GANGGUAN MOOD EPISODE DEPRESI SEDANG MOOD

Download J Medula Unila|Volume 4|Nomor 2|Desember 2015|182. Gangguan Mood Episode Depresi Sedang. Zelvi Ninaprilia, Cahyaningsih Fibri Rohmani. Faku...

0 downloads 619 Views 137KB Size
Zelvi | Gangguan Mood Episode Depresi Sedang





Gangguan Mood Episode Depresi Sedang



Zelvi Ninaprilia, Cahyaningsih Fibri Rohmani Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung

Abstrak Gangguan mood merupakan suatu sindrom yang terdiri dari tanda-tanda dan gejala-gejala yang berlangsung dalam hitungan minggu hingga bulan yang mempengaruhi fungsi dan pola kehidupan sehari-hari. Gangguan mood dapat kearah depresi atau manik. Tn Tz 63 tahun, dengan keluhan sulit tidur, tidak bersemangat bekerja, mudah lelah, berkurang nafsu makan, merasa kurang percaya diri serta menarik diri dari lingkungan sekitar. Pasien didiagnosis gangguan mood episode depresi sedang. Pasien diterapi dengan intervensi psikoterapi dan psikofarmaka. Dengan ditatalaksana dengan psikofarmaka dan psikoterapi merupakan pengobatan yang sesuai yang diberikan untuk gangguan depresi yang dialami oleh pasien tersebut. Kata kunci: depresi, mood

Mood Disorder Episode Moderate Depression Abstract The mood disorder is a syndrome consisting of signs and symptoms that take place in a matter of weeks to months that affect the function and pattern of everyday life. Mood disorders can towards depression or manic. Mr. Tz 63 years, with complaints of sleeplessness, was not eager to work, fatigue, decreased appetite, feeling less confident and withdrew from the surrounding environment. Patients diagnosed episode of depression was a mood disorder. Patients treated with psychotherapy and psychopharmacology intervention. Treatement with psychopharmacology and psychotherapy is an appropriate treatment is given to depression disorder of this patient. Keyword: depression, mood Korespondensi: Zelvi Ninaprilia, S.Ked, Alamat Taman Sari Rt 01/01 Gedong Tataan Pesawaran Lampung, HP 082183974726, e-mail [email protected]





Pendahuluan Gangguan mood episode depresi merupakan penurunan mood yang mengakibatkan berkurangnya energi dan kehilangan minat dan kegembiraan, hal tersebut berlangsung selama minimal 2 minggu.1,2 Terdapat beberapa faktor yang diduga sebagai faktor yang menyebabkan terjadinya depresi yaitu faktor biologi yang berhubungan dengan ketidakseimbangan neurotransmitter pada otak seperti serotonin, dopamin dan norepinefrin yang mengalami penurunan kadarnya, faktor genetik yaitu bahwa apabila memiliki satu orang tua yang terdepresi kemungkinan meningkatkan resiko dua kali untuk keturunan, memiliki kedua orang tua terdepresi kemungkinan meningkatkan resiko empat kali bagi keturunan untuk terkena gangguan depresi sebelum usia 18 tahun, dan faktor psikososial berupa seseorang yang pernah mengalami peristiwa kehidupan dan stess lingkungan, suatu pengalamn klinis yang telah lama direplikasikan adalah bahwa peristiwa kehidupan yang menyebabkan stress lebih J Medula Unila|Volume 4|Nomor 2|Desember 2015|182

sering mendahului episode pertama gangguan mood daripada episode selanjutnya. Hubungan tersebut telah dilaporkan untuk gangguan depresi berat.3,4,5 Pada gangguan mood episode depresi terdapat tiga gejala utama berupa, afek depresi, kehilangan minat dan kegembiraan, dan berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah. Selain itu juga terdapat tujuh gejala tambahan yaitu kosentrasi dan perhatian berkurang, harga diri dan kepercayaan diri berkurang, gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna, pandangan masa depan yang suram dan pesimistis, gagasan atau perbuatan yang membahayakan diri atau bunuh diri, tidur terganggu, dan nafsu makan berkurang. Dalam mendiagnosis gangguan mood episode depresi harus terdapat beberapa gejala utama serta beberapa gejala tambahan sesuai dengan kriteria depresinya yaitu depresi ringan, sedang atau berat.2 Prevalensi depresi di Indonesia cukup tinggi sekitar 17-27 %, sedangkan di dunia diperkirakan 5-10 % pertahun dan life time

Zelvi | Gangguan Mood Episode Depresi Sedang

prevalence bisa mencapai dua kali lipatnya. Data organisasi kesehatan dunia menyebutkan bahwa pada tahun 2020, depresi akan menjadi beban global penyakit kedua di dunia setelah penyakit jantung iskemik.6 Dari hasil meta analisis yang telah dilakukan oleh Knol et al, 2006 didapatkan bahwa 37 % gangguan depresi atau gejala depresi dapat menjadi salah satu faktor resiko terjadinya diabetes melitus tipe 2.7,8 Gangguan depresi dapat mengakibatkan peningkatan glukosa darah, hal ini akibat dari pengaktivasian sistem hipotalamus-hipofisis yang mengaktivasi hormon kortisol yang pada akhirnya menyebabkan peningkatan proses glukoneogenesis.9 Selain itu, depresi merupakan salah satu komplikasi yang dapat terjadi pada orang diabetes melitus.10 Kasus Pasien Tn. Tz, 63 tahun, berpenampilan sesuai dengan usianya, cara berpakaian rapi dan perawatan diri baik. Datang ke poliklinik RS jiwa Lampung dengan keluhan susah tidur ini sudah dirasakan Pasien sejak 2,5 bulan sebelum datang ke RS jiwa. Pasien mengatakan bahwa awalnya masih dapat tidur, namun terbangun saat malam hari dan tidak dapat tidur lagi. Hal ini terjadi karena pada malam hari pasien selalu memikirkan istri pasien yang sudah meninggal 1 tahun yang lalu. Selain itu, pasien juga merasa kurang bersemangat untuk beraktivitas karena pasien merasa lemas, mudah lelah, tidak berenergi dan pasien merasa kesal terhadap diri sendiri karena tidak bisa melakukan aktivitas seperti biasa, pasien merasa bahwa hidupnya sudah tidak seperti dulu. Dahulu pasien merupakan orang yang aktif bersosialisasi dengan lingkungan namun sekarang pasien sudah menarik diri dari lingkungan kerena kurang percaya diri dan malas beraktivitas. Pasien juga mengalami penurunan nafsu makan sejak istrinya meninggal dan kepercayaan diri pasien berkurang ditunjukan dengan sikap pesimis pasien terhadap penyakitnya yang membuat pasien akan cepat menyusul istrinya. Pasien menyangkal bahwa pasien kehilangan kosentrasi dan pelupa. Pasien mengatakan tidak pernah mendengar suara-suara yang membisikan pasien yang tidak dapat didengar orang lain, atau melihat sesuatu yang tidak dapat dilihat



orang lain. Pasien mengatakan tidak pernah minum alkohol, narkoba namun Pasien pernah merokok. Pasien tidak memilki riwayat hipertensi namun memiliki diabetes melitus yang baru diketahui saat berobat ke dokter spesialis penyakit dalam 2 bulan yang lalu dan sekarang masih menjalani pengobatan. Usia pasien pada masa kanak-kanak tidak diketahui. Usia saat remaja tidak diketahui. Riwayat pendidikan terakhir SD, riwayat pernikahan menikah sekali dan mempunyai 5 orang anak laki-laki dan 1 anak perempuan. Riwayat kehidupan keluarga pasien merupakan anak keenam dari 12 bersaudara. Pada kehidupan keluarga pasien sekarang pasien memiliki enam orang anak, anak kedua pasien seorang perempuan menghilang pada tahun 2000 hingga sekarang. Anak kelima pasien sudah meninggal pada usia 6 tahun karena penyakit jantung. Anak keempat pasien pernah menggunakan narkoba pada tahun 2013 sudah selesai mengalami rehabilitasi. Pada tahun 2013 akhir istri pasien meninggal dunia. Pada status mental didapatkan: penampilan pasien sesuai usia, pakaian rapi, kuku terpotong rapi, sikap kooperatif, kontak mata dengan pemeriksa baik, normoakif, pembicaraan spontan, lancar, intonasi sedang volume cukup kualitas dan kuantitsa baik, artikulasi jelas. Mood hipothymia, afek terbatas, appropriate, serasi, empati dapat dirasakan. Proses pikir yaitu bentu pikir realistik, produktivitas spontan, kontinuitas relevant, koheren, hedaya berbahasa tidak ada. Isi pikiran waham tidak ada, halusinasi tidak ada, ilusi tidak ada. Daya kosentrasi, daya ingat dan orientasi baik, abstraksi baik, penilaian terhadap realita baik dan tilikan derajat tiga. Pasien ditatalaksana dengan psikofarmaka yaitu fluoxentin 20 mg 1x½ tab pagi hari, dan lorazepam 2mg 1x½ tab malam hari. Psikoterapi suportif dan psikoterapi edukasi dilakukan pad pasien dan keluarga pasien. Pembahasan Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan status mental yang telah dilakukan didapatkan bahwa pasien mengalami sulit tidur, hilang minat dan aktivitas berkurang, merasa mudah lelah dan energi berkurang, kurang percaya diri, J Medula Unila|Volume 4|Nomor 2|Desember 2015|183

Zelvi | Gangguan Mood Episode Depresi Sedang



menyikapi penyakit pasien dengan pemikiran yang pesimis, nafsu makan berkurang dan merasa tidak berguna. Pada pemeriksaan status metal didapatkan mood hipothymik, afek terbatas, dan tidak ditemukan gangguan isi pikir serta halusinasi. Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan status mental dapat ditegakan bahwa pasien mengalami gangguan suasana perasaan episode depresi 2,11,12 sedang. Episode depresi sedang dapat ditegakan apabila memenuhi sekurang-kurangnya 2 dari 3 gejala utama dan ditambah sekurangnya 3 dari gejala tambahan, lama episode minimal 2 minggu dan hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan.2,13 Gangguan depresif merupakan suatu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dengan gejala penyerta termasuk perubahan pola tidur, nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa, tak berdaya dan gagasan bunuh diri.14 Menurut DSM-V kriteria gejala gangguan depresi harus terlihat setiap hari agar dapat dipertimbangan, kecuali penurunan berat badan dan ide bunuh diri. Sepanjang hari mood depresi dapat terlihat, dan terlihat hampir setiap hari. Biasanya pasien datang berobat dengan keluhan utama karena insomnia dan mudah lelah dan kegagalan dalam penyelidikan lanjutan terhadap gejala depresi sering menjadi kendala dalam mendiagnosis.15 Beberapa klasifikasi gangguan mood episode depresi yaitu episode depresi ringan, episode depresi sedang dan episode depresi berat. Menurut PPDGJ III dalam mendiagnosis depresi harus tiga gejala utama berupa 1) afek depresi; 2) kehilangan minat dan kegembiraan; 3) berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah. Selain itu terdapat tujuh gejala tambahan yaitu 1) kosentrasi dan perhatian berkurang; 2) harga diri dan kepercayaan diri berkurang; 3) gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna; 4) pandangan masa depan yang suram dan pesimistis; 5) gagasan atau perbuatan yang membahayakan diri atau bunuh diri; 6) tidur terganggu dan 7) nafsu makan berkurang.2,11 Hal tersebut harus berlangsung paling sedikit 2 minggu, tidak diikuti gejala mania dan hipomania sebelum dan setelahnya. Depresi ringan dengan memenuhi harus 2 dari 3 gejala utama, J Medula Unila|Volume 4|Nomor 2|Desember 2015|184

sekurang-kurangnya 2 dari 7 gejala tambahan dan masih dapat melakukan pekerjaan. Depresi sedang memenuhi harus 2 dari 3 gejala utama, sekurang-kurangnya 3 atau 4 dari 7 gejala tambahan dan kesulitan nyata dalam melakukan pekerjaan dan kegiatan. Depresi berat memenuhi harus 3 dari 3 gejala utama, sekurang-kurangnya 4 dari gejala tambahan dan sudah tidak memungkinkan melakukan aktivitas seperti biasa.2 Namun menurut ICD 10 depresi ringan dengan memenuhi harus 2 dari 3 gejala utama, sekurang-kurangnya 4 dari 7 gejala tambahan dan masih dapat melakukan pekerjaan. Depresi sedang memenuhi harus 2 dari 3 gejala utama, sekurang-kurangnya 6 dari 7 gejala tambahan dan kesulitan nyata dalam melakukan pekerjaan dan kegiatan. Depresi berat memenuhi harus 3 dari 3 gejala utama, sekurang-kurangnya 7 dari gejala tambahan dan sudah tidak memungkinkan melakukan aktivitas seperti biasa.11 Gangguan depresi berat adalah suatu gangguan yang sering terjadi, dengan prevalensi seumur hidup kira-kira 15 % dan kemungkinan sekitar 25 % terjadi pada wanita. Diduga adanya hormon, pengaruh melahirkan, menyebabkan perempuan dua kali lipat lebih mudah terkena depresi. Paling sering terjadi pada orang yang tidak mempunyai hubungan interpersonal yang erat atau pada mereka yang bercerai dan berpisah.3 Menurut Hensley dan Clayton, 2008 bahwa perpisahan yang terjadi akan dapat menimbulkan suatu gangguan depresi setelah mengalami kehilangan selama 1 tahun. Seperti yang dialami pasien yaitu mengalami sulit tidur setelah kehilangan istrinya yang meninggal satu tahun yang lalu.16 Dasar psikiarti biologi mengatakan bahwa pikiran manusia terhubung dengan tubuh manusia sehingga gangguan mental terjadi berhubungan dengan perubahan biokimia dalam tubuh dan hal tersebut dapat diukur. Pendapat kedua dari psikiarti biologi adalah pikiran manusia dapat berhubungan terhadap proses neurokimia, neurofisiologi, neuroendokrin dan genetik. Hal tersebut dipostulasikan bahwa gangguan suasana perasaan dapat dihubungkan dengan adanya gangguan pada transmisi saraf otak pada tingkat sinap.17 Data yang dilaporkan paling konsisten dengan hipotesis bahwa gangguan depresi

Zelvi | Gangguan Mood Episode Depresi Sedang

berat adalah berhubungan dengan disregulasi pada amin biogenik (norepineprin dan serotonin). Penurunan serotonin dapat mencetuskan depresi dan pada beberapa pasien yang bunuh diri memiliki konsentrasi metabolik serotonin di dalam cairan serebrospinal yang rendah serta konsentrasi tempat ambilan serotonin yang rendah di trombosit.4 Stress adalah kondisi yang dihasilkan ketika seseorang berinteraksi dengan lingkungannya yang kemudian merasakan suatu pertentangan, apakah itu riil ataupun tidak, antara tuntutan situasi dan sumber daya system biologis, psikologis dan sosial, dalam terminologi medis, stress akan mengganggu system homeostasis tubuh yang berakibat terhadap gejala fisik dan psikologis.18 Stress dapat mengakibatkan homeostatis dalam tubuh terganggu, sehingga stress dapat mengakibatkan penstimulasian beberapa bagian dalam tubuh kita untuk mempertahankan diri agar tetap stabil.14 Seperti stressor mempengaruhi HPA aksis dan regulasi hormon serta neurotransmitter.9 Stressor dapat mempengaruhi sistem limbik yang merupakan pusat emosi manusia. Hipotalamus merupakan bagian utama dari sitem limbik, selain itu hipotalamus merupakan organ yang berperan dalam jalur Hipotalamus-hipofisis anterior. Ketika mendapatkan stressor dari luar maka hipotalamus akan mengeluarkan CRH (Corticotrophin Releasing Hormone) kemudian CRH menstimulasi hipofisis anterior untuk mengeluarkan ACTH (Adenocorticotropik Hormone). Pada tahap selanjutnya ACTH menstimulasi kelenjar adrenal untuk melepaskan hormon kortisol.9 Gejala psikiatrik dari hiperkortisolisme seperti energia, anhedonia dan depresi berhubungan. Pada gangguan depresi mayor terdapat beberapa studi yang menunjang hubungan dengan peningktan kadar kortisol seperti 1) peningkatan kadar kortisol dalam plasma darah, CCS (cairan serebrospinal) dan urine; 2) peningkatan CRH pada CCS; 3) terjadi hipertropi kelenjar adrenal.2 Selain berpengaruh pada jalur HPA aksis, hipotalamus juga organ yang mengatur sistem perilaku serta pusat internal tubuh seperti suhu tubuh, osmolaritas cairan, dorongan untuk makan dan minum serta berat badan. Sehingga perangsangan yang terlalu



berlebihan pada hipotalamus dapat mengakibatkan gangguan pada fungsi hipotalamus tersebut.9,17 Peristiwa kehidupan dan stress lingkungan, suatu pengamatan klinis yang telah lama bahwa peristiwa kehidupan yang menyebabkan stress lebih sering mendahului episode pertama gangguan mood daripada episode selanjutnya, hubungan tersebut telah dilaporkan untuk pasien dengan gangguan depresi berat.2 Pada pasien stessor dialami pasien sejak tahun 2002 yaitu pada saat anak kedua yang menghilang hingga sekarang tidak ditemukan, kemudian pada anak keempat yang meninggal dunia karena penyakit jantung, serta anak ketiga yang menggunakan narkoba dan terakhir istri pasien meniggal dunia satu tahun yang lalu. Rencana terapi yang diberikan adalah Fluoxetine 20 mg 1x½ tab. Alasan penggunaan Fluoxetine (Antidepresan Golongan Selective Serotonin Re-Uptake Inhibitor (SSRI)) adalah karena secara umum SSRI merupakan lini pertama pada pengobatan depresi, obat ini berkerja dengan menghambat pengambilan serotonin secara spesifik. Selain itu kelebihan obat ini dibandingkan antidepresan trisiklik obat ini mempunyai efek antikolinergik lebih kecil dan kardiotoksik lebih rendah.19 Dari penelitian yang telah dilakukan setelah penggunaan fluoxentin selama 8 minggu pada penderita gangguan depresi usia tua memperoleh hasil pengobatan yang baik, hal tersebut dibuktikan dengan melihat tingkat aktivasi otak yang menggambarkan emosi seorang penderita depresi yang sudah normal sama dengan kontrol yang sehat dengan usia tua.20 Dalam pengobatan depresi terdapat beberapa fase pengobatan yaitu fase akut bertujuan untuk meredakan gejala yang berlangsung selama 6-12 minggu, dalam fase akut tersebut dosis dinaikan sampai mencapai dosis terapi, fase kelanjutan mencegah relaps yang berlangsung selama 4-9 bulan, pada fase ini dosis terapi dipertahankan, fase rumatan yaitu mencegah rekuren berlangsung ≥ 1 tahun pada fase ini dosis diturunkan.21,22 Selain itu diberikan psikofarmaka berupa Lorazepam 2 mg 1x½ tab pada malam hari, obat ini merupakan obat golongan benzodiazepin, merupakan obat penenang atau obat untuk anxietas. Obat ini memiliki efek samping sedasi atau rasa mengantuk.23,24 Menurut penelitian meta-analisis yang J Medula Unila|Volume 4|Nomor 2|Desember 2015|185

Zelvi | Gangguan Mood Episode Depresi Sedang



dilakukan bahwa pemberian benzodiazepin dikombinasikan dengan antidepresan dapat membantu dalam perbaikan khususnya bagi penderita yang mengalami kecemasan dan sulit tidur, namun dalam pemberian benzodiazepin sebaiknya perlu diperhatikan mengenai penyalahgunaan obat, sindrom penghentian obat dan kemungkinan bahaya lainnya.25 Pemberian kombinasi benzodiazepin dengan antidepresan berefek baik dalam pengobatan gangguan depresi berat namun tidak terlalu berpengaruh terhadap depresi ringan.26 Selain psikofarmaka, psikoterapi dan edukasi juga sangat diperlukan. Penggunaan terapi psikofarmaka saja untuk pengobatan gangguan depresi pada sejumlah pasien kurang adekuat, sehingga perlu intervensi psikososial seperti psikoedukasi yang telah meningkatkan perbaikan dalam pengobatan gangguan depresi.13 Psikoterapi yang digunakan dapat berupa 1) Cognitive-Behavior Therapy (CBT) yaitu membatu merubah pola pikiran negatif dan kebiasaan pasien yang berhubungan dengan gangguan depresinya dengan mengajarkan bagaimana menghindari kebiasaan yang berhubungan dengan peyakitnya. Keberhasilan terapi ini dengan berubahnya pola pikiran negatif pasien dan 2) Interpersonal Therapy (IPT) berfokus terhadap hubungan pribadi pasien terhadap orang lain yaitu terapi mengajarkan cara berinteraksi kepada orang lain dan lebih peduli terhadap orang lain serta diri sendiri.27 Pada psikoedukasi pasien diajarkan tentang bagaimana penyakitnya, cara pengobatannya, tanda dan gejala kemungkinan kambuh kembali, dan memberitahu pasien pentingnya pengobatan sebelum penyakit kambuh lagi atau memburuk. Pada kasus ini dimana pasien perlu melakukan kegiatan atau meningkatkan aktivitas, serta hindari melamun. Prognosis pada pasien adalah dubia ad bonam karena episode depesi sedang dapat disembuhkan, dengan dukungan keluarga serta kemauan pada diri pasien yang tinggi. Simpulan Pasien didiagnosis dengan gangguan mood episode depresif sedang, diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan psikiartik. Gangguan mood episode depresi sedang harus memenuhi 2 J Medula Unila|Volume 4|Nomor 2|Desember 2015|186

dari 3 gejala utama depresif, sekurangkurangnya 3-4 dari gejala tambahan, berlangsung minimal 2 minggu dan tanpa adanya episode mania dan hipomania. Pada pasien gejala berlangsung sudah 2,5 bulan dengan gejala utama yaitu hilang minat untuk beraktivitas dan merasa mudah lelah serta hilang energi, pada gejala tambahan yaitu kurang percaya diri, pesimistis, sulit tidur, nafsu makan berkurang, dan merasa tidak berguna. Pada pemeriksaan psikiartik didapatkan mood hipotymik (depresif), afek terbatas. Pasien diterapi dengan intervensi psikososial dan psikofarmakologi. Psikofarmalogi yang diberikan adalah antidepresan golongan SSRI yaitu fluoxentin. Daftar Pustaka 1. Baldwin SD, Birtwistle J. An Atlas of Depression. Southampon: University Of Southampton; 2002. hlm. 12-18. 2. Maslim R. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ III). Jakarta: FK Jiwa Unika Atmajaya; 2004. hlm. 64. 3. Mangindaan L. Episode Depresi. Dalam: Elvira SD, Hadisukanto G. editor. Buku ajar psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2010. hlm. 71-98. 4. Sadock BJ, Sadock AV. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry:Behavioral ciences/Clinical Psychiatry. Edisi ke-10. New York: Lippincott Williams & Wilkins; 2007. 5. Lubia NL. Depresi Tinjauan Psikologi. Jakarta: Kencana; 2009. hlm. 141-176. 6. Data Prevalensi Depresi di Dunia dan Indonesia [internet]. Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2004 [diakses tanggal 4 Mei 2015]. Tersedia dari: www.depkes.go.id. 7. Knol MJ, Twisk JWR, Beckman ATE, Heine RJ, Pouwer F. Depression as a Risk Factor for The Onset of Type 2 Diabetes Mellitus. A Meta-Analysis. J Diabetologia. 2006; 49:837-40. 8. Egede L.E, Ellis C. Diabetes and Depression: Global Perspective. J Diabetes Research and Clinical Practice. 2010; 87:3002-12 9. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-11. Jakarta: EGC; 2008. hlm. 1040. 10. Lin EHB, Rutter CM, Katon W, Heckbert SR, Ciechanowski P, dkk. Depression and

Zelvi | Gangguan Mood Episode Depresi Sedang

Advance Complication of Diabetes. J Diabetes Care. 2010; 33(2):1-6. World Health Organization. The ICD-10 Classification of Mental and Behavioural Disorders; 2010. Kuboki T, Hashizume M. Clinical Diagnosis and Treatment of Mild depression. J MAJ. 2011; 52(2):76-80 Dowrick C, Dunn G, Dalgard OS, Page H, Lehtinen V, Oliver MM, dkk. Probelm Solving Treatment and Group Psychoeducation for Depression: Multicentre Randomised Controlled Trial. J BMJ. 2000; 321:1-6. Maramis WS Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Universitas Airlangga; 2009. hlm. 45-49. American Psychiatric Association. Diagnosis dan Statistical Manual of Mental disorders (DSM V TM). Washington DC: APA; 2013. Hensley PL, Clayton PL. Bereavementrelated Depression. J Psychiartic Time. 2008. Juruena MF. Clinical Research and Treatment Approaches to Affective Disorders. J Charles Univ. 2012; 192-222 Rippetoe Kligore. Practical Programming for Strength Training. United States of America: The Aasgard Company; 2006. hlm. 198. Neal, Michael J. Depresi dalam At a Glance Farmakologi Medis. edisi 4. Jakarta: Erlangga; 2008. hlm. 56.

11.

12.

13.

14. 15.

16.

17.

18.

19.





20.

21.

22.

23.

24.

25.

26.

27.

Lin EHB, Rutter CM, Katon W, Heckbert SR, Ciechanowski P, et al. Depression and Advance Complication of Diabetes. J Diabetes Care. 2010; 33(2):264-9. Departemen Kesehatan RI. Pharmaceutical Care untuk Penderita Gangguan Depresif. Jakarta: Bakti Husada Inst. 2007. hlm. 4-22. Gelenverg AJ, Freeman MP, Markowitz JC, Rosenbaum JF. Practice Guideline for The Treatment of Patients with Major Depressive Disorder. Edisi ke-3. J American Psychiartic Association. 2010; 15-21 Maslim R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropika Edisi Ketiga. Jakarta: Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya; 2007. hlm. 67. Mitchell J, Trangle M, Degnan B, Gabert T, Haight B, et al. Health Care Guideline Adult depression in Primary Care. J Clinical System Improvement inst. 2013; 25-30. Furukawa TA, Steiner D, Young LT, Kinoshita Y. Antidepressants Plus Benzodiazepines for Major Depression. J Cochrane Collaboration. 2009; 34(1):2548 Barbui C, Cipriani A, Vikram P. Efficacy of Antidepressant and Benzodiazepines in minor Depression: Systematic Review and Meta-analysis. J British Psychiartic. 2011; 198:11-6. Tursi MF, Bares CV, Camacho FR, Tofoli SM, Juruena MF. Effectiveness of Psychoeducation for Depression: a Systematic Review. J Psychiartic. 2013; 47(11):1019-31.



J Medula Unila|Volume 4|Nomor 2|Desember 2015|187