HIV DAN PSIKIATRI: BAGIAN 1

Download Gangguan depresi dan penyesuaian diri yang parah mungkin merupakan penyulit psikiatri HIV yang .... Mania sebagai gejala yang tampak atau s...

0 downloads 444 Views 36KB Size
HIV dan Psikiatri: Bagian 1 Oleh David Goldenberg MD. dan Brian A. Boyle MD.

Kata Pengantar Telah diketahui sejak lama bahwa orang yang hidup dengan HIV, seperti pasien lain dengan penyakit kronis, mungkin mengalami suatu bentuk gangguan psikiatri (kejiwaan) selama perjalanan penyakitnya. Gangguan ini mungkin berupa penyakit yang ditemukan pada masyarakat umum; depresi, gangguan bipolar, penyalahgunaan alkohol, skizofrenia, dan diagnosis psikiatri lain adalah umum. Di sisi lain, gangguan ini mungkin terkait langsung atau tidak langsung dengan HIV. Untuk mencapai keseimbangan medis, psikiatri, dan sosial yang memadai, sering kali pasien dengan HIV harus menghadapi gangguan psikiatri yang menempatkan mereka pada risiko terhadap infeksi HIV (misalnya penyalahgunaan narkoba suntikan atau gangguan bipolar); yang terkait dengan diagnosis HIV atau laju HIV-nya (misalnya depresi, gangguan kegelisahan, atau demensia); atau yang terkait dengan terapi antiretroviral atau terapi lain yang diperlukan (misalnya mimpi yang nyata atau penurunan konsentrasi yang dialami oleh beberapa pasien pada waktu memulai efavirenz). Penelitian menunjukkan bahwa prevalensi gangguan psikiatri parah pada orang yang hidup dengan HIV (Odha) adalah antara 30% sampai 60% dan dihubungkan dengan pemakaian narkoba dan nilai Karnofsky yang memburuk. Meskipun masalah psikiatri karena kerusakan organik adalah umum pada awal epidemi AIDS, sejak adanya HAART, sindrom tanpa sebab organik menjadi lebih umum. Banyak penelitian yang diterbitkan berdasarkan pada data sebelum HAART. Perbedaan ini mungkin penting karena kelompok yang diteliti telah diperluas dengan memasukkan kelompok yang sebelumnya tidak dilibatkan (misalnya kaum minoritas dan wanita). Lagi pula, ada peningkatan dalam perbandingan pasien yang menggunakan narkoba suntikan sebagai faktor risiko, dan penyebab stres yang dapat memicu gangguan psikiatri tertentu yang telah berubah karena perubahan penjalanan penyakit. Makalah baru-baru ini berupaya menanggapi beberapa masalah ini. Gangguan psikiatri pada Odha telah dikaitkan dengan perilaku disfungsional, termasuk hubungan seks tidak terlindung, dan penurunan dalam mutu hidup. Lagi pula, kelainan ini mungkin mengganggu kemampuan pasien untuk memulai dan mematuhi rejimen antiretroviralnya dan mungkin mengakibatkan kegagalan pengobatan. Dokter yang mengobati pasien dengan infeksi HIV perlu menyadari permasalahan psikiatri dan psikososial yang rumit, dan kadang kala tidak kentara, yang dihadapi pasien HIV. Penilaian psikiatri, yang menilai kesejahteraan pasien saat itu dan risikonya terhadap masalah psikiatri di masa mendatang, harus menjadi baku untuk setiap pasien yang terinfeksi HIV. Sebagian besar penyakit psikiatri yang dialami dapat diobati dan, jika tidak sembuh, setidaknya dikendalikan, dan ini merupakan kunci untuk mencapai keberhasilan dalam pengobatan HIV dan memperbaiki mutu hidup pasien secara keseluruhan. Di samping penilaian dan pengobatan psikiatri, tambahan psikoterapi, konseling kerja sosial, dan dukungan sebaya mungkin bermanfaat untuk menghadapi masalah pokok seperti penyalahgunaan narkoba atau alkohol yang terus-menerus, ketunawismaan, dan pertengkaran keluarga, dan mungkin membantu memperbaiki kepatuhan dan menurunkan perilaku berisiko. Dalam rangkaian artikel ini, kami akan membahas beberapa penyakit psikiatri yang ada di klinik kami, dengan memberikan beberapa informasi umum tetapi terutama pada penelitian baru-baru ini sehubungan dengan kemajuan dalam diagnosis atau pengobatan.

Depresi Gangguan depresi dan penyesuaian diri yang parah mungkin merupakan penyulit psikiatri HIV yang paling luas yang telah diteliti. Walaupun sulit untuk menemukan kesepakatan dalam kepustakaan mengenai prevalensi dan kejadian depresi yang pasti pada Odha, ada kesepakatan bahwa angkanya lebih tinggi dari yang ada di dalam masyarakat umum. Diagnosis depresi juga bisa menjadi sulit pada Odha, seperti pada sebagian besar kelompok berpenyakit medis, tetapi berbagai cara tampaknya sama-sama efektif asal ahli psikiatri yang menilainya mengetahui perwujudan psikiatri dan somatik tertentu dari penyakit tersebut. Secara umum telah terbukti bahwa penyakit HIV berhubungan dengan tekanan sosial dan kehidupan tertentu, seperti stigma (cap buruk), yang mungkin mempengaruhi seseorang menjadi

Dokumen ini didownload dari situs web Yayasan Spiritia http://spiritia.or.id/

HIV dan Psikiatri: Bagian 1

depresi. Depresi pada Odha juga dikaitkan dengan perasaan bahwa kesehatannya buruk, rasa sakit kronis, dan kehilangan daya ingat serta konsentrasi. Namun, depresi, berbeda dengan kesedihan atau kecil hati, bukan merupakan dampak alami dari penyakit. Lamanya suasana hati yang lesu, kegelisahan, atau kemarahan mungkin biasanya menjadi bagian dari penyesuaian terhadap penyakit, tetapi perkembangan depresi yang parah bukanlah sesuatu yang normal. Sebagaimana diagnosis depresi parah dihubungkan dengan berbagai penyakit, suasana hati yang lesu harus dilihat sebagai bagian dari kumpulan gejala seperti rasa senang yang hilang, perasaan bersalah atau tidak berharga, memikirkan kematian, dan gejala neurovegetatif. Bahkan bila gambaran semacam ini dilakukan, penyebab medis sebaiknya diselidiki dan diobati sebelum memulai pengobatan dengan antidepresan. Banyak pasien datang ke dokter di klinik kami mengeluhkan “depresi” yang sebetulnya anemia parah, hipogonadisme, tidak tumbuh dengan baik, atau penyakit sistemik sejenis yang lainnya. Tambahan pula, suasana hati yang tertekan atau depresi parah dapat disebabkan oleh berbagai pengobatan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pengobatan depresi parah pada Odha adalah aman dan efektif. Dukungan dan konseling yang memungkinkan pasien menghadapi dan menyelesaikan atau menyesuaikan diri terhadap kejadian yang menyebabkan stres dalam hidup seperti masalah keuangan, kekerasan fisik, dan pertentangan dalam keluarga yang dilakukan sendiri mungkin membantu mengendalikan depresi dan memperbaiki mutu hidup. Terapi kelompok telah terbukti berguna untuk depresi ringan sampai menengah, tetapi pengobatan farmakologi tampaknya diperlukan untuk depresi yang lebih parah terkait dengan HIV. Aliran utama pengobatan farmakologi mencakup tricyclic antidepressant (TCA), selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI), dan beberapa antidepresan atypical. Obat-obatan ini mempunyai berbagai macam riwayat efek samping, masa paro, dan interaksi dengan obat lain dan karena itu sebaiknya dipilih dengan pertimbangan yang hati-hati sesuai dengan keluhan somatik dan rejimen pengobatan tertentu lainnya dari pasien. Misalnya, jika pasien menderita diare kronis dan neuropati periferal, TCA mungkin lebih dipilih daripada SSRI karena SSRI lebih mungkin memperburuk diare dan TCA terbukti efektif dalam mengobati neuropati periferal. Akhirnya, meskipun depresi yang berarti disebabkan oleh kekurangan neurokognitif yang berkaitan dengan laju HIV, memulihkan kekurangan itu dengan HAART mungkin berakibat pada perbaikan bermakna bagi rasa sejahtera pasien.

Psikosis Psikosis dan HIV tampaknya kurang dipelajari dibanding depresi. Psikosis merupakan istilah generik untuk satu dari sejumlah perwujudan gejala penyakit pikiran. Gejala psikosis dapat menjadi bagian dari sindrom besar depresi yang parah, skizofrenia, mania pada gangguan bipolar, atau penyakit obsessivecompulsive yang ekstrim. Membedakan penyakit ini adalah sulit, biasanya diperlukan konsultasi dan pemantauan psikiatri. Gejala psikosis dapat menyebabkan terlambat di diagnosis, ketegangan hubungan antara dokter dan pasien, serta pemahaman yang rendah tentang penyakit, pengobatan, dan prognosis. Pengobatan penyakit psikosis mencakup psikoterapi, dan obat antipsikosis atau neuroleptik. Peningkatan dukungan sosial dan konseling kelompok dapat memberikan dampak yang berarti pada jiwa pasien dengan riwayat psikosis. Pada satu penelitian kecil, peningkatan konseling kelompok mengakibatkan peningkatan dalam pemakaian kondom dan penurunan hubungan seks yang tidak aman pada kelompok pasien yang tunawisma dengan penyakit psikosis kronis dan penyakit penyalahgunaan zat. Sebagaimana dengan obat antidepresan, obat antipsikosis sebaiknya dipilih dengan mengingat riwayat efek samping dan interaksi obat. Haloperidol, mungkin obat antipsikosis yang paling umum diresepkan, dan neuroleptik lain dengan kemampuan tinggi, lebih mungkin menyebabkan efek ekstrapiramidal, khususnya gejala Parkinson, pada orang dengan infeksi HIV. HIV merupakan virus neurotropik yang mempengaruhi daerah subkortikal otak termasuk ganglia basal. Kekerasan dan kekakuan pada pemeriksaan fisik pasien dengan penyakit motor-kognitif menggambarkan dampak ini. Jadi, menghindari obat neuroleptik potensi tinggi dan menggunakan alternatif yang berpotensi rendah, seperti tioridazin, adalah bijaksana. Obat antipsikosis baru, seperti risperidon dan olanzapin, tampaknya dapat diterima lebih baik pada orang dengan HIV. Khusus olanzapin tampak mempunyai lebih sedikit efek samping Parkinson. Satu-satunya penelitian double-blind obat neuroleptik pada orang dengan HIV dan delirium berkesimpulan bahwa haloperidol dan klorpromazin efektif pada dosis rendah dalam mengobati delirium. Psikosis dan delirium dapat sulit dibedakan, khususnya bagi dokter yang tidak biasa dengan penyakit psikiatri atau delirium. Delirium adalah perubahan dalam kesadaran dan ketajaman, dibanding dengan

–2–

HIV dan Psikiatri: Bagian 1

psikosis, yaitu perubahan dalam proses dan isi pikiran dan juga dapat melibatkan perubahan dalam kesadaran, biasanya karena gangguan konsentrasi atau penilaian akibat gejala psikosis lainnya. Sebagaimana halnya gejala depresi, penyakit psikosis dapat diperburuk oleh pengobatan (misalnya asiklovir), kelainan metabolik, atau infeksi. Dalam keadaan ini, penyebab medis yang mendasarinya perlu diketahui dan diobati.

Kelainan Bipolar Kelainan bipolar mempunyai prevalensi selama hidup kurang lebih 0,4% hingga 1,6%. Perwujudan mania mencakup suasana hati yang meningkat, meluap, atau lekas marah; grandiosity; peningkatan tenaga dan berkurangnya kebutuhan akan tidur; kemampuan bicara tertekan; pikiran cepat; bertindak sesuai kata hati; dan kemungkinan berkhayal, berhalusinasi, dan gejala psikosis lain yang jelas. Mania sebagai gejala yang tampak atau sebagai akibat dari HIV tercatat mengalami peningkatan secara bermakna pada pasien dengan AIDS. Dokter umum sebaiknya waspada terhadap tanda mania atau hipomania yang tidak kentara, yang dapat diakibatkan kelainan bipolar, penyalahgunaan narkoba atau alkohol, laju AIDS, atau pengobatan. Jika tidak diobati, mania dan hipomania dapat mengarah kepada, antara lain, perilaku menghancurkan sendiri, ketidakpatuhan, atau seks tidak aman. Pengobatan terdiri dari obat yang menstabilkan suasana hati (misalnya litium karbonat, asam valproat, karbamazepin, dan mungkin gabapentin). Obat ini harus dipilih berdasarkan obat-obatan yang sudah digunakan di masa lalu serta penerimaan tubuh terhadap obat dari pasien yang bersangkutan. Tambahan obat neuroleptik sering kali diperlukan, khususnya saat mania berkembang penuh dengan psikosis. Dalam penelitian percontohan baru-baru ini, Ellen dan rekan-rekannya mencapai tanggapan yang baik dengan obat neuroleptik dan mendukung gagasan bahwa pasien yang sakit secara medis dengan mania dapat memberikan tanggapan yang lebih baik terhadap obat neuroleptik dibanding terhadap obat penstabil suasana hati.

Penyakit Kegelisahan Pasien sering kali merasa gelisah saat menjadi sakit dan menemui dokter. Juga umum bagi dokter mengamati pasiennya gelisah dan mengartikan perilaku, keadaan, atau keluhan pasien (seperti insomnia) sebagai tanda-tanda kegelisahan. Tentu saja, kegelisahan adalah bagian dari penyakit medis dan biasanya menyertai suatu spektrum mulai dari gejala yang tidak mengganggu sampai gangguan perilaku dan penyakit pikiran yang bermakna. Walaupun sebagian orang mungkin mengalami kegelisahan subsindrom, penelitian menunjukkan prevalensi kegelisahan pada kelompok orang HIV-positif berkisar kurang lebih 25% sampai 40%. Gangguan kegelisahan mencakup gangguan penyesuaian yang ringan, gangguan panik, fobia, obsessive-compulsive, stres setelah trauma, penyakit stres yang akut, dan kegelisahan yang menyeluruh. Jika pasien mengalami kriteria tersebut, atau dokter umum mencurigai, salah satu penyakit ini, rujukan pada psikiatri merupakan langkah yang tepat. Reaksi kegelisahan pada Odha sering kali mencakup rasa khawatir yang mendalam, ketakutan, dan prihatin terhadap kesehatan, masalah somatik, kematian, dan ketidakpastian mengenai penyakitnya. Reaksi ini kerap kali mengarah kepada sulit tidur dan berkonsentrasi dan meningkatnya keluhan somatik. Perwujudan penyakit kegelisahan lebih sering terjadi pada saat diagnosis dan selama pengobatan baru atau penyakit akut. Penanganan gangguan kegelisahan tergantung pada luas dan sifat penyakit tertentu dan gejala yang diperlihatkan. Psikoterapi sering kali cukup membantu, khususnya dalam keadaan hubungan konseling. Intervensi farmakologi sebaiknya di bawah pengawasan psikiater. Benzodiazepin adalah pengobatan utama untuk meredakan gejala jangka pendek atau gejala yang hilang timbul, seperti serangan panik yang jarang, tetapi secara umum sebaiknya tidak dipakai pada pasien dengan riwayat penyalahgunaan alkohol atau benzodiazepin atau untuk mengobati masalah tidur yang kronis. Beberapa antidepresan telah disetujui untuk mengobati berbagai gangguan kegelisahan, termasuk serangan rasa panik, penyakit obsessive-compulsive, dan fobia sosial. Juga, buspiron, sebuah antiolitik nonbenzodiazepin, disetujui untuk gangguan kegelisahan yang menyeluruh dan telah terbukti bermanfaat pada orang dengan AIDS. Obat ini tidak menimbulkan kecanduan, dan karena memakan waktu beberapa hari sampai beberapa minggu untuk bekerja, obat ini tidak bermanfaat untuk kegelisahan yang akut.

–3–

HIV dan Psikiatri: Bagian 1

Beberapa obat, gangguan metabolik, dan hipoksia dapat memperburuk gejala kegelisahan. Jadi, seperti halnya semua gejala psikiatri dalam kelompok yang sakit secara medis, penyebab organik yang mendasarinya sebaiknya dibedakan dan diobati. Akatisia, keinginan untuk terus bergerak, adalah efek samping dari pengobatan neuroleptik dan pada pasien yang mengalami kegelisahan, pemakaian neuroleptik sering kali dikira sebagai antiemetik, seperti klorpromazin atau proklorperazin. Ini dapat diredakan dengan menurunkan dosis, mengganti obat, atau menambahkan dosis rendah benzodiazepin, obat antikolinergik, atau penghambat beta (β-blocker). Sumber: The AIDS Reader 10(1):11-13,15, 2000 URL: http://www.medscape.com/viewarticle/410244 Diterjemahkan oleh WartaAIDS, diterbitkan oleh Yayasan Spiritia

–4–