Implementasi Teori Belajar Gestalt pada Proses Pembelajaran Oleh: Titin Nur Hidayati1 Abstrak: Salah satu aliran yang mempunyai pengaruh terhadap praktik belajar yang dilaksanakan di sekolah adalah aliran psikologi kognitif. Aliran ini telah memberikan konstribusi terhadap penggunaan unsur kognitif atau mental dalam proses belajar. Berbeda dengan pandangan aliran behavioristik yang memandang belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus dan respons, aliran kognitif memandang kegiatan belajar bukanlah sekedar stimulus dan respons yang bersifat mekanistik, tetapi lebih dari itu, kegiatan belajar juga melibatkan kegiatan mental yang ada di dalam diri individu yang sedang belajar. Karena itu, menurut aliran kognitif, belajar adalah sebuah proses mental yang aktif untuk mencapai, mengingat dan menggunakan pengetahuan. Sehingga perilaku yang tampak pada manusia tidak dapat diukur dan diamati tanpa melibatkan proses mental seperti motivasi, kesengajaan, keyakinan dan lain sebagainya. A. PENDAHULUAN Selama seperempat abad pertama pada abad ke-20, pertentangan dalam psikologi akademik meninggalkan framework asosiasi psikologi di Amerika. Strukturalisme, fungsionalisme dan behaviorisme adalah beberapa aliran psikologi yang telah establish dalam asosiasi psikologi pada saat itu. Beberapa aliran psikologi ini memiliki ciri khas, yaitu mengembangkan metodologi empiris. Namun demikian, ditengah perkembangan pesat beberapa aliran psikologi itu terganggu oleh kedatangan doktrin Gestalt yang mempengaruhi teori-teori belajar di Amerika. Teori baru ini menjadi salah satu contoh teori rasionalis dalam psikologi.2 Namun demikian, sekalipun kemunculan gestalt merupakan reaksi terhadap behaviorisme, strukturalisme yang berkembang di Dosen Tetap Yayasan Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Falah AsSunniyyah Kencong Jember. 1
Ernest Ropiequet Hilgard, 1975, Theories Of Learning: The Century Psychologi Series, Printice-Hall, Inc., and Englewood Cliffs, N.J. hal. 252. 2
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 1 Maret 2011
Amerika, kemunculan pendatang baru ini justru di Jerman, karena para pendirinya memang besar secara intelektual di Jerman. Secara verbal, Gestalt berarti Pola, susunan (konfigurasi), Menyeluruh atau bentuk pemahaman atau situasi perangsangnya. Konfigurasi atau gestalt akan kehilangan sesuatunya kalau dipisahkan menjadi bagian-bagian komponennya, karaena setiap situasi atau pengalaman itu lebih dari jumlah semua bagiannya. Hal ini memberikan pengertian singkat bahwa Gestalt merupakan aliran yang mengembangkan paradigma pemikiran yang berpijak pada kerangka menyeluruh dalam melihat obyek, khususnya dalam proses belajar, Karena itu, perlu diingat bahwa psikologi gestalt utamanya berminat pada persepsi dan proses problem solving.3 Perbedaan Gestalt dengan Behaviorisme dan strukturalisme bisa kita bandingkan melalui skema di bawah ini: No
Gestalt
Behavioristik
1.
Holistik
Atomistik, elementaristik
2.
Molar
Moleculer
3.
Subyektif
Obyektif
4.
Nativistik
Empiristik
5.
Kognitif Fenomenological
Behavioral
Sumber:
reduksionistik,
4
B. TIGA SERANGKAI PENDIRI TEORI GESTALT
Henry L. Boediger, J. Philippe Rushton, Elizabeth D. Capald dan Scot G. Paris,1984, Psychology, Litle Brown and Company, Boston, Toronto, hal. 10. 4 B.R. Hergenhann and Mettew H.Olson, 1997, An Introduction to The Theories of Learning, New Jersey: Prantice hall. Inc. hal. 3
2
Titin Nur Hidayati, Implementasi Teori Belajar Gestalt pada Proses Pembelajaran
Max Wertheimer, Wolfgang Kohler dan Kurt Koffka adalah tiga serangkai pendiri Teori Gestalt. Ketiganya ternyata memiliki akar sejarah yang sama sampai akhirnya mampu menyatukan gagasan sehingga menjadi sebuah gerakan yang kemudian disebutnya Gestalt. Namun demikian , Max Wertheimer diakui sebagai pemimpin yang paling terkenal, sementara Koffka dan Kohler adalah yang paling bertanggung jawab dalam mempopulerkan gerakan Gestalt melalui tulisan-tulisannya. Karena kedekatan di antara ketiganya, sampai-sampai gagasan dan teoriteori koffka, Kohler dan Wertheimer hampir tidak bisa dipisahkan dari kehidupan mereka bertiga. Ketiganya adalah sarjana dari Universitas Berlin. Karena itu mereka menjadi terkenal sebagai ”Kelompok Berlin”. Max Wertheimer yang meneliti persepsi yang terintregasi dalam gerak, Wolfgang Kohler yang meneliti tentang insight pada simpanse dan Kurt Koffka yang menguraikan secara rinci mengenai hukum-hukum persepsi. Mereka tidak hanya bekerja bersama, bahkan mereka menyatukan keyakinan dalam melakukan perlawanan terhadap behaviorisme. Hal ini bukanlah kebetulan bahwa buku Kohler pada tahun 1929, Gestalt Psychology, didedikasikan untuk Wertheimer, dan buku Koffka tahun 1935, Principles of Gestalt Psychology, melahirkan persembahan, ”Untuk Wolfgang Kohler dan Max Wertheimer sebagai terima kasih untuk Persahabatan dan Inspirasinya.”5 1. Max Wertheimer (1880-1943) Max Wertheimer lebih tua 12 tahun dari Kohler dan Koffka. Ia dilahirkan di Prague pada tanggal 15 April 1880 dan wafat pada tanggal 12 Oktober 1943 di New York. Max Wertheimer dianggap sebagai pendiri psikologi Gestalt bersama-sama dengan Wolfgang Kohler dan Kurt Koffka. Max mempelajari ilmu hukum selama beberapa tahun sebelum akhirnya dia mendapatkan gelar Ph.D pada tahun 1904 di bidang psikologi. Dia kemudian diangkat menjadi professor dan sempat bekerja di beberapa universitas di Jerman sebelum hijrah ke Amerika Serikat karena terjadi perang di benua Eropa pada tahun 1934. Di Amerika ia bekerja di New School for Research di New York city sampai akhirnya meninggal tahun 1934.6
Guy R. Lefrancois, 1995, Theories of Human Learning. Kros’s Report. Book/Cole Publising Company, hal. 171 6 http/www.google.co.id/file/e-Psycology/diakses tanggal 25 September 2007 5
3
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 1 Maret 2011
Dalam perjalanan liburan di awal karirnya sambil naik kereta api Wertheimer melihat sinar berkedip-kedip (hidup dan mati) dengan jarak tertentu, sinar itu memberi kesan sebagai satu sinar yang bergerak datang dan pergi tidak putus-putus. Dari kejadian tersebut Wertheimer memperoleh gagasan untuk satu eksperimen yang paling penting darinya ia mulai mengerjakan teka-teki yang menjadi titik awal memunculkan serangkaian khayalan-khayalan gerakannya . jika mata melihat perangsang dengan cara tertentu, akan memberikan ilusi gerakan. Wertheimer menyebut gejala ini dengan istilah Phi Phenomenon.7 Pada tahun 1910, ketika berusia 30 tahun, Max memperlihatkan ketertarikannya untuk meneliti tentang persepsi setelah ia melihat sebuah alat yang disebut "stroboscope" (benda berbentuk kotak yang diberi alat untuk melihat ke dalam kotak tersebut) di toko mainan anakanak. Setelah melakukan beberapa penelitian dengan alat tersebut, dia mengembangkan teori tentang persepsi yang sering disebut dengan teori Gestalt.8 Eksperimen Wertheimer mengenai Scheinbewegung (gerak semu) memberikan kesimpulan, bahwa pengamatan mengandung hal yang melebihi jumlah unsur-unsurnya. Inilah gejala gestalt. Penelitian dalam bidang optic ini kemudian juga dipandang berlaku (kesimpulan serta prinsip-prinsipnya) di bidang lain, seperti misalnya di bidang belajar. Lebih jauh eksperimen-eksperimen Wolfgang Kohler (1913-1917) memberikan kesimpulan yang berlawanan dengan teori-teori molecular. 2. Wolfgang Kohler (1887-1967) Kohler lahir di reval, Estonia pada 21 januari 1887. Ia mencapai gelarPh.D dari Universitas Berlin tahun 1909, dan selanjutnya bersama Koffka, bekerja dengan Werheimer di Frankfurt academi sebagai asisten. Sejas tahun 1913 sampai tahu 1920 dia menjadi direktur di Anthropologi Station di Pulau Tenerife yang berlokasi dipulau Canary. Selama Perang Dunia I, ia menghabiskan selama 4 tahun di pulau tersebut. Di pulau inilah ia mempelajari perilaku kera dan ayam. Hasil investigasinya kemudian diterbitkan dalam sebuah bukunya yang penting, The Mentality of Apes (1924). Yang memuat tentang eksperimentasinya mengenai kera dan ayam untuk mengetes berbagai masalah yang berkaitan dengan relajar, Kohler menggunakan sejumlah rangkaian eksperimen, yaitu: a) Detour Problem Guy R. Lefrancois, Ibid., hal. 172 http/www.google.co.id/file/e-Psycology/diakses tanggal 25 September 2007 7 8
4
Titin Nur Hidayati, Implementasi Teori Belajar Gestalt pada Proses Pembelajaran
Dalam detour Problem, binatang dapat dengan melihat makanan sebagai tujuan. Tetapi tidak dapat mencapai secara langsung. Ia harus putar jalan melalui jalan samping yang lebih jauh, tidak langsung, untuk mencapai pemecahan, sedang simpanse relatif lebih mudah. Binatang yang lebih tinggi tingkatannya, akan lebih cepat dalam memecahkan problem. Proses menguasai medan dan mengetahui hubungan lebih cepat. 9 b) Percobaan dengan simpanse Dalam eksperimentasinya, ia menyimpulkan ada kera yang cerdas dan ada pula kera yang bodoh. Kera yang bodoh, nampak hanya belajar dengan asosiasi dan pengulangan, sambil melakukan perilaku berulang-ulang. Sebaliknya, kera yang cerdas, menurut Kohler bisa belajar sangat banyak seperti apa yang manusia lakukan, bisa mempertunjukkan sesuatu dan kadangkala memperlihatkan kemampuan proses mental yang lebih tinggi. Kohler menggunakan dua jenis studi untuk mempelajari prilaku problem solving kera di dalam kandang. Terhadap dua jenis studinya, yang pertama seekor kera harus menemukan solusi untuk meraih seiris pisang yang diletakkan disisi luar kandang. Dalam studinya, ada problem ”tongkat”, dan seekor kera harus menggunakan tongkat panjang untuk mencapai seiris pisang, dalam banyak kasus hal itu perlu untuk menggabungkan beberapa tongkat secara bersamasama sehingga bisa mencapai pisang. Yang kedua, ada problem ”kotak”, dalam hal ini, kera harus memindahkan kotak itu dibawah pisang atau menumpuk satu kotak diatas yang lain untuk mencapai pisang. Dari eksperimen inilah kohler menemukan catatan penting, bahwa inteligensi kera bukan belajar dengan trial and error. Menurut Kohler simpanse tidak kurang dari manusia yaitu mampu memecahkan masalah sekaligus dengan proses integrasi atau pemahaman. Pemahaman ini yang diperlihatkan oleh simpanse barulah muncul setelah beberapa saat mencoba memahami masalahnya, dan pada saat itu pula muncul dengan tiba-tiba kejelasan, melihat hubunganhubungannya, antara unsur yang satu dengan yang lain. Dan pemahaman yang serupa itu – yang 9
B.R. Hergenhann and Mettew H.Olson, Ibid., hal. 261. 5
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 1 Maret 2011
3.
10 11
6
datang dengan tiba-tiba oleh Kohler disebut ”Aha Erlebnis”. Proses pelibatan dalam serangkaian solusi ini adalah pengetahuan (insight).10 c) Percobaan dengan Ayam Ayam dibentuk untuk mendekati warna kertas yang agak gelap dan tidak mendekati warna terang. Setelah dilatih secukupnya, bila ayam diberi pilihan untuk memilih terang dan agak gelap, ayam akan memilih gelap (karena hasil latihan). Periode berikutnya, bila ayam diberi pilihan untuk memilih yang agak gelap dengan gelap, maka ayam akan memilih mendekati gelap (tidak memilih yang agak gelap seperti dilatihkan).11 Apabila kita berfikir secara behavioristik, ayam itu mestinya memilih yang agak gelap sesuai dengan latihan. Tetapi gestalt berpendapat bahwa ayam itu menemukan prinsip mana yang lebih gelap. Dengan demikian, bila diberi pilihan antara gelap dan gelap sekali, maka akan memilih gelap sekali. Jadi jelas bahwa dalam belajar itu yang terpenting adalah menemukan prinsip, sehingga mudah terjadi transposition ( Bila suatu prinsip belajar dalam situasi pemecahan problem diterapkan kepada pemecahan problem lain). Kurt Koffka (1886-1941) Kurt Koffka lahir di Berlin pada 18 maret 1886. Ia studi di Berlin juga dan mencapai Ph.D dalam bidang psikologi tahun 1909. Pada awalnya ia belajar filsafat di Edinburgh. Dari Berlin ia pergi ke Frankfrurt dan disanalah ia bekerja sebagai asisten di laboratorium Johannes Von Kries dan tahun berikutnya sebagai asisten di Oswald Kulpedi di Wurzburg awal 1910. Ia dan Kohler bekerja bersama dengan Wertheimer selama tiga semester. Disanalah pula ia mulai menulis yang kemudian menjadi sangat berpengaruh dalam mempopulerkan psikologi Gestalt. Ia merupakan penulis terkenal dari kelompok Berlin. Seperti Wertheimer dan Kohler, Koffka menghabiskan banyak waktunya untuk memberi kuliah di Amerika sebelum akhirnya berpindah secara permanen pada tahun 1927. Ia mengajar di Smith Collage dan terus menulis, salah satu buku kreatifnya adalah ’’Grown of The Mind”, sebuah buku yang sangat relevan dengan prinsip-prinsip gestalt. Tahun 1925 dia mempublikasikan Principles of Gestalt Psycology, sistem utama di dalam psikologi Gestalt. Dia adalah orang pertama Ibid,, hal. 262-264 Ibid., hal. 266.
Titin Nur Hidayati, Implementasi Teori Belajar Gestalt pada Proses Pembelajaran
yang menulis artikel dalam bahasa inggris mengenai Psikologi Gestalt. Artikelnya: Perception: An Introduction to Gestalt Theories.Dipublikasikan di Psychological Buletin tahun 1922. Ia meninggal tahun 1941.12 C. POKOK-POKOK GESTALT
TEORI
BELAJAR
MENURUT
ALIRAN
1.Pandangan Gestalt Tentang Belajar dan The Memory Trace (Kesan Ingatan) Menurut teori Gestalt, belajar adalah berkenaan dengan keseluruhan individu dan timbul dari interaksinya yang matang dengan lingkungannya. Melalui interaksi ini, kemudian tersusunlah bentuk-bentuk persepsi, imajinasi dan pandangan baru. Kesemuanya, secara bersama-sama membentuk pemahaman atau wawasan (Insight), yang bekerja selama individu melakukan pemecahan masalah. Walaupun demikian pemahaman (insight) itu barulah berfungsi kalau ada persepsi/tanggapan terhadap masalahnya-memahami kesulitan, unsur-unsur dan tujuannya. Sementara itu, dalam belajar menurut Gestaltis prinsipnya berkaitan dengan proses berfikir (proses problem solving) dan persepsi. Dalam hal ini terdapat empat prinsip yang dikembangkan oleh Wertheimer dan kemudian diaplikasikan Kohler mengenai berfikir dan persepsi. Karena Gestaltis punya perhatian dengan aspek-aspek molar dalam belajar dan prilaku sebagaimana stimuli dan respons, keterangan mereka tentang belajar dan memori llebih banyak bersifat global dan tidak spesifik seperti halnya keterangan dari behaviorist. Secara detail, proses belajar dalam pandangan Gestalt ini bisa kita temukan di dalam bukunya koffka, Principles of Gestalt Psychology (1935). Persepsi adalah kemampuan manusia untuk mengenal dan untuk memahami apa yang tidak diketahuinya. Penerimaan sesuatu berarti bahwa manusia dapat mengingat pengalaman-pengalaman, objek atau kejadian masa lalu. Karena itu persepsi memerlukan proses lebih banyak dari sekedar kemampuan melakukan reaksi terhadap sesuatu, yaitu pemrosesan yang sungguh-sungguh untuk mengintegrasikan sumber-sumber informasi ke dalam gambaran tunggal. Dengan demikian, kesadaran manusia bukan untuk merespon terhadap persoalan (objek) di dalam lingkungan dalam dasar item per item.
12
Guy R. Lefrancois, hal. 172 7
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 1 Maret 2011
Akan tetapi melihat segala sesuatu dalam satu pandangan yang utuh. 13 Seperti di contohkan dalam gambar berikut : Ada gambar konfigurasi titik-titik yang diadopsi dari Resnick dan Ford (1981:130).14
Pada setiap gambar diatas terdapat bundaran kosong yang menunjukkan posisi yang berbeda sesuai dengan konteks (organisasi perseptual). Dari gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa menurut pandangan gestatltist seseorang yang memperhatikan konfigurasi titik (bulatan) yang terdapat pada setiap gambar (a) sampai (d) tidak hanya sebagai kumpulan titik yang terpisah-pisah, tetapi titik itu terorganisir berdasarkan (a) (b) (c) (d) prinsip tertentu. Dengan demikian orang akan memahami setiap gambar itu sebagai kumpulan titik yang secara keseluruhan membentuk.(a) layang-layang (diamond), (b) segi empat, (c) segitiga, (d) segi delapan. Jadi menurut pandangan psikologi gestalt dapat disimpulkan bahwa seseorang memperoleh pengetahuan melalui sensasi atau informasi dengan melihat strukturnya secara menyeluruh kemudian menyusunnya kembali dalam struktur yang lebih sederhana sehingga mudah dipahami. Persoalan umum pandangan Gestalt diekspresikan dalam statemen bahwa hukum-hukum atau dalil-dalil organisasi menerapkan persepsi dan belajar secara sama-sama. Tetapi ada problem khusus di dalam belajar dimana gestatltis menguraikan gagasan-gagasannya. Mereka paling mudah di dalam mendiskusikan memori manusia daripada eksperimen kondisioning pada binatang, sehingga hampir semua ilustrasi yang mengikutinya, berkaitan dengan memori manusia. Problem Stephen N. Elliot, Thomas R. Kratochwill, Joan Littlefield Cook, and John F. Travers, 2000, Educational Psychology: Efective Teaching, Effective Learning, McGraw-Hill Higher Education, Edisi International hal. 273 14 http/www.google.co.id/file/e-Psycology/diakses tanggal 25 September 2007 13
8
Titin Nur Hidayati, Implementasi Teori Belajar Gestalt pada Proses Pembelajaran
utamanya adalah bagaimana untuk menghadirkan memori yaitu bagaimana melakukan konseptualisasi pengalaman masa lalu kedalam masa kini. Hal ini diurai dalam sebuah teori yang disebut teori bekas.15 Dalam teori bekas, menyatakan bahwa konsepsi Gestalt terhadap memori adalah percaya bahwa persepsi menempel di dalam bekas memori yang saling berhubungan. Gestatltis menyatakan bahwa proses neural aktif selama persepsi dapat berlangsung terus di dalam bentuk ”yang lembut” sebagai sebuah bekas. Jadi informasi disimpan dalam bentuk yang sama, oleh neural yang sama, sebagaimana dalam persepsi orisinal. Kohler menggambarkan persoalan ini sebagai berikut: Kejadian-kejadian neural cenderung untuk membentuk secara halus kondisi jaringan dimana mereka ingat. Perubahan seperti itu akan menyerupai banyak proses dengan mana mereka memproduksi pola mereka dan berkenaan dengan milik yang lain. 16 Memanggil kembali atau mengingat kembali melibatkan pengaktifan kembali bekas memori yang ada. Sebetulnya, ini adalah pembangkitan proses perceptual yang sama, yaitu yang berhubungan dengan persepsi yang orisinal. Bekas terus aktif sebagai proses aktif di dalam sistem syaraf, tetapi juga intensitas yang cukup lambat untuk masuk kesadaran. Pada umumnya pandangan Gestaltis, yaitu bahwa hasilhasil belajar ada di dalam formasi bekas memori. Sifat dasar yang pasti dari bekas itu dibiarkan tidak spesifik, dan sejumlah karakteristik mereka adalah mendetail. Karakteristik paling penting dari apa yang telah dipelajari, seperti perceptual, cenderung untuk mencapai kemungkinan struktur yang paling baik dengan memperbincangkan perihal organisasi perceptual. Wulf (1983) mendiskripsikan kecenderungan organisasional dari memori dengan memberi nama penyamarataan (leveling), Penajaman (Sharpening),dan normalisasi (Normalizing). 17 Penyamarataan (leveling) adalah kecenderungan menuju simatri atau menuju pendangan yang simpel dari kepelikan pola perseptual. Koffka mengasumsikan bahwa proses levelling juga dapat diterapkan pada persoalan kognitif. Sebagai contoh, kita mengingat perasaan perjalanan di kereta api, seseorang bisa mengingat impresi yang menyamaratakan gerakan maju (kereta api) dan wilayah pedalaman yang meluas dengan tanpa 15 16
17
Ernest Ropiequet Hilgard, Ibid., hal.263 Ernest Ropiequet Hilgard, Ibid., hal.264 Guy R. Lefrancois, Op. Cit., hal. 175-176 9
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 1 Maret 2011
pengingatan sensasi dari goyangan (kereta api) ke sisi yang satu dan sisi yang lain. Penajaman (Sharpening) adalah tindakan penekanan pada ketiadaan perbedaan pola. Ini kelihatan pada satu dari karakteristik memori manusia bahwa kualitasnya paling jelas memberikan identitas objek yang cenderung untuk dibesarbesarkan di dalam reproduksi objek itu. Normalisasi (normalizing) terjadi ketika objek yang direproduksi dimodifikasi agar sesuai dengan memori sebelumnya. Modifikasi ini biasanya cenderung menuju pengingatan kembali objek yang lebih banyak seperti apa objek itu muncul. Reproduksi berikutnya dari objek stimulus yang sama melebihi waktu sebelum menjadi makin besarseperti sesuatu yang umum (dan sebab itu sesuatu itu menjadi ”normal”). Disisi lain, para gestaltis memberikan perhatian yang agak terdistorsi dalam perlakuan konvensional terhadap belajar, sehingga problem khusus yang ditekankan adalah bukan seleksi secara natural bentuk problem dari sudut pandang mereka. Beberapa problem yang menjadi perhatian Gestalt antara lain sebagai berikut.18 1. Kecakapan (Capacity) Karena belajar memerlukan pembedaan dan restrukturisasi persoalan, kondisi yang lebih tinggi dari belajar sangat banyak bergantung pada kecakapan alamiah untuk memberi reaksi dalam kebiasaan itu. Dengan meningkatkan kecakapan untuk organisasi perceptual atau kemampuan untuk ”memahami” problem-problem mengarahkan untuk meningkatkan kemampuan belajar. 2. Praktek (Practice) Memori kita adalah bekas yang dinyatakan (secara positif tanpa bukti) dari persepsi, asosiasi sebuah produk organisasi perceptual. Hukum perceptual juga menentukan hubungan elemen-elemen di dalam memori. Karena itu, pengulangan pengalaman akan membangun secara kumulatif pada pengalaman-pengalaman yang lebih dulu hanya jika kejadian yang kedua dianggap sebagai sesuatu keadaan pemunculan dari pengalaman terdahulu. 3. Motivasi (Motivation) Hukum empiris dari akibat, mengenai peran reward dan hukuman, diterima oleh psikologi Gestalt, tetapi mereka berbeda dari Thorndike di dalam memberi interpretasi. Mereka percaya bahwa akibat yang datang kemudian tidak terjadi ”secara otomatis dan tanpa di sadari” untuk memperkuat 18
10
Ernest Ropiequet Hilgard, Op Cit., hal.276-277
Titin Nur Hidayati, Implementasi Teori Belajar Gestalt pada Proses Pembelajaran
tindakan sebelumnya. Agaknya, akibat dipahami sebagai kepunyaan tindakan sebelumnya-posisi yang juga ditekankan oleh Thorndike. Motivasi dipandang sebagai tempat penempatan organisme ke dalam situasi problem: rewards dan punishment memainkan peran untuk memperkuat atau tidak memperkuat solusi terhadap problem yang diusahakan. 4. Pemahaman (Understanding) Pemahaman hubungan, kesadaran hubungan antara bagianbagian dan keseluruhan, berhubungan dengan konsekuensi, ditekankan oleh para penulis Gestal. Problem harus diselesaikan dengan pantas , dari sudut pandang bangunannya, secara organisatoris daripada mekanis, secara bodoh atau dengan melarikan diri dari kebiasaan-kebiasaan sebelumnya. Belajar yang penuh wawasan (pengetahuan) adalah tugas belajar sekarang yang lebih cocok dari pada trial ang error. 5. Transfer (Transfer) Konsep Gestalt paling suka transfer perubahan. Pola hubungan dipahami di situasi yang bisa diterapkan pada situasi yang lain. Satu keuntungan dari belajar dengan pemahaman itu lebih baik daripada dengan proses penghafalan tanpa berfikir. Sebab, pemahaman dapat merubah jarak situasi yang lebih dalam, dan lebih sering menyebabkan aplikasi yang salah dari belajar yang sudah-sudah. 6. Pelupaan (forgetting) Pelupaan dihubungkan dengan bagian perubahan di dalam bekas. Bekas bisa tidak kelihatan melalui pengurangan secara gradual (kemungkinan susah untuk membuktikan atau tidak), melalui perusakan karena sebagian kacau balau, bidang yang terstruktur sakit, atau karena asimilasi pada bekas atau proses baru. Terkait dengan beberapa komponen yang menjadi perhatian Gestalt seperti diatas, maka berkaitan dengan proses belajar, tugas seorang guru secara essensial adalah untuk membantu subjek didik untuk melihat hubungan signifikan dan untuk memanag instruksi sehingga ia mampu mengatur pengalaman-pengalamannya, menunjukkan gambar-gambar, meletakkan kata-kata pada papan tulis, mempresentasikan pelajaran yang dibaca dan banyak aktivitas pengajaran lainnya, Dalam hal ini guru memberikan dorongan situasi agar subyek didik mampu melakukan proses belajar.19
Malcom Kowles, 1986, The Adult Learner A Neglected Spesies. Gulf Publising Company Book Division, Houston, Texas, Edisi ke-3. Hal. 70 19
11
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 1 Maret 2011
2. Hukum-hukum Pengamatan (Hukum-hukum Belajar) Menurut Aliran Gestalt Karena asumsi bahwa hukum-hukum atau prinsip-prinsip yang berlaku pada proses pengamatan dapat ditransfer kepada hal belajar, maka untuk memahami proses belajar orang perlu memahami hukum-hukum yang menguasai proses pengamatan itu. Menurut aliran gestalt ada satu hukum pokok, yaitu Hukum Pragnanz yaitu suatu prinsip yang menyatakan kecenderungan terhadap apapun yang dipandang untuk menerima kemungkinan kondisi yang paling baik. Hukum pragnanz digunakan sebagai petunjuk prinsip dalam mempelajari persepsi belajar dan ingatan. dan 3 hukum tambahan (subsider) yang tunduk kepada hukum yang pokok itu, yaitu Hukum Kesamaan, Hukum Kedekatan dan Hukum Ketertutupan.20 Dalam bukunya yang berjudul "Investigation of Gestalt Theory" (1923), Wertheimer mengemukakan hukum-hukum Gestalt sebagai berikut: 1) Hukum Keterdekatan (law of proximity) Dalam kita mengamati, obyek-obyek yang berdekatan satu sama lain akan nampak sebagai satu unit persepsi. Dengan demikian hal-hal yang saling berdekatan dalam waktu atau tempat cenderung dianggap sebagai suatu totalitas. 2) Hukum Ketertutupan (law of closure) Menyatakan bahwa kita mempunyai tendensi untuk melengkapi atau mengisi pengalaman-pengalaman yang tidak lengkap, agar menjadi lebih berarti. Atau hal-hal yang cenderung menutup akan membentuk kesan totalitas tersendiri. 3) Hukum Kesamaan (law of equivalence) Dalam kita melakukan pengamatan, maka obyek-obyek yang mempunyai kemiripan (similarity) satu sama lain akan diorganisir ke dalam satu persepsi. Dengan kata lain hal-hal yang mirip satu sama lain, cenderung kita persepsikan sebagai suatu kelompok atau suatu totalitas. 3.
Memecahkan Problem (Problem Solving), Mendapatkan Pencerahan (Insight) Dalam teori belajar menurut Gestalt, yang terpenting dalam belajar adalah adanya penyesuaian pertama, yaitu memperoleh respon yang tepat untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Belajar yang penting bukan mengulangi hal-hal yang harus dipelajari, tetapi mengerti/memperoleh insight (pemahaman). http/www.google.co.id/file/e-Psycology/diakses tanggal 25 September 2007 20
12
Titin Nur Hidayati, Implementasi Teori Belajar Gestalt pada Proses Pembelajaran
Insight barulah berfungsi bila ada persepsi terhadap masalahnya. Hilgard ( 1948 : 190-195) (Sumadi Suryabrata, 1984:302-304) memberikan enam macam sifat khas belajar dengan insight, sebagai berikut: a. Insight itu dipengaruhi oleh kemampuan dasar. Kemampuan dasar itu berbeda-beda dari individu yang satu ke individu yang lain. Pada umumnya anak yang masih sangat muda sukar untuk belajar dengan insight ini. b. Insight itu dipengaruhi oleh pengalaman belajar masa lampau yang relevan. Walaupun insight itu tergantung kepada pengalaman masa lampau yang relevan, namun memiliki pengalaman masa lampau tersebut belum menjamin dapatnya memecahkan masalah. Jadi misalnya anak tidak dapat mengerjakan problem aljabar, kalau dia belum tahu menggunakan simbol-simbol dalam aljabar tersebut terlebih dahulu (dari masa lampau), tetapi anak yang telah menguasai simbol-simbol tersebut serta mengetahui cara-cara pemecahan problem dalam aljabar belum tentu dapat memecahkan problem tersebut. Disinilah letak perbedaan antara teori Gestalt dengan teori assosiasi yang beranggapan bahwa hanya memiliki pengalaman masa lampau yang diperlukan seseorang akan dapat memecahkan problem, sebab pemecahanpemecahan problem berarti penerapan operationoperation yang telah dipelajari. c. Insight tergantung kepada pengaturan secara eksperimental. Insight itu hanya mungkin terjadi apabila situasi belajar diatur sedemikian rupa sehingga segala aspek yang perlu dapat diambil. Apabila alat yang diperlukan untuk pemecahan problem itu dapat dibuat seakan-akan menjadi tidak mungkin, maka problem menjadi lebih sukar. d. Insight itu didahului oleh suatu periode mencoba-coba. Insight bukanlah hal yang dapat jatuh dari langit dengan sendirinya, melainkan hádala hal yang harus di cari. Sebelum dapat memperoleh insight orang harus sudah meninjau problemnya dari berbagai arah dan mencobacoba memecahkan. e. Belajar yang dengan Insight itu dapat diulangi. Jika sesuatu problem yang telah dipecahkan dengan insight lain kali diberikan lagi kepada pelajar yang bersangkutan, maka dia akan dengan langsung dapat memecahkan problem itu lagi.
13
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 1 Maret 2011
f.
Insight yang telah sekali di dapatkan dapat dipergunakan untuk menghadapi situasi-situasi yang baru.21 Belajar yang disertai insight (insight full learning) biasanya mempunyai empat ciri. 1) Transisi dari pemecahan permulaan sampai pemecahan terjadi dengan tiba-tiba. 2) Pemecahan yang dilakukan dengan insight biasanya lancar dan bebas dari kesalahan. 3) Pemecahan masalah yang disertai insight, dipegang teguh untuk pertimbangan lamanya waktu. 4) Satu prinsip adanya insight adalah mudahnya aplikasi terhadap problem yang lain. D. APLIKASI TEORI BELAJAR GESTALT PADA PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN Banyak praktek pendidikan dan pengajaran yang menggunakan dasar psikologi Ilmu Jiwa Gestalt. 1. Dalam bidang Kurikulum Kurikulum concentris merupakan pengetrapan prinsipprinsip ilmu Jiwa Gestalt. Kurikulum ini mempunyai pusat yang sama (con-centris). Dalam tingkatan yang rendah, disusun kurikulum dari suatu kesatuan yang utuh. Disini diajarkan yang pokok-pokok secara garis besar. Di tingkat yang lebih tinggi, kesatuan itu diberikan lagi, tetapi dibahas lebih mengarah ke bagian-bagian lebih mendalam. Sedang ditingkat yang lebih tinggi lagi, kesatuan tersebut tetap digunakan, tetapi dibahas menjadi kesatuan-kesatuan yang lebih mendalam lagi. Begitu seterusnya. Dalam perwujudan dan perkembangan selanjutnya, kurikulum concentris ini dapat terwujud dalam: (a) Penagajaran pusat minat (b) Penagajaran Proyek (c) Penagajaran alam sekita (d) Salah satu prinsip dalam sistim among oleh Ki Hajar Dewantara. 2. Dalam Bidang Didaktik Metodik Dalam bidang Didaktik Metodik, khususnya mengenai metode mengajar membaca, menulis. Pengaruh Ilmu Jiwa Gestalt itu sangat besar. Ternyata pengetrapan Ilmu Jiwa Gestalt dalam metode mengajar membaca menulis itu telah mampu menggoyahkan metode mengajar yang telah berabad-abad sejak zaman Yunani Kuno hingga awal abad 20 ini. Di indonesia khususnya, Sumadi Suryabrata, 2004, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hal. 278. 21
14
Titin Nur Hidayati, Implementasi Teori Belajar Gestalt pada Proses Pembelajaran
metode mengajar membaca menulis dengan metode mengeja ini masih ada guru yang melakukan, meskipun secara resmi pemerintah telah mengganti dengan metode global (secara resmi digunakan istilah metode S.A.S = Struktural Analitis Sintesis). Secara singkat dapat dibandingkan metode mengeja dengan metode global sebagai berikut: (a) Metode Mengeja Permulaan sekali, murid dihadapkan pada huruf yang justru merupakan elemen terkecil. Hal ini sangat asing bagi anak. Kita melakukan persepsi bukan dari elemen dulu, tetapi sebaliknya, secara keseluruhan (global) dulu, baru menuju bagian atau elemen. Metode eja menyalahi prinsip Gestalt Murid pertama kali belajar telah dihadapkan pada huruf. Huruf itu bagi anak belun dikenal, tidak mempunyai makna (arti). Seharusnya dimulai dari suatu kebulatan kesatuan yang mengandung makna. Jadi metode eja menyalahi prinsip Insightfullness. Dalam menghubungkan kata, murid-murid banyak mengalami kesukaran, karena selain tidak dikenal (tanpa arti) juga tidak merupakan figur. Akibatnya sukar terjadi prinsip closure. Dilihat dari segi prestasi, metode mengeja kurang memuaskan, salah satunya adalah murid membaca terputus-putus, sebab setiap selesai membaca satu kata, ia berhenti untuk mengeja kata berikutnya. Hal ini kadang-kadang masih tampak pada murid SMP. (b) Metode Belajar Global Menggunakan dasar psikologis Ilmu Jiwa Gestalt. Metode membaca global dirintis oleh Dr. Ovide De Croly. Di Indonesia dekenal dengan metode S.A.S. Permulaan sekali, anak telah dihadapkan pada cerita pendek yang telah dikenal anak dalam kehidupan keluarga. Cerita ini jelas merupakan satu kesatuan yang telah dikenal anak. Maka dengan mudah anak itu segera dapat membaca seluruhnya secara hafalan. Biarkan murid membaca sambil menunjuk kalimat yang tidak cocok dengan yang diucapkan. 15
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 1 Maret 2011
Menguraikan cerita pendek tersebut menjadi kalimat-kalimat. Guru secara alamiah menunjukkan bahwa cerita pendek itu terdiri dari kalimat-kalimat. Misalnya dengan cara : Kalimat yang satu dengan yang lain ditulis dengan warna yang berbeda. Kalimat satu dengan yang lain ditulis dengan jarak yang cukup renggang. Biasanya setelah 2 atau 3 minggu murid telah dapat membedakan kalimat satu dengan yang lain. Murid telah mengingat kalimat-kalimat. Memisahkan kalimat-kalimat menjadi kata-kata Dapat dengan berbagai cara, misal: 1) Tiap-tiap kata ditulis dengan warna yang berbeda-beda 2) Tiap-tiap kata ditulis agak berjauhan 3) Ditulis dengan susunan tiap kata semakin menurun 4) Dibaca pelan-pelan sambil menunjuk tiap kata Memisahkan kata-kata menjadi suku kata. Dalam periode tertentu, setelah murid mengerti suku kata, diteruskan, Memisahkan suku kata menjadi huruf. Dalam fase ini, barulah murid diajarkan bunyi tiap-tiap huruf (pertengahan tahun). Setelah murid mengenal huruf, diajarkan menyusun huruf menjadi suku kata. Menyusun suku kata menjadi kata. Menyusun kata menjadi kalimat. Untuk melaksanakan proses menyusun kembali, dapat dilakukan dengan bermacam permainan yang menarik. Contoh pembelajaran yang cocok menerapkan teori kognitif selain pada pelajaran bahasa : seperti mengarang, menganalisis isi buku, juga pada pelajaran fisika, kimia atau biologi: yaitu dengan metode belajar yang berbasis masalah (studi kasus), eksperimen. Dan
16
Titin Nur Hidayati, Implementasi Teori Belajar Gestalt pada Proses Pembelajaran
pada pelajaran IPS berupa observasi, wawancara dan membuat laporannya. 3. Dalam metodik mengajar Sangat penting artinya bagi individu (murid), bila ia dapat menemukan pemahaman (insight) dengan caranya sendiri tanpa diberi tahu. Karena itu guru harus pandai mengatur strategi (membuat siasat) bagaimana cara mengajar untuk menimbulkan pemahaman (insight) oleh murid sendiri tanpa murid merasa digurui secara langsung. Buatlah siasat agar murid menemukan pemahaman sendiri. Metode ini terkenal dengan metode problem solving (pemecahan masalah). E. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN TEORI GESTALT 1. Kelebihan Teori Gestalt a) Menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi. b) Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memecahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari. c)Peserta didik dapat aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru berfungsi sebagai mediator, fasilitator dan teman yang membuat situasi menjadi kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan dari peserta didik. Tytler (1996:20) juga menambahkan bahwa dengan upaya mengimplementasikan teori belajar kognitif dalam rancangan Pembelajaran maka: a) Siswa dengan mudah dapat mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri. b) Siswa dapat dengan mudah berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif. c) Siswa mempunyai kesempatan untuk mencoba gagasan baru. 2. Kelemahan Teori Gestalt Selain jasa dan sumbangannya yang sangat berharga bagi belajar disekolah dengan insight, namun terdapat juga celah-celah kelemahan dan kekurangannya. Seperti halnya 17
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 1 Maret 2011
teori belajar koneksionisme, terhadap teori gestaltpun dapat diajukan pertanyaan, bolehkah belajar dengan insight itu dianggap sebagai prototipe belajar? Dari satu segi, teori ini nampak menunjukkan beberapa kejadian belajar yang umum, sehingga lebih mudah menganalisisnya. Misalnya, kalau anak dibimbing untuk ”melihat ’ hubungan, seperti tambah dan kali, antara berat dan ”daya tarik” gaya berat, maka sering ia mampu memperlihatkan pemahaman. Sedangkan dari segi yang lain, memang sulit menemukan pemahaman dalam mempelajari hal-hal yang sangat beragam. Misalnya: anak tidak dapat mempelajari nama tanam-tanaman atau bintang-bintang dengan insight. Dia tidak dapat membaca dengan insight, demikian pula dia tidak tidak dapat berbicara dengan bahasa asing. Siswa Biologi tidak dapat mempelajari struktur dan fungsi hewan dengan pemahaman. Tegasnya, pemahaman itu tidak dapat menjadi prototipe untuk sejumlah belajar yang biasa dilakukan manusia. Barangkali, pemahaman barulah terjadi kalau kita belajar dengan ”pemecahan masalah”, walaupun dalam kenyataannya, tidak semua hal merupakan masalah, boleh jadi hanya merupakan fakta atau prinsip. Daftar Pustaka Ernest Ropiequet Hilgard, 1975, Theories Of Learning: The Century Psychologi Series, Printice-Hall, Inc., and Englewood Cliffs, N.J.. Henry L. Boediger, J. Philippe Rushton, Elizabeth D. Capald dan Scot G. Paris,1984, Psychology, Litle Brown and Company, Boston, Toronto, 1 B.R. Hergenhann and Mettew H.Olson, 1997, An Introduction to The Theories of Learning, New Jersey: Prantice hall. Inc. http/www.google.co.id/file/e-Psycology/diakses September 2007
18
tanggal
25
Titin Nur Hidayati, Implementasi Teori Belajar Gestalt pada Proses Pembelajaran
Malcom Kowles, 1986, The Adult Learner A Neglected Spesies. Gulf Publising Company Book Division, Houston, Texas, Edisi ke-3. Stephen N. Elliot, Thomas R. Kratochwill, Joan Littlefield Cook, and John F. Travers, 2000, Educational Psychology: Efective Teaching, Effective Learning, McGraw-Hill Higher Education, Edisi International. Sumadi Suryabrata, 2004, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Guy R. Lefrancois, 1995, Theories of Human Learning. Kros’s Report. Book/Cole Publising Company. Muhibbin Syah.,M.Ed,. 1995, Psikologi Pendidikan pendekatan baru. Bandung: Remaja Rosdakarya.
dengan
B.R. Hergenhann and Mettew H.Olson, 1997, An Introduction to The Theories of Learning, New Jersey: Prantice hall. Inc. Slameto, 2003, Belajar dan Faktor-faktor mempengaruhinya, Jakarta: PT. Rineka Cipta. Ratna Wilis Dahar, 1996, Teori Erlangga.
yang
Belajar, Jakarta: Penerbit:
19