I SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN

Download Hasil: dalam penelitian faktor-faktor penyebab pasien tuberculosis putus obat, ini didapatkan tiga ..... pernah sembuh dan bekas TB Paru ya...

0 downloads 511 Views 790KB Size
SKRIPSI

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYEBAB PUTUS OBAT PASIEN TUBECULOSIS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS JONGAYA MAKASSAR

Oleh : DG. JIKANANG NIM. C 121 09 575

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2010

i

HALAMAN PERSETUJUAN

SKRIPSI

“FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYEBAB PUTUS OBAT PASIEN TUBECULOSIS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS JONGAYA MAKASSAR”

Proposal ini disetujui untuk diajukan pada seminar proposal

Pembimbing I

Abd Majid, S.Kep, Ns, Sp.KMB

Pembimbing II

Inchi Kurniaty Kusri, S.Kep, Ns

Mengetahui, Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

DR. Dr. Ilhamjaya A.Petellongi, M.Kes Nip. 195801281989031002

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI STUDI KUALITATIF “FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PUTUS OBAT PASIEN TUBERCULOSIS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS JONGAYA MAKASSAR“ Diajukan Oleh : DG JIKANANG C 121 09 575 Skripsi ini disetujui untuk diajukan pada Dewan penguji skripsi pada :

Hari Tanggal Tempat

: Selasa : 22 Februari 2011 : Ruangan Rapat Bersama PSIK Unhas

Tim Penguji :

1. Kusrini Kadar, SKp, MN

(……………………………)

2. Meisje Utama, S.Kep, Ns, M.Kes

(……………………………)

Tim Pembimbing 1. Abd Majid, S,Kep, Ns, M.Kep, Sp.KMB

(……………………………)

2. Inchi Kurniaty Kusri, S.Kep, Ns

(……………………………)

ABSTRAK Dg. Jikanag C121009575, “FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYEBAB PUTUS OBAT PASIEN TUBERCULOSIS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS JONGAYA MAKASSAR” yang dibimbing oleh Abd Majid dan Inchi Kurniaty Kusri. Latar belakang: Banyak faktor yang menyebabkan penderita TB paru putus obat, salah satunya adalah pengetahuan yang tidak cukup mengenai penyakit TB paru, cara pengobatan dan bahaya akibat berobat tidak adekuat, dengan pemberian obat anti tuberculosis (OAT) selama 6-8 bulan, melihat lamanya pengobatan TB paru, maka diperlukan kepatuhan pasien TB paru untuk teratur mengikuti pengobatan hingga tuntas. Pengobatan yang tidak teratur dan kobinasi obat yang tidak cukup menyebabkan timbulnya resistensi kuman TB paru terhadap OAT. Kondisi ini menyebabkan pasien harus mengulang kembali pengobatan OAT dari awal dengan biaya yang lebih mahal yang hasilnya belum tentu memuaskan. Metode: Jenis penelitian ini adalah kualitatif, desain penelitian ini dengan pendekatan fenomenologi, teknik pengambilan sampel Purposive sampling, dengan jumlah informan lima orang. Instrumen penelitian ini peneliti sendiri dengan memggunakan alat perekam tape recorde. Tujuan Penelitian: Diperolehnya pemahaman yang mendalam mengenai factor-faktor yang berhubungan dengan penyebab putus obat pada penderita TB pau di wilayah kerja Puskesmas Jongaya Makassar. Hasil: dalam penelitian faktor-faktor penyebab pasien tuberculosis putus obat, ini didapatkan tiga tema yaitu: 1). Respon pasien yang menjalani pengobatan kembali. 2). Hubungan sosial. 3) Persepsi pasien yang menjalani pengobatan kembali. Kesimpulan: dari lima informan semuanya tidak patuh menjalani pengobatan sebelumnya, sedangkan faktor eksernal terdiri dari dikungan keluarga, petugas kesehatan dan biaya, hubungan sosial pasien tuberculosis dengan lingkungan sekitar, teman kerja, dan hubungan dengan keluarga, dua informan mendapatkan perhatian dari keluarga, tiga informan dalam hubungan sosial dengan keluarga, lingkungan sekitar, dan teman kerja sangat baik dan tidak ada perubahan setelah pasien menderita penyakit tuberculosis dan persepsi pasien sebelum menjalani pengobatan kembali, tiga informan mengatakatan bahwa penyakitnya tambah parah, persepsi pasien setelah menjalani kembali pengobatan yang diunkapkan lima informan menunjukkan persepsi yang adaptif. Saran: bagi pasien tuberculosis, meningkatkan pengetahuan tentang dampak bagi dirinya jika tidak patuh minum obat, sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan. Bagi pelayanan kesehatan khususnya perawat lebih meningkatkan lagi pelayanan kesehatan bagi pasien tuberculosis dengan melalui penyuluhan kesehatan. Bagi penentu kebijakan tetap memprogramkan pengobatan gratis. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan adanya penelitian lebih lanjut dan diperlukan pemahaman secara mendalam mengenai penelitian kualitatif, baik tekhnik wawancara, maupun dalam menentukan hasil analisa data dan pebhasan, sehngga penelitian yang dilakukan dapat lebih baik.

Kata kunci : Penyebab putus obat, Pasien Tuberculosis. Daftar Pustaka : (2005-2010)

KATA PENGANTAR

Tiada kata yang patut di ucapkan selain syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan rahmat dan taufik-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Berbagai hambatan dan kesulitan saya temui dalam proses penyusunan ini, namun berkat usaha dan kerja keras serta bimbingan dan arahan dari berbagai pihak pada akhirnya skripsi ini dapat di selesaikan walaupun masih jauh dari apa yang diharapkan. Dengan

segala

kerendahan

hati,

melalui

kesempatan

ini

kami

menyampaikan rasa terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. dr. Idrus A. Paturusi, SpB, SpBO, selaku Rektor Universitas Hasanuddin Makassar. 2. Dr.dr. Ilhamjaya Patellongi, M.Kes. selaku Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar. 3. Abd Majid S.Kep,Ns, Sp.KMB Selaku Pembimbing I dan Inchi Kurniaty Kusri, S.Kep,Ns. Selaku Pembimbing II dalam penyusunan Skripsi ini. 4. Kurini Kadar, SKp, MN. sebagai penguji I yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan. 5. Meisje Utama, S.Kep, Ns, M.Kes. sebagai penguji II yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan.

6. Seluruh Dosen dan Staf Program Studi Ilmu Keperawatan yang telah memberi bantuan dan bimbingan selama peneliti mengikuti pendidikan. 7. Kepala Puskesmas Jongaya beserta Staf yang telah memberikan izin kepada penulis untuk mengadakan penelitian. 8. Suami dan anak-anak tersayang yang telah memberikan motivasi selama mengikuti pendidikan. 9. Seluruh rekan mahasiswa PSIK Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar. Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan, Untuk itu segala saran dan masukan sangat peneliti harapkan, disamping itu peneliti berharap semoga hasil penelitian ini bermanfaat untuk meningkatkan mutu pelayanan keperawatan dan berguna bagi tenaga kesehatan khususnya bagi tenaga Keperawatan.

Makassar,

Februari, 2011

Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...........................................................................................

i

HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................

ii

HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................

iii

ABSTRAK .......................................................................................................... iv KATA PENGANTAR .........................................................................................

v

DAFTAR ISI ....................................................................................................... vii DAFTAR GAMBAR.............................................................................................. ix DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................................... BAB I

x

PENDAHULUAN A. Latar Belakang ........................................................................

1

B. Rumusan Masalah ...................................................................

4

C. Tujuan Penelitian ....................................................................

5

D. Manfaat Penelitian...................................................................

5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang TB Paru ........................................... B. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan minum obat

6 17

BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian .............................................................

28

B. Tempat dan Waktu ..................................................................

29

C. Populasi dan Sampel ...............................................................

29

D. Instrumen dan Pengumpulan Data.............................................

31

E. Analisa Data...............................................................................

32

F. Alur Penelitian ........................................................................

34

G. Keabsahan Data dan Pengujian Validasi, Rehabitas penelitian Kualitatif................................................................................... .

35

H. Etika Penelitian .......................................................................

37

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil penelitian…………………………………………………

39

1.Krakteristik informan…………………………………………

39

2.Analisa Tema…………………………………………………

40

3.Interpretasi Data……………………………………………..

47

B. Keterbatasan Penelitian………………………………………..

51

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN .......................................................................

52

B. SARAN ...................................................................................

53

LAMPIRAN DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1

Alur penelitian………………………………………………

34

Gambar 4.1

Respon pasien yang menjalani pengobatan kembali……….

41

Gambar 4.3

Hubungan social……………………………………………

45

Gambar 4.4

Persepsi pasien menjalani pengobatan kembali…………….

46

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1

Penjelasan penelitian

Lampiran 2

Persetujuan menjadi partisipan

Lampiran 3

Pedoman wawancara

Lampiran 4

Transkip wawancara

Lampiran 5

Matriks hasil wawancara

Lampiran 6

Surat izin penelitian dari PSIK Unhas, Gubernuran, Dinas Kesehatan Kotamadya.

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG Penyakit Tuberculosis (TB) telah menjadi masalah dunia karena telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia dan masih merupakan problem kesehatan masyarakat terutama di negara-negara berkembang. Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO), Mycobacterium Tuberculosis menginfeksi sepertiga penduduk dunia, dengan kematian 3 juta orang per tahun dimana 40% dari penyakit TB paru di dunia, berada di kawasan Asia Tenggara selain itu 80% penderita adalah mereka dalam usia produktif dan diperkirakan meningkat dengan adanya krisis ekonomi yang berkepanjangan, kekurangan pangan dan gizi (Nurdewati, 2005). Di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 1995, didapatkan bahwa tuberculosis

merupakan

penyebab

kematian

ketiga

setelah

penyakit

kardiovaskuler dan penyakit paru lainnya, dan penyebab kematian nomor satu dari kasus infeksi, Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI, 2008). Program

Pemberantasan

Tuberculosis

(P2TB)

yang

telah

dilaksanakan oleh pemerintah sejak Pelita I tahun 1969, bahkan sejak tahun 1980 telah dilaksanakan pemberian obat anti tuberkulosis dalam bentuk paket secara cuma-cuma bagi masyarakat. Tetapi dalam pelaksanaannya menunjukkan

masih banyak ditemukannya penderita yang tidak teratur berobat sehingga sampai akhir Pelita V belum mencapai hasil akhir yang baik (Depkes, 2005). Kebijakan lain yang ditempuh Pemerintah adalah DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) atas rekomendasi WHO untuk menurunkan angka Prevalensi TB paru karena beberapa negara yang menggunakan strategi DOTS tersebut ternyata berhasil dalam pemberantasan penyakit tuberculosis (Hudoyo, 2005). Efek dari strategi ini secara signifikan berhasil meningkatkan angka kesembuhan/cure rate sampai dengan 80%. Upaya pemberantasan penyakit

TB paru

ditujukan melalui

memberikan penyuluhan tentang penyakit TB paru, pengobatan yang teratur sesuai dengan prosedur, sehingga pengobatan penyakit TB paru untuk membasmi kuman Mycobacterium Tuberculosis meskipun memerlukan waktu yang cukup lama. Dengan upaya tersebut diharapkan bahwa penularan dapat dikurangi (Adin, 2005). Di Sulawesi Selatan, menurut laporan Dinas Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2&PL) Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Selatan, sampai dengan triwulan IV tahun 2009, Case Detection Rate (CDR) sebesar 69,55%, Convertion Rate 93%, jumlah pasien BTA (-), rotgen (+) sebanyak 1548, DO=165 orang, kasus baru sebanyak 6.428 orang, DO=379, tahun 2010 pada periode yang sama terjadi peningkatan baik jumlah suspek, kasus baru (Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru Sulawesi Selatan (BP4, 2007).

Menurut Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Selatan (2002) dalam Baucaya (2008) yang menyatakan bahwa penyakit TB paru adalah penyakit yang sangat perlu mendapat perhatian untuk ditanggulangi, dan penderita merupakan sasaran utama dalam pengobatan oleh karena itu peran serta keluarga sangat penting untuk penyembuhan penderita TB paru, karena keluarga merupakan sistem pendukung yang terdekat bagi penderita TB paru. Banyak faktor yang menyebabkan penderita TB paru putus obat, salah satunya adalah pengetahuan yang tidak cukup mengenai penyakit TB paru, cara pengobatan dan bahaya akibat berobat tidak adekuat, dengan pemberian obat anti tuberculosis (OAT) selama 6-8 bulan, melihat lamanya pengobatan TB paru, maka diperlukan kepatuhan pasien TB paru untuk teratur mengikuti pengobatan hingga tuntas. Pengobatan yang tidak teratur dan kobinasi obat yang tidak cukup menyebabkan timbulnya resistensi kuman TB paru terhadap OAT. Kondisi ini menyebabkan pasien harus mengulang kembali pengobatan OAT dari awal dengan biaya yang lebih mahal yang hasilnya belum tentu memuaskan. Dan masih merupakan salah satu masalah kesehatan di Indonesia, hal ini dikarenakan masih tingginya angka putus obat (drop out), dikategorikan sebagai pasein default adalah pasien TB paru yang putus obat selama 2 bulan atau lebih, kemudian dinyatakan masih sakit TB paru dengan hasil BTA positif, salah satu penyebabnya adalah masalah perilaku penderita. Pada studi pendahuluan yang dilakukan di puskesmas Jongaya Makassar pada bagian penanggulan penyakit menular (P2M) berdasarkan data penderita yang ada menyebutkan jumlah penderita TB paru yang putus obat selama

periode 2009 sampai dengan 2010 adalah sebagai berikut: tahun 2009 sebanyak 8 orang, tahun 2010 sebanyak 8 orang dan penderita TB paru putus obat yang sementara pengobatan sebanyak 7 orang Dari uraian di atas maka penulis tertarik untuk meneliti “faktorfaktor yang berhubungan dengan penyebab putus obat pasien tubeculosis di wilayah kerja Puskesmas Jongaya Makassar”.

B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini adalah “faktor-faktor apakah yang berhubungan dengan penyebab putus obat penderita TB paru di wilayah kerja Puskesmas Jongaya Makassar.

C. TUJUAN PENELITIAN Diperolehnya pemahaman yang mendalam mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan penyebab putus obat pada penderita TB paru di wilayah kerja Puskesmas Jongaya Makassar. D. MANFAAT PENELITIAN. 1. Bagi institusi pelayanan kesehatan Hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi kepada puskesmas Jongaya Makassar mengenai faktor penyebab putus obat penderita TB paru. 2. Bagi institusi pendidikan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat

menambah khasanah Ilmu

pengetahuan dan menjadi salah satu acuan bagi penelitian selanjutnya.

3. Bagi peneliti Merupakan suatu pengalaman yang sangat berharga dalam memperluas wawasan pengetahuan tentang beberapa kiat dalam memotivasi penderita TB paru untuk tidak putus obat melalui penelitian yang dilaksanakan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.

A. Tinjauan Umum tentang Penyakit TB Paru. 1. Pengertian Tuberculosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium Tuberculosis. Umumnya menyerang daerah paruparu dan beberapa jaringan dalam tubuh

yang sifatnya menahun.

Tuberkulosis Paru merupakan penyakit gangguan pernafasan yang dikategorikan sebagai penyakit menular, dan merupakan penyakit infeksi yang umumnya menimbulkan gejala yang sangat bervariasi pada masingmasing penderita (Arif, 2006). Departemen Kesehatan Rebublik Indonesia (Depkes RI, 2005) mendefisikan tuberculosis adalah suatu penyakit menular yang sebagian besar disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Kuman tersebut biasanya masuk ke dalam tubuh manusia dari penderita TB paru dengan BTA positif menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Kemudian kuman tersebut menyebar dari paru ke bagian tubuh lainya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limpe, melalui saluran napas (bronchus) atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. Dalam pemberantasan penyakit TB paru, ada 2 klasifikasi, yaitu:

a. Tuberculosis Paru Tuberculosis paru merupakan bentuk paling sering dijumpai sekitar 80 % dari semua penderita. Tuberculosis yang menyerang jaringan paru ini merupakan satu-satunya bentuk dari tuberkulosis yang mudah menular. b. Tuberculosis Ekstra Paru Merupakan tuberculosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, pleura, kelenjar lymfe, persendian, tulang belakang, saluran kencing, susunan saraf dan perut. Sebenarnya tuberkulosis dapat menyerang semua organ dari tubuh (Depkes RI, 2005). 2. Manifestasi klinik Tuberculosis sering dijuluki the great imitator yaitu suatu penyakit yang mempunyai banyak kemiripan dengan penyakit lain yang juga memberikan gejala umum seperti lemah dan demam. Pada sejumlah penderita gejala yang timbul tidak jelas sehingga diabaikan bahkan kadang-kadang asimtomatik (Aditama, 2005). Gambaran klinik tuberculosis paru dapat dibagi menjadi 2 golongan, gejala respiratorik dan gejala sistemik menurut Aditama (2005) sebagai berikut

:

a. Gejala respiratorik, meliputi: 1)Batuk

a) Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling sering dikeluhkan. Mula-mula bersifat non produktif kemudian berdahak bahkan bercampur darah bila sudah ada kerusakan jaringan.

b) Batuk darah Darah yang dikeluarkan dalam dahak bervariasi, mungkin tampak berupa garis atau bercak-bercak darak, gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah sangat banyak. Batuk darak terjadi karena pecahnya pembuluh darah. Berat ringannya batuk darah tergantung dari besar kecilnya pembuluh darah yang pecah.

c) Sesak napas Gejala ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah luas atau karena ada hal-hal yang menyertai seperti efusi pleura, pneumothorax, anemia dan lain-lain. d) Nyeri dada Nyeri dada pada tuberculosis termasuk nyeri pleuritik yang ringan. Gejala ini timbul apabila sistem persarapan di pleura terkena. 2)Gejala sistemik, meliputi

Demam, merupakan gejala yang sering dijumpai biasanya timbul pada sore dan malam hari mirip demam influenza, hilang timbul dan makin lama makin panjang serangannya sedang masa bebas serangan makin pendek (Arif, 2006). 3)Gejala sistemik lain

Gejala sistemik lain ialah keringat malam, anoreksia, penurunan berat badan serta malaise. Timbulnya gejala biasanya gradual dalam

beberapa minggu-bulan, akan tetapi penampilan akut dengan batuk, panas, sesak napas walaupun jarang dan dapat juga timbul menyerupai gejala pneumonia (Helena, 2010). b. Gejala klinis

Menurut Waspadji (2005), kita harus memastikan bahwa perdarahan dari nasofaring dengan cara membedakan ciri-ciri sebagai berikut : 1) Batuk darah

a) Darah dibatukkan dengan rasa panas di tenggorokan b) Darah berbuih bercampur udara c) Darah segar berwarna merah muda d) Darah bersifat alkalis e) Anemia kadang-kadang terjadi 2) Muntah darah

a) Darah dimuntahkan dengan rasa mual b) Darah bercampur sisa makanan c) Darah berwarna hitam karena bercampur asam lambung d) Darah bersifat asam e) Anemia seriang terjadi f) Benzidin test positif 3) Epistaksis

a) Darah menetes dari hidung b) Batuk pelan kadang keluar

c) Darah berwarna merah segar d) Darah bersifat alkalis e) Anemia jarang terjadi 3. Etiologi Penyebab tuberculosis adalah Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman berbentuk batang. Spesies mycobacterium lain yang memberikan infeksi pada manusia, adalah M. Bovis, M. Kansasii, M. Intracellulare. Sebagian besar terdiri dari asam lemak. hal inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam dan tahan terhadap perubahan kimia dan fisik. Sifatnya dapat bertahan hidup pada udara kering maupun dingin (dormant) yang suatu waktu dapat aktif kembali pada waktu tertentu dalam jaringan kuman hidup parasit intraseluler yakni dalam sitoplasma makrofag. Sifat lainnya aerob dimana kuman menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya, dan bagian apikal dari parulah merupakan tempat predileksi terbanyak penyakit tuberkulosis ini (Helena, 2010). 4. Patogenesisi Tuberculosis tergolong airborne disease yakni penularan melalui droplet nuclei yang dikeluarkan ke udara oleh individu terinfeksi, dalam fase aktif. Setiap kali penderita ini batuk dapat mengeluarkan 3000 droplet nuclei. Penularan umumnya terjadi di dalam ruangan dimana droplet nuclei dan dapat tinggal di udara dalam waktu 9 jam lebih lama. Di bawah sinar matahari langsung basil tuberkel mati dengan cepat tetapi dalam ruang yang gelap lembab dapat bertahan sampai beberapa jam. Dua faktor penentu

keberhasilan pemaparan TB paru pada individu baru yakni konsentrasi droplet nuclei dalam udara dan di samping daya tahan tubuh yang bersangkutan (Helena, 2010). Tuberculosis primer adalah penularan penyakit tuberkulosis paru ini terjadi dengan penularan langsung

melalui

udara (droplet)

yang

mengandung kuman tuberkulosis pada saat batuk/bersin dari penderita TB paru. bila kuman partikel TB paru terhisap orang dewasa maka ia akan masuk saluran napas sampai cabang trakheobronchial dan masuk membentuk sarang pada jaringan paru, tumbuh kembangnya berada dalam sitoplasma makrofag yang diserangnya dan tahap selanjutnya menyebabkan peradangan pada pembuluh getah bening (limfadenitis regional). Tuberculosis post primer (reinfection) adalah peradangan jaringan paru oleh karena terjadi penularan ulang yang mana di dalam tubuh terbentuk kekebalan spesifik terhadap basil tersebut (Helena, 2010). Tuberculosis post primer adalah kelanjutan dari kuman yang dormant yang bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa. Yang telah menyerang daerah apikal paru sampai kedaerah paremkin paru dari invasinya. Parah tidaknya penyakit TB paru ini sangat ditentukan oleh tingkat virulensi dan imunitas penderitanya. 5. Diagnosa Menurut Helena (2010), diagnosa dapat ditegakkan berdasarkan gejala sebagai berikut :

a. Pemeriksaan Klinis Ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala seperti batuk berdahak lebih dari 2 minggu, adanya darah dalam dahak, dahak semu hijau atau kuning dengan nanah, nyeri dada disertai sesak pada saat bernapas, demam lebih dari 2 minggu, lelah, berat badan menurun. b. Pemeriksaan Radiologis Pemeriksaan radiologis diperlukan untuk membuktikan bahwa basil tuberculosis pada penderita yang bersangkutan telah berhasil menyebabkan kelainan kavarne, proses pengejuan dan infiltrat yang ada di paru-paru. c. Pemeriksaan sputum Dikatakan menderita tuberkulosis

bilamana ditemukan basil

tahan asam (BTA) dalam sputum penderita. Hubungan antara pemeriksaan sputum dengan sputum positif pada pemeriksaan mikroskop diikuti semuanya oleh adanya kelainan radiologi yang relevan untuk tuberculosis di paru-paru. 6. Epidemologi Kurang lebih sepertiga penduduk dunia (1700 juta) terinfeksi Mycobacterium tuberculosis. Prevalensi tertiggi di Pasifik Barat (44%) dan yang terendah di Mediterania Timur (19%). Sebagian besar yang terinfeksi tinggal di Asia Tenggara (25%), Cina (22%) sedangkan di Eropa dan lima negara industri (Jepang, Australia, Selandia Baru, Canada dan Amerika Serikat) berjumlah 22% (Adin, 2005).

Di

negara

berkembang

mayoritas

individu

yang

terinfeksi

Mycobacterium tuberculosis adalah golongan usia dibawah 50 tahun. Sedangkan di negara maju prevalensi infeksi TB paru sangat rendah diantara mereka yang berusia dibawah 50 tahun namun masih tinggi pada golongan orang yang lebih tua. Hal ini mencerminkan risiko infeksi masa lalu yang tinggi dan sangat mungkin setelah usia lanjut (Adin, 2005). 7. Penatalaksanaan a. Obat Anti Tuberculosis (OAT) yang diberikan pada penderita harus terdiri dari beberapa obat-obat yang sering digunakan yaitu paduan obat HRZE (Isoniasid, Rifampisin, Pyrasinamide, dan Ethambutol) sesuai dengan anjuran dokter dan perawat. Diperlukan waktu 6-9 bulan untuk penyembuhan dengan pengawasan minum obat, dan yang lebih penting adalah dilakukan penyuluhan dan pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat yang ditujukan pada penderita dan keluarganya agar terjadi kepatuhan berobat. b. Obat tambahan lainnya, selain diberikan OAT penderita juga diberikan obat-obat lainnya berdasarkan gejala atau keluhan batuk, sesak napas dan sebagainya. c. Makanan, penderita TB paru membutuhkan makanan bergizi dan hindari rokok dan alkohol agar daya tahan tubuh tetap baik sehingga akan membantu proses penyembuhan dan mengurangi terjadinya infeksi. d. Pembedahan, dilakukan pada penderita–penderita tertentu dengan komplikasi seperti : hemoptoe yang banyak sekali dan tidak dapat

diatasi, penderita dengan dahak tetap positif walaupun sudah diobati, TB paru dengan komplikasi adanya nanah di rongga pleura yang tidak pernah sembuh dan bekas TB Paru yang mengalami hemoptoe berulang (Basri, 2006). 8. Pencegahan Penyakit tuberkulosis dapat dicegah dengan : a. Pemberian imunisasi sedini mungkin (usia 2-9 bulan) b. Menutup mulut pada waktu batuk dan bersin. c. Tidak meludah di sembarang tempat, sebaiknya meludah di tempat tertentu seperti kaleng yang diisi dengan lisol atau karbol. d. Mengusahakan cukup sinar matahari dan udara segar masuk ke kamar tidur. e. Menjemur kasur, bantal dan tempat tidur penderita terutama pada pagi hari. f. Penderita yang sedang menjalani pengobatan dengan tekun dan teratur sudah tidak menularkan kuman tersebut (Aditama, 2005). B. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan minum obat. 1. Perilaku Perilaku dipandang dari biologis adalah suatu kegiatan atau aktivitas individu yang bersangkutan. Menurut Skinner (1938) seorang ahli psikologi, seperti yang dikutip oleh Widayatun (2006) bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar. Oleh karena itu perilaku ini terjadi melalui adanya stimulus terhadap

organisme, dan kemudian organisme tersebut merespon, maka teori Skinner ini disebut teori Stimulus Organisme Respon (SOR). Faktor perilaku, menyangkut pengetahuan, sikap, kepercayaan dan kebisaan serta tindakan seseorang terhadap suatu objek (Widayatun, 2006). Orang yang memiliki perilaku yang positif terhadap kesehatan, maka besar kemungkinan orang tersebut akan lebih sehat pula. Begitupun sebaliknya, orang yang negatif terhadap kesehatan, besar kemungkinan baginya untuk tertular penyakit, termasuk penyakit tuberkulosis paru.

Keberhasilan pengobatan TB paru sangat dipengaruhi akan kepatuhan dalam berobat. Menurut Rosiyanti (2006), menyatakan bahwa ketaatan dan kepatuhan merupakan perilaku yang disampaikan secara berkesinambungan oleh seseorang dalam kesehariannya. Jadi perilaku manusia pada hakekatnya adalah suatu aktifitas dari manusia itu sendiri, baik yang dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung. Keteraturan berobat seseorang pada

dasarnya adalah respon seseorang

terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakitnya karena menghasilakan sesuatu yang bermanfaat.

Reaksi manusia dapat bersifat persepsi)

atau

juga

aktif

pasif

(tindakan

(pengetahuan, sikap dan nyata/praktis).

Sedangkan

rangsangan/stimulus disini meliputi unsur-unsur sakit dan penyakit, sistem pelayanan

kesehatan

dan

lingkungan.

Dengan

demikian

perilaku

keteraturan berobat dapat mencakup perilaku seseorang terhadap sakit dan

penyakitnya yaitu bagaimana seseorang berespon baik secara pasif (mengetahui, bersikap dan mempunyai persepsi) tentang penyakit dan rasa sakit yang ada pada dirinya serta diluar dirinya maupun secara aktif (tindakan) yang dilakukan seseorang terhadap sakit dan penyakitnya sehubungan dengan penyakit dan sakit tersebut (Notoatmodjo, 2005).

2. Pendidikan Konsep dasar pendidikan adalah suatu proses belajar yang berarti dalam pendidikan itu terjadi proses pertumbuhan, perkembangan atau perubahan kearah yang lebih dewasa dan lebih baik serta lebih matang pada diri individu tersebut (Mendiknas, 2010). Menurut Notoatmodjo, 2005, tingkat pendidikan merupakan dasar pengembangan daya nalar seseorang dan memudahkan menerima motivasi. Sedang menurut Refika (2005) mengatakan bahwa penderita yang berpendidikan tinggi lebih mudah menerima ide-ide baru dan motivasi. Dibanding penderita yang memiliki pendidikan yang rendah, seperti hasil penelitian Burhanuddin di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Makassar tahun 2005, jumlah penderita penyakit TB paru pada tingkat pendidikan tinggi sebanyak 35,55%, sekolah dasar sebanyak 23,70% dan tidak sekolah sebanyak 3,70% ini membuktikan bahwa persentase dalam tahap proses penyembuhan untuk pendidikan lebih tinggi cenderung lebih baik karena keteraturan berobat dibandingkan dengan penderita dengan pendidikan sangat rendah.

3. Pengetahuan Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (over behavior). Pengalaman penelitian menyatakan ternyata perilaku didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2005). Pengetahuan yang perlu diketahui seorang penderita tuberculosis, yaitu bagaimana reaksi obat dan kepatuhan minum obat karena faktor angka putus obat di Indonesia masih tinggi. Banyak pasien menghentikan pengobatannya karena sudah merasa baikan pada pengobatan dua bulan pertama. Juga karena pengobatan yang berlangsung lama, dan harus kontrol secara rutin, membuat banyak penderita tuberculosis yang merasa bosan dan akhirnya menghentikan (Abraham, 2005). Oleh karena mikobakterium tuberculosis resestensi terhadap obat, maka akan lebih mempersulit proses penyembuhannya.

Di

sisi

lain,

akan

terjadi

perkembangbiakan

mikobakterium tuberculosis yang dapat berakibat fatal bagi kehidupan, seperti kecacatan dan kematian. Juga bagi anggota keluarga yang lain dan orang yang berada di sekitar penderita tersebut memiliki risiko tinggi untuk tertular kuman mikobakterium tuberculosis. Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan terjadi setelah orang melakukan pengnderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yakni indera penglihatan, pendengara, penciuman, rasa dan raba, sebagian besar pengetahuan diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2005).

Pengetahuan menurut Winardi (2007)

ialah mengerti sesudah

melihat atau setelah mengalami atau diajarkan. Rendahnya pengetahuan seseorang sangat berpengaruh besar dalam tahap penyembuhan penyakit. Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rachmat (2005) bahwa tingkat pengetahuan erat kaitannya dengan tingkat kepatuhan berobat. Dari 200 responden yang diteliti didapatkan (83,8%) memiliki pengetahuan

baik/cukup

patuh dalam

berobat

sedangkan (17,2%)

berpengetahuan kurang tergolong kurang patuh. 4. Motivasi Motivasi adalah suatu tenaga atau faktor yang terdapat dalam diri manusia yang menimbulkan, menggerakkan dan mengorganisasikan tingkah laku (Winardi, 2007). Sedangkan mativasi digolongkan menjadi dua yaitu: a. Motivasi Primer Motivasi yang melibatkan psikosis dari dalam tubuh, tergantung dari keadaan organik individu seperti lapar, haus, seks, dan sebagainya. b. Motivasi Sekunder Motivasi yang tidak bersifat psiko-chemis, tetapi didasarkan pengalaman individu yang sering kali berhubungan dengan mativasi primer. Jadi motivasi adalah insentif atau stimulus untuk bertindak. Motivasi adalah semua hal, verbal, fisik atau psikologi yang membuat seseorang melakukan sesuatu sebagai respon (Hasibuan, 2005).

Hakekat motivasi menurut Winardi (2007). Dapat dibagi menjadi dua: a. Motif Muncul sebagai akibat dari kebutuhan, kebutuhan akan muncul sangat mempengaruhi

oleh

perasaan/keinginan.

Kuat

lemahnya

emosi

mempengaruhi kuat lemahnya pemunculan motif. Demikian pula lemahnya tingkah laku atau gerakan untuk mencapai tujuan dalam rangka pemenuhan kebutuhan. b. Kebutuhan manusia Motifasi tumbuh dari adanya sumber yang telah ada dalam diri manusia yang berupa energi, namun energi itu harus dibangkitkan untuk diarahkan pada sasaran yang ingin dituju. Adapun keberhasilan masih sangat dipengaruhi oleh kuat lemahnya daya dorong atau semangat untuk meraihnya oleh karena itu keberhasilan pada hakikatnya bukanlah masalah kuantitas melainkan masalah kualitas akan semangat dan keyakinan tercapainya sasaran tersebut, demikian itu pula hakikat motivasi. Beberapa faktor yang mempengaruhi motivasi antara lain: a. Karakteristik biografikal. 1) Umur Hasil penelitian para ahli menunjukkan bahwa usia mempunyai kaitan dengan tingkat kedewasaan psikologis artinya, semakin lanjut usia seseorang yang bersangkutan diharapkan semakin

mampu menunjukkan kematangan jiwa, dalam arti semakin bijaksana semakin mampu berfiikir secara rasional, semakin mampu mengendalikan emosi dan sifat-sifat yang menunjukkan kematangan inelektual dan psikologis, semakin toleran terhadap pandangan dan prilaku yang berbeda dari pandangan dan perilaku sendiri (Hasibuan, 2005). 2) Jenis kelamin, Dari faktor lain yang perlu mendapat perhatian ialah wanita, akan tetapi dewasa ini nampak adanya pergeseran nilai tentang peranan wanita yang menonjol ialah gerakan emansipasi, pendidikan wanita yang semakin menigkat dan pertimbangan ekonomi. Oleh sebab itu dikalangan masyarakat timbul wanita untuk diperlukan sama dengan pria dalam semua segi kehidupan, termasuk kehidupan berkarya (Hasibuan, 2005). 3) Kepribadian Merupakan organoisasi dinamika dari suatu sisitem psikologis yang terdapat pada diri seseorang yang pada gilirinya menetukan penyesuaian- penyesuaian yang khas yang dilakakan terhadap lingkungan. Tiap manusia mempunyai jati diri yang khas. Kepribadian seseorng

sangat

dipengaruuhi

oleh genetik,

pengalaman dan situasi. Kepribadian terbagi 4 domain yakni: Kepribadian ekstrover, inrover, tingkat keresahan tinggi dan tingkat keresahan rendah (Winardi, 2007).

b. Persepsi Bahwa apa yang ingin dilihat seseorang belum tentu sama dengan fakta-fakta yang sebenanya. Keinginan menyebabkan tiap orang akan memberikan interpretasi yang berbedaterhadap hal yang sama. Interpretasi seseorang tentang kerja sensorikya mengenai lingkungan akan mempengaruhi perilakunya yang pada gilirannya menentukan faktor-faktor apa yang dipandangnya sebagai faktor makfasional yang kuat. Perssepsi seseorang dipengaruhi oleh pengalaman dan harapan (Hasibuan, 2005). c. Sikap Merupakan pernyataan evaluatif seseorang terhadap objek tertentu, peristiwa tertentu. Sumber sikap seseorang berasal dari orang tua, guru, dan teman. Sikap merupakan salah satu faktor yang turut berpengaruh terhadap persepsi seseorang mengenai sesuatu. Sikap seseorang terhadap suatu peristiwa atau hal dapat di duga, akan tetapi merupakan suatu kenyataan bahwa tidak seorang pun yang konsisten benar terus menerusterhadap sesuatu, mungkin saja terjadi disosiasi antara sikap dan perilaku seseorang yang pada gilirannya

mempunyai

implikasi

terhadap

motivasi

yang

bersangkutan (Winardi, 2008). Motivasi dapat berupa dukungan dari keluarga. Keluarga merupakan orang-orang yang terdekat dan dianggap paling banyak tahu serta mempengaruh kondisi pasien. Oleh karena itu, keluarga memegang peranan

penting dalam pencegahan dan pembertasan penyakit tuberculosis. Keluarga yang tidak mengerti dan memiliki pemahaman yang salah tentang tuberculosis dapat mengakibatkan anggota kelurganya mudah terserang mikobakterium tuberculosis (Depkes RI, 2007). Dukungan keluarga faktor lain bisa membuat seseorang termotivasi untuk melakukan suatu tindakan untuk mencapai tujuan yaitu faktor pelayanan kesehatan, termasuk ke dalam faktor ini adalah penyedian dan atau perbaikan fasilitas pelayanan kesehatan, perbaikan sistem dan manajemen pelayanan kesehatan, dan lain sebagainya (Notoadmodjo, 2005). Hal ini jelas bahwa daerah yang fasilitas kesehatannya tidak memadai, baik dari segi kuantitas maupun kualitas: tenaga kesehatan kurang, peralatan kesehatan yang tidak memadai untuk mendiagnosa penyakit tuberculosis, dan obat-obat tuberkulosis yang distribusinya tidak lancar, dapat menyebabkan risiko masyarakat yang tinggal di daerah tersebut untuk terinfeksi mikobakterium menjadi meningkat.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan rancangan penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi yang disajikan dalam bentuk gambaran deskriptif melalui teknik in-depth interview (wawancara yang mendalam). Pendekatan kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia. Hidayat (2007), mengemukakan bahwa metodologi kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa katakata tertulis maupun lisan dari orang-orang atau perilaku yang diamati dan bertujuan untuk menjelaskan pengalaman seseorang dalam kehidupannya. Penelitian kualitatif dilakukan pada kondisi alamiah dan bersifat penemuan (Syarifudin, 2009). Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan fenomenologi. Penelitian ini bertujuan untuk menggali pengalaman penderita TB paru tentang putus obat dengan menggunakan pendekatan fenomenologi karena terkait langsung dengan pengalaman manusia yang bervariasi dan berusaha untuk memahami makna dari pengalaman.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian di wilayah kerja Puskesmas Jongaya Makassar mulai sejak penyusunan proposal sampai dengan didapatkan kesimpulan penelitian. C. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi adalah keseluruhan dari obyek penelitian atau obyek yang akan diteliti (Notoatmodjo, 2005). Pada penelitian ini populasi adalah semua penderita TB paru yang drop out (DO) berkunjung ke Puskesmas Jongaya Makassar. 2. Partisipan Sampel dalam penelitian ini adalah penderita TB paru yang pernah purtus obat. Partisipan merupakan subjek yang mewakili populasi tertentu, jumlah partisipan yaitu 8 partisipan, namun pada saat dilakukan penelitian, partisipan yang bersedia menjadi partisipan hanya 5 orang karena bertepatan waktu pengambilan obat, saat dilakukan wawancara tiga partisipan tidak datang disebabkan waktu pengambilan obat belum sampai oleh karena itu penentuan jumlah partisipan dianggap telah memadai apabila telah sampai pada redundancy artinya bahwa dengan menggunakan partisipan selanjutnya boleh dikatakan tidak lagi diperoleh tambahan informasi baru yang berarti (Poerwandari, 2005; Suryono, 2009). Metode pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Teknik ini merupakan cara pengambilan sampel untuk tujuan tertentu (Hidayat, 2007). Teknik ini adalah penentuan partisipan

dengan menentukan terlebih dahulu kriteria yang akan dimasukkan dalam penelitian, dimana partisipan yang diambil dapat memberikan informasi yang berharga bagi penelitian dan sesuai dengan tujuan penelitian (Suryono & Anggraeni, 2010). Adapun kriteria inklusi partisipan dalam penelitian ini adalah : 1. Penderita TB paru yang putus obat 2. Tidak mengalami gangguan psikis 3. Bersedia menjadi partisipan 4. Tidak mengalami gangguan dalam komunikasi verbal (tidak bisu dan tuli). Krteria eksklusi: 1. Penderita TB paru yang putus obat tidak bersedia jadi partisipan 2. Penderita TB paru yang putus obat tidak kooperatif saat diwawancarai. 3. Tidak mampu berkomunikasi. D. Instrumen dan Pengumpulan data Pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan cara wawancara, yang bertujuan untuk mendapatkan informasi secara mendalam dari informan dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara peneliti dan informan dengan pedoman umum, peneliti mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan, pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek yang harus dibahas dan peneliti menggunakan alat bantu berupa tape record untuk merekam informasi dari partisipan. Sebelum melakukan wawancara terlebih dahulu peneliti mengambil data demografi partisipan untuk mendapatkan

gambaran singkat partisipan dan peneliti harus melakukan kontrak waktu dengan partisipan. Wawancara memerlukan waktu 60-90 menit namun saat

dilakukan

wawancara peneliti hanya menggunakan waktu 30-45 menit satu partisipan hal ini dimaksudkan agar informan tidak terlalu lelah sehingga tidak mempengaruhi kondisi dan jawaban atas pertanyaan penelitian dan mereka dapat juga merencanakan kegiatannya pada hari itu tanpa terganggu oleh wawancara. Suasana saat wawancara seperti tatanan lingkungan diatur sedemikian rupa agar informan tidak merasa bosan dan jenuh, kemudian membina hubungan saling percaya, selanjutnya peneliti meminta persetujuan menjadi partisipan, dan peneliti mulai wawancara. Jika dalam waktu yang maksimal tersebut data belum semua diperoleh, wawancara dapat dilakukan sekali lagi atau lebih. Beberapa kali wawancara singkat akan lebih efektif dibanding hanya satu kali dengan waktu yang panjang (Holloway & Wheeler, 1996 dalam Bugin, 2007).

E. Analisa Data Analisa data penelitian kualitatif yang akan dilakukan dengan metode fenomenologi yang dikembangkan oleh Colaizzi (1978). Menurut Coalizzi, analisis data dilakukan dengan cara editing dimana pneliti membaca seluruh hasil wawancara sampai habis serta mencari segmen-segmen penuh arti dalam unit-unit. Setelah segmen dikenali dan ditinjau, interpreter dikembangkan dalam satu rencana pengelopokan dan mengkode sesuai yang digunakan untuk memilih jenis dan mengorganisasikan

data,

kemudian

menghubungkan kategori-kategori pokok.

mencari

struktur

dan

pola-pola

yang

Langkah-langkah dalam analisa data pada studi fenomenologi yang dikutip dalam Suryono dan Anggraeni (2010) adalah: 1. Peneliti mengorganisasikan semua data atau gambaran menyeluruh tentan fenomena pengalaman yang telah dikumpul. 2. Membaca secara keseluruhan dan membuat catatan pinggir mengenai data yang dianggap penting kemudian melakukan pengkodean data. 3. Mengelompokkan makna pernyataan yang dirasakan oleh partisipan dengan melakukan horizonaliting yaitu setiap pernyataan pada awalnya diperlukan memiliki nilai yang sama, selanjutnya pernyataan yang tidak relevan dengan topik dan pernyataan yang bersifat repetive atau tumpang tindih dihilangkan, sehingga tersisa hanya horizons artinya tekstural dan unsur atau penyusunan dari fenomena yang tidak mengalami penyimpanan. 4. Selanjutnya peneliti mengembangkan uraian secara keseluruhan dari hasil wawancara yang didapat dari informan tentang pengalaman selama putus obat. 5. Peneliti kemudian memberi penjelasan naratif mengenai esensi dari fenomena yang ditiliti dan mendapatkan makna pengalaman informan mengenai fenomena tersebut. 6. Mengelompokkan makna-makna ke dalam kelompok tema 7. Menuliskan gambaran yang mendalam 8. Selanjutnya membuat laporan pengalaman sikap informan setelah itu gabungan dari gambaran itu ditulis.

F. Alur Penelitian

Pengajuan usulan judul proposal

Penentuan lokasi dan mengidentifikasi populasi penelitian

Penyusunan proposal penelitian

Presentasi proposal

Perbaikan sebagaimana mestinya

Mengajukan surat permohonan penelitian

Pengambilan data awal dan Penentuan Populasi

Penentuan sampel dengan cara purporsive sampling sesuai kriteria inklusi

Persetujuan Menjadi Partisipan dan Membina hubungan saling percaya

Wawancara mendalam terkait pengalaman penderita TB paru yang putus obat Analisa data

Penyajian Hasil

Kesimpulan dan Saran

G. Keabsahan Data dan Pengujian Validitas, Reliabilitas Penelitian Kualitatif Banyak hasil penelitian kualitatif diragukan kebenarannya karena beberapa hal, yaitu subjektivitas peneliti merupakan hal yang dominan dalam penelitian kualitatif, alat penelitian yang diandalkan adalah wawancara mengandung banyak kelemahan ketika dilakukan secara terbuka dan apalagi tanpa kontrol, dan sumber data kualitatif yang kurang credible akan mempengaruhi hasil akurasi penelitian. Oleh karena itu, dibutuhkan beberapa cara menentukan keabsahan data,

yaitu: data yang diperoleh perlu

mempertimbangkan validitas, realibilitas, dan objektivitas. Sudah barang tentu dari berbagai jenis penelitian kreteria tidak sama, penelitian kualitatif bukan uji instrument melainkan uji data yang dikumpulkannya (Sugiyono, 2007). 1. Credibility Credibility merupakan kriteria yang digunakan untuk memenuhi nilai kebenaran dari data dan informasi yang dikumpulkan. Untuk mencapai prinsip ini, peneliti melakukan pengecekan kembali hasil transkip untuk melihat kesesuaian dengan hasil rekaman dan catatan lapangan. Peneliti kemudian meminta partisipan untuk mengecek kembali hasil kutipan wawancara dan menanyakan apakah parisipan setuju dengan hasil analisa atau ingin mengubah atau menambah data yang telah diberikan. Hal ini dilakukan untuk melihat apakah partisipan mengenal hasil penelitian sebagai pengalaman nyata mereka (Sugiyono, 2007). 2.

Transferability

Transferability merupakan kriteria yang digunakan untuk memenuhi criteria bahwa hasil penelitian yang dilakukan dalam konteks (setting) tertentu dapat ditransfer ke subjek lain yang memiliki tipologi yang sama (Saryono & Anggraeni, 2010). Oleh karena itu, peneliti memiliki tanggungjawab untuk menyediakan laporan hasil penelitian dengan rincian yang memadai sehingga peneliti langsung dapat memutuskan apakah hasil penelitian ini dapat digunakan pada populasi lain dengan situasi yang sama (Speziale & Carpenter 2003 dalam Nurlaela, 2008). 3.

Dependability Dependability merupakan suatu kestabilan data atau proses dari waktu ke waktu dengan menggunakan inquiry audit (Polit & Hungler, 1999 dalam Nurlaela, 2008). Pada proses dependability, hasil wawancara yang telah dibuat transkip verbatim, kemudian diinterpretasikan dalam kata-kata kunci, kategori, tema, dan sub tema (Nurlaela, 2008). Teknik terbaik yang digunakan adalah dependability audit dengan meminta dependent dan independent auditor untuk mereview aktifitas peneliti (Suryono & Anggraeni, 2010).

4. Comfirmability Comfirmability mengandung makna bahwa sesuatu hal ini dinilai secara objektif dan netral, dimana ada beberapa orang independen yang menilai data yang telah dikumpulkan oleh peneliti (Streubert & Carpenter, 2003). Inquiry audit juga dapat digunakan untuk membangun dependability dan confirmability data. Pada penelitian ini, prinsip ini tercapai melalui

kesamaan pandangan antara peneliti dengan pembimbing. Kesamaan pandangan dilakukan setelah melakukan wawancara mendalam dengan setiap partisipan. H. Etika Penelitian 1. Autonomy Prinsip autonomy digunakan saat partisipan dipersilahkan untuk menentukan keterlibatannya dalam kegiatan penelitian, calon partisipan diminta kesediaannya menjadi partisipan. Jika partisipan menolak untuk menjadi partisipan maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap menghormati hak-haknya. 2. Beneficence Prinsip

Beneficence

dimana peneliti melaksanakan prosedur

penelitian untuk mendapatkan hasil yang bermanfaat, meminimalkan dampak

bagi

subjek

penelitian

(nonmalefience)

dan

menjelaskan

keuntungan atau manfaat yang didapatkan partisipan dan potensial risiko yang dapat tejadi. 3. Anonimity (tanpa nama) Untuk

menjaga

kerahasiaan

ibu

menyusui,

peneliti

tidak

mencantumkan nama koresponden pada lembar pengumpulan data, cukup dengan memberi nomor kode pada masing-masing lembar tersebut. 4. Justice Dalam prinsip ini peneliti memperlakukan semua partisipan secara adil dan terbuka serta mempunyai hak yang sama. Kerahasiaan informasi

partisipan dijamin oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu saja yang akan disajikan atau dilaporkan sebagai hasil riset (confidutiality).

BAB IV HASIL PENELITIAN

A. Hasil Penelitian Bab ini akan menjelaskan hasil penelitian yang telah dilakukan, bertujuan untuk mendapatkan pemahaman dan mengeksplorasikan secara mendalam tentang pengalaman pasien tuberculosis setelah putus obat. Jumlah informan dalam penelitian ini ada lima orang. Dari lima informan ada tiga informan laki-laki dan satu informan perempuan. Dari lima informan dua belum menikah, dua informan status perkawinannya menikah dan satu janda. Bagian ini terdiri dari uraian karakteristik informan dan analisis tema yang muncul tentang pemahaman dan pengalaman mereka setelah putus obat dan berobat kembali.

Informan dalam penelitian ini berjumlah lima orang. Semua informan adalah pasien drop aut yang bertempat tinggal di wilayah kerja puskesmas Jongaya Makassar.

1. Karakteristik Informan PARTISIPAN KARAKTERISTIK

1

2

3

4

5

31

31

73

36

62

P

L

L

L

L

SD

SMP

SMA

SMA

UMUR JENIS KELAMIN

SARJANA PENDIDIKAN

MUDA BURUH

BURUH

PENSIUNAN

PEGAWAI

PENSIUNAN

HARIAN

BANGUNAN

PNS

SWASTA

PNS

AGAMA

ISLAM

ISLAM

ISLAM

ISLAM

ISLAM

SUKU

MAKASSAR

MAKASSAR

BUGIS

MAKASSAR

MAKASSAR

PEKERJAAN

Pengkodean informan di atas berdasarkan urutan wawancara yang dilakukan oleh peneliti sebanyak empat orang dengan I sebagai informan, yakni I1, I2, I3, I4, dan I5. 2. Analisis Tema Data pada penelitian ini berupa transkip verbatim dan catatan lapangan dari setiap wawancara mendalam yang telah dilakukan, kemudian dianalisis dengan menggunakan metode fenomenologi menurut Cratee dan Miller 1992, dalam Saryono & Anggreni (2010). Setelah melakukan sembilan langkah analisis data yang dikemukakan oleh Collaizi, kemudian peneliti mengidentifikasi tiga tema sebagai hasil penelitian ini, masing-masing tema muncul berdasarkan wawancara

mendalam dengan lima orang informan tentang penyebab putus obat pasien tuberculosis di wilayah kerja Puskesmas Jongaya Makassar. Tema tersebut akan diuraikan di bawah ini sebagai berikut : a. Respon pasien sebelum menjalani pengobatan kembali Tema 1: Respon pasien sebelum menjalani pengobatan kembali “Posoka” “Baikmi perasaanku” “Perasaanku loyo” “Tidak ada perubahan”

Perilaku

Respon pasien yang sebelum menjalani pengobatan kembali

“Kayak allergika”

Gambar 4.1. Respon pasien yang menjalani pengobatan kembali

“Suamiku tinggalkanka” “Batuk lattolattoka” Psikologis “Tidak sembuh” “Tidak bisa telat minum obat” “Tuhan tauki”

yang

“Serahkan ke Tuhan”

Spritual

“Allah Maha segalanya”

Respon pasien yang menjalani pengobatan kembali

“Adikku suruh ambil obat” “Orang tua yang mengingatkan” “Tidak ada mengingatkan”

Dukungan/motivasi

“Datang sendiri” “Istri yang ambil obat”

Gambar 4.2. Respon pasien yang menjalani pengobatan kembali

Tema ini tersusun atas dua sub tema yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi beberapa kategori, yakni perilaku tentang ketidak patuhan minum obat sebelum menjalani pengobatan kembali, psikologis, dan spritual. Sedangkan faktor

eksternal terdiri dari dukungan/motivasi untuk minum obat secara teratur dari keluarga, tidak ada informasi dari petugas kesehatan tentang efek samping bila obat telat diminum satu hari dan biaya. Sub tema faktor internal pertama adalah perilaku yaitu tidak patuh. Dari kelima informan semuanya tidak patuh minum obat. Seperti pernyataan berikut ini: “Tidak kuminumki obatku karena posoka kurasa”(I1) “Tidak teraturka minum na’baik-baikmi kurasa perasaanku”(I2) “Perasaanku loyo, ya itu kuberhenti minum obat”(I3) “Tidak kuminum obatku, karena tidak ada kurasa perubahan”(I4) “Karena minum repamfisin, mukaku merah, kayak allergi”(I5) Kategori kedua dari sub tema faktor internal adalah psikologis yang terdiri dari malu dan terbebani. Sub kategori malu, tiga dari lima informan mengatakan sebagai berikut: “Maluka, kalau batu-batuka latto-lattoki”(I2) “Sudah berobat di RS.”X”dan dr.”X” naitidak sembuh-sembuh”(I4) Sedangkan kategori terbebani,

satu dari lima informan yang

mengatkatan sebagai berikut: “Tidak bisaki telat minum obat satu hari, na’ kerjaki”(I3) Kategori spiritual dengan sub kategori berserah diri dikemukakan oleh lima informan sebagai berikut: “Tuhan yang tauki” (I1) “Semuanya serahkan ke Tuhan”(I2), (I3), (I4) “Allah Maha segalanya”(I5) Sub tema faktor eksternal terdiri dari satu kategori yakni dukungan, terbagi tiga sub kategori, untuk sub kategori dukungan/motivasi keluarga, oleh tiga informan mengatakan sebagai berikut:

“Adikku yang laki-laki selalu suruhka pergi ambilki obat”(I1) “Tidak ada yang mengingatkan minum obat”(I4) “Istri saya yang datang ambilkan obat”(I5) Sub kategori dukungan petugas kesehatan sebelum menjalani pengobatan kembali dikemukakan oleh lima informan sebagai berikut: “Petugas tidak pernah datang di rumah”(I1) “Tidak ada penyampain, obat tidak boleh telat diminum satu hari”(I2) “Bukan saya yang lalai minum, tapi waktu saya pertama dapat “Na’bilang petugasnya tidak adami obatnya”(I3) “Na’bilang dokter “X”sudah sembuhmaki”(I4) “Tidak ada informasi mengenai efek samping obat”(I5) Sub kategori biaya dari lima informan tiga mengatakan akan berhenti minum obat kalau harus dibeli dan dua informan mengatakan akan mengusahakan membeli obat bila obat TB paru harus dibeli sebagai berikut: “Kalau tidak adami gratis dari pemerintah, berhentima makan obat”(I 1) “Adami na’siapkan pemerintah gratis “mubazir”(I3) “Tidak usami berobat kalau beli obat”(I4) “Diusahakan mami yang penting sembuh”(I2) “Tidak jadi masalah, adaji sedikit gaji pensiunku pakai beli obat”(I5)

b. Hubungan Sosial Tema II: Hubungan Sosial “Biasa-biasaji” “Biasa temanku bertanya obat apami kau minum” “Janganmi terlalu repot”

Dengan lingkungan sekitar

Dengan teman kerja

Hubungan sosial

“Nahindarika” “Tidak adaji perubahan”

Dengan Keluarga

Gambar 4.3 Hubungan sosial Tema ini tersusun atas tiga kategori yaitu lingkungan sekitar, teman kerja, keluarga, dan terdiri dari tiga Sub kategori tidak berubah dan satu sub yang mengalami perubahan. Sebagaimana lima informan yang dikemukakan sebagai berikut: “Biasa-biasaj”(I2) “Biasa temanku bilang “obat apami itu kau minum”(I4) “Janganmi terlalu repot”(I3) “Nahindarika”(I1) “Tidak adaji perubahan”(I5)

c. Persepsi pasien yang menjalani pengobatan kembali Tema III: Persepsi pasien yang menjalani pengobatan kembali

“Baik-baikmi kurasa” “Sempatka ragu karena lendirku warna coklatki lagi” “Ada perubahan setelah minum obat tiga bulan”

Persepsi pasien setelah menjalani pengobatan kembali

“Bisamaka baring” “Ada perbaikan makan”

napsu

Gambar 4.4 Persepsi pasien yang menjalani pengobatan kembali.

Tema ini tersusun menjadi dua kategori yaitu sebelum minum obat kembali dan setelah minum obat kembali, yang dikemukakan oleh lima informan sebagai berikut: “Baik-baikmi kurasa”(I1) “Ada perubahan, sudah teratur berobat 3 bulan, enakmi saya rasa”(I2) “Sempatka ragu karena lendirku warna coklatki lagi”(I3) “Sekarang bisamaka baring”(I4) “Ada perbaikan napsu makan”(I5)

B. Pembahasan Interpretasi Data Dari hasil analisa data di atas menunjukkan bahwa respon pasien yang menjalani pengobatan kembali dipengaruhi oleh faktor internal dan ekternal yang meliputi perilaku, psikologis, spiritual, sedangkan faktor eksternal terdiri dari dukungan keluarga, petugas kesehatan, dan biaya. Perilaku dari kelima informan menunjukkan bahwa mereka tidak patuh menjalani pengobatan atau minum obat sebelumnya dengan berbagai alasan seperti sakit, tidak ada informasi tentang efek samping obat dari petugas kesehatan. Oleh karena itu pengobatan yang tidak teratur dan kobinasi obat yang tidak cukup menyebabkan timbulnya resistensi kuman TB paru terhadap OAT, sehingga kondisi ini menyebabkan pasien harus mengulang kembali pengobatan OAT dari awal dengan biaya yang lebih mahal yang hasilnya belum tentu memuaskan, karena kondisi pasien saat dilakukan wawancara didapatkan keluhan-keluhan pasien bahwa gejala yang dirasakan sebelumnya agak ringan tetapi sekarang bertambah parah. Hal ini sesuai dengan Notoatmodjo (2005) bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar. perilaku ini terjadi melalui adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut meresponnya.

Respon psikologis terdiri dari malu dan terbebani, ada tiga informan yang mengatakan malu, satu informan mengatakan terbebani, dan satu informan mengatakan biasa-biasa saja. Ketidaksiapan yang akan menyebabkan pasien tubeculosis merasa malu menghadapi penyakitnya karena faktor sosial yang mungkin mempunyai kontribusi seperti perceraian, perpisahan artinya faktor tersebut dapat saja menjadi pemicu terjadinya kesedihan, namun itupun belum pasti karena faktor budaya mempengaruhi nilai yang dimiliki oleh individu dan karenanya latar belakang budaya juga berkaitan dengan sumber kesedihan (Hawari, 2006). Terbebani akan keteraturan minum akan mempengaruhi kepatuhan minum

obat

pasien

tuberculosis,

banyak

pasien

menghentikan

pengobatannya karena sudah merasa lebih baik pada pengobatan dua bulan pertama. Juga karena pengobatan yang berlangsung lama, dan harus kontrol secara rutin, membuat banyak penderita tuberculosis yang merasa bosan dan akhirnya menghentikan pengobatannya (Abraham, 2005). Hal ini peneliti dapatkan saat

dilakukan wawancara,

menanyakan tentang riwayat

pendidikan, satu informan hanya sampai kelas tiga sekolah dasar, tiga informan tamat sekolah menengah atas, dan satu informan diploma III, namun tingkat pndidikan dan pengetahuan tidak menjamin bahwa seseorang akan patuh dalam hal ini kepetuhan dan keteraturan minum bagi pasien tubeculosis, karena tergantung pada motivasi individu bahwa perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya feeling dan di

dahului tanggapan terhadap adanya tujuan tertentu terutama bila kebutuhan untuk mencapai tujuan sangat dirasakan/mendasak, namun kenyataannya dari kelima informan ini menganggap penyakitnya bukan merupakan kebutuhan yang mendesak karena gejala yang dirasakan tidak mengganggu aktifitas sehari-harinya (Winardi, 2007). Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (over behavior). Pengalaman penelitian menyatakan ternyata perilaku didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2005). Faktor eksternal yang mempengaruhi respon pasien tuberculosis putus obat yaitu dukungan keluarga, petugas kesehatan dan biaya. Dukungan keluarga yang diungkapkan tiga informan bahwa dalam menjalani kembali pengobatan selalu diingatkan untuk minum obatnya secara teratur dan mengambil obat kembali. Satu informan mengatakan bahwa tidak ada dukungan dari petugas kesehatan, pada analisa data didapatkan bahwa petugas kesehatan tidak memberikan penjelasan mengenai efek samping minum obat anti tuberculosis seperti warna urine menjadi merah setelah minum obat repanfisin. Sedangkan mengenai biaya yang diungkapkan informan ada tiga yang mengungkapkan akan menghentikan pengobatan bila obat anti tuberculosis harus dibeli, karena dua informan mempunyai pekerjaan hanya buruh harian dimana pendapatan pas-pasan, dan satu informan mengetahui

bahwa OAT didapatkan dari pemerintah secara cuma-cuma dua informan mengungkapkan akan mengusakan membeli OAT jika harus dibeli. Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dukungan keluarga, petugas kesehatan dan biaya sangat mempengaruhi pasien tuberculosis untuk tidak teratur minum obat atau putus obat. Program

Pemberantasan

Tuberculosis

(P2TB)

yang

telah

dilaksanakan oleh pemerintah sejak Pelita I tahun 1969, bahkan sejak tahun 1980 telah dilaksanakan pemberian obat anti tuberculosis dalam bentuk paket secara cuma-cuma bagi masyarakat (Depkes, 2005). Dukungan atau motivasi dari keluarga bisa membuat seseorang termotivasi untuk melakukan suatu tindakan untuk mencapai tujuan yaitu faktor pelayanan kesehatan, termasuk ke dalam faktor ini adalah penyedian dan atau perbaikan fasilitas pelayanan kesehatan, perbaikan sistem dan manajemen pelayanan kesehatan, dan lain sebagainya (Notoadmodjo, 2005). Pada penelitian ini, hubungan sosial, dua informan mengatakan mendapatkan perhatian dari keluarganya, tiga informan mengatakan penerimaan dari lingkungan sekitar, keluarga, dan teman kerjanya. Dapat disimpulkan bahwa informan yang tidak mendapatkan perhatian dari keluarga karena keluarga tidak mengetahui nilai-nilai keluarga terhadap kesehatan, karena nilai-nilai yang dimiliki keluarga mempengaruhi kesehatan keluarga terutama dalam hal kepatuhan berobat. Misalnya sebuah keluarga

yang

kurang

memperhatikan kesehatan anggota

keluarganya utamanya yang sedang sakit akan merasa bahwa tanpa

melakukan upaya apapun, kesehatan keluarganya tetap terjaga, maka keluarga akan kuat meyakininya, tetapi keluarga tersebut akan mengalami kesulitan jika suatu waktu nilai yang diyakininya ternyata salah, oleh karena itu kesehatan keluarga dipengaruhi oleh anggota keluarga dalam menjalankan fungsinya seperti memberikan perhatian, dorongan dan motivasi dengan baik sehingga sebagai dampak perubahan yang terjadi pada lingkungan internal dan eksternal (Friedman, 2008). Dari hasil analisa data di atas bahwa persepsi pasien sebelum minum obat kembali, lima informan menggungkapkan penyakitnya bertambah parah. Persepsi pasien menentukan sikap dalam memutuskan untuk menjalani pengobatan kembali karena proses terjadinya persepsi pertama karena adanya obyek/stimulus yang merangsang untuk ditangkap oleh panca

indra

(obyek

tersebut

perhatian

panca

indra),

kemudian

obyek/stimulus perhatian tadi dibawa ke otak dari otak terjadi adanya kesan atau jawaban (response) stimulus berupa kesan/respon yang dibalikkan kembali berupa tanggapan atau persepsi atau hasil kerja indra berupa pengalaman pengolahan otak. Proses terjadinya persepsi ini perlu fenomena dan yang terpenting fenomena dari persepsi ini adalah perhatian/attantion. Pengertian perhatian itu sendiri adalah suatu konsep yang diberikan pada proses persepsi yang menseleksi input-input tertentu untuk diikutsertakan dalam suatu pengalaman yang kita sadari/kenal dalam suatu waktu tertentu (Rachmat, 2005).

Kondisi informan dengan kategori yang kedua persepsi pasien setelah menjalani pengobatan kembali yang diungkapkan oleh lima informan menunjukkan persepsi yang adaptif, karena pasien mendapatkan dukungan dari keluarga dan petugas kesehatan, terutama, jika obat pasien akan habis maka petugas yang mengingatkan untuk dating ke puskesmas untuk mengabilnya walaupun bertepatan dengan hari libur kerja. Oleh karena itu persepsi seseorang tidak timbul begitu saja tetapi dapat dipengaruhi dari orang yang bersangkutan, apabila seseorang melihat sesuatu dan berusaha memberikan interpretasi tentang apa yang dilihatnya itu, ia dipengaruhi oleh karakteristik individual yang turut berpengaruh seperti sikap, motif, kepentingan, minat, pendidikan, harapan, dan pengalaman (Rachmat, 2005).

C. Keterbatasan penelitian 1. Keterbatasan penelitian ini adalah keterbatasan jurnal penelitian yang berkaitan dengan studi kualitatif faktor-faktor penyebab pasien tubeculosis putus obat. 2. Penelitian ini hanya dilakukan satu tempat saja sehingga sulit untuk mengidentifikasi mengenai faktor-faktor penyebab pasien tubeculosis putus obat. 3. Keterbatasan lain ketiak berhadapan dengan partisipan sulit memberikan jawaban dan hanya memberikan jawaban yang singkat.

4. Kemampuan peneliti dalam melakukan analisis yang kurang, yaitu kurang memahami kontekstual kalamat dari partisipan, bagaiamana memahami kesepadanan arti dan menjadikannya sebagai kategorikategori yang sesuai untuk menghasilkan tema.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian ini, maka dapat di simpulkan sebagai berikut :

1. Respon pasien

menjalani pengobatan kembali dipengaruhi oleh faktor

internal dan ekternal yang meliputi respon psikologis, spiritual dan perilaku dalam hal kepatuhan berobat. Dari lima informan semuanya tidak patuh menjalani pengobatan sebelumnya, sedangkan faktor eksternal terdiri dari dukungan keluarga, petugas kesehatan dan biaya. 2. Hubungan sosial pasien tuberculosis dengan lingkungan sekitar, teman kerja, dan hubungan dengan keluarga, dua informan mendapatkan diskriminasi dari keluarga, tiga informan dalam hubungan social dengan keluarga, lingkungan sekitar, dan teman kerja sangat baik dan tidak ada perubahan setelah pasien menderita penyakit tuberculosis. 3. Persepsi pasien sebelum menjalani pengobatan kembali, tiga informan mengatakan bahwa penyakitnya tambah parah. Persepsi pasien setelah menjalani

kembali

pengobatan

menunjukkan persepsi yang positif.

yang

diungkapkan

lima

informan

B. Saran 1. Bagi pasien tuberculosis Meningkatkan pengetahuan tentang dampak bagi dirinya jika tidak patuh minum obat, sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan. 2. Bagi pelayanan kesehatan Khususnya perawat lebih meningkatkan lagi pelayanan kesehatan bagi pasien tuberculosis dengan melalui penyuluhan kesehatan. 3. Bagi penentu kebijakan Tetap memprogramkan pengobatan gratis. 4. Bagi peneliti selanjutnya Diharapkan adanya penelitian lebih lanjut dan diperlukan pemahaman secara mendalam mengenai penelitian kualitatif, baik tekhnik wawancara, maupun dalam menentukan hasil analisa data dan pebhasan, sehngga penelitian yang dilakukan dapat lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA Abraham, C. & Shanley, E. (2005). Psikologi sosial untuk perawat, alih bahasa Leoni Sally M. Jakarta : EGC. Aditama, T.Y. (2005). Mengenal Tuberkulosis . Surabaya : Penyuluhan No. 12. Adin, AN, (2005). Kebijakan Paru dalm Penangulangan Tuberkuosis di Indonesia, Jakarta : Depkes RI. Anggraeni, S. (2010). Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, kualitatif, dan R&D). Bandung: Alfabeta. Arif, (2006). Pengobatan Penyakit Tuberkulosis. Jakarata : Bagian Penyakit Dalam Pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Arikunto, S. (2005). Prosedur Penelitian (Suatu pendekatan praktek), Jakarta : PT. Rineka Cipta. Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru. (2007). Sepuluh masalah Tuberkolusis dan Penanggulangannya, Jurnal Respinologi Indonesia, Vol. 20, No. 1 Jakarta. Basri. (2006). Apakah DOTS merupakan Cara Terbaik mengatasi TB?, Kumpulan Makalah Simposium Peran Dokter Swasta dalam Penerapan Strategi DOST pada Pemberantasan TB di Indonesia. Bugin, B. (2007). Penelitian Kualitatif. Prenada Media Group: Jakarta Burhanuddin. (2007). Penanggulangan Penyakit Tubercolosis Oleh Perawat, FKM Unhas. Makassar. Crofton & Fred Miller. (2005). Tuberkulosis Klinis, Jakarta: Widya Medika. Departemen Kesehatan RI. (2005). Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: Direktorat Jendral PPM dan PLP. Departemen Kesehatan RI. (2007). Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: Direktorat Jendral PPM dan PLP Departemen Kesehatan RI. (2008). Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: Direktorat Jendral PPM dan PLP Departemen Pendidikan Nasional RI, (2010). Pembelajarn Orang Dewasa. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi PEKERTI.

Friendman, Marlyn M, (2008). Keperawatan Keluaarga: teori dan praktik. Alih bahasa, Ina Bebora, Ed. 3. Jakarta. EGC. Hasibuan & Winardi. (2005). Organisasi dan Motivasi. Jakarta: Bumi Aksara. Hawari, (2006). Psikiater Manajemen Stress, Cemas, Depresi, Jakarta :FKUI Helena. (2010). Pengobatan Penyakit Tuberkulosis. Jakarata : Bagian Penyakit Dalam Pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hidayat, A. (2007). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa Data. Jakarta : Salemba Medika. Hudoyo. (2005). Strategi Pelaksanaan DOTS. Jakarta: Pedoman Nasional Penggulangan Tuberkulosis. Edisi. 2. Litbangkes, (2007). Data pelatihan dan Pengembangan Kesehatan RI. Jakarta. Notoatmodjo. (2005). Metodelogi Penelitian Kesehatan Edisi Revisi. Jakarta: Rinda Cipta. Nurdewati. (2005). Profil Penderita Tuberkulosis yang berobat di Rumah Sakit Fatmawati priode 1988-1999, Fatmawati Journal of Health Sciences. Rachmat, J. (2005). Psikologi komunikasi. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Refika . (2005). Perencanaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Bandung. Rintiswati, (2005). Pemberantasan Penyakit TB Paru dan Strategi Dots, Bagian Paru Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Barat. Saryono, S. (2006). Sosiologi Kesehatan. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Sugiyono & Anggraeni, (2010). Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, kualitatif, dan R&D). Bandung: Alfabeta. Sugiyono. (2007). Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, kualitatif, dan R&D). Bandung: Alfabeta. Syarifudin, B. (2009). Panduan TA keperawatan dan kebidanan dengan SPSS. Yogyakarta : Penerbit Grafindo Litera Media.

Waspadji, SS. (2005). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II, Jakarta : PT. Balai Penerbit FKUI. Widayatun, T.R. (2006). Ilmu perilaku. Jakarta : CV. Sagung Seto. Winardi, J. (2007). Motivasi, Pemotivasian Dalam Manajemen. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Lampiran PENJELASAN PENELITIAN Kepada Yth. Saudara Partisipan DiTempat

Dengan hormat Dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan maka saya : Nama

: Dg Jikanang

Nim

: C121 09 575

Alamat

: Sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran

Universitas Hasanuddin, bermaksud akan melaksanakan penelitian dengan judul: ” Faktor-faktor yang berhubungan dengan penyebab putus obat pasien tubeculosis di wilayah kerja puskesmas Jongaya Makassar” Sehubungan dengan hal diatas saya mohon kesediaan saudara kiranya dapat berpartisipasi dalam penelitian ini dengan menjadi partisipan. Penelitian ini mengunakan desain kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Berikut ini saya akan menjelaskan beberapa hal terkait dengan penelitian yang akan saya lakukan : 1. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran tentang faktor-faktor penyebab putus obat pada pasien tuberculosis. 2. Manfaat penelitian ini secara garis besar adalah meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan khususnya dibidang perawatan pasien tuberculosis yang putus obat, khususnya peran serta petugas, keluarga dalam memberikan informasi dan dukungan/motivasi kepada pasien tuberculosis. 3. Partisiapan dalam penelitian ini adalah pasien tuberculosis yang putus obat.

4. Pengambilan data dalam penelitian ini akan dilakukan dengan wawancara secara mendalam dengan partisipan yang berlangsung selama 30-45 menit untuk setiap partisipan. Atas partisipasi dan kebijakannya yang baik saya mengucapkan banyak terima kasih. Hormat saya Peneliti Dg Jikanang

Lampiran SURAT PERSETUJUAN MENJADI PARTISIPAN (INFORMED CONCENT)

Surat persetujuan menjadi partisipan

Saya bertanda tangan dibawah ini tidak berkeberatan untuk menjadi partisipan dalam penelitian yang dilakukan mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin dengan judul: “ FAKTOR-FAKTOR PUTUS

OBAT

YANG

PASIEN

BERHUBUNGAN TUBECOLUSIS

DI

DENGAN

PENYEBAB

WILAYAH

KERJA

PUSKESMAS JONGAYA MAKASSAR”. Saya memahami bahwa data ini bersifat rahasia. Demikianlah surat pernyataan ini dengan suka rela tanpa paksaan dari pihak manapun semoga dapat dipergunakan seperlunya. Makassar, Januari 2011 Responden

. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. ..

PEDOMAN WAWANCARA “Faktor-faktor yang berhubungan dengan penyebab putus obat pasien tubeculosis di wilayah kerja puskesmas Jongaya Makassar”. A. Krakteristik responden 1.

Inisial responden

:

2.

Umur

:

3.

Agama

:

4.

Jenis kelamin

:

5.

Alamat

:

6.

Pendidkan terakhir

:

7.

Status perkawinan

:

8.

Pekerjaan

:

9.

Tinggal bersama

:

B. Pedoman wawancara 1. Selama saudara menjalani pengobatan, pernahkah saudara lalai minum obat? 2. Apa saudara mendapat kesulitan pelayanan untuk

melanjutkan

pengobatan bila berobat ke tempat lain? 3. Apa anda setiap mengkomsumsi obat ada perbaikan atau perubahan? 4. Seandainya untuk memperoleh obat tersebut, anda harus membayar atau mengeluarkan biaya, apakah anda bersedia?

5. Selama pengobatan, pernahkah anda terlambat mendapatkan obat dari pengawas minum obat (PMO)? 6. Setiap kali saudara ke puskesmas untuk mengambil obat, apakah saudara disambut dan dilayani dengan baik oleh petugas yang memberikan saudara pengobatan? 7. Selama saudara menjalani pengobatan, pernahkah petugas kesehatan yang memberikan pengobatan, berkunjung ke rumah saudara? 8. Apa keluarga saudara memberikan dorongan untuk berobat secara teratur dan tuntas?

TRANSKIP HASIL WAWANCARA INFORMAN I1

Wawancara dilakukan pada tanggal,

Februari 2011, jam di ruangan

pertemuan Puskesmas Jongaya Makassar, suasana ruangan bersih, dan tertata rapi, s informan ramah dan kooperatif pada saat wawancara berlangsung. Informan atas nama Ny. R, umur 31 tahun, agama islam, jenis kelamin perempuan, status perkawinan pisah, tinggal bersama kakak dan adiknya di rumah orang tuanya, kedua orang tuanya sudah meninggal, pekerjaan buruh harian seperti membantu tetangganya mencuci pakaian. Pt

:

Selama saudara menjalani pengobatan, pernahkah saudara lalai minum obat?

Inf :

Dulu itu bu, tidak kuminumki obatku karena posoka kurasa, nabawa tongmi poeng adik iparku, na’ dua haripi baru nabawakanka.

Pt

:

Apa saudara mendapat kesulitan pelayanan untuk

melanjutkan

pengobatan bila berobat ke tempat lain? Inf :

Tidak pernaka, pindah berobat, tapi waktunya petugasnya belum diganti saya biasa dimarah-marahi petugasnya, apalagi kalau paski hari libur na’habiski obatku. Sekarang petugasnya terutama sus”M” natelponki kalau natauki kalau sudah mau habis obatku.

Pt :

Apa anda setiap mengkomsumsi obat ada perbaikan atau perubahan?

Inf :

Sebelumnya bu, tidak ada perubahan kurasakan bahkan tambah posoka,

sekarang kalau malamki tidak banyakmi keringatku. Pt

:

Seandainya untuk memperoleh obat tersebut, anda harus membayar atau mengeluarkan biaya, apakah anda bersedia?

Inf :

Kalau tidak adami gratis dari puskesmas, berhentima makan obat, karena makan saja sehari-hari, pergipa jadi buruh harian, ya bantu-bantu orang cuci pakaiannya.

Pt

:

Selama pengobatan, pernahkah anda terlambat mendapatkan obat dari pengawas minum obat (PMO)?

Inf :

Sering saya terlambat minum obat, apalagi kalau pergika bantu-bantu orang mencuci, baru saya sendiriji yang minum obatku tidak ada orang yang kasi ingatka.

Pt

:

Setiap kali saudara ke puskesmas untuk mengambil obat, apakah saudara disambut dan dilayani dengan baik oleh petugas yang memberikan saudara pengobatan?

Inf :

Sekarang petugasnya baikbaik semua, ituji dulu iya, takut-takutki pergi ambil obat.

Pt

:

Selama saudara menjalani pengobatan, pernahkah petugas kesehatan yang memberikan pengobatan, berkunjung ke rumah saudara?

Inf :

Waktuku pertama berobat tidak pernah dating petugas ke rumah, tapi sekarang biasaji datang, biasa iya natelponki lagi.

Pt

:

Apa keluarga saudara memberikan dorongan untuk berobat secara teratur dan tuntas?

Inf :

Tidak pernah, bahkan suamiku natinggalkanka, na’tauki na’kenaka penyakit ini, untug adaji adikku yang mengingatkan minum obat, karena tinggalmaka sama-sama.

NO

TEMA

1

Respon pasien yang menjalani pengobatan kembali

SUB TEMA Faktor Internal

KATEGORI Perilaku

Psikologis

SUB KATA KUNCI I1 I2 I3 I4 I5 KATEGORI Tidak patuh “Tidak kuminumki x obatku karena posoka kurasa” x ”Tidak teratukar minum obat na’baik-baikmi x kurasa perasaanku. x “Perasaanku loyo, itu kuberhenti minum obat” x

Malu

“Tidak kuminum obatku, karena tidak ada perubahan”

x x

“Minum ripamfisin, mukaku merah, kayak allergi”

Terbebani Spritual

“Na’tinggalkanma, suamiku”

Berserah diri

Dukungan

Keluarga

x x

“Maluka, batuka lattoka”

Faktor ekternal

x

batulatto-

“Sudah berobat di RS.”X”dan dr.”X” naitidak sembuhsembuh”

x

x

x

x x

x “Tidak bisaki telat minum obat” x

“Tuhan yang tauki ” x “Semuanya saya serahkan ke Tuhan ” Petugas kesehatan

“Allah Maha Segalanya”

x

x

“Adikku selalu suruhka pergi ambilki obatku”

x

“Orang tuaku sering mengingatkan untuk datang ambil obat”

x

x

“Tidak ada yang mengingatkan minum obat”

Biaya

“Datang sendiri ambil obat”

x

x

“Istri saya yang ambilkan obat”

x

“Tidak pernah petugas datang di rumah”

x

x “Tidak penyampaian, tidak boleh diminum hari” 2 Hubungan sosial

Dengan lingkungan sekitar Dengan

ada obat telat satu

x

x Berubah/tidak berubah “Na’bilang dokter “X”sudah sembuhmaki”

x

teman kerja Dengan keluarga

“Bukan saya yang lalai minum”

x

“Tidak ada informasi mengenai efek samping obat” 3 Persepsi pasien yang menjalani pengobatan kembali

Setelah minum obat kembali

x x

x “Kalau tidak adami gratis dari pemerintah, berhentima makan obat”

x

x “Diusahakan mami yang penting sembuh” “Adami na’siapkan pemerintah gratis “mubazir” “Tidak usami berobat kalau beli obat” “Tidak masalah, sedikit pensiunku beli obat

jadi adaji gaji pakai

“Nahindarika”

“Biasa-biasaji” “Biasa temanku bilang “obat apami itu kau minum”

x x

“Janganmi terlalu repot” “Tidak adaji perubahan” “Baik-baikmi kurasa” “Ada perubahan, sudah teratur berobat 3 bulan, enakmi saya rasa” “Sempatka ragu karena lendirku warna coklatki lagi” “Sekarang bisamaka baring” “Ada perbaikan napsu makan”