HUBUNGAN ASUPAN SERAT DAN KONSUMSI PANGAN

Download Kata kunci: asupan serat, konsumsi pangan, lansia, status gizi, status kesehatan. ABSTRACT ... Penilaian Penyelenggaraan Makanan. 18. Konsu...

0 downloads 432 Views 15MB Size
HUBUNGAN ASUPAN SERAT DAN KONSUMSI PANGAN DENGAN STATUS GIZI DAN KESEHATAN LANSIA PENGHUNI PANTI WERDHA BOGOR

ADE FITRIA HANDAYANI

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan Asupan Serat dan Konsumsi Pangan dengan Status Gizi dan Kesehatan Penghuni Panti Werdha Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun ke pada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Mei 2015

Ade Fitria Handayani NIM I14110092

ABSTRAK ADE FITRIA HANDAYANI. Hubungan Asupan Serat dan Konsumsi Pangan dengan Status Gizi dan Kesehatan Lansia Penghuni Panti Werdha Bogor. Dibimbing oleh ALI KHOMSAN. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan asupan serat, konsumsi pangan, dengan status kesehatan dan status gizi pada lansia di Panti Tresna Werdha Bogor. Penelitian menggunakan desain cross-sectional study dengan subjek berjumlah 32 responden. Hasil analisis secara deskriptif menunjukan bahwa tingkat kecukupan energi dan protein sebanyak 82.5% belum memenuhi 100% dari AKG yang dianjurkan. Asupan serat sebagian besar responden sebanyak 71.9% sebesar ≤6 g/hari. Status gizi rata-rata responden tergolong normal dengan rata-rata IMT sebesar 22.7 kg/m2. Status kesehatan sebagian besar tergolong tinggi dengan prevalensi sebesar 59.4%. Uji korelasi Spearman didapatkan tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara asupan serat dengan status kesehatan dan status gizi, serta tingkat kecukupan energi dengan status kesehatan responden. Terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi dengan status kesehatan (p<0.05). Kata kunci: asupan serat, konsumsi pangan, lansia, status gizi, status kesehatan.

ABSTRACT ADE FITRIA HANDAYANI. Association of Fiber Intake and Food Consumption with Nutritional and Health Status of Elderly in Tresna Werdha Nursing Home Bogor. Supervised by ALI KHOMSAN. The purpose of this study was to determine the relationship of fiber intake, food consumption, health status and nutritional status of the elderly in Tresna Werdha Nursing Home Bogor. The study used a cross-sectional study design with the subject amounted to 32 respondents. Descriptive analysis of the results showed that the levels of energy and protein sufficiency as much as 82.5% have not fulfilled 100% of the RDA recommended. Most of respondents consumed fiber as much as 71.9 % of ≤6 g / day. The average nutritional status of respondents was classified in to normal with the average of BMI was 22.7 kg/m2. The prevalation of health status of the most respondents was relatively high (59.4%). Spearman correlation test found that there was not significant correlation (p>0.05) between fiber intake with health status and nutritional status, between the level of energy sufficiency and the health status of respondents. There was a significant correlation between nutritional status and health status (p<0.05). Keywords: elderly, fiber intake, food consumption, health status, nutritional status.

HUBUNGAN ASUPAN SERAT DAN KONSUMSI PANGAN DENGAN STATUS GIZI DAN KESEHATAN LANSIA PENGHUNI PANTI WERDHA BOGOR

ADE FITRIA HANDAYANI

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi dari Progam Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan karya ilmiah yang berjudul “Hubungan Asupan Serat dan Konsumsi Pangan dengan Status Gizi dan Kesehatan Lansia Penghuni Panti Werdha Bogor” sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana (S1) Gizi di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor dengan baik. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Ali Khomsan, MS selaku dosen pembimbing skripsi dan pembimbing akademik yang dengan penuh kesabaran memberikan saran, masukan, dan bimbingannya dalam penyelesaian karya ilmiah ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr Ir Ikeu Ekayanti, M. Kes atas kesediannya untuk menjadi pemandu seminar sekaligus dosen penguji sidang yang telah memberikan semangat, masukan, kritik, dan saran yang sangat membangun demi penyempurnaan karya ilmiah ini. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Ayah, Ibu, Kiki, Nabila, serta keluarga besar yang selalu memberikan doa, semangat, motivasi, dukungan moril dan materil selama masa pendidikan. Selain itu ucapan terimaksih juga penulis sampaikan kepada teman satu tim penelitian Astania, seluruh sahabat Iis, Welas, Ghina, Nita, Ina, Susan, Soraya, Kak Raha, Panji, Ikrom, Dani, seluruh Keluarga Mahasiswa Lampung, Gizi Masyarakat 48, KKP desa Cibitung Kulon, ID Pasar Rebo, Himagizi, keluarga Nutrition Fair, Bina Desa Bem KM, IGEA, DC K 25 yang telah memberikan dukungan, bantuan, motivasi, dan kebahagiannya selama penulis menyelesaikan pendidikan, serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan karya ilmiah ini. Sehingga penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Akhir kata semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Bogor, Juni 2015

Ade Fitria Handayani

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian KERANGKA PEMIKIRAN METODOLOGI PENELITIAN Desain, Waktu, dan Tempat Penelitian Cara Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data Pengolahan dan Analisis Data Definisi Operasional HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Karakteristik Contoh Penyelenggaraan Makanan Sumber Daya Manusia Sarana dan Peralatan Perencanaan Menu, Pembelian, dan Penyimpanan Bahan Pangan Pengolahan dan Distribusi Makanan Higine dan Sanitasi Penilaian Penyelenggaraan Makanan Konsumsi Pangan Sayur dan Buah Tingkat Kecukupan Energi dan Protein Asupan Serat Status Gizi Status Kesehatan Hubungan Antar Variabel Hubungan Asupan Serat dengan Status Gizi dan Kesehatan Responden Hubungan Asupan Makanan dengan Status Kesehatan Hubungan Status Gizi dengan Status Kesehatan SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP

xi xi 1 3 3 3 6 6 6 6 8 11 12 12 13 14 15 15 16 17 17 18 19 20 22 23 24 26 26 27 27 28 28 29 30 33 35

DAFTAR TABEL

1 Variabel, jenis, dan cara pengumpulan data 2 Klasifikasi Indeks Massa Tubuh (IMT) 3 Variabel dan indikator data yang dianalisis 4 Data karakteristik contoh 5 Aspek sumber daya manusia 6 Penyelenggaraan makanan Panti Tresna Werdha 7 Frekuensi kebiasaan konsumsi sayur 8 Frekuensi kebiasaan konsumsi buah 9 Rata-rata tingkat kecukupan gizi responden 10 Kategori tingkat kecukupan energi dan protein 11 Asupan serat responden 12 Status Gizi Responden 13 Jenis penyakit responden 14 Keluhan yang dialami responden 15 Sebaran responden menurut status kesehatan 16 Aspek sarana dan peralatan fisik 17 Aspek pengolahan bahan pangan 18 Aspek perencanaan menu 19 Pembelian dan penyimpanan 20 Aspek higine dan sanitasi 21 Aspek distribusi bahan pangan

7 9 10 14 15 18 19 20 20 21 22 23 24 25 25 33 33 33 34 34 34

DAFTAR GAMBAR Gambar Kerangka pemikiran

5

1

PENDAHULUAN Latar Belakang Peningkatan usia harapan hidup dan taraf hidup penduduk diiringi dengan kemajuan perkembangan ekonomi masyarakat, perbaikan status kesehatan, dan perkembangan penelitian kedokteran. Dalan dua dekade terakhir ini, terdapat peningkatan jumlah lansia di Indonesia. Peningkatan proporsi lansia di Indonesia di atas 65 tahun meningkat dari 1.1% menjadi 6.3% dari keseluruhan total populasi. Selama 20 tahun terakhir, pada tahun 1997 terdapat peningkatan penduduk lansia sebesar 5.2%. Hal ini mencerminkan pada tahun 2020 menjadi 28.8 juta atau sebesar 11.34% total populasi (Fatmah 2009). Rasio lansia terhadap kelompok usia 20-64 tahun sebesar 12 berbanding 100 pada tahun 1990. Rasio ini akan terus meningkat menjadi 12.8 pada tahun 2000 dan 13.2 pada tahun 2010. Jumlah lansia pada tahun 1990-2000 di negara maju sebesar 20-23 orang tiap 100 orang penduduk sedangkan di negara berkembang mencapai bilangan 9 dan 10 orang tiap 100 orang penduduk (Arisman 2008). Umur harapan hidup perempuan di Indonesia lebih tinggi dibandingkan pria. Pada tahun 2007, dari sepuluh negara anggota ASEAN umur harapan hidup Indonesia menduduki peringkat ketujuh sehingga jumlah penduduk lansia di Indonesia akan semakin meningkat (Depkes RI 2008). Peningkatan masalah kesehatan merupakan salah satu dampak dari peningkatan jumlah lansia. Usia mempengaruhi aspek kehidupan lansia seperti terjadinya perubahan fisik, biologis, fisiologis, dan sosial sebagai proses penuaan atau munculnya penyakit degeneratif/penyakit tidak menular akibat penuaan tersebut. Penyakit degeneratif pada lansia dipengaruhi oleh penurunan daya tahan terhadap infeksi dan akan mengalami gangguan metabolik dan struktural. Umumnya kemunduran kesehatan pada lansia tersebut menyebabkan berbagai keluhan kesehatan seperti yang umumnya terjadi yaitu defisiensi gizi, gangguan tidur, kulit kering, penurunan daya ingat dan konsentrasi. Perubahan psikologi pada lansia akan mengubah kebutuhan gizinya (Garrow et al. 2000). Pada negara Eropa, penyakit kronis seperti penyakit jantung koroner dan kanker menjadi penyebab kematian pertama, hal ini disebabkan karena gaya hidup yang buruk. Selain penyakit degeneratif, penelitian menunjukan lansia lebih berisiko terkena KEP (Kurang Energi Protein) malnutrisi yang disebabkan oleh konsumsi pangan yang rendah (Bouillane et al. 2005). Konsumsi pangan pada lansia yang tinggal di panti sangat tergantung dengan penyelenggaraan makanan dan porsi makanan yang diberikan pada lansia. Penyelenggaraan makanan di panti bertujuan untuk memenuhi kebutuhan gizi lansia dengan menyusun menu makanan yang dapat meningkatkan selera makan lansia. Menurut Almatsier (2011), pemberian perhatian pada makanan dan zat gizi lansia tanpa atau dengan penyakit kronik, akan menurunkan risiko dari penyakit degeneratif seperti penyakit jantung, penyakit syaraf, penyakit tulang, penglihatan, gangguan pencernaan, dan mengurangi dampak penyakit kronik pada status gizi dan kualitas hidup lansia. Menurut Gentilcore et al. (2008), mengenai hubungan zat gizi makro dengan lansia menyatakan bahwa zat gizi yang

2

dikonsumsi oleh lansia sangat berpengaruh terhadap kenaikan tekanan darah dan nadi pada lansia. Peningkatan konsumsi makanan sumber serat akan meningkatkan kesehatan seseorang. Studi membuktikan bahwa total asupan serat pangan yang tinggi sangat signifikan (p<0.05) berhubungan dengan penurunan kejadian overweight dan kejadian penyakit kardiovaskular pada lansia di Perancis. Pada penelitian di beberapa negara Eropa juga memperlihatkan bahwa dengan mengonsumsi serat yang tinggi akan menurunkan sebesar 27% risiko kematian seseorang akibat penyakit kardiovaskular. Penelitian Cohort yang dilakukan selama 10 tahun pada wanita usia 37-64 tahun di Amerika Serikat, didapati bahwa pada wanita yang mengonsumsi serat 22.9 gram per hari memiliki risiko yang rendah 34% untuk terkena penyakit jantung kronis dibandingkan dengan wanita yang mengonsumsi serat sebanyak 11.5 gram per hari (Lairon et al. 2005). Konsumsi serat yang dianjurkan pada orang per hari sebesar 20-35 gram. Sedangkan untuk orang yang lebih tua dianjurkan sebanyak 10-13 gram serat per 1000 kkal. Kekurangan serat menyebabkan massa transit tinja lebih lama. Tinja menjadi mengeras dan dibutuhkan kontraksi yang keras untuk mengeluarkannya. Fungsi utama serat adalah menyerap air dalam usus sehingga feses atau tinja menjadi lebih lunak dan mudah untuk dikeluarkan karena tidak membutuhkan kontraksi usus yang kuat (Devi 2010). Menurut Lubis (2008), dampak awal yang sering ditimbulkan apabila menonsumsi makanan yang kurang serat adalah perut terasa kembung, kemudian rasa tidak nyaman tersebut diikuti oleh sembelit yang hanya dirasakan saat buang air besar. Konsumsi serat pada masyarakat Indonesia masih sangat rendah yaitu hanya berkisar 10.5 g per hari. Pada lansia yang tinggal di rumah saja atau panti memiliki asupan buah dan sayur yang lebih rendah hanya sekitar 2 porsi/per hari sedangkan lansia yang hidup bebas mengonsumsi buah dan sayur 3 porsi/hari (Gandy et al. 2002). Masalah gizi yang sering timbul pada lansia mempengaruhi konsumsi makanan karena penurunan kemampuan mengunyah, penurunan metabolisme basal dan adanya gangguan pada gigi. Prevalensi lansia di Indonesia yang memiliki berat badan ideal hanya sebesar 42.4%, sedangkan lansia yang mengalami gizi kurang dan gizi lebih masih sebesar 3.4% (Muis 2006). Prevalensi malnutrisi sangat tinggi pada lansia yang berusia diatas 65 tahun dan tinggal di panti jompo (Cereda 2009). Menurut Lairon et al. (2005), seseorang yang mengonsumsi serat yang tinggi akan sangat berhubungan dengan IMT dan waist to hip yang rendah dibandingkan dengan seseorang yang mengonsumsi serat yang sedikit. Mekanisme dari konsumsi serat terhadap tubuh adalah serat akan mempengaruhi penyimpanan lemak tubuh yang akan menurunkan asupan energi, meningkatkan pengeluaran lemak, dan meningkatkan konsentrasi kilomikron dalam tubuh. Berdasarkan seluruh uraian diatas, masalah kesehatan dan status gizi sangat tinggi terutama pada lansia yang tinggal di panti. Pencegahan dan penurunan penyakit kronis tidak hanya meningkatkan usia harapan hidup tetapi juga akan meningkatkan kualitas dari hidup tanpa penyakit penyerta. Hal ini yang mendasari peneliti ingin meneliti hubungan asupan serat, konsumsi pangan dengan status kesehatan dan status gizi pada lansia di Panti Tresna Werdha Bogor Jawa Barat.

3

Tujuan Penelitian Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan asupan serat dan konsumsi pangan dengan status gizi dan kesehatan pada lansia di Panti Tresna Werdha Bogor Jawa Barat. Tujuan Khusus Secara khusus penelitian ini bertujuan antara lain: 1. Menganalisis penyelenggaraan makanan, asupan serat dan konsumsi pangan pada lansia di Panti Tresna Werdha Bogor Jawa Barat 2. Menganalisis frekuensi konsumsi sayur dan buah pada lansia di Panti Tresna Werdha Bogor Jawa Barat 3. Menganalisis status kesehatan dan status gizi pada lansia di Panti Tresna Werdha Bogor Jawa Barat 4. Menganalisis hubungan antara asupan serat, konsumsi pangan,status gizi dan kesehatan pada lansia di Panti Tresna Werdha Bogor Jawa Barat.

Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat yaitu sebagai tambahan informasi mengenai pada asupan serat dan konsumsi pangan kaitannya dengan status kesehatan dan status gizi pada lansia. Selain itu hasil penelitian tersebut diharapkan dapat menjadi acuan pertimbangan bagi pemerintah, swasta, dan pihak Unit Pelayanan Tresna Werdha dalam penyusunan kebijakan dan strategi terkait dengan penyelenggaraan makanan dan pengolahan panti khususnya Panti Tresna Werdha Bogor dan kebijakan mengenai perlindungan pada lansia.

KERANGKA PEMIKIRAN Kemajuan bidang ilmu teknologi dan pengetahuan meningkatkan angka harapan hidup yang terus meningkat. Pada lanjut usia, terdapat banyak sekali penurunan fungsi biologis dan metabolisme tubuh. Hal ini menyebabkan lansia termasuk ke dalam golongan yang rentan dan harus mendapatkan perhatian khusus. Perubahan pada lansia terjadi dengan proses yang cukup panjang, meliputi perubahan sistem pernapasan, sistem jantung, sistem otak, sistem ekskresi, sistem metabolisme tubuh, tulang, perubahan komposisi tubuh, dan sistem pencernaan. Selain perubahan tersebut, pada lansia juga terjadi penurunan nafsu makan sehingga terjadi penurunan berat badan yang akan mempengaruhi status gizi lansia. Karakteristik contoh seperti usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status perkawinan, dan riwayat pekerjaan akan mempengaruhi konsumsi pangan lansia. Bagi masa lansia, pemenuhan konsumsi pangan sangat bergantung pada tempat tinggal lansia tersebut. Saat ini banyak sekali yayasan yang mengelola panti

3

Tujuan Penelitian Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan asupan serat dan konsumsi pangan dengan status gizi dan kesehatan pada lansia di Panti Tresna Werdha Bogor Jawa Barat. Tujuan Khusus Secara khusus penelitian ini bertujuan antara lain: 1. Menganalisis penyelenggaraan makanan, asupan serat dan konsumsi pangan pada lansia di Panti Tresna Werdha Bogor Jawa Barat 2. Menganalisis frekuensi konsumsi sayur dan buah pada lansia di Panti Tresna Werdha Bogor Jawa Barat 3. Menganalisis status kesehatan dan status gizi pada lansia di Panti Tresna Werdha Bogor Jawa Barat 4. Menganalisis hubungan antara asupan serat, konsumsi pangan,status gizi dan kesehatan pada lansia di Panti Tresna Werdha Bogor Jawa Barat.

Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat yaitu sebagai tambahan informasi mengenai pada asupan serat dan konsumsi pangan kaitannya dengan status kesehatan dan status gizi pada lansia. Selain itu hasil penelitian tersebut diharapkan dapat menjadi acuan pertimbangan bagi pemerintah, swasta, dan pihak Unit Pelayanan Tresna Werdha dalam penyusunan kebijakan dan strategi terkait dengan penyelenggaraan makanan dan pengolahan panti khususnya Panti Tresna Werdha Bogor dan kebijakan mengenai perlindungan pada lansia.

KERANGKA PEMIKIRAN Kemajuan bidang ilmu teknologi dan pengetahuan meningkatkan angka harapan hidup yang terus meningkat. Pada lanjut usia, terdapat banyak sekali penurunan fungsi biologis dan metabolisme tubuh. Hal ini menyebabkan lansia termasuk ke dalam golongan yang rentan dan harus mendapatkan perhatian khusus. Perubahan pada lansia terjadi dengan proses yang cukup panjang, meliputi perubahan sistem pernapasan, sistem jantung, sistem otak, sistem ekskresi, sistem metabolisme tubuh, tulang, perubahan komposisi tubuh, dan sistem pencernaan. Selain perubahan tersebut, pada lansia juga terjadi penurunan nafsu makan sehingga terjadi penurunan berat badan yang akan mempengaruhi status gizi lansia. Karakteristik contoh seperti usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status perkawinan, dan riwayat pekerjaan akan mempengaruhi konsumsi pangan lansia. Bagi masa lansia, pemenuhan konsumsi pangan sangat bergantung pada tempat tinggal lansia tersebut. Saat ini banyak sekali yayasan yang mengelola panti

4

werdha atau panti jompo untuk tempat tinggal bagi lansia. Lansia yang tinggal di panti werdha melakukan kegiatan sehari-harinya di dalam panti sosial tersebut. Konsumsi pangan lansia yang tinggal di panti werdha bisa dari penyelenggaraan makanan dalam panti dan dari luar panti. Variabel penyelenggaraan makanan pada lansia yang dilihat pada penelitian ini adalah sumber daya manusia, sarana dan peralatan, perencanaan menu, pembelian dan penyimpanan, pengolahan, pendistribusian makanan serta higine dan sanitasi. Sedangkan konsumsi pangan yang diteliti pada penelitian ini mengacu pada jumlah, jenis bahan pangan, dan tingkat pemenuhan kecukupan gizi pada lansia. Konsumsi pangan pada lansia akan mempengaruhi konsumsi dan pemenuhan serat dalam sehari. Asupan serat dan konsumsi makan sangat berpengaruh terhadap kejadian penyakit atau status kesehatan pada lansia. Selain itu, konsumsi tinggi serat juga sangat berpengaruh terhadap status gizi lansia (Lairon et al. 2005). Keadaan status kesehatan pada lansia akan berpengaruh terhadap status gizinya, pada lansia yang mengalami suatu penyakit akan terjadi penurunan nafsu makan sehingga berpengaruh terhadap status gizinya. Sedangkan pada lansia yang memiliki status gizi yang kurang atau lebih maka akan memiliki risiko yang lebih besar terkena suatu penyakit sehingga akan mengganggu status kesehatannya. Variabel status kesehatan yang diteliti adalah riwayat penyakit, lama penyakit, frekuensi penyakit, dan skor morbiditas. Berikut ini bagan kerangka pemikiran mengenai hubungan asupan serat, konsumsi pangan dengan status kesehatan dan status gizi pada lansia (Gambar 1).

5

Penyelenggaraan Makanan : - SDM, sarana dan peralatan - Pembelian, , penyimpanan, - Pengolahan - Pendistribusian - Higine dan sanitasi

Karakteristik Contoh : - Usia - Jenis Kelamin - Tingkat pendidikan - Pekerjaan - Status perkawinan

Konsumsi Pangan : 1. Jumlah bahan pangan 2. Jenis bahan pangan 3. Tingkat kecukupan

Asupan Serat

-

Status Kesehatan: Riwayat penyakit Lama sakit Frekuensi sakit Skor Morbiditas

Status Gizi: 1. Berat badan (kg) 2. Tinggi badan

Gambar 1 Kerangka pemikiran Keterangan : : Variabel yang tidak diteliti : Hubungan yang diteliti

6

METODOLOGI PENELITIAN

Desain, Waktu, dan Tempat Penelitian Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study karena menggunakan populasi yang kecil dan terbatas dengan pengumpulan data dalam satu waktu yang dilakukan di Rumah Perlindungan Sosial Tresna Werdha Bogor, Jawa Barat. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2015. Lokasi penelitian dipilih secara purposive sampling, yaitu berdasarkan pertimbangan bahwa panti ini memiliki jarak yang dekat, memiliki lansia yang jumlahnya cukup banyak dibandingan dengan panti lain, satu-satunya panti werdha di Bogor yang dikelola oleh pemerintah daerah Jawa Barat, memiliki jadwal pemeriksaan kesehatan yang teratur, populasi contoh yang beragam, dan juga kemudahan dalam melakukan perizinan.

Cara Penarikan Contoh Populasi dalam penelitian ini adalah semua lansia yang tinggal di Rumah Perlindungan Sosial Tresna Werdha Bogor yang berjumlah 60 orang. Penarikan contoh minimal pada penelitian menggunakan rumus: N n= 1 + N (d2) n = Jumlah contoh N = Populasi = 60 orang d = Presisi yang diinginkan = 5% Berdasarkan hasil perhitungan diatas didapatkan jumlah contoh sebanyak 52, akan tetapi karena tidak seluruh lansia dalam kondisi yang sehat maka menggunakan kriteria inklusi yaitu contoh harus memenuhi kriteria dengan usia 55 tahun ke atas, dalam keadaan sehat, mampu berkomunikasi dengan baik, mampu mengonsumsi makanan sendiri melalui mulut, tidak mengalami gangguan ingatan/demensia, tinggal di panti, dan bersedia di wawancarai. Mengacu pada kriteria inklusi, didapatkan jumlah contoh sebanyak 32 orang.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer terdiri dari karakteristik contoh (nama, jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, status perkawinan dan riwayat pekerjaan), penyelenggaraan makanan, konsumsi pangan (jenis makanan, jumlah, dan tingkat kecukupan), kebisasaan konsumsi sayur dan buah, asupan serat, status kesehatan, dan status gizi (berat badan dan tinggi badan). Jenis dan cara pengumpulan data dapat dilihat pada Tabel 1.

7

Tabel 1 Variabel, jenis, dan cara pengumpulan data Variabel Karakteristik contoh

Penyelenggaraan makanan

Konsumsi Makanan dan Asupan Serat

Status Kesehatan

Status Gizi

Jenis Data Nama Usia Jenis kelamin Tingkat pendidikan Status perkawinan Pekerjaan Sumber daya manusia Sarana dan peralatan Pengolahan bahan pangan • Perencanaan menu • Pembeliaan dan penyimpanan • Pendistribusian bahan makanan • Higine dan sanitasi Recall 2x24 jam dan FFQ • • • • • • • • •

• • • • • • •

Riwayat penyakit Lama sakit Frekuensi sakit Keluhan penyakit Berat badan (kg) Tinggi badan (cm) IMT (kg/m2)

Cara Pengumpulan Data Wawancara mengggunakan kuisioner

Wawancara pada petugas penyelenggaraan makanan, pengamatan langsung, dan data sekunder menu makanan panti

Wawancara menggunakan kuisioner, recall, penimbangan makanan yang diberikan oleh panti, FFQ. Wawancara menggunakan kuisioner.

Data berat badan diukur menggunakan timbangan merek Camry dengan ketelitian 0.1 kg, tinggi badan menggunakan meteran dengan ketelitian 0.1 cm, dan IMT didapatkan dengan membandingkan berat badan dan tinggi badan contoh.

Pengumpulan data karakteristik contoh, konsumsi pangan menggunakan recall 2x24 jam dan FFQ buah dan sayur dalam satu bulan terakhir, asupan serat, dan status kesehatan didapatkan dengan wawancara menggunakan kuisioner. Perhitungan kebutuhan gizi dilakukan melalui recall 2x24 jam untuk mengetahui konsumsi responden dalam penelitian ini karena recall dapat memberikan gambaran nyata, memberikan gambaran kualitatif dari pola makan, dan berguna dalam mengukur rata-rata asupan (Kusharto dan Supariasa 2014). Menurut Sanjur (1997) dalam Supariasa et al. (2002), jika pengukuran hanya dilakukan 1x24 jam maka data yang didapatkan kurang representatif dalam menggambarkan kebiasaan makan individu, sebaiknya dilakukan recall 2x24 jam sehingga akan memberikan variasi terhadap intake individu dan menghasilkan gambaran asupan zat gizi yang lebih optimal. Pengumpulan data penyelenggaraan makanan dilakukan dengan mewawancarai langsung petugas penyelenggaraan makanan dan melakukan

8

pengamatan langsung. Sedangkan status gizi didapatkan dengan melakukan penimbangan berat badan menggunakan timbangan merek CAMRY dengan ketelitian 0.1 kg dan tinggi badan menggunakan meteran merek BUTTERFLY dengan ketelitian 0.1 cm. Pengukuran tinggi badan pada lansia contoh dilakukan dengan mengonversi tinggi lutut menggunakan rumus. Data sekunder terdiri dari profil dan data umum panti, riwayat penyakit contoh yang didapatkan dari petugas kesehatan, dan menu makanan panti.

Pengolahan dan Analisis Data Seluruh data yang diperoleh kemudian diolah melalui proses editing, coding, entry, cleaning, dan selanjutnya dianalisis. Pengecekan data dilakukan dengan proses editing, selanjutnya dilakukan proses coding untuk penggolongan sesuai dengan peubah, proses entry data dilakukan sesuai dengan penggolongan atau coding yang telah dilakukan sebelumnya, langkah selanjutnya adalah cleaning yaitu bertujuan untuk mengecek kesesuaian data dengan kode yang telah ditentukan dan melihat data yang tidak sesuai. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan Microsoft Excel 2007, dan dianalisis menggunakan SPSS version 16.0 for windows. Hubungan antara variabel dianalisis secara deskriptif dan statistik. Analisis statistik yang dilakukan adalah uji korelasi Spearman dan ChiSquare. Data karakteristik lansia meliputi usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, dan status pernikahan. Data karakteristik usia contoh dikelompokan menurut WHO dalam Notoadmojo (2007), yaitu kelompok middle age 45–59 tahun, elderly yaitu usia 60–74 tahun, old yaitu usia 75-90 tahun, dan very oldyaitu usia diatas 90 tahun. Jenis kelamin tidak dikelompokan menjadi dua karena seluruh contoh berjenis kelamin perempuan. Tingkat pendidikan dikelompokan menjadi lima kelompok yaitu, tidak sekolah, SD, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi (PT). Status pekerjaan dikelompokan menjadi dua yaitu bekerja (PNS, Wiraswastasta, Karyawan) dan tidak bekerja. Status perkawinan dikelompokan menjadi tiga yaitu menikah, tidak menikah dan janda. Data jumlah, jenis dan frekuensi konsumsi makanan diperoleh dengan menggunakan instrumen FFQ (Food Frequency Questionnaire). Lansia diwawancarai tentang frekuensi mengonsumsi pangan selama satu bulan kemudian dikonversi menjadi frekuensi mingguan. Setelah dikonversi menjadi per minggu kemudian dilakukan penggolongan frekuensi konsumsi buah dan sayur berdasarkan interval data. Data konsumsi pangan diperoleh dari recall selama 2x24 jam, yaitu lansia diwawancarai dan diminta untuk mengingat konsumsi makanan selama dua hari. Data yang didapatkan berupa ukuran rumah tangga dan dikonversi menjadi energi dan protein menggunakan DKBM (Supariasa et al. 2001). Asupan energi dan protein contoh dibandingkan dengan kebutuhan zat gizi yang telah dikoreksi dengan status gizi contoh. Apabila status gizi contoh normal maka menggunakan AKG tahun 2013 yang telah dikoreksi dengan berat badan aktual contoh. Rumus yang digunakan dalam mengkoreksi angka kecukupan zat gizi adalah sebagai berikut (Hardinsyah dan Tambunan 2004):

9

AKG Koreksi = Berat badan aktual (kg) x AKG Berat badan standar dalam daftar AKG (kg) Tingkat kecukupan energi dan protein kemudian dikoreksi menggunakan TKE dan TKP berdasarkan AKG 2013. Langkah selanjutnya yaitu penggolongan tingkat kecukupan yang dilakukan berdasarkan pemenuhan AKG nya yaitu <100% AKG dan ≥100% AKG. Kategori asupan serat menurut Muchtadi (2009), yaitu kategori kurang (<20 g), cukup (20-30 g), dan lebih (>30 g). Perhitungan keseluruhan asupan serat contoh didapatkan dalam kategori kurang maka penggolongan asupan serat dilakukan berdasarkan dengan interval kelas. Kategori asupan serat digolongkan berdasarkan sebaran data asupan serat yaitu ≤6 g/per hari, asupan serat 7-11 g/per hari, dan asupan serat ≥12 g/per hari. Data penyelenggaraan makanan yang diteliti terdiri dari sumber daya manusia, sarana dan peralatan, pengolahan bahan pangan, perencanaan menu, pembelian, penerimaan, penyimpanan bahan pangan, distribusi makanan, serta higine dan sanitasi. Proses dalam penyelenggaraan makanan dianalisis dan diberi skor 0) jika jawaban belum diterapkan dan 1) jika jawaban yang sudah diterapkan pada setiap komponen. Aspek penyelenggaraan makanan secara keseluruhan dinilai berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan mengenai pedoman penyelenggaraan makanan, kemudian dikategorikan menurut sebaran nilai (Andriani 2012), yang dikategorikan menjadi tiga yaitu kurang baik (<60%), cukup baik (60-79%) dan baik (≥80%). Status gizi contoh didapatkan dengan membandingkan berat badan (kg) dan tinggi badan (m) contoh kedalam rumus: IMT (kg/m2) = Berat badan (kg) Tinggi badan (m2) Klasifikasi IMT untuk kelompok yang rentan morbiditas dan mortalitasnya khususnya lansia menggunakan klasifikasi berdasarkan WHO (2000) pada Gibson (2005) yang dijabarkan pada Tabel 2 berikut: Tabel 2 Klasifikasi Indeks Massa Tubuh (IMT) Klasifikasi IMT (kg/m2) Underweight ≤18.50 Normal Range 18.50– 24.99 Overweight 25.00 – 29.99 Obese ≥30.00 Sumber: WHO (2000) Status kesehatan contoh meliputi jenis penyakit, lama sakit, dan frekuensi sakit. Riwayat penyakit dilihat dari jenis penyakit yang dialami oleh contoh selama 6-12 bulan terakhir. Lama dan frekuensi penyakit dianalisis berdasarkan sebaran data. Skor morbiditas dapat dikategorikan berdasarkan perhitungan interval kelas yaitu status morbiditas rendah (0-30), sedang (31-60), dan tinggi (61-90) (Sugiono 2009). Status kesehatan berbanding terbalik dengan skor morbiditas yang diperoleh dengan mengalikan lama hari sakit dengan frekuensi sakit untuk setiap jenis penyakit, seperti rumus berikut (Dijaissyah 2011):

10

Skor Morbiditas = Lama hari sakit x Frekuensi sakit Status kesehatan yang tinggi menunjukkan skor morbiditas yang rendah. Variabel dan indikator data yang akan dianalisis dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Variabel dan indikator data yang dianalisis No 1

Variabel Karakteristik contoh: • Usia

Klasifikasi 1. Usia pertengahan (Middle age), 45-59 tahun 2. Lanjut usia (elderly), 60-74 tahun 3. Lanjut usia tua (old), 75-90 tahun 4. Usia sangat tua (very old), > 90 tahun (WHO 1995)



Tingkat Pendidikan

1. Tidak sekolah 2. SD 3. SMP 4. SMA 5. PT



Status Perkawinan

1. Menikah 2. Tidak menikah 3. Janda



Pekerjaan

1. Tidak bekerja 2. PNS 3. Karyawan Swasta 4. Wiraswasta 5. Lainnya 1. Kurang baik (<60%) 2. Cukup baik (60-79%) 3. Baik (≥80%)

Penyelenggaraan Makanan: - SDM - Pengolahan Perencanaan menu - Pembelian, penerimaan, penyimpanan, - Pendistribusian - Higine dan sanitasi Konsumsi Pangan

Asupan Serat

Status Gizi

Status Kesehatan

Tingkat Kecukupan Energi dan Protein 1. <100% AKG 2. ≥100% AKG Sebaran data 1. ≤6 g 2. 7-11 g 3. >12 g 1. IMT<18.50 (underweight) 2. IMT 18.50-24.99 (normal) 3. IMT 25.00-27.99 (overweight) 4. IMT ≥30.00 (obesitas) (Gibson 2005) 1. Rendah (61-90) 2. Sedang (31-60) 3. Tinggi (0-30)

Riwayat Penyakit, Lama sakit, dan Frekuensi Sakit

Dianalisis dengan sebaran data

11

Definisi Operasional Asupan serat adalah banyaknya serat yang berasal dari makanan yang dikonsumsi oleh contoh perhari. Contoh adalah lansia yang tinggal di Rumah Perlindungan Sosial Tresna Werdha Bogor yang berusia ≥55 tahun. Fekuensi sakit adalah jumlah pengulangan atau kambuhnya penyakit contoh selama 6-12 bulan terakhir. Jenis penyakit adalah segala macam penyakit yang pernah diderita oleh contoh selama 6-12 bulan terakhir. Karakteristik contoh adalah kondisi pribadi contoh berupa usia, status perkawinan, tingkat pendidikan, dan pekerjaan. Konsumsi pangan adalah jumlah, jenis dan frekuensi makanan yang dikonsumsi oleh contoh yang dapat dihitung menggunakan Food Frequencies Quitioner (FFQ), serta tingkat kecukupan energi dan protein contoh yang dihitung melalui perbandingan konsumsi yang berasal dari dalam maupun luar panti yang diperoleh dengan cara me-recall selama 2x24 jam dengan AKG 2013. Lama sakit adalah lamanya hari contoh mengalami sakit setiap penyakit kambuh selama 6-12 bulan terakhir. Panti werdha adalah sarana atau rumah singgah bagi lansia yang memberikan pelayanan kesehatan, tempat tinggal, dan pelayanan makanan. Pekerjaan adalah riwayat contoh bekerja atau kegiatan untuk mendapatkan uang atau pendapatan sebelum contoh masuk ke panti werdha. Penyelenggaraan makanan adalah adalah rangkaian kegiatan penyediaan makanan mulai dari perencanaan menu, pembelian, penyimpanan, persiapan, pengolahan, dan pendistribusian makanan hingga penyajian makanan siap dikonsumsi contoh, sumber daya manusia, sarana peralatan, serta higine dan sanitasi. Status gizi adalah keadaan gizi lansia yang ditentukan berdasarkan pengukuran berat badan dan tinggi badan contoh untuk kemudian dihitung Indeks Massa Tubuh (IMT) dalam kg/m2 dan kemudian dikategorikan berdasarkan IMT<18.50 (underweight), IMT 18.50-24.99 (normal), IMT 25.00-29.99 (overweight), IMT ≥30 (obesitas). Status kesehatan adalah kondisi kesehatan contoh yang dilihat dari riwayat penyakit, lama penyakit, frekuensi sakit, dan skor morbiditas yang dilakukan selama 6 hingga 12 bulan terakhir. Status perkawinan adalah status pernikahan contoh saat dilakukan penelitian. Tingkat pendidikan adalah tingkat pendidikan formal akhir yang pernah dijalani oleh contoh dan diukur dengan lamanya tahun pendidikan dan jenjang pendidikan yang ditempuh.

12

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Rumah Perlindungan Sosial Tresna Werdha Bogor (RPSTW) berada di bawah naungan Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat yang UPTD Balai Perlindungan merupakan salah satu pelaksana UPTD Balai Perlindungan Sosial Tresna Werdha Ciparay Bandung dan Pemeliharaan Taman Makan Pahlawan yang menangani, memberikan pelayanan, dan membina lanjut usia. Panti sosial ini memberikan pelayanan kepada para lansia melalui beberapa tahapan yaitu mulai dari tahapan pendekatan, yang terdiri dari tahapan pendekatan awal, tahapan pengungkapan, dan pemahaman masalah. Tahapan selanjutnya yaitu tahapan penyusunan rencana dan program, tahapan pelaksaan pelayanan sosial, tahapan evaluasi dan diakhiri dengan tahapan terminasi atau berupa tahapan rujukan. Keseluruhan proses tahapan tersebut merupakan salah satu upaya pelayanan untuk mewujudkan terbina dan berkembangannya tata kehidupan dan penghidupan para lansia di RPSTW Bogor. Proses tersebut juga berintegrasi dengan tugas pembangunan di bidang Kesejahteraan Sosial sebagai bagian dari pembangunan nasional yang dilaksanakan oleh pemerintah yaitu dapat memperbaiki, membina, dan mengembangkan kelayakan taraf hidup terutama bagi yang memiliki hambatan fisik, psikologis, dan sosial yaitu lansia. Rumah Perlindungan Sosial Tresna Werdha Bogor (RPSTW) pada awalnya merupakan tempat pemotongan hewan pada masa penjajahan Belanda hingga tahun 1945. Pada tahun 1947, rumah bekas pemotongan hewan tersebut kemudian dijadikan sebagai pos kesehatan guna memberikan pelayanan kesehatan bagi warga sekitar yang pada saat itu banyak yang menjadi korban perang. Pada tahun 1949, di rumah ini banyak ditempati oleh penyandang masalah sosial seperti lansia terlantar, orang miskin, penyandang cacat, gelandangan, dan anak yatim piatu, kemudian para penghuni tersebut menamakan diri sebagai ASIB (Anak Sosial Indonesia Bogor), sehingga hingga sekarang banyak yang menyebut RPSTW Bogor dengan rumah ASIB. Alamat RPSTW Bogor ini bertempat di Jalan Raya R. Aria Suriawinata Kota Bogor, Gang Sukma Raharja, RT 04/05 Kelurahan Paledang kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor. Visi dari Rumah Perlindungan Sosial Tresna Werdha Bogor adalah kesejahteraan sosial lanjut usia yang kondusif tahun 2013. Misi dari panti tersebut adalah meningkatkan mutu pelayanan sosial lanjut usia, meningkatkan profesionalisme sumber daya manusia, meningkatkan sistem bantuan perlindungan bagi lanjut usia, meningkatkan partisipasi aktif dan ketisetiakawanan sosial masyarakat, serta menciptakan situasi yang kondusif. Panti ini memiliki tugas pokok dengan melaksanakan operasional Balai Perlindungan Sosial Tresna Werdha dibidang perlindungan dan pelayanan kesejahteraan lanjut usia di wilayah I Bogor. Fungsinya dalah sebagai pengelola dibidang pelayanan dan pengembangan kesejahteraan sosial lanjut usia serta pengelolaan ketatausahaan panti. Sasaran pelayanan RPSTW Bogor merupakan lanjut usia yang berusia 50 tahun keatas yang terdiri dari lanjut usia yang terlantar karena tidak diketahui keluarganya maupun bagi lansia yang tidak diurus oleh keluarganya. Selanjutnya,

13

lansia yang karena suatu sebab tertentu mereka tidak mau hidup di lingkungan keluarganya dan ingin dilayani oleh panti. Keluarga terutama bagi yang tidak dapat merawat orang tua yang telah lanjut usia dan terpaksa harus dititipkan di panti. Selain syarat tersebut, lansia yang dapat masuk di panti harus memiliki surat keterangan sehat, surat keterangan tidak mampu, dan kartu BPJS yang berlaku. Sumber dana penyelenggaraan panti berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Jawa Barat yang ada dalam dokumen pelaksanaan anggaran pada Dinas Sosial Jawa Barat, yayasan Dharmais, dan bantuan yang tidak mengikat.

Karakteristik Contoh Contoh dalam penelitian ini merupakan seluruh lansia yang memenuhi kriteria inklusi. Tabel 4 menunjukan bahwa sebagian besar lansia (62.5%) tergolong dalam kategori elderly yaitu lansia yang berusia 60-74 tahun dan hanya 3.1% responden yang berkategori very old yaitu usia diatas 90 tahun. Usia terendah contoh yang diteliti 55 tahun dan usia tertinggi contoh yaitu 95 tahun. Rata-rata usia contoh yaitu 70.8 tahun dengan standar deviasi sebesar 9.3. Tingkat pendidikan merupakan jenjang atau strata pendidikan formal yang ditempuh oleh contoh. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan semakin memudahkan untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan kehidupan sehari-hari, khususunya dalam bidang kesehatan dan gizi (Atmarita dan Fallah 2004). Sebagian besar contoh tidak mengenyam bangku pendidikan yaitu sebesar 40.6% dan hanya sebesar 3.1% contoh yang lulus pendidikan tertinggi yaitu perguruan tinggi. Tingkat pendidikan contoh sebagian besar dapat dikategorikan masih sangat rendah. Rendahnya pendidikan contoh disebabkan karena masa kanakkanak dan masa remaja contoh adalah masa kolonial Belanda dan Jepang, jumlah sekolah yang terbatas, akses menuju sekolah yang sulit dijangkau, dan keterbatasan ekonomi. Hal ini sesuai dengan data Susenas dalam BPS (2008), prevalensi pendidikan rendah pada lansia masih sangat tinggi hal ini dikarenakan keterbatasan fasilitas, sarana, dan prasarana akibat masa penjajahan. Rendahnya tingkat pendidikan diringi juga dengan rendahnya riwayat pekerjaan contoh. Menurut Soehardjo (1989), jenis pekerjaan yang dimiliki oleh seseorang merupakan faktor yang paling menentukan kualitas dan kuantitas makanan karena jenis pekerjaan memiliki hubungan dengan pendapatan yang diterima. Riwayat pekerjaan contoh dikelompokan menjadi contoh yang tidak bekerja, PNS, karyawan swasta, wiraswasta, dan lainnya yang terdiri dari buruh dan asisten Rumah Tangga. Sebagian besar contoh tidak memiliki riwayat mata pecaharian dan kategori lainnya (buruh dan asisten Rumah Tangga) yaitu masing-masing sebesar 34.4%. Riwayat pekerjaan contoh yang bekerja sebagai PNS hanya sebesar 3.1% atau sebanyak satu orang contoh. Riwayat pekerjaan contoh lainnya adalah sebagai karyawan swasta dan wiraswasta dengan presentase masing-masing pekerjaan sebesar 15.6% dan 12.5%. Sebagian besar contoh dalam penelitian (96.9%) memiliki status perkawinan sebagai janda atau tidak lagi memiliki suami. Tidak ada responden

14

yang masih memiliki pasangan dan hanya satu responden yang tidak menikah atau sebanyak 3.1%. Contoh yang tinggal di Panti Tresna Werdha sebagian besar karena tidak lagi memiliki keluarga dekat atau karena keluarganya tidak bisa mengurus kebutuhan contoh. Seluruh data mengenai karakteristik responden dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Data karakteristik contoh Karakteristik Responden Usia Middle Age (45-59) Elderly (60-74) Old (75-90) Very Old (>90) Total Rata-rata Usia ± Sd Pendidikan Terakhir Tidak Sekolah SD SMP SMA/Sederajat Perguruan Tinggi Total Pekerjaan Tidak Bekerja PNS Karyawan Swasta Wiraswasta Lainnya (Buruh dan asisten Rumah Tangga) Total Status Perkawinan Menikah Tidak Menikah Janda Total

n

%

2 20 9 1 32

6.3 62.5 28.1 3.1 100 70.8±9.3

13 6 7 5 1 32

40.6 18.8 21.9 15.6 3.1 100

11 1 5 4 11 32

34.4 3.1 15.6 12.5 34.4 100

0 1 31 32

0.0 3.1 96.9 100

Penyelenggaraan Makanan Penyelenggaraan makanan adalah suatu rangkaian kegiatan dimulai dari perencanaan menu makanan hingga penyajian dan distribusi kepada konsumen dalam rangka pencapaian status gizi yang optimal melalui pemberian makanan secara tepat dan sesuai dengan kebutuhan dan konsumsi konsumen (Depkes 2006). Menurut Moehyi (1992), dalam suatu institusi terdapat dua jenis penyelenggaran makanan yaitu penyelenggaraan makanan yang berorientasi

15

terhadap keuntungan dan penyelenggaraan makanan institusi yang berorientasi pada pelayanan atau bersifat non komersial. Penyelenggaraan makanan di Rumah Perlindungan Sosial Tresna Werdha Bogor dilakukan untuk memenuhi kebutuhan asupan makanan para lansia yang tinggal di panti yang berjumlah 60 orang. Kegiatan ini bersifat non komersial dan dilaksankan dengan bantuan dua orang petugas dapur. Makanan yang disajikan sehari-hari berupa makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, dan sayur. Selingan hanya diberikan pada hari tertentu saja jika memungkinkan tersedianya waktu dan dana untuk pengolahan. Buah diberikan dengan waktu yang tidak ditentukan, terkadang seminggu hanya satu kali. Mengacu pada pedoman gizi seimbang, makanan sehari-hari harus terpenuhi dari makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayur, dan buah. Sumber dana untuk melakukan kegiatan penyelenggaraan makanan berasal dari dana APBD Jawa Barat yang diberikan kepada panti dengan asumsi bahwa satu orang lansia mendapat makanan sejumlah Rp 30000 untuk satu hari makan. Sumber Daya Manusia Penyelenggaraan makanan di Panti Tresna Werdha dibantu oleh dua orang tenaga kerja yang akan melayani seluruh kebutuhan makan penghuni dan petugas panti. Para pekerja berjenis kelamin perempuan dengan usia <40 tahun dan status pendidikan minimal tamat SMP. Tidak terdapat pembagian kerja yang pasti pada kegiatan ini, seluruh karyawan dapur bekerja bersama mulai dari pembelian, persiapan, pengolahan, hingga penyajian. Kegiatan ini juga terkadang dibantu oleh petugas panti lainnya selain petugas dapur dan ada kalanya bagi lansia yang masih sehat juga ikut membantu pelaksanaan penyelenggaraan makanan. Proses penyelenggaraan makanan memperhatikan kesesuaian tenaga kerja dengan kebutuhannya. Hingga saat ini petugas dapur yang berjumlah hanya dua orang dirasa mencukupi untuk memenuhi kebutuhan makan panti. Hal ini sesuai dengan Moehyi (1992), setiap 15-30 porsi makanan memerlukan tenaga kerja sebanyak satu orang. Aspek penilaian sumber daya manusia dapat dilihat pada Tabel 5 berikut ini: Tabel 5 Aspek sumber daya manusia No 1 2 3

Aspek SDM Penerapan Memperhatikan pembagian kerja 0 Memperhatikan status pendidikan 0 Memperhatikan kesesuaian tenaga kerja 1 Total 1 Nilai 33.3 Sarana dan Peralatan Sarana dan peralatan penyelenggaraan makanan merupakan hal yang penting dipenuhi karena suatu penyelenggaraan makanan akan optimal jika ruangan, sarana, dan peralatan direncanakan dengan baik (Kemenkes 2013). Penilaian sarana dan peralatan panti dapat diukur sesuai dengan peratuan Depkes (2011). Penyelenggaraan makanan di panti tidak memperhatikan pembagian ruangan kerja. Seluruh kegiatan mulai dari persiapan, pengolahan, penyimpangan, dan mencuci peralatan dilakukan pada satu tempat. Luas bangunan dapur sebesar

16

4x5 m2, dan sudah mencukupi kebutuhan minimal luas bangunan jika untuk memenuhi konsumsi makanan 60 orang. Pencahayaan di dapur sudah cukup memadai, dengan dua buah lampu yang besar dan cahaya dari jendela dapur. Akan tetapi untuk ventilasi udara dirasa kurang memenuhi standar karena banyaknya ventilasi <10% luas dapur yaitu hanya sebesar 2 m2 sedangkan kebutuhan minimal ventilasi dapur sebesar 2.4 m2. Jumlah alat yang disedikan memenuhi kebutuhan proses penyelenggaraan makanan dari tahap persiapan hingga distribusi makanan. Akan tetapi, tidak terdapat alat untuk penyimpanan peralatan yang baik sehingga alat hanya disimpan tanpa penutup dan memungkinkan alat terkena kontaminasi silang dari biologi maupun fisik. Perencanaan Menu, Pembelian, dan Penyimpanan Bahan Pangan Perencanaan menu merupakan kegiatan penyusunan menu yang akan diolah yang disesuaikan dengan selera konsumen dan kebutuhan gizi yang memenuhi prinsip gizi seimbang. Menu seimbang sangat penting untuk kesehatan. Menu yang baik harus disusun sesuai dengan aspek komposisi, warna, rasa, rupa, dan kombinasi dari masakan (Depkes 2006). Kegiatan perencanaan menu dilakukan oleh petugas panti dan petugas dapur, dan tidak melibatkan petugas kesehatan maupun ahli gizi. Terdapat siklus menu 10 hari dengan memperhatikan kesesuian dana dan ketersediaan bahan pangan di pasar. Pada perencanaan menu terdapat beberapa hal yang tidak memenuhi kriteria yaitu perencanaan menu tidak memperhatikan kebutuhan gizi konsumen (lansia), tidak ada evaluasi daya terima terhadap konsumen, dan tidak adanya evaluasi menu yang diberikan. Perencanaan menu yang dilakukan hanya untuk memenuhi standar pelaporan panti, karena dalam pelaksanaannya makanan yang diolah tidak sesuai dengan menu yang direncanakan dan hanya tergantung dari bahan yang ada di pasar saja. Pemesanan dan pembelian makanan adalah suatu proses penyusunan permintaan makanan berdasarkan menu atau pedoman dan rata-rata jumlah konsumen yang dilayani (Aritonang 2014). Pemesanan yang dilakukan melalui rekanan adalah pemesanan sayur yang dikirimkan pada dini hari. Pembelian lauk hewani dan lauk nabati dilakukan dengan membeli langsung di pasar pada pukul 04.00 WIB, untuk pembelian beras dilakukan dalam waktu sebulan sekali, dan pembeilan bahan kering dilakukan dengan frekuensi dua minggu sekali. Pembeliaan bahan makanan memperhatikan kualitas, jumlah, dan spesifikasi bahan pangan. Apabila bahan pangan yang dibeli tidak sesuai dengan spesifikasi maka barang akan dikembalikan. Penyimpanan bahan pangan dilakukan untuk menjaga kualitas bahan pangan agar tetap baik, sehingga akan tersedia bahan pangan yang sesuai dengan kualitas dan kuantitas seperti perencanaan (Aritonang 2014). Penyimpanan bahan pangan di panti tidak menggunakan ruangan khusus, dan menyatu dengan dapur pengolahan. Menurut hasil penelitian, tempat penyimpanan kurang memadai karena bahan panganyang banyak, kondisi dapur yang tidak terlalu besar, dan risiko kontaminasi dari hewan sangat tinggi karena kondisi dapur yang tidak terlalu bersih. Tempat penyimpanan basah menggunakan sebuah refrigerator dan hanya dikhususkan untuk sayur, buah, dan lauk hewani. Tidak terdapat ruangan yang memadai untuk penyimpanan kering, sehingga bahan kering seperti kecap, saus, mie, dan beras hanya diletakan disatu lemari dan meja saja. Sebaiknya

17

penyimpanan bahan pangan diletakkan secara terpisah terutama bahan yang mudah terkena kontaminasi silang seperti sumber protein, sayur, dan buah. Suhu penyimpanan juga harus diperhatikan karena bahan pangan sangat rentan rusak. Pengolahan dan Distribusi Makanan Kegiatan untuk mengubah suatu bahan pangan mentah menjadi makanan yang siap dimakan dan memiliki kualitas dan aman dikonsumsi merupakan pengertian dari pengolahan makanan. Tujuan dari pengolahan bahan makanan adalah agar mengurangi risiko kehilangan zat gizi makanan, meningkatkan kandungan gizi makanan, meningkatkan nilai cerna bahan pangan, meningkatkan dan mempertahankan warna, rasa, keempukan, penampilan, dan membebaskan bahan pangan dari organisme dan zat berbahaya bagi tubuh (Depkes 2006). Pengolahan bahan pangan dilakukan sebanyak tiga kali dimulai sejak pukul 06.00 hingga pukul 17.00 yang dibagi menjadi tiga kali waktu makan. Waktu penyelenggaraan makanan dipagi hari dimulai dari pukul 06.00 hingga 07.30, makan siang pukul 10.30 hingga 12.00 dan makan malam mulai pukul 15.30 hingga 17.00. Tempat pengolahan makanan dibagi menjadi tempat persiapan bahan pangan (pencucian dan pemotongan bahan pangan). Setiap bahan pangan yang diterima dari proses pembelian dan penyimpanan disiapkan sebelum dimasak. Tujuannya adalah agar sesuai dengan porsi makanan yang akan disediakan. Proses pengolahan dilakukan dengan menggunakan 2 buah kompor sedang dan 2 buah kompor besar. Kegiatan pendistribusian makanan adalah serangkaian kegiatan penyaluran makanan sesuai dengan jumlah porsi dan jenis makanan yang konsumen layani. Tujuan dari proses tersebut adalah agar konsumen mendapatkan makanan sesuai dengan ketentuan yang berlaku (Aritonang 2014). Proses distribusi dan penyajian makanan dilakukan melalui dua tahap. Tahap pertama petugas dapur membagikan lauk ke masing-masing piring responden dengan bagian yang sama rata. Kemudian masing-masing responden mengambil nasi sesuai dengan keinginan responden sendiri. Penyajian makanan tidak memperhatikan suhu penyajian, karena makanan diletakkan diatas meja saji yang berada di luar, dan tidak terdapat penutup makanannya. Jumlah dan waktu pemberian makanan sudah sesuai dengan jumlah dan waktu makan konsumen. Higine dan Sanitasi Higiene dan sanitasi makanan adalah upaya untuk mengendalikan faktor makanan, orang, tempat dan perlengkapannya yang dapat atau mungkin menimbulkan penyakit atau gangguan kesehatan (Depkes 2006). Higine merupakan upaya kesehatan secara preventif yang menitik beratkan kegiatannya kepada usaha individu. Sedangkan sanitasi adalah udaha kesehatan lingkungan yang lebih banyak menitik beratkan kepada masalah kebersihan (Kemenkes 2013). Sanitasi makanan yang diteliti meliputi lokasi, keadaan bangunan, dan kondisi peralatan. Bangunan tempat produksi memiliki kontruksi yang kokoh dan kuat, memiliki tempat sampah yang memadai, memiliki ketersediaan air bersih yang cukup, dan tersedianya tempat untuk mencuci tangan. Akan tetapi terdapat beberapa kekurangan dalam sanitasi tempat produksi yaitu lokasi bangunan dekat dengan sumber pencemaran, karena letak ruang produksi dibagian belakang

18

sehingga dekat dengan saluran limbah lansia yang tinggal di panti. Kondisi ruangan yang terbuka dan sedikit kotor memungkinkan hewan pengerat seperti tikus dan serangga banyak ditemukan di tempat pengolahan. Tidak terdapat pembagian ruangan sehingga seluruh kegiatan dilakukan pada satu tempat saja. Tempat untuk mencuci bahan pangan dan peralatan tidak terpisah, dilakukan pada satu tempat, sehingga memungkinkan untuk terjadinya kontaminasi silang bahan pangan dengan perlatannya. Kondisi lantai yang licin memungkinkan terjadinya kecelakaan saat bekerja. Higine atau kebersihan dan kesehatan penjamah makanan merupakan kunci dalam pengolahan makanan yang aman dan sehat, karena penjamah makanan dapat menjadi faktor yang dapat mencemari makanan baik melaluli cemaran fisik, kimia,maupun biologis (Kemenkes 2013). Berdasarkan wawancara yang didapatkan tenaga pengolahan bebas dari penyakit berdasarkan hasil tes kesehatan yang telah dilakukan oleh panti. Akan tetapi, higine untuk petugas dapur masih sangat kurang. Para petugas tidak menggunakan penutup kepala, masker, maupun celemek saat melakukan kegiatan memasak. Sebaiknya bagi para karyawan pengolahan makanan diberikan alat dan baju yang khusus dalam pengolahan bahan pangan selain itu diberikan pelatihan mengenai higine dan sanitasi makanan sehingga akan meminimalisir terjadinya kontaminasi pada makanan yang diolah. Penilaian Penyelenggaraan Makanan Keseluruhan aspek penyelenggaraan makanan akan menentukan penilaian terhadap penyelenggaraan makanan yang dilakukan. Nilai keseluruhan dari seluruh aspek ditampilkan pada Tabel 6. Tabel 6 Penyelenggaraan makanan Panti Tresna Werdha Penilaian Aspek Penyelenggaraan Makanan Sudah diterapkan Belum Diterapkan Sumber Daya Manusia 2 2 Sarana dan peralatan 4 4 Perencanaan menu 4 4 Pembeliaan dan penyimpanan 4 2 Pengolahan bahan pangan 2 0 Distribusi makanan 2 1 Higine dan sanitasi 5 6 Total 23 19 Nilai (%) 54.8 45.2 Keseluruhan kegiatan penyelenggaraan makanan di Panti Tresna Werdha Bogor tergolong dalam kategori kurang baik dengan nilai sebesar 54.8%. Akan tetapi untuk keseluruhan aspek lebih banyak sudah diterapkan dibandingkan dengan yang belum diterapkan oleh panti.

19

Konsumsi Sayur dan Buah Konsumsi pangan sumber serat akan mempengaruhi status kesehatan seseorang. Hasil penelitian konsumsi serat pada lansia, didapatkan bahwa umumnya konsumsi buah dan sayuran pada lansia masih sangat rendah. Konsumsi makanan harus beragam karena tidak ada satu jenis makanan yang memiliki komposisi makanan yang lengkap. Konsumsi makanan yang beragam pada lansia akan menurunkan terjadinya serangan dari penyakit kronik yang berhubungan dengan proses penuaan lansia (Wirakusumah 2002). Berikut kebiasaan konsumsi sayur dan buah responden disajikan pada Tabel 7.

< 1.0 kali Rebung Nangka

Tabel 7 Frekuensi kebiasaan konsumsi sayur Frekuensi/minggu 1.0-2.0 kali 2.1-3.0 > 3.0 kali Jagung muda Buncis Wortel Tauge Labu Kacang panjang Sawi Ketimun Kol Pepaya muda Tomat Daun katuk Daun pepaya Daun singkong Brokoli Kembang kol

Frekuensi konsumsi sayur selama satu bulan terakhir menjadi 4 kategori, <1.0 kali per minggu, 1.0-2.0 kali per minggu, 2.1-3.0 kali per minggu, dan >3.0 kali per minggu. Berdasarkan Tabel 6 didapatkan bahwa konsumsi sayur yang paling banyak dikonsumsi dengan frekuensi >3.0 kali per minggu adalah wortel, hal ini diduga karena sayur yang paling sering diolah adalah sayur sup. Rebung dan nangka merupakan sayur yang paling jarang dikonsumsi dengan frekuensi <1.0 kali perminggu, hal ini diduga karena rebung dan nangka merupakan sayuran yang membutuhkan pengolahan yang lama sehingga pihak panti jarang menggunakannya sebagai bahan pangan. Frekuensi konsumsi buah responden selama satu bulan terakhir dibagi menjadi 3 kategori yaitu <1.0 kali per minggu, 1.0-2.0 kali per minggu, dan >2.0 kali per minggu. Berdasarkan Tabel 7 didapatkan bahwa konsumsi buah yang paling sering dikonsumsi dengan frekuensi >2.0 kali perminggu adalah kurma dan duku. Hasil penelitian menunjukan tingginya konsumsi kedua buah tersebut disebabkan kurma merupakan buah yang paling digemari oleh responden, mudah didapat karena banyak donatur dari luar panti yang memberikan buah kurma, sedangkan konsumsi duku yang tinggi disebabkan karena pada saat penelitian dilakukan sedang musim buah duku, sehingga duku mudah didapatkan oleh responden dengan harga yang murah dan relatif banyak. Frekuensi kebiasaan konsumsi buah disajikan pada Tabel 8.

20

< 1.0 kali Semangka Jambu air Mangga Apel Pir Anggur Nanas

Tabel 8 Frekuensi kebiasaan konsumsi buah Frekuensi/minggu 1.0-2.0 kali > 2.0 kali Pisang Kurma Jeruk Buah lainnya (duku) Pepaya Melon Avokad

Buah-buahan merupakan bahan pangan sumber vitamin dan mineral bagi tubuh. Buah yang paling jarang dikonsumsi dengan frekuensi <1.0 kali per minggu adalah semangka, mangga, jambu air, pir, apel, anggur dan nanas. Konsumsi buah tersebut rendah dikarenakan sulit didapatkan, harga yang relatif mahal, dan terdapat buah yang tergantung dengan musim. Berdasarkan analisis penyelenggaraan makanan yang didapat bahwa pemberian buah juga sangat jarang. Para responden berpendapat bahwa buah hanya diberikan oleh pihak panti sebanyak satu kali perminggu dan terkadang sebulan hanya sebenyak dua kali.

Tingkat Kecukupan Energi dan Protein Hasil recall 2x24 jam didapatkan bahwa kebiasaan makan contoh dalam sehari sebanyak tiga kali yaitu makan pagi, makan siang, dan makan malam. Para lansia juga mengonsumsi makanan yang berasal dari luar panti. Selain recall, para responden juga diberikan bantuan dalam mengingat makanan yang dikonsumsi melalui daftar menu yang diberikan oleh pihak penyelenggaraan makanan. Setelah itu, para responden akan menjelaskan makanan yang dimakan, habis, maupun yang tidak dimakan. Menurut penuturan responden, jarak panti yang dekat dengan pasar sehingga banyak responden yang membeli sendiri makanan di luar panti seperti cumi, tongkol balado, dan makanan ringan. Rata-rata tingkat kecukupan gizi responden disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Rata-rata tingkat kecukupan gizi responden Zat Gizi Konsumsi AKG TKG (%) Energi (kkal) 1385 1550 89.4 Protein (g) 41 54 75.9 Menurut Gibney et al. (2002), pada lansia terjadi kondisi yang menyebabkan perubahan keseimbangan energi, terjadi peningkatan massa lemak yang menyebabkan tingginya kejadian obesitas, penyakit kardiovaskular, dan diabetes melitus. Kenaikan massa lemak akan menurunkan angka metabolisme basal. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sturm et al. (2004), bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara usia dengan asupan makanan (p<0.05). Pada usia lanjut, asupan makanan akan semakin menurun, hal ini disebabkan karena pada lansia terjadi penurunan rasa lapar dibandingkan dengan usia muda.

21

Asupan energi rata-rata responden sebesar 1385 kkal. Rata-rata asupan energi responden lebih rendah jika dibandingakan kebutuhannya 1550 kkal. Begitu juga dengan asupan protein sebesar 41 g dan kebutuhannya sebesar 54 g/hari. Tingkat kecukupan energi rata-rata seluruh responden sebesar 89.4% dan tingkat kecukupan protein sebesar 75.9%. Presentase tingkat kecukupan kedua zat gizi tersebut belum memenuhi 100% kebutuhannya. Hal ini menunjukan bahwa rata-rata responden mengonsumsi pangan sumber energi dan protein harus ditingkatkan sehingga dapat mencapai angka kebutuhannya dan dapat mencapai derajat kesehatan yang optimal. Konsumsi makanan sumber energi terbesar didapat dari nasi, mie, dan bihun. sebagian responden tidak mengonsumsi ikan mujair yang diberikan karena adanya penurunan penglihatan sehingga responden takut jika mengonsumsi ikan yang memiliki banyak duri. Menurut hasil penelitan cross sectional study pada 345 lansia, didapati bahwa faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan yang rendah pada lansia adalah jenis kelamin khususnya wanita, pendapatan yang rendah, pendidikan yang rendah, dan pada lansia yang tidak terbiasa melakukan sarapan (Sharkey et al. 2002). Protein merupakan zat gizi yang memiliki peranan penting dalam pertumbuhan dan pembentukan tubuh. Jika tubuh kekurangan asupan energi maka protein akan menghasilkan energi dengan membentuk glukosa. Protein yang paling sering diberikan adalah protein nabati berupa tahu dan tempe. Menurut Andarina dan Sumarmi (2006), protein nabati memiliki mutu protein yang lebih rendah jika dibandingkan protein hewani, sehingga protein nabati sulit untuk dicerna. Pada masa lansia terjadi penurunan kandungan nitrogen dalam tubuh sehingga menyebabkan berkurangnya otot dan bertambahnya massa. Untuk mencegah kehilangan massa otot berlebihan dan memelihara sistem imun yang baik, asupan protein sangat dibutuhkan terutama yang memiliki nilai protein bermutu tinggi seperti daging, ayam tanpa lemak, ikan, telur, dan susu tanpa lemak (Almatsier et al. 2002). Tabel 10 Kategori tingkat kecukupan energi dan protein TKG < 100% ≥ 100 % Total

Energi n 28 4 32

% 87.50 12.50 100.0

Protein n 28 4 32

% 87.50 12.50 100.0

Tingkat kecukupan energi dan protein merupakan level asupan energi dari makanan individu yang akan disesuaikan menurut ukuran dan komposisi tubuh, aktivitas fisik, dan status kesehatan (WHO 1985). Usia akan mempengaruhi tingkat kecukupan gizi. Beradasarkan data hasil penelitian pada Tabel 9 didapatkan bahwa sebagian besar responden 87.50% baik untuk tingkat kecukupan energi maupun tingkat kecukupan protein masih belum memenuhi kebutuhan dalam seharinya yaitu <100% AKG masing-masing responden. Sedangkan untuk tingkat kecukupan yang sudah mencukupi ataupun lebih dari AKG nya (≥100% AKG) untuk energi dan protein sama banyak yaitu hanya 12.50% responden.

22

Asupan Serat Serat merupakan komponen makanan yang hanya terdapat dalam komponen bahan pangan nabati dan tidak ditemukan pada bahan pangan hewani. Serat dalam makanan terdiri dari serat kasar dan serat makanan. Serat makanan merupakan serat yang tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim pencernaan. Sedangkan serat kasar merupakan serat yang secara laboratorium dapat tahan pada asam atau basa (alkali). Serat akan mengurangi energi yang dikonsumsi yang berasal dari karbohidrat, protein, dan lemak. Serat makanan dapat digolongkan menjadi dua yaitu serat yang larut dan serat yang tidak larut. Golongan serat larut terdiri dari pektin yang banyak terdapat pada buah, oat, dan agar. Golongan serat tidak larut terdiri dari selulosa dan hemiselulosa yang dapat ditemukan pada hampir semua jenis buah dan sayuran (Khomsan dan Anwar 2008). Faktor yang mempengaruhi konsumsi serat pada seseorang adalah tingkat pendapatan, jenis kelamin, faktor lingkungan dan usia. Pada usia lanjut, konsumsi serat akan semakin menurun dikarenakan terdapat perubahan susunan gigi-geligi yang mempengaruhi proses pengunyahan dan pencernaan makanan (Astawan dan Wresdiyati 2004). Berdasarkan penelitian yang didapat, asupan serat pada seluruh responden masih sangat rendah. Rata-rata konsumsi serat responden hanya sebanyak 5 g per hari dengan standar deviasi sebesar 3 g. Karena asupan serat yang sangat rendah, kategori konsumsi serat berdasarkan interval data yang didapatkan. Sebagian besar reponden mengonsumsi serat dengan kategori kurang (71.9%), hanya 28.1% responden yang tergolong dalam kategori cukup dan lebih (25% dan 3.1%). Berikut ini asupan serat responden disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Asupan serat responden Kategori ≤6 g 7-11 g >12 g Rata-rata ± SD Total

n 23 8 1

% 71.9 25.0 3.1 5±2.6 g

32

100.0

Konsumsi serat yang kurang menunjukan bahwa responden mengonsumsi pangan sumber serat yang sangat sedikit, hal ini diduga karena pada saat penyajian makanan tidak memenuhi pedoman gizi seimbang. Sayur hanya disajikan pada menu makan siang saja dan pada makan malam sayur diberikan dalam kuantitas yang sangat sedikit. Selain itu pada beberapa lansia faktor gigi juga menjadi petimbangan dalam mengonsumsi pangan yang tinggi serat. Menurut Astawan dan Wresdiyati (2004), kebutuhan serat pangan dalam sehari sebesar 20-25 gram per hari dapat terpenuhi dengan penyusunan menu yang seimbang yaitu dengan mengonsumi 3 porsi nasi, 2 porsi lauk hewani (daging, ikan ayam atau telur), 2 porsi lauk nabati, 1 porsi kudapan seperti kacang hijau atau umbi-umbian, 3 porsi aneka sayuran, dan 2 porsi aneka buah-buahan.

23

Status Gizi Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan utilitas zat gizi makanan yang akan terus berubah karena dipengaruhi oleh siklus kehidupan dan juga waktu (Fahmida dan Dillon 2011). Penilaian status gizi seseorang atau sekelompok orang bertujuan untuk mengetahui baik buruknya status gizi. Penilaian status gizi secara langsung dapat dilakukan dengan melihat antropometri, biokimia, klinis, dan biofisik. Penilaian status gizi secara langsung pada masyarakat yang paling sering digunakan adalah penilaian menggunakan antropometri. Sedangkan penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dilakukan dengan survei konsumsi makanan, statistik vital, dan faktor ekologi (Supariasa et al. 2001). Hasil perhitungan status gizi seluruh responden dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Status Gizi Responden 2

IMT (kg/m ) Underweight (<18.50) Normal (18.50-24.99) Overweight (25.00-29.99) Obese (≥30.00) Total Rata-rata IMT±SD

n 9 8 8 7 32

% 28.1 37.5 21.9 12.5 100 22.7±5.8

Rata-rata status gizi responden lansia yang diteliti memiliki status gizi normal dengan besar IMT sebesar 22.7 kg/m2. Prevalansi status gizi yang normal sebesar 37.5%, status gizi responden yang masuk dalam kategori underweight yaitu sebesar 28.1%, dan responden yang memiliki status gizi lebih sebanyak 34.4% yaitu overweight 21.9% dan obese sebesar 12.5%. Pada penelitian ini overnutrition lebih banyak dibandingkan dengan kejadian malnutrition. Menurut Larsen et al. (2004), overweight dan obesitas merupakan kejadian yang sangat lazim terjadi di Amerika Serikat. Kedua masalah gizi tersebut akan meningkatkan faktor risiko seseorang terkena penyakit kardiovaskular dan penyakit kronik lainnya. Menurut Riyadi (2006), status gizi merupakan keadaan kesehatan seseorang atau kelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorption), dan penggunaan (utilization) zat gizi makanan masa lalu. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Patriasih et al. (2013) menyatakan bahwa pada 82 lansia yang tinggal di panti hanya 29.3% yang berstatus gizi normal, 14.6% berstatus gizi kurang, dan lebih dari setengah responden diklasifikasikan pada gizi lebih dengan prevalensi overweight (17.1%), obese I 26.8%, dan obese II (12.2%). Berbeda halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Cereda et al. (2009) yang menyatakan bahwa prevalensi kejadian malnutrisi dan underweight pada lansia sangat tinggi. Risiko dari kejadian malnutrisi akan semakin meningkat pada lansia yang berusia >65 tahun. Hasil penelitian pada respoden yang memiliki status gizi lebih diduga bahwa aktivitas fisiknya yang rendah dan terbatas. Kegiatan responden hanya terbatas didalam panti saja dan hanya diperbolehkan untuk keluar pada jam tertentu. Kejadian status gizi kurang atau lebih pada lansia disebabkan karena

24

terjadinya penurunan baik dari segi fisik, komposisi tubuh, sistem pencernaan, sistem jantung, katabolisme, hormon, dan sistem eksresi sehingga penyerapan zat gizi tidak optimal untuk mempertahankan berat badan dan keadaan tubuh dalam keadaan ideal (Wirakusumah 2002). Menurut Supariasa et al. (2001), jika terjadi kelebihan atau kekurangan zat gizi maka akan menjadi masalah penting pada orang dewasa khususnya lansia karena akan menentukan risiko penyakit-penyakit tertentu.

Status Kesehatan Seiring dengan penambahan usia, terutama pada usia lanjut timbul masalah kesehatan yang tidak dijumpai pada usia muda seperti penyakit, gangguan kejiwaan, dan gangguan adaptasi sosial. Hal tersebut disebabkan karena proses menua sehingga terdapat penurunan fungsi tubuh dan penurunan kualitas hidup seseorang yang mempengaruhi status kesehatannya. Model defisit, berpandangan bahwa menjadi tua selalu disertai kemunduran baik fisik maupun mental (Indriana 2012). Status kesehatan merupakan situasi kesehatan yang dialami oleh seseorang dan penyakit yang diderita (Astawan dan Wahyuni 1998). Berikut ini jenis penyakit yang diderita oleh responden yang disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 Jenis penyakit responden Jenis Penyakit Hipertensi Maag Diabetes Asam Urat Jantung Hipotensi Stroke Asma

n 12 9 7 7 4 2 2 2

% 37.5 28.1 21.9 21.9 12.5 6.3 6.3 6.3

Penyakit yang paling sering diderita oleh lansia adalah penyakit yang kronis atau menahun, penyakit degeneratif, seperti penyakit jantung, hipertensi, stroke, diabetes melitus, gangguan pencernaan, dan gangguan pernafasan. Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 13 sebagian besar penyakit yang diderita responden (37.5%) adalah hipertensi atau tekanan darah tinggi, penyakit maag menempati urutan kedua (28.1%) penyakit yang paling sering diderita responden. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Patriasih et al. (2013) yang menyatakan bahwa pada penyakit yang paling banyak diderita oleh lansia yang tinggal di panti werdha maupun yang tinggal adalah hipertensi dengan prevalensi sebesar 45.2%. Tekanan darah wanita, khususnya sistolik akan meningkat tajam dan setelah usia 55 tahun, wanita memiliki risiko tinggi untuk menderita hipertensi (Casey dan Benson 2006). Penyakit maag yang diderita oleh

25

lansia merupakan manifestasi menahun dari kebiasaan makan dan gaya hidup yang kurang teratur, sehingga menimbulkan gangguan pada saluran pencernaan. Keluhan kesehatan merupakan masalah fisik dan mobilitas yang dialami pada lansia. Hasil penelitian didapatkan bahwa pada responden lansia keluhan kesehatan yang paling banyak diderita adalah pegal linu (65.6%), keluhan nyeri pinggang dan konstipasi memiliki nilai yang sama yaitu sebesar 40.6%, dan keluhan kesehatan yang paling sedikit adalah muntah yaitu sebesar 6.2%. Pegal linu dan nyeri pinggang adalah manifestasi dari penurunan kekuatan, ketahanan, dan kelenturan otot rangka yang menyebabkan postur tubuh yang berubah (Arisman 2003). Keluhan kesehatan lain yang diderita lansia adalah pusing, lemah, lesu, penurunan nafsu makan, sesak nafas, batuk dan kesemutan. Sebaran jumlah keluhan responden disajikan dalam Tabel 14 sebagai berikut. Tabel 14 Keluhan yang dialami responden Keluhan Kesehatan Pegal linu Nyeri pinggang Konstipasi Pusing Lemah, lesu Nafsu makan turun Sesak nafas Lainnya (batuk) Kesemutan Mual Sariawan Muntah

n 21 13 13 12 11 11 9 8 7 5 4 2

% 65.6 40.6 40.6 37.5 34.4 34.4 28.1 25.0 21.9 15.6 12.5 6.2

Status kesehatan yang diteliti pada penelitian ini adalah dengan melihat skor morbiditas yang didapatkan melalui perkalian frekuensi dan lama sakit lansia dalam 6-12 bulan terakhir. Salah satu indikator yang dapat digunakan dalam menilai status kesehatan adalah angka sehat, angka sakit dan berat bayi lahir rendah (Depkes 2007). Berikut Tabel 15 sebaran responden berdasarkan status kesehatan. Tabel 15 Sebaran responden menurut status kesehatan Kategori n Tinggi (0-30) 19 Sedang (31-60) 10 Rendah (61-90) 3 Total 32 Rata-rata±SD 26.9±27.3

% 59.4 31.3 9.4 100

Sebaran contoh berdasarkan status kesehatannya didapatkan bahwa sebagian besar contoh mengalami status kesehatan yang tergolong tinggi yaitu

26

sebesar 59.4%, dengan rata-rata status kesehatan tergolong tinggi 26.9±27.3. Tingginya status kesehatan responden diduga karena upaya yang dilakukan oleh pihak panti untuk menurunkan skor morbiditas dengan menyediakan layanan kesehatan seperti poliklinik, dokter, dan perawat. Menurut Williams dan Schlenher (1997), status kesehatan pada orang dewasa dan lanjut usia merupakan akumulasi dari kebiasaan hidup individu yang meliputi kebiasaan makan, aktifitas fisik, dan penggunaan obat-obatan.

Hubungan antar Variabel Hubungan Asupan Serat dengan Status Gizi dan Kesehatan Responden Analisis hubungan asupan serat dengan status gizi dan status kesehatan responden menggunakan uji korelasi Spearman. Hasil uji korelasi yang didapatkan menunjukan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi dan asupan serat (p>0.05) dengan nilai p=0.279 dan r=0.197, walaupun tingkat asupan serat tinggi tidak berhubungan dengan tingginya status gizi responden. Hal ini diduga karena status gizi merupakan akumulasi dari kebiasaan atau pola hidup seseorang pada masa lampau. Hasil penelitian ini sejalan dengan Zulaika (2011), hasil uji korelasi konsumsi serat orang dewasa tidak berhubungan signifikan dengan status gizi nya. Pada hasil penelitian tersebut disebutkan bahwa semakin tinggi status tinggi tidak menggambarkan konsumsi seratnya, karena responden belum dapat memenuhi kebutuhan serat dalam sehari. Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan utilitas zat gizi makanan yang akan terus berubah karena dipengaruhi oleh siklus kehidupan dan juga waktu (Fahmida dan Dillon 2011). Serat dapat menghilangkan timbunan lemak di dalam jaringan tubuh dan memicu rasa kenyang yang lebih lama sehingga dapat menurunkan dan mencegah terjadinya overweight dan obesitas (Junaidi 2011). Konsumsi makanan sumber serat seperti sayur dan buah dapat berpotensi membantu tubuh dalam membuang berbagai zat yang berlebihan yang dapat merusak kesehatan, seperti lemak, kolesterol, dan lain sebagainya. Serat dapat menciptakan suatu aksi internal yang dapat membantu tubuh melepaskan berbagai zat penyebab penyakit, menetralisir oksidan atau radikal bebas, dan membuangnya keluar tubuh. Jenis penyakit yang paling banyak berpengaruh terhadap rendahnya status kesehatan responden pada penelitian ini adalah hipertensi, diabetes, dan jantung menurut lama sakit dan frekuensi sakitnya. Makanan sumber serat dapat membantu menurunkan terjadinya penyakit hipertensi sebanyak 75%, diabetes melitus 50%, kanker 35%, dan dapat memperpanjang usia 10 tahun (Junaidi 2011). Menurut Liu et al. (2000), semakin tinggi konsumsi sayur dan buah yang tinggi serat maka akan menurunkan sebanyak 20-30% kejadian hipertensi, diabetes melitus, dan hiperkolesterolemia yang kesemuanya merupakan faktor risiko terjadinya CVD atau penyakit jantung koroner. Selain itu konsumsi serat yang tinggi juga dapat menurunkan angka mortalitas dan morbiditas hidup seseorang. Berdasarkan uji korelasi Spearman tidak terdapat hubungan yang signifikan antara asupan serat dengan status

27

kesehatan (p=0.334 dan r=0.176). Semakin tinggi asupan serat maka status kesehatan semakin tinggi karena terdapat faktor lain yang mempengaruhi. Asupan serat seluruh responden masih sangat rendah dengan rata-rata asupan serat perhari hanya sebanyak 5 g, sehingga belum bisa menunjukan hubungan yang signifikan dengan status gizi dan status kesehatan responden. Status kesehatan pada lansia merupakan akumulasi dari lama terjadinya penyakit dan frekuensi penyakit yang diderita oleh lansia. Hasil penelitian ini sejalan dengan Waijers et al. (2006), konsumsi serat tidak berhubungan dengan mortalitas dan morbiditas pada lansia di Mediteranian (p>0.05). Semakin tinggi konsumsi serat maka status kesehatannya (mortalitas dan morbiditas) semakin tinggi karena terdapat faktor lain yang mempengaruhinya seperti kebiasaan merokok, meminum alkohol, dan konsumsi lemak yang tinggi. Akan tetapi hasil penelitian ini berbeda dengan Snidjer et al. (2007), bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara semakin rendahnya konsumsi serat maka akan semakin tinggi prevalensi tekanan darah tinggi dan kadar trigliserida pada lansia yang berpengaruh terhadap status kesehatan. Hal ini dikarenakan pada penelitian tersebut menggunakan lansia yang jumlahnya sangat banyak 2064 responden sedangkan pada penelitian ini hanya sebanyak 32 responden. Hubungan Asupan Energi dengan Status Kesehatan Asupan makanan yang dianalisis merupakan asupan energi selama dua hari. Status kesehatan yang dianalisis merupakan nilai yang berbalik arah dengan skor morbiditas yang didapatkan dari lama sakit dikalikan dengan frekuensi sakit. Analisis hubungan asupan makanan dengan status kesehatan responden menggunakan uji korelasi Spearman. Hasil uji Spearman didapatkan tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara asupan energi dengan status kesehatan responden p=0.472. Semakin tinggi status kesehatan responden tidak berhubungan dengan semakin tingginya asupan energinya dengan r=0.132. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yulizawaty (2004) bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara asupan energi dengan status kesehatan responden lansia yang tinggal di panti werdha di kota Bandung (p>0.05). Hal ini diduga karena konsumsi energi didapatkan melalui recall 2x24 jam saja, sedangakan penyakit yang diderita lansia merupakan penyakit yang telah lama diderita dan adanya faktor lain yang mempengaruhinya seperti genetik. Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Sekarayu (2014), tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan energi dengan status kesehatan lansia (p>0.05). Hubungan Status Gizi dengan Status Kesehatan Analisis hubungan status gizi dengan status kesehatan responden menggunakan uji korelasi Spearman. Hasil uji korelasi didapatkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan positif (p<0.05) antara status gizi dengan status kesehatan responden dengan nilai r=0.389 dan p=0.028. Semakin tinggi status kesehatan responden maka akan semakin tinggi status gizinya. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Institut of Health Science Netherland dalam Snidjer et al. (2007) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan (p<0.05) antara prevalensi banyaknya lanjut usia yang memiliki status gizi lebih berhubungan dengan terjadinya penyakit kardiovaskular seperti

28

hiperglikemia, hipertensi, dan dislipidemia. Yulizawati (2004) menyatakan adanya hubungan antara IMT dengan banyaknya penyakit yang diderita oleh lansia.

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Penelitian mengenai hubungan asupan serat, konsumsi pangan dengan status kesehatan dan gizi pada lansia di Panti Tresna Werdha Kota Bogor dilakukan pada 32 responden lanjut usia yang semuanya berjenis kelamin perempuan berusia 55-95 tahun dengan sebagian besar lansia 62.5% termasuk dalam kategori elderly usia 60-74 tahun. Sebagian besar contoh tidak mengenyam bangku pendidikan yaitu sebesar 40.6% dan prevalensi golongan terbesar yaitu golongan responden yang tidak bekerja sebanyak 34.4%. Sebagian besar contoh dalam penelitian ini (96.9%) memiliki status perkawinan sebagai janda atau tidak lagi memiliki suami. Penyelenggaraan makanan secara keseluruhan tergolong dalam kategori kurang (54.8%) akan tetapi seluruh aspek yang dijadikan penilaian sebagian besar sudah diterapkan. Aspek penyelenggaraan makanan yang diteliti meliputi aspek sumber daya manusia, sarana dan peralatan, perencanaan menu, pembeliaan dan penyimpanan, pengolahan bahan makanan, distribusi, serta higine dan sanitasi. Pada keseluruhan responden konsumsi sayur yang memiliki frekuensi terbesar (>3.0 kali/minggu) adalah wortel sedangkan konsumsi sayur terendah (<1.0 per minggu adalah nangka dan rebung. Frekuensi konsumsi buah terbesar adalah kurma dan duku (>2.0 kali/minggu) karena mudah didapat dan banyak disukai oleh responden. Konsumsi makanan keseluruhan responden untuk tingkat kecukupan energi sebesar 89.4%, asupan energi rata-rata responden sebesar 1385 kkal dan lebih rendah jika dibandingakan kebutuhannya 1550 kkal. Tingkat kecukupan protein sebesar 75.9%. Hal ini disebabkan karena kebutuhan rata-rata seluruh responden sebanyak 54 g dan hanya terpenuhi sebesar 41 g. Tingkat kecukupan energi dan protein sebanyak 87.5% sebesar <100% dan yang memenuhi ≥100% sebanyak 12.5% Asupan serat seluruh responden belum memenuhi standar (20-25 g/hari) terpenuhinya konsumsi serat perhari, sehingga digunakan sebaran data untuk menghitung kategori serat pada seluruh responden. Sebagian besar reponden mengonsumsi serat ≤6 g/hari dengan prevalensi sebesar 71.9% dengan rata-rata konsumsi serat sebesar 5 g/hari. Hal ini diduga karena pada makanan yang disajikan kuantitas pangan sumber serat tinggi seperti buah dan sayur kurang dan karena adanya gangguan pada gigi untuk mencerna makanan yang tinggi serat. Sebagian besar responden memiliki status gizi normal (37.5%) Responden yang memiliki status gizi kurang sebanyak 28.1%, 21.9% responden memiliki status gizi overweight, dan 12.5% memiliki status gizi obese. Rata-rata status gizi responden berada dalam kategori normal dengan IMT rata-rata sebesar 22.7 kg/m2. Penyakit yang paling banyak diderita oleh seluruh responden adalah

28

hiperglikemia, hipertensi, dan dislipidemia. Yulizawati (2004) menyatakan adanya hubungan antara IMT dengan banyaknya penyakit yang diderita oleh lansia.

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Penelitian mengenai hubungan asupan serat, konsumsi pangan dengan status kesehatan dan gizi pada lansia di Panti Tresna Werdha Kota Bogor dilakukan pada 32 responden lanjut usia yang semuanya berjenis kelamin perempuan berusia 55-95 tahun dengan sebagian besar lansia 62.5% termasuk dalam kategori elderly usia 60-74 tahun. Sebagian besar contoh tidak mengenyam bangku pendidikan yaitu sebesar 40.6% dan prevalensi golongan terbesar yaitu golongan responden yang tidak bekerja sebanyak 34.4%. Sebagian besar contoh dalam penelitian ini (96.9%) memiliki status perkawinan sebagai janda atau tidak lagi memiliki suami. Penyelenggaraan makanan secara keseluruhan tergolong dalam kategori kurang (54.8%) akan tetapi seluruh aspek yang dijadikan penilaian sebagian besar sudah diterapkan. Aspek penyelenggaraan makanan yang diteliti meliputi aspek sumber daya manusia, sarana dan peralatan, perencanaan menu, pembeliaan dan penyimpanan, pengolahan bahan makanan, distribusi, serta higine dan sanitasi. Pada keseluruhan responden konsumsi sayur yang memiliki frekuensi terbesar (>3.0 kali/minggu) adalah wortel sedangkan konsumsi sayur terendah (<1.0 per minggu adalah nangka dan rebung. Frekuensi konsumsi buah terbesar adalah kurma dan duku (>2.0 kali/minggu) karena mudah didapat dan banyak disukai oleh responden. Konsumsi makanan keseluruhan responden untuk tingkat kecukupan energi sebesar 89.4%, asupan energi rata-rata responden sebesar 1385 kkal dan lebih rendah jika dibandingakan kebutuhannya 1550 kkal. Tingkat kecukupan protein sebesar 75.9%. Hal ini disebabkan karena kebutuhan rata-rata seluruh responden sebanyak 54 g dan hanya terpenuhi sebesar 41 g. Tingkat kecukupan energi dan protein sebanyak 87.5% sebesar <100% dan yang memenuhi ≥100% sebanyak 12.5% Asupan serat seluruh responden belum memenuhi standar (20-25 g/hari) terpenuhinya konsumsi serat perhari, sehingga digunakan sebaran data untuk menghitung kategori serat pada seluruh responden. Sebagian besar reponden mengonsumsi serat ≤6 g/hari dengan prevalensi sebesar 71.9% dengan rata-rata konsumsi serat sebesar 5 g/hari. Hal ini diduga karena pada makanan yang disajikan kuantitas pangan sumber serat tinggi seperti buah dan sayur kurang dan karena adanya gangguan pada gigi untuk mencerna makanan yang tinggi serat. Sebagian besar responden memiliki status gizi normal (37.5%) Responden yang memiliki status gizi kurang sebanyak 28.1%, 21.9% responden memiliki status gizi overweight, dan 12.5% memiliki status gizi obese. Rata-rata status gizi responden berada dalam kategori normal dengan IMT rata-rata sebesar 22.7 kg/m2. Penyakit yang paling banyak diderita oleh seluruh responden adalah

29

hipertensi 37.5% dan maag 28.1%. Sedangkan penyakit yang paling sedikit diderita oleh seluruh responden adalah hipotensi, asma, dan stroke. Keluhan penyakit yang paling banyak dirasakan oleh responden adalah pegal linu (65.6%), nyeri pinggang (40.6%) dan konstipasi (40.6%). Status kesehatan sebagian besar responden tergolong dalam kategori tinggi sebesar 59.4%, sedang sebesar 31.3%, dan rendah sebesar 9.4%. Hasil uji korelasi Spearman didapatkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara asupan serat dengan status gizi, asupan serat dengan status kesehatan, tingkat kecukupan energi dengan status kesehatan responden (p>0.05). dan terdapat hubungan yang signifikan positif antara status gizi dan status kesehatan responden (p<0.05).

Saran Kualitas penyelenggaraan makanan di panti dari seluruh aspek harus ditingkatkan dengan memenuhi kriteria yang telah ditentukan. Selain itu, perlu adanya perbaikan program penyelenggaraan makanan yang didasarkan kebutuhan gizi individu dan prinsip gizi seimbang. Hal lain yang sebaiknya diperhatikan yaitu perlunya monitoring dan evaluasi secara rutin antara pihak panti dengan instansi. Sebaiknya pihak panti lebih banyak meningkatkan penyediaan pangan sumber protein hewani yang sehingga dapat memenuhi kebutuhan protein dalam sehari. Konsumsi pangan sumber serat, serta buah dan sayur perlu ditingkatkan dengan lebih banyak menyediakan bahan pangan sumber serat dan lebih sering memberikan buah minimal 3 kali/minggu. Agar dapat memenuhi konsumsi serat sebesar 20-25 g/hari dapat dipenuhi dengan 3 porsi nasi, 2 porsi lauk hewani (daging, ikan ayam atau telur), 2 porsi lauk nabati, 1 porsi kudapan seperti kacang hijau atau umbi-umbian, 3 porsi aneka sayuran, dan 2 porsi aneka buah-buahan. Konsumsi buah dan sayur yang diberikan selain memperhatikan porsi dan kebutuhan juga harus memperhatikan kemampuan responden dalam mengunyah dan juga penyakit yang diderita agar sesuai dan dapat diterima oleh responden. Sebaiknya pengolahan sayur dan buah dilakukan hingga memiliki tekstur yang empuk, untuk buah potong sebaiknya di setup terlebih dahulu dan menggunakan buah yang empuk seperti pepaya dan pisang. Kedua buah tersebut memiliki harga yang relatif murah dan mudah didapatkan. Hampir setengah dari responden memiliki masalah pada sendi sehingga sebaiknya sayur yang digunakan memperhatikan kondisi penyakit responden yaitu menggunakan sayuran yang rendah purin seperti tomat, sawi putih, dan wortel. Selain dengan cara dimasak pengolahan dengan cara di jus juga sangat membantu khususnya pada lansia. Bentuk jus akan meringankan kerja gigi dan organ pencernaan lainya, sehingga kebutuhan gizi dan cairan dapat terpenuhi dengan cepat. Beberapa permasalahan mengenai status kesehatan dapat dilakukan secara preventif dengan menyediakan layanan kesehatan bagi lanjut usia dan memberikan suasana tempat tinggal yang nyaman. Pihak panti sebaiknya memperhatikan kebersihan panti karena masih banyak ditemukan tikus yang berkeliaran di dalam maupun di luar kamar. Saluran air juga sebaiknya ditutup untuk mencegah terjadinya pencemaran penyakit melalui udara dan air. Hasil penelitian ini masih terdapat banyak sekali kekurangan. Oleh karena itu, saran

30

penulis untuk penelitian selanjutanya adalah tehnik yang digunakan dalam menghitung konsumsi makan sebaiknya menggunakan food weighing karena pada lansia terdapat keterbatasan daya ingat, penggunaan contoh juga sebaiknya lebih besar sehingga didapatkan hasil uji yang lebih baik dan lebih representatif.

DAFTAR PUSTAKA Almatsier. 2011. Gizi Seimbang dalam Daur Kehidupan. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka. ________. Soetardjo S, Soekatri M. 2002. Gizi Seimbang dalam Daur Kehidupan. Jakarta ID): Gramedia Pustaka. Andarina D, Sumarmi S. 2007. Hubungan konsumsi protein hewani dan zat besi Dengan kadar hemoglobin pada Balita usia 13-36 bulan. The Indonesian Journal of PublicHealth. 3 (1): 19-23 Andriani. 2012. Penyelenggaraan makanan, daya terima, dan konsumsi pangan lansia di Panti Tresna Werdha Salam Sejahtera Bogor [Skripsi]. Bogor (ID): Departemen Gizi Masyarakat. Arisman. 2003. Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta (ID): EGC. _______. 2008. Gizi dalam Daur Kehidupan Edisi 2. Jakarta (ID): Penerbit EGC. Aritonang I. 2014. Penyelenggaraan Makanan. Yogyakarta (ID): Penerbit Leutika. Astawan M, Wahyuni. 1988. Gizi dan Kesehatan Manula (Manusia Usia Lanjut). Jakarta (ID): PT. Meton Putra _________, Wresdiyati T. 2004. Diet Sehat dengan Makanan Berserat. Solo (ID): Penerbit Tiga Serangkai. Bouillane, Morineau, Dupont, Coulombel, Vincent J, Nicolis I, Benazeth, Cynode, Aussel. 2005. Getriatic Nutritional Risk Index: A new Index for evaluating at risk elderly medical patients. The American Journal of Clinical Nutrition 82: 777-83 [BPS] Badan Pusat Statsitik. 2008. Statistik Penduduk Lanjut Usia 2008. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik. Casey A, Benson H. 2006. Panduan Menurunkan Tekanan Darah. Jakarta (ID): PT Bhuana Ilmu Populer. Cereda E, Pusani C, Limonta, Vanotti 2009. The ability of the Geriatric Nutritional Risk Index to assess the nutritional status and predict the outcome of home-care resident elderly: a comparison with the Mini Nutritional Assessment. British Journal of Nutrition. 102: 563-570. [Depkes] Departemen Kesehatan RI.. 2006. Pedoman Pelayanan Gizi Rumah Sakit. Jakarta(ID): Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Direktorat GiziMasyarakat Depkes. ____________________________. 2007. Riset Kesehatan Dasar 2007. ____________________________. 2008. Riset Kesehatan Dasar 2008. ____________________________. 2011. Riset Kesehatan Dasar 2011. Devi N. 2010. Nutrition and Food. Jakarta (ID): PT Kompas Media Nusantara. Dijaissyah N. 2011. Riwayat pemberian makan, status gizi dan status kesehatan siswa PAUD [Skripsi]. Bogor (ID): Departemen Gizi Masyarakat,

30

penulis untuk penelitian selanjutanya adalah tehnik yang digunakan dalam menghitung konsumsi makan sebaiknya menggunakan food weighing karena pada lansia terdapat keterbatasan daya ingat, penggunaan contoh juga sebaiknya lebih besar sehingga didapatkan hasil uji yang lebih baik dan lebih representatif.

DAFTAR PUSTAKA Almatsier. 2011. Gizi Seimbang dalam Daur Kehidupan. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka. ________. Soetardjo S, Soekatri M. 2002. Gizi Seimbang dalam Daur Kehidupan. Jakarta ID): Gramedia Pustaka. Andarina D, Sumarmi S. 2007. Hubungan konsumsi protein hewani dan zat besi Dengan kadar hemoglobin pada Balita usia 13-36 bulan. The Indonesian Journal of PublicHealth. 3 (1): 19-23 Andriani. 2012. Penyelenggaraan makanan, daya terima, dan konsumsi pangan lansia di Panti Tresna Werdha Salam Sejahtera Bogor [Skripsi]. Bogor (ID): Departemen Gizi Masyarakat. Arisman. 2003. Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta (ID): EGC. _______. 2008. Gizi dalam Daur Kehidupan Edisi 2. Jakarta (ID): Penerbit EGC. Aritonang I. 2014. Penyelenggaraan Makanan. Yogyakarta (ID): Penerbit Leutika. Astawan M, Wahyuni. 1988. Gizi dan Kesehatan Manula (Manusia Usia Lanjut). Jakarta (ID): PT. Meton Putra _________, Wresdiyati T. 2004. Diet Sehat dengan Makanan Berserat. Solo (ID): Penerbit Tiga Serangkai. Bouillane, Morineau, Dupont, Coulombel, Vincent J, Nicolis I, Benazeth, Cynode, Aussel. 2005. Getriatic Nutritional Risk Index: A new Index for evaluating at risk elderly medical patients. The American Journal of Clinical Nutrition 82: 777-83 [BPS] Badan Pusat Statsitik. 2008. Statistik Penduduk Lanjut Usia 2008. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik. Casey A, Benson H. 2006. Panduan Menurunkan Tekanan Darah. Jakarta (ID): PT Bhuana Ilmu Populer. Cereda E, Pusani C, Limonta, Vanotti 2009. The ability of the Geriatric Nutritional Risk Index to assess the nutritional status and predict the outcome of home-care resident elderly: a comparison with the Mini Nutritional Assessment. British Journal of Nutrition. 102: 563-570. [Depkes] Departemen Kesehatan RI.. 2006. Pedoman Pelayanan Gizi Rumah Sakit. Jakarta(ID): Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Direktorat GiziMasyarakat Depkes. ____________________________. 2007. Riset Kesehatan Dasar 2007. ____________________________. 2008. Riset Kesehatan Dasar 2008. ____________________________. 2011. Riset Kesehatan Dasar 2011. Devi N. 2010. Nutrition and Food. Jakarta (ID): PT Kompas Media Nusantara. Dijaissyah N. 2011. Riwayat pemberian makan, status gizi dan status kesehatan siswa PAUD [Skripsi]. Bogor (ID): Departemen Gizi Masyarakat,

31

Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Fahmida, Dillon. 2011. Nutritional Asessment. Jakarta (ID): EGC. Fatmah. 2009. Osteoporosis dan faktor risikonya pada lansia etnis Jawa. Semarang (ID). Media Medika. hlm 56-67. Gandy JW, Madden A, Holdswrorth M. 2002. Gizi dan Dietetika. Jakarta (ID): Penerbit EGC. Gantilcore, Hausken, Meyer, Chapman, Horowitz, Jones KL. 2008. Effects of intraduodenal glucose, fat, and protein on blood pressure, heart rate, and splanchnic blood flow in healthy older subjects. The American Journal of Clinical Nutrition. 87: 156-61. Garrow J.S, James, Ralph. 2000. Human Nutrition and Dietetics. London (UK): Churchill Livingstone. Gibney, Vorster, Kok. 2002. Introduction of Human Nutrition. Oxford (UK): Blackwell Publishing. Gibson RS. 2005. Principle Nutrition Asessment. New York (USA): Oxford University Press. Grace PA, Borley NR. 2006. At a Glance Ilmu Bedah. Jakarta (ID): Erlangga. Hardinsyah, Tambunan. 2004. Angka Kecukupan Energi, Protein, Lemak Dan Serat Makanan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII 2004. Hardinsyah, editor. Jakarta (ID): Direktorat Standarisasi Produk Pangan. Indriana Yeniar. 2012. Gerontologi dan Progeria. Yogyakarta (ID): Pustaka Penerbit. Junaidi I. 2011. Ensiklopedi Jus Sayur dan Buah. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka. Kementrian Kesehatan. 2013. Pedoman Pelayanan Gizi Rumah Sakit. Jakarta (ID): Kemenkes RI. Khomsan A, Anwar F. 2008. Sehat Itu Mudah, Wujudkan Hidup Sehat dengan Makanan Tepat. Jakarta (ID): PT Mizan Publika. Kusharto CM, Supariasa. 2014. Survei Konsumsi Gizi. Yogyakarta (ID): Graha Ilmu. Lairon, Arnault, Bentrais, Planells, Clero E, Hercberg, Ruault B. 2005. Dietary fiber intake and risk factors for cardiovascular disease in French adults. TheAmerican Journal of Clinical Nutrition. 82: 1185-94. Liu S, Manson JE, Lee I Min, Cole, Hennekens, Willet Walter C, Buring Julie E. 2000.Fruit and vegetable intake and risk of cardiovascular disease: The Women health study. The American Journal of Clinical Nutrition. Vol 72: 922-8. Lubis Z. 2008. Hidup Sehat dengan Makanan Kaya Serat. Bogor (ID): IPB Press. Moehyi S. 1992. Penyelenggaraan Makanan Institusi dan Jasa Boga. Jakarta (ID): Bhratara. Muis. 2006. Gizi pada Usia Lanjut. Matrono H, Darmojo BR, editor. Jakarta (ID): Balai Penerbit FK UI. Patriasih R, Widiaty I, Dewi M, Khomsan A, Sukandar D. 2013. A Study of Nutritional Status Health Characteristics and Psychososial Aspects of The Elderly Ling with Their Family and of Those Living in Nursing Home. Bogor (ID): IPB Press. Sekarayu IR. 2014. Hubungan Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan

32

Status Kesehatan dan Status Gizi pada Lansia di Kota Bandung [Skripsi]. Bogor (ID): Departemen Gizi Masyarakat. Sharkey, Branch, Zohoori, Giuliani, Whitehead Jan, Haines Pamela. 2002. Inadequate nutrient intakes among homebound elderly and theit correlation with individual characteristics and health related factors. The American Journal of clinical Nutrition. 76: 1435-45. Snidjer, Heijden AA, Dam RM, Stehouwer C, Hiddink GJ, Nijpels G, Heine RJ, Bouter LM, Dekker JM. 2007. Is higher dairy consumption associated with lower body weight and fewer metabolic disturbance. The American Journal of Nutrition. 85: 989-95. Sturm K, Parker B, Wishart J, Bisset CF, Jones KL, Chapman, Horwitz M. 2004. Energy intake and appetite are related to antral area in healthy young and older subsject. TheAmerican Journal of Clinical Nutrition. Vol 80: 00029165. Sugiono. 2009. Statistika untuk Penelitian. Bandung (ID): CV. Alfabeta Supariasa, Bakri, Fajar. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta (ID): Penerbit Buku Kedokteran EGC. ___________________. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta (ID): Penerbit EGC. Waijers, Ocke, Rossum, Peeters, Bamia C, Chloptsios. Schouw Y, Slimani, Bueno. 2006. Dietary patterns and survival in older Dutch women. The American Journal ofNutrition. 83: 1170-6. WHO. 1985. Energy and Protein Requirements. Geneva (SW): Schuler. S.A. Williams, Schlenker. 1997. Nutrition throughout the Life Cycle. Wahington DC (USA): Mosby. Wirakusumah G. 2002. Tetap Bugar di Usia Lanjut. Jakarta (ID): Trubus Agriwidya. [WNPG] Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. 2004. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta (ID): LIPI. Yulizawaty R. 2013. Keterkaitan konsumsi angan, status gizi dan status kesehatan lansia di kota Bandung [Skripsi]. Bogor (ID): Departemen Gizi Masyarakat Institut Pertanian Bogor. Zulaika. 2011. Konsumsi serat dan fast food serta aktivitas fisik orang dewasa yang berstatus gizi obes dan lebih [Skripsi]. Bogor (ID): Departemen Gizi Masyarakat.

33

LAMPIRAN Tabel 16 Aspek sarana dan peralatan fisik No 1 2 3 4 5 6 7 8

Fisik dan Peralatan Memperhatikan pembagian ruangan Luas bangunan cukup Pencahayaan memadai Memperhatikan kontruksi bangunan Pertukaraan udara (ventilasi) yang mencukupi Terdapat peralatan persiapan hingga penyajian Jumlah alat yang dibutuhkan mencukupi Terdapat alat penyimpanan peralatan yang memadai Total Nilai

Penerapan 0 1 1 0 0 1 1 0 4 50

Tabel 17 Aspek pengolahan bahan pangan No 1 2

Aspek Pengolahan Pengolahan terbagi menjadi persiapan dan pengolahan Memperhatikan standar porsi sesuai kebutuhan Total Nilai

Penerapan 1 1 2 100

Tabel 18 Aspek perencanaan menu No 1 2 3 4 5 6 7 8

Aspek Perencanaan Menu Melibatkan ahli gizi Adakah siklus menu Adakah petugas perencanaan menu Memperhatikan ketersediaan bahan pangan di pasar Memperhatikan kesesuaian dana Memperhatikan kebutuhan gizi konsumen Terdapat evaluasi menu Memperhatikan daya terima konsumen Total Nilai

Penerapan 0 1 1 1 1 0 0 0 4 50

34

Tabel 19 Pembelian dan penyimpanan No 1 2 3 4 5 6

Pembelian dan Penyimpanan Memperhatikan kulaitas bahan pangan Terdapat jangka waktu pembeliaan makanan Memperhatikan FIFO Tempat penyimpanan makanan memadai Memperhatikan suhu penyimpanan bahan pangan Terdapat pembagian penyimpanan sesuai jenis bahan Total Nilai

Penerapan 1 1 1 0 0 1 4 66.67

Tabel 20 Aspek higine dan sanitasi No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

Aspek Higine dan Sanitasi Lokasi jauh dari sumber pencemaran Bangunan kokoh dan permanen Rapat dari serangga dan tikus Pembagian ruangan yang sesuai Lantai dapur memenuhi syarat Tenaga kerja menggunakan APD Tempat sampah cukup Tersedianya air bersih yang memadai Tersedianya tempat pencucian tangan Tersedianya tempat pencucian peralatan yang bersih Tenaga pengolahan bebas penyakit Total Nilai

Penerapan 0 1 0 0 0 0 1 1 1 0 1 5 45.45

Tabel 21 Aspek distribusi bahan pangan No 1 2 3

Aspek Distribusi Makanan Memperhatikan ketepatan jumlah Memperhatikan suhu makanan Memperhatikan ketepatan waktu Total Nilai

Penerapan 1 0 1 2 66.67

35

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Gedong Tataan, Lampung pada tanggal 24 Maret 1993 dari ayah Zuhendi dan ibu Suwarni dan merupakan putri pertama dari tiga bersaudara. Tahun 2008 penulis lulusdari SMP Negeri 1 Gedong Tataan, kemudian melanjutkan sekolah di SMA Negeri 9 Bandar Lampung dan lulus pada tahun 2011. Pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk ke Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri secara tertulis dan diterima di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia. Selain mengikuti perkuliahan penulis aktif di berbagai organisai mahasiswa, diantaranya sebagai bendahara dan staf Pengembangan Sumber Daya Manusia Himpunan Mahasiswa Ilmu Gizi pada tahun 2013 dan pada tahun 2014, bendahara II keluarga Mahasiswa Lampung pada tahun 2013, staf Pengembangan Masyarakat Bina Desa Bem KM IPB pada tahun 2012 dan 2013. Selain ikut berbagai organisai penulis juga aktif pada berbagai kepanitiaan diantaranya sebagai staf acara Back to Village Kemala IPB pada tahun 2012, ketua divisi acara BTV Kemala IPB pada tahun 2013, staf acara Nutrition Fair 2013, bendahara Nutrition Fair 2014 dan masih banyak yang lainnya. Penulis juga aktif sebagai asisten praktikum dua mata kuliah yaitu Metode Penelitian Gizi dan Pengukuran Status Gizi tahun ajaran 2014/2015. Penulis mengikuti kegiatan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Desa Pamijahan Kabupaten Bogor pada bulan Juli dan Agustus 2014, kemudian dilanjutkan mengikuti kegiatan Internshp Dietition (ID) di Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Rebo Jakarta Timur pada bulan Oktober hingga November 2015. Penulis juga aktif sebagai Master of Ceremony dan moderator pada berbagai acara di dalam maupun luar IPB. Prestasi yang pernah diraih oleh penulis adalah Acceptance Letter IICBE “Pytes Biscuits” Healthy Biscuit with Triple Flour Mix (Banana, Tempe, and Sorghum) to Solve Protein Energy Malnutrition in the Preschooler 2013, sebagai Muli Keluarga Mahasiswa Lampung 2014, Putri Omda I Institut Pertanian Bogor tahun 2014, dan sebagai Finalis IPB Green Ambassador 2015.