I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sulawesi Selatan terdapat tiga danau yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat. Salah satu danau tersebut adalah Danau Sidenreng yang terletak di Kabupaten Sidenreng Rappang. Dua danau lainnya adalah Danau Tempe yang terletak di sebelah tenggara dan Danau Buaya di sebelah timur laut dari Danau Sidenreng. Danau Sidenreng merupakan ekosistem perairan tawar yang cukup potensial, hal ini disebabkan karena danau tersebut berfungsi sebagai penghasil ikan yang dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. Pada musim kemarau, danau ini mempunyai luas ± 3000 ha dan di musim penghujan luasnya menjadi ± 35.000 ha serta bersatu dengan Danau Tempe dan Danau Buaya (Whitten et al., 1987). Salah satu jenis ikan yang terdapat di Danau Sidenreng adalah ikan tawes (Barbonymus gonionotus Bleeker, 1850). Oleh masyarakat setempat ikan tawes disebut bale kandea. Ikan tawes dapat dimanfaatkan sebagai ikan konsumsi. Ikan ini memiliki nilai protein yaitu 13 % dan kandungan asam Lemak Omega-3 per 1.5/100 gram, serta disukai oleh masyarakat karena memiliki daging yang kenyal dan sedikit lemak. Disamping itu harga ikan tawes dapat terjangkau oleh masyarakat (Muthmainnah, 2008). Ikan ini memiliki kandungan gizi yang baik, khususnya pada protein. Menurut Nugroho (2006) daging ikan ini dapat dikombinasikan dengan ubi jalar dan dapat menghasilkan tepung terigu sehingga selanjutnya dapat digunakan dalam pembuatan biskuit. Ikan tawes yang terdapat di Danau Sidenreng tiap tahunnya mengalami perubahan pada data produksinya. Pada tahun 2003 besarnya data produksi
1
ikan tawes yaitu 129,9 ton, tahun 2004 yaitu 247,3 ton, tahun 2005 yaitu 247,3 ton, tahun 2006 yaitu 178,4 ton, tahun 2007 yaitu 182,6 ton, tahun 2008 yaitu 457,3 ton, dan pada tahun 2009 yaitu 325,5 ton. Hal ini dapat menunjukkan bahwa pada tahun 2003 sampai 2005 data produksi ikan tawes mengalami kenaikan tiap tahunnya, tetapi pada tahun 2006 mengalami penurunan. Namun pada tahun 2007 kembali lagi mengalami kenaikan sampai tahun 2008, dan pada tahun 2009 data produksi ikan tawes di Danau Sidenreng kembali lagi mengalami penurunan (Dinas Kelautan dan Perikanan, 2010). Dengan melihat kondisi dan fenomena yang terjadi di alam, dimana jumlah ikan tawes yang berada di Danau Sidenreng semakin berkurang, sementara ikan tawes memiliki banyak kelebihan, tetapi nilai produksinya mengalami penurunan, maka perlu dilakukan suatu pengelolaan terhadap ikan tawes. Dalam pengelolaan diperlukan salah satu informasi tentang dinamika populasiyang berupa kelompok umur, laju pertumbuhan, mortalitas, laju eksploitasi dan Yield per Recruitment, sehingga penelitian ini perlu dilakukan.
B.Tujuan dan Kegunaan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beberapa parameter dinamika populasi ikan tawes meliputi kelompok umur, laju pertumbuhan, mortalitas, laju eksploitasi dan Yield per Recruitment. Hasil penelitian diharapkan dapat
digunakan dalam
pengelolaan
sumberdaya perikanan yang berorientasi pada pemanfaatan sumberdaya optimal dan lestari sehingga keberadaan ikan tersebut di alam dapat dipertahankan.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Klasifikasi dan Ciri Morfologi
Klasifikasi ikan tawes menurut Nelson (2006) adalah sebagai berikut : Kelas
Actinopterygii,
Subklas
Neopterygii,
Divisi
Teleostei,
Subdivisi
Ostariclopeomorpha (Otocephala), Superordo Ostariophysi, Ordo Cypriniformes, Superfamili
Cyprinoidea,
Famili
Cyprinidae,
Subfamili
Barbinae,
Genus
Barbonymus, Specific name gonionotus, Spesies Barbonymus gonionotus. Ikan tawes merupakan salah satu ikan asli Indonesia terutama pulau Jawa. Hal ini juga yang menyebabkan tawes memiliki nama ilmiah Puntius javanicus. Namun, berubah menjadi Puntius gonionotus, dan terakhir berubah menjadi Barbonymus gonionotus. Ikan tawes memiliki nama lokal tawes (Indonesia), taweh atau tawas, lampam Jawa (Melayu). Di Danau Sidendreng ikan tawes disebut bale kandea (Amri dan Khairuman, 2008). Ikan tawes termasuk ke dalam famili Cyprinidae seperti ikan mas dan ikan nilem. Bentuk badan agak panjang dan pipih dengan punggung meninggi,kepala kecil, moncong meruncing, mulut kecil terletak pada ujung hidung, sungut sangat kecil atau rudimenter. Di bawah garis rusuk terdapat sisik 5½ buah dan 3-3½ buah di antara garis rusuk dan permulaan sirip perut. Garis rusuknya sempurna berjumlah antara 29-31 buah. Badan berwarna keperakan agak gelap di bagian punggung. Pada moncong terdapat tonjolan-tonjolan yang sangat kecil. Sirip punggung dan sirip ekor berwarna abu-abu atau kekuningan, dan sirip ekor bercagak dalam dengan lobus membulat, sirip dada berwarna kuning dan sirip dubur berwarna oranye terang. Sirip dubur mempunyai 6½ jari-jari bercabang (Kottelat et al., 1993).
3
Sisik dengan struktur beberapa jari-jari sejajar atau melengkung ke ujung, sedikit atau tidak ada proyeksi jari-jari ke samping. Ada tonjolan sangat kecil, memanjang dari tilang mata sampai ke moncong dan dari dahi ke antara mata. Sirip dubur mempunyai 6½ jari-jari bercabang, 3-3½ sisik antara gurat sisi dan awal sirip perut (Kotelat et al., 1993).
Gambar 1. Ikan tawes Barbonymus gonionotus Bleeker,1850 yang tertangkap di perairan Danau Sidenreng, Kabupaten Sidenreng Rappang B. Distribusi dan Habitat Ikan tawes merupakan salah satu ikan asli Indonesia. Ikan tawes dalam habitat aslinya adalah ikan yang berkembang biak di sungai, danau dan rawa – rawa dengan lokasi yang disukai adalah perairan dengan air yang jernih dan terdapat aliran air, mengingat ikan ini memiliki sifat biologis yang membutuhkan banyak oksigen dan hidup di perairan tawar dengan suhu tropis 22 – 28°C, serta pH 7. Ikan ini dapat ditemukan di dasar sungai mengalir pada kedalaman hingga lebih dari 15 m, rawa banjiran dan waduk. Ikan tawes adalah termasuk ikan herbivore atau pemakan tumbuhan(Kotelat et al., 1993).
4
C. Parameter Dinamika Populasi 1. Umur dan Pertumbuhan Umur dan pertumbuhan ikan merupakan parameter dinamika populasi yang mempunyai peran penting dalam pengkajian stok perikanan. Pertumbuhan adalah ukuran panjang atau berat dalam periode waktu tertentu. Pengetahuan mengenai aspek umur dan pertumbuhan dari stok ikan yang sedang dieksploitasi mutlak untuk diteliti agar dapat digunakan sebagai salah satu landasan pertimbangan dalam tindakan pengelolaan stok. Keberhasilan dan masa depan sektor perikanan bergantung pada penambahan individu baru dan komposisi kelas umur stok ikan yang merupakan tujuan sasaran perikanan sepanjang tahun (Biusing, 1987). Ada beberapa indikator yang mempengaruhi pertumbuhan yaitu faktor jumlah dan ukuran makanan yang tersedia, suhu, oksigen terlarut, kualitas air, umur dan ukuran oksigen serta kematangan gonad. Selanjutnya dikatakan pula bahwa ikan-ikan yang berumur mudah lebih cepat pertumbuhan panjangnya dari ikan-ikan yang berumur tua (Effendie, 1997). Secara umum umur dapat ditentukan dengan menghitung jumlah lingkaran pertumbuhan tahunan pada beberapa bagian tubuh yang berkapur (sisik, tulang belakang, otolith) Namun beberapa kasus khususnya, ikan-ikan tropis bagian tubuhnya tidak memberikan hasil yang memuaskan atau sangat sukar dipakai untuk indikasi penentuan umur ikan. Dalam kasus demikian determinasi umur secara tidak langsung yaitu dengan mempelajari distribusi panjang dan penyebaran dalam kelompok umur (Sparre et. al., 1999). Pendugaan pertumbuhan ikan dapat diduga dengan menganalisis data frekuensi panjang atau bobot, dimana pertumbuhan ikan pada setiap umur
5
berbeda. Ikan muda memiliki pertumbuhan yang cepat, sedangkan akan terhenti pada saat mencapai panjang asimptotnya (Nikolsky, 1963). Everthart et al (1975) mengemukakan bahwa terdapat beberapa metode yang
mengestimasi
komposisi
umur
berdasarkan
frekuensi
panjang.
Diantaranya adalah metode Bhattachrya, dimana dasar dari metode ini yaitu pemisahan kelompok umur yang mempunyai distribusi normal, dan masingmasing kelompok umur tersebut mempunyai kohor. Cara lain untuk mengetahui umur ikan dengan menggunakan metode Petersen, yaitu dengan menggunakan frekuensi panjang ikan. Anggapan yang dipakai untuk menggunakan metode ini adalah bahwa ikan satu umur mempunyai tendensi membentuk satu distribusi normal sekitar panjang rata-ratanya. Bila frekuensi panjang tersebut digambar dengan grafik akan membentuk beberapa puncak. Puncak-puncak inilah yang dipakai sebagai tanda kelompok umur ikan tersebut.
Cara ini baik dipakai
apabila ikannya mempunyai masa pemijahan yang pendek, terjadi satu kali dalam satu tahun dan umur ikan tersebut relatif pendek. Untuk ikan lain yang mempunyai
massa
pemijahan
yang
panjang
menyebabkan
terdapat
pertumpukan ukuran umur yang berbeda. Ikan yang pertumbuhannya lambat dari satu kelas umur lebih tinggi, akan bertumpuk
atau
mempunyai
ukuran
yang
sama
dengan
ikan
yang
pertumbuhannya lebih cepat pada umur yang lebih rendah (Sparre et al, 1999). Pertambahan baik dalam bentuk panjang maupun berat biasanya diukur dalam waktu tertentu. Hubungan pertumbuhan dengan waktu bila digambarkan dalam suatu sistem koordinat menghasilkan suatu diagram yang lebih dikenal dengan kurva pertumbuhan (Effendi, 1997). Nilai koefisien laju pertumbuhan akan mempengaruhi komposisi umur, umur ikan, mortalitas alami, pergantian stok, dan daya reproduksi (Nickolsky, 1963). Sparre et al (1999) menyatakan bahwa ikan yang mempunyai koefisien 6
laju pertumbuhan (K) yang tertinggi berarti mempunyai kecepatan pertumbuhan yang tinggi dan biasanya ikan-ikan tersebut memerlukan waktu yang singkat untuk mencapai panjang maksimumnya, sedangkan ikan yang laju koefisiennya rendah, membutuhkan waktu yang lama untuk mencapai panjang maksimumnya, maka cenderung berumur panjang. 2. Mortalitas Mortalitas dapat didefinisikan sebagai jumlah individu yang hilang selama satu interval waktu (Ricker 1975). Dalam Perikanan umunya dibedakan atas dua kelompok yaitu mortalitas alami (M) dan mortalitas penangkapan (F). Mortalitas alami adalah mortalitas yang disebabkan oleh faktor selain penangkapan seperti kanibalisme, predasi, stress pada waktu pemijahan, kelaparan dan umur yang tua. Spesies yang sama biasanya mempunyai kemampuan yang berbeda-beda ini tergantung pada kepadatan predator dan competitor yang mempengaruhinya. Mortalitas alami yang tinggi didapatkan pada organisme yang memiliki nilai koefisien laju pertumbuhan yang besar dan sebaliknya. Mortalitas alami yang rendah akan didapatkan pada organisme yang memiliki nilai laju koefesien pertumbuhan yang kecil (Sparre et al. 1999). Sedangkan mortalitas akibat penangkapan adalah kemungkinan
ikan mati karena penangkapan selama
periode waktu tertentu, dimana semua faktor penyebab kematian berpengaruh terhadap populasi. Effendie
(1997)
mendefenisikan
bahwa
mortalitas
penangkapan
disebabkan kecepatan eksploitasi suatu stok karena kegiatan manusia (penangkapan) selama periode waktu tertentu, dimana semua faktor penyebab kematian berpengaruh terhadap populasi. Sedangkan pengharapan kematian tahunan penyebab alamiah adalah peluang dimana seekor ikan mati oleh proses alamiah selama periode waktu yang diamati (Aziz, 1989). Kematian alami merupakan parameter yang tidak dapat dikontrol dan diamati secara langsung, 7
maka yang perlu dikontrol adalah dua (2) besaran yang berhubungan secara langsung dengan mortalitas penangkapan. Mortalitas total stok ikan di alam didefenisikan sebagai laju penurunan pelimpahan individual
ikan berdasarkan waktu eksponensial.
Umumnya
mortalitas total ikan dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan hubungan yakni Z = F + M, dimana F adalah mortalitas penangkapan dan M adalah mortalitas alami (Beverton dan Holt, 1957 dalam Sparre et al. 1999). Nikolsky (1963) menyatakan bahwa ikan yang memiliki mortalitas tinggi adalah ikan yang mempunyai siklus hidup pendek, pada populasinya hanya terdapat sedikit variasi umur dan pergantian stok yang berjalan relatif cepat serta mempunyai daya produksi yang lebih tinggi. 3. Laju Eksploitasi Ekosistem lingkungan laut dapat berubah dan berfluktuasi akibat kegiatan manusia dan bentuk eksploitasi. Faktor yang mempengaruhi fluktuasi adalah eksternal (perubahan temperatur dan penangkapan) dan faktor internal (predasi, kompetisi, dan migrasi) dapat menyebabkan rekruitmen. Hal ini dapat dicirikan dengan semakin kecilnya ukuran kepiting yang tertangkap dan semakin jauhnya daerah penangkapan. Pada tahun-tahun terakhir ini, sangat banyak dijumpai contoh menurunnya stok berbagai jenis ikan di berbagai wilayah di dunia. Beberapa kemunduran secara jelas disebabkan oleh eksploitasi berlebihan (Nybakken, 1992). Azis (1989) menyatakan bahwa pada stok yang tereksploitasi, maka laju mortalitas total (Z) secara langsung adalah laju mortalitas alaminya (M). Gulland (1971) mengemukakan bahwa laju eksploitasi (E) suatu stok ikan berada pada tingkat maksimum dan lestari (MSY) jika nilai F = M atau laju eksploitasi (E) = 0,5. apabila nilai E lebih besar dari 0,5 dapat dikategorikan lebih
8
tangkap biologis yaitu lebih tangkap pertumbuhan terjadi bersama-sama dengan lebih tangkap recruitmen. Lebih tangkap pertumbuhan yaitu tertangkapnya ikanikan muda yang akan berpotensi sebagai stok sumberdaya perikanan sebelum mereka mencapai ukuran yang pantas untuk ditangkap sedangkan lebih tangkap rekruitmen yaitu bila jumlah ikan-ikan dewasa di dalam stok terlalu banyak dieksploitasi sehingga reproduksi ikan-ikan muda juga berkurang (Pauly, 1984). Gulland (1983) mengemukakan bahwa gejala over eksploitasi dapat ditandai dengan menurunnya hasil tangkapan per upaya penangkapan, semakin kecilnya ukuran ikan yang tertangkap, dan bergesernya fishing ground ke daerah yang lebih jauh dari pantai. Laju eksploitasi menunjukan besarnya tingkat pengusahaan suatu stok perikanan.
Nilai laju eksploitasi diperoleh dari perbandingan antara laju
mortalitas penangkapan dengan nilai laju mortalitas total.
Sedangkan
pendugaan stok (Y/R) merupakan salah satu model yang biasa dipergunakan sebagai dasar bagi strategi pengelolaan perikanan di samping model – model stok rekruitmen dan surplus produksi. Analisa ini sangat diperlukan untuk pengelolaan sumberdaya perikanan, oleh karena model ini memberikan gambaran mengenai pengaruh-pengaruh jangka pendek dan panjang dari tindakan-tindakan yang berbeda (Gulland 1983 dalam Takasihaeng,2004). 4. Yield per Rekruitmen Relatif Model yield per rekruitmen relatif merupakan salah satu model non linear yang disebut juga model analisis rekritmen, dan dikembangkan oleh Beverton dan Holt (1957). Model yield ini lebih mudah dan praktis digunakan karena hanya memerlukan input parameter populasi lebih sedikit jika dibandingkan dengan model (Y/R) yang lainnya (Pauly,1983).
9
Secara sederhana yield diartikan sebagai porsi atau bagian dari populasi yang diambil oleh manusia. Sedangkan rekruitment adalah penambahan anggota baru diikuti oleh suatu kelompok yang dalam perikanan dapat diartikan sebagai penambahan suplai baru yang sudah dapat dieksploitasi diikuti oleh stok lama yang sudah dan sedang dieksploitasi (Effendie 1997). Pendugaan stok yield per recruitment (Y/R) merupakan salah satu model yang biasa digunakan sebagai dasar strategi pengelolaan perikanan disamping model rekruitmen dan surplus produksi. Model (Y/R) menurut Beverton dan Holt lebih mudah dan praktis digunakan karena model tersebut hanya memerlukan input nilai parameter populasi lebih sedikit jika dibandingkan model (Y/R) lainnya (Pauly 1983). Produksi ikan (yield) dipengaruhi oleh dua pengaruh lingkungan yaitu morfometrik dan kondisi-kondisi cuaca. Karakteristik yang berhubungan dengan fisiokimia,
seperti
tingkat
dissolved
oxygen
dan
rata-rata
temperatur.
Karakteristik yang berhubungan dengan biologi seperti jumlah trophic levels dan komposisi-komposisinya.
Karakteristik-karakteristik seperti tersebut di atas
secara kasar dapat digunakan untuk menduga potensi produksi yang dapat dicapai dari suatu populasi ikan yang kompleks (Aziz, 1989). Pengelolaan perikanan meliputi usaha untuk mengatur kematian yang disebabkan
oleh
penangkapan,
mempertinggi
produktivitas
alami
dan
mempercepat pengembangan serta teknologi yang diperlukan untuk mengubah suatu sediaan yang sebelumnya bersifat statis menjadi bermanfaat secara ekonomis. Untuk menjamin hasil tangkapan maksimum, perlu mengatur faktorfaktor yang mempengaruhi pengurangan dan penambahan stok ikan seperti predator, parasit, penyakit, mortalitas alami, dan aktivitas penangkapan yang dilakukan oleh manusia (Nikolsky,1963).
10
III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada tanggal 27 Maret sampai dengan 30 Juni 2011 di Danau Sidenreng, Kabupaten Sidenreng Rappang, Provinsi Sulawesi Selatan. Pengukuran panjang total dan pengamatan tingkat kematangan gonad ikan contoh dilakukan di Laboratorium Biologi Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin. Peta lokasi pengambilan sampel ikan disajikan pada Gambar 2.
T
B S
Maria Ulfa L211 06 044
Gambar 2. Peta lokasi pengambilan sampel ikan tawes Barbonymus gonionotus Bleeker, 1850 di Danau Sidenreng, Kabupaten Sidenreng Rappang
11
B. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat tangkap jaring insang dan bubu untuk menangkap ikan sampel, perahu sebagai alat bantu menangkap ikan di danau, cool box sebagai tempat menyimpan ikan, mistar berketelitian 1 mm digunakan untuk mengukur panjang total ikan, papan preparat digunakan sebagai tempat meletakkan ikan pada saat pengukuran, gunting bedah, pinset, scalpel digunakan untuk membedah ikan dan kamera digital untuk mengambil gambar sampel serta kegiatan di lapangan. Adapun bahan yang digunakan adalah ikan tawes yang diperoleh dari hasil tangkapan nelayan di Danau Sidenreng serta es batu untuk menjaga mutu kesegaran ikan. C. Metode Pengambilan Sampel Pengambilan ikan contoh dilakukan sebanyak enam kali di tempat pendaratan ikan Desa Wette’e Kabupaten Sidrap. Ikan contoh secara keseluruhan diambil dari nelayan, kemudian ikan tersebut dimasukkan ke dalam cool box yang berisi es batu. Ikan sampel dibawa ke Laboratorium Biologi Perikanan. D. Metode Pengukuran dan Pengamatan Sampel di Laboratorium Pengukuran panjang tubuh ikan tawes dimulai dari ujung depan bagian kepala sampai keujung sirip ekor paling belakang dengan menggunakan papan ukur berketelitian 1 mm. Ikan di bedah dengan menggunakan alat bedah (gunting bedah, scalpel, dan pinset), kemudian mengamati jenis kelamin dan TKG (gonad ikan jantan berwarna putih dan ikan betina berwarna merah), maka digunakan klasifikasi TKG ikan nilem (Osteochillus hasseltiil) (Effendi, 1997).
12
Tabel 1.Klasifikasi tingkat kematangan gonad ikan nilem (Osteochillus hasseltiiI) jantan dan betina secara morfologi di Danau Sidenreng, Kabupaten Sidenreng Rappang, Provinsi Sulawesi Selatan (Effendi, 1997). TKG
Jantan
Betina
I
Testis transparan, memanjang seperti benang, ditemukan menempel pada bagian bawah gelembung renang.
Bentuk gonad memanjang seperti benang, menempel pada bagian bawah gelembung renang. Butiran telur pada gonad belum nampak.
II
Warna testis nampak putih seperti susu. Bentuknya lebih jelas dari tingkat I. Terlihat menutupi sebagian kecil dari rongga perut.
Gonad berwarna merah tua, permukaannya halus. Ukuran gonad semakin meningkat dan lebih besar daripada tingkat I dan terlihat menutupi sepertiga dari rongga perut. Butiran telur belum nampak.
III
Permukaan gonad nampak bergerigi, warna semakin putih. Ukuran testis terlihat menutupi sepertiga dari rongga perut.
Sebagian besar gonad berwarna merah tua dan sisanya nampak berwarna merah muda. Gonad menutupi setengah dari rongga perut. Butiran telur yang halus mulai nampak pada bagian pangkal gonad.
IV
Testis semakin jelas, permukaan testis semakin bergerigi. Testis terlihat menutupi sebagian besar dari rongga perut dan terlihat pejal.
Gonad menutupi hampir keseluruhan rongga perut. Seluruh gonad berwarna merah tua. Usus terdesak. Butiran telur semakin jelas.
V
Sebagian testis mengkerut, berwarna putih seperti susu. Ukuran testis semakin kecil.
Gonad mengkerut. Terdapat sisa telur dari tingkat IV yang bercampur dengan butiran telur halus berwarna merah tua. Juga ditemukan butiran telur sisa pada saluran kelamin.
13
E. Analisis Data 1. Kelompok Umur Untuk menduga kelompok umur dalam populasi ikan tawes digunakan metode Bhattacharya (1976), yaitu ikan dibagi ke dalam beberapa kelas panjang. Frekuensi setiap kelas panjang diubah ke dalam perhitungan logaritma kemudian dicari selisih logaritma suatu kelas dengan kelas sebelumnya. Nilai tengah kelas masing-masing kelas panjang (sumbu x) diplotkan terhadap selisih logaritma frekuensi kelas panjang (sumbu y). Titik-titik yang diplotkan akan membentuk garis lurus. Perpotongan garis lurus dengan sumbu x memberikan nilai x (rata-rata panjang individu setiap kelompok umur) nilai x juga dapat dihitung dengan rumus :
X =-
a b
dimana : a = Intercept
b = Slope persamaan garis linear Distribusi frekuensi panjang dari kelompok umur mengikuti distribusi normal. Untuk mendapatkan distribusi frekuensi yang normal, maka frekuensi yang
diamati diubah ke dalam frekuensi yang
dihitung
(Fc) dengan
menggunakan persamaan distribusi normal (Hassel Blad dalam Sparre et al. 1999) yaitu : 2
Fc =
dimana : Fc
n.dl exp s 2π
− ( x − x) 2 S 2
= Frekuensi Calculated
n
= Jumlah ikan
dl
= Interval kelas
S
= Standar deviasi
14
x
= Panjang rata-rata
X
= Tengah kelas panjang total
π
= 3,1415
2. Pendugaan Pertumbuhan Model pertumbuhan yang digunakan adalah model yang dikemukakan oleh Von Bertalanffy (Sparre dan Venema, 1999) dengan persamaan sebagai berikut : Lt = L ∞ (1 − exp dimana : Lt
− K ( t − t0 )
)
= Panjang ikan (cm) pada umur t (tahun)
L∞ = Panjang asimptot ikan (cm) K = Koefisien pertumbuhan (per tahun) to = Umur teoritis ikan pada saat panjangnya sama dengan nol (tahun) t
= Umur ikan (tahun)
Untuk menentukan panjang asimtot ikan (L ∞) dan koefisien laju pertumbuhan (K) digunakan metode Ford dan Walford dalam Sparre dan Venema (1999) yaitu dengan memplotkan L(t + ∆t) dan L(t) dengan persamaan berikut : L(t + ∆t) = a + b. L(t) Setelah mendapatkan persaman regresi dari kedua hubungan kemudian dimasukkan ke dalam persamaan linier yaitu : Y = a + bX dimana : a = L ∞ (1-b)
b = exp (-K. ∆t)
sehingga diperoleh : L∞ =
a 1− b
K =
−1 Ln b ∆t
15
Selanjutnya pendugaan umur teoritis pada saat panjang ikan sama dengan nol (to) digunakan rumus empiris Pauly dalam Sparre et al. (1999) sebagai berikut: log (-to) = -0,3922 – 0,2752 log L∞ - 1,308 log K dimana: L∞ = Panjang asimptot ikan (cm) K = Koefisien pertumbuhan (per tahun) to = Umur teoritis ikan pada saat panjangnya sama dengan nol (tahun) 3. Pendugaan Mortalitas Alami (M) Laju mortalitas alami (M) diduga dengan menggunakan rumus empiris regresi berganda Pauly (1984) dan rumus empiris tentang hubungan M dan Tm50 dari Ricker dan Efanov (1976) dalam Sparre dan Venema (1999). Rumus Ricker dan Efanov (1976) adalah sebagai berikut : M = 1,521 / (Tm 50% 0,720) – 0,155 per tahun dimana: M
= Mortalitas alami (Per Tahun)
Tm (50%) = Umur dimana populasi tersebut 50% matang gonad (per tahun).
4. Pendugaan Mortalitas Total ( Z ) Pendugaan laju kematian total (Z) dianalisis dengan menggunakan metode Beverton dan Holt (Sparre. et al, 1999), dimana formula yang dipergunakan adalah :
L∞ − L L − L'
Z = K
dimana : Z = Laju kematian total ( per tahun) L∞ = Panjang asimptot ikan (cm) K = Koefisien laju pertumbuhan (per Tahun)
L
= Panjang rata-rata ikan yang tertangkap (cm)
16
L' = Batas terkecil dari panjang ikan yang tertangkap secara penuh (cm). 5. Laju Eksploitasi (E) Mortalitas penangkapan diperoleh dengan persamaan Z = F + M, sehingga F = Z – M dan laju eksploitasi (E) diperoleh dengan menggunakan rumus Beverton dan Holt yaitu : E = F/Z, dimana , F = Nilai mortalitas penangkapan Z = Mortalitas total (Sparre dan Venema, 1999).
6. Yield Per Recruitment Diperoleh dengan menggunakan persamaan Baverton dan Holt (Sparre. et al., 1999).
U3 3U 3U 2 Y / R = E.U M / K 1 − + − 1 + m 1 + 2m 1 + 3m dimana : U = 1 −
L' L∞
;
m=
1− E M /K
M = Mortalitas alami (per Tahun)
L' = Batas terkecil dari panjang ikan yang tertangkap secara penuh (cm). L∞ = Panjang asimptot ikan (cm) K = Koefisien laju pertumbuhan (per Tahun)
17
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kelompok Umur Jumlah sampel ikan tawes yang diperoleh selama a penelitian adalah sebanyak 1290 ekor. Hasil analisis dengan menggunakan interval val kelas panjang 3 mm didapatkan 37 kelas ukuran panjang dengan kisaran panjang 92 mm – 203 mm. m. Frekuensi panjang terbesar pada kelas ukuran panjang 140 – 143 mm sebanyak 106 ekor, sedangkan frekuensi panjang terkecil pada kelas ukuran panjang 200 mm – 203 mm sebanyak 3 ekor (Lampiran 1 dan Gambar 3). 120 100 80 Frekuensi
60 40 20 0
Tengah Kelas (TK)
Gambar 3. Histogram frekuensi Hasil Tangkapan dan Frekuensi Teoritis (FC) Ikan Tawes Barbonymus gonionotus Bleeker, 1850 di Danau Sidenreng Kabupaten Sidenreng Rappang, Provinsi Sulawesi Sidenreng, Selatan Berdasarkan hasil analisis Bhattacharya B (dalam Sparre dan Venema, Venema 1999) dengan menggunakan hasil pemetaan selisih selisih logaritma natural frekuensi teoritis terhadap nilai tengah kelas diperoleh dipero tiga kelompok umur relatif ikan tawes.
18
Hubungan antara kisaran panjang, panjang rata-rata dari setiap kelompok dari ikan tawes di Danau Sidenreng, Kabupaten Sidenreng Rappang, Provinsi Sulawesi Selatan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2.Kisaran Panjang,Panjang Rata–rata dan Frekuensi dari Setiap Kelompok Umur dan Umur Relatif pada Ikan Tawes Barbonymus gonionotus Bleeker, 1850 di Danau Sidenreng,Kabupaten Sidenreng Rappang, Provinsi Sulawesi Selatan Kisaran Panjang
Umur Relatif
Rata-rata panjang
Frekuensi
(mm)
(tahun)
(mm)
(Ekor)
92 – 128
1
110
450
128 – 167
2
147,5
612
167 – 203
3
185
228
Pada Tabel 2 terlihat bahwa frekuensi tangkapan tertinggi terdapat pada kelompok umur kedua dengan kisaran panjang 128-167 mm sebanyak 612 ekor, sedangkan frekuensi tangkapan terendah terdapat pada kelompok umur ketiga dengan kisaran panjang 167-203 mm sebanyak 228 ekor. Pada kisaran panjang 92-128 mm yang frekuensinya hampir mendekati frekuensi tangkapan tertinggi yaitu sebanyak 450 ekor. Apabila dilihat dari segi pengelolaannya maka pada ukuran tersebut tidak boleh dilakukan penangkapan karena ikan tawes biasanya melakukan pemijahan. Dari hasil perhitungan pemetaan logaritma panjang total terhadap nilai tengah kelas diperoleh 3 panjang rata – rata dari setiap kelompok umur ikan tawes dengan ukuran panjang masing–masing 110 mm, 147,5 mm, dan 185 mm seperti yang terlihat pada Gambar 4.
19
1.00 0.80 0.60
DELTA Ln FC
0.40
L3 = 181,8684
0.20 0.00 -0.20 0
50
100
150
200
250
-0.40 -0.60 -0.80 -1.00 -1.20
L1 = 109,2267 L2 = 147,8676 Tengah Kelas (TK)
Gambar 4. Estimasi Garis Regresi Kohor 1,2 dan 3 Ikan Tawes Barbonymus gonionotus Bleeker, 1850 di Danau Sidenreng, Kabupaten Sidenreng Rappang, Provinsi Sulawesi Selatan B.Pertumbuhan Perhitungan menggunakan metode Ford – Walford (Sparre dan Venema 1999), diperoleh nilai panjang maksimum (L ∞ ) ikan tawes 431,007 mm dan koefisien laju pertumbuhan (K) sebesar 0,1 per tahun. Dari persamaan Pauly (1983), dengan memasukkan nilai parameter panjang asimptot ikan tawes (L ∞ ) dan laju koefisien pertumbuhan dari ikan tawes (K) sehingga diperoleh nilai to = 0,6453 tahun. Ikan tawes mempunyai laju pertumbuhan (K) yang rendah karena berada di bawah 0,5 per tahun yaitu sebesar 0,1 per tahun dan nilai panjang maksimum (L ∞ ) sebesar 431,007 mm sehingga memerlukan waktu yang lama yaitu pada umur 118 tahun untuk mencapai panjang maksimumnya (Lampiran 6). Hal ini sesuai dengan pernyataan Sparre dan Venema (1999) bahwa ikan – ikan yang memiliki panjang total yang besar, cenderung berumur panjang dan memiliki koefisien laju pertumbuhan yang rendah dan sebaliknya. Nilai K, L ∞ , dan to tersebut dengan menggunakan persamaan Von Bertalanffy diperoleh persamaan pertumbuhan ikan tawes sebagai berikut :
20
Lt = 431,007 (1 - e -0,1(t – (- 0,6453))) Berdasarkan persamaan pertumbuhan di atas maka dapat diketahui panjang ikan tawes dari berbagai umur relatif, sehingga dapat dihitung pertambahan panjang ikan tawes untuk setiap tahunnya hingga mencapai panjang asimptotnya (Gambar 5 dan Lampiran 6). 500.0 450.0 400.0
L∞= 431,007
Panjang (mm)
350.0 300.0 250.0 200.0 150.0 100.0 50.0 0.0 -5.00
5.00
15.00
25.00
35.00
45.00
55.00
Umur (tahun) Gambar 5. Kurva Pertumbuhan Ikan Tawes Barbonymus gonionotus Bleeker, 1850 di Danau Sidenreng Kabupaten Sidenreng Rappang, Provinsi Sulawesi Selatan Gambar 5 dan Lampiran 6 menunjukkan bahwa ikan tawes pada fase awal dari hidupnya mengalami pertumbuhan cepat dan akan diikuti pertumbuhan yang lambat pada umur tua hal ini sesuai dengan pernyataan Effendie (1997) yang menyatakan bahwa ikan-ikan yang berumur muda akan memiliki pertumbuhan yang relatif cepat sedang ikan-ikan dewasa akan semakin lambat untuk mencapai panjang asimptotnya. Hal ini disebabkan karena energi yang didapatkan dari makanan tidak lagi dipergunakan untuk pertumbuhan melainkan dipergunakan untuk mengganti sel-sel tubuh yang rusak. Azis (1989) mengemukakan bahwa panjang badan terhadap waktu memperlihatkan suatu level yang seragam dengan laju pertumbuhan pada permulaan, selanjutnya menurun menuju panjang maksimum teoritis atau panjang asimptotnya.
21
C. Mortalitas Hasil analisis perhitungan mortalitas alami, total dan penangkapan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3.Nilai Dugaan Mortalitas Alami, Mortalitas Total dan Mortalitas Penangkapan Ikan Tawes Barbonymus gonionotus Bleeker, 1850 di Danau Sidenreng, Kabupaten Sidenreng Rappang, Provinsi Sulawesi Selatan Parameter Populasi
Nilai Dugaan (per tahun)
Mortalitas Alami (M)
0,38
Mortalitas Total (Z)
73,08
Mortalits Penangkapan (F)
72,69
Tabel 3 terlihat bahwa perbandingan antara nilai mortalitas alami (M) dan mortalitas penangkapan (F) yang menunjukan bahwa perairan Danau Sidenreng sedang mengalami tekanan penangkapan yang cukup besar sehingga dapat mengakibatkan penurunan jumlah stok ikan daam hal ini stok ikan tawes, karena nilai mortalitas penangkapan lebih besar (72,69 per tahun) dari pada mortalitas alami (0,38 per tahun). Hal ini menunjukkan bahwa kematian ikan tawes di sekitar perairan Danau Sidenreng umumnya disebabkan oleh faktor tingginya frekuensi penangkapan terhadap ikan tawes tersebut. Ini dibuktikan dari hasil pengamatan langsung di lapangan bahwa di Danau Sidenreng terdapat banyak nelayan penangkap tawes dengan menggunakan alat tangkap yang tidak selektif. Kondisi demikian juga sesuai dengan hasil wawancara dengan pemerintah dan nelayan setempat yang menyatakan bahwa adanya over eksploitasi terhadap ikan tawes disebabkan oleh penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan yaitu dengan menggunakan strom yang tidak hanya merusak populasi terhadap ikan tawes itu saja tetapi populasi ikan – ikan yang lain.
22
Menurut Sparre dan Venema, 1999 besarnya kematian karena faktor penangkapan disebabkan oleh : a) Banyaknya usaha yang bergerak di bidang penangkapan terutama yang menggunakan alat tangkap yang bergerak di bidang usaha penangkapan ikan tawes. b) Tidak adanya pembatasan daerah operasional. c) Kurangnya sosialisasi dari pihak pemerintah setempat atau instansi terkait kepada pihak nelayan untuk memberi pemahaman tentang pentingnya kelestarian sumberdaya ikan. d) Tidak adanya peraturan yang mengatur tentang ukuran ikan yang boleh ditangkap dan boleh dipasarkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Nessa (1986) bahwa jika penangkapan dilakukan secara terus menerus untuk memenuhi permintaan konsumen tanpa adanya suatu usaha pengaturan, maka sumberdaya ikan dalam kurun waktu tertentu dapat mengalami kelebihan tangkapan dan berakibat terganggunya kelestarian sumberdaya. Sedangkan kematian alami disebabkan oleh berbagai faktor antara lain karena predasi, penyakit, stres pada waktu pemijahan, kelaparan dan usia tua ( Sparre dan Venema 1999). D. Laju Eksploitasi Hasil perhitungan menggunakan rumus Beverton dan Holt diperoleh nilai laju eksploitasi yang tampak pada Gambar 6.
23
0.0100
Eopt = 0,65
0.0090 0.0080
Eskr = 0,99
0.0070
Y/R
0.0060 0.0050 0.0040 0.0030 0.0020 0.0010 0.0000 0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
Laju Eksploitasi Gambar 6. Kurva Hubungan Yield per Rekruitment Relatif (Y/R’) Terhadap Nilai Laju Eksploitasi (E) Ikan Tawes Barbonymus gonionotus Bleeker, 1850 di Danau Sidenreng, Kabupaten Sidenreng Rappang, Provinsi Sulawesi Selatan Gambar 6 terlihat bahwa nilai laju eksploitasi yang diperoleh sebesar 0,99 per tahun, ini berarti bahwa populasi ikan tawes di Danau Sidenreng dapat dikategorikan telah berada pada tingkat over eksploitasi (kelebihan upaya penangkapan) karena nilai laju eksploitasi saat ini (E) lebih besar dari nilai eksploitasi optimum yaitu sebesar 0,65 per tahun. Hal ini sesuai dengan pendapat Guland (1983) bahwa laju eksploitasi suatu stok ikan berada pada tingkat maksimum dan lestari jika nilai F=M atau laju eksploitasi sama dengan 0,65 per tahun yang berarti ikan tersebut berada pada tingkat eksploitasi maksimum. Kondisi ini didukung oleh data mortalitas yang diperoleh bahwa adanya over eksploitasi terhadap ikan tawes disebabkan karena nilai mortalitas penangkapan yang tinggi dibandingkan dengan nilai mortalitas alaminya. E. Yield Per Recruitment Nilai parameter populasi Yield per Recruitment ditransformasikan ke dalam persamaan Beverton dan Holt maka diperoleh besarnya nilai populasi
24
yang diambil oleh nelayan per nilai penambahan suplai baru ikan tawes (Tabel 4 dan Tabel 5) Tabel 4.Nilai Dugaan Parameter yang digunakan Sebagai Masukan Pada Analisis Yield Per Rekruitmen (Y/R) Ikan Tawes Barbonymus gonionotus Bleeker, 1850 di Danau Sidenreng, Kabupaten Sidenreng Rappang, Provinsi Sulawesi Selatan Parameter Populasi Koefisien Laju Pertumbuhan (K)
Nilai Dugaan 0,1
Mortalitas Total (Z)
73,0772
Mortalitas Alami (M)
0,3789
Mortalitas Penangkapan (F)
72,6983
Laju Eksploitasi (E)
0,9948
Panjang Asimptot (L ∞ )
431,007
Yield per Recruitment (Y/R)
0,0078
Tabel 5. Yield Per Rekruitmen (Y/R) Optimal Pada Level EMSY Dari Stok Ikan Tawes Barbonymus gonionotus Bleeker, 1850 di Danau Sidenreng, Kabupaten Sidenreng Rappang, Provinsi Sulawesi Selatan Parameter
Nilai Dugaan
E skrg (per tahun)
0,9948
Y/R skrg (gram per rekrut)
0,0078
EMSY (per tahun)
0,65
Y/R optimal (gram per rekrut)
0,0087
Laju eksploitasi (E) ikan tawes yang diperoleh saat ini sebesar 0,99 per tahun dengan nilai Yield per Recruitment sebesar 0,0087 gram per rekrut. Nilai ini menunjukkan bahwa populasi ikan tawes di Danau Sidenreng dapat dikategorikan sedang mengalami over eksploitasi karena telah melampaui nilai optimumnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penangkapan ikan tawes telah melewati nilai lestari, dan apabila dilakukan penangkapan secara terus menerus maka stok ikan tersebut akan semakin berkurang
bahkan akan
mengalami kepunahan.
25
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa stok ikan tawes (Barbonymus gonionotus, Bleeker, 1850) di Danau Sidenreng, Kabupaten Sidenreng Rappang terdiri dari 3 kohor. Kohor 1, 2 dan 3 dengan kisaran panjang total berturut-turut 92-128 mm, 128-167 mm, dan 167-203 mm. Ikan tawes yang diteliti tergolong ikan dengan laju pertumbuhan lambat sebesar 0,1 per tahun. Untuk mencapai panjang asimptotik membutuhkan waktu yang lama yaitu pada umur 118 tahun (L ∞ = 431,007 mm). Mortalitas penangkapan (F = 72,69 per tahun) lebih tinggi dari mortalitas alami (M = 0,38 per tahun). Laju eksploitasi saat ini (E = 0,9948 per tahun) jauh lebih tinggi dari laju eksploitasi optimal (EMSY = 0,65 per tahun), sehingga dapat dinyatakan bahwa ikan tawes yang diteliti telah mengalami over eksploitasi. Yield per Recruitment saat ini (Y/R = 0,0078 gram/rekrut) jauh lebih rendah dari Yield per Recruitment pada level MSY (0,0087 gram/rekrut). B. Saran Mengacu pada hasil penelitian yang diperoleh bahwa stok ikan tawes telah mengalami over eksploitasi maka perlu ditetapkan suatu kebijakan penurunan jumlah upaya penangkapan dan meningkatkan ukuran ikan yang boleh ditangkap maupun pengawasan terhadap penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan.
26
DAFTAR PUSTAKA
Amri dan Khairuman. 2008. Buku Pintar Budidaya 15 Ikan Konsumsi. Agromedia. Jakarta. Aziz, K.A. 1989. Bahan Pengajaran Dinamika Populasi Ikan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dirjen Dikti. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Bhattacharya, C. G. 1976. A Simple Method of Resolution, A Distribution In To Gaussion Componen. Biometris 23. Biusing, E. R. 1987. Dinamika Populasi dan Aspek Biologi Reproduksi Stok Ikan Kembung Ikan Lelaki (Rastrelliger kanagurta Cuvier, 1987) DiSekitar Perairan Laut Pantai Timur Selatan Negeri Salah Satu Kesatuan Negara Malaysia. Karya Ilmiah Jurusan Manajemen Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Dinas
Peternakan dan Perikanan Kabupaten 2005.Laporan tahunan Perikanan Kab. Pangkajene-Sidrap. 40 hal
Sidendreng Sidendreng
Rappang. Rappang.
Effendi. 1997. Metode Biologi Perikanan, Bagian Perikanan, Bagian I. Yayasan Dwi Sri Institut Pertanian Bogor. Bogor. Everhart,W. H. A. W. Eipper And W. D. Youngs. 1975. Principle Of Fishery Science Coemell Univ. Press. Gulland. 1971. The Fish Resources Of The Ocean. West Byfleet, Surrey, Fishing News (Books), Ltd.,for FAO. Kottelat, M., J. A. Whitten., N. S. Kartikasari and S. Wirjoatmodjo, 1993. Freshwater Fishes of Western Indonesia and Sulawesi. Dalhousie University. Canada. Muthmainnah. D. 2008. Ikan Tawes Barnoides gonionotus. www.brppu.com. (diakses tanggal 20 Januari 2011) Nelson S. Josep, 2006. Fishes of the World, Wiley, Canada. Nikolsky, G. V. 1963 The Ecology of Fishes. Academic Press. London Muthmainnah. D. 2008. Ikan Tawes Barnoides gonionotu. www.brppu.com. (diakses tanggal 20 mei 2010) Nugroho. J. S. 2006. Optimalisasi Pemanfaatan Ikan Pepetek (Leiognathus sp.) dan Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) Untuk Substitusi Parsial Tepung Terigu Dalam Pembuatan Biskuit. IPB. Bogor. Pauly, D. 1983. A. Selection of Sample Method for Assessment Tropical Fish Stock. Fao Fish Tech. New York.
27
Ricker, W. E. 1975. Computation And Interpretation of Biological Statistic of Fish Populations. Bull. Fish. Res. Board Can. Sparre, P. E S C. Venema. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Buku IManual. FAO Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsabangsa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Jakarta. Hal 438. Whitten, A.J., M. Mustafa dan G.S Henderson. 1987. Ekologi Sulawesi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 844 hal.
28