HUBUNGAN PERSONAL HYGIENE DENGAN KEJADIAN SKABIES

Download Kejadian Skabies di Pondok Pesantren As-Salam Surakarta 2013. Latar belakang: ... kejadian skabies yaitu personal hygiene yang kurang terja...

2 downloads 517 Views 370KB Size
HUBUNGAN PERSONAL HYGIENE DENGAN KEJADIAN SKABIES DI PONDOK PESANTREN AS-SALAM SURAKARTA 2013 NASKAH PUBLIKASI

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana Kedokteran

Diajukan oleh: SYAFNI YULIA SISTRI J 500 100 099

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2013

ABSTRAK

Syafni Yulia Sistri. J500100099. 2013. Hubungan Personal hygiene dengan Kejadian Skabies di Pondok Pesantren As-Salam Surakarta 2013. Latar belakang: Skabies merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infestasi parasit obligat pada manusia. Sarcoptes scabiei var hominis ke dalam stratum korneum dan granulosum pejamu. Penularan dapat terjadi secara langsung dan tidak langsung. Diperkirakan lebih dari 300 juta orang di seluruh dunia terkena skabies. Di daerah tropis seperti di Indonesia prevalensi skabies cenderung meningkat. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap peningkatan kejadian skabies yaitu personal hygiene yang kurang terjaga. Metode: Penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross-sectional untuk mengetahui hubungan personal hygiene dengan kejadian skabies di Pondok Pesantren As-Salam Surakarta. Data diperoleh melalui pemeriksaan fisik, wawancara dan pembagian kuesioner kepada responden. Data yang diperoleh diolah dan dianalisis dengan menggunakan metode satistik chi square. Jumlah sampel sebanyak 62 responden. Hasil: Dari hasil analisis penelitian terhadap 62 anak terdapat 24 anak (38,7 %) dengan personal hygiene yang kurang terjaga terkena skabies, 6 anak (9,7 %) dengan personal hygiene yang kurang terjaga tidak terkena skabies dan 32 anak (51,6 %) dengan personal hygiene yang terjaga tidak terkena skabies. Dari uji statistik diperoleh nilai p = 0,00. Kesimpulan: Terdapat hubungan antara personal hygiene dengan kejadian skabies di Pondok Pesantren As-Salam Surakarta. Kata kunci : Personal hygiene, Skabies, Sarcoptes scabie

ABSTRACT

Syafni Yulia Sistri. J500100099. 2013. Correlation Between Personal hygiene and Incident of Scabies in Pondok Pesantren As-Salam Surakarta 2013.

Background : Scabies is a contagious disease caused by Sarcoptes scabiei var hominis in to the stratum corneum and granulosum of the host. Transmission can occur directly and indirectly . Approximately more than 300 million people in worldwide are affected by scabies. In the tropical country such as Indonesia the prevalence of scabies tends to increase. One of the factors that influence the increased incidence of scabies is less personal hygiene. Methods : The research an observational analytic using cross - sectional study to determine the relationship of personal hygiene with the incidence of scabies in As-Salam Islamic boarding school in Surakarta . Data obtained through a physical examination , interview and questionnaires. The data obtained were processed and analyzed using the chi square satistic method . The sample is 62 respondents . Results : This research found from 62 children 24 children ( 38.7 % ) with poor personal hygiene are diagnosed as scabies , 6 children ( 9.7 % ) with poor personal hygiene are not diagnosed as scabies and 32 children ( 51.6 % ) with good personal hygiene are not diagnosed as scabies . Analysis found p value = 0,00 Conclusion : The research correlation between personal hygiene and incident of scabies in Pondok Pesantren As-Salam Surakarta. Keyword : Personal hygiene, Scabies, Sarcoptes scabiei

PENDAHULUAN Diperkirakan lebih dari 300 juta orang di seluruh dunia terkena skabies. Prevalensi cenderung lebih tinggi di daerah perkotaan terutama di daerah yang padat penduduk. Skabies mengenai semua kelas sosial ekonomi, perempuan dan anak-anak mengalami prevalensi lebih tinggi. Prevalensi meningkat di daerah perkotaan dan padat penduduk. Pada musim dingin prevalensi juga cenderung lebih meningkat dibandingkan musim panas (Stone et al., 2008). Di Brazil Amerika Selatan prevalensi skabies mencapai 18 % (Strina et al., 2013), di Benin Afrika Barat 28,33 % (Salifou et al., 2013), di kota Enugu Nigeria 13,55 % (Emodiet al., 2013), di Pulau Pinang Malaysia 31 % (Zayyid et al., 2013). Di indonesia prevalensi skabies masih cukup tinggi. Menurut Departemen Kesehatan RI 2008 prevalensi skabies di Indonesia sebesar 5,60-12,95 % dan skabies menduduki urutan ketiga dari 12 penyakit kulit. Tiyakusuma dalam penelitiannya di Pondok Pesantren As-Salam Surakarta, menemukan prevalensi skabies 56,67 % pada tahun 2010. Penularan terjadi akibat kontak langsung dengan kulit pasien atau tidak langsung dengan benda yang terkontaminasi tungau. Skabies dapat mewabah pada daerah padat penduduk seperti daerah kumuh, penjara, panti asuhan, panti jompo, dan sekolah asrama (Stone et al., 2008). Penyebab skabies antara lain disebabkan oleh rendahnya faktor sosial ekonomi, kebersihan yang buruk seperti mandi, pemakaian handuk, mengganti pakaian dan melakukan hubungan seksual. Penyakit ini biasanya banyak ditemukan di tempat seperti di asrama, panti asuhan, penjara, pondok pesantren yang kurang terjaga personal hygienenya. Terdapat banyak faktor yang menunjang perkembangan penyakit skabies antara lain turunnya imunitas tubuh akibat HIV, sosial ekonomi yang rendah, higiene yang buruk, hubungan seksual yang sifatnya promiskuitas (Murtiastutik, 2009). Peneliti tertarik untuk meneliti mengenai hubungan personal hygiene dengan kejadian skabies di pondok pesantren As-Salam Surakarta, karena kecenderungan kejadian skabies pada tempat yang berpopulasi padat dengan kontak langsung ataupun tidak langsung yang cukup tinggi.

TINJAUAN PUSTAKA Skabies adalah suatu infestasi pada kulit manusia yang disebabkan oleh penetrasi parasit obligat yaitu S. scabiei var hominis ke dalam epidermis (Stone et al., 2008). Skabies disebabkan oleh S. scabiei, ditularkan oleh kutu betina yang telah dibuahi. Kutu dapat hidup diluar kulit hanya 2-3 hari pada suhu kamar 210 C dengan kelembaban relatif 40-80 %. Kutu betina berukuran 0,3-0,4 mikron, kutu jantan membuahi kutu betina kemudian mati, lalu kutu betina ini akan menggali lubang ke dalam epidermis lalu membuat terowongan di dalam stratum korneum, dan meletakkan telur-telurnya di terowongan tersebut (Harahap, 2009). Sarcoptes scabiei membuat terowongan pada stratum korneum bagian bawah dan melepaskan substansi yang berefek pada sel keratinosit dan fibroblast yang mengawali reaksi tubuh. Sensitivitas alergi terhadap tungau maupun produk tungau tampaknya memiliki peranan penting dalam menyebabkan pruritus. Reaksi imunitas tersebut meliputi hipersensitivitas tipe I dan tipe IV. Pada reaksi tipe I, antigen tungau bertemu dengan Imunoglobulin E (Ig E) pada sel mast diantara epidermis menyebabkan degranulasi sel mast dan terjadi wheal and flare reaction. Hal tersebut didukung fakta bahwa terdapat kenaikan Ig E pada pasien skabies dan menurun setelah terapi. Pada reaksi hipersensitivitas tipe IV, seseorang kontak pertama kali dengan tungau 10-30 hari sebelum muncul rash, dan ketika pasien kontak untuk yang kedua kalinya, maka reaksi hipersensitivitas terjadi dalam waktu 1 hari (Rakhmawati et al 2012 cit Dompmartin D. dan Drouhet E., 1970). Terdapat dua tipe utama lesi kulit pada skabies, yaitu terowongan dan papula. Panjang terowongan sekitar beberapa millimeter, biasanya berliku-liku, dan ada vesikel pada salah satu ujung yang berdekatan dengan tungau yang sedang menggali terowongan dan sering dikelilingi eritema ringan. Terowongan terutama ditemukan pada bagian samping jari tangan dan jari kaki, sela jari, pergelangan tangan dan punggung kaki. Pada bayi, terowongan dapat ditemukan pada telapak tangan, telapak kaki, badan, kepala dan leher. Pada usia lanjut biasanya terowongan dapat ditemukan pada tubuh, kadang-kadang juga bisa ditemukan di daerah leher dan kepala. Pada pria terowongan juga bisa ditemukan

pada organ genital yaitu pada penis dan skrotum yang biasanya ditutupi oleh papula yang meradang, hal ini merupakan patognomonis untuk skabies. Lesi skabies berupa erupsi papula kecil yang meradang terutama terdapat di sekitar aksila, umbilikus, dan paha. Lesi ini merupakan reaksi alergi tubuh terhadap tungau (Brown dan Tony, 2005). Terdapat empat tanda kardinal dari penyakit skabies yaitu sebagai berikut: 1) Pruritus nokturna, yaitu gatal pada malam hari yang disebabkan oleh aktivitas tungau lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas; 2) Penyakit ini menyerang manusia secara kelompok, misalnya dalam sebuah keluarga biasanya seluruh anggota keluarga terkena infeksi. Pada sebuah perkampungan yang padat penduduknya, sebagian besar tetangga yang berdekatan akan diserang oleh tungau tersebut. Kadang dalam suatu kelompok atau keluarga yang juga terkena infestasi tungau tapi tidak memberikan gejala disebut sebagai carrier. 3) Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat-tempat predileksi yang berwarna putih dan keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok, rata-rata panjangnya 1 cm, pada ujung terowongan itu ditemukan papul atau vesikel. Jika timbul infeksi sekunder lesi kulit polimorf. Tempat predileksinya merupakan tempat dengan stratum korneum yang tipis. 4) Menemukan tungau, merupakan hal yang paling diagnostik. Terdapat beberapa metode penegakan diagnosis lain dengan dermoskopi, polymerase chain reaction dan winckle picker (Stone et al., 2008). Diagnosis banding skabies yaitu atopik dermatitis, reaksi gigitan serangga, dermatitis kontak, dermatitis herpetiformis, dan eksim dishidrotik, selain itu juga perlu dipertimbangkan penyakit lain seperti psoriasis khususnya pada tipe crusted scabies, pemfigoid bullosa ketika vesikel dan bulanya ditemukan, dan erupsi obat (Stone et al., 2008). Prinsip dasar terapi skabies adalah mengobati penderita dan orang yang kontak langsung dengan penderita dalam waktu yang bersamaan dengan atau

tanpa disertai munculnya gejala klinis skabies, misalnya keluarga, teman sekamar, pasangan seksual dan orang yang dekat dengan penderita yang memungkinkan terjadinya kontak fisik dengan pasien. Obat topikal sebaiknya dipakai pada kondisi kulit lembab, seperti setelah mandi. Pemakaiannya bisa di seluruh kulit, khusunya di lipatan paha, disekitar kuku, di belakang telinga, wajah dan kepala (Hall , 2010). Personal hygiene berasal dari bahasa Yunani yaitu personal yang berarti perorangan dan hygiene yang berarti sehat. Personal hygiene atau kebersihan pribadi adalah perawatan diri yang dilakukan untuk mempertahankan kesehatan, baik secara fisik maupun psikis. Personal hygiene ini juga dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti diatas yaitu nilai individu, kebiasaan, kebudayaan, sosial ekonomi, pendidikan, keluarga, tingkat perkembangan dan persepsi seseorang terhadap kesehatan. Personal hygiene dikategorikan menjadi 2 yaitu personal hygiene yang terjaga dengan baik dan personal hygiene yang kurang terjaga (Alimul, 2009). Kriteria menjaga personal hygiene adalah mandi 2x sehari, mengganti pakaian dan pakaian dalam 2x sehari, tidak menggunakan handuk secara bergantian. Sedangkan kriteria untuk personal hygiene yang kurang terjaga yaitu mandi kurang dari 2x sehari, mengganti pakaian dan pakaian dalam kurang dari 2x sehari, memakai handuk secara bergantian. Dampak yang timbul pada masalah personal hygiene antara lain: 1. Dampak fisik, yaitu munculnya gangguan kesehatan fisik berupa gangguan pada kulit, kuku, rambut, mulut, gigi, telinga, hidung dan tenggorokan. 2. Dampak psikososial, yaitu terganggunya kebutuhan akan rasa nyaman, kebutuhan mencintai dan dicintai, kebutuhan aktualisasi diri, harga diri dan terganggunya interaksi sosial dengan lingkungannya ( Tarwoto dan wartonah, 2010). Personal hygiene yang buruk dapat meningkatkan kejadian skabies. Personal hygiene atau kebersihan pribadi merupakan perawatan diri sendiri yang dilakukan untuk mempertahankan kesehatan, baik secara fisik maupun psikologis. Personal hygiene ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya budaya, nilai

sosial individu atau keluarga, pengetahuan dan persepsi mengenai personal hygiene (Alimul, 2009). Personal hygiene sangat penting dipelihara, jika hal ini tidak diperhatikan maka akan muncul berbagai dampak, terutama penyakit kulit seperti skabies dan personal hygiene yang buruk akan meningkatkan kejadian skabies. Penularan skabies dapat terjadi melalui kontak langsung dengan penderita skabies atau kontak dengan benda-benda yang terkontaminasi oleh skabies sehingga bisa menimbulkan endemik skabies. Selain mengganggu kesehatan personal hygiene yang kurang terjaga juga menyebabkan dampak psikososial dimana seseorang menjadi tidak nyaman dan tidak percaya diri di lingkungan sosialnya sehingga akan mempengaruhi perkembangan psikisnya (Alimul, 2009).

METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan bulan Juni 2013-Agustus 2013 di Pondok Pesantren As-Salam Surakarta. Subjek Penelitian Penelitian ini dilakukan terhadap santri putra di Pondok Pesantren AsSalam Surakarta. Sampel dan Teknik Sampling Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Subjek yang disertakan dalam penelitian ini bila memenuhi kriteria retriksi (Notoadmodjo, 2005).

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Pondok Pesantren As- Salam Surakarta pada bulan September sampai Oktober 2013. Subyek penelitian sebanyak 62 santri putra yang diteliti personal hygienenya dengan kejadian skabies. Subjek penelitian ini adalah santri putra Pondok Pesantren As-Salam surakarta tingkat SLTP dan berasal dari berbagai daerah. Setiap asrama terdiri atas

tiga rayon dan 1 ruangan khusus. Setiap rayon terdiri atas beberapa ruangan yang berisi 20 – 25 santri putra, mereka tidur di atas kasur yang saling berdekatan satu sama lain. Sedangkan ruangan khusus hanya diisi oleh 5 santri putra. Deskripsi Data Tabel 1. Deskripsi Data Usia 12 – 14 tahun 14 – 16 tahun

Skabies (+) 19 5

Skabies (-) 22 16

Berdasarkan tabel di atas, kejadian skabies paling banyak di usia 12 –14 tahun yaitu 19 orang, sedangkan di usia 14 – 16 tahun hanya 5 orang. Tabel 2. Hubungan Personal hygiene dengan kejadian skabies Tingkat Personal hygiene Personal hygiene terjaga Personal hygiene kurang terjaga

32 (51,61 %) 30 (48,39 %)

Kejadian Skabies Skabies (+) Skabies (-)

24 (38,71 %) 38 (61,29 %)

Berdasarkan data tabel 1 diatas diketahui bahwa dari 62 santri putra Pondok Pesantren As-Salam Surakarta dengan personal hygiene yang terjaga sebanyak 32 (51,61 %) santri putra, personal hygiene yang kurang terjaga sebanyak

30 (48,39 %) santri putra, yang menderita skabies sebanyak 24

(38,71%) santri putra dan yang tidak menderita skabies sebanyak 38 (61,29 %). Analisis Data Tabel Hubungan personal hygiene dengan kejadian skabies dengan SPSS versi 17.0 P Value Variabel Skabies (+) (-) 0, 00 Personal hygiene 24 6 Kurang Terjaga (38,7 %) (9,7 %) Personal hygiene 0 32 Terjaga (0 %) (51,6%) Dari tabel 2 di atas, dapat dikatakan bahwa hasil analisis hubungan antara personal hygiene dengan kejadian skabies di Pondok Pesantren As-Salam Surakarta sebanyak 24 anak (38,7 %) dengan personal hygiene yang kurang

terjaga terkena skabies dari 62 anak, 6 anak (9,7 %) dengan personal hygiene yang kurang terjaga tidak terkena skabies dari 62 anak dan 32 anak (51,6 %) dengan personal hygiene yang terjaga tidak terkena skabies dari 62 anak. Dari uji statistik diperoleh nilai p = 0,00 (< 0,05) maka secara statistik terdapat hubungan antara personal hygiene dengan kejadian skabies di Pondok Pesantren As-Salam Surakarta.

Pembahasan Skabies adalah suatu infestasi pada kulit manusia yang disebabkan oleh penetrasi parasit obligat yaitu S. scabiei var hominis ke dalam epidermis (Stone et al., 2008). Kutu dapat hidup diluar kulit hanya 2-3 hari pada suhu kamar 210 C dengan kelembaban relatif 40-80 %. Kutu betina berukuran 0,3-0,4 mikron, kutu jantan membuahi kutu betina kemudian mati, lalu kutu betina ini akan menggali lubang ke dalam epidermis lalu membuat terowongan di dalam stratum korneum, dan meletakkan telur-telurnya di terowongan tersebut (Harahap, 2009). Sarcoptes scabiei hidup di dalam terowongan tersebut selama 30 hari (Brown dan Tony, 2005). Diperkirakan lebih dari 300 juta orang di seluruh dunia terkena skabies. Prevalensi meningkat di daerah perkotaan dan padat penduduk.DI indonesia prevalensi skabies masih cukup tinggi. Menurut Departemen Kesehatan RI 2008 prevalensi skabies di Indonesia sebesar 5,60-12,95 % dan skabies menduduki urutan ketiga dari 12 penyakit kulit tersering. Tiyakusuma dalam penelitiannya di Pondok Pesantren As-Salam Surakarta tentang hubungan tidur berkelompok dan tidur sendiri dengan kejadiaan skabies menemukan prevalensi kejadian skabies pada kelompok yang tidur secara berkelompok sekitar 56,67 % dan kelompok yang tidur sendiri 43,33 % pada tahun 2010. Pada penelitian ini prevalensi kejadian skabies pada santri putra di Pondok Pesantren As-Salam Surakarta dengan personal hygiene yang kurang terjaga sebanyak 38,7 %, prevalensi skabies ini lebih rendah dibandingkan prevalensi skabies pada penelitian tahun 2010 di Pondok Pesantren As-Salam Surakarta dan kejadian skabies yang paling banyak pada penelitian ini terjadi di usia 12 – 14 tahun.

Hasil analisis tentang hubungan personal hygiene dengan kejadian skabies di Pondok Pesantren As-Salam Surakarta dari 62 santri putra, 24 santri (38,7 %) dengan personal hygiene yang kurang terjaga terkena skabies, 6 santri (9,7 %) dengan personal hygiene yang kurang terjaga tidak terkena skabies dan 32 santri (51,6 %) dengan personal hygiene yang terjaga tidak terkena skabies. Hasil uji statstik juga membuktikan terdapat hubungan yang signifikan antara personal hygiene dengan kejadian skabies dengan nilai P < 0,05. Skabies ditularkan melalui kontak kulit ataupun melalui fomite (benda mati) yang telah terkontaminasi oleh S. scabiei. Fomite yang terkontaminasi ini dipakai secara bergantian sehingga terjadi peningkatan risiko penularan skabies. Saat kutu sudah berinfestasi pada kulit maka kutu jantan akan membuahi kutu betina, setelah itu kutu jantan akan mati. Sedangkan kutu betina akan menggali terowongan pada stratum korneum dan meletakkan telur-telurnya dalam terowongan tersebut. Kutu betina ini dapat menghasilkan telur 3 buah setiap hari dan menetas dalam 3-4 hari menjadi larva muda. Larva muda akan berubah menjadi nimfe kemudian dewasa dalam 14-17 hari. Hanya 10 % telur yang yang dapat tumbuh menjadi kutu dewasa. Masa inkubasi tungau antara 3-6 minggu pada infestasi primer, dapat menjadi 1-3 hari pada reinfestasi (Harahap, 2009).

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara personal hygiene dengan kejadian skabies di Pondok Pesantren As-Salam Surakarta. Personal hygiene yang kurang terjaga dapat meningkatkan kejadian skabies. Saran 1. Kepada seluruh santri putra, santri putri dan semua pihak yang berada di Pondok Pesantren As-Salam Surakarta agar senantiasa menjaga personal hygiene dan selalu waspada dengan penularan skabies, karena penyakit ini dapat menular dengan kontak langsung dengan kulit penderita dan benda yang terkontaminasi oleh skabies.

2. Pentinganya penyuluhan kesehatan secara berkala mengenai personal hygiene dan skabies. 3. Setelah liburan sekolah atau santri pulang ke rumah (kampung) perlu di himbau untuk melakukan pemeriksaan ke pusat kesehatan setempat untuk di screening apakah dia terkena skabies atau tidak untuk meminimalisir penularan skabies kepada santri lain. DAFTAR PUSTAKA Afraniza, Y., 2011. Hubungan antara Praktik Kebersihan Diri dan Angka Kejadian Skabies di Pesantren Kyai Gading Kabupaten Demak. Fakultas Kedokteran UNDIP.S1 Skripsi. Ali, A., 2010. Dermatology A Pictorial Review. 2nd ed. New York: McGraw-Hill. 257. Alimul, A.A., 2009. Kebutuhan Dasar Manusia. 1st ed. Jakarta: Salemba Medika. Bell, D.R., 2009. Lecture Notes Tropical Medicine. 6th ed. Oxford: WileyBlackwell, pp. 320-21. Brown, R.G. and Tony B., 2005. Lecture Notes Dermatology. 8th ed. Yogyakarta: Erlangga. Dahlan, M.S., 2010. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. 3rd ed. Jakarta: Salemba Medika. Dahlan, M.S., 2012. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. 5th ed. Jakarta: Salemba Medika. Department of Pathology University of Utah. 2010. Sauer’s Manual of Skin Diseases. 10th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer. Emodi, I.J. et al., 2013. Skin diseases among children attending the out patient clinic of the University of Nigeria teaching hospital, Enug. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3052811/, diakses tanggal 5 Agustus 2013 pukul 07.30 am. Habif, T.P., 2011. Skin Desease. Diagnosis and Treatment. 3rd ed. London: Saunders Elsevier, pp. 334-38. Hall, J.C., 2010, In: Sauer’s Manual of Skin Diseases. 10th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer.

Handoko, R.P., 2009. Skabies, pada : Buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, pp. 122-25. Harap, M., 2000. Ilmu Penyakit Kulit. 1st ed. Jakarta: Hipokrates, pp. 109-15. http://fk.uns.ac.id/index.php/abstrakskripsi/baca/203, diakses tanggal 5 Agustus 2013 pukul 08.08 am. Kearns, T. et al., 2013. Clinic Attendances during the First 12 Months of Life for Aboriginal Children in Five Remote Communities of Northern Australia,http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=Clinic+Attendance s+during+the+First+12+Months+of+Life+for+Aboriginal+Children+in +Five+Remote+Communities+of+Northern+Australia , diakses tanggal 21 Maret 2013 pukul 11.50 pm. Leung V. and Miller M., 2011. Detection of scabies: A systematic review of diagnosticMethods, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=Detection+of+scabies%3A+ A+systematic+review+of+diagnostic+methods, diakses tanggal 21 maret 2013 pukul 11.53. Marks, J.G and Miller J.J., 2006. Principles of Dermatology. 4th ed. London: Saunders Elsevier. Monsel, Gentiane and Oliver C., 2012. Management of Scabies, http://www.skintherapyletter.com/2012/17.3/1.html, diakses tanggal 21 Maret pukul 11.50 pm. Murtiastutik, D., 2009. Buku Ajar Infeksi Menular Seksual. Yogyakarta: Erlangga. Notoatmodjo, S., 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. 1st ed. Jakarta: Rineka Cipta. Rakhmawati, D., dkk., 2012. Laporan Kasus: Crusted Scabies.Pertemuan Ilmiah Tahunan XII PERDOSKI. Solo. Riwidikdo, H., 2009. Statistik untuk Penelitian Kesehatan dengan Aplikasi Program R dan SPSS. Yogyakarta: Pustaka Rihama. Salifou, S. et al., 2013. Prevalence and zoonotic aspects of small ruminant mange in the lateritic and waterlogged zones, southern Benin. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23856728, diakses tanggal 5 Agustus 2013 pukul 07.35 am. Sastrawijaya, A. T., 2009. Pencemaran Lingkungan. 2nd ed. Jakarta: Rineka Cipta.

Sastroasmoro, S. dan Sofyan I., 2002. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. 1st ed. Jakarta: Binarupa Aksara. Staf Pengajar Departemen Parasitologi FKUI. 2009. Parasitologi Kedokteran. 4th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, pp. 297-300. Stone, S.P., Jonathan N.G., Rocky E.B., 2008, In: Fitzpatrick,s Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill, pp. 2030-31. Strina, A. et al., 2013. Validation of epidemiological tools for eczema diagnosis in Brazilian children: the ISAAC's and UK Working Party's criteria. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21062476, diakses tanggal 5 Agustus 2013 pukul 07.59 am. Tarwoto dan Wartonah., 2010. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan. 4th ed. Jakarta: Salemba Medika. Tiyakusuma, E., 2010. Perbedaan Angka Kejadian Skabies Antara Santri yang Tidur Sendiri dan Tidur Berkelompok di Pondok Pesantren As-Salam Surakarta. Fakultas Kedokteran UNS. S1 Skripsi. Zayyid, M.M. et al., 2013. Prevalence of scabies and head lice among children in a welfare home in Pulau Pinang, Malaysia. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21399584/, diakses tanggal 5 Agustus 2013 pukul 07.53 am.