IMPLEMENTASI TEORI BELAJAR IVAN PETROVICH PAVLOV

Download Untuk menunjukkan kebenaran teorinya, Pavlov mengadakan eksperimen tentang berfungsinya kelenjar ludah pada anjing sebagai binatang ujicoba...

0 downloads 363 Views 491KB Size
Titin Nurhidayati, Implementasi Teori Belajar Ivan Petrovich Pavlov (Classical Conditioning ) dalam Pendidikan

IMPLEMENTASI TEORI BELAJAR IVAN PETROVICH PAVLOV (CLASSICAL CONDITIONING ) DALAM PENDIDIKAN Oleh: Titin Nurhidayati1

ABSTRAK

Studi secara sistematis tentang belajar relatif baru. Sampai akhir abad 19, belajar masih dianggap masalah dalam dunia keilmuan. Dengan menggunakan teknologi yang digunakan oleh ilmu fisika, para peneliti mencoba menghubungkan pengalaman untuk memahami bagaimana manusia dan hewan belajar. Teori belajar classical conditioning mengimplikasikan pentingnya mengkondisi stimulus agar terjadi respon. Dengan demikian pengontrolan dan perlakuan stimulus jauh lebih penting daripada pengontrolan respon. Konsep ini mengisyaratkan bahwa proses belajar lebih mengutamakan faktor lingkungan (eksternal) daripada motivasi internal. Pentingnya studi yang dilakukan Pavlov terletak pada metoda yang digunakannya serta hasil-hasil yang diperolehnya. Alat-alat yang digunakan dalam berbagai eksperimen memperlihatkan bagaimana Pavlov dan kawan-kawannya dapat mengamati secara teliti dan mengukur respon-respons subjek-subjek dalam eksperimen-eksperimen itu. Penekanan yang diberikan Pavlov pada observasi dan pengukuran yang teliti, dan eksplorasinya secara sistematis tentang berbagai aspek belajar, menolong kemajuan studi ilmiah tentang belajar. Key Word: Teori Belajar Ivan Petrovich Pavlov, Classical Conditioning. Pendahuluan Tokoh Classical Conditioning adalah Ivan Petrovich Pavlov, seorang ahli psikologi dari Rusia. Istilah lain teori tersebut ialah

Dosen Tetap Yayasan Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Falah As-Sunniyyah Kencong Jember. 1

23

JURNAL FALASIFA. Vol. 3, No. 1 Maret 2012

Pavlovianisme, yang diambil dari nama pavlov sebagai peletak dasar teori itu. Prosedur Conditioning Pavlov disebut Classic karena merupakan penemuan bersejarah dalam bidang psikologi. Secara kebetulan Conditioning refleks (psychic refleks) ditemukan oleh Pavlov pada waktu ia sedang mempelajari fungsi perut dan mengukur cairan yang dikeluarkan dari perut ketika anjing (sebagai binatang percobaannya) sedang makan. Ia mengamati bahwa air liur keluar tidak hanya pada waktu anjing sedang makan, tetapi juga ketika melihat makanan. Jadi melihat makanan saja sudah cukup untuk menimbulkan air liur. Gejala semacam ini oleh Pavlov disebut “Psychic” refleks. Conditioning adalah suatu bentuk belajar yang memungkinkan organisme memberikan respon terhadap suatu rangsang yang sebelumnya tidak menimbulkan respon itu, atau suatu proses untuk mengintroduksi berbagai reflek menjadi sebuah tingkah laku. Jadi classical conditioning sebagai pembentuk tingkah laku melalui proses persyaratan (conditioning process). Dan Pavlov beranggapan bahwa tingkah laku organisme dapat dibentuk melalui pengaturan dan manipulasi lingkungan. Untuk menunjukkan kebenaran teorinya, Pavlov mengadakan eksperimen tentang berfungsinya kelenjar ludah pada anjing sebagai binatang ujicobanya. Biografi Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936) Sebelum membicarakan langkah-langkah eksperimen Pavlov, ada baiknya kita membicarakan sedikit mengenai latar belakang kehidupannya. Keahlian dan pengalamannya mendorong Pavlov melakukan eksperimen-eksperimen sampai akhirnya menemukan konsepkonsep yang kemudian dikenal sebagai teori belajar. Tokoh Classical Conditioning dan bapak teori belajar Modern, Ivan Petrovich Pavlov dilahirkan di Ryazan Rusia desa tempat ayahnya Peter Dmitrievich Pavlov menjadi seorang pendeta pada 18 September tahun 1849 dan meninggal di Leningrad pada tanggal 27 Pebruari 1936. Ia dididik di sekolah gereja dan melanjutkan ke Seminari Teologi. Ayahnya seorang pendeta, dan awalnya Pavlov sendiri berencana menjadi pendeta, namun dia berubah pikiran dan memutuskan untuk menekuni fisiologis. Dia sebenarnya bukanlah sarjana psikologi dan tidak mau disebut sebagai ahli psikologi, karena dia adalah seorang sarjana ilmu faal yang fanatik. Tahun 1870, ia memasuki Universitas Petersburg untuk mempelajari sejarah alam di Fakultas Fisika dan Matematika.2 Hergenhahn, B.R. & Mattew H. Olson, 1997, An Introduction To Theories Of Learning. London: Prentice-Hall International. Hal: 161. 2

24

Titin Nurhidayati, Implementasi Teori Belajar Ivan Petrovich Pavlov (Classical Conditioning ) dalam Pendidikan

Pada tahun ketiga, ia mengikuti kursus di Akademi Medica Chiraginal. Namun, ia tidak ingin menjadi dokter, melainkan seorang ahli fisiolog berkualitas. Pavlov meminta setiap orang yang bekerja di laboratoriumnya menggunakan hanya istilah-istilah fisiologis saja. Jika asisitennya ketahuan menggunakan bahasa psikologi – contohnya menunjuk kepada perasaan atau pengetahuan si anjing – maka dia akan mendenda mereka. Eksperimen Pavlov yang sangat terkenal dibidang fisiologi dimulai ketika ia melakukan studi tentang pencernaan. Dalam hidupnya Pavlov dipengaruhi oleh buku-buku abad ke-16, terutama yang ditulis Pisarev. Dia sangat konsekwen dengan pekerjaannya sehingga banyak memperoleh tambahan pengetahuan tentang fisiologi. Perjalanan Pavlov ke luar negeri memberikan arti penting dalam mendukung dirinya menjadi seorang fisiolog. Keahliannya dibidang fisiologi sangat mempengaruhi eksperimen-eksperimennya. Dalam eksperimennya dia melihat bahwa subjek penelitiannya (seekor anjing) akan mengeluarkan air liur sebagai respons atas munculnya makanan. Dia kemudian mengeksplorasi fenomena ini dan kemudian mengembangkan satu studi perilaku (behavioral study) yang dikondisikan, yang dikenal dengan teori Classical Conditioning. Menurut teori ini, ketika makanan (makanan disebut sebagai the unconditioned or unlearned stimulus stimulus yang tidak dikondisikan atau tidak dipelajari) dipasangkan atau diikutsertakan dengan bunyi bel (bunyi bel disebut sebagai the conditioned or learned stimulus - stimulus yang dikondisikan atau dipelajari), maka bunyi bel akan menghasilkan respons yang sama, yaitu keluarnya air liur dari si anjing percobaan. Hasil karyanya ini bahkan menghantarkannya menjadi pemenang hadiah Nobel. Selain itu teori ini merupakan dasar bagi perkembangan aliran psikologi behaviourisme, sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi penelitian mengenai proses belajar dan pengembangan teori-teori tentang belajar. Pavlov telah melakukan penyelidikan terhadap kelenjar ludah secara intensif sejak tahun 1902 dengan menggunakan anjing. Hanya beberapa saat sebelum tahun itu, ketika Pavlov menginjak usia 50 tahun dia memulai karyanya yang terkenal tentang refleks-refleks yang terkondisikan (condition refleks). Karya tulisnya adalah Work of Digestive Glands (1902) dan Conditioned Reflexes. Di Tahun 1904 dia memperoleh hadiah Nobel dibidang Physiology or Medicine untuk karya tersebut. Karyanya mengenai pengkondisian sangat mempengaruhi psikologi behavioristik di Amerika (The Official Web Site of the Nobel Foundation, 2007). Pengaruh pavlov kepada para ahli fisiologi malah tidak begitu besar, pengaruhnya yang besar justru dalam lapangan psikologi. Pada dewasa ini psikologi di Uni Soviet boleh dikata adalah seluruhnya Pavlovian. Pendapat-pendapat Pavlov dijadikan landasan bagi psikologi di 25

JURNAL FALASIFA. Vol. 3, No. 1 Maret 2012

Uni Soviet, karena hal tersebut serasi dengan filsafat doktrin historismaterialisme. Salah seorang ahli yang berjasa dalam menyebarkan pengaruh Pavlov itu dalam lapangan psikologi adalah von Bechterev. Kecuali di Uni Soviet sendiri, di Amerika serikatpun pengaruh aliran psikologi ini besar sekali. Ketika J.B. Watson membaca karya pavlov itu, dia merasa mendapatkan model yang cocok dengan pendiriannya, untuk menjelaskan masalah tingkah laku manusia. Jadi Pavlovianisme ini sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan Behaviorisme di Amerika Serikat.3 Eksperimen-Eksperimen Ivan Petrovich Pavlov Dalam tahun-tahun terakhir dari abad ke 19 dan tahun-tahun permulaan abad ke-20, Pavlov dan kawan-kawan mempelajari proses pencernaan dalam anjing. Selama penelitian mereka para ahli ini memperhatikan perubahan dalam waktu dan kecepatan pengeluaran air liur. Dalam eksperimen-eksperimen ini Pavlov dan kawan-kawannya menunjukkan, bagaimana belajar dapat mempengaruhi perilaku yang selama ini disangka refleksif dan tidak dapat dikendalikan, seperti pengeluaran air liur.4 Berangkat dari pengalamannya, Pavlov mencoba melakukan eksperimen dalam bidang psikologi dengan menggunakan anjing sebagi subjek penyelidikan. Untuk memahami eksperimen-eksperimen Pavlov perlu terlebih dahulu dipahami beberapa pengertian pokok yang biasa digunakan dalam teori Pavlov sebagai unsur dalam eksperimennya. 1. Perangsang tak bersyarat = perangsang alami = perangsang wajar = Unconditioned Stimulus (US); yaitu perangsang yang memang secara alami, secara wajar, dapat menimbulkan respon pada organisme, misalnya: makanan yang dapat menimbulkan keluarnya air liur pada anjing. 2. Perangsang bersyarat = perangsang tidak wajar = perangsang tak alami = Conditioned Stimulus (CS) yaitu perangsang yang secara alami, tidak menimbulkan respon; misalnya: bunyi bel, melihat piring, mendengar langkah orang yang biasa memberi makanan. 3. Respon tak bersyarat = respon alami = respon wajar = Unconditioned Response (UR); yaitu respons yang ditimbulkan oleh perangsang tak bersyarat (Unconditioned Stimulus = UR). 4. Respon bersyarat = respon tak wajar = Conditioned Response (CR), yaitu respons yang ditimbulkan oleh perangsang bersyarat (Conditioned Response = CR), 3 4

Suryabrata, Sumadi ,2006, Psikologi Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hal: 266. Dahar, Ratna Wilis, 1988, Teori-teori Belajar. Jakarta: DepDikBud. Hal: 28.

26

Titin Nurhidayati, Implementasi Teori Belajar Ivan Petrovich Pavlov (Classical Conditioning ) dalam Pendidikan

Adapun langkah-langkah eksperimen yang dilakukan Pavlov sebagai berikut: 1. Anjing dioperasi kelenjar ludahnya sedemikian rupa sehingga memungkinkan penyelidik mengukur dengan teliti air ludah yang keluar dengan pipa sebagai respons terhadap perangsang makanan (berupa serbuk daging) yang disodorkan ke mulutnya. Eksperimen Pavlov diulang beberapa kali hingga akhirnya diketahui bahwa air liur sudah keluar sebelum makanan sampai ke mulut. Artinya, air liur telah keluar saat anjing melihat piring tempat makanan, melihat orang yang biasa memberi makanan bahkan saat mendengar langkah orang yang biasa memberi makanan.5 Dengan demikian, keluarnya air liur karena ada perangsang makanan merupakan suatu yang wajar. Namun, keluarnya air liur karena anjing melihat piring, orang atau bahkan langkah seseorang merupakan suatu yang tidak wajar. Artinya, dalam keadaan normal, air liur anjing tidak akan keluar hanya karena melihat piring makanan, orang yang biasa memberi makanan dan mendengar langkah-langkah orang yang biasa memberi makanan. Piring tempat makanan, orang dan langkah orang yang biasa memberi makanan merupakan tanda atau signal. Dalam eksperimennya, tanda atau signal selalu diikuti datangnya makanan. Berkat latihan-latihan selama eksperimen, anjing akan mengeluarkan air liurnya bila melihat atau mendengar signal-signal yang persis sama dengan signal-signal yang digunakan dalam eksperimen. Apabila dikaji secara mendalam menurut psikologi, refleks bersyarat merupakan hasil belajar atau latihan. Namun, sebagai seorang ahli fisiologi, Pavlov tidak tertarik pada masalah tersebut karena lebih tertarik pada masalah fungsi otak. Dengan mendapatkan refleks bersyarat, Pavlov berkeyakinan bahwa ia telah menemukan sesuatu yang baru dibidang fisiologi. Dia ingin mengetahui proses terbentuknya refleks bersyarat melalui penyelidikan mengenai fungsi otak secara tidak langsung.6

G.A. Kimble, N. Garmezy & E. Zigler, 1974, Principles of General Psychology. New York: John Wiley & Sons, Inc. Hal: 208. 6 Syah, Muhibbin. (2006). Psikologi Belajar. Edisi 5. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Hal. 30-33. 5

27

JURNAL FALASIFA. Vol. 3, No. 1 Maret 2012

2. Dalam usahanya memahami fungsi otak, Pavlov mengulangi eksperimen seperti di atas dengan berbagai variasi. Adapun langkahlangkah eksperimennya adalah: a. Anjing dibiarkan lapar, Paplov membunyikan metronom dan anjing mendengarkannya dengan sungguh-sungguh. Variasi lain dilakukuan dengan menyalakan lampu dalam kamar gelap dan anjing memperhatikan lampu menyala. Setelah metronom berbunyi atau lampu menyala selama 30 detik, makanan (serbuk daging) diberikan dan terjadilah refleks pengeluaran air liur. b. Percobaan tersebut, baik dengan membunyikan metronom maupun menyalakan lampu, diulang berkali-kali dengan jarak 15 menit. c. Setelah diulang 32 kali, bunyi metronom atau nyala lampu selama 30 detik dapat menyebabkan keluarnya air liur dan semakin bertambah deras jika makanan diberikan.7 Dalam eksperimen kedua di atas, ada beberapa hal yang bisa diterangkan: (1) Bunyi metronom atau nyala lampu merupakan Conditioning Stimulus (CS) dan makanan merupakan Unconditioning Stimulus (US). (2) Keluarnya air liur karena bunyi metronom atau nyala lampu merupakan Conditioning Refleks (CR) dan keluarnya air liur karena ada makanan merupakan Unconditioning Refleks (UR) (3) Makanan yang diberikan setelah air liur disebut Reinforcer (pengaruh) yang memperkuat refleks bersyarat dan memberikan respons lebih kuat dibandingkan dengan refleks bersyarat. 3. Eksperimen-eksperimen Pavlov berikutnya bertujuan mengetahui apakah refleks bersyarat yang telah terbentuk dapat hilang atau dihilangkan. Melalui semua eksperimennya, Pavlov menyimpulkan bahwa refleks bersyarat yang telah terbentuk dapat hilang atau dihilangkan dengan jalan: a. Refleks bersyarat yang telah terbentuk dapat hilang jika perangsang atau signal yang membentuknya telah hilang. Hal ini dapat disebabkan perangsang atau signal yang selama ini dikenal telah dilupakan atau tidak pernah digunakan kembali. b. Refleks bersyarat dapat dihilangkan dengan melakukan persyaratan kembali (reconditioning). Caranya seperti pada eksperimen kedua. Misalnya, bunyi metronom yang digunakan sebagai signal telah berhasil membentuk refleks bersyarat. Kemudian, bunyi metronom tidak digunakan kembali dan diganti dengan nyala lampu. Dalam 7

Suryabrata, Sumadi. Op Cit. Hal: 264.

28

Titin Nurhidayati, Implementasi Teori Belajar Ivan Petrovich Pavlov (Classical Conditioning ) dalam Pendidikan

waktu yang cukup lama, jika metronom dibunyikan kembali, tidak akan mengakibatkan refleks bersyarat karena sekarang refleks bersyarat muncul jika ada nyala lampu. Kenyataan menunjukkan bahwa hewan memiliki daya ingat terbatas, seperti halnya manusia.8 4. Eksperimen lain dari Pavlov bertujuan mengetahui kemampuan binatang dalam membedakan bermacam-macam perangsang agar menolong kemajuan studi ilmiah tentang belajar. Namun demikian, penemuan-penemuan Pavlov tidak banyak diterapkan pada belajar di sekolah. Dari hasil eksperimen-eksperimen yang dilakukan dengan anjing itu Pavlov berkesimpulan: bahwa gerakan–gerakan refleks itu dapat dipelajari; dapat berubah karena mendapat latihan. Sehingga dengan demikian dapat dibedakan dua macam refleks, yaitu refleks wajar (Unconditioned Refleks) – keluar air liur ketika melihat makanan dan refleks bersyarat/refleks yang dipelajari (Conditioned Refleks) – keluar air liur karena menerima/bereaksi terhadap warna sinar tertentu, atau terhadap suatu bunyi tertentu (Mulyati. 2005). Hukum-Hukum Teori Belajar Classical Conditioning Paplov Dalam istilah Paplov, pemberian makanan merupakan stimulus yang tidak dikondisikan Paradigma Pengondisian Klasik. Di dalam sebuah eksperimen yang khas behavioris, seekor anjing ditaruh beberapa saat di sebuah kurungan di ruang gelap kemudian sebuah lampu kecil dinyalakan di atasnya. Setelah 30 detik, sejumlah makanan diletakkan di mulut si anjing, membangkitkan refleks air liur. Prosedur ini diulang beberapa kali — setiap kali makanannya diberikan bersama-sama dengan cahaya lampu. Setelah beberapa saat, cahaya lampu yang awalnya tidak berkaitan dengan air liur, dapat membuat air liur anjing keluar saat melihat lampu dinyalakan. Si anjing bisa dikatakan telah dikondisikan untuk merespons cahaya. Dalam istilah Pavlov, pemberian makanan merupakan stimulus yang tidak dikondisikan (unconditioned stimulus, US) — Pavlov tidak perlu mengondisikan si hewan untuk mengeluarkan air liur jika melihat makanan. Sebaliknya, cahaya lampu merupakan stimulus yang dikondisikan (conditioned stimulus, CS) — efeknya perlu dikondisikan terlebih dahulu. Air liur terhadap makanan disebut refleks yang tidak dikondisikan (unconditioned reflex, UR), sedangkan air liur terhadap cahaya disebut refleks yang dikondisikan (conditioned reflex, CR). Proses seperti ini disebut pengondisian klasik (classical conditioning).

8

Ibid, Hal: 265

29

JURNAL FALASIFA. Vol. 3, No. 1 Maret 2012

Kita bisa melihat kalau di dalam eksperimen ini CS muncul sebelum US; Pavlov mematikan lampu, membiarkan ruangan gelap, sebelum memberikan si anjing makanan. Salah satu pertanyaan yang dilontarkannya, apakah ini merupakan cara terbaik untuk membuat pengondisian. Dia dan murid-muridnya akhirnya menemukan bahwa memang cara itulah yang terbaik. Sangat sulit untuk memperoleh pengondisian jika stimulus yang dikondisikan (CS) dilakukan sebelum stimulus yang tidak dikondisikan (US). Dan dari studi-studi lain, kita sekarang tahu kalau pengondisian sering kali berlangsung sangat cepat apabila stimulus yang dikondisikan disajikan setengah detik sebelum stimulus yang tidak dikondisikan (Purwanto, Ngalim. 2007). Contoh: Guru yang senantiasa menyampaikan materi pelajaran disertai dengan latihan soal. Kemudian siswa disuruh untuk mengerjakan latihan soal tersebut. Setiap kali siswa dapat mengerjakan soal latihan (CS) tersebut dengan baik dan benar guru akan tersenyum dan memberikan pujian pada siswa (UCS), dan siswa akan merasa bangga (CR). Diharapkan dengan sering terbiasa mengerjakan latihan soal, siswa akan punya pengalaman dengan bentuk-bentuk soal dan pada akhirnya dapat menyelesaikan suatu soal dengan mudah yang dapat membuatnya bangga. Dapat menyelesaikan soal (CS) membuat siswa bangga (CR). Namun demikian, dari hasil eksperimen dengan menggunakan anjing tersebut, Pavlov akhirnya menemukan beberapa hukum pengkondisian, antara lain: 1. Kepunahan/Penghapusan/Pemadaman (extinction). Penghapusan berlaku apabila rangsangan terlazim tidak diikuti dengan rangsangan tak terlazim, lama-kelamaan individu/organisme itu tidak akan bertindak balas. Setelah respons itu terbentuk, maka respons itu akan tetap ada selama masih diberikan rangsangan bersyaratnya dan dipasangkan dengan rangsangan tak bersyarat. Kalau rangsangan bersyarat diberikan untuk beberapa lama, maka respons bersyarat lalu tidak mempunyai pengut/reinforce dan besar kemungkinan respons bersyarat itu akan menurun jumlah pemunculannya dan akan semakin sering tak terlihat seperti penelitian sebelumnya. Peristiwa itulah yang disebut dengan pemadaman (extinction). Beberapa respons bersyarat akan hilang secara perlahan-lahan atau hilang sama sekali untuk selamanya. Dalam kehidupan nyata, mungkin kita pernah menjumpai realitas respons emosi bersyarat. Contoh : Ada dua orang anak kecil laki-laki dan perempuan yang biasa bermain bersama. Pada saat mereka menginjak dewasa, menjadi seorang gadis dan pemuda, tibatiba tumbuh perasaan cinta pada diri pemuda kepada gadis tersebut, tetapi tidak demikian dengan sang gadis. Pada saat pemuda teman sejak kecilnya itu menyatakan cintanya, gadis tersebut menolak dengan 30

Titin Nurhidayati, Implementasi Teori Belajar Ivan Petrovich Pavlov (Classical Conditioning ) dalam Pendidikan

alasan perasaan kepada pemuda itu hanya sebatas teman. Namun, karena pemuda itu sangat mencintai sang gadis, dengan menggunakan berbagai cara yang dapat membahagaikan, ia berusaha untuk mengambil hati gadis itu agar menerima cintanya. Misalnya, dengan selalu memberikan perhatian, memberikan segala yang disukai oleh gadis itu, dan lain sebagainya. Ketika perhatian dan kebaikannya kepada gadis tersebut dilakukan berulang-ulang maka pada suatu saat hati sang gadis menjadi luluh dan akhirnya menerima cinta pemuda tersebut. Sebuah stimulus yang dikondisikan, sekali diciptakan, tidak mesti bekerja selamanya. Pavlov menemukan meski-pun dia bisa membuat cahaya sebagai stimulus yang dikondisikan bagi keluarnya air liur, namun jika dia menyalakan lampu itu saja beberapa kali tanpa memberi si anjing makanan, maka cahaya akan kehilangan efeknya sebagai stimulus yang dikondisikan. Tetesan air liur makin berkurang saja sampai akhirnya tidak keluar sama sekali. Di titik ini, kepunahan terjadi. Pavlov sendiri menggunakan istilah kondisional dan non-kondisional; kedua istilah ini diterjemahkan sebagai dikondisikan dan tidak-dikondisikan oleh para psikolog, dan digunakan sampai sekarang kurang saja sampai akhirnya tidak keluar sama sekali. Di titik ini, kepunahan terjadi.9 (Purwanto, Ngalim. 2007). Pavlov juga menemukan bahwa meskipun refleks yang dikondisi-kan tampaknya hilang, dia bisa juga mengalami pemulihan spontan. Di dalam sebuah eksperimen, seekor anjing dilatih untuk mengeluarkan air liur hanya dengan melihat makanan — stimulus yang dikondisikan (CS). (Awalnya si anjing baru mengeluarkan air liur hanya jika makanan sudah berada di mulutnya.) Kemudian, CS sendiri disaji-kan dalam interval tiga-menitan sebanyak enam kali percobaan, dan pada percobaan keenam, si anjing tidak lagi mengeluarkan air liur. Jadi tampaknya respons ini sudah mengalami kepunahan. Namun demikian, setelah dua jam istirahat, penyajian CS sendirian sekali lagi bisa menghasilkan jumlah air liur yang cukup banyak. Artinya, respons menunjukkan pemulihan spontan. Akan tetapi, apabila eksperimen ini diteruskan meskipun respons sudah hilang, tanpa memberi jeda waktu untuk memperbaiki stimulus yang dikondisikan (CS) menjadi stimulus yang tidak dikondisikan (US),

9

Purwanto, Ngalim. (2007). Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.

31

JURNAL FALASIFA. Vol. 3, No. 1 Maret 2012

maka efek pemulihan spontan ini tampaknya memang akan hilang selamanya. Contoh: Guru yang awalnya memulai pelajaran (misalnya sains) dengan senyum dan ramah serta mengawali pelajaran dengan memberi apersepsi atau pun metafora sebelum memberikan materi pelajaran ataupun latihan soal dirasa siswa itu merupakan stimulus yang dapat membangkitkan minat dan motivasi siswa untuk belajar. Namun bila kemudian hari guru tersebut masuk dengan senyum dan tanpa memberikan apersepsi dan metafora dan langsung memberikan latihan soal, maka mungkin minat dan motivasi siswa untuk belajar dapat berkurang dan bila kondisi tersebut terjadi berulang-ulang dalam waktu lama, maka kemungkin besar minat dan motivasi siswa untuk belajar dapat hilang. 2. Generalisasi Stimulus (stimulus generalization). Rangsangan yang sama akan menghasilkan tindak balas yang sama. Pavlov menggunakan bunyi loceng yang berlainan nada, tetapi anjing masih mengeluarkan air liur. Ini menunjukkan bahawa organisme telah terlazim, dengan dikemukakan sesuatu rangsangan tak terlazim akan menghasilkan gerak balas terlazim (air liur) walaupun rangsangan itu berlainan atau hampir sama. Contoh : anak kecil yang merasa takut pada anjing galak, tentu akan memberikan respons rasa takut pada setiap anjing. Tapi melalui penguatan dan pemadaman diferensial, rentang stimulus rasa takut menjadi menyempit hanya pada anjing yang galak saja. Meskipun sebuah refleks sudah dikondisikan hanya untuk satu stimulus, ternyata bukan hanya stimulus itu yang bisa memunculkannya. Respons tampaknya bisa membangkitkan juga sejumlah stimulus serupa tanpa pengondisian lebih jauh. Sebagai contoh, seekor anjing yang telah dikondisikan untuk mengeluarkan air liur terhadap bunyi bel bernada tertentu akan mengeluarkan air liur juga jika mendengarkan bunyi bel bernada lain. Kemampuan merangkai stimulis untuk menghasilkan respons seperti ini beragam menurut derajat kemiripan dengan stimulus awal yang dikondisikan (CS orisinil). Pavlov percaya bahwa kita bisa mengamati generalisasi stimulus ini karena proses fisiologis yang dinamainya pemancaran (irradiation). Stimulus awal merangsang bagian tertentu otak yang kemudian memancar atau menyebar ke- wilayah otak yang lain (Purwanto, Ngalim. 2007). Bila

32

Titin Nurhidayati, Implementasi Teori Belajar Ivan Petrovich Pavlov (Classical Conditioning ) dalam Pendidikan

suatu makhluk mengadakan generalisasi (menyamaratakan), maka ia juga akan dapat melakukan diskriminasi atau pembedaan. 10 Contoh: Guru yang awalnya memulai pelajaran dengan senyum dan ramah serta mengawali pelajaran dengan memberi apersepsi atau pun metafora sebelum memberikan materi pelajaran atau latihan soal dirasa siswa itu merupakan stimulus yang dapat membangkitkan minat dan motivasi siswa untuk belajar. Stimulus tersebut akan digeneralisasi oleh siswa bahwa guru tersebut orangnya baik, mengerti kemauan siswa dan dapat diajak berdiskusi serta nantinya dalam memberikan penilaian buat siswa tidak pelit dan akan memberikan nilai yang bagus. 3. Pemilahan (discrimination). Diskriminasi yang dikondisikan ditimbulkan melalui penguatan dan pemadaman yang selektif. 11 Diskriminasi berlaku apabila individu berkenaan dapat membedakan atau mendiskriminasi antara rangsangan yang dikemukakan dan memilih untuk tidak bertindak atau bergerak balas. Contoh : Anak kecil yang takut pada anjing galak, maka akan memberi respon rasa takut pada setiap anjing, tapi ketika anjing galak terikat dan terkurung dalam kandang maka rasa takut anak itu menjadi berkurang. Generalisasi awal stimulus ini secara bertahap membuka jalan bagi proses pembedaan. Jika anjing terus dibiarkan mendengar suara bel yang berbeda-beda nadanya (tanpa menyajikan makanan di hadapannya), maka si anjing mulai merespons secara lebih selektif, membatasi responsnya hanya kepada nada yang paling mirip dengan CS orisinil. Kita bisa juga secara aktif menghasilkan pembedaan dengan menggandengkan satu nada dengan makanan, sementara nada lain tanpa disertai makanan. Ini biasa disebut sebagai eksperimen tentang pemilahan stimulus. Contoh: Guru yang biasa memberikan pelajaran dengan latihan soal dan usai memberikan pelajaran menyuruh siswa mengerjakan latihan soal yang ada dalam buku teks dipapan tulis. Bila penyelesaian soal tersebut benar maka guru akan tersenyum dan mengatakan “bagus”. Stimulus ini akan ditangkap oleh siswa dan dianalogikan bahwa perkataan “bagus” berarti jawaban siswa tersebut “benar”. Ini akan berbeda jika siswa mengerjakan soal dipapan dan guru cuma tersenyum tanpa mengatakan bagus, karena siswa akan menganalogikan jawaban yang dibuatnya belum tentu “benar”. Jadi siswa akan selektif mengartikan senyum guru. Baharuddin & Esa Nur Wahyuni, 2008, Teori Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: ArRuzz Media Group. Hal: 61. 11 Ibid, hal: 62 10

33

JURNAL FALASIFA. Vol. 3, No. 1 Maret 2012

4.

Tingkat Pengondisian Yang Lebih Tinggi. Akhirnya, Pavlov menunjukkan bahwa sekali kita dapat mengondisikan seekor anjing secara solid kepada CS tertentu, maka dia kemudian bisa menggunakan CS itu untuk menciptakan hubungan dengan stimulus lain yang masih netral. Di dalam sebuah eksperimen muridmurid Pavlov melatih seekor anjing untuk mengeluarkan air liur terhadap bunyi bel yang disertai makanan, kemudian memasangkan bunyi bel itu saja dengan sebuah papan hitam. Setelah beberapa percobaan, dengan melihat papan hitam itu saja anjing bisa mengeluarkan air liurnya. Ini disebut pengondisian tingkat-kedua. Pavlov menemukan bahwa dalam beberapa kasus dia bisa menciptakan pengondisian sampai tingkat-tiga, namun untuk tingkat selanjutnya, pengondisian tidak bisa dilakukannya.12 Contoh: Stimulus yang telah membangkitkan minat dan motivasi siswa untuk belajar pada mata pelajaran tertentu (misalnya sains) yang dirasa sulit, akan melekat pada diri siswa minat dan motivasi tersebut. Dan bila siswa dihadapkan pada mata pelajaran lain (misalnya matematika) yang juga dirasa sulit, maka minat dan motivasi untuk mempelajari mata pelajaran tersebut akan sama besarnya dengan minat dan motivasi belajar pelajaran terdahulu (red: sains). Secara garis besar hukum-hukum belajar menurut Pavlov, diantaranya : 1. Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat. 2. Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.

Prinsip-Prinsip Teori Belajar Classical Conditioning Paplov Prinsip-prinsip belajar menurut Classical Conditioning dapat diringkaskan sebagai berikut: 1. Belajar adalah pembentukan kebiasaan dengan cara menghubungkan/mempertautkan antara perangsang (stimulus) yang lebih kuat dengan perangsang yang lebih lemah.

12

Purwanto, Ngalim. Op Cit. Hal: 230.

34

Titin Nurhidayati, Implementasi Teori Belajar Ivan Petrovich Pavlov (Classical Conditioning ) dalam Pendidikan

2. 3. 4.

5.

Proses belajar terjadi apabila ada interaksi antara organisme dengan lingkungan. Belajar adalah membuat perubahan-perubahan pada organisme. Setiap perangsang akan menimbulkan aktivitas otak US dan CS akan menimbulkan aktivitas otak. Aktivitas yang ditimbulkan US lebih dominan daripada yang ditimbulkan CS. Oleh karena itu US dan CS harus di pasang bersama-sama, yang lama kelamaan akan terjadi hubungan. Dengan adanya hubungan, maka CS akan mengaktifkan pusaat CS di otak dan selanjutnya akan mengaktifkan US. Dan akhirnya organisme membuat respon terhadap CS yang tadinya secara wajar dihubungkan dengan US. Semua aktifitas susunan syaraf pusat diatur oleh eksitasi dan inhibisi. Setiap peristiwa di lingkungan organisme akan dipengaruhi oleh dua hal tersebut, yang pola tersebut oleh Pavlov disebut Cortical Mosaic. Dan pola ini akan mempengaruhi respons organisme terhadap lingkungan. Namun demikian Pavlov juga menyadari bahwa tingkah laku manusia lebih komplek dari binatang, karena manusia mempunyai bahasa dan hal ini akan mempengaruhi tingkah laku manusia.13

Aplikasi Teori Belajar Classical Conditioning Paplov dalam Pendidikan dan Pengajaran Seperti yang telah kita ketahui, apa yang telah dilakukan Paplov bukanlah untuk mengembangkan teori belajar. Setelah banyak orang mengakui teori Paplov bermanfaat di dunia psiokologi, banyak ahli pendidikan baru mulai memanfaatkan teorinya untuk mengembangkan atau memberikan kontribusi pada psikologi pendidikan pada umumnya dan teori belajar khususnya. Menyadari latar belakang di atas, kita sebagai pendidik harus menempatkan teori Paplov secara tepat. Sebaiknya, kita menggunakan teori conditioning sebagai referensi belajar secara fleksibel karena eksperimen Paplov adalah perilaku binatang. Padahal, subyek belajar adalah manusia. Ada perbedaan hakiki pikiran dan perasaan yang tertentu berbeda dengan binatang. Oleh karena itu, teori responden hanya digunakan untuk menjelaskan proses belajar secara umum, yaitu pengaruh kondisi tertentu terhadap sikap, perasaan dan pikiran subjek didik dalam belajar. Namun, kita tetap memperhitungkan pengecualian-pengecualian, sebagaimana dalam menggunakan generalitas, tidak menegasi partikularitas dengan sendirinya. Demikianlah menurut teori conditioning belajar adalah suatu proses 13

Tim Penyusun, 2004, Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: FIP IKIP Yogyakarta.

35

JURNAL FALASIFA. Vol. 3, No. 1 Maret 2012

perubahan yang terjadi karena adanya syarat-syarat (conditions) yang kemudian menimbulkan rekasi (respon). Untuk menjadikan seseorang itu belajar haruslah kita memberikan syarat-syarat tertentu. Yang terpenting dalam belajar menurut teori conditioning ialah adanya latihan-latihan yang kontinu. Yang diutamakan dalam teori ini ialah belajar yang terjadi secara otomatis. Segala tingkah laku manusia tidak lain adalah hasil daripada latihan-latihan atau kebiasaan kebiasaan mereaksi terhadap syarat-syarat tertentu yang dialaminya dalam kehidupannya. Salah satu konsep yang berkaitan dengan eksperimen Paplov adalah pemberian tanda, stimulus dan respons yang tidak dikondisikan sebagai hasil proses instingtual, sedangkan hubungan dikondisikan disebabkan latihan. Latihan menyebabkan perubahan tingkah laku, terutama perubahan neuron atau sel-sel syaraf. Oleh karena itu, wajar jika Paplov disebut Neurobehaviorist karena menyatakan bahwa interaksi antara stimulus dan respons terjadi melalui proses neural. Sementara belajar yang dilakukan manusia, yang ada bukan hanya tanda, tetapi juga simbol. Demikian pula dalam hal belajar, manusia tidak hanya mengenal latihan, tetapi juga belajar (dengan konsep lain). Konsep simbol dalam belajar pada diri manusia menyebabkan perbedaan antara manusia dengan hewan. Manusia memiliki pikiran dan perasaan, bukan hanya insting seperti yang dimiliki binatang. Dengan akal pikiran dan perasaan, manusia mampu membedakan tanda dan simbol. Tanda adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari apa yang ditandakan. Kita menyadari bahwa manusia maupun binatang mengenal tanda. Akan tetapi, berkaitan dengan pikiran dan perasaan yang dimiliki, manusia tidak mau berhenti hanya pada tanda, melainkan akan melangkah pada simbol. Manusia tidak puas dengan apa yang ada pada benda, melainkan memiliki kecenderungan mengetahui apa yang ada dibalik benda dan yang terkait dengannya. Ruang tanda diperluas sehingga mempunyai arti dan menjadi lebih intens. Kalau tanda menunjuk pada suatu objek, maka simbol lebih menunjuk pada suatu konsep. Perasaan dan akal pikiran yang potensial pada manusia menyebabkan stimulus yang sama tidak selalu menimbulkan respons sama, dan sebaliknya, respons sama tidak selalu disebabkan stimulus yang sama. Namun demikian, ada baiknya bila kita dapat menggunakan kerangka teori Paplov untuk membantu menjelaskan proses belajar secara fleksibel. Contohnya, sikap ramah seorang guru memiliki kecendrungan menimbulkan respons positif pada subjek didik, meskipun ada kemungkinan timbulnya respons negatif pada subjek didik manja. Pada awal pelajaran, konsep-konsep yang sulit dapat menimbulkan shock symbol pada sebagian subjek didik, tetapi justru dapat pula merangsang subjek didik belajar gigih agar memahaminya. Demikian pula, latar belakang 36

Titin Nurhidayati, Implementasi Teori Belajar Ivan Petrovich Pavlov (Classical Conditioning ) dalam Pendidikan

ekonomi rendah dapat menimbulkan respons berupa semangat belajar tinggi dan sebaliknya. Eksperimen-eksperimen Paplov awalnya tidak bertujuan menemukan teori belajar, meskipun sangat dipengaruhi oleh psikologi behaviorisme. Sesuai dengan kedudukannya sebagai ahli fisiologi, eksperimen paplov lebih bertujuan memahami fungsi otak. Hasil-hasil eksperimen Paplov ternyata sangat berguna bagi pengembangan teori belajar. Oleh karena itu, tidak berlebihan apabila banyak ahli pendidikan mengadopsi hasil eksperimen paplov untuk mengembangkan teori belajar. Namun demikian, apa yang diperoleh Paplov bukan suatu yang final sehingga kita sebaiknya fleksibel menggunakannya.14 1. Penerapan Prinsip-prinsip Teori Belajar Classical Conditioning dalam Pengajaran Pengaruh keadaan klasik membantu menjelaskan banyak pelajaran di mana satu stimulus diganti/ digantikan untuk yang lain. Satu contoh yang penting tentang proses ini adalah pelajaran atraksi emosional dan ketakutan. Bahwa bentakkan seorang guru seringkali membuat takut murid-muridnya, hal yang sama seorang polisi mempermainkan penjahat dengan ancungan tangannya, atau seorang perawat hendak memberi suntikan kepada pasiennya. Semua perilaku ini menciptakan tanggapan perhatian dan ketakutan di hati orang-orang tersebut dibawah kesadaran mereka. Situasi ini memberikan pengaruh ketakutan bila stimulus tidak netral: Guru Sorak ( UCS)

Perhatian dan Ketakutan anak ( UCR)

Polisi mendorong dengan penuh ancaman (UCS)

Perhatian dan Ketakutan masyarakat (UCR)

Perawat memberi suntikan (UCS)

Perhatian dan Ketakutan pasien (UCR)

Manapun stimulus netral yang berulang-kali terjadi bersama-sama dengan stimuli ini cenderung untuk dikondisikan (C) ke ketakutan sebagai respon. Jika seorang guru selalu meneliti seorang anak, kemudian hanya memperhatikan dia tanpa mengkritik boleh jadi membuat dia menaruh perhatiannya. Hal yang ekstrim, anak bisa berhubungan dengan guru di kelas dengan perhatian dan ketakutannya yang ia kembangkan samarata, atau ketakutan yang kadang tidak masuk akal. Hal yang sama juga dialami masyarakat phobia polisi, atau pasien, tentang perawat. Tetapi tanggapan positif dapat dibangun secara sederhana untuk mengkondisikan stimulus. Jika seorang guru memuji seorang siswa maka 14

Mulyati. (2005). Psikologi Belajar. Yogyakarta: Penerbit Andi. Hal: 37.

37

JURNAL FALASIFA. Vol. 3, No. 1 Maret 2012

akan menimbulkan hal positif baginya, bahkan ketika dia tidak lagi dipuji. Pada akhirnya, proses ini dapat membangun hubungan baik di kelas. Hal yang sama untuk polisi, perawat, atau orang yang bekerja dengan orangorang: stimuli yang dapat dipercaya menimbulkan hal positif tanggapan tersebut dapat dikondisikan untuk lain. Penggantian stimulus dapat membantu bahkan pada pelajaran tertentu yang tidak berisi unsur perasaan. Pengaruh tersebut tidak memerlukan refleks sebagai titik awal. Beberapa Psikolog menyebutnya belajar berlanjut atau asiosatif learning, hanya memerlukan dua stimuli yang tidak bertalian terjadi bersama-sama pada suatu tanggapan atau keduanya dari stimulus yang ada. Jika seorang anak telah mempelajari bagaimana cara menggunakan unit balok kecil, kemudian stimuli ini dapat dipasangkan dengan hal yang lebih abstrak, mereka akan dapat menulis padanan menulis padanan yang menghasilkan apa yang diinginkan dengan baik. Pada Gambar 3, terlihat bahwa awalnya anak tidak mempunyai kemampuan tertentu (netral) namun setelah belajar mereka mengasiosatifkan ingatan mereka pada hal yang berbeda.15 Dalam praktek pendidikan mungkin bisa kita temukan seperti lonceng berbunyi mengisyaratkan belajar dimulai dan atau pelajaran berakhir. Pertanyaan guru diikuti oleh angkatan tangan siswa, suatu pertanda siswa dapat menjawabnya. Kondisi-kondisi tersebut diciptakan untuk memanggil suatu respon atau tanggapan ahli pendidikan lain juga menyarankan bahwa panduan belajar dengan mengkombinasikan gambar dan kata-kata dalam mempelajari bahasa, akan sangat berguna dalam mengajar perbendaharaan kata-kata. Memasangkan kata-kata dalam bahasa Inggris dengan kata-kata bahasa lainnya akan membantu para siswa dalam membuat perbendaharaan kata dalam bahasa asing.16 Dalam pengertian yang lebih luas lagi misalnya memasangkaan maakna suatu konsep dengan pengalaman siswa sehari-harinya akan membantu siswa dalam memahami konsep-konsep lainnya. Walaupun classical conditioning terus menjadi bidang yang aktif dalam psikologi saat ini, sebagian para ahli telah mulai meninggalkan teori psikologi ini. 2. Penerapan Prinsip-prinsip Teori Belajar Classical Conditioning di Kelas Berikut ini beberapa tips yang ditaawarkan oleh Woolfolk (1995) dalam menggunakan prinsip-prinsip kondisioning klasik di kelas.

Seifert, Kelvin. (1983). Educational Psychology. Boston: Houghton Mifflin Company. Hal: 149-150. 16 Sudjana, Nana. 1991. Teori-teori Belajar Untuk Pengajaran. Jakata: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Hal: 73. 15

38

Titin Nurhidayati, Implementasi Teori Belajar Ivan Petrovich Pavlov (Classical Conditioning ) dalam Pendidikan

a.

b.

c.

d.

17

Memberikan suasana yang menyenangkan ketika memberikan tugastugas belajar, misalnya: 1) Menekankan pada kerjasama dan kompetisi antarkelompok daripada individu, banyak siswa yang akan memiliki respons emosional secara negatif terhadap kompetisi secara individual, yang mungkin akan digeneraalissikan dengan pelajaran-pelajaran yang lain; 2) Membuat kegiatan membaca menjadi menyenangkan dengan menciptakaan ruang membaca (reading corner) yang nyaman dan enak serta menarik, dan lain sebagainya. Membantu siswa mengatasi secara bebas dan sukses situasi-situasi yang mencemaskan atau menekan, misalnya: 1) Mendorong siswa yang pemalu untuk mengajarkaan siswa lain cara memahami materi pelajaran; 2) Membuat tahap jangka pendek untuk mencapai tujuan jangka panjang, misalnya dengaan memberikan tes harian, mingguan, agar siswa dapat menyimpaan apa yang dipelajari dengan baik; 3) Jika siswa takut berbicara di depan kelas, mintalah siswa untuk membacakan sebuah laaporan di depan kelompok kecil sambil duduk di tempat, kemudian berikutnya dengan berdiri. Setelah dia terbiasa, kemudian mintalah ia untuk membaca laporan di depaan seluruh murid di kelas. Membantu siswa untuk mengenal perbedaan dan persamaan terhadap situasi-situasi sehingga mereka dapat membedakan dan menggeneralisasikan secara tepat. Misalnya, dengan: 1) Meyakinkan siswa yang cemas ketika menghadapi ujian masuk sebuah sekolah yang lebih tinggi tingkatannya atau perguruan tinggi, bahwa tes tersebut sama dengan tes-tes prestasi akademik lain yang pernah mereka lakukan; 2) Menjelaskan bahwa lebih baik menghindari hadiah yang berlebihan dari orang yang tidak dikenal, atau menghindar tetapi aman daan dapat menerima penghargaan dari orang dewasa ketika orangtua ada.17 Memberikan suasana yang menyenangkan ketika memberikan tugastugas belajar, Contoh: Menekankan pada kerja sama dan kompetisi antar kelompok daripada individu, banyak siswa yang akan memiliki respons emosional secara negatif terhadap kompetisi secara individual, yang mungkin akan digeneralisasikan dengan pelajaran-pelajaran yang lain, contoh lainnya adalah membuat kegiatan membaca menjadi

Baharuddin & Esa Nur Wahyuni, Op Cit. Hal: 64.

39

JURNAL FALASIFA. Vol. 3, No. 1 Maret 2012

menyenangkan dengan menciptakan ruang membaca yang nyaman dan enak serta menarik. e. Membantu siswa mengatasi secara bebas dan sukses situasi-situasi yang mencemaskan atau menekan, Contoh: Mendorong siswa yang pemalu untuk mengajarkan siswa lain cara memahami materi pelajaran, misalnya dengan memberikan tes harian, mingguan, agar siswa dapat menyimpan apa yang dipelajari dengan baik. Jika siswa takut berbicara di depan kelas mintalah siswa untuk membacakan sebuah laporan di depan kelompok kecil sambil duduk ditempat, kemudian berikutnya dengan berdiri. Setelah dia terbiasa, kemudian mintalah ia untuk membaca laporan di depan seluruh murid di kelas. f. Membantu siswa untuk mengenal perbedaan dan persamaan terhadap situasi-situasi sehingga mereka dapat membedakan dan menggeneralisasi secara tepat. Contoh : Meyakinkan siswa yang cemas ketika menghadapi ujian masuk sebuah perguruan tinggi, bahwa tes tersebut sama dengan testes prestasi akademik lain yang pernah mereka lakukan. Sebagai guru, kita harus mengetahui bagaimana mengurangi counterproductive kondisi responsif yang dialami para siswa. Psikolog sudah mempelajari ke arah itu untuk memadamkan hal negatif sebagai reaksi emosional pada stimulus dikondisikan tertentu tidak lain untuk memperkenalkan stimulus itu secara pelan-pelan dan secara berangsurangsur sehingga siswa bahagia atau santai ( M.C.Jones, 1924; Wolpe, 1969). Satu contoh, jika Imung seorang yang takut berenang, kita mungkin mulai pelajaran berenangnya pada tempat yang dangkal seperti bayi bermain dalam tempat mandinya kemudian bergerak perlahan-lahan ke air yang lebih dalam, maka ia akan merasa lebih nyaman untuk mencoba berenang. Tidak ada hal yang paling membanggakan pada guru selain membantu dan membuat siswa menjadi sukses dan merasa senang di kelas. Satu hal yang perlu guru ingat bahwa kelas dapat membuat perilaku baik siswa, meningkat atau justru melemahkannya.18 Penutup Sebagai sebuah teori, Classical Conditioning Pavlov memiliki kelebihan dan sekaligus kekurangan. Adapun kelebihan teori ini misalnya cocok diterapkan untuk pembelajaran yang menghendaki penguasaan ketrampilan dengan latihan. Atau pada pembelajaran yang menghendaki

Ormred, Jeane E. (2003). Educational Psychology Developing Learners. Fourth Edition. Ohio: Merrill Prentice Hall. Hal. 304-305. 18

40

Titin Nurhidayati, Implementasi Teori Belajar Ivan Petrovich Pavlov (Classical Conditioning ) dalam Pendidikan

adanya bias atau membentuk perilaku tertentu. Selain itu juga memudahkan pendidik dalam mengontrol pembelajaran sebab individu tidak menyadari bahwa dia dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya. Pada sisi lain, teori ini juga tepat kalau digunakan untuk melatih kepandaian binatang. Sementara itu, kelemahan Teori Belajar Classical Conditioning Pavlov adalah bahwa teori ini menganggap bahwa belajar itu hanyalah terjadi secara otomatis; keaktifan dan kehendak pribadi tidak dihiraukan. Teori ini juga terlalu menonjolkan peranan latihan/kebiasaan padahal individu tidak semata-mata tergantung dari pengaruh luar yang menyebabkan individu cenderung pasif karena akan tergantung pada stimulus yang diberikan. Di samping itu pula, dalam teori ini, proses belajar manusia dianalogikan dengan perilaku hewan sulit diterima, mengingat perbedaan karakter fisik dan psikis yang berbeda antar keduanya. Oleh karena itu, teori ini hanya dapat diterima dalam hal-hal belajar tertentu saja; umpamanya dalam belajar yang mengenai skill (keterampilan) tertentu dan mengenai pembiasaan pada anak-anak kecil.

41

JURNAL FALASIFA. Vol. 3, No. 1 Maret 2012

DAFTAR PUSTAKA

Baharuddin & Esa Nur Wahyuni, 2008, Teori Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Group. Dahar, Ratna Wilis, 1988, Teori-teori Belajar. Jakarta: DepDikBud. Djamara. Syaiful Bahri. 2008. Psikologi Belajar, Jakarta : Rineka Cipta. G.A. Kimble, N. Garmezy & E. Zigler, 1974, Principles of General Psychology. New York: John Wiley & Sons, Inc. Hergenhahn, B.R. & Olson, M.H. (1997). An Introduction to Theories of Learning. Fifth Edition. USA: Prentice-Hall, Inc. Joyce, Bruce R. & Weil, Marsha. (1992). Model of Teaching. Fourth Edition. Boston: Allyn and Bacon. Klein, Stephen B. (2002). Learning: Principles and Applications. Fourth Edition. New York: McGraw-Hill Companies, Inc. Lefrancois, Guy R. (1985). Pshycology For Teaching. Fifth Edition. Belmont: Wadswarth Publishing Company. Mulyati. (2005). Psikologi Belajar. Yogyakarta: Penerbit Andi. Ormred, Jeane E. (2003). Educational Psychology Developing Learners. Fourth Edition. Ohio: Merrill Prentice Hall. Purwanto, Ngalim. (2007). Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. Seifert, Kelvin. (1983). Educational Psychology. Boston: Houghton Mifflin Company. Sudjana, Nana. 1991. Teori-teori Belajar Untuk Pengajaran. Jakata: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sarwono, Sarlito Wirawan. 1979. Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokohtokoh Psikologi. Jakarta: Bulan Bintang.

42

Titin Nurhidayati, Implementasi Teori Belajar Ivan Petrovich Pavlov (Classical Conditioning ) dalam Pendidikan

Suryabrata, Sumadi ,2006, Psikologi Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Syah, Muhibbin. (2006). Psikologi Belajar. Edisi 5. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Tim Penyusun, 2004, Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: FIP IKIP Yogyakarta.

43

JURNAL FALASIFA. Vol. 3, No. 1 Maret 2012

44