IDENTIFIKASI BENTUK LAHAN BERDASARKAN DATA CITRA PENGINDERAAN JAUH

Download Tujuan dari penelitian ini adalah bagaimana pembagian satuan bentuklahan di Dome. Kulonprogo sebagai hasil proses geomorfologi yang terekam...

1 downloads 382 Views 295KB Size
Prosiding Seminar Nasional XII “Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi 2017 Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta

Identifikasi Bentuk lahan Berdasarkan Data Citra Penginderaan Jauh : Studi Kasus di Dome Kulonprogo Ignatius Adi Prabowo, Dianto Isnawan Jurusan Teknik Geologi, Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta [email protected] Abstrak Penelitian dilakukan di Perbukitan Kulonprogo, Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Tujuan dari penelitian ini adalah bagaimana pembagian satuan bentuklahan di Dome Kulonprogo sebagai hasil proses geomorfologi yang terekam pada citra penginderaan jauh. Penelitian ini dilakukan dengan metode utama berupa analisis dan pembagian kelas bentuklahan dan pembagian kelas kelerengan. Sampling satuan bentuklahan diperoleh dari proses geomorfik yang terlihat di lapangan. Hubungan kelerengan pada masing-masing bentuklahan yaitu dataran banjir 21%, danau 8%, perbukitan dan pegunungan denudasional 31%, perbukitan vulkanik terdenudasi 43%. Hubungan formasi batuan dengan kelerengan yaitu aluvial 21%, andesit 38%, dasit, 24%, Formasi Jonggrangan 33%, Formasi Kebobutak 32%, Formasi Nanggulan 21%, Formasi Sentolo 18%, Undivided volcanics 24%. Satuan bentuklahan yang dapat diinterpretasikan adalah bentuklahan asal proses fluvial (dataran banjir dan danau), bentuklahan asal denudasional (perbukitan dan pegunungan), bentuklahan asal vulkanik (perbukitan volkanik terdenudasi). Kata kunci: litologi, sudut lereng, bentuklahan

1.

Pendahuluan

Proses geomorfologi merupakan proses yang terjadi di permukaan bumi selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Studi bentuklahan merupakan studi yang menitikberatkan pada bentuklahan penyusun konfigurasi permukaan bumi. Kondisi spasial suatu daerah dapat diketahui dengan cepat karena adanya kemajuan teknologi informasi. Penggunaan data penginderaan jauh untuk ekstraksi informasi mengenai keruangan dapat digunakan untuk pengkajian keruangan secara menyeluruh dalam hubungannya dengan sumberdaya permukaan. Citra Landsat merupakan sensor citra penginderaan jauh yang sering digunakan pada saat ini. Identifikasi bentuklahan dengan mudah dilakukan dengan menggunakan citra yaitu dengan mengaitkan berbagai parameter dipermukaan. Analisis bentanglahan (landscape) dilakukan pada unit analisis yang lebih rinci dan sesuai yaitu unit bentuklahan (landform). Oleh karena itu, Tufaila, dkk (2012) menyampaikan bahwa untuk melalukan analisis dan mengklasifikasi bentanglahan selalu mendasarkan pada kerangka kerja bentuklahan. jauh serta penyajiaanya ke dalam bentuk peta tematik (Sutanto, 1986). Suatu wilayah sangat dipengaruhi oleh bentuklahan, hal ini akan menentukan zonasi-zonasi keruangan serta peruntukkannya dalam aspek kewilayahan. Bentuklahan dikontrol oleh adanya tenaga yang bekerja pada permukaan bumi, struktur geologi, serta topografi permukaan. Studi bentuklahan merupakan studi yang menitikberatkan pada bentuklahan penyusun konfigurasi permukaan bumi. Proses yang terjadi di permukaan bumi selalu mengalami

Bentuk lahan dikaji secara kuantitatif maupun kualitatif (morfometri) dimana tujuannya mendiskripsikan relief bumi, baik yang sifatnya konstruksional seperti gunung api, patahan, lipatan, dataran, plato, dome dan pegunungan kompleks maupun bentuk lahan destruksional meliputi bentuk lahan erosional, residual dan deposisional. Geomorfologi berfokus pada deskripsi atau klasifikasi bentukan lahan dan hubungan antara bentang alam dan prosesnya, sedangkan penginderaan jauh dapat memberikan informasi tentang lokasi/distribusi bentang alam, permukaan komposisi/bawah permukaan dan permukaan elevasi (Smith and Pain, 2009).

2.

Tinjauan Pustaka

Penginderaan jauh didefinisikan oleh Lillesand, et.al (2004) sebagai ilmu dan teknik untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah atau fenomena yang dikaji. Sedangkan penafsiran citra pemginderaan jauh berupa pengenalan obyek dan elemen yang tergambar pada citra penginderaan perubahan dari waktu-kewaktu sebagai proses geomorfologi, proses tersebut dapat diakibatkan dari dalam bumi (endogen) maupun yang diakibatkan dari luar bumi (eksogen). Noor (2010) menyatakan bahwa gaya endogen maupun eksogen merupakan gaya-gaya yang memberi andil terhadap perubahan bentuk bentangalam (landscape) yang ada di permukaan bumi. Proses endogen berasal dari aktivitas vulkanik dan diatropisme sebagai pembentukan gunungapi, pembentukan perbukitan dan pegunungan serta

313

Prosiding Seminar Nasional XII “Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi 2017 Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta mempengaruhi struktur geologi. Sedangkan proses eksogen sangat ditentukan oleh adanya tenaga geomorfologis yang bekerja sebagai medium alami yang mengkikis dan mengangkut material di permukaan bumi. Setiap satelit sumberdaya alam yang memiliki saluran (band) dan resolusi sensor yang tinggi, seiring pesatnya perkembangan bidang teknologi penginderaan jauh, kenampakan hasil citra menggambarkan banyak kenampakan fisik dan kultur di permukaan tanah termasuk kenampakan geomorfologi (Bauer, 2004; Smith and Pain, 2009). Citra Landsat 8 merupakan sensor citra penginderaan jauh yang sering digunakan pada saat ini, citra ini mempunyai 7 saluran yang terdiri dari spektrum tampak pada saluran 1, 2, dan 3, spektrum inframerah dekat pada saluran 4, 5, dan 7 dan spektrum inframerah termal pada saluran 6. Resolusi spasial pada saluran 1- 5 dan 7 mencapai 30 meter, sedangkan untuk saluran 6 resolusi spasial mencapai 60 meter. Analisis bentuklahan pada penelitian ini dilakukan dua tahap, yang pertama dilakukan dengan analisis SIG dan yang kedua dengan intepretasi citra. Analisis dengan menggunakan sistem informasi geografis diperlukan suatu data kenampakan tiga dimensional yang memperlihatkan kondisi topografi wilayah berdasarkan citra SRTM. Dengan menggunakan ektensi 3D modeling pada software pengolah data vektor data dasar yang berupa garis kontur wilayah dirubah dalam bentuk TIN (Triangular Irregular Network) yaitu berupa garis-garis yang membentuk segitiga yang tidak beraturan guna menggambarkan kenampakan 3 dimensional. Lokasi penelitian berdasarkan citra Landsat 8 dilakukan pada saluran komposit warna semu RGB 542 yang menonjolkan Citra Landsat 8 kenampakan topografi, dimana dengan menggunakan

saluran tersebut igir-igir perbukitan serta alur dan riil aliran dapat terlihat dengan jelas. Bentuklahan Pegunungan Kulon Progo telah dikupas banyak ahli geologi, namun Budiadi (2008) mempresentasikan keberadaan geologi Kulon Progo berdasarkan pengamatan holistik (keserbacakupan) pola struktur, pola sungai, pola morfologi, kegiatan magma dan lingkungan tektonik yang teruji secara statistik. Kesimpulan umum menunjukkan bahwa tektonik aktif berpengaruh terhadap pembentukan geomorfologi Pegunungan Kulon Progo, yang terindikasi sebagai akibat Pola Meratus. Pembahasan khusus menyimpulkan bahwa arah kelurusan sungai memiliki hubungan genesis dengan arah kelurusan struktur yang dibangun sejak Zaman Tersier hingga masa kini.

3.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang dilakukan meliputi interpretasi bentuklahan berdasarkan citra satelit Landsat 8 serta kelerengan berdasarkan citra SRTM setelah itu dilakukan field check di lapangan untuk mengamati data lapangan. Data primer yang diambil yaitu pengkelasan bentuklahan, kelerengan berdasarkan citra satelit Landsat 8 dan SRTM. Data sekunder yang berasal dari studi pustaka dan penelitian terdahulu meliputi kondisi geologi, pembagian bentuklahan, dan kelerengan. Analisis data dilakukan dengan cara membandingkan data yang diperoleh dari hasil interpretasi berdasarkan citra serta pengamatan di lapangan dan analisis data sekunder. Hasil perbandingan kemudian digunakan untuk membagi satuan bentuklahan di Dome Kulonprogo. Adapun tahapan penelitian dapat dilihat pada bagan alir (Gambar 1) berikut ini

Citra SRTM

Kelas Bentuklahan

-

Kelas Kelerengan

Data Sekunder : Peta Geologi Klasifikasi bentuklahan Klasifikasi kemiringan lereng

Data Lapangan : - Struktur Geologi - Litologi - Sudut lereng

Analisis

Bentuklahan Dome Kulonprogo Gambar 1. Diagram Alir Tahapan Penelitian

4.

Hasil dan Pembahasan 314

Prosiding Seminar Nasional XII “Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi 2017 Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, parameter morfometri yang tergambarkan dari citra SRTM adalah kelerengan. Kelerengan di Dome Kulonprogo terbagi dalam 7 kelas lereng. Secara rinci kelas lereng tersebut dibagi menjadi topografi datar atau hampir datar (0-2%), bergelombang lemah/landai (3-7%),

bergelombang sedang/miring (8-13%), bergelombang kuat-lereng curam (14-20%), berbukit terjal (21-55%), pegunungan curam (56-140%), pegunungan sangat curam (>140%). Peta hasil analisis kelerengan berdasarkan citra SRTM dapat ditunjukkan dalam Gambar 2 berikut ini.

Gambar 2. Peta Kelerengan Dome Kulonprogo

Studi geologi regional daerah Dome Kulonprogo ditemukan sebanyak 8 formasi. Berdasar pengamatan di lapangan ditemukan litologi yaitu endapan lempung-pasir, batulempung, batupasir tufan, andesit, dan breksi andesit. Secara regional stratigrafi daerah Dome Kulonprogo yang teramati di lokasi penelitian meliputi 3 formasi. Berturut-turut dari yang tertua adalah Formasi Nanggulan dengan ditemukannya

singkapan berupa batulempung dan batupasir tufan. Menurut Pringgoprawiro dan Riyanto (1987) secara selaras di atas Formasi Nanggulan diendapkan Formasi Andesit Tua. Di lokasi penelitian batuan yang ditemukan sebagai bukti dari formasi ini adalah andesit sebagai lava dan breksi andesit. Secara tidak selaras di atasnya dijumpai Endapan Alluvial berupa endapan lempung-pasir. Persebaran dari masing-

315

Prosiding Seminar Nasional XII “Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi 2017 Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta masing formasi yang ditemukan di lokasi penelitian

disajikan dalam Gambar 3.

Gambar 3. Peta Geologi Dome Kulonprogo

Pengamatan yang dilakukan di lapangan mampu menunjukkan bahwa secara genesa daerah Dome Kulonprogo terbentuk oleh 3 proses bentuklahan. Proses bentuklahan asal proses fluvial yaitu proses pembentukan morfologi yang dipengaruhi oleh aktivitas sungai. Di daerah penelitian bukti bentuklahan asal proses fluvial ini berupa dataran banjir dan danau.

Bentuklahan asal proses denudasional yang dikontrol oleh proses eksogenik di lokasi penelitian ditemukan berupa perbukitan dan pegunungan denudasi. Sedangkan bentuklahan asal vulkanik yang mempengaruhi daerah penelitian ditemukan berupa perbukitan vulkanik terdenudasi. Bentuklahan penyusun Dome Kulonprogo dapat dilihat dalam peta geomorfologi yang disajikan di Gambar 4.

316

Prosiding Seminar Nasional XII “Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi 2017 Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta

Gambar 4. Peta Geomorfologi Dome Kulonprogo

Hasil overlay peta geomorfologi dan kelerengan menunjukkan bahwa bentuklahan dataran sungai mempunyai kelerengan rata-rata 21%, bentuklahan danau mempunyai kelerengan 8%, bentuklahan perbukitan dan pegunungan denudasional mempunyai

kelerengan rata-rata 31%, sedangkan bentuklahan perbukitan vulkanik terdenudasi mempunyai kelerengan rata-rata 43%. Hasil overlay tersebut diperlihatkan dalam Gambar 5.

317

Prosiding Seminar Nasional XII “Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi 2017 Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta

Gambar 5. Peta Overlay Geomorfologi dan Kelerengan Dome Kulonprogo

Berdasarkan hasil overlay antara peta geologi dan peta geomorfologi didapatkan hasil satuan bentuklahan dataran banjir disusun oleh endapan alluvium dan batuan undivided volcanics, bentuklahan danau disusun oleh Andesit dan Formasi Kebobutak. Bentuklahan perbukitan dan pegunungan denudasi

disusun oleh Formasi Sentolo, Nanggulan, Jonggrangan, Kebobutak, dan Andesit. Bentuklahan perbukitan vulkanik terdenudasi disusun oleh Formasi Kebobutak, Jonggrangan, Andesit, dan Dasit. Hasil overlay peta geologi dan peta geomorfologi disajikan dalam Gambar 6 berikut ini.

318

Prosiding Seminar Nasional XII “Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi 2017 Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta

Gambar 6. Peta Overlay Geologi dan Geomorfologi Dome Kulonprogo

Hasil overlay peta geologi dan kelerengan menunjukkan bahwa endapan aluvial menempati kelerengan rata-rata 21%, andesit mempunyai kelerengan rata-rata 38%, dasit mempunyai kelerengan rata-rata 24%, Formasi Jonggrangan kelerengan rata-rata 33%, Formasi Kebobutak dengan

kelerengan rata-rata 32%, Formasi Nanggulan mempunyai kelerengan 21%, Formasi Sentolo kelerengan 18%, dan Undivided Volcanics dengan kelerengan 24%. Hubungan antara peta geologi dan kelerengan ditampilkan dalam Gambar 7.

319

Prosiding Seminar Nasional XII “Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi 2017 Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta

Gambar 7. Peta Overlay Geologi dan Kelerengan Dome Kulonprogo

5. Kesimpulan dan Saran 5.1 Kesimpulan

5.2 Saran

Berdasarkan hasil pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Kelerengan pada masing-masing bentuklahan dataran banjir 21%, danau 8%, perbukitan dan pegunungan denudasional 31%, perbukitan vulkanik terdenudasi 43%. 2. Kelerengan pada masing-masing formasi aluvial 21%, andesit 38%, dasit, 24%, Formasi Jonggrangan 33%, Formasi Kebobutak 32%, Formasi Nanggulan 21%, Formasi Sentolo 18%, Undivided volcanics 24%. 3. Bentuklahan Dome Kulonprogo yang teridentifikasi adalah bentuklahan asal proses fluvial (dataran banjir dan danau), bentuklahan asal denudasional (perbukitan dan pegunungan), bentuklahan asal vulkanik (perbukitan vulkanik terdenudasi).

Penelitian identifikasi satuan bentuklahan Dome Kulonprogo ini sebaiknya dilakukan secara detil dengan luasan yang lebih sempit sehingga data yang dihasilkan akan lebih akurat. Pada pengamatan dengan citra kenampakan bentuklahan secara spesifik pada genesa tertentu tidak dapat teramati dengan baik oleh karena itu dapat dilakukan pada penelitian selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA Bauer, B.O., 2004, Geomorphology. In Goudie, A.S., editor, Encyclopedia of Geomorphology, 1:428–35. Bemmelen, van, R.W., 1949, The Geology of Indonesia, vol 1, Martinus Nijhoff, The Haque. P. 732. Budiadi, Ev., 2008, Peranan Tektonik Dalam Mengontrol Geomorfologi Daerah

320

Prosiding Seminar Nasional XII “Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi 2017 Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta

Pegunungan Kulon Progo, Yogyakarta, Disertasi Doktor, UNPAD, Bandung, 204 hal. Lillesand, T.M.; Kiefer, R.W., dan Chipman, J.W., 2004, Remote Sensing and Image Interpretation, 5 edition. John Wiley & Sons. New York. 763pp. Noor, D., 2010, Geomorfologi, Program Studi Teknik Geologi Fakultas Teknik. Universitas Pakuan. Edisi Kedua. Bogor. Tufaila, M.; Karim, Jufri; dan Alam, Syamsu, 2012, Pemanfaatan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis untuk Pemetaan Bentuklahandi DAS Moramo, Jurnal Agroteknos, Maret 2012, Vol.2., No.1., hal. 9-20.

Smith, M.J. and C.F. Pain, 2009, Applications of Remote Sensing in Geomorphology. Progress in Physical Geography. 33(4):568–582. Sutanto, 1986, Penginderaan Jarak Jauh, UGM Press, Yogyakarta. Zuidam, van, R.A., 1983, Guide to Geomorphology Aerial Photographic Interpretation and Mapping, Departement of Geomorphology and Geography, ITC, Netherlands. Zuidam, van, R.A., and Zuidam-Cancelado, F.I., 1979, Terrain Analysis and Classification Using Aerial Photographs. A Geomorphology Approach, ITC, Netherlands.

321