IMPLEMENTASI SOSIALISASI JAMINAN KESEHATAN NASIONAL DALAM

Download manfaat yang akan diterima, hak dan kewajiban sebagai peserta BPJS, serta hak dan kewajiban pemberi pelayanan. Penelitian ini bertujuan unt...

0 downloads 483 Views 382KB Size
IMPLEMENTASI SOSIALISASI JAMINAN KESEHATAN NASIONAL DALAM PELAYANAN DI POLI GIGI PUSKESMAS RURUKAN TOMOHON Mirsarinda Leander* *Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi ABSTRAK Puskesmas sebagai salah satu Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menjamin pelayanan gigi yang bebas biaya bagi pasien peserta BPJS Kesehatan. Kendati demikian sejak dimulainya program BPJS Kesehatan pada 1 Januari 2014, hanya ada 150 pasien peserta BPJS yang berobat ke puskesmas dari total 6102 peserta yang terdaftar di Puskesmas Rurukan. Sosialisasi sebenarnya sangat dibutuhkan karena belum semua masyarakat memahami JKN secara keseluruhan khususnya dalam pelayanan gigi, seperti apa manfaat yang akan diterima, hak dan kewajiban sebagai peserta BPJS, serta hak dan kewajiban pemberi pelayanan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang implementasi sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional dalam pelayanan di poli gigi Puskesmas Rurukan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Pengambilan data dengan wawancara mendalam dan dilaksanakan di Puskesmas Rurukan pada bulan Juli sampai November 2015. Informan dalam penelitian ini diambil berdasarkan prinsip kesesuaian (appropriateness) dan kecukupan (adequacy). Informan dalam penelitian ini berjumlah 8 orang terdiri dari Kepala Puskesmas Rurukan, pemegang program kesehatan gigi dan mulut, staf BPJS cabang pembantu di Kota Tomohon, dan 5 orang pasien gigi. Hasil penelitian ini didapatkan bahwa sosialisasi tentang cakupan pelayanan gigi, prosedur pendaftaran dan prosedur pelayanan gigi bagi peserta BPJS masih kurang. Untuk itu disarankan agar Dinas Kesehatan, puskesmas, BPJS Kesehatan, dan stakeholder terkait dapat menjalin kerjasama yang baik dalam mensosialisasikan pelayanan gigi bagi peserta BPJS Kesehatan. Masyarakat juga diharapkan memiliki sikap terbuka sehingga dapat bersama-sama mensukseskan program JKN ini. ABSTRAK Public Health Center as one of the First Level Health Facilities in the era of National Health Insurance (JKN) ensure dental services are free of charge to the patient participants of BPJS Health. However since the program's inception BPJS on January 1, 2014, there were only 150 patients BPJS participants who went to the clinic of a total of 6102 participants enrolled in PHC Rurukan. Actual socialization is needed because not all people understand the overall JKN particularly in dental services, such as what benefits will be received, rights and obligations as participants BPJS, and the rights and obligations of service providers. This study aimed to obtain information on the implementation of the National Health Insurance socialization in service at the health center dental clinic Rurukan. This study used qualitative methods. Retrieving data with in-depth interviews carried out in health centers and Rurukan in July to November 2015. The informants in this study were drawn based on the principle of appropriateness and adequacy. Informants in this study amounted to 8 consists of the Head of Puskesmas Rurukan, holders of oral health programs, staff BPJS branches in Tomohon, and 5 patients teeth. Results of this study found that the socialization of dental care coverage, the registration procedures and procedures for participants BPJS dental services is still lacking. It is recommended that the Department of Health, community health centers, BPJS Health, and relevant stakeholders to establish a good cooperation in disseminating dental services for participants BPJS Health. People are also expected to have an open attitude so as to jointly succeed in this JKN program. BPJS : Social Security Administrator

43

mendapatkan pelayanan kesehatan tingkat lanjutan. Puskesmas sebagai salah satu FKTP harus memiliki pelayanan kesehatan yang bermutu dan berkualitas serta harus menyentuh seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali. Pelayanan kesehatan tersebut, termasuk didalamnya adalah pelayanan kesehatan gigi dan mulut. Kesehatan gigi dan mulut merupakan bagian integral dari kesehatan tubuh secara keseluruhan yang tidak dapat dipisahkan dari kesehatan tubuh secara urnum. Menurut data WHO 6090% anak usia sekolah dan hampir 100% orang dewasa memiliki masalah gigi. Dari hasil Riskesdas 2013 sebesar 25,9% penduduk Indonesia mempunyai masalah gigi dan mulut. Di Propinsi Sulawesi Utara, prevalensi penduduk yang bermasalah gigi dan mulut adalah 31,6% (Anonim, 2014b). Dengan demikian dapat dibayangkan besarnya kebutuhan masyarakat akan perawatan gigi dan mulut. Namun sebagian besar masyarakat sering mengabaikan kondisi kesehatan gigi secara keseluruhan. Perawatan gigi dianggap tidak terlalu penting, padahal manfaatnya sangat vital dalam menunjang kesehatan dan penampilan. Sebaliknya perawatan gigi justru dianggap mahal sehingga sebagian masyarakat belum mau dan mampu membiayai pengobatan ke dokter gigi di fasilitas kesehatan milik swasta atau fasilitas kesehatan milik pemerintah seperti puskesmas. Puskesmas Rurukan yang menjadi lokasi penelitian penulis memiliki poli gigi yang terdiri dari 1 orang dokter gigi dan 3 orang perawat gigi. Jumlah penduduk Kecamatan Tomohon Timur yang berada di wilayah kerja Puskesmas Rurukan tahun 2013 sebesar 10.876 jiwa (Anonim, 2013a). Data terakhir bulan September 2015,

PENDAHULUAN Hak tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya merupakan hak asasi manusia dan diakui oleh segenap bangsabangsa di dunia, termasuk Indonesia. Pengakuan itu tercantum dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948 pasal 25 ayat 1 tentang Hak Azasi Manusia. Berdasarkan Deklarasi tersebut, beberapa negara mengambil inisiatif untuk mengembangkan jaminan sosial, antara lain jaminan kesehatan bagi semua penduduk atau yang disebut Universal Health Coverage. (Anonim, 2014c). Di Indonesia, falsafah dan dasar negara Pancasila terutama sila kelima juga mengakui hak asasi warga negara atas kesehatan. Hak ini juga tercantum dalam UUD 1945 pasal 28H dan pasal 34, dan diatur dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Komitmen global dan konstitusi di atas diwujudkan oleh pemerintah dengan pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi kesehatan perorangan. Karena itu pada tahun 2004, dikeluarkan Undang-Undang No. 40 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Undang-Undang ini mengamanatkan bahwa jaminan sosial wajib bagi seluruh penduduk termasuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui suatu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). (Anonim, 2014c). Pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial terhadap peserta dilakukan dengan sistem pelayanan kesehatan berjenjang dimana saat peserta membutuhkan pelayanan kesehatan, peserta diwajibkan untuk datang ke Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) terlebih dahulu sebelum mereka

44

jumlah peserta BPJS yang terdaftar di Puskesmas Rurukan berjumlah 6102 orang. Di era Jaminan Kesehatan Nasional saat ini, Puskesmas Rurukan sebagai penyedia pelayanan kesehatan gigi dan mulut memberikan pelayanan bebas biaya untuk konsultasi, premedikasi, penambalan dan pencabutan gigi serta pembersihan karang gigi bagi peserta BPJS yang terdaftar. Karena semua perawatan ini tidak dipungut biaya, seharusnya seluruh pasien peserta BPJS dapat menikmati perawatan gigi dan mulut tersebut. Namun pada kenyataanya sejak dimulainya program BPJS Kesehatan 1 Januari 2014, pasien gigi peserta BPJS di Puskesmas Rurukan masih banyak yang belum menggunakan pelayanan gigi tersebut. Data yang penulis dapatkan selama tahun 2014 hanya ada 836 pasien yang berkunjung ke poli gigi, 150 diantaranya adalah peserta BPJS, sisanya adalah pasien umum yang dikenakan biaya administrasi dan perawatan (Anonim, 2014a). Menurut pengamatan penulis berbagai kemudahan dalam pemanfaatan program jaminan kesehatan terutama dalam hal biaya perawatan yang gratis belum cukup mendorong masyarakat untuk menggunakannya karena belum semua masyarakat mengerti manfaat yang akan didapat ketika menjadi peserta BPJS di puskesmas. Penelitian dari Trias (2014) menyimpulkan bahwa sosialisasi tentang JKN dan BPJS saat ini masih kurang dalam hal memberi informasi akan hak dan kewajiban bila nanti menjadi peserta dikarenakan dari pihak BPJS tidak menjelaskan dengan lengkap. Hal ini didukung oleh studi evaluasi dari Mariza dan Sutopo (2014) yang berjudul Efektivitas Sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional oleh Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di Kabupaten Temanggung yang menyatakan dalam kesimpulannya bahwa sosialisasi JKN di Kabupaten Temanggung kurang efektif karena terdapat faktor penghambat sosialisasi yaitu kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya program JKN sebagai proteksi dini. Sosialisasi ini sebenarnya sangat penting karena belum semua masyarakat memahami JKN secara keseluruhan khususnya dalam pelayanan gigi, seperti apa manfaat yang akan diterima, hak dan kewajiban sebagai peserta BPJS, serta hak dan kewajiban pemberi pelayanan. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Rurukan Kecamatan Tomohon Timur pada bulan Juli sampai November 2015. Informan dalam penelitian ini diambil berdasarkan prinsip kesesuaian (appropriateness) dan kecukupan (adequacy). Kesesuaian adalah informan dipilih berdasarkan pengetahuan yang dimiliki yang berkaitan dengan topik penelitian. Prinsip kecukupan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jumlah informan tidak menjadi faktor penentu utama, akan tetapi kelengkapan data yang dipentingkan. Berdasarkan prinsip tersebut diatas, maka informan dalam penelitian ini berjumlah 8 karakteristik informan yaitu Kepala Puskesmas Rurukan (1 orang), pemegang program kesehatan gigi dan mulut Puskesmas Rurukan (1 orang), staf BPJS cabang pembantu di Kota Tomohon (1 orang), pasien gigi peserta Jamkesmas (1 orang), pasien gigi peserta BPJS mandiri (1 orang), pasien gigi PNS (1 orang),dan pasien gigi umum (2 orang).

45

dilakukan sampai ke berbagai profesi, di kampus serta sekolah-sekolah. Namun jawaban yang berbeda didapat dari pasien dan pemegang program gigi dan mulut. Semua informan pernah melihat iklan JKN dan BPJS di media massa seperti televisi atau koran namun merasakan bahwa sosialisasi belum maksimal. Sosialisasi dari BPJS Kesehatan ke Dinas Kesehatan Kota Tomohon sudah pernah dilakukan awal tahun 2014 yang lalu dan pertemuan seperti ini akan dilakukan secara berkala setiap kali terjadi perubahan regulasi atau kebijakan yang baru. Pertemuan tersebut dihadiri oleh kepala puskesmas, dokter umum, dokter gigi, kepala tata usaha dan bendahara. Informasi yang didapat diharapkan akan diteruskan kepada seluruh staf puskesmas sehingga semua staf di puskesmas dapat memahami tentang prosedur pelayanan bagi pasien peserta BPJS. Namun yang terjadi adalah beberapa staf medis di puskesmas kurang memahami secara lengkap tentang BPJS Kesehatan. Bila ada perubahan peraturan atau kebijakan maka BPJS Kesehatan akan langsung menyampaikan kepada Dinas Kesehatan dan puskesmas sehingga diharapkan peraturan atau kebijakan terbaru tersebut bisa langsung disosialisasikan ke pasien. Sosialisasi dari staf BPJS kepada masyarakat sudah sering dilakukan. Hal ini disampaikan dengan tegas oleh staf BPJS cabang Tomohon. Menurut hasil wawancara tersebut di atas dapat dikatakan bahwa sosialisasi yang dilakukan oleh BPJS sudah cukup maksimal. Sosialisasi sudah dilakukan dari sebelum tahun 2014 sampai sekarang. Berbeda dengan peryataan staf BPJS di atas, informan pemegang program gigi dan mulut menyatakan bahwa sosialisasi ke pasien hanya dilakukan secara langsung ke pasien yang

HASIL DAN PEMBAHASAN Implementasi sosialisasi jaminan kesehatan nasional bagi pelayanan kepada pasien peserta BPJS di poli gigi Puskesmas Rurukan meliputi sosialisasi cakupan pelayanan gigi, sosialisasi prosedur pendaftaran, sosialisasi prosedur pelayanan, faktor pendukung dan penghambat. 1. Cakupan pelayanan gigi dan mulut bagi peserta BPJS Kesehatan Pelayanan di poli gigi fasilitas kesehatan tingkat pertama yang dijamin oleh BPJS yaitu terdiri dari administrasi pendaftaran peserta untuk berobat, penyediaan dan pemberian surat rujukan ke faskes lanjutan untuk penyakit yang tidak dapat ditangani di faskes tingkat pertama, pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi medis, premedikasi, kegawatdaruratan oro-dental, pencabutan gigi sulung (topikal, infiltrasi), pencabutan gigi permanen tanpa penyulit, obat pasca ekstraksi, tumpatan komposit atau GIC (glass ionomer cement), skeling gigi (satu kali dalam setahun), gigi palsu (satu kali dalam dua tahun). Ketika mewawancarai pasien tentang cakupan pelayanan, penulis terlebih dahulu menanyakan tentang sejauh mana mereka mengetahui JKN. Dari 5 informan pasien, hanya 1 orang informan yang mengatakan tidak tahu. Informan pasien yang berjumlah 4 orang dengan latar belakang berbeda pekerjaan dan pendidikan menjawab mengetahui kepanjangan JKN yaitu jaminan kesehatan nasional yang memberikan pelayanan kesehatan gratis bagi mereka yang memegang kartu BPJS Kesehatan. Cakupan pelayanan gigi yang dijamin oleh BPJS Kesehatan belum diketahui secara jelas oleh pasien. Staf BPJS menyatakan bahwa sosialisasi JKN kepada masyarakat sudah dikerjakan dengan baik. Sosialisasi

46

berobat di puskesmas saja. Belum pernah ia mendengar tentang sosialisasi BPJS Kesehatan diadakan dilingkup kantor, lingkungan atau di gereja. Menurut informan pasien menyatakan bahwa sosialisasi dari BPJS Kesehatan secara langsung belum pernah dilakukan namun dari pihak kepala lingkungan dan dari gereja sudah pernah berinisiatif untuk ikut membantu mensosialisasikan BPJS tersebut. Penulis berpendapat bahwa sosialisasi yang dilakukan oleh stakeholder terkait memang sangat diperlukan karena BPJS sangat terbantu dengan adanya gereja yang ikut menggalakkan program JKN ini bagi jemaatnya.

dengan penyuluhan kesehatan atau dari UKS dan UKGS di sekolah-sekolah. Peserta BPJS yang terdaftar di Puskesmas Rurukan memang belum disosialisasikan sehingga mereka yang tidak pernah berobat gigi tidak akan tahu tentang pelayanan gigi ini. Seiring dengan penelitian dari Primantika (2014) yang mendapatkan hasil penelitian di Rumah Sakit Permata Medika Kota Semarang tahun 2013-2014bahwa materi sosialisasi JKN dapat dipahami, tetapi masih terlalu umum. Metode ceramah kurang menolong memahami materi sedangkan metode diskusi lebih menolong. Alat sosialisasi lengkap tetapi kurang bermanfaat. Organisasi BPJS, tim khusus sosialisasi JKN hanya ada pada tahun 2013 saja. Pernyataan dari staf BPJS bertolak belakang dengan informan yang lain dimana menurut mereka sudah disosialisasikan kepada masyarakat tentang cakupan pelayanan gigi lewat buku terbitan BPJS berjudul Pelayanan Gigi dan Protesa Gigi serta lewat sosialisasi secara langsung ketika mendaftar fasilitas kesehatan tingkat pertama. Sosialisasi harus dilakukan dengan dua tahap besar untuk mencapai pemahaman dan kesadaran luas akan sistem JKN, yaitu: a. Tahap sosialisasi kepada pemangku kepentingan kunci, yaitu para tokoh/ pimpinan serikat pekerja, para pemberi kerja, para akademisi, para penggiat organisasi kemasyarakatan dan para pejabat di pusat dan daerah.

Tokoh agama dan tokoh masyarakat sangat berperan dalam hal memberikan motivasi kepada masyarakat untuk mengikuti program JKN ini. Kepala lingkungan yang berinisiatif mengadakan pertemuan dengan warganya, memfasilitasi pihak puskesmas atau pihak BPJS utuk bertemu dengan warga lingkungannya mensosialisasikan tentang BPJS ini perlu diberikan apresiasi, karena tidak semua kepala lingkungan yang memiliki inisiatif seperti di Keluarahan tersebut. Cakupan pelayanan gigi yang dijamin bagi peserta BPJS memang belum tersosialisasikan dengan baik. Hal ini terlihat dari hasil wawancara kepada informan pasien. Dari kelima pasien yang diwawancara semua tidak mengetahui tentang pelayanan gigi yang dijamin oleh BPJS. Kepala puskesmas dan pemegang program gigi dan mulut cukup mengetahui tentang cakupan pelayanan gigi yang dijamin oleh BPJS. Mereka mensosialisasikan kepada pasien yang kebetulan berobat di poli gigi puskesmas dan melakukan sosialisasi bersamaan

b. Tahap sosialisasi kepada seluruh publik (peserta) dilakukan setelah peraturan perundangan, fasilitas/tenaga kesehatan telah dikontrak, sistem dan prosedur baku telah disusun dan diuji, serta bahan

47

yang dibutuhkan telah tersedia. (Roadmap JKN, 2012) . Strategi sosialisasi, edukasi dan advokasi didesain untuk memudahkan pemahaman, penerimaan dan dukungan/partisipasi publik tentang kebijakan jaminan kesehatan. Agar kegiatan sosialisasi, edukasi dan advokasi yang dilakukan berjalan efektif maka harus dirumuskan strateginya oleh BPJS Kesehatan dan pemerintah. 2. Sosialisasi prosedur pendaftaran di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP). Jumlah kapitasi yang terdaftar di Puskesmas Rurukan adalah sebanyak 6102 peserta. Jumlah ini dapat diketahui dan diakses lewat layanan primary care BPJS. Menurut informan Kepala Puskesmas Rurukan jumlah kapitasi ini terus meningkat setiap bulannya. Jumlah penduduk Kecamatan Tomohon Timur Tahun 2013 sebesar 10.876 jiwa dengan perbandingan jumlah laki-laki 5.586 jiwa sedangkan perempuan 5.290 jiwa. Pasien yang terdaftar di kapitasi Puskesmas Rurukan baru 6102 berarti sisanya terdaftar di dokter umum keluarga atau belum menjadi peserta BPJS. Menurut data terakhir yang diberikan oleh Kepala Puskesmas, masih sekitar 30% penduduk di Tomohon Timur yang belum mendaftar menjadi peserta BPJS. Hasil wawancara dengan informan menyimpulkan bahwa banyak masyarakat (yang bukan pegawai negeri) yang masih enggan menjadi peserta karena masih mengharapkan mendapat kartu jamkesmas atau jamkesda sehingga lebih meringankan karena mereka tidak perlu membayar iuran per bulannya. Namun menurut informan staf BPJS, iuran yang

dikeluarkan tidak seberapa bila dibandingkan dengan manfaat dan keuntungan yang bisa diperoleh ketika sakit. Adapun iuran yang harus dibayarkan oleh peserta mandiri adalah Rp 25.500 untuk kelas III perawatan rumah sakit, Rp 42.500 untuk kelas II perawatan rumah sakit, dan Rp 59.500 untuk kelas I perawatan rumah sakit. Paket pelayanan kesehatan sama untuk semua kelas perawatan (Anonim, 2014c). Masyarakat masih belum memahami manfaat menjadi peserta BPJS, seperti peneitian dari Rolos (2014) manfaat yang di dapatkan peserta BPJS Kesehatan di Kabupaten Minahasa Tenggara adalah pelayanan kesehatan preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif yang pemanfaatannya masih kurang dipahami oleh masyarakat. Kunjungan pasien di poli gigi selama 2014 adalah 836 pasien, 150 diantaranya adalah pasien BPJS. Jumlah ini masih sangat sedikit bila dibandingkan dengan jumlah peserta BPJS yang terdaftar di Puskesmas Rurukan yaitu 6102 orang. Menurut hasil wawancara kepada informan kepala puskesmas dan pemegang program gigi dan mulut, pasien yang datang hampir sebagian besar dengan keluhan sakit gigi. Ketika belum timbul rasa sakit maka pasien enggan untuk datang berobat meskipun banyak masalah di dalam mulutnya. Hal ini yang menyebabkan kunjungan pasien di poli gigi tidak mengalami kenaikan yang signifikan. Karena itu menurut penulis sangat perlu untuk memberikan edukasi kepada pasien tentang kesehatan gigi dan mulut sekaligus sosialisasi kepada pasien tentang cakupan pelayanan, prosedur pendaftaran dan prosedur

48

c) tidak ada pendaftaran peserta ke dokter gigi lain. Namun jika peserta memilih terdaftar di dokter praktek perorangan (dokter umum) sebagai fasilitas kesehatan tingkat pertamanya, maka: a) peserta dapat mendaftar ke dokter gigi praktek mandiri atau perorangan sesuai pilihan dengan mengisi daftar isian peserta (DIP) yang disediakan oleh BPJS Kesehatan. b) pelayanan gigi kepada peserta diberikan oleh dokter gigi sesuai pilihan peserta. c) Penggantian fasilitas kesehatan dokter gigi diperbolehkan minimal setelah terdaftar 3 (tiga) bulan di fasilitas kesehatan tersebut. Hal inilah yang belum dipahami pasien secara mendalam, karena itu sering terjadi salah komunikasi antara pasien dengan penyedia layanan kesehatan primer atau dalam penelitian ini puskesmas. Informan staf BPJS menyatakan bahwa mereka sudah memberikan edukasi, pemahaman yang baik kepada peserta. Selain sosialisasi berkelompok, sosialisasi langsung ke peserta yang mendaftar di kantor BPJS juga sudah dilaksanakan. Banyaknya peserta yang mendaftar di kantor BPJS dan antrian yang panjang menyebabkan para staf BPJS tidak bisa menyediakan waktu yang lebih untuk memberikan penjelasan kepada satu calon peserta. Hanya sedikit peserta yang tahu bahwa mereka dapat memanfaatkan palayanan gigi dan mulut secara gratis pula. Selain itu kembali lagi kepada alasan calon peserta ketika mendaftar BPJS, sebagian besar karena sudah jatuh sakit bahkan butuh segera dilayani di rumah sakit karena sakit yang berat. Paradigma sehat atau slogan ‘lebih baik mencegah daripada mengobati’

pelayanan, manfaat dan keuntungan menjadi peserta BPJS. Penelitian dari Rolos (2014) yang berjudul Implementasi Program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di Kabupaten Minahasa Tenggara menyatakan masyarakat nanti baru bergabung menjadi peserta BPJS Kesehatan jika sudah mengalami sakit atau sudah mendapatkan rehabilitasi di rumah sakit. Seharusnya masyarakat juga bisa mendapatkan manfaat promotif dan preventif dari penggunaan BPJS Kesehatan sehingga masyarakat bisa terhindar dari berbagai macam penyakit. Persepsi masyarakat inilah yang salah terhadap program yang dibuat oleh pemerintah. Informan pasien yang berjumlah 5 orang belum sepenuhnya memahami tata cara pendaftaran sebagai peserta BPJS. Hal ini terlihat dari hasil wawancara kepada informan. Informan Kepala Puskesmas dan pemegang program gigi dan mulut mengungkapkan bahwa kurangnya pemahaman masyarakat akan prosedur pendaftaran disebabkan oleh kurangnya petugas BPJS yang seharusnya menjelaskan dengan rinci ketika calon peserta datang ke kantor BPJS untuk mendaftar. Buku Pedoman Pelayanan Gigi dan Protesa Gigi yang diterbitkan BPJS menyatakan jika peserta memilih terdaftar di puskesmas atau klinik sebagai fasilitas kesehatan tingkat pertamanya, maka : a) puskesmas atau klinik wajib melayani pasien tersebut, bila tidak ada sarana maka wajib menyediakan jejaring (dokter gigi dan sarana penunjang lain). b) peserta mendapatkan pelayanan gigi di dokter gigi yang menjadi jejaring puskesmas atau klinik. 49

belum menjadi alasan utama bagi pasien untuk mendaftar BPJS. Apalagi penyakit gigi dan mulut yang seringkali dianggap tidak terlalu penting. Dari hasil Riskesdas 2013 sebesar 25,9% penduduk Indonesia mempunyai masalah gigi dan mulut. Diantara mereka, terdapat 31,1% yang menerima perawatan dan pengobatan dari tenaga medis gigi (perawat gigi, dokter gigi atau dokter gigi spesialis), sementara 68,9% lainnya tidak dilakukan perawatan.

Pandangan masyarakat (dalam hal ini informan) terhadap kedokteran gigi primer adalah lebih terbuka dan mau menggunakannya. Sosialisasi tentang kedokteran gigi di tingkat pertama memang perlu ditingkatkan lagi karena masih banyak peserta BPJS yang berpikir bahwa semua perawatan gigi gratis. Informan pasien yang berjumlah 5 orang sama-sama belum memahami dengan jelas tantang manfaat dan keuntungan yang bisa didapatkan. Tiga orang diantaranya mengatakan kalau mereka tahu bahwa semua perawatan gigi gratis.

3. Sosialisasi prosedur pelayanan di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) Pelayanan di poli gigi Puskesmas Rurukan cukup membuat informan pasien yang berjumlah 5 orang puas, namun dari segi sarana masih kurang lengkap. Kepala puskesmas dan pemegang program gigi dan mulut menyatakan bahwa alat dan bahan yang sudah rusak akan diadakan kembali oleh pemerintah daerah agar mendukung jalannya pelayanan gigi di puskesmas. Kepuasan dari pasien terhadap pelayanan di poli gigi antara lain dikarenakan oleh pelayanan yang efektif dan efisien, sikap ramah dari tenaga medis, serta biaya yang tidak mahal untuk informan dengan latar belakang pasien umum sedangkan bagi pasien Jamkesmas dan PNS tentu saja tidak dikenakan biaya pengobatan namun mereka puas dengan pelayanan yang diberikan. Hal ini hampir sama dengan penelitian dari Riyadi (2015) yang mendapatkan hasil mutu pelayanan kesehatan peserta BPJS di Puskesmas Kembangan Jakarta Barat adalah baik dilihat dari faktor kompetensi teknis, akses terhadap pelayanan, efektifitas, hubungan antara manusia, efisiensi, pelayanan, keamanan, kenyamanan serta kenikmatan.

Pelayanan gigi yang tidak dijamin oleh BPJS menurut Buku Pedoman Pelayanan Gigi dan Protesa Gigi (2014) adalah pelayanan kesehatan yang dilakukan tanpa melalui prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan yang berlaku, pelayanan kesehatan yang dilakukan di fasilitas kesehatan yang tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan (kecuali dalam keadaan darurat), pelayanan kesehatan yang dilakukan di luar negeri, pelayanan kesehatan untuk tujuan estetik, pelayanan meratakan gigi (ortodonsi), biaya pelayanan lainnya yang tidak ada hubungan dengan manfaat jaminan kesehatan yang diberikan. Hak pasien peserta BPJS untuk dapat mengetahui pelayanan gigi yang dijamin dan tidak dijamin oleh BPJS Kesehatan. Informan kepala puskesmas, staf BPJS dan pemegang program gigi dan mulut mengatakan bahwa indikasi medis yang tidak dapat ditangani di FKTP dapat dirujuk ke rumah sakit atau dokter spesialis dan sub spesialis yang bekerja sama dengan puskesmas. Saat ini sarana di poli gigi Puskesmas Rurukan belum lengkap dan masih perlu perbaikan sehingga tidak dapat melayani pasien sesuai dengan kewajiban dari

50

Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama. Poli gigi tidak bisa melayani pencabutan dengan komplikasi, penambalan gigi, perawatan saraf gigi, pembersihan karang gigi dan semua perawatan yang memakai alat kompresor. Pengadaan alat dan bahan gigi baru akan ditindaklanjuti oleh pemerintah agar dapat memaksimalkan pelayanan, karena itu banyak pasien yang dirujuk ke rumah sakit terdekat yang bekerjasama dengan BPJS atau pasien diberikan pengertian agar bersabar dengan kondisi yang ada. Solusi lain yang dapat diberikan untuk pasien yang kurang kooperatif adalah pasien disarankan untuk berpindah ke dokter gigi keluarga agar dapat dilayani dengan maksimal. Hal ini juga menjadi hambatan bagi pasien yang ingin dilayani cepat karena pergantian fasilitas kesehatan tingkat pertama baru berlaku setelah 3 bulan kemudian. Hal yang penting diketahui juga adalah pasien tidak diijinkan untuk meminta rujuk ke rumah sakit bila indikasi medisnya masih bisa ditangani di fasilitas kesehatan tingkat pertama. Kurangnya sosialisasi menyebabkan banyak pasien yang langsung meminta rujukan padahal belum diperiksa oleh tenaga medis di poli gigi atau ada beberapa pasien yang langsung pergi ke rumah sakit tanpa surat rujukan dari puskesmas. Sejalan dengan penelitian dari Geswar (2014) dalam tesisnya yang berjudul Kesiapan Stakeholder dalam Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional di Kabupaten Gowa yang menyatakan bahwa belum ada kesiapan untuk aspek fasilitas kesehatan dikarenakan alat kesehatan masih kurang,

pencabutan dengan komplikasi, penambalan gigi, perawatan saraf gigi, dan pembersihan karang gigi tidak bisa dilakukan sama sekali. Seiring dengan berjalannya waktu, kunjungan para pasien akhirnya berkurang. Sejak berdirinya Puskesmas Rurukan, sarana di poli gigi hanya terdapat di Puskesmas Pembantu Paslaten 1. Kunjungan pasien dari tahun 2006 rata-rata 3 sampai 5 orang per hari, namun sejak alat rusak makan kunjungan semakin berkurang. Hal ini tentunya tidak sesuai dengan harapan program jaminan kesehatan yang sudah memberikan kemudahan kepada para pasien dalam hal biaya. Para peserta BPJS Rurukan seharusnya lebih banyak berkunjung ke poli gigi karena ada cakupan pelayanan gigi yang dijamin BPJS Kesehatan sehingga tidak perlu mengeluarkan biaya sama sekali. 4.

Faktor pendukung dan penghambat sosialisasi JKN Staf BPJS menyatakan kendala dan faktor yang menjadi hambatan sosialisasi jaminan kesehatan nasional bagi pelayanan di poli gigi Puskesmas Rurukan ini tidak ada karena BPJS sudah mensosialisasikan dengan baik kepada masyarakat. Setiap kali membuat pertemuan, masyarakat sangat merespon dengan baik, hanya saja ada masyarakat yang masih berpikir nanti jatuh sakit baru akan mendaftar menjadi peserta BPJS. Mereka tidak tahu bahwa kartu BPJS akan berlaku 2 minggu kemudian sejak mendaftar. Kepala puskesmas dan pemegang program gigi dan mulut tidak sependapat, mereka menyatakan bahwa masih banyak kendala di lapangan dan faktor yang menghambat diantaranya adalah sarana di poli gigi yang tidak lengkap, dana operasional yang belum bisa digunakan karena masalah birokrasi, regulasi atau peraturan yang sering

Sarana di poli gigi ini sangat perlu untuk diperbaiki karena sejak kondisi alat (kompresor) rusak maka untuk pelayanan

51

berubah sehingga membingungkan bagi masyarakat dan penyedia layanan primer, sistem komputer yang masih bergantung kepada jaringan atau sinyal, serta sosialisasi yang belum maksimal dari staf BPJS kepada calon peserta. Sejalan dengan itu, penelitian dari Rolos (2014) mengatakan pelaksanaan sosialisasi kepada masyarakat tentang BPJS Kesehatan yang ada di Kabupaten Minahasa Tenggara sudah diadakan namun belum optimal. Hasil penelitian dari Geswar (2014) juga menyatakan dalam kesimpulannya bahwa belum ada kesiapan untuk aspek fasilitas kesehatan dikarenakan alat kesehatan masih kurang, aspek regulasi juga belum terlihat kesiapannya dikarenakan belum ada petunjuk teknis di Kabupaten Gowa mengenai jaminan kesehatan, untuk sosialisasi sudah dilakukan seluruh pihak stakeholder namun karena sosialisasi yang belum optimal sehinggga masih banyak masyarakat belum memahami tentang program JKN. Latar (2014) di dalam penelitiannya yang berjudul ‘Kesiapan Stakeholder dalam Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional di Kota Tual’ menyimpulkan bahwa untuk kesiapan stakeholder dalam pelaksanaan JKN di Kota Tual dilihat dari kesiapan fasilitas kesehatan belum siap dalam memenuhi syarat kredensial dan belum siap menerima sistem pembiayaan kapitasi dan INA-CBGs. Pada kenyataannya pelayanan di puskesmas harus tetap berjalan karena fasilitas kesehatan tingkat pertama milik pemerintah diharuskan menjadi mitra BPJS Kesehatan untuk mensukseskan program JKN dari Januari 2014 . Hal inilah yang seringkali membuat puskesmas tidak bisa memberikan pelayanan yang maksimal kepada

masyarakat karena sesungguhnya banyak puskesmas yang belum siap sewaktu dimulainya program JKN ini. Seiring dengan berjalannya waktu diharapkan puskemas dapat memperbaiki sistem dan sarana agar dapat memenuhi persyaratan kredensial dari BPJS. Kepala puskesmas melalui wawancara dengan penulis memberikan pernyataan bahwa ia telah berencana untuk memperbaiki sarana dan menambah alat serta bahan obat kedokteran gigi di poli gigi namun memiliki kendala dana yang belum tersedia. Dana kapitasi yang diterima oleh FKTP dari BPJS Kesehatan dimanfaatkan seluruhnya untuk pembayaran jasa pelayanan kesehatan dan untuk dukungan biaya operasional pelayanan kesehatan. Alokasi untuk pembayaran jasa pelayanan kesehatan untuk tiap FKTP ditetapkan sekurangkurangnya 60% dari penerimaan dana kapitasi. Biaya operasional pelayanan ditetapkan sebesar selisih dari besar dana kapitasi dikurangi dengan besar alokasi untuk pembayaran jasa pelayanan kesehatan. Dana kapitasi untuk dukungan biaya operasional pelayanan kesehatan dimanfaatkan untuk obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai, upaya kesehatan perorangan berupa kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif lainnya, kunjungan rumah dalam rangka upaya kesehatan perorangan, operasional untuk puskesmas keliling, bahan cetak atau alat tulis kantor, administrasi keuangan dan sistem informasi (Anonim, 2014g). Pembayaran kapitasi oleh BPJS Kesehatan didasarkan pada jumlah peserta yang terdaftar di FKTP sesuai dengan data BPJS Kesehatan. Pembayaran kapitasi kepada FKTP milik Pemerintah Daerah ini dilakukan oleh BPJS Kesehatan setiap bulan paling

52

lambat tanggal 15 bulan berjalan. Pembayaran dana kapitasi oleh BPJS ke Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama milik Pemerintah Daerah ini langsung ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang selanjutnya disetor ke Kas Daerah (KASDA) atau langsung dari BPJS Kesehatan ke Kas Daerah sebagai penerimaan daerah. Sejak diundangkannya Perpres 32/2014 dan Permenkes 19/2014 dana kapitasi langsung dibayarkan oleh BPJS Kesehatan ke FKTP milik Pemerintah Daerah. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 19 tahun 2014 tentang Penggunaan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional untuk jasa pelayanan kesehatan dan dukungan biaya operasional pada fasilitas kesehatan tingkat pertama milik Pemerintah Daerah. Pada kenyataannya dana operasional dari BPJS Kesehatan ini masih terkendala di sistem birokrasi sehingga dana tersebut belum dapat digunakan untuk memperbaiki alat yang rusak dan menambah alat kedokteran gigi yang masih diperlukan. Informan pasien berpendapat faktor yang menghambat adalah pandangan masyarakat yang salah terhadap puskesmas. Baginya dan beberapa orang sering menganggap puskesmas adalah fasilitas kesehatan yang kurang memenuhi standar operasional prosedur dari segi pelayanan maupun sarana karena biaya berobat yang murah namun ternyata setelah pergi ke puskesmas dan mendapat pelayanan yang baik, pandangannya terhadap puskesmas menjadi berubah. Informan lain mengatakan bahwa kepedulian terhadap pasien BPJS lebih di tingkatkan lagi, karena banyak yang seolah-olah mengundurkan diri karena tidak bisa mendapatkan pelayanan yang seharusnya sesuai peraturan yang ada. Karena itu

sebagai fasilitas kesehatan tingkat pertama dan fasilitas kesehatan tingkat lanjutan harus memberikan pelayanan yang baik sesuai dengan peraturan yang telah dibuat. Sejalan dengan hasil penelitian Taubati (2009) menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kunjungan pasien untuk datang ke rumah sakit gigi dan mulut adalah faktor kondisi fisik gedung, administrasi biaya, administrasi pelayanan pasien, hubungan dokter/operator dan pasien. Informan staf BPJS mengatakan bahwa sebenarnya dari Pemerintah Daerah harus mendukung, stakeholder yang terkait juga seperti Dinas Kesehatan, puskesmas. Kegiatan promosi kesehatan dapat di lakukan bersamaan dengan sosialisasi tentang jaminan kesehatan nasional BPJS. BPJS Kesehatan dan Kementerian Kesehatan merilis Buku Pegangan Sosialisasi Jaminan Kesehatan (JKN) dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional. Buku ini secara ringkas memuat informasi tentang JKN yang mencakup arti pentingnya skema jaminan kesehatan nasional serta mekanisme dan penyelenggaraan jaminan kesehatan nasional. Namun demikian, masih terdapat kebingungan di masyarakat luas, yakni pertama dalam hal substansi informasi. Informasi yang disampaikan di media massa belum komprehensif meliputi aspek-aspek praktis yang dibutuhkan pengguna layanan. Iklan yang disampaikan di televisi tidak dapat menjelaskan segala hal mengenai BPJS. Kedua, penggunaan media informasi yang belum tepat guna. Penggunaan media informasi memiliki dampak yang berbeda bagi penerimanya. Masyarakat dengan akses media elektronik dengan mudah menemukan informasi BPJS di internet atau televisi. Namun demikian, hal ini tidak berlaku bagi masyarakat dengan akses terbatas.

53

Sosialisasi seharusnya dibuat dalam bentuk himbauan, penyuluhan, dan pengumuman di berbagai tempat yang dekat dengan masyarakat, terutama di rumah sakit dan puskesmas. Selain itu, pemerintah disarankan melakukan sosialisasi lebih intensif ke tempattempat umum dan pusat keramaian. Sosialisasi BPJS dapat dilakukan di malmal, pasar-pasar, terminal, universitas, dan tempat keramaian lainnya (Mulyadi, 2014). Adapun hambatan lain yang dihadapi di lapangan dalam pelaksanaan kegiatan sosialisasi adalah wilayah yang luas sehingga jarak yang ditempuh untuk menjangkau semua wilayah cukup jauh. Sikap masyarakat yang tidak memperhatikan materi sosialisasi saat kegiatan berlangsung sehingga membuat pelaksana sosialisasi sering mengulangi materi yang disampaikan. Bahasa yag dipakai saat sosialisasi juga harus disesuaikan dengan bahasa daerah atau dialek yang ada di Tomohon agar materi mudah dipahami oleh penduduk setempat yang memiliki latar belakang pendidikan, sosial ekonomi yang berbeda Sejalan dengan hasil wawancara yang sudah penulis jelaskan sebelumnya, hambatan yang sering ditemui menurut Mariza dan Sutopo (2014) adalah keberatan masyarakat menyisihkan sedikit pendapatannya sebagai tabungan jaminan kesehatan yang dapat meringankan beban biaya saat sakit, keberatan masyarakat dengan peraturan baru yang mengharuskan pendaftaran JKN diikuti oleh satu keluarga, kesibukan pelaksana sosialisasi yang bukan saja bertugas dalam mengatur kegiatan sosialisasi saja melainkan masih memiliki tugas lain di luar sosialisasi. Hasil wawancara yang telah dilakukan menyatakan bahwa program sosialisasi JKN ini bisa dikategorikan

cukup efektif, karena mampu menjaring para peserta baru khusunya peserta BPJS mandiri yang mendaftarkan diri ke BPJS. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian dari Roesalya (2014) yang menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara terpaan sosialisasi program BPJS Kesehatan dengan keputusan masyarakat sebagai peserta program BPJS Kesehatan dan terdapat hubungan antara sikap masyarakat pada program BPJS Kesehatan dengan keputusan masyarakat sebagai peserta BPJS Kesehatan. Hal ini berarti pesan yang disampaikan melalui sosialisasi yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan berkaitan dalam pembuatan keputusan masyarakat untuk bergabung menjadi peserta BPJS Kesehatan sehingga sosialisasi merupakan hal yang penting agar masyarakat mengetahui informasi-informasi yang dibutuhkan dan yang ingin disampaikan oleh BPJS Kesehatan sehingga akan membantu untuk menghasilkan keputusan masyarakat yang menguntungkan BPJS Kesehatan. Faktor pendukung yang didapatkan dari hasil wawancara yaitu sikap masyarakat yang terbuka yang penting demi kesuksesan program JKN. Hal ini berhubungan dengan bagaimana masyarakat bersikap terhadap suatu program dengan keputusan yang akan diambil sehingga BPJS Kesehatan harus bisa mengambil hati masyarakat dengan memberikan apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh masyarakat sehingga kelak masyarakat dapat memberikan sikap yang positif terhadap program BPJS Kesehatan yang pada akhirnya kelak akan membantu masyarakat dalam mengambil keputusan yang positif pula. Penulis berpendapat bahwa bentuk komunikasi yang digunakan oleh staf BPJS sudah tepat yaitu bentuk komunikasi langsung (tatap muka)

54

mengingat materi program masih dianggap awam dan baru bagi sebagian masyarakat. Materi program JKN seharusnya dapat memuat ketentuan dan kebijakan yang perlu dijelaskan secara lebih mendetail oleh staf BPJS atau pelaksana program. Penyuluhan di tingkat lingkungan maupun berupa gathering atau pertemuan , efektif untuk menyampaikan pesan-pesan yang akan disampaikan dalam sosialisasi JKN.

karena terlihat masyarakat belum memahami ketika datang berobat ke puskesmas, meskipun dari pihak BPJS sudah melakukan banyak sosialisasi kepada masyarakat. Sarana di poli gigi Puskesmas Rurukan juga belum tersedia dengan lengkap karena itu kunjungan pasien berkurang. 4. Faktor pendukung dan penghambat sosialisasi jaminan kesehatan nasional kepada masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Rurukan Tomohon harus dapat menjadi evaluasi dan bahan perbaikan bagi kesuksesan program jaminan kesehatan nasional khususnya untuk pelayanan gigi dan mulut.

KESIMPULAN 1. Sosialisasi cakupan pelayanan gigi dan mulut bagi peserta BPJS di Puskesmas Rurukan Tomohon belum terlaksana dengan baik karena masyarakat banyak yang belum memahami dengan baik tentang cakupan pelayanan gigi yang dijamin untuk peserta BPJS Kesehatan di fasilitas kesehatan tingkat pertama. Hal ini disebabkan karena kesehatan gigi dan mulut serta pelayanan gigi dan mulut dianggap belum terlalu penting bagi masyarakat.. 2. Sosialisasi prosedur pendaftaran pasien gigi dan mulut di Puskesmas Rurukan Tomohon belum terlaksana dengan baik karena masyarakat terlihat belum memahami secara menyeluruh prosedur ketika akan mendaftar dan setelah terdaftar sebagai peserta BPJS. Pasien masih bingung menggunakan kartu peserta dan belum mengetahui dimana fasilitas kesehatan tingkat pertamanya, meskipun dari pihak BPJS sudah melakukan banyak sosialisasi kepada masyarakat. 3. Sosialisasi prosedur pelayanan pasien gigi dan mulut bagi peserta BPJS di Puskesmas Rurukan Tomohon belum terlaksana dengan baik

SARAN 1. Untuk Dinas Kesehatan dan Sosial Kota Tomohon a. Dinas Kesehatan dan Sosial Kota Tomohon dapat berkoordinasi dengan Puskesmas Rurukan dan stakeholder lainnya untuk meningkatkan pelaksanaan sosialisasi jaminan kesehatan nasional kepada masyarakat terutama untuk pelayanan gigi dan mulut. b. Dinas Kesehatan dan Sosial Kota Tomohon diharapkan dapat menyediakan leaflet, pamflet, brosur, poster tentang cakupan pelayanan gigi, prosedur pendaftaran dan prosedur pelayanan gigi untuk masyarakat dan seluruh fasilitas kesehatan. 2. Untuk Puskesmas Rurukan a. Perlu dilakukan pertemuan staf puskesmas khusus membahas tentang BPJS beserta dengan tata laksananya agar seluruh staf puskesmas memahami dengan baik sehingga dapat

55

mensosialisasikan dengan benar kepada masyarakat. b. Pelaksanaan program promotif preventif kesehatan gigi dan mulut perlu ditingkatkan lagi untuk menambah pengetahuan masyarakat. Penyuluhan kesehatan gigi dan mulut dapat dilakukan bersamaan dengan sosialisasi BPJS. c. Bersama dengan Dinkesos Tomohon melakukan sosialisasi lebih efektif lagi dengan kelompok-kelompok potensial di masyarakat seperti organisasi gereja, lingkungan, kelurahan, dan organisasi lainnya yang ada di wilayah kerja Puskesmas Rurukan. d. Kepala Puskesmas hendaknya memberikan solusi yang terbaik untuk dapat memperbaiki alat yang rusak dan menyediakan sarana di poli gigi yang belum lengkap sehingga pelayanan gigi boleh berjalan dengan baik. 3. Bagi peneliti selanjutnya karena pertimbangan tertentu ingin melakukan penelitian lanjutan, diharapkan dapat meneliti ruang lingkup yang sama dengan variabel berbeda sebagai salah satu variabel penelitian.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Anonim. 2014c. Buku Pegangan Sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Anonim. 2014d. BPJS Kesehatan, Peraturan BPJS Kesehatan Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan. Anonim. 2014e. Kementerian Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 59 Tahun 2014 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan. Anonim. 2014f. BPJS Kesehatan. Pelayanan Gigi dan Protesa Gigi bagi peserta JKN. Anonim. 2014g. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 19 tentang Penggunaan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional untuk jasa Pelayanan Kesehatan dan Dukungan Biaya Operasional pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah.

DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2014a. Register Pasien Gigi Puskesmas Rurukan. Tidak diterbitkan.

Anonim. 2013a. Profil Puskesmas Rurukan. Tidak diterbitkan.

Anonim. 2014b. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Anonim. 2013b. Panduan Dokter Gigi di Faskes Primer, Direktorat BUK Dasar Kemenkes RI.

56

Anonim. 2011. Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

Purwosari Kecamatan Laweyan Kota Surakarta. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Ngudi Waluyo. Program Studi Diploma IV Kebidanan

Anonim. 2009. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.1990. Pedoman Supervisi Upaya Kesehatan Puskesmas Direktorat Jendral Bankesmas. Depkes RI : Jakarta.

Azwar, A. 2010. Pengantar Administrasi Kesehatan. Edisi Ketiga, Binarupa Aksara Publisher, Tangerang.

Anonim. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Balqis. 2013. Kesiapan Badan Penyelenggara Kesehatan dalam Menghadapi Jaminan Kesehatan Nasiona.Jurnal AKK Vol 2 No 3 September 2013

Anonim. 2009. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dalam Himpunan Peraturan Perundang-undangan, Penerbit Fokusmedia, Bandung.

Budiharto. 2002. Peran Kedokteran Gigi Masyarakat dan Pencegahan Dalam Pembangunan Kesehatan Gigi Di Indonesia. Jakarta.

Anonim. 2004. Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

Darwita, R. 2004. Pencegahan Sakit Gigi dan Mulut dipandang dari proses Patofisiologis. Jakarta : FKG UI.

Adisasmito, W. 2014. Sistem Kesehatan. Edisi Kedua, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Geswar R.K., Nurhayani, Balqis. 2014. Kesiapan Stakeholder Dalam Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional di Kabupaten Gowa. (Online). Jurnal AKK Vol. 3 No. 1. (http://journal.unhas.ac.id) Diakses pada tanggal 17 September 2014. Hal: 16.

Adisasmito, W. 2008. Persepsi Stakeholders tentang Kompetensi Dokter di Layanan Kesehatan Primer. Majalah Kedokteran Indonesia Volume 60, No. 1 Januari 2010 Asih Eka Putri.2013. Tranformasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Jurnal Legislasi Indonesia ;9(2): 239-257

Herijulianti, E. 2002. Pendidikan Kesehatan Gigi. Jakarta:EGC Irawan, P. 2010. Logika dan Prosedur Penelitian, Jakarta, STIA LAN Press, hal. 249.

Ayuningtyas. 2014. Hubungan Pengetahuan dengan Sikap Kepala Keluarga tentang Program Jaminan Kesehatan Nasional di Kelurahan

Latar, R. Kesiapan Stakeholder dalam Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional di Kota Tual

57

: Kebijakan Kesehatan FKM Universitas Hasanuddin.

Sosial Bagi Masyarakat Miskin. Yogyakarta: UGM.

Massie, R. 2013. Proposal/Protokol Penelitian. Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi Manado.

Usman, N. 2002. Konteks Implementasi berbasis Kurikulum. Bandung: CV Sinar Baru. Ovedoff, D. 2002. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Binarupa Aksara.

Mansjoer. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.

Pintauli, S. 20013. Dokter Gigi Sebagai Manager Kesehatan di Puskesmas. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatra Utara.

Mariza dan Sutopo. 2014. Efektivitas Sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di Kabupaten Temanggung. Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Primantika, A. D. 2014. Evaluasi Pelaksanaan Sosialisasi Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dari Aspek Struktur dan Interaksi Sosialisasi di Rumah Sakit Permata Medika Kota Semarang Tahun 2013-2014.

Mundiharno. 2012. Peta Jalan Menuju Universal Jaminan KesehatanNasional. Jurnal Legislasi Indonesia ;9(2): 207222

Purwoko, B. 2012. Konsepsi Pengawasan Operasional Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) terhadap Kegiatan Operasional Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). (Online). Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 2 (http://ditjenpp.kemenkumham.g o.id.pdf)Diakses 22 Juli 2014. Hal: 295.

Mulyadi, M. 2014. Info Singkat: Sosialisasi Ketentuan Jaminan Sosial 2014. Jakarta: P3DI Setjen DPR RI. Notoatmodjo, S. 2007. Ilmu Kesehatan Masyarakat, Prinsip – Prinsip Dasar. Edisi revisi, Jakarta. Penerbit Rineka Cipta.

Putra, N. 2011. Penelitian Kualitatif : Proses dan Aplikasi. Indeks. Jakarta.

Notoatmodjo, S. 2010. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Jakarta: Rineka Cipta.

Putri, R. Kesiapan PT Askes (Persero) Cabang Manado Dalam Bertransformasi Menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Jurnal Legislasi Indonesia. 2013; 9(2): 315-322.

Noviansyah. 2006. Persepsi Masyarakat Terhadap Program Jaminan

58

Riyadi, R. 2015. Mutu Pelayanan Peserta Jaminan Kesehatan Nasional di Puskesmas Kecamatan Kembangan Jakarta Barat : Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negri.

Trias,

P.K.2014. Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional. Info Singkat Hukum, Vol. VI, No. 07/P3DI/April/2014.

Zaelani. 2012. Komitmen Pemerintah dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial Nasional. (Online). Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 2 (http://ditjen.kemenkuham.go.id. pdf). Diakses pada tanggal 22 Juli 2014. Hal: 203.

Roesalya, P. 2014. Hubungan Terpaan Sosialisasi BPJS Kesehatan dan Sikap masyarakat pada Program dengan Keputusan Masyarakat sebagai Peserta BPJS Kesehatan.

Rolos, W. 2014. Implementasi Program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan di Kabupaten Minahasa Tenggara. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi Manado. Setiawan, G. 2004. Implementasi Dalam Birokrasi Pembangunan. Bandung: Remaja Rosdakarya Offset. Shihab, A.N. 2012. Hadirnya Negara di Tengah Rakyatnya Pasca Lahirnya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. (Online). Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 9 No. 2 (http://ditjen.kemenkumham.go.i d.pdf). Diakses pada tanggal 21 Juli 2014. Hal: 178,189. Taubati, A. 2009. Perbedaan Faktorfaktor yang mempengaruhi Kunjungan Pasien Untuk Datang ke Rumah Sakit Gigi dan Mulut Universitas Jember Antara Pasien Mahasiswa dan pasien umum. Fakultas Kedokteran Gigi Jember.

59