EFEK ANTIDIARE EKSTRAK DAUN BELUNTAS

Download hasil pengamatan ekstrak daun beluntas memberikan efek antidiare pada dosis 150 dan ... Daun beluntas juga mempunyai aktivitas farmakologi ...

0 downloads 514 Views 296KB Size
Efek Antidiare Ekstrak Daun Beluntas pada Mencit – Nurhalimah, dkk Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 3 No 3 p.1083-1094, Juli 2015

EFEK ANTIDIARE EKSTRAK DAUN BELUNTAS (Pluchea indica L.) TERHADAP MENCIT JANTAN YANG DIINDUKSI BAKTERI Salmonella Thypimurium Antidiarrheal Effects Beluntas Leaf Extract (Pluchea indica L.) against Male Mice Induced by Bacteria Salmonella typhimurium Hanny Nurhalimah1*, Novita Wijayanti1, Tri Dewanti Widyaningsih1 1) Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, FTP Universitas Brawijaya Malang Jl. Veteran, Malang 65145 *Penulis Korespondensi, Email: [email protected] ABSTRAK Diare merupakan penyakit infeksi usus yang menjadi masalah kesehatan di negara berkembang termasuk Indonesia. Pengobatan menggunakan obat kimia dapat menimbulkan efek samping. Perlu dilakukan pengobatan alternatif herbal. Daun beluntas adalah salah satu tanaman yang dimanfaatkan sebagai obat diare, senyawa aktif yang teridentifikasi dalam daun beluntas yaitu fenol, tanin, alkaloid, steroid dan minyak atsiri, serta memiliki sifat antibakteri penyebab diare. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui efektivitas ekstrak daun beluntas sebagai antidiare. Diawali dengan pembuatan ekstrak menggunakan rancangan tersarang. Dilanjutkan dengan pengamatan in vivo menggunakan RAL dengan 6 kelompok perlakuan. Induksi diare dengan bakteri Salmonella typhimurium, kontrol obat dengan loperamid semua perlakuan diberikan secara oral. Data hasil pengamatan menunjukkan kadar tanin, total fenol dan rendemen masing-masing sebesar 80329.58 ppm, 5104.08 ppm, dan 12.89%. Berdasarkan hasil pengamatan ekstrak daun beluntas memberikan efek antidiare pada dosis 150 dan 300 mg/kg bb, pada dosis 600 mg/kg bb memberikan efek sebanding dengan loperamid. Kata kunci: Antidiare, Ekstrak daun beluntas, Salmonella typhimurium ABSTRACT Diarrhea is infectious intestinal disease a public health problem in developing countries. Treatment using chemical drugs can cause side effects. Herbal alternative medicine needs to be done. Beluntas leaf is plant that is used as a medicine for diarrhea, the active compounds were identified, namely phenols, tannins, alkaloids, steroids and essential oils, as well as having antibacterial cause diarrhea. The purpose of research to determine the effectiveness of beluntas leaf extract as an antidiarrheal. Starting with the manufacture of the extract using a nested design. Followed by in vivo observations using CRD with 6 treatment groups. Diarrhea induced by Salmonella typhimurium, with loperamide drug control treatment administered orally. Observation data showed levels of tannins, total phenols and yield of 80329.58 ppm, 5104.08 ppm, and 12.89%. The results showed Extract beluntas antidiarrheal effects doses of 150 and 300 mg/kg, dose of 600 mg/kg bw provide comparable effects with loperamide. Keywords: Antidiarrheal, Leaf extracts beluntas, Salmonella typhimurium PENDAHULUAN Diare merupakan salah satu penyakit yang sering terjadi di Indonesia, dengan kejadian penyakit 400 per 1000 penduduk. Diare adalah buang air besar dengan feses yang tidak 1083

Efek Antidiare Ekstrak Daun Beluntas pada Mencit – Nurhalimah, dkk Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 3 No 3 p.1083-1094, Juli 2015 berbentuk atau cair dengan frekuensi lebih dari 3 kali dalam 24 jam [1]. Diare dapat disebabkan oleh bakteri yang mengkontaminasi makanan dan minuman atau oleh racun yang dihasilkan oleh bakteri-bakteri tersebut yang berhubungan erat dengan sanitasi dan higienis individu maupun masyarakat, juga dapat disebabkan oleh kelainan psikosomatik, alergi terhadap makanan atau obat-obatan tertentu, kelainan pada sistem endokrin dan metabolisme, kekurangan vitamin. Diare yang hebat dapat menyebabkan dehidrasi karena tubuh kekurangan cairan, kekurangan kalium, dan elektrolit dalam jumlah yang banyak. Dehidrasi berat akan menimbulkan kelemahan, shock bahkan kematian terutama pada anak-anak dan bayi [2]. Pengobatan dalam menanggulangi diare perlu diperhatikan terjadinya dehidrasi pada penderita, sehingga diperlukan pengganti cairan [3]. Pengobatan diare dapat menggunakan obat-obat kimia seperti loperamid, akan tetapi dapat menimbulkan efek samping seperti nyeri abdominal, mual, muntah, mulut kering, mengantuk, dan pusing. Adanya efek samping tersebut menyebabkan masyarakat lebih memilih tanaman obat berkhasiat sebagai alternatif pengobatan. Salah satu tanaman yang berpotensi sebagai obat tradisional adalah daun beluntas (Pluchea indica L). Golongan senyawa aktif yang teridentifikasi dalam daun beluntas antara lain fenol hidrokuinon, tanin, alkaloid, steroid dan minyak atsiri [4]. Senyawa tanin bersifat sebagai astringent, mekanisme tanin sebagai astringen adalah dengan menciutkan permukaan usus atau zat yang bersifat proteksi terhadap mukosa usus dan dapat menggumpalkan protein. Oleh Karena itu senyawa tanin dapat membantu menghentikan diare [5]. Daun beluntas juga mempunyai aktivitas farmakologi daya antiseptik terhadap bakteri penyebab diare yaitu Staphylococcus aureus, Escherichia coli, dan Salmonella typhimurium [6]. Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa daun beluntas diduga dapat berperan sebagai antidiare. Pada penelitian ini dilakukan ekstraksi daun beluntas dengan menggunakan metode ekstraksi yang berbeda yaitu maserasi dengan pelarut etanol dan infusa dengan pelarut air. Hal ini, bertujuan untuk mengetahui pelarut yang sesuai untuk mengekstrak senyawa fitokimia khususnya tanin yang terdapat pada daun beluntas agar didapatkan hasil yang optimal. Pengujian efek antidiare dilakukan secara in vivo pada mencit jantan yang diinduksi bakteri Salmonella typhimurium. Pembuatan ekstrak daun beluntas sebagai antidiare diharapkan mampu memberikan alternatif pengobatan diare secara alami dan tanpa efek samping bagi semua usia serta dapat mengangkat potensi daun beluntas sebagai obat herbal yang ekonomis METODOLOGI PENELITIAN Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam pembuatan ekstrak adalah daun beluntas yang didapat dari daerah Dieng Malang, akuades dan etanol 96% teknis. Bahan yang digunakan dalam analisis ekstrak adalah akuades, kertas saring, folin ciocalteu, sodium carbonate, asam galat, FeCl3, K3Fe(CN6). Bahan yang digunakan dalam uji antidiare secara in vivo yaitu mencit jantan dengan berat badan 25-30 gram, CMC 1%, obat diare (tablet lopamid®), bakteri Salmonella typhimurium, dan pakan susu pap. Alat yang digunakan dalam pembuatan ekstrak yaitu timbangan analitik, blender, spatula, rotary evaporator, gelas ukur, beaker glass, corong, kertas saring, alumunium foil, panci, kompor listrik dan termometer. Alat yang digunakan dalam analisis yaitu timbangan analitik, gelas arloji, pipet ukur, gelas ukur, labu ukur, bola hisap, kertas saring halus, spektrofotometer, vortex, colour reader, oven vacuum, desikator, tabung reaksi, sentrifuge, kompor listrik. Alat yang digunakan dalam uji antidiare secara in vivo yaitu kertas saring, jarum sonde mencit, jarum suntik skala 1 ml (One med).

1084

Efek Antidiare Ekstrak Daun Beluntas pada Mencit – Nurhalimah, dkk Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 3 No 3 p.1083-1094, Juli 2015 Desain Penelitian Metode penelitian di bagi menjadi 2 tahap. Tahap pertama yaitu proses ekstraksi daun beluntas menggunakan Rancangan Tersarang (Nested Design) yang terdiri dari dua faktor. Faktor 1 adalah metode ekstraksi yang terdiri dari 2 level yaitu maserasi dan infusa. Faktor 2 adalah rasio bahan dengan pelarut yang terdiri dari 3 level yaitu 1:5 (b/v), 1:7.5 (b/v) 1:10 (b/v). Masing-masing diulang sebanyak 3 kali ulangan. Tahap kedua yaitu penelitian in vivo menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 1 faktor yang terdiri dari 6 kelompok, masing-masing kelompok terdapat 4 ekor mencit. Kelompok 1 (K-) mencit normal tidak mengalami diare, kelompok 2 (K+) diare tanpa perlakuan, kelompok 3 (kontrol obat) diare dengan perlakuan obat loperamid, kelompok 4 diare dengan perlakuan dosis 150 mg/kg bb, kelompok 5 diare dengan perlakuan dosis 300 mg/kg bb, dan kelompok 6 diare dengan perlakuan dosis 600 mg/kg bb. Tahapan Penelitian Proses ekstraksi diawali dengan pencucian daun beluntas. Dikengeringan dengan pengering kabinet suhu 60 0C selama ± 2 jam. Penghalusan dengan blender kering sampai menjadi serbuk. Proses ekstraksi dengan 2 metode, metode maserasi dengan pelarut etanol yaitu direndam pada suhu 27 0C selama 3 x 24 jam, metode infusa dengan pelarut air yaitu direbus pada suhu 80-90 0C selama 15 menit. Penyaringan dengan menggunakan kertas saring halus. Penguapan pelarut dengan menggunakan rotary evaporator suhu 40 0C. Pada pelarut etanol menggunakan tekanan 175 mBar, pada pelarut air menggunakan tekanan 73 mBar. Masing-masing diuapkan selama ± 30 menit. Tahapan penelitian in vivo yaitu mencit diadaptasi lingkungan selama 1 minggu. Mencit dipuasakan selama 60 menit sebelum penelitian, lalu dikelompokkan menjadi 6 kelompok masing-masing 4 ekor mencit Semua mencit di berikan Salmonella typhimurium dosis 108 cfu/ml secara oral sebanyak 0.4 ml/ekor mencit, kecuali kontrol negatif. 30 menit setelah pemberian Salmonella typhimurium, masing-masing kelompok diberi perlakuan, yaitu kelompok 1 diberikan akuades sebanyak 0.4 ml sebagai kontrol positif. Kelompok 2 diberikan Salmonella typhimurium dosis 108 cfu/ml sebanyak 0.4 ml sebagai kontrol positif. Kelompok 3 diberikan Salmonella typhimurium dosis 108 cfu/ml dan loperamid HCl 0.0102 mg/kg bb masing-masing sebanyak 0.4 ml sebagai control obat. Kelompok 4, 5, dan 6 diberikan dosis 1, 2, dan 3 yaitu 150 mg/kg bb, 300 mg/kg bb, 600 mg/kg bb masing-masing sebanyak 0.4 ml, semua perlakuan diberikan secara oral. Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis statistik dengan menggunakan analisis ragam (ANOVA) kemudian dilakukan uji BNT (Beda Nyata Terkecil) taraf 5%. Uji antidiare menggunakan One Way Anova SPSS Versi 17.0. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Bahan Baku Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah daun beluntas yang dikeringkan kemudian digiling sampai menjadi bubuk. Analisis yang dilakukan terhadap bahan baku antara lain kadar tanin dan total fenol. Analisis rendemen dilakukan pada daun beluntas yang masing basah. Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa kadar tanin bubuk daun beluntas sebagai bahan baku yaitu sebesar 20180.04. Total fenol bubuk daun beluntas sebagai bahan baku yaitu sebesar 2124.48 ppm GAE, senyawa fenol merupakan kelompok senyawa kimia yang ditemukan sangat luas pada tanaman. Tinggi rendahnya total fenol pada bahan baku dapat dipengaruhi oleh tingkat umur daun, kondisi tanah, dan pengaruh lingkungan baik secara fisik, biologi maupun kimiawi. Rendemen bubuk daun beluntas sebesar 26.47% rendemen bubuk 1085

Efek Antidiare Ekstrak Daun Beluntas pada Mencit – Nurhalimah, dkk Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 3 No 3 p.1083-1094, Juli 2015 daun beluntas diperoleh dari perbandingan berat bubuk daun beluntas dengan berat daun beluntas segar. Selama proses pengeringan sampai dengan penyerbukan terjadi penurunan berat daun beluntas. Penurunan berat dikarenakan adanya proses pengeringan yang dapat menghilangkan sebagian air yang terdapat dalam daun beluntas. Tabel 1. Hasil Analisis Kimia Bubuk Daun Beluntas Parameter Hasil Analisis Tanin 20180.04 ppm Fenol 2124.48 ppm GAE Rendemen 26.47 % Analisis Ekstrak Daun Beluntas 1. Kadar Tanin Tanin merupakan senyawa golongan polifenol yang bersifat polar. Metode uji kuantitatif tanin menggunakan spektrofotometer UV-Vis dengan panjang gelombang 620 nm [7]. Tabel 2. Rerata Pengaruh Perlakuan Metode Ekstraksi Serta Rasio Bahan dengan Pelarut Terhadap Kadar Tanin Ekstrak Daun Beluntas Rasio Bahan dengan Jenis Tepung Kadar Tanin (ppm) BNT 5% Pelarut (b/v) 65212.84 ± 567.78 a 1:5 Maserasi 1:7.5 70381.20 ± 2520.11 b 2461.70 1:10 80329.58 ± 1463.83 c 37989.13 ± 107.27 a 1:5 Infusa 1:7.5 40506.58 ± 865.67 b 2461.70 1:10 50273.48 ± 1381.93 c Keterangan: Angka didampingi huruf yang tidak sama menunjukkan berbeda nyata (α=0.05) Tabel 2 dapat diketahui bahwa kadar tanin ekstrak daun beluntas pada perlakuan metode maserasi dan infusa semakin meningkat dengan meningkatnya rasio pelarut yang digunakan. Kadar tanin tertinggi menggunakan metode maserasi dan metode infusa dengan rasio bahan dengan pelarut 1:10 (b/v). Pelarut polar hanya akan melarutkan solut yang polar dan pelarut non polar akan melarutkan solut yang non polar atau disebut like dissove like [8]. Semua jenis tanin dapat larut dalam air, kelarutannya akan bertambah besar apabila dilarutkan dalam air panas. Begitu juga tanin akan larut dalam pelarut organik, seperti metanol, etanol, aseton dan pelarut organik lainnya. Rerata kadar tanin ekstrak daun beluntas metode maserasi lebih besar daripada metode infusa diduga karena pada metode infusa menggunakan pelarut air dan pada metode maserasi menggunakan pelarut etanol, massa dan tingkat kepolaran dari dua pelarut tersebut berbeda. Tanin mempunyai kelarutan dalam air yang lebih kecil dari etanol, kelarutan tanin dalam air 0.65 gram per 1 mL (suhu 70 0C), pada temperatur yang sama kelarutan tanin dalam etanol 0.82 gram per 1 mL [9]. 2. Total Fenol Senyawa fenol adalah kelompok metabolit sekunder yang ditemukan dalam jaringan tanaman. Pengukuran total fenol menggunakan metode pewarnaan dengan reagen Folin Ciocalteu yang didasarkan pada kekuatan reduksi gugus hidroksil aromatik dengan komplek fosfomolibdat dari reagen Folin Ciocalteu [10]. Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa total fenol ekstrak daun beluntas pada perlakuan metode maserasi dan infusa semakin meningkat dengan meningkatnya rasio pelarut yang digunakan. Total fenol tertinggi pada ekstrak daun beluntas menggunakan metode 1086

Efek Antidiare Ekstrak Daun Beluntas pada Mencit – Nurhalimah, dkk Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 3 No 3 p.1083-1094, Juli 2015 maserasi dan metode infusa dengan rasio bahan dengan pelarut 1:10 (b/v). Rerata total fenol ekstrak daun beluntas dengan metode maserasi lebih besar daripada metode infusa karena pada metode maserasi menggunakan pelarut etanol dan pada metode infusa menggunakan pelarut air. Pada proses ekstraksi infusa dilakukan dengan proses pemanasan yang mana suhu sangat berpengaruh terhadap senyawa fenol. Total fenol menurun seiring lamanya waktu pemanasan meskipun dengan suhu yang lebih rendah [11]. Tabel 3. Rerata Pengaruh Perlakuan Metode Ekstraksi Serta Rasio Bahan dengan Pelarut Terhadap Total Fenol Ekstrak Daun Beluntas Rasio Bahan dengan Jenis Tepung Total Fenol (ppm GAE) BNT 5% Pelarut (b/v) 4717.90 ± 40.41 a 1:5 Maserasi 1:7.5 4899.02 ± 18.58 b 64.72 1:10 5104.08 ± 18.39 c 3135.65 ± 37.15 a 1:5 Infusa 1:7.5 3306.50 ± 12.52 b 64.72 1:10 3541.86 ± 63.91 c Keterangan: Angka didampingi huruf yang tidak sama menunjukkan berbeda nyata (α=0.05) 3. Rendemen Rendemen ekstrak dihitung dengan membagi berat (gram) ekstrak yang diperoleh dengan berat (gram) bahan kering yang di ekstrak dikalikan 100% [12]. Tabel 4. Rerata Pengaruh Perlakuan Metode Ekstraksi Serta Rasio Bahan dengan Pelarut Terhadap Rendemen Ekstrak Daun Beluntas Rasio Bahan dengan Jenis Tepung Rendemen (%) BNT 5% Pelarut (b/v) 7.56 ± 0.30 a 1:5 Maserasi 1:7.5 9.21 ± 0.20 b 0.69 1:10 12.19 ± 0.20 c 14.18 ± 0.61a 1:5 Infusa 1:7.5 16.05 ± 0.26 b 0.69 1:10 18.55 ± 0.52 c Keterangan: Angka didampingi huruf yang tidak sama menunjukkan berbeda nyata (α=0.05) Tabel 4 menunjukkan bahwa kecenderungan nilai rendemen ekstrak daun beluntas pada perlakuan metode maserasi dan infusa semakin meningkat dengan meningkatnya rasio pelarut. Nilai rendemen tertinggi pada ekstrak daun beluntas menggunakan metode maserasi dan metode infusa dengan rasio bahan dan pelarut 1:10 (b/v). Semakin tinggi rasio pelarut dalam ekstraksi maka akan memiliki yield yang makin banyak. Hal ini disebabkan karena kontak antara matriks bahan dan pelarut akan lebih besar ketika volume pelarut yang lebih besar digunakan, sehingga memudahkan pelarut untuk melakukan penetrasi kedalam sel matriks bahan dan melarutkan senyawa target [13]. Rendemen hasil ekstraksi akan terus meningkat hingga larutan menjadi jenuh. Rasio bahan dengan pelarut 1:10 (b/v) adalah rasio yang optimal, sedangkan pada rasio bahan dengan pelarut 1:5 (b/v) yang memiliki volume pelarut yang lebih sedikit menyebabkan kontak antara bahan dengan pelarut belum maksimal sehingga rendemen yang dihasilkan lebih rendah. Rerata rendemen ekstrak daun beluntas dengan metode infusa lebih besar daripada metode maserasi karena pada metode infusa menggunakan pelarut air dan pada metode maserasi menggunakan pelarut etanol.

1087

Efek Antidiare Ekstrak Daun Beluntas pada Mencit – Nurhalimah, dkk Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 3 No 3 p.1083-1094, Juli 2015 Pemilihan Perlakuan Terbaik Pemilihan perlakuan terbaik parameter ditentukan melalui multiple attribute [14]. Hasil perlakuan terbaik adalah pada perlakuan metode ekstraksi maserasi menggunakan pelarut etanol dengan rasio bahan pelarut 1:10 (b/v). Perlakuan terbaik analisis kadar tanin sebesar 800329.58 ppm, total fenol sebesar 5104.08 ppm GAE, dan rendemen sebesar 12.89%. Uji Antibakteri Uji antibakteri dilakukan untuk mengetahui penghambatan terhadap bakteri patogen, bakteri patogen yang digunakan adalah Salmonella typhimurium. Metode yang digunakan dalam uji antibakteri ekstrak daun beluntas ini adalah metode difusi cakram. Pengujian aktivitas antibakteri dikatakan positif bila di sekitar kertas cakram terdapat zona bening yang bebas dari pertumbuhan bakteri. Uji antibakteri dilakukan pada ekstrak dari hasil pemilihan perlakuan terbaik dengan multiple attribute. Tabel 5. Diameter Zona Hambat Pertumbuhan Salmonella typhimurium Perlakuan Daun Beluntas (mm) Kontrol (-) Kontrol (+) Amoxilin 1% 13.15 Ekstrak 5 % 6.85 Ekstrak 10 % 7.55 Ekstrak 15 % 9.45 Dari Tabel 5 menunjukkan bahwa semua konsentrasi menunjukkan diameter zona bening yang berbeda. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak, maka memiliki zona bening yang paling lebar. Diameter zona hambat ekstrak menunjukkan aktivitas antibakteri ekstrak daun beluntas pada masing-masing konsentrasi. Kontrol positif memiliki diameter zona hambat terbesar yaitu 13.15 mm, karena amoxilin merupakan antibiotik yang efektif untuk berbagai jenis infeksi. Hasil dari pengujian didapatkan bahwa ekstrak daun beluntas dapat menghambat pertumbuhan Salmonella typhimurium. Terbentuknya zona hambat ini dikarenakan adanya zat antibakteri dalam ekstrak. Daun beluntas secara signifikan dapat menghambat pertumbuhan Salmonella typhi secara in vitro [15]. Senyawa antibakteri yang berperan sebagai antibakteri adalah tanin, efek tanin sebagai antibakteri disebabkan oleh kemampuan tanin untuk mengaktifkan enzim adhesion, enzim dan protein transport cell envelope. Tanin juga membentuk kompleks polisakarida yang dapat merusak dinding sel bakteri. Sebagai akibatnya, metabolisme bakteri terganggu dan menyebabkan kematian bakteri [16]. Efek menghambat pertumbuhan bakteri dari ekstrak daun beluntas diduga juga berkaitan dengan senyawa fenol yang dikandungnya. Golongan fenol mampu merusak membran sel, menginaktifkan enzim dan mendenaturasi protein sehingga dinding sel mengalami kerusakan karena penurunan permeabilitas. Perubahan permeabilitas membran sitoplasma memungkinkan terganggunya transportasi ion-ion organik yang penting ke dalam sel sehingga berakibat terhambatnya pertumbuhan bahkan hingga kematian sel [17]. Pengujian Efek Antidiare Secara In vivo Pengamatan in vivo dimulai dengan melihat saat mulai terjadinya diare dengan melihat konsistensi feses mencit yang berlendir/berair berwarna kuning. Masing-masing kelompok diinduksi bakteri Salmonella typhimurium. Saat mulai terjadinya diare pada masing-masing kelompok perlakuan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 menunjukkan pengaruh dari bakteri Salmonella typhimurium terhadap respon diare pada mencit. Setiap mencit memiliki waktu diare yang berbeda yaitu sekitar 81.25-87.5 menit. Diduga karena masing-masing mencit masih memiliki cadangan makanan di dalam tubuh 1088

Efek Antidiare Ekstrak Daun Beluntas pada Mencit – Nurhalimah, dkk Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 3 No 3 p.1083-1094, Juli 2015 yang berbeda-beda, serta memiliki sistem imun yang berbeda. Kelompok kontrol negatif berbeda nyata dengan kelompok lainnya yang diinduksi Salmonella typhimurium. Sedangkan kontrol positif, kontrol obat dan perlakuan dosis menunjukkan tidak berbeda nyata karena semua perlakuan tersebut dilakukan induksi Salmonella typhimurium. Induksi bakteri Salmonella typhimurium mengakibatkan mencit menjadi diare, karena Salmonella typhimurium merupakan bakteri patogen penyebab gastroentritis yaitu infeksi pada setelah masuknya organisme. Penyakit ini ditandai dengan mual, muntah, diare, demam, dan nyeri abdomen. Tinja biasanya tidak berdarah dengan volume moderat, kadang-kadang disertai dengan nyeri perut kuadran kanan seperti usus buntu [18].

Tabel 6. Saat Mulai Terjadi Diare Perlakuan Saat Mulai Terjadi Diare (menit) Kontrol negatif (mencit tidak mengalami diare) 0a Kontrol positif (diare tanpa perlakuan) 81.25 ± 13.15 b Kontrol obat (diare dengan perlakuan loperamid) 82 ± 12.35 b P1 (diare dengan perlakuan dosis 150 mg/kg bb) 82.5 ± 10.41 b P2 (diare dengan perlakuan dosis 300 mg/kg bb) 87.5 ± 14.43 b P3 (diare dengan perlakuan dosis 600 mg/kg bb) 81.5 ± 8.74 b Keterangan: Angka didampingi huruf yang tidak sama menunjukkan berbeda nyata (α=0.05) Tahapan terjadinya diare karena infeksi bakteri yaitu dengan mekanisme sebagai berikut. Bakteri masuk dalam traktus digestif, kemudian berkembang biak dan mengelouarkan toxic (enterotoxic) yang akan merangsang epitel usus sehingga terjadi peningkatan aktivitas enzim adenil siklase. Akibat peningkatan aktivitas enzim, maka akan terjadi peningkatan CAMP. Akumulasi CAMP akan menyebabkan sekresi klorida, natrium dan air dari lumen usus kedalam sel. Kemudian akan terjadi hiperperistaltik, usus untuk mengeluarkan cairan yang berlebih dari lumen usus halus ke usus besar. Bila kemampuan penyerapan kolon berkurang atau sekresi cairan melebihi penyerapan kolon maka terjadi diare [19]. Penentuan Konsistensi Feses Dalam penentuan konsistensi feses dilakukan dengan melihat bentuk feses yang terjadi, dapat dikategorikan menjadi 3 kelompok, yaitu konsistensi feses berlendir atau berair, konsistensi feses lembek, dan konsistensi feses normal. 1. Konsistensi Feses Berlendir atau Berair Parameter yang dilihat dari kategori ini yaitu lama terjadinya diare, diameter serapan air, dan berat feses. Hasil yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Konsistensi Feses Berlendir atau Berair Lama Terjadinya Diameter Perlakuan Berat Feses (g) Diare (menit) Serapan Air (cm) K- (tidak mengalami diare) 0a 0a 0.058 ± 0.008 a K+ (diare tanpa perlakuan) 230 ± 8.16 d 1.6 ± 0.258 b 0.174 ± 0.008 b KO (dengan obat loperamid) 190 ± 15.81 b 1.5 ± 0.182 b 0.166 ± 0.009 b P1 (dengan dosis 150 mg/kg bb) 232.5 ± 2.89 d 1.7 ± 0.141 b 0.169 ± 0.153 b P2 (dengan dosis 300 mg/kg bb) 212.5 ± 6.45 c 1.55 ± 0.129 b 0.171 ± 0.120 b P3 (dengan dosis 600 mg/kg bb) 193.75 ± 4.79 b 1.47 ± 0.170 b 0.165 ± 0.115 b Keterangan: Angka didampingi huruf yang tidak sama menunjukkan berbeda nyata (α=0.05)

1089

Efek Antidiare Ekstrak Daun Beluntas pada Mencit – Nurhalimah, dkk Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 3 No 3 p.1083-1094, Juli 2015 Tabel 7 menunjukkan pengaruh ekstrak daun beluntas terhadap waktu lama terjadinya diare konsistensi feses berlendir atau berair. Berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan perbedaan yang nyata. P1 dan kontrol positif memiliki waktu paling lama yaitu 230 dan 232 menit. Kontrol obat memiliki waktu paling cepat yaitu 190 menit. Pada P3 dan P2 memiliki watu 212 dan 232 menit. Mencit yang mengalami diare ditandai dengan feses yang banyak mengandung cairan hingga encer. Mencit dalam keadaan diare akan mengalami dehidrasi, sehingga pada kontrol positif dan P1 menunjukkan waktu paling lama. Pada P1 diduga tanin yang berperan sebagai antidiare masih kurang bekerja karena kandungan dosis yang dimiliki masih rendah. Kontrol obat dengan loperamid diduga bekerja sebagai penyeimbang untuk menormalkan resorpsi sekresi dari sel-sel mukosa, yaitu memulihkan sel-sel yang berada dalam kondisi hipersekresi ke keadaan resorpsi normal [20]. Pada P3 dan P2 menunjukkan waktu diare yang berbeda pula, waktu yang paling cepat adalah pada P3. Diduga tanin yang terdapat pada P3 merupakan yang paling mampu bekerja sebagai astringent. Tanin memiliki efek antidiare yang bekerja sebagai pembeku protein atau astringent yaitu zat yang berikatan pada mukosa kulit atau jaringan yang berfungsi membekukan protein. Sehingga membran mukosa menjadi kering dan membentuk pembatas (thight junction) yang bersifat resisten terhadap inflamasi dari mikroorganisme, selain itu tanin dapat menghambat sekresi dari klorida melalui ikatan antara protein tannate yang berada di usus dengan tanin [21]. Berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara kontrol negatif dengan perlakuan terhadap diameter serapan air dan berat feses. Konsistensi feses berlendir atau berair apabila kadar air feses melewati 80% dimana feses akan lunak dan muddy [22]. Hal ini karena bakteri Salmonella typhimurium telah menginfeksi saluran pencernaan pada mencit, sehingga konsistensi feses mencit menjadi lunak dan memiliki volume yang besar. 2. Konsistensi Feses Lembek Parameter yang dilihat dari kategori ini yaitu lama terjadinya diare, diameter serapan air, dan berat feses. Hasil yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Konsistensi Feses Lembek Lama Terjadinya Diameter Berat Feses Perlakuan Diare (menit) Serapan Air (g) (cm) K- (tidak mengalami diare) 0a 0a 0.052 ± 0.007 a K+ (diare tanpa perlakuan) 577.5 ± 41.13 d 0.4 ± 0.141 b 0.111 ± 0.010 b KO (dengan obat loperamid) 325 ± 14.72 b 0.37 ± 0.096 b 0.111 ± 0.006 b P1 (dengan dosis 150 mg/kg bb) 402.5 ± 6.45 c 0.45 ± 0.058 b 0.107 ± 0.008 b P2 (dengan dosis 300 mg/kg bb) 372.5 ± 6.45 c 0.47 ± 0.126 b 0.115 ± 0.014 b P3 (dengan dosis 600 mg/kg bb) 321.25 ± 6.29 b 0.37 ± 0.096 b 0.108 ± 0.139 b Keterangan: Angka didampingi huruf yang tidak sama menunjukkan berbeda nyata (α=0.05) Tabel 8 menunjukkan pengaruh ekstrak daun beluntas terhadap konsistensi lembek. Berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan perbedaan yang nyata. Kontrol positif memiliki waktu paling lama yaitu 577 menit dan yang memiliki waktu paling cepat yaitu kontrol obat dan P3 yaitu 325 dan 321 menit. Sedangkan pada P1 dan P2 memiliki waktu 402 dan 321 menit. Pada tiga perlakuan dosis yang berbeda menunjukkan waktu diare yang berbeda. Disebabkan karena jumlah dosis yang diberikan berbeda sehingga mempengaruhi kekuatan bahan uji dalam menekan diare. Semakin tinggi dosis yang diberikan maka semakin besar efek antidiare yang dihasilkan oleh dosis ekstrak tersebut. Terbukti dengan P3 yang memiliki waktu paling cepat, diduga tanin yang terdapat pada P3 merupakan yang paling mampu bekerja 1090

Efek Antidiare Ekstrak Daun Beluntas pada Mencit – Nurhalimah, dkk Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 3 No 3 p.1083-1094, Juli 2015 sebagai antidiare karena infeksi bakteri Salmonella typhimurium, tanin yang terdapat dalam daun beluntas juga bersifat antibakteri yang telah ditunjukkan pada analisis antibakteri terhadap bakteri Salmonella typhimurium. Efek tanin sebagai antibakteri disebabkan oleh kemampuan tanin untuk mengaktifkan enzim adhesion, enzim dan protein transport cell envelope. Tanin juga membentuk kompleks polisakarida yang dapat merusak dinding sel bakteri. Sebagai akibatnya, metabolisme bakteri terganggu dan menyebabkan kematian bakteri [16]. Berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara kontrol negatif dengan perlakuan terhadap diameter serapan air dan berat feses. Feses yang lembek memiliki massa yang lebih berat dibandingkan dengan feses normal. 3. Konsistensi Feses Normal Parameter yang dilihat dari kategori ini yaitu lama terjadinya diare, diameter serapan air, dan berat feses. Hasil yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Konsistensi Feses Normal Lama Terjadinya Diameter Perlakuan Berat Feses (g) Diare (menit) Serapan Air (cm) K- (tidak mengalami diare) 0a 0 0.055 ± 0.009 a K+ (diare tanpa perlakuan) 853.75 ± 47.85 e 0 0.048 ± 0.010 a KO (dengan obat loperamid) 433.25 ± 22.26 b 0 0.053 ± 0.008 a P1 (dengan dosis 150 mg/kg bb) 520 ± 7.50 d 0 0.055 ± 0.006 a P2 (dengan dosis 300 mg/kg bb) 490 ± 10.90 c 0 0.059 ± 0.009 a P3 (dengan dosis 600 mg/kg bb) 435 ± 17.79 b 0 0.053 ± 0.012 a Keterangan: Angka didampingi huruf yang tidak sama menunjukkan berbeda nyata (α=0.05) Tabel 9 menunjukkan pengaruh ekstrak daun beluntas terhadap waktu terjadinya feses kembali normal. Berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan perbedaan yang nyata. Kontrol positif memiliki waktu paling lama yaitu 853 menit dan yang memiliki paling cepat yaitu kontrol obat dan P3 yaitu 433 dan 435 menit. Sedangkan pada P1 dan P2 memiliki watu 520 dan 490 menit. Kontrol positif menunjukkan waktu yang paling lama diduga karena akuades yang diberikan tidak dapat bekerja untuk mengkondisikan dehidrasi dan mengembalikan keseimbangan elektrolit dalam usus. Pada tiga perlakuan dosis yang berbeda menunjukkan waktu diare dengan konsistensi feses kembali normal yang berbeda. Terbukti dengan P3 memiliki waktu paling cepat. Pada P3 menunjukkan perbedaan yang tidak berbeda nyata dengan kontrol obat, artinya memberikan efek antidiare yang setara dengan loperamid. P1 dan P2 dibandingkan dengan kontrol normal menunjukkan perbedaan yang nyata, artinya sudah menunjukkan efek antidiare meskipun masih berbeda nyata dengan kontrol obat. Pada pemberian P1 dan P2 efek antidiare lebih lemah, sedangkan P3 sebanding dengan kontrol obat. Pada konsistensi feses kembali normal, cara kerja tanin dalam menekan diare karena infeksi bakteri Salmonella typhimurium sudah optimal dengan mengkelat dan protektif dimana tanin akan mengendap pada mukosa sepanjang dinding saluran pencernaan dan secara tidak langsung menciutkan usus saat terjadi diare sehingga menekan gerakan peristaltik usus dan mengurangi rangsang terhadap aktivitas peristaltik yang meningkat [23]. Daun beluntas memiliki kandungan minyak atsiri, tanin, fenol. Senyawa tanin yang terkandung dalam beluntas diduga bekerja sebagai astringens yaitu dapat menciutkan selaput lendir usus sehingga dapat menekan terjadinya diare dan meringankan keadaan diare yang non spesifik pada mencit [20]. Berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata terhadap berat feses, karena semua berat feses kembali ke fase awal yaitu fase kembali normal. 1091

Efek Antidiare Ekstrak Daun Beluntas pada Mencit – Nurhalimah, dkk Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 3 No 3 p.1083-1094, Juli 2015 Rentang Waktu Diare Rentang waktu diare untuk mengetahui berapa lama diare terjadi setalah penginduksian bakteri Salmonella typhimurium sampai feses kembali normal. Dalam mengamati rentang waktu diare, dihitung pada waktu terbentuknya feses kembali normal dikurangi waktu saat mulai terjadinya diare. Tabel 10. Rentang Waktu Diare Perlakuan Total Rentang Waktu Diare (menit) Kontrol negatif (mencit tidak mengalami diare) 0 Kontrol positif (diare tanpa perlakuan) 772.5 Kontrol obat (diare dengan perlakuan loperamid) 351.25 P1 (diare dengan perlakuan dosis 150 mg/kg bb) 437.5 P2 (diare dengan perlakuan dosis 300 mg/kg bb) 402.5 P3 (diare dengan perlakuan dosis 600 mg/kg bb) 353.5 Tabel 10 menunjukkan pengaruh ekstrak daun beluntas terhadap rentang waktu diare. Kontrol positif memiliki waktu paling lama yaitu 772 menit dan yang memiliki paling cepat yaitu kontrol obat dan P3 yaitu 351 dan 353 menit. Sedangkan pada P1 dan P2 memiliki waktu 437 dan 402 menit. Semakin cepat rentang waktu diare, maka semakin kuat efek antidiare. Disebabkan karena jumlah dosis yang diberikan berbeda-beda sehingga mempengaruhi kekuatan bahan uji dalam menekan diare. Semakin tinggi dosis yang diberikan maka semakin besar efek antidiare yang dihasilkan oleh dosis ekstrak tersebut. P3 menunjukkan hasil yang sebanding dengan kontrol obat loperamid. Sedangkan P1 dan P2 memiliki efek yang lebih rendah dibandingkan dengan kontrol obat, akan tetapi masih terlihat efeknya jika dibandingkan dengan kontrol positif. Diduga karena senyawa tanin yang terdapat pada P1 dan P2 masih kurang bisa memaksimalkan kerja usus. Kontrol positif menunjukkan diare dengan waktu yang paling lama karena pada saat diare usus mengalami kehilangan banyak elektrolit sehingga air yang berada pada usus tidak mampu terserap oleh usus. Kelompok perlakuan maupun kontrol obat mempunyai efek dalam mempersingkat waktu diare. Tanin di klasifikasikan menjadi dua kategori yaitu hydrolyzed tannin dan condense tannin. Hydrolyzed tannin memiliki kemampuan astringent lebih besar terhadap diare yang disebabkan infeksi. Protein tannat yang dipecah akan berikatan dengan hydrolyzed tannin yang melewati intestine dan menurunkan sekresi dari usus kecil sehingga menyebabkan konstipasi [21]. Condense tannin mempunyai efek sebagai proteksi. Tanin merupakan astringent yang dapat berikatan dengan membran mukosa, kulit dan jaringan lain sehingga dapat berikatan dengan protein yang dapat membentuk pembatas yang resisten terhadap reaksi mikroba, sehingga condense tannin dapat digunakan untuk pengobatan diare karena mengurangi jumlah cairan yang hilang dari saluran cerna [24]. Condense tannin juga dapat membantu mengembalikan keseimbangan flora di usus dengan menginduksi gamma-delta T sel yang berekspansi ke sel usus yang dapat menstimulasi sistem imun dari mukosa jaringan untuk menghambat bakteri patogen. Condense tannin mengurangi degradasi protein di lumen intestine dengan cara berikatan dengan protein pada pH 7.5-3.5 dan akan melepas protein pada saat pH kurang dari 3,5 sehingga dapat memudahkan asam amino untuk diserap oleh tubuh, selain itu protein tannate yang berada pada saluran dipecah kemudian akan berikatan dengan tanin melewati usus sehingga dapat menurunkan sekresi cairan dari usus halus yang menimbulkan efek konstipasi [24].

1092

Efek Antidiare Ekstrak Daun Beluntas pada Mencit – Nurhalimah, dkk Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 3 No 3 p.1083-1094, Juli 2015 SIMPULAN Metode ekstraksi yang sesuai untuk ekstraksi senyawa tanin adalah metode maserasi menggunakan pelarut etanol 96% dengan rasio bahan dengan pelarut 1:10 (b/v). Ekstrak daun beluntas memiliki efek antibakteri terhadap bakteri Salmonella typhimurium dengan zona penghambatan konsentrasi minimal 5% dan mempunyai daya hambat paling baik yaitu dengan konsentrasi 15%. Perlakuan dosis 3 (dosis 600 mg/kg bb) merupakan dosis ekstrak daun beluntas yang mempunyai efek sebanding dengan loperamid HCl. DAFTAR PUSTAKA 1) 2) 3) 4) 5)

6)

7)

8) 9)

10)

11) 12) 13)

14) 15)

16)

Zein, U., Sagala, K.H dan Ginting, J. 2012. Diare Akut Disebabkan Bakteri. Bagian Ilmu Penyakit. Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi Ganong, W.F. 1999. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 17. EGC. Jakarta Sujono, H. 1999. Gastroentrologi. Penerbit Alumni. Jakarta Ardiansyah, L., Nuraida dan Andarwulan. 2002. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Daun Beluntas (Pluchea indica Less.). Prosiding Seminar Tahunan PATPI. Malang Adnyana., Yulinah., Sigit., Fisheri and Insanu. 2004. Efek Ekstrak Daun Jambu Biji Daging Buah Putih dan Merah Sebagai Antidiare. Departemen Farmasi. ITB. Acta Pharmaceutica Indonesia. 29 : 19-27 Ismi, R., Ratnawati, D.M and Yudi, R. 2010. Uji Aktifitas Antibakteri Fraksi Aktif Ekstrak Etanolik Daun Beluntas (Pluchea indica L.) dengan Metode Maserasi dan Soxhletasi Terhadap Salmonella typhi atcc 13311 Secara Dilusi. Jurnal Fakultas Farmasi. Universitas Setia Budi. Surakarta Gupta and Rohit. 2011. Visual Estimation and Spectrophotometric Determination of Tannin Content and Antioxidant Activity of Three Common Vegetable. Department of Chemistry, Bundelkhand University, Jhansi (UP) India. Vol. 2 : 175-182 Shriner, R.L., R.C. Fuson., D.Y Curtin., C.K.F Herman and Morili. 1980. The Systematic Identificatin of Organic Compounds. 6nd Edition. John Willey and Sons Inc. Singapore Ismail. 1010. Flowsheet Pra Rancangan Pembuatan Tanin dari Biji Pinang Kapasitas Produksi 27.775 Ton/Tahun. Laporan Tugas Akhir. Departemen Teknik Kimia. Universitas Sumatera Utara. Medan Sharma, G.N. 2011. Phytochemical Screening and Estimation of Total Phenolic Content in Aegle marmelos Seeds. International Journal of Pharmaceutical and Clinical Research. 2:27-29 Susilowati. 2010. Pemanfaatan Kulit Buah Kakao dari Limbah Perkebunan Kakao Sebagai Bahan Baku Pulp dengan Proses Organosolv. Ilmiah Teknik Lingkungan. 2 : 80-8 Yuwono, S.S dan Susanto, T. 1998. Pengujian Fisik Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Brawijaya Malang Zhang., Yang and Wang. 2011. Microwave Assisted Extraction of Secondary Metabolites from Plants: Current Status and Future Directions. Trends in Food Science & Technology. 22 : 672–688 Zeleny, M. 1982. Multiple Criteria Decision Making. Mc.Graw-Hill Book. New York Virgayanti, P. 2005. Efek Dekok Daun Beluntas (Pluchea indica) sebagai Antimikroba terhadap Salmonella typhi Secara In Vitro. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. Malang Dewi, F.K. 2010. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Buah Mengkudu (Morinda citrifolia Linn) Terhadap Bakteri Pembusuk Daging Segar. Jurusan Biologi MIPA Universitas Sebelas Maret. Surakarta

1093

Efek Antidiare Ekstrak Daun Beluntas pada Mencit – Nurhalimah, dkk Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 3 No 3 p.1083-1094, Juli 2015 17) Damayanti, E. dan T.B. Suparjana. 2007. Efek penghambatan beberapa fraksi ekstrak buah mengkudu terhadap Shigella dysenteriae. Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia Kejuangan. Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto 18) Dzen., Roekistiningsih., Santoso, S., dan Winarsih, S. 2010. Bakteriologi Medik. Putra Media Nusantara. Malang 19) Zein, U. 2004. Diare Akut Infeksius pada Dewasa. http://library.usu.ac.id.download/fk/penydalam-umar.pdf. Tanggal akses : 05/12/2013 20) Tjay, H.T dan Rahardja, K. 2002. Obat-obat Penting: Khasiat, Penggunaan dan Efek-efek Sampingnya. Edisi 5. Cetakan pertama. Gramedia. Jakarta 21) Clinton, C. 2009. Plant Tannins A Novel Approach to the Treatment of Ulcerative Colitis. USA. Natural Medicine Journal. Vol 2. P 1-3 22) Spehlmann, M.E., Dann S.M., Hruz, P., Hanson, E., Mc.Cole D.F and Eckmann. 2009. CXCR2-Dependent Mucosal Neutrophil Infl ux Protects Against Colitis-Associated Diarrhea Caused by an Aching/Effi Cacing Lesion-Forming Bacterial Pathogen. Journal Immunology 183 : 3333-3343 23) Enda, W. 2010. Uji Efek Antidiare Ekstrak Etanol Kulit Batang Salam Terhadap Mencit Jantan. Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Medan 24) Eilif A. 2007. A Practitioners Perspectives Traditional Tannin Treatment Against Intestinal Parasites in Sheep and Cattle. www.ethnobotanyjournal.org/vol1/i1547-3465-01-031.pdf. Tanggal akses : 12/06/2014

1094