GENDER DAN KEPEMIMPINAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM OLEH

Download GENDER DAN KEPEMIMPINAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM. Oleh: Ikmal. Dosen Manajemen Pendidikan Islam Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Manado. ...

3 downloads 529 Views 274KB Size
GENDER DAN KEPEMIMPINAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM Oleh: Ikmal Dosen Manajemen Pendidikan Islam Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Manado

ABSTRAK Indonesia is a country with a Muslim majority, giving the same rights and opportunities as possible to the women to get an education as high-tingginyadan provide opportunities and opportunities for women in leadership, science, politics, economy, culture wide open and just the same as its men. But the rights and opportunities of women in leadership positions are reviewed from the perspective of Islam is controversial. Several factors are to blame, including the texts of the Qur'an that textually indicated a preference for men to be leaders, and the hadith texts that outwardly shows that some people will not prosper if led by a woman. Some research indicates that there is no difference in ability between the leadership ability of men with women. But on the other hand, there are still some factors that are still pros and cons and requires further research on gender bias that arises when women become leaders, such as the problem of domestic harmony, psychological relationship with your spouse and children, and rampant infidelity happened. Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, memberikan hak yang sama dan kesempatan yang seluas-luasnya kepada perempuan untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya dan memberikan kesempatan dan peluang bagi kaum perempuan dalam kepemimpinan, ilmu pengetahuan, politik, ekonomi, sosial budaya yang terbuka luas dan adil sama dengan mitranya kaum lakilaki. Namun hak dan kesempatan dalam posisi kepemimpinan perempuan ditinjau dari perspektif Islam masih kontroversial. Beberapa faktor yang menjadi penyebabnya, antara lain adanya nash al-Quran yang secara tekstual mengisyaratkan keutamaan bagi laki-laki untuk menjadi pemimpin, dan adanya nash hadis yang secara lahiriah menunjukkan bahwa suatu kaum tidak akan sejahtera jika dipimpin oleh seorang perempuan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kemampuan antar kemampuan kepemimpinan laki-laki dengan perempuan. Namun di sisi lain, masih adanya beberapa faktor yang masih pro-kontra dan memerlukan penelitian lebih lanjut mengenai bias gender yang muncul ketika perempuan menjadi pemimpin, seperti masalah keharmonisan rumah tangga, hubungan psikologis dengan pasangan dan anak, dan maraknya perselingkuhan yang terjadi.

Keyword : Islam, Gender, Kepemimpinan, dan Pendidikan

I. PENDAHULUAN A. Latar belakang

Dewasa ini fenomena kesetaraan gender telah menjadi isu penting dalam setiap negara dan agama. Hal ini seiring dengan menggelindingnya wacana tentang pemberdayaan dan pembebasan kaum perempuan dari peran kulturalnya dan dari dominasi patriarki, dengan terus-menerus menggaungkan dan memperjuangkan keadilan dalam kesetaraan gender. John Naisbitt meramalkan bahwa abad -21 akan merupakan masa dimana wanita mengambil peranan besar dalam kehidupan umat manusia. Era sekarang disebut era baru kebangkitan wanita. Era wanita sebagai pendobrak belenggu dominasi laki-laki, mulai memberikan pengaruh pada pola pengambilan keputusan dalam organisasi. Data statistik kependudukan di Indonensia menunjukkan bahwa kaum perempuan memiliki populasi lebih besar dari pada kaum pria. Realita ini akan menghantar kaum perempuan bergeser posisi dari orang yang dipimpin menjadi orang yang memimpin. Fenomena ini dapat diartikan bahwa gerakan dan potensi kepemimpinan kaum perempuan mulai tumbuh dan berkembang. Wacana kepemimpinan perempuan di Indonesia telah mencuat ke permukaan sejak era tahun 1998. Diskursus wacana pemimpin perempuan telah memancing polemik prokontra dalam masyarakat yang secara umum bersifat patrilineal. Polemik tersebut berimplikasi pada sebuah wacana pada pengingkaran eksistensi perempuan sebagai manusia yang mandiri, dan lebih jauh tentang kelayakan perempuan menjadi pemimpin baik di ranah domestik ataupun publik. Berkaitan dengan kepemimpinan perempuan dalam Islam, hal ini masih menjadi masalah kontroversial. Beberapa faktor yang menjadi penyebab, antara lainadanya nash alQuran yang secara tekstual mengisyaratkan keutamaan bagi laki-laki untuk menjadi pemimpin, dan adanya nash hadis yang secara lahiriah menunjukkan bahwa suatu kaum tidak akan sejahtera jika dipimpin oleh seorang perempuan. Kepemimpinan perempuan dalam perspektif Islam khususnya dalam lembaga pendidikan merupakan hal yang menarik untuk dikaji lebih lanjut, apalagi melalui perspektif tematik al-Qur’an dan Hadits dengan pendekatan sosio-historis dan jender. Namun, perlu disadari secara bijak bahwa isu perempuan dekade terakhir ini sangat sulit untuk dipertentangkan dan dipersoalkan kecuali melalui penelitian dengan menggunakan metode yang kontemporer1 II. PEMBAHASAN A. Konsep Dasar Kepemimpinan Sebenarnya apakah kepemimpinan itu? RichardI. Lester dalam The Art and Science of Business Management Leadership yang diedit oleh A. Dale Timpe (1991) mendefinisikan kepemimpinan sebagai seni mempengaruhi dan mengarahkan orang dengan cara kepatuhan, kepercayaan, hormat dan kerjasama yang bersemangat dalam 1

Abdullah, Irwan, Reproduksi Ketimpangan Gender, Partisipasi Perempuan dalam Kegiatan Ekonomi dalam Dilema Perempuan; Antara Kegiatan Domestik dan Rumah Tangga.Yogyakarta: Aditya Media,1996), h. 10

mencapai tujuan bersama.2 Allan Tucker mengemukakan kepemimpinan ialah kemampuan untuk mempengaruhi atau mendorong seseorang atau sekelompok orang agar bekerja secara sukarela untuk mencapai tujuan tertentu atau sasaran dalam situasi tertentu.3Kepemimpinan dipahami sebagai segala upaya dan upaya bersama untuk menggerakkan semua sumber dan alat (resources) yang tersedia dalam suatu organisasi.4 Jadi Kepemimpinan merupakan proses mempengaruhi/memotivasi aktifitas seseorang agar kompetensi individu-individu dalam suatu kelompok dapat melahirkan kinerja yang tinggi untuk meraih produktivitas yang maksimal untuk mencapai tujuan dalam situasi tertentu. Secarateoritis, pemimpin muncul karena faktor genetis (keturunan, takdir), sosial,ekologis (bakatdandiklat). Dalam kenyataan atau realitanya pemimpin ini muncul karena faktor simbolis (sebagai simbol/tanda), formal (karena Surat Keputusan) dan fungsional (karena kemampuan diakui kelompok). Selaras dengan pandangan sebelumnya, Djanalis sebagaimana dikutip Arifin5 bahwa ada 3 teori muncul atau terjadinya kepemimpinan, yaitu: a. Teori keturunan, bahwa pemimpin itu muncul karena sifat yang dibawanya sejak lahir. Ini berarti seseorang akan menjadi pemimpin karena ia telah dilahirkan bersamaan dengan bakat kepemimpinannya. b. Teori pengaruh lingkungan, menurut teori ini pemimpin itu dibentuk karena lingkungan hidupnya bukan karena keturunannya. Ini berarti bahwa setiap orang mampu menjadi pemimpin apabila diberi kesempatan. c. Teori kelompok campuran, menurut teori ini pemimpin itu memiliki bakat yang dibawa sejak lahir, kemudian berkembang melalui pendidikan dan pengalaman terutama dalam berinteraksi dengan orang lain. Para pakar manajemen berbeda pendapat, ada yang sependapat bahwa kepemimpinan itu merupakan suatu bakat, pendapat lain menyatakan bahwa kepemimpinan itu adalah sesuatu yang dapat dipelajari. Padahal pada hakikatnya dalam kehidupan sehari -hari kita dapat melihat bahwa tidak semua orang dikaruniai kemampuan untuk menjadi pemimpin. Menurut Martha Tilaar dan Wulan Tilaar, kepemimpinan dapat dikatakan merupakan suatu perpaduan antara bakat alamiah dan kemampuan yang dapat dipelajari6 B. KepemimpinanPendidikan Dalam 2

Surat

Keputusan

Badan

Administrasi

Kepegawaian

Selaras dengan defenisi kepemimpinan menurut Husaini Teori,Praktik,danRisetPendidikan.Jakarta: BumiAksara, 2006.), hal. 252

Usman

Negara

no.

dalamManajemen:

3

Syafaruddin,ManajemenMutuTerpadudalamPendidikan;Konsep,strategidan Aplikasi,(Jakarta:Grasindo,2002),hal.50. 4

Feithzal Rivai, Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi Edisi Kedua, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h.2. 5 6

Arifin, Kepemimpinan dan Motivasi Kerja, (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm. 4.

Martha Tilaar dan W.T. Widarto. Leadership Quotient Perempuan Pemimpin Indonesia. Jakarta: Gramedia, 2003), h. 6.

27/KEP/1972 disebutkan bahwa kepemimpinan adalah kegiatan untuk meyakinkan oranglain sehingga dapat dibawa turut serta dalam suatu pekerjaan. Sedangkan menurut Surat Edaran Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara No.02/SE/1980 ialah kemampuan seorang pegawai negeri sipil untuk meyakinkan orang lain sehingga dapat dikerahkan secara optimal. Dalam konteks kepemimpinan pendidikan, yang dimaksud pemimpinn adalah semua orang yang bertanggungjawab dalam proses perbaikan yang berada pada semua level kelembagaan pendidkan.7Semua level yang dimaksud disini adalah semua bagianbagian yang ada dalam lembaga pendidikan, karena kepemimpinan merupakan yang mengatur dan mengawasi semua jalannya lembaga. Untuk itu maka para pemimpin membagi tugas-tugasnya kepada anggotanya, dengan memberikan gaji atau insentif, serta menampilkan keteladanan. Pada pasal 12 ayat 1 PP 28 tahun 1990 di s ebut kan bahwa: “Kepala sekolah bertanggungjawab atas penyelenggaraan kegiatan pendidikan, administrasi sekolah, pembinaan tenaga kependidikan lainnya, dan pendayagunaan sertapemeliharaan sarana dan prasarana”.8Tanggungjawab tersebut merupakan salah satu komponen tugas kepala sekolah dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Menurut Husaini Usman bahwa salah satu kunci yang sangat menentukan keberhasilan sekolah dalam mencapai tujuannya adalah kepala sekolah. Keberhasilan kepala sekolah dalam mencapai tujuannya secara dominan ditentukan oleh keandalan manajemen sekolah yang bersangkutan, sedangkan keandalan manajemen sekolah sangat dipengaruhi oleh kapasitas kepemimpinan kepala sekolahnya.9 Pernyataan di atas didukung oleh studi yang dilakukan oleh Gilberg Austin terhadap semua kepala sekolah di Negara bagian Maryland, Amerika Serikat, menunjukkan bahwa perbedaan antara sekolah yang berprestasi tinggi dan yang rendah disebabkan oleh adanya pengaruh kepala sekolahnya. Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Ruth Love dalam Edward Deroche (1996) yang menyatakan,“I never seen a good school without a good principals”. Hal yang hampir sama di kemukakan oleh James B.Conant dalam Edward Deroche (1996) yang menyatakan, “the difference between a good and a poor school is often the difference between a good and a poor principals.”Dan hasil riset Wallcot (1993) menyimpulkan bahwa kepala sekolah memainkan peranan penting terhadap efetivitas sekolah. Pada era sekarang ini, sosok kepemimpinan pendidikan yang dibutuhkan adalah sosok pemimpin yang mampu mensejajarkan lembaga yang dipimpinnya dengan lembagalembaga pendidikan yang unggul dan berkualitas. Dengan demikian maka dibutuhkan seorang kepala sekolah yang profesional, memiliki wawasan luas, pengalaman, tanggung jawab, komitmen, bisa kerja sama dengan siapapun, pekerja keras, cermat dan teliti. Dari beberapa kebijakan di atastidaklah dibedakan prasyarat menjadi kepala sekolah berdasarkan jenis kelamin, bahwa siapa pun bisa menjadi pemimpin di lembaga 7

Syafaruddin,... hal.52.

8

E.Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah Profesional: Dalam Konteks Menyukseskan MBS dan KBK, (Cet. VI; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), h. 25. 9

Husaini Usman, h. 302

pendidikan, baik laki- laki maupun perempuan, selama memenuhi kelayakan dan kriteria syarat menjadi kepala sekolah. Lalu apakah ada perbedaan antara kepemimpinan perempuan dengan kepemimpinan laki-laki dalam pencapaian tujuan lembaga. C.

Kepemimpinan Perempuan dalam Perspektif Islam

Para ulama berbeda dalam menetapkan hukum tentang boleh tidaknya perempuan menjadi pemimpin. Ulama terbagi kedalam tiga kelompok dalam memberikan pandangan mengenai hal ini. a. Pandangan yang tidak memperbolehkan peran perempuan dalam jabatan-jabatan publik apapun bentuknya. Argumen yang mereka kemukakan adalah firman Allah SWT:

    "Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri[289] ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka)[290]. wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya[291], Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya[292]. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar". (QS. al-Nisâ [4]: 34) Ahlitafsir menyatakan bahwa qawwam berarti pemimpin, pelindung, pengatur, dan lain-lain. Keunggulan laki-laki disebabkan oleh keunggulan akal dan fisiknya, demikian ungkapal-Razy dalam Tafsiral-Kabir. Di samping itu, alZamakhsari dalam Tafsiral-Kasysyaf mengungkapkan keunggulan laki-laki atas perempuan adalah karena akal, ketegasan, tekad yang kuat, kekuatan fisik, secara umum memilki kemampuan baca tulis,dan keberanian. Thaba’thaba’I mengungkapkan kelebihan laki-laki disebabkan oleh akalnya saja mampu melahirkan jiwa-jiwa seperti keberanian, kekuatan, dan kemampuan dalam 2 mengatasi kesulitan. Sebaliknya, perempuan lebih sensitif dan emosional. Ayat ini membicarakan tentang kepemimpinan dalam rumah tangga, namun beberapa ulama menafsirkan ayat ini dengan memberlakukannya ke wilayah publik berdasar qôidah mafhûm aulawiy.Hal ini didasarkan pada beberapatugasberat lakilaki yang tidak boleh diemban oleh perempuanseperti sebagainabi, imam. Demikian juga dalam jihad, azan shalat Jum’at, dan wali perempuan tidak banyak dilibatkan dan tidak memiliki otoritas.

SaidAgilal-Munawar dalam Republika, (1April2001) pernah mengkritik bahwa penafsiran terhadap al-Qur’an dan Hadis yang dilakukan terdahulu dipengaruhi situasi dan iklim politik patriarkat sehingga tafsir yang dihasilkannya mengandung bias gender. Pelarangan kepemimpinan perempuan juga didasarkan pada Hadis Nabi SAW yangdiriwayatkanolehBukhori ketikabeliaumendengarberita bahwa masyarakatPersi telahmemilihputri Kisrasebagaipemimpin kemudianNabibersabda yang artinyaapabilasuatu kaummenyerahkan urusannya kepada perempuan maka 6 rusaklahkaumitu. Hadis tersebut dipahami jumhur ulama sebagai isyarat bahwa perempuan tidak diperbolehkan menjadi pemimpin dalam urusan pemerintahan atau politik, seperti presiden, perdana menteri, hakim, dan jabatan politik lainnya.Selanjutnya, mereka mengungkapkan bahwa perempuan secara syara’ hanya diberi tanggung jawab untuk menjaga harta suaminya. 7

Dalam memahami Hadis tersebut perlu dicermati keadaan yang sedang berkembang pada saat hadis tersebut disabdakan, atau harus melihat setting socialnya10. Oleh karena itu, mutlak diperlukan informasi yang memadai mengenai latarbelakang kejadiannya. Dari kedua nash inilah yang menjadi dasar pijakpara ulamaberkesimpulanbahwa kalau untuk skala kecil (keluarga, rumah tangga) saja perempuan harus dipimpin laki-laki, apalagi untuk skala besar (urusan publik) yang mencakup wilayah tanggung jawab yang lebih besar. Begitupun kepemimpinan perempuan tidak akan mendatangkan berkah bagi organisasi, malahan akan membawa kehancuranbagi sebuah organisasi b. Pandangan yang memperbolehkan perempuan memegang jabatan publik tertentu asalkan bukan kepala negara. Argumentasi mereka:

10

Asbabul wurud dari hadis di atas adalah sebelum disabdakan hadis tersebut pada kejadian itu, kerajaanPersiadilandakekacauandanpembunuhanyangdilakukanoleh kerabat raja sehingga diangkatlah seorang perempuan yang bernama Buwaran binti Syairawaih bin Kira sebagai ratudi Persia. Hal8 tersebut karena ayah dan saudara laki-laki Buwaran telah mati terbunuh. Peristiwa ini terjadi pada tahun 9 H. Menurut tradisi yang berlangsung di Persia saat itu jabatan kepala negara (raja) dipegang oleh lakilaki. Pengangkatan Buwaran sebagai ratu bisa dikatakan menyalahi tradisi karena yang diangkat bukan lakilaki melainkan perempuan. Pada waktu itu derajat kaum perempuan beradadi bawah kaum laki- laki, di mana perempuan sama sekali tidak dipercaya untuk ikut serta mengurus kepentingan umum, terlebih masalah negara. Pandangan ini tidak saja terjadi di Persia, melainkan di seluruh jazirah Arab. Dengan setting sosial yang seperti itu wajarlah Nabi yang memiliki kearifan tinggi bersabda seperti hadis di atas bahwa barang siapa yang menyerahkan urusan kepada perempuan tidak akan sukses. Bagaimana mungkin akan sukses jika orang yang memimpin itu adalah orang yang tidak dihargai oleh masyarakat yang dipimpinnya. Salah satu syarat untuk menjadi seorang pemimpin adalah kewibawaan, 9 sedangkan perempuan pada saat itu perempuan tidak memiliki wibawa untuk menjadi pemimpin.

   "Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".(QS. al-Taubah [9]:71) Amar ma'ruf nahi munkar adalah sesuatu kewajiban yang mencakup berbagai cara perjuangan, diantaranya dengan terlibat dalam kehidupan politik masyarakat. Diantara ulama golongan kedua ini adalah Sa'id Ramadhan al-Bûthi. Ulama yang dikenal serba bisa dan sangat teguh memegang ajaran salaf ini berpendapat bolehnya perempuan menjadi anggota legislatif, tetapi tidak boleh menjadi kepala negara (al-Imâmah al-Kubrô). c. Pandangan yang membolehkan perempuan memegang jabatan publik apapun secara mutlak asalkan memenuhi kualifikasi dan mampu menjaga kehormatan. Di antara yang berpendapat seperti ini adalah Said 'Aqil al-Munawar, Quraish Shihab, Hussein Muhammad, dan semua pemikir-pemikir Islam Liberal. Studi lebih lanjut tentang posisi perempuan dalam kepemimpinan menurut Islam, dapat mempertimbangkan beberapa ayatal-Qur’an yang berbicara mengenai hubungan 10 antara perempuan danlaki-laki yang dikelompokkan menjadi delapan, yakni: 1. Statemen umum tentang kesetaraan perempuan dan laki-laki (2: 187, 2: 228) 2 Kesetaran asal-usul (4:1, 49:13) 3. Kesetaraan aural ganjaran(3: 195, 4: 32, 9: 72) 4. Kesetaraan untuk saling mengasihi dan mencintai (17: 24, 30: 21, 46: 15) 5. Keadilan dan persamaan (2: 22816: 97) 6. Kesejajaran dalam jaminan sosial (2: 177) 7. Saling tolong-menolong (9: 71,) 8. Kesempatan untuk mendapat pendidikan(8:11,39:9) Ayat-ayat al-Qur’an di atas dengan sangat gamblang menyebutkan bahwa hubungan laki-laki dan perempuan merupakan hubungan mitra sejajar dalam berbagai hal.Sudah tidak pada tempatnya lagi manakala perempuan diharuskan untuk mengikuti dan memerankan peran sepertidi era yang dulu padahal telah terjadi perubahan waktu dan tempat yang sangat jauh berbeda. Dengandemikian, tidak diragukan lagi ada dorongan ke arah kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam al-Qur’an. Bahwa al-Qur’an memberikan tempat yang terhormat kepada seluruh manusia yang mencakup dua jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan. Perbedaan biologis tidak berarti menimbulkan ketidaksetaraan dalam kehidupan. Fungsi11 fungsi biologis harus dibedakan dari fungsi- fungsisosial. Dalam kepemimpinan, nilai yang dianggap paling dominan adalah kualitas kepribadian yang meliputi

kemampuan(ability), kecakapan(capacity), kesanggupan(faculty),dan kepandaian(skill). D.

Kepemimpinan Perempuan dalam Pendidikan Islam

Dalam hal kepemimpinan lembaga pendidikan, Indonesia, negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, memberikan hak yang sama dan kesempatan yang seluasluasnya kepada perempuan untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Hal ini tercantum dalam UUD 1945, pasal 31 ayat 1,…”Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran”. Yang dimaksud warga negara di sini adalah tidak terbatas lakilaki saja tetapi juga perempuan. Hal ini dipertegas lagi dengan ketetapan GBHN 1988 dan GBHN 1993 yang memberikan kesempatan dan peluang bagi kaum perempuan dalam kepemimpinan, ilmu pengetahuan, politik, ekonomi, sosial budaya yang terbuka luas dan adil sama dengan mitranya kaum laki-laki. Dari kebijakan di atas terlihat betapa pentingnya perempuan mendapatkan kesempatan dan akses dalam bidang pendidikan yang seluas-luasnya, terutama pendidikan tinggi. Karena pendidikan merupakan proses penting dalam mempersiapkan masa depan bangsa. Perempuan yang berpendidikan tinggi akan mempersiapkan anak-anaknya dengan persiapan lebih baik dan lebih verbal dari pada perempuan yang berpendidikan rendah atau yang tidak berpendidikan sama sekali. Di samping itu taraf keluasan ilmu pengetahuan dan pergaulan hidup yang dimiliki perempuan berdampak luas pula terhadap pola pikir dan rasa serta struktur kepribadian kaum perempuan dan sikap dalam kehidupan mereka. Namun pada kenyataannya masih tetap terdapat pandangan tradisional yang mengecilkan hak perempuan dan memposisikannya sebagai makhluk yang lemah, halus dan emosional dan harus dilindungi oleh laki-laki. Sementara laki-laki digambarkan sebagai sosok yang gagah, berani dan rasional.Hal ini merupakan salah satu faktor yang melatarbelakangi adanyaanggapanbahwakaum laki-lakilebih pantas memimpin dari pada perempuan, bahkan terjadinya penolakan terhadap peran kepemimpinan perempuan dalam lembaga pendidikan, dan lebih memfokuskan pada peran laki-laki dalam organisasi.11 Namun pandangan ini dibantah oleh hasil penelitian Dennis Haruna12 (2009) tentang model kepemimpinan perempuan dalam lembaga pendidikan Islam bahwa dalam hal sifat dan sikap, Kepala sekolahMTs Negeri Yogyakarta 1 adalah seorangperempuan mempunyai jiwa yang tegas dalam menegakkan aturan sekolah, memiliki kepribadian yang baik, memiliki kedisiplinan yang tinggi, bersikap hati-hati dalam membuat keputusan bersama, sabar, patuh terhadap atasan dan tanggung jawab. Dalam hal profesionalitas kinerjanya, pengalaman yang mumpuni dengan menjabat dua kali periode sebagai kepala sekolah, menegakkan aturan sekolah kepada semua masyarakat sekolah termasuk dirinya, terus melakukan pembangunan sarana sekolah, seperti laboratorium, masjid, komunikasi yang dijalin dengan guru dan pegawai cukup baik. Dari hasil penelitian ini terlihat bahwa dari segi sifat dan sikap, tidak bisa digeneralisir bahwa perempuan dalam kepemimpinannya adalah makhluk yang lemah, 11

Menurut Schmuck yang dikutip oleh Tony Bush & Marianne Coleman, Manajemen StrategisKepemimpinan Pendidikan,(Yogyakarta: IRCiSoD, 2008), Cet. II; Terjemahan Fahrurrozi, h. 94. 12

Dennis Haruna, Skripsi;Model Kepemimpinan Perempuan dalam Lembaga Pendidikan Islam (Studi kasus Kepala sekolah MTs Negeri Yogyakarta 1(2009), hal. 54

emosional, dan tidak tegas dalam mengambil keputusan. Karena hal ini dibuktikan dalam penelitian dengan memperlihatkan kedisiplinan yang tinggi, bersikap hati-hati dalam membuat keputusan bersama, sabar, patuh terhadap atasan dan tanggung jawabserta dikuasakan kesempatan menjabat dua kali periode sebagai kepala sekolah. Menurut Imroah Khakimah (2006) bahwa bahwa siapa saja bisa menjadi pemimpin selama ia berlatih terus menerus dalam penguasaan kompetensinya melalui melalui pelatihan on job maupun off job. Perempuan dengan sifat feminimnya akan menjadimodel kepemimpinan yang efektif dan berhasil meningkatkan kinerja karyawannya. Namun di sisi lain pandangan maskulinitas seperti iron maiden (keras dan kaku) bukanlah gaya yang secara optimal untuk meningkatkan kinerja karyawan. ShoyaZichy dalambukunyaWomenandtheLeadershipQuetient13mencoba mengupas delapan tipe kepemimpinan wanita yaitu: tipe trustees (kepercayaan), tipe conservator (yang memelihara), tipe tactician (yang mengutamakan taktik), tipe realistic (yang me ngutamakan kenyataan yang realistik di lapangan), tipe strategic (yang mengutamakan langkah rasional untuk menguasai keadaan), tipe inovator (yang mengu - tamakan inovasi inovasi dalam memecahkan masalah), tipe mentor (yang memberikan tekanan kepada motivasi yang diberikan kepada pengikut), dan tipe advocator (yang memfokuskan pada upaya memotivasi para pengikut dengan ide-ide atau petunjuk yang cemerlang. Namun Shoya Zichy menegaskan bahwa setiap pemimpin memiliki blind spotsebagai titik hitam kelemahan yang merupakan bagian dari sifat-sifat manusiawi. Ada blind spot yang muncul dalam bentuk sikap senang disanjung sehingga kadang-kadang berakibat fatal karena keputusannya banyak bergantung kepada apresiasi sekitarnya yang belum tentu obyektif. Ada pula blind spot yang muncul pada pemimpin wanita dalam bentuk suka mencampuri dan mengurusi hal -hal pribadi sampai yang sekecil -kecilnya, seperti yang disampaikan oleh sekitar 56% responden, dan sering muncul pula sikap “cemburu” kepada anggota organisasi sesama wanita yang lebih berprestasi sekitar 11% responden dari 78 kuesioner yang penulis sebarkan. Menurut hemat penulis bahwa dari hasil penelitian tersebut perlu diadakan penelitian lanjutan tentang apakah seberapa besarkah blind spotyang dimiliki antara kepemimpinan laki-laki dengan perempuan. Hasilnya akan memaparkan tentang tingkat keidealan kepemimpinan antara laki-laki dan perempuan, sehingga hal ini akan memperkuat pandangan tentang boleh-tidaknya perempuan menjadi pemimpin dalam lembaga Islam. Selanjutnyahasil penelitian diInggrisolehJirasinghedanLyons tentang kepala-kepala sekolah dasar dan menengah, yang menyebutkan bahwa kepala-kepala sekolah perempuan lebih mendeskripsikan dirinya sebagai sosok yang lebih, supel, demokratis, perhatian, artistik, bersikap baik, cermat dan teliti dan berperasaan dan berhati-hati.14 Dari hasil penelitian tersebut memperlihatkan bahwa pada prinsipnya siapapun menjadi pemimpin, akan merasakan ketegangan dalam kepemimpinnya. Oleh karenanya, pemimpin wanita harus mampu membuka rentang perbedaan gender, membangun harapan13

MarthaTilaar danWulanTilaar, . . . h a l . 28–30 Tony Bush & Marianne Coleman, Manajemen Strategis Kepemimpinan Pendidikan.Terjemahan Fahrurrozi (Jogjakarta: IRCiSoD. 2006), hal. 101. 14

harapan dan membentuk strategi untuk menunjukan kesejatian eksistensi, seperti kewibawaan, wawasan, empati, daya sekolah dan referensi tindakan.15 Menurut Trias Setiawati (2009) bahwa, laki-laki dan perempuan memiliki kepiawaian yang sama dalam kepemimpinan jabatan struktural dan birokrasi, seperti dalam hal prestasi kerja, kepemimpinan, kematangan emosi, kedisiplinan, kecepatan dan keberanian dalam mengambil keputusan, perubahan perilaku yang positif setelah menjadi pejabat struktural, dan laki-laki tidak merasa tersaingi, dan peningkatan kinerja setelah menjadi pejabat struktural. Dari beberapa hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antar kemampuan kepemimpinan laki-laki dengan perempuan. Namun di sisi lain, masih ada beberapa faktor yang masih pro-kontra dan memerlukan penelitian lebih lanjut mengenai bias gender yang muncul ketika perempuan menjadi pemimpin, seperti masalah keharmonisan rumah tangga, hubungan psikologis dengan anak dalam hal kasih sayang, maraknya perselingkuhan, egoisme terhadap pasangan meningkat, begitupun penghargaan dan kepatuhan terhadap suami menurun, dan kondisi kesehatan reproduksi perempuan terganggu serta program kehamilan tertunda. Sisi lain ini memerlukan pertimbangan dan penelitian lebih mendalam tentang dampak yang dapat ditimbulkan dari kepemimpinan perempuan dan hubungannya dengan keharmonisan dalam rumah tangga. III. PENUTUP Dalam konteks ke-Indonesia-an masalah kepemimpinan seorang perempuan hendaknya juga dimaknai dengan melihat realitas masyarakat Indonesia. Apalagi dalam Pancasila dan Undang-Undang 1945 kedudukan setiap warga Negara termasuk di dalamnya perempuan bersama hak-haknya (berpolitik) sangat dilindungi. Memilih ataupun dipilih sebagai pemimpin adalah hak setiap masyarakat yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh UUD tak terkecuali bagi perempuan. Pada prinsipnya tidak ada perbedaan kemampuan dalam kepemimpinan pendidikan antara kepemimpinan laki-laki dan perempuan, hanya saja perbedaannya pada faktor kesempatan yang datang kemudian. Jika perempuan Indonesia diberikan ruang dan kesempatan seluas-luasnya maka akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang tidak kalah kuatnya dengan pemimpin perempuan di negara asing lainnya. Namun bias gender yang muncul dalam kepemimpinan perempuan, harus tetap mendapat perhatian yang serius dan penelitian lebih mendalam terhadap fenomenafenomena yang berkembang sebelum menjadi masalah sosial baru yang sulit diurai dan disembuhkan.

DAFTAR RUJUKAN Arifin. 2010. Kepemimpinan dan Motivasi Kerja,Yogyakarta: Teras. 15

Sudarwan Danim, Menjadi Komunitas Pembelajar,.Menjadi Komunitas Pembelajar: Kepemimpinan Transformasional dalam Komunitas OrganisasPembelajaran .( Jakarta: Bumi Aksara 2003), h.121-130.

Bush.T. dan M. Coleman. 2006. Manajemen Strategis Kepemimpinan Pendidikan.Terjemahan Fahrurrozi. Jogjakarta: IRCiSoD. Danim, S. 2003. Menjadi Komunitas Pembelajar: Kepemimpinan Transformasional dalam Komunitas Organisasi Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara. Haruna. Dennis. 2009. Skripsi;Model Kepemimpinan Perempuan dalam Lembaga Pendidikan Islam (Studi kasus Kepala sekolah MTs Negeri Yogyakarta 1, Irwan. Abdullah, Reproduksi Ketimpangan Gender, Partisipasi Perempuan dalam Kegiatan Ekonomi dalam Dilema Perempuan; Antara Kegiatan Domestik dan Rumah Tangga.Yogyakarta: Aditya Media,1996 Mulyasa, E. 2005. Menjadi Kepala Sekolah Profesional: Dalam Konteks Menyukseskan MBS dan KBK, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Rivai. Feithzal. 2006. Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi Edisi Kedua, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Syafaruddin. 2002. Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan; Konsep, strategi dan Aplikasi, Jakarta: Grasindo. Tilaar, M. dan W.T. Widarto. 2003. Leadership Quotient Perempuan Pemimpin Indonesia. Jakarta: Gramedia Widia sarana. Usman, H. 2006. Manajemen: Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.