EKSTRAKSI DAN KARAKTERISASI INHIBITOR ENZIM KATEPSIN

Download inhibitor enzim katepsin terbaik dari tiga jenis ikan patin tersebut; dan ..... ini memerlukan kajian lebih lanjut, oleh karena itu penelit...

0 downloads 461 Views 1MB Size
a

EKSTRAKSI DAN KARAKTERISASI INHIBITOR ENZIM KATEPSIN DARI KULIT IKAN PATIN (Pangasius sp.)

SAEFUL BAHRI

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

b

RINGKASAN

SAEFUL BAHRI. Ekstraksi dan Karakterisasi Inhibitor Enzim Katepsin dari Kulit Ikan Patin (Pangasius sp.). Dibimbing oleh TATI NURHAYATI dan EKOWATI CHASANAH.

Penyebab terjadinya proses kemunduran mutu ikan ialah adanya aktivitas enzim terutama enzim proteolitik, salah satunya adalah enzim katepsin. Aktivitas enzim ini secara alami terdapat dalam ikan. Inhibitor enzim merupakan suatu komponen yang dapat menurunkan rata-rata pengukuran reaksi katalitik enzim. Inhibitor spesifik dari protease sistein sangat dibutuhkan untuk mencegah terjadinya proteolisis yang destruktif. Ikan patin (Pangasius sp.) seperti halnya makhluk hidup lainnya merupakan sumber enzim dan inhibitor alami yang dapat berada dalam sel (intraseluler) dan melekat pada membran atau berada di luar sel (ekstraseluler). Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan menentukan jenis kulit ikan patin terbaik sebagai bahan baku inhibitor katepsin; mengekstrak inhibitor katepsin dari kulit ikan patin terpilih; dan menentukan karakteristik inhibitor katepsin yang dihasilkan. Penelitian ini terdiri atas empat tahap: pertama, dilakukan ekstraksi enzim katepsin dari daging pada tiga jenis ikan patin (Siam, Jambal, dan Pasupati); kedua, mengekstraksi inhibitor enzim katepsin dari kulit pada tiga jenis ikan patin; ketiga, uji aktivitas enzim katepsin dan inhibitornya untuk mendapatkan aktivitas inhibitor enzim katepsin terbaik dari tiga jenis ikan patin tersebut; dan keempat adalah karakterisasi suhu dan pH optimum dari inhibitor enzim katepsin terbaik. Jenis kulit ikan yang memiliki inhibitor enzim katepsin terbaik adalah ikan patin jenis Siam dengan nilai persentase penghambatan sebesar 74,67%. Pengendapan dengan ammonium sulfat ini menunjukkan adanya peningkatan aktivitas spesifik yang cukup tinggi sebesar 1,4479 U/mg dengan kelipatan pemurnian sebesar 2,77 kali. Inhibitor enzim katepsin tersebut secara optimum bekerja pada suhu 40 °C dan pH 8. Penelitian ini perlu pengembangan lebih lanjut dengan menentukan berat molekul dan dilakukan pemurnian tahap dialisis serta pemurnian dengan teknik kromatografi untuk mendapatkan pemurnian yang lebih besar. Kata kunci: inhibitor protease, karakterisasi, katepsin.

b

i

EKSTRAKSI DAN KARAKTERISASI INHIBITOR ENZIM KATEPSIN DARI KULIT IKAN PATIN (Pangasius sp.)

SAEFUL BAHRI

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 i

ii

Judul

: Ekstraksi dan Karakterisasi Inhibitor Enzim Katepsin dari Kulit Ikan Patin (Pangasius sp.)

Nama

: Saeful Bahri

NRP

: C34060026

Departemen : Teknologi Hasil Perairan

Disetujui

Pembimbing I

Pembimbing II

Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si NIP. 19700807 199603 2 002

Dr. Ir. Ekowati Chasanah, M.Sc NIP. 080 077 882

Diketahui Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan

Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil. NIP. 19580511 198503 1 002

Tanggal Pengesahan : ....................................

ii

iii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Ekstraksi dan Karakterisasi Inhibitor Enzim Katepsin dari Kulit Ikan Patin (Pangasius sp.)” adalah hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun, kecuali Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Departemen Teknologi Hasil Perairan. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi.

Bogor, Januari 2012

Saeful Bahri C34060026

iii

iv

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT karena berkat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan judul “Ekstraksi dan Karakterisasi Inhibitor Enzim Katepsin dari Kulit Ikan Patin (Pangasius sp.)”. Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan pada Program Studi Teknologi Hasil Perairan di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, terutama kepada: 1

Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si, dan Dr. Ir. Ekowati Chasanah, M.Sc selaku Dosen Pembimbing, atas segala bimbingan dan pengarahan yang diberikan kepada penulis.

2

Dr. Ir. Nurjanah, MS selaku Dosen Penguji, atas segala masukannya.

3

Dr. Ir. Iriani Setyaningsih, MS selaku Dosen Pembimbing Akademik, atas segala bimbingan, nasihat, dan bantuan yang diberikan kepada penulis.

4

Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil. selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan.

5

Semua Dosen yang telah ikhlas memberikan ilmu sebagai bekal dalam berkarya.

6

Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl.Biol. selaku Ketua Komisi Pendidikan Departemen Teknologi Hasil Perairan.

7

Keluarga terutama almarhum ayah (Misnan) dan almarhumah ibu (Romani), almarhumah ibu asuh (Dra. Hj. Mas’udah), kakak (Misriyah, Saepudin, Nurhayanah, dan Rohayati), Adik (Haryono dan Retno), Keponakan (Ria, Adzhar, Dimas, Septi, dan Iskandar), dan keluarga Sumedang (Ibu Oom, Bapak Idin, Oyok, A Ujang, Teh Rina, Teh Imas, Acep, Neng, dan Deden) yang telah menjadikan semangat penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.

8

Guru Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Mauk Tangerang, yang telah memberikan bantuan moril dan materiil.

9

Bu Ema, Mbak Lastri, Mbak Silvi, Mas Eful sebagai laboran THP dan Pak Wahyu sebagai laboran FKH yang telah banyak membantu selama penelitian. iv

v

10 Teman-teman THP 43 dan kakak tingkat yang telah banyak membantu penulis sehingga penelitian ini dapat diselesaikan. 11 Adik kelas dan teman di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB (Retno, Feri, Novi, Umi, Nico, Patma, Wahyu, Deksu, Taufik, Hamdan, Junasa, Kak Cahyo, dan lainnya) yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian. 12 Sahabat-sahabat satu perjuangan di Forum Keluarga Muslim Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB (Muta, Nurwati, Hanif, Damora, Rahmat, Age, dan lainnya), yang memompa semangat untuk terus berkarya. 13 Saudara-saudara asrama Beastudi Etos IPB dan Wisma Madani, yang membantu memberikan dukungan moril dan materiil. 14 Semua pihak yang telah membantu menyelesaikan penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun dalam penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan.

Bogor, Januari 2012

Saeful Bahri C34060026

v

vi

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 17 Juni 1987 di Tangerang, Banten dari pasangan Bapak Misnan (Alm.) dan Ibu Romani (Alm.).

Penulis

merupakan

anak

kelima

dari

enam

bersaudara. Penulis memulai pendidikan formal pada tahun 1994 di SDN Jati Gintung 01, Tangerang. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SMP Mathla’ul Anwar Tangerang pada tahun 2000 dan MA Negeri Mauk Tangerang pada tahun 2003. Penulis diterima menjadi mahasiswa IPB melalui jalur USMI pada tahun 2006, dan terdaftar sebagai mahasiswa Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan pada tahun 2007. Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis aktif dalam berbagai kegiatan. Penulis pernah berpartisipasi dalam Temu Etos Nasional Dompet Dhuafa Republika pada tahun 2007 dan Program Kreativitas Kemahasiswaan bidang penelitian yang didanai DIKTI pada tahun 2009. Penulis juga aktif menjadi asisten mata kuliah Pendidikan Agama Islam pada tahun 2008-2010. Pada bulan Mei 2010-Mei 2011, penulis melaksanakan penelitian di Institut Pertanian Bogor, Jawa Barat dengan judul “Ekstraksi dan Karakterisasi Inhibitor Enzim Katepsin dari Kulit Ikan Patin (Pangasius sp.)” dibawah bimbingan Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si, dan Dr. Ir. Ekowati Chasanah, M.Sc. Selain aktif di bidang ilmiah dan akademik, penulis juga aktif di berbagai lembaga kemahasiswaan, diantaranya sebagai Bendahara Umum Ikatan Musholla Ikhwan dan Astri Tingkat Persiapan Bersama 2006, Staf Divisi Syiar/ CIA (Creative and Inovatif for Allah) Forum Keluarga Muslim FPIK 2008, Kepala Divisi CIA Forum Keluarga Muslim FPIK 2009, dan Kepala Divisi Sosial Kemasyarakatan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Beastudi Etos Bogor 2008.

vi

vii

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ................................................................................

ix

DAFTAR GAMBAR ..........................................................................

x

DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................

xi

1

PENDAHULUAN ........................................................................

1

1.1 Latar Belakang ........................................................................

1

1.2 Perumusan Masalah ................................................................

2

1.3 Tujuan Penelitian ....................................................................

3

1.4 Hipotesis Penelitian .................................................................

3

TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................

4

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Patin (Pangasius sp.) ..............

4

2.2 Enzim .......................................................................................

5

2.3 Katepsin ...................................................................................

5

2.4 Inhibitor Protease ....................................................................

8

2.4.1 Inhibitor protease sistein ................................................ 2.4.2 Mekanisme kerja inhibitor protease ...............................

9 10

2.5 Pemekatan Inhibitor dan Enzim Katepsin ...............................

11

METODE PENELITIAN ..............................................................

12

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ..................................................

12

3.2 Alat dan Bahan ........................................................................

12

3.3 Metode Penelitian ....................................................................

12

3.3.1 Ekstraksi enzim katepsin (Dinu et al. 2002) .................. 3.3.2 Ekstraksi inhibitor katepsin (An et al. 1995) ................. 3.3.3 Pemekatan (Ustadi et al. 2005) ...................................... 3.3.4 Karakterisasi inhibitor katepsin ......................................

14 15 15 16

3.4 Prosedur Analisis .....................................................................

16

3.4.1 Aktivitas katepsin (Dinu et al. 2002) .............................. 3.4.2 Aktivitas inhibitor katepsin (Dinu et al. 2002) ............... 3.4.3 Pengukuran konsentrasi protein metode Bradford (Bradford 1976) ..............................................................

16 17

2

3

vii

19

viii

Halaman 4

HASIL DAN PEMBAHASAN .....................................................

20

4.1 Pemilihan Jenis Kulit Ikan Patin sebagai Sumber Inhibitor Katepsin ...................................................................................

20

4.2 Optimasi Pemurnian Parsial menggunakan Ammonium Sulfat ......................................................................................

21

4.3 Produksi Inhibitor Katepsin ....................................................

23

4.4 Karakterisasi Inhibitor Protease ..............................................

25

4.4.1 Penentuan suhu optimum ................................................ 4.4.2 Penentuan pH optimum ..................................................

25 26

KESIMPULAN DAN SARAN .....................................................

28

5.1 Kesimpulan .............................................................................

28

5.2 Saran ........................................................................................

28

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................

29

LAMPIRAN ........................................................................................

32

5

viii

ix

DAFTAR TABEL

Halaman 1

Karakteristik katepsin A-L yang ditemukan pada otot ..................

8

2

Prosedur untuk pengukuran aktivitas protease katepsin ...............

16

3

Prosedur untuk pengukuran aktivitas inhibitor katepsin ...............

18

4

Peningkatan aktivitas inhibitor katepsin pada berbagai tahap ekstraksi..........................................................................................

24

ix

x

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1

Morfologi ikan patin .....................................................................

4

2

Diagram alir kerja penelitian ekstraksi dan karakterisasi inhibitor ........................................................................................

13

Diagram alir proses ekstraksi enzim katepsin dengan teknik differensial sentrifugasi .................................................................

14

Diagram alir proses ekstraksi inhibitor enzim katepsin dengan teknik differensial sentrifugasi ......................................................

15

Persentase penghambatan inhibitor enzim katepsin pada kulit tiga jenis ikan patin (Siam, Jambal, dan Pasupati) ........................

21

Persentase penghambatan inhibitor katepsin ikan patin pelet, setelah pengendapan ammonium sulfat, supernatan .....................................................................................

22

Kadar protein terlarut setelah pengendapan ammonium sulfat, pelet, supernatan ................................................

22

Penentuan suhu optimum pada aktivitas inhibitor ikan patin setelah pengendapan dengan ammonium sulfat 70% pada suhu 20-50 oC .......................................................................

25

Penentuan pH optimum pada aktivitas inhibitor ikan patin setelah pengendapan dengan ammonium sulfat 70% pada pH 6-9 ...................................................................................

27

3 4 5 6

7 8

9

x

xi

DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 2

Pembuatan larutan untuk assay enzim katepsin dan inhibitor enzim katepsin ..............................................................................

33

Kurva standar protein ....................................................................

34

xi

1

1 PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Penyebab terjadinya proses kemunduran mutu ikan ialah adanya aktivitas

enzim terutama enzim proteolitik, aktivitas enzim yang secara alami terdapat dalam ikan. Salah satu enzim yang berperan penting dalam proses kemunduran mutu ikan adalah enzim-enzim pengurai protein (enzim proteolisis) yang menguraikan protein menjadi pepton, peptida dan asam amino. Hidrolisis protein oleh suatu protease seperti katepsin, kalpain dan kolagenase dapat menyebabkan timbulnya akumulasi metabolit, perubahan cita rasa dan pelunakan tekstur, terbentuknya komponen volatil, serta peningkatan jumlah bakteri yang akhirnya menimbulkan kebusukan. Perubahan fungsional dan sifat organoleptik pada ikan disebabkan oleh aktivitas proteolitik. Katepsin merupakan kelompok dari protease sistein diantaranya katepsin B dan L yang dapat menyebabkan terjadinya pelunakan daging (Softening) pada ikan (Ladrat et al. 2006). Katepsin L ditemukan pada sebagian besar proteinase termasuk penyebab degradasi protein miofibril pada surimi ikan pacific whiting. Penambahan inhibitor protease seperti sistatin pada surimi dapat mengurangi penurunan kekuatan gel melalui penghambatan protease sistein endogenous (Morrissey et al. 1996). Inhibitor spesifik dari protease sistein sangat dibutuhkan untuk mencegah terjadinya proteolisis yang destruktif. Pengertian yang mendalam pada interaksi protease sistein dan inhibitornya dapat memberikan informasi penting untuk mengontrol aktivitas proteolitik (Hultmann 2003). Inhibitor protease pada ikan diperkirakan dapat melakukan perlindungan dari mikroorganisme dan proses embriogenesis pada regulasi pertumbuhan awal embrio. Inhibitor seperti sistatin juga dapat berperan sebagai pertahanan melawan protease virus yang dibutuhkan untuk replikasi virus (Ustadi et al. 2005). Inhibitor protease alami telah berhasil dipurifikasi seperti sistatin yang dipurifikasi dari telur ikan glassfish (Ustadi et al. 2005), cairan ovarian ikan nila, telur ikan salmon, kulit ikan atlantik salmon dan ikan cod (Olonen 2004), plasma ikan chum salmon (Li et al. 2008) dan purifikasi inhibitor tripsin dari telur ikan skipjack tuna (Choi et al. 2005). Saat ini terdapat

2

permintaan yang kuat terhadap protease inhibitor alami yang dapat digunakan untuk mencegah proses kemunduran pada daging ikan dan produk berbasis surimi (Ustadi et al. 2005). Beberapa inhibitor protease telah dicobakan ditambahkan ke dalam daging ikan untuk menjelaskan peranan enzim pada proses pelunakan daging saat post mortem. Hasil penelitian Kubota et al. (2001), menunjukkan bahwa inhibitor spesifik metalloprotease dapat menekan terjadinya pelunakan daging pada ikan flounder. Ikan patin merupakan salah satu jenis ikan konsumsi yang sangat digemari masyarakat Indonesia. Secara umum, ada dua jenis ikan patin yang ada di pasaran saat ini, yaitu ikan patin lokal dan patin siam (Pangasius hipothalmus) (Lestari 2010). Ikan patin (Pangasius sp.) seperti halnya makhluk hidup lainnya merupakan sumber enzim dan inhibitor alami yang dapat berada dalam sel (intraseluler) dan melekat pada membran atau berada di luar sel (ekstraseluler). Hasil penelitian yang telah dilakukan Rusyadi (2010), bagian kulit ikan patin mengandung inhibitor protease. Ekstrak inhibitor dari kulit ikan patin memiliki aktivitas penghambatan sebesar 77,24%. Informasi yang didapat dari penelitian ini memerlukan kajian lebih lanjut, oleh karena itu penelitian tentang “Ekstraksi dan Karakterisasi Inhibitor Enzim Katepsin dari Kulit Ikan Patin” perlu dilakukan. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk bidang kesehatan dan pangan sesuai dengan sifat dan karakteristiknya.

1.2

Perumusan Masalah Ikan patin akan tersedia melimpah dengan dicanangkannya kenaikan

produksi ikan budidaya oleh menteri perikanan dan kelautan. Ikan tersebut berpotensi menghasilkan/ memproduksi inhibitor protease. Informasi karakterisasi inhibitor protease ikan patin sangat diperlukan untuk mengetahui aplikasi dan potensinya, sehingga penelitian tentang ekstraksi dan karakterisasi inhibitor katepsin dari kulit ikan patin perlu dilakukan.

3

1.3

Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah:

1) menentukan jenis kulit ikan patin terbaik sebagai bahan baku inhibitor katepsin; 2) mengekstrak inhibitor katepsin dari kulit ikan patin terpilih; 3) menentukan karakteristik inhibitor katepsin yang dihasilkan.

1.4

Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian ini adalah :

1) salah satu kulit dari tiga jenis ikan patin (Siam, Jambal, dan Pasupati) diduga dapat menjadi sumber inhibitor katepsin yang baik; 2) tingkat kemurnian inhibitor katepsin yang dihasilkan pada tahap ekstraksi

diduga dapat menghasilkan persentase penghambatan yang lebih baik.

4

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Patin (Pangasius sp.) Ikan patin (Pangasius sp.) mempunyai ciri-ciri morfologi berbadan

panjang, berwarna putih perak dengan punggung berwarna kebiru-biruan. Daging ikan patin memiliki kandungan kalori dan protein cukup tinggi, rasa dagingnya enak, lezat, dan gurih (Saanin 1984). Ikan patin merupakan ikan konsumsi budidaya air tawar unggulan dari famili Pangasidae yang dikenal dengan nama lokal patin, jambal atau pangasius. Morfologi ikan patin dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Morfologi ikan patin (Susanto dan Heru 1999).

Klasifikasi ikan patin menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut : Filum

: Chordata

Kelas

: Pisces

Sub Kelas

: Teleostei

Ordo

: Ostariophysi

Sub Ordo

: Siluroidei

Famili

: Schilbeidae

Genus

: Pangasius

Spesies

: Pangasius sp.

5

2.2

Enzim Enzim ialah protein yang mengkatalisis reaksi-reaksi biokimia. Enzim

biasanya terdapat dalam sel dengan konsentrasi yang sangat rendah, selain itu juga enzim mempunyai kemampuan untuk meningkatkan laju reaksi tanpa mengubah posisi kesetimbangan (Kuchel dan Gregory 2006). Enzim ikut mengambil bagian dalam seluruh aktivitas yang diperlukan untuk mempertahankan kehidupan, seperti sintesis dan penguraian, ekskresi, detoksifikasi, dan penyediaan energi (Shinya 2008). Enzim bekerja dengan dua cara, yaitu menurut Teori Kunci-Gembok (Lock and Key Theory) dan Teori Kecocokan Induksi (Induced Fit Theory). Menurut teori kunci-gembok, terjadinya reaksi antara substrat dengan enzim karena adanya kesesuaian bentuk ruang antara substrat dengan sisi aktif (active site) dari enzim, sehingga sisi aktif enzim cenderung kaku. Substrat berperan sebagai kunci masuk ke dalam situs aktif, yang berperan sebagai gembok, sehingga terjadi kompleks enzim-substrat. Pada saat ikatan kompleks enzim-substrat terputus, produk hasil reaksi akan dilepas dan enzim akan kembali pada konfigurasi semula (Stenes 1998). Teori induksi enzim, menekankan enzim melakukan penyesuaian bentuk untuk berikatan dengan substrat. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kecocokan dengan substrat dan membuat ikatan enzim substrat lebih reaktif. Molekul enzim memiliki sisi aktif tempat melekatnya substrat dan terbentuk molekul kompleks enzim-substrat. Pengikatan substrat oleh enzim yang sesuai dapat mendorong terbentuknya molekul kompleks enzim-substrat (Chang 2003).

2.3

Katepsin Protease merupakan enzim yang mampu menghidrolisis ikatan peptida

pada protein. Enzim ini untuk melakukan aktivitasnya membutuhkan air sehingga dikelompokkan dalam kelas hidrolase. Protease berperan dalam sejumlah reaksi biokimia seluler. Selain diperlukan untuk degradasi protein nutrien, enzim protease terlibat dalam sejumlah mekanisme patogenisitas, proses koagulasi darah, proses sporulasi, diferensiasi, sejumlah proses pasca translasi protein dan mekanisme ekspresi protein ekstraseluler (Rao et al. 1998). Protease secara umum dibagi dalam dua golongan yaitu proteinase dan peptidase. Proteinase

6

mengkatalisis hidrolisis molekul protein menjadi fragmen-fragmen besar, sedangkan peptidase mengkatalisis fragmen polipeptida menjadi asam amino (Suhartono 1992). Dilihat dari letak pemutusan ikatan peptida, protease dibedakan menjadi endopeptidase atau proteinase (EC 3.4.21-99) dan eksopeptidase (EC 3.4.11-21). Endopeptidase memutuskan ikatan peptida yang berada di dalam rantai protein sehingga

dihasilkan

peptida

dan

polipeptida,

sedangkan

eksopeptidase

menguraikan protein dari ujung rantai sehingga dihasilkan satu asam amino dan sisa peptida. Berdasarkan sifat kimia dan sisi aktifnya dikenal empat golongan proteinase yaitu serin (EC 3.4.21), sistein (EC 3.4.22), aspartat (EC 3.4.23), dan metallo endopeptidase (EC 3.4.24) (Otto dan Schirmeister 1997). Sistein protease merupakan kelompok besar enzim, termasuk katepsin lisosomal dan kalpain. Secara

fisiologis,

sistein proteinase mempunyai

peranan penting pada

metabolisme protein dan sebaliknya. Selain itu, sistein proteinase juga dihubungkan dengan aktivitas berbagai prohormon, proenzim, dan peptide (Hultmann 2003). Katepsin merupakan salah satu enzim proteolitik yang ditemukan pada jaringan hewan termasuk ikan. Katepsin banyak ditemukan dalam jaringan otot ikan. Pada jaringan otot ikan, katepsin, dan enzim penghidrolisis lainnya ditempatkan dalam organel subseluller dan dibagi dalam dua tempat, yaitu pada serabut otot dan matriks ekstraselluler (Shahidi dan Botta 1994). Katepsin merupakan enzim yang menghidrolisis ikatan peptida pada protein (Salleh et al. 2006). Katepsin juga ditemukan pada lisosom dan sel fagosit (Carreno 2000). Katepsin dikenal sebagai famili endopeptidase dan atau famili eksopeptidase. Sebagian besar katepsin bekerja optimal pada pH asam walaupun beberapa diantaranya aktif pada pH netral (Haard dan Simpson 2000). Katepsin B ditemukan secara luas pada lisosom. Katepsin B dapat diisolasi dari beberapa spesies mamalia dan berbagai jaringan, seperti limpa, liver, kelenjar paratiroid, dan otak. Katepsin B adalah glikoprotein dengan jumlah manosa yang sangat rendah atau rendah. Katepsin H dan katepsin L ditemukan lebih banyak dibandingkan katespin B. Ketiga enzim ini dipurifikasi bersama melalui beberapa tahap sampai mereka terpisah oleh kromatografi pertukaran ion. Metode yang

7

lebih efisien, yakni kromatografi afinitas disesuaikan untuk mempurifikasi katepsin B (Polgar 1990). Katepsin C merupakan salah satu enzim lisosom. Katepsin C dapat mendegradasi kolagen dan dapat mencerna lebih lanjut fragmen‐ fragmen peptide yang dihasilkan dari aktivitas katepsin D (Park 2005). Katepsin D pertama kali ditemukan pada jaringan otot daging oleh Siebert, kemudian diindentifikasikan oleh Mekinodan dan Ikeda pada tahun 1965. Katepsin D dipercaya berperan dalam pendegradasian secara signifikan pada tekstur selama penyimpanan dingin. Katepsin D juga dilaporkan merupakan salah satu katepsin penting dalam pelunakan pada post‐mortem karena katepsin D menyerang secara langsung protein pada otot yang akan menghasilkan peptida yang dapat dipecah lebih lanjut oleh katepsin lainnya (Park 2005). Katepsin B dan katepsin L keduanya merupakan sistein proteinase yang kemungkinan paling penting dalam kemunduran tekstur daging (Aoki et al. 2000). Aktivitasnya berbeda beda tiap spesies ikan. Aktivitas optimum dilaporkan pada suhu 40-50 °C dan aktivitasnya menurun dengan penurunan suhu. Katepsin secara umum bekerja pada pH 3-4 walaupun beberapa katepsin juga mempunyai aktivitas tinggi pada pH 6-6,5 (Kolodziejska dan Sikorsi 1996). Aktivitas katepsin akan memberikan pengaruh pada tekstur daging ikan karena katepsin dapat menurunkan fleksibilitas sehingga daging ikan menjadi tidak elastis dan jaringan daging ikan melunak. Daging yang melunak ini merupakan salah satu sumber masalah pada industri surimi karena katepsin dapat menurunkan kemampuan pembentukan gel dalam proses pembuatan surimi dari daging ikan akibat degradasi protein miofibril yang dapat mengurangi elastisitas dan kekuatan gel surimi (Jiang 2000). Katepsin H aktif pada pH netral, stabil terhadap panas dan menunjukkan aktivitas molekuler dengan subtrat miosin. Katepsin L merupakan jenis protease lain yang sangat aktif dalam mendegradasi protein miofibril. Katepsin L dapat mendegradasi miofibril termasuk aktin, miosin, dan tropomiosin pada pH 6,5 dan secara khusus aktif untuk troponim serta dalam pemindahan Ca dari ATPase miofibril pada pH netral (Shahidi dan Botta 1994). Katepsin H lebih toleran terhadap medium yang bersifat alkali dibandingkan katepsin B (Elisabeth 1994). Karakteristik berbagai jenis enzim katepsin disajikan pada Tabel 1.

8

Tabel 1 Karakteristik katepsin A-L yang ditemukan pada otot Enzim

Grup fungsional

pH optimum

Target protein

A

Berat molekul (kDa) 100

-OH

5,0-5,2

Dampaknya sedikit pada protein

B1

25

-SH

5,0

Miosin, aktin, dan kolagen

B2

47-52

-SH

5,5-6,0

Spesifiknya luas

C

200

-SH

5,0-6,0

Dampaknya sedikit pada protein

D

42

-COOH

3,0-4,5

Miosin, aktin, titin, nebulin, M- dan C- protein

E

90-100

-COOH

2,0-3,5

Dampaknya sedikit pada protein

H

28

-SH

5,0

Miosin dan aktin

L

24

-SH

3,0-6,5

Miosin, aktin, kolagen, α- aktinin, dan troponin

Sumber: Choi et al. (2005)

2.4

Inhibitor Protease Inhibitor enzim merupakan suatu komponen yang dapat menurunkan laju

rata-rata pengukuran reaksi katalitik enzim (Carreno dan Cortes 2000). Inhibitor protein alami lebih dari 100 jenis telah berhasil diidentifikasi dan lebih banyak lagi jenis yang telah disintesis. Inhibitor proteinase memiliki berbagai macam bentuk dan sering dikelompokkan berdasarkan mekanisme reaksinya dan kesamaan teksturnya. Inhibitor enzim proteinase dibagi menjadi tiga kelas, pertama adalah inhibitor yang bereaksi dengan lebih dari satu kelas protein, kedua adalah inhibitor yang spesifik terhadap satu kelas proteinase, dan ketiga adalah yang melibatkan selektifitas yang tinggi terhadap satu jenis proteinase (Creghton 1989 diacu dalam Wijaya 2005). Molekul enzim dapat kehilangan aktivitasnya akibat panas, asam atau basa kuat, pelarut organik, atau faktor lain yang dapat menyebabkan denaturasi dan perubahan konfirmasi protein. Hambatan atau inhibisi pada suatu reaksi yang menggunakan enzim sebagai katalis dapat terjadi apabila penggabungan substrat

9

pada bagian aktif enzim mengalami hambatan. Molekul atau ion yang dapat menghambat reaksi tersebut dinamakan inhibitor (Lehninger 1993). 2.4.1

Inhibitor protease sistein Aktivitas proteinase sistein dapat diatur dan dihambat secara endogenous,

melalui inhibitor alami maupun melalui pengikatan sistein pada kondisi lingkungan tertentu seperti pH dan agen pengkelat. Jika sistem kontrol pada lingkungan proteinase tidak seimbang maka akan menyebabkan kerusakan serius. Kebanyakan patogen mempunyai proteinase sistein sendiri untuk menginvasi inangnya (Hultmann 2003). Interaksi antara protease sistein dan inhibitornya telah menjadi tujuan beberapa penelitian pada dua dekade ini. Spesifik inhibitor dari protease sistein sangat dibutuhkan untuk mencegah terjadinya proteolisis yang destruktif. Pengertian yang mendalam pada interaksi proteinase sistein dan inhibitornya yang dapat memberikan informasi penting untuk mengontrol aktivitas proteolitik (Hultmann 2003). Proteinase sistein inhibitor dari hewan dan mamalia berupa sistatin yang dibagi dalam tiga kelompok yaitu stefin, sistatin, dan kininogens. Pada umumnya semua protease sistein mempunyai stabilitas yang besar terhadap suhu tinggi (sampai 100 oC) dan pH yang ekstrim (LMW-CPls pH 2-12, kininogens pH 5-12) maupun spesifitasnya pada protease sistein (Otto dan Schirmeister 1997). Sistatin adalah protease sistein inhibitor yang secara luas tersebar pada jaringan hewan dan cairan tubuh. Sistatin diklasifikasikan dalam tiga kelompok berdasarkan struktur molekulnya. Kelompok I sistatin kekurangan ikatan disulfida seperti sistatin A, B dan rat cystatin β. Kelompok II sistatin yang mempunyai karakteristik dua ikatan disulfida, seperti human cystatin, chicken cystatin, dan rat cystatin. Kelompok I dan II ini mempunyai berat molekul 10-20 kDa. Kelompok III sistatin adalah kininogens yang mempunyai rantai tunggal glikoprotein yang mengandung 3 domain like cystatin dengan berat molekul 68 sampai 120 kDa (Oliviera et al. 2003 ; Ustadi et al. 2005). Inhibitor endogenous dari proteinase sistein, yaitu sistatin telah dilaporkan dapat bereaksi sebagai agen pertahanan melawan bakteri, virus dan hama. Salah satu sistatin yang ditemukan dari kulit tikus dan juga pada manusia. Lingkungan tempat ikan hidup yang penuh dengan

10

patogen dapat memungkinkan juga kulit ikan mengandung mekanisme pertahanan nonspesifik (Hultmann 2003). 2.4.2 Mekanisme kerja inhibitor protease Hambatan yang dilakukan oleh inhibitor dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu hambatan tidak dapat balik (irreversible) dan hambatan dapat balik (reversible). Hambatan tidak dapat balik pada umumnya disebabkan oleh terjadinya proses destruksi atau modifikasi sebuah gugus atau lebih yang terdapat pada molekul enzim inhibitor (Carreno dan Cortes 2000). Inhibitor tidak dapat balik atau disebut juga inactivator, selalu mengikat enzim secara kovalen (Otto dan Schirmeister 1997). Hambatan dapat balik (reversible) biasanya merupakan interaksi non kovalen antar enzim dan inhibitor (Otto dan Schirmeister 1997). Hambatan dapat balik terdiri dari hambatan bersaing (kompetitif) dan tidak bersaing (non kompetitif). Hambatan bersaing disebabkan karena ada molekul yang mirip dengan substrat, yang dapat pula membentuk kompleks, yaitu kompleks enzim inhibitor (EI). Pembentukan kompleks EI ini sama dengan pembentukan kompleks ES (enzim substrat), yaitu melalui penggabungan inhibitor dengan enzim pada bagian aktif enzim, sehingga persaingan antara inhibitor dengan substrat terhadap bagian aktif enzim. Inhibitor bersaing menghalangi terbentuknya kompleks ES dengan cara membentuk kompleks EI. Berbeda dengan kompleks ES, kompleks EI tidak dapat membentuk produk (P). Ciri inhibitor kompetitif ini adalah penghambatan dapat dibalikkan atau diatasi hanya dengan meningkatkan konsentrasi substrat (Lehninger 1993). Hambatan non kompetitif tidak dipengaruhi oleh besarnya konsentrasi substrat dan inhibitor yang melakukannya. Inhibitor ini dapat bergabung dengan enzim pada suatu bagian enzim di luar bagian aktif. Penggabungan antara inhibitor dengan enzim ini terjadi pada enzim bebas atau pada enzim yang telah mengikat substrat, yaitu kompleks enzim-substrat. Penggabungan inhibitor dengan enzim bebas menghasilkan kompleks EI, sedangkan penggabungan dengan kompleks ES menghasilkan kompleks ESI (enzim substrat inhibitor). Baik kompleks EI maupun ESI bersifat inaktif, sehingga kedua kompleks tersebut tidak dapat menghasilkan produk reaksi yang diharapkan (Lehninger 1993).

11

2.5

Pemekatan Inhibitor dan Enzim Katepsin Inhibitor enzim merupakan suatu komponen yang dapat menurunkan laju

rata-rata pengukuran reaksi katalitik enzim (Carreno dan Cortes 2000). Inhibitor enzim proteinase berupa protein. Keuntungan dari penggunaan sistein ini adalah penyeimbang sistem kontrol pada suatu enzim dan memberikan informasi penting untuk mengontrol aktivitas proteolitik (Winarno 2010). Pemekatan dilakukan untuk memisahkan konsentrat protein dari komponen biomolekul lainnya seperti karbohidrat, lipid, dan asam nukleat. Berbagai metode pemekatan yang lazim digunakan dalam pemurnian enzim, yaitu pelarut organik, presipitasi dengan garam, polimer, dialisis, ultrafiltrasi, dan liofilisasi (Rosenberg 1996). Metode pemekatan yang lazim digunakan dalam pemurnian enzim adalah presipitasi dengan garam. Presipitasi yang digunakan untuk memurnikan enzim antara lain adalah presipitasi dengan pengaturan pH, peningkatan kekuatan ion, penurunan kekuatan ion, dan penggunaan pelarut organik. Presipitasi yang paling banyak digunakan adalah peningkatan kekuatan ion atau lebih dikenal dengan nama salting out (Rosenberg 1996). Presipitasi dengan garam (ammonium sulfat dan natrium sulfat) lebih disukai daripada presipitasi dengan pelarut organik, seperti etanol dan aseton. Ammonium sulfat sering digunakan karena kelarutannya tinggi, harganya murah dan umumnya tidak mempengaruhi struktur protein (Suhartono 1989). Presipitassi protein menggunakan ammonium sulfat dapat menyebabkan dehidrasi lingkungan mikro dari molekul protein. Ion-ion dari garam seperti ion sulfat (SO42-) akan menarik dan mengikat molekul air dari koloid protein. Pada konsentrasi rendah, ion-ion ini akan mengisi lingkungan molekul protein sehingga protein melarut yang disebut salting in. Pada konsentrasi tinggi terjadi peningkatan muatan listrik yang akan menarik molekul air dari koloid protein sehingga interaksi hidrofobik diantara sesama molekul protein akan menurunkan kelarutan protein dan terjadi salting out yang menyebabkan protein mengendap (Suhartono 1989; Rosenberg 1996).

12

3 METODE PENELITIAN

3.1

Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini berlangsung efektif selama 3 bulan yang dimulai pada bulan

Mei 2010 sampai Mei 2011. Penelitian dilakukan di Laboratorium Biokomia Hasil Perairan, Laboratorium Bioteknologi Hasil Perairan, Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan, Laboratorium Bahan Baku Hasil Perairan Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor (FPIK-IPB), dan Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. 3.2

Alat dan Bahan Bahan utama yang digunakan pada penelitian adalah ikan patin (Pangasius

sp.) yang diambil bagian kulit. Bahan kimia yang digunakan untuk ekstraksi (buffer tris base (Applichem) HCl 0,1 M pH 7,4 dan akuades), presipitasi (ammonium sulfat (NH4)2SO4 teknis), uji aktivitas katepsin dan inhibitor [hemoglobin (Sigma), buffer tris base (Applichem) HCl 0,1 M pH 7,4, tirosin (Applichem), akuades, asam trikloro asetat (TCA) 5% (Merck), folin (Merck), dan HCl 1 N] dan uji kadar protein analisis [pereaksi Bradford, bovine serum albumin (BSA) (Applichem)]. Peralatan yang digunakan pada penelitian antara lain spektrofotometer (Yamato), sentrifuse suhu dingin (Himac), inkubator (Thermoline), mikropipet, pipet tip, pH meter, kertas saring Whatman no.1, alat-alat gelas (enlemeyer, gelas piala, gelas ukur, dan lain-lain), tabung eppendrof, tabung reaksi, timbangan analitik, dan homogenizer. 3.3

Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu preparasi bahan

baku berupa ikan patin yang diambil kulitnya. Tahapan selanjutnya, yaitu karakterisasi inhibitor katepsin yang meliputi ekstraksi enzim katepsin, ekstraksi inhibitor katepsin, presipitasi dan karakterisasi inhibitor. Tahapan metode penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.

13

Tahapan Metoe Peneliti

Ikan Patin

Preparasi

Kulit ikan patin segar

Ekstraksi

Inhibitor protease kasar

Pengukuran aktivitas enzim, inhibitor, dan kadar protein

Presipitasi (ammonium sulfat 30%, 40%, 50%, 60%, 70%, 80%)

Pengukuran aktivitas inhibitor, dan kadar protein

Inhibitor semimurni

Karakterisasi : suhu optimum dan pH optimum

Gambar 2 Diagram alir kerja penelitian ekstraksi dan karakterisasi inhibitor.

14

3.3.1 Ekstraksi enzim katepsin (Dinu et al. 2002) Ekstraksi dilakukan dengan preparasi sampel untuk memperoleh ekstrak kasar protease katepsin dengan cara ikan dimatikan sampai post rigor, kemudian daging ikan dengan cepat dicuci untuk menghilangkan darah. Daging ikan diambil dan disuspensikan dalam akuades dengan perbandingan daging ikan dan akuades sebesar 1:1, lalu dihomogenisasi pada suhu 0-4 oC. Proses ekstraksi enzim katepsin dari daging ikan patin dapat dilihat pada Gambar 3.

Daging ikan (300 gram) + akuades 1:1 Penghomogenisasian

Pelet

600xg, 10 menit, 4 oC

Buffer tris HCL 0,1 M + Pelet pH 7,4 ( 300 ml)

Pelet

Supernatan

10000xg,10 menit, 4 oC

4000xg, 10 menit, 4 oC

Supernatan

Protease kasar

Gambar 3 Diagram alir proses ekstraksi enzim katepsin dengan teknik differensial sentrifugasi. Ekstrak daging hasil homogenisasi disentrifugasi pada 600xg selama 10 menit dan supernatan yang diperoleh kemudian disentrifugasi lagi pada 10.000xg selama 10 menit. Pelet yang dihasilkan dari hasil sentrifugasi kemudian dilarutkan dalam 0,1 M buffer tris-HCl pH 7,4 dengan jumlah yang sama seperti jumlah akuades tadi dan disentrifugasi pada 4.000xg selama 10 menit. Supernatan (ekstrak kasar protease katepsin) yang diperoleh merupakan protein utama dari mitokondria dan lisosom yang siap untuk diteliti aktivitasnya lebih lanjut.

15

3.3.2

Ekstraksi inhibitor katepsin (An et al.1995) Ekstraksi dilakukan pada bagian kulit ikan patin. Sebanyak 100 gram

sampel dihomogenisasi dengan 100 ml akuades dingin (di bawah 4

o

C),

selanjutnya disentrifugasi dingin pada kecepatan 5000xg selama 30 menit. Supernatannya diambil dan ditambahkan buffer Mcllvaine’s pH 5,5 (dibuat dari 0,2 M sodium fosfat dan 0,1 M asam sitrat) dengan jumlah yang sama dengan supernatan. Campuran diinkubasi selama 10 menit pada suhu 80 oC, selanjutnya disentrifugasi kembali pada kecepatan 7000xg selama 15 menit. Supernatannya diambil dan disimpan suhu dingin. Hasil ekstraksi berupa ekstrak kasar inhibitor katepsin kemudian dianalisis aktivitasnya dan dipilih sumber inhibitor katepsin untuk dipresipitasi dan dikarakterisasi. Proses ekstraksi inhibitor enzim katepsin dari kulit ikan patin dapat dilihat pada Gambar 4.

Kulit ikan (100 gram) + akuades 1:1 Penghomogenisasian

Pelet 1

5000xg, 30 menit 4 oC Supernatan + Buffer Mcllvaine’s pH 5,5

Inkubasi 80 oC, 10 menit (Rusyadi 2010)

Pelet 2

7000xg, 15 menit, 4 oC

Supernatan Ekstrak kasar inhibitor

Gambar 4 Diagram alir proses ekstraksi inhibitor enzim katepsin dengan teknik differensial sentrifugasi. 3.3.3

Pemekatan (Ustadi et al. 2005) Inhibitor katepsin semi murni diperoleh dengan mengendapkan inhibitor

katepsin ekstrak kasar menggunakan ammonium sulfat ((NH4)2SO4) dengan

16

tingkat kejenuhan 30% sampai 80% (w/v) dan selanjutnya didiamkan selama semalam. Pengendapan dilakukan dengan menambahkan sedikit demi sedikit garam ammonium sulfat ke dalam supernatan (ekstrak kasar inhibitor katepsin) dan setelah didiamkan semalam pada suhu refrigerasi, dilakukan sentrifugasi pada 12.000xg selama 30 menit. 3.3.4

Karakterisasi inhibitor katepsin Karakterisasi inhibitor katepsin dilakukan terhadap ekstrak kasar dan hasil

pengendapan dengan ammonium sulfat. Karakterisasi meliputi penentuan suhu optimum dan pH optimum. 3.4

Prosedur Analisis Analisis yang dilakukan meliputi aktivitas katepsin, konsentrasi protein,

dan aktivitas inhibitor katepsin. 3.4.1

Aktivitas katepsin (Dinu et al. 2002) Aktivitas proteolitik dari katepsin diuji menggunakan hemoglobin yang

terdenaturasi oleh asam, dan digunakan sebagai substratnya. Sebanyak 8% (w/v) hemoglobin dilarutkan dalam akuades dengan perbandingan 1:3. Kemudian pH dibuat menjadi 2,0 dengan HCl 1 N dan konsentrasi akhir hemoglobin dibuat menjadi 2% (w/v) dengan akuades. Prosedur pengukuran aktivitas katepsin disajikan pada Tabel 2 dan cara pembuatan larutan assay enzim katepsin disajikan pada Lampiran 1. Tabel 2 Prosedur untuk pengukuran aktivitas protease katepsin Pereaksi Buffer tris 0,1 M pH 7,4 Katepsin Tirosin Aquades Hemoglobin 2%

sample (ml) standar (ml) blanko (ml) 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,5 0,5 0,5 Diinkubasi 37 oC 10 menit TCA 5% 2 2 2 Disaring kertas saring Filtrat 1 1 1 Folin 1 1 1 o Diamkan pada 37 C 20 menit Diukur pada spektofotometer panjang gelombang 750 nm

17

Aktivitas enzim katepsin dapat dihitung dengan rumus berikut:

UA

=

(Abs. sampel – abs. blanko) 1 xPx (Abs. standar – abs. blanko) T

Keterangan : UA

= Jumlah tirosin yang dihasilkan per ml enzim per menit

P

= Faktor pengenceran

T

= Waktu inkubasi (10 menit)

Sebanyak 0,5 ml dari larutan substrat diinkubasi dengan 0,1 ml larutan enzim pada 37 oC selama 10 menit. Reaksi dihentikan dengan penambahan 2 ml TCA 5% (w/v). Campuran disaring dan hasil reaksi yang dapat larut ditambah dengan 1 ml pereaksi folin. Campuran kemudian diukur dengan spektofotometer pada panjang gelombang 750 nm. Selain itu dilakukan pula pengukuran untuk larutan blanko dan larutan standar dengan prosedur yang sama seperti larutan sampel hanya untuk larutan blanko dan larutan standar enzimnya digantikan dengan akuades dan tirosin. Setiap sampel yang dianalisis harus disertai dengan blanko dan standar. 3.4.2

Aktivitas inhibitor katepsin (Dinu et al. 2002) Uji ini ditentukan dengan mengukur derajat penghambatan dari aktivitas

katepsin yang menggunakan substrat hemoglobin. Tahapan ini dimulai dengan mereaksikan ekstrak inhibitor 0,1 ml dengan katepsin 0,1 ml selama 30 menit pada suhu inkubasi 37

o

C selama 10 menit. Reaksi dihentikan dengan

penembahan 2 ml TCA 5% (m/v). Campuran disaring dan hasil reaksi yang dapat larut ditambah dengan dengan 1 ml pereaksi folin. Kemudian campuran diukur dengan spektofotometer pada panjang gelombang 750 nm. Prosedur pengukuran inhibitor protease katepsin dapat dilihat pada Tabel 3 dan cara pembuatan larutan assay inhibitor enzim katepsin disajikan pada Lampiran 1.

18

Tabel 3 Prosedur untuk pengukuran aktivitas inhibitor katepsin Pereaksi Buffer tris 0,1 M pH 7,4 Katepsin Tirosin Aquades Hemoglobin 2%

sample (ml) standar (ml) blanko (ml) 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,5 0,1 Preinkubasi 37 oC, 30 menit Hemoglobin 2% 0,5 0,5 0,5 o Diinkubasi 37 C, 10 menit TCA 5% 2 2 2 Disaring kertas saring Filtrat 1 1 1 Folin 1 1 1 o Diamkan pada 37 C, 20 menit Diukur pada spektofotometer panjang gelombang 750 nm Selain itu dilakukan pula pengukuran untuk larutan blanko dan larutan standar dengan prosedur yang sama seperti larutan sampel hanya untuk larutan blanko dan larutan standar, enzim katepsin digantikan dengan akuades dan tirosin. Setiap sampel yang dianalisis, harus disertai uji aktivitas katepsin tanpa penambahan inhibitor. Aktivitas inhibitor dihitung berdasarkan perbedaan aktivitas enzim katepsin dengan inhibitor dan yang tanpa inhibitor. Aktivitas enzim katepsin dapat dihitung dengan rumus berikut:

UA =

(Abs. sampel – abs. blanko) (Abs. standar – abs. blanko)

xPx

1 T

Keterangan : P = Faktor pengenceran T = Waktu inkubasi Presentasi penghambatan

= (1-

(aktivitas katepsin dengan inhibitor) x 100%) (aktivitas katepsin dengan inhibitor)

Satu unit inhibitor katepsin adalah jumlah inhibitor katepsin yang mampu menghemat aktivitas protease katepsin sebesar 50% pada kondisi pengujian.

19

3.4.3 Pengukuran konsentrasi protein metode Bradford (Bradford 1976) Persiapan pereaksi Bradford dilakukan dengan cara melarutkan 5 mg coomassie brilliant blue G-250 dalam 2,5 ml etanol 95% (v/v), lalu ditambahkan dengan 5 ml asam fosfat 85% (v/v). Jika telah larut dengan sempurna, maka ditambahkan akuades hingga 250 ml dan disaring dengan kertas saring Whatman no. 1 dan diencerkan 5 kali sesaat sebelum digunakan. Konsentrasi protein ditentukan menggunakan metode Bradford dengan cara 0,1 ml enzim dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian ditambahkan sebanyak 5 ml pereksi Bradford, diinkubasi selama 5 menit dan diukur dengan spektofotometer pada panjang gelombang 595 nm. Demikian pula untuk larutan standar dilakukan sama seperti larutan sampel dengan konsentrasi antara 0,1-1,0 mg/ml. Tahap berikutnya adalah membuat kurva standar dengan absorbansi sebagai ordinat (sumbu y) dan konsentrasi protein sebagai absis (sumbu x).

20

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1

Pemilihan Jenis Kulit Ikan Patin sebagai Sumber Inhibitor Katepsin Tahap ini diawali dengan ekstraksi enzim katepsin dari daging ikan patin

yang berada pada fase post rigor. Pemilihan fase ini mengacu pada penelitian terdahulu yang dilakukan Fentiana (2009) yang menyatakan bahwa pada tahap post rigor, aktivitas katepsin berada pada aktivitas tertinggi dibandingkan pada fase-fase sebelumnya sehingga akan meningkatkan rendemen katepsin yang dihasilkan. Pada tahap ekstraksi, pemilihan buffer Tris-HCl pH 7,4 dinilai sudah sesuai. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Whitaker (1994) yang menyatakan bahwa ekstraksi enzim sebaiknya menggunakan buffer untuk mengontrol pH dekat dengan 7,5 dan kekuatan ion 0,1-0,5 M. Buffer diperlukan untuk melindungi enzim dari asam yang dilepaskan dari vakuola pada saat pecahnya sel. Ekstrak kasar enzim katepsin yang dihasilkan memiliki aktivitas spesifik sebesar 0,8163 U/mg dengan kadar protein sebesar 0,2450 mg/ml. Tahap selanjutnya adalah ekstraksi inhibitor katepsin berasal dari kulit ikan patin jenis Siam, Jambal, dan Pasupati dengan perlakuan inkubasi ekstraksi pada suhu 80 oC. Suhu inkubasi ini sesuai dengan penelitian Rusyadi (2010) yang telah berhasil melakukan ekstraksi inhibitor katepsin dari kulit ikan dengan perlakuan suhu inkubasi 80 oC. Hasil ekstraksi inhibitor katepsin dari tiga jenis kulit ikan patin disajikan pada Gambar 5. 80

74,67

% Penghambatan

70

61,17

65,00

60 50 40 30 20 10 0 Siam

Jambal

Pasupati

Jenis Ikan Patin

Gambar 5 Persentase penghambatan inhibitor enzim katepsin dari kulit tiga jenis ikan patin (Siam, Jambal, dan Pasupati).

21

Gambar 5 menunjukkan bahwa ekstrak inhibitor dari kulit ikan patin jenis Siam mempunyai aktivitas penghambatan terbaik sebesar 74,67% dibandingkan dengan jenis Jambal dan Pasupati masing-masing sebesar 61,17% dan 65,00%. Hal ini kemungkinan besar disebabkan karena jenis patin Jambal dan Pasupati masih banyak mengandung enzim protease lain yang aktif yang ikut terekstrak sehingga kandungan inhibitor yang dihasilkan lebih sedikit, atau proses ekstraksi yang dilakukan belum tepat saat mengektraksi enzim maupun inhibitor dari jenis patin Jambal dan Pasupati. Hasil penelitian awal dari penentuan jenis kulit ikan patin dengan persentase penghambatan inhibitor katepsin terbaik digunakan sebagai acuan untuk tahap penelitian selanjutnya, yaitu untuk karakterisasi inhibitor enzim katepsin. Penelitian An et al. (1995) menemukan adanya inhibitor yang berikatan kompleks dengan katepsin L pada daging ikan pacific whiting dan berhasil melakukan pemisahan katepsin dengan inhibitor melalui perlakuan asam.

4.2

Optimasi Pemurnian Parsial menggunakan Ammonium Sulfat Ekstraksi inhibitor katepsin ikan patin jenis Siam dilakukan pada suhu

inkubasi 80 oC. Hal ini mengacu pada penelitian Rusyadi (2010). Ekstrak kasar yang diperoleh kemudian diendapkan dengan ammonium sulfat yang dimulai dari persen kejenuhan terendah, yaitu 30% sampai 80% yang dilakukan pada suhu di bawah 4 oC. Tujuannya adalah untuk mengkonsentrasikan inhibitor protease yang terdapat pada ekstrak kasar inhibitor, sehingga inhibitor tersebut akan mempunyai aktivitas yang lebih tinggi dibandingkan ekstrak kasar. Aktivitas inhibitor katepsin dari kulit ikan patin dan kadar protein setelah pengendapan dengan ammonium sulfat disajikan pada Gambar 6 dan Gambar 7. Adapun kurva standar protein disajikan pada Lampiran 2.

22

100

% Penghambatan

98 96 94 92 90 88 86 84 82 0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

Konsentrasi ammonium sulfat (% kejenuhan)

Gambar 6 Persentase penghambatan inhibitor katepsin ikan patin setelah pengendapan ammonium sulfat, pelet, supernatan.

0,3

Kadar protein (mg/ml)

0,25 0,2 0,15 0,1 0,05 0 0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

Konsentrasi ammonium sulfat (% kejenuhan)

Gambar 7 Kadar protein terlarut setelah pengendapan ammonium sulfat, pelet, supernatan.

Berdasarkan Gambar 6 dapat dilihat adanya peningkatan persentase penghambatan inhibitor katepsin pelet pada beberapa tingkat konsentrasi ammonium sulfat, dan mencapai aktivitas optimum pada endapan dengan konsentrasi ammonium sulfat 70%. Aktivitas inhibitor katepsin pada supernatan

23

menunjukkan adanya penurunan. Berdasarkan Gambar 7 terlihat bahwa terjadi penurunan kadar protein dalam supernatan, dan sebaliknya terjadi peningkatan kadar protein dalam endapan (pelet). Kondisi pengkonsentrasian optimum ditunjukan oleh aktivitas paling tinggi dalam endapan, sehingga tahapan pengkonsentrasian pada produksi ekstrak inhibitor untuk pemurnian tahap selanjutnya menggunakan presipitasi dengan ammonium sulfat 70% kejenuhan. Hasil ini sesuai dengan penelitian Rusyadi (2010), yang menunjukkan bahwa adanya peningkatan persentase penghambatan inhibitor katepsin pelet pada beberapa tingkat konsentrasi ammonium sulfat, dan mencapai aktivitas optimum pada endapan dengan konsentrasi ammonium sulfat 70%.

4.3

Produksi Inhibitor Katepsin Produksi

dilakukan

berdasarkan

penelitian

ditahap

awal

yaitu

menggunakan kulit ikan patin jenis Siam dengan perlakuan ekstraksi suhu inkubasi 80 oC. Ekstrak kasar inhibitor katepsin yang dihasilkan dari kulit ikan patin mempunyai aktivitas 0,2 U/ml dengan konsentrasi protein 0,2450 mg/ml sehingga aktivitas spesifiknya sebesar 0,8163 U/mg. Ekstrak kasar selanjutnya diendapkan dengan ammonium sulfat 70% (w/v). Endapan yang dihasilkan dilarutkan dengan buffer Mcllvaine’s 0,1 M pada pH 5,5. Endapan tersebut mempunyai aktivitas sebesar 0,6 U/ml dengan konsentrasi protein 0,2650 mg/ml sehingga aktivitas spesifiknya adalah 2,2642 U/mg. Hasil ini menunjukkan peningkatan aktivitas spesifik yang cukup tinggi sebesar 1,4479 U/mg dengan kelipatan pemurnian sebesar 2,77 kali. Data setiap tahap ekstraksi dirangkum pada Tabel 4. Penelitian yang sama juga dilakukan Ustadi et al. (2005) pada telur ikan glassfish tuna dengan besar aktivitas spesifik 3,97 U/mg.

24

Tabel 4 Peningkatan aktivitas inhibitor katepsin pada berbagai tahap ekstraksi Tahap pemurnian

Volume (ml)

Kadar protein (mg/ml)

Aktivitas inhibitor (U/ml)

Total

Total

protein (mg)

aktivitas (U)

Aktivitas spesifik (U/mg)

Total

Yield (%)

aktivitas spesifik

Kelipatan pemurnian (kali)

(Uml/mg) Esktrak kasar

100

0,2450

0,2

24,50

20

0,8163

81,63

100

1,00

Pengendapan

15

0,2650

0,6

3,975

9

2,2642

33,42

0,45

2,77

25

4.4

Karakterisasi Inhibitor Protease Karakterisasi dilakukan untuk mengetahui kondisi optimum dari kerja

inhibitor enzim. Karaktersasi dilakukan pada ekstrak kasar dari ikan patin. Karakterisasi juga dilakukan pada ekstrak inhibitor katepsin setelah pengendapan ammonium

sulfat

yang

mempunyai

aktivitas

penghambatan

tertinggi.

Karakterisasi yang dilakukan meliputi penentuan suhu dan pH optimum. 4.4.1

Penentuan suhu optimum Inhibitor protease katepsin memiliki aktivitas maksimum pada suhu

tertentu. Aktivitasnya akan meningkat seiring dengan peningkatan suhu sehingga mencapai suhu optimum. Setelah itu, kenaikan suhu lebih lanjut akan menyebabkan aktivitas menurun. Suhu optimum inhibitor katepsin baik dari ekstrak kasar ikan patin dan ekstrak inhibitor ikan patin hasil pengendapan dengan

% Penghambatan

ammonium sulfat yaitu 40 oC yang disajikan pada Gambar 8.

100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0

68,33

20

75,00

73,16

30

40 Suhu

69,50

50

(oC)

Gambar 8 Penentuan suhu optimum pada aktivitas inhibitor ikan patin setelah pengendapan dengan ammonium sufat 70% pada suhu 20-50 oC. Ekstrak inhibitor protease katepsin masih mempunyai aktivitas yang cukup tinggi sampai suhu 50 oC. Bila suhu dinaikkan, maka akan menyebabkan peningkatan aktivitas inhibitor hingga mencapai maksimum dan jika dilanjutkan terus naik maka akan menyebabkan penurunan aktivitas inhibitor dengan pola yang berbeda pada setiap bentuk inhibitor. Inhibitor yang dihasilkan pada

26

penelitian ini berupa protein. Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Rusyadi (2010) yang menyatakan bagian kulit ikan patin juga mengandung inhibitor protease berupa kininogen yang termasuk inhibitor proteinase sistein. Laju reaksi katalisis inhibitor enzim dipengaruhi oleh suhu dengan dua cara. Pertama, kenaikan suhu akan meningkatkan laju reaksi inhibitor enzim sampai batas tertentu. Peningkatan suhu yang berlebih akan berpengaruh terhadap perubahan konformasi substrat (enzim) sehingga sisi aktif substrat (enzim) mengalami hambatan untuk memasuki sisi aktif inhibitor enzim sehingga menurunkan aktivitas inhibitor enzim. Kedua, peningkatan energi termal molekul yang membentuk struktur protein inhibitor enzim iu sendiri akan menyebabkan rusaknya interaksi non kovalen seperti ikatan hidrogen, ikatan van der wall, ikatan hidrofobik, dan interaksi elektrostatik yang menjaga struktur tiga dimensi inhibitor enzim secara bersama-sama sehingga inhibitor enzim mengalami denaturasi. Denaturasi protein menyebabkan struktur lipatan inhibitor enzim membuka pada bagian permukaannya sehingga sisi aktif inhibitor enzim berubah dan sebagai akibatnya akan terjadi penurunan aktivitas inhibitor enzim (Hames dan Hoper 2000).

4.4.2

Penentuan pH optimum Semua reaksi enzim dipengaruhi oleh pH medium tempat reaksi terjadi.

Setiap enzim memiliki pH optimum yang khas, yaitu pH yang menyebabkan aktivitas maksimal. Profil aktivitas pH enzim menggambarkan pH pada saat pemberi dan penerima proton yang penting pada sisi katalik enzim berada pada tingkat ionisasi yang diinginkan. Namun pada pH tertentu (ekstrim) dapat menyebabkan enzim terdenaturasi yang menyebabkan enzim kehilangan aktivitas biologisnya (Lehninger 1993). Inhibitor katepsin yang merupakan protein mengikuti sifat-sifat protein yang mempunyai konstanta disosiasi pada gugus asam maupun basa terutama pada gugus residu terminal karboksil dan terminal aminonya. Perubahan aktivitas inhibitor protease dapat terjadi akibat adanya perubahan ionisasi pada gugus ionik inhibitor pada sisi aktifnya maupun sisi lain

27

yang secara tidak langsung mempengaruhi sisi aktif. Gugus ionik berperan dalam menjaga konformasi sisi aktif dalam mengikat substrat (enzim). Data mengenai pH optimum inhibitor katepsin disajikan pada Gambar 9. 100 90 % Penghambatan

80

79,33 69,33

70,66

6

7

70,83

70

60 50 40 30 20 10 0 8

9

pH

Gambar 9 Penentuan pH optimum pada aktivitas inhibitor ikan patin setelah pengendapan dengan ammonium sulfat 70% pada pH 6-9. Berdasarkan Gambar 9 dapat dilihat bahwa pH optimum inhibitor protease setelah pengendapan dengan ammonium sulfat 70% adalah pH 8, berada pada kisaran pH 7-9. Kisaran pH ini menunjukkan bahwa ektrak inhibitor katepsin termasuk inhibitor protease alkalin atau bersifat basa. Penelitian yang lain menunjukkan bahwa inhibitor protease seperti sistatin mempunyai aktivitas penghambatan pada kisaran pH alkalin. Penelitian Ustadi et al. (2005), ekstrak inhibitor protease dari telur ikan glassfish mempunyai aktivitas yang tinggi pada kisaran pH 7-9 dan optimum pada pH 8. Penelitian oleh Li et al. (2008) inhibitor sistein protease dari plasma ikan chum salmon menunjukkan aktivitas pada pH 69 dan optimum pada pH 7.

28

5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1

Kesimpulan Penelitian tentang ekstraksi dan karakterisasi inhibitor katepsin dari kulit

ikan patin ini telah berhasil mendapatkan beberapa karakteristik dari inhibitor protease katepsin. Berdasarkan pemilihan kulit ikan patin dari beberapa jenis ikan patin (Siam, Jambal, dan Pasupati) didapatkan optimasi sumber inhibitor katepsin terbaik, yaitu dari ikan patin jenis Siam dengan aktivitas penghambatan sebesar 74,67% yang diesktraksi pada suhu inkubasi 80 oC. Pada pra pemurnian menggunakan ammonium sulfat 70% tersebut didapatkan aktivitas spesifik sebesar 2,2642 U/mg dari ekstrak kasar yang memiliki aktivitas spesifik sebesar 0,8163 U/mg. Pengendapan dengan ammonium sulfat ini menunjukkan adanya peningkatan aktivitas spesifik yang cukup tinggi sebesar 1,4479 U/mg dengan kelipatan pemurnian sebesar 2,77 kali. Inhibitor katepsin yang dihasilkan mempunyai suhu dan pH optimum 40 oC dan 8.

5.2

Saran Perlu adanya kajian lanjutan yang lebih dalam, seperti penentuan berat

molekul, selain karakterisasi suhu dan pH optimum. Pemurnian tahap dialisis dan pemurnian dengan teknik kromatografi juga perlu dilakukan untuk mendapatkan pemurnian yang lebih besar.

29

DAFTAR PUSTAKA

Aoki T, Yamashita T, Ueno R. 2000. Distribution of cathepsins in red and white muscles among fish species. J. Fisheries Sci. 66 (4): 776-782. An H, Peters MY, Seymour TA, Morissey MT. 1995. Isolation and activation of chatepsin L-inhibitor complex from pacific whiting (Merluccius productus), J. Agricc. Food Chem. 43: 327-330. Bradford MM, 1976. A Rapid and sensitive methode for quantification of microgram quantities of protein utilizing the principle of protein-dye binding. Anal biochem. 72: 234-254. Careno M. 2000. Aspartic Acid Proteases as Therapeutic Targets. Germany: Wiley-VCH. Carreno FLG, Cortes, PH. 2000. Use of Protease Inhibitor in Seafood Products. Dalam: Haard NF, Simpson, BK, eds. Seafood Enzymes: Utilization and Influence on Postharvest Seafood Quality. New York: Marcel Dekker, Inc. Chang R. 2003. Kimia Dasar. Jakarta: Penerbit Erlangga. Choi, Kang, and Lanier. 2005. Surimi and Surimi Seafood. USA: CRC Press. Dinu D, Dumitru IF, Neichifor MT. 2002. Isolation and characterization of two chatepsin from muscle of Carrassius auratus gibelio. Roum. Biotecnol. Lett. 7 (3): 753-758. Dynnar N. 2011. Pemurnian dan Karakterisasi Enzim Katepsin dari Kulit Ikan Bandeng (Chanos chanos Forskall). [Skripsi]. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Elisabeth D. 1994. Immunopharmacology of Joints and Connective Tissue. San Diego: Academic Press. Fentiana N. 2009. Peranan Enzim Protease Jeroan Ikan Bandeng (Chanos chanos) dalam Proses Kemunduran Mutu. [Skripsi]. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Haard NF, Simpson BK. 2000. Seafood Enzymes: Utilization and Influence on postharvest Seafood Quality. New York: Marcel Dekker, Inc. Hames Bd, Hooper NM. 2000. Biochemistry: The Instant Notes. 2nd edition. Hongkong: Spinger-Verlag. Hultmann L. 2003. endegenousproteolitic enzymes: Studies of their impact on fish muscle protein and texture. [Thesis]. Faculty of Natural Science and Technology. Norwegia.

30

Jiang ST. 2000. Enzymes and their effect on seafood texture. Haard NF dan Simpson BK, editor. Di dalam Seafood Enzymes. New York: Marcel Dekker, Inc. Kolodziejska I, Sikorski ZE. 1996. Neutral and alkaline muscle protease of marine fish and invertebrates-A review. Journal of Food Biochemistry, 20: 349363. Kubota M, Kinoshita M, Kubota S, Yamashita M, Toyohara H, Sakaguchi M. 2001. Possible implication of metalloproteinases in post-mortem tenderization of fish muscle. Fisheries Sci. 67 (5): 965-968. Kuchel P, Gregory BR. 2006. Biokimia. Jakarta: Penerbit Erlangga. Ladrat DC, Cheret R, Taylor R, Bagnis VV. 2006. Trends in post-mortem aging in fish: understanding of proteolysis and disorganization of the myofibrillar structure. Critical Review infood Science and Nutrition. 46 (5): 409-421. Lehninger AL. 1993. Dasar-dasar Biokimia. Jilid 1. M. Thenawidjaja, penerjemah. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Principle of Biochemistry. Lestari UN. 2010. Induksi Rematurasi Ikan Patin Siam dengan Kombinasi Penyuntikan Hormon PMSG Mix dan Penambahan Vitamin Mix 200 mg/kg Pakan. [Skripsi]. Bogor: Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Li DK, Lin H, Kim SM. 2008. Purification and Characterization of sistein protease inhibitor from Chum Salmon (Oncorhyn chusketa) Plasma. J. Agric. Food Chem. 56: 106-111. Mekinodan, Ikeda. 1965. Proteolytic Enzymes and Control in Surimi. USA: CRC Press. Morrissey MT, Hartley PS, An H. 1996. Proteolytic Activity in Pacific Whiting and Effect of Surimi Processing. J.aqua.Food.Product. Technol. 4 (4): 518. Olivera AS, Xavier-Filho, Sales MP. 2003. Cysteine proteinase and cystatins. An Inter. J. Brazillianarchieve of Biol and Tech. 46 (1): 91-104. Olonen A. 2004. High molecular weight sistein proteinase inhibitor in Atlantic Salmon and other fish species. [Dissertation]. Helsinki: Protein Chemistry Laboratory and Department of Biological and Environmental Sciences. Faculty of Biosciences. University of Helsinki. Otto HH, Schirmeister T. 1997. Sistein protease and their inhibitors. Chem. Rev. 97 (1): 133-172. Park JW. 2005. Surimi and Surimi Seafood. Second edition. CRC Press. Polgar L. 1990. Mechanism of Protease Action. Florida: CRC Press.

31

Rao MB, Tanksale AM, Ghatgate MS, Deshpande VV. 1998. Molecular and Biotechnological aspects of microbial protease. Microb. Mol. Biol. Revw. 62: 1092-2172. Rosenberg IM. 1996. Protein analysis and Purification: Benchtop technique. Boston: Birkhauser. Rusyadi S. 2010. Purifikasi dan Karakterisasi Inhibitor Katepsin dari Kulit Ikan Patin (Pangasius sp.). [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan Jilid I dan II. Bogor: Bina Cipta. Salleh AB, Razak CN, Zaliha RN, Basri M. 2006. New Lipases and Proteases. New York: Nova Science Publisher. Shahidi F. 1994. Seafoods Proteins and Preparation of Protein Concentrates. Dalam: Sahidi F, Botta RJ, eds. Seafoods: Chemistry, Processing Technology and Quality. London: Blackie Academic & Professional. Shahidi F, Botta JR. 1994. Seafoods Chemistry, Processing Technology and Quality. Glasgow: Blackie Academic and Professional. Shinya H. 2008. The Miracle of Enzyme. Bandung: Mizan Utama. Stenes J. 1998. Foundation of Biochemistry. New York: Plenum Press. Suhartono MT. 1992. Protease. Bogor: PAU Bioteknologi IPB. Susanto, Heru. 1999. Budidaya Ikan Patin. Jakarta: Penebar Swadaya. Ustadi, Kim KY, Kim SM. 2005. Purification and Identification of a Protease Inhibitor from Glassfish (Liparis tanakai) Eggs. J. Agricc. Food Chem. 53: 7667-7672. Whitaker JR. 1994. Principles of Enzymology for The Food Science. Second Edition. New York: Marcel Dekker, Inc. Wijaya R. 2005. Karakteristik Enzim serupa Tripsin dari Cacing Tanah. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Winarno FG. 2010. Enzim Pangan. Bogor: M-Brio Press.

32

LAMPIRAN

33

Lampiran 1 Pembuatan larutan untuk assay enzim katepsin dan inhibitor enzim katepsin 1. Buffer Tris HCl 0,1 M pH 7,4 (Mulyono 2008 diacu dalam Dynnar 2011) Sebanyak 50 ml tris-(hidroksimetil) aminometana 0,1 M dicampurkan dengan 42 ml HCl 0,1 M dan 7 ml akuades. Sebelumnya dibuat terlebih dahulu larutan tris-(hidroksimetil) aminometana dengan konsentrasi 0,1 M dengan cara menimbang 6,057 gram C4H11O3N, kemudian dimasukkan ke labu takar 500 ml lalu tuang akuades sebanyak ¼ labu dan homogenkan. Setelah homogen, tambah lagi akuades hingga tanda batas.

2. Tirosin standar Tirosin sebanyak 22,65 mg dilarutkan dalam 25 ml akuades, kemudian divorteks. Larutan ini disimpan pada suhu 0-40 oC.

3. TCA 5% Sebanyak 15 gram TCA dilarutkan dalam akuades hingga volume akhirnya 300 ml. Penimbanngan TCA ini harus dilakukan secara hati-hati dengan menggunakan sarung tangan.

4. Hemoglobin 2% pH 2 Sebanyak 0,2 gram hemoglobin dilarutkan dalam akuades hingga volumenya 10 ml. Setelah itu diukur pH-nya, setelah pH nya terukur hemoglobin ini dibuat pH nya menjadi 2 dengan penambahan HCl 1 N sedikit demi sedikit. Larutan ini harus selalu dibuat dalam keadaan segar.

5. Folin Sebanyak 1 bagian folin ciocalteu dilarutkan dengan 2 bagian air.

6. Stok Bovine Serume Albumine (BSA) 2 mg/ml Sebanyak 300 mg BSA dilarutkan dalam akuades hingga volumenya 150 ml.

34

Lampiran 2 Kurva standar protein 0,070 0,060 y = 0,0492x + 0,0502 R² = 0,9103

Absorbansi

0,050 0,040 0,030 0,020 0,010 0,000 0,00

0,10

0,20 Konsentrasi

0,30

0,40