HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN DIRI DENGAN HARGA

Download Hubungan Antara Penerimaan Diri dengan Harga Diri pada Remaja Pasca Perceraian Orangtua. 2. Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial. Vol. 2...

0 downloads 463 Views 343KB Size
Hubungan antara Penerimaan Diri dengan Harga Diri pada Remaja pasca Perceraian Orangtua Barbara D.R. Wangge Nurul Hartini

Fakultas Psikologi, Universitas Airlangga Abstract.________________________________________________________________________ This study aims to determine the relationship between self-acceptance and self-esteem in teenagers Post Divorce Parental. This research conducted SMAK St. Maria Surabaya and some subjects are recorded in private. This research is a quantitative method, with data collection like questionnaire self acceptance and self esteem in adolescent. Content validity of the measurement from professional assessment and a professor of Psychology Airlangga University and through the selection of test item. Reliability of the measuring instrument scale self acceptance and self esteem in adolescents Post Divorce Parental was 0,814 for self acceptance scale and 0,912 for self esteem scale. Data analysis was done by using parametric statistical analysis with SPPS version 16.0. The data analysis was done by using descriptive statistic techniques and supported by SPSS version 16.0 statistic program. Based on the results of data analysis that the higher self acceptance, the higher self esteem in adolescent Post Divorce Parental. Keywords: Teenagers; Self-Acceptance; Self-Esteem. Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara penerimaan diri dengan harga diri pada remaja pasca perceraian orangtua. Penelitian dilakukan di SMAK St.Maria Surabaya dan beberapa subjek yang didata secara pribadi. Penelitian ini bersifat kuantitatif dengan alat pengumpul data berupa kuesioner penerimaan diri dan harga diri pada remaja. Validitas isi alat ukur didapatkan dari penilaian profesional dan dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya, serta melalui uji seleksi aitem. Reliabilitas alat ukur skala penerimaan diri dan harga diri pada remaja pasca perceraian orangtua yaitu sebesar 0,814 untuk skala penerimaan diri, dan 0,912 untuk skala harga diri. Analisis data dilakukan dengan teknik analisis statistik parametrik dengan bantuan program statistik SPSS versi 16.0. Berdasarkan hasil analisa penelitan, diperoleh hasil bahwa semakin tinggi penerimaan diri maka semakin tinggi pula harga diri pada remaja pasca perceraian orangtua. Kata kunci: Remaja akhir; Penerimaan diri; Harga diri.

Korespondensi: Barbara D.R. Wangge, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya, email: [email protected]. Nurul Hartini, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya, email: [email protected]

Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial Vol. 2 No. 1, April 2013

1

Hubungan Antara Penerimaan Diri dengan Harga Diri pada Remaja Pasca Perceraian Orangtua

PENDAHULUAN Keluarga merupakan lingkungan pertama bagi anak untuk mendapat bimbingan serta untuk memenuhi kebutuhan hidup secara fisik dan psikis. Namun, dewasa ini begitu banyak kasus perceraian yang terjadi di Indonesia baik dalam kehidupan masyarakat biasa, pejabat maupun dunia selebritis. Masalah perceraian sungguh menyengsarakan anak. Tingginya angka perceraian yang diperoleh merupakan angka perceraian tertinggi se-Asia Pasifik. Pengadilan Tinggi Agama Jawa Timur mencatat bahwa pada tahun 2008 terdapat 80.121 kasus perceraian. Pada tahun 2009, angka perceraian meningkat menjadi 92.729 kasus (Surabayakita [online], diakses pada tanggal 23 Agustus 2014). Secara nasional terdapat tiga wilayah yang angka perceraiannya paling tinggi menurut Pengadilan Agama, salah satunya adalah Surabaya dengan jumlah kasus perceraian sebanyak 68.092 kasus. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa jumlah kasus perceraian semakin meningkat dan tidak menutup kemungkinan masalah perceraian berpengaruh terhadap anak, khususnya remaja. Perceraian mengakibatkan status seorang lakilaki sebagai suami dan perempuan sebagai istri akan berakhir. Selain itu, perceraian tidak hanya membawa dampak bagi orangtua saja tetapi juga pada anak terutama remaja. Masa remaja juga merupakan periode yang penting dimana terjadi perkembangan fisik yang cepat juga disertai dengan cepatnya perkembangan mental. Keseluruhan perkembangan tersebut membutuhkan penyesuaian mental dan pembentukan sikap, nilai dan minat baru (Hurlock, 1992). Granville Stanley Hall (dalam Mappiare, 1998) menyebutkan bahwa kestabilan keadaan perasaan dan emosi sebagai perasaan yang sangat peka, saat remaja mengalami badai dan topan dalam kehidupan. Perasaan dan emosinya ini disebut dengan istilah “storm and tress”. Seperti yang dipaparkan, bahwa masa remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa, sedangkan perceraian orangtua akan sangat berdampak pada remaja itu sendiri. Mulai dari tidak bisa menerima kenyataan perubahan akibat peristiwa perceraian sampai pada permasalahan sehari-hari yang dialami remaja (Cole, 2004). Sementara itu anak dalam pertumbuhan dan perkembangannya membutuhkan uluran tangan dari kedua orang-

2

tuanya. Orangtua yang paling bertanggung jawab dalam keseluruhan eksistensi anak, yaitu kebutuhan fisik dan psikis sehingga anak dapat berkembang ke arah kepribadian yang matang. Semua ini hanya dapat dicapai bila hubungan pernikahan orangtua baik. Dimana hubungan pernikahan suami istri merupakan satu kesatuan dengan suasana keluarga penuh keakraban, saling pengertian, persahabatan, toleransi dan saling menghargai atau dapat dikatakan hubungan keluarga harmonis. Keluarga yang harmonis akan memberikan pengaruh yang baik terhadap perkembangan anak, sedangkan keluarga yang tidak harmonis akan memberikan pengaruh yang tidak baik pada perkembangan anak (Naqiyaningrum, 2007). Banyak penelitian telah melaporkan bahwa anak-anak yang orangtuanya bercerai mengalami lebih banyak masalah dalam penyesuaian dibandingkan anak-anak yang tumbuh dalam keluarga utuh. Penelitian lain menunjukkan bahwa anak-anak dari perceraian lebih mungkin untuk memiliki lebih banyak kesulitan di sekolah dan menjadi lebih aktif secara seksual, lebih agresif, lebih cemas, lebih menarik diri, kurang prososial, lebih tertekan, dan lebih mungkin untuk terlibat dalam penyalahgunaan zat terlarang�������������������� . Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Wallerstein, dkk. (2000) menemukan bahwa langkah perkembangan remaja yang normal menuju individuasi terancam oleh perceraian. Alih-alih mampu bergerak menuju kemandirian dan pemisahan dari orangtua, remaja melihat orangtua sebagai sosok yang telah terpisah dari mereka. Seringkali orang dewasa lebih fokus pada masalah pergolakan mereka sehingga remaja diabaikan. Banyak remaja merasa waktu mereka untuk tumbuh disingkat dengan perceraian. Dua teori yang menjelaskan adanya keterkaitan harga diri pada remaja adalah sebagai berikut: pertama, menyatakan bahwa sebuah harga diri remaja dibentuk oleh penilaian orangtua yang senilai melekat pada remaja (Margolin, Blyth & Carbone, 1988). Kedua, teori learning social yang menekankan bahwa harga diri diperoleh melalui harga diri dari orangtua. Pembentukan harga diri pada anak yang orang tuanya bercerai tidaklah mudah, terutama pada masa remaja yang masih sangat membutuhkan dukungan dari lingkungan. Pada masa remaja, ketika mereka berhadapan dengan masalah-masalah yang serius dan berat, perubahan perilaku tampak jelas pada mereka. Selama masa remaja, Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial Vol. 2 No. 1, April 2013

Barbara D.R. Wangge, Nurul Hartini

perasaan remaja tidaklah konsisten. Perasaan-perasaan tersebut berfluktuasi antara menerima diri mereka sendiri sebagai seseorang yang serba tahu menjadi seseorang yang tidak berdaya. Seorang psikolog, Philip M. Stahl, menulis beberapa kasus remaja dari orangtua yang bercerai tentang kehidupan dan perceraian orangtua yang menyebutkan bahwa remaja belum sepenuhnya mampu menerima adanya perceraian orangtua. Bilamana terjadi perceraian, menjadikan remaja berpotensial mengalami kegagalan akademis, ketidakaturan waktu makan dan tidur, depresi, bunuh diri, kenakan remaja, dewasa sebelum waktunya, penyalahgunaan narkoba, kekhawatiran hilangnya keluarga, cenderung kurang bertanggung jawab, merasa bersalah dan marah (Aminah, 2011). Selain itu harga diri remaja juga merupakan aspek yang penting. Sejumlah penelitian juga menunjukkan bahwa perceraian orangtua dapat membuat anak memburuk prestasi sekolahnya, memiliki harga diri yang rendah, maupun menunjukkan kenakalan remaja (Papalia & Old, 1993). Berdasarkan penjelasan diatas, maka penulis akan meneliti lebih lanjut bagaimana hubungan antara penerimaan diri dengan harga diri pada remaja pasca perceraian orangtua. Remaja Menurut Gunarsa (1991) masa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang meliputi semua perkembangan yang dialami sebagai persiapan memasuki masa dewasa. Demikian juga Ericson (dalam Gunarsa, 1991) mengemukakan bahwa masa remaja (adolesence) merupakan masa dimana terbentuk suatu perasaan baru mengenai identitas yang mencakup cara hidup pribadi yang dialami sendiri dan sulit dikenal oleh orang lain. Mappiare (1982) memberi batasan masa remaja pada usia 13-22 tahun dimana usia 12/13-17/18 tahun merupakan masa remaja akhir. Perceraian Perceraian adalah berhentinya suatu perkawinan antara suami istri yang dilakukan didepan sidang pengadilan, yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak (Rasjidi, 1991). Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kasus perceraian, antara lain: persoalan ekonomi, perbedaan usia yang besar, keinginan pemperoleh anak putra Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial Vol. 2 No. 1, April 2013

atau putri, maupun persoalan prinsip yang berbeda (Save, 1990). Selain itu perlu diketahui juga dampak dari perceraian. Ada berbagai dampak perceraian yang dijelaskan oleh beberapa tokoh. Menurut Cole (2004), dampak perceraian adalah: 1) Merasa diabaikan oleh orangtua yang meninggalkannya; 2) Mengalami kesulitan dalam menerima kenyataan pada perubahan akibat perceraian; 3) Menarik diri dari teman-teman lama dan dari kegiatan favoritnya; 4) Kehilangan minat belajar; 5) Melakukan tindakan yang tidak bisa dilakukan atau perbuatan yang tidak dapat diterima seperti mencuri, membolos, selain itu mulai menggunakan bahasa yang kasar, menjadi agresif atau memberontak; 6) Merasa marah dan tidak yakin akan kepercayaannya sendiri menyangkut cinta, pernikahan dan keluarga; 7) Mulai mengkhawatirkan persoalan orang dewasa, seperti keamanan financial keluarga; 8) Merasa wajib menanggung lebih banyak tanggung jawab orang dewasa dalam keluarga. Harga Diri Coopersmith (1967) mendefinisikan harga diri sebagai evaluasi yang dibuat oleh individu mengenai dirinya sendiri, dimana evaluasi diri tersebut merupakan hasil interaksi antara individu dengan lingkungannya serta perlakuan orang lain terhadap dirinya. Evaluasi ini diekspresikan dengan sikap setuju atau tidak setuju, tingkat keyakinan individu terhadap dirinya sendiri sebagai orang yang mampu, penting, berhasil, dan berharga atau tidak. Menurut Cooppersmith (1967) aspek-aspek harga diri meliputi: 1) Self Values, diartikan sebagai nilai-nilai pribadi individu yaitu isi dari diri sendiri. Lebih lanjut dikatakan bahwa harga diri ditentukan oleh nilai-nilai pribadi yang diyakini individu sebagai nilai-nilai yang sesuai dengan dirinya; 2) Leadership popularity, Coopersmith menunjukkan bahwa individu memiliki harga diri yang tinggi cenderung mempunyai kemampuan yang dituntut dalam kepemimpinan (leadership). Sedangkan popularitas merupakan penilaian individu terhadap dirinya sendiri berdasarkan pengalaman keberhasilan yang diperoleh dalam kehidupan sosialnya dan tingkat popularitasnya mempunyai hubungan dalam harga diri, oleh sebab itu semakin populer individu diharapkan mempunyai harga diri yang tinggi; 3) Family parents, Coopersmith dalam membahas harga diri sangat menekankan perasaan keluarga 3

Hubungan Antara Penerimaan Diri dengan Harga Diri pada Remaja Pasca Perceraian Orangtua

merupakan tempat sosialisasi pertama bagi anak. Penerimaan keluarga yang positif pada anak-anak akan member dasar bagi pembentukan rasa harga diri yang tinggi pada masa dewasanya kelak; 4) Achievement, individu dengan harga diri yang tinggi cenderung memiliki karakteristik kepribadian yang dapat mengarahkan pada kemandirian sosial dan kreativitas yang tinggi. Penerimaan Diri Penerimaan diri sebagai suatu keadaan dimana seseorang memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek diri termasuk kualitas baik dan buruk yang ada pada diri dan memandang positif terhadap kehidupan yang telah dijalani (Ryff, 1989). Menurut Sheerer (dalam Sutadipura, 1984) menyatakan bahwa ciri-ciri orang yang menerima dirinya adalah: 1) Individu mempunyai keyakinan akan kemampuannya untuk menghadapi persoalan; 2) Individu menganggap dirinya berharga sebagai seorang manusia dan sederajat dengan orang lain; 3) Individu tidak menganggap dirinya aneh atau abnormal dan tidak ada harapan ditolak orang lain; 4) Individu tidak malu atau hanya memperhatikan dirinya sendiri; 5) Individu berani memikul tanggung jawab terhadap perilakunya; 6) Individu dapat menerima pujian atau celaan secara objekti; 7) Individu tidak menyalahkan diri atas keterbatasan yang dimilikinya ataupun mengingkari kelebihannya.

METODE PENELITIAN Teknik pengumpulan data untuk menghasilkan data yang relevan dengan tujuan penelitian serta memiliki validitas dan reliabilitas setinggi mungkin, maka penelitian ini menggunakan skala sebagai alat pengumpul data. Alat pengukur yang digunakan adalah modifikasi dalam bentuk respon Likert yang bersifat langsung dan berdasarkan laporan mengenai diri sendiri atau setidak-tidaknya berdasarkan pengetahuan dan keyakinan atas dirinya sendiri (Hadi, 2001). Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi dua jenis skala yaitu skala penerimaan diri dan skala harga diri pada remaja pasca perceraian orangtua. Populasi penelitian ini adalah remaja yang berjenis kelamin perempuan dan laki-laki pada SMAK St.Maria-Surabaya dengan jumlah subjek 4

sebanyak 30 orang. Subjek penelitian merupakan remaja dari orangtua yang telah bercerai. Remaja yang dimaksud peneliti adalah remaja akhir dengan rentang usia 17-19 tahun, dengan mengacu pada pendapat Hurlock (1978) bahwa bentuk-bentuk perkembangan dan pola-pola perilaku yang khas dengan usia tertentu, maka ia memberikan rentang usia remaja yakni 13-21 tahun yang dibagi dalam masa remaja awal dengan usia 13/14-17 tahun dan remaja akhir 17-21 tahun. Dalam proses analisis data ini seringkali digunakan metode statistik, karena statistik menyediakan cara-cara meringkas data kedalam bentuk yang lebih banyak artinya dan memungkinkan pencatatan secara pasti. Metode statistik parametrik yang digunakan dalam penelitian ini adalah korelasi Pearson.

HASIL PENELITIAN Hasil data dari dua variabel dikorelasikan dengan menggunakan korelasi Pearson Product Moment. Tabel 1.1 Korelasi antar variabel

total Korelasi Harga Diri Pearson Sig. (2-tailed) Sum of Squares and Cross-products Covariance total Pe- Korelasi nerimaan Pearson Sig. (2-tailed) Diri Sum of Squares and Cross-products Covariance

total Petotal Harga nerimaan Diri Diri 1

.670**

7554.300

3565.500

260.493 .670

**

.000

3565.500

.000

122.948 1

3748.167

122.948 129.247 **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). a. Listwise N=30

Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa korelasi antara penerimaan diri dengan harga diri terdapat hasil korelasi sebesar 0,670. Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial Vol. 2 No. 1, April 2013

Barbara D.R. Wangge, Nurul Hartini

Ini berarti hubungan tersebut mempunyai arah hubungan yang positif. Sehingga dapat dikatakan semakin tinggi penerimaan diri, maka semakin tinggi harga diri seseorang, atau semakin rendah penerimaan dirinya maka harga dirinya semakin rendah. Taraf signifikansi yang digunakan dalam analisis data penelitian ini adalah 0,05. Jika dilihat dalam tabel, Sig. 0,001 < 0,05 menandakan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara penerimaan diri dengan harga diri. Berdasarkan analisis data dengan menggunakan korelasi Product Moment dari Pearson, hasil hubungan kedua variabel adalah positif, karena hasil perhitungan korelasi antara penerimaan diri dengan harga diri terdapat hasil korelasi yang bertanda tidak negatif. Hubungan atau korelasi ini menunjukkan bahwa hubungan kedua variabel berbanding lurus, maksudnya apabila satu variabel semakin tinggi nilainya maka variabel yang lain semakin tinggi pula. Artinya bahwa apabila remaja dengan keadaan orangtua telah bercerai mampu menerima keadaan dirinya maka remaja tersebut akan merasakan harga diri yang semakin tinggi ketika menghadapi keadaan yang tidak diharapkan. Begitupula sebaliknya, jika individu tidak mampu untuk menerima keadaan dirinya maka individu akan merasakan harga diri yang rendah ketika menghadapi persoalan perceraian orangtua. Harga diri yang rendah akan mempengaruhi penerimaan diri individu sehingga penerimaan diri menjadi rendah. Hal senada telah dijelaskan oleh Sheerer (dalam Sutadipura, 1984), yang menyatakan bahwa salah satu yang dapat mempengaruhi penerimaan diri adalah harga diri. Sehingga dapat dikatakan bahwa individu yang Berdasarkan penjelasan diatas, diketahui bahwa penerimaan diri subjek terbilang baik karena sebanyak 30 orang memiliki penerimaan diri yang tinggi dan sedang. Adapun Menurut Ryff (1989), pengalaman yang berpotensi mempengaruhi kesejahteraan psikologis adalah pengalaman-pengalaman yang dipandang individu sangat mempengaruhi komponen-kemponen kehidupannya. Perceraian orangtua diasumsikan memiliki karakteristik seperti itu. Menurut Holmes & Rahe (dalam Carter & McGoldrick, 1989) perceraian menempati urutan kedua dalam skala pengalaman hidup yang paling menimbulkan stres. Sejumlah penelitian juga menunjukkan bahwa perceraian orangtua dapat membuat anak memburuk prestasi sekolahnya, Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial Vol. 2 No. 1, April 2013

memiliki harga diri yang rendah, maupun menunjukkan kenakalan remaja (Papalia & Old, 1993). Hal lain yang mempengaruhi selain harga diri adalah penerimaan diri remaja terhadap perceraian orangtua. Menurut Adrian (dalam Ningrum, 2013) perceraian bagi anak adalah tanda kematian keutuhan keluarganya, rasanya separuh diri anak telah hilang, hidup tak akan sama lagi setelah orangtua mereka bercerai dan mereka harus menerima kesedihan dan perasaan kehilangan yang mendalam, perasaan kehilangan, penolakan dan ditinggalkan akan merusak kemampuan anak berkonsentrasi di sekolah. Dampak yang bisa terjadi pada anak remaja dari pasangan bercerai, biasanya dari segi psikis. Seperti perasaan malu, sensitif, rendah diri. Sehingga perasaan tersebut dapat membuat remaja menarik diri dari lingkungan (Asih, 2007). Berdasarkan uraian diatas, penerimaan diri remaja terhadap perceraian orangtua sangat diperlukan. Hurlock (1980) menyatakan bahwa penerimaan merupakan salah satu hal yang berkontibusi bagi setiap individu dalam mencapai kebahagian yang ditandai dengan sikap optimis, yakin dengan potensi diri, serta bebas dari kekhawatiran-kekhawatiran yang kemudian akan menunjang optimalisasi perkembangan khususnya pada remaja. Schultz & Schultz menyatakan bahwa penerimaan diri adalah salah satu inti kebahagian pada setiap individu, termasuk ketika seseorang menginjak usia remaja, baik itu penerimaan diri maupun penerimaan lingkungan (dalam Urim, 2007).

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil analisis data, maka dapat disimpulkan bahwa ada korelasi positif dan signifikan antara penerimaan diri dengan harga diri pada remaja pasca perceraian orangtua. Artinya, semakin tinggi penerimaan dirinya, maka semakin tinggi harga diri yang dimiliki remaja ketika menghadapi kehidupan dengan orangtua yang telah bercerain, begitupun sebaliknya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya hubungan antara penerimaan diri dan harga diri pada remaja pasca perceraian orangtua. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka ada baiknya setiap orangtua mampu membimbing serta mengontrol perkembangan anak, terutama ketika perceraian yang terjadi pada orangtua yang memiliki anak usia remaja karena dalam perkembangan remaja penerimaan diri dan harga diri merupakan hal yang penting. 5

Hubungan Antara Penerimaan Diri dengan Harga Diri pada Remaja Pasca Perceraian Orangtua

Saran yang diberikan peneliti bagi peneliti selanjutnya, apabila ingin melakukan penelitian pada remaja yang orangtuanya telah bercerai, sebaiknya menggunakan metode kualitatif agar

peneliti lebih mampu menggambarkan secara detail mengenai hubungan penerimaan diri dan harga diri pada remaja pasca perceraian orangtua.

PUSTAKA ACUAN Carter, B., & Mcgoldrick, M. (1989). The Changing family Life Cycle. Boston: Allyn and Bacon. Cole, K. (2004). Mendamping Anak Menghadapi Perceraian Orangtua. Alih bahasa: Tisa Asiantari Jakarta : Prestasi Pustakaraya. Coopersmith, S (1967). The Antecendent of Self Esteem. San Fransisco: W. H. Gunarsa. (1991). Psikologi Perkembangan Anaka dan Remaja. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia. Hadi, S. (2001). Metodologi Research. Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada. Hurlock, E.B. (1978). Adolescent Development. New Delhi: Mc Graw Hill Inc. Hurlock, E.B. (1980). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta, Penerbit Erlangga. Hurlock, E.B. (1992). Developmental Psycology : A Life Span Approach, fifth edition. Mc Graw Hill. Hurlock, E.B. (2001). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi 5. Jakarta : Erlangga. Mappiare, A. (1998). Psikologi Remaja. Surabaya: Usaha Nasional. Naqiyahningrum, (2007). Penerimaan Diri pada Remaja yang berasal dari Keluarga Bercerai. Skripsi Sarjana diterbitkan. Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang. Ningrum, Putri Rosalia. (2013). Perceraian Orangtua dan Penysuaian Diri Remaja. ejournal Psikologi, 1 (1): 69-79. Papalia., Olds., Feldman. (2009). Human development. Jakarta: Salemba. Ryff, C. D. (1989). Happiness is everything, or is it Explorations on the meaning of psychological wellbeing. Journal of Personality and social psychology, 57, (6), 1069-1081. Stahl, Philip M. (2004). Parenting After Divorce. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Sutadipura, B. (1984). Kompetensi Guru dan Kesiapan Mental Anak. Jakarta: Rajawali. Urim, (2007) dalam Proses Penerimaan Anak (Remaja Akhir) Terhadap Perceraian Orangtua dan Konsekuensi Psikososial yang Menyertainya. Skripsi Sarjana diterbitkan. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Depok.

6

Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial Vol. 2 No. 1, April 2013