟, and the comparison of the contributions of each film in achieving the tourism promotional goals to see the advantages and disadvantages of each films. The data were collected by observing the contents of each film. The comments of the audiences which were collected from the internet search were used as assistance in interpreting the symbols and to know the audience receptions of both films. The comments were taken from the film review website of Rotten Tomatoes and Internet Movie Database, and the reviews from Tripadvisor, Amazon, and some independent travel blogger. The analyses were conducted by using qualitative method by applying three theories, which were semiotics, reception, and promotion theories. The studies conclude that the tourism promotion messages that emerge in each film are from the presence of rational, emotional, and moral appeals as the results of the well-made narration and cinematic elements. The comparisons between each film show that the film „Eat Pray Love‟ looks able to display the vacation atmosphere in Bali at a more complete way, so it has better informative and persuasive roles. On the other hand, the film „Laskar Pelangi‟, although it seems lacking in displaying the completeness of Belitung atmospheres, but its persuasive ability can be said to be practically as equally strong as the film „Eat Pray Love‟. Both films have shown the ability to present the potentials of each respected destinations.

Keywords: Tourism Promotion, Film Tourism, Eat Pray Love, Laskar Pelangi

viii

DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM …………………………………………………………. PRASYARAT GELAR ……………………………………………………... LEMBAR PENGESAHAN …………………………………………………. PENETAPAN PANITIA PENGUJI ………………………………………… PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ……………………………………….. UCAPAN TERIMAKASIH ………………………………………………… ABSTRAK …………………………………………………………………... ABSTRACT ………………………………………………………………… RINGKASAN ……………………………………………………………….. DAFTAR ISI ………………………………………………………………... DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………... DAFTAR TABEL …………………………………………………………... LAMPIRAN ……………………………………………………....................

i ii iii iv v vi viii ix x xviii xxi xxiii xxiv

PENDAHULUAN ……………………………………………... Latar Belakang …………………………………………………. Rumusan Masalah ……………………………………………… Tujuan Penelitian ………………………………………………. 1.3.1 Tujuan Umum …………………………………............ 1.3.2 Tujuan Khusus …………………………………………. 1.4 Manfaat Penelitian ……………………………………………... 1.4.1 Manfaat Teoritis ………………………………………... 1.4.2 Manfaat Praktis …………………………………………

1 1 17 17 17 17 18 18 18

BAB I 1.1 1.2 1.3

BAB II 2.1 2.2

2.3

2.4 BAB III

TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, MODEL PENELITIAN ….……..………………………………... Tinjauan Pustaka ……………………………………………….. Konsep …………………………………………………………. 2.2.1 Struktur Film …………………………………………… 2.2.2 Unsur Film ……………………………………………... 2.2.3 Promosi ………………………………………………… 2.2.4 Publisitas ………………………………………............. 2.2.5 Film Tourism ………………………………………….... Landasan Teori …………………………………………............ 2.3.1 Teori Semiotika ………………………………………… 2.3.2 Teori Resepsi …………………………………………... 2.3.3 Teori Promosi ………………………………………….. Model Penelitian ………………………………………………..

20 20 37 37 38 39 40 41 41 42 45 47 55

METODE PENELITIAN ………………………………………

58

xviii

xix

Pendekatan Penelitian …………………………………………. Jenis dan Sumber Data …………………………………………. Instrumen Penelitian …………………………………………… Metode Pengumpulan Data …………………………………….. Metode Analisis Data ………………………………………… Metode Penyajian Hasil Analisis Data …………………………

58 58 59 59 59 61

GAMBARAN UMUM FILM „EAT PRAY LOVE‟ DAN „LASKAR PELANGI‟ …………………….……………………. 4.1 Gambaran Umum Film „Eat Pray Love‟ ……………................ 4.2 Gambaran Umum Film „Laskar Pelangi‟ ……………………….

63 63 72

3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 3.6 BAB IV

BAB V

5.1 5.2

5.3 5.4

BAB VI

6.1 6.2

6.3 6.4

SIMBOL DAN MAKNA PESAN PROMOSI PARIWISATA YANG DITAMPILKAN DALAM FILM „EAT PRAY LOVE‟ UNTUK BALI ………………………………………………..…. Simbol Promosi Pariwisata dalam Film „Eat Pray Love‟ ……… Pesona Wisata Bali dalam Film „Eat Pray Love‟ ……………… 5.2.1 Destinasi yang Indah, Sejuk, dan Bersih ………............ 5.2.2 Destinasi yang Aman dan Tertib……………………….. 5.2.3 Keramahtamahan Bali …………………………............. 5.2.4 Sentuhan dengan Alam dan Budaya Bali ……………… 5.2.5 Diferensiasi Wisata Spiritual Bali dan Meditasi Tersenyum ……………………………………………... 5.2.6 Eat, Pray, Love and Escape in Ubud ……………............ Resepsi Penonton Film „Eat Pray Love‟ …………………. Makna Pesan Promosi Pariwisata bagi Bali yang Muncul dalam Film „Eat Pray Love‟ …………………………………………... SIMBOL DAN MAKNA PESAN PROMOSI PARIWISATA YANG DITAMPILKAN DALAM FILM „LASKAR PELANGI‟ UNTUK BELITUNG ……………………………........................ Simbol Promosi Pariwisata dalam Film „Laskar Pelangi‟ ……... Pesona Wisata Belitung dalam Film „Laskar Pelangi‟ …... 6.2.1 Keindahan Alam Belitong dan Kehidupan Alam Liar …. 6.2.2 Bangunan Sekolah Dasar Muhammadiyah Gantung …... 6.2.3 Kilasan Nuansa Ragam Budaya Pulau Belitung ……….. Resepsi Penonton Film „Laskar Pelangi‟ ………………… Makna Pesan Promosi Pariwisata yang Timbul dari Film Laskar Pelangi untuk Belitung ………………………………………….

BAB VII PERBANDINGAN KONTRIBUSI FILM „EAT PRAY LOVE‟ DAN „LASKAR PELANGI‟ DALAM MENCAPAI TUJUAN PROMOSI PARIWISATA UNTUK INDONESIA …………….. 7.1 Kualitas Pesan Promosi Pariwisata ……………………………..

82 83 85 85 98 102 105 106 117 121 129

138 139 140 140 146 147 149 152

155 156

xx

7.1.1

Perbandingan Kualitas Pesan Promosi Pariwisata antara Film „Eat Pray Love‟ dan „Laskar Pelangi‟ Berdasarkan Isi Pesan ………………………………………………... 7.1.2 Perbandingan Kualitas Pesan Promosi Pariwisata antara film „Eat Pray Love‟ dan „Laskar Pelangi‟ Berdasarkan Struktur Pesan …………………………………………. 7.1.3 Perbandingan Kualitas Pesan Promosi Pariwisata antara Film „Eat Pray Love‟ dan „Laskar Pelangi‟ Berdasarkan Format Pesan …………………………………………… 7.2 Tahapan Proses Pengambilan Keputusan oleh Wisatawan ……. 7.2.1 Perbandingan antara Film „Eat Pray Love‟ dan „Laskar Pelangi‟ Berdasarkan Buyer Readiness State ………….. 7.2.2 Perbandingan antara Film „Eat Pray Love‟ dan „Laskar Pelangi‟ Berdasarkan Hierarchy of Effects ……………. 7.3 Perbandingan antara Film „Eat Pray Love‟ dan „Laskar Pelangi‟ dalam Mencapai Tujuan Promosi Pariwisata ….......................

158

164

167 171 172 180 186

BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN …………....................................... 8.1 Simpulan ……………………………………………………….. 8.2 Saran ……………………………………………………...........

198 198 202

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………..

205

LAMPIRAN …………………………………………………………………

217

xxi

DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1 Gambar 5.1 Gambar 5.2 Gambar 5.3 Gambar 5.4 Gambar 5.5 Gambar 5.6

Gambar 5.7 Gambar 5.8 Gambar 5.9 Gambar 5.10 Gambar 5.11 Gambar 5.12 Gambar 5.13 Gambar 5.14 Gambar 5.15 Gambar 5.16 Gambar 5.17 Gambar 5.18 Gambar 5.19 Gambar 5.20

Gambar 6.1 Gambar 6.2 Gambar 6.3 Gambar 6.4 Gambar 6.5

Model Penelitian ………………………………………… Shot Pemandangan Pantai dan Gunung Sekuen Pembukaan (Bali) ………………………………………………………. Shot Pemandangan Sawah, Hutan Mangrove dan Pantai, Sekuen Pembukaan (Bali) ………………………………… Sekuen Liz sedang bersepeda di jalanan pedesaan, Sekuen Pembukaan (Bali) …………………………………………. Shot Liz sedang bersepeda dengan latar persawahan di Bali, sekuen „Love‟………………………………………... Suasana Villa tempat Liz menginap di Ubud-Bali ……….. Shot Liz sedang bersepeda melintasi jalan setapak di tengah kebun kelapa dan shot sekumpulan anak sedang beraktifitas di sungai ……………………………………… Shot Felipe dan Liz berenang di pantai ………………….... Shot pemandangan pegunungan dan danau ……………….. Shot Liz berjalan di jalan setapak menuju penginapannya Shot Wayan menyiapkan jamu dan shot buah durian di pasar ………………………………………………………. Shot pada dialog Ketut Liyer “In morning, you do meditation from India, serious, very serious” …………….. Shot pada dialog Ketut Liyer “In day, you enjoy Bali” …… Shot Liz sedang melakukan meditasi tersenyum ………….. Adegan Liz yang sulit berkonsentrasi dalam sebuah meditasi …………………………………………………… Komentar username „cheerio74‟ dari Canada pada laman imdb ……………………………………………………….. Komentar username „mombot‟ dari Amerika Serikat pada laman imdb ………………………………………………... Komentar username „Judy C‟ pada laman rottentomatoes Komentar username „Marco M‟ pada laman rottentomatoes Kom e n t a r use rna m e „ St e pha ni e H‟ pa da l a m a n rottentomatoes …………………………………………….. Caption salah seorang „pengikut‟ Elizabeth Gilbert dalam akun instagram @iloveruffag: “Following the footsteps of Elizabeth Gilbert. Soon I will eat, pray, love, and explore beautiful Bali”……………………………………………... Shot panorama padang rumput dengan langit berawan …… Shot tupai dan buaya pada film Laskar Pelangi …………... Adegan Laskar Pelangi bermain di pantai Tanjung Tinggi .. Shot pantai Tanjung Tinggi pada adegan akhir …………... Shot tampak luar bangunan sekolah SD Muhammadiyah Gantung ……………………………………………………

57 86 87 88 93 94

95 97 98 100 106 111 113 114 116 124 125 125 125 126

135 141 142 143 145 147

xxii

Gambar 6.6

Shot Kedai Kopi di kota Manggar …………………………

148

DAFTAR TABEL Halaman Tabel 7.1

Tabel 7.2

Tabel 7.3

Tabel 7.4 Tabel 7.5 Tabel 7.6

Perbandingan Kualitas Pesan Promosi Pariwisata antara film „Eat Pray Love‟ dan „Laskar Pelangi‟ Berdasarkan Isi Pesan …….. …………..……………………………………. Perbandingan Kualitas Pesan Promosi Pariwisata antara Film „Eat Pray Love‟ dan Laskar Pelangi‟ Berdasarkan Struktur Pesan ….................................................................... Perbandingan Kualitas Pesan Promosi Pariwisata antara Film „Eat Pray Love‟ dan „Laskar Pelangi‟ Berdasarkan Format Pesan ………………………………………............. Perbandingan antara Film „Eat Pray Love‟ dan „Laskar Pelangi‟ Berdasarkan Buyer Readiness States ……………... Perbandingan antara Film „Eat Pray Love‟ dan „Laskar Pelangi‟ Hierarchy of Effects ………………………………. Perbandingan antara Film „Eat Pray Love‟ dan „Laskar Pelangi‟ dalam Mencapai Tujuan Promosi Pariwisata……...

xxiii

159

165

168 173 181 187

LAMPIRAN Halaman Pedoman Observasi Film ……………………………………………............. 214

xxiv

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Seperti proses pemasaran pada umumnya, dapat disetujui bahwa promosi

merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari proses pemasaran destinasi pariwisata. Promosi menjadi wahana bagi suatu destinasi untuk menjelaskan keberadaan serta kekuatannya kepada pasar. Hasil yang ingin dicapai tentu saja peningkatan penjualan produk-produk pariwisata di destinasi yang bersangkutan. Namun, tujuan promosi tidak dapat dilihat semata-mata sebagai usaha peningkatan penjualan ataupun pengenalan terhadap produk baru, tetapi juga sebagai penciptaan atau peningkatan pengenalan akan adanya merk tersebut, peningkatan preferensi pasar terhadap merk, mendorong terjadinya pembelian ulang, dan penarikan terhadap pelanggan-pelanggan baru (Hasan, 2014). Suatu destinasi pariwisata yang menarik bisa saja memiliki angka kunjungan dan penjualan yang rendah dikarenakan ketidaktahuan pasar akan keberadaannya. Oleh karenanya, usaha untuk mempromosikan suatu destinasi menjadi penting. Banyaknya kompetitor destinasi pariwisata juga dapat menjadi alasan

kuat mengapa kegiatan promosi menjadi bagian yang tidak dapat

ditinggalkan sebagai usaha untuk mengkomunikasikan informasi-informasi mengenai kualitas-kualitas destinasi tersebut kepada wisatawan potensial dengan tujuan untuk mempengaruhi perilaku konsumsi. Fitur-fitur pariwisata yang serupa dapat saja dimiliki oleh banyak destinasi, sehingga destinasi tersebut harus

1

2

berusaha untuk menempatkan dirinya di daftar atas preferensi wisatawan ketika akan memutuskan untuk membeli produk pariwisata. Hasan (2014: 617) berpendapat bahwa “the battle is not in the product, but in the mind of prospect.” (terjemahan: peperangan bukan (terletak) pada produk, tetapi pada pikiran calon konsumen). Morgan dan Pritchard (2005) juga menambahkan bahwa persaingan dalam mempromosikan pariwisata dengan karakternya yang unik tidak hanya terjadi dalam ranah pikiran namun juga emosi calon wisatawan. Hal ini menjadikan kerja badan promosi adalah untuk menggiring pikiran dan emosi para wisatawan potensial untuk memutuskan berwisata di destinasi yang bersangkutan. Holloway dkk (2009: 21) menyebutkan bahwa adanya faktor rasa penasaran sebagai salah satu pendorong terjadinya perjalanan telah terjadi sejak jaman Mesir kuno ketika warga Mesir saat itu melakukan perjalanan spiritual mengunjungi piramida. Saat ini rasa penasaran dapat berupa banyak hal, seperti ekspektasi terhadap hal-hal baru, asing, menyenangkan, yang dapat berupa keindahan lanskap, budaya, sejarah, dan manfaat intangible lainnya. Narasi yang melekat atau dilekatkan pada suatu destinasi dapat juga menjadi stimulus rasa penasaran tersebut. Kisah sejarah yang melatarbelakangi suatu tempat bisa menjadi daya tarik kedatangan wisatawan. Kisah cinta di balik pembangunan Taj Mahal, sejarah penghancuran tembok Berlin, peristiwa lapangan Tiananmen, merupakan beberapa kisah yang menjadikan suatu lokasi menjadi lebih menarik. Selain kisah sejarah, karakter fiksi juga mampu menarik kedatangan wisatawan (Bergstedt, 2009). Kisah fiktif „L'Impromptu de Madrid‟ karya Marc Lambron and „Mysteries of Madrid‟ karya Antonio Munoz Molina‟s

3

merupakan dua di antara banyak karya kontemporer yang mampu menarik perhatian wisatawan untuk mengunjungi Madrid (Busby, dkk, 2011). Dengan prinsip yang sama, kota Verona, Italia, mendasarkan tur Romeo-Juliet pada kisah fiksi karya William Shakespeare. Sebuah ujaran mengatakan “selling holidays is like selling dreams” (Holloway dkk, 2009: 10), dan mimpi yang harus dijual dalam pariwisata meliputi berbagai macam hal yang kompleks. Hal ini menjadi suatu tantangan para ahli komunikasi pemasaran pariwisata untuk menginduksikan mimpi yang intangible dan kompleks tersebut ke dalam bentuk yang lebih konkret. Kemajuan teknologi saat ini telah memberikan kemudahan dalam proses pencitraan pengalaman berlibur tersebut. Aspek narasi yang akan digunakan untuk menstimulasi keputusan calon wisatawan, dapat diadaptasi ke dalam bentuk film yang memungkinkan penyampaian cerita yang terlihat lebih konkret dengan memadukan aspek audio dan visual. Promosi melalui film yang dapat digolongkan pada publisitas ini memiliki sifat massal, sehingga lebih efektif untuk menjangkau pasar yang luas dan tersebar. Perreault dan McCarthy (2002) menyebutkan bahwa dalam promosi massal, publisitas merupakan metode yang lebih murah dibandingkan iklan sebab sifatnya yang tak berbayar untuk diberitakan dan sering kali dapat menjadi lebih efektif daripada iklan. Sebagai perbandingan, tarif per slot iklan pada jam-jam utama di lima stasiun televisi mayor di Amerika Serikat (ABC, CBS, NBC, FOX, dan CW) pada periode 2013-2014 untuk jadwal musim gugur berkisar antara USD 19.333 hingga USD 326.260 (Adweek, 2013). Dari data tersebut, dapat

4

diperhitungkan besaran biaya jika badan promosi suatu destinasi ingin memasang iklan di salah satu dari lima stasiun televisi tersebut. Kepopuleran suatu film dapat menjadi publikasi bagi destinasi yang digunakan sebagai latar pembuatan film. Pemanfaatan publikasi dari film untuk dikelola menjadi daya tarik wisata suatu destinasi ini dikenal juga dengan film tourism, dimana suatu kegiatan pariwisata ditimbulkan oleh adanya pembuatan film di lokasi yang bersangkutan (Connel, 2012). Contoh destinasi yang dapat memanfaatkan publisitas melalui film adalah New Zealand dan Korea Selatan. Keberhasilan film „Lord of the Ring’ menduduki box office menjadikan New Zealand, yang merupakan lokasi syuting film tersebut, sebagai destinasi yang ramai dikunjungi wisatawan. Film „Lord of the Ring‟ bukan hanya memberikan manfaat bagi New Zealand sebagai sebuah destinasi, namun ikon film tersebut juga dimanfaatkan oleh Air New Zealand dalam iklannya. Korea Selatan juga populer secara global dalam menggunakan film tourism. Publikasi yang didapatkan tidak hanya terbatas pada lokasi-lokasi syuting yang kemudian dikemas dalam paket-paket wisata, namun Korea Selatan juga memperkenalkan budaya, way of life, dan lifestyle-nya. Ketenaran dunia hiburan Korea Selatan juga membawa peluang baru bagi dunia pariwisata medis seiring makin populernya tren operasi plastik agar dapat memiliki wajah seperti bintang-bintang terkenal asal Korea Selatan (Washington Post, 2014). Permasalahan yang dihadapi oleh pemanfaatan suatu publikasi melalui film adalah, sering kali suatu film yang akhirnya menjadikan suatu destinasi menjadi terkenal pada awalnya tidak dibuat untuk kepentingan promosi pariwisata

5

suatu destinasi, namun secara kebetulan memberikan efek promosi bagi destinasi yang bersangkutan. Hingga saat ini, film-film yang memberikan publisitas terhadap destinasi masih banyak yang cenderung dikarenakan ketidaksengajaan. Pesan-pesan yang disimbolisasikan dalam film dapat saja sesuai dengan tujuan promosi pariwisata, namun dapat juga tidak. Walaupun demikian, setiap publisitas tetap dapat diolah menjadi keuntungan. Untuk mencetuskan rasa penasaran dari calon wisatawan, sehingga terdorong unruk mencari informasi lebih banyak lagi, maka tahap awal yang harus dilakukan adalah membuat mereka mengetahui terlebih dahulu bahwa ada destinasi pariwisata bernama Indonesia dengan segala potensinya. Film hanya merupakan salah satu media yang sudah dimanfaatkan oleh banyak negara, namun masih kurang mendapat perhatian di Indonesia. Pemanfaatan film sebagai media promosi pariwisata tidak serta merta dimaksudkan untuk menggantikan bentuk-bentuk promosi lainnya, namun dapat dijadikan sebagai pelengkap. Film dapat menjadi pelengkap yang potensial sebab publikasi yang dihasilkan dari film, tidak hanya berasal dari film itu sendiri namun juga dapat menghasilkan pemberitaan media yang lebih luas (Connell, 2012: 1008). Namun, tentunya akan lebih baik jika pemanfaatan film sebagai media promosi pariwisata juga dapat direncanakan, bukan sekedar hasil dari ketidaksengajaan, sehingga citra pariwisata yang ditampilkan dapat lebih terarah. Pada kasus Indonesia, telah terdapat beberapa film Internasional yang mengikutsertakan nama Indonesia di dalamnya. Beberapa menyiratkan Indonesia sebagai suatu tempat liburan yang ideal (terutama Bali), namun, ada juga filmfilm yang mengetengahkan Indonesia sebagai tempat yang „Liar‟, „Primitif‟,

6

„Rawan Bencana‟, dan berhubungan dengan „Kejahatan‟. Sebagai contoh, pada Film „Anaconda: the Hunt for the Blood Orchid‟ (2004), walaupun lokasi syuting film tersebut dilakukan di area hutan Amazon, namun setting latar pada cerita adalah di Kalimantan – disebutkan sebagai Borneo di film tersebut. Film tersebut memperlihatkan alam Kalimantan yang masih liar, belum tersentuh, dan berbahaya. Publisitas yang didapatkan dari cara film ini merepresentasikan Borneo, dengan memperlihatkan simbol-simbol yang mengindikasikan sisi alam liar hutan belantara Indonesia yang masih perawan dan berbahaya, dapat dijadikan promosi yang menyasar kepada pariwisata niche bertema petualangan. Contoh lain pelekatan citra Indonesia adalah pada film „Elektra‟ produksi Marvel Enterprise (2005). Pada film bergenre fantasi tersebut, tokoh Elektra, menyebutkan Indonesia dalam salah satu dialognya. Pada adegan tersebut, Elektra sedang berdialog dengan seorang gadis remaja bernama Abby, yang seharusnya menjadi target pembunuhannya, mengenai gelang etnik yang dikenakan Abby. Elektra menceritakan bahwa gelang tersebut berasal dari Indonesia dan bahwa gelang itu adalah gelang pejuang. Elektra menambahkan dengan serius bahwa berabad-abad lalu, seseorang harus menjadi petarung terbaik di desanya untuk bisa memperoleh gelang tersebut. Abby kemudian menjawab dengan nada santai bahwa dia mendapatkan gelang tersebut dari e-bay. Jika melihat dialog Elektra saja maka kesan bahwa Indonesia adalah tempat yang khas dengan suku-suku petarung yang menarik untuk dikunjungi dapat timbul, namun jawaban Abby juga dapat menyiratkan kesan bahwa itu bukan hal yang spesial, gelang seperti itu dapat dengan mudah didapatkan melalui pembelian on-line.

7

Dua contoh film di atas memperlihatkan bahwa melekatkan suatu destinasi pada narasi dapat menimbulkan potensi untuk mempengaruhi kesan terhadap destinasi tersebut. Untuk menjadikan suatu film menjadi media promosi yang baik bagi destinasi pariwisata di Indonesia tentunya bukan hanya perkara membuat film dengan latar Indonesia, namun juga bagaimana menimbulkan kesan yang positif terhadap destinasi yang bersangkutan. Penggabungan antara narasi dan aspek-aspek sinematografis pada suatu film diharapkan juga mampu membuat penonton menjadi terkoneksi ke dalam narasi tersebut. Green dan Block (2000, dalam Shrum 2010), mengemukakan bahwa pembaca atau pemirsa yang tertransportasi ke dalam suatu narasi akan memiliki kecenderungan untuk mempercayai hal-hal yang disebutkan di dalam narasi tersebut. Hal ini kemudian juga dapat secara tidak sengaja berpengaruh kepada citra suatu destinasi tanpa diinginkan atau, merujuk pada pendapat Connell (2012), film juga dapat digunakan untuk membentuk citra suatu destinasi. Kesan positif ini tidak harus dibangun dari plot cerita yang indah-indah saja, namun juga dapat diperoleh dari plot yang negatif seperti yang ditampilkan oleh film „Java Heat‟ (2013) produksi Margate House Films. Film ini menampilkan permasalahan terorisme, narkoba, prostitusi, dan juga perdagangan manusia dengan banyaknya adegan kekerasan, tetapi di dalam narasinya juga memperlihatkan toleransi beragama. Film ini mencoba memberikan klarifikasi terhadap pandangan dunia luar tentang Indonesia pasca aksi-aksi terorisme dengan menampilkan toleransi kehidupan beragama yang rukun. Film ini juga memperkenalkan budaya Indonesia, terutama Jawa, dari banyak sudut seperti

8

kesantunan, ketaatan beragama, batik, kebaya, alam yang indah, dan Borobudur yang memukau. Hal yang disayangkan dari film ini adalah, jika dilihat dari tinjauan penonton, kurang kuatnya narasi dan akting dari aktor Hollywood dalam film ini yang juga mendapat banyak kritikan (IMDb, 2013). Kementerian Pariwisata (sebelumnya Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif) telah mengadakan lomba menulis tahunan, Tulis Nusantara, sejak tahun 2012. Lomba menulis ini merupakan usaha untuk menangkap keberagaman warna Indonesia melalui karya-karya anak bangsa yang berkualitas, yang diharapkan nantinya dapat menembus pasar best seller dunia. Karya-karya yang baik ini tentunya diharapkan dapat pula menjadi promosi bagi kepariwisataan Indonesia di mata dunia. Semakin banyak karya berkualitas yang dipasarkan tentunya akan menjadi penguat keberadaan Indonesia sebagai suatu destinasi pariwisata di pikiran calon wisatawan potensial. Karya-karya ini dapat menjadi “selembar bulu yang mengayunkan timbangan” (Sutherland dan Silvester, 2005: 9) ketika calon wisatawan hendak memilih suatu destinasi liburan. Memanfaatkan produk karya naratif seperti film memang memiliki potensi besar untuk mempromosikan destinasi wisata. Seperti yang dikatakan Sharon (1992), “One major reason for travelling, and for selecting a particular destination, is to see something about which we have read or heard for a long time” (terjemahan: Satu alasan utama untuk bepergian, dan dalam memilih suatu destinasi tertentu, adalah untuk melihat sesuatu yang berkaitan dengan hal yang kita pernah baca atau dengar pada jangka waktu yang lama). Namun, badan

9

promosi pariwisata tidak dapat memaksakan seluruh film yang diproduksi, katakanlah di dalam negeri, agar sejalan dengan tujuan promosi pariwisata. Bagaimanapun, fungsi utama suatu film adalah untuk menyampaikan cerita yang merupakan ide dari sineas yang bersangkutan. Di lain pihak, tidak semua film yang mengambil latar Indonesia juga harus dijadikan media promosi. Ide film tidak dapat dipatok hanya menampilkan hal-hal yang bercitra positif saja. Namun, badan promosi pariwisata dapat memberikan dorongan agar lebih banyak sineas yang memproduksi film-film berkualitas dengan mengambil latar di suatu destinasi wisata dan menampilkan narasi-narasi yang bersifat positif serta mampu memperlihatkan potensi pariwisata di destinasi tersebut. Pemerintah juga dapat memfasilitasi agar lebih banyak produksi-produksi film berkualitas yang ditampilkan di kancah internasional. Seperti film „Tabula Rasa‟ dan „Filosofi Kopi‟ yang tampil di ajang Festival film Cannes (Tempo, 2015). Kedua film tersebut juga memiliki muatan cerita yang dapat mempromosikan Indonesia dari segi wisata kuliner. Cara lain yang dapat dilakukan adalah dengan mengundang rumah produksi dari luar negeri untuk membuat produksi di Indonesia. Namun, cara inipun juga memerlukan ketelitian pemerintah dalam memilih topik dan narasi yang akan diijinkan untuk membuat film dengan latar Indonesia. Beberapa contoh yang dapat dijadikan perbandingan mengenai cara pemerintah mendorong produksi film-film yang dapat juga menjadi publisitas bagi destinasi pariwisata mereka adalah Korea Selatan, Singapura, Australia, dan Inggris. Korea Selatan dan Pihak pemerintah tidak secara langsung mendanai pembuatan film, namun memberikan stimulus bagi pembuatan produksi-produksi

10

yang sejalan dengan promosi pariwisata. Badan promosi pariwisata kota Seoul membuat Seoul Tourism Award dan memberikan tiga dari empat kategori penghargaan tertinggi kepada kalangan film yang dianggap berkontribusi besar dalam promosi pariwisata Seoul (eTurboNews, 2009). Usaha lain yang dapat dilakukan oleh badan promosi pariwisata adalah dengan membuka hubungan dengan lembaga-lembaga film internasional. Hal ini dimaksudkan agar informasi mengenai film-film yang akan diproduksi dapat lebih mudah dan lebih cepat diperoleh, sehingga badan promosi pariwisata tersebut dapat segera mendekati rumah produksi yang dimaksud sehingga dapat segera memberikan tawaran kolaborasi agar film yang narasinya dianggap sesuai dapat difilmkan di destinasi pariwisata di negara yang bersangkutan. Rewtrakunphaiboon (2009) menyebutkan beberapa contoh kolaborasi yang dilakukan oleh Australia dan Inggris. Australian Tourism Comission berkolaborasi dengan Disney dalam pembuatan film animasi „Finding Nemo‟ sebagai salah satu usaha untuk mendongkrak kedatangan wisatawan Amerika ke Australia. Badan promosi pariwisata Inggris juga secara aktif mengundang rumah-rumah produksi Bollywood untuk membuat film di negara ratu Elizabeth tersebut. Hal yang sama juga dilakukan oleh pihak pariwisata Korea Selatan dan Singapura. Kedua negara ini memberikan kemudahan-kemudahan bagi kalangan film asing untuk membuat film di negaranya, asalkan menampilkan negara mereka kurang lebih selama durasi 60 menit (CNN Indonesia, 2015). Ketenaran Bali yang mendahului nama Indonesia di dunia, pada mulanya, dapat dikatakan salah satunya terpublikasikan oleh keberadaan film. Chin (Bali

11

Echo, 2001) menuliskan artikel mengenai film-film yang mengetengahkan Bali pada kisaran perempat kedua hingga pertengahan abad ke dua puluh. Film dokumenter yang memperlihatkan keunikan budaya Bali pertama kali dipertontonkan ke mata dunia oleh seorang pembuat film berkebangsaan Belanda bernama

W.

Mullens

Leichenverbrennung

pada

und

tahuin

1926.

Einascherung

Filmnya

einer

berjudul

Fürstebwitwe’

„Bali

-

(Royal

Cremation) and ‘Bali - Sanghijang und Ketjaqtanz‟ (Sang Hyang and Kecak Dance). Chin (Bali Echo, 2001) menyebutkan kedua film ini membentuk kesan awal terhadap eksotisme dan ektrimisme budaya Bali. „Calon Arang‟ pada tahun 1927 kemudian menjadi film fiksi pertama yang melukiskan Bali sebagai “Island of Gods” maupun “Island of Demons”. Namun, film yang menjadi tonggak penting dalam mempublikasikan Bali ke mata dunia barat adalah film buatan Andre Roosevelt dan Armand Denis dengan judul „Goona-Goona‟ (1930) atau yang juga dikenal dengan judul „The Kris‟. Film melodrama ini memperlihatkan daya tarik seksual perempuan-perempuan Bali. Istilah „Goona-Goona‟ ini kemudian menjadi istilah yang popular digunakan oleh warga New York saat itu untuk merepresentasikan daya tarik seksual. Film ini, diperkirakan, juga merupakan film yang membuat K‟tut Tantri berhasrat dan akhirnya datang ke Bali. K‟tut Tantri menyebutkan film ini dengan judul „The Last Paradise‟, namun kemungkinan terjadi tumpang tindih dengan buku Hickman Powell yang berjudul „The Lost Paradise‟ (1930). Film-film berikutnya yang menjadikan Bali sebagai latar adalah „The Island of the Demons‟ (1933), „The Road to Bali‟ (1952) produksi Paramount Picture dan dibintangi oleh bintang film kawakan

12

Hollywood, Bob Hope dan Bing Crosby. Saat itu Hollywood telah membuat Bali menjadi gambaran surga yang paling indah dengan menampilkan gabungan elemen-elemen keindahan laut tropis, sehingga walaupun lokasi syuting tidak dilakukan di Bali, seperti kasus film „South Pasific‟ (1958) produksi Twentieth Century Fox, namun kemunculan desir angin pantai dalam film sudah membuat penonton mengasumsikan bahwa itu adalah Bali (Bali Echo, 2001). Simbol-simbol yang ditampilkan dalam film serta resepsi penonton pada masa tersebut telah berkontribusi dalam membentuk publikasi Bali yang eksotis seperti yang banyak dikenal oleh wisatawan hingga saat ini. Namun, promosi tidak dapat dilakukan hanya sekali. Preferensi pasar terhadap suatu produk harus dijaga kesetiaannya, sehingga promosi juga harus dilakukan terus menerus. Pada awal abad ke duapuluh satu ini, pariwisata Bali kembali diuntungkan dengan kehadiran film „Eat Pray Love‟ (2010) yang didasarkan pada memoir karya Elizabeth Gilbert yang juga berjudul sama. Film ini memberikan pandangan baru tentang romantisme Bali dengan memperlihatkan lingkungan Ubud yang tenang. Pengambilan gambar lokasi di film ini dan kegiatan berwisata yang dilakukan oleh tokoh dalam film memang cenderung ditanggapi positif. Beberapa komentar yang muncul mengenai perjalanan yang ditampilkan dalam film adalah mengenai bagaimana film ini memunculkan keinginan untuk melakukan perjalanan keliling dunia, menampilkan pemandangan yang menakjubkan, dan memberikan pencerahan melalui perjalanan spiritual yang ditampilkan. Walaupun terdapat juga banyak kritik negatif seputar narasi yang dimuat penonton pada laman Rotten Tomattoes, namun, artikel-artikel berita juga menunjukkan adanya indikasi

13

kenaikan jumlah wisatawan yang mengunjungi tempat yang menjadi bagian dari kisah Elizabeth Gilbert tersebut (Daily Mail, 2010; Denver Post, 2010; The Jakarta Post, 2010a; Time, 2010). Komentar-komentar tersebut memperlihatkan keberagaman resepsi terhadap film ini. Dari sisi industri, publikasi yang dihasilkan oleh film ini menimbulkan daya tarik yang cukup signifikan sehingga dapat dimanfaatkan oleh industri pariwisata, sebagai contoh adalah paket „Eat Pray Love‟ di hotel Ayana yang saat itu sampai diperpanjang periodenya karena permintaan yang tinggi. Paket tersebut menawarkan perpaduan paket spa, yoga, makan malam romantis, dan perjalanan tur ke Ubud (The Jakarta Post, 2010b). Hal yang tidak jauh berbeda juga dialami oleh film „Laskar Pelangi‟ (2008) yang diangkat dari memoir karya Andrea Hirata berjudul sama. Film Indonesia yang juga sudah dimainkan di enam negara lain di luar Indonesia ini menjadi promosi pariwisata bagi pulau Belitung yang sebelumnya hanya diketahui karena tambang timahnya. Badan Pusat Statistik kabupaten Belitung (2013) mencatat, sejak tahun 2008 telah terjadi peningkatan kunjungan wisatawan dari 32.036 wisatawan menjadi 111.613 wisatawan pada 2013. Ketenaran film „Laskar Pelangi‟, yang meraih penjualan tiket layar lebar lebih dari 4,6 juta di seluruh Indonesia (Miles Film, t.t), menjadikan agen-agen perjalanan menawarkan paket-paket wisata „Laskar Pelangi‟. Isi dari paket tersebut bukan hanya mengunjungi lokasi syuting „Laskar Pelangi‟ namun juga tempat-tempat wisata lain di Belitung. Di sini dapat dilihat jika film ini memberikan pintu bagi destinasi-destinasi potensial lainnya di Belitung untuk dikunjungi wisatawan. „Laskar Pelangi‟ memberikan latar belakang naratif terhadap pulau Belitung

14

sebagai destinasi wisata dan keberadaan cerita ini menjadi ikon pariwisata kabupaten Belitung, yang kini juga dikenal dengan bumi Laskar Pelangi. Rumah Andrea Hirata, sebagai penulis novel Laskar Pelangi, juga menjadi obyek wisata yang menjual. Rumah ini sekarang dijadikan museum kata Andrea Hirata. Kedua film di atas, „Eat Pray Love‟ dan „Laskar Pelangi‟, hingga saat ini masih digunakan oleh Kementerian Pariwisata maupun industri pariwisata sebagai gimmick untuk promosi pariwisata di destinasi bersangkutan. Pada laman resmi pariwisata Indonesia, kabupaten Belitung masih diasosiasikan dengan pulau „Laskar Pelangi‟ (Pesona Indonesia, 2016), sedangkan film „Eat Pray Love‟, hingga belakangan ini, juga masih dimanfaatkan untuk dalam tagline destinasi wisata Ubud, yaitu Eat, Pray, Love, and Escape in Ubud (Pesona Indonesia, 2013). Meskipun demikian, kedua film ini belum pernah dikaji isinya dari sudut pandang promosi pariwisata. Apa saja hal-hal yang ditampilkan di dalam kedua film ini yang sekiranya mampu memberikan dampak promosi bagi pariwisata di destinasi yang bersangkutan maupun terhadap Indonesia secara umum. Seperti juga film „Goona-Goona‟ memperkenalkan eksotisme Bali kepada dunia barat, isi dari film „Eat Pray Love‟ dan „Laskar Pelangi‟ pasti juga mengantarkan simbolisme tertentu pada citra destinasi yang ditampilkannya. Adanya fenomena dimana orang dari negara di belahan dunia barat tidak mengetahui mengenai Indonesia, atau mengetahui Bali tapi tidak mengetahui mengenai Indonesia, dan juga ada anggapan bahwa Indonesia hanya sebatas Bali, menjadikan berbagai promosi untuk Indonesia sebagai negara dengan banyak destinasi wisata yang indah masih sangat dibutuhkan. Akan menjadi lebih baik

15

jika promosi-promosi tersebut diwujudkan dalam berbagai bentuk, termasuk melalui media hiburan seperti film. Sebagai suatu referensi untuk membuat bentuk-bentuk promosi pariwisata melaui dunia hiburan di masa mendatang, maka kajian terhadap kelebihan dan kekurangan, dari sudut pandang promosi pariwisata, yang ditampilkan oleh karya di masa lalu juga menjadi penting. Dua film ini menarik untuk diteliti bukan hanya karena menjadi box office, namun juga karena efek promosi terhadap destinasi pariwisata di Indonesia. „Laskar Pelangi‟ sebagai karya anak bangsa yang memperlihatkan Indonesia dari sudut pandang orang Indonesia dan „Eat Pray Love‟ yang ditulis dari sudut pandang wisatawan juga menjadi poin mengapa fitur-fitur di dalam kedua film ini menarik untuk dibandingkan. Cara sineas lokal Indonesia dan sineas asing tentunya memiliki warna yang berbeda dalam menerjemahkan warna Indonesia dalam karyanya. Kajian terhadap bagaimana dua film ini menampilkan pesanpesan yang bersifat promosi bagi destinasi pariwisata diharapkan mampu menjadi referensi bagi pengembangan promosi-promosi pariwisata di masa mendatang, terutama promosi pariwisata melalui pemanfaatan industri kreatif seperti film. Pedoman pasti dalam membuat suatu karya narasi yang laku keras maupun dapat memberikan publikasi yang baik bagi suatu destinasi akan sulit untuk didapatkan, karena juga berhubungan dengan berbagai macam aspek di luar karya itu sendiri. Namun, kajian terhadap kelebihan dan kekurangan dari suatu karya box office yang telah dianggap mampu memberikan publisitas bagi destinasi akan memberikan masukan baru, baik bagi para pembuat karya lainnya maupun bagi para pihak yang akan memanfaatkan karya-karya industri kreatif untuk pemasaran

16

pariwisata. Hal penting yang dapat diperhatikan adalah bagaimana unsur-unsur dalam film saling bekerjasama dalam suatu sistem yang akhirnya juga memberikan efek promosi pariwisata. Beeton (2005: 54) mengatakan bahwa promosi pariwisata melalui film menyampaikan pesan promosi dengan lebih halus dan mirip dengan word of mouth. Melalui pemaparan di atas telah dilihat bahwa film merupakan bentuk yang potensial digunakan untuk mempromosikan suatu destinasi pariwisata dan juga memiliki kemungkinan memunculkan tema-tema penelitian yang sangat luas. Connell (2012) mengatakan bahwa kemampuan film dalam membentuk asumsi terhadap suatu lokasi dapat membuka topik penelitian yang melihat simbol-simbol dalam film yang mampu mempengaruhi respon penonton mengenai suatu destinasi. Lebih lanjut Connell (2012) menambahkan bahwa sering kali atribut yang berkaitan dengan film dapat menjadi lebih menarik dari pada atribut destinasi itu sendiri. Hal inilah yang sering terjadi pada film tourism. Melihat masih pentingnya membuat penelitian di bidang film tourism dengan menerapkan beberapa disiplin ilmu, sedangkan penelitian di ranah ini masih kurang dilakukan di Indonesia, walaupun Indonesia telah merasakan manfaat dari praktik ini, maka penelitian terhadap film „Eat Pray Love‟ dan „Laskar Pelangi‟ ini ingin mengisi celah tersebut. Penelitian ini ingin menerapkan kajian lintas disiplin untuk melihat simbol-simbol dalam konten kedua film yang dapat berperan sebagai daya tarik yang berkaitan dengan promosi pariwisata. Sesuai dengan yang disarankan oleh Kindem (dalam Beeton, 2015), dalam memprediksi potensi suatu film dalam kemampuannya menjadi media promosi

17

tidak hanya dapat dilihat dari sudut pandang ekonomi, namun juga dapat mengaplikasikan sudut pandang psikologi, semiotika, dan ideologi. 1.2

Rumusan Masalah Uraian latar belakang yang telah dipaparkan merujuk kepada beberapa

pokok permasalahan yang akan dibahas sebagai berikut: 1.

Bagaimanakah simbol dan makna pesan promosi pariwisata yang ditampilkan dalam film „Eat Pray Love‟ untuk Bali?

2.

Bagaimanakah simbol dan makna pesan promosi pariwisata yang ditampilkan dalam film „Laskar Pelangi‟ untuk Belitung?

3.

Bagaimanakah kontribusi film „Eat Pray Love‟ dibandingkan dengan film „Laskar Pelangi‟ dalam mencapai tujuan promosi pariwisata untuk Indonesia?

1.3

Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini terbagi ke dalam tujuan umum dan tujuan khusus.

1.3.1

Tujuan Umum Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengkaji promosi

pariwisata melalui film dengan cara menganalisis bagaimana sebuah film dalam merepresentasikan kehidupan tokoh dan lingkungannya dapat memuat simbolsimbol promosi bagi suatu destinasi pariwisata. 1.3.2

Tujuan Khusus Sesuai dengan rumusan masalah, maka tujuan khusus dari penelitian ini

adalah:

18

1.

Untuk menganalisis bagaimana simbol dan makna pesan promosi pariwisata yang ditampilkan dalam film „Laskar Pelangi‟ untuk Belitung.

2.

Untuk menganalisis bagaimana simbol dan makna pesan promosi pariwisata yang ditampilkan dalam film „Eat Pray Love‟ untuk Bali.

3.

Untuk membandingkan kontribusi film Laskar Pelangi dan „Eat Pray Love‟ dalam mencapai tujuan promosi pariwisata untuk Indonesia.

1.4

Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu memberi manfaat secara teoritis maupun

praktis. 1.4.1

Manfaat Teoritis Secara teoritis, diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangsih

dalam ranah ilmu pariwisata, terutama dalam bidang promosi pariwisata. Pengaplikasian beberapa disiplin ilmu dalam analisis ini diharapkan memberikan referensi bagi kemungkinan membuat kajian-kajian dari sudut pandang baru dalam dunia promosi kepariwisataan Indonesia. Hasil dari kajian ini diharapkan pula dapat membawa pada kajian-kajian lain yang lebih mendalam mengenai pemanfaatan media-media alternatif, seperti film, sebagai promosi bagi kepariwisataan Indonesia. 1.4.2

Manfaat Praktis Promosi destinasi pariwisata dengan memanfaatkan ketenaran suatu film,

atau dapat disebut juga Film Tourism sesungguhnya bukan merupakan hal baru namun masih sangat kurang dieksplorasi potensinya serta kurang mendapat perhatian khusus dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, secara praktis hasil dari

19

penelitian ini diharapkan mampu menjadi salah satu rujukan bagi para praktisi pemasaran pariwisata maupun pihak-pihak terkait yang akan mengolah bentuk promosi pariwisata melalui film. Kelebihan dan kekurangan dari kedua film, dari sudut pandang promosi pariwisata, diharapkan dapat menjadi masukan dalam penyusunan konten promosi pariwisata melalui film di masa mendatang.