FAKTOR-FAKTOR PENENTU DISPARITAS PREVALENSI STUNTING PADA BALITA DI BERBAGAI KABUPATEN/KOTA DI INDONESIA
INDAH YULIANA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Faktor-Faktor Penentu Disparitas Prevalensi Stunting pada Balita di Berbagai Kabupaten/Kota di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2015
Indah Yuliana NIM I151110111
RINGKASAN INDAH YULIANA. Faktor-Faktor Penentu Disparitas Prevalensi Stunting pada Balita di Berbagai Kabupaten/Kota di Indonesia. Dibimbing oleh DRAJAT MARTIANTO dan IKEU TANZIHA. Beberapa penelitian terkait faktor risiko stunting balita telah dilakukan di Indonesia baik dalam skala kecil maupun dalam skala besar. Namun, penelitianpenelitian tersebut belum ada yang mengkaji tentang perbedaan stunting antar wilayah. Prevalensi stunting mengalami peningkatan dari tahun 2007 (36.8%) ke tahun 2013 (37.2%) dan terjadi disparitas antar provinsi di Indonesia. Disparitas ini kemungkinan akan lebih besar apabila dilihat ke dalam level wilayah yang lebih kecil seperti antar kabupaten/kota.Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang menentukan disparitas stunting pada balita di berbagai kabupaten/kota di Indonesia. Desain penelitian ini adalah studi ekologi dengan unit analisis kabupaten/kota. Penelitian ini menggunakan data Riset Kesehatan Dasar 2007 dan data makro sosial ekonomi data lainnya. Sebanyak 352 kabupaten/kota dari total 438 kabupaten/kota dipilih untuk analisis ini. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah prevalensi stunting, asupan gizi dan ASI eksklusif, derajat kesehatan, karakteristik ibu, akses ekonomi, sosial dan kesehatan masyarakat. Determinan faktor dianalisis menggunakan regresi linier berganda. Disparitas prevalensi stunting adalah selisih prevalensi stunting balita di suatu kabupaten/kota terhadap batas masalah kesehatan masyarakat untuk stunting (20%). Disparitas prevalensi stunting dikatakan tinggi jika >31.4%, sedang jika 15.7-31.4% dan rendah jika <15.7%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 24 kabupaten/kota mempunyai disparitas prevalensi stunting yang tinggi. Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan disparitas prevalensi stunting adalah persentase imunisasi tidak lengkap, prevalensi malaria, persentase ibu tunggal, tingkat kemiskinan dan Indeks Pembangunan Manusia, dengan R2 model adalah 0.361. Studi ini menunjukkan bahwa upaya penanggulangan stunting akan efektif apabila diintegrasikan dengan upaya-upaya seperti penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kata kunci: disparitas prevalensi stunting, balita, kemiskinan
SUMMARY INDAH YULIANA. Determinant of Disparity in Stunting Prevalence among Underfive Years Old Children in Various Regencies/Cities at Indonesia. Supervised by DRAJAT MARTIANTO and IKEU TANZIHA.
Several studies have associated risk factors stunting among under five years old children in Indonesian has done well on a small scale or a large scale. However, there is no evidence regarding differences in stunting between regions. The stunting prevalence has increased from 2007 (36.8%) to 2013 (37.2%) and there is disparity between provinces in Indonesia. This disparity is likely to be greater when the level seen in smaller areas such as inter regencies/city. This study aims to analyze the determinant of stunting prevalence disparity among various regions in Indonesia. Design of the study was ecological study with unit of analysis was regency/city. The study used data of the Basic Health Researches 2007 of the Health Research and Development Agency of the Ministry of Health and other sosioeconomic macro datas. A total of 352 regencies/cities from 438 regencies/cities selected for the analysis. The data used in this study were the prevalence of stunting, nutrition intake and exclusive breastfeeding, health status, maternal characteristics, access to public economic, social and health. Pearson’s correlation were used to test relationship among variables. The determinant factors were analyzed using multiple linier regression. Stunting prevalence disparity is the difference in stunting prevalence of toddler in a regency/city to cut off public health problem for stunting (20%). Stunting prevalence disparity categorized to be high if >31.4%, moderate if 15.7-31.4% and was lower if <15.7%. The determinant factors was analyzed using multiple linier regression. The result showed that 24 regencies/city were high stunting prevalence disparity. The analysis showed that the factors determined of stunting prevalence disparity are incomplete immunization percentage, malaria prevalence, single mothers percentage, poverty level and Human Development Index ( R2 is 0.361). This study suggests that reduction of stunting will be effective when integrated with efforts such as poverty alleviation and improvement of people's welfare. Keywords: Stunting disparity, underfive years old children, poverty.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
FAKTOR-FAKTOR PENENTU DISPARITAS PREVALENSI STUNTING PADA BALITA DI BERBAGAI KABUPATEN/KOTA DI INDONESIA
INDAH YULIANA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr.Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS.
Judul Tesis
: Faktor-Faktor Penentu Disparitas Prevalensi Stunting pada Balita di Berbagai Kabupaten/Kota di Indonesia
Nama
: Indah Yuliana
NIM
: I151110111
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Drajat Martianto, MSi
Dr Ir Ikeu Tanziha, MS
Ketua
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Dodik Briawan, MCN
Dr Ir Dahrul Syah, MSc. Agr
Tanggal Ujian: 13 Oktober 2014
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 ini ialah Status Gizi Masyarakat, dengan judul “Faktor-Faktor Penentu Disparitas Prevalensi Stunting Balita di Berbagai Kabupaten/Kota di Indonesia”. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr.Ir. Drajat Martianto, M.Si dan Dr.Ir. Ikeu Tanziha, MS selaku komisi pembimbing yang telah memberikan saran, arahan dan dukungannya. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga dan sahabat, atas segala doa, kasih sayang dan dukungannya. Semoga karya ilmiah ini memberikan manfaat yang nyata dalam perbaikan upaya pencegahan dan penanggulangan masalah stunting di Indonesia.
Bogor, Januari 2015 Indah Yuliana
DAFTAR ISI
xii
DAFTAR TABEL
DAFTAR LAMPIRAN
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN Latar Belakang Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Kualitas SDM suatu bangsa dapat dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Berdasarkan UNDP (2011), IPM Indonesia dikategorikan dalam medium human development dengan menduduki posisi 124 dari 187 negara, masih di bawah negara ASEAN lainnya. Status gizi yang baik merupakan salah satu faktor yang berperan penting dalam pencapaian IPM suatu negara. Gizi yang baik diperlukan terutama untuk anak-anak sebagai generasi penerus bangsa. Apabila tidak ada intervensi gizi yang baik sejak anakanak, maka dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan baik saat ini maupun yang akan datang seperti rendahnya poduktivitas kerja, kehilangan kesempatan sekolah dan kehilangan sumberdaya karena tingginya biaya perawatan kesehatan (World Bank 2006). Hal ini secara tidak langsung dapat menghambat pembangunan nasional yang ditunjukkan dengan rendahnya IPM suatu negara. Masalah kurang gizi pada anak-anak merupakan dampak kerawanan pangan yang kompleks. Anak-anak di lingkungan rawan pangan dan berasal dari keluarga miskin mengalami pendek (stunted). Hal ini disebabkan oleh ketidakcukupan pemberian makan dan praktek pengasuhan saat bayi, akses yang rendah terhadap pelayanan kesehatan, atau sanitasi lingkungan yang buruk. Beberapa negara yang mengalami masalah kurang gizi, produksi pangan bukan merupakan faktor penghambatnya, faktor-faktor yang paling penting adalah pertama, rendahnya pengetahuan tentang manfaat praktek pemberian ASI eksklusif dan makanan pendamping serta pentingnya zat-zat gizi mikro. Kedua, kurangnya waktu wanita yang baik untuk praktek pengasuhan bayi yang baik dan perawatannya sendiri selama kehamilan (World Bank 2006). Kejadian stunting juga banyak dikaitkan dengan karakteristik dari anak itu sendiri maupun karakteristik ibu. Studi di Metro Cebu, Filipina mengungkapkan bahwa faktor-faktor risiko stunting pada bayi usia kurang dari 6 bulan adalah perilaku ibu atau karakteristik biologis anak yang masih dibawah pengawasan ibu seperti pemberian ASI dan berat badan lahir. Setelah usia 6 bulan, karakteristik sosial ekonomi keluarga serta variabel perilaku dan biologis merupakan determinan penting terjadinya masalah gizi, seperti pendidikan ayah dan ada tidaknya televisi atau radio (Ricci & Becker 1996). Penelitian di India dan Guatemala menyebutkan bahwa ibu yang pendek (<150 cm), IMT rendah (<18.5 kg/m2) dan berusia muda (≤ 18 tahun) berisiko meningkatkan kejadian stunting (Martorell & Young 2012). Perkembangan terkini masalah stunting mengindikasikan bahwa penyebabnya terkait dengan kondisi yang lebih hulu, yaitu saat anak di dalam kandungan, dan pada usia 2 tahun pertama kehidupan, atau yang lebih dikenal dengan istilah window of opportunity. Victora et al. (2008) menyatakan bahwa stunting pada dua tahun pertama kehidupan menyebabkan kerusakan yang bersifat irreversible (tidak dapat dipulihkan) meliputi stunted (pendek) pada masa dewasanya, kesempatan sekolah lebih rendah, pendapatan saat dewasa menurun, dan bagi wanita, akan melahirkan anak BBLR. Anak-anak yang mengalami kurang gizi pada usia kurang dari 2 tahun dan yang mengalami penambahan berat badan
2 yang cepat pada masa anak-anak dan remaja berisiko tinggi terkena penyakit kronis terkait gizi saat dewasanya seperti konsentrasi gula darah tinggi, tekanan darah tinggi dan profil lipid yang buruk. Black et al. (2008) memperkirakan bahwa masalah stunting, severe wasting dan intrauterine growth restriction berdampak pada 2.2 juta kematian dan 21% DALYs (disability-adjusted life-years) pada balita. Pentingnya gizi sebagai modal pembangunan bangsa menunjukkan bahwa perlu adanya penanganan yang serius terkait masalah kekurangan gizi di Indonesia. Sampai saat ini, penanganan masalah gizi di Indonesia lebih banyak difokuskan pada anak usia di bawah lima tahun melalui pemantauan berat badan anak setiap bulan dan beberapa kegiatan tambahan lainnya, seperti pemberian makanan tambahan untuk anak gizi buruk, penyuluhan dan imunisasi. Intervensi ini terkesan kurang efektif, karena yang membaik terutama berkurangnya anak balita dengan status gizi kurang (underweight), tidak demikian halnya dengan anak balita stunting (Irawati et al. 2012). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menginformasikan bahwa prevalensi underweight pada balita sebesar 19.6%, sedangkan prevalensi stunting pada balita sebesar 37.2% (Balitbangkes 2013). Penurunan prevalensi stunting balita juga sangat sedikit yaitu dari 36.8% tahun 2007 menjadi 35.6% tahun 2010, hanya sebesar 1.2%. Namun kembali mengalami peningkatan sebesar 1.6% pada tahun 2013 (prevalensi stunting 37.2%). Lain halnya di Brazil, hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi stunting balita menurun tajam lebih dari 30% (37.1% ke 7.1%) selama periode 1974-2006. Penurunan prevalensi yang tajam terutama terjadi pada periode 10 tahun terakhir (1996-2007), ketika gap (kesenjangan) antar keluarga miskin dan kaya dengan anak balita juga diturunkan, seperti daya beli keluarga, akses pendidikan, pelayanan kesehatan, air dan sanitasi, serta indikator kesehatan reproduktif (Monteiro 2010). Upaya global dalam penanganan masalah gizi termasuk stunting telah diprakarsai oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui program Scaling-up Nutrition Movement (SUN Movement) yang berfokus pada 1000 hari pertama kehidupan. Pemerintah Indonesia telah menjadi bagian SUN Movement dengan membuat kebijakan gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) melalui perancangan kegiatan intervensi gizi yang bersifat spesifik dan sensitif (Bappenas 2012). Meskipun prevalensi stunting balita secara nasional mengalami sedikit penurunan, namun masih terjadi disparitas atau kesenjangan antar wilayah di Indonesia baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota yang perlu mendapat penanganan masalah yang sifatnya spesifik di wilayah yang rawan masalah stunting. Data Riskesdas tahun 2007 menunjukkan bahwa kesenjangan prevalensi stunting antar provinsi mencapai 20.6%. Kesenjangan ini meningkat pada tahun 2010 dan tahun 2013 hingga mencapai 35.9% dan 25.4%. Kesenjangan ini kemungkinan akan lebih besar apabila dilihat ke dalam level wilayah yang lebih kecil seperti antar kabupaten/kota. Melalui penelitian ini, akan dikaji berbagai faktor yang menentukan terjadinya disparitas stunting pada balita antar wilayah di Indonesia. Perumusan Masalah Stunting merupakan indikator kesehatan anak-anak yang telah ditetapkan untuk masalah gizi kronik yang berkaitan dengan keadaan lingkungan dan sosial ekonomi (WHO 1995). Berbagai faktor risiko atau determinan stunting sudah
3 banyak diteliti baik secara global maupun nasional (di Indonesia). Faktor risiko tingginya prevalensi stunting di Uganda antara lain usia anak, kesehatan yang buruk, lamanya menyusui (dari >18 bulan sampai <24 bulan), status sosial ekonomi keluarga yang rendah, pendidikan ibu dengan bayi <12 bulan yang rendah, kekurangan paraffin sebagai sumber energi, konsumsi makanan dengan densitas energi yang rendah (<350 kkal/100 gram berat kering), adanya patologi mata, dan konsumsi makanan ringan (Kikafunda et al. 1998). Anak-anak dengan wasting merupakan risiko kegagalan pertumbuhan linier (Richard et al. 2012). Studi yang telah dilakukan oleh Frongillo et al. (1999) menunjukkan bahwa rendahnya prevalensi stunting balita diberbagai negara berkembang berhubungan dengan ketersediaan energi, tingkat melek huruf wanita, anggaran kesehatan, produk nasional bruto yang lebih tinggi. Beberapa penelitian terkait faktor risiko stunting balita telah dilakukan di Indonesia baik dalam skala kecil maupun dalam skala besar. Sabaruddin (2012) menyatakan bahwa faktor-faktor yang secara signifikan berpengaruh pada status gizi balita menurut TB/U di Kota Bogor antara lain pendidikan ibu, riwayat kesehatan anak dan status pekerjaan ibu, sedangkan riwayat kehamilan dan praktek sanitasi lingkungan menjadi faktor positive deviance dari stunting. Roosita et al. (2010) menunjukkan bahwa stunting anak-anak usia <6 tahun di Kabupaten Bandung berhubungan dengan asupan protein, kalsium, zat besi dan seng (P<0.01). Hasil penelitian Astari et al. (2006) di Kabupaten Bogor menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang nyata (p<0.05) antara konsumsi energi dan zat gizi dari MP-ASI dengan kejadian stunting anak usia 6-12 bulan. Penelitian terkait stunting dalam skala besar umumnya memanfaatkan data survey nasional Riset Kesehatan Dasar oleh Kementrian Kesehatan RI dan datadata makro lainnya. Penelitian Rosha (2010) di daerah miskin di Jawa Tengah dan Jawa Timur menunjukkan bahwa faktor-faktor determinan stunting adalah wilayah tempat tinggal, pendidikan ibu, usia anak dan jenis kelamin. Ulfani et al. (2011) menyatakan bahwa faktor risiko stunting balita di berbagai kabupaten/kota di Indonesia antara lain produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita, tingkat pendidikan, tingkat kemiskinan, perilaku higiene dan pemanfaatan posyandu. Hasil penelitian Aditianti (2010) menunjukkan bahwa kejadian stunting pada balita di Indonesia dipengaruhi oleh tinggi badan ayah, tinggi badan ibu, umur, tempat tinggal, status sosial ekonomi, pendidikan ibu, penyakit infeksi, personal higiene dan sanitasi lingkungan. Hasil terkini penelitian terkait stunting di Indonesia yang telah dilakukan oleh Hayati (2013) menunjukkan bahwa risiko stunting lebih tinggi dijumpai pada anak 0-23 bulan yang dilahirkan BBLR, underweight, dari ibu yang pendek (145 cm), dalam status ekonomi keluarga rendah, densitas asupan protein kurang dari 20g/1000 kkal. Namun, penelitian-penelitian diatas belum ada yang mengkaji tentang perbedaan stunting antar wilayah. Terdapat dua penelitian yang dapat dijadikan proses pembelajaran untuk studi permasalahan stunting antar wilayah yaitu studi yang telah dilakukan oleh Ma’rifat (2010) dan Nadiyah (2013). Penelitian Ma’rifat (2010) menyatakan bahwa status gizi TB/U batita di Provinsi Sumatera Selatan, DI. Yogyakarta dan Nusa Tenggara Timur (NTT) dipengaruhi oleh lama pendidikan ibu, pemanfaatan pelayanan kesehatan dan penyakit infeksi. Nadiyah (2013) menyatakan bahwa berat badan lahir rendah, tinggi badan ibu <150 cm, sanitasi lingkungan kurang baik dan pemberian makanan pre-lakteal merupakan faktor
4 risiko stunting anak usia 0-23 bulan di Bali, Jabar dan NTT. Dalam analisisnya, provinsi dijadikan sebagai dummy variabel, hasilnya menunjukkan bahwa provinsi tidak menjadi variabel yang signifikan terhadap kejadian stunting pada anak (p>0.05). Berdasarkan pertimbangan hasil penelitian-penelitan terdahulu, maka terdapat beberapa permasalahan yang ingin dianalisis dalam penelitian ini. Permasalahan tersebut adalah: 1. Seperti apa keragaan disparitas prevalensi stunting antar kabupaten/kota. 2. Apakah faktor-faktor yang menentukan disparitas prevalensi stunting. 3. Rekomendasi apa yang diperlukan untuk mengatasi masalah disparitas prevalensi stunting Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang menentukan disparitas prevalensi stunting pada balita di berbagai kabupaten/kota di Indonesia. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini antara lain: 1. Mengetahui keragaan disparitas prevalensi stunting antar kabupaten/kota 2. Menganalisis faktor-faktor yang menentukan disparitas prevalensi stunting 3. Merumuskan rekomendasi untuk menurunkan disparitas prevalensi stunting. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran berbagai faktor yang menentukan perbedaaan permasalahan stunting balita antar kabupaten/kota di Indonesia, yang selanjutnya dapat dijadikan sebagai salah satu langkah awal dalam penanganan masalah stunting. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan bahwa stunting merupakan masalah gizi yang tidak hanya terkait dengan masalah kesehatan saja tetapi mencakup masalah sosial dan ekonomi juga. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan pertimbangan bagi pemerintah terutama pemerintah daerah dan pihak terkait untuk menyusun strategi dan kebijakan terutama dari segi finansial, serta program intervensi yang relevan dengan permasalahan yang terjadi saat ini sehingga mampu meningkatkan kualitas SDM dalam rangka mencapai Millenium Development Goals (MGDs).
TINJAUAN PUSTAKA Permasalahan Stunting Stunting atau pendek merupakan indikator kegagalan pertumbuhan pada masa lampau akibat ketidakcukupan asupan pangan dan infeksi dalam waktu yang panjang terutama pada periode pertumbuhan terbesar pada anak-anak, ditandai tinggi badan menurut umur (TB/U) yang rendah, pertumbuhan bayi dan anak-anak yang lambat, gagal mencapai tinggi badan yang diharapkan (normal) seperti halnya anak-anak dengan status gizi baik dan sehat. Stunting mencerminkan masalah gizi kronik. Anak-anak usia dibawah 2 tahun dapat digunakan untuk tujuan evaluasi intervensi karena prevalensi stunting anak-anak pada usia ini lebih responsif terhadap dampak intervensi dibandingkan dengan anak-anak yang lebih tua. Informasi stunting secara klinis berguna untuk menegakkan diagnosis. Stunting berdasarkan TB/U dapat digunakan untuk tujuan evaluasi tetapi tidak direkomendasikan untuk monitoring pada perubahan dalam jangka pendek misalnya 6-12 bulan (Cogill 2003). Balita merupakan salah satu kelompok umur yang rentan terhadap masalah gizi dan kesehatan. Ada tidaknya masalah stunting pada balita dapat diketahui melalui pengukuran status gizinya. Status gizi balita dinilai berdasarkan parameter antropometri yang terdiri dari berat badan dan panjang/tinggi badan. Penilaian status gizi balita merujuk pada standar antropometri yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2005 atau disebut Standar WHO 2005. Klasifikasi status gizi balita berdasarkan 3 indikator BB/U (berat badan menurut umur), TB/U (tinggi badan menurut umur), dan BB/TB (berat badan menurut tinggi badan) dapat dilihat pada Tabel 1. Seorang balita dikatakan stunting apabila hasil pengukuran nilai Z-score kurang dari -2.0 SD (standar deviasi). Tabel 1 Klasifikasi status gizi balita berdasarkan nilai Z-score Indikator BB/U
TB/U
BB/TB
Nilai Z-score Z-score < -3.0 Z-score ≥ -3.0 s/d Z-score < -2.0 Z-score ≥ -2.0 s/d Z-score ≤ 2.0 Z-score > 2.0 Z-score < -3,0 Z-score ≥ -3.0 s/d Z-score < -2.0 Z-score ≥ -2.0 Z-score < -3.0 Z-score ≥ -3.0 s/d Z-score < -2.0 Z-score ≥ -2.0 s/d Z-score ≤ 2.0 Z-score > 2.0
Kategori Gizi buruk Gizi kurang Gizi baik Gizi lebih Sangat pendek Pendek Normal Sangat kurus Kurus Normal Gemuk
Sumber: Balitbangkes (2013)
Luasan masalah gizi pendek dalam suatu populasi atau masyarakat dinyatakan dalam suatu prevalensi. Menurut Beaglehole, Bonita dan Kjellstorm (1997), prevalensi dihitung sebagai persentase sejumlah orang yang diketahui sudah mempunyai (terkena) penyakit pada waktu tertentu selama suatu periode waktu yang tertentu terhadap keseluruhan orang dalam suatu populasi yang memiliki risiko untuk terkena penyakit pada pertengahan waktu dari periode tersebut. Besarnya prevalensi stunting pada balita adalah persentase jumlah balita
6 yang mengalami gizi pendek stunting terhadap jumlah seluruh balita di suatu wilayah pada tahun tertentu. WHO telah menyusun klasifikasi rentang prevalensi masalah gizi (underweight, stunting dan wasting) untuk tujuan monitoring global seperti pada Tabel 2. Tabel 2 Ambang batas masalah kesehatan masyarakat berdasarkan prevalensi underweight, stunting, dan wasting Kategori Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi
Underweight (BB/U) < 10 10-19 20-29 ≥ 30
Prevalensi (%) Stunting (TB/U) < 20 20-29 30-39 ≥ 40
Wasting (BB/TB) <5 5-9 10-14 ≥ 15
Sumber: WHO (1995)
Prevalensi stunting merupakan indikator yang berguna untuk perbandingan di dalam atau antar negara dan kelompok sosial ekonomi. UNICEF-WHO-World Bank Joint Global Nutrition Database telah mengestimasi rata-rata prevalensi stunting (moderate dan severe) setiap regional dari tahun 2008-2012. Rata-rata prevalensi stunting tertinggi berada di Sub-Saharan Africa mencapai 38%, sama halnya dengan regional Asia Selatan. Selanjutnya diikuti dengan negara-negara kurang berkembang sebesar 37%. Sementara itu, Asia Timur dan Pasifik memiliki rata-rata prevalensi stunting sebesar 12%. Rata-rata prevalensi stunting terendah berada di Amerika Latin dan Karibia sebesar 11%, begitu juga dengan negaranegara CEE/CIS (Central, Eastern Europe and the Commonwealth of Independent States). Secara umum, rata-rata prevalensi stunting di dunia tahun 2008-2011 adalah 25% (UNICEF 2014). Beberapa hasil kajian menunjukkan bahwa stunting pada balita di Indonesia tidak menunjukkan perubahan yang drastis dari tahun 1990-2001 (Tabel 3). Prevalensi stunting berkisar diatas 40% sejak tahun 1990. Kejadian stunting lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan dan meningkat prevalensinya di daerah pedesaan. Tabel 3 Tren prevalensi stunting balita tahun 1990-2001 Laki-laki Perempuan Perkotaan Pedesaan Total
IBT (1990) 47.0 41.9
Suvita (1992) 42.5 40.2
44.5
41.4
SKIA (1995) 46.5 45.2 36.5 49.2 45.9
NSS (2001) 46.6 45.5
45.6
IBT = Survei Indonesia Bagian Timur; Suvita = Survei Nasional Vitamin A; SKIA = Survei Kesehatan Ibu dan Anak; NSS = Nutrition and Health Survey (HKI), rural area Sumber: Atmarita (2005)
Terdapat perubahan karakteristik prevalensi stunting balita di Indonesia dari tahun 2007-2013. Prevalensi stunting balita laki-laki lebih besar dibandingkan balita perempuan dari tahun 2007-2013. Prevalensi stunting balita perempuan menurun sebesar 1.9% dari tahun 2007 (35.8%) ke tahun 2013 (33.9%), namun mengalami peningkatan sebesar 2.3% pada tahun 2013 (36.2%). Secara umum, prevalensi stunting balita laki-laki meningkat dari tahun 2007 (37.7%) ke tahun 2013 (38.1%). Prevalensi stunting balita lebih banyak terjadi di pedesaan daripada
7 perkotaan. Prevalensi stunting di daerah pedesaan terus mengalami peningkatan dari tahun 2007 (38%), tahun 2010 (40%) sampai tahun 2013 (42.1%). Secara nasional, prevalensi stunting (moderate dan severe) meningkat sebesar 0.4% dari tahun 2007 ke tahun 2013, namun masih terjadi disparitas baik antar wilayah maupun antar waktu di Indonesia (Tabel 4). Penurunan prevalensi terbesar terjadi di Provinsi Sumatera Selatan sebesar 8.0% (tahun 2007-2013). Berbeda halnya dengan Provinsi Sulawesi Selatan yang justru meningkat sebesar 11.8%. Masalah kesehatan masyarakat dianggap berat bila prevalensi stunting sebesar 30– 39% dan serius bila prevalensi stunting ≥40% (WHO 1995). Pada tahun 2013, sebanyak 14 provinsi termasuk kategori berat dan sebanyak 15 provinsi termasuk kategori serius. Tabel 4 Perubahan prevalensi balita stunting menurut provinsi tahun 2007-2013 (Riskesdas 2013 diolah) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Provinsi Nangroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Di Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua INDONESIA
Prevalensi stunting 2007 2010 2013 44.6 38.9 41.5 43.1 42.3 42.5 36.5 32.8 39.2 33.0 32.2 36.8 36.4 30.2 37.9 44.7 40.4 36.7 36.0 31.6 39.7 38.7 36.3 42.6 35.5 29.0 28.7 26.2 26.9 26.3 26.7 26.6 27.5 35.5 33.6 35.3 36.5 33.9 36.7 27.6 22.5 27.3 34.8 35.9 35.8 39.0 33.5 33.0 31.0 29.3 32.6 43.7 48.2 45.2 46.8 58.4 51.7 39.3 39.7 38.6 42.7 39.6 41.3 41.8 35.3 44.2 35.2 29.1 27.6 31.2 27.8 34.8 40.4 36.2 41.0 29.1 38.9 40.9 40.5 37.8 42.5 39.9 40.3 38.9 44.5 41.6 48.0 45.8 37.5 40.6 40.2 29.4 41.1 39.4 49.2 44.7 37.7 28.3 40.1 36.8 35.6 37.2
Perubahan (2007-2013)* 3.1 0.6 -2.7 -3.8 -1.5 8.0 -3.7 -3.9 6.8 -0.1 -0.8 0.2 -0.2 0.3 -1.0 6.0 -1.6 -1.5 -4.9 0.7 1.4 -2.4 7.6 -3.6 -0.6 -11.8 -2.0 1.0 -3.5 5.2 -0.9 -5.3 -2.4 -0.4
* Tanda negatif menunjukkan bahwa terjadi peningkatan prevalensi stunting dari tahun 2007 ke tahun 2013
8 Dampak Kesehatan dan Sosial Ekonomi Stunting Dampak utama masalah kurang gizi timbul selama masa kehamilan dan dua tahun pertama kehidupan, lebih dikenal dengan window of opportunity yang bersifat tidak dapat dipulihkan. Hal ini menunjukkan pentingnya intervensi gizi mulai dari konsepsi sampai anak usia 24 bulan, karena investasi gizi pada periode lain sangat kecil untuk meningkatkan gizi manusia (World Bank 2006). Pernyataan ini diperkuat oleh studi kohort prospektif yang dilakukan oleh McDonald (2013) bahwa kelahiran <37 minggu (preterm birth), anak dengan infeksi HIV, stunting dan wasting berhubungan dengan perkembangan psikomotor dan mental yang rendah. Stunting merupakan sebuah proses dengan dampak yang dapat meluas tidak hanya pada kehidupan selanjutnya tetapi juga ke generasi selanjutnya. Kurang gizi sering dimulai dalam rahim dan terutama pada anak-anak dan wanita, mungkin di seluruh kehidupannya (Gambar 1). Seorang anak yang stunting akan menjadi seorang remaja yang stunting dan selanjutnya menjadi seorang wanita yang stunting. Selain mengancam kesehatan dan produktivitasnya sendiri, gizi yang buruk meningkatkan peluang anak-anak wanita tersebut akan terlahir dengan gizi buruk. Siklus tersebut akan terus berulang. Menurunnya kemampuan pengasuhan untuk bayi
Tingkat kematian lebih tinggi
Kurang gizi Pada Lansia
Gangguan perkembangan mental Meningkatnya risiko penyakit kronis saat dewasa
Bayi BBLR
Penyapihan yang tidak tepat waktu
Ketidakcukupan pangan, kesehatan dan pengasuhan
Sering infeksi
Ketidakcukupan catch-up growth Ketidakcukupan gizi bayi
Ketidakcukupan pangan, kesehatan dan pengasuhan
Kurang gizi pada wanita Pertambahan berat badan rendah saat hamil
Remaja Stunted
Menurunnya kapasitas mental
Tingkat kematian ibu lebih tinggi Ketidakcukupan pangan, kesehatan dan pengasuhan
Anak Stunted
Menurunnya kapasitas mental
Ketidakcukupan pangan, kesehatan dan pengasuhan
Sumber: UN ACC/SCN & IFPRI (2000)
Gambar 1 Dampak masalah gizi dalam siklus kehidupan Beberapa peneliti menjelaskan tentang pengaruh gizi kurang pada saat janin dan bayi terhadap kemampuan kognitif, pencapaian pendidikan, dan pendapatan hidup, serta pengaruh status gizi dewasa terhadap produktivitas kerja mereka. Data
9 penelitian tahun 1990-an di beberapa negara berkembang Asia menunjukkan bahwa kehilangan GDP (Gross Domestic Product) dari berbagai macam gizi buruk dapat mencapai 3% dari pendapatan nasional (Gambar 2). 3,3
3,5 3
Gizi kurang (manifestasi kegagalan pertumbuhan)
2,5 2
Defisiensi Yodium
1,5
1 1,1
1 0,5
0,6 0,1
0,3
Defisiensi besi
0 Pakistan
Vietnam
Gambar 2 Persentase kehilangan GDP dari penurunan produktivitas pada saat dewasa akibat beberapa bentuk gizi kurang (Horton 1999) Pada dasarnya, balita yang menderita gizi buruk masih mempunyai peluang untuk dapat pulih sehingga masih produktif dengan produktivitas kurang dari 100%. Menurut Ross dan Horton (1998) dalam Horton (1999), kehilangan produktivitas berkaitan dengan kurang energi protein (KEP) dapat dilihat pada Tabel 5. Remaja yang menderita KEP dalam bentuk moderate stunting pada masa balita akan kehilangan 2-6 % produktivitasnya, sedangkan remaja yang menderita KEP dalam bentuk severe stunting akan kehilangan 2-9 % produktivitasnya. Tabel 5 Hubungan antara kehilangan produktivitas dengan masalah gizi (%) Bentuk masalah gizi
KEP Defisiensi zat besi Defisiensi yodium Defisiensi vitamin A
Kehilangan produktivitas (tenaga kerja) (%) 2-6 (moderate stunting) 2-9 (severe stunting) 17 (heavy manual) 5 (blue collar) n/a n/a
Kehilangan kognitif akibat masalah gizi pada masa anak-anak (%) 10 4 10 n/a
Sumber: Horton (1999)
Penelitian baru-baru ini termasuk tindak lanjut dari sebuah percobaan intervensi di Guatemala membuktikan bahwa stunting dapat berdampak jangka panjang pada perkembangan kognitif, kemampuan belajar, produktivitas ekonomi pada masa dewasa dan outcome reproduksi ibu. Kejadian ini menunjukkan bahwa pemecahan stunting pada masa anak-anak merupakan prioritas utama untuk menurunkan beban penyakit global dan untuk meningkatkan perkembangan ekonomi. Penelitian lebih lanjut juga diperlukan untuk memahami jalur pencegahan stunting yang berdampak jangka panjang, mengidentifikasi jalur dimana transmisi non-genetik dari pengaruh gizi berhubungan dengan generasi selanjutnya, dan menentukan dampak intervensi yang berfokus pada pertumbuhan linier di awal kehidupan terhadap risiko penyakit kronis pada masa dewasa (Dewey & Begum 2011). Kegagalan pertumbuhan merupakan sebuah ciri-ciri dari sekumpulan sindrom yang meliputi gagalnya perkembangan, terhambatnya fungsi kekebalan,
10 menurunnya fungsi kognitif dan gangguan metabolik yang selanjutnya meningkatkan risiko prospektif obesitas dan hipertensi (Branca & Ferrari 2002). Studi prospektif di Cebu, Filipina menunjukkan bahwa keparahan dan periode stunting pada dua tahun pertama kehidupan berdampak pada rendahnya skor tes kemampuan kognitif pada anak usia 8 dan 11 tahun (Mendez & Adair 1999). Hasil penelitian Walker et al. (2007) menyatakan remaja yang stunted pada masa dua tahun pertamanya signifikan mengalami kecemasan, gejala-gejala depresi, dan kurang percaya diri. Penelitian di 5 daerah Arab (Djibouti, Libyan Arab Jamahiriya, Morocco, Syrian Arab Republic and Yemen) menyatakan bahwa risiko obesitas 0.76-7.15 kali lipat lebih besar pada anak-anak stunted (Taguri et al. 2009). Upaya Penanggulangan Stunting World Bank (2006) mengungkapkan tiga alasan yang mendasari perlunya intervensi untuk mengurangi masalah gizi terutama stunting. Pertama, intervensi dapat memberikan keuntungan ekonomi (economics return) yang tinggi (mendorong pertumbuhan ekonomi dan penurunan kemiskinan). Kedua, intervensi gizi dilakukan karena bentuk dan jumlah masalah gizi yang mengkhawatirkan. Ketiga, intervensi gizi dilakukan karena daya beli masyarakat yang kurang baik. Jadi, pemerintah sebaiknya turun tangan karena perbaikan gizi merupakan kepentingan umum, menguntungkan semua orang, sebagai contoh gizi yang lebih baik dapat menurunkan penyakit menular dan meningkatkan produktivitas ekonomi nasional. Konsensus Kopenhagen mencatat bahwa intervensi gizi menghasilkan keuntungan tertinggi diantara 17 investasi pembangunan yang potensial. Investasi pada penyediaan mikronutrien dinilai lebih baik dibandingkan investasi pada perdagangan bebas, pengendalian malaria dan sanitasi air. Program-program berbasis masyarakat yang ditargetkan untuk anak-anak usia di bawah dua tahun juga dapat menghemat biaya dalam mencegah kurang gizi. Upaya penanggulangan kelaparan dan kurang gizi di negara-negara berkembang telah banyak dilakukan. Salah satu fokusnya adalah pada bidang ekonomi untuk investasi dalam kegiatan mengurangi kelaparan dan kurang gizi. Behrman, Alderman, and Hoddinott (2004) menyusun 4 alternatif (opportunities) untuk upaya mengurangi kelaparan dan kurang gizi yaitu penurunan prevalensi BBLR, peningkatan gizi bayi dan anak, penurunan defisiensi gizi mikro dan investasi teknologi pertanian. Secara keseluruhan, analisis rasio manfaat biaya (benefit-cost ratio) untuk intervensi gizi pada masing-masing alternatif tersebut berkisar antara 4-200. Intervensi yang memberikan manfaat terbesar adalah fortifikasi besi (Tabel 6). Berbagai penelitian intervensi untuk pencegahan dan penanggulangan stunting sudah banyak dilakukan. Intervensi melalui pendekatan multisektor (pertanian dan bisnis, kesehatan, pendidikan masyarakat dan infrastruktur) telah dilakukan oleh Remans et al. (2011) yang meliputi ketahanan pangan rumahtangga, praktek pengasuhan anak dan kontrol penyakit infeksi di 9 negara sub-Saharan Africa dengan prevalensi stunting anak usia kurang dari 2 tahun (baduta) awal >20%. Hasil program setelah 3 tahun berjalan menunjukkan bahwa prevalensi stunting baduta pada tahun ketiga menurun 43% dari data awal (OR: 0.57; 95% CI: 0.38, 0.83). Penelitian lainnya juga memberikan hasil yang signifikan baik pada penanganan kegagalan pertumbuhan linier (Phu et al. 2012) maupun penurunan
11 prevalensi stunting (Angeles et al. 1993). Namun, berbeda dengan efficacy trial yang dilakukan oleh Krebs et al. (2012) di 4 negara (Republik Demokrat Kongo, Zambia, Guatemala, dan Pakistan) dengan membandingkan dampak pemberian daging dan sereal yang difortifikasi multi zat gizi mikro pada bayi usia 3-4 bulan selama 6-18 bulan intervensi. Hasilnya menunjukkan bahwa laju stunting (z-skor PB/U<-2.0) meningkat dari sekitar 33% sampai mendekati 50%. Tingginya laju stunting dan kurangnya dampak kedua intervensi memperkuat untuk intervensi yang dimulai pada periode prenatal dan awal postnatal. Tabel 6 Rasio manfaat biaya (benefit-cost ratio) pada setiap alternatif intervensi No. Program-program intervensi 1 Penurunan BBLR pada kehamilan dengan peluang BBLR tinggi a. Pengobatan pada wanita dengan infeksi bakteri asimtomatik b. Pengobatan pada wanita dengan dugaan STD c. Pengobatan pada wanita hamil dengan riwayat obstetri yang buruk 2 Peningkatan gizi bayi dan anak pada wilayah dengan tinggi prevalensi kurang gizi a. Promosi pemberian ASI di rumah sakit b. Program perawatan anak terpadu c. Program pra-sekolah intensif dengan gizi yang cukup bagi keluarga miskin 3 Penurunan defisiensi gizi mikro a. Suplementasi yodium (per wanita usia subur) b. Suplementasi vitamin A (anak usia <6 tahun) c. Fortifikasi besi (per kapita) d. Suplementasi besi (wanita hamil) 4 Investasi teknologi pada pertanian a. Diseminasi kultivar baru dengan potensi hasil yang lebih tinggi b. Diseminasi varietas gandum dan beras fortifikasi besi dan seng c. Diseminasi beras fortifikasi vitamin A “Golden Rice”
Rasio 0.58-4.93 1.26-10.71 4.14-35.20
4.80-7.35 9.4-16.2 1.4-2.9 15-520 4.3-43 176-200 6.1-14 8.8-14.7 11.6-19 8.5-14
Sumber : Behrman, Alderman, and Hoddinott (2004)
Pencegahan stunting dapat dilakukan dengan melakukan intervensi pada semua tahapan siklus kehidupan, dan terutama promosi ASI-eksklusif sampai usia 6 bulan dan perbekalan makanan pendamping dan makanan keluarga dengan densitas zat gizi mikro yang cukup. Penanganan dapat dilakukan setidaknya sampai usia 5 tahun. Selain itu, perlu penelitian lebih lanjut untuk mengklarifikasi bahwa laju pertumbuhan yang pesat mungkin juga menunjukkan sebuah peningkatan risiko sindrom metabolik (Branca & Ferrari 2002). Studi longitudinal di Swedia menunjukkan bahwa panjang badan saat usia 6 bulan, usia saat fase pertumbuhan cepat pada anak-anak dan usia saat puncak kecepatan pertambahan tinggi badan selama pubertas secara signifikan berpengaruh pada tinggi badan akhir (p<0.05, total R2 0.33). Studi tersebut menyimpulkan bahwa stunting pada awal kehidupan tidak hanya masalah di negara-negara berkembang. Pentingnya pencapaian tinggi badan final juga terlihat jelas bahkan setelah pengawasan pada masa pubertas (Liu et al. 2000).
12 Penyebab Stunting Kerangka konseptual tentang penyebab kekurangan gizi telah dikembangkan oleh UNICEF pada tahun 1990 (Gambar 3). Kerangka tersebut menunjukkan penyebab kekurangan gizi bersifat multisektoral mencakup pangan, kesehatan dan praktek perawatan. Kerangka tersebut diklasifikasikan menjadi penyebab langsung (tingkat individu), penyebab tidak langsung (tingkat rumah tangga atau keluarga) dan pokok masalah (tingkat masyarakat), dimana faktor-faktor pada satu tingkat mempengaruhi tingkat lainnya. Kerangka tersebut dapat digunakan pada tingkat nasional, provinsi maupun kabupaten/kota untuk membantu perencanaan tindakan yang efektif dalam peningkatan gizi. Kerangka tersebut berfungsi sebagai panduan dalam menilai dan menganalisa penyebab masalah gizi dan membantu dalam mengidentifikasi tindakan gabungan yang paling tepat. Interaksi antara dua penyebab langsung kurang gizi yaitu ketidakcukupan asupan makanan dan infeksi penyakit cenderung menciptakan “lingkaran setan”. Hal ini menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi terutama di negaranegara berkembang. Ketika anak tidak cukup makan, pertahanan sistem kekebalan tubuhnya akan menurun, sehingga mengakibatkan kejadian, tingkat keparahan dan lamanya infeksi penyakit lebih besar. Infeksi penyakit akan mempercepat hilangnya zat-zat gizi dan menurunkan selera makan sehingga anak-anak yang sakit cenderung tidak makan dengan baik, dan siklus ini akan terus berlanjut. Tiga faktor yang mendasari penyebab asupan makanan yang tidak cukup dan infeksi penyakit adalah kurangnya akses terhadap pangan dalam rumah tangga; pelayanan kesehatan yang tidak memadai dan lingkungan tidak sehat; dan perawatan anak yang tidak memadai. Ketahanan pangan rumah tangga tergantung pada akses terhadap makanan (meliputi keuangan, fisik dan sosial) yang berbeda dari ketersediaannya. Misalnya, mungkin terdapat makanan yang berlimpah di pasar, tetapi keluarga miskin yang tidak mampu membelinya menjadi tidak tahan pangan. Dalam hal kesehatan lingkungan, kurangnya akses terhadap pasokan air bersih dan sanitasi yang layak serta penanganan dan kondisi makanan yang tidak higienis di dalam dan sekitar rumah berdampak pada penyebaran infeksi penyakit. Kenyataan di lapangan juga menunjukkan bahwa banyak orang yang tidak memiliki akses terhadap perawatan kesehatan dan juga terhambat dalam pencarian perawatan kesehatan yang tepat waktu dan adanya retribusi untuk pelayanan kesehatan. Beberapa perilaku perawatan yang mempengaruhi gizi dan kesehatan anak antara lain praktek pemberian makan, praktek perlindungan kesehatan anak, dukungan dan stimulasi kognitif untuk anak-anak. Kurangnya pemberdayaan keluarga dan kurangnya pemanfaatan sumber daya masyarakat berkaitan dengan berbagai faktor langsung maupun tidak langsung. Kurangnya pemberdayaan wanita dan keluarga serta kurangnya pemanfaatan sumber daya masyarakat terkait dengan meningkatnya pengangguran, inflasi dan kemiskinan. Keadaan tersebut mengakibatkan munculnya masalah gizi akibat kemiskinan dan ketahanan pangan keluarga yang tidak memadai. Sebenarnya terdapat keluarga miskin juga mendapat gizi yang cukup, dan justru kurang gizi banyak ditemukan dalam keluarga yang lebih baik. Penjelasannya terletak pada pemahaman tentang pengelolaan sumberdaya yang diperlukan untuk mendapatkan status gizi yang baik dan faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan keluarga untuk mengakses dan mengontrol sumberdaya tersebut.
13 Dampak jangka panjang: Ukuran tubuh dewasa, kemampuan intelektual, produktivitas ekonomi, kemampuan reproduksi, penyakit metabolik dan kardiovaskular
Dampak jangka pendek: Kematian, kesakitan, kecacatan
KURANG GIZI
Ketidakcukupan asupan makanan
Kurangnya akses pangan dalam rumah tangga
Penyakit infeksi
Praktek perawatan anak tidak memadai
Lingkungan rumah tangga tidak sehat dan kurangnya pelayanan kesehatan
Kemiskinan pendapatan, kurangnya pemberdayaan wanita dan keluarga, kurangnya pengetahuan dan sikap diskriminatif yang membatasi akses rumah tangga terhadap sumber daya
Kurangnya sumberdaya: keuangan, manusia, fisik, sosial, dan hayati
Keadaan sosial, ekonomi dan politik
Gambar 3 Penyebab kurang gizi (UNICEF 1998, Black et al. 2008) Kerangka konseptual UNICEF menjelaskan akar dan pokok masalah kurang gizi meliputi keadaan ekonomi dan sosiopolitik. Faktor-faktor politik, hukum dan budaya di tingkat nasional maupun daerah dapat menghambat upaya terbaik rumahtangga mencapai gizi yang baik untuk semua anggotanya. Hal ini termasuk sejauh mana hak-hak wanita dan remaja putri dilindungi oleh hukum dan adat; sistem politik dan ekonomi yang menentukan bagaimana pendapatan dan aset didistribusikan; dan ideologi dan kebijakan yang mengatur sektor sosial. Harapan untuk memerangi masalah gizi masih rendah. World Bank dan UNICEF (2003) mengungkapkan bahwa masalah gizi mengalami perbaikan yang lambat di beberapa daerah, bahkan cenderung stagnasi di daerah lainnya. Beberapa
14 hal yang menyebabkan hal tersebut terjadi adalah pertama, masalah gizi masih dikesampingkan dalam agenda pemberantasan kemiskinan meskipun berpotensi untuk meningkatkan kesehatan, perkembangan mental dan produktivitas. Kedua, para ahli gizi menyetujui bahwa intervensi merupakan kunci dan faktor keberhasilan untuk implementasinya, tetapi hal ini tidak dicerminkan dalam tindakannya. Ketiga, beberapa program berskala besar kurang dimonitor dan dievaluasi dengan baik. Keempat adalah ketidakcukupan kapasitas untuk mengatasi masalah gizi merupakan faktor utama yang menghambat kemajuan penurunan kemiskinan. Terakhir, anggaran per kapita untuk program gizi umumnya rendah dan targetnya tidak tepat. Inilah yang mengakibatkan Millenium Developmnet Goals (MDGs) tidak dapat dicapai tanpa kemajuan yang signifikan dalam menurunkan angka penderita masalah gizi. Asupan Gizi dan ASI Eksklusif Kikafunda et al. (1998) menyebutkan bahwa salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kejadian stunting anak <30 bulan di Uganda adalah lamanya menyusui (18-24 bulan). Usia penyapihan atau durasi menyusui sangat berpengaruh terhadap stunting (P<0.0001), anak-anak yang disusui selama periode 18-24 bulan mengalami kejadian stunting lebih besar baik di pedesaan (P=0.045) maupun di perkotaan (P=0.003). Risiko stunting lebih rendah pada anak-anak yang disusui sampai 18 bulan dibandingkan anak-anak yang disusui hanya pada awal masa bayi. Kelanjutan menyusui dari 18 bulan sampai 24 bulan meningkatkan risiko stunting sampai 7 kali. Hal tersebut kemungkinan terjadi karena ketidakcukupan ASI dan kurangnya pemberian makan kepada anak-anak. Kelanjutan menyusui sampai lebih dari 24 bulan menurunkan risiko stunting, hal ini kemungkinan dikarenakan usia anak sudah cukup besar untuk mengkonsumsi makanan keluarga secara normal. Selain itu, faktor yang berpengaruh terhadap kejadian stunting adalah konsumsi pangan dengan densitas energi yang rendah (<350 kcal/100 gram berat kering). Anak-anak yang mengkonsumsi makanan dengan densitas energi yang rendah lebih banyak (P=0.031) mengalami kejadian stunting. Penelitian yang dilakukan oleh Theron et al. (2007) di Afrika Selatan terhadap anak-anak usia 12-24 bulan menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara rata-rata asupan energi kelompok anak stunting dan tidak stunting baik di daerah perkotaan maupun di pedesaan (P > 0.05), begitupula dengan ratarata asupan proteinnya (P > 0.05). Anak-anak stunting di daerah perkotaan memiliki cukup rata-rata asupan energi dari makanan pendamping, sedikit lebih tinggi dari RDA (Recommended Dietary Allowance) (5460 kJ/hari). Anak-anak stunting di pedesaan dan anak-anak tidak stunting di perkotaan dan pedesaan memiliki ratarata asupan energi lebih rendah daripada RDA. Adanya penambahan ASI menjadikan rata-rata asupan energi semua kelompok meningkat melebihi RDA. Asupan protein total, protein nabati dan protein hewani pada anak-anak stunting dan tidak stunting di perkotaan dan pedesaan sudah cukup, bahkan melebihi RDA (16 gram/hari). Makanan pertama dan utama bagi bayi adalah ASI (Air Susu Ibu), mengandung semua zat gizi yang dibutuhkan bayi. ASI merupakan makanan yang sangat mudah dan cepat karena tidak perlu persiapan apapun saat pemberian kepada bayi. Pemberian ASI ekslusif adalah proses memberikan ASI saja tanpa tambahan cairan lainnya kepada bayi setidaknya 4 bulan atau sampai 6 bulan. Bayi yang
15 diberikan ASI eksklusif selama 6 bulan penuh memiliki risiko lebih kecil terkena penyakit pneumonia dibandingkan bayi yang diberi ASI kurang dari 6 bulan (Chantry et al. 2006). Prevalensi ISPA pada anak usia 6-23 bulan 1.84 kali lebih banyak pada anak dengan riwayat pemberian ASI tidak eksklusif daripada anak yang diberi ASI eksklusif (Utomo 2009). Praktek pemberian ASI eksklusif juga sudah diatur dalam Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan pasal 128, yaitu setiap anak berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama 6 bulan. Praktek pemberian prelactal feeding merupakan faktor yang berhubungan dengan gangguan pertumbuhan (Berek et al. 2007). Di Guatemala, bayi yang diberi infus herbal sederhana, bubur encer atau minuman manis (lebih dikenal aguitas) terbukti 1.8 kali berisiko stunted dan 2 kali berisiko diare (Doak et al. 2013). Penelitian di Ethopia menyebutkan bahwa konsentrasi seng dan kalsium dalam ASI serta kualitas dan kuantitas pemberian MP-ASI merupakan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian stunting pada anak usia 6-11 bulan (Umeta et al. 2003). Sedgh et al. (2000) menyatakan bahwa konsumsi zat gizi, jenis kelamin, status gizi, status pemberian ASI, status sosial ekonomi berkorelasi positif dengan kejadian stunting pada anak usia 6-72 bulan. Derajat Kesehatan Balita Persentase BBLR (Berat Badan Lahir Rendah) Berat bayi lahir merupakan prediktor kuat pertumbuhan bayi dan siklus hidup selanjutnya. Berat bayi normal ketika dilahirkan adalah ≥ 2500 kg. Apabila berat bayi yang dilahirkan tidak mencapai 2500 kg, maka dikategorikan sebagai berat badan lahir rendah (BBLR) atau low birthweight. Bayi BBLR memiliki 20 kali kemungkinan untuk meninggal dunia daripada bayi normal. BBLR merupakan hasil dari preterm birth (<37 minggu usia kehamilan) dan akibat hambatan pertumbuhan janin (WHO dan UNICEF 2003). Penelitian yang dilakukan Aisyah et al. (2010) melaporkan bahwa faktor-faktor ibu yang menjadi penyebab BBLR adalah anemia saat hamil, terpapar asap rokok saat hamil, faktor umur ibu, kurang gizi saat hamil, penyakit yang diderita ibu saat hamil, jarak kelahiran yang terlalu dekat dan paritas tinggi. Yongky et al. (2009) menemukan bahwa faktor yang paling besar pengaruhnya terhadap BBLR adalah usia kehamilan ibu dan pertambahan berat badan kehamilan. Kejadian stunting pada bayi dipengaruhi oleh status kelahirannya. Kusharisupeni (2002) menyatakan bahwa semua kelompok status kelahiran (normal, prematur, intra uterine growth retardation - low Ponderal index atau IUGR LPI dan intra uterine growth retardation - adequate Ponderal index atau IUGR API) berkontribusi pada terjadinya stunting pada bayi usia 12 bulan, kontribusi terbesar berasal dari kelompok IUGR API dan terkecil dari kelompok normal. Studi di Adelaide, Australia menunjukkan bahwa bayi-bayi BBLR yang menerima ASI yang difortifikasi HMF (human milk fortifier yang mengandung 1.4 gram protein/100 mL) terbukti bertambah berat badannya dan signifikan menurunkan proporsi bayi yang panjang badannya berada di persentil ke-10. Hal ini menunjukkan bahwa asupan protein yang lebih tinggi berdampak pada rendahnya kegagalan pertumbuhan pada bayi BBLR yang diberi ASI (Miller et al. 2012).
16 Persentase imunisasi tidak lengkap Imunisasi adalah pemberian kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit dengan memasukkan sesuatu ke dalam tubuh agar tubuh tahan terhadap penyakit yang sedang mewabah atau berbahaya bagi seseorang. Tujuan dari diberikannya imunisasi adalah untuk mengurangi angka penderita suatu penyakit yang sangat membahayakan kesehatan bahkan bisa menyebabkan kematian pada penderitanya. Beberapa penyakit yang dapat dihindari dengan imunisasi yaitu seperti hepatitis B, campak, polio, difteri, tetanus, batuk rejan, gondongan, cacar air, tbc, dan lain sebagainya (CPDD 2008). Imunisasi dasar yang wajib diberikan kepada anak-anak adalah BCG, DPT, Polio, Campak, Hepatitis B. Imunisasi dasar tersebut diberikan untuk mencegah penyakit TBC, difteria, tetanus, batuk rejan (pertusis), polio, campak (measles, morbili) dan hepatitis B (Suhandayani 2007). Waktu pemberiannya pun sudah ditetapkan, secara bertahap. Misalnya, BCG diberikan pada anak usia 2 bulan, DPT Polio, usia 2, 3, 4 bulan dan sebagainya. Hayati (2013) menyebutkan bahwa tidak ada hubungan antara stunting (anak 0-23 bulan) dengan status imunisasi Hepatitis B-0 (biasanya diberikan sesaat setelah bayi lahir atau kurang dari 7 hari setelah bayi lahir yang disuntikkan di paha bayi) . Terdapat perbaikan cakupan imunisasi lengkap pada tahun 2013 sebesar 59.2% dari 41.6% (2007) di Indonesia. Akan tetapi masih ada 32.1% anak yang diimunisasi tapi tidak lengkap dan 8.7% yang tidak pernah diimunisasi. Alasannya antara lain takut panas, sering sakit, keluarga tidak mengizinkan, tempat imunisasi jauh, tidak mengetahui tempat imunisasi dan alasan kesibukan (Balitbangkes 2013). Prevalensi penyakit infeksi Masalah gizi pada anak balita disebabkan oleh dua faktor utama yaitu asupan gizi yang rendah dan penyakit infeksi. Penyakit yang sering terjadi antara lain diare, kecacingan, dan infeksi saluran pernapasan. Apabila anak menderita infeksi saluran pencernaan, penyerapan zat-zat gizi akan terganggu dan mengakibatkan terjadinya kurang gizi. Hal ini menyebabkan nafsu makan menurun yang pada akhirnya akan mengakibatkan penurunan berat badan pada anak. Apabila terjadi dalam kurun waktu yang lama dapat menyebabkan kekurangan gizi pada anak yang berakibat pada gangguan pertumbuhan dan perkembangan karena mudah terkena penyakit (Supariasa 2002). Masalah gizi dapat menyebabkan anak-anak rawan terkena diare bahkan kejadian diare yang berulang (Gambar 4). Gizi kurang dan diare sering dihubungkan satu sama lain, walaupun diakui bahwa sulit menentukan kelainan yang mana terjadi lebih dulu, gizi kurang, diare atau sebaliknya. Selain diare, salah satu penyakit yang sering menyerang anak-anak adalah infeksi saluran pernapasan atas (ISPA). Penyakit ini banyak terjadi baik di negara berkembang maupun negara maju. Penyakit saluran pernapasan yang terjadi pada anak-anak dapat mengakibatkan kecacatan sampai masa dewasa dengan ditemukannya hubungannya dengan kejadian Chronic Obstructive Pulmonary Disease. ISPA dapat ditularkan melalui air ludah, darah, bersin, udara pernapasan yang mengandung kuman yang terhirup oleh orang sehat melalui saluran pernapasannya (Smith 2010).
17
Gambar 4 Hubungan timbal balik antara gizi kurang dan diare Infeksi TB Paru jauh lebih berat pada anak-anak yang menderita kekurangan gizi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa insiden komplikasi TB Paru yang berat dan progresif ternyata menurun dengan adanya perbaikan gizi anak. Apabila penderita gizi buruk tidak menunjukkan perbaikan setelah diberi diet yang cukup biasanya ditemukan infeksi TB Paru dan sesudah diadakan terapi maka gizi anak langsung membaik. Apabila balita mengalami infeksi, maka akan terjadi suatu keadaan undernutrisi selama 2–3 minggu berikutnya. Dengan demikian keadaan gizi yang buruk akan mempermudah penyebaran basil TBC dalam tubuh sehingga terjadi TBC miliaris. Karakteristik Ibu Tinggi badan ibu Tinggi badan orang tua merupakan salah satu faktor dalam melihat tinggi badan anak. Penelitian longitudinal tentang pengaruh genetik terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak laki-laki dan anak perempuan yang hidup dalam lingkungan keluarga dengan status sosial ekonomi menengah dan latar belakang kultur Ethiopian menunjukkan hasil adanya variasi pertumbuhan yang diwarisi dari orang tuanya dalam pola pertumbuhan seorang anak. Variasi tersebut mengindikasikan suatu major genetic component dalam penentuan ukuran dan kecepatan pertumbuhan seseorang (Bock 1986 diacu dalam Bogin 1999). Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Krebs et al. (2012) bahwa tinggi badan ibu dan lamanya pendidikan ibu berhubungan positif dengan laju pertumbuhan linier (P= 0.003 dan 0.0006). Dua faktor ibu utama yang mempengaruhi status gizi anak didalam kandungan adalah tinggi badan ibu dan berat badan ibu pra hamil terhadap tinggi badannya sesuai standar. Kedua faktor ibu ini, ditambah dengan pertambahan berat badan yang rendah selama kehamilannya mempunyai peran sekitar 40% terhadap keterlambatan pertumbuhan janin. Sementara itu gambaran status gizi pada wanita dewasa di Indonesia menunjukkan cukup tingginya potensi risiko terjadinya hambatan pertumbuhan janin, antara lain tinggi badan rata-rata, kurang energi kronis (KEK), dan anemia. Riskesdas 2007 menunjukkan sebesar 36.1% wanita Indonesia mempunyai tinggi badan di bawah 150 cm, dan 35.1% pada tahun 2010. Prevalensi Wanita Usia Subur yang berisiko mengalami KEK berdasarkan indikator Lingkar Lengan Atas (LiLA) <23.5 cm adalah sebesar
18 13.6%. Prevalensi anemia pada ibu hamil dan kelompok WUS lainnya masih cukup dominan pada saat ini. Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2004 prevalensi anemia pada ibu hamil adalah sebesar 50.5%; sedangkan pada ibu nifas sebesar 45.1%, pada usia dewasa (19-45 tahun) sebesar 39.5% dan pada remaja putri 10-18 tahun sebesar 57.1% (Atmarita 2005). Ibu tunggal Data sensus di Amerika serikat tahun 2007 menunjukkan bahwa dalam semua kelompok ras/etnik, anak-anak dalam keluarga orangtua tunggal lebih miskin dibandingkan dengan anak-anak yang tinggal dalam rumahtangga orangtua yang menikah (Moore et al. 2009). Penelitian di Kanada tahun 2003 melaporkan bahwa ibu tunggal yang berpenghasilan rendah akan membahayakan asupan gizi mereka sendiri untuk menjaga kecukupan diet anak-anak mereka. Asupan makanan dan kecukupan gizi ibu lebih rendah dibandingkan dengan asupan anak-anaknya secara keseluruhan selama satu bulan (Mclntyre et al. 2003). Perempuan memiliki peran khusus untuk bermain dalam menjaga ketahanan pangan rumah tangga. Di sebagian besar masyarakat, mereka bertanggung jawab untuk menyiapkan, memasak, melestarikan dan menyimpan makanan keluarga dan di banyak masyarakat mereka memiliki tanggung jawab utama memproduksi dan membelinya. Untuk keamanan pangan rumah tangga untuk menerjemahkan ke dalam gizi yang baik, ini beban yang begitu besar dari pekerjaan harus didistribusikan atau dikurangi sehingga kebutuhan lain dari anak-anak, juga terkait dengan gizi, dapat dipenuhi (UNICEF 1998) Akses Ekonomi Masyarakat Tingkat kemiskinan Kemiskinan merupakan masalah mendasar yang menjadi perhatian semua negara. Pada kerangka UNICEF (1990), kemiskinan dianggap sebagai akar penyebab terjadinya masalah gizi buruk. Hal ini menunjukkan bahwa apabila jumlah penduduk miskin dalam suatu wilayah meningkat maka peluang terjadinya kasus gizi buruk akan semakin tinggi. Untuk itu, kemiskinan merupakan sebuah indikator untuk kemajuan suatu bangsa. Masalah gizi berkaitan dengan masalah kemiskinan merupakan ”lingkaran setan” yang menjadi faktor penghambat bagi pembangunan negara. Situasinya dapat digambarkan seperti berikut. Kemiskinan menyebabkan makanan tidak seimbang sehingga menjadi kurang gizi yang pada akhirnya akan sakit. Keadaan tersebut menyebabkan pertumbuhan badan terhambat dan proses belajar menjadi lambat yang mengakibatkan individu dewasa menjadi kecil dan produktivitas kerjanya rendah. Rendahnya produktivitas berdampak pada kemampuan bekerja yang rendah sehingga akan menimbulkan pengangguran. Pada akhirnya kondisi tersebut akan menyebabkan kemiskinan kembali, dan akan seperti itu seterusnya (Suhardjo 1989). Kemiskinan berhubungan dengan faktor kurang gizi yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap perkembangan anak. Kemiskinan menyebabkan berkurangnya kesempatan dan kemampuan orangtua untuk merangsang perkembangan anak. Anak-anak dalam keluarga miskin yang paling rawan terhadap kekurangan gizi adalah anak yang paling kecil (Satoto 1990). Pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh kembang anak, karena orangtua dapat menyediakan semua kebutuhan anak baik yang primer maupun
19 sekunder (Soetjiningsih 1995). Besar pendapatan keluarga dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan suatu keluarga. PDRB per kapita Selain tingkat kemiskinan, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan indikator kemajuan ekonomi suatu wilayah yang berpengaruh terhadap kejadian gizi buruk di wilayah tersebut. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) didefinisikan sebagai jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu wilayah, atau merupakan jumlah seluruh nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi di suatu wilayah. PDRB per kapita diperoleh jika PDRB dibagi dengan jumlah penduduk pertengahan tahun yang tinggal di wilayah tertentu. PDRB yang telah dijelaskan tersebut dapat disajikan dalam dua bentuk, yaitu atas dasar harga berlaku dan atas dasar harga konstan pada suatu tahun dasar. PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada setiap tahun, sedang PDRB atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada tahun tertentu sebagai dasar, dimana dalam penghitungan ini digunakan tahun 2000 (anonim 2006). Menurut BPS RI (2004) dalam Wulansari (2006), PDRB atas dasar harga berlaku (nominal) menunjukkan kemampuan sumberdaya ekonomi yang dihasilkan oleh suatu daerah. Nilai PDRB yang besar menunjukkan kemampuan sumberdaya ekonomi yang besar begitu pun sebaliknya. PDRB harga konstan (riil) dapat digunakan untuk menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan atau setiap sektor dari tahun ke tahun. PDRB atas dasar harga berlaku digunakan untuk melihat pergeseran dan struktur ekonomi, sedang harga konstan digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun. Jadi, PDRB merupakan indikator untuk mengatur tingkat keberhasilan pemerintah dalam memanfaatkan sumberdaya yang ada. Selain itu, PDRB juga dapat digunakan sebagai perencanaan dan pengambilan keputusan. Akses Sosial Masyarakat Indeks Pembangunan Manusia UNDP (United Nation Development Programme) mendefenisikan pembangunan manusia sebagai suatu proses untuk memperluas pilihan-pilihan bagi penduduk. Dalam konsep tersebut penduduk ditempatkan sebagai tujuan akhir (the ultimated end) sedangkan upaya pembangunan dipandang sebagai sarana (principal means) untuk mencapai tujuan itu. Penilaian keberhasilan pembangunan manusia dapat dilihat dari indeks pembangunan manusia (IPM) yang dicerminkan melalui tiga indikator utama yaitu umur panjang, pengetahuan dan daya beli. Umur panjang yang dikuantifikasikan dalam umur harapan hidup saat lahir atau sering disebut Angka Harapan Hidup/AHH (eo). Pengetahuan dikuantifikasikan dalam kemampuan baca tulis/ angka melek huruf dan rata-rata lama bersekolah. Daya beli dikuantifikasikan terhadap kemampuan mengakses sumberdaya yang dibutuhkan untuk mencapai standar hidup yang layak. Nilai IPM suatu negara atau wilayah menunjukkan seberapa jauh negara atau wilayah itu telah mencapai sasaran yang ditentukan yaitu angka harapan hidup 85 tahun, pendidikan dasar bagi semua lapisan masyarakat (tanpa kecuali), dan tingkat pengeluaran dan konsumsi yang telah mencapai standar hidup yang layak.
20 Semakin dekat nilai IPM suatu wilayah terhadap angka 100, semakin dekat jalan yang harus ditempuh untuk mencapai sasaran itu. Indeks Pembangunan Gender Istilah Gender digunakan untuk menjelaskan perbedaan peran perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan. Gender adalah pembedaan peran, kedudukan, tanggung jawab, dan pembagian kerja antara lakilaki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan sifat perempuan dan laki-laki yang dianggap pantas menurut norma, adat istiadat, kepercayaan atau kebiasaan masyarakat. Terwujudnya Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki dalam memperoleh akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan. United Nations Development Programs (UNDP) melalui Laporan Pembangunan Manusia Tahun 1995 memperkenalkan ukuran pembangunan manusia yang bersifat gabungan (komposit) dari empat indikator, yang menyoroti tentang status perempuan khususnya mengukur prestasi dalam kemampuan dasar. Ukuran komposit yang dimaksud adalah Indeks Pembangunan Gender (IPG). IPG mengukur hal yang sama seperti IPM hanya komponen yang digunakan dibedakan menurut jenis kelamin. Melalui IPG perbedaan pencapaian yang menggambarkan kesenjangan pencapaian antara laki-laki dan perempuan dapat terjelaskan (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak & Badan Pusat Statistik 2012) Akses Kesehatan Masyarakat Rasio jumlah puskesmas terhadap jumlah penduduk Pelayanan kesehatan adalah keterjangkauan anak dan keluarga terhadap upaya pencegahan penyakit dan pemeliharaan kesehatan seperti imunisasi, pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, penimbangan anak, penyuluhan kesehatan dan gizi, serta sarana kesehatan yang baik seperti posyandu, puskesmas, praktek bidan, dokter dan rumah sakit. Kendala keluarga dan masyarakat dalam memanfaatkan secara langsung pelayanan kesehatan yang tersedia adalah jarak pelayanan kesehata jauh, tidak mampu membayar, kurang pendidikan dan pengetahuan. Hal ini berdampak terhadap status gizi anak (Sunarya 2005) Menurut Arimond dan Ruel (2004), keluarga dengan pendapatan yang memadai dapat memenuhi kebutuhan asupan makanannya, juga mempunyai akses yang baik terhadap pelayanan kesehatan serta memiliki lingkungan yang sehat dan dapat terhindar dari gizi kurang. Andersen (2005) melaporkan bahwa kondisi sanitasi lingkungan di negara-negara berkembang berada pada kategori buruk. Kondisi sanitasi yang buruk mempertinggi kejadian penyakit infeksi. Keadaan ini menyebabkan tingginya prevalensi gizi kurang. Perilaku hidup yang tidak sehat memicu terjadinya sanitasi lingkungan yang buruk dan memudahkan anak mengalami penyakit infeksi. Rasio jumlah perawat, bidan dan tenaga gizi terhadap jumlah penduduk Pemanfaatan pelayanan kesehatan tidak terlepas dari usaha petugas kesehatan untuk mendorong masyarakat dalam rangka mensosialisasikan kegiatankegiatan yang ada di pelayanan kesehatan baik usaha promosi kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan maupun pemulihan kesehatan. Pemeliharaan kesehatan individu, keluarga dan akhirnya masyarakat sangat memerlukan
21 partisipasi masyarakat terhadap pentingnya memelihara kesehatan terutama kesehatan keluarga (Notoatmodjo 1997). Pelayanan kesehatan dapat dikembangkan melalui peran serta masyarakat sebagai kader kesehatan masyarakat. Kader yang berperan untuk konseling dalam masyarakat dengan memberikan informasi berkaitan dengan masalah status gizi anak balita yang tinggal di wilayah perkotaan dan pedesaaan. Pelatihan kader untuk pelayanan kesehatan sebagai upaya pemerintah meningkatkan partisipasi dan kemandirian masyarakat dalam meningkatkan status gizi masyarakat itu sendiri terutama anak-anak. Tingkat pemanfaatan posyandu Pos pelayanan terpadu atau yang lebih dikenal dengan sebutan posyandu, yaitu merupakan wahana kegiatan keterpaduan KB-kesehatan di tingkat kelurahan atau desa. Posyandu merupakan jenis upaya kesehatan bersumberdaya masyarakat yang paling memasyarakat. Kodyat (1998) menjelaskan bahwa pelayanan gizi di posyandu diupayakan dan dikelola oleh lembaga swadaya masyarakat setempat dan berakar pada masyarakat pedesaan terutama oleh organisasi wanita termasuk PKK. Dengan semakin meluasnya Posyandu di hampir semua desa, maka pelayanan gizi di pedesaan makin dekat dan makin terjangkau oleh keluarga. Keterpaduan pelayanan kesehatan dasar khususnya untuk ibu dan anak, dapat menjadikan posyandu sebagai ujung tombak dalam penanggulangan masalah kurang gizi Posyandu melaksanakan lima program kesehatan dasar yakni, keluarga berencana, kesehatan ibu dan anak, perbaikan gizi, imunisasi, dan penanggulangan diare untuk para ibu di tingkat masyarakat. Tujuan posyandu yang menjadi pedoman sampai saat ini adalah: 1) mempercepat penurunan angka kematian bayi dan balita; 2) mempercepat penerimaan norma keluarga kecil bahagia dan sejahtera; 3) masyarakat dapat mengembangkan kegiatan kesehatan dan kegiatan lain yang menunjang, sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya, sedangkan sasaran dari posyandu adalah bayi, anak balita, ibu hamil, ibu menyusui dan pasangan usia subur (Depkes 2008). Penyelenggaraan dilakukan dengan “pola lima meja” antara lain: meja 1 (pendaftaran), meja 2 (penimbangan bayi dan anak balita), meja 3 (pengisian KMS), meja 4 (peyuluhan perorangan), meja 5 (pelayanan tenaga profesional) meliputi pelayanan KIA, KB, imunisasi, dan pengobatan, serta pelayanan disesuaikan dengan kebutuhan setempat. Salah satu ukuran keberhasilan kinerja suatu posyandu adalah tingkat partisipasi masyarakat (kehadiran ibu dan anaknya) yang >50% dan kasus kurang gizi yang semakin berkurang. Hasil penelitian Tuti (1989) terkait faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakhadiran ibu balita dalam penggunaan pelayanan kesehatan khususnya posyandu di kecamatan Bogor Barat membuktikan bahwa persepsi ibu tentang perilaku kader merupakan faktor yang menyebabkan ibu untuk datang menimbangkan anaknya ke posyandu. Pada penelitian yang lain oleh Thaha (1990) tentang hubungan pengetahuan, sikap dengan praktek penggunaan posyandu oleh balita di Kotamadya Ujung Pandang didapatkan hasil bahwa perilaku petugas kesehatan mampu memberikan perubahan dan mempengaruhi perilaku masyarakat untuk menimbangkan anak ke posyandu. Persepsi ibu terhadap kelengkapan posyandu mempunyai hubungan yang bermakna (Hutagalung 1992) yang berarti semakin lengkap kelengkapan posyandu maka semakin sering ibu menimbangkan anaknya ke posyandu demikian juga untuk sarana pelayanan kesehatan yang lain.
22 Akses air bersih Air bersih dan sehat adalah air yang tidak mengandung kotoran dan kuman, sehingga aman untuk digunakan dan tidak menimbulkan gangguan kesehatan. Air bersih dan sehat adalah air yang memenuhi syarat-syarat kesehatan. Menurut perhitungan badan kesehatan dunia (WHO), setiap orang membutuhkan air bersih sekitar 60-120 liter per hari untuk berbagai keperluan. Air yang digunakan harus memenuhi syarat kesehatan seperti syarat fisik, syarat kimia, dan syarat bakteriologis (Latifah et al. 2002). Cakupan pelayanan kesehatan Pelayanan kesehatan dasar (Primary Health Care/PHC) dicetuskan pada Konferensi Alma Ata (WHO 1978) yang menyatakan bahwa: “PHC adalah upaya kesehatan esensial yang secara universal mudah dijangkau oleh perorangan dan keluarga dalam masyarakat, dengan cara yang dapat diterima oleh mereka, dengan peran serta penuh dan dengan biaya yang dapat ditanggung oleh masyarakat dan negara yang bersangkutan. Upaya kesehatan esensial tersebut sekurang-kurangnya mencakup upaya perbaikan gizi, penyediaan air bersih, dan sanitasi dasar, kesehatan ibu dan anak termasuk keluarga berencana, imunisasi terhadap penyakit infeksi utama, pencegahan dan pengendalian penyakit endemik setempat, pendidikan tentang masalah kesehatan dan cara-cara mencegah atau mengatasinya, dan pengobatan yang tepat terhadap penyakit umum serta cedera”. Pelayanan Kesehatan Dasar atau Primary Health Care di Indonesia dilakukan melalui Puskesmas, Posyandu, Poskesdes dan bidan desa yang kesemuanya mengkomunikasikan gagasan, nilai, dan perilaku yang menguntungkan kesehatan selain memberikan perawatan kuratif kepada penduduk yang umumnya lapisan bawah, maupun penduduk mayoritas pedesaan. Akses ke pelayanan kesehatan merupakan salah satu faktor yang menentukan tingkat partisipasi masyarakat ke pelayanan kesehatan. Perilaku masyarakat sehubungan dengan pelayanan kesehatan dimana masyarakat yang menderita sakit tidak akan bertindak terhadap dirinya karena merasa dirinya tidak sakit dan masih bisa melakukan aktivitas sehari-hari dan beranggapan bahwa gejala penyakitnya akan hilang walaupun tidak diobati. Berbagai alasan dikemukakan mengapa masyarakat tidak mau memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan seperti jarak fasilitas kesehatan yang jauh, sikap petugas yang kurang simpati dan biaya pengobatan yang mahal (Orisinal 2003).
KERANGKA PEMIKIRAN Gizi yang baik sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan anakanak. Periode lima tahun pertama kehidupan atau masa balita merupakan masa yang rentan terhadap berbagai masalah gizi dan kesehatan sehingga diperlukan perhatian yang lebih baik dari keluarga, masyarakat maupun pemerintah. Kekurangan gizi pada masa balita akan berpengaruh pada masa berikutnya, yang selanjutnya berdampak pada produktivitas kerja yang buruk pada masa dewasa. Lebih jauh lagi, kurang gizi dapat menyebabkan penurunan kualitas sumber daya manusia. Rendahnya kualitas sumber daya manusia mengakibatkan terhambatnya pembangunan nasional terutama di bidang gizi yang ditandai dengan tidak tercapainya Millenium Developments Goals. Kurang gizi, khususnya stunting merupakan hasil akhir proses kekurangan gizi yang kronis dan atau berulang sehingga diperlukan pemahaman yang komprehensif dalam melihat faktor-faktor penyebab masalah gizi tersebut. UNICEF (1990) telah mengkaji faktor-faktor penyebab masalah gizi secara umum. Penyebab timbulnya masalah gizi terdiri dari beberapa tahapan dimulai dari penyebab langsung, peyebab tidak langsung, akar masalah dan pokok masalah. Secara langsung, kurang gizi disebabkan oleh kuantitas dan kualitas konsumsi pangan dan infeksi penyakit seperti infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), diare, tuberculosis (TB) dan malaria. Penyakit infeksi pada anak-anak yang tinggal di wilayah miskin di negara-negara berkembang berdampak pada terhambatnya pertumbuhan linier dengan mempengaruhi status gizi anak. Penyakit infeksi dapat menurunkan asupan makanan, menghambat penyerapan zat gizi, dan kemungkinan menghambat transportasi zat gizi ke jaringan yang dituju (Stephensen 1999). Pemantauan pertumbuhan balita dapat dilakukan di posyandu sebagai salah satu sarana kesehatan untuk masyarakat. Adanya kejadian berat badan lahir rendah (BBLR) dan banyaknya balita yang tidak mendapat imunisasi lengkap merupakan salah satu indikator rendahnya kelengkapan dan prasarana posyandu sehingga mengakibatkan buruknya kinerja posyandu. Pertumbuhan fisik balita dipengaruhi oleh pola pengasuhan oleh ibu yang dicerminkan dalam perilaku sanitasi (akses air bersih). Status gizi anak tidak lepas dari pengaruh orang tua secara biologis. Tinggi badan dan status gizi ibu sebelum kehamilan merupakan dua faktor yang berperan dalam pertumbuhan janin. Dua faktor tersebut ditambah dengan pertambahan berat badan ibu saat kehamilan berkontribusi sekitar 40% terhadap keterlambatan pertumbuhan janin (Irawati et al. 2012). UNICEF (2011) menyatakan bahwa gender sangat berpengaruh pada daya tahan, kesehatan dan gizi anak. Bargaining position wanita dipengaruhi oleh dua hal. Pertama, wanita dapat mempengaruhi pengambilan keputusan dalam rumah tangga, yang secara tidak langsung dapat berpengaruh juga pada input sumber daya yang ditujukan untuk kebutuhan gizi dan kesehatan anak seperti pemberian makanan, perawatan prenatal dan kelahiran, perawatan kesehatan anak dan imunisasi). Kedua, kemampuan wanita untuk mengakses dan mengawasi penggunaan sumberdaya untuk kesehatannya sendiri, yang akan berdampak signifikan terhadap gizi dan kesehatan anak. Kuantitas dan kualitas pangan yang dikonsumsi oleh anak-anak ditentukan oleh keadaan sosial ekonomi keluarganya, antara lain pendidikan, kemiskinan dan
24 pendapatan daerah. Status pendidikan keluarga berpengaruh terhadap pemenuhan gizi yang menunjang pertumbuhan dan perkembangan anak. Semakin tinggi pendidikan maka pengetahuan mengenai sikap dan praktek gizi dan kesehatan anak akan semakin baik. Kemiskinan merupakan penyebab pokok atau akar masalah gizi yang diakibatkan oleh kemunduran ekonomi negara. Data dari Indonesia dan di negara lain menunjukkan bahwa adanya hubungan antara kurang gizi dengan kemiskinan. Proporsi anak yang gizi kurang dan gizi buruk berbanding terbalik dengan pendapatan. Makin kecil pendapatan penduduk, makin tinggi persentase anak yang kekurangan gizi; makin tinggi pendapatan, makin kecil persentasenya (Soekirman 2005). Selain tingkat kemiskinan, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita merupakan indikator kemajuan ekonomi suatu wilayah yang berpengaruh terhadap kejadian kurang gizi di wilayah tersebut. Struktur kerangka pemikiran diatas dapat dilihat pada Gambar 5. Akses ekonomi masyarakat
Anggaran program gizi & kesehatan
Akses sosial masyarakat
Akses kesehatan masyarakat
Asupan gizi dan ASI eksklusif
Karakteristik ibu
Derajat kesehatan
Gambar 5 Kerangka pemikiran penelitian Keterangan: = hubungan yang diteliti = hubungan yang tidak diteliti = variabel yang diteliti = variabel yang tidak diteliti
Disparitas Prevalensi Stunting
METODE Desain, Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan desain penelitian ecological study dengan menganalisis determinan masalah gizi stunting. Penelitian ini dilakukan dengan mengolah data sekunder dari berbagai instansi terkait. Pengolahan, analisis dan interpretasi data dilakukan pada bulan Juli 2013-April 2014 di Kampus IPB Darmaga Bogor, Jawa Barat. Jumlah dan Cara Pengumpulan Contoh Unit analisis data dalam penelitian ini adalah seluruh kabupaten/kota di Indonesia yang digunakan dalam Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. Data makro sosial ekonomi lainnya akan mengikuti banyaknya sampel yang digunakan dalam Riskesdas 2007 dengan tahun yang sama. Adapun jenis dan sumber data tahun 2007 yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Jenis data yang digunakan dan sumbernya No. Jenis Data Variabel Sumber 1 Prevalensi stunting 1. Disparitas/selisih prevalensi stunting balita di suatu kabupaten/kota terhadap batas Balitbangkes non public health problem untuk stunting (<20%) 2. Asupan gizi dan 1. Persentase penduduk dengan ASI eksklusif asupan energi per kapita di bawah rataan nasional 2. Persentase penduduk dengan Balitbangkes asupan protein per kapita di bawah rataan nasional 3. Persentase bayi tidak ASI eksklusif 3. Derajat kesehatan 1. Persentase bayi BBLR 2. Persentase imunisasi tidak lengkap 3. Persentase malaria Balitbangkes 4. Persentase TB paru 5. Persentase ISPA 6. Persentase diare 4. Karakteristik ibu 1. Persentase ibu dengan tinggi Balitbangkes, badan (TB) <150cm BPS. 2. Persentase ibu tunggal 5. Akses ekonomi 1. Tingkat kemiskinan BPS. masyarakat 2. PDRB per kapita 6. Akses sosial 1. Indeks Pembangunan Manusia BPS masyarakat 2. Indeks Pembangunan Gender
26 No. Jenis Data Variabel Sumber 7. Akses kesehatan 1. Rasio jumlah puskesmas Balitbangkes, masyarakat terhadap jumlah penduduk BPS. 2. Rasio jumlah perawat, tenaga bidan dan tenaga gizi terhadap jumlah penduduk 3. Tingkat pemanfaatan posyandu 4. Persentase rumah tangga dengan akses air bersih 5. Cakupan pelayanan kesehatan gratis Sampel Riskesdas 2007 di tingkat kabupaten/kota berasal dari 440 kabupaten/kota (dari jumlah keseluruhan sebanyak 456 kabupaten/kota yang tersebar di 33 provinsi di Indonesia). Setelah proses cleaning data diperoleh 352 kabupaten/kota dari total 438 kabupaten/kota dalam Riskesdas 2007 yang digunakan sebagai sampel dalam penelitian ini. Sisanya tidak disertakan sebagai sampel penelitian karena terdapat data dari kabupaten/kota tersebut yang tidak mendukung untuk proses analisis dalam penelitian ini antara lain data rasio jumlah puskesmas terhadap jumlah penduduk dan data rasio perawat, bidan, dan tenaga gizi terhadap jumlah penduduk (Gambar 6). 456 kab/kota (jumlah keseluruhan kabupaten/kota di Indonesia tahun 2007)
440 kab/kota (Sampel Riskesdas 2007)
438 kab/kota (2 kabupaten yang menjadi sampel Riskesdas tetapi tidak termasuk ke dalam sampel Susenas 2007 yaitu kabupaten Puncak Jaya dan Pegunungan Bintang)
352 kab/kota (86 kab/kota tidak memiliki data lengkap) Gambar 6 Cara penarikan sampel Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh dan terkumpul akan dianalisa secara deskriptif dan inferensia dengan menggunakan Microsoft excel 2007 for windows dan SPSS versi 16.0. Tahap pengolahan data terdiri atas pemilihan variabel untuk dianalisis, cleaning data, dan pengklasifikasian variabel berdasarkan interval kelas. Prevalensi stunting balita di suatu wilayah dikatakan suatu masalah kesehatan masyarakat yang serius jika nilainya lebih dari 20% (WHO 1995). Disparitas prevalensi stunting adalah selisih prevalensi stunting balita di suatu kabupaten/kota terhadap batas masalah
27 kesehatan masyarakat untuk stunting. Apabila nilainya negatif maka dianggap nol (tidak terjadi disparitas). Disparitas prevalensi stunting dikatakan tinggi jika >31.4%, sedang jika 15.7-31.4% dan rendah jika <15.7% (justifikasi peneliti). Gambaran asupan gizi dapat dilihat pada asupan energi dan protein per kapita karena kondisi terpenuhinya asupan energi dan protein dapat dijadikan indikator asupan gizi secara keseluruhan. Asupan energi dan protein per kapita diperoleh dari asupan energi dan protein rumah tangga dibagi dengan jumlah anggota keluarga. Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa rataan asupan energi dan protein per kapita di Indonesia berturut-turut adalah 1735 kkal/kap/hari dan 55 gram/kap/hari. Individu dengan asupan energi dan protein yang rendah adalah individu yang asupan energi dan proteinnya di bawah rata-rata nasional. Selanjutnya dihitung persentase penduduk yang asupan energi dan proteinnya di bawah rataan nasional. Selain itu, bayi yang tidak mendapat ASI eksklusif ditentukan berdasarkan lamanya pemberian ASI kurang dari 6 bulan. Selanjutnya dihitung persentasenya di setiap kabupaten/kota. Gambaran derajat kesehatan dapat dilihat dari prevalensi penyakit menular (malaria, ISPA, TB paru dan diare), persentase BBLR dan persentase imunisasi tidak lengkap. Kejadian malaria, ISPA, TB paru dan diare ditentukan berdasarkan pernah tidaknya didiagnosis menderita penyakit tersebut dalam 1 bulan terakhir oleh tenaga kesehatan. Kemudian dihitung persentase balita yang menderita penyakit menular setiap kabupaten/kota. Kejadian BBLR ditentukan jika bayi tersebut pada saat lahir memiliki berat badan kurang dari 2500 gram. Imunisasi lengkap terdiri dari imunisasi BCG 1 kali, polio 3 kali, DPT 3 kali, campak 1 kali dan hepatitis 3 kali. Imunisasi tidak lengkap ditentukan apabila tidak mendapat salah satu dari imunisasi tersebut. Karakteristik ibu dilihat dari persentase ibu dengan tinggi badan kurang dari 150 cm dan persentase ibu tunggal. Menurut Martorell dan Young (2012), ibu yang pendek (<150 cm), IMT rendah (<18.5 kg/m2) dan berusia muda (≤ 18 tahun) berisiko meningkatkan kejadian stunting. Nilai tersebut yang digunakan untuk menentukan tinggi badan ibu yang berisiko terhadap kejadian stunting. Ibu tunggal didefinisikan sebagai ibu rumah tangga yang berstatus cerai baik cerai hidup maupun cerai mati. Akses ekonomi masyarakat digambarkan dalam tingkat kemiskinan dan PDRB per kapita. PDRB/ kapita yang dipakai dalam penelitian ini adalah PDRB yang berasal dari sektor usaha: pertanian, industri pengolahan, listrik, gas, dan air bersih, bangunan (konstruksi), perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, dan jasa-jasa termasuk pelayanan pemerintah, kecuali sektor usaha penggalian dan pertambangan. PDRB per kapita yang dipilih adalah PDRB per kapita non migas atas dasar harga berlaku. Tingkat kemiskinan diperoleh dari jumlah penduduk miskin dibagi dengan total penduduk di suatu kabupaten/kota. Definisi penduduk miskin menurut BPS adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan (ditetapkan berdasarkan kebutuhan dasar pangan (setara 2100 kkal per kapita per hari) dan non pangan (perumahan, sandang, pendidikan,kesehatan)). Rasio jumlah puskesmas terhadap jumlah penduduk diperoleh dari jumlah puskesmas dibagi dengan jumlah penduduk di suatu wilayah kabupaten/kota. Rasio jumlah perawat, bidan dan tenaga gizi diperoleh dari jumlah perawat, bidan dan tenaga gizi dibagi dengan jumlah penduduk di suatu wilayah kabupaten/kota. Akses
28 air bersih ditentukan oleh pertanyaan ada tidaknya pencemar dalam radius <10m dari sumber air (jawaban “ya” dan “tidak”), kualitas air (keruh, berwarna, berbau, berasa, dan berbusa), jarak memperoleh air, waktu untuk memperoleh air, dan mudah/sulitnya memperoleh air sepanjang tahun. Rumah tangga dikatakan akses air bersihnya baik jika tidak ada pencemar dalam radius <10 m dari sumber air, air tidak keruh, tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa, dan tidak berbusa, jarak memperoleh air < 1 km, waktu untuk memperoleh air < 30 menit dan mudah dalam memperoleh air sepanjang tahun. Untuk pemanfaatan posyandu, dilihat dari pemanfaatan posyandu selama 3 bulan terakhir. Kemudian dihitung persentase rumah tangga yang memanfaatkan posyandu selama 3 bulan terakhir di masingmasing kabupaten/kota. Sedangkan untuk cakupan pelayanan kesehatan gratis dilihat dari banyaknya rumah tangga yang mendapat pelayanan kesehatan berupa “Kartu Sehat”. Analisis hubungan antara variabel bebas dan tidak bebas menggunakan uji korelasi Pearson. Analisis determinan disparitas prevalensi stunting antar wilayah dilakukan dengan menggunakan regresi linier berganda (stepwise regression). Adapun persamaan regresi linier berganda untuk penelitian ini adalah Y = βo + β1X1 + β2X2 + β3 X3 + β4 X4 + β5 X5 + β6 X6 + ….. + βn Xn Keterangan: Y = disparitas prevalensi stunting βo = konstanta β1- βn = koefisien regresi X1 = persentase ibu dengan tinggi badan kurang dari 150 cm X2 = prevalensi ibu tunggal X3 = persentase penduduk dengan asupan energi per kapita di bawah rataan nasional X4 = persentase penduduk dengan asupan protein per kapita di bawah rataan nasional X5 = persentase bayi tidak ASI eksklusif X6 = persentase bayi BBLR X7 = persentase imunisasi tidak lengkap X8 = prevalensi malaria X9 = prevalensi TB paru X10 = prevalensi ISPA X11 = prevalensi diare X12 = tingkat kemiskinan X13 = PDRB per kapita X14 = Indeks Pembangunan Gender X15 = Indeks Pembangunan Manusia X16 = rasio jumlah puskesmas terhadap jumlah penduduk X17 = rasio jumlah perawat, bidan dan tenaga gizi terhadap jumlah penduduk X18 = tingkat pemanfaatan posyandu X19 = persentase rumah tangga dengan akses air bersih X20 = cakupan pelayanan kesehatan gratis
Beberapa asumsi yang harus dipenuhi pada model regresi linier berganda juga sudah dilakukan yaitu model regresi adalah linier dalam parameter, nilai ratarata error adalah nol, variasi dari error adalah konstan (homoskedatik), tidak terjadi autokorelasi pada error, tidak terjadi multikolinieratitas pada variabel bebas, dan eror berdistribusi normal. Multikolinieritas dapat diketahui dengan menggunakan nilai variance inflation factor (VIF) dan tolerance (TOL) dengan ketentuan jika nilai VIF melebihi angka 10, maka terjadi multikolinieritas dalam model regresi. Kemudian jika nilai TOL sama dengan 1, maka tidak terjadi multikolinieritas dalam model regresi. Uji multikolinearitas menunjukkan bahwa nilai VIF <10 dan TOL >1, sehingga tidak ada multikolinearitas dalam model regresi.
29 Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas dalam model regresi adalah dengan Metode Glejser. Uji ini dilakukan dengan meregresikan nilai absolute residual terhadap variabel bebas lainnya. Jika β signifikan maka terdapat heteroskeditas dalam model. Nilai signifikansi semua variabel lebih dari 0.01, berarti variabel bebas yang terdapat dalam model ini memiliki sebaran varian yang sama (homogen). Autokorelasi adalah terjadinya korelasi antara satu variabel error dengan variabel error yang lain. Ala satu cara yang digunakan untuk mengetahui adanya autokorelasi adalah dengan uji Durbin Watson (DW). Suatu model regresi tidak ada autokorelasi jika du ≤ d≤ 4 – du (d = nilai Durbin Watson hitung dan du =nilai batas atas/upper Durbin Watson tabel). Selain itu dilakukan analisis biplot untuk melihat karakteristik wilayah berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi disparitas prevalensi stunting hasil dari analisis regresi. Biplot merupakan suatu upaya untuk memberikan peragaan grafik dari matriks data X dalam suatu plot dengan menumpangtindihkan vektorvektor yang berada dalam ruang berdimensi tinggi ke dalam ruang berdimensi rendah (dua atau tiga) sekaligus yang mewakili vektor-vektor baris matriks X (gambaran objek) dengan vektor-vektor yang mewakili kolom matriks X (gambaran variabel/atribut). Dari peragaan ini diharapkan akan diperoleh gambaran tentang objek, misalnya kedekatan antar objek dan gambaran tentang atribut baik tentang keragamannya maupun korelasinya serta keterkaitan antara objek-objek dengan atribut-atributnya. Definisi Operasional Cakupan pelayanan kesehatan gratis adalah jumlah rumah tangga yang mendapat pelayanan “Kartu Gratis” terhadap jumlah keseluruhan rumah tangga. Disparitas prevalensi stunting adalah perbedaan atau selisih prevalensi stunting balita di suatu kabupaten/kota terhadap batas non public health untuk masalah stunting. Indeks Pembangunan Manusia adalah ukuran komparatif dari harapan hidup, kemelekhurufan, derajat pendidikan, dan standar hidup bagi seluruh negara di dunia. Indeks Pembangunan Gender adalah indeks pencapaian kemampuan dasar pembangunan manusia yang sama seperti IPM dengan memperhatikan ketimpangan gender. PDRB per kapita adalah pendapatan rata-rata tiap individu di suatu wilayah yang merupakan hasil bagi antara PDRB dengan jumlah penduduk pertengahan tahun suatu kabupaten/kota. Persentase ibu tunggal adalah rasio jumlah ibu yang berstatus cerai terhadap jumlah penduduk secara keseluruhan pada pertengahan tahun untuk suatu tahun tertentu. Persentase penduduk dengan asupan energi per kapita di bawah rataan nasional adalah proporsi penduduk dengan rata-rata asupan energi lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata asupan energi secara nasional.
30 Persentase penduduk dengan asupan protein per kapita di bawah rataan nasional adalah proporsi penduduk dengan rata-rata asupan protein lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata asupan energi secara nasional. Persentase bayi tidak ASI eksklusif adalah rasio bayi yang menerima air susu ibu (ASI) secara eksklusif selama kurang dari 6 bulan. Persentase bayi berat badan lahir rendah (BBLR) adalah proporsi bayi dengan berat badan lahir kurang dari 2500 gram dibandingkan dengan jumlah penduduk secara keseluruhan. Persentase rumah tangga dengan akses air bersih adalah persentase rumah tangga yang memperoleh air bersih, dinilai dari jarak dan waktu untuk memperoleh air bersih dan sifat fisik air yang biasa dipakai serta ada atau tidak adanya pencemar <10 m dari sumber air. Persentase imunisasi tidak lengkap adalah persentase balita yang tidak mendapatkan salah satu imunisasi lengkap yaitu BCG, polio, DPT, campak dan hepatitis. Prevalensi stunting adalah persentase balita yang mempunyai z skor tinggi badan menurut umur (TB/U) kurang dari -2 SD terhadap total balita. Prevalensi malaria adalah persentase balita yang didiagnosis menderita penyakit malaria dalam 1 bulan terakhir oleh tenaga kesehatan. Prevalensi ISPA adalah persentase balita yang didiagnosis menderita penyakit ISPAt dalam 1 bulan terakhir oleh tenaga kesehatan. Prevalensi TB paru adalah persentase balita yang didiagnosis menderita penyakit TB paru dalam 1 bulan terakhir oleh tenaga kesehatan. Prevalensi diare adalah persentase balita yang didiagnosis menderita penyakit diare dalam 1 bulan terakhir oleh tenaga kesehatan. Rasio jumlah puskesmas terhadap jumlah penduduk adalah perbandingan atau hasil bagi jumlah puskesmas terhadap total penduduk di suatu kabupaten/kota. Rasio jumlah perawat, bidan dan tenaga gizi terhadap jumlah penduduk adalah perbandingan atau hasil bagi jumlah perawat, bidan dan tenaga gizi terhadap total penduduk di suatu kabupaten/kota. Tingkat kemiskinan adalah persentase penduduk miskin berdasarkan pendekatan yang digunakan BPS yaitu berdasarkan pengeluaran konsumsi (consumption expenditure approach) dengan batasan kemiskinan berpatokan pada kecukupan energi (2100 kkal/kapita/hari) dan kebutuhan dasar non makanan lainnya per kapita per hari. Tingkat pemanfaatan posyandu adalah persentase rumah tangga yang memanfaatkan posyandu selama 3 bulan terakhir.
HASIL DAN PEMBAHASAN Disparitas Prevalensi Stunting di Indonesia Stunting merupakan tantangan masalah gizi kurang yang sifatnya kronis. Prevalensi stunting secara nasional tahun 2013 adalah 37.2%, yang berarti terjadi peningkatan dibandingkan tahun 2010 (35.6%) dan 2007 (36.8%). Prevalensi stunting sebesar 37.2% terdiri dari 18.0% severe stunting dan 19.2% moderate stunting. Pada tahun 2013 prevalensi severe stunting menunjukkan penurunan, dari 18.8% tahun 2007 dan 18.5% tahun 2010. Prevalensi moderate stunting meningkat dari 18.0% pada tahun 2007 menjadi 19.2% pada tahun 2013 (Balitbangkes 2013). Bila prevalensi stunting ini dibandingkan dengan batas non public health problem yang ditetapkan WHO (1995) maka semua provinsi di Indonesia masih dalam kondisi yang bermasalah dalam hal kesehatan masyarakat. Kondisi ini akan semakin beragam apabila dilihat pada level administratif wilayah yang lebih kecil lagi yaitu kabupaten/kota. Prevalensi stunting di berbagai kabupaten/kota di Indonesia berkisar antara 16.7% (Kabupaten Sami, Papua) hingga 67.9% (Kabupaten Seram Bagian Timur, Maluku). Sebaran kabupaten/kota di Indonesia berdasarkan prevalensi stunting ini diolah dari 438 kabupaten/kota yang digunakan dalam Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 (Tabel 8). Hanya terdapat 4 kabupaten/kota yang prevalensi stunting-nya berada pada kategori rendah di Indonesia yaitu 2 wilayah di Indonesia Barat yaitu Kota Mojokerto (19.1%) dan Kota Tanjung Pinang (19.3%), 1 wilayah di Indonesia Timur yaitu Kabupaten Wajo (18.6%), dan 1 wilayah di Indonesia Timur yaitu Kabupaten Sami (16.7%). Sementara itu, sebagian besar wilayah Indonesia masih memiliki prevalensi stunting di atas 30%. Wilayah yang memiliki jumlah kabupaten/kota dengan prevalensi stunting tinggi terbesar adalah wilayah Indonesia bagian Barat. Terdapat 224 kabupaten/kota atau 82% dari total kabupaten/kota di Indonesia Barat masih berkategori prevalensi stunting tinggi dan sangat tinggi. Tabel 8 Sebaran prevalensi stunting kabupaten/kota di Indonesia tahun 2007 Prevalensi stunting Rendah (<20) Sedang (20-29) Tinggi (30-39) Sangat Tinggi (≥ 40) Total
Barat Kab/kota n(%) 2(0.7) 47(17.2) 115(42.1) 109(39.9) 273(100.0)
Wilayah Indonesia Tengah Kab/kota n(%) 1(0.8) 26(21.3) 42(34.4) 53(43.4) 122(100.0)
Timur Kab/kota n(%) 1(2.3) 5(11.6) 16(37.2) 21(48.8) 43(100.0)
Sumber: Riskesdas 2007 (diolah)
Sebagian besar wilayah yang memiliki prevalensi stunting tinggi merupakan wilayah administratif kabupaten (85.6%) (Tabel 9). Kejadian stunting lebih banyak terjadi pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan dan lebih tinggi di wilayah pedesaan dibandingkan perkotaan (Atmarita 2005). Namun, wilayah perkotaan juga mempunyai prevalensi stunting yang tinggi seperti studi yang telah dilakukan oleh Van de Poel (2007). Pada beberapa negara berkembang (9 dari 47
32 negara), masyarakat miskin di daerah perkotaan mempunyai proporsi stunting dan kematian lebih tinggi dibandingkan masyarakat miskin daerah pedesaannya. Tabel 9 Sebaran kabupaten/kota di Indonesia tahun 2007 berdasarkan prevalensi stunting dan wilayah administratif Wilayah Indonesia Prevalensi stunting Kabupaten Kota Total n(%) n(%) n(%) Rendah (<20) 2(0.6) 2(2.2) 4(0.9) Sedang (20-29) 48(13.8) 32(35.2) 80(18.3) Tinggi (30-39) 134(38.6) 42(46.2) 176(40.2) Sangat Tinggi (≥ 40) 163(47.0) 15(16.5) 178(40.6) Total 347(100.0) 91(100.0) 438(100.0) Sumber: Riskesdas 2007 (diolah)
Berdasarkan batas non public health problem (20%) untuk prevalensi stunting, selanjutnya dilihat disparitas masing-masing wilayah terhadap ambang batas WHO (1995). Terdapat 23 wilayah dari 352 kabupaten/kota yang menjadi sampel penelitian memiliki disparitas prevalensi stunting tinggi (di atas 31.40%) (Tabel 10). Wilayah dengan disparitas prevalensi stunting terendah adalah Kota Tanjung Pinang, Kepulauan Riau (0%), sedangkan wilayah dengan disparitas prevalensi stunting tertinggi adalah Kabupaten Nias Selatan (47.1%), Sumatera Utara. Perbedaan kondisi geografis antar kabupaten/kota di Indonesia diduga merupakan salah satu yang menyebabkan adanya perbedaan disparitas prevalensi stunting antar wilayah. Bappenas (2007) menyatakan bahwa salah satu tantangan penanganan masalah gizi adalah kondisi kewilayahan yang beraneka ragam. Hal ini mengakibatkan budaya kecukupan gizi antara daerah satu dengan daerah lainnya turut berbeda, sehingga timbul disparitas status gizi antarkawasan dan antara perkotaan dan perdesaan, serta akses terhadap fasilitas kesehatan yang berkualitas bagi masyarakat miskin yang tinggal di daerah terpencil. Faktor ekonomi dan kurangnya pengetahuan masyarakat akan asupan gizi yang cukup juga turut menyebabkan munculnya masalah gizi. Tabel 10 Sebaran kabupaten/kota di Indonesia tahun 2007 berdasarkan disparitas prevalensi stunting Disparitas Prevalensi Stunting N Persentase (%) 165 46.9 - Rendah (<15.70%) 164 46.6 - Sedang (15.70-31.40%) 23 6.5 - Tinggi (>31.40%) Total 352 100.0 Hasil penelitian Ma’arifat (2010) menyatakan bahwa prevalensi stunting di Nusa Tenggara Timur, Sumatera Selatan dan DI Yogyakarta pada tahun 2007, berturut-turut adalah 31.9%, 15% dan 11.3%. Disparitas ketiga wilayah tersebut adalah Nusa Tenggara Timur 11.9%, Sumatera Selatan dan DI Yogyakarta 0%. Jika dilihat dari disparitasnya, maka ketiga wilayah tersebut termasuk dalam kategori disparitas prevalensi stunting rendah (<15.7%). Sedangkan penelitian Nadiyah (2013) menyatakan bahwa prevalensi stunting di Provinsi Bali, Jawa Barat dan Nusa Tenggara Timur pada tahun 2010, masing-masing sebesar 35.9%, 31.4% dan 45.0%, sehingga disparitasnya berturut-turut adalah 15.9%, 11.4%, dan 25%.
33 Ketiga wilayah tersebut termasuk dalam kategori disparitas prevalensi stunting sedang (15.70-31.40%). Target penurunan prevalensi stunting di Indonesia dituangkan dalam Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RANPG) 2011-2015 dengan tujuan menurunnya prevalensi pendek pada anak balita menjadi 32% pada tahun 2015 (Bappenas 2011). Hasil Riskesdas tahun 2010 menunjukkan bahwa angka prevalensi pendek pada balita mencapai 35.6%. Artinya, Pemerintah Indonesia masih mempunyai beban sebesar 3.6% untuk mencapai target tersebut. Kementerian Kesehatan Indonesia (2011) menyatakan bahwa jika Indonesia berhasil menurunkan prevalensi pendek (TB/U) 1%, maka akan diikuti penurunan prevalensi berat kurang (BB/U) 0.5%, sehingga pada tahun 2011-2014 dengan penurunan 4% prevalensi balita pendek dapat menurunkan 2% prevalensi balita berat kurang. Artinya pada tahun 2015, target MDG’s prevalensi balita pendek sebesar 32% dapat tercapai, karena Indonesia berhasil menurunkan 35.6% menjadi 31.6%. Namun, perkembangan hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalensi stunting pada balita meningkat menjadi 37.2%. Tidak berubahnya prevalensi status gizi, kemungkinan besar belum meratanya pemantauan pertumbuhan dan terlihat kecenderungan proporsi balita yang tidak pernah ditimbang enam bulan terakhir semakin meningkat dari 25.5% tahun 2007 menjadi 34.3% tahun 2013 (Balitbangkes 2013). Asupan Gizi dan ASI Eksklusif, Derajat Kesehatan, Karakteristik Ibu, Akses Sosial, Ekonomi dan Kesehatan Masyarakat pada Berbagai Tingkat Disparitas Prevalensi Stunting Asupan gizi dan ASI eksklusif Status gizi anak dipengaruhi oleh asupan gizinya. Anak yang tidak terpenuhi kebutuhan gizinya maka akan terganggu status gizinya. Gambaran asupan gizi dilihat dari persentase penduduk dengan asupan energi dan protein per kapita di bawah rataan nasional. Rata-rata persentase penduduk dengan asupan energi per kapita di bawah rataan nasional semakin menurun seiring meningkatnya disparitas prevalensi stunting. Rata-rata persentase penduduk dengan asupan energi per kapita di bawah rataan nasional adalah 61.89±16.43% (Tabel 11). Uji korelasi menunjukkan bahwa persentase penduduk dengan asupan energi per kapita di bawah rataan nasional signifikan berhubungan negatif dengan disparitas prevalensi stunting. Semakin tinggi persentase imunisasi tidak lengkap maka disparitas prevalensi stunting semakin rendah. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Andiani (2013) bahwa ada hubungan tingkat kecukupan energi dengan stunting anak <24 bulan (r = -0.039, p<0.05), artinya semakin tinggi tingkat kecukupan energi maka stunting akan semakin rendah. Hermina et al. (2011) menyebutkan anak balita (24-59 bulan) stunting yang mengalami defisit energi sebanyak 31.5%, lebih banyak dibandingkan anak balita normal (24.9%). Kondisi ini menggambarkan bahwa asupan energi balita stunting berbeda signifikan dengan anak balita normal (p=0.000), dan balita stunting cenderung lebih banyak yang defisit energi. Hasil penelitian yang berbeda ini diduga disebabkan oleh data asupan energi yang digunakan dalam penelitian ini adalah asupan energi per kapita yang diperoleh dari
34 asupan energi rumah tangga dibagi jumlah anggota rumah tangga, sehingga kurang merepresentasikan asupan energi balita. Kekurangan gizi terutama kekurangan energi, protein, vitamin A, seng dan besi selama masa bayi dan anak di bawah dua tahun (baduta) serta keadaan kesehatan yang buruk menyebabkan pertumbuhan anak akan terhambat (Andersen 2005). Namun, dalam analisis ini persentase penduduk dengan asupan protein per kapita di bawah rataan nasional tidak berhubungan dengan disparitas prevalensi stunting. Tidak semua balita stunting berasal dari rumah tangga dengan asupan protein di bawah rataan nasional. Terati (2010) juga menyebutkan bahwa asupan protein tidak mempunyai hubungan signifikan dengan status gizi (TB/U). Tabel 11 Rata-rata dan standar deviasi variabel asupan gizi dan ASI eksklusif menurut tingkatan disparitas prevalensi stunting Variabel
1. Persentase penduduk dengan asupan energi per kapita di bawah rataan nasional (%) 2. Persentase penduduk dengan asupan protein per kapita di bawah rataan nasional (%) 3. Persentase bayi tidak ASI eksklusif (%)
Disparitas prevalensi stunting
Total
r (p)
Rendah x̅ ± SD
Sedang x̅ ± SD
Tinggi x̅ ± SD
x̅ ± SD
63.90±16.05
60.48±15.54
57.49±23.02
61.89±16.43
-0.127 (0.017)*
56.32±13.91
55.34±14.37
49.15±19.52
55.39±14.60
-0.087 (0.105)
84.39±6.64
86.24±7.17
86.54±6.79
85.39±6.94
0.097 (0.069)*
Keterangan: *) signifikan pada p<0.1
Praktek pemberian ASI eksklusif sudah diatur dalam Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan pasal 128, yaitu setiapa anak berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama 6 bulan. Praktek pemberian ASI merupakan salah satu faktor risiko kekurangan gizi pada anak-anak usia <24 bulan. Terdapat hubungan yang signifikan antara waktu inisiasi menyusui dengan stunting (P≤ 0.05). Anak-anak yang diberi ASI setelah satu jam kelahiran dua kali lebih besar mengalami stunting dibandingkan dengan anak-anak yang diberi ASI dalam waktu satu jam kelahiran (Muchina & Waithaka 2010). Di Guatemala, bayi yang diberi infus herbal sederhana, bubur encer atau minuman manis (lebih dikenal aguitas) terbukti 1.8 kali berisiko stunted dan 2 kali berisiko diare (Doak et al. 2013). Studi penelitian tersebut mendukung hasil analisis dalam penelitian ini bahwa persentase bayi tidak ASI eksklusif berkorelasi positif dengan disparitas prevalensi stunting. Semakin tinggi persentase bayi tidak ASI eksklusif maka disparitas prevalensi stunting akan semakin tinggi. Rata-rata persentase bayi tidak ASI eksklusif adalah 85.39±6.94%. Derajat kesehatan Kelengkapan imunisasi berperan dalam pertumbuhan anak. Terdapat hubungan signifikan antara status imunisasi balita dengan stunting (p<0.005) (Abedi & Srivastava 2012). Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi TB/U di Kabupaten Bandung, Cirebon dan Garut adalah pemberian imunisasi campak dan kuintil pengeluaran per kapita (Saragih 2011). Akan tetapi, dalam penelitian ini persentase imunisasi tidak lengkap berkorelasi negatif dengan dengan disparitas prevalensi stunting (r=-0.462, p=0.0000) (Tabel 12). Semakin tinggi persentase imunisasi tidak lengkap maka disparitas prevalensi stuntingnya semakin
35 rendah. Pertimbangan kelengkapan imunisasi dasar belum tentu menjamin anak terbebas dari penyakit infeksi. Tidak semua penyakit infeksi mempunyai vaksin atau imunisasi sehingga walaupun anak mendapat imunisasi dasar lengkap, anak masih dapat terkena penyakit infeksi lainnya. Bayi yang lahir dengan berat badan rendah (BBLR) akan mengalami gagal pertumbuhan pada masa anak-anak dan dewasanya (Ramakrishnan 2004). Studi di Kota Semarang, Jawa Tengah menyebutkan anak-anak yang memiliki riwayat BBLR merupakan faktor risiko stunting (OR:11.2; 95% CI: 1.3-96.3; p=0.028) (Candra et al. 2006). Berbeda dengan hasil penelitian ini, tidak ada hubungan persentase BBLR dengan disparitas prevalensi stunting. Sutiari & Wulandari (2011) juga menyebutkan bahwa status gizi waktu lahir (berat badan saat lahir) tidak berkorelasi dengan pertumbuhan (indikator BB/TB) anak usia prasekolah. Hasil ini dapat menjelaskan bahwa anak yang mengalami BBLR mampu mengejar keterlambatan pertumbuhan seperti anak normal melalui asupan gizi dan pola asuh yang baik. Status gizi lahir yang normal tidak menjamin anak memiliki tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang baik. Tabel 12 Rata-rata dan standar deviasi variabel derajat kesehatan menurut tingkatan disparitas prevalensi stunting Variabel
1. Persentase imunisasi tidak lengkap (%) 2. Persentase BBLR (%) 3. Prevalensi ISPA (%) 4. Prevalensi malaria (%) 5. Prevalensi diare (%) 6. Prevalensi TB Paru (%)
Disparitas prevalensi stunting Rendah Sedang Tinggi x̅ ± SD x̅ ± SD x̅ ± SD
Total
r (p)
x̅ ± SD
89.43±10.32
80.81±13.20
70.63±18.28
84.18±13.49
1.68±1.24
1.73±1.65
1.49±1.53
1.69±1.44
15.78±9.58
16.19±10.69
17.30±12.06
16.07±10.26
0.33±0.90
1.28±3.40
1.73±2.59
0.86±2.54
10.13±5.03
12.53±6.20
13.52±8.47
11.47±5.98
0.46±0.95
0.31±0.81
0.26±0.53
0.38±0.87
-0.462 (0.000)* 0.022 (0.683) -0.010 (0.852) 0.237 (0.000)* 0.190 (0.000)* -0.126 (0.018)*
Keterangan: *) signifikan pada p<0.1
Walaupun rata-rata prevalensi ISPA meningkat seiring meningkatnya disparitas prevalensi stunting, akan tetapi tidak ada hubungan yang signifikan antara prevalensi ISPA dengan disparitas prevalensi stunting (Tabel 13). Hasil yang sama juga ditemukan oleh Ulfani et al. (2011) bahwa kejadian ISPA tidak berkorelasi dengan stunted pada balita di Indonesia. Rata-rata prevalensi malaria dan diare semakin meningkat sejalan dengan semakin tingginya disparitas prevalensi stunting. Prevalensi malaria dan diare berkorelasi positif dengan disparitas prevalensi stunting. Semakin tinggi prevalensi malaria dan diare maka disparitas prevalensi stunting di wilayah tersebut akan semakin tinggi. Hal ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Remans et al. (2011) dan Checkley et al. (2008) bahwa penyakit diare dapat meningkatkan risiko kejadian stunting. Selain itu, penelitian yang telah dilakukan di Kenya juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara malaria dan stunting (IRR: 1.91; 95%CI:1.01- 3.58; p= 0.04) (Nyakeriga et al. 2004). Moore et al. (2010) menemukan adanya penurunan Z-score TB/U yang signifikan pada anak yang
36 mengalami diare akut (<7 hari) (-0.51 ke -0.82, P<0.0001) dan juga pada anak yang mengalami diare berkepanjangan (7-13 hari) (-0.81 ke -1.40, P=0.0002). Terdapat korelasi negatif antara prevalensi TB Paru dengan disparitas prevalensi stunting. Semakin tinggi prevalensi TB Paru maka disparitas prevalensi stunting semakin rendah. Lestari et al. (2011) menemukan bahwa z-score status gizi TB/U lebih rendah pada kelompok yang mengalami sakit TB paru dibandingkan dengan yang tidak sakit, namun perbedaan di antara dua kelompok tersebut belum bermakna secara statistik. Karakteristik ibu Anak-anak yang tinggal dengan ibu sebagai kepala rumah tangga cenderung mengalami kurang gizi karena memiliki keterbatasan akses terhadap sumberdaya dan pelayanan kesehatan (Fentaw et al. 2013). Seorang wanita yang memimpin rumah tangga sering menghadapi kendala keuangan dan waktu sebagai akibat dari ketiadaan suami karena meninggal atau bercerai. Para wanita yang berperan sebagai kepala rumah tangga sering memperoleh pendapatan kecil karena kondisi pasar tenaga kerja yang kurang menguntungkan di negara-negara berkembang. Akibatnya, wanita yang lebih lama bekerja untuk meningkatkan pendapatan akan merugikan anak-anaknya (Thomson et al. 1994). Rata-rata persentase ibu tunggal yang rendah lebih banyak pada wilayah dengan disparitas prevalensi stunting yang tinggi (Tabel 13). Rata-rata persentase ibu tunggal adalah 4.19±2.40%. Persentase ibu tunggal berkorelasi negatif dengan disparitas prevalensi stunting. Artinya, semakin tinggi persentase ibu tunggal maka disparitas prevalensi stunting-nya akan semakin rendah. Faktor-faktor yang kemungkinan menjadi confounder hasil analisis ini adalah jumlah anak dalam keluarga dan tingkat pendidikan ibu. Ibu tunggal yang memiliki seorang anak akan lebih fokus pada pertumbuhan dan perkembangan anaknya. Selain itu, ibu tunggal yang berpendidikan lebih baik cenderung memiliki pengetahuan dan praktek pemberian dan pola asuh anak yang tepat. Tabel 13 Rata-rata dan standar deviasi variabel karakteristik ibu menurut tingkatan disparitas prevalensi stunting Variabel
1. Persentase ibu tunggal (%) 2. Persentase ibu dengan tinggi badan <150cm (%)
Disparitas prevalensi stunting Rendah Sedang Tinggi x̅ ± SD x̅ ± SD x̅ ± SD
Total
r (p)
x̅ ± SD
4.32±2.52
4.18±2.56
3.30±2.49
4.19±2.40
-0.141 (0.008)*
31.76±11.63
32.42±13.08
30.19±12.48
31.97±12.36
0.012 (0.815)
Keterangan: *) signifikan pada p<0.1
Martorell dan Young (2012) menjelaskan bahwa ibu yang pendek (<150 cm) berisiko meningkatkan kejadian stunting di India (OR: 1.83; p<0.001) dan Guatemala (OR:3.42; p<0.001). Selanjutnya, anak yang stunting dapat menjadi orang dewasa stunting, termasuk menjadi ibu-ibu yang stunting (Bhutta et al. 2008). Ratarata persentase ibu dengan tinggi badan kurang dari 150 cm cenderung rendah pada kabupaten/kota dengan disparitas prevalensi stunting tinggi (Tabel 14). Persentase ibu dengan tinggi badan <150cm tidak berkorelasi dengan disparitas prevalensi stunting. Penelitian di Kecamatan Semarang Timur juga mengindikasikan bahwa tinggi badan orangtua bukan merupakan faktor risiko stunting. Pada penelitian
37 tersebut tidak diteliti faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi badan orang tua, sehingga tidak bisa dibedakan apakah tinggi badan orang tua saat ini merupakan pengaruh genetik atau karena pengaruh patologis maupun malnutrisi (Kusuma & Nuryanto 2013). Akses ekonomi masyarakat Peningkatan rata-rata PDRB per kapita diikuti dengan penurunan disparitas prevalensi stunting. Penelitian Ulfani et al. (2011) menyebutkan bahwa sebagian besar kabupaten/kota di Indonesia memiliki prevalensi stunted (TB/U) yang sangat tinggi dengan PDRB/ kapita wilayahnya rendah. Penelitian ini mendukung hasil uji korelasi ini yaitu, terdapat korelasi negatif antara PDRB per kapita dengan disparitas prevalensi stunting. Semakin meningkat PDRB per kapita maka disparitas prevalensi stunting-nya semakin menurun. Frongillo et al. (1999) menemukan produk nasional bruto yang lebih tinggi berhubungan dengan rendahnya prevalensi stunting diberbagai negara berkembang. Tabel 14 Rata-rata dan standar deviasi variabel akses ekonomi masyarakat menurut tingkatan disparitas prevalensi stunting Variabel
1. PDRB per kapita (Rp) 2. Tingkat kemiskinan (%)
Disparitas prevalensi stunting Rendah Sedang Tinggi x̅ ± SD x̅ ± SD x̅ ± SD 7
7
7
7
6
1.5x10 ±1.9x10
1.1x10 ±1.1x10
8.3x10 ±4.4x10
13.81±7.56
18.04±8.48
24.47±7.69
Total
r (p)
x̅ ± SD 6
1.2x10 ±1.5x10
-0.207 (0.000)*
16.48±8.51
0.380 (0.000)*
7
7
Keterangan: *) signifikan pada p<0.1
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan berkorelasi positif dengan disparitas prevalensi stunting. Hal ini berarti bahwa disparitas prevalensi stunting akan semakin tinggi terutama pada wilayah yang kemiskinannya tinggi. Penelitian Kusriadi (2010) menunjukkan bahwa prevalensi stunting pada keluarga miskin lebih besar dibandingkan dengan tidak miskin. Masalah kemiskinan akan berdampak pada kurangnya akses masyarakat terhadap pemenuhan kebutuhan pangan maupun pelayanan kesehatan. Jumlah orang miskin mencerminkan kelompok yang tidak mempunyai akses pangan, jika persentasenya lebih dari 20%, maka akses pangannya termasuk dalam kategori rendah. Kemiskinan merupakan indikator ketidakmampuan untuk mendapatkan cukup pangan, karena rendahnya kemampuan daya beli atau hal ini mencerminkan ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar, seperti, makanan, pakaian, perumahan, pendidikan, dan lain-lain (BKP 2008). Akses sosial masyarakat Baik rata-rata IPM maupun IPG, keduanya menunjukkan peningkatan seiring menurunnya disparitas prevalensi stunting (Tabel 15). Salah satu komponen dalam IPM dan IPG adalah angka melek huruf. Studi yang dilakukan Frongillo et al. (1999) menyatakan bahwa tingkat melek huruf perempuan yang lebih tinggi merupakan faktor penting yang berhubungan dengan rendahnya prevalensi stunting. Adanya hubungan yang kuat antara tingkat melek huruf perempuan dengan pendidikan perempuan, maka pendidikan yang lebih tinggi akan berhubungan dengan prevalensi stunting yang lebih rendah.
38 Tabel 15 Rata-rata dan standar deviasi variabel akses sosial masyarakat menurut tingkatan disparitas prevalensi stunting Variabel
1. Indeks Pembangunan Manusia 2. Indeks Pembangunan Gender
Disparitas prevalensi stunting Rendah Sedang Tinggi x̅ ± SD x̅ ± SD x̅ ± SD
Total
r (p)
x̅ ± SD
71.98±3.42
69.30±3.55
68.74±3.15
70.52±3.72
-0.426 (0.000)*
64.64±5.73
62.00±5.33
63.62±5.57
63.34±5.67
-0.201 (0.000)*
Keterangan: *) signifikan pada p<0.1
Tabel 15 menunjukkan bahwa semakin rendahnya rata-rata Indeks Pembangunan Manusia dan Indeks Pembangunan Gender di suatu wilayah diikuti dengan semakin meningkatnya disparitas prevalensi stuntingnya. Kedua variabel tersebut menunjukkan korelasi yang negatif dengan disparitas prevalensi stunting. Artinya, semakin tinggi IPM dan IPG maka disparitas prevalensi stunting-nya semakin rendah. Muljati et al. (2011) menyatakan bahwa ada korelasi antara stunting dengan IPKM (r=-0.67;p=0.000) dan IPM (r=-0.52; p=0.002). Analisis bivariat menemukan bahwa IPKM dan IPM memiliki korelasi negatif terhadap stunting; artinya, semakin rendah nilai IPKM atau IPM, maka semakin tinggi prevalensi stunting pada anak usia 2-3 tahun. Akses kesehatan masyarakat Pemanfaatan pelayanan kesehatan tidak terlepas dari usaha petugas kesehatan untuk mendorong masyarakat dalam rangka mensosialisasikan kegiatankegiatan yang ada di pelayanan kesehatan baik usaha promosi kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan maupun pemulihan kesehatan. Pemeliharaan kesehatan individu, keluarga dan akhirnya masyarakat sangat memerlukan partisipasi masyarakat terhadap pentingnya memelihara kesehatan terutama kesehatan keluarga (Notoatmodjo 1997). Rata-rata rasio jumlah perawat, bidan, dan tenaga gizi terhadap jumlah penduduk pada berbagai kategori disparitas prevalensi stunting menunjukkan nilai yang sama. Namun, hasil analisis tidak menunjukkan adanya korelasi antar kedua variabel. Sunarya (2005) menyatakan bahwa kendala keluarga dan masyarakat dalam memanfaatkan secara langsung pelayanan kesehatan yang tersedia adalah jarak pelayanan kesehatan jauh, tidak mampu membayar, kurang pendidikan dan pengetahuan. Hal ini berdampak terhadap status gizi anak. Pelayanan kesehatan adalah keterjangkauan anak dan keluarga terhadap upaya pencegahan penyakit dan pemeliharaan kesehatan seperti imunisasi, pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, penimbangan anak, penyuluhan kesehatan dan gizi, serta sarana kesehatan yang baik seperti posyandu, puskesmas, praktek bidan, dokter dan rumah sakit. Hasil analisis menunjukkan bahwa rata-rata rasio jumlah puskesmas terhadap jumlah penduduk meningkat seiring meningkatnya disparitas prevalensi stunting. Terdapat korelasi negatif antara rasio jumlah puskesmas terhadap jumlah penduduk dengan disparitas prevalensi stunting. Artinya, semakin tinggi rasio jumlah puskesmas terhadap jumlah penduduk maka disparitas prevalensi stuntingnya semakin meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa tidak hanya ketersediaan sarana pelayanan kesehatan saja yang seharusnya menjadi
39 prioritas tetapi akses dan tingkat pemanfaatan terhadap pelayanan kesehatan juga perlu menjadi prioritas untuk digalakkan oleh pemerintah. Hasil analisis menunjukkan bahwa rata-rata tingkat pemanfaatan posyandu yang cenderung tinggi lebih banyak pada kabupaten/kota dengan disparitas prevalensi stunting yang rendah. Posyandu dapat dimanfaatkan oleh penduduk sebagai sarana untuk memantau pertumbuhan anak. Penimbangan bulanan yang dilaksanakan di posyandu merupakan sarana melakukan aksi koreksi secara dini jika terjadi gangguan pertumbuhan terhadap anak sehingga tidak berkembang menjadi gizi kurang atau gizi buruk. Terdapat korelasi negatif antara tingkat pemanfaatan posyandu dengan disparitas prevalensi stunting. Semakin tinggi tingkat pemanfaatan posyandu maka disparitas prevalensi stuntingnya akan menurun. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kesadaran dan partisipasi masyarakat akan pentingnya posyandu semakin meningkat. Terdapat korelasi negatif antara persentase rumah tangga dengan akses air bersih dengan disparitas prevalensi stunting. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi persentase rumah tangga dengan akses air bersih maka disparitas prevalensi stuntingnya akan semakin rendah. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Milman et al. (2005) bahwa tingkat akses air bersih merupakan salah satu faktor risiko kejadian stunting. Rendahnya akses air bersih dapat disebabkan oleh adanya pencemar yang dekat dengan sumber air sehingga dapat mengakibatkan penyakit water born disease, contohnya adalah diare. Diare dapat meningkatkan risiko kurang gizi pada balita (Alhanannasir 1999). Menurut Permanasari (2009), perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) ibu balita di Indonesia masih rendah, dilihat dari indikator kebiasaan mencuci tangan dengan sabun, tempat BAB, akses air bersih, adanya sumber pencemar air kurang dari 10 m, kemudahan memperoleh air, kualitas fisik air, sarana penampungan air dan pengolahan air minum. Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa persentase PHBS yang kurang baik lebih besar pada balita yang menderita diare dibandingkan yang tidak menderita diare. Tabel 16 Rata-rata dan standar deviasi variabel akses kesehatan masyarakat menurut tingkatan disparitas prevalensi stunting Variabel
1. Rasio jumlah perawat, bidan dan tenaga gizi terhadap jumlah penduduk 2. Rasio jumlah puskesmas terhadap jumlah penduduk 3. Tingkat pemanfaatan posyandu (%) 4. Persentase rumah tangga dengan akses air bersih (%) 5. Cakupan pelayanan kesehatan gratis (%)
Disparitas prevalensi stunting Rendah Sedang Tinggi x̅ ± SD x̅ ± SD x̅ ± SD
Total
r (p)
x̅ ± SD
0.001±0.001
0.001±0.001
0.001±0.001
0.001±0.001
0.006 (0.904)
0.0001±0.0001
0.0002±0.0001
0.0003±0.0002
0.0002±0.0001
0.200 (0.000)*
67.2±12.9
65.3±13.8
63.9±18.2
66.1±13.7
-0.102 (0.055)*
52.3±15.6
49.6±16.7
51.5±16.1
50.9±16.2
-0.106 (0.048)*
15.67±8.1
17.6±12.1
22.17±16.07
17.0±10.8
0.155 (0.004)*
Keterangan: *) signifikan pada p<0.1
Pelayanan kesehatan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi derajat kesehatan seseorang. Dengan fasilitas kesehatan,
40 ketanggapan dan akses ke pelayanan kesehatan yang baik maka diharapkan dapat mendukung peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Tabel 16 menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara cakupan pelayanan kesehatan gratis dengan disparitas prevalensi stunting. Semakin tinggi cakupan pelayanan kesehatan gratis maka disparitas prevalensi stuntingnya akan semakin meningkat. Hal ini diduga disebabkan oleh kelompok penerima manfaat pelayanan kesehatan tersebut kurang tepat sasaran (tidak untuk anak-anak). Determinan Disparitas Prevalensi Stunting Stunted merupakan keadaan tubuh yang sangat pendek hingga melampaui 2 SD di bawah median panjang atau tinggi badan populasi yang menjadi referensi internasional. Keadaan ini menunjukkan ketidakcukupan gizi dalam jangka waktu panjang. Faktor yang langsung menyebabkan keadaan ini adalah tidak cukupnya pemberian makanan tambahan sehingga asupan gizinya kurang dan seringnya mengalami infeksi (Pollit 2000). Selain kurangnya asupan gizi dan penyakit infeksi, masalah kurang gizi ini dipengaruhi oleh faktor tidak langsung, diantaranya keadaan sosial ekonomi, sanitasi lingkungan, imunisasi dan faktor lainnya (Salimar et al. 2009). Berdasarkan hasil analisis regresi linier berganda (stepwise regression) dapat diketahui bahwa persentase imunisasi tidak lengkap, persentase ibu tunggal dan IPM berpengaruh negatif terhadap disparitas prevalensi stunting, sedangkan prevalensi malaria dan tingkat kemiskinan berpengaruh positif terhadap disparitas prevalensi stunting. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingginya persentase imunisasi tidak lengkap, rendahnya prevalensi malaria, IPM yang tinggi, tingginya persentase ibu tunggal, dan rendahnya tingkat kemiskinan akan menyebabkan disparitas prevalensi stunting semakin menurun. Persamaan liniernya sebagai berikut. Y = 76.401 – 0.247X5 + 0.404X6 – 0.393X11 + 0,127X12 – 0.550X14 Keterangan: Y : Disparitas prevalensi stunting X5 : Persentase imunisasinya tidak lengkap X6 : Prevalensi malaria X11 : Persentase ibu tunggal X12 : Tingkat kemiskinan X14 : Indeks Pembangunan Manusia
Persamaan regresi di atas menunjukkan nilai konstanta sebesar 76.401 menyatakan bahwa jika tidak ada kenaikan nilai imunisasi yang tidak lengkap, prevalensi malaria, persentase ibu tunggal, tingkat kemiskinan dan Indeks Pembangunan Manusia maka disparitas prevalensi stunting sebesar 76.401. Nilai koefisien regresi imunisasi yang tidak lengkap 0.247, prevalensi malaria 0.404, Indeks Pembangunan Manusia 0.550, ibu tunggal 0.393, dan kemiskinan 0.127 menunjukkan setiap penambahan satu nilai, maka nilai disparitas prevalensi stunted akan berkurang atau bertambah sebesar nilai koefisien faktor-faktor tersebut pada persamaan. Nilai R2 model tersebut adalah 0.361, berarti keragaman yang mampu dijelaskan oleh faktor-faktor dalam model sebesar 36.1%, sedangkan sisanya dijelaskan oleh faktor-faktor lain diluar model.
41 Persentase imunisasi tidak lengkap berpengaruh negatif terhadap disparitas prevalensi stunting. Tingginya persentase imunisasi tidak lengkap menyebabkan rendahnya disparitas prevalensi stunting. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Salimar et al. (2009) bahwa balita yang mendapatkan imunisasi tidak lengkap akan mudah terserang penyakit infeksi, sehingga pertumbuhannya akan terhambat. Balita yang mendapatkan imunisasi lengkap memiliki peluang tidak mengalami stunting 1.783 kali dibandingkan balita yang tidak mendapatkan imunisasi lengkap. Tidak semua penyakit infeksi mempunyai vaksin atau imunisasi sehingga walaupun anak mendapat imunisasi dasar lengkap, anak masih dapat terkena penyakit infeksi lainnya. Kelengkapan imunisasi dasar tidak menjadi jaminan anak akan terbebas dari infeksi penyakit. Penilaian status imunisasi yang lebih detail perlu dilakukan untuk melihat tipe imunisasi yang diperlukan. Malaria merupakan salah satu penyebab utama kematian pada anak-anak. Selain itu, infeksi malaria yang berulang-ulang dapat menyebabkan anemia kronis dan gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak (Korenromp et al. 2004). Pernyatan ini mendukung hasil penelitian ini bahwa prevalensi malaria berpengaruh positif terhadap disparitas prevalensi stunting. Semakin meningkatnya prevalensi malaria akan meningkatkan disparitas prevalensi stunting di satu kabupaten/kota. Penelitian di Ghana membuktikan bahwa risiko kejadian stunting meningkat 0.32 (P-value: 0.004, 95% CI: 0.09, 1.0) pada setiap periode infeksi malaria (Kang et al. 2013). Status perkawinan orangtua memiliki peranan penting dalam perkembangan status gizi anak. Anak-anak dengan orangtua tunggal akan lebih tinggi mengalami kurang gizi dibandingkan anak-anak dengan orangtua lengkap (Mahgoub et al. 2006). Namun, penelitian ini menunjukkan hasil yang berbeda. Persentase ibu tunggal berpengaruh negatif terhadap disparitas prevalensi stunting. Semakin tinggo persentase ibu tunggal di satu wilayah maka disparitas prevalensi stuntingnya semakin rendah. UNICEF (2011) menyatakan bahwa gender sangat berpengaruh pada daya tahan, kesehatan dan gizi anak. Bargaining position wanita dipengaruhi oleh dua hal. Pertama, wanita dapat mempengaruhi pengambilan keputusan dalam rumah tangga, yang secara tidak langsung dapat berpengaruh juga pada input sumber daya yang ditujukan untuk kebutuhan gizi dan kesehatan anak seperti pemberian makanan, perawatan prenatal dan kelahiran, perawatan kesehatan anak dan imunisasi). Kedua, kemampuan wanita untuk mengakses dan mengawasi penggunaan sumberdaya untuk kesehatannya sendiri, yang akan berdampak signifikan terhadap gizi dan kesehatan anak. Di Indonesia, program-program pemberdayaan masyarakat yang digalakkan oleh pemerintah seperti PNPM Generasi banyak melibatkan kelompok ibu-ibu. Pelatihan-pelatihan keterampilan yang ada didalamnya dapat menyebabkan kemampuan ibu-ibu meningkat dalam mengelola keluarga terutama keadaan ekonomi keluarganya. Hal ini secara tidak langsung juga berdampak pada keluarga dengan kepala rumah tangganya adalah seorang ibu. Kemampuan ekonomi yang semakin meningkat dapat menunjang kebutuhan pemenuhan hidup keluarganya terutama pangan dan gizi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan berpengaruh positif terhadap disparitas prevalensi stunting. Hal ini berarti bahwa disparitas prevalensi stunting akan semakin tinggi terutama pada wilayah yang kemiskinannya tinggi. Menurut penelitian Salimar et.al. (2009) keluarga yang
42 memiliki balita stunting memiliki pengeluaran rendah (sebagai proksi dari tingkat pendapatan), yang umumnya termasuk dalam kuintil pengeluaran 1 sampai 3 (60% penduduk dengan tingkat pengeluaran terendah dari seluruh populasi). Penelitian Girma et al. (2002) di Ethiopia terhadap 9768 balita menunjukkan bahwa prevalensi stunting paling tinggi terjadi pada anak dari rumah tangga yang sangat miskin (54%), dari kelompok rumah tangga miskin (44%) dan lebih rendah pada rumah tangga status ekonomi menengah/lebih tinggi (26%) (p<0.001). Risiko stunting paling tinggi pada anak dari golongan status ekonomi paling miskin (OR=2.01), sedangkan anak dengan status ekonomi miskin berpeluang stunting 1.87 kali. Kedua OR diatas dibandingkan dengan anak golongan ekonomi menengah/ke atas. Variabel akses sosial masyarakat yang berpengaruh terhadap disparitas prevalensi stunting adalah IPM. Salah satu faktor pembentuk IPM adalah pendidikan. Pendidikan orangtua khususnya ibu akan mempengaruhi pengetahuan mengenai praktik kesehatan dan gizi anak sehingga anak berada dalam keadaan status gizi yang baik. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi memiliki peluang lebih besar dalam mengakses informasi mengenai status gizi dan kesehatan anak. Kemudian informasi tersebut dipraktikan dalam proses perawatan anak yang akan berimbas pada status gizi dan kesehatan anak yang lebih baik. Studi di 3 negara Afrika (Malawi, Tanzania dan Zimbabwe) menyatakan bahwa masalah status gizi anak (stunting, wasting dan underweight) signifikan menurun dengan meningkatnya tingkat pendidikan ibunya (Makoka 2013). Girma et al. (2002) dimana ibu dengan pendidikan lebih rendah (tidak sekolah/SD) berpeluang memiliki anak stunting 1.8 kali lebih besar dan bapak dengan pendidikan lebih rendah berpeluang memiliki anak stunting 1.4 kali lebih besar. Selanjutnya, kelima variabel yang berpengaruh terhadap stunting diplotkan ke dalam grafik biplot untuk melihat karakteristik masing-masing wilayah kabupaten/kota (Gambar 7). Korelasi antar variabel dapat dilihat dari nilai cosinus sudut antar dua vektornya. Semakin sempit sudut yang dibuat antara dua variabel maka semakin positif tinggi korelasinya. Vektor yang berdekatan dengan vektor variabel disparitas stunting adalah tingkat kemiskinan dan prevalensi malaria. Artinya semakin tinggi disparitas prevalensi stunting maka tingkat kemiskinan dan prevalensi malarianya akan semakin meningkat. Secara garis besar semua wilayah kabupaten/kota dalam grafik tersebut dikelompokkan ke dalam 4 kelompok (kuadran I, II, III, dan IV). Kabupaten/kota yang berada pada kuadran I memiliki kecenderungan tingkat kemiskinan dan prevalensi malaria yang tinggi dengan disparitas prevalensi stunting, persentase ibu tunggal, persentase imunisasi tidak lengkap dan IPM yang rendah. Kabupaten/kota yang termasuk dalam kuadran II memiliki kecenderungan persentase ibu tunggal dan imunisasi tidak lengkap yang tinggi dengan IPM, disparitas prevalensi stunting, tingkat kemiskinan dan prevalensi malaria yang rendah. Kabupaten/kota yang berada pada kuadran III memiliki kecenderungan IPM yang tinggi dengan disparitas prevalensi stunting, prevalensi malaria, persentase ibu tunggal, persentase imunisasi tidak lengkap dan tingkat kemikinan yang rendah. Kabupaten/kota yang berada pada kuadran IV memiliki kecenderungan disparitas prevalensi stunting, tingkat kemiskinan dan prevalensi malaria yang tinggi dengan persentase ibu tunggal, persentase imunisasi tidak lengkap dan IPM yang rendah. Untuk melihat lebih jelas posisi masing-masing kabupaten/kota dapat dilihat pada Lampiran 2.
43 B iplo t o f IP M ; ...; D IS P _ N E W 4
I
II
Se cond Compo ne nt
3 2 1
SINGL EM O T H ER T D KIM UN M A LA RIA
K e m i s k in a n
0 D ISP _NEW
IP M
-1 -2 -3
III
IV
-4 -4
-2
0
2
4
6
Fir s t C o m p o n e n t
Keterangan: DISP_NEW IPM MALARIA SINGLE MOTHER Kemiskinan TDKIMUN
= disparitas prevalensi stunting = Indeks Pembangunan Manusia = prevalensi malaria = persentase ibu tunggal = Tingkat Kemiskinan = persentase imunisasi tidak lengkap
Gambar 7 Biplot karakteristik wilayah kabupaten/kota di Indonesia tahun 2007 Berdasarkan pengelompokan tersebut dapat dilihat permasalahan yang terjadi pada masing-masing kabupaten/kota (Tabel 17). Kabupaten/kota yang berada pada kuadran 3 cenderung tidak memiliki masalah berdasarkan 6 variabel yang digunakan dalam biplot. Meskipun tidak memiliki masalah, pemerintah perlu melakukan monitoring berbagai kebijakan dan program pencegahan dan penanggulangan gizi dan kesehatan serta peningkatan upaya kesejahterangan masyarakat di wilayah tersebut. Salah satu upaya perbaikan gizi yang sedang dilakukan adalah Gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK). Fokus utama kegiatan ini adalah ibu hamil, ibu menyusui, bayi baru lahir dan anak usia di bawah dua tahun (baduta). Kegiatan ini terdiri dari 2 intervensi yaitu intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif. Intervensi gizi sensitif adalah adalah berbagai kegiatan yang cukup cost effective untuk mengatasi masalah gizi khususnya masalah gizi stunting. Intervensi spesifik adalah berbagai kegiatan program pembangunan yang memberi pengaruh terhadap status gizi masyarakat, misalnya penanggulangan kemiskinan, pendidikan, gender, air bersih, sanitasi dan kesehatan lingkungan. Kegiatan sensitif ini merupakan kegiatan yang bersifat multi dan lintas sektor.
44
Tabel 17 Permasalahan yang dihadapi wilayah dan rekomendasinya menurut kuadran wilayah Kuardan
I
II
Masalah
Rekomendasi untuk Kebijakan 1.a Pengentasan Kemiskinan (Kegiatan pemberian cash bersyarat/Conditional cash transfer (dengan pendidikan gizi) - Menambahkan komponen intervensi gizi dan pendidikan gizi dalam kegiatan PKH - Integrasi modul gizi pada PNPM generasi - Memperluas cakupan kegiatan PKH dan PNPM generasi - Meningkatkan kerjasama sektor kesehatan dengan sosial, dagri, pendidikan - Training petugas kesehatan pada daerah pelaksana PKH dan PNPM generasi 2.a Pemberian Kelambu-berinsektisida dan obat Malaria - Pengadaan Rapid Diagnostik Tes (RDT) malaria, obat kina/ACT - Pengadaan RDT, kina/ACT pada APBD di daerah mampu - Supervisi restruktur dan berkala 1. Tingkat kemiskinan tinggi - Distribusi RDT, kina/ACT ke semua sarana pelayanan kesehatan 2. Prevalensi malaria tinggi - Pemberian kelambu berinsektisida 3. Indeks Pembangunan - KIE untuk penggunaan kelambu berinsektisida Manusia rendah 2.b Pendidikan Gizi Masyarakat tentang Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) 2.c Penanganan preventif malaria pada anak-anak 2.d Perilaku higiene (mencuci tangan, penanganan kualitas air, sanitasi dan higiene) 3.a Jaminan Kesehatan Masyarakat - Pendataan penduduk miskin yang tercakup program kesehatan - Pengadaan sarana dan prasarana puskesmas dan rumah sakit yang memberikan pelayanan bagi penduduk miskin - Pemantauan dan supervisi pelaksanaan Jamkesmas 3.b Ketahanan pangan dan gizi - Penambahan paket kegiatan PKH Plus dengan pangan bagi keluarga ibu hamil - Pemberdayaan ekonomi mikro bagi keluarga bumil KEK - Peningkatan pendidikan perempuan 1. Pendidikan gizi dan kesehatan melalui institusi pendidikan untuk wanita 1. persentase ibu tunggal 2. Pemberdayaan ekonomi mikro bagi keluarga dengan ibu tunggal tinggi 2. Revitalisasi posyandu dan puskesmas 2. persentase imunisasi tidak 3.a Jaminan Kesehatan Masyarakat lengkap tinggi - Pendataan penduduk miskin yang tercakup program kesehatan
Sumber Bappenas (2013), Bhutta et.al (2008)
Bappenas (2013), Bhutta et.al (2008)
Bappenas (2013)
Bappenas (2013)
45
Kuardan
Masalah 3. Indeks Pembangunan Manusia rendah 3.b
1. 2. 1.a
III
2.a
IV
1. Tingkat kemiskinan tinggi 2. Prevalensi malaria tinggi 3. Indeks Pembangunan Manusia rendah 4. Disparitas prevalensi stunting tinggi
2.b 2.c 2.d 3.a
3.b
Rekomendasi untuk Kebijakan - Pengadaan sarana dan prasarana puskesmas dan rumah sakit yang memberikan pelayanan bagi penduduk miskin - Pemantauan dan supervisi pelaksanaan Jamkesmas Ketahanan pangan dan gizi - Penambahan paket kegiatan PKH Plus dengan pangan bagi keluarga ibu hamil - Pemberdayaan ekonomi mikro bagi keluarga bumil KEK Peningkatan pendidikan perempuan Monitoring upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan masalah gizi dan kesehatan Peningkatan upaya kesejahteraan rakyat Pengentasan Kemiskinan (Kegiatan pemberian cash bersyarat/Conditional cash transfer (dengan pendidikan gizi) - Menambahkan komponen intervensi gizi dan pendidikan gizi dalam kegiatan PKH - Integrasi modul gizi pada PNPM generasi - Memperluas cakupan kegiatan PKH dan PNPM generasi - Meningkatkan kerjasama sektor kesehatan dengan sosial, dagri, pendidikan - Training petugas kesehatan pada daerah pelaksana PKH dan PNPM generasi Pemberian Kelambu-berinsektisida dan obat Malaria - Pengadaan Rapid Diagnostik Tes (RDT) malaria, obat kina/ACT - Pengadaan RDT, kina/ACT pada APBD di daerah mampu - Supervisi restruktur dan berkala - Distribusi RDT, kina/ACT ke semua sarana pelayanan kesehatan - Pemberian kelambu berinsektisida - KIE untuk penggunaan kelambu berinsektisida Pendidikan Gizi Masyarakat tentang Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Penanganan preventif malaria pada anak-anak Perilaku higiene (mencuci tangan, penanganan kualitas air, sanitasi dan higiene) Jaminan Kesehatan Masyarakat - Pendataan penduduk miskin yang tercakup program kesehatan - Pengadaan sarana dan prasarana puskesmas dan rumah sakit yang memberikan pelayanan bagi penduduk miskin - Pemantauan dan supervisi pelaksanaan Jamkesmas Ketahanan pangan dan gizi - Penambahan paket kegiatan PKH Plus dengan pangan bagi keluarga ibu hamil
Sumber
Bappenas (2013), Bhutta et.al (2008)
Bappenas (2013), Bhutta et.al (2008)
Bappenas (2013)
46
Kuardan
Masalah
Rekomendasi untuk Kebijakan - Pemberdayaan ekonomi mikro bagi keluarga bumil KEK - Peningkatan pendidikan perempuan 4.a Promosi menyusui (konseling individu dan kelompok)) - KIE IMD dan ASI eksklusif - KIE melanjutkan menyusui sampai dengan 2 tahun - Sosialisasi dan advokasi PP ASI - Pembinaan dan pembinaan kader motivator Kadarzi 4.b Komunikasi perubahan perilaku untuk memperbaiki Pemberian Makanan Pendamping ASI - KIE MP ASI - Konseling ASI disertai konseling MP ASI makanan lokal - Komunikasi Pembuatan MP ASI lokal ditambah taburia 4.c Pencegahan kurang gizi akut - Pengembangan Ready to Use Therapheutic Feeding (RUTF) pabrikan berbasis pangan lokal - Penyediaan Therapheutic Feeding Center (TFC) di setiap kecamatan yang prevalensi gizi buruk tinggi (diintegrasikan dengan puskesmas) - Pemberdayaan masyarakat untuk mampu melakukan perawatan lanjutan
Sumber
Bappenas (2013), Bhutta et.al (2008)
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan •
•
•
Sebanyak 23 dari total 352 kabupaten/kota memiliki disparitas prevalensi stunting tinggi (>31.40%). Wilayah dengan disparitas prevalensi stunting terendah adalah Kota Tanjung Pinang, Kepulauan Riau (0%), sedangkan wilayah dengan disparitas prevalensi stunting tertinggi adalah Kabupaten Nias Selatan (47.1%), Sumatera Utara. Variabel yang berhubungan degan disparitas prevalensi stunting adalah persentase penduduk dengan asupan energi per kapita di bawah rataan nasional, persentase bayi tidak ASI eksklusif, persentase imunisasi tidak lengkap, prevalensi malaria, prevalensi TB paru, prevalensi diare, persentase ibu tunggal, persentase penduduk tidak miskin, PDRB per kapita, IPM, IPG, rasio jumlah puskesmas terhadap jumlah penduduk, persentase rumah tangga dengan akses air bersih, tingkat pemanfaatan posyandu, dan cakupan pelayanan kesehatan gratis. Determinan disparitas prevalensi stunting adalah persentase imunisasi tidak lengkap, prevalensi malaria, Indeks Pembangunan Manusia, persentase ibu tunggal dan kemiskinan merupakan faktor-faktor yang menentukan disparitas prevalensi stunting pada balita. Saran
•
•
•
Hasil kajian dari studi ini menunjukkan bahwa akses sosial dan ekonomi masyarakat terhadap layanan kesehatan dan konsumsi pangan menjadi penyebab masalah stunting. Hal ini menunjukkan bahwa penanggulangan stunting akan efektif bila dikaitkan dengan upaya penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu program-program yang berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat juga sebaiknya terintegrasi dengan program gizi dan kesehatan, terutama peningkatan upaya imunisasi, penurunan prevalensi malaria dan penanggulangan kemiskinan yang lebih efektif. Selain itu, hasil kajian menunjukkan bahwa ibu tunggal memiliki peranan penting terhadap kejadian stunting. Untuk itu, perlu adanya upaya-upaya pendidikan khususnya kepada remaja dan wanita terkait gizi dan kesehatan melalui penyuluhan di institusi pendidikan atau pendidikan persiapan pernikahan (pranikah). Untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat dilakukan pengkajian pengaruh produksi pangan, pola perilaku dan perubahan ketersediaan makanan jadi terhadap disparitas prevalensi stunting.
DAFTAR PUSTAKA Abedi AJ, Srivastava JP. 2012. The effect of vaccination on nutritional status of pre-school children in rural and urban Lucknow. J. Acad. Indus. Res. 1(4):173-175. Aisyah S et al. 2010. Karakteristik Bayi Berat Lahir Rendah sampai Tribulan II Tahun 2009 di Kota Kediri. Jurnal Kesehatan Suara Forikes. 1(3): 210-222 Aditianti. 2010. Faktor determinan stunting pada anak usia 24-59 bulan di Indonesia. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Alhanannasir. 1999. Hubungan konsumsi makanan dan morbiditas dengan status gizi anak balita transmigran [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Andersen. 2005. Nutrition and development. USA : International Food Policy Research Institute. http://www.ifpri.org. [28 Januari 2013]. Andiani. 2013. Faktor determinan stunting pada usia 0-59 bulan di Indonesia. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Angeles IT, Schultink WJ, Matulessi P, Gross R, Sastroamidjojo S. 1993. Decreased rate of stunting among anemic Indonesian preschool children through iron supplementation. The American Journal of Clinical Nutrition 58:339-342. Arimond M, Ruel M. 2004. Dietary diversity is associated with child nutritional status : evidence from 11 demographic and health surveys. The Journal of Nutrition. 134: 2579-2585. Astari LD, Nasution A, Dwiriani CM. 2006. Hubungan konsumsi ASI dan MP-ASI serta kejadian stunting anak usia 6-12 bulan di Kabupaten Bogor. Media Gizi dan Keluarga. 30(1):15-23. Atmarita. 2005. Nutrition problem in Indonesia. Disampaikan dalam: An Integrated International Seminar and Workshop on Lifestyle – Related Diseases; Yogyakarta, 19-20 Maret 2005. Balitbangkes [Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan]. 2013. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Jakarta (ID): Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Bappenas [Badan Perencanaan Pembangunan Nasional]. 2007. Laporan Pencapaian Millenium Development Goals Indonesia 2007. Jakarta (ID): Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. . 2011. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2011-2015. Jakarta (ID): Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. . 2013. Pedoman Perencanaan Program Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi dalam Rangka Seribu Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK). Jakarta (ID): Badan Perencanaa Pembangunan Nasional. Beaglehole, Bonita & Kjellstorm. 1997. Basic Epidemiologi 2nd Edition. Switzerland (CH): World Health Organization Press. Behrman JR, Alderman H, Hoddinott J. 2004. The Challenge Hunger and Malnutrition. Copenhagen Consensus Challenge Paper. Cambridge (UK): Cambridge University Press.
49 Bhutta ZA, Ahmed TA, Black RE, Cousens S, Dewey K, Giugliani E, Haider BA, Kirkwood B, Morris SS, Sachdev HPS, Shekar M. 2008. What works? Interventions for maternal and child undernutrition and survival. The Lancet. 371: 371: 417–40. [BKP] Badan Ketahanan Pangan. 2008. Peta Akses Pangan Pedesaan. Jakarta: Badan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian. Black RE, Allen LH, Bhutta ZA, Caulfield LE, de Onis M, Ezzati M, Mathers C, Rivera J, for Maternal and Child Undernutrition Study Group. 2008. Maternal and child undernutrition: global and regional exposures and health consequences. The Lancet. 371:243–60. Branca F, Ferrari M. 2002. Impact of micronutrient deficiencies on growth: the stunting syndrome. Annals of Nutrition & Metabolism 46 (suppl 1):8-17. Bogin B. 1999. Patterns of Human Growth 2nd Ed. Cambridge (UK): Cambridge University Press. Candra A, Puruhita N, Susanto JS. 2011. Risk factors of stunting among 1-2 years old children in Semarang City. Media Medika Indonesiana. 45(3):206-212. Checkley W, Bukley G, Gilman RH, Assis AMO, Guerrant RL, Morris SS, Melbak K, Valentiner-Branth P, Lanata CF, Black RE, et al. 2008. Multi-country analysis of The effects of diarrhoea on childhood stunting. International Journal of Epidemiology 37:816-830. Cogill B. 2003. Anthropometric Indicators Measurement Guide. Washington DC (US): Food and Nutrition Technical Assistance Project, Academy for Educational Development. Depkes RI [Departemen Kesehatan Republik Indonesia]. 2008. Posyandu Memberikan Kontribusi Besar Dalam Pencapaian Cakupan Imunisasi. www.indonesia.go.id. [28 Januari 2013]. Dewey KG, Begum K. 2011. Long-term consequences of stunting in early life. Maternal and Child Nutrition 7(Suppl.3):5-18. Doak CM, van der Starre RE, van Beusekom I, Ponce MC, Vossenaar M, Solomons NW. 2013. Earlier introduction of aguitas is associated with higher risk of stunting in infants and toddlers in the Western Highlands of Guatemala. The American Journal of Clinical Nutrition. doi: 10.3945/ajcn.112.047621. Fentaw R, Bogale A, Abebaw D. 2013. Prevalence of child malnutrition in agropastoral households in Afar Regional State of Ethiopia. Nutrition Research and Practice 7(2): 122-131. Frongillo EA, de Onis M,Hanson KMP. 1999. Socioeconomic and demographic factors are associated with worldwide patterns of stunting and wasting of children. The Journal of Nutrition 127: 2302-2309. Girma W. 2002. Determinants of the Nutritional Status of Mothers and Children in Ethiopia. ORC Macro, Calverton, Maryland, USA. Hayati AW. 2013. Faktor-faktor risiko stunting, pola konsumsi pangan, asupan energi dan zat gizi anak 0-23 bulan. [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hermina, Prihatini S. 2011. Gambaran keragaman makanan dan sumbangannya terhadap konsumsi energi protein pada anak balita pendek (stunting) di Indonesia. Buletin Penelitian Kesehatan 39(2):62-73) Horton. 1999. Opportunities for investments in nutrition in low-income Asia. Asian Development Review. 17: 246-273.
50 Hutagalung SP. 1992. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku ibu dalam menimbangkan anaknya di posyandu Kotip Palu, Provinsi Sulawesi Tengah. [tesis]. Jakarta: Program Pascasarjana Kesehatan Masyarakat UI. Irawati A, Achadi EL, Atmarita, Huriyati E. 2012. Stunting di Indonesia: apakah antar-generasi?. http://kalibrasi.lipi.go.id/unduh/paralel/1/abstrak/5.pdf. [28 Januari 2013]. Kang H, Kreuels B, Adjei O, Krumkamp R, May J, Small DS. 2013. The causal effect of malaria on stunting: a Mendelian randomization and matching approach. Internasional Journal of Epidemiology. 42 (5): 1390-1398. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Badan Pusat Statistik. 2012. Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2012. Jakarta (ID): Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Kikafunda JK, Walker AF, Collett D, Tumwine JK. 1998. Risk factors for early childhood malnutrition in Uganda. Pediatrics 102 (4): 1-8. Kodyat BA. 1998. Overview masalah dan program kesehatan dan gizi masyarakat di Indonesia. Makalah disampaikan pada Training Peningkatan Kemampuan Penelitian Bidang Kesehatan dan Gizi Masyarakat. Bogor: 1830 Agustus. Korenromp EL, Armstrong-Schellenberg JR, Williams BG, Nahlen BL, Snow RW. 2004. Impact of malaria control on childhood anaemia in Africa -- a quantitative review. Tropical Medicine and International Health. 9(10):1050-1065. Krebs NF, Mazariegos M, Chomba, Sami N, Pasha O, Tshefu A, Carlo WA, Goldenberg RL, Bose CL, Wright LL, et.al. 2012. Randomized controlled trial of meat compared with multimicronutrient-fortified cereal in infants and toddlers with high stunting rates in diverse settings. The American Journal of Clinical Nutrition 96: 840-847. Kusharisupeni. 2002. Peran status kelahiran terhadap stunting pada bayi: sebuah studi prospektif. Jurnal Kedokteran Trisakti. 23(3):73-80. Kusriadi. 2010. Analisis faktor risiko yang mempengaruhi kejadian kurang gizi pada anak balita di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) [tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Kusuma KE, Nuryanto. 2013. Faktor risiko kejadian stunting pada anak usia 2-3 tahun (studi di Kecamatan Semarang Timur). Journal of Nutrition College. 2(4): 523-530. Latifah M, MD Djamaludin, Evi D, Sumali MA. 2002. Air Bersih dan Sehat. Bogor: Kerjasama Pusat Kurikulum Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dengan Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor. Lestari P, Endaryanto A, Sahiratmadja E, Suharto. 2011. Status gizi dan status besi anak kontak tuberkulosis serta perannya dalam kejadian infeksi dan sakit. JBP 13(2):131-136 Liu Y, Kerstin AW, Karlberg J. 2000. Long-term consequences of early linear growth retardation (stunting in Swedish children). Pediatric Research 47(4): 475-480. Ma’rifat. 2010. Analisis hubungan pemanfaatan pelayanan kesehatan dengan status gizi anak balita. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
51 Mahgoub SEO, Nnyepi M, Bandeke T. 2006. Factors affecting prevalence of malnutrition among children under three years of age in Botswana. African Journal of Food Agriculture Nutrition and Development. 6(1):1-15. Makoka D. 2013. The Impact of Maternal Education on Child Nutrition: Evidence from Malawi, Tanzania, and Zimbabwe. USA: USAID Martorell R, Young MF. 2012. Patterns of stunting and wasting: potential explanatory factors. Advances in Nutrition. 3:227-233. McDonald CM, Manji KP, Kupka R, Bellinger DC, Spiegelman D, Kisenge R, Msamanga G, Fawzi WW, Duggan CP. 2013. Stunting and wasting are associated with poorer psychomotor and mental development in HIVexposed Tanzanian infants. The Journal of Nutrition 143: 204-214. Mclntyre L, Glanville T, Raine KD, Dayle JB, Anderson B, Battaglia N. 2003. Do low-income lone mothers compromise their nutrition to feed their children?. Canadian Medical Association Journal 168(6): 686-691. Mendez MA, Adair LS. 1999. Severity and timing of stunting in the first two years of life affect performance on cognitive tests in late childhood. The Journal of Nutrition 129: 1555-1562. Miller J, Makrides M, Gibson RA, McPhee AJ, Stanford TE, Morris S, Ryan P, Collins CT. 2012. Effect of increasing protein content of human milk fortifier on growth in preterm infants born at, 31 wk gestation: a randomized controlled trial. The American Journal of Clinical Nutrition 95: 648-655. Milman A, Frongillo EA, Ed Onis M, Hwang JY. 2005. Differential improvement among countries in child stunting is associated with long-term development and specific interventions. Journal of Nutrition 135:1415-1422. Monteiro CA, Benicio MHD, Conde WL, Konno S, Lovadino Al, Barros AJD, Victora CG. 2010. Narrowing socioeconomic inequality in child stunting: the Brazilian experience, 1974–2007. Bulletin World Health Organization. 88:305-311. Moore KA, Redd Z, Burkhauser M, Mbwana K, Collins A. 2009. Children In Poverty: Trends, Consequences, And Policy Options. www.childtrends.org. [16 Mei 2013]. Moore SR, Lima NL, Soares M, Oria RB, Pinkerton RC, Barrett LJ, Guerrant RL, Lima AAM. 2010. Prolonged episodes of acute diarrhea reduce growth and increase risk of persistent diarrhea in children. Gastroenterology 139:1156– 1164. Muchina EN, Waithaka PM. 2010. Relationship between breastfeeding practices and nutritional status of children age 0-24 months in Nairobi, Kenya. African Journal of Food Agriculture Nutrition Ana Development 10(4):2358-2378. Muljati S, Triwinarto A, Budiman B. 2011. Determinan stunting pada anak 2-3 tahun di tingkat provinsi. Jurnal Penelitian Gizi dan Makanan. 34(1):5062. Nadiyah. 2013. Faktor resiko stunting pada baduta di provinsi Bali, Jawa Barat dan Nusa Tenggara Timur. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Notoatmodjo S. 1997. Ilmu Kesehatan Masyarakat: Prinsip-Prinsip Dasar. Jakarta (ID): Rineka Cipta.
52 Nyakeriga AM, Troye-Blomberg M, Chemtai Ak, Marsh K, Williams TN. 2004. Malaria and nutritional status in children living on the coast of Kenya. American Journal of Clinical Nutrition 80:1604-1610. Permanasari Y, Luciasari E, Purwanto B. 2009. Hubungan PHBS dengan kejadian diare dan kaitannya dengan status gizi balita di Indonesia. Jurnal Penelitian Gizi dan Makanan 3 (67): 97-108. Phu PV, Hoan NV, Salvignol B, Treche S, Wieringa FT, Dijkhuizen MA, Khan NC, Tuong PD, Schwartz H, berger J. 2012. A six-month intervention with two different types of micronutrient-fortified complementary foods had distinct short- and long-term effects on linear and ponderal growth of Vietnamese infants. The Journal of Nutrition 142: 1735-1740. Pradianto T. 1989. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakhadiran ibu balita dan penggunaan posyandu di Kecamatan Bogor Barat. [skripsi]. Bogor: IPB. Pudjiadi S. 2005. Ilmu Gizi Klinis pada Anak. Jakarta (ID): FKUI. Ramakrishnan U. 2004. Nutrition and low birth weight: from research to practice. The American Journal of Clinical Nutrition 79: 17–21. Remans R, Pronyk PM, Fanzo JC, Chen J, Palm CA, Nemser B, Muniz M, Radunsky A, Abay AH, Coulibaly M, et.al. 2011. Multisector intervention to accelerate reductions in child stunting: an observational study from 9 subSaharan African countries. The American Journal of Clinical Nutrition 94: 1632-1642. Ricci JA, Becker S. Risk factors for wasting and stunting among children in Metro Cebu, Philippines. The American Journal of Clinical Nutrition. 63:966-975. Richard SA, Black RE, Gilman RH, Guerrant RL, Kang G, Lanata CF, Molbak K, Rasmussen ZA, Sack RB, Valentiner-Branth P, et.al. 2012. Wasting is associated with stunting in early childhood. The Journal of Nutrition 142: 1291-1296. Rosha BC. 2010. Analisis determinan status gizi anak 0-23 bulan pada daerah miskin di Jawa Tengah dan Jawa Timur. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Roosita K, Sunarti E, Herawati T. 2010. Nutrient intake and stunting prevalence among tea plantation workers’ children in Indonesia. Journal of Developments in Sustainable Agriculture 5:131-135. Ross JS, Horton S. 1998. Economic Consequences of Iron Deficiency. Ottawa: Micronutrient Initiative. Sabaruddin EE. 2012. Kajian positive deviance masalah stunting balita pada keluarga miskin di Kota Bogor. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Salimar et al. 2009. Karakteristik masalah pendek (stunting) pada balita di seluruh wilayah Indonesia. Jurnal Penelitian Gizi dan Makanan 3 (67): 63-74. Saragih YM. 2010. Analisis hubungan pemberian imunisasi BCG dan campak serta konsumsi pangan dengan status gizi balita di Jawa Barat. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Satoto, 1990. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak. Pengamatan Anak Umur 018 bulan di Kecamatan Mlonggo, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah [disertasi]. Semarang: Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.
53 Smith K. 2010. VSO health training and information resource. ISPA. http://www.tragus.co.uk/web/CD%20Kesehatan/Index.htm. [28 Januari 2013]. Soekirman. 2005. Gizi buruk, kemiskinan dan KKN. http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file%3Ffile%3Ddigital/blob/F29 748/Gizi%2520Buruk.htm. [28 Januari 2013]. Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta (ID): EGC. Suhandayani I. 2007. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Pati I Kabupaten Pati tahun 2006. [tesis]. Semarang: Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Negeri Semarang. Sulistyoningsih H. 2011. Gizi untuk kesehatan Ibu dan Anak. Yogyakarta (ID): Graha Ilmu. Sutiarti NK, Wulandari DAR. 2011. Hubungan status gizi waktu lahir dengan pertumbuhan dan perkembangan anak usia prasekolah di desa peguyangan, Kota Denpasar. Jurnal Ilmu Gizi. 2(2): 109-117. Suhardjo.1989. Kesehatan Keluarga dan Lingkungan. Bogor (ID): Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor. Supariasa IDN, Bakri B, Fajar. 2002. Penilaian Status Gizi. Cetakan 1.Jakarta (ID): Buku Kedokteran EGC. Stephensen CB. 1999. Burden of infection on growth failure. The Journal of Nutrition. 129:534-538. Taguri AE, Besmar F, Monem AA, Betilmal I, Ricour C, Rolland-Cachera M-F. 2009. Stunting is a major risk factor for overweight: results from national surveys in 5 Arab countries. Eastern Mediterranean Health Journal 15(3):549-562. Terati. 2010. Studi faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi anak balita di propinsi Sumatera selatan. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Thaha RM. 1990. Hubungan pengetahuan, sikap dan praktek penggunaan posyandu oleh balita di Kotamadya Ujung Pandang. [tesis]. Jakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat, UI. Theron M, Amissah A, Kleynhans IC, Albertse E, Maclntyre UE. 2007. Inadequate dietary intake is not the cause of stunting amongst young children living in an informal settlement in Gauteng and rural Limpopo Province in South Africa: the NutriGro study. Public Health Nutrition. 10(4): 379-389. Thomson E, Hanson TL, McLanahan SS. 1994. Family structure and child wellbeing: economic resources vs. parental behaviors. Social Forces. 73(1):221241. Ulfani DH, Martianto D, Baliwati YF. 2011. Faktor-faktor sosial ekonomi dam kesehatan masyarakat kaitannya dengan masalah gizi underweight, stunted, dan wasted di Indonesia: Pendekatan ekologi gizi. Jurnal gizi dan pangan 6(1): 59-65. UNDP [United Nation Development Programme]. 2011. Human Development Report 2011. Sustainability and Equity: A Better Future for All. New York (US): United Nation Development Programme. UNICEF [United Nation Children’s Fund]. 1998. The State of The World’s Children 1998. New York (US): Oxford University Press.
54 . 2011. Gender Influence on Child Survival, Health and Nutrition: A Narrative Review. New York (US): United Nations Children’s Fund (UNICEF). . 2014. The State of The World’s Children 2014 in Number: Every Child Counts. New York (US): United Nations Children’s Fund (UNICEF). UN ACC/SCN [United Nation’s Administrative Committee on Coordination SubCommittee on Nutrition], IFPRI [International Food Policy Research Institute]. 2000. 4th Report on The World Nutrition Situation: Nutrition Throughout the Life Cycle. Geneva (CH): World Health Organization. Utomo B. 2009. Pengaruh pemberian ASI eksklusif dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada anak usia 6-23 bulan di Kabupaten Konawe. [tesis]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Van de Poel E, O’Donnell O, van Doorslaer E. 2007. Are urban children really healthier? evidence from 47 developing countries. Belanda: Tinbergen Institute. Victora CG, Adair L, Fall C, Hallal PC, Martorell R, Richter L, Sachdev HS. 2008. Maternal and child undernutrition: consequences for adult health and human capital. The Lancet. 371: 340-357. Walker SP, Chang SM, PowellCA, Simonoff E, Grantham-McGregor SM. 2007. Early childhood stunting is associated with poor psychological functioning in late adolescence and effects are reduced by psychosocial stimulation. The Journal of Nutrition 137: 2464-2469. World Bank, UNICEF [United Nations Children’s Fund]. 2003. Combating Malnutrition: Time to Act. Gillespie S, McLachlan M, Shrimpton R, editor. Washington DC (US): The International Bank for Reconstruction and Development/The World Bank. World Bank. 2006. Repositioning Nutrition as Central to Development: A Strategy for Large-Scale Action. Washington DC (US): The International Bank for Reconstruction and Development/The World Bank. WHO [World Health Organization]. 1995. Physical Status: The Use and Interpretation of Anthropometry. Report of a WHO Expert Committee. Who Technical Report Series No. 854. Geneva (CH): World Health Organization. Yongky, Hardinsyah, Gulardi, Marhamah. 2009. Status gizi awal kehamilan dan pertambahan berat badan ibu hamil kaitannya dengan BBLR. Jurnal Gizi dan Pangan, 4(1):8-12.
55
LAMPIRAN
Lampiran 1 Prevalensi stunting, disparitas dan variable yang signifikan menurut kabupaten/kota di Indonesia (Riskesdas 2007 diolah) Kode 1100 1101 1102 1103 1104 1105 1106 1107 1108 1109 1110 1111 1112 1113 1114 1115 1116 1117 1171 1172 1173 1174 1200
Kab/Kota NA. Darussalam Simeulue Aceh Singkil Aceh Selatan Aceh Tenggara Aceh Timur Aceh Tengah Aceh Barat Aceh Besar Pidie Bireuen Aceh Utara Aceh Barat Daya Gayo Lues Aceh Tamiang Nagan Raya Aceh Jaya Bener Meriah Kota Banda Aceh Kota Sabang Kota Langsa Kota Lhokseumawe Sumatera Utara
Prevalensi Stunting 44,6 63,9 48,9 46,5 66,9 40,8 47,7 37,1 39,4 38,3 51,9 35,7 60,9 59,5 41,0 43,6 47,2 55,6 38,8 30,2 47,0 44,3 43,1
Disparitas 24,6 43,9 28,9 26,5 46,9 20,8 27,7 17,1 19,4 18,3 31,9 15,7 40,9 39,5 21,0 23,6 27,2 35,6 18,8 10,2 27,0 24,3 23,1
X5
X6
X11
X12
X14
81,60 71,40 69,80 46,60 82,40 11,40 88,80 57,50 49,30 73,40 84,40 83,10 44,60 63,90
0,40 0,50 2,20 0,00 1,00 0,00 7,10 0,50 0,00 0,00 0,00 0,00 0,80 0,00 0,00 0,70 1,60 0,00 1,70 0,00 0,00
2,70 2,00 9,00 1,80 2,90 3,60 4,50 4,20 3,10 8,20 8,90 3,20 2,90 2,00 5,30 1,50 9,00 3,60 2,70 2,10 2,00
32,26 28,54 24,72 21,60 28,15 24,41 32,63 26,69 33,31 27,18 33,16 28,63 32,31 22,19 33,61 29,28 26,55 6,61 27,13 14,25 12,75
67,97 67,97 68,87 70,96 69,40 72,11 69,28 72,71 70,76 72,45 71,39 68,37 67,08 69,17 67,64 68,23 68,88 76,31 74,48 72,22 74,65
57
Kode 1201 1202 1203 1204 1205 1206 1207 1208 1209 1210 1211 1212 1213 1214 1215 1216 1217 1218 1271 1272 1273 1274 1275 1276
Kab/Kota Nias Mandailing Natal Tapanuli Selatan Tapanuli Tengah Tapanuli Utara Toba Samosir Labuhan Batu Asahan Simalungun Dairi Karo Deli Serdang Langkat Nias Selatan Humbang Hasundutan Pakpak Barat Samosir Serdang Bedagai Kota Sibolga Kota Tanjung Balai Kota Pematang Siantar Kota Tebing Tinggi Kota Medan Kota Binjai
Prevalensi Stunting 50,5 54,1 28,9 41,8 61,0 39,4 47,0 39,9 42,9 55,9 45,0 39,9 46,7 67,1 47,3 54,6 34,8 39,6 46,5 43,7 30,1 35,3 41,6 37,0
Disparitas 30,5 34,1 8,9 21,8 41,0 19,4 27,0 19,9 22,9 35,9 25,0 19,9 26,7 47,1 27,3 34,6 14,8 19,6 26,5 23,7 10,1 15,3 21,6 17,0
X5 70,90 42,60 35,10 55,40 65,20 87,60 52,80 64,80 70,80 61,70 68,80 73,50 68,60 55,60 70,30 75,30 60,50 91,60 59,10 45,40 86,30 78,70 77,60 67,70
X6 14,30 6,30 0,30 1,60 0,00 0,00 0,30 0,00 0,00 0,00 0,30 0,30 0,40 5,30 0,60 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,30 0,00
X11 5,50 2,90 2,80 4,10 4,10 2,30 4,80 5,20 6,30 6,60 4,50 7,00 4,30 1,40 6,00 1,90 8,50 1,90 1,50 2,80 4,70 3,00 4,10 4,40
X12 31,75 18,74 20,33 27,47 20,06 15,28 12,33 13,77 14,84 15,82 14,47 5,67 18,23 33,84 18,84 22,42 27,76 11,84 9,73 11,52 9,46 9,67 7,17 5,72
X14 67,07 69,51 72,96 70,01 72,99 75,33 72,54 71,16 72,13 71,49 74,01 73,76 71,83 65,06 70,79 69,47 72,87 72,20 73,93 72,80 76,52 75,27 76,22 75,51
58
Kode 1277 1300 1301 1302 1303 1304 1305 1306 1307 1308 1309 1310 1311 1312 1371 1372 1373 1374 1375 1376 1377 1400 1401 1402
Kab/Kota Kota Padang Sidempuan Sumatera Barat Kepulauan Mentawai Pesisir Selatan Solok Sawah Lunto/Sijunjung Tanah Datar Padang Pariaman Agam Limapuluh Koto Pasaman Solok Selatan Dharmas Raya Pasaman Barat Kota Padang Kota Solok Kota Sawah Lunto Kota Padang Panjang Kota Bukit Tinggi Kota Payakumbuh Kota Pariaman Riau Kuantan Sengingi Indragiri Hulu
Prevalensi Stunting 32,8 36,5 32,8 37,5 36,2 46,1 40,0 35,0 35,4 29,5 48,7 34,7 30,4 45,3 31,0 39,6 31,1 33,9 31,0 44,4 23,2 33,0 32,4 33,0
Disparitas 12,8 16,5 12,8 17,5 16,2 26,1 20,0 15,0 15,4 9,5 28,7 14,7 10,4 25,3 11,0 19,6 11,1 13,9 11,0 24,4 3,2 13,0 12,4 13,0
X5 77,70
X6 0,00
X11 2,90
X12 10,92
X14 73,79
67,60 63,30 74,10 78,90 82,50 68,30 86,70 83,80 66,70 64,30 60,60 63,60 81,10 91,00 88,40 93,90 94,30 83,70 71,10
0,60 0,80 0,00 0,70 0,00 0,30 0,00 0,00 0,30 0,00 0,30 0,00 0,00 0,00 0,70 0,00 0,00 0,00 0,00
0,70 3,00 5,90 4,30 5,20 7,80 6,50 3,50 6,00 4,40 2,40 7,80 3,00 4,90 5,80 4,50 4,80 0,00 6,70
15,99 13,21 17,59 15,35 7,72 17,12 12,59 14,79 17,92 17,43 14,42 13,76 4,97 4,59 2,25 5,19 5,23 7,77 5,87
67,72 69,52 69,29 69,26 72,44 70,09 72,06 69,52 71,05 67,54 67,48 68,84 76,70 74,28 73,74 76,39 77,13 74,36 72,82
72,60 69,60
0,00 0,80
1,10 2,70
19,03 14,63
72,47 72,96
59
Kode 1403 1404 1405 1406 1407 1408 1409 1471 1473 1500 1501 1502 1503 1504 1505 1506 1507 1508 1509 1571 1600 1601 1602 1603
Kab/Kota Indragiri Hilir Pelalawan Siak Kampar Rokan Hulu Bengkalis Rokan Hilir Kota Pekan Baru Kota Dumai Jambi Kerinci Merangin Sarolangun Batanghari Muara Jambi Tanjung Jabung Timur Tanjung Jabung Barat Tebo Bungo Kota Jambi Sumatera Selatan Ogan Komering Ulu Ogan Komering Hilir Muara Enim (Liot)
Prevalensi Stunting 41,1 31,1 23,9 24,2 27,5 33,6 43,6 33,4 35,1 36,4 46,4 38,7 40,3 33,6 25,3 35,2 42,1 40,9 43,9 25,6 44,7 43,6 57,6 44,1
Disparitas 21,1 11,1 3,9 4,2 7,5 13,6 23,6 13,4 15,1 16,4 26,4 18,7 20,3 13,6 5,3 15,2 22,1 20,9 23,9 5,6 24,7 23,6 37,6 24,1
X5 51,60 73,80 86,10 85,30 87,00 72,70 74,70 89,50 81,60
X6 0,00 0,90 0,00 0,40 0,30 0,00 0,30 0,00 0,00
X11 2,50 1,60 1,60 1,80 0,80 1,90 3,50 2,50 1,40
X12 14,57 18,07 6,01 10,73 21,86 10,69 9,41 2,24 6,28
X14 73,87 71,43 75,15 72,98 71,43 73,36 71,06 76,98 76,31
87,20 88,30 81,00 87,90 93,00 67,80 74,40 75,70 80,40 93,10
1,10 0,50 1,70 0,60 0,00 0,00 0,00 0,00 0,70 1,20
3,20 3,60 3,30 3,20 2,80 0,00 4,00 2,80 2,50 1,50
11,30 12,10 16,11 15,42 7,13 13,44 12,79 8,69 7,63 5,04
73,25 70,73 70,74 71,83 71,59 70,23 71,44 70,81 70,00 75,07
93,60 80,00 81,40
0,00 0,00 0,00
1,90 1,40 4,30
15,69 22,50 19,87
71,40 69,15 69,42
60
Kode 1604 1605 1606 1607 1608 1609 1610 1671 1672 1673 1674 1700 1701 1702 1703 1704 1705 1706 1707 1708 1771 1800 1801 1802
Kab/Kota Lahat Musi Rawas Musi Banyuasin Banyuasin Ogan Komiring Ulu Selatan Ogan Komiring Ulu Timur Ogan Ilir Kota Palembang Kota Prabumulih Kota Pagar Alam Kota Lubuk Linggau Bengkulu Bengkulu Selatan Rejang Lebong Bengkulu Utara Kaur Seluma Mukomuko Lebong Kepahiang Kota Bengkulu Lampung Lampung Barat Tanggamus
Prevalensi Stunting 43,5 48,7 37,0 45,5 45,5 38,5 44,9 44,9 32,5 40,3 33,7 36,0 52,1 38,5 34,3 33,1 34,1 33,9 46,9 40,9 26,9 38,7 42,0 44,1
Disparitas 23,5 28,7 17,0 25,5 25,5 18,5 24,9 24,9 12,5 20,3 13,7 16,0 32,1 18,5 14,3 13,1 14,1 13,9 26,9 20,9 6,9 18,7 22,0 24,1
X5 92,80 60,80 73,50 82,20 80,70 80,10 84,20 89,60 92,00 91,50 88,20
X6 1,50 1,50 0,00 0,00 0,90 0,00 0,40 0,30 0,00 0,00 1,50
X11 3,00 0,60 1,40 2,80 3,50 3,70 2,80 3,20 1,70 2,00 4,20
X12 28,09 32,93 33,60 17,72 18,96 16,03 21,57 8,98 7,57 9,75 14,25
X14 69,35 66,31 69,64 68,60 70,28 68,14 68,17 74,94 72,51 71,70 69,24
98,70 91,60 97,90 96,30 97,10 98,40 96,90 98,20 94,30
9,60 0,90 1,70 0,50 4,90 2,30 1,60 1,20 8,00
3,60 3,30 5,20 2,30 2,70 4,30 1,70 3,30 1,90
35,24 16,38 22,74 38,18 36,45 20,06 18,08 17,55 7,20
70,44 69,35 70,16 67,99 65,66 69,19 68,38 66,36 76,61
92,20 77,00
0,00 1,10
2,50 2,90
24,77 22,17
67,74 69,62
61
Kode 1803 1804 1805 1806 1807 1808 1871 1872 1900 1901 1902 1903 1904 1905 1906 1971 2100 2101 2102 2103 2104 2171 2172 3100
Kab/Kota Lampung Selatan Lampung Timur Lampung Tengah Lampung Utara Way Kanan Tulang Bawang Kota Bandar Lampung Kota Metro Kep. Bangka Belitung Bangka Belitung Bangka Barat Bangka Tengah Bangka Selatan Belitung Timur Kota Pangkal Pinang Kepulauan Riau Karimun Kepulauan Riau Natuna Lingga Kota Batam Kota Tanjung Pinang DKI Jakarta
Prevalensi Stunting 35,1 54,4 32,1 44,5 45,1 49,5 23,8 32,0 35,6 36,1 36,0 27,9 33,4 42,4 44,4 31,4 26,1 31,0 50,0 35,1 45,2 20,2 19,3 26,7
Disparitas 15,1 34,4 12,1 24,5 25,1 29,5 3,8 12,0 15,6 16,1 16,0 7,9 13,4 22,4 24,4 11,4 6,1 11,0 30,0 15,1 25,2 0,2 0,0 6,7
X5 99,00 98,20 93,40 95,30 96,80 94,20 97,10 99,30
X6 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,40 0,00
X11 1,70 2,60 2,30 1,90 4,10 0,70 5,10 3,90
X12 26,94 27,21 22,06 32,16 25,96 13,03 9,44 11,53
X14 68,39 69,23 69,40 68,97 68,46 68,63 74,29 75,31
91,00 89,90 51,30 80,90 51,60 80,60 92,50
3,20 0,50 3,70 1,10 3,30 0,00 5,00
4,70 3,60 1,80 4,20 4,60 5,80 6,20
10,53 11,59 7,41 10,36 6,71 15,58 6,85
71,24 72,19 69,06 70,34 65,82 70,58 74,55
84,00 89,00 57,70 75,80 84,10 90,80
0,00 1,50 2,30 2,80 0,30 0,00
2,20 2,20 3,20 1,30 1,30 5,70
8,69 11,73 8,74 30,06 7,65 12,92
72,40 72,97 69,36 70,25 76,82 73,46
62
Kode 3101 3171 3172 3173 3174 3175 3200 3201 3202 3203 3204 3205 3206 3207 3208 3209 3210 3211 3212 3213 3214 3215 3216 3271
Kab/Kota Kepulauan Seribu Kota Jakarta Selatan Kota Jakarta Timur Kota Jakarta Pusat Kota Jakarta Barat Kota Jakarta Utara Jawa Barat Bogor Sukabumi Cianjur Bandung Garut Tasikmalaya Ciamis Kuningan Cirebon Majalengka Sumedang Indramayu Subang Purwakarta Karawang Bekasi Kota Bogor
Prevalensi Stunting 37,9 21,0 28,6 23,9 29,8 28,6 35,4 31,7 39,8 45,1 45,0 41,8 43,4 33,4 35,0 34,1 42,4 33,0 35,5 40,8 30,7 34,4 27,8 28,3
Disparitas 17,9 1,0 8,6 3,9 9,8 8,6 15,4 11,7 19,8 25,1 25,0 21,8 23,4 13,4 15,0 14,1 22,4 13,0 15,5 20,8 10,7 14,4 7,8 8,3
X5 94,30 90,50 93,60 93,40 86,40 86,80
X6 0,00 0,00 0,00 0,40 0,00 0,00
X11 3,20 4,50 3,00 7,90 3,20 5,20
X12 15,12 3,74 4,02 3,99 4,04 7,95
X14 69,76 78,54 78,09 77,51 77,93 76,59
87,10 93,70 71,40 94,10 86,10 82,90 96,80 97,40 91,30 96,60 98,90 80,50 91,50 77,60 85,00 86,90 94,50
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,50 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
3,90 3,20 3,60 3,60 4,30 8,50 2,50 3,00 5,30 4,90 4,80 4,80 5,60 3,10 4,70 3,50 7,00
13,10 15,98 18,49 13,14 19,31 18,15 13,94 17,58 19,07 19,77 15,63 20,96 16,84 14,70 14,83 6,66 9,47
70,08 69,21 67,65 72,97 69,99 71,24 70,14 69,70 67,30 68,94 71,30 66,22 70,03 69,88 68,45 71,55 74,73
63
Kode 3272 3273 3274 3275 3276 3277 3278 3279 3300 3301 3302 3303 3304 3305 3306 3307 3308 3309 3310 3311 3312 3313 3314 3315
Kab/Kota Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok Kota Cimahi Kota Tasikmalaya Kota Banjar Jawa Tengah Cilacap Banyumas Purbalingga Banjarnegara Kebumen Purworejo Wonosobo Magelang Boyolali Klaten Sukoharjo Wonogiri Karanganyar Sragen Grobogan
Prevalensi Stunting 32,5 29,3 35,0 21,5 29,0 33,1 42,7 32,4 36,4 26,2 26,8 36,1 37,4 34,6 40,8 39,6 35,4 25,8 41,1 31,4 29,6 47,3 39,4 21,8
Disparitas 12,5 9,3 15,0 1,5 9,0 13,1 22,7 12,4 16,4 6,2 6,8 16,1 17,4 14,6 20,8 19,6 15,4 5,8 21,1 11,4 9,6 27,3 19,4 1,8
X5 95,80 100,00 96,40 96,30 94,40 97,40 93,30 97,70
X6 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
X11 7,10 5,10 5,50 4,50 3,50 8,50 4,20 3,10
X12 7,26 3,68 8,70 4,97 2,42 7,33 9,30 7,86
X14 73,66 74,86 73,87 75,31 77,89 74,42 72,75 70,17
89,60 94,60 91,70 91,60 94,30 91,60 94,80 95,90 98,50 95,10 96,50 95,50 83,20 92,00 98,60
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,60 0,50 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
3,60 7,50 7,30 7,50 4,10 3,00 2,30 1,80 7,00 6,80 6,10 5,30 7,80 4,00 3,10
22,59 22,46 30,24 27,18 30,25 20,49 32,29 17,37 18,06 22,27 14,02 24,44 17,39 21,24 25,14
70,25 71,23 70,38 68,54 69,96 70,68 69,22 71,03 69,63 72,48 72,46 70,11 71,59 68,98 69,75
64
Kode 3316 3317 3318 3319 3320 3321 3322 3323 3324 3325 3326 3327 3328 3329 3371 3372 3373 3374 3375 3376 3400 3401 3402 3403
Kab/Kota Blora Rembang Pati Kudus Jepara Demak Semarang Temanggung Kendal Batang Pekalongan Pemalang Tegal Brebes Kota Magelang Kota Surakarta Kota Salatiga Kota Semarang Kota Pekalongan Kota Tegal DI. Yogyakarta Kulon Progo Bantul Gunung Kidul
Prevalensi Stunting 45,5 49,6 42,2 39,8 36,6 42,9 29,0 32,3 42,0 40,1 42,2 40,3 38,7 48,7 34,6 22,6 22,5 38,3 32,3 40,5 27,6 27,2 30,1 32,6
Disparitas 25,5 29,6 22,2 19,8 16,6 22,9 9,0 12,3 22,0 20,1 22,2 20,3 18,7 28,7 14,6 2,6 2,5 18,3 12,3 20,5 7,6 7,2 10,1 12,6
X5 74,60 80,00 94,20 85,00 83,10 76,70 94,60 98,90 88,80 74,60 90,30 87,10 94,90 73,20 92,10 98,60 99,40 89,70 92,50 87,90
X6 0,00 0,00 0,50 0,00 0,80 0,00 0,00 0,50 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,50 0,00 0,00
X11 6,00 4,90 4,30 10,30 1,80 9,10 6,00 1,30 5,80 5,80 9,20 4,50 5,50 6,00 6,90 7,00 6,70 6,20 8,40 6,30
X12 21,46 30,71 19,79 10,37 10,44 23,50 12,34 16,55 20,70 20,79 20,31 22,79 18,50 27,93 10,01 13,64 9,01 5,26 6,62 9,36
X14 69,11 70,54 71,87 71,66 71,45 71,05 72,93 73,08 68,91 68,64 69,69 67,89 68,83 66,57 75,69 76,58 75,37 76,11 73,10 72,72
91,50 98,80 94,80
0,00 0,00 0,00
3,30 4,10 5,60
28,61 19,43 28,90
72,76 72,78 69,68
65
Kode 3404 3471 3500 3501 3502 3503 3504 3505 3506 3507 3508 3509 3510 3511 3512 3513 3514 3515 3516 3517 3518 3519 3520 3521
Kab/Kota Sleman Kota Yogyakarta Jawa Timur Pacitan Ponorogo Trenggalek Tulungagung Blitar Kediri Malang Lumajang Jember Banyuwangi Bondowoso Situbondo Probolinggo Pasuruan Sidoarjo Mojokerto Jombang Nganjuk Madiun Magetan Ngawi
Prevalensi Stunting 25,1 22,1 34,8 26,9 33,4 33,0 27,5 36,6 28,7 34,4 37,9 42,7 39,0 33,2 39,0 32,3 28,9 40,4 25,7 39,6 34,5 31,8 45,0 38,8
Disparitas 5,1 2,1 14,8 6,9 13,4 13,0 7,5 16,6 8,7 14,4 17,9 22,7 19,0 13,2 19,0 12,3 8,9 20,4 5,7 19,6 14,5 11,8 25,0 18,8
X5 90,70 96,00
X6 0,00 0,00
X11 8,30 3,10
X12 12,56 9,78
X14 76,70 78,14
89,00 88,80 93,80 98,90 89,90 87,30 85,70 81,20 82,40 84,70 87,10 76,30 75,00 87,00 87,80 86,30 95,30 93,70 89,10 84,90 95,30
0,00 0,00 0,60 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,40 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
9,20 7,70 4,60 13,90 8,10 13,80 6,60 5,80 4,90 5,20 2,50 4,20 4,50 6,00 4,30 7,80 5,60 4,20 5,00 10,00 7,90
23,31 18,23 22,79 17,83 18,67 18,98 15,96 20,09 18,57 15,33 24,23 15,60 27,42 19,88 13,05 14,86 21,21 23,79 20,98 16,87 23,33
70,48 68,55 71,68 72,00 72,28 70,39 69,07 66,20 63,27 67,24 60,76 62,64 60,97 65,52 74,87 71,99 71,44 69,25 68,24 71,20 67,52
66
Kode 3522 3523 3524 3525 3526 3527 3528 3529 3571 3572 3573 3574 3575 3576 3577 3578 3579 3600 3601 3602 3603 3604 3671 3672
Kab/Kota Bojonegoro Tuban Lamongan Gresik Bangkalan Sampang Pamekasan Sumenep Kota Kediri Kota Blitar Kota Malang Kota Probolinggo Kota Pasuruan KotaMojokerto Kota Madiun Kota Surabaya Kota Batu Banten Pandeglang Lebak Tangerang Serang Kota Tangerang Kota Cilegon
Prevalensi Stunting 33,5 37,7 39,8 28,4 41,9 48,0 51,8 47,9 30,4 26,0 22,3 33,3 28,6 19,1 21,0 24,8 31,0 38,9 44,6 31,1 39,3 45,5 30,1 37,2
Disparitas 13,5 17,7 19,8 8,4 21,9 28,0 31,8 27,9 10,4 6,0 2,3 13,3 8,6 0,0 1,0 4,8 11,0 18,9 24,6 11,1 19,3 25,5 10,1 17,2
X5 86,20 93,30 82,40 96,20 48,50 34,10 66,50 60,00 87,80 97,30 90,70 82,30 92,00 89,90 97,70 88,40 93,00
X6 0,00 0,00 0,00 0,00 0,40 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
X11 9,80 7,20 8,00 3,10 13,00 8,00 8,30 3,20 5,80 9,30 6,60 5,60 6,50 6,30 10,30 6,00 4,00
X12 26,37 28,51 25,79 23,98 31,56 39,42 32,43 32,98 13,67 12,02 7,19 16,19 12,91 10,46 7,07 7,98 9,71
X14 65,50 66,61 67,88 73,00 62,97 56,99 62,49 63,71 74,45 75,88 75,72 72,76 72,20 75,66 75,42 75,87 72,83
59,60 51,70 75,70 64,40 89,20 85,90
0,00 0,00 1,80 0,00 0,00 0,00
4,30 4,90 4,30 7,70 4,70 4,40
15,64 14,43 7,18 9,47 4,92 4,71
67,39 66,74 70,71 67,45 74,40 74,43
67
Kode 5100 5101 5102 5103 5104 5105 5106 5107 5108 5171 5200 5201 5202 5203 5204 5205 5206 5207 5271 5272 5300 5301 5302 5303
Kab/Kota Bali Jembrana Tabanan Badung Gianyar Klungkung Bangli Karangasem Buleleng Kota Denpasar Nusa Tenggara Barat Lombok Barat Lombok Tengah Lombok Timur Sumbawa Dompu Bima Sumbawa Barat Kota Mataram Kota Bima Nusa Tengara Timur Sumba Barat Sumba Timur Kupang
Prevalensi Stunting 31,0 33,2 25,5 24,8 25,8 28,3 37,5 39,0 35,4 30,2 43,7 41,7 45,1 43,1 48,2 42,3 46,6 46,6 35,2 49,5 46,7 49,1 42,3 51,4
Disparitas 11,0 13,2 5,5 4,8 5,8 8,3 17,5 19,0 15,4 10,2 23,7 21,7 25,1 23,1 28,2 22,3 26,6 26,6 15,2 29,5 26,7 29,1 22,3 31,4
X5
X6
X11
X12
X14
90,90 92,90 88,30 95,40 72,20 96,10 88,50 82,90 87,40
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
1,10 1,20 0,50 1,10 2,30 0,80 2,90 0,00 0,70
9,92 7,46 4,28 5,98 9,14 7,48 8,95 9,68 2,10
71,40 73,11 73,64 71,66 69,01 69,46 65,11 69,15 76,59
87,30 92,10 85,60 78,70 83,30 83,90 82,00 93,50 92,40
0,00 0,00 1,20 1,80 2,90 3,70 0,80 0,00 3,60
2,00 7,40 8,30 4,10 2,40 0,90 1,40 5,90 2,10
28,97 25,74 25,60 28,78 28,57 25,12 28,63 9,67 11,85
59,34 59,02 61,12 64,99 64,04 63,86 65,52 70,71 67,13
89,10 67,70 80,40
21,60 6,30 7,80
5,10 2,90 2,70
42,74 39,08 31,02
60,82 60,26 64,57
68
Kode 5304 5305 5306 5307 5308 5309 5310 5311 5312 5313 5314 5315 5371 6100 6101 6102 6103 6104 6105 6106 6107 6108 6109 6110
Kab/Kota Timor Tengah Selatan Timor Tengah Utara Belu Alor Lembata Flores Timur Sikka Ende Ngada Manggarai Rote Nda Manggarai Barat Kota Kupang Kalimantan Barat Sambas Bengkayang Landak Pontianak Sanggau Ketapang Sintang Kapuas Hulu Sekadau Melawai
Prevalensi Stunting 57,0 59,6 43,4 48,3 40,9 40,8 49,6 42,2 46,8 38,3 54,4 52,2 32,5 39,2 49,5 47,6 38,9 27,6 42,3 39,7 35,0 58,9 47,5 55,2
Disparitas 37,0 39,6 23,4 28,3 20,9 20,8 29,6 22,2 26,8 18,3 34,4 32,2 12,5 19,2 29,5 27,6 18,9 7,6 22,3 19,7 15,0 38,9 27,5 35,2
X5 87,30 85,40 89,00 57,50 94,70 87,50 98,20 89,30 96,50 77,50 64,30 86,60 93,00
X6 2,90 2,10 8,80 6,50 26,90 6,70 10,50 9,80 8,80 0,60 1,40 5,40 2,50
X11 5,10 2,80 5,80 5,70 2,30 7,50 4,70 4,30 5,40 0,40 2,10 1,70 3,90
X12 37,43 30,12 21,02 28,49 34,45 14,38 19,15 20,33 17,28 31,41 28,26 27,96 7,50
X14 64,43 65,84 62,82 67,31 66,10 66,74 66,04 65,39 67,95 65,78 64,61 63,99 75,91
78,20 71,40 82,30 69,10 78,20 60,30 94,20 66,70 87,70 74,20
0,70 3,30 2,70 0,00 0,60 5,00 1,90 0,00 0,50 2,10
3,90 3,20 1,70 4,80 3,50 1,60 1,30 2,20 2,80 1,10
14,00 11,88 24,95 8,26 7,97 17,94 17,10 15,05 10,25 19,50
63,01 66,32 66,43 67,43 67,64 66,02 66,89 69,26 65,75 67,61
69
Kode 6171 6172 6200 6201 6202 6203 6204 6205 6206 6207 6208 6209 6210 6211 6212 6213 6271 6300 6301 6302 6303 6304 6305 6306
Kab/Kota Kota Pontianak Kota Singkawang Kalimantan Tengah Kotawaringin Barat Kotawaringin Timur Kapuas Barito Selatan Barito Utara Sukamara Lamandau Seruyan Katingan Pulang Pisau Gunung Mas Barito Timur Murung Raya Kota Palangka Raya Kalimantan Selatan Tanah Laut Kota Baru Banjar Barito Kuala Tapin Hulu Sungai Selatan
Prevalensi Stunting 28,5 32,6 42,8 39,7 40,9 48,0 54,0 48,1 57,1 45,0 27,8 44,7 44,8 49,4 30,3 38,6 34,6 41,8 41,0 35,2 49,9 43,7 38,1 47,8
Disparitas 8,5 12,6 22,8 19,7 20,9 28,0 34,0 28,1 37,1 25,0 7,8 24,7 24,8 29,4 10,3 18,6 14,6 21,8 21,0 15,2 29,9 23,7 18,1 27,8
X5 82,30 84,90
X6 0,00 0,40
X11 4,80 5,40
X12 6,77 7,02
X14 71,59 67,61
86,80 77,10 37,30 73,90 76,40 70,90 82,20 84,10 86,80 75,10 73,20 75,00 45,80 84,10
3,20 0,00 0,00 0,00 1,00 2,40 3,00 0,00 1,60 0,00 1,20 1,30 0,70 0,40
2,40 0,50 3,40 0,50 4,80 0,40 0,50 2,60 1,20 3,00 2,90 5,80 4,70 2,10
8,66 11,33 9,30 10,43 8,61 9,00 7,76 11,25 8,68 9,18 9,29 12,34 8,91 5,75
72,14 72,90 72,58 72,56 74,12 70,65 71,54 71,62 71,59 70,10 72,40 71,66 71,62 77,47
86,60 77,80 74,50 88,60 85,10 78,50
0,00 0,00 0,50 0,00 0,00 0,00
7,10 2,70 3,20 3,40 5,00 4,30
7,62 8,61 4,24 8,17 8,42 9,68
69,85 69,98 69,43 65,89 69,34 69,35
70
Kode 6307 6308 6309 6310 6311 6371 6372 6400 6401 6402 6403 6404 6405 6406 6407 6408 6409 6471 6472 6473 6474 7100 7101 7102
Kab/Kota Hulu Sungai Tengah Hulu Sungai Utara Tabalong Tanah Bumbu Balangan Kota Banjarmasin Kota Banjar Baru Kalimantan Timur Pasir Kutai Barat Kutai Kutai Timur Berau Malinau Bulongan Nunukan Panajam Paser Utara Kota Balikpapan Kota Samarinda Kota Tarakan Kota Bontang Sulawesi Utara Bolaang Mongondow Minahasa
Prevalensi Stunting 45,2 50,4 42,0 31,8 47,4 40,5 27,8 35,2 43,5 31,7 36,5 31,1 38,9 27,3 52,1 52,0 42,3 27,4 34,7 32,6 37,1 31,2 30,7 42,5
Disparitas 25,2 30,4 22,0 11,8 27,4 20,5 7,8 15,2 23,5 11,7 16,5 11,1 18,9 7,3 32,1 32,0 22,3 7,4 14,7 12,6 17,1 11,2 10,7 22,5
X5 83,60 81,10 80,70 81,70 65,20 83,90 84,40
X6 0,00 0,00 0,00 0,40 0,00 0,00 0,00
X11 5,20 4,90 4,10 1,60 4,00 5,60 4,00
X12 4,14 11,16 11,25 8,22 11,35 2,90 4,08
X14 69,29 67,01 68,51 67,88 65,13 72,38 73,58
84,50 95,30 85,70 86,80 95,30 86,40 72,30 62,20 92,40 91,70 89,60 86,50 95,20
0,60 1,20 0,00 0,00 0,00 1,70 0,00 0,00 0,00 0,00 0,30 0,30 0,40
2,10 3,60 1,20 5,00 3,10 0,70 2,60 1,30 3,30 3,10 4,10 3,90 3,10
16,00 14,04 12,59 17,51 9,27 23,60 22,31 20,02 17,59 3,74 6,60 9,54 7,87
72,70 71,93 71,53 70,46 72,12 71,68 73,33 72,17 72,00 76,62 75,62 75,30 75,61
86,30 98,70
0,50 0,00
5,20 1,90
13,20 10,31
71,98 74,50
71
Kode 7103 7104 7105 7106 7171 7172 7173 7200 7201 7202 7203 7204 7205 7206 7207 7208 7209 7271 7300 7301 7302 7303 7304 7305
Kab/Kota Kepulauan Sangihe Talaud Kepulauan Talaud Minahasa Selatan Minahasa Utara Kota Manado Kota Bitung Kota Tomohon Sulawesi Tengah Banggai Kepulauan Banggai Morowali Poso Donggala Toli-Toli Buol Parigi Moutong Tojo Una-Una Kota Palu Sulawesi Selatan Selayar Bulukumba Bantaeng Jeneponto Takalar
Prevalensi Stunting 31,3 31,8 29,6 30,2 29,3 24,5 27,7 40,3 39,9 41,7 46,7 29,5 45,3 33,4 43,0 44,8 30,6 37,2 29,1 27,3 29,9 37,6 26,6 30,8
Disparitas 11,3 11,8 9,6 10,2 9,3 4,5 7,7 20,3 19,9 21,7 26,7 9,5 25,3 13,4 23,0 24,8 10,6 17,2 9,1 7,3 9,9 17,6 6,6 10,8
X5 91,50 97,70 98,10 91,00 98,50 100,00 99,20
X6 2,60 0,00 0,00 0,00 0,80 1,00 0,00
X11 3,20 1,60 1,10 1,00 3,70 3,30 2,00
X12 17,70 0,16 13,61 10,14 5,43 11,14 8,65
X14 74,19 73,77 73,32 74,90 76,76 74,15 75,12
82,40 89,70 98,50 93,80 77,30 63,30 86,10 83,40 69,80 93,00
7,70 2,60 0,00 2,90 1,10 0,70 2,40 0,80 1,20 0,80
4,10 2,60 2,20 2,90 2,80 1,50 2,90 1,00 3,00 5,10
27,92 17,28 28,27 28,02 23,59 22,18 25,50 23,69 30,22 9,73
65,93 69,33 69,23 68,47 68,09 66,88 68,17 67,15 67,28 75,14
99,50 99,50 96,40 98,70 98,60
2,40 0,50 0,00 0,00 0,00
5,10 8,70 3,80 3,40 2,70
20,45 13,56 12,12 24,55 13,80
67,74 69,27 68,33 63,42 66,95
72
Kode 7306 7307 7308 7309 7310 7311 7312 7313 7314 7315 7316 7317 7318 7322 7325 7371 7372 7373 7400 7401 7402 7403 7404 7405
Kab/Kota Gowa Sinjai Maros Pangkajene Kepulauan Barru Bone Soppeng Wajo Sidenreng Rappang Pinrang Enrekang Luwu Tana Toraja Luwu Utara Luwu Timur Kota Makasar Kota Pare Pare Kota Palopo Sulawesi Tenggara Buton Muna Konawe/Kab. Kendari Kolaka Konawe Selatan
Prevalensi Stunting 32,8 28,8 27,8 27,8 38,5 34,3 28,7 18,6 25,8 26,1 34,9 26,4 34,5 24,8 21,7 26,9 34,2 24,4 40,5 50,1 40,2 31,7 39,8 45,5
Disparitas 12,8 8,8 7,8 7,8 18,5 14,3 8,7 0,0 5,8 6,1 14,9 6,4 14,5 4,8 1,7 6,9 14,2 4,4 20,5 30,1 20,2 11,7 19,8 25,5
X5 100,00 97,70 97,80 96,80 96,40 96,90 99,40 98,80 98,70 100,00 99,70 98,40 98,40 99,20 98,90 99,60 99,60 99,60
X6 0,80 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,40 0,40
X11 2,00 5,90 7,30 5,20 7,60 5,00 7,00 8,80 8,50 4,00 5,00 4,90 2,10 2,90 3,30 7,00 10,50 3,10
X12 14,13 13,87 20,08 23,93 14,73 18,84 5,45 11,36 8,05 10,44 22,79 21,24 19,91 14,03 10,21 5,66 7,65 12,71
X14 68,87 68,24 69,22 67,73 68,97 68,34 70,26 68,04 71,18 71,43 73,32 72,46 70,18 72,55 71,67 77,33 76,47 75,37
89,90 91,60 96,90 71,20 89,10
0,20 0,50 0,00 0,30 2,30
5,40 4,70 3,20 2,40 2,70
22,94 25,35 24,63 25,35 18,31
67,08 65,93 67,96 69,76 68,37
73
Kode 7406 7407 7408 7471 7472 7500 7501 7502 7503 7504 7571 7600 7601 7602 7603 7604 7605 8100 8101 8102 8103 8104 8105 8106
Kab/Kota Bombana Wakatobi Kolaka Utara Kota Kendari Kota Bau-Bau Gorontalo Boalemo Gorontalo Pokuwato Bone Bolango Kota Gorontalo Sulawesi Barat Majene Polewali Mamasa Mamasa Mamuju Mamuju Utara Maluku Maluku Tenggara Barat Maluku Tenggara Maluku Tengah Buru Kepulauan Aru Seram Bagian Barat
Prevalensi Stunting 31,0 52,7 34,9 32,6 42,3 39,9 41,3 44,2 31,2 38,7 36,3 44,5 40,7 41,8 47,4 49,5 42,9 45,8 34,4 46,9 51,2 38,0 53,0 30,9
Disparitas 11,0 32,7 14,9 12,6 22,3 19,9 21,3 24,2 11,2 18,7 16,3 24,5 20,7 21,8 27,4 29,5 22,9 25,8 14,4 26,9 31,2 18,0 33,0 10,9
X5 92,80 97,80 56,00 99,00 92,40
X6 0,00 1,10 0,00 0,30 1,80
X11 3,10 8,30 3,30 4,40 3,50
X12 20,51 24,51 26,29 10,15 17,08
X14 65,35 65,54 67,57 74,55 71,56
87,80 91,50 69,90 93,00 93,90
0,40 1,10 0,80 0,40 0,00
3,30 2,70 2,80 4,40 2,90
29,21 32,07 29,74 30,60 8,11
67,24 67,77 68,81 69,97 71,64
93,00 92,30 91,50 95,20 68,80
0,00 0,40 0,00 1,10 0,60
2,60 5,70 4,50 0,00 2,60
23,55 24,96 25,51 10,43 9,22
69,12 64,77 69,16 67,60 68,84
73,70 88,70 84,30 49,30 68,00 50,70
7,90 5,20 0,00 5,70 0,00 0,00
7,10 0,00 1,50 0,00 2,40 1,00
44,15 35,98 36,03 31,34 36,88 37,85
67,14 71,04 69,06 67,49 68,91 68,28
74
Kode 8107 8171 8200 8201 8202 8203 8204 8205 8206 8271 8272 9100 9101 9102 9103 9104 9105 9106 9107 9108 9171 9400 9401 9402
Kab/Kota Seram Bagian Timur Kota Ambon Maluku Utara Halmahera Barat Halmahera Tengah Kepulauan Sula Halmahera Selatan Halmahera Utara Halmahera Timur Kota Ternate Kota Tidore Kepulauan Papua Barat Fak-Fak Kaimana Teluk Wondama Teluk Bintuni Manokwari Sorong Selatan Sorong Raja Ampat Kota Sorong Papua Merauke Jayawijaya
Prevalensi Stunting 67,9 52,3 40,2 48,2 48,0 23,6 52,3 37,0 31,9 35,3 45,0 39,4 42,2 37,2 45,3 40,9 44,6 60,6 29,9 47,3 27,4 37,6 26,4 49,8
Disparitas 47,9 32,3 20,2 28,2 28,0 3,6 32,3 17,0 11,9 15,3 25,0 19,4 22,2 17,2 25,3 20,9 24,6 40,6 9,9 27,3 7,4 17,6 6,4 29,8
X5 40,30 90,10
X6 2,80 0,00
X11 0,00 4,00
X12 39,83 6,51
X14 66,18 77,46
84,00 74,80 65,60 81,20 66,20 75,70 85,60 91,40
11,10 5,70 5,40 5,40 0,90 0,70 2,30 2,20
3,10 4,10 1,90 2,50 3,80 0,00 2,00 2,70
16,19 30,18 14,07 12,95 9,63 21,54 4,26 7,43
65,56 67,61 66,46 66,93 66,58 66,68 74,93 68,13
89,00 56,50 59,00 58,10 75,70 85,50 85,10 68,10 87,60
23,10 27,40 18,00 12,20 16,90 34,80 11,90 4,40 8,30
1,40 4,60 2,70 0,00 0,00 0,00 1,90 0,00 2,70
39,57 35,22 53,34 51,37 47,34 28,05 33,84 3,01 35,71
69,58 68,80 63,40 64,40 64,17 65,38 67,21 62,47 75,59
93,80 63,20
6,20 9,20
2,30 0,80
31,56 50,31
64,03 52,97
75
Kode 9403 9404 9408 9409 9410 9412 9413 9414 9415 9416 9418 9419 9420 9426 9427 9471
Kab/Kota Jayapura Nabire Yapen Waropen Biak Namfor Paniai Mimika Boven Gigoel Mappi Asmat Yahukimo Tolikara Sami Keerom Waropen Supiori Kota Jayapura
Prevalensi Stunting 33,3 34,9 36,1 34,9 50,0 33,5 37,6 35,6 30,9 49,5 50,8 16,7 30,7 57,4 46,3 27,3
Disparitas 13,3 14,9 16,1 14,9 30,0 13,5 17,6 15,6 10,9 29,5 30,8 0,0 10,7 37,4 26,3 7,3
X5 88,50 78,70 78,00 83,10 25,30 87,90 80,80 73,90 56,10 19,40 62,20 65,40 100,00 54,50 74,00 82,30
Keterangan: Cut off disparitas menggunakan ambang batas non public health problem oleh WHO 1995 sebesar 20%. X5 : Persentase imunisasinya tidak lengkap X6 : Prevalensi malaria X11 : Persentase ibu tunggal X12 : Tingkat kemiskinan X14 : Indeks Pembangunan Manusia
X6 16,70 16,90 16,00 30,00 0,00 10,60 17,80 8,70 21,10 1,30 0,00 19,20 12,50 7,30 8,90 4,40
X11 1,60 1,50 1,60 5,40 1,40 2,80 1,90 6,00 0,00 0,00 0,00 0,00 5,30 2,50 2,20 4,40
X12 30,91 45,56 43,54 46,98 52,18 32,73 29,52 34,04 33,49 48,34 45,30 31,20 27,07 46,93 53,25 25,30
X14 69,97 65,60 68,06 68,55 58,74 67,84 48,65 49,04 49,53 48,31 50,38 65,90 67,99 61,97 66,92 73,84
76
Lampiran 2 Posisi objek pada kuadran biplot menurut kabupaten/kota di Indonesia tahun 2007. Kuadran I Kuadran II Kuadran III Kota Banda Aceh Aceh Besar Solok Kota Sabang Pidie Sawah Lunto/Sijunjung Tapanuli Selatan Bireuen Limapuluh Koto Toba Samosir Aceh Utara Rejang Lebong Labuhan Batu Aceh Barat Daya Bengkulu Utara Asahan Gayo Lues Kaur Simalungun Aceh Tamiang Seluma Karo Nagan Raya Mukomuko Deli Serdang Aceh Jaya Lebong Langkat Bener Meriah Kepahiang Humbang Hasundutan Kota Langsa Lampung Barat Samosir Kota Lhokseumawe Tanggamus Serdang Bedagai Nias Lampung Selatan Kota Sibolga Mandailing Natal Lampung Timur Kota Pematang Siantar Tapanuli Tengah Lampung Utara Kota Tebing Tinggi Tapanuli Utara Way Kanan Kota Medan Dairi Tulang Bawang Kota Padang Sidempuan Nias Selatan Sukabumi Tanah Datar Pakpak Barat Cianjur Agam Kota Tanjung Balai Garut Kota Padang Kepulauan Mentawai Tasikmalaya Kota Solok Pesisir Selatan Cirebon Kota Padang Panjang Padang Pariaman Majalengka Kota Bukit Tinggi Pasaman Sumedang
Kuadran IV Kota Sawah Lunto Tanjung Jabung Barat Ogan Komering Ulu Lampung Tengah Kota Bandar Lampung Kota Metro Bogor Bandung Ciamis Kuningan Subang Purwakarta Bekasi Kota Bogor Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Cimahi Kota Tasikmalaya Kota Banjar Cilacap Banyumas Magelang
77
Kuadran I Kota Payakumbuh Kota Pariaman Kuantan Sengingi Indragiri Hulu Indragiri Hilir Pelalawan Siak Kampar Rokan Hulu Bengkalis Kota Pekan Baru Kota Dumai Kerinci Merangin Batanghari Muara Jambi Tebo Ogan Komiring Ulu Timur Kota Prabumulih Kota Pagar Alam Kota Bengkulu Karimun Kota Batam Kota Tanjung Pinang Kota Jakarta Selatan Kota Jakarta Timur
Kuadran II Solok Selatan Dharmas Raya Pasaman Barat Rokan Hilir Sarolangun Tanjung Jabung Timur Bungo Kota Jambi Ogan Komering Hilir Muara Enim (Liot) Musi Rawas Musi Banyuasin Banyuasin Ogan Komiring Ulu Selatan Ogan Ilir Kota Lubuk Linggau Bengkulu Selatan Kepulauan Riau Natuna Lingga Karawang Banyuwangi Bondowoso Probolinggo Pasuruan Jombang
Kuadran III Indramayu Purbalingga Banjarnegara Kebumen Purworejo Wonosobo Sragen Grobogan Blora Rembang Demak Kendal Batang Pekalongan Pemalang Tegal Brebes Gunung Kidul Ponorogo Lumajang Jember Situbondo Madiun Ngawi Tuban Pandeglang
Kuadran IV Boyolali Klaten Sukoharjo Wonogiri Pati Jepara Semarang Temanggung Kota Magelang Kota Surakarta Kota Salatiga Kota Pekalongan Kulon Progo Bantul Sleman Pacitan Trenggalek Tulungagung Blitar Malang Magetan Kota Blitar Kota Malang Kota Pasuruan Kota Tangerang Bangli
78
Kuadran I Kota Jakarta Pusat Kota Jakarta Barat Kota Jakarta Utara Kota Depok Karanganyar Kudus Kota Semarang Kota Tegal Kediri Sidoarjo Mojokerto Gresik Kota Kediri Kota Probolinggo Kota Mojokerto Kota Madiun Kota Surabaya Kota Batu Tangerang Kota Cilegon Jembrana Tabanan Badung Gianyar Buleleng Kota Denpasar
Kuadran II Nganjuk Bojonegoro Lamongan Bangkalan Sampang Pamekasan Sumenep Serang Karangasem Sumbawa Barat Manggarai Landak Pontianak Ketapang Kapuas Hulu Kapuas Sukamara Lamandau Barito Kuala Bulongan Nunukan Banggai Kepulauan Buol Tojo Una-Una Buton Konawe/Kab. Kendari
Kuadran III Klungkung Lombok Barat Lombok Tengah Lombok Timur Sumbawa Dompu Bima Kota Bima Sumba Barat Sumba Timur Kupang Timor Tengah Selatan Timor Tengah Utara Belu Alor Lembata Flores Timur Sikka Ende Ngada Rote Nda Manggarai Barat Sambas Bengkayang Sanggau Sintang
Kuadran IV Kota Mataram Kota Kupang Kotawaringin Barat Kota Baru Tabalong Kota Banjarmasin Kutai Barat Kutai Berau Malinau Panajam Paser Utara Kota Tarakan Bolaang Mongondow Minahasa Kepulauan Sangihe Talaud Kepulauan Talaud Minahasa Selatan Minahasa Utara Kota Manado Kota Bitung Kota Tomohon Kota Palu Bulukumba Gowa Sinjai Maros
79
Kuadran I Kota Pontianak Kotawaringin Timur Barito Selatan Barito Utara Seruyan Gunung Mas Kota Palangka Raya Tanah Laut Tapin Tanah Bumbu Kota Banjar Baru Pasir Kutai Timur Kota Balikpapan Kota Samarinda Kota Bontang
92 kab/kota
Kuadran II
76 kab/kota
Kuadran III Sekadau Melawai Katingan Banjar Hulu Sungai Selatan Hulu Sungai Utara Balangan Banggai Morowali Poso Donggala Toli-Toli Parigi Moutong Selayar Bantaeng Jeneponto Takalar Pangkajene Kepulauan Barru Tana Toraja TOTAL 96 kab/kota
Kuadran IV Bone Soppeng Wajo Sidenreng Rappang Pinrang Enrekang Luwu Luwu Utara Luwu Timur Kota Makasar Kota Pare Pare Kota Palopo
88 kab/kota
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Lampung Tengah pada tanggal 10 April 1988 sebagai anak ke-dua dari pasangan Slamet dan Suginem. Pendidikan Sarjana ditempuh di Program Studi Ilmu Gizi, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun 2010. Pada tahun 2011, penulis diterima di Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2015. Sebuah artikel telah diterbitkan dengan judul Faktor Risiko Kegemukan Pada Wanita Dewasa Indonesia pada Jurnal Gizi dan Pangan Vol 8, No 1, Maret 2013. Karya ilmiah tersebut juga terpilih untuk disajikan sebagai oral presentation pada Seminar Nasional Pangan dan Gizi di Jakarta pada tanggal 27 Juni 2013. Satu artikel dengan judul Faktor-faktor Penentu Disparitas Prevalensi Stunting pada Balita di Berbagai Kabupaten/Kota di Indonesia telah diterima untuk diterbitkan (accepted) di Jurnal Gizi dan Pangan pada tahun 2014. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S-2 penulis