EFEK EKSTRAK ETANOL 70% DAUN PEPAYA (Carica papaya, Linn.) TERHADAP AKTIVITAS AST & ALT PADA TIKUS GALUR WISTAR SETELAH PEMBERIAN OBAT TUBERKULOSIS (Isoniazid & Rifampisin)
oleh: Santi Dwi Astuti 11051968A
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SETIA BUDI SURAKARTA 2009
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Tuberkulosis sampai saat ini masih merupakan penyebab angka kematian yang tinggi di negara berkembang, bahkan di negara maju angka kematian tuberkulosis meningkat kembali seiring dengan meningkatnya Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immunodeficiency Sindrom (HIV/AIDS) (Prihatni et al 2005). Penyakit tuberkulosis terutama tuberkulosis paru masih merupakan masalah kesehatan di negara berkembang seperti di Indonesia, diperkirakan 1020 juta penderita tersebar di seluruh dunia.
Obat-obat anti tuberkulosis seperti isoniazid (INH), rifampisin, pirazinamid dan ethambutol mempunyai beberapa efek samping, dari yang ringan sampai yang berat. Efek samping yang patut diwaspadai adalah efek hepatotoksik. Hampir semua obat anti tuberkulosis mempunyai efek hepatotoksik kecuali streptomisin (Arsyad 1996). Hati adalah organ terbesar dan secara metabolisme paling kompleks di dalam tubuh. Organ ini terlibat dalam metabolisme zat makanan serta sebagian obat dan toksikan. Zat yang biasanya dapat mengalami detoksifikasi, tetapi banyak toksikan dapat dibioaktifkan dan menjadi lebih toksik (Frank 1995).
Kerusakan sel hati bervariasi dari yang ringan asimptomatik sampai menimbulkan gejala serius akibat nekrosis sel hati. Pirazinamid yang sering dipakai untuk pengobatan jangka pendek tuberkulosis paru telah dilaporkan menyebabkan hepatitis. Peninggian aspartat amino transferase (AST) dan alanine amino transferase (ALT) merupakan gejala dini dari kelainan hati. INH merupakan obat
yang hampir selalu digunakan dengan kombinasi obat anti tuberkulosis yang lain. Efek samping INH adalah neuropati perifer dan hepatotoksik. Efek hepatotoksik INH akan bertambah besar pada usia tua dan pada individu yang mempunyai asetilasi lambat. Kerusakan hati diduga karena hasil metabolit INH berupa asetilhidrazin. Pada orang normal metabolit yang toksik lebih sedikit dari metabolit yang nontoksik. Kombinasi INH dengan rifampisin lebih toksik dari kombinasi INH dengan streptomisin karena pada kombinasi tersebut dihasilkan lebih banyak metabolit toksik (Arsyad 1996).
Rifampisin 85-90% dimetabolisme di hati dan metabolit aktifnya disekresikan melalui urin dan saluran cerna, bekerja secara sinergis dengan INH. Pada penderita dengan kelainan hepar akan ditemukan kadar rifampisin serum yang lebih tinggi. Rifampisin akan menginduksi sistem enzim sitokrom P450 yang akan terus berlangsung hingga 7-14 hari setelah obat dihentikan. Efek hepatotoksik dipengaruhi oleh dosis yang digunakan, dan proses metabolisme obat dipengaruhi oleh faktor umur, jenis kelamin, lingkungan dalam lambung dan penyakit hepar (Prihatni et al 2005). Pengobatan TBC dilakukan dengan beberapa kombinasi obat karena penggunaan obat tunggal akan cepat dan mudah terjadi resistensi. INH merupakan obat yang sangat penting untuk mengobati semua tipe TBC. Efek sampingnya dapat menimbulkan anemia sehingga dianjurkan untuk mengkonsumsi vitamin piridoksin sebagai penambah darah (Ganiswarna 1995). Obat yang biasa digunakan untuk TBC digolongkan atas dua kelompok, yaitu obat primer meliputi INH, rifampisin, ethambutol, streptomisin, pirazinamid. Obat sekunder meliputi exionamid, para amino salisilat, sikloserin, amiksasin, dan kanamisin (Ganiswarna 1995). Penanda dini dari hepatotoksik adalah peningkatan enzim-enzim transaminase dalam serum yang terdiri dari AST yang disekresikan secara paralel dengan ALT yang merupakan penanda yang lebih spesifik untuk mendeteksi adanya kerusakan hepar (Prihatni et al 2005).
Trauma pada tingkat sel akan mengakibatkan perubahan yang bersifat irreversibel dalam waktu 20-60 menit pertama. Perubahan irreversibel yang akan berakhir pada kematian sel, meliputi kerusakan membran sel, pembengkakan lisosom dan vakuolisasi mitokondria dengan penurunan kapasitas pembentukan Adenosin Tri Phosphat (ATP). Apabila telah terjadi gangguan fungsi mitokondria dan membran sel, maka sel hepatosit akan mengeluarkan enzim-enzim transaminase merupakan penanda dini hepatotoksik (Prihatni et al 2005).
Daun pepaya sering digunakan dalam pengobatan tradisional. Dilaporkan bahwa tanaman ini memiliki kandungan kimia yaitu alkaloid, saponin dan flavonoid pada daun, akar dan kulit batangnya, mengandung polifenol pada daun dan akarnya, serta mengandung saponin pada bijinya (Depkes 2000). Khasiat tanaman pepaya antara lain sebagai anti inflamasi dari ekstrak etanol akar pepaya (Adjirni dan Sa’roni 2006), efek spermisid (antifertilitas) dari ekstrak biji pepaya (Ilyas dkk), anti kanker dari ekstrak daun pepaya (Sukardiman dan Ekasari 2000), peningkatan kemampuan belajar pada tikus Wistar yang diberi ekstrak daun pepaya (Rachmawati 2007) dan buah pepaya sebagai obat kerusakan hati (Hembing 2008). Penelitian Sukardiman (2000) menunjukkan bahwa ekstrak metanol daun pepaya memiliki aktivitas inhibisi terhadap enzim DNA Topoisomerase II, suatu enzim yang berperan penting dalam proses replikasi, transkripsi, rekombinasi DNA, dan poliferasi dari sel kanker. Penelitian oleh Huda (2001) menunjukkan bahwa ekstrak metanol daun pepaya memiliki aktivitas sitotoksik terhadap kultur sel mieloma. Sediaan ekstrak dibuat agar zat berkhasiat dari simplisia mempunyai kadar tinggi sehingga memudahkan dalam pengaturan dosis. Etanol sebagai penyari dapat memperbaiki stabilitas bahan
terlarut dan mampu mengendapkan albumin. Etanol 70% sangat efektif dalam menghasilkan jumlah bahan aktif yang optimal, bahan pengotor hanya dalam skala kecil dalam cairan pengekstraksi (Voight 1995).
Pal (2006) meneliti bahwa ekstrak bawang putih dapat mencegah kerusakan hati pada tikus yang diinduksi oleh INH dosis 10 mg/200 gram berat badan tikus dan rifampisin dosis 10 mg/ 200 gram berat badan tikus selama 28 hari. Senyawa yang berkasiat sebagai hepatoprotektor dari bawang putih adalah flavonoid . Efek flavonoid terhadap berbagai organisme antara lain flavonoida merupakan senyawa pereduksi yang baik, flavonoid menghambat banyak reaksi oksidasi. Flavonoid bertindak sebagai penampung yang baik bagi radikal hidroksi dan superoksida serta melindungi membran lipid terhadap reaksi yang merusak. Aktivitas antioksidannya mungkin dapat menjelaskan mengapa flavonoid tertentu merupakan komponen aktif tumbuhan yang digunakan secara tradisional untuk mengobati gangguan fungsi hati (Robinson 1995). Ekstrak etanol daun papaya telah diteliti mampu meningkatkan kekebalan tubuh pada mencit jantan. Daun pepaya digunakan untuk penelitian hepatoprotektor, diharapkan senyawa yang terkandung didalamnya mampu mengobati gangguan fungsi hati yang dibuktikan dengan adanya aktivitas penurunan kadar AST dan ALT Hewan yang paling banyak digunakan untuk pengujian adalah tikus dan mencit. Hewan ini digunakan karena mudah didapat, ukurannya kecil, harganya murah, mudah ditangani, dan data toksikologinya relatif telah banyak. Penetapan
toksisitas pada hati sering merupakan bagian penelitian jangka pendek dan jangka panjang yang biasanya dilakukan pada tikus dan mencit (Frank 1995).
B. Konteks Permasalahan Permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah ekstrak etanol 70% daun pepaya mempunyai efek menurunkan kadar AST dan ALT pada tikus galur Wistar setelah pemberian obat TBC (INH dan rifampisin) ?
C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efek ekstrak etanol 70% daun pepaya terhadap penurunan kadar AST dan ALT pada tikus galur Wistar setelah pemberian obat TBC (INH dan rifampisin).
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi tambahan informasi dan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang obat tradisional sehingga dapat bermanfaat sebagai dasar pengobatan alternatif untuk meningkatkan efek hepatoprotektor.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Uraian Tanaman 1. Sistematika Sistematika tanaman daun pepaya (Carica papaya, Linn.) adalah: Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Bangsa
: Cistales
Suku
: Caricacea
Marga
: Carica
Jenis
: Carica papaya, Linn. (Depkes 2000).
2. Nama daerah Pente (Aceh), Pertek (Gayo), Pastela (Batak), Embetik (Karo), Botik (Batak Toba), Bala (Nias), Sikailo (Mentawai), Kates (Palembang), Kalikih (Minangkabau), Gedang (Lampung), Gedang (Sunda), Kates (Jawa Tengah), Kates (Madura), Bali (Gedang), Kustela (Banjar), Bua medung (Dayak Busang), Buah dong (Dayak Kenya), Kates (Sasak), Kampaya (Bima), Kala jawa (Sumbawa), Padu (Flores), Papaya (Gurontalo), Papaya (Buol), Kaliki (Baree), Papaya (Manado), Unti jawa (Makasar), Kaliki riaure (Bugis), Papai (Buru), Papaya (Halmahera), Papae (Ambon),
Palaki (Seram), Kapaya (Tidore), Tapaya (Ternate), Ihwarwerah (Sarmi), Siberiani (Windesi) (Depkes 2000). 3. Morfologi Tanaman pepaya merupakan perdu tinggi kurang lebih 10 meter, tidak berkayu, silindris, berongga, putih, kotor. Daun tunggal, bulat, ujung runcing, pangkal bertoreh, tepi bertoreh, tepi bergerigi, diameter 25-75 cm, pertulangan menjari, panjang tangkai 25-100 cm, hijau. Bunga tunggal, bertekuk bintang, di ketiak daun, berkelamin satu atau berumah dua. Bunga jantan terletak pada tandan yang serupa malai, kelopak kecil, kapala sari bertangkai pendek atau duduk, kuning, mahkota bentuk terompet, tepi bertajuk lima, bertabung panjang, putih kekuningan. Bunga betina berdiri sendiri, mahkota lepas, kepala putik lima, duduk, bakal buah beruang satu, putih kekuningan. Biji bulat atau bulat panjang, kecil, bagian luar dibungkus selaput tipis yang berisi cairan, masih muda putih, setelah tua hitam. Akarnya tunggang, bercabang bulat, putih kekuningan (Depkes 2000). 4. Kandungan kimia Daun, akar dan kulit batang Carica papaya, Linn. mengandung alkaloid, saponin dan flavonoid. Daun dan akar juga mengandung polifenol dan biji mengandung saponin (Depkes 2000). Daun mengandung enzim papain, alkaloid karpaina, pseudo karpaina, glikosid, karposid, dan saponin. Buah mengandung beta karotene, pectin, d-galaktosa, l-arabinosa, papain, papayotimin papain. Biji mengandung glukosida cacirin, karpain.
Getah
mengandung
papain,
kemokapain,
lisosim,
lipase,
glutamine,
dan
siklotransferase (Muchlisah 2004).
5. Kegunaan Daun pepaya berkhasiat sebagai bahan obat malaria dan menambah nafsu makan. Akar dan biji berkhasiat sebagai obat cacing, getah buah berkhasiat sebagai obat memperbaiki pencernakan (Depkes 2000). Getah buah pepaya untuk kulit melepuh karena panas, daun pepaya muda untuk pengobatan malaria, demam dan susah buang air besar, akar jari pepaya untuk pengobatan karena digigit ular berbisa, biji pepaya untuk pengobatan rambut beruban sebelum waktunya dan obat cacing gelang, serta pengobatan lain misalnya maag, sariawan dan merangsang nafsu makan (Muchlisah 2004). Khasiat tanaman pepaya antara lain sebagai anti inflamasi dari ekstrak etanol akar pepaya (Adjirni dan Sa’roni 2000), efek spermisid (antifertilitas) dari ekstrak biji pepaya (Ilyas dkk) anti kanker dari ekstrak daun pepaya (Sukardiman dan Ekasari 2006), peningkatan kemampuan belajar pada tikus yang diberi ekstrak daun pepaya (Rachmawati 2007) dan buah pepaya sebagai obat kerusakan hati (Hembing 2008).
B. Maserasi dan Larutan Penyari 1. Maserasi Maserasi adalah cara ekstraksi yang paling sederhana. Simplisia dihaluskan sesuai dengan persyaratan farmakope (umumnya terpotong-potong atau diserbuk
kasar) disatukan dengan bahan ekstraksi, disimpan ditempat yang terlindung dari cahaya langsung untuk mencegah reaksi yang dikatalisis cahaya atau perubahan warna lalu dikocok kembali. Waktu maserasi adalah berbeda-beda, masing-masing farmakope mencantumkan 4-10 hari, kira-kira 5 hari menurut pengalaman sudah memadai, diperas dengan kain pemeras (Voigt 1994). Maserasi dilakukan dengan mencampur 10 bagian simplisia yang mempunyai derajat halus yang cocok dengan 75 bagian cairan penyari dalam sebuah bejana sambil sesekali diaduk. Campuran setelah lima hari diperas, dicuci ampasnya dengan penyari secukupnya sampai diperoleh 100 bagian. Maserat disuling atau diuapkan pada tekanan rendah tidak lebih 50oC sampai konsistensi yang dikehendaki (Anief 1999). Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan. Kerugian cara ini adalah pengerjaannya lama dan penyarian kurang sempurna. 2. Larutan penyari Pemilihan larutan penyari harus memperhatikan banyak faktor. Larutan penyari harus memenuhi kriteria yaitu murah dan mudah diperoleh, stabil secara fisika dan kimia, bereaksi netral, tidak mudah menguap dan tidak mudah terbakar, selektif yaitu hanya menarik zat berkhasiat yang dikehendaki, tidak mempengaruhi zat berkhasiat, diperbolehkan oleh peraturan. Farmakope Indonesia menetapkan sebagai cairan penyari adalah air, etanol, etanol-air dan eter. Etanol digunakan sebagai larutan penyari dalam metode soxhlet
dan maserasi karena tidak menyebabkan pembengkakan sel, memperbaiki stabilitas bahan obat terlarut (Voigt 1995). Etanol sebagai penyari dapat memperbaiki stabilitas bahan terlarut dan mampu mengendapkan albumin. Keuntungan lain dari etanol 70% sangat efektif dalam menghasilkan jumlah bahan aktif yang optimal, di mana bahan pengotor hanya dalam skala kecil turut dalam cairan pengekstraksi (Voigt 1995).
C. Hewan Uji 1. Sistematika tikus putih Sistematika tikus putih adalah sebagai berikut : Filum
: Chordata
Sub filum
: Vertebrata
Classis
: Mamalia
Sub classis
: Placentalia
Ordo
: Rodentia
Familia
: Muridae
Genus
: Rattus
Spesies
: Rattus norvegicus (Sugiyanto 1995).
2. Karakteristik utama tikus putih Tikus merupakan hewan yang cerdas dan relatif resisten terhadap infeksi. Tikus putih umumnya tenang dan mudah ditangani, dan kecenderungan untuk berkumpul sesamanya tidak begitu besar, hewan ini dapat tinggal sendiri dalam
kandang asal masih mendengar atau melihat tikus lain. Aktivitasnya tidak terganggu dengan kehadiran manusia. Tikus mudah ditangani, menjadi agresif terutama saat diperlakukan kasar atau mengalami defisiensi nutrisi. Hewan uji merupakan suatu sumber variasi avaibilitas sistemik, distribusi, dan kecepatan eliminasi obat-obatan. Tikus jantan kecepatan metabolismenya lebih cepat dibandingkan dengan tikus betina. Kondisi biologis tubuh tikus jantan juga lebih stabil dibanding tikus betina. Pada tikus betina secara berkala dalam tubuhnya mengalami perubahan kondisi seperti masa kehamilan, menyusui, dan menstruasi (Sugiyanto 1995). Tikus putih yang dibiakkan di laboratorium lebih cepat dewasa dan lebih mudah berkembang biak. Berat badan tikus di laboratorium cenderung lebih ringan dibanding tikus liar. Tikus tidak dapat muntah seperti hewan coba lainnya karena struktur anatomi yang tidak lazim di tempat esofagus bermuara ke dalam lambung dan tikus tidak memiliki kantung empedu (Sugiyanto 1995). Hewan yang paling banyak digunakan untuk pengujian adalah tikus dan mencit. Tikus mudah didapat, ukurannya kecil, harganya murah, mudah ditangani, dan data toksikologinya relatif telah banyak. Penetapan toksisitas pada hati sering merupakan bagian penelitian jangka pendek dan jangka panjang yang biasanya dilakukan pada tikus dan mencit (Frank 1995).
D. Hati 1. Hati
Hati atau liver merupakan organ terbesar dalam tubuh manusia. Di dalam hati terjadi proses-proses penting bagi kehidupan kita, yaitu proses penyimpanan energi, pembentukan protein dan asam empedu, pengaturan metabolisme kolesterol, dan penetralan racun atau obat yang masuk dalam tubuh. Hati merupakan kelenjar terberat didalam tubuh, beratnya 1,5 kg atau lebih, konsistensinya lunak dan terletak didalam diafragma dalam rongga abdomen atas. Dalam keadaan segar warnanya metah tua atau merah coklat, warna tersebut terutama disebabkan oleh adanya darah yang amat banyak. Hati tidak hanya menerima pandarahan dari arteri tetapi juga menerima pendarahan dari saluran cerna melalui vena porta (Leeson 1996). Hati mudah rusak oleh bagian-bagian toksik yang diserap. Hati penting untuk mempertahankan kadar gula darah. Sel mengambil gula darah dan menyimpannya sebagai glikogen, juga dibentuk dari bahan lain seperti asam laktat dan asam piruvat. Hati penting terhadap metabolisme lipid, karena lipid diangkut didalam darah sebagai lipoprotein, dan lipoprotein ini dibentuk didalam hati. Hati juga menyimpan vitamin A dan B dan heparin (dihasilkan dari sel mast). Hati mengsekresi garam empedu ke dalam sistem biliaris, dan fibrinogen (faktor anti anemia) dan albumin plasma ke dalam darah. Hati juga mensintesis kolesterol, mengeluarkan pigmen empedu dari uraian hemoglobin sel darah merah yang rusak, dan menghasilkan urea (hasil samping metabolit protein). Menawarkan berbagai bahan toksik dalam peredaran darah (Lesson 1996).
2. Penyakit-penyakit hati Penyakit hati karena infeksi misalnya hepatitis virus yaitu ditularkan melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi, suntikan, tato, tusukan jarum yang terkontaminasi, kegiatan seksual. Penyakit hati karena racun misalnya karena alkohol atau obat tertentu. Alkohol bersifat toksik terhadap hati. Adanya penimbunan obat dalam hati maupun gangguan pada metabolisme obat dapat menyebabkan penyakit pada hati. Penyakit hati karena genetik atau keturunan misalnya hemochromatosis yang merupakan kelainan metabolisme besi yang ditandai dengan adanya pengendapan besi secara berlebihan di dalam jaringan. Gangguan imun misalnya hepatitis autoimun merupakan penyakit yang ditimbulkan karena adanya perlawanan terhadap jaringan tubuh sendiri. Pada hepatitis autoimun umumnya yang dilawan adalah sel-sel hati, sehingga terjadi peradangan yang kronis (Anonim 2004) Perlemakan hati terjadi bila penimbunan lemak melebihi 5% dari berat hati atau mengenai lebih dari separuh jaringan sel hati. Perlemakan hati sering berpotensi menjadi penyebab kerusakan hati dan sirosis hati. Kelainan ini dapat timbul karena mengkonsumsi alkohol berlebih. Sirosis hati adalah keadaan penyakit yang sudah lanjut dimana fungsi hati sudah sangat terganggu akibat banyaknya jaringan parut di dalam hati. Sirosis hati dapat terjadi karena virus hepatitis B dan hepatitis C yang berkelanjutan, karena alkohol, salah gizi, atau karena penyakit lain yang menyebabkan sumbatan saluran empedu. Sirosis tidak dapat disembuhkan,
pengobatan dilakukan untuk mengobati komplikasi yang terjadi seperti muntah dan berak darah, asites atau perut membesar, mata kuning serta koma hepatikum (Anonim 2004) Kolestasis merupakan keadaan akibat kegagalan memproduksi atau pengeluaran empedu. Lamanya menderita kolestasis dapat menyebabkan gagalnya penyerapan lemak dan vitamin A, D, E, K oleh usus, juga adanya penumpukan asam empedu, bilirubin dan kolesterol di hati. Adanya kelebihan bilirubin dalam sirkulasi darah dan penumpukan pigmen empedu pada kulit, membran mukosa dan bola mata disebut jaundice. Pada keadaan ini kulit penderita terlihat kuning, warna urin menjadi lebih gelap, sedangkan faeses lebih terang (Anonim 2004). Kanker hati dapat disebabkan oleh senyawa karsinogenik diantaranya aflatoxin, polyvinyl chloride (bahan pembuat plastik) dan virus. Kanker hati terjadi apabila sel kanker berkembang pada jaringan hati. Kanker hati yang banyak terjadi adalah hepatocellular carcinoma yaitu merupakan komplikasi akhir yang serius dari hepatitis kronis, terutama sirosis yang terjadi karena virus hepatitis B, hepatitis C dan hemochromatosis (Anonim 2004). INH merupakan obat yang hampir selalu digunakan dengan kombinasi obat anti tuberkulosis yang lain. Efek samping INH adalah neuropati perifer dan hepatotoksik. Kombinasi INH dengan rifampisin lebih toksik dari kombinasi INH
dengan streptomisin karena pada kombinasi tersebut dihasilkan lebih banyak metabolit toksik (Arsyad 1996). 3. Hepatotoksin Hepatotoksin yaitu suatu zat yang mempunyai efek toksik pada hati dengan dosis berlebihan atau dalam jangka waktu lama. Hepatotoksin dapat dibagi menjadi empat kelompok yaitu hepatotoksin intrinsik, hepatotoksin idiosinkratik, alkohol dan asetaminophen (Woodley & Whelan 1992). 3.1. Hepatotoksin intrinsik. Meliputi hepatotoksin direk dan hepatotoksin indirek. Hepatotoksin direk meliputi karbon tetrachlorida, dan fosfor. Bahan-bahan ini menyebabkan kerusakan terhadap sel-sel hati akibat serangan secara fisiko kimiawi. Hepatotoksin indirek meliputi tetrasiklin, methotrexate, 6-mercaptopurine, asetaminophen, amanita phalloides (racun jamur). Racun-racun ini dapat mengganggu jalur metabolisme sel hati atau mengganggu mekanisme sekresinya (Woodley dan Whelan 1992). 3.2. Hepatotoksin idiosinkratik. Meliputi reaksi-reaksi hipersensitivitas misalnya sulfonamide, nitrofuratoin, asam para aminosalisilat, phenitoin, dan halothane dan idiosinkrasi metabolik yang dapat menimbulkan keracunan pada pasien yang rentan, sebagai akibat jalur metabolisme obat yang menyimpang dari normalnya sehingga menimbulkan gangguan pada pembersihan obat itu dari tubuh atau mempercepat produksi hasil-hasil metabolisme yang bersifat hepatotoksik atau
kedua-duanya misalnya isoniazid, methyldopa beberapa kasus toksisitas obat halothane (Woodley & Whelan 1992). 3.3 Hepatotoksin Alkohol. Menimbulkan efek toksik langsung pada hati, meskipun demikian hanya 10-20% dari para pengidap kecanduan alkohol menahun yang menimbulkan kerusakan hati. Faktor-faktor tambahan misalnya genetik, nutrisional, lingkungan juga mempengaruhi patogenesis penyakit hati karena alkoholisme (Woodley & Whelan 1992). 3.4. Asetaminophen. Menyebabkan kerusakan sel-sel hati pada over dosis yang sengaja atau karena tak disengaja. Kombinasi alkohol dengan asetaminophen dosis terapeutik menimbulkan efek potensiasi toksik yang dapat menyebabkan perlukaan sel-sel secara bermakna (Woodley & Whelan 1992).
E.
Pemeriksaan Kerusakan Hati
Tujuan pemeriksaan kerusakan hati adalah untuk mengetahui adanya kelainan yang terjadi serta berapa berat kelainan tersebut. Penanda dini dari hepatotoksik adalah peningkatan enzim-enzim transaminase dalam serum yang terdiri dari aspartat amino transferase (AST) yang disekresikan secara paralel dengan alanine amino transferase (ALT) yang merupakan penanda yang lebih spesifik untuk mendeteksi adanya kerusakan hepar (Prihatni et al 2005).
Sebuah langkah awal dalam mendeteksi kerusakan hati adalah tes darah yang sederhana untuk menentukan adanya enzim tertentu di dalam darah. Dalam keadaan normal, enzim berada di dalam sel hati. Enzim membantu mempercepat proses katalisis rutin yang diperlukan dan reaksi kimia dalam tubuh. Aspartate aminotransferase (AST) dan alanine aminotransferase (ALT) adalah enzim aminotransferase yang paling sensitif dan paling banyak digunakan di hati. Apabila terjadi kerusakan hati maka enzim yang berada pada sel-sel hati akan tumpah ke dalam darah, sehingga akan meningkatkan kadar enzim AST/ALT di dalam darah dan merupakan suatu tanda bahwa ada kerusakan hati. Enzim aminotransferase mengkatalisis reaksi kimia dalam sel yang terdapat sebuah asam amino sedang membentuk suatu protein yang ditransfer dari molekul donor ke molekul penerima sehingga disebut dengan aminotransferase. Nama lain untuk aminotransferase adalah transaminase. Enzim AST juga dikenal sebagai serum glutamic oxaloacetic transaminase (SGOT), dan ALT
juga dikenal sebagai serum glutamic pyruvic
transaminase (SGPT). AST biasanya ditemukan dalam keragaman jaringan termasuk hati, jantung, otot, ginjal, dan otak. Dilepaskan ke dalam serum bila salah satu dari sel-sel ini sudah rusak. AST bukan indikator yang sangat spesifik dari kerusakan hati. ALT sebagian besar ditemukan di hati. Enzim dilepaskan ke dalam darah sebagai akibat dari luka hati, ALT digunakan sebagai indikator yang paling spesifik dari kerusakan hati. Kerja enzim transaminase: Aspartic
+
Ketoglutaric
Oxaloacetic + Glutamic
acid Alanine acid
acid +
Ketoglutaric acid
(AST)
(ALT)
acid Pyruvit acid
acid + Glutamic acid
Pengujian aktivitas AST dan ALT pada hewan uji yang dilakukan secara fotometrik dengan mencampur serum darah 100 µl dengan reagen kerja 1000 µl, didiamkan selama satu menit kemudian dibaca kadarnya pada panjang gelombang 340 nm, tebal kuvet 1 cm, pada temperatur 370C dengan spektrofotometer. Reagen AST yang terdiri dari larutan R1 (L-aspartate, Lactate dehydrogenase, Malat dehydrogenase, dan TRIS pH 7,8) larutan R2 (2- Oxoglutarate dan NADH). Reagen ALT yang terdiri dari larutan R1 (L-alanin, Lactate dehydrogenase dan TRIS pH 7,5) larutan R2 (2-Oxoglutarate dan NADH). R1 ditambah dengan R2 pada masingmasing reagen tersebut apabila direaksikan dengan serum darah yang mengandung AST atau ALT akan menunjukkan adanya aktivitas kerja enzim transaminase. Gangguan hati yang disertai dengan kenaikan AST dan ALT yang menonjol adalah bersifat hepatosellular. Kadar yang meningkat secara mencolok 500 unit/liter khas terdapat pada kerusakan sel hati akut misalnya karena virus, obat-obatan, hepatitis karena ischemia sedangkan kenaikan berderajat sedang (kurang dari 300 unit/liter) dapat terlihat pada berbagai keadaan kerusakan hepatosellular akut atau kronik. ALT pada umumnya lebih sensitif dari pada AST untuk mendeteksi hepatitis viral. Pada penyakit hati karena alkoholisme, AST atau meningkat melebihi ALT, khas dua kali atau lebih tinggi (Woodley & Whelan 1992).
F. Isoniazid (INH) dan Rifampisin 1. Rifampisin Rifampisin merupakan antibiotik derivat semisintetik dari rifampisin B yang dihasilkan oleh Streptomyces mediterranei, yaitu suatu jamur tanah yang berasal dari Perancis Selatan. Zat yang berwarna merah bata bermolekul besar dengan banyak cincin (makrosiklis). Rifampisin berkhasiat bakterisid luas terhadap fase pertumbuhan Mycobacterium tuberkulosae dan Mycobacterium leprae, baik yang berada di luar maupun di dalam sel (ekstra–inter selular). Rifampisin mematikan kuman dormant selama fase pembelahannya yang singkat. Rifampisin juga aktif terhadap kuman gram positif lain dan kuman gram negatif (Eschericia coli, Klebsiella, suku-suku Proteus dan Pseudomonas), terutama terhadap stafilokoki, termasuk yang resisten terhadap penicillin (Tan et al 1978). Resorpsinya di usus sangat tinggi, distribusinya ke jaringan dan cairan tubuh juga baik. Pewarnaan jingga atau merah dari air seni, tinja, ludah keringat dan air mata. Plasma t½ nya berkisar antara 1,5-5 jam dan meningkat bila ada gangguan fungsi hati. Massa paruh ini akan turun pada pasien yang bersamaan menggunakan INH. Dalam hati terjadi deasetilasi dengan terbentuknya metabolit-metabolit dengan kegiatan antibakteri. Ekskresinya khusus melalui empedu, sedangkan melalui ginjal berlangsung secara fakultatif (Tan et al 1978). Efek samping yang terpenting tetapi tidak sering terjadi adalah penyakit kuning (ikterus), terutama bila dikombinasi dengan INH yang juga agak toksik bagi hati. Pada penggunaan lama dianjurkan untuk memantau fungsi hati secara periodik.
Dosis pada TBC oral sehari 450-600 mg sekaligus tiap pagi sebelum makan, karena kecepatan dan kadar resorpsinya dihambat oleh isi lambung. Selalu dikombinasi dengan INH 300 mg (Tan et al 1978). 2. Isoniazid (INH) INH merupakan derivat asam isonikotinat berkhasiat antituberkulosis paling kuat terhadap Mycobacterium tuberculosis (dalam fase istirahat) dan bersifat bakterisid terhadap basil yang sedang tumbuh pesat. Aktif terhadap kuman yang berada intraseluler dalam makrofag maupun di luar sel (ekstraseluler). INH masih tetap merupakan obat khemoterapi terpenting terhadap berbagai tipe tuberkulosis dan selalu dalam bentuk multipel terapi dengan rifampisin dan pirazinamida (Tan et al 1978). Efek samping pada dosis normal (200-300 mg sehari) jarang dan ringan (gatal-gatal, ikterus), tetapi lebih sering terjadi bila dosis melebihi 400 mg menimbulkan polyneuritis, kerusakan hati dengan hepatitis dan ikterus yang fatal (Tan et al 1978).
G. Methicol® Methicol® tablet merupakan sediaan farmasi dari pabrik Otto yang tiap tablet mengandung metionin 100 mg, kolin bitartrat 100 mg, vitamin B1 nitrat 2 mg, vitamin B6 HCl 2 mg, vitamin B12 0,67 µg, Vitamin E 3 mg, vitamin H 100 µg, vitamin kalsium pantotenat 3 mg, asam folat 400 µg, nikotinamid 6 mg. Methicol®
mempunyai indikasi untuk penyakit hati menular, degenerasi lemak atau infiltrasi hati, gangguan hati akibat obat-obatan (Anonim 2008). Metionin bersama dengan sistein adalah asam amino yang memiliki atom Sulfur. Asam amino ini penting dalam sintesis protein yaitu dalam proses transkripsi yang menerjemahkan urutan basa nitrogen di DNA untuk membentuk RNA. Kode metionin sama dengan kode awal untuk suatu rangkaian RNA, metionin awal tidak akan terikat dalam protein yang akan terbentuk karena dibuang dalam proses pasca transkripsi. Asam amino bagi manusia bersifat esensial, sehingga harus dipasok dari bahan pangan. Sumber utama metionin adalah buah-buahan, daging, susu, sayuran, serta kacang-kacangan. Biosintesis metionin dilakukan oleh tumbuhan dan mikrobia menggunakan asam aspartat dan sistein sebagai bahan baku (sistein juga dibuat dari metionin, suatu proses timbal balik) (Anonim 2008). H.
Landasan Teori
Obat-obatan anti tuberkulosis seperti INH, rifampisin, pirazinamid dan ethambutol mempunyai beberapa efek samping, dari yang ringan sampai yang berat. Efek samping yang patut diwaspadai adalah efek hepatotoksik. Hampir semua Obat Anti Tuberkulosis (OAT) mempunyai efek hepatotoksik kecuali streptomisin (Arsyad 1996). Kerusakan sel hati bervariasi dan yang ringan asimptomatik sampai menimbulkan gejala serius akibat nekrosis sel hati. Peninggian AST dan ALT
merupakan gejala dini dari kelainan hati. Isoniazid (INH) merupakan obat yang hampir selalu digunakan dengan kombinasi obat anti tuberkulosis yang lain. Efek samping INH adalah neuropati perifer dan hepatotoksik. Efek hepatotoksik INH akan bertambah besar pada usia tua dan pada individu yang mempunyai asetilasi lambat. Kerusakan hati diduga karena hasil metabolit INH berupa asetilhidrazin. Pada orang normal metabolit yang toksik lebih sedikit dari metabolit yang nontoksik. Kombinasi INH dengan rifampisin ternyata lebih toksik dan kombinasi INH dengan streptomisin karena pada kombinasi tersebut dihasilkan lebih banyak metabolit toksik (Arsyad 1996). AST dan ALT merupakan dua enzim transaminase yang dihasilkan terutama oleh sel-sel hati. Bila sel-sel liver rusak, misalnya pada kasus hepatitis atau sirosis, biasanya kadar kedua enzim ini meningkat. Lewat hasil tes laboratorium, keduanya dianggap memberi gambaran adanya gangguan pada hati. ALT pada umumnya lebih sensitif dari pada AST untuk mendeteksi hepatitis viral. Pada penyakit hati karena alkoholisme, AST meningkat melebihi ALT, dua kali atau lebih tinggi (Woodley dan Whelan 1992). Daun mengandung enzim papain, alkaloid karpaina, pseudo karpaina, glikosid, karposid, dan saponin. Buah mengandung beta karotene, pectin, d-galaktosa, l-arabinosa, papain, papayotimin papain. Biji mengandung glukosida cacirin, karpain. Getah
mengandung
papain,
kemokapain,
siklotransferase (Muchlisah 2004).
lisosim,
lipase,
glutamine,
dan
Efek flavonoid terhadap berbagai organisme antara lain flavonoid merupakan senyawa pereduksi yang baik, flavonoid menghambat banyak reaksi oksidasi. Flavonoid bertindak sebagai penampung yang baik bagi radikal hidroksi dan superoksida serta melindungi membran lipid terhadap reaksi yang merusak. Aktivitas antioksidannya mungkin dapat menjelaskan mengapa flavonoid tertentu merupakan komponen aktif tumbuhan yang digunakan secara tradisional untuk mengobati gangguan fungsi hati (Robinson 1995). Penelitian Sukardiman (2000) menunjukkan bahwa ekstrak metanol daun pepaya memiliki aktivitas inhibisi terhadap enzim DNA Topoisomerase II, suatu enzim yang berperan penting dalam proses replikasi, transkripsi, rekombinasi DNA, dan poliferasi dari sel kanker. Penelitian oleh Huda (2001) menunjukkan bahwa ekstrak metanol daun pepaya memiliki aktivitas sitotoksik terhadap kultur sel mieloma. Khasiat tanaman pepaya antara lain sebagai anti inflamasi dari ekstrak etanol akar pepaya (Adjirni dan Sa’roni 2006), efek spermisid (antifertilitas) dari ekstrak biji pepaya (Ilyas dkk), anti kanker dari ekstrak daun pepaya (Sukardiman dan Ekasari 2000), peningkatan kemampuan belajar tikus Wistar yang diberi ekstrak daun pepaya (Rachmawati 2007) dan buah pepaya sebagai obat kerusakan hati (Hembing 2008). Daun pepaya digunakan untuk penelitian hepatoprotektor, diharapkan senyawa flavonoid yang terkandung didalamnya mampu mengobati gangguan fungsi hati.
Pal (2006) meneliti bahwa ekstrak bawang putih dapat mencegah kerusakan hati pada tikus yang diinduksi oleh INH dosis 10 mg/200 gram berat badan tikus dan rifampisin dosis 10 mg/ 200 gram berat badan tikus selama 28 hari. Hewan yang paling banyak digunakan untuk pengujian adalah tikus dan mencit. Hewan ini digunakan karena mudah didapat, ukurannya kecil, harganya murah, mudah ditangani, dan data toksikologinya relatif telah banyak. Penetapan toksisitas pada hati sering merupakan bagian penelitian jangka pendek dan jangka panjang yang biasanya dilakukan pada tikus dan mencit (Frank 1995).
I. Hipotesis Berdasarkan hasil studi literatur ekstrak etanol 70% daun pepaya mempunyai efek menurunkan kadar AST dan ALT pada tikus galur Wistar setelah pemberian obat TBC (INH dan rifampisin).
BAB III METODE PENELITIAN
A. Populasi dan Sampel Populasi daun pepaya (Carica papaya, Linn.) yang digunakan dalam penelitian ini adalah dari daun pepaya yang didapat dari daerah Karang Pandan, Karanganyar. Sampel diambil dari populasi secara random yaitu daun pepaya yang masih segar dan agak tua kemudian dibuat ekstrak daun pepaya (Carica papaya, Linn.) pada bulan Pebruari 2009 dari daerah Karang Pandan, Karanganyar.
B. Variabel Penelitian 1. Identifikasi variabel utama Variabel utama dalam penelitian ini adalah ekstrak etanol daun pepaya. Variabel utama yang kedua adalah tikus putih jantan galur Wistar dengan berat badan kira-kira 180-200 gram, dengan usia kira-kira 2 bulan. 2. Klasifikasi variabel utama Klasifikasi variabel utama memuat pengelompokan variabel-variabel utama sesuai dengan jenis dan perananya dalam penelitian. Klasifikasi ini diperlukan untuk menentukan alat pengambil data dan metode analisa data yang sesuai.
Variabel menurut fungsinya dalam penelitian ini, dapat diklasifikasikan berdasarkan pola hubungan sebab akibat menjadi variabel tergantung disatu pihak dan variabel bebas, moderator, kendali di lain pihak. Variabel bebas adalah variabel yang sengaja diubah-ubah untuk dipelajari pengaruhnya terhadap variabel tergantung. Penelitian ini, variabel bebas adalah ekstrak etanol 70% daun pepaya. Variabel moderator adalah variabel yang memungkinkan mempengaruhi variabel tergantung, tetapi tidak diutamanakan diteliti. Penelitian ini variabel moderator adalah metode ekstraksi daun pepaya yaitu dengan metode maserasi. Variabel
kendali
merupakan
variabel
yang
mempengaruhi
variabel
tergantung, sehingga perlu dinetralisir atau ditetapkan kualifikasinya agar hasil yang didapatkan tidak tersebar dan dapat diulang oleh peneliti yang lain secara tepat. Variabel kendali dalam penelitian ini adalah kondisi pengukur atau peneliti, laboratorium, dan kondisi fisik hewan uji yang meliputi berat badan, usia jenis kelamin, galur dan lingkungan tempat tinggal. Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah aktivitas enzim AST dan ALT dari serum hewan uji yang diperiksa. 3. Definisi operasional variabel utama Pertama, ekstrak etanol 70% daun pepaya adalah ekstrak yang diperoleh dengan cara maserasi, kemudian diuapkan hingga diperoleh ekstrak kental. Kedua, dosis INH dan rifampisin adalah dosis terapi untuk pengobatan tuberkulosis yang diberikan pada hewan uji.
Ketiga, dosis ekstrak etanol 70% daun pepaya adalah dosis ekstrak daun pepaya yang diberikan terhadap hewan uji sebagai model hepatoprotektor. Keempat, hewan uji dalam penelitian ini adalah tikus putih yang sehat usia kira-kira 2 bulan dengan berat badan antara 180-200 gram. Kelima, parameter uji fungsi hati dalam penelitian ini adalah AST dan ALT. Pengujian aktivitas AST dan ALT pada hewan uji dilakukan secara fotometrik dengan metode kinetik GPT-ALAT (Alanin Amino Transferase) dan GPT-ASAT (Aspartat Amino Transferase).
C. Alat dan Bahan 1. Alat Peralatan yang digunakan untuk maserasi yaitu beaker glass, vakum evaporator, batang pengaduk, gelas ukur, kain flannel. Peralatan yang digunakan untuk perlakuan hewan uji adalah kandang tikus, timbangan, dan jarum oral. Peralatan yang digunakan untuk pengambilan darah dan pengumpulan serum yaitu pipa kapiler, mikrosentrifuge dan tabung reaksi. Peralatan yang digunakan untuk penetapan AST dan ALT yaitu sentrifuge, tabung reaksi, fotometer, klinik pet dan yellow tip. 2. Bahan Bahan yang digunakan adalah daun pepaya yang diperoleh dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Obat dan Obat Tradisional, Tawangmangu, Karanganyar. Hewan uji dalam penelitian ini adalah tikus putih galur Wistar dengan
umur
kira-kira 2 bulan dengan berat badan antara 180-200 gram. Pelarut yang
digunakan adalah etanol 70%. Hepatotoksin yang digunakan dalam penelitian ini adalah obat anti tuberkulosis yaitu INH dan rifampisin yang masing-masing disuspensikan dalam CMC 1% untuk pemberian secara oral pada tikus putih. Hepatoprotektor yang digunakan dalam penelitian ini adalah sediaan farmasi dengan merk dagang methicol® tablet dari pabrik Otto yang diperoleh dari salah satu Apotek yang berada di wilayah Surakarta. Penetapan AST dan ALT pada penelitian ini menggunakan pereaksi siap pakai tanpa pengenceran yaitu dalam kemasan. Dilakukan di laboratorium klinik Universitas Setia Budi Surakarta.
D. Jalannya Penelitian 1. Determinasi dan diskripsi tanaman pepaya Tahap pertama penelitian ini adalah menetapkan kebenaran sampel tanaman pepaya berkaitan dengan ciri-ciri morfologis yang ada pada tanaman berdasarkan kepustakaan (C.A Backer 1968) yang dilakukan di Laboratorium Morfologi Sistematik Tumbuhan Obat Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Obat dan Obat Tradisional, Tawangmangu, Karanganyar. 2. Pengambilan bahan Daun pepaya diambil dari daerah Karang Pandan, Karanganyar pada bulan Pebruari 2009.
3. Pembuatan serbuk daun pepaya Daun pepaya dicuci hingga bersih, kemudian diangin-anginkan dilanjutkan pengeringan dengan oven pada suhu 400C sampai kering, kemudian simplisia kering dihaluskan dengan mesin penggiling kemudian diayak dengan ayakan no.40 mesh. 4. Pembuatan ekstrak etanol 70% daun pepaya Serbuk daun pepaya sebanyak 100 gram
kemudian dimasukkan wadah
berwarna gelap, ditambah etanol 70% sebanyak 750 ml aduk hingga homogen, tutup segera kemudian disimpan dalam ruangan yang terhindar dari cahaya matahari selama 5 hari dan sering kali dikocok. Rendaman tersebut disaring dengan kain flanel, ampas dicuci dengan pelarut sampai volume 750 ml. Hasil dipekatkan dengan vakum evaporator sampai didapat ekstrak kental. 5. Identifikasi etanol pada ekstrak etanol 70% daun pepaya Identifikasi etanol dalam ekstrak etanol 70% daun pepaya adalah pertama, ekstrak dilarutkan dalam aquadest lalu ditambahkan CH3COOH dan H2SO4 pekat (Depkes 1977) 6. Identifikasi senyawa flavonoid, saponin dan alkaloid dalam ekstrak etanol 70% daun pepaya Identifikasi kandungan flavonoid dalam ekstrak etanol 70% daun pepaya pada uji pendahuluan yang menggunakan ekstrak kemudian diencerkan dengan aquadest, larutan tersebut kemudian diteteskan pada kertas saring terbentuk warna kuning pada kertas saring setelah diuapi dengan ammonia (Depkes 1977).
Pada uji penegasan identifikasi kandungan flavonoid, menggunakan ekstrak yang diuapkan hingga kering ditambah ditambah serbuk Mg dan 2 ml larutan alkohol |: HCL 2N (1:1) dalam pelarut amil alkohol didiamkan selama satu menit sehingga menunjukkan warna jingga pada amil alkohol (Depkes 1977). Uji saponin dengan cara ekstrak ditambah 10 ml air panas, didinginkan lalu
dikocok kuat kemudian ditambah HCL 2N (Depkes 1977). Uji Alkaloid pertama dengan menggunakan ekstrak ditambah HCL 2% dan
reagen dragendorf. Uji alkaloid kedua dengan menggunakan ekstrak ditambah HCL 2% dan reagen mayer (Depkes 1977). 7. Pembuatan sediaan uji Ekstrak etanol 70% daun pepaya, INH, rifampisin dan methicol® yang diperoleh ditimbang sesuai dengan dosis kelompok perlakuan yang diinginkan kemudian dilarutkan dalam suspensi CMC 1% disesuaikan dengan volume maksimal yang bisa diberikan pada tikus. Stok sediaan uji yang dibuat tersebut selalu dibuat baru setiap 7 hari sekali, penyimpanan dalam kulkas. 8. Penentuan dosis INH, rifampisin dan methicol®, ekstrak etanol 70% daun pepaya Dosis INH yang digunakan pada penelitian ini adalah 10 mg/200 gram berat tikus. Dosis rifampisin yang digunakan pada penelitian ini adalah 10 mg/200 gram berat tikus. Dosis methicol® yang digunakan sebagai hepatoprotektor pada manusia adalah 700 mg 1 x hari. Dosis methicol® untuk tikus adalah hasil perkalian antara faktor konversi dari dosis manusia ke tikus. Faktor konversi dari manusia ke tikus
adalah 0,018. Dosis methicol® adalah 700 x 0,018= 12,6 mg/200 gram berat badan tikus. Dosis ekstrak etanol 70% daun pepaya adalah 20 mg/ 200 gram berat badan tikus. 9. Perlakuan hewan uji Sebelum dilakukan uji pada tikus, dilakukan aklimatisasi terhadap lingkungan minimal satu minggu. Suhu dan kelembaban relatif dari kandang harus diperhatikan karena hal tersebut dapat mempengaruhi uji penelitian. Sebelum perlakuan, semua tikus ditimbang untuk pengaturan dosis. Hewan uji dikelompokan menjadi empat kelompok, masing-masing terdiri dari 5 ekor tikus, satu hari sebelumnya tikus dipuasakan. Sebelum perlakuan (hari ke-0) setiap ekor tikus diambil darahnya untuk diukur kadar AST dan ALT. Kelompok I kelompok pemberian suspensi INH dosis 10 mg/200 gram berat tikus dan suspensi rifampisin dosis 10 mg/200 gram berat tikus serta ekstrak etanol 70% daun pepaya dosis 20 mg/200 gram berat badan tikus. Kelompok II adalah sebagai kontrol negatif yaitu kelompok yang mendapat perlakuan suspensi INH dosis 10 mg/200 gram berat tikus dan suspensi rifampisin dosis 10 mg/200 gram berat tikus. Kelompok III adalah sebagai kontrol positif yaitu kelompok pemberian suspensi INH dosis 10 mg/ 200 gram berat tikus dan suspensi rifampisin dosis 10 mg/200 gram berat tikus serta obat hepatoprotektor methicol® yaitu 12,6 mg/200 gram berat tikus.
Kelompok IV tanpa perlakuan yaitu tikus tanpa ada perlakuan, setiap hari diberi makan dan minum secukupnya hingga kenyang. Setiap kelompok perlakuan dilakukan setiap hari selama 28 hari, kemudian hari ke-14, hari ke-21, dan hari ke-28 diambil darahnya untuk diukur kadar AST/ALT. Selama penelitian berlangsung tikus tetap diberi makan dan minum. 4 kelompok perlakuan @ 5 ekor tikus
Hari ke-O tes kadar AST dan ALT Kelompok I INH + Rifampisin + Ekstrak pepaya
Kelompok II Kontrol (-) INH + Rifampisin
Kelompok III Kontrol (+) INH + Rifampisin + Methicol®
Hari ke-14 tes kadar AST dan ALT
Hari ke-21 tes kadar AST dan ALT
Hari ke-28 tes kadar AST dan ALT
Analisis Data
Kelompok IV Kontrol netral Tanpa perlakuan
Kesimpulan Gambar 1. Skema Penelitian
10. Pengambilan darah dan pengumpulan serum Pengambilan darah dilakukan melalui vena mata dengan menggunakan pipa kapiler. Darah ditampung dalam tabung reaksi dan didiamkan selama 15 menit kemudian di sentrifuge dengan kecepatan 3500 rpm selama 15 menit, serum yang sudah terpisah dari endapan kemudian diambil dengan pipet 100 µl. 11. Penetapan aktivitas AST dan ALT Pengujian aktivitas AST dan ALT pada hewan uji dilakukan secara fotometrik. Panjang gelombang 340 nm, tebal kuvet 1 cm pada temperatur 370C. Tabel 1. Penetapan Kadar AST/ALT
Prosedur Pada suhu 370C Sampel / Serum 100 µl Reagent kerja 1000 µl Dicampur lalu didiamkan selama satu menit kemudian dibaca kadarnya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 340 nm
Aktivitas AST dan ALT yang dihitung dinyatakan dalam Unit/Liter dan dihitung pada masing-masing kelompok tikus. Makin kuat daya hepatoprotektor bahan
uji,
makin
besar
kemampuan
untuk
mempertahankan
aktivitas
aminotransferase. Semakin tinggi kadar AST / ALT maka akan semakin tinggi tingkat kerusakan hati. Pengujian aktivitas AST dan ALT pada hewan uji dilakukan
secara fotometrik dengan metode kinetik GPT-ALAT (Alanin Amino Transferase) dan GPT-ASAT (Aspartat Amino Transferase). 12. Analisis statistik Sebelum dilakukan uji hipotesis untuk mengetahui apakah ada perbedaan nilai ALT dan AST yang nyata, maka data hasil pengukuran ALT dan AST dari keempat kelompok sampel diuji normalitasnya, yaitu apakah data hasil pengukuran terdistribusi secara normal. Hal ini perlu untuk menentukan apakah uji hipotesis dilakukan dengan metode statistika parametrik atau non parametrik. Uji normalitas data dilakukan dengan uji Kolmogorov-Smirnov. Kriteria ujinya adalah bila nilai signifikansi (Asymp.Sig.) lebih besar dari 0,05, maka data terdistribusi secara normal, bila nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05 maka data tidak terdistribusi secara normal. Pada uji anova dua jalan apabila didapatkan kesimpulan bahwa ada beda nyata, maka perlu dilakukan uji lanjutan (Post Hoc Test) pada faktor Kelompok dan Hari untuk mengetahui secara spesifik pada Kelompok dan Hari yang mana mempunyai efek menurunkan nilai AST dan ALT paling baik. Sebelum uji lanjutan dilakukan perlu dilakukan uji kesamaan varian (test of equality of error of variances). Uji kesamaan varian dilakukan dengan uji Levene. Kriteria ujinya adalah bila nilai signifikansi lebih besar dari 0,05 maka varian dinyatakan sama, sebaliknya bila nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05 varian dinyatakan tidak sama. Kriteria uji yang mempunyai nilai varian yang berbeda, maka uji lanjutan yang perlu dilakukan adalah dengan uji Dunnett. Kriteria uji ini adalah bila nilai
signifikansi lebih kecil dari 0,05 maka disimpulkan ada beda nyata (diberi tanda*) diantara dua faktor yang dibandingkan. Kriteria uji yang mempunyai nilai varian sama, maka uji lanjutan yang perlu dilakukan adalah uji SNK. Kriteria uji ini adalah dua hari pengamatan dinyatakan ada perbedaan bila terletak dalam kolom (subset) yang berbeda, tidak ada perbedaan bila terletak dalam kolom yang sama.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Identifikasi Daun Pepaya (Carica papaya, Linn.) 1. Hasil determinasi tanaman Determinasi tanaman dilakukan guna menetapkan kebenaran sampel tanaman pepaya berkaitan dengan ciri-ciri morfologis yang ada pada tanaman berdasarkan kepustakaan, menghindari kesalahan dalam pengumpulan bahan, serta menghindari kemungkinan bercampurnya bahan dengan tanaman lain. Hasil determinasi daun pepaya (C.A Backer 1968) adalah sebagai berikut: 1b-2b-3b-4b-12b-13b-14b-17b-18b-19b-20b-21b-23b-24b-25b-26b-27a-28b-29b30b-31a-32a-33b-35a-36d-37b-38b-39b-41b-42b-44b-45b-46e-50b-51b-53b-54b56b-57b-58b-9d-72b-73b-74a-75b-76a-77b-104b-106b-107a-108b-109b-134a-135b136b-137a-138c-39b-140a-141b-142b-143b-147b-156b-157a-158b-160b162a
77.Caricaceae
1
Carica
1
Carica papaya,L. Deskripsi tanaman pepaya adalah sebagai berikut: habitus perdu, tinggi ±10
meter, batang tidak berkayu, silindris, berongga, putih kotor. Daun tunggal, bulat, ujung runcing, pangkal bertoreh, tepi bergerigi, diameter 25-75 cm, pertulangan menjari, panjang tangkai 25-100 cm, hijau. Bunga tunggal, bentuk bintang, diketiak daun, berkelamin satu atau berumah dua. Bunga jantan terletak pada tandan yang
serupa malai, kelopak kecil, kepala sari bertangkai pendek atau duduk, kuning, mahkota bentuk terompet, tepi bertaju lima, bertabung panjang, putih kekuningan. Bunga betina berdiri sendiri, mahkota lepas, kepala putik lima, duduk, bakal buah beruang satu, putih kekuningan. Buah buni, bulat memanjang, berdaging, masih muda hijau setelah tua jingga. Biji bulat atau panjang, kecil, bagian luar dibungkus selaput yang berisi cairan, masih muda putih setelah tua hitam. Akar tunggang, bercabang, putih kekuningan. 2. Pengambilan bahan Daun pepaya diambil yaitu daun pepaya yang masih segar dan agak tua kemudian dibuat ekstrak daun pepaya (Carica papaya, Linn.) pada bulan Pebruari 2009 dari daerah Karang Pandan, Karanganyar. 3. Hasil Pembuatan serbuk daun pepaya 3.1. Hasil prosentase bobot kering terhadap bobot basah daun papaya. Daun pepaya yang masih basah sebanyak 5300 gram dikeringkan sehingga menghasilkan bobot daun kering 1111,41 gram, setelah diserbuk menjadi 1000,27 gram. Hasil prosentase bobot kering terhadap bobot basah daun pepaya adalah 20,97%. 3.2. Hasil pengukuran kandungan lembab serbuk daun papaya. Kandungan lembab serbuk daun pepaya diukur di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional dengan menggunakan alat pengukur kelembaban yaitu moisture balance. Kandungan lembab serbuk daun pepaya adalah 1,44%.
4. Hasil pembuatan ekstrak etanol 70% daun pepaya Serbuk daun pepaya sebanyak 100 gram dimaserasi dengan 750 ml pelarut etanol 70%. Proses maserasi selama lima hari kemudian disaring, dipekatkan menggunakan alat evaporator sehingga didapatkan ekstrak kental. Proses maserasi serbuk daun pepaya menghasilkan ekstrak kental 12,484 gram. Prosentase rendemen ekstrak adalah 12, 48%.Perhitungan prosentase rendemen ekstrak terlampir dalam lampiran 1 tabel 2. 5. Hasil identifikasi etanol terhadap ekstrak etanol 70% daun pepaya Tujuan identifikasi etanol terhadap ekstrak etanol 70% daun pepaya dalam penelitian ini dimaksudkan untuk memastikan tidak adanya etanol dalam ekstrak etanol daun pepaya. Tabel 3. Test Bebas Alkohol
No. Tes bebas alkohol 1. Ekstrak + H2SO4 pekat + CH3COOH, dipanaskan
Hasil pustaka (Depkes 1977) tercium bau ester yang khas
Hasil uji Tidak tercium bau ester yang khas
Hasil identifikasi etanol menunjukkan hasil negatif, maka ekstrak etanol daun pepaya sudah tidak mengandung etanol 70%.
6. Hasil identifikasi senyawa flavonoid, saponin dan alkaloid dalam ekstrak etanol 70% daun pepaya Tabel 4. Identifikasi senyawa
No. 1.
Identifikasi Flavonoid 1.1. ekstrak pada kertas saring + uap ammonia 1.2. ekstrak + serbuk Mg + 2 ml alkohol : HCL 2N (1:1) dalam amil alkohol
2.
3.
Saponin ekstrak + 10 ml air panas, didinginkan lalu dikocok kuat + HCL 2N
Alkaloid 3.1. ekstrak + HCL 2% + reagen dragendorf 3.2. ekstrak + HCL 2% + reagen mayer
Hasil Pustaka (Depkes 1977)
Hasil uji
noda warna kuning pada kertas saring
noda warna kuning pada kertas saring
warna jingga pada amil alkohol
warna jingga pada amil alkohol
buih yang mantap
buih yang mantap
kekeruhan coklat
kekeruhan coklat
Endapan putih kekuningan
Endapan putih kuning (endapan langsung hilang).
Ekstrak etanol 70% daun pepaya mengandung flavonoid, saponin dan alkaloid.
B. Hasil Pembuatan Sediaan Uji 1. Pembuatan sediaan uji Tabel 5. Pembuatan sediaan uji
NO 1
SEDIAAN UJI ekstrak etanol 70% daun pepaya
KADAR 4%
CARA PEMBUATAN mencampur 4 gram ekstrak etanol 70% daun pepaya kedalam suspensi CMC hingga volume 100 ml
2
INH
2%
mencampur 2 gram serbuk dari sediaan tablet INH 300 mg kedalam larutan CMC hingga volume 100 ml
3
rifampisin
2%
mencampur 2 gram serbuk dari sediaan tablet rifampisin 400 mg kedalam larutan CMC hingga volume 100 ml
4
methicol®
2%
mencampur 2 gram serbuk dari sediaan tablet methicol® yang sudah diserbuk halus kedalam larutan CMC hingga volume 100 ml.
2. Dosis INH, rifampisin dan methicol® Dosis INH yang digunakan pada penelitian ini adalah 10 mg/200 gram berat tikus. Dosis rifampisin yang digunakan pada penelitian ini adalah 10 mg/200 gram berat tikus. Dosis methicol® yang digunakan sebagai hepatoprotektor pada manusia adalah 700 mg 1 x hari. Dosis methicol® untuk tikus adalah hasil perkalian antara faktor konversi dari dosis manusia ke tikus. Faktor konversi dari manusia ke tikus adalah 0,018. Dosis methicol® adalah 700 x 0,018= 12,6 mg/200 gram berat badan
tikus. Dosis ekstrak etanol 70% daun pepaya adalah 20 mg/ 200 gram berat badan tikus.
C. Perlakuan Hewan Uji 1. Hasil penimbangan berat badan tikus Data penimbangan berat badan rata-rata 20 ekor tikus galur Wistar sebelum perlakuan adalah 147,6 gram. Data tercantum dalam lampiran tabel 6. Data penimbangan berat badan tikus digunakan untuk menentukan volume sediaan obat yang diberikan secara oral pada masing-masing tikus. 2. Pemberian sediaan obat secara oral terhadap tikus galur Wistar Data pemberian sediaan obat terhadap tikus galur Wistar secara oral yang ditentukan sesuai dengan berat badan masing-masing tikus. Dicantumkan dalam lampiran tabel 7.
D. Hasil Penetapan Kadar ALT/AST 1. Hasil Kadar ALT Data kadar ALT untuk masing-masing tikus pada kelompok perlakuan dilampirkan pada lampiran 3 tabel 8. 2. Hasil Kadar AST Data kadar AST untuk masing-masing tikus pada kelompok perlakuan dilampirkan pada lampiran 4 tabel 9.
E. Analisis statistik 1. Analisis Aktivitas ALT. Kadar rata-rata ALT dari masing-masing kelompok, disajikan dalam data seperti dibawah ini: Tabel 10. Kadar rata-rata ALT (unit/liter)
Kelompok I II III IV
Perlakuan INH, rifampisin, ekstrak papaya INH, rifampisin
Ke-0 20,20
Ke-14 14,40
Ke-21 14,40
Ke-28 10,75
24,40
18,40
24,00
32,80
INH, rifampisin, methicol® Tanpa perlakuan
26,80
18,80
16,20
12,20
21,80
19,60
21,00
19,60
K A D A R
Kelompok dan hari ke- perlakuan Gambar 2. Grafik kadar rata-rata enzim ALT Tabel 26. Rata-rata penurunan kadar ALT
Kelompok I II III IV
Perlakuan INH, rifampisin, ekstrak papaya INH, rifampisin INH, rifampisin, methicol® Tanpa perlakuan
[0 - 14] 6,6
[0 - 21] 5,6
[0 - 28] 9,45
6 8
0,4 10,6
8, 4 14,6
3,2
0,8
2,2
K A D A R Kelompok dan hari ke- perlakuan Gambar 16. Grafik penurunan rata-rata ALT
Data penurunan rata-rata kadar ALT, kelompok I mengalami penurunan kadar ALT lebih baik dibanding kelompok II (kontrol negatif), tetapi kelompok III (kontrol positif) terjadi penurunan kadar ALT paling besar. Selama 28 hari kelompok I menurunkan kadar ALT sebesar 21,65 unit/liter, kelompok II (kontrol negatif) 14,8 unit/liter, kelompok III (kontrol positif) 33,2 unit/liter dan pada kelompok IV (kontrol normal) 6,2 unit/liter kelompok I mengalami penurunan kadar ALT paling optimal pada hari ke-28. Data analisis nilai signifikansi (Asymp.Sig.) ALT sebesar 0,191. Nilai ini lebih besar dari 0,05 sehingga dapat disimpulkan data pengukuran nilai ALT terdistribusi secara normal. Oleh karena data terdistribusi secara normal, maka uji hipotesis menggunakan metode statistika parametrik. Uji hipotesis yang sesuai dengan itu adalah anova dua jalan, karena nilai ALT dipengaruhi oleh dua faktor yaitu kelompok perlakuan dan hari pengamatan (hari ke 0, 14, 21, 28). Pada faktor kelompok, nilai signifikansinya sebesar 0,000. Nilai ini lebih kecil dari 0,05 sehingga dapat disimpulkan ada perbedaaan nilai ALT diantara kelompok-
kelompok sampel yang diteliti. Pada faktor Hari, nilai signifikansinya sebesar 0,002. Nilai ini lebih kecil dari 0,05 sehingga dapat disimpulkan ada perbedaaan nilai ALT pada hari pengamatan ke 0, 14, 21, 28. Terlihat nilai ALT kelompok INH, rifampisin, dan methicol® (Kelompok III) berbeda secara nyata dengan kelompok INH dan rifampisin (Kelompok II) dan kelompok tanpa perlakuan (Kelompok IV). Kelompok INH, rifampisin, dan methicol® mempunyai rata-rata penurunan ALT paling tinggi maka mempunyai efek menurunkan nilai ALT paling baik walaupun demikian kelompok INH, rifampisin, dan ekstrak pepaya (Kelompok I) mempunyai kemampuan terhadap aktivitas penurunan kadar ALT, yang mempengaruhi efek tersebut dimungkinkan karena adanya senyawa alkaloid flavopiridol yang merupakan senyawa semisintesis dari alkaloid piperidina dengan senyawa flavonoid (Sukardiman 2000). Adanya penurunan kadar ALT dalam darah merupakan salah satu indikasi adanya efek hepatoprotektor. 2. Analisis Aktivitas AST. Hasil perhitungan nilai rata-rata kadar AST dari masing-masing kelompok, disajikan dalam data seperti dibawah ini: Tabel 11. Kadar rata-rata AST (unit/liter)
Kelompok I II III IV
Perlakuan INH, rifampisin, ekstrak pepaya INH, rifampisin INH, rifampisin, methicol® Tanpa perlakuan
Ke-0 Ke-14 Ke-21 304,300 119,020 129,140
Ke-28 121,440
166,840 172,900 196,120 286,920 160,320 140,720
220,184 111,860
175,940 185,540 182,840
180,680
K A D A R
Kelompok dan hari ke- perlakuan Gambar 3. Grafik Kadar rata-rata enzim AST Tabel 27. Rata-rata penurunan kadar AST
Kelompok I II III IV
Perlakuan INH, rifampisin, ekstrak papaya INH, rifampisin INH, rifampisin, methicol® Tanpa perlakuan
[0 - 14] 185,28
[0 - 21] 175,16
[0 - 28] 182,86
6,06 126,6
29,28 146,2
53,26 175,06
9,6
6,9
4,74
K A D A R
Kelompok dan hari ke- perlakuan Gambar 17. Diagram penurunan rata-rata AST
Dari data penurunan rata-rata kadar AST, kelompok I mengalami penurunan kadar AST paling baik, dengan penurunan paling optimal pada hari ke-14. Selama 28 hari kelompok I mampu menurunkan kadar ALT sebesar 1543,3 unit/liter, kelompok
II (kontrol negatif) 100,2 unit/liter, kelompok III (kontrol positif) 447,86 unit/liter dan pada kelompok IV (kontrol normal) 21,24 unit/liter. Kelompok dengan pemberian ekstrak etanol 70% daun pepaya mampu menurunkan kadar AST lebih baik dibanding dengan kelompok dengan pemberian methicol®. Data analisis nilai signifikansi (Asymp.Sig.) AST sebesar 0,09. Nilai ini lebih besar dari 0,05 sehingga dapat disimpulkan data pengukuran nilai AST terdistribusi secara normal. Pada faktor Hari, nilai signifikansinya sebesar 0,392. Nilai ini lebih besar dari 0,05 sehingga dapat disimpulkan tidak ada perbedaan nilai AST pada hari pengamatan ke 0-14, 0-21, 0-28. Terlihat penurunan AST semua kelompok uji berbeda secara nyata satu sama lain kecuali antara kelompok INH, rifampisin, dan ekstrak pepaya (Kelompok I) dan INH, rifampisin, dan methicol® (Kelompok III). Urutan kelompok perlakuan berdasarkan pada penurunan AST adalah kelompok INH, rifampisin, dan ekstrak pepaya (Kelompok I), INH, rifampisin, dan methicol® (Kelompok III), kelompok INH dan rifampisin (Kelompok II) terakhir kelompok tanpa perlakuan (Kelompok IV). Kelompok yang terbaik dalam menurunkan AST adalah kelompok INH, rifampisin, dan ekstrak pepaya (Kelompok I) dan kelompok INH, rifampisin, dan methicol® (Kelompok III). Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etanol 70% daun pepaya pada dosis pemberian 20mg/200 gram berat badan tikus galur Wistar setelah pemberian obat TBC ( INH dosis 10 mg/200 gram berat tikus dan rifampisin dosis 10 mg/200 gram berat tikus) mampu menurunkan kadar ALT dan AST. Aktivitas
penurunan kadar AST dan ALT merupakan salah satu indikasi adanya efek hepatoprotektor. Aktivitas enzim ALT sesuai dengan ketentuan, menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara kelompok perlakuan, yaitu adanya penurunan kadar ALT, sedangkan pada aktivitas enzim AST tidak menunjukkan adanya perbedaan antara kelompok perlakuan. Penelitian ini menunjukkan bahwa ALT lebih sensitif bila digunakan sebagai parameter untuk mendeteksi adanya kerusakan hati daripada AST. Hal ini dikarenakan AST merupakan salah satu enzim yang lebih banyak terdapat pada otot jantung, otot bergaris, dan sebagian kecil berada di hati, sehingga adanya aktivitas AST belum dapat dipastikan bahwa penyebab utama karena kerusakan hati, aktivitas tubuh seperti infark miocard, kerusakan otot karena latihan fisik yang terlalu berat mampu meningkatkan kadar AST. Proses pengambilan darah tikus pada saat penetapan kadar, bila darah mengalami hemolisis maka dapat meningkatkan kadar enzim AST, sehingga AST tidak spesifik untuk parameter kerusakan hati.
.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini bahwa ekstrak etanol 70% daun pepaya mempunyai efek terhadap aktivitas penurunan kadar AST dan ALT pada tikus galur Wistar setelah pemberian obat TBC (INH dan rifampisin).
B. Saran Saran yang diberikan pada penelitian ini adalah 1. Perlu dilakukan adanya peningkatan variasi dosis ekstrak etanol 70% daun pepaya sehingga dapat diketahui dosis yang paling efektif mampu menurunkan kadar AST dan ALT. 2. Isolasi senyawa yang diduga paling efektif terhadap penurunan kadar AST dan ALT.
DAFTAR PUSTAKA Adjirni dan Sa’roni. 2000. Penelitian Antiinflamasi dan Toksisitas Akut Ekstrak Akar Carica papaya,L. pada Tikus Putih. Cermin Dunia Kedokteran:129. Arsyad Z. 1993. Tuberculosis manifestations in Dr. M. Jamil Hospital Andalas University Padang Indonesia. Bangkok: Abst 17th Eastern Regional Conference on Tuberculosis and Respiratory Diseasis. Arsyad Z. 1996.Evaluasi Faal Hati Pada Penderita Tuberkulosis Paru yang Mendapat Terapi Obat Anti Tuberkulosis. Cermin Dunia Kedokteran: 110 Bahri S. 2005. Isolasi dan Identifikasi Senyawa Alkaloid dari Buah Lada dengan Uji Aktivitas Antifeedant terhadap Hama Ulat Bayam. Lampung:Research Report. Digital Library Universitas Dalimarta S. 2003. Ramuan Tradisional Untuk Pengobatan Kanker. Seri Agrosehat. Jakarta: Penebar Swadaya: 1-5.76-77 Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI. 2000. Inventaris Tanaman Obat Indonesia (I). Jakarta. Departemen Kesehatan RI. 1974. Farmakope Indonesia. edisi II.Jakarta Departemen Kesehatan RI. 1985. Tanaman Obat Indonesia. Jilid I. Jakarta Departemen Kesehatan. 1977. Materia Medika Indonesia jilid I. Jakarta Ganiswarna E. 1995. Farmakologi dan Terapi. Universitas Indonesia. Jakarta Harborne J.B. 1987. Metode Fitokimia. Penuntun Cara Modern Menganalis Tumbuhan. Bandung: ITB.234-245. Huda N. 2001.Uji Aktivitas Sitotoksik Ekstrak Metanol Daun Carica papaya Linn. Pada Kultur Sel Mieloma Mencit dengan Metode Viabilitas Sel. Skripsi. Surabaya : Fakultas Farmasi Universitas Airlangga. Ilyas S. Nursahara P dan Nursal. Pengaruh Pemberian Ekstrak Biji Pepaya Medan (Carica papaya, L.) Terhadap Gambaran Histopatologi Beberapa Aspek Reproduksi dan non Reproduksi Mencit Jantan (Mus musculus,L.). Sumatera: Fakultas MIPA. Universitas Sumatera Utara.
Katzung B.G. 1995. Basic and Clinical Pharmacology. 7th edition. Prentice Hall International. Leeson CR. 1996. Buku Teks Histologi Edisi ke-5. Jakarta: EGC. Lenny S. 2006. Senyawa Flavonoida, Fenil Propanoida, Alkaloida. USU Repository Markham KR.1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Bandung : ITB. Linawati Y, Antonius P, Erly S, Imelda W, Imono A.D. Efek Hepatoprotektif Rebusan Herba Putri Malu Pada Tikus Terangsang Parasetamol. Yogja: Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma.Universitas Gadjah Mada. Frank C. Lu. 1995. Toksikologi Dasar . Jakarta: UI Press. Muchlisah F. 2004. Tanaman Obat Keluarga (TOGA).Jakarta: Penebar Swadaya. Mustikawati I. 2006. Isolasi dan Identifikasi Senyawa Golongan Alkaloid dari Daun Gendarusa vulgaris Ness. Thesis. Digital Library. Surabaya: Universitas Airlangga. Nugraha E. 1995. Toksikologi Dasar Edisi ke-2. Jakarta. UI Press. Prihatni D. Ida P. Idaningroem S. Coriejati R. 2005. Efek Hepatotoksik Tuberkulosis Terhadap Kadar Aspatate Aminotransferase dan Alanine Aminotransferase Serum Penderita Tuberkulosis Paru. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory. Vol.12.No 1.Nov 2005:1-5. Robinson T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Bandung:ITB. Sadiyah ER.2007.Pengaruh Ekstrak Kasar Daun Pepaya (Carica papaya ,L.) Terhadap Kemampuan Belajar Pada Tikus (Rattus norvegicus Berkenhout) Wistar Jantan Lepas Sapih. Sugiyanto. 1995. Petunjuk Praktikum Farmakologi Edisi IV. Fakultas Farmasi laboratorium Farmakologi dan Toksikologi. Jogja:UGM. Sukardiman dan Wiwied E. Uji Anti Kanker dan Induksi Apoptosis Fraksi Kloroform dari Daun Papaya (Carica papaya,L.) terhadap Kultur Sel Kanker. http://digilib.litbang.depkes.go.id/gophp?node=146 jkpkbppk-gdl-res-2007sukardiman-2328
Sukardiman, Poernomo H., 2000, Penampisan Antikanker dari Tanaman Obat Indonesia dengan Molekul Target Enzim DNA topoisomerase. Penelitian DCRG. Surabaya: Fakultas Farmasi Universitas Airlangga Tan Hoan Tjay dan Kirana R. 1978. Obat-Obat Penting Edisi ke-4. Departemen Kesehatan RI. Voigt R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Universitas Indonesia. Jakarta. Woodley M and Alison WMP. 1992. Pedoman Pengobatan. 473-491.
LAMPIRAN 1
Tabel 2. Prosentase rendemen ekstrak etanol 70% daun pepaya
Berat serbuk gram
Berat cawan kosong gram
Berat cawan + ekstrak gram
Berat ekstrak gram
prosentase rendemen %
100
116,144
128,629
12, 484
12, 48
Perhitungan = 128,629 - 116,144 = 12, 484 12, 484 : 100 x 100 % = 12, 484 % = 12, 48 %
Tabel 6. Data berat badan tikus
NO
1 2 3 4 5 Rata-rata
Berat badan Berat badan (gram) (gram) Kelompok Kelompok I II 190 200 200 200 210 200 190 190 150 150 188 188
Berat badan (gram) Kelompok III 200 200 200 210 200 202
Berat badan (gram) Kelompok IV 150 200 150 150 150 160
Keterangan : Kelompok I adalah kelompok perlakuan ekstrak daun papaya + INH + rifampisin Kelompok II adalah kelompok perlakuan eksINH + rifampisin Kelompok III adalah kelompok perlakuan INH + rifampisin + methicol® Kelompok IV adalah kelompok tanpa perlakuan
LAMPIRAN 2
Tabel 7. Data Pemberian sedian obat per oral
KLMP NO I
II
III
IV
N O 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
EXTR. PEPAYA (ml) 0.48 0.5 0.53 0.48 0.38 -
INH (ml) 0.48 0.5 0.53 0.48 0.38 0.5 0.5 0.5 0.48 0.38 0.5 0.5 0.5 0.53 0.5 -
RIFAMPISIN (ml) 0.48 0.5 0.53 0.48 0.38 0.5 0.5 0.5 0.48 0.38 0.5 0.5 0.5 0.53 0.5 -
METHICOL® (ml) 0.63 0.63 0.63 0.66 0.63 -
LAMPIRAN 3
Tabel 8. Data Kadar ALT (unit/liter)
KEL A I
II
III
IV
N O B 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
HARI KE-0 C 22 19 18 22 20 21 30 27 21 23 19 27 37 29 22 18 25 23 19 24
HARI KE-14 D 7 18 16 14 17 18 21 23 15 15 11 21 29 20 13 15 19 19 19 26
HARI KE-21 E 15 14 15 16 12 21 20 29 29 21 9 12 20 19 21 19 20 21 23 22
HARI KE-28 F 10 11 7 10 12 30 41 36 31 26 8 11 12 16 14 20 18 20 21 19
± (C-D) ± (C-E) ± (C-F) G 15 1 2 8 3 3 9 4 6 8 8 6 8 9 9 3 6 4 0 2
H 7 5 3 6 8 0 10 2 8 2 10 15 17 10 1 1 5 2 4 2
I 12 8 11 12 8 9 11 9 10 3 11 16 25 13 8 2 7 3 2 5
LAMPIRAN 4
Tabel 9. Data Kadar AST (unit/liter)
KEL A I
II
III
IV
N O B 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
HARI KE-0 C 319,3 340,3 296,6 233,8 331,5 158,3 147 200,2 163,7 165 242,6 387,4 265,9 245,5 293,2 178 147,8 198 200,6 155,3
HARI KE-14 D 75 89 185 118,7 127, 4 166 186 207,6 173,9 141 169,9 171 162,3 151,8 146,6 200,3 141,6 189,8 192,3 158,3
HARI KE-21 E 104,7 148,3 134,4 118,7 127,4 172,3 193,2 250,1 189 176 147 125,6 146,6 148,3 136,1 178,6 158,3 186,7 206,6 149,2
HARI [C-D] KE-28 F G 125,6 244,3 111,7 251,3 165,8 111,6 106,4 115,1 99,5 204,1 196 7,7 200,1 39 294 7, 4 210,1 10,2 200.7 24 130,3 72,7 103 216, 4 128,7 103,6 136,2 93,7 61,1 146,6 170,5 22,3 144,5 6,2 203,6 8,2 198,1 8,3 160,1 3
[C-E]
[C-F]
H 214,6 192 162,2 115,1 204,1 14 46,2 49,9 25,3 11 95,6 261,8 119,3 97,2 157,1 0,6 10,5 11,3 6 6,1
I 193,7 228,6 130,8 127,4 232 37,7 53,1 93,8 47 35,7 112,3 284,4 137,2 109,3 232,1 7,5 3,3 5,6 2,5 4,8
LAMPIRAN 5 Tabel 12. Test Kolmogorov-Smirov ALT One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test ALT N Normal Parametersa,b Most Extreme Differences
60 6,92 4,890 ,105 ,105 -,080 ,814 ,521
Mean Std. Deviation Absolute Positive Negative
Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
Tabel 13. Test Normalitas ALT Between-Subjects Factors Kelompok
Hari
Value Label Pepaya INH dan Rifampisin INH, Rifampisin, dan Methicol Tanpa perlakuan Hari ke 0-14 Hari ke 0-21 Hari ke 0-28
1 2 3 4 1 2 3
N 15 15 15 15 20 20 20
Tabel 14. Uji Levene ALT a Levene's Test of Equality of Error Variances
Dependent Variable: ALT F 1,905
df1
df2 11
48
Sig. ,062
Tests the null hypothesis that the error variance of the dependent variable is equal across groups. a. Design: Intercept+Kelompok+Hari+Kelompok * Hari
Tabel 15. Dependent variable I ALT Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: ALT Source Corrected Model Intercept Kelompok Hari Kelompok * Hari Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 774,983a 2870,417 494,983 195,033 84,967 635,600 4281,000 1410,583
df 11 1 3 2 6 48 60 59
Mean Square 70,453 2870,417 164,994 97,517 14,161 13,242
F 5,321 216,772 12,460 7,364 1,069
a. R Squared = ,549 (Adjusted R Squared = ,446)
Tabel 16. Uji SNK ALT ALT Student-Newman-Keuls Kelompok Tanpa perlakuan INH dan Rifampisin Pepaya INH, Rifampisin, dan Methicol Sig.
a,b
N
Subset 2
1 15 15 15
3,20 5,73
5,73 7,67
15
11,07 ,063
,152
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 13,242. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 15,000. b. Alpha = ,05.
3
1,000
Sig. ,000 ,000 ,000 ,002 ,394
ALT Student-Newman-Keuls
a,b
Subset Hari Hari ke 0-21 Hari ke 0-14 Hari ke 0-28 Sig.
N
1 20 20 20
2 5,40 5,90 ,666
9,45 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 13,242. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 20,000. b. Alpha = ,05.
Estimated Marginal Means of ALT Kelompok
15
Pepaya
Estimated Marginal Means
INH dan Rifampisin INH, Rifampisin, dan Methicol
12.5
Tanpa perlakuan
10
7.5
5
2.5 Hari ke 0-14
Hari ke 0-21
Hari
Hari ke 0-28
Tabel 17. Test Kolmogorov-Smirov AST One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test AST N Normal Parameters a,b Most Extreme Differences
60 92.717 86.2069 ,160 ,160 -,143 1,243 ,091
Mean Std. Deviation Absolute Positive Negative
Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
Tabel 18. Uji normalitas AST Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: AST Source Corrected Model Intercept Kelompok Hari Kelompok * Hari Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 337533,337a 515786,525 327955,889 4017,931 5559,517 100933,054 954252,916 438466,391
df 11 1 3 2 6 48 60 59
Mean Square 30684,849 515786,525 109318,630 2008,965 926,586 2102,772
F 14,593 245,289 51,988 ,955 ,441
a. R Squared = ,770 (Adjusted R Squared = ,717)
Tabel 19. Uji levene AST a Levene's Test of Equality of Error Variances
Dependent Variable: AST F 1,198
df1
df2 15
64
Sig. ,297
Tests the null hypothesis that the error variance of the dependent variable is equal across groups. a. Design: Intercept+Kelompok+Hari+Kelompok * Hari
Sig. ,000 ,000 ,000 ,392 ,848
Multiple Comparisons Dependent Variable: AST Dunnett T3
(I) Kelompok Pepaya
INH dan Rifampisin
INH, Rifampisin, dan Methicol
Tanpa perlakuan
(J) Kelompok INH dan Rifampisin INH, Rifampisin, dan Methicol Tanpa perlakuan Pepaya INH, Rifampisin, dan Methicol Tanpa perlakuan Pepaya INH dan Rifampisin Tanpa perlakuan Pepaya INH dan Rifampisin INH, Rifampisin, dan Methicol
Mean Difference (I-J) 147.699*
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound 104.105 191.293
Std. Error 14.9836
Sig. ,000
31.813
22.0974
,629
-30.680
94.307
174.020* -147.699*
13.7865 14.9836
,000 ,000
132.461 -191.293
215.579 -104.105
-115.885*
18.3350
,000
-169.819
-61.952
26.321* -31.813 115.885*
6.1601 22.0974 18.3350
,004 ,629 ,000
7.934 -94.307 61.952
44.708 30.680 169.819
142.207*
17.3704
,000
89.794
194.619
-174.020* -26.321*
13.7865 6.1601
,000 ,004
-215.579 -44.708
-132.461 -7.934
-142.207*
17.3704
,000
-194.619
-89.794
Based on observed means. *. The mean difference is significant at the ,05 level.
Multiple Comparisons Dependent Variable: AST Dunnett T3
(I) Hari Hari ke 0-14 Hari ke 0-21 Hari ke 0-28
(J) Hari Hari ke 0-21 Hari ke 0-28 Hari ke 0-14 Hari ke 0-28 Hari ke 0-14 Hari ke 0-21
Based on observed means.
Mean Difference (I-J) -4.600 -19.196 4.600 -14.596 19.196 14.596
Std. Error 27.2950 27.8095 27.2950 27.7162 27.8095 27.7162
Sig. ,998 ,867 ,998 ,935 ,867 ,935
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -72.648 63.448 -88.529 50.137 -63.448 72.648 -83.698 54.506 -50.137 88.529 -54.506 83.698
Estimated Marginal Means of AST Kelompok
200.0
Pepaya INH dan Rifampisin
Estimated Marginal Means
INH, Rifampisin, dan Methicol Tanpa perlakuan
150.0
100.0
50.0
0.0 Hari ke 0-14
Hari ke 0-21
Hari
Hari ke 0-28
Tabel 21. Standart deviasi ALT Descriptive Statistics Dependent Variable: ALT Kelompok Pepaya
INH dan Rifampisin
INH, Rifampisin, dan Methicol
Tanpa perlakuan
Total
Hari Hari ke 0-14 Hari ke 0-21 Hari ke 0-28 Total Hari ke 0-14 Hari ke 0-21 Hari ke 0-28 Total Hari ke 0-14 Hari ke 0-21 Hari ke 0-28 Total Hari ke 0-14 Hari ke 0-21 Hari ke 0-28 Total Hari ke 0-14 Hari ke 0-21 Hari ke 0-28 Total
Mean 6,60 5,60 10,80 7,67 6,00 2,60 8,60 5,73 8,00 10,60 14,60 11,07 3,00 2,80 3,80 3,20 5,90 5,40 9,45 6,92
Std. Deviation 5,595 1,673 1,643 3,994 2,550 3,130 3,362 3,788 1,225 6,189 6,504 5,599 2,236 1,643 2,168 1,935 3,582 4,717 5,375 4,890
N 5 5 5 15 5 5 5 15 5 5 5 15 5 5 5 15 20 20 20 60
Tabel 22. Standart deviasi AST Descriptive Statistics Dependent Variable: AST Kelompok Pepaya
INH dan Rifampisin
INH, Rifampisin, dan Methicol
Tanpa perlakuan
Total
Hari Hari ke 0-14 Hari ke 0-21 Hari ke 0-28 Total Hari ke 0-14 Hari ke 0-21 Hari ke 0-28 Total Hari ke 0-14 Hari ke 0-21 Hari ke 0-28 Total Hari ke 0-14 Hari ke 0-21 Hari ke 0-28 Total Hari ke 0-14 Hari ke 0-21 Hari ke 0-28 Total
Mean 185.280 175.160 182.860 181.100 17.660 29.280 53.264 33.401 126.600 146.200 175.060 149.287 9.600 6.900 4.740 7.080 84.785 89.385 103.981 92.717
Std. Deviation 68.0995 61.2862 37.7250 53.1481 13.7451 17.9927 23.7349 23.3001 56.9663 69.2227 78.9072 67.0797 7.4172 4.2854 1.9655 5.1288 86.6141 86.0135 89.2490 86.2069
N 5 5 5 15 5 5 5 15 5 5 5 15 5 5 5 15 20 20 20 60
LAMPIRAN 6 PERHITUNGAN SEDIAAN PER ORAL EKSTRAK ETANOL 70% DAUN PEPAYA, INH dan RIFAMPISIN Konsentarasi obat 4% = 4 gram/100 ml = 40 mg/ml Obat per oral untuk berat badan tikus 200 gram =
Contoh perhitungan, berat badan 190 gram =
20mg x1ml = 0,5ml 40mg
190mg x0,5ml = 0, 48 ml 200mg
Tabel 23. Pemberian sediaan per oral ekstrak etanol 70% daun pepaya, INH dan rifampisin
Kelmpk I
II
III
IV
No. tikus 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Berat badan gram 190 200 210 190 150 200 200 200 190 150 200 200 200 210 200 150 200 150 150 150
Volume ml 0, 48 0,5 0,53 0, 48 0,38 0,5 0,5 0,5 0, 48 0,38 0,5 0,5 0,5 0,53 0,5 0,38 0,5 0,38 0,38 0,38
LAMPIRAN 7
PERHITUNGAN SEDIAAN PER ORAL METHICOL® 2% 1 tablet = 700 mg Dosis untuk tikus = 700 mg x faktor konversi = 700 x 0,018 ~12,6 mg/ 200 gram Konsentarasi obat 2% = 2 gram/100 ml = 20 mg/ ml Obat per oral untuk berat badan tikus 200 gram =
12,6mg x1ml = 0,63ml 20mg
Tabel 24. Pemberian sediaan per oral Methicol® 2%
Kelmpk III
No. tikus 1
Perhitungan 200mg x0,63ml 200mg
Volume ml 0,63
2
200mg x0,63ml 200mg
0,63
3
200mg x0,63ml 200mg
0,63
4
210mg x0,63ml 200mg
0,66
5
200mg x0,63ml 200mg
0,63
LAMPIRAN 8 JADWAL KEGIATAN PENELITIAN No 1 2
3
4 5
Tabel 25. Jadwal kegiatan penelitian Jenis Kegiatan Tahun 2008 Okt Nov Des Jan Studi Pustaka V V V Persiapan Penelitian V a. Determinasi Tanaman b. Pengeringan simplisia c. Penyerbukan simplisia d. Maserasi e. Pemekatan ekstrak Penelitian Laboratorium a. Identifikasi Kandungan b. Orientasi Penelitian Pengumpulan dan Analisis data Penyusunan Laporan
Tahun 2009 Feb Mar Apr
V V V V V V
Mei
V V V V V
V
LAMPIRAN 9 PERHITUNGAN DOSIS PEPAYA Data empiris diperoleh dosis daun pepaya untuk pengobatan kanker sebanyak 45 gram daun pepaya segar untuk manusia. Dari data penelitian : 5300 gram daun basah
= 1111, 41 gram daun kering
1111,41 gram daun kering
= 1000,27 gram serbuk kering
100 gram serbuk kering
= 12, 484 gram ekstrak kental
1 kali pakai ~ 45 gram daun pepaya segar ~ X gram ekstrak kental X=
45 x1111, 41 = 9, 44 gram daun kering 5300
9, 44 gram daun kering ~ X gram serbuk kering X=
9,44 x1000,27 = 8,50 gram serbuk kering 1111,41
8,50 gram serbuk kering ~ X gram ekstrak kental X=
8,50 x12,48 4 = 1,061 gram ekstrak kental (dosis untuk manusia) 100
Jadi, dosis ekstrak kental untuk tikus = 1,061 x faktor konversi manusia ke tikus = 1,061 x 0,018 = 19,10 mg ~ 20 mg
LAMPIRAN 10
Gambar 4. Pohon pepaya
Gambar 5. Daun pepaya
Gambar 6. Fotometer
Gambar 7. Tikus galur Wistar
Gambar 8. Hasil uji saponin
Gambar 9. Hasil uji alkaloid reagent dragendorf
Gambar 10. Hasil uji alkaloid reagent mayer
Gambar 11. Almari pengering
Gambar 12. Moisture balance
Gambar 13. Alat penggiling
Gambar 14. Kelompok tikus galur Wistar
Gambar 15. Tempat pengeringan simplisia
LAMPIRAN 10
LAMPIRAN 11
LAMPIRAN 12